RINGKASAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Para tutor dan masyarakat belajar sekalian, kita tentunya telah mengetahui bahwa pendidikan kita menggunakan sistem eksklusif yangdiatur dalam undang-udang sistem pendidikan nasional kita. Nah..disini kita akan coba mengenal serta membahas bagaimana sistem pendidikan nasional itu. Berikut ini kompendium serta bagaimana sistem pendidikan nasional itu; Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Fungsi Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta menciptakan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yg bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi insan yg beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, serta sebagai rakyat negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan terdiri atas:
1. Pendidikan formal,
2. Nonformal, dan
3. Informal.
Jalur Pendidikan Formal
Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1. Pendidikan dasar,
2. Pendidikan menengah,
3. Serta pendidikan tinggi.
Jenis pendidikan mencakup:
1. Pendidikan umum,
2. Kejuruan,
3. Akademik,
4. Profesi,
5. Vokasi,
6. Keagamaan, dan
7. Spesifik.
Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Setiap rakyat negara yg berusia tujuh hingga menggunakan 5 belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengklaim terselenggaranya harus belajar bagi setiap masyarakat negara yang berusia 6 (enam) tahun dalam jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya .
Pendidikan dasar berbentuk:
1. Sekolah Dasar (SD) serta Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yg sederajat.
Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah adalah lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas:
1. Pendidikan menengah generik, dan
2. Pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1. SMA (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yg meliputi program pendidikan diploma, sarjana, magister, seorang ahli, serta doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. Akademi,
2. Politeknik,
3. Sekolah tinggi,
4. Institut, atau
5. Universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, serta pengabdian kepada rakyat.
Perguruan tinggi bisa menyelenggarakan acara akademik, profesi, dan/atau vokasi.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga rakyat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi menjadi pengganti, penambah, serta/atau pelengkap pendidikan formal pada rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi menyebarkan potensi siswa dengan fokus dalam penguasaan pengetahuan serta keterampilan fungsional dan pengembangan perilaku serta kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi:
1. Pendidikan kecakapan hayati,
2. Pendidikan anak usia dini,
3. Pendidikan kepemudaan,
4. Pendidikan pemberdayaan perempuan ,
5. Pendidikan keaksaraan,
6. Pendidikan keterampilan serta pembinaan kerja,
7. Pendidikan kesetaraan, serta
8. Pendidikan lain yg ditujukan buat membuatkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1. Forum kursus,
2. Forum training,
3. Kelompok belajar,
4. Sentra kegiatan belajar warga , dan
5. Majelis taklim, dan satuan pendidikan yg sejenis.
Kursus serta pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, serta perilaku buat membuatkan diri, berbagi profesi, bekerja, usaha berdikari, serta/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal bisa dihargai setara dengan output acara pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan sang lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu dalam standar nasional pendidikan.
Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan sang keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara berdikari.
Hasil pendidikan informal diakui sama menggunakan pendidikan formal serta nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan baku nasional pendidikan.
Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini bisa diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, serta/atau informal.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1. TK (TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1. Kelompok Bermain (KB),
2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan famili atau pendidikan yg diselenggarakan sang lingkungan.
Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan sang departemen atau forum pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan pada pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal serta nonformal.
Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan diselenggarakan sang Pemerintah serta/atau grup warga dari pemeluk agama, sinkron dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk:
1. Pendidikan diniyah,
2. Pesantren,
3. Pasraman,
4. Pabhaja samanera, serta bentuk lain yg homogen.
Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jeda jauh bisa diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jeda jauh berfungsi menaruh layanan pendidikan kepada grup warga yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada berbagai bentuk, modus, serta cakupan yang didukung sang wahana dan layanan belajar serta sistem evaluasi yang mengklaim mutu lulusan sinkron menggunakan standar nasional pendidikan.
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan khusus adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki taraf kesulitan pada mengikuti proses pembelajaran lantaran kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, serta/atau memiliki potensi kecerdasan serta talenta istimewa.
Pendidikan layanan spesifik adalah pendidikan bagi peserta didik pada daerah terpencil atau terbelakang, rakyat istiadat yg terpencil, serta/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu berdasarkan segi ekonomi.
**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik dalam satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar Istilah
Pendidikan adalah Usaha sadar serta terpola buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diharapkan dirinya, rakyat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional merupakan Pendidikan yang menurut Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar dalam nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia serta tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sistem pendidikan nasional adalah Keseluruhan komponen pendidikan yg saling terkait secara terpadu buat mencapai tujuan pendidikan nasional.
Peserta didik adalah Anggota masyarakat yg berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia dalam jalur, jenjang, dan jenis pendidikan eksklusif.
Jalur pendidikan adalah Wahana yg dilalui peserta didik buat berbagi potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Jenjang pendidikan merupakan Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan taraf perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, serta kemampuan yg dikembangkan.
Jenis pendidikan merupakan Kelompok yang didasarkan dalam kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
Satuan pendidikan merupakan Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dalam jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang serta jenis pendidikan.
Pendidikan formal merupakan Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal merupakan Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yg bisa dilaksanakan secara terstruktur serta berjenjang.
Pendidikan informal adalah Jalur pendidikan famili serta lingkungan.
Pendidikan anak usia dini adalah Suatu upaya pembinaan yg ditujukan kepada anak semenjak lahir sampai dengan usia enam tahun yg dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan buat membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani agar anak mempunyai kesiapan pada memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan jarak jauh merupakan Pendidikan yg peserta didiknya terpisah dari pendidik serta pembelajarannya menggunakan banyak sekali asal belajar melalui teknologi komunikasi, keterangan, serta media lain.
Standar nasional pendidikan merupakan Kriteria minimal mengenai sistem pendidikan di seluruh daerah aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wajib belajar adalah Program pendidikan minimal yang harus diikuti sang Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah serta Pemda.
Warga Negara merupakan Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga pada luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat adalah Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yg mempunyai perhatian serta peranan pada bidang pendidikan.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah merupakan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
Menteri merupakan Menteri yg bertanggung jawab pada bidang pendidikan nasional.
Demikianlah ringkasan tentang sistem pendidikan nasional Indonesia, semoga berguna.
Sumber: Dirangkum menurut berbagai sumber, khususnya kitab Undang-undang Sisdiknas no.20 tahun 2003

REFLEKSI SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

Refleksi Sekolah Inklusi pada Indonesia
Berbicara tentang sekolah Inklusi, aku teringat artikel yg ditulis Prof. Dr. Frieda Mangunsong, M.ed, Psi berjudul “Gambaran Emosional Anak Berkebutuhan Khusus.” Dalam artikel yg sebenarnya adalah proposal penelitian itu, Prof. Frieda menyoroti perkembangan dunia pendidikan belakangan terakhir. Dalam pandangannya, waktu ini semakin familiar wacana anak berkebutuhan khusus atau yang seringkali dianggap menggunakan ABK. “Berbagai artikel dan tayangan pada media massa mengangkat topik mengenai autism, tunagrahita, serta banyak sekali bentuk kebutuhan spesifik lainnya. Perhatian berdasarkan pemerintah pun tampak berdasarkan layanan pendidikan khusus yg disediakan bagi mereka, sebagaimana dijelaskan pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Dirjen Manajmen Dikdasmen, 2006)” tulis Prof. Frieda pada artikelnya itu.

Saat ini, menurut Prof. Frieda, diperkirakan sepuluh % dari populasi anak di global ini merupakan anak berkebutuhan khusus. “Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia pun terus meningkat, meski tidak bisa dipastikan. Dinas Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional mencatat terdapat 324.000 orang ABK di Indonesia. Prevalensinya yg tinggi dan kesadaran masyarakat yg semakin meningkat mengenai isu ini membuat ABK semakin mendapatkan perhatian,” jelasnya dalam artikel tersebut.

Pada faktanya pada lapangan, kita mulai menjumpai—meski memang belum pada seluruh wilayah mampu kita temui—adanya institusi-institusi pendidikan yang mulai menyediakan layanan pendidikan spesifik buat anak berkebutuhan khusus. Seperti yang terdapat di Sleman, wilayah dimana saya bertempat tinggal pada Yogyakarta, pada sana terdapat sekolah yang bernama Sekolah Dasar Muhammadiyah Gondanglegi, Sleman. Sekolah ini adalah sekolah yang jua menerapkan system pendidikan inklusi. Kemudian di Surabaya, ada namanya SDN Klampis 1/246 Rintisan Inklusi, yg terletak pada Jalan AR. Hakim 99 C Kec. Sukolilo Surabaya. Sama, sekolah ini juga mulai merintis pada ranah pendidikan inklusi. Namun demikian, nir menampik informasi jua bahwa sekolah inklusi ini memang mulai berkembang di Jakarta tahun 2003 lalu. Di Surabaya saja baru mulai tahun pelajaran 2007-2008. Itu pun baru dua sekolah yg ditunjuk menjadi sekolah inklusi, yaitu SMK 8 serta Sekolah Menengah Atas 10 Surabaya. Dan saat ini, pihak institusi sekolah baru sebatas mengakomodir hadirnya siswa berkebutuhan spesifik, tetapi belum didukung infrastruktur serta SDM atau pengajar yg memadai.

Mungkin terdapat benarnya bahwa sekolah inklusi tidak sama menggunakan Sekolah Luar Biasa (SLB). Di SLB anak anak diberi fasilitas sinkron menggunakan keterbatasan mereka, mulai berdasarkan guru, cara berkomunikasi, konstruksi gedung diubahsuaikan. Tetapi di sekolah inklusi mereka tak sepenuhnya menerima seluruh itu, lantaran mereka berkumpul menggunakan anak-anak normal secara fisik, tentunya mereka harus mengikuti sekaligus menyesuaikan mulai dari guru, cara berkomunikasi, bahkan fasilitas sekolah yang memang ada beberapa yg belum terpenuhi buat mereka. Kondisi itu bisa jadi membuat mereka semakin mandiri buat nanti hayati pada warga . Tetapi demikian, memang terdapat poly jenis sekolah inklusi. 

Dalam makalah berjudul “Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)” yg disampaikan pada acara Festival Seminar & Pameran Pendidikan di Hotel Kartika Chandra - Jakarta, dua Agustus 2006 lalu, Prof. Frieda menaruh definsi pendidikan Inklusi yg menarik—setidaknya demikian bagi saya—berdasarkan Western Regional Resource Center (2002). Yaitu inklusi didefinisikan sebagai penyedia instruksi/pengajaran yg dibuat secara spesifik serta menyediakan dukungan buat anak didik-anak didik dengan kebutuhan khusus dalam konteks setting pendidikan regular. Definisi ini, bagi saya, mengambarkan adanya hasrat seseorang pengajar atau institusi pendidikan yang nir membeda-bedakan kemampuan yang dimiliki oleh setiap murid. Sekolah inklusi, bila mengacu dalam definisi tersebut, maka pada pandangan aku akan menaruh apa yang diinginkan dan mampu dikembangkan sang masing-masing skill yg dimiliki siswa. Pembelajaran seperti ini, secara otomatis, akan sangat memperhatikan perbedaan individu yang dimiliki oleh setiap murid. 

Adapun tugas dari seseorang guru atau pendidik ke depannya nanti, dalam pandangan saya, merupakan mereka akan bertanggung jawab buat mengupayakan bantuan pada menyediakan serta menaruh layanan pendidikan pada seluruh anak (tanpa terkecuali) dari otoritas sekolah, masyarakat, keluarga, forum pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin rakyat, dan lain-lain. Disamping itu, peserta didik jua wajib sanggup dijamin buat permanen sanggup memperoleh kesempatan belajar yang sama sesuai dengan tempo dan kemampuan masing-masing. Dengan adanya sekolah inklusi seperti ini, diharapkan mampu menghapus dominasi sistem pendidikan yg tertentu. Karena dampaknya tak hanya dirasakan sang anak berkebutuhan khusus saja tetapi warga loka mereka tinggal pun sanggup terbebani karena ketidakmampuan mereka pada bermasyarakat. 

Dengan sekolah inklusi misalnya ini, mereka akan mendapatkan pembelajaran riil bersosialisasi dengan anak-anak normal. Mereka nir lagi dilihat sebelah mata sang masyarakat. Terlebih bila di sekolah inklusi tersebut mereka akan mampu berprestasi melebihi anak didik lainnya. Hal tersebut akan mengokohkan bahwa mereka bisa sejajar menggunakan anak-anak lainnya. Besar asa bangsa akan adanya pendidikan yg berorientasi pada based on ability’s student seperti sekolah inklusi ini. Majulah terus, pendidikan Indonesia! 

REFLEKSI SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

Refleksi Sekolah Inklusi pada Indonesia
Berbicara tentang sekolah Inklusi, aku teringat artikel yang ditulis Prof. Dr. Frieda Mangunsong, M.ed, Psi berjudul “Gambaran Emosional Anak Berkebutuhan Khusus.” Dalam artikel yg sebenarnya adalah proposal penelitian itu, Prof. Frieda menyoroti perkembangan global pendidikan belakangan terakhir. Dalam pandangannya, ketika ini semakin familiar tentang anak berkebutuhan khusus atau yg tak jarang diklaim dengan ABK. “Berbagai artikel serta tayangan pada media massa mengangkat topik mengenai autism, tunagrahita, serta banyak sekali bentuk kebutuhan khusus lainnya. Perhatian menurut pemerintah pun tampak berdasarkan layanan pendidikan khusus yang disediakan bagi mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Dirjen Manajmen Dikdasmen, 2006)” tulis Prof. Frieda dalam artikelnya itu.

Saat ini, menurut Prof. Frieda, diperkirakan sepuluh % dari populasi anak pada dunia ini adalah anak berkebutuhan khusus. “Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia pun terus semakin tinggi, meski tidak dapat dipastikan. Dinas Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional mencatat terdapat 324.000 orang ABK di Indonesia. Prevalensinya yg tinggi dan pencerahan masyarakat yg semakin semakin tinggi mengenai informasi ini membuat ABK semakin menerima perhatian,” jelasnya dalam artikel tadi.

Pada faktanya di lapangan, kita mulai menjumpai—meski memang belum pada seluruh daerah mampu kita temui—adanya institusi-institusi pendidikan yg mulai menyediakan layanan pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan spesifik. Seperti yg terdapat pada Sleman, daerah dimana saya berdomisili pada Yogyakarta, di sana terdapat sekolah yang bernama SD Muhammadiyah Gondanglegi, Sleman. Sekolah ini merupakan sekolah yg juga menerapkan system pendidikan inklusi. Kemudian pada Surabaya, ada namanya Sekolah Dasar Negeri Klampis 1/246 Rintisan Inklusi, yg terletak pada Jalan AR. Hakim 99 C Kec. Sukolilo Surabaya. Sama, sekolah ini juga mulai merintis dalam ranah pendidikan inklusi. Tetapi demikian, tidak menampik fakta juga bahwa sekolah inklusi ini memang mulai berkembang di Jakarta tahun 2003 kemudian. Di Surabaya saja baru mulai tahun pelajaran 2007-2008. Itu pun baru 2 sekolah yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi, yaitu Sekolah Menengah Kejuruan 8 dan Sekolah Menengah Atas 10 Surabaya. Dan waktu ini, pihak institusi sekolah baru sebatas mengakomodir hadirnya siswa berkebutuhan khusus, namun belum didukung infrastruktur serta SDM atau pengajar yg memadai.

Mungkin terdapat benarnya bahwa sekolah inklusi tidak selaras dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Di SLB anak anak diberi fasilitas sinkron menggunakan keterbatasan mereka, mulai menurut guru, cara berkomunikasi, konstruksi gedung disesuaikan. Namun pada sekolah inklusi mereka tidak sepenuhnya menerima seluruh itu, karena mereka berkumpul dengan anak-anak normal secara fisik, tentunya mereka harus mengikuti sekaligus menyesuaikan mulai dari guru, cara berkomunikasi, bahkan fasilitas sekolah yg memang terdapat beberapa yang belum terpenuhi buat mereka. Kondisi itu bisa jadi membuat mereka semakin mandiri untuk nanti hayati pada warga . Tetapi demikian, memang ada banyak jenis sekolah inklusi. 

Dalam makalah berjudul “Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)” yg disampaikan dalam program Festival Seminar & Pameran Pendidikan di Hotel Kartika Chandra - Jakarta, dua Agustus 2006 lalu, Prof. Frieda memberikan definsi pendidikan Inklusi yg menarik—setidaknya demikian bagi saya—dari Western Regional Resource Center (2002). Yaitu inklusi didefinisikan menjadi penyedia instruksi/pengajaran yg dibuat secara spesifik dan menyediakan dukungan buat siswa-anak didik menggunakan kebutuhan spesifik dalam konteks setting pendidikan regular. Definisi ini, bagi aku , membuktikan adanya asa seorang pengajar atau institusi pendidikan yang nir membeda-bedakan kemampuan yang dimiliki sang setiap siswa. Sekolah inklusi, bila mengacu dalam definisi tadi, maka dalam pandangan aku akan memberikan apa yg diinginkan dan sanggup dikembangkan sang masing-masing skill yg dimiliki siswa. Pembelajaran misalnya ini, secara otomatis, akan sangat memperhatikan disparitas individu yg dimiliki oleh setiap murid. 

Adapun tugas menurut seseorang pengajar atau pendidik ke depannya nanti, dalam pandangan aku , merupakan mereka akan bertanggung jawab buat mengupayakan bantuan pada menyediakan dan menaruh layanan pendidikan pada seluruh anak (tanpa terkecuali) berdasarkan otoritas sekolah, warga , keluarga, forum pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin rakyat, dan lain-lain. Disamping itu, siswa juga harus mampu dijamin buat permanen mampu memperoleh kesempatan belajar yg sama sesuai dengan tempo dan kemampuan masing-masing. Dengan adanya sekolah inklusi seperti ini, diharapkan mampu menghapus dominasi sistem pendidikan yg eksklusif. Karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh anak berkebutuhan khusus saja tetapi masyarakat tempat mereka tinggal pun sanggup terbebani karena ketidakmampuan mereka pada bermasyarakat. 

Dengan sekolah inklusi misalnya ini, mereka akan mendapatkan pembelajaran riil bersosialisasi dengan anak-anak normal. Mereka tidak lagi dilihat sebelah mata oleh masyarakat. Terlebih apabila pada sekolah inklusi tadi mereka akan bisa berprestasi melebihi anak didik lainnya. Hal tersebut akan mengokohkan bahwa mereka sanggup sejajar menggunakan anak-anak lainnya. Besar harapan bangsa akan adanya pendidikan yang berorientasi dalam based on ability’s student misalnya sekolah inklusi ini. Majulah terus, pendidikan Indonesia! 

PENGEMBANGAN DAN INOVASI KURIKULUM

Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum
Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam semua aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka pada penyusunan kurikulum tidak sanggup dilakukan tanpa memakai landasan yang kokoh serta bertenaga.

Landasan pengembangan kurikulum nir hanya diharapkan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yang tak jarang diklaim pula menjadi kurikulum ideal, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan serta para pengajar dan pihak-pihak lain yang terkait menggunakan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, menjadi bahan untuk dijadikan instrumen dalam melakukan pelatihan terhadap implementasi kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dibutuhkan aneka macam landasan yg kuat supaya mampu dijadikan dasar pijakan pada melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sebagai akibatnya dapat memfasilitasi tercapainya target pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif serta efisien.

Landasan Pengembangan Kurikulum
Suatu bangunan kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen evaluasi, maka supaya setiap komponen mampu menjalankan kegunaannya secara sempurna serta bersinergi, maka perlu ditopang sang sejumlah landasan yaitu landasan filosofis menjadi landasan primer, rakyat serta kebudayaan, individu (peserta didik), serta teori-teori belajar (psikologis).

Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum ialah rumusan yang dihasilkan dari hasil berpikir secara mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina dan membuatkan kurikulum baik pada bentuk kurikulum menjadi planning (tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan pada sekolah.

1. Filsafat Pendidikan
Filsafat berupaya menyelidiki aneka macam permasalahan yang dihadapai manusia, termasuk perkara pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu lain menjadi penunjang, pada antaranya filsafat. Filsafat pendidikan dalam dasarnya merupakan penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis buat memecahkan masalah-masalah pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), masih ada tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan dalam umumnya serta pendidikan di Indonesia dalam khususnya, yaitu : filsafat idealisme, realisme serta filsafat fragmatisme.

2. Filsafat serta Tujuan Pendidikan
Bidang telaahan filsafat dalam awalnya mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap masalah ini berupaya buat menelusuri hakikat insan, sehingga muncul beberapa asumsi mengenai insan. Misalnya insan merupakan makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tadi filsafat mencoba mempelajari mengenai tiga utama problem, yaitu hakikat sahih-keliru (nalar), hakikat baik-tidak baik (etika), dan hakikat latif-buruk (estetika). Oleh karenanya maka ketiga pandangan tadi sangat diharapkan pada pendidikan. Terutama pada memilih arah serta tujuan pendidikan. Artinya ke mana pendidikan akan dibawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan etos insan atau tentang hidup serta eksistensinya.

Filsafat akan memilih arah kemana peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yg melandasi serta membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karenanya, filsafat yang dianut sang suatu bangsa atau kelompok rakyat eksklusif atau bahkan yg dianut sang perorangan akan sangat mempengaruhi terhadap tujuan pendidikan yg ingin dicapai.

Tujuan pendidikan nasional pada Indonesia tentu saja bersumber dalam pandangan dan cara hidup insan Indonesia, yakni Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia wajib membawa siswa agar sebagai insan yg berPancasila. Dengan istilah lain, landasan dan arah yg ingin diwujudkan sang pendidikan di Indonesia merupakan yg sesuai menggunakan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri.

Sebagai akibat berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila yg dianut bangsa Indonesia, dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003, yaitu : Pendidikan Nasional menurut Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan menciptakan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa agar menjadimanusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan sebagai rakyat yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 2 dan tiga). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, tersurat serta tersirat nilai-nilai yang terkandung pada rumusan Pancasila.

Melalui rumusan tujuan pendidikan nasional pada atas, telah jelas tergambar bahwa peserta didikyang ingin dihasilkan sang sistem pendidikan kita antara lain adalah untuk melahirkan insan yang beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal dalam syarat yg harmonis, selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai pandangan hidup insan pada hubunganya dengan pendidikan dan pembelajaran.

3. Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan dalam dasarnya adalah penerapan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat buat memecahkan permasalahn pendidikan. Dengan demikian tentu saja bahwa filsafat memiliki manfaat serta memberikan kontribusi yg akbar terutama pada menaruh kajian sistematis berkenaan menggunakan kepentingan pendidikan. 

Menurut Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
  • Filsafat pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui pendidikan pada sekolah? Sekolah merupakan suatu lembaga yg didirikan buat mendidik anak-anak ke arah yg dicita-citakan sang warga , bangsa serta negara.
  • Dengan adanya tujuan pendidikan yg diwarnai sang filsafat yg dianut, kita mendapat hamparan yg jelas mengenai hasil yang harus dicapai.
  • Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yg bulat kepada segala bisnis pendidikan.
  • Tujuan pendidikan memungkinkan si penduduk menilai usahanya, sampai manakah tujuan itu tercapai.
  • Tujuan pendidikan menaruh motivasi atau dorongan bagi aktivitas-lkegiatan pendidikan.
4. Kurikulum serta Filsafat Pendidikan
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh filsafat atau etos suatu bangsa, maka tentu saja kurikulum yang dikembangkan pula akan mencerminkan falsafah/etos yg dianut oleh bangsa tersebut oleh karenanya masih ada interaksi yang sangat erat antara kurikulum pendidikan pada suatu negara menggunakan filsafat negara yang dianutnya. Sebagai contoh, Indonesia dalam masa penjajahan Belanda, kurikulum yg dianut dalam masa itu sangat berorientasi dalam kepentingan politik Belanda. Demikian juga dalam ketika negara kita dijajah Jepang, maka orientasi kurikulum berpindah yaitu diadaptasi dengan kepentingan dan sistem nilai yang dianut sang negara Matahari Terbit itu. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, dan secara bulat dan utuh menggunakan pancasila menjadi dasar dan falsafah dalam berbangsa serta bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Pengembangan kurikulum walaupun pada termin awal sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi negara, tetapi tidak berarti bahwa kurikulum bersifat statis, melainkan senantiasa memerluka pengembangan, pembaharuan serta penyempurnaan diadaptasi menggunakan kebutuhan dan tuntutan dan perkembangan zaman yang senantiasa cepat berubah.

Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologi pada pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yg dilakukan dapat menyesuaikan menurut segi materi atau bahan yang wajib disampaikan, penyesuaian menurut segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian menurut unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.

1. Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Anak sejak dilahirkan telah menunjukkan keunikan-keunikan, misalnya pernyataan dirinya pada bentuk tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa sebenarnya semenjak lahir anak sudah mempunyai potensi buat berkembang. Bagi genre yang sangat percaya dengan syarat tersebut acapkali menduga anak menjadi orang dewasa pada bentuk kecil. J.J.rousseau, seseorang ahli pendidikan bangsa Perancis, termasuk yg fanatik berpandangan misalnya itu. Dewasa dalam bentuk mini mengandung makna bahwa anak itu belum sepenuhya memiliki potensi yg diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap lingkungannya, ia masih memerlukan bantuan buat berkembang ke arah kedewasaan yg sempurna, Rousseau memberi tekanan kepada kebebasan berkembang secara mulus sebagai orang dewasa yg diharapkan.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa perkembangan anak itu merupakan output berdasarkan dampak lingkungan. Anak dipercaya menjadi kertas putih, pada mana orang-orang pada sekelilingnya bisa bebas menulis kertas tadi. Pandangan ini bertentangan menggunakan pandangan pada atas, pada mana justru aspek-aspek di luar anak/lingkungannya lebih poly mempengaruhi perkembangan anak sebagai individu yang dewasa. Pandangan ini tak jarang dianggap teori Tabularasa dengan tokohnya yaitu John Locke.

Selain ke 2 pandangan tersebut, masih ada pandangan yg menjelaskan bahwa perkembangan anak itu merupakan hasil formasi antara pembawaan serta lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat insan yg mempunyai potensi sejak lahir, namun potensi ini akan berkembang sebagai baik dan paripurna berkat efek lingkungan. Aliran ini dianggap aliran konvergensi menggunakan tokohnya yaitu William Stern. Pandangan yg terakhir ini dikembangkan lagi sang Havighurst dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yg dimaksud adalah tugas yg secara konkret harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sinkron menggunakan taraf/taraf perkembangan yg dituntut sang lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu tadi akan mengalami perkara.

Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik serta beroperasi secara kumulatif menurut yang sederhana menuju ke arah yg lebih kompleks. Namun demikian, objek penelitian yg dilakukan sang Havighurst adalah anak-anak Amerika, jadi kebenarannya masih perlu diteliti dan dikaji menggunakan cermat disesuaikan dengan anak-anak Indonesia yang memiliki syarat lingkungan yang berbeda. Pandangan tentang anak sebagai makhluk yg unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak adalah langsung tersendiri, memiliki disparitas disamping persamaannya. 

Implikasi menurut hal tadi terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
  • Setiap anak diberi kesempatan buat berkembang sesuai dengan talenta, minat dan kebutuhannya.
  • Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya generik (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan juga pelajaran pilihan yang sesuai menggunakan minat anak.
  • Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan jua menyediakan materi ajar yang bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat pada bidang akademik diberi kesempatan buat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
  • Kurikulum memuat tujuan-tujuan yg mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan holistik pribadi yg utuh lahir serta batin.
Implikasi lain berdasarkan pengetahuan mengenai anak terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) bisa diuraikan menjadi berikut :
a. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan Stingkah laku peserta didik.
b. Bahan/materi yang diberikan harus sesuai menggunakan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tadi mudah diterima sang anak.
c. Strategi belajar mengajar yang dipakai harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
d. Media yang digunakan senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
e. Sistem penilaian berpadu pada satu kesatuan yg menyekuruh serta berkesinambungan menurut satu termin ke tahap yg lainnya serta dijalankan secara terus menerus.

2. Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar adalah suatu cabang bagaimana individu belajar. Belajar bisa diartikan menjadi perubahan konduite yg terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan konduite baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi lantaran prosespengalaman dapat mengkategorikan menjadi konduite belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara naluri atau terjadi lantaran kematangan, atau konduite yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk belajar. Mengetahui tentang psikologi/teori belajar adalah bekal bagi para guru dalam tugas pokoknya yaitu pembelajaran anak.

Psikologi atau teori belajar yg berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke pada tiga rumpun, yaitu : Teori Disiplin Mental atau Teori Daya (Faculty Theory), Behaviorisme, serta Organismik atau kognitif Gestalt Field.

1. Menurut Teori Daya (Disiplin Mental)
Menurut teori ini, sejak kelahirannya anak/individu telah memiliki otensi-potensi atau daya-daya tertentu (faculties) yg masing-masing mempunyai fungsi eksklusif, seperti potensi/daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan perkara, serta daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih supaya dapat berfungsi dengan baik. Daya-daya yang sudah terlatih dapat dipindahkan pada pembentukan daya-daya lain. Pemindahan (transfer) ini absolut dilakukan melalui latihan (drill), karenanya pengertian mengajar menurut teori ini merupakan melatih siswa pada daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan serta latihan.

2. Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini meliputi tiga teori, yaitu koneksionisme atau teori asosiasi, teori kondisioning, serta teori reinforcement (operant conditioning). Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan sang lingkungan (famili, sekolah, rakyat). Teori ini nir mengakui sesuatu yg sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yg bisa ditinjau serta diamati. Teori Asosiasi merupakan teori yang awal dari rumpun Behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hokum stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar adalah upaya buat membangun hubungan stimulus-respon sebesar-banyaknya.

3. Teori Organismik (Gestalt)
Teori ini mengacu pada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, holistik bukan gugusan menurut bagian-bagian. Manusia dianggap menjadi makhluk organism yang melakukan interaksi timbale kembali menggunakan lingkungan secara keseluruhan, interaksi ini dijalin sang stimulus serta respon. Menurut teori ini, Stimulus yg hadir itu diseleksi dari tujuannya, kemudian individu melakukan hubungan dengannya dan seterusnya terjadi perbuatan belajar. Disini peran pengajar merupakan sebagai pembimbing bukan penyampai pengetahuan, anak didik berperan sebagai pengelola bahan pelajaran.

Belajar dari teori ini bukanlah menghapal akan namun memecahkan masalah, dan metoda belajar yang dipakai adalah metoda ilmiah menggunakan cara anak dihadapkan pada berbagai konflik, merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang diperlukan buat memecahkan masalah, menguji hipotesis yg telah dirumuskan, dan pada akhirnya para anak didik dibimbing buat menarik konklusi-konklusi. Teori ini banyak menghipnotis praktek pedagogi pada sekolah lantaran memiliki prinsip menjadi berikut :
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menyangkut kekuatan-kekuatan sosial pada masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang serta selalu berubah-ubah sinkron menggunakan perkembangan zaman. Kekuatan itu bisa berupa kekuatan yg konkret maupun yg potensial, yang berpengaruh dalam perkembangan kebudayaan seirama menggunakan dinamika warga .

Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
1. Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal norma, hasrat, sikap, pengetahuan, keterampilan, serta lain sebagainya.
2. Kurikulum pada suatu rakyat dalam dasarnya merupakan refleksi berdasarkan cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-norma.
3. Seluruh nilai yg sudah disepakati warga dapat pula diklaim kebudayaan. Kebudayaan adalah output berdasarkan cipta, rasa, karsa manusia yang diwujudkan pada 3 tanda-tanda, yaitu:Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, serta lain-lain.kegiatan, yaitu tindakan berpola berdasarkan insan dalam bermasyarakat.benda output karya manusia.

Masyarakat serta Kurikulum
Mayarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke pada gerombolan -kelompok tidak sinkron. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan kata masyarakat yang memiliki arti suatu gerombolan individu yang terorganisir yg berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang tidak sinkron menggunakan kelompok atau rakyat lainnya. Tiap masyarakat memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, menggunakan demikian yg membedakan masyarakat yang satu menggunakan masyarakat lainnya merupakan kebudayaan. Hal ini memiliki implikasi bahwa apa yg sebagai keyakinan pemikiran seorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung pada kebudayaan di mana dia dibesarkan..

Perubahan sosial budaya pada suatu masyarakat akan mengganti juga kebutuhan warga . Kebutuhan masyarakat jua dipenuhi oleh kondisi dari warga itu sendiri. Adanya perbedaan antara warga satu menggunakan warga lainnya sebagian akbar ditimbulkan oleh kualitas individu-individu yg sebagai anggota rakyat tadi. Di sisi lain kebutuhan warga dalam umumnya jua berpengaruh terhadap individu-individu sebagai menjadi anggota rakyat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja nir akan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat terkini yg bersifat teknologis serta mengglobal.

Pengembangan kurikulum jua wajib ditekankan dalam pengembangan individu yang meliputi keterkaitannya menggunakan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan asal daya yang meliputi kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah krusial memperhatikan faktor kebutuhan warga pada pengembangan kurikulum. Perkembangan warga menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan rakyat maka dibutuhkan rancangan berupa kurikulum yg landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.

Landasan Lain
1. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pendidikan merupakan bisnis menyiapkan subjek didik (murid) menghadapi lingkungan hidup yg mengalami perubahan yg semakin pesat. Pendidikan adalah bisnis sadar buat menyiapkan siswa melalui kegiatan bimbingan, pengajaran serta atau latihan bagi kiprahnya pada masa yg akan datang. Teknologi adalah pelaksanaan menurut ilmu pengetahuan ilmiah serta ilmu-ilmu lainnya buat memecahkan masalah-perkara mudah. Ilmu dan teknologi tak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring lajunya perkembangan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan serta kemampuan- kemampuan tadi, maka ada hal-hal yg dijadikan menjadi dasar, yakni:
  • Pembangunan IPTEK wajib berada dalam keseimbangan yg dinamis dan efektif menggunakan pelatihan asal daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan dan penelitian serta pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
  • Pembangunan IPTEK tertuju pada peningkatan kualitas, yakni buat menaikkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
  • Pembangunan IPTEK harus selaras (relevan) menggunakan nilai-nilai kepercayaan , nilai luhur budaya bangsa, syarat sosial budaya, dan lingkungan hidup.
  • Pembangunan IPTEK wajib berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efesiensi dan efektivitas penelitian serta pengembangan yang lebih tinggi.
  • Pembangunan IPTEK dari dalam asas pemanfaatannya yg menaruh nilai tambah serta menaruh pemecahan kasus konkret dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dilaksanakan oleh banyak sekali pihak, yakni:
  • Pemerintah, yg menyebarkan serta memanfaatkan IPTEK buat menunjang pembangunan pada segala bidang.
  • Masyarakat, yang memanfaatkan IPTEK itu pengembangan warga dan mengembangakannya secara swadaya.
  • Akademisi terutama di lingkungan perguruan tinggi, membuatkan IPTEK buat disumbangkan pada pembangunan.
  • Pengusaha, buat mempertinggi produktivitas
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan murid menghadapi masa depan serta perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan serta teknologi.

2. Landasan Historis
Landasan Historis berkaitan menggunakan formulasi program-acara sekolah pada ketika lampau yg masih hayati hingga kini , atau yg pengaruhnya masih akbar pada kurikulum waktu ini (Johnson, 1968). Oleh lantaran kurikulum selalu perlu diadaptasi menggunakan kebutuhan-kebutuhan serta perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada suatu saat eksklusif diadakan buat memenuhi tuntutan dan perkembangan dalam ketika tertentu.

Kurikulum yg dikembangkan dalam ketika ini, perlu mempertimbangkan apa yang sudah dilakukan dan apa yg telah kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Begitu jua selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan kurikulum yang yang terdapat kini ketika membuatkan kurikulum di masa depan, karena apa yg telah kita lakukan kini akan berpengaruh terhadap kurikulum yg akan dikembangkan di masa depan.

3. Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya adalah produk yuridis yg ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh forum legislatif yg mestinya mendasarkan pada konstitusi/Undang-Undang Dasar. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini adalah UUD 1945 (pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan misalnya: UU mengenai pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan berdasarkan Dirjen Dikti, peraturan-peraturan wilayah serta sebagainya.

PENGEMBANGAN DAN INOVASI KURIKULUM

Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum
Kurikulum menjadi sebuah rancangan pendidikan memiliki kedudukan yg sangat strategis pada semua aspek aktivitas pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum pada pada pendidikan dan pada perkembangan kehidupan insan, maka pada penyusunan kurikulum tidak sanggup dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan bertenaga.

Landasan pengembangan kurikulum nir hanya dibutuhkan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yg sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan namun terutama harus dipahami serta dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan dan para pengajar serta pihak-pihak lain yang terkait menggunakan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, sebagai bahan buat dijadikan instrumen dalam melakukan pelatihan terhadap implementasi kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Penyusunan serta pengembangan kurikulum nir bisa dilakukan secara asal-asalan. Dibutuhkan banyak sekali landasan yg bertenaga agar sanggup dijadikan dasar pijakan pada melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga bisa memfasilitasi tercapainya sasaran pendidikan serta pembelajaran secara lebih efektif serta efisien.

Landasan Pengembangan Kurikulum
Suatu bangunan kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen evaluasi, maka supaya setiap komponen sanggup menjalankan kegunaannya secara tepat serta bersinergi, maka perlu ditopang oleh sejumlah landasan yaitu landasan filosofis menjadi landasan utama, warga serta kebudayaan, individu (peserta didik), serta teori-teori belajar (psikologis).

Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum artinya rumusan yg didapatkan menurut output berpikir secara mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina serta membuatkan kurikulum baik pada bentuk kurikulum sebagai rencana (tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan pada sekolah.

1. Filsafat Pendidikan
Filsafat berupaya menyelidiki aneka macam permasalahan yang dihadapai manusia, termasuk kasus pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu lain menjadi penunjang, pada antaranya filsafat. Filsafat pendidikan dalam dasarnya merupakan penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis buat memecahkan perkara-masalah pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), masih ada tiga sistem pemikiran filsafat yg sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan dalam umumnya dan pendidikan di Indonesia dalam khususnya, yaitu : filsafat idealisme, realisme dan filsafat fragmatisme.

2. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Bidang telaahan filsafat dalam awalnya mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap dilema ini berupaya buat menelusuri hakikat insan, sebagai akibatnya ada beberapa asumsi mengenai manusia. Misalnya insan merupakan makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tersebut filsafat mencoba mempelajari mengenai tiga pokok masalah, yaitu hakikat sahih-keliru (akal), hakikat baik-tidak baik (etika), serta hakikat latif-buruk (keindahan). Oleh karena itu maka ketiga pandangan tadi sangat diperlukan dalam pendidikan. Terutama dalam memilih arah dan tujuan pendidikan. Artinya ke mana pendidikan akan dibawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan etos manusia atau tentang hayati dan eksistensinya.

Filsafat akan memilih arah kemana peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yg melandasi serta membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, filsafat yang dianut sang suatu bangsa atau kelompok masyarakat eksklusif atau bahkan yg dianut oleh perorangan akan sangat mensugesti terhadap tujuan pendidikan yg ingin dicapai.

Tujuan pendidikan nasional di Indonesia tentu saja bersumber dalam pandangan dan cara hayati manusia Indonesia, yakni Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa peserta didik agar menjadi insan yg berPancasila. Dengan kata lain, landasan serta arah yang ingin diwujudkan sang pendidikan pada Indonesia adalah yg sesuai dengan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri.

Sebagai implikasi berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila yang dianut bangsa Indonesia, dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional misalnya masih ada pada UU No.20 Tahun 2003, yaitu : Pendidikan Nasional dari Pancasila serta UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangun tabiat dan peradaban bangsa yg bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik supaya menjadimanusia yg beriman serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan menjadi rakyat yg demokratis serta bertanggung jawab (Pasal dua dan tiga). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tadi, tersurat dan tersirat nilai-nilai yang terkandung pada rumusan Pancasila.

Melalui rumusan tujuan pendidikan nasional pada atas, sudah kentara tergambar bahwa peserta didikyang ingin didapatkan oleh sistem pendidikan kita antara lain adalah buat melahirkan manusia yg beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal dalam kondisi yg serasi, selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai etos insan pada hubunganya dengan pendidikan dan pembelajaran.

3. Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan dalam dasarnya adalah penerapan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat untuk memecahkan permasalahn pendidikan. Dengan demikian tentu saja bahwa filsafat mempunyai manfaat serta menaruh donasi yang besar terutama dalam memberikan kajian sistematis berkenaan menggunakan kepentingan pendidikan. 

Menurut Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
  • Filsafat pendidikan bisa menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui pendidikan pada sekolah? Sekolah adalah suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik anak-anak ke arah yg dicita-citakan oleh rakyat, bangsa dan negara.
  • Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai sang filsafat yg dianut, kita mendapat hamparan yang jelas mengenai output yg harus dicapai.
  • Filsafat serta tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bundar pada segala bisnis pendidikan.
  • Tujuan pendidikan memungkinkan si penduduk menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu tercapai.
  • Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-lkegiatan pendidikan.
4. Kurikulum dan Filsafat Pendidikan
Kurikulum pada hakikatnya merupakan alat buat mencapai tujuan pendidikan, lantaran tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh filsafat atau etos suatu bangsa, maka tentu saja kurikulum yang dikembangkan jua akan mencerminkan falsafah/pandangan hidup yg dianut oleh bangsa tadi oleh karenanya terdapat hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu negara dengan filsafat negara yang dianutnya. Sebagai model, Indonesia dalam masa penjajahan Belanda, kurikulum yang dianut pada masa itu sangat berorientasi dalam kepentingan politik Belanda. Demikian pula pada saat negara kita dijajah Jepang, maka orientasi kurikulum berpindah yaitu disesuaikan menggunakan kepentingan dan sistem nilai yg dianut oleh negara Matahari Terbit itu. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, serta secara bulat serta utuh memakai pancasila sebagai dasar dan falsafah dalam berbangsa dan bernegara, maka kurikulum pendidikan pun diubahsuaikan menggunakan nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Pengembangan kurikulum walaupun dalam tahap awal sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi negara, namun nir berarti bahwa kurikulum bersifat statis, melainkan senantiasa memerluka pengembangan, pembaharuan serta penyempurnaan disesuaikan menggunakan kebutuhan dan tuntutan serta perkembangan zaman yang senantiasa cepat berubah.

Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang dilakukan bisa menyesuaikan menurut segi materi atau bahan yg harus disampaikan, penyesuaian dari segi proses penyampaian atau pembelajarannya, serta penyesuaian dari unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.

1. Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Anak semenjak dilahirkan sudah menampakan keunikan-keunikan, misalnya pernyataan dirinya pada bentuk tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan citra bahwa sebenarnya semenjak lahir anak sudah mempunyai potensi buat berkembang. Bagi genre yg sangat percaya dengan kondisi tersebut tak jarang menganggap anak menjadi orang dewasa dalam bentuk kecil. J.J.rousseau, seseorang pakar pendidikan bangsa Perancis, termasuk yang fanatik berpandangan misalnya itu. Dewasa dalam bentuk mini mengandung makna bahwa anak itu belum sepenuhya memiliki potensi yang diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap lingkungannya, ia masih memerlukan donasi buat berkembang ke arah kedewasaan yg paripurna, Rousseau memberi tekanan pada kebebasan berkembang secara mulus menjadi orang dewasa yg diperlukan.

Pendapat lain berkata bahwa perkembangan anak itu merupakan output menurut pengaruh lingkungan. Anak dipercaya menjadi kertas putih, di mana orang-orang pada sekelilingnya bisa bebas menulis kertas tersebut. Pandangan ini bertentangan menggunakan pandangan pada atas, pada mana justru aspek-aspek pada luar anak/lingkungannya lebih poly mensugesti perkembangan anak sebagai individu yang dewasa. Pandangan ini tak jarang disebut teori Tabularasa menggunakan tokohnya yaitu John Locke.

Selain ke 2 pandangan tersebut, terdapat pandangan yg menjelaskan bahwa perkembangan anak itu merupakan output formasi antara pembawaan dan lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat insan yg memiliki potensi semenjak lahir, namun potensi ini akan berkembang menjadi baik serta sempurna berkat imbas lingkungan. Aliran ini disebut aliran konvergensi dengan tokohnya yaitu William Stern. Pandangan yang terakhir ini dikembangkan lagi sang Havighurst menggunakan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yg dimaksud adalah tugas yg secara konkret harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sinkron menggunakan taraf/taraf perkembangan yg dituntut sang lingkungannya. Jika tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka dalam tingkat perkembangan berikutnya anak/individu tersebut akan mengalami kasus.

Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik serta beroperasi secara kumulatif menurut yang sederhana menuju ke arah yg lebih kompleks. Tetapi demikian, objek penelitian yang dilakukan oleh Havighurst adalah anak-anak Amerika, jadi kebenarannya masih perlu diteliti serta dikaji dengan cermat diubahsuaikan menggunakan anak-anak Indonesia yang mempunyai syarat lingkungan yg tidak sinkron. Pandangan mengenai anak sebagai makhluk yg unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak adalah pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya. 

Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
  • Setiap anak diberi kesempatan buat berkembang sesuai menggunakan bakat, minat serta kebutuhannya.
  • Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya generik (program inti) yg harus dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
  • Kurikulum disamping menyediakan materi ajar yg bersifat kejuruan jua menyediakan bahan ajar yg bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat pada bidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
  • Kurikulum memuat tujuan-tujuan yg mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yg menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Implikasi lain berdasarkan pengetahuan mengenai anak terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) bisa diuraikan sebagai berikut :
a. Tujuan pembelajaran yg dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan Stingkah laris peserta didik.
b. Bahan/materi yang diberikan harus sesuai menggunakan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak.
c. Strategi belajar mengajar yg digunakan wajib sinkron dengan taraf perkembangan anak.
d. Media yg digunakan senantiasa bisa menarik perhatian dan minat anak.
e. Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yg menyekuruh serta berkesinambungan menurut satu tahap ke termin yg lainnya serta dijalankan secara terus menerus.

2. Psikologi Belajar serta Kurikulum
Psikologi belajar adalah suatu cabang bagaimana individu belajar. Belajar mampu diartikan sebagai perubahan konduite yg terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan perilaku baik yang berbentuk kognitif, afektif, juga psikomotor dan terjadi lantaran prosespengalaman bisa mengkategorikan sebagai konduite belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara insting atau terjadi lantaran kematangan, atau perilaku yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk belajar. Mengetahui mengenai psikologi/teori belajar adalah bekal bagi para pengajar pada tugas pokoknya yaitu pembelajaran anak.

Psikologi atau teori belajar yang berkembang dalam dasarnya bisa dikelompokkan ke pada 3 rumpun, yaitu : Teori Disiplin Mental atau Teori Daya (Faculty Theory), Behaviorisme, dan Organismik atau kognitif Gestalt Field.

1. Menurut Teori Daya (Disiplin Mental)
Menurut teori ini, sejak kelahirannya anak/individu telah memiliki otensi-potensi atau daya-daya eksklusif (faculties) yg masing-masing memiliki fungsi eksklusif, seperti potensi/daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih supaya dapat berfungsi menggunakan baik. Daya-daya yg telah terlatih dapat dipindahkan dalam pembentukan daya-daya lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian mengajar menurut teori ini merupakan melatih peserta didik pada daya-daya itu, cara mempelajarinya dalam umumnya melalui hapalan serta latihan.

2. Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini mencakup tiga teori, yaitu koneksionisme atau teori asosiasi, teori kondisioning, dan teori reinforcement (operant conditioning). Behaviorisme berangkat menurut asumsi bahwa individu nir membawa potensi semenjak lahir. Perkembangan individu ditentukan sang lingkungan (famili, sekolah, rakyat). Teori ini nir mengakui sesuatu yang sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang bisa dilihat dan diamati. Teori Asosiasi merupakan teori yg awal dari rumpun Behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hokum stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar adalah upaya buat membentuk interaksi stimulus-respon sebanyak-banyaknya.

3. Teori Organismik (Gestalt)
Teori ini mengacu dalam pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan perpaduan dari bagian-bagian. Manusia dipercaya menjadi makhluk organism yang melakukan interaksi timbale kembali menggunakan lingkungan secara holistik, hubungan ini dijalin sang stimulus serta respon. Menurut teori ini, Stimulus yang hadir itu diseleksi dari tujuannya, kemudian individu melakukan hubungan dengannya serta seterusnya terjadi perbuatan belajar. Disini peran guru merupakan sebagai pembimbing bukan penyampai pengetahuan, anak didik berperan sebagai pengelola bahan pelajaran.

Belajar menurut teori ini bukanlah menghapal akan tetapi memecahkan masalah, dan metoda belajar yang dipakai merupakan metoda ilmiah menggunakan cara anak dihadapkan pada aneka macam pertarungan, merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang dibutuhkan buat memecahkan masalah, menguji hipotesis yg telah dirumuskan, dan pada akhirnya para murid dibimbing buat menarik konklusi-konklusi. Teori ini poly menghipnotis praktek pedagogi di sekolah lantaran memiliki prinsip sebagai berikut :
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menyangkut kekuatan-kekuatan sosial pada rakyat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang dan selalu berubah-ubah sinkron dengan perkembangan zaman. Kekuatan itu bisa berupa kekuatan yang nyata juga yg potensial, yg berpengaruh pada perkembangan kebudayaan seirama menggunakan dinamika rakyat.

Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Faktor kebudayaan adalah bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
1. Individu lahir tak berbudaya, baik pada hal kebiasaan, impian, perilaku, pengetahuan, keterampilan, dan lain sebagainya.
2. Kurikulum dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan.
3. Seluruh nilai yang sudah disepakati rakyat dapat jua disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil menurut cipta, rasa, karsa manusia yg diwujudkan pada tiga tanda-tanda, yaitu:Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain.kegiatan, yaitu tindakan berpola dari insan pada bermasyarakat.benda output karya insan.

Masyarakat dan Kurikulum
Mayarakat merupakan suatu gerombolan individu yg diorganisasikan mereka sendiri ke pada kelompok-grup tidak sama. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan kata masyarakat yg memiliki arti suatu kelompok individu yang terorganisir yg berpikir tentang dirinya sebagai suatu yg tidak sinkron menggunakan gerombolan atau rakyat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, dengan demikian yg membedakan warga yang satu dengan rakyat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini memiliki implikasi bahwa apa yg menjadi keyakinan pemikiran seorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan di mana beliau dibesarkan..

Perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat akan mengganti jua kebutuhan rakyat. Kebutuhan rakyat pula dipenuhi sang syarat dari rakyat itu sendiri. Adanya perbedaan antara rakyat satu dengan rakyat lainnya sebagian akbar ditimbulkan sang kualitas individu-individu yg sebagai anggota rakyat tadi. Di sisi lain kebutuhan masyarakat dalam biasanya juga berpengaruh terhadap individu-individu menjadi sebagai anggota warga . Oleh karenanya, pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan dalam keterampilan dasar saja nir akan bisa memenuhi kebutuhan rakyat terkini yang bersifat teknologis dan mengglobal.

Pengembangan kurikulum jua harus ditekankan dalam pengembangan individu yg meliputi keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan sumber daya yg meliputi kebudayaan, ilmu pengetahuan serta teknologi. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah krusial memperhatikan faktor kebutuhan masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan yg relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan warga maka diharapkan rancangan berupa kurikulum yg landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan rakyat.

Landasan Lain
1. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pendidikan adalah usaha menyiapkan subjek didik (anak didik) menghadapi lingkungan hayati yg mengalami perubahan yg semakin pesat. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan siswa melalui aktivitas bimbingan, pengajaran serta atau latihan bagi kiprahnya di masa yang akan tiba. Teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan ilmiah dan ilmu-ilmu lainnya buat memecahkan kasus-kasus praktis. Ilmu serta teknologi tidak dapat dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring lajunya perkembangan rakyat.

Untuk mencapai tujuan serta kemampuan- kemampuan tersebut, maka ada hal-hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
  • Pembangunan IPTEK harus berada pada ekuilibrium yg dinamis dan efektif dengan pembinaan asal daya insan, pengembangan sarana serta prasarana iptek, aplikasi dan penelitian serta pengembangan dan rekayasa serta produksi barang dan jasa.
  • Pembangunan IPTEK tertuju dalam peningkatan kualitas, yakni buat mempertinggi kualitas kesejahteraan serta kehidupan bangsa.
  • Pembangunan IPTEK wajib selaras (relevan) dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, serta lingkungan hayati.
  • Pembangunan IPTEK harus berpijak dalam upaya peningkatan produktivitas, efesiensi dan efektivitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi.
  • Pembangunan IPTEK dari pada asas pemanfaatannya yg memberikan nilai tambah dan memberikan pemecahan perkara nyata dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilaksanakan oleh berbagai pihak, yakni:
  • Pemerintah, yang membuatkan dan memanfaatkan IPTEK buat menunjang pembangunan pada segala bidang.
  • Masyarakat, yg memanfaatkan IPTEK itu pengembangan masyarakat serta mengembangakannya secara swadaya.
  • Akademisi terutama di lingkungan perguruan tinggi, berbagi IPTEK buat disumbangkan pada pembangunan.
  • Pengusaha, buat menaikkan produktivitas
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan murid menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk pada dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Landasan Historis
Landasan Historis berkaitan dengan formulasi acara-program sekolah dalam waktu lampau yang masih hayati hingga sekarang, atau yg pengaruhnya masih besar pada kurikulum waktu ini (Johnson, 1968). Oleh karena kurikulum selalu perlu diubahsuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan serta perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada suatu waktu tertentu diadakan buat memenuhi tuntutan dan perkembangan dalam ketika tertentu.

Kurikulum yang dikembangkan dalam ketika ini, perlu mempertimbangkan apa yang telah dilakukan serta apa yang telah kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Begitu pula selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan kurikulum yg yang ada kini ketika menyebarkan kurikulum di masa depan, lantaran apa yang telah kita lakukan sekarang akan berpengaruh terhadap kurikulum yg akan dikembangkan pada masa depan.

3. Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya merupakan produk yuridis yang ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yg ditetapkan sang forum legislatif yang mestinya mendasarkan dalam konstitusi/UUD. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini merupakan Undang-Undang Dasar 1945 (pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan seperti: UU tentang pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan berdasarkan Dirjen Dikti, peraturan-peraturan daerah dan sebagainya.

MANAJEMEN PROFESI KEPENDIDIKAN

Manajemen Profesi Kependidikan 
Rasional 
Dalam pembahasan sebelumnya sudah ditegaskan, bahwa energi kependidikan merupakan mencakup baik pengajar, maupun non pengajar. Secara rinci yg termasuk energi kependidikan di sekolah adalah meliputi: guru, kepala sekolah, tenaga bimbingan, serta energi administrasi atau rapikan-usaha. Tetapi dalam kitab ini pembahasan tentang tenaga kependidikan tadi lebih ditekankan dalam pengkajian jabatan pengajar menjadi suatu profesi, sehingga dalam pembahasan berikutnya nanti yang dimaksud menggunakan tenaga kependidikan merupakan pengajar. Tenaga kependidikan lainnya, misalnya ketua sekolah (administrator pendidikan) dan tenaga pelayanan bimbingan akan dibahas sepintas saja. 

Alasan mengapa pengajar yang paling poly disoroti pada kitab ini adalah, pertama, lantaran pengajar adalah tenaga utama di suatu sekolah, mereka merupakan tenaga penggerak utama di sektor pendidikan dan paling mayoritas peranannya dalam mencapai keberhasilan tujuan pendidikan. Kedua, pada samping menjadi penggerak utama pada sektor pendidikan, jumlah mereka termasuk paling poly pada bandingkan dengan dengan energi kependidikan yang lainnya. 

Sebagai energi penggerak utama pada bidang pendidikan dengan jumlah paling akbar, yang dibutuhkan dapat memajukan dunia pendidikan, pengajar mempunyai tugas-tugas kependidikan yang amat berat, walaupun mereka sering mendapatkan perlakuan yang kurang adil. Banyak guru yg terpaksa ditempatkan pada loka (tempat kerja) yg berdeak-friksi serta bekerja dengan alat-alat yang pas-pasan. Mereka jua memperoleh penghasilan yang pas-pasan juga, pada hal berdasarkan sini mereka dibutuhkan bisa melaksanakan tugas pendidikan dengan baik. Belum lagi dengan tugas-tugas tambahan non mengajar, seperti aktivitas ko-kurikuler yang menyita poly ketika guru, tetapi tanpa imbalan yg memadai. 

Tugas-tugas pengajar tadi akan semakin terasa lebih berat dan kompleks jika dihadapkan menggunakan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun menggunakan dukunan fasilitas yg minim dan dengan iklim kerja yg belum menyenangkan. 

Dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perkembangan yg dialami warga , maka hal itu membawa konsekuensi serta persyaratan yg semakin berat dan semakin kompleks bagi pelaksana dalam sektor pendidikan pada biasanya serta pengajar dalam khususnya. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tadi membawa tuntutan baru bagi rakyat; sedangkan warga sendiri telah terbiasa membuahkan sekolah menjadi pintu gerbang pada mengejar perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi tadi. Oleh karena itu wajarlah jika tuntutan terhadap sekolah dan peranan guru juga meningkat. Atau dengan perkataan lain, warga semakin membutuhkan sekolah yang baik menggunakan pengajar-gurunya yang baik atau yg profesional. Masalahnya sekarang adalah bagaimanakah guru yg baik atau profesional itu ? Sebab selama ini dengan ketiadaan kreteria yang jelas mengenai pengajar yg baik/profesional tadi dapat mengakibatkan bermacam-macam penafsiran tentang hal tadi. Untuk memperjelas hal tersebut ini dia akan diuraikan engenai guru yang profesional tersebut.

A. Hakekat Pengajar Sebagai Profesi
Seperti dikemukakan di atas, bahwa pengertian pengajar yang baik atau yg profesional bisa menimbulkan poly penafsiran. Di antara penafsiran tadi diantaranya ada yg menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yg lebih ketat, terdapat yg menghendaki pengawasan yang lebih efektif serta efisien, terdapat yang menghendaki adanya sistem penyiapan/pendidikan yang baik, ada yang menghendaki perlunya komitmen dan semangat kerja yang tinggi, serta terdapat jua yang mengutamakan perlunya kelengkapan wahana serta prasarana yg lebih memungkinan para pengajar menerapkan pengetahuan dan keterampilan yg mereka telah miliki sebelumnya. 

Untuk situasi serta kondisi tertentu, semua hal di atas mungkin sama-sama diperlukan. Lepas dari fenomena, bahwa perkara disiplin kerja bukan sekedar kasus ketaatan akan peraturan yg secara ketat, tetapi mempunyai arti yang jauh lebih luas serta dalam menurut itu. Dengan disiplin yg ketat cenderung buat membuahkan insan itu bertingkah laris secara rutin dan berrsifat mekanis, dalam hal pekerjaan mengajar serta pendidikan lainnya yg harus dilakukan guru serta energi kependidikan memerlukan sifat-sifat kreatif, dinamis dan inovatif. Demikian pula menggunakan pengadaan banyak sekali donasi pada rangka peningkatan kualitas lingkungan kerja yg serasi, menyenangkan dan nyaman, misalnya pengadaan alat-alat laboratorium, bahan-bahan pengajaran serta fasilitas lain yang dibutuhkan. Pada akhirnya bisa jua dikemukakan, bahwa menggunakan gedung yang glamor dan penuh peralatan pendidikan yang sophisticated, namun dihuni oleh pengajar-guru tanpa apresiasi, kreativitas, dinamika, motivasi, semangat, pengabdian dan kompetensi profesional, belumlah adalah agunan buat berhasilnya pendidikan, serta bahkan mungkin sekali akan berakhir dengan frustrasi serta kekecewaan.

Selanjutnya, hakekat pengajar sebagai suatu profesi mempunyai beberapa peran yang melekat dalam profesinya tesebut. Hakekat guru sebagaimana dimaksudkan itu sebagaimana dikemukakan oleh Ditjen Dikti (2006) menjadi berikut: (1) pengajar merupakan pendidik, (2) pengajar berperan menjadi pemimpin serta pendukung nilai-nilai yang dianut sang rakyat, (3) pengajar berperan sebagai fasilitatyor belajar bagi peserta didik, (4) guru turut bertanggungjawab atas tercapainya output belajar siswa, (5) guru sebagai teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sinkron dengan agama yg diberikan kepadanya, (6) guru bertanggung jawab secara profesional buat terus menerus menaikkan kemampuannya, serta (7) pengajar merupakan agen pembaharuan. 

Berdasarkan dalam uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa pada mencari jawaban apa serta siapa pengajar yang baik, profesional memerlukan suatu tinjauan yg luas dan melingkupi banyak sekali segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil pengajar yang bagaimana yg dikehendaki. Jawabnya merupakan, bahwa pengajar yang baik, profesional adalah guru yang sanggup menampilkan diri secara utuh sebagai pendidik. Untuk menjadi guru yg baik, bukanlah sekedar dia mau atau sekedar mengetahui sesuatu, akan namun beliau harus dapat menampilkan diri secara utuh sebagai pendidik. Ian harus mempunyai kompetensi eksklusif yang berkaitan menggunakan tugas profesionalnya. Kompetensi tersebut mencakup: kompetensi pedagogik, personal/ kepribadian, profesional, serta sosial (UU No. 14/2005). Keempat kompetensi sebagaimana dimaksudkan oleh UU no. 14/2005 tadi dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kompetensi Pedagogik
Seorang pengajar adalah sekaligus menjadi pendidik. Oleh karena itu guru yg profesional harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang memadai dalam hal paedagogik atau ilmu pendidikan. Pada penerangan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yg dimaksud menggunakan kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran siswa yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan serta aplikasi pembelajaran, evaluasi output belajar, serta pengembangan peserta didik buat mengaktualisasikan banyak sekali potensi yg dimilikinya. 

Dengan memiliki kompetensi paedagogik tersebut dibutuhkan pengajar akan dapat merancang dan melaksanakan segala kegiatan mengajarnya menurut dimensi pendidikan. Kompetensi ini lebih menekan-kan pada pembentukan insan sempurna. Proses belajar-mengajar nir hanya dilihat berdasarkan bertambahnya ilmu dalam diri anak saja, tetapi bagi pengajar yang tahu ilmu pendidikan, melalui proses belajar-mengajar yg dilakukan juga wajib mengandung aspek pendidikan. Di sini aspek-aspek moral dan akhlak yang mulia perlu dilekatkan dalam bidang studi atau matapelajaran yg diajarkan. Dengan demikian murid bukan saja pintar pada bidang studi, akan tetapi pula memiliki tanggung jawab moral yg melekat dalam bidang studi yg dipelajari. Misalnya, saat mengajarkan metematika, guru nir hanya mengajar materi matematikanya saja, melainkan juga mendidik agar setelah pandai matematika nir digunakan buat hal-hal yang negatif, seperti menipu atau manipulasi penghitngan yg dipercayakan kepadanya. Demikian jua dalam pelajaran-pelajaran lainnya, bila gurunya sudah profesional serta tahu kasus pendidikan, maka diperlukan siswa akan bisa sebagai anak-anak yang pada samping pintar pada matapelajaran, jua bermoral yg baik. Masalah inilah yg selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar pada sekolah-sekolah kita ketika ini.

b. Kompetensi Kepribadian (Personal) 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yg dimaksud menggunakan kompetensi kepribadian merupakan kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, sebagai teladan bagi peserta didik, serta berakhlak mulia. Memiliki kompetensi personal, artinya mempunyai perilaku kepribadian yg mantap, amanah, adil serta penuh dedikasi, sebagai akibatnya bisa menjadi asal teladan bagi subyek didik. Jelasnya dia mempunyai kepribadian yg patut diteladani, sehingga sanggup melaksanakan kepemimpinan yang baik pada kegiatan belajar-mengajar, seperti kepemimpinan yg dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara, yaitu : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Orang yg memiliki kompetensi kepribadian yang baik akan bisa tahan menghadapi banyak sekali gangguan dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, otrang yg memiliki kompetensi kepribadian yang baik akan selalu dapat menerapkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) menggunakan baik dalam pembinaan siswanya.

c. Kompetensi Profesional 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yg dimaksud dengan kompetensi profesional merupakan kemampuan dominasi materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yg ditetapkan pada Standar Nasional Pendidikan. Memiliki kompetensi profesional arinya beliau memiliki pengetahuan yg luas, baik dalam kaitan dengan bidang studi/mata pelajaran yg akan diajarkan bersama penunjangnya, metodologi pengajarannnya, bisa mengevaluasi dan mengembangkan materi menggunakan baik. 

Secara rinci kemampuan tersebut dirumuskan ke dalam 10 kompetensi jabatan guru, yaitu mencakup : (1) menguasai bahan/bidang studi, (dua) mengelola program belajar-mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media dan asal belajar, (5) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola hubungan belajar-mengajar, (7) menilai prestas anak didik buat kepentingan pedagogi, (8) mengenal fungsi serta program Bimbingan Penyuluhan pada sekolah, (9) mengenal serta menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) tahu prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. 

d. Kompetensi sosial 
Yang dimaksud dengan kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik menjadi bagian berdasarkan masyarakat buat berkomunikasi dan berteman secara efektif menggunakan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa, dan masyarakat kurang lebih. Memiliki kompetensi sosiaol ialah ia menunjukkan kemampuan berkomunikasi sosial yang baik, mempunyai seni pergaulan (the social arts) yg baik, baik pergaulan menggunakan anak didik-muridnya, juga menggunakan sesama pengajar serta dengan ketua sekolah, bahkan menggunakan masyarakat luas. Di sini guru dituntut buat bisa menerapkan “multiple intellegence” secara sempurna. Dengan penerapan “multiple intellegence” secara tepat tersebut, maka pengajar akan bisa dengan mudah menyesuaikan menggunakan banyak sekali syarat masyarakat yang dilayaninya. 

Dengan mempunyai kompetensi sosial yg baik tadi, maka akan bisa mendukung terjadinya interaksi yang baik antara guru menggunakan “stakeholders”- nya. Dengan adanya hubungan yang baik antara pengajar dengan “stakeholders” nya tersebut, maka eksistensi profesi pengajar akan bisa diterima secara luas sang semua lapisan rakyat, utamanya stakeholders pendidikan. Jika ini terjadi maka pengakuan terhadap profesi guru akan lebih meluas. Hal inilah yang dapat menguatkan eksistensi profesi pengajar di pada masyarakat.

Apabila digambarkan, sosok utuh guru yang profesional tadi dapat ditinjau pada gambar angka sebagai berikut:

Gambar  Gambaran sosok utuh pengajar yang profesional

Dalam upaya aplikasi profesionalisasi jabatan guru, menurut UU No. 14/2005 Bab III, Pasal 7, ayat (1), ditegaskan, bahwa jabatan pengajar adalah pekerjaan khusus yg dilaksnakan dari pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Mempunyai bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 
b. Memiliki komitmen buat menaikkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai menggunakan bidang tugas; 
d. Mempunyai kompetensi yang dibutuhkan sinkron dengan bidang tugas; 
e. Mempunyai tanggung jawab atas aplikasi tugas keprofesionalan; 
f. Memperoleh penghasilan yang dipengaruhi sesuai dengan prestasi kerja; 
g. Memiliki kesempatan buat mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan menggunakan belajar sepanjang hayat; 
h. Mempunyai agunan perlindungan aturan pada melaksanakan tugas keprofesionalan; serta 
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan menggunakan tugas keprofesionalan guru.

B. Kompetensi Tambahan Bagi Guru Yang memegang Jabatan Kepala Sekolah
Profesi kepala sekolah sebenarnya nir sanggup terlepas berdasarkan profesi guru, karena pada hakikatnya kepala sekolah merupakan pengajar yang diberi tugas tambahan sebagai ketua sekolah (Peraturan Menteri pendidikan nasional No. 13/2007). Lantaran merupakan pengajar yg diberi tugas tambahan sebagai ketua sekolah, maka profesi ini tidak mampu terlepas berdasarkan profesi pengajar. Oleh karenanya pemegang jabatan kepala sekolah juga wajib memiliki kompetensi yang dipersyaratkan kepada guru. Dengan demikian ketua sekolah jua terikat dengan semua peraturan yg berkaitan menggunakan guru, terutama UU No. 14/2005 ditambah menggunakan beberapa perangkat peraturan khusus tentang jabatan kepala sekolah. Semua persyaratan profesi pengajar, termasuk kewajiban mempunyai sertifikat sebagai guru yang professional juga inheren dalam jabatan kepala sekolah.

Dengan demikian kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang kepala sekolah menjadi pejabat professional dalam bidang kependidikan merupakan mencakup 4 kompetensi yg diwajibkan pada pengajar menurut UU No. 14 tahun 2005 mengenai pengajar dan dosen, yaitu mencakup: (1) kompetensi pedagogig, (dua) kompetensi kepribadian (personal), (3) kompetensi professional, serta (4) kompetensi sosial. Di samping keempat kompetensi di atas, bagi pengajar yang menerima tugas tambahan sebagai kepala sekolah masih diharuskan menguasai tiga macam kompetensi tambahan misalnya yg diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 13/2007. Ketiga kompetensi tadi merupakan meliputi: (1) kompetensi manajerial, (dua) kompetensi kewirausahaan, dan (3) kompetensi supervsi. 

Keempat kompetensi yang pertama (yaitu kompetensi menjadi pengajar professional) telah dibahas pada pembahasan guru menjadi jabatan professional pada bidang kependidikan. Sedangkan 3 kompetensi tamahan tadi akan diuraikan dalam bagian berikut.

1. Kompetensi Manajerial.
Yang dimaksudkan menggunakan kompetensi manajerial dalam konteks kompetensi kepala sekolah tersebut merupakan kompetensi yg berkaitan dengan merencanakan, melaksanakan, mengkordinasikan, memonitor atau mengawasi, serta menilai semua substansi acara aktivitas pada sekolah. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi manajerial kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci sebagai 16 macam kompetensi menjadi berikut:
  • Menyusun perencanaan sekolah/madrasah buat aneka macam tingkatan perencanaan; 
  • Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah buat banyak sekali kebutuhan; 
  • Memimpin sekolah/madrasah pada rangka mendayagunakan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal’ 
  • Mengelola perubahan dan pengembangan madrasah/sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Menciptakan budaya serta iklim sekolah/madrasah yg kondusif serta inovatif bagi pembelajaran peserta didik; 
  • Mengelola pengajar serta staf pada rangka pendayagunaan asal daya manusia secara optimal; 
  • Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah pada rangka pendayagunaan secara optimal; 
  • Mengelola interaksi sekolah/madrasah menggunakan masyarakat pada rangka pencapaian dukungan wangsit, asal belajar, serta pembiayaan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, serta penempatan dan pengembangan kapasitas siswa; 
  • Mengelola pengembangan kurikulum kegiatan pembelajaran sinkron dengan arah serta tujuan pendidikan nasional; 
  • Mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai menggunakan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan dan efisien; 
  • Mengelola ketata usahaan sekolah/madrasah dalam mendukung tujuan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola unit layanan spesifik sekolah/madrasah pada mendukung aktivitas pembelajaran dan aktivitas siswa di sekolah/madrasah; 
  • Mengelola sistem liputan sekolah/madrasah pada mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan; 
  • Memanfaatkan kemajuan teknologi kabar bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah, serta 
  • Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan acara aktivitas sekolah/madrasah dengan mekanisme yg tepat, dan merencanakan tindak lanjutnya. 
2. Kompetensi Kewirausahaan.
Kompetensi kewirausahaan yang dimaksudkan di sini merupakan kompetensi dalam megusahakan serta memperjuangkan terciptanya kehidupan sekolah yg lebih baik, mau serta mampu bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah, mempunyai motivasi untuk sukses pada mengelola forum yg dipimpinnya, dan pantang menyerah pada setiap usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.madrasah yang ia pimpin. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi kewirausahaan kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 5 macam kompetensi sebagai berikut:
  • Menciptakan penemuan yg bermanfaat bagi pengembangan sekolah/madrasah; 
  • Bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Memiliki motivasi yang kuat buat sukses pada melaksanakan utama serta kegunaannya menjadi pemimpin sekolah/madrasah; 
  • Pantang menyerah serta selalu mencari solusi terbaik dalam mengatasi hambatan yang dihadapi sekolah/madrasah; serta 
  • Memiliki naluri kewirausahaan pada mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/ madrasah sebagai asal belajar peserta didik. 
3. Kompetensi Supervisi
Yang dimaksudkan menjadi kompetensi supervisi di sini adalah kompetensi supervise akademik pada membina serta membuatkan guru supaya bisa mencapai peningkatan dalam kemampuan mengajar serta pada rangka menaikkan profesionalisme pengajar. Dengan demikian kineja guru pada pembelajaran dibutuhkan akan selalu semakin tinggi. Dengan meningkatnya kineja pembelajaran guru tadi diharapkan akan dapat dicapai kemajuan pendidikan pada sekolah secara kontinyu. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi pengawasan kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 3 macam kompetensi sebagai berikut:
  • Merencanakan acara pengawasan akademik pada rangka peningkatan profesionalisme pengajar; 
  • melaksanakan supervisi akademik terhadap pengajar menggunakan memakai pendekatan dan teknik supervise yang sempurna; serta 
  • menindak hasil supervisi akademik terhadap pengajar pada rangka peningkatan profesionalisme guru. 
Dengan berbekal 7 macam kompetensi tersebut diharapkan ketua sekolah/madrasah akan dapat sukses pada menjalankan tugas dan kegunaannya sebagai kepala sekolah, yaitu sebagai pengelola dan Pembina serta pengembang seluruh kegiatan pendidikan di sekolah. Dalam pelaksanaan pada lapangan, nir seluruh kepala sekolah sanggup menguasai 7 macam kompetensi tadi secara baik. Untuk itulah dibutuhkan penilaian, pelatihan serta pengembangan menurut pengawas sekolah. Dengan demikian pengawas sekolah juga harus menguasai kompetensi tadi secara baik supaya dapat melakukan tugas serta fungsinya secara baik. 

C. Hak serta Kewajiban Profesional Guru
Apabila guru telah memiliki keempat komponen kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, maka dia akan bisa memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat pemakainya (siswa, masyarakat, serta stakeholders lainnya). Pelayanan yg diperlukan menurut seseorang tenaga profesional merupakan pelayanan yang mengutamakan nilai-nilai humanisme dari dalam benda-benda material. Jika seorang guru telah mempunyai kompetensi tersebut di atas, maka berdasarkan Winarno Surachmat (1973) pengajar tadi telah memiliki hak profesional karena dia telah menggunakan konkret :
1) Mendapat pengakuan serta perlakuan hukum terhadap batas kewenangan keguruan yang menjadi tanggung jawabnya.
2) Memiliki kebebasan buat mengambil langkah-langkah interaksi edukatif dalam batas tanggung jawabnya serta ikut serta dalam proses pengembangan pendidikan setempat. 
3) Menikmati kepemimpinan teknis serta dukungan pengelolaan yang efektif dan efisien dalam rangka menjalankan tugas sehari-hari. 
4) Menerima perlindungan dan penghargaan yang masuk akal terhadap bisnis-bisnis dan prestasi yg inovatif dalam bidang pengabdiannya. 
5) Menghayati kebebasan menyebarkan kompetensi profesionalnya secara individual, juga secara institusional.

Hak-hak profesional seseorang guru yg dimaksudkan sang Winarno Surachmat di atas, hingga waktu ini memang belum dapat diaktualisasikan. Gagasan untuk memberikan hak-hak tadi memang sudah ada. Bahkan pada Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, ditegaskan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pengajar memiliki 11 macam hak profesional. Hak-hak tersebebut meliputi menjadi berikut:
a. Memperoleh penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum dan agunan kesejahteraan sosial. Penghasilan di atas kebutuhan hayati minimum tadi mencakup: 
(1) gaji utama. Pengajar yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah wilayah diberi gaji sinkron dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengajar yg diangkat oleh satuan pendidikan yg diselenggarakan oleh rakyat diberi gaji dari perjanjian kerja atau kesepakatan kerja beserta.
(2) tunjangan yang inheren pada honor , 
(tiga) tunjangan profesi. Tunjangan profesi sebagaimana dimaksudkan tersebut diberikan setara menggunakan 1 (satu) kali honor utama pengajar;
(4) tunjangan fungsional, 
(5) tunjangan spesifik. Tunjangan ini diberikan pada guru yg bertugas di wilayah spesifik. Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud diberikan setara menggunakan 1 (satu) kali honor pokok guru; dan 
(6) maslahat tambahan yg terkait dengan tugasnya menjadi guru yg ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Maslahat tambahan ini menurut pasal 19 dapat berupa: tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, premi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, dan kemudahan buat memperoleh pendidikan bagi putra serta putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

b. Mendapatkan kenaikan pangkat dan penghargaan sesuai dengan tugas serta prestasi kerja;
c. Memperoleh proteksi dalam melaksanakan tugas serta hak atas kekayaan intelektual;
d. Memperoleh kesempatan buat menaikkan kompetensi;
e. Memperoleh serta memanfaatkan sarana serta prasarana pembelajaran buat menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. Mempunyai kebebasan dalam menaruh penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, serta/atau sanksi pada siswa sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, serta peraturan perundang-undangan;
g. Memperoleh rasa kondusif dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. Mempunyai kebebasan buat berserikat dalam organisasi profesi;
i. Memiliki kesempatan buat berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. Memperoleh kesempatan buat berbagi dan mempertinggi kualifikasi akademik serta kompetensi; serta/atau
k. Memperoleh pelatihan serta pengembangan profesi dalam bidangnya.

Di samping hak-hak istimewa guru tadi, dalam UU No. 14/2005 pengajar pula diikat dengan berbagai kewajiban profesional. Kewajban tadi dituangkan pada Bab IV Pasal 20. Kewajiban profesional tadi meliputi sebagai berikut:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yg bermutu, dan menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 
b. Menaikkan serta mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni;
c. Bertindak objektif serta nir diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, kepercayaan , suku, ras, dan syarat fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, serta status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, dan nilai-nilai kepercayaan serta etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Apabila dipandang hak dan kewajiban guru sebagaimana diuraikan tadi, maka jabatan guru sebenarnya adalah jabatan yang sangat prospektif, cukup menjanjikan kesejahteraan bagi pemegangnya. Sayangnya, hak-hak yg terdapat tersebut masih belum bisa direalisasikan sepenuhnya, karena untuk merealisasikan hak-hak istimewa guru tersebut masih diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai acuan operasionalnya. Paling nir UU No. 14 tersebut masih membutuhkan 8 buah Peraturan pemerintah (PP) buat dapat diarealisaikan. Kita belum dapat mengetahui secara pasti, kapan Peraturan Pemerintah (PP) yg diperlukan buat merealisasikan UU No. 14 tersebut bisa diwujudkan. Hingga ketika ini satu PP pun yang diperlukan buat itu belum diterbitkan. Rasa psimispun timbul, sebab 38 Peraturan Pemerintah (PP) yg diperlukan menjadi perangkat pelaksanaan UU No. 20/2003 yang lebih dulu saja sampai saat ini baru diterbitkan satu PP. Lalu kapan giliran penerbitan PP yg berkaitan menggunakan UU No. 14/2005. Semoga UU No. 14/2005 ini nir menaruh harapan yg hampa bagi guru.

Walaupun secara ideal hak-hak profesional seseorang pengajar sudah dirumuskan seperti diuraikan di atas, tetapi dalam kenyataan, kondisi-kondisi guru pada Indoinesia saat ini masih jauh berbeda menggunakan harapan tersebut. Hak-hak profesional guru ketika ini masih rendah. Dengan perkataan lain kondisi obyektif guru ketika ini masih belum layak diklaim menjadi jabatan profesional, karena dilihat dari penghasilannya, homogen-homogen guru masih menerima penghasilan yg rendah, belum memenuhi standart hayati layak menjadi suatu profesi. Apa lagi bila penghasilan tadi masih harus dipotong buat biaya pengembangan profesi, misalnya membeli buku-kitab , mengikuti pendidikan, penataran membeli majalah profesi menggunakan porto mandiri, tentu penghasilan tersebut akan sangat tidak mencukupi. Belum lagi bila dipandang menurut kebebasan penemuan serta kreativitas pengajar. Banyaknya peraturan yang bersifat teknis tentang aplikasi kegiatan belajar-mengajar di sekolah bisa Mengganggu kreativitas serta sifat inovatif guru, karena guru secara kaku wajib mengikuti peraturan serta ketentuan yg sudah ada. 

Berdasarkan uraian pada atas dapat dikemukakan, bahwa eksistensi profesi pengajar pada Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya profesional; melainkan baru pada tingkat embriyonal. Artinya profesi guru di Indonesia saat ini masih baru dalam taraf pertumbuhan, dan berada para taraf peralihan menurut rutinitas ke profesional. Walaupun demikian indikasi-indikasi ke arah profesional sudah nampak secara konkret, misalnya upaya-upaya yang telah dilakukan sebagai berikut: 
1) adanya upaya mempertinggi taraf pendidikan para pengajar yang sudah berdinas, semula untuk pengajar SD minmal D2, buat SLTP minimal D3. Dan untuk SMU/Sekolah Menengah Kejuruan harus S1. Saat ini berdasarkan PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005, seluruh pengajar mulai berdasarkan TK hingga SLTA wajib memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau D4 sinkron menggunakan bidang studi yg diajar. Semua itu dimaksudkan agar para pengajar selalu bisa mengikuti perkembangan keilmuan, terutama yang berkaitan menggunakan bidang profesinya, sehingga selalu dapat menaruh pelayanan sinkron dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.

2) Di samping itu juga adanya perubahan pengakuan kedudukan jabatan pengajar menurut pegawai biasa sebagai fungsional, yang ditandai dengan adanya perubahan sistem promosi berdasarkan regule ke promosi pilihan dan keharusan buat mengumpulkan nomor kredit eksklusif untuk menduduki jenjang jabatan pengajar tertentu menurut SK Menpan No. 26/1989. Pengakuan keprofesional jabatan pengajar tadi kemudian diperkuat dengan UU 20/2003, PP. No 19/2005 serta lalu UU No. 14/2005 mengenai pengajar dan dosen.

3) Diberikannya tunjangan fungsional sejak tahun 1985, walaupun jumlahnya masih sangat kecil. Seiring dengan mulai diakuinya jabatan guru sebagai jabatan fungsional, maka guru mulai diberikan tunjangan fungsional yg besarnya menurut golongan pangkatnya. Pada awalnya tunbjangan fungsional guru diberikan menurut jenjang sekolah yg diajar, kemudian anugerah tunjangan tersebut berdasarkan pada golongan pangkatnya tanpa memperhatikan di mana dia mengajar. Hal itu merupakan bukti kongkrit adanya pengakuan jabatan guru sebagai jabatan profesional, meski belum optimal. Akan namun dengan adanya UU No. 14/2005 tentu penghargaan pengajar sebagai jabatan profesional akan lebih akbar lagi.

Upaya-upaya itulah yg kita anggap menjadi indikator positif untuk menuju profesionalisasi jabatan guru secara penuh pada Indonesia. Tentu saja masih poly faktor penentu jabatan profesional yang wajib dipenuhi buat menunju dalam era jabatan profesinal pengajar secara penuh.

D. Faktor Penetu Profesi Guru
Meskipun ketika ini telah ada Undang-undang mengenai Pengajar serta dosen, yaitu UU No. 14/2005, namun eksistensi profesi guru di Indonesia hingga waktu ini masih berada dalam tingkat embriyonal, andaipun demikian indikasi-tanda ke arah profesional yang sebenarnya sudah nampak. Penerapan Undang Undang No. 14 tersebut masih membutuhkan saat yang panjang, lantaran keterbatasan-keterbatasan yg dimiliki sang pemerintah, terutama berdasarkan segi keuangan negara. Penerapan undang-undang tersebut membutuhkan porto yang relatif mahal. 

Dari aneka macam kajian bisa dikemukakan, bahwa keberadaan profesi pengajar, dalam arti bertenaga-tidanya posisinya ditentukan sang beberapa faktor. Faktor-faktor tadi anta lain merupakan sebagai beriku: (1) akuntabilitas rata-rata LPTK rendah, (2) pendidikan pada jabatan (inservice pelatihan) kurang baik, (3) organisasi profesi lemah, (4) kode etik profesi longgar, (lima) penghargaan terhadap jabatan pengajar selama ini kurang baik, serta (lima) kurang adanya perlindungan jabatan. Kelima faktor tersebut dibahas lebih rinci dalam bagian berikut ini.

1. Akuntabilitas LPTK Rata-Rata Rendah. 
Akuntabilitas acara LPTK sebagai penghasil energi kependidikan hingga saat ini homogen-rata umumnya masih rendah. Hal itu dapat dimaklumi, sebab dilihat menurut acara/kurikulum, energi guru, wahana serta prasarana pendidikan, pembiayaan serta input atau masukannya masih kurang memenuhi standart. Hal yang demikian ini dapat berpengaruh terhadap mutu lulusan yang didapatkan. Lantaran mutu lulusa yg didapatkan rendah, maka keterpercayaan terhadap lembaga ini huga rendah. Dampak lebih lanjut berdasarkan hal ini adalah adanya penghargaan yang rendah dalam para lulusan. Kondisi yang demikian ini semakin diperparah dengan kontrol yg kurang ketat terhadap keberadaan LPTK-LPTK yang kurang memenuhi persyaratan serta penyelenggrraraan pendidikannya yg carut-marut pada beberapa LPTK pinggiran, maka hal itu semakin menaruh image, bahwa penyelenggara pendidikan guru kurang profesional.

Akuntabilitas kurikulum sebagian akbar LPTK relatif rendah. LPTK kurang akomodatif pada penyusunan dan pengembangan kurikulumnya. Umumnya LPTK menyusun serta membuatkan kurikulum sendiri, tanpa melibatkan kebutuhan ataupun tuntutan kebutuhan stake-holder lainnya sehingga tidak bisa mengakomodasikan kebutuhan riil profesi di lapangan. Mestinya penyusunan dan pengembangan kurikulum LPTK perlu melibatkan gerombolan -grup profesi, pengamat dan pengguna lulusan LPTK sehingga kurikulumnya dapat relevan menggunakan kebutuhan riil pada lapangan.

Demikian pula mengenai tenaga pengajar LPTK. Umumnya energi pengajar pada LPTK, terutama pada beberapa LPTK swasta kurang memenuhi persyaratan professional juga akademis tertentu. Banyak dosen LPTK yg sembarangan, baik menurut segi kesesuaian atau relevansi matakuliah yang diampu dengan bidang keahliannya dosen pengampunya, maupun dari segi jenjang pendidikan yg kurang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 14 tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005. Hal demikian itu menyebabkan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh para energi dosen tadi kurang. Dampak lebih lanjut, hal itu dapat mengurangi keterpercayaan pada lulusan LPTK yg didapatkan. Bahkan efek yang lebih parah adalah adanya generalisasi terhadap semua lulusan LPTK, karena para lulusan tadi sulit didentifikasi beral berdasarkan LPTK mana.

Manajemen dan faktor kepemimpinan forum pula turut menjadi galat satu penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Banyak LPTK yang dimanaj sembarangan, baik yg berkaitan dengan manajemen pembelajaran atau akademik, wahana serta prasarana, kemahasiswaan, maupun substansi bidang manajemen lainnya kurang berjalan menggunakan baik. Dari sisi manajemen akademik misalnya, banyak LPTK yang menyelenggarakan perkuliahan sembarangan serta kurang menunjukkan proses pembelajaran yang baik. Ada LPTK yg menyelenggarakan kelas jauh dan diselenggarakan pada tempat yg kurang memenuhi persyaratan (seperti di gedung SD), demikian juga perkuliahan dilaksanakan secara borongan setiap seminggu sekali, bahkan ada yang sebulan sekali serta tidak menuntut kehadiran mahasiswanya secara optimal. Hal ini tentu saja akan membuat lulusan yg kurang berkualitas. Lebih-lebih perkuliahan diselenggarakan dengan dosen dan wahana prasarana seadanya, maka hal itu akan lebih memperburuk kualitas lulusan LPTK dan selanjutnya bila lulusan LPTK tadi diangkat sebagai pengajar, maka hal tadi akan bisa memperpuruk citra pengajar sebagai energi profesional dalam bidang pendidikan. 

Banyak temuan perkara dalam pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), pelatihan pengajar-guru yang nir lulus tunjangan profesi profesi pengajar melalui jalur portofolio pada rayon 16 (Universitas Jember) yg menerangkan, bahwa guru nir memenuhi kreteria profesional, khususnya dalam penguasaan bidang studi yg wajib diajarkan. Banyak pengajar yang mengikuti sertifikasi dalam bidang pendidikan bahasa Inggris, tetapi waktu praktik mengajar (peer teaching), mereka nir mampu dan bahkan nir berani mengajar Bahasa Inggris ataupun banyak salah konsep pada melakukan pembelajaran. Demikian pula dalam kasus pengajar matematika, poly guru peserta PLPG tersebut ternyata jua membuat kesalahan konsep yg sangat fundamental dalam melaksanakan pembelajaran pada peer teaching, pada hal mereka sudah sebagai pengajar relatif usang. Inilah diantaranya merupakan salah satu pengaruh menurut proses pendidikan calon guru yg dilaksanakan menggunakan kurang baik dan sembarangan. Semua itu jika nir segera diatasi akan bisa semakin memperpuruk citra profesi pengajar.

Di samping itu, faktor kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan serta rendahnya pembiayaan pendidikan pula merupakan galat satu kendala pada meningktkan kualitas proses dan output pembelajaran dalam sebagian akbar LPTK. Sebagian besar LPTK memiliki kelengkapan wahana dan prasarana pendidikan yang relatif memprihatinkan. Bahkan beberapa komponen sarana yang vital sekalipun tidak dimiliki, misalnya laboratorium bahasa, laboratorium IPA, laboratorium microteaching, dan peralatan pembelajaran lainnya. Hal demikian itu menyebabkan kurang optimalnya proses pembelajaran yang berlangsung. Belajar nahasa, contohnya tidak dapat mempraktikkan pada laboratorium sebagai akibatnya tingkat akurasinya kurang. Demikian jua dalam belajar ekamatra juga tidak bisa dilakukan dengan percobaan-percobaan laboratorium. Belajar fisika hanya dilakukan menggunakan ceramah serta diskusi, sehingga hingga terlontar insinuasi, apakah ini sedang belajar ekamatra ataukah “sastra ekamatra”? Sindiran itu ada lantaran pembelajaran fisika yang seharusnya poly dipraktikkan ternyata hanya dilakukan dengan cerita belaka, bagaikan pembelajaran sastra. Demikian juga berdasarkan segi biaya pendidikan, biasanya LPTK merupakan perguruan tinggi yang miskin, sebagai akibatnya pembiayaan proses pembelajaran yg berlangsung juga sangat minim. Padahal pembelajaran yang berkualitas sanga memerlukan pembiayaan yg cukup mahal, baik buat kesejahteraan dosennya, juga buat porto-porto operasional pembelajaran yang lainnya. Dampak berdasarkan hal itu akan mengakibatkan kurang berkualitasnya lulusan yg didapatkan LPTK, dan imbas lebih lanjut hal itu merupakan bisa mengurangi akuntabilitas LPTK yang ada.

Rendahnya input LPTK pula menjadi keliru satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Secara sistemik kesemua komponen pembelajaran di LPTK memang sangat berpengaruh, termasuk berpengaruh pada masukan atau input LPTK tadi. Sebagai suatu misal, lantaran eksistensi jabatan pengajar masih belum menarik, maka hal itu bisa berdampak dalam perolehan input yg kurang berkualitas pula. Para anak didik SLTA yg potensial biasanya tidak tertarik buat memasuki forum pendidikan guru, dan mereka lebih cenderung untuk menentukan profesi-profesi yang keren dan bergengsi, misalnya dokter, teknologi, farmasi, komputer dan lain sebagainya karena profesi tersebut lebih menjanjikan nasib mereka pada masa yang akan tiba. Dengan tidak bisa direkrutnya input yg berkualitas, maka hal itu akan berdampak dalam kurang berkualitasnya lulusan LPTK, serta impak lebih lanjut hal itu merupakan bisa mengurangi akuntabilitas LPTK itu senndiri.

2. Pendidikan Dalam Jabatan (inservice training) Kurang Baik 
Pembinaan guru melalui penataran selama ini dirasa kurang intensif, kurang mengena target, sehingga dapat menghipnotis mutu guru. Penataran ternyata nir dapat mempertinggi profesional-itas pengajar. Penataran hanya dapat menambah pengetahuan pengajar serta belum terdapat bukti mampu membarui prilaku dan perilaku profesionalisme pengajar. Bahka hasil penelitian memberitahuakn, bahwa para pengajar yang ditatar dan yg tidak ditatar menunjukkan perilaku yg sama pada hal penerapan CBSA sebagai pembaharuan pendidikan (Sulthon, 1997). Banyak kegiatan penataran yg dilakukan dengan sia-sia, karena tidak diawali dengan identifikasi kebutuhan riil pada lapangan. Penataran umumnya dilakukan menggunakan pendekatan “top-down”, sebagai akibatnya materi penataran kurang menyentuh kebutuhan riil pada lapangan. Dampaknya pengajar yg ditatar kurang berminat terhadap materi penataran yang disampaikan. 

Di samping itu, permasalahan lain menurut lemahnya penyelenggaraan penataran tersebut adalah berkaitan dengan energi penatar atau pembinaan. Kebanyakan tenaga penatar atau pelatih yg ditugasi buat melatih kurang menguasai materi dengan baik. Demikian pula bila dipandang berdasarkan proses penyelenggraan penataran jua kurang sempurna. Selama ini penataran guru sering nir berdasarkan atas kebutuhan riil para guru. Kebanyakan penataran dilaksanakan aas cita-cita pengambil kebijakan, serta bukan didasarkan atas kebutuhan pengajar pada lapangan, sebagai akibatnya output penataran juga kurang optimal.

Semestinya penataran diselenggarakan berdasarkan output pemetaan kebutuhan pengajar di lapangan. Sebelum penataran perlu dilakukan identifikasi kebutuhan pengajar. Pemetaan kebutuhan pengajar pula dapat dilakukan dari hasil ujian nasional (UNAS/UN). Dari output UN tersebut bisa dipetakan kebutuhan guru di lapangan. Jika hasil UN di wilayah tertentu menampakan, bahwa sebagian besar siswa pada daerah tertentu nilai matematikanya buruk, maka guru matematika memerlukan penataran matematika, apabila bahasa Inggris rata-rata buruk, maka guru bahasa Inggris perlu mendapatkan penataran, serta sebagainya. Dengan demikian program penataran pengajar akan menjadi lebih fungsional serta mengena pada sasaran yang dibutuhkan. 

3. Organisasi Profesi Guru Lemah
Keberadaan organisasi profesi pengajar yang ada sampai saat ini masih rendah. Organisasi tadi masih seringkali terpancing dalam kegiatan-aktivitas non-profesional, seperti politk serta kepentingan eksklusif yang nir terdapat kaitannya dengan kepentingan profesional. Dengan demikian fungsi organisasi sebagai indera buat pengembangan dan usaha gerombolan profesi kurang optimal. 

Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi organisasi profesi pengajar. Organisasi profesi pengajar hasus diorientasikan dalam pengembangan profesionalitas guru dengan cara acapkali melakukan identifikasi kebutuhan dan perseteruan profesional, dan menindaklanjuti menggunakan training pada anggotanya. Organisasi ini pula harus dapat mengendalikan keanggotaannya secara ketat, artinya hanya mereka yg memenuhi persyaratan sebagai guru saja yg dapat diterima menjadi anggota serta berpraktik menjadi guru, meskipun mengajar di swasta. Organisasi ini pula wajib memegang kendali profesi, dalam pengertian bahwa organisasi ini jua harus berperan pada memberikan rekomendasi kelayakan bagi setiap orang yang akan berpraktik sebagai pengajar. Apabila organisasi ini belum menaruh rekomendasi, maka siapapun, termasuk pemerintah tidak boleh memberikan ijin atau mengangkatnya menjadi guru. Untuk melaksanakan tugas ini, perlengkapan organisasi wajib dibenahi secara baik.

Di samping itu, organisasi ini jua harus dapat membentuk solidaritas profesi yang tinggi di antara anggotanya. Sesama anggota organisasi profesi wajib ditumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling membutuhkan, rasa saling mengisi, dan rasa saling memilki yg tinggi. Solidaritas yg tinggi ini terutama dibutuhkan untukm peningkatan profesionalitas serta kesejahteraan para anggotanya. Apabila hal itu dapat diwujudkan, maka nilai bargaining organisasi ini jua akan tinggi. Organisasi ini akan diakui dan disegani siapa saja, baik sang rakyat, pemerintah, maupun gerombolan profesi lainnya. Dengan demikian, maka eksistensi profesi guru pada masa akan tiba akan dapat terangkat kredibiltasnya. 

4. Kode Etik Profesi Guru Longgar 
Kode etik menjadi landasan moral dan rambu-rambu tingkah laku bagi setiap anggota sangat menghipnotis kuat-tidaknya suatu profesi. Hingga ketika ini kode etik profesi guru kurang bisa berfungsi dengan baik. Kode etik tadi kurang ”membumi” dan terkesan sebagai pelengkap organisasi saja. Bahkan kebanyakan guru kurang mengenalnya dengan baik. Akibatnya, kode etik tadi kurang mewarnai perilaku guru pada menjalankan tugas sehari-hari. 

Permasalahan lain, pada negeri kita ini yang merasa terikat menggunakan berbagai peraturan hanyalah guru negeri, sedangkan pengajar partikelir tidak merasa terikat. Selama ini pengajar partikelir merasa terbebas berdasarkan segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, lantaran mereka tidak dibayar sang pemerintah. Pada hal jumlah guru partikelir relatif banyak, dan bahkan kemungkinan sanggup lebih poly berdasarkan dalam pengajar negeri. Demikian pula, apabila terjadi masalah pelanggaran pada keliru satu guru, meskipun itu pengajar swasta dampaknya relatif luas bagi profesi pengajar secara keseluruhan. Hal inilah yg perlu segera aicarikan penyelesaiannya. Kode etik guru wajib dikembangkan dan disosialisasikan secara terus menerus, baik pada guru negeri maupun partikelir, serta bahkan kepada calon pengajar. Apabila perlu kode etik guru harus masuk pada kurikulum pendidikan guru. Dengan demikian ”jiwa guru” yang melekat dalam kode etik guru tadi telah dapat dihafal serta dijiwai sang para calon guru sejak pada proses pendidikan guru. Jika ini dapat dicapai, maka di masa mendatang nir akan ada pengajar yang masih asing lagi terhadap kode etik jabatan pengajar. 

5. Penghargaan terhadap Jabatan Guru Kurang Baik
Nilai suatu jabatan keliru satu di antaranya merupakan dipengaruhi sang tinggi rendahnya penghargaan terhadap jabatan tersebut. Jika jabatan tersebut mendapat penghargaan yang tinggi (terutama penghargaan finansial atau gaji tinggi), maka jabatan tersebut bisa dipercaya bernilai tinggi sehingga dihargai dan diminati banyak orang. Sebaliknya bila berdasarkan jabatan tersebut nir dapat memberikan penghasilan yg tinggi, maka jabatan tersebut dianggap kurang bernilai tinggi sehingga kurang dihargai dan kurang diminati banyak orang.

Jabatan guru selama ini termasuk jabatan yang kurang mendapatkan penghargaan yang layak. Gaji serta penghasilan pengajar selama ini sangat rendah. Penghasilan yg diperoleh menurut jabatan pengajar selama ini kurang dapat menjamin kelayakan hidup famili, apa lagi buat pembiayaan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan famili. Bahkan poly di antara para guru terpaksa harus mencari tambahan penghasilan lain pada luar profesinya, misalnya sebagai ”tukang ojek” seusai mengajar atau bekerja di sektor pertukangan dan jasa lainnya. Semua itu jelas dapat menurunkan nilai jabatan guru.

Apabila hal-hal tadi tidak segera ditangani secara baik, maka sampai kapanpun jabatan pengajar nir akan memperoleh penghargaan yg baik. Dampak lebih jauh merupakan kurang tertariknya generasi belia buat sebagai guru. Jika hal itu terjadi, maka upaa untuk menerima pengajar-guru yg baik akan sulit diwujudkan, sebab dengan kurang menariknya jabatan pengajar tersebut, maka generasi belia yang baik serta potensial akan enggan menadi pengajar, ia akan menentukan profesi lain yg lebih menarik.

Untuk menaikkan keberadaa profesi pengajar tersebut kiranya perlu segera direalisasikan hak-hak pengajar yang tercantum pada UU No. 14 tahun 2005. Apabila hal itu te;lah dilaksanakan, maka pada masa yg akan tiba, profesi guru akan sebagai profesi yg cukup bergengsi. Dengan demikian profesi guru akan sebagai profesi yang diminati, termasuk generasi muda yg baik serta potensial.

6. Kurang Adanya Perlindungan Jabatan Guru
Selama ini profesi pengajar kurang menerima perlindungan secara aturan. Ringannya persyaratan sebagai pengajar, terutama di forum swasta dapat menurunkan eksistensi profesi ini. Profesi ini terkesan “murahan”, dan siapa saja boleh memangkunya. Kondisi yg demikian ini membuat eksistensi profesi guru menjadi lemah. Untuk menaikkan eksistensi profesi guru tersebut perlu adanya persyaratan yg ketat buat sebagai pengajar, baik dalam sekolah-sekolah negeri, juga partikelir. Siapa saja yang melakukan tugas sebagai pengajar harus memiliki sertifikat kelayakan menjadi guru yang memadai. 

Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidkan serta UU No. 14/2005 mengenai Guru dan Dosen, ditegaskan bahwa guru mulai TK hingga SLTA wajib memiliki ijazah minimal S1 atau D-IV. Hal itu mestinya wajib diterapkan secara ketat. Demikian juga supervisi serta sangsi terhadap pelanggarannya jua wajib dilakukan secara ketat jua. Seharusnya, siapa saja yang berpraktik menjadi guru tanpa mempunyai sertifikat kelayakan menjadi guru yg sah dan siapa saja yang memakai/memperkerjakan seorang menjadi pengajar tanpa disertai sertifikat menjadi guru yang sah dinyatakan bersalah serta dapat ditindak secara tegas. Dengan cara demikian itu diperlukan eksistensi profesi guru akan terlindungi.