PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar lantaran didukung oleh sejumlah informasi positif yaitu posisi geopolitik yg sangat strategis, kekayaan alam serta keanekaragaman biologi, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang akbar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mempunyai peluang yg sangat besar buat sebagai bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, serta bermartabat. Namun demikian, buat mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi aneka macam kasus nasional yang kompleks, yang tidak kunjung terselesaikan. Misalnya aspek politik, pada mana masalahnya meliputi kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara yang nir efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, serta berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yg belum mandiri, sistem keuangan serta perbankan yang nir memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, kasus yg terjadi ketika ini merupakan memudarnya rasa serta ikatan kebangsaan, salah tujuan nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).

Dari sejumlah warta positif atas kapital besar yg dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi kapital yg paling krusial lantaran kemajuan serta kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-perkara politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan menggunakan SDM. Namun buat menuntaskan masalah-perkara tadi serta menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi buat sebagai Indonesia yg lebih maju dibutuhkan revitalisasi serta penguatan karakter SDM yg bertenaga. Salah satu aspek yg dapat dilakukan buat mempersiapkan karakter SDM yang kuat merupakan melalui pendidikan.

Pendidikan merupakan upaya yg berkala dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu supaya berkembang serta tumbuh menjadi insan yg mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, serta berakhlak mulia baik dipandang berdasarkan aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yg berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut buat dibuat atau dibangun. Bangsa Indonesia nir hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia bisa merealisasikan konsep pendidikan dengan cara training, training dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yg mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan merupakan“… agar sebagai insan yg beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yg demokratis serta bertanggung jawab”.

Melihat syarat kini serta akan tiba, ketersediaan SDM yg berkarakter adalah kebutuhan yang amat penting. Ini dilakukan buat mempersiapkan tantangan dunia dan daya saing bangsa. Memang nir mudah buat menghasilkan SDM yang tertuang pada UU tersebut. Persoalannya merupakan hingga ketika ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan impian pendidikan yang diharapkan. Misalnya buat perkara-perkara aktual, masih poly ditemukan murid yg menyontek pada kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama anak didik, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan pengajar, pendidik yang senantiasa menaruh model-contoh baik ke siswanya, pula nir kalah mentalnya. Misalnya guru nir sporadis melakukan kecurangan-kecurangan pada tunjangan profesi dan pada ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terperinci sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang kasus ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini kabar yang nir boleh diabaikan lantaran kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak sebagai insan yang tidak bermoral sebagaimana waktu ini seringkali kita melihat tayangan TV yg mempertontonkan fakta-kabar misalnya pencurian, perampokan, pelecehan seksual, korupsi, serta penculikan, yang dilakukan nir hanya sang orang-orang dewasa, akan tetapi juga sang anak-anak usia belasan.

Mencermati hal ini, saya mencoba menaruh beberapa gagasan buat penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu menciptakan pribadi yg kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada kiprah pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun rakyat.

Kenapa Pendidikan?
Pendidikan adalah hal terpenting buat menciptakan kepribadian. Pendidikan itu nir selalu asal berdasarkan pendidikan formal misalnya sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama buat menciptakan kepribadian, terutama anak atau siswa. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita bisa melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tadi. Dikatakan bahwa Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yg terstruktur serta berjenjang yg terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yg dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas forum kursus, forum pembinaan, gerombolan belajar, sentra kegiatan belajar masyarakat, serta majelis taklim, serta satuan pendidikan yang homogen. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga serta lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga serta lingkungan pada bentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Memperhatikan ketiga jenis pendidikan pada atas, terdapat kesamaan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal serta pendidikan non formal yg selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka nir saling mendukung buat peningkatan pembentukan kepribadian siswa. Setiap lembaga pendidikan tadi berjalan masing-masing sebagai akibatnya yang terjadi kini merupakan pembentukan pribadi siswa menjadi parsial, contohnya anak bersikap baik di tempat tinggal , namun waktu keluar tempat tinggal atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, mempunyai ’ketertarikan’ berteman menggunakan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-perilaku misalnya ini merupakan bagian menurut defleksi moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto serta Hisyam, 2000: 194).

Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun serta melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen forum pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan keliru satunya adalah pendidik serta orangtua berkumpul beserta mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, yg mencakup cita-cita buat menyendiri, kurang kemauan buat bekerja, mengalami kejenuhan, terdapat rasa kegelisahan, ada pertentangan sosial, terdapat kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai ada minat pada versus jenis, adanya perasaan malu yg berlebihan, dan selera berkhayal (Mappiare pada Suyanto serta Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mengusut tanda-tanda-gejala negatif yg dimiliki anak remaja pada biasanya, orangtua serta pendidik akan bisa menyadari serta melakukan upaya pemugaran perlakuan sikap terhadap anak pada proses pendidikan formal, non formal dan informal.

Ciri Karakter SDM
SDM adalah aset paling krusial untuk membentuk bangsa yang lebih baik dan maju. Tetapi buat mencapai itu, SDM yg kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang tidak sama menggunakan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan pada memegang prinsip, serta sifat-sifat unik lainnya yang melekat pada dirinya. 

Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep mengenai manusia Indonesia yg berkarakter dan senantiasa inheren dengan kepribadian bangsa. Ciri-karakteristik karakter SDM yang bertenaga meliputi (1) religious, yaitu mempunyai sikap hayati dan kepribadian yang taat beribadah, amanah, terpercaya, gemar memberi, saling tolong menolong, serta toleran; (2) moderat, yaitu mempunyai perilaku hayati yg tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta sanggup hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (tiga) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yg rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) berdikari, yaitu memiliki sikap hayati dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, ekonomis, menghargai saat, giat, wirausaha, kerja keras, serta memiliki cinta kebangsaan yg tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai humanisme universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44). 

Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita menciptakan karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital serta tidak terdapat pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yg bisa menghadapi tantangan regional serta global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional serta dunia yg dimaksud merupakan bagaimana generasi belia kita nir sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan buat mencapai insan yg mempunyai integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, amanah dan peduli dengan lingkungan.

Lickona (1992) menyebutkan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran dalam nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi belia merupakan keliru satu fungsi peradaban yg paling utama, (tiga) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, warga , atau forum keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yg secara universal masih diterima seperti perhatian, agama, rasa hormat, serta tanggungjawab, (lima) Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus buat pendidikan moral karena demokrasi adalah peraturan berdasarkan, buat serta oleh rakyat, (6) Tidak ada sesuatu menjadi pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen dalam pendidikan karakter krusial manakala kita mau serta terus sebagai guru yang baik, serta (7) Pendidikan karakter yang efektif menciptakan sekolah lebih beradab, peduli dalam warga , serta mengacu pada performansi akademik yg semakin tinggi.

Alasan-alasan di atas memberitahuakn bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin buat mengantisipasi masalah di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan kurang lebih, tidak mempunyai tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai apa yg dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya terpola untuk membantu orang untuk tahu, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yg membantu orang hidup dan bekerja beserta-sama sebagai famili, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa. 

Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang terdapat di pendidikan formal, non formal serta informal harus mengajarkan siswa atau anak buat saling peduli serta membantu menggunakan penuh keakraban tanpa diskriminasi lantaran berdasarkan menggunakan nilai-nilai moral serta persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik serta tokoh panutan sangat membantu menciptakan karakter siswa atau anak.

Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya buat mengimplementasikan pendidikan karakter merupakan melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini karakteristik-karakteristik pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
  1. Segala sesuatu pada sekolah diatur dari perkembangan interaksi antara anak didik, guru, dan masyarakat
  2. Sekolah adalah warga peserta didik yg peduli di mana ada ikatan yang jelas yg menghubungkan anak didik, pengajar, dan sekolah
  3. Pembelajaran emosional serta sosial setara menggunakan pembelajaran akademik
  4. Kerjasama dan kolaborasi pada antara siswa sebagai hal yg lebih primer dibandingkan persaingan
  5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik pada dalam juga di luar kelas
  6. Siswa-anak didik diberikan banyak kesempatan buat mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-aktivitas misalnya pembelajaran memberikan pelayanan
  7. Disiplin serta pengelolaan kelas sebagai penekanan dalam memecahkan masalah dibandingkan bantuan gratis dan hukuman
  8. Model pembelajaran yang berpusat dalam pengajar harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi pada mana pengajar dan murid berkumpul buat menciptakan kesatuan, kebiasaan, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah pada mengimplementasikan pendidikan karakter meliputi (1) mengumpulkan pengajar, orangtua serta siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yg mereka ingin tekankan, (dua) menaruh pelatihan bagi pengajar tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan rakyat supaya murid bisa mendengar bahwa prilaku karakter itu penting buat keberhasilan pada sekolah serta pada kehidupannya, dan (4) menaruh kesempatan pada kepala sekolah, guru, orangtua dan warga buat sebagai contoh prilaku sosial dan moral (US Department of Education).

Mengacu dalam konsep pendekatan holistik serta dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tadi harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sebagai akibatnya nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam eksklusif anak tidak hanya hingga dalam tingkatan pendidikan tertentu atau hanya timbul di lingkungan keluarga atau warga saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak nir terkesan bersifat formalitas, tetapi sahih-sahih tertanam dalam jiwa anak.

Bagaimana Peran Pendidik pada Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yg krusial dia mempunyai kepentingan untuk membangun pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai rakyat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran mengenai peran pendidik, di antaranya:
  1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, serta merogoh inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter Pendidik bertanggungjawab untuk sebagai model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan buat mensugesti anak didik-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah sanggup sebagai “uswah hasanah” yg hidup bagi setiap siswa. Mereka juga wajib terbuka serta siap untuk mendiskusikan dengan siswa mengenai banyak sekali nilai-nilai yg baik tersebut. 
  2. Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam merogoh keputusan
  3. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin buat memastikan bahwa murid-siswanya mengalami perkembangan karakter. 
  4. Pendidik perlu mengungkapkan atau mengklarifikasikan pada siswa secara terus menerus mengenai berbagai nilai yang baik serta yang jelek. 
Hal-hal lain yg pendidik dapat lakukan pada implementasi pendidikan karakter (Djalil serta Megawangi, 2006) merupakan: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yg melibatkan partisipatif aktif murid, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yg kondusif, (tiga) pendidik perlu menaruh pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan menggunakan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan murid masing-masing dalam memakai metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan insan. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membangun karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, contohnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.

Berdasarkan penerangan di atas, aku mencoba mengkategorikan peran pendidik pada setiap jenis lembaga pendidikan pada membentuk karakter murid. Dalam pendidikan formal serta non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan anak didik pada mendiskusikan materi pembelajaran, (dua) harus menjadi model tauladan kepada siswanya pada berprilaku dan bercakap, (tiga) harus bisa mendorong murid aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yg variatif, (4) wajib sanggup mendorong dan membuat perubahan sebagai akibatnya kepribadian, kemampuan serta harapan guru bisa membangun hubungan yg saling menghormati serta bersahabat menggunakan siswanya, (5) wajib sanggup membantu serta mengembangkan emosi serta kepekaan sosial murid supaya murid menjadi lebih bertakwa, menghargai kreasi lain, mengembangkan estetika dan belajar soft skills yg bermanfaat bagi kehidupan murid selanjutnya, dan (6) harus menerangkan rasa kecintaan kepada anak didik sebagai akibatnya guru pada membimbing anak didik yg sulit tidak mudah putus harapan.

Sementara pada pendidikan informal seperti keluarga serta lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menampakan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) wajib mempunyai kedekatan emosional pada anak menggunakan menampakan rasa afeksi, (tiga) wajib menaruh lingkungan atau suasana yang aman bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya buat senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.

Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana diklaim pada atas, diharapkan akan tumbuh serta berkembang karakter kepribadian yang mempunyai kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter berdikari serta unggul, (dua) komitmen dalam kemandirian dan kebebasan, (3) pertarungan bukan potensi laten, melainkan situasi monumental serta lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik menggunakan perbedaan etnik dan kepercayaan (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang akbar lantaran didukung sang sejumlah informasi positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, serta jumlah penduduk yang akbar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat akbar buat sebagai bangsa yg maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, buat mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi aneka macam kasus nasional yg kompleks, yg nir kunjung terselesaikan. Misalnya aspek politik, pada mana masalahnya meliputi kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara yg tidak efektif, sistem kepartaian yang nir mendukung, serta berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi yg tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yg belum mandiri, sistem keuangan serta perbankan yg nir memihak, serta kebijakan perdagangan serta industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, perkara yg terjadi waktu ini merupakan memudarnya rasa serta ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi serta integrasi sosial, serta melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).

Dari sejumlah berita positif atas kapital akbar yg dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yg besar menjadi modal yang paling krusial karena kemajuan serta kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-perkara politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan menggunakan SDM. Tetapi buat merampungkan perkara-perkara tadi serta menghadapi aneka macam persaingan peradaban yang tinggi buat menjadi Indonesia yang lebih maju diharapkan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yg bertenaga. Salah satu aspek yang bisa dilakukan buat mempersiapkan karakter SDM yg bertenaga adalah melalui pendidikan.

Pendidikan adalah upaya yg bersiklus dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh sebagai manusia yg berdikari, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, serta berakhlak mulia baik dicermati menurut aspek jasmani juga ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut buat dibuat atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sisdiknas yang menyampaikan bahwa tujuan pendidikan adalah“… supaya menjadi manusia yg beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yg berkarakter adalah kebutuhan yg amat vital. Ini dilakukan buat mempersiapkan tantangan dunia serta daya saing bangsa. Memang tidak gampang buat menghasilkan SDM yg tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga ketika ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan hasrat pendidikan yg diperlukan. Misalnya buat perkara-perkara aktual, masih poly ditemukan murid yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama murid, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, serta lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa menaruh model-contoh baik ke siswanya, pula nir kalah mentalnya. Misalnya pengajar nir sporadis melakukan kecurangan-kecurangan pada sertifikasi serta pada ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terperinci sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka dari tahun 1945. Memang masalah ini nir dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita nir menginginkan anak bangsa kita kelak menjadi manusia yang nir bermoral sebagaimana saat ini tak jarang kita melihat tayangan TV yg mempertontonkan berita-berita misalnya pencurian, perampokan, pelecehan seksual, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya sang orang-orang dewasa, akan tetapi jua sang anak-anak usia belasan.

Mencermati hal ini, aku mencoba memberikan beberapa gagasan buat penguatan mutu karakter SDM sebagai akibatnya mampu menciptakan langsung yg kuat dan andal. Pembahasan ini akan mengacu pada kiprah pendidikan, terutama pendidik menjadi kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter pada sekolah dan lingkungan baik keluarga juga masyarakat.

Kenapa Pendidikan?
Pendidikan adalah hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu nir selalu dari dari pendidikan formal misalnya sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal serta non formal pun memiliki kiprah yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga disparitas contoh forum pendidikan tadi. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur serta berjenjang yg terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yg bisa dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas forum kursus, forum pelatihan, grup belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, serta majelis taklim, serta satuan pendidikan yg sejenis. Sedangkan pendidikan informal merupakan jalur pendidikan keluarga serta lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan sang famili dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kesamaan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yg selama ini berjalan terpisah satu menggunakan yg lainnya. Mereka nir saling mendukung buat peningkatan pembentukan kepribadian siswa. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi kini merupakan pembentukan pribadi siswa menjadi parsial, contohnya anak bersikap baik di tempat tinggal , namun saat keluar rumah atau berada pada sekolah dia melakukan perkelahian antarpelajar, mempunyai ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap misalnya ini adalah bagian menurut defleksi moralitas serta prilaku sosial pelajar (Suyanto serta Hisyam, 2000: 194).

Oleh karenanya, ke depan pada rangka membangun serta melakukan penguatan siswa perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan keliru satunya adalah pendidik serta orangtua berkumpul beserta mencoba tahu gejala-gejala anak dalam fase negatif, yg mencakup harapan buat menyendiri, kurang kemauan untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, terdapat pertentangan sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat dalam lawan jenis, adanya perasaan membuat malu yang hiperbola, serta kesukaan berkhayal (Mappiare dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-tanda-tanda negatif yang dimiliki anak remaja dalam umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya pemugaran perlakuan sikap terhadap anak pada proses pendidikan formal, non formal serta informal.

Ciri Karakter SDM
SDM merupakan aset paling krusial untuk membangun bangsa yang lebih baik serta maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yg kita miliki wajib berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang tidak sinkron menggunakan orang lain misalnya keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang inheren dalam dirinya. 

Secara lebih rinci, aku kutip beberapa konsep tentang insan Indonesia yg berkarakter dan senantiasa inheren menggunakan kepribadian bangsa. Ciri-karakteristik karakter SDM yang bertenaga meliputi (1) religious, yaitu mempunyai perilaku hidup serta kepribadian yg taat beribadah, amanah, terpercaya, senang memberi, saling tolong menolong, dan toleran; (dua) moderat, yaitu memiliki sikap hayati yang tidak radikal serta tercermin pada kepribadian yg tengahan antara individu serta sosial, berorientasi materi serta ruhani serta mampu hidup serta kerjasama dalam kemajemukan; (tiga) cerdas, yaitu mempunyai perilaku hidup serta kepribadian yg rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; serta (4) berdikari, yaitu memiliki sikap hidup serta kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai ketika, giat, wirausaha, kerja keras, serta memiliki cinta kebangsaan yg tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai humanisme universal dan interaksi antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44). 

Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak tanggal dengan bagaimana kita membangun karakter SDM. Pembentukan karakter SDM sebagai vital dan tidak terdapat pilihan lagi buat mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang bisa menghadapi tantangan regional dan dunia (Muchlas pada Sairin, 2001: 211). Tantangan regional serta dunia yg dimaksud adalah bagaimana generasi belia kita tidak sekedar mempunyai kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif serta moralitas pula tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter dibutuhkan buat mencapai insan yg mempunyai integritas nilai-nilai moral sebagai akibatnya anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli menggunakan lingkungan.

Lickona (1992) mengungkapkan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi belia saling melukai lantaran lemahnya pencerahan dalam nilai-nilai moral, (dua) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan galat satu fungsi peradaban yang paling primer, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting saat banyak anak-anak memperoleh sedikit pedagogi moral menurut orangtua, rakyat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima misalnya perhatian, kepercayaan , rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus buat pendidikan moral lantaran demokrasi merupakan peraturan berdasarkan, buat dan sang masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu menjadi pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus sebagai pengajar yg baik, serta (7) Pendidikan karakter yg efektif membuat sekolah lebih mudun, peduli pada warga , serta mengacu pada performansi akademik yang meningkat.

Alasan-alasan pada atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin buat mengantisipasi dilema pada masa depan yg semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian serta kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya agama diri, serta lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai apa yang dimaksud menggunakan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind serta Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya berkala buat membantu orang buat tahu, peduli, serta bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir serta berbuat yang membantu orang hidup serta bekerja beserta-sama sebagai famili, teman, tetangga, warga , serta bangsa. 

Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yg terdapat pada pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan siswa atau anak buat saling peduli serta membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi lantaran berdasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa kiprah pendidik serta tokoh panutan sangat membantu membangun karakter peserta didik atau anak.

Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter merupakan melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke pada setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan keseluruhan (Elkind dan Sweet, 2005).
  1. Segala sesuatu di sekolah diatur dari perkembangan interaksi antara murid, pengajar, serta masyarakat
  2. Sekolah adalah rakyat peserta didik yg peduli pada mana ada ikatan yang kentara yang menghubungkan anak didik, pengajar, serta sekolah
  3. Pembelajaran emosional serta sosial setara dengan pembelajaran akademik
  4. Kerjasama serta kolaborasi di antara siswa sebagai hal yg lebih primer dibandingkan persaingan
  5. Nilai-nilai misalnya keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di pada juga di luar kelas
  6. Siswa-siswa diberikan poly kesempatan buat mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-aktivitas seperti pembelajaran menaruh pelayanan
  7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi penekanan dalam memecahkan kasus dibandingkan bantuan gratis serta hukuman
  8. Model pembelajaran yang berpusat dalam pengajar wajib ditinggalkan serta beralih ke kelas demokrasi di mana pengajar dan murid berkumpul buat membentuk kesatuan, kebiasaan, serta memecahkan masalah
Sementara itu kiprah forum pendidikan atau sekolah pada mengimplementasikan pendidikan karakter meliputi (1) mengumpulkan guru, orangtua dan murid beserta-sama mengidentifikasi serta mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) menaruh training bagi pengajar tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan serta budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan warga supaya siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting buat keberhasilan di sekolah serta di kehidupannya, dan (4) menaruh kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan rakyat buat menjadi model prilaku sosial serta moral (US Department of Education).

Mengacu dalam konsep pendekatan keseluruhan dan dilanjutkan menggunakan upaya yang dilakukan forum pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tadi harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yg telah tertanam pada langsung anak tidak hanya hingga pada strata pendidikan eksklusif atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yg dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, tetapi sahih-sahih tertanam dalam jiwa anak.

Bagaimana Peran Pendidik pada Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu mampu guru, orangtua atau siapa saja, yg krusial dia memiliki kepentingan buat membentuk pribadi siswa atau anak. Peran pendidik dalam intinya merupakan menjadi warga yg belajar serta bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) dan Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran mengenai kiprah pendidik, pada antaranya:
  1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, serta mengambil inisiatif menjadi upaya membentuk pendidikan karakter Pendidik bertanggungjawab buat menjadi contoh yg memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan buat menghipnotis siswa-siswanya. Artinya pendidik pada lingkungan sekolah hendaklah bisa sebagai “uswah hasanah” yg hidup bagi setiap siswa. Mereka jua harus terbuka dan siap buat mendiskusikan menggunakan siswa mengenai banyak sekali nilai-nilai yang baik tersebut. 
  2. Pendidik perlu menaruh pemahaman bahwa karakter murid tumbuh melalui kerjasama serta berpartisipasi dalam merogoh keputusan
  3. Pendidik perlu melakukan refleksi atas kasus moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter. 
  4. Pendidik perlu menyebutkan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus mengenai berbagai nilai yg baik serta yang jelek. 
Hal-hal lain yang pendidik bisa lakukan pada implementasi pendidikan karakter (Djalil serta Megawangi, 2006) merupakan: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yg melibatkan partisipatif aktif anak didik, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang aman, (3) pendidik perlu menaruh pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, serta berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, serta (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan anak didik masing-masing dalam memakai metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan insan. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih serta menciptakan karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sebagai akibatnya terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.

Berdasarkan penjelasan pada atas, aku mencoba mengkategorikan peran pendidik pada setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter murid. Dalam pendidikan formal serta non formal, pendidik (1) wajib terlibat pada proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa pada mendiskusikan materi pembelajaran, (dua) harus menjadi contoh tauladan pada siswanya dalam berprilaku serta bercakap, (tiga) harus bisa mendorong siswa aktif pada pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yg variatif, (4) harus bisa mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan serta asa guru bisa menciptakan hubungan yg saling menghormati serta bersahabat dengan siswanya, (lima) harus mampu membantu serta berbagi emosi serta kepekaan sosial murid supaya anak didik sebagai lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan serta belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan anak didik selanjutnya, dan (6) harus memberitahuakn rasa kecintaan kepada siswa sebagai akibatnya pengajar pada membimbing anak didik yg sulit tidak gampang putus harapan.

Sementara dalam pendidikan informal misalnya keluarga serta lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh rakyat (1) harus menampakan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional pada anak menggunakan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) wajib menaruh lingkungan atau suasana yang aman bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya buat senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya menggunakan beribadah secara rutin.

Berangkat menggunakan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana diklaim pada atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang mempunyai kemampuan unggul pada antaranya: (1) karakter mandiri serta unggul, (dua) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (tiga) pertarungan bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (lima) mencegah supaya stratifikasi sosial identik menggunakan disparitas etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

DOWNLOAD MODUL/BUKU TEKS PENILAIAN PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER PPK

Download Modul/Buku Teks Penilaian Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) selain adalah kelanjutan dan transedental berdasarkan Gerakan Nasional Pendidikan Karakter Bangsa Tahun 2010 pula adalah bagian integral Nawacita. Dalam hal ini buah 8 Nawacita: Revolusi Karakter Bangsa dan Gerakan Revolusi Mental dalam pendidikan yg hendak mendorong seluruh
pemangku kepentingan buat mengadakan perubahan kerangka berpikir, yaitu perubahan pola pikir serta cara bertindak, dalam mengelola sekolah. Untuk itu, Gerakan PPK menempatkan nilai karakter menjadi dimensi terdalam pendidikan yang membudayakan dan memberadabkan para pelaku pendidikan. Terdapat  5 nilai primer pada Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yg saling berkaitan serta menciptakan jejaring nilai yg perlu dikembangkan menjadi prioritas Gerakan PPK. 

Kelima nilai utama karakter bangsa yang dimaksud merupakan sebagai berikut:

1. Religius

Nilai karakter religius mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan pada konduite melaksanakan ajaran kepercayaan serta agama yg dianut, menghargai disparitas agama,menjunjung tinggi sikap toleran terhadap aplikasi ibadah agama serta agama lain, hidup rukun dan hening dengan pemeluk kepercayaan lain.
Nilai karakter religius ini mencakup 3 dimensi rekanan sekaligus, yaitu hubungan individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, serta individu menggunakan alam semesta (lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku menyayangi serta menjaga keutuhan kreasi. Subnilai religius antara lain cinta hening, toleransi, menghargai perbedaan agama dan agama, teguh pendirian, percaya diri, kerja sama antar pemeluk kepercayaan serta agama, antibuli serta kekerasan,persahabatan, ketulusan, tidak memaksakan kehendak, menyayangi lingkungan, melindungi yg kecil dan tersisih.

2. Nasionalis

Nilai karakter nasionalis merupakan cara berpikir, bersikap, serta berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, serta penghargaan yg tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,serta politik bangsa, menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.subnilai nasionalis diantaranya apresiasi budaya bangsa sendiri,menjaga kekayaan budaya bangsa,rela berkorban, unggul, danberprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan,taat aturan, disiplin,menghormati keragaman budaya, suku,serta kepercayaan .

3. Mandiri

Nilai karakter berdikari adalah perilaku serta perilaku tidak bergantung pada orang lain serta mempergunakan segala energi, pikiran,saat buat merealisasikan harapan, mimpi serta asa.subnilai berdikari diantaranya etos kerja (kerja keras), tangguh tahan banting, daya juang, profesional, kreatif, keberanian, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat.

4. Gotong Royong

Nilai karakter gotong royong mencerminkan tindakan menghargai semangat kerja sama serta bahu membahu menuntaskan duduk perkara beserta, menjalin komunikasi dan persahabatan, memberi bantuan/pertolongan pada orang-orang yg membutuhkan. Subnilai gotong royong diantaranya menghargai, kerja sama,inklusif, komitmen atas keputusan beserta, musyawarah mufakat, tolongmenolong,solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, serta sikap kerelawanan.

5. Integritas

Nilai karakter integritas merupakan nilai yang mendasari perilaku yg berdasarkan dalam upaya mengakibatkan dirinya menjadi orang yg selalu bonafide dalam perkataan, tindakan, serta pekerjaan,memiliki komitmen serta kesetiaan pada nilai-nilai humanisme dan moral (integritas moral). Karakter integritas meliputi perilaku tanggung jawab sebagai rakyat negara, aktif terlibat pada kehidupan sosial, melalui konsistensi tindakan serta perkataan yang menurut kebenaran. Subnilai integritas antara lain kejujuran, cinta dalam kebenaran, setia,komitmen moral, anti korupsi, keadilan, tanggung jawab, keteladanan, dan menghargai prestise individu (terutama penyandang disabilitas).

Kelima nilai utama karakter bukanlah nilai yg berdiri dan berkembang sendiri-sendiri melainkan nilai yg berinteraksi satu menggunakan lainnya, yang berkembang secara dinamis serta membentuk keutuhan pribadi. Dari nilai utama manapun pendidikan karakter dimulai, individu dan sekolah pertlu mengembangkan nilai-nilai primer lainnya baik secara kontekstual juga universal. Nilai religius menjadi cerminan dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa diwujudkan secara utuh pada bentuk ibadah sinkron menggunakan kepercayaan serta keyakinan masing-masing serta dalam bentuk kehidupan antarmanusia menjadi gerombolan , rakyat,maupun bangsa. Dalam kehidupan sebagai masyarakat serta bangsa nilai – nilai religius dimaksud melandasi dan melebur di dalam nilai-nilai primer nasionalisme, kemandirian, gotong royong, serta integritas. Demikian pula apabila nilai utama nasionalis dipakai menjadi titik awal penanaman nilai-nilai karakter, nilai ini wajib dikembangkan berdasarkan nilai-nilai keimanan serta ketakwaan yg tumbuh beserta nilai-nilai lainnya.


Prinsip-Prinsip Pengembangan serta Implementasi PPK

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dikembangkan dan dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:

Prinsip 1 – Nilai-nilai Moral Universal

Gerakan PPK serius dalam penguatan nilai-nilai moral universal yg prinsip-prinsipnya bisa didukung sang segenap individu menurut banyak sekali macam latar belakang agama, keyakinan, agama, sosial,serta budaya.

Prinsip 2 – Holistik

Gerakan PPK dilaksanakansecara keseluruhan, pada arti pengembangan fisik (olah raga), intelektual (olah pikir), estetika (olah rasa), etika dan spiritual (olah hati) dilakukan secara utuh-menyeluruh serta serentak, baik melalui proses pembelajaran intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, berbasis pada pengembangan budaya sekolah juga melalui kerja sama menggunakan komunitas-komunitas di luar lingkungan pendidikan.

Prinsip tiga – Terintegrasi

Gerakan PPK menjadi poros pelaksanaan pendidikan nasional terutama pendidikan dasar dan menengah dikembangkan serta dilaksanakan dengan memadukan, menghubungkan, dan mengutuhkan aneka macam elemen pendidikan, bukan merupakan acara tempelan serta tambahan dalam proses pelaksanaan pendidikan.

Prinsip 4 – Partisipatif

Gerakan PPK dilakukan menggunakan mengikutsertakan serta melibatkan publik seluas-luasnya menjadi pemangku kepentingan pendidikan menjadi pelaksana Gerakan PPK. Kepala sekolah, pendidik, energi kependidikan, komite sekolah, dan pihak-pihak lain yg terkait dapat menyepakati prioritas nilai-nilai primer karakter dan kekhasan sekolah yg diperjuangkan pada Gerakan PPK, menyepakati bentuk serta strategi pelaksanaan Gerakan PPK, bahkan pembiayaan Gerakan PPK.

Prinsip lima – Kearifan Lokal

Gerakan PPK bertumpu serta responsif pada kearifan lokal nusantara yang demikian beragam serta majemuk supaya kontekstual serta membumi. Gerakan PPK harus mampu mengembangkan dan memperkuat kearifan lokal nusantara agar dapat berkembang dan berdaulat sehingga dapat memberi indentitas serta jati diri siswa menjadi bangsa Indonesia.

Prinsip 6 – Kecakapan Abad XXI

Gerakan PPK mengembangkan kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh peserta didik buat hayati pada abad XXI, diantaranya kecakapan berpikir kritis (critical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), kecakapan berkomunikasi (communication skill), termasuk dominasi bahasa internasional, serta kerja sama pada pembelajaran (collaborative learning).

Prinsip 7 – Adil serta Inklusif

Gerakan PPK dikembangkan dan dilaksanakan dari prinsip keadilan, non-subordinat, non-sektarian, menghargai kebinekaan serta disparitas (inklusif), dan menjunjung harkat serta prestise manusia.

Prinsip 8 – Selaras menggunakan Perkembangan Peserta Didik

Gerakan PPK dikembangkan serta dilaksanakan selaras menggunakan perkembangan siswa baik perkembangan biologis, psikologis,maupun sosial, supaya taraf kecocokan dan keberterimaannya tinggi dan aporisma. Dalam hubungan ini kebutuhan-kebutuhan perkembangan peserta didik perlu memperoleh perhatian intensif.

 Prinsip 9 – Terukur

Gerakan PPK dikembangkan serta dilaksanakan berlandaskan prinsip keterukuran agar dapat dimati dan diketahui proses serta hasilnya secara objektif. Dalam interaksi ini komunitas sekolah mendeskripsikan nilai-nilai utama karakter yg sebagai prioritas pengembangan di sekolah pada sebuah perilaku serta perilaku yg dapat diamati dan diukur secara objektif; menyebarkan program-acara penguatan nilai-nilai karakter bangsa yang mungkin dilaksanakan serta dicapai oleh sekolah;serta mengerahkan sumber daya yang dapat disediakan oleh sekolah serta pemangku kepentingan pendidikan.

Struktur Kurikulum Pelaksanaan PPK

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) nir mengubah kurikulum yg sudah ada, melainkan optimalisasi kurikulum pada satuan pendidikan. Gerakan PPK perlu dilaksanakan di satuan pendidikan melalui berbagai cara sesuai dengan kerangka kurikulum yaitu alokasi waktu minimal yg ditetapkan pada Kerangka Dasar serta Struktur Kurikulum, dan aktivitas ekstrakurikuler yg dikelola sang satuan pendidikan sesuai menggunakan peminatan dan ciri peserta didik, kearifan lokal, daya dukung, serta kebijaksanaan satuan pendidikan masing-masing.

Pelaksanaan Gerakan PPK disesuaikan menggunakan kurikulum dalam satuan pendidikan masing-masing serta dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:
  1. Mengintegrasikan dalam mata pelajaran yg terdapat pada pada struktur kurikulum serta mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) melalui aktivitas intrakurikuler dan kokurikuler. Sebagai kegiatan intrakurikuler serta kokurikuler, setiap guru menyusun dokumen perencanaan pembelajaran berupa Silabus serta Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sinkron mata pelajarannya masing-masing. Nilai-nilai primer PPK diintegrasikan ke dalam mata pelajaran sinkron topik utama nilai PPK yang akan dikembangkan/dikuatkan pada sesi pembelajaran tadi dan sinkron dengan karakteristik mata pelajaran masing-masing. Misalnya,mata pelajaran IPA untuk SMP mengintegrasikan nilai nasionalisme menggunakan mendukung perlindungan energi pada materi tentang tenaga.
  2. Mengimplementasikan PPK melalui kegiatan ekstrakurikuler yang ditetapkan sang satuan pendidikan. Pada aktivitas ekstrakurikuler,satuan pendidikan melakukan penguatan balik nilai-nilai karakter melalui banyak sekali kegiatan. Kegiatan ekskul dapat dilakukan melalui kolaborasi menggunakan warga dan pihak lain/forum yg relevan, misalnya PMI, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Perdagangan,museum, rumah budaya, serta lain-lain, sinkron menggunakan kebutuhan dan kreativitas satuan pendidikan.
  3. Kegiatan pembiasaan melalui budaya sekolah dibentuk dalam proses kegiatan rutin, impulsif, pengkondisian, dan keteladanan masyarakat sekolah. Kegiatan-aktivitas dilakukan pada luar jam pembelajaran buat memperkuat pembentukan karakter sesuai menggunakan situasi, syarat,ketersediaan wahana serta prasarana di setiap satuan pendidikan.
Basis Gerakan PPK

Gerakan PPK dapat dilaksanakan dengan berbasis struktur kurikulum yg telah terdapat dan mantap dimiliki oleh sekolah, yaitu pendidikan karakter berbasis kelas, budaya sekolah, dan rakyat/komunitas (Albertus, 2015).

Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Kelas
  • Mengintegrasikan proses pembelajaran di dalam kelas melalui isi kurikulum dalam mata pelajaran, baik itu secara tematik maupun terintegrasi dalam mata pelajaran.
  • Memperkuat manajemen kelas, pilihan metodologi, dan evaluasi pengajaran.
  • Mengembangkan muatan lokal sinkron menggunakan kebutuhan wilayah.
Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Sekolah
  • Menekankan pada pembiasaan nilai-nilai primer pada keseharian sekolah.
  • Menonjolkan keteladanan orang dewasa di lingkungan pendidikan.
  • Melibatkan seluruh ekosistem pendidikan pada sekolah.
  • Mengembangkan dan memberi ruang yg luas dalam segenap potensi anak didik melalui kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler.
  • Memberdayakan manajemen dan rapikan kelola sekolah.
  • Mempertimbangkan norma, peraturan, dan tradisi sekolah.
Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Masyarakat.
  • Memperkuat peranan Komite Sekolah serta orang tua sebagai pemangku kepentingan utama pendidikan.
  • Melibatkan dan memberdayakan potensi lingkungan menjadi sumber pembelajaran seperti keberadaan serta dukungan pegiat seni dan budaya, tokoh warga , dunia usaha, serta global industri.
  • Mensinergikan implementasi PPK menggunakan berbagai program yg terdapat dalam lingkup akademisi, pegiat pendidikan, dan LSM.
  • Mensinkronkan acara serta aktivitas melalui kolaborasi dengan pemerintah wilayah, kementerian serta lembaga pemerintahan, serta rakyat pada umumnya
Tujuan PPK

Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter memiliki tujuan menjadi berikut:
  1. Mengembangkan platform pendidikan nasional yg meletakkan makna serta nilai karakter menjadi jiwa atau generator utama penyelenggaraan pendidikan.
  2. Membangun dan membekali Generasi Emas Indonesia 2045 menghadapi dinamika perubahan di masa depan menggunakan keterampilan abad 21.
  3. Mengembalikan pendidikan karakter sebagai ruh serta fondasi pendidikan melalui harmonisasi olah hati (etik dan spiritual), olahrasa (estetik), olah pikir (literasi serta numerasi), serta olah raga (kinestetik)
  4. Merevitalisasi dan memperkuat kapasitas ekosistem pendidikan (ketua sekolah, pengajar, siswa, pengawas, serta komite sekolah) untuk mendukung perluasan implementasi pendidikan karakter.
  5. Membangun jejaring pelibatan rakyat (publik) sebagai sumber-sumber
  6. belajar di dalam serta di luar sekolah.
  7. Melestarikan kebudayaan dan jati diri bangsa Indonesia pada mendukung Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM)
Berkitan dengan manfaat PPK serta segela bentuk dokumen yg berhubungan dengan Penguatan Pendidikan Karakter bisa pada download berikut ini:

Semoga dokumen Modul/Buku Teks Penilaian Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dapat dimanfaatkan dalam aplikasi pendidikan pada masing-masing sekolah

PANDUAN PENYUSUNAN KTSP JENJANG SEKOLAH DASAR SD

Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Sekolah Dasar (Sekolah Dasar)

Dalam hal ini sengaja kami kutip dari kitab panduan ini, dengan ringkasan kutipan menjadi berikut. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri atas pulau akbar dan kecil yg berjumlah kurang lebih 17.504. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237.641.326 jiwa dengan banyak sekali keragaman. Keragaman yg sebagai karakteristik serta keunikan Indonesia antara lain geografis, potensi asal daya, ketersediaan wahana dan prasarana, latar belakang serta kondisi sosial budaya, serta keragaman lainnya yang masih ada di setiap wilayah. 
Keragaman tersebut selanjutnya melahirkan jua tingkatan kebutuhan serta tantangan pengembangan yang tidak sama antar wilayah pada rangka meningkatkan mutu serta mencerdaskan kehidupan rakyat di setiap wilayah. 

Terkait dengan pembangunan pendidikan, masing-masing daerah memerlukan pendidikan yang sinkron menggunakan karakteristik daerah. Kurikulum menjadi jantung pendidikan perlu dikembangkan serta diimplementasikan secara kontekstual untuk merespon kebutuhan daerah, satuan pendidikan, serta siswa di masa kini serta masa mendatang. 

Beranjak dari kondisi tersebut maka kurikulum dalam seluruh jenjang serta jenis pendidikan dikembangkan menggunakan prinsip diversifikasi sinkron menggunakan satuan pendidikan, potensi wilayah, dan siswa. Hal ini seperti yg diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, pasal 36 ayat dua “Kurikulum dalam seluruh jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, serta siswa”. 

Dalam implementasi kurikulum 2013, sekolah berkewajiban mengembangan kurikulum operasional yang dikembangkan serta diimplementasikan oleh 

satuan pendidikan diwujudkan dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hal ini sesuai dengan yg diamanatkan pada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan pasa 1 ayat 20 “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan merupakan Kurikulum operasional yg disusun sang dan dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan.” 

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yg majemuk mengacu pada baku nasional pendidikan buat menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. 

Standar nasional pendidikan terdiri atas baku kompetensi lulusan, baku isi, baku proses, baku pendidik dan tenaga kependidikan, baku sarana serta prasarana, baku pengelolaan, baku pembiayaan dan standar evaluasi pendidikan. 

Komponen KTSP misalnya yg termua pada pada Permendikbud Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, meliputi tiga dokumen. Dokumen 1 yg disebut dengan Buku I KTSP berisi sekurang-kurangnya visi, misi, tujuan, muatan, pengaturan beban belajar, serta kalender pendidikan. Dokumen dua yg disebut dengan Buku II KTSP berisi silabus dan dokumen 3 yg diklaim dengan Buku III KTSP berisi rencana pelaksanaan pembelajaran yg disusun sinkron potensi, minat, talenta, serta kemampuan siswa di lingkungan belajar. 

Panduan ini hanya memuat tentang pengembangan dokumen 1 atau Buku 1 KTSP.

Pada Bab II Pengertian, Acuan, Prinsip, dan Komponen  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan terkandung maksud:

A. Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional yg disusun sang serta dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Pengembangan KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah mengacu dalam Standar Nasional Pendidikan, Kerangka Dasar serta Struktur Kurikulum, dan panduan implementasi kurikulum. KTSP dikembangkan oleh satuan pendidikan menggunakan melibatkan komite sekolah/madrasah, serta lalu disahkan oleh kepala dinas pendidikan atau tempat kerja kementerian agama provinsi serta kabupaten/kota sinkron menggunakan kewenangannya.

B. Acuan Konseptual Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Dalam pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP Buku I) diharapkan mengacu pada acuan konseptual ini dia: 
  1. Peningkatan Iman, Takwa, serta Akhlak Mulia. Iman, takwa, serta akhlak mulia menjadi dasar pengembangan kepribadian peserta didik secara utuh. KTSP disusun agar semua mata pelajaran bisa menaikkan iman, takwa, serta akhlak mulia. 
  2. Toleransi dan Kerukunan Umat Beragama, kurikulum dikembangkan buat memelihara serta meningkatkan toleransi serta kerukunan antarumat beragama.
  3. Persatuan Nasional dan Nilai-Nilai Kebangsaan, kurikulum diarahkan buat membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yg menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan serta kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh karenanya, kurikulum harus menumbuh kembangkan wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional buat memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI. 
  4. Peningkatan Potensi, Kecerdasan, Bakat, dan Minat sesuai dengan Tingkat Perkembangan serta Kemampuan Peserta Didik, pendidikan adalah proses keseluruhan/sistemik serta sistematik buat menaikkan harkat dan prestise manusia yang memungkinkan potensi diri (perilaku, pengetahuan, dan keterampilan) berkembang secara optimal. Sejalan menggunakan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, bakat, minat, serta tingkat perkembangan kecerdasan; intelektual, emosional, sosial, spritual, dan kinestetik peserta didik. 
  5. Kesetaraan Warga Negara Memperoleh Pendidikan Bermutu, kurikulum diarahkan pada pengembangan perilaku, pengetahuan, serta keterampilan yg holistik dan berkeadilan dengan memperhatikan kesetaraan masyarakat negara memperoleh pendidikan bermutu. 
  6. Kebutuhan Kompetensi Masa Depan, kompetensi siswa yang dibutuhkan diantaranya berpikir kritis serta membuat keputusan, memecahkan kasus yg kompleks secara lintas bidang keilmuan, berpikir kreatif dan kewirausahaan, berkomunikasi dan berkolaborasi, menggunakan pengetahuan kesempatan secara inovatif, mengelola keuangan, kesehatan, serta tanggung jawab masyarakat negara.
  7. Tuntutan Dunia Kerja, kegiatan pembelajaran wajib bisa mendukung tumbuh kembangnya langsung siswa yg berjiwa kewirausahaan dan memiliki kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu membuatkan jiwa kewirausahaan serta kecakapan hayati untuk membekali siswa dalam melanjutkan studi dan/atau memasuki dunia kerja. Terlebih bagi peserta didik pada satuan pendidikan kejuruan serta peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yg lebih tinggi. 
  8. Perkembangan Iptek, pendidikan perlu mengantisipasi pengaruh global yg membawa rakyat berbasis pengetahuan pada mana Iptek sangat berperan menjadi penggerak utama perubahan. Pendidikan wajib terus menerus melakukan penyesuaian terhadap perkembangan Ipteks sehingga permanen relevan serta kontekstual menggunakan perubahan. Oleh karenanya, kurikulum wajib dikembangkan secara terencana dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Iptek. 
  9. Keragaman Potensi serta Karakteristik Daerah serta Lingkungan, daerah memiliki keragaman potensi, kebutuhan, tantangan, dan ciri lingkungan. Masing-masing wilayah memerlukan pendidikan yg sesuai menggunakan ciri daerah dan pengalaman hayati sehari-hari. Oleh karenanya, kurikulum perlu memuat keragaman tadi buat membuat lulusan yg relevan menggunakan kebutuhan pengembangan daerah dan lingkungan. 
  10. Tuntutan Pembangunan Daerah dan Nasional, pada era otonomi serta desentralisasi, kurikulum adalah salah satu media pengikat dan pengembang keutuhan bangsa yg bisa mendorong partisipasi warga dengan permanen mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, kurikulum perlu memperhatikan ekuilibrium antara kepentingan wilayah dan nasional. 
  11. Dinamika Perkembangan Global, kurikulum dikembangkan buat menaikkan kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yg sangat penting saat dunia digerakkan sang pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan buat hidup berdampingan dengan bangsa lain. 
  12. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Setempat, kurikulum dikembangkan menggunakan memperhatikan ciri sosial budaya masyarakat setempat serta menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi dalam budaya setempat ditumbuh kembangkan terlebih dahulu sebelum menyelidiki budaya dari wilayah serta bangsa lain. 
  13. Karakteristik Satuan Pendidikan, kurikulum dikembangkan sinkron menggunakan syarat serta karakteristik spesial satuan pendidikan. 

C. Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 
  1. Berpusat dalam potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan siswa serta lingkungannya dalam masa kini dan yang akan tiba. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik mempunyai posisi sentral buat menyebarkan kompetensinya supaya sebagai manusia yg beriman serta bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan sebagai masyarakat negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tadi pengembangan kompetensi peserta didik diubahsuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan siswa dan tuntutan lingkungan pada masa kini dan yg akan tiba. Memiliki posisi sentral berarti bahwa aktivitas pembelajaran harus berpusat pada peserta didik. 
  2. Belajar sepanjang hayat, kurikulum diarahkan dalam proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan kemampuan peserta didik buat belajar sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan syarat serta tuntutan lingkungan yg selalu berkembang serta arah pengembangan insan seutuhnya. 
  3. Menyeluruh serta berkesinambungan, substansi kurikulum meliputi holistik dimensi kompetensi (sikap, pengetahuan, serta keterampilan) bidang kajian keilmuan serta mata pelajaran yang direncanakan dan tersaji secara berkesinambungan antar jenjang pendidikan.

D. Komponen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Komponen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) meliputi 3 dokumen. Dokumen I diklaim menggunakan Buku I KTSP berisi sekurang-kurangnya memuat komponen: visi, misi, tujuan, muatan, pengaturan beban belajar, serta kalender pendidikan. Buku I KTSP menjadi tanggungjawab kepala sekolah. Buku II KTSP berisi silabus, serta Buku III KTSP berisi planning pembelajaran yg disusun sesuai potensi, minat bakat, dan kemampuan peserta didik pada lingkungan belajar. Panduan ini mengungkapkan secara lebih rinci muatan atau komponen yang dibuat pada pengembangan KTSP, adapun komponen tadi adalah sebagai ini dia.

Selanjutnya dapat dibaca sampai menggunakan tuntas setelah berhasil mendownload filenya.


Demikian ulasan singkat  materi Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Sekolah Dasar (Sekolah Dasar) semoga dapat dimafaatkan pada saat menyusun kurikulum yg seringkali kita susun pada athun baru pelajaran.
Bcaca jua: Berbagai pedoman pada Satuan Pendidikan Dasar Sekolah Dasar terkini
Terima kasih atas segala partisipasinya, serta semoga tetap berkunjung dalam waktu berikutnya menggunakan materi yg berbeda. Salam Pendidik semuanya.


PENGERTIAN KURIKULUM STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR

Pengertian Kurikulum, Standar Kompetensi Dan Kompetensi Dasar 
Pemberlakuan peraturan dan perundangan-undangan yg berkaitan dengan aplikasi swatantra pendidikan menuntut adanya upaya pembagian kewenangan dalam banyak sekali bidang pemerintahan. Hal tersebut membawa implikasi terhadap sistem serta penyelenggaraan pendidikan termasuk pengembangan dan aplikasi kurikulum. Tiga hal penting yg perlu menerima perhatian, yaitu:
1. Diversifikasi Kurikulum yang merupakan proses penyesuaian, perluasan, pendalaman materi pembelajaran supaya dapat melayani keberagaman kebutuhan dan taraf kemampuan siswa dan kebutuhan wilayah/lokal menggunakan berbagai kompleksitasnya.
2. Penetapan Standar Kompetensi (SK), dimaksudkan buat memutuskan ukuran minimal atau secukupnya, meliputi kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang wajib dicapai, diketahui, dilakukan, serta mahir dilakukan sang siswa dalam setiap tingkatan secara maju serta berkelanjutan menjadi upaya kendali dan jaminan mutu.
3. Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat dan Provinsi/ Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonomi merupakan pijakan primer buat lebih memberdayakan wilayah pada penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan potensi wilayah yang bersangkutan.
4. Untuk merespon ketiga hal tersebut di atas, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sudah melakukan penyusunan Standar Isi (SI), yang kemudian dituangkan kedalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22 tahun 2006, yg meliputi komponen:
a) Standar Kompetensi (SK), adalah berukuran kemampuan minimal yg mencakup pengetahuan, keterampilan serta perilaku yg harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap tingkatan berdasarkan suatu materi yang diajarkan.
b) Kompetensi Dasar (KD), adalah penjabaran SK siswa yg cakupan materinya lebih sempit dibanding menggunakan SK siswa.

Pendidikan Berbasis Kompetensi
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) angka 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional dalam Bab II Pasal 3 menjelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi membuatkan kemampuan dan membangun watak dan peradaban bangsa yg bemartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa agar sebagai insan yg beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta sebagai warga negara yg demokratis dan bertanggung jawab.

Standar kompetensi lulusan (SKL) suatu jenjang pendidikan sesuai menggunakan tujuan pendidikan nasional mencakup komponen ketakwaan, akhlak, pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian, kreativitas, kesehatan, serta kewarganegaraan. Semua komponen pada tujuan pendidikan nasional wajib tecermin dalam kurikulum serta sistem pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, tugas sekolah adalah berbagi potensi peserta didik secara optimal sebagai kemampuan buat hidup di warga serta ikut menyejahterakan warga . Lulusan suatu jenjang pendidikan harus mempunyai pengetahuan dan keterampilan dan berperilaku yang baik.

Untuk itu siswa wajib sanggup menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki sinkron dengan baku yg ditetapkan. SKL merupakan bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan yang diarahkan buat pengembangan potensi peserta didik sinkron dengan perkembangan ilmu, teknologi, seni, dan pergeseran paradigma pendidikan yg berorientasi pada kebutuhan peserta didik.

SKL adalah satu berdasarkan 8 baku nasional pendidikan (SNP), yg merupakan kompetensi lulusan minimal yang berlaku di daerah aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan adanya SKL, kita mempunyai patok mutu, baik penilaian bersifat mikro seperti kualitas proses dan kualitas produk pembelajaran, maupun evaluasi makro misalnya efektivitas serta efisiensi program pendidikan, sebagai akibatnya ke depan pendidikan kita akan melahirkan standar mutu yg bisa dipertanggungjawabkan dalam setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan. SKL mata pelajaran selanjutnya dijabarkan ke dalam SK serta KD.

Selain mengacu dalam SKL, pengembangan SK siswa dalam suatu mata pelajaran jua mengacu pada struktur keilmuan dan perkembangan peserta didik, yang dikembangkan sang para pakar mata pelajaran, ahli pendidikan dan pakar psikologi perkembangan, dengan mengacu dalam prinsip-prinsip:
1. Peningkatan Keimanan, Budi Pekerti Luhur, dan Penghayatan Nilai-Nilai Budaya.
Keimanan, budi pekerti luhur, dan nilai-nilai budaya perlu digali, dipahami, dan diamalkan buat mewujudkan karakter dan martabat bangsa.
2. Keseimbangan Etika, Logika, Estetika, dan Kinestetika.
Kegiatan Pembelajaran didesain menggunakan memperhatikan ekuilibrium etika, logika, keindahan, dan kinestetika.
3. Penguatan Integritas Nasional.
Penguatan integritas nasional dicapai melalui pendidikan yang menumbuhkembangkan pada diri siswa menjadi bangsa Indonesia melalui pemahaman dan penghargaan terhadap perkembangan budaya dan peradaban bangsa Indonesia yg bisa memberikan sumbangan terhadap peradaban dunia.
4. Perkembangan Pengetahuan dan Teknologi Informasi.
Kemampuan berpikir serta belajar dengan cara mengakses, memilih, serta menilai pengetahuan buat mengatasi situasi yang cepat berubah serta penuh ketidakpastian dan menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi informasi.
4. Pengembangan Kecakapan Hidup.
Kurikulum membuatkan kecakapan hidup melalui budaya membaca, menulis, serta kecakapan hitung; keterampilan, sikap, dan konduite adaptif, kreatif, kooperatif, serta kompetitif; serta kemampuan bertahan hidup.
5. Pilar Pendidikan.
Kurikulum mengorganisasikan fondasi belajar ke pada lima pilar sinkron dengan Panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), yaitu: (a) belajar buat beriman serta bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa; (b) belajar buat tahu dan menghayati; (c) belajar buat bisa melaksanakan serta berbuat secara efektif; (d) belajar buat hayati bersama serta bermanfaat buat orang lain; serta (e) belajar buat membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yg aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
6. Menyeluruh dan Berkesinambungan.
Kompetensi meliputi holistik dimensi kemampuan yaitu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap, pola pikir dan konduite yang disajikan secara berkesinambungan mulai dari usia taman kanak-kanak atau raudhatul athfal sampai menggunakan pendidikan menengah.
7. Belajar Sepanjang Hayat.
Pendidikan diarahkan pada proses pembudayaan serta pemberdayaan siswa yg berlanjut sepanjang hayat dengan mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal serta informal, sembari memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yg selalu berkembang dan arah pengembangan manusia seutuhnya.

SK siswa pada suatu mata pelajaran dijabarkan dari SKL lulusan, yakni kompetensi-kompetensi minimal yg wajib dikuasai lulusan eksklusif. Kemampuan yg dimiliki lulusan dicirikan dengan pengetahuan dan kemampuan atau kompetensi lulusan yang adalah modal utama untuk bersaing pada tingkat global, karena persaingan yang terjadi merupakan dalam kemampuan asal daya manusia (SDM). Oleh karena itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diperlukan akan membuat lulusan yg sanggup berkompetisi di taraf regional, nasional, dan global.

Kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan sekolah pada mengelola proses pembelajaran, dan lebih spesifik lagi adalah proses pembelajaran yg terjadi di kelas. Sesuai menggunakan prinsip swatantra dan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), pelaksana pembelajaran, pada hal ini guru, perlu diberi keleluasaan serta dibutuhkan sanggup menyiapkan silabus, memilih taktik pembelajaran, dan penilaiannya sinkron menggunakan kondisi serta potensi peserta didik serta lingkungan masing-masing. Berdasarkan pertimbangan tadi maka perlu dibuat buku pedoman cara menyebarkan silabus berbasis kompetensi. Pedoman pengembangan silabus yg meliputi dua macam, yaitu panduan generik serta pedoman khusus buat setiap mata pelajaran.

Pedoman umum pengembangan silabus memberi penerangan secara umum tentang prosedur serta cara mengembangkan SK serta KD sebagai indikator pencapaian kompetensi, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, evaluasi, alokasi waktu, asal belajar. Sedangkan panduan spesifik menjelaskan prosedur pengembangan sesuai dengan ciri mata pelajaran yang disertai model-contoh buat lebih memperjelas langkah-langkah pengembangan silabus.

Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pendidikan berbasis kompetensi mencakup kurikulum, paedagogi serta evaluasi. Oleh karena itu, pengembangan KTSP memiliki pendekatan berbasis kompetensi karena adalah konsekuensi menurut pendidikan berbasis kompetensi. Di pada SI dinyatakan bahwa: KTSP yg berbasis kompetensi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai kompetensi yg dibakukan serta cara pencapaiannya diadaptasi menggunakan keadaan dan kemampuan daerah. Kompetensi perlu dicapai secara tuntas (belajar tuntas). Bimbingan diperlukan buat melayani perbedaan individual melalui acara remidial dan pengayaan.

Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi harus berkaitan menggunakan tuntutan SKL, SK dan KD, organisasi kegiatan pembelajaran, dan kegiatan buat mengembangkan dan memiliki kompetensi seefektif mungkin. Proses pengem¬bangan kurikulum berbasis kompetensi menggunakan perkiraan bahwa siswa yg akan belajar sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang diharapkan buat menguasai kompetensi eksklusif.

Pembelajaran Berbasis Kompetensi
Pembelajaran berbasis kompetensi merupakan program pembelajaran di mana hasil belajar atau kompetensi yang diharapkan dicapai sang peserta didik, sistem penyampaian, dan indikator pencapaian output belajar dirumuskan secara tertulis semenjak perencanaan dimulai (McAshan, 1989:19).

Dalam pembelajaran berbasis kompetensi perlu ditentukan baku minimum kompetensi yg harus dikuasai peserta didik. Sesuai pendapat tadi, komponen materi pembela¬jaran berbasis kompetensi mencakup: (1) kompetensi yang akan dicapai; (dua) strategi penyampaian buat mencapai kompetensi; (3) sistem evaluasi atau penilaian yg digunakan buat memilih keberhasilan peserta didik dalam mencapai kompetensi.

Kompetensi yang wajib dikuasai oleh peserta didik perlu dirumuskan menggunakan kentara serta khusus. Perumusan dimaksud hendaknya berdasarkan atas prinsip “relevansi serta konsistensi antara kompetensi dengan materi yg dipelajari, waktu yang tersedia, dan kegiatan serta lingkungan belajar yang digunakan” (McAshan, 1989:20). Langkah-langkah yang perlu dilakukan buat menerima perumusan kompetensi yang jelas dan khusus, antara lain dengan melaksanakan analisis kebutuhan, analisis tugas, analisis kompetensi, penilaian oleh profesi dan pendapat pakar mata pelajaran, pendekatan teoritik, serta telaah kitab teks yg relevan menggunakan materi yg dipelajari (Kaufman, 1982: 16; Bratton, 1991: 263).

Konsep pembelajaran berbasis kompetensi menyaratkan dirumuskannya secara jelas kompetensi yg harus dimiliki atau ditampilkan siswa setelah mengikuti aktivitas pembelajaran. Dengan tolokukur pencapaian kompetensi maka dalam aktivitas pembelajaran peserta didik akan terhindar menurut mengusut materi yang nir perlu yaitu materi yg nir menunjang tercapainya penguasaan kompetensi.

Pencapaian setiap kompetensi tersebut terkait erat menggunakan sistem pembelajaran. Dengan demikian komponen minimal pembelajaran berbasis kompetensi adalah:
a. Pemilihan serta perumusan kompetensi yang sempurna.
b. Spesifikasi indikator evaluasi buat memilih pencapaian kompetensi.
c. Pengembangan sistem penyampaian yg fungsional dan relevan dengan kompetensi dan sistem evaluasi.

Penerapan konsep serta prinsip pembelajaran berbasis kompetensi diharapkan bermanfaat buat:
1) menghindari duplikasi pada pemberian materi pembelajaran yang disampaikan guru wajib benar-sahih relevan dengan kompetensi yang ingin dicapai.
2) mengupayakan konsistensi kompetensi yg ingin dicapai dalam mengajarkan suatu mata pelajaran. Dengan kompetensi yg sudah ditentukan secara tertulis, siapa pun yg mengajarkan mata pelajaran tertentu nir akan bergeser atau menyimpang menurut kompetensi dan materi yg telah dipengaruhi.
3) mempertinggi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan, kecepatan, serta kesempatan peserta didik.
4) membantu mempermudah aplikasi akreditasi. Pelaksanaan akreditasi akan lebih dipermudah menggunakan memakai tolokukur SK.
5) memperbarui sistem evaluasi serta pelaporan output belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis kompetensi, keberhasilan siswa diukur dan dilaporkan berdasar pencapaian kompetensi atau subkompetensi tertentu, bukan didasarkan atas perbandingan dengan output belajar siswa yang lain.
6) memperjelas komunikasi dengan siswa mengenai tugas, aktivitas, atau pengalaman belajar yang wajib dilakukan dan cara yang dipakai buat memilih keberhasilan belajarnya.
7) menaikkan akuntabilitas publik. Kompetensi yg sudah disusun, divalidasikan, dan dikomunikasikan kepada publik, sebagai akibatnya bisa dipakai buat mempertanggungjawabkan aktivitas pembelajaran kepada publik.
h. Memperbaiki sistem tunjangan profesi. Dengan perumusan kompetensi yang lebih khusus serta jelas, sekolah dapat mengeluarkan sertifikat atau transkrip yg menyatakan jenis serta aspek kompetensi yg dicapai.

Standar Kompetensi
1. Standar Kompetensi Lulusan SMA
Standar Kompetensi Lulusan Satuan Pendidikan (SKL-SP) dikembangkan dari tujuan setiap satuan pendidikan, yakni: Pendidikan Menengah yang terdiri atas SMA/MA/SMALB/Paket C bertujuan: menaikkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, dan keterampilan buat hayati berdikari serta mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Acuan buat merumuskan kompetensi lulusan dapat berupa landasan yuridis yaitu peraturan perundang-undangan yg berlaku, dan persyaratan yg ditentukan oleh pengguna lulusan atau dunia kerja (workplace). Secara yuridis, kompetensi lulusan Sekolah Menengah Atas bisa dijabarkan dari perumusan tujuan pendidikan yang masih ada pada pada UU angka 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II Pasal tiga dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan buat berkembangnya potensi siswa supaya sebagai insan yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, dan menjadi masyarakat negara yg demokratis serta bertanggung jawab.

Selain menurut peraturan perundang-undangan, kompetensi lulusan Sekolah Menengah Atas pula bisa dirumuskan dari persyaratan yg ditentukan sang pengguna lulusan atau dunia kerja (workplace/stakeholder). Sebagai model di Australia, dalam mengatasi perkara relevansi pendidikan, selalu diusahakan adanya jalinan kerja sama antara sekolah dengan global industri.

Usaha dimaksud dengan melalui pengintegrasian SK yang dipengaruhi sang industri ke pada kurikulum sekolah. “Dunia industri menentukan standar kompetensi lulusan berupa pengetahuan serta keterampilan yang wajib dikuasai seseorang supaya mempunyai kompetensi untuk memasuki global kerja” (Adams, 1995: tiga). Secara garis besar , kompetensi dimaksud merupakan paduan antara pengetahuan, keterampilan, serta penerapan pengetahuan serta keterampilan tadi dalam melaksanakan tugas di lapangan kerja. Secara rinci, kompetensi dimaksud mencakup: (a) keterampilan melaksanakan tugas pokok; (b) keterampilan mengelola; (c) keterampilan melaksanakan pengelolaan dalam keadaan mendesak; (d) keterampilan berinteraksi menggunakan lingkungan kerja serta bekerja sama menggunakan orang lain; dan (e) keterampilan menjaga kesehatan serta keselamatan kerja.

Perumusan aspek-aspek kompetensi secara rinci dapat dilakukan dengan menganalisis kompetensi. Bloom et al. (1956: 17) menganalisis kompetensi sebagai 3 aspek, menggunakan tingkatan yang berbeda-beda setiap aspeknya, yaitu kompetensi:
a) kognitif, mencakup strata pengetahuan, pemahaman, pelaksanaan, analisis, buatan, dan penilaian.
b) afektif, mencakup anugerah respons, penilaian, apresiasi, dan internalisasi.
c) sikomotorik, mencakup keterampilan mobilitas awal, semi rutin dan rutin.

Berbeda dengan Bloom, Hall & Jones (1976: 48) membagi kompetensi menjadi 5 macam, yaitu kompetensi:
a) kognitif yang mencakup pengetahuan, pemahaman, dan perhatian.
b) afektif yang menyangkut nilai, perilaku, minat, dan apresiasi
c) penampilan yg menyangkut demonstrasi keterampilan fisik atau psikomotorik.
d) produk atau konsekuensi yg menyangkut keterampilan melakukan perubahan terhadap pihak lain.
e) eksploratif atau ekspresif, menyangkut hadiah pengalaman yang memiliki nilai kegunaan di masa depan, sebagai output samping yg positif.

Sehubungan dengan kompetensi yang dijabarkan dari tujuan pendidikan nasional, terdapat dua buah kompetensi yang perlu mendapatkan perhatian yaitu pertama kecakapan hayati (life skill) dan kedua keterampilan perilaku.

Kecakapan hayati (life skill) adalah kecakapan buat membangun atau menemukan pemecahan masalah-kasus baru (penemuan) menggunakan menggunakan berita, konsep, prinsip, atau prosedur yg sudah dipelajari. Penemuan pemecahan kasus baru itu dapat berupa proses juga produk yg berguna buat mempertahankan, menaikkan, atau memperbarui hayati serta kehidupan peserta didik.

Kecakapan hayati tersebut diperlukan dapat dicapai melalui banyak sekali pengalaman belajar peserta didik. Dari banyak sekali pengalaman mempelajari aneka macam materi pembelajaran, diperlukan siswa memperoleh hasil samping yang positif berupa upaya memanfaatkan pengetahuan, konsep, prinsip serta prosedur buat memecahkan kasus baru dalam bentuk kecakapan hayati. Di samping itu, hendaknya kecakapan hidup tadi diupayakan pencapaiannya menggunakan mengintegrasikannya pada topik serta pengalaman belajar yang relevan menggunakan kehidupan sehari-hari.

Sebagai model, seseorang peserta didik tinggal di sebuah kampung pedalaman di tepi sungai. Di sekolah beliau sudah memeriksa dinamo pembangkit tenaga listrik serta sifat-sifat arus air yg diantaranya dapat menggerakkan turbin atau baling-baling. Peserta didik tersebut kemudian memanfaatkan air sungai buat menggerakkan baling-baling yang dihubungkan menggunakan dinamo yg digantungkan di bagian atas air di tengah sungai, sebagai akibatnya diperoleh aliran listrik yg dapat digunakan buat penjelasan. Contoh lain, siswa yang telah menyelidiki bejana berafiliasi serta sifat-sifat air yg tidak menghantarkan udara, lalu membangun “leher angsa” berdasarkan bahan tanah liat untuk resistor bau dalam pembuatan WC, dapat menciptakan indera buat menyiram flora hias yang digantung.

Selain kecakapan yang bersifat teknis (vokasional), kecakapan hayati mencakup pula kecakapan sosial (social skills), contohnya kecakapan mengadakan negosiasi, kecakapan menentukan dan merogoh posisi diri, kecakapan mengelola permasalahan, kecakapan mengadakan hubungan antar pribadi, kecakapan memecahkan kasus, kecakapan merogoh keputusan secara sistematis, kecakapan bekerja pada sebuah tim, kecakapan berorganisasi, dan lain sebagainya.

Keterampilan sikap (afektif) meliputi 2 hal. Pertama, perilaku yg berkenaan menggunakan nilai, moral, tata susila, baik, buruk, demokratis, terbuka, dermawan, jujur, teliti, serta lain sebagainya. Kedua, sikap terhadap materi serta aktivitas pembelajaran, seperti menyukai, menyenangi, memandang positif, menaruh minat, serta lain sebagainya. Mengingat sulitnya merumuskan, mengajarkan, dan mengevaluasi aspek afektif, sering kompetensi afektif tadi tidak dimasukkan dalam program pembelajaran. Sama halnya dengan kecakapan hayati, kompetensi afektif hendaknya diupayakan pencapaiannya melalui pengintegrasian dengan topik-topik serta pengalaman belajar yang relevan.

Sejalan menggunakan tujuan pendidikan nasional, kompetensi yang dibutuhkan dimiliki sang lulusan atau tamatan SMA (Sekolah Menengah Atas.) bisa dirumuskan sebagai berikut:
  • Berkenaan menggunakan aspek afektif, peserta didik mempunyai keimanan serta ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sinkron ajaran agama masing-masing yg tercermin pada perilaku sehari-hari; memiliki nilai-nilai etika dan keindahan, serta mampu mengamalkan serta mengekspresikannya dalam kehidupan sehari-hari; mempunyai nilai-nilai demokrasi, toleransi, serta humaniora, dan menerapkannya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara baik dalam lingkup nasional juga dunia.
  • Berkenaan dengan aspek kognitif, menguasai ilmu, teknologi, serta kemampuan akademik buat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
  • Berkenaan dengan aspek psikomotorik, mempunyai keterampilan berkomunikasi, kecakapan hayati, dan mampu mengikuti keadaan dengan perkembangan lingkungan sosial, budaya serta lingkungan alam baik lokal, regional, juga dunia; mempunyai kesehatan jasmani serta rohani yg berguna buat melaksanakan tugas/kegiatan sehari-hari.
Berdasarkan rumusan tersebut, maka kompetensi bisa dikelompokkan menjadi kompetensi yang berkenaan menggunakan bidang moral keagamaan, kemanusiaan (humaniora), komunikasi, estetika, serta IPTEK.

Hal ini tercantum dalam Permendiknas angka 23 tahun 2006 mengenai Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Pasal 1:
  1. Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan menengah dipakai menjadi pedoman evaluasi dalam menentukan kelulusan peserta didik.
  2. Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar kompetensi lulusan minimal Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, Standar Kompetensi Lulusan minimal grup mata pelajaran, serta baku kompetensi lulusan minimal mata pelajaran.
  3. Standar Kompetensi Lulusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum pada Lampiran Peraturan Menteri ini.
SKL Satuan Pendidikan buat Sekolah Menengah Atas sebagaimana yg tercantum dalam lampiran Permendiknas nomor 23 tahun 2006, merupakan:
a) Berperilaku sesuai dengan ajaran agama yang dianut sinkron dengan perkembangan remaja.
b) Mengembangkan diri secara optimal menggunakan memanfaatkan kelebihan diri dan memperbaiki kekurangannya;
c) Menunjukkan perilaku percaya diri dan bertanggung jawab atas konduite, perbuatan, serta pekerjaannya;
d) Berpartisipasi dalam penegakan anggaran-aturan sosial;
e) Menghargai keberagaman kepercayaan , bangsa, suku, ras, serta golongan sosial ekonomi dalam lingkup dunia;
f) Membangun serta menerapkan fakta dan pengetahuan secara logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
g) Menunukkan akal budi logis, kritis, kreatif, dan inovatif dalam pengambilan putusan;
h) Menunjukkan kemampuan membuatkan budaya belajar buat pemberdayaan diri;
i) Menunjukkan sikap kompetitif dan sportif buat mendapatkan hasil yang terbaik;
j) Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan perkara kompleks;
k) Menunjukkan kemampuan menganalisis tanda-tanda alam serta sosial;
l) Memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab;
m) Berpartisipasi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara demokratis pada wadah NKRI;
n) Mengekspresikan diri melalui aktivitas seni serta budaya;
o) Mengapresiasi karya seni serta budaya;
p) Menghasilkan karya kreatif, baik individual juga gerombolan ;
q) Menjaga kesehatan dan keamanan diri, kebugaran jasmani, dan kebersihan lingkungan;
r) Berkomunikasi verbal dan goresan pena secara efektif dan santun;
s) Memahami hak dan kewajiban diri serta orang lain dalam pergaulan di warga ;
t) Menghargai adanya disparitas pendapat serta berempati terhadap orang lain;
u) Menunjukkan keterampilan membaca dan menulis naskah secara sistematis serta estetis;
v) Menunjukkan keterampilan menyimak, membaca, menulis, serta berbicara pada bahasa Indonesia serta Inggris;
w) Menguasai pengetahuan yang diperlukan buat mengikuti pendidikan tinggi.
x) Berdasarkan profil kompetensi lulusan tadi selanjutnya dijabarkan ke pada sejumlah SK serta Kompetensi mata pelajaran yang relevan yang diperlukan buat mencapai kebulatan kompetensi tersebut.

2. Standar Kompetensi Mata Pelajaran
a. Pengertian Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Untuk memantau perkembangan mutu pendidikan dibutuhkan SK. SK dapat didefinisikan menjadi “pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap yg wajib dikuasai peserta didik dan taraf dominasi yang diperlukan dicapai pada mempelajari suatu mata pelajaran” (Center for Civ¬ics Education, 1997:dua).

Menurut definisi tadi, SK mencakup 2 hal, yaitu standar isi (content standards), serta baku penampilan (performance stan-dards).
SK yg menyangkut isi berupa pernyataan mengenai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus dikuasai peserta didik pada mempelajari mata pelajaran tertentu misalnya Kewarganegaraan, Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris. SK yg menyangkut taraf penampilan merupakan pernyataan tentang kriteria buat memilih tingkat penguasaan siswa terhadap SI.

Dari uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa SK mempunyai dua penafsiran, yaitu: (a) pernyataan tujuan yang mengungkapkan apa yang wajib diketahui peserta didik dan kemampuan melakukan sesuatu pada mengusut suatu mata pelajaran dan (b) spesifikasi skor atau peringkat kinerja yang berkaitan dengan kategori pencapaian misalnya lulus atau memiliki keahlian.
SK adalah kerangka yang menyebutkan dasar pengembangan program pembelajaran yg terstruktur. SK pula adalah fokus dari penilaian, sehingga proses pengembangan kurikulum merupakan penekanan menurut penilaian, meskipun kurikulum lebih poly berisi mengenai dokumen pengetahuan, keterampilan dan perilaku berdasarkan pada bukti-bukti untuk menampakan bahwa peserta didik yg akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal.
Dengan demikian SK diartikan sebagai kemampuan seseorang pada:
melakukan suatu§ tugas atau pekerjaan.
mengorganisasikan supaya pekerjaan dapat§ dilaksanakan.
melakukan respon dan reaksi yang tepat apabila ada§ penyimpangan berdasarkan rancangan semula.
melaksanakan tugas serta§ pekerjaan dalam situasi serta syarat yang tidak sinkron.

Penyusunan SK suatu jenjang atau taraf pendidikan adalah usaha buat menciptakan suatu sistem sekolah menjadi otonom, mandiri, serta responsif terhadap keputusan kebijakan wilayah dan nasional. Kegiatan ini diharapkan mendorong munculnya baku pada tingkat lokal serta nasional. Penentuan baku hendaknya dilakukan menggunakan cermat serta hati-hati. Sebab, bila setiap sekolah atau setiap kelompok sekolah menyebarkan baku sendiri tanpa memperhatikan standar nasional maka pemerintah pusat akan kehilangan sistem untuk mengontrol mutu sekolah. Akibatnya kualitas sekolah akan bervariasi, serta nir bisa dibandingkan kualitas antara sekolah yang satu menggunakan sekolah yang lain. Lebih jauh lagi kualitas sekolah antar wilayah yg satu menggunakan daerah yg lain nir bisa dibandingkan. Pada gilirannya, kualitas sekolah secara nasional nir bisa dibandingkan dengan kualitas sekolah dari negara lain.

Pengembangan SK perlu dilakukan secara terbuka, seimbang, serta melibatkan semua grup yg akan dikenai baku tadi. Melibatkan semua kelompok sangatlah penting supaya konvensi yang sudah dicapai bisa dilaksanakan secara bertanggungjawab sang pihak sekolah masing-masing. Di samping itu, kajian SK pada negara-negara lain perlu juga dilakukan sebagai bahan rujukan supaya lulusan kita tidak jauh ketinggalan dengan lulusan negara lain. SK yang sudah ditetapkan berlaku secara nasional, tetapi cara mencapai standar tadi diserahkan pada kreasi masing-masing daerah.

b. Penentuan Standar Kompetensi Mata Pelajaran
Perlu diingat pulang, bahwa kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat didemonstrasikan, ditunjukkan, atau ditampilkan oleh peserta didik menjadi hasil belajar. Sesuai dengan pengertian tersebut, maka SK, merupakan standar kemampuan yg wajib dikuasai peserta didik buat memberitahuakn bahwa output menilik mata pelajaran tertentu berupa penguasaan atas pengetahuan, perilaku, dan keterampilan tertentu sudah dicapai.

Langkah-langkah menganalisis serta mengurutkan SK adalah:
  • menganalisis SK menjadi§ beberapa KD;
  • mengurutkan KD sesuai menggunakan keterkaitan baik§ secara mekanisme maupun hierarkis.
Dick & Carey (1978: 25) membedakan 2 pendekatan utama pada analisis dan urutan SK pada samping pendekatan yg ketiga yakni adonan antara ke 2 pendekatan pokok tersebut. Dua pendekatan dimaksud merupakan pertama pendekatan prosedural, serta kedua pendekatan hierarkis (berjenjang). Sedangkan gabungan antara kedua pendekatan tadi dinamakan pendekatan kombinasi.

Pendekatan Prosedural
Pendekatan prosedural (procedural approach) dipakai jika SK yg harus dikuasai berupa serangkaian langkah-langkah secara urut dalam mengerjakan suatu tugas pembelajaran.

Diagram generik pendekatan prosedural adalah menjadi berikut :

Diagram. Pendekatan Prosedural

Contoh pada pelajaran Ilmu Sosial Terpadu (IST) terdapat beberapa SK yang dibutuhkan dapat dipelajari secara berurutan. Pengajar diharapkan bisa menyajikan mana yang akan didahulukan. Misalnya kompetensi; (1) Mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun IST, (dua) Mendeskripsikan interaksi timbal balik antara insan serta lingkungannya, serta (3) Mendeskripsikan perubahan sosial budaya rakyat. Dari ketiga kompetensi tadi, maka kompetensi buat mengidentifikasi konsep-konsep yang membangun IST wajib paling dahulu dipelajari, setelah itu baru memeriksa 2 kompetensi berikutnya. Di antara kedua kompetensi berikutnya maka dominasi terhadap kompetensi mendeskripsikan hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungannya lebih didahulukan agar siswa dengan gampang menggambarkan perubahan sosial budaya warga , mengingat perubahan yang terjadi justru menjadi keliru satu dampak hubungan timbal balik antara insan menggunakan lingkungannya.
Beberapa hal yang perlu dicatat menurut model tersebut:
  • peserta didik harus menguasai SK tadi secara berurutan.
  • Masing-masing SK dapat diajarkan secara terpisah (independent)
  • Hasil (hasil) dari setiap langkah adalah masukan (input) buat langkah berikutnya.
Pendekatan Hierarkis
Pendekatan hierarkis menampakan interaksi yg bersifat subordinatif antara beberapa SK yg ingin dicapai. Dengan demikian ada yg mendahului dan ada yg lalu. SK yang mendahului merupakan prasyarat bagi SK berikutnya.

Untuk mengidentifikasi beberapa SK yg wajib dipelajari lebih dulu supaya peserta didik bisa mencapai SK yg lebih tinggi dilakukan dengan jalan mengajukan pertanyaan “Apakah yang harus telah dikuasai sang peserta didik, supaya dengan pedagogi yg seminimal mungkin dapat diketahui SK yang diharapkan sebelum peserta didik bisa menguasai SK berikutnya?”