NEOLIBERALISME REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA SWATANTRA DESENTRALISASI

Neo-liberalisme, Reformasi, Administrasi Negara, Swatantra, Desentralisasi 
Desentralisasi telah berlangsung lebih dari satu dekade di Indonesia. Seiring dengan genderang reformasi politik serta administrasi, terbitnya Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999, memindahkan urusan serta kewenangan menurut pemerintah pusat ke pemerintah daerah menyebabkan perubahan sangat akbar pada rapikan interaksi pemerintah sentra-daerah. Titik berat desentralisasi dalam level pemerintah kabupaten/kota meredusir pola kekuasaan berpangku pada pemerintah provinsi. 

Permasalahan demi pertarungan ada seiring menggunakan merebaknya semangat, euphoria, suka cita pemerintah kabupaten/kota menikmati setiap sisi potensial kekayaan alamnya tanpa berpikir bahwa asal daya alam akan habis suatu ketika, memperluas kewenangannya walaupun buat itu wajib bersinggungan menggunakan wewenang tetangganya. Pertarunga tersebut tidaklah belum pelik jika kita telisik lebih jauh, bahwa titik pertarungan paling krusial adalah desentralisasi belum bisa menjamin kesejahteraan warga di daerah.

Namun demikian, duduk perkara desentralisasi di masa sekarang dari penulis tidaklah spesial karena pada masa kemudian, tepatnya pada periode masa pemerintahan transisi menurut Republik Indonesia Serikat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertarunga pemekaran, konflik wewenang antar elit wilayah, pertentangan pusat dan daerah, selalu diwarnai sang politik uang, praktik cronyism, terjadi balik pada masa kini . Pada akhirnya, reformasi administrasi negara melalui desentralisasi akhirnya misalnya nir peduli masa kemudian.

Bagian goresan pena di bawah ini akan membahas bagaimana selama melakukan reformasi administrasi negara dalam hal desentralisasi cenderung melupakan sejarah pembentukan negara Indonesia pada masa lalu. Terlupakan atau sengaja melupakan sejarah berpengaruh besar terhadap perseteruan pelaksanaan desentralisasi yang waktu ini menitikberatkan pada wilayah kabupaten/kota. Dengan menguraikannya ke dalam beberapa tahapan, yaitu: pertama, konsep desentralisasi: antara langit dan bumi; ke 2, desentralisasi periode transisi (1949-1950): pembelaran dari sejarah; ketiga, desentralisasi periode reformasi administrasi negara; keempat, desentralisasi dipandang menurut asa serta kenyataan; kelima, permasalahan titik berat desentralisasi di kabupaten/kota; dan keenam, tinjauan kritis pada kesalahan reformasi administrasi negara dalam desentralisasi.

Konsep Desentralisasi: Antara Langit dan Bumi
Bila kita melihat ke belakang, peta politik global pada tahun 1980an menerangkan bahwa revolusi neo-liberal merebak ke seluruh dunia. Revolusi tadi menyerang kepercayaan perananan negara sebagai pengatur di bidang kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi. Konsep welfare state dipertentangkan menggunakan konsep limited government yang diusung ideologi neo-liberal. 

Kejatuhan tembok Berlin pada Jerman semakin mengukuhkan kedigdayaan ideologi neo-liberal mengatasi sosialis, yg diakhiri menggunakan hancurnya episode perang dingin, dengan bubarnya negara sosialis komunis Uni Soviet pada tahun 1991. Sejalan dengan berakhirnya perang dingin, rejim otoriter di global ketigapun turut berakhir.

Neo-liberal membawa beberapa prinsip, diantaranya adalah memaksakan keterbukaan pasar, memperkecil peranan negara, dan menegakkan demokrasi lebih kuat. Diharapkan, ketiga prinsip utama tadi dapat menumbuhkan masyarakat sipil kuat serta pemerintah skala kecil tanpa campur tangan politis. Tujuan akhirnya merupakan terciptanya good governance menggunakan agunan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam kehidupan sosial serta politik memperkuat sistem demokratis. 

Masyarakat sipil bertenaga beserta pemerintahan yg berukuran kecil tanpa campur tangan politis merupakan prasyarat berdasarkan desentralisasi. Desentralisasi menginginkan peranan negara (pusat) kecil serta demokrasi bertenaga. Peranan negara kecil secara akal neo-liberal akan membuka pasar, menumbuhkan perekonomian lantaran terdapatnya persaingan usaha, yang selanjutnya akan mempertinggi standar hayati masyarakat.

Pandangan neo-liberal seperti ini dipakai buat menjustifikasi aplikasi desentralisasi pada negara global ketiga menerima tentangan dari Robison dan Hadiz (2004), yg mengindikasikan kuatnya “sifat delusi berdasarkan pandangan neo-liberalis ini, serta menunjukkan ketahanan oligarki-oligarki politis serta irit pada Indonesia.”

Oleh karenanya perlu kita sadari bahwa konsep desentralisasi yg dihembuskan oleh Barat tadi sebenarnya adalah bentuk pendelegasian wewenang pusat ke wilayah yg tidak spesifik. Sejarah desentralisasi di Indonesia cukup panjang buat menata struktur pendelegasian wewenang antara pusat serta wilayah, jauh sebelum ideologi neo-liberal merambah dunia. Sehingga, alasan bahwa desentralisasi dibutuhkan Indonesia buat menata pulang struktur kelembagaan formal di wilayah yg menyebabkan keruntuhan perekonomian Indonesia di tahun 1997, adalah tidak cukup. 

Nordholt dan van Klinken (2007) mengatakan bahwa, “adalah terlalu simplisistis buat menyimpulkan bahwa negara pada Indonesia sudah melemah sejak tahun 1998.” Mereka mendasarkan kesimpulannya menurut pengalaman banyak sekali negara berdekatan Indonesia yg terkena pengaruh krisis misalnya Thailand yg sebelum kejatuhan perekonomiannya sudah memiliki bangunan institutsi-institusi formal serta jaringan informal pada tiap provinsinya penuh dengan aktifitas ekonomi serta politik illegal serta kerap diwarnai dengan tindak kriminalitas. Pendapat tadi diperkuat sang Mc Vey (2000) dan Phongpaichit et al. (1998), keduanya berkata, bahwa birokrat, politisi, militer, polisi, dan penjahat memelihara hubungan yang intim sebagai akibatnya disparitas profesi diantara mereka kabur. 

Sehingga Indonesia pada tahun 1998 masih bisa dikatakan memiliki struktur kelembagaan daerah yg cukup memadai buat suksesnya desentralisasi. Persoalannya, mengapa desentralisasi di Indonesia justru mengundang lebih poly pertarungan ketimbang menyelesaikan masalah.

Genderang desentralisasi terlanjut ditabuh, nir terdapat langkah mundur dapat dilakukan oleh pemerintah sentra maupun pemerintah wilayah. Seperti halnya dikemukakan oleh Kent Eaton (2001) proses desentralisasi “selalu bergerak bolak baik di dalam garis lurus desentralisasi [sehingga] desentralisasi selalu bukan adalah proses yg dapat dibalikkan, akan namun bisa dibalikkan apabila berkenaan menggunakan kewenangan antara pemerintah pusat serta wilayah” (back and forth along the decentralization continuum.…decentralization is always not an irreversible process, but it is a reversible process between central and local regions) menaruh justifikasi bahwa Undang-undang Pemerintah Daerah Nomor 22/1999-pun bisa berubah seperti kini , yaitu menjadi Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32/2004. 

Perundangan baru, diklaim pula Undang-undang Otonomi Daerah, menebar kecurigaan pada antara elit pemerintah kabupaten/kota yg selama ini telah hidup menggunakan nyaman di bawah naungan perundangan lama . Ketenangan elit kabupaten/kota terusik mengingat Undang-undang Nomor 32/2004 balik menarik kewenangan pemerintah kabupaten/kota pada hal pengelolaan asal daya insan serta pula menggariskan secara jelas tata penyelenggaraan pemilihan ketua daerah dan titik singgung wewenang pemerintah provinsi serta kabupaten/kota yang selama berlakunya perundangan usang sebagai duduk perkara.

Perjalanan Undang-undang Nomor 32/2004 juga nir mulus. Selain kecurigaan yg terus tumbuh pada kalangan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah sentra dan provinsi menjadi penanggungjawab wilayah administratif dan perpanjangan tangan pemerintah sentra, tinjauan yuridis atau judicial review terhadap pasal pemilihan ketua daerah (pilkada) menurut calon independen-pun bergulir pada Mahkamah Konstitusi. Pengajuan tinjauan tadi dilakukan oleh pihak-pihak independen minus dukungan partai politik yg merasa dirugikan menggunakan proses pilkada, mengharuskan pencalonan kepala daerah menurut partai politik. Pasal tersebut bertentangan menggunakan semangat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang memberikan kesempatan sama pada setiap rakyat negara buat menduduki jabatan pemerintahan. Akhirnya Undang-undang Nomor 32/2004 diamandemen sebagian menjadi Undang-undang Nomor 12/2008.

Desentralisasi misalnya bagai langit serta bumi, jauh antara harapan denga fenomena, bagi bangsa Indonesia, perubahan ke arah pemerintahan lebih demokratis di masa depan menjadi sekedar janji. Menurut Maria Dolores G. Alicias (2005), “kebijakan desentralisasi bertujuan mempercepat tercapainya tujuan-tujuan pembangunan serta demokrasi….melingkupi paling kurang empat hal: pertama, perluasan partisipasi dalam aktivitas politik, sosial serta ekonomi yang emperkuat proses demokrasi; kedua, pemugaran pemugaran pelayanan generik yang makin efisien serta efektif; ketiga, pemugaran kinerja pemerintahan daerah melalui pertanggungjawaban publik, transparansi atas proses-proses kerjanya serta responsif atas kebutuhan serta aspirasi masyarakat; keempat, perluasan akses dalam pengambilan keputusan politik bagi daerah dan kelompok yg terpinggirkan sebagai akibatnya distribusi asal-sumber makin merata.

Desentralisasi Periode Transisi (1949-1950): Pembelajaran Dari Sejarah
Praktek pemerintahan daerah dalam saat sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengalami pemerintahan menggunakan bangunan negara federasi. Republik Indonesia tidaklah berumur lama , lantaran susunan negara memang dirancang sang Pemerintah Belanda buat men-fait-a-compli pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI) dalam waktu itu.

Pemulihan kedaulatan Indonesia dilakukan sang Pemerintah Belanda dalam tanggal 27 Desember 1949, pada bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi bentuk komitmen konvensi dalam Konferensi Meja Bundar. Di pada RIS, kedudukan NRI merupakan salah satu negara bagian penyusun RIS. Pemerintahan wilayah diatur sang masing-masing negara atau daerah bagian.

Pada transisi ini, pemerintah daerah mengalami dualisme kebijakan, yaitu pemerintah negara bagian Republik Indonesia (RI), berkedudukan pada Yogyakarta, menjalankan pemerintahannya dari Undang-undang Nomor 22/1948 mengenai Pemerintahan Daerah. Sedangkan pada akhir masa berlakunya RIS, sebelum penggabungan dengan NRI, Negara bagian yg tergabung pada Negara Indonesia Timur (NIT) mengeluarkan peraturan utama tentang pemerintahan wilayah yaitu Undang-undang NIT Nomor 44/1950. Peraturan baru tersebut mengungkapkan bahwa ada 13 daerah–daerah yg telah terbentuk menggunakan peraturan yg diklaim Regeling tot vorming v/d Staat Oost-Indonesia.

Pada lepas 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikembalikan, dengan meleburkan antara pemerintah RIS menggunakan NRI, diawali menggunakan penggabungan negara bagian Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan lainnya. Selain itu, penggabungan diupayakan supaya pemberontakan yg timbul buat memecah belah persatuan Indonesia misalnya insiden Westerling pada Bandung, Andi Azis pada Makassar, serta Soumokil di Maluku Selatan, tidak bermunculan di daerah lainnya.

Untuk lebih lengkapnya, ikhtisar pemerintahan wilayah di masa pemerintahan RIS, output konferensi Meja Bundar, merupakan menjadi berikut:

Sumber: Diolah menurut Muslimin (1960: 44).

Sejarah negara federasi sebagai NKRI menandai berakhirnya upaya Belanda mengembalikan atau mempertahankan kekuasaannya pada Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah, maka perbedaan antara cara pemerintahan di kepulauan Jawa-Madura dan daerah pada luar Jawa-Madura sedikit demi sedikit dihilangkan. Secara garis besar , pemerintah wilayah di Indonesia dalam tahun 1950 merupakan menjadi berikut:
  • Daerah Indonesia dibagi dalam 8 provinsi yg dikepalai sang seseorang Gubernur. Provinsi ini hanya wilayah administratif saja. 
  • Daerah provinsi dibagi pada wilayah-daerah karesidenan. Oleh lantaran belum terdapat ketentuan baru tentang batas-batas serta jumlah karesidenan [sesuai Peraturan Peralihan UUD dan PP 1945 No. 2], jumlah karesidenan berdasarkan batas-batas yg usang masih dilanjutkan, sebelum diadakan peraturan atau perubahan baru. 
  • Disamping Gubernur dan Residen diadakan Komite Nasional Daerah, yang asalnya hanya badan Pembantu menurut Gubernur serta Residen. (Muslimin, 1959: 28). 
Di masa transisi berdasarkan RIS pulang ke bangunan NKRI, desentralisasi pada masa selesainya kemerdekaan lebih diwarnai sang derasnya arus desentralisasi politis dibandingkan dengan desentralisasi fungsional juga kebudayaan. Dengan demikian, NKRI memakai seluruh aturan-anggaran yg diwarisinya berdasarkan RIS walaupun mengundang konsekuensi terdapatnya kebijakan tumpang tindih mengenai pemerintahan daerah, terhitung mulai menurut Undang-undang Nomor 22/1948, Undang-undang NIT Nomor 44/1950, serta terakhir SGO, SGOB serta perundangan lainnya.

Baru sehabis enam setengah tahun lalu, dalam lepas 18 Januari 1957, terbitlah Undang-undang Nomor 1/1957 mengenai Pokok-utama Pemerintahan Daerah, berbicara tentang satu UU swatantra daerah menggugurkan perundangan sebelumnya yang nir beraturan. Daerah-wilayah swatantrapun bermunculan, mengundang gejolak instabilitas politik pada pada negeri lantaran adanya terlalu dipaksakan. UU baru belum memuat ketentuan mengenai isi rumah tangga daerah otonomi, belum ada perincian urusan, hanya mengungkapkan bidang-bidang urusan secara generik. 

Dapat ditebak selanjutnya bahwa daerah-daerah otonomi terutama di luar Jawa-Madura, belum berpengalaman sebagai akibatnya belum dapat bekerja lantaran tidak adanya penyerahan secara konkret kewenangan dari pemerintahan negara bagian RI di Yogyakarta yang sudah diambil alih oleh NKRI menjadi pengganti RIS. Berseberangan dengan daerah swatantra dari hasil bentukan NIT, wilayah-wilayah tersebut diatur menggunakan memakai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah lebih rinci sebagai akibatnya penyerahan urusan-urusan dengan berpedoman urusan pada Jawa-Madura, dapat segera dilaksanakan. 

Undang-undang Nomor 1/1957 mensyaratkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bertanggung jawab terhadap pemilihan menurut: 
  • Kepala Daerah, 
  • Ketua serta Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, 
  • Anggota Dewan Pemerintah Daerah (DPD). 
Masalah demi perkara desentralisasi pada pemerintahan wilayah bermunculan seiring menggunakan perkembangan sejarah yang tidak bisa meninggalkan warisan sejarahnya. Tetapi, para petinggi negeri ketika itu sepakat bahwa aturan yg simpang siur harus ditegaskan, sebagai akibatnya perlu dibuat keseragaman pada semua wilayah Indonesia. Undang-undang Nomor 1/1957 sudah berusahan mengambarkan bisnis menyeragamkan atau uniformitet pada pada penyelenggaraan pemerintahan wilayah yang sangat berseberangan secara prinsip dengan swatantra rancangan Pemerintah Belanda di masa lalu. Pemerintah Belanda menginginkan perbedaan-disparitas perlakuan administratifdi pada wilayah-wilayah otonomnya menggunakan memberlakukan peraturan tidak sinkron, sehingga mengakibatkan gejolak ketimpangan antara negara-negara bagian.

Tujuan menyeragamkan peraturan tentang pemerintahan daerah merupakan baik lantaran berusaha menghilangkan anasir-anasir dursila politik devide et impera Belanda terhadap wilayah-daerah Indonesia. Perbedaan susunan administrasi pemerintah antara pulau ditiadakan, sebagai akibatnya pemerintah NKRI dapat memulihkan kecurigaan akan adanya subordinat jilid II, menciptakan disparitas antara satu wilayah menggunakan daerah lainnya.

Walaupun begitu, bepergian sejarah mewarisi cerita lain lantaran pada ketika transisi menurut pemerintahan RIS ke NKRI, ternyata tingkat kemajuan serta kemampuan daerah bhineka. Inilah yang tak jarang terlupakan sang pemuka negeri yg begitu cepatnya ingin melakukan perubahan atau reform sehinga justru mengakibatkan sentimen subordinat pemerintah pusat terhadap daerah-daerah kepulauan Indonesia.

Perbedaan kentara terlihat dari pelaksanaan pemerintahan di daerah swatantra Jawa-Madura, dimana wilayah-daerah tersebut sudah mempunyai pengalaman menjalankan pemerintahan berdasarkan warisan administratif kolonial Belanda, yaitu adanya provinsi, kabupaten, serta desa otonom terutama pada Jawa, telah mengalami pendemokrasian. Tidak demikian halnya dengan di luar Jawa-Madura, pemerintahan mengalami kemunduran karena kekurangan modal dasar pemerintahan yg relatif bertenaga. Pembentukan wilayah swatantra di luar Jawa-Madura hanya dilakukan menggunakan penggabungan daerah-wilayah administratif tanpa menghiraukan wilayah-daerah otonomi lebih dahulu hayati di sana.

Akibatnya daerah-wilayah swatantra luar Jawa-Madura terseok-seok perjalanannya, bahkan di Sumatera, kabupaten-kabupaten kota akbar serta kota kecil yang seyogianya telah terbentuk dari output Undang-undang Nomor 22/1948, ternyata baru 7 tahun setelahnya terbentuk, yaitu di akhir tahun 1956. Kabupaten-kabupaten yg sudah terdapat sebelumnya setelah Indonesia merdeka tahun 1945, telah terdapat, tetapi nir berjalan karena kurang pengalaman, miskin energi pakar, dan kekeringan sumber daya keuangan sendiri.

Pembentukan wilayah otonomi pada daerah bekas NIT pula sama nasibnya menggunakan daerah pada luar Jawa-Madura, namun lebih parah karena tidak terdapat sama sekali pembentukan daerah baru. Pembentukan daerah otonomi lebih kepada pertimbangan politis, melahirkan wilayah-wilayah taraf I Aceh, Irian Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.

Pemerintah pusat mengalami kesulitan akbar dengan ide penyeragaman tersebut lantaran daerah-wilayah otonomi pada luar Jawa-Madura nir mendapatkan perlakuan adil, menimbulkan kesalahpahaman, dianaktirikan, dan diulur-ulur waktu dalam pembentukannya. Persoalan demikian nampaknya bukan merupakan sesuatu yg istimewa lantaran negara Indonesia masih belia, perlu banyak belajar. Kecemburuan antara satu wilayah menggunakan daerah lainnya akan memberikan pemahaman berharga akan bentuk desentralisasi yang lebih masuk akal pada hal proporsi kewenangan juga pengaturan batas wilayah administratif pemerintahan daerah.

Celakanya, mengapa dilema desentralisasi pada masa pemerintahan transisi RIS ke NKRI justru terulang di masa reformasi administrasi negara, tepatnya 58 tahun selesainya insiden sejarah berlalu? Mengapa terdapat stigma kesenjangan pembangunan antara pusat serta daerah? Mengapa jua, desentralisasi periode reformasi administrasi negara justru memunculkan kecurigaan wilayah akan kembalinya kekuasaan pusat terhadap daerah? Dan terakhir, mengapa juga banyak bermunculan ketidakpuasan daerah sebagai akibatnya menginginkan dirinya untuk lepas menurut NKRI? Apakah desentralisasi di masa kini , saat reformasi administrasi negara ditegakkan, lupa belajar menurut sejarah?

Desentralisasi Periode Reformasi Administrasi Negara: Lupa Belajar Dari Sejarah
Seperti sudah dijelaskan di bagian tulisan sebelumnya bahwa strategi desentralisasi di Indonesia adalah butir berdasarkan adopsi ideologi neo-liberalisme di dunia, terutama di negara-negara Amerika Latin, Afrika, Eropa Timur, serta Asia. Institusi internasional yg gencar mensosialisasikan desentralisasi merupakan World Bank dengan janji desentralisasi akan merangsang ekonomi serta demokrasi.

Di Indonesia, ideologi neo-liberal bertemu menggunakan gerakan reformasi pasca kejatuhan Orde Baru, membuat bentuk desentralisasi mirip tahun 1950an. Bedanya, titik berat desentralisasi kali ini berada pada tingkat kabupaten/kotamadya bukan di provinsi. Dapat dibayangkan bahwa pergeseran titik berat desentralisasi berdasarkan provinsi ke kabupaten/kota membawa efek dalam proses fragmentasi politis. Dampak kurang menyenangkan ini sering dipercaya menjadi konsekuensi berdasarkan taktik devide et impera atau divide and rule pemerintah sentra terhadap daerah menggunakan maksud: membangun fragmentasi administratif dan mempertahankan kontrol fiskal pada sentra.

Di titik ini, tampaknya pemerintah mengalami amnesia, lupa dalam sejarah, lantaran demikian hebatnya goncangan perkawinan antara ideologi neo-liberal menggunakan gerakan reformasi, sehingga duduk perkara-masalah tidak khas desentralisasi di masa kemudian muncul kembali dan dipercaya sebagai suatu yang unik di masa kini . Perpindahan secara cepat pola administrasi pemerintahan tersentralistis menjadi desentralisasi mengabaikan aneka dilema pada daerah, termasuk asa bertenaga buat menyeragamkan anggaran desentralisasi dimana wilayah-daerah memang sejatinya tidaklah seragam.

Di periode reformasi administrasi negara, permasalahan usang kerap muncul pada dalam aplikasi desentralisasi, terutama menguatnya tarik menarik antara wewenang sentra serta daerah. Penetapan titik berat desentralisasi dalam daerah yg dulunya bernama tingkat II atau sekarang diklaim hanya menjadi kabupaten/kota saja menyisakan beberapa kegundahan akan ketepatan pengambilan kebijakan desentralisasi pasca kejatuhan Orde Baru.

Memang ironis, bahwa upaya buat menciptakan administrasi negara yang terbaru yg misalnya diinginkan sang Max Weber, terbangun menurut kelas birokrasi rasional, bertumpu dalam aspek profesionalitas dan prestasi sebagai public servant, ternyata masih sulit buat dibangun. Sepanjang era reformasi, birokrasi terutama di wilayah malah kian terperangkap sebagai alat politik partisan. Apalagi sumber rekrutmen kepemimpinan birokrasi wilayah mulai Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, hingga Bupati/Wakil Bupati, nir terlepas menurut jaringan dukungan parpol.

Pada awalnya, Departemen Dalam Negeri menggunakan UU Nomor 22/1999 merancang devolusi kekuasaan agar pemerintah lebih dekat dengan rakyat serta memperbesar taraf transparansi. Hal ini serupa dengan UU Nomor 1/1957, dimana waktu itu pemerintah berpikiran bahwa para gubernur, bupati serta walikota nir lagi ditunjuk sentra, akan tetapi dipilih oleh parlemen wilayah. Bahkan rencananya, pemerintah daerah selanjutnya akan dipilih pribadi sang masyarakat. UU Nomor 1/1957 memperbolehkan adanya partai politik pada daerah, membuka kesempatan para pemain politik lokal buat masuk ke pada pemerintahan. Sedangkan UU Nomor 22/1999 nir menyinggung masalah partai politik daerah.

Sedikit demi sedikit UU Nomor 22/1999 memunculkan masalah antara lain adalah besarnya kesempatan terjadinya money politics, karena kepala daerah yg otonom akan leluasa memakai kekuasaannya buat korupsi serta DPRD sebagal lembaga perwakilan daerah memiliki kekuasaan mengganti kepala wilayah berdasarkan seleranya. Kedua kewenangan elit lokal ini menjadi pangkal penyakit desentralisasi pada tahun 1999.

Oleh karenanya juga, pemerintahan Presiden Megawati memandang bahwa desentralisasi dalam keadaan yang membahayakan sehingga UU Nomor 22/1999 wajib dirubah (diganti) menggunakan UU baru yg selanjutnya menjadi UU Nomor 32/2004. Malley (2004) mengungkapkan bahwa pemerintahan Megawati “nir hanya sekedar mengamanemen tapi membarui sama sekali” perundangan mengenai desentralisasi, menggunakan melakukan: pelucutan terhadap kekuasaan bupati yang dapat diberhentikan oleh pusat jika terbukti korupsi atau membahayakan keamanan serta DPRD sehingga tidak bisa membarui bupati/walikota sesuka hatinya.”

Titik berat desentralisasi pada daerah kabupaten/kota menyisakan duduk perkara diantaranya yaitu:
  • munculnya ketegangan horizontal wilayah kaya versus miskin lantaran masing-masing daerah mementingkan daerahnya sendiri serta bahkan bersaing satu sama lain dalam mengumpulkan PAD misalnya; 
  • perbedaan tajam antara kompetensi SDM pusat versus wilayah; 
  • banyaknya birokrat wilayah yg pasif menunggu instruksi atasan ketimbang berinisiatif menjalankan pekerjaannya; 
  • DPRD sebagai sangat lamban pada bekerja, terlebih lagi mereka memprioritaskan gaji sendiri buat kepentingan pengembalian dana ke kas partai dan jua memperbesar anggaran perjalanan dinas; 
  • Pemerintah daerah sebagai mesin pembelanjaan (Ray serta Good Paster, 2005); 
  • Beban keuangan daerah menurut pajak ekstra nir memperhatikan lingkungan; 
  • Tidak adanya koordinasi pada tingkat supra-regional, garis batas tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sangat kabur; 
  • Merebaknya politik bukti diri yang ditandai menggunakan menguatnya egoisme sektoral lantaran pembangunan bertumpu dalam asas dekonsentrasi serta bersifat sektoral. 
  • Peranan polisi sebaga penjaga keamanan serta ketertiban dan tentara sebagai penjaga persatuan serta kesatuan pada wilayah terabaikan. 
Desentralisasi ternyata nir membuat birokrasi pemerintahan kabupaten/kota belajar, terbukti berdasarkan banyaknya bupati/walikota yang tidak mempunyai kemampuan teknis menyusun Propeda (Program Pembangunan Daerah). Banyak diantara mereka wajib mengontrak konsultan, yang dalam akhirnya membengkakkan porto pengeluaran, buat merancang visi, misi, dan taktik wilayah sinkron menggunakan potensi, sumberdaya, dan kasus daerah. Terlebih lagi kuallitas SDM di daerah masih rendah sehingga nir sanggup mendongkrak penguatan kelembagaan daerah.

Kedua UU berbicara tentang desentralisasi yang menitikberatkan dalam wilayah kabupaten/kota menggunakan pertimbangan:
  • mendekatkan pelayanan publik pemerintah pada rakyatnya; 
  • cakupan wilayah provinsi terlalu luas dan kelembagaannya terlalu besar dalam mendorong roda ekonomi menuju pasar bebas; 
  • demokrasi bisa tumbuh lebih baik jika pemerintahannya berskala mini ; 
  • partisipasi warga sipil pada pembangunan dapat lebih aktif lantaran dekat menggunakan pemerintah serta pengusaha (good governance); 
  • daerah kabupaten/kota umumnya, walau nir semuanya, mempunyai sentra-sentra kekuatan ekonomi yang telah dikelola menggunakan baik, misalnya halnya asal daya alam, kebudayaan, serta lainnya; 
  • kesejahteraan rakyat dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah; 
  • penciptaan lapangan pekerjaan pada wilayah terutama pada bidang administrasi pemerintahan dapat menyerap angkatan kerja berasal dari putra wilayah. 
Sebaliknya apabila titik berat desentralisasi diberikan kepada provinsi, terdapat beberapa pertimbangan pemerintah sentra bahwa:
  • desentralisasi dalam daerah berskala luas akan menjauhkan kontrol sentra terhadap daerah; 
  • pusat akan kesulitan mengintervensi kebijakan provinsi yang telah demikian otonomnya sehingga memungkinkan mempertajam impian berpisah berdasarkan NKRI; 
  • pertimbangan politis bahwa provinsi akan mengalami hambatan mendistribusikan kewenangan dan kesejahteraan secara adil terhadap kabupaten/kota di bawahnya lantaran demikian luasnya cakupan kewenangan yg dimilikinya; 
  • adanya kekhawatiran tidak meratanya distribusi sumber daya manusia yg dapat mengelola wilayah karena terpusat pada provinsi; 
  • masyarakat akan dirugikan karena pemerintah provinsi akan fokus pada membagi-bagi wewenang ketimbang memperhatikan aspirasi masyarakat serta pertumbuhan demokrasi pada tiap bagian penyusun provinsi. 
Secara garis besar , reformasi administrasi negara di dalam desentralisasi pemerintahan, ternyata belum membawa impak positif bagi warga , memperpendek rantai wewenang antara sentra dan daerah. Kontribusi desentralisasi dalam mensejahterakan warga jua nir kunjung terealisasi.

Memang penitikberatan desentralisasi dalam kabupaten/kota masih belum mengembirakan. Banyak sekali masalah yang harus dibenahi beserta-sama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sendiri. Desentralisasi agaknya masih mengecewakan, karena tidak serta merta mengakibatkan demokratisasi, good governance, dan penguatan warga sipil di tingkat daerah. 

Namun demikian, desentralisasi bukanlah proses irreversible, ingat proses yg tidak dapat dikembalikan, bukan pergeseran wewenang antara pusat dan wilayah. Sehingga, supaya desentralisasi sukses, hal yang perlu dilakukan adalah menata balik kelembagaan desentralisasi bersama wewenang menggunakan memperhatikan aspirasi rakyat bukan semata-mata kepentingan pemerintah saja.

Comments