PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar lantaran didukung oleh sejumlah informasi positif yaitu posisi geopolitik yg sangat strategis, kekayaan alam serta keanekaragaman biologi, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang akbar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mempunyai peluang yg sangat besar buat sebagai bangsa yang maju, adil, makmur, berdaulat, serta bermartabat. Namun demikian, buat mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi aneka macam kasus nasional yang kompleks, yang tidak kunjung terselesaikan. Misalnya aspek politik, pada mana masalahnya meliputi kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara yang nir efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, serta berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yg belum mandiri, sistem keuangan serta perbankan yang nir memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, kasus yg terjadi ketika ini merupakan memudarnya rasa serta ikatan kebangsaan, salah tujuan nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).

Dari sejumlah warta positif atas kapital besar yg dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yang besar menjadi kapital yg paling krusial lantaran kemajuan serta kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-perkara politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan menggunakan SDM. Namun buat menuntaskan masalah-perkara tadi serta menghadapi berbagai persaingan peradaban yang tinggi buat sebagai Indonesia yg lebih maju dibutuhkan revitalisasi serta penguatan karakter SDM yg bertenaga. Salah satu aspek yg dapat dilakukan buat mempersiapkan karakter SDM yang kuat merupakan melalui pendidikan.

Pendidikan merupakan upaya yg berkala dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu supaya berkembang serta tumbuh menjadi insan yg mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, serta berakhlak mulia baik dipandang berdasarkan aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yg berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut buat dibuat atau dibangun. Bangsa Indonesia nir hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia bisa merealisasikan konsep pendidikan dengan cara training, training dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yg mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan merupakan“… agar sebagai insan yg beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yg demokratis serta bertanggung jawab”.

Melihat syarat kini serta akan tiba, ketersediaan SDM yg berkarakter adalah kebutuhan yang amat penting. Ini dilakukan buat mempersiapkan tantangan dunia dan daya saing bangsa. Memang nir mudah buat menghasilkan SDM yang tertuang pada UU tersebut. Persoalannya merupakan hingga ketika ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan impian pendidikan yang diharapkan. Misalnya buat perkara-perkara aktual, masih poly ditemukan murid yg menyontek pada kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama anak didik, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan pengajar, pendidik yang senantiasa menaruh model-contoh baik ke siswanya, pula nir kalah mentalnya. Misalnya guru nir sporadis melakukan kecurangan-kecurangan pada tunjangan profesi dan pada ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terperinci sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945. Memang kasus ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini kabar yang nir boleh diabaikan lantaran kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak sebagai insan yang tidak bermoral sebagaimana waktu ini seringkali kita melihat tayangan TV yg mempertontonkan fakta-kabar misalnya pencurian, perampokan, pelecehan seksual, korupsi, serta penculikan, yang dilakukan nir hanya sang orang-orang dewasa, akan tetapi juga sang anak-anak usia belasan.

Mencermati hal ini, saya mencoba menaruh beberapa gagasan buat penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu menciptakan pribadi yg kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada kiprah pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun rakyat.

Kenapa Pendidikan?
Pendidikan adalah hal terpenting buat menciptakan kepribadian. Pendidikan itu nir selalu asal berdasarkan pendidikan formal misalnya sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal dan non formal pun memiliki peran yang sama buat menciptakan kepribadian, terutama anak atau siswa. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita bisa melihat ketiga perbedaan model lembaga pendidikan tadi. Dikatakan bahwa Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yg terstruktur serta berjenjang yg terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yg dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas forum kursus, forum pembinaan, gerombolan belajar, sentra kegiatan belajar masyarakat, serta majelis taklim, serta satuan pendidikan yang homogen. Sedangkan pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga serta lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga serta lingkungan pada bentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Memperhatikan ketiga jenis pendidikan pada atas, terdapat kesamaan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal serta pendidikan non formal yg selama ini berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Mereka nir saling mendukung buat peningkatan pembentukan kepribadian siswa. Setiap lembaga pendidikan tadi berjalan masing-masing sebagai akibatnya yang terjadi kini merupakan pembentukan pribadi siswa menjadi parsial, contohnya anak bersikap baik di tempat tinggal , namun waktu keluar tempat tinggal atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian antarpelajar, mempunyai ’ketertarikan’ berteman menggunakan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-perilaku misalnya ini merupakan bagian menurut defleksi moralitas dan prilaku sosial pelajar (Suyanto serta Hisyam, 2000: 194).

Oleh karena itu, ke depan dalam rangka membangun serta melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga komponen forum pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan keliru satunya adalah pendidik serta orangtua berkumpul beserta mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase negatif, yg mencakup cita-cita buat menyendiri, kurang kemauan buat bekerja, mengalami kejenuhan, terdapat rasa kegelisahan, ada pertentangan sosial, terdapat kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai ada minat pada versus jenis, adanya perasaan malu yg berlebihan, dan selera berkhayal (Mappiare pada Suyanto serta Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mengusut tanda-tanda-gejala negatif yg dimiliki anak remaja pada biasanya, orangtua serta pendidik akan bisa menyadari serta melakukan upaya pemugaran perlakuan sikap terhadap anak pada proses pendidikan formal, non formal dan informal.

Ciri Karakter SDM
SDM adalah aset paling krusial untuk membentuk bangsa yang lebih baik dan maju. Tetapi buat mencapai itu, SDM yg kita miliki harus berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang tidak sama menggunakan orang lain seperti keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan pada memegang prinsip, serta sifat-sifat unik lainnya yang melekat pada dirinya. 

Secara lebih rinci, saya kutip beberapa konsep mengenai manusia Indonesia yg berkarakter dan senantiasa inheren dengan kepribadian bangsa. Ciri-karakteristik karakter SDM yang bertenaga meliputi (1) religious, yaitu mempunyai sikap hayati dan kepribadian yang taat beribadah, amanah, terpercaya, gemar memberi, saling tolong menolong, serta toleran; (2) moderat, yaitu mempunyai perilaku hayati yg tidak radikal dan tercermin dalam kepribadian yang tengahan antara individu dan sosial, berorientasi materi dan ruhani serta sanggup hidup dan kerjasama dalam kemajemukan; (tiga) cerdas, yaitu memiliki sikap hidup dan kepribadian yg rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; dan (4) berdikari, yaitu memiliki sikap hayati dan kepribadian merdeka, disiplin tinggi, ekonomis, menghargai saat, giat, wirausaha, kerja keras, serta memiliki cinta kebangsaan yg tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai humanisme universal dan hubungan antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44). 

Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak lepas dengan bagaimana kita menciptakan karakter SDM. Pembentukan karakter SDM menjadi vital serta tidak terdapat pilihan lagi untuk mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yg bisa menghadapi tantangan regional serta global (Muchlas dalam Sairin, 2001: 211). Tantangan regional serta dunia yg dimaksud merupakan bagaimana generasi belia kita nir sekedar memiliki kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif dan moralitas juga tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter diperlukan buat mencapai insan yg mempunyai integritas nilai-nilai moral sehingga anak menjadi hormat sesama, amanah dan peduli dengan lingkungan.

Lickona (1992) menyebutkan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi muda saling melukai karena lemahnya kesadaran dalam nilai-nilai moral, (2) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi belia merupakan keliru satu fungsi peradaban yg paling utama, (tiga) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika banyak anak-anak memperoleh sedikit pengajaran moral dari orangtua, warga , atau forum keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yg secara universal masih diterima seperti perhatian, agama, rasa hormat, serta tanggungjawab, (lima) Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus buat pendidikan moral karena demokrasi adalah peraturan berdasarkan, buat serta oleh rakyat, (6) Tidak ada sesuatu menjadi pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen dalam pendidikan karakter krusial manakala kita mau serta terus sebagai guru yang baik, serta (7) Pendidikan karakter yang efektif menciptakan sekolah lebih beradab, peduli dalam warga , serta mengacu pada performansi akademik yg semakin tinggi.

Alasan-alasan di atas memberitahuakn bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin buat mengantisipasi masalah di masa depan yang semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian dan kepedulian anak terhadap lingkungan kurang lebih, tidak mempunyai tanggungjawab, rendahnya kepercayaan diri, dan lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai apa yg dimaksud dengan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind dan Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya terpola untuk membantu orang untuk tahu, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yg membantu orang hidup dan bekerja beserta-sama sebagai famili, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa. 

Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yang terdapat di pendidikan formal, non formal serta informal harus mengajarkan siswa atau anak buat saling peduli serta membantu menggunakan penuh keakraban tanpa diskriminasi lantaran berdasarkan menggunakan nilai-nilai moral serta persahabatan. Di sini nampak bahwa peran pendidik serta tokoh panutan sangat membantu menciptakan karakter siswa atau anak.

Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya buat mengimplementasikan pendidikan karakter merupakan melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini karakteristik-karakteristik pendekatan holistik (Elkind dan Sweet, 2005).
  1. Segala sesuatu pada sekolah diatur dari perkembangan interaksi antara anak didik, guru, dan masyarakat
  2. Sekolah adalah warga peserta didik yg peduli di mana ada ikatan yang jelas yg menghubungkan anak didik, pengajar, dan sekolah
  3. Pembelajaran emosional serta sosial setara menggunakan pembelajaran akademik
  4. Kerjasama dan kolaborasi pada antara siswa sebagai hal yg lebih primer dibandingkan persaingan
  5. Nilai-nilai seperti keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik pada dalam juga di luar kelas
  6. Siswa-anak didik diberikan banyak kesempatan buat mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-aktivitas misalnya pembelajaran memberikan pelayanan
  7. Disiplin serta pengelolaan kelas sebagai penekanan dalam memecahkan masalah dibandingkan bantuan gratis dan hukuman
  8. Model pembelajaran yang berpusat dalam pengajar harus ditinggalkan dan beralih ke kelas demokrasi pada mana pengajar dan murid berkumpul buat menciptakan kesatuan, kebiasaan, dan memecahkan masalah
Sementara itu peran lembaga pendidikan atau sekolah pada mengimplementasikan pendidikan karakter meliputi (1) mengumpulkan pengajar, orangtua serta siswa bersama-sama mengidentifikasi dan mendefinisikan unsur-unsur karakter yg mereka ingin tekankan, (dua) menaruh pelatihan bagi pengajar tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan dan budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan rakyat supaya murid bisa mendengar bahwa prilaku karakter itu penting buat keberhasilan pada sekolah serta pada kehidupannya, dan (4) menaruh kesempatan pada kepala sekolah, guru, orangtua dan warga buat sebagai contoh prilaku sosial dan moral (US Department of Education).

Mengacu dalam konsep pendekatan holistik serta dilanjutkan dengan upaya yang dilakukan lembaga pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tadi harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sebagai akibatnya nilai-nilai moral yang telah tertanam dalam eksklusif anak tidak hanya hingga dalam tingkatan pendidikan tertentu atau hanya timbul di lingkungan keluarga atau warga saja. Selain itu praktik-praktik moral yang dibawa anak nir terkesan bersifat formalitas, tetapi sahih-sahih tertanam dalam jiwa anak.

Bagaimana Peran Pendidik pada Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu bisa guru, orangtua atau siapa saja, yg krusial dia mempunyai kepentingan untuk membangun pribadi peserta didik atau anak. Peran pendidik pada intinya adalah sebagai rakyat yang belajar dan bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) serta Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran mengenai peran pendidik, di antaranya:
  1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, serta merogoh inisiatif sebagai upaya membangun pendidikan karakter Pendidik bertanggungjawab untuk sebagai model yang memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan buat mensugesti anak didik-siswanya. Artinya pendidik di lingkungan sekolah hendaklah sanggup sebagai “uswah hasanah” yg hidup bagi setiap siswa. Mereka juga wajib terbuka serta siap untuk mendiskusikan dengan siswa mengenai banyak sekali nilai-nilai yg baik tersebut. 
  2. Pendidik perlu memberikan pemahaman bahwa karakter siswa tumbuh melalui kerjasama dan berpartisipasi dalam merogoh keputusan
  3. Pendidik perlu melakukan refleksi atas masalah moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin buat memastikan bahwa murid-siswanya mengalami perkembangan karakter. 
  4. Pendidik perlu mengungkapkan atau mengklarifikasikan pada siswa secara terus menerus mengenai berbagai nilai yang baik serta yang jelek. 
Hal-hal lain yg pendidik dapat lakukan pada implementasi pendidikan karakter (Djalil serta Megawangi, 2006) merupakan: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yg melibatkan partisipatif aktif murid, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yg kondusif, (tiga) pendidik perlu menaruh pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan menggunakan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, dan (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan murid masing-masing dalam memakai metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan insan. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih dan membangun karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sehingga terjadi internalisasi karakter, contohnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.

Berdasarkan penerangan di atas, aku mencoba mengkategorikan peran pendidik pada setiap jenis lembaga pendidikan pada membentuk karakter murid. Dalam pendidikan formal serta non formal, pendidik (1) harus terlibat dalam proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan anak didik pada mendiskusikan materi pembelajaran, (dua) harus menjadi model tauladan kepada siswanya pada berprilaku dan bercakap, (tiga) harus bisa mendorong murid aktif dalam pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yg variatif, (4) wajib sanggup mendorong dan membuat perubahan sebagai akibatnya kepribadian, kemampuan serta harapan guru bisa membangun hubungan yg saling menghormati serta bersahabat menggunakan siswanya, (5) wajib sanggup membantu serta mengembangkan emosi serta kepekaan sosial murid supaya murid menjadi lebih bertakwa, menghargai kreasi lain, mengembangkan estetika dan belajar soft skills yg bermanfaat bagi kehidupan murid selanjutnya, dan (6) harus menerangkan rasa kecintaan kepada anak didik sebagai akibatnya guru pada membimbing anak didik yg sulit tidak mudah putus harapan.

Sementara pada pendidikan informal seperti keluarga serta lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh masyarakat (1) harus menampakan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) wajib mempunyai kedekatan emosional pada anak menggunakan menampakan rasa afeksi, (tiga) wajib menaruh lingkungan atau suasana yang aman bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya buat senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya dengan beribadah secara rutin.

Berangkat dengan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana diklaim pada atas, diharapkan akan tumbuh serta berkembang karakter kepribadian yang mempunyai kemampuan unggul di antaranya: (1) karakter berdikari serta unggul, (dua) komitmen dalam kemandirian dan kebebasan, (3) pertarungan bukan potensi laten, melainkan situasi monumental serta lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (5) mencegah agar stratifikasi sosial identik menggunakan perbedaan etnik dan kepercayaan (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BUDAYA DAN KARAKTER BANGSA

Pengembangan Pendidikan Budaya Dan Karakter Bangsa 
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang akbar lantaran didukung sang sejumlah informasi positif yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, kemajemukan sosial budaya, serta jumlah penduduk yang akbar. Oleh karena itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat akbar buat sebagai bangsa yg maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, buat mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi aneka macam kasus nasional yg kompleks, yg nir kunjung terselesaikan. Misalnya aspek politik, pada mana masalahnya meliputi kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, kelembagaan Negara yg tidak efektif, sistem kepartaian yang nir mendukung, serta berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi paradigm ekonomi yg tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan fiskal yg belum mandiri, sistem keuangan serta perbankan yg nir memihak, serta kebijakan perdagangan serta industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya, perkara yg terjadi waktu ini merupakan memudarnya rasa serta ikatan kebangsaan, disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi serta integrasi sosial, serta melemahnya mentalitas positif (PP Muhammadiyah, 2009: 10-22).

Dari sejumlah berita positif atas kapital akbar yg dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk yg besar menjadi modal yang paling krusial karena kemajuan serta kemunduran suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-perkara politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan menggunakan SDM. Tetapi buat merampungkan perkara-perkara tadi serta menghadapi aneka macam persaingan peradaban yang tinggi buat menjadi Indonesia yang lebih maju diharapkan revitalisasi dan penguatan karakter SDM yg bertenaga. Salah satu aspek yang bisa dilakukan buat mempersiapkan karakter SDM yg bertenaga adalah melalui pendidikan.

Pendidikan adalah upaya yg bersiklus dalam proses pembimbingan dan pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh sebagai manusia yg berdikari, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, serta berakhlak mulia baik dicermati menurut aspek jasmani juga ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang memiliki moralitas tinggi sangat dituntut buat dibuat atau dibangun. Bangsa Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan, melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara berkelanjutan dan merata. Ini sejalan dengan Undang-undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sisdiknas yang menyampaikan bahwa tujuan pendidikan adalah“… supaya menjadi manusia yg beriman serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, serta menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Melihat kondisi sekarang dan akan datang, ketersediaan SDM yg berkarakter adalah kebutuhan yg amat vital. Ini dilakukan buat mempersiapkan tantangan dunia serta daya saing bangsa. Memang tidak gampang buat menghasilkan SDM yg tertuang dalam UU tersebut. Persoalannya adalah hingga ketika ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan hasrat pendidikan yg diperlukan. Misalnya buat perkara-perkara aktual, masih poly ditemukan murid yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap malas, tawuran antar sesama murid, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba, serta lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa menaruh model-contoh baik ke siswanya, pula nir kalah mentalnya. Misalnya pengajar nir sporadis melakukan kecurangan-kecurangan pada sertifikasi serta pada ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terperinci sangat memilukan dan mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka dari tahun 1945. Memang masalah ini nir dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang tidak boleh diabaikan karena kita nir menginginkan anak bangsa kita kelak menjadi manusia yang nir bermoral sebagaimana saat ini tak jarang kita melihat tayangan TV yg mempertontonkan berita-berita misalnya pencurian, perampokan, pelecehan seksual, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya sang orang-orang dewasa, akan tetapi jua sang anak-anak usia belasan.

Mencermati hal ini, aku mencoba memberikan beberapa gagasan buat penguatan mutu karakter SDM sebagai akibatnya mampu menciptakan langsung yg kuat dan andal. Pembahasan ini akan mengacu pada kiprah pendidikan, terutama pendidik menjadi kunci keberhasilan implementasi pendidikan karakter pada sekolah dan lingkungan baik keluarga juga masyarakat.

Kenapa Pendidikan?
Pendidikan adalah hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Pendidikan itu nir selalu dari dari pendidikan formal misalnya sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan informal serta non formal pun memiliki kiprah yang sama untuk membentuk kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 kita dapat melihat ketiga disparitas contoh forum pendidikan tadi. Dikatakan bahwa Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur serta berjenjang yg terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, serta pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan di luar pendidikan formal yg bisa dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas forum kursus, forum pelatihan, grup belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, serta majelis taklim, serta satuan pendidikan yg sejenis. Sedangkan pendidikan informal merupakan jalur pendidikan keluarga serta lingkungan. Kegiatan pendidikan informal dilakukan sang famili dan lingkungan dalam bentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Memperhatikan ketiga jenis pendidikan di atas, ada kesamaan bahwa pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal yg selama ini berjalan terpisah satu menggunakan yg lainnya. Mereka nir saling mendukung buat peningkatan pembentukan kepribadian siswa. Setiap lembaga pendidikan tersebut berjalan masing-masing sehingga yang terjadi kini merupakan pembentukan pribadi siswa menjadi parsial, contohnya anak bersikap baik di tempat tinggal , namun saat keluar rumah atau berada pada sekolah dia melakukan perkelahian antarpelajar, mempunyai ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan perampokan. Sikap-sikap misalnya ini adalah bagian menurut defleksi moralitas serta prilaku sosial pelajar (Suyanto serta Hisyam, 2000: 194).

Oleh karenanya, ke depan pada rangka membangun serta melakukan penguatan siswa perlu menyinergiskan ketiga komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan keliru satunya adalah pendidik serta orangtua berkumpul beserta mencoba tahu gejala-gejala anak dalam fase negatif, yg mencakup harapan buat menyendiri, kurang kemauan untuk bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, terdapat pertentangan sosial, ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat dalam lawan jenis, adanya perasaan membuat malu yang hiperbola, serta kesukaan berkhayal (Mappiare dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-tanda-tanda negatif yang dimiliki anak remaja dalam umumnya, orangtua dan pendidik akan dapat menyadari dan melakukan upaya pemugaran perlakuan sikap terhadap anak pada proses pendidikan formal, non formal serta informal.

Ciri Karakter SDM
SDM merupakan aset paling krusial untuk membangun bangsa yang lebih baik serta maju. Namun untuk mencapai itu, SDM yg kita miliki wajib berkarakter. SDM yang berkarakter kuat dicirikan oleh kapasitas mental yang tidak sinkron menggunakan orang lain misalnya keterpercayaan, ketulusan, kejujuran, keberanian, ketegasan, ketegaran, kekuatan dalam memegang prinsip, dan sifat-sifat unik lainnya yang inheren dalam dirinya. 

Secara lebih rinci, aku kutip beberapa konsep tentang insan Indonesia yg berkarakter dan senantiasa inheren menggunakan kepribadian bangsa. Ciri-karakteristik karakter SDM yang bertenaga meliputi (1) religious, yaitu mempunyai perilaku hidup serta kepribadian yg taat beribadah, amanah, terpercaya, senang memberi, saling tolong menolong, dan toleran; (dua) moderat, yaitu memiliki sikap hayati yang tidak radikal serta tercermin pada kepribadian yg tengahan antara individu serta sosial, berorientasi materi serta ruhani serta mampu hidup serta kerjasama dalam kemajemukan; (tiga) cerdas, yaitu mempunyai perilaku hidup serta kepribadian yg rasional, cinta ilmu, terbuka, dan berpikiran maju; serta (4) berdikari, yaitu memiliki sikap hidup serta kepribadian merdeka, disiplin tinggi, hemat, menghargai ketika, giat, wirausaha, kerja keras, serta memiliki cinta kebangsaan yg tinggi tanpa kehilangan orientasi nilai-nilai humanisme universal dan interaksi antarperadaban bangsa-bangsa (PP Muhammadiyah, 2009: 43-44). 

Pendidikan Karakter
Berbicara pembentukan kepribadian tidak tanggal dengan bagaimana kita membangun karakter SDM. Pembentukan karakter SDM sebagai vital dan tidak terdapat pilihan lagi buat mewujudkan Indonesia baru, yaitu Indonesia yang bisa menghadapi tantangan regional dan dunia (Muchlas pada Sairin, 2001: 211). Tantangan regional serta dunia yg dimaksud adalah bagaimana generasi belia kita tidak sekedar mempunyai kemampuan kognitif saja, tapi aspek afektif serta moralitas pula tersentuh. Untuk itu, pendidikan karakter dibutuhkan buat mencapai insan yg mempunyai integritas nilai-nilai moral sebagai akibatnya anak menjadi hormat sesama, jujur dan peduli menggunakan lingkungan.

Lickona (1992) mengungkapkan beberapa alasan perlunya Pendidikan karakter, di antaranya: (1) Banyaknya generasi belia saling melukai lantaran lemahnya pencerahan dalam nilai-nilai moral, (dua) Memberikan nilai-nilai moral pada generasi muda merupakan galat satu fungsi peradaban yang paling primer, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting saat banyak anak-anak memperoleh sedikit pedagogi moral menurut orangtua, rakyat, atau lembaga keagamaan, (4) masih adanya nilai-nilai moral yang secara universal masih diterima misalnya perhatian, kepercayaan , rasa hormat, dan tanggungjawab, (5) Demokrasi mempunyai kebutuhan khusus buat pendidikan moral lantaran demokrasi merupakan peraturan berdasarkan, buat dan sang masyarakat, (6) Tidak ada sesuatu menjadi pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan pendidikan bebas nilai. Sekolah mengajarkan nilai-nilai setiap hari melalui desain ataupun tanpa desain, (7) Komitmen pada pendidikan karakter penting manakala kita mau dan terus sebagai pengajar yg baik, serta (7) Pendidikan karakter yg efektif membuat sekolah lebih mudun, peduli pada warga , serta mengacu pada performansi akademik yang meningkat.

Alasan-alasan pada atas menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat perlu ditanamkan sedini mungkin buat mengantisipasi dilema pada masa depan yg semakin kompleks seperti semakin rendahnya perhatian serta kepedulian anak terhadap lingkungan sekitar, tidak memiliki tanggungjawab, rendahnya agama diri, serta lain-lain. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai apa yang dimaksud menggunakan pendidikan karakter, Lickona dalam Elkind serta Sweet (2004) menggagas pandangan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya berkala buat membantu orang buat tahu, peduli, serta bertindak atas nilai-nilai etika/ moral. Pendidikan karakter ini mengajarkan kebiasaan berpikir serta berbuat yang membantu orang hidup serta bekerja beserta-sama sebagai famili, teman, tetangga, warga , serta bangsa. 

Pandangan ini mengilustrasikan bahwa proses pendidikan yg terdapat pada pendidikan formal, non formal dan informal harus mengajarkan siswa atau anak buat saling peduli serta membantu dengan penuh keakraban tanpa diskriminasi lantaran berdasarkan dengan nilai-nilai moral dan persahabatan. Di sini nampak bahwa kiprah pendidik serta tokoh panutan sangat membantu membangun karakter peserta didik atau anak.

Implementasi Pendidikan Karakter
Upaya untuk mengimplementasikan pendidikan karakter merupakan melalui Pendekatan Holistik, yaitu mengintegrasikan perkembangan karakter ke pada setiap aspek kehidupan sekolah. Berikut ini ciri-ciri pendekatan keseluruhan (Elkind dan Sweet, 2005).
  1. Segala sesuatu di sekolah diatur dari perkembangan interaksi antara murid, pengajar, serta masyarakat
  2. Sekolah adalah rakyat peserta didik yg peduli pada mana ada ikatan yang kentara yang menghubungkan anak didik, pengajar, serta sekolah
  3. Pembelajaran emosional serta sosial setara dengan pembelajaran akademik
  4. Kerjasama serta kolaborasi di antara siswa sebagai hal yg lebih primer dibandingkan persaingan
  5. Nilai-nilai misalnya keadilan, rasa hormat, dan kejujuran menjadi bagian pembelajaran sehari-hari baik di pada juga di luar kelas
  6. Siswa-siswa diberikan poly kesempatan buat mempraktekkan prilaku moralnya melalui kegiatan-aktivitas seperti pembelajaran menaruh pelayanan
  7. Disiplin dan pengelolaan kelas menjadi penekanan dalam memecahkan kasus dibandingkan bantuan gratis serta hukuman
  8. Model pembelajaran yang berpusat dalam pengajar wajib ditinggalkan serta beralih ke kelas demokrasi di mana pengajar dan murid berkumpul buat membentuk kesatuan, kebiasaan, serta memecahkan masalah
Sementara itu kiprah forum pendidikan atau sekolah pada mengimplementasikan pendidikan karakter meliputi (1) mengumpulkan guru, orangtua dan murid beserta-sama mengidentifikasi serta mendefinisikan unsur-unsur karakter yang mereka ingin tekankan, (2) menaruh training bagi pengajar tentang bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kehidupan serta budaya sekolah, (3) menjalin kerjasama dengan orangtua dan warga supaya siswa dapat mendengar bahwa prilaku karakter itu penting buat keberhasilan di sekolah serta di kehidupannya, dan (4) menaruh kesempatan kepada kepala sekolah, guru, orangtua dan rakyat buat menjadi model prilaku sosial serta moral (US Department of Education).

Mengacu dalam konsep pendekatan keseluruhan dan dilanjutkan menggunakan upaya yang dilakukan forum pendidikan, kita perlu meyakini bahwa proses pendidikan karakter tadi harus dilakukan secara berkelanjutan (continually) sehingga nilai-nilai moral yg telah tertanam pada langsung anak tidak hanya hingga pada strata pendidikan eksklusif atau hanya muncul di lingkungan keluarga atau masyarakat saja. Selain itu praktik-praktik moral yg dibawa anak tidak terkesan bersifat formalitas, tetapi sahih-sahih tertanam dalam jiwa anak.

Bagaimana Peran Pendidik pada Membentuk Karakter SDM?
Pendidik itu mampu guru, orangtua atau siapa saja, yg krusial dia memiliki kepentingan buat membentuk pribadi siswa atau anak. Peran pendidik dalam intinya merupakan menjadi warga yg belajar serta bermoral. Lickona, Schaps, dan Lewis (2007) dan Azra (2006) menguraikan beberapa pemikiran mengenai kiprah pendidik, pada antaranya:
  1. Pendidik perlu terlibat dalam proses pembelajaran, diskusi, serta mengambil inisiatif menjadi upaya membentuk pendidikan karakter Pendidik bertanggungjawab buat menjadi contoh yg memiliki nilai-nilai moral dan memanfaatkan kesempatan buat menghipnotis siswa-siswanya. Artinya pendidik pada lingkungan sekolah hendaklah bisa sebagai “uswah hasanah” yg hidup bagi setiap siswa. Mereka jua harus terbuka dan siap buat mendiskusikan menggunakan siswa mengenai banyak sekali nilai-nilai yang baik tersebut. 
  2. Pendidik perlu menaruh pemahaman bahwa karakter murid tumbuh melalui kerjasama serta berpartisipasi dalam merogoh keputusan
  3. Pendidik perlu melakukan refleksi atas kasus moral berupa pertanyaan-pertanyaan rutin untuk memastikan bahwa siswa-siswanya mengalami perkembangan karakter. 
  4. Pendidik perlu menyebutkan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus menerus mengenai berbagai nilai yg baik serta yang jelek. 
Hal-hal lain yang pendidik bisa lakukan pada implementasi pendidikan karakter (Djalil serta Megawangi, 2006) merupakan: (1) pendidik perlu menerapkan metode pembelajaran yg melibatkan partisipatif aktif anak didik, (2) pendidik perlu menciptakan lingkungan belajar yang aman, (3) pendidik perlu menaruh pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, serta berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good, serta (4) pendidik perlu memperhatikan keunikan anak didik masing-masing dalam memakai metode pembelajaran, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan 9 aspek kecerdasan insan. Agustian (2007) menambahkan bahwa pendidik perlu melatih serta menciptakan karakter anak melalui pengulangan-pengulangan sebagai akibatnya terjadi internalisasi karakter, misalnya mengajak siswanya melakukan shalat secara konsisten.

Berdasarkan penjelasan pada atas, aku mencoba mengkategorikan peran pendidik pada setiap jenis lembaga pendidikan dalam membentuk karakter murid. Dalam pendidikan formal serta non formal, pendidik (1) wajib terlibat pada proses pembelajaran, yaitu melakukan interaksi dengan siswa pada mendiskusikan materi pembelajaran, (dua) harus menjadi contoh tauladan pada siswanya dalam berprilaku serta bercakap, (tiga) harus bisa mendorong siswa aktif pada pembelajaran melalui penggunaan metode pembelajaran yg variatif, (4) harus bisa mendorong dan membuat perubahan sehingga kepribadian, kemampuan serta asa guru bisa menciptakan hubungan yg saling menghormati serta bersahabat dengan siswanya, (lima) harus mampu membantu serta berbagi emosi serta kepekaan sosial murid supaya anak didik sebagai lebih bertakwa, menghargai ciptaan lain, mengembangkan keindahan serta belajar soft skills yang berguna bagi kehidupan anak didik selanjutnya, dan (6) harus memberitahuakn rasa kecintaan kepada siswa sebagai akibatnya pengajar pada membimbing anak didik yg sulit tidak gampang putus harapan.

Sementara dalam pendidikan informal misalnya keluarga serta lingkungan, pendidik atau orangtua/tokoh rakyat (1) harus menampakan nilai-nilai moralitas bagi anak-anaknya, (2) harus memiliki kedekatan emosional pada anak menggunakan menunjukkan rasa kasih sayang, (3) wajib menaruh lingkungan atau suasana yang aman bagi pengembangan karakter anak, dan (4) perlu mengajak anak-anaknya buat senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, misalnya menggunakan beribadah secara rutin.

Berangkat menggunakan upaya-upaya yang pendidik lakukan sebagaimana diklaim pada atas, diharapkan akan tumbuh dan berkembang karakter kepribadian yang mempunyai kemampuan unggul pada antaranya: (1) karakter mandiri serta unggul, (dua) komitmen pada kemandirian dan kebebasan, (tiga) pertarungan bukan potensi laten, melainkan situasi monumental dan lokal, (4) signifikansi Bhinneka Tunggal Ika, dan (lima) mencegah supaya stratifikasi sosial identik menggunakan disparitas etnik dan agama (Jalal dan Supriadi, 2001: 49-50).

URGENSI PENDIDIKAN URGENSI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA POLITIK

Urgensi Pendidikan Urgensi Pendidikan pada Budaya Politik
Indonesia baru yang dicita-citakan poly orang adalah warga baru yang dianggap civil 
society. Hal ini berarti kekuasaan berada di tangan warga , ditentukan sang masyarakat, serta buat rakyat. 
Rakyat tidak lagi menjadi objek, tetapi sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya 
dapat terwujud jika rakyat memperoleh pendidikan yang memadai sebagai akibatnya warga dapat 
memahami kiprahnya dalam proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif buat mencari 
bentuk-bentuk sintetik baru secara tulus, hening sekaligus mencerahkan.

Oleh karenanya, pemerintah seharusnya bisa menaikkan komitmennya buat membentuk 
pemerintahan yang bersih, menegakkan aturan tanpa pandang bulu, serta berpihak dalam proses 
pemberdayaan warga dengan memprioritaskan dalam bidang pendidikan. Kesejahteraan warga  
seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas sumber daya manusia yg terdidik 
agar mampu menaikkan penghasilannya secara benar, mandiri, dan kreatif. 

Sebagaimana yg dinyatakan Kuntowijoyo bahwa berukuran kemajuan suatu masyarakat bukan 
hanya menggunakan melihat pertumbuhan ekonomi saja, atau apa yg ia sebut “keadaan luar”. Ukuran 
kemajuan adalah bertambahnya iman, wama zadahum illa imana (Q.S. Al-Ahzab: 22). Keadaan luar 
itu merupakan kondisi yang perlu (necessary condition), tetapi itu saja tidak cukup, lantaran ekonomi 
bukan suatu kondisi yang bisa mencukupi (sufficient condition).tiga Kenyataan menampakan banyak 
orang yg berkecukupan secara materi, namun kehidupan yg dijalaninya tidak menampakan 
kebahagiaan. Tidak jarang karena ekonomi orang justru lupa diri. Oleh karena itu, perubahan 
“keadaan di dalam” (perubahan hati) itulah yg sejati dan esensial. Artinya, tujuan akhir menurut suksesnya pembangunan merupakan perubahan kesadaran setiap individu. Perubahan pencerahan jauh 
lebih permanen daripada perubahan secara material. 

Oleh karena itu, pendidikan sebagai galat satu faktor penentu dan indikator kemajuan suatu 
bangsa hendaknya sebagai tujuan pembangunan. Melalui pendidikan diperlukan para pelaku 
politik di negeri ini sanggup lebih memahami posisi sekaligus tugas serta tanggung jawab yang diemban 
bagi kesejahteraan masyarakat. Bagaimana setiap orang yg berkecimpung di global politik menyadari 
hakikat berpolitik. Pendidikan yang dimaksud meliputi segala aspek yang dapat memberikan 
pemahaman baru mengenai apa, untuk apa, bagi siapa sesuatu (kekuasaan) harus dicapai dan di 
pertahankan. 

Pokok pertarungan yg ingin diulas pada makalah ini adalah mengenai bagaimana atau 
seperti apa budaya politik yg terdapat di Indonesia? Dengan melihat fenomena budaya politik yg 
ada, aspek apa pada kehidupan bangsa ini yang perlu dibenahi serta siapa yg dianggap sanggup 
memperbaikinya? Serta bentuk pendidikan yg bagaimana yang bisa mengganti dan 
mengembalikan hakikat budaya politik tersebut? 

Idealitas dan Realitas Budaya Politik 
Budaya politik didefinisikan oleh Almond serta Verba menjadi suatu perilaku orientasi yang spesial  
suatu masyarakat negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan 
warga negara di dalam sistem itu.

Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman 
konsep yang memadukan 2 tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu. 
Sebagai sebuah sistem, organisasi politik hendaknya memiliki orientasi yang hendak mengupayakan 
kesejahteraan warga negara. Aspek individu dalam orientasi politik hanya menjadi pengakuan pada 
adanya kenyataan pada masyarakat tertentu yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara 
keseluruhan tidak dapat terlepas berdasarkan orientasi individu. Artinya, hakikat politik sebenarnya bukan 
berorientasi dalam individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan kesejahteraan rakyat yg 
menjadi orientasinya. Sementara itu, mengenai objek politik dari Albert dan Verba meliputi tiga komponen; kognitif, afektif, serta evaluatif.

Komponen kognitif digunakan buat mengukur tingkat pengetahuan 
seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yg mereka 
ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki sistem politiknya secara holistik. Komponen 
afektif berbicara mengenai aspek perasaan seseorang masyarakat negara yang bisa membuatnya menerima 
atau menolak sistem politik tertentu. Sikap yang telah usang tumbuh serta berkembang dalam 
keluarga atau lingkungan seseorang pula bisa menghipnotis pembentukan perasaan tadi. 
Sementara komponen evaluatif dipengaruhi sang evaluasi moral yang dimiliki seorang. Di sini, nilai 
moral serta kebiasaan yang dianut bisa menentukan serta sebagai dasar perilaku dan penilaiannya 
terhadap sistem politik. Oleh karenanya, dibutuhkan penanaman nilai-nilai moral bagi masyarakat, 
agar dapat menilai dan memihak menggunakan sahih dan arif, keliru satunya melalui institusi pendidikan. 
Konsep budaya politik dalam hakikatnya berpusat dalam khayalan (pikiran dan perasaan) manusia 
yang merupakan dasar semua tindakan. Oleh karenanya, pada menuju arah pembangunan dan
modernisasi suatu warga akan menempuh jalan yang berbeda antara satu warga menggunakan 
yang lain serta itu terjadi karena peranan kebudayaan menjadi keliru satu faktor. Budaya politik ini 
dalam suatu derajat yang sangat tinggi-- bisa membangun aspirasi, harapan, preferensi, serta prioritas 
tertentu pada menghadapi tantangan yang disebabkan sang perubahan sosial politik.

Setiap masyarakat mempunyai common sense yang bervarisi berdasarkan satu kebudayaan menggunakan kebudayaan yang 
lain, yg berimplikasi pada perbedaan persepsi tentang kekuasaan, partisipasi, supervisi 
(control) sosial, dan kritik masyarakat. 

Dalam kehidupan politik acapkali ada fenomena politik kekuasaan, bukan politik moral,
yaitu tindakan politik yg semata-mata buat merebut serta memperoleh kekuasaan karena menggunakan 
kekuasaan politik yang dimilikinya seseorang atau kelompok akan memperoleh laba materi, 
popularitas, dan fasilitas yg membuat hidupnya serba berkecukupan dan memperoleh status sosial 
yang tinggi. Dalam format politik yg demikian bisa dipastikan, siapapun akan mengorbankan 
apa saja dan menggunakan cara bagaimanapun berusaha buat mencapai tujuan politiknya. Dengan kata 
lain, kekuasaan merupakan segala-galanya sehingga wajib diperjuangkan dengan mangkat -matian. 

Dalam politik moral, kekuasaan bukan tujuan akhir, namun sebagai indera perjuangan buat 
mewujudkan cita-cita moral kemanusiaan. Kekuasaan yang hendak dicapainya nir diperoleh 
dengan menghalalkan segala cara, namun dicapai melalui cara-cara yg bijak, sah, dan sehat secara 
prosedural, dibenarkan secara moralitas kemanusiaan, serta kepatutan sosial. Politik moral ini 
seharusnya menjadi tujuan yg wajib dicapai oleh politisi sejati, menggunakan asa jalannya 
pemerintahan dan negara akan lebih sehat, bertenaga, terkontrol, dan berlangsung untuk kepentingan 
memajukan kehidupan rakyat yang lebih baik secara jasmani, rohani, dan intelektual. 

Sejak pembahasan pertama oleh dua filsuf Yunani klasik, Plato dan Aristoteles, tentang 
hakikat aktivitas politik memang berkaitan dengan perkara moral. Politik didefinisikan menjadi 
keperihatinan dalam isu-gosip umum yang mempengaruhi holistik aktivitas komunitas. Mereka 
membedakan kepentingan umum dan kepentingan langsung. Artinya, kepentingan generik ditinjau 
sebagai hal yang lebih tinggi secara moral. Aristoteles menyatakan, “Manusia pada hakikatnya 
adalah makhluk politik; sudah menjadi pembawaannya hayati dalam suatu polis”. Hanya dalam 
polis insan bisa mencapai nilai moralnya yg paling tinggi. Di luar polis, insan dapat 
menjadi subhuman (binatang buas) atau superhuman (Tuhan).

Lebih lanjut Aristoteles dan Plato memandang politik terutama pada kerangka tujuan-tujuan 
moral yg wajib dikejar oleh para pengambil keputusan. Adanya polis buat mencari kebaikan 
bersama, kebajikan masyarakat, serta kesempurnaan moral. Para pemimpin politik mempunyai
tanggungjawab buat menjamin kebahagiaan, yang bukan sekadar kenikmatan hedonistik, 
melainkan kesesuaian gagasan dan tindakannya. Oleh karenanya, konduite mereka wajib dinilai 
berdasarkan kriteria etis, yaitu apakah mereka hanya memenuhi kepentingan langsung atau melayani 
kepentingan umum.

Dalam budaya politik, birokrasi pemerintahan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang 
masih belum bergeser dari paradigma kekuatan, bukan pelayanan. Dalam kerangka berpikir kekuasaan 
terkandung hak-hak buat mengatur, buat itu mereka memperoleh sesuatu menurut mereka yg 
diatur. Rakyat sebagai pihak yg dikuasai, bukan yg menguasai. Oleh karenanya, rakyat harus 
memberikan sesuatu pada penguasa agar bisa melayaninya. Fenomena sosial menerangkan 
betapa rakyat dibentuk sibuk sang aparat pemerintah buat upacara penyambutan presiden, sebagai 
penguasa tertinggi di negeri ini yang berkunjung ke wilayah kekuasaannya. Demikian jua saat 
para petinggi pemerintahan lain berkunjung, pengadaan acara-acara seremonial, dan pengagungan 
simbol-simbol menjadi momen penting yg menghabiskan banyak dana yang sebenarnya kurang 
bermanfaat. Hal ini memberitahuakn upaya warga untuk menghormati pemerintah/atasan supaya mereka 
tetap mendapat pelayanan. Padahal secara esensial, pelayanan sebagai tugas yg diemban oleh 
pemerintah. 

Affan Gaffar (alm.) mengemukakan bahwa budaya politik rakyat Indonesia terbagi 
menjadi tiga; hierarkhi tegar, patronage (patron-client), serta neo-patrimonialistik.

Hierarkhi yang tegar memilahkan menggunakan mengambil jeda antara pemegang kekuasaan dengan warga sebagai akibatnya kalangan birokrat acapkali menampakkan diri menggunakan self-image yang bersifat benevolent. 
Seolah-olah mereka menjadi gerombolan pemurah, baik hati dan pelindung warga , sebagai akibatnya ada tuntutan rakyat harus patuh, tunduk, dan setia pada penguasa. Perlawanan terhadap penguasa akan sebagai 
ancaman bagi warga . Lebih tragis lagi, suatu upaya buat melindungi hak mereka sendiri pun 
diartikan menjadi perlawanan juga. 

Budaya politik patronage dari Gaffar menjadi budaya yang paling menonjol di Indonesia. 
Pola interaksi dalam budaya politik patronage ini bersifat individual, yakni antara si patron dan si 
client, majikan dan pembantu, atasan dan bawahan. Antara keduanya terjadi interaksi yg bersifat 
resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan kekuasaan, kedudukan, jabatan menggunakan energi, 
dukungan, materi, dan loyalitas. Budaya politik ini menjadi keliru satu penyebab maraknya praktik 
KKN serta ketidakadilan dalam masyarakat. Budaya neo-patrimonialistik lantaran negara memiliki 
atribut yg bersifat modern serta rasionalistik, misalnya birokrasi pada samping pula menampakan 
atribut yang bersifat patrimonialistik. 

Nurcholish Madjid menyatakan, “Sistem politik yang usahakan diterapkan di Indonesia merupakan 
sistem politik yg nir hanya baik buat umat Islam, tetapi yg sekiranya juga akan membawa 
kebaikan buat semua anggota masyarakat Indonesia”. Artinya, cita-cita politik seharusnya 
bertujuan buat mewujudkan kebaikan bersama secara kemanusiaan, tidak hanya menguntungkan 
kelompok atau golongan, terlebih individu eksklusif menjadi pemegang kekuasaan. 

Apapun budaya politik yg dianut, yg terpenting bahwa penguasa politik jangan menjauh 
dari realitas rakyat yang sudah memilihnya. Pemilihan generik yang dianggap menjadi pesta demokrasi 
rakyat jangan hanya terhenti pada perjuangan warga pada mempertahankan figur/tokohnya. 
Fenomena yg seringkali dijumpai, sesudah memenangkan pemilu serta berhasil sebagai pemimpin, 
mereka lupa diri serta lebih parahnya mereka nir lagi perduli pada masyarakat. Bila kekuasaan masih 
didominasi oleh sistem feodal serta patrimonial-irrasional, maka demokrasi yg didambakan oleh 
setiap orang akan sulit terwujud. 

Peran Pendidikan dalam Mewarnai Budaya Politik 
Hakikat dan tugas pokok pendidikan adalah menjadikan murid manusia yang humanis.
Pendidikan juga wajib membekali generasi belia buat mampu mengatasi pendangkalan hayati. 
Untuk itu, pendidikan perlu membantu siswa buat dapat memuliakan hidup. Di sini, pendidikan 
ditantang tidak hanya mampu membantu siswa supaya hidupnya berhasil, namun lebih-lebih bisa 
bermakna. Pendidikan harus sanggup memberikan kearifan. Kearifan dimaksudkan tidak hanya 
mengenai individu, namun jua demi kepentingan umum dan masyarakat secara luas. 

Manusia nir hanya terdiri dari kemampuan intelektualitasnya saja. Pendidikan yg baik tidak 
boleh tergiur buat sekadar menekankan kehebatan dan perkembangan intelektualitas semata. 
Pendidikan perlu membekali diri buat pembinaan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab, perilaku 
egaliter, dan kepekaan normatif yg menyangkut makna nilai serta tata nilai. Nilai, jati diri, dan perilaku 
egaliter ini menyangkut “hati” dan afeksi. Pendidikan juga harus membantu murid buat 
membentuk hati serta perasaannya, belajar mengendalikan diri, mengajar buat menghindari sifat 
sombong, sewenang-wenang, serta merendahkan orang lain Singkat istilah, sekolah secara sadar 
harus membina cipta, rasa, dan karsa murid secara simultan. 

Pendidikan wajib mempelajari balik perlunya pendidikan nilai atau moral, pendidikan budi 
pekerti atau pendidikan karakter yg disadari selama ini ditelantarkan. Oleh lantaran nilai merupakan 
inti menurut setiap kebudayaan, khususnya nilai moral. Nilai-nilai tersebut bukanlah nilai-nilai subjektif, 
tetapi nilai-nilai objektif serta nilai-nilai hakikat kemanusiaan (human dignity) yang menjadi perekat 
dasar dan pengikat pada kehidupan beserta. 

Jika pandangan ini yang sebagai acuan setiap pemegang kekuasaan, akibatnya krisis bangsa 
yang sudah multidimensi ini nir akan pernah selesai secara manusiawi. Kancah politik 
bangsa akan terus merajalela dan rakyatlah yg akan menjadi korbannya. Artinya, perpolitikan 
telah mengalami degradasi moral yg menghancurkan derajat humanisme dan merusak aspek 
kehidupan warga . Oleh karenanya, proses pendidikan politik untuk memperkuat kekuasaan 
hati nurani perlu disosialisasikan secara aktual, baik dalam pendidikan politik pada masyarakat juga 
di forum pendidikan itu sendiri. 

Aktualisasi pendidikan politik menuntut buat segera diaplikasikan dalam semua jenjang 
pendidikan. Sedini mungkin pada setiap individu ditanamkan sikap terbuka, jujur, menghargai, dan 
mau mendengarkan pendapat orang lain, pembiasaan hidup disiplin, dan pemahaman makna hak 
dan tanggung jawab, sekaligus pemahaman buat bisa menyeimbangkan keduanya. 
Diharapkan nilai-nilai ini bisa menjadi jati diri yang terus dimiliki dan teraplikasikan pada 
kehidupan. Penanaman nilai-nilai ini bisa dilakukan secara serentak sang guru, orangtua, dan 
lingkungan yg mengitarinya. Upaya yang lebih efektif merupakan dengan hadiah model teladan 
(uswah hasanah) dalam anak dalam kehidupan sehari-hari karena jika hanya dengan teori saja, 
konkrisitas moral tadi tidak akan ditemukan, dan teori hanya akan sebagai teori saja, tanpa 
adanya upaya buat mengaktualisasikannya. 

Pentingnya keteladanan ini bahkan disebut menjadi biang segala masalah sang Kartono 
sebagaimana dikutip oleh Paulus Mujiran. Krisis keteladanan menjadi salah satu penyebab 
muramnya paras pendidikan pada tanah air, yg berimbas dalam aspek politik, ekonomi, sosial, dan 
budaya. Bukti yang dapat dipandang adalah rendahnya keteladanan pemimpin pada rakyatnya. 
Masyarakat tidak lagi menemukan panutan yang dapat dijadikan model. Padahal pada kehidupan 
bersama, keteladanan adalah hal yang mutlak. Akibatnya, timbul krisis kepercayaan berimbas dalam 
hilangnya legitimasi penguasa itu sendiri. 

Menurutnya, buat membentuk keteladanan diperlukan sikap menjadi berikut. Pertama,
mendasarkan diri dalam nilai pertimbangan moral yg bisa ditempuh dengan melatih jujur, 
mengasah nurani, dan mengenal tanggungjawab. Kedua, perimbangan logika budi, yg disinyalir 
dapat meminimalisir terjadinya tindakan anarkhis serta pertarungan. Ketiga, menempatkan nilai 
pertimbangan sosial, menggunakan memupuk sikap rendah hati, gampang mengucapkan terima kasih, 
toleransi, dan santun. Keempat, budaya menghargai pendapat orang lain, perbedaan serta pluralitas. 
Pendidikan nir dapat terpisah menurut struktur kebudayaan, di mana proses pendidikan itu terjadi. 
Proses pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan dan ilmu pengetahuan, tetapi 
merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan 
akan berkembang sesuai dengan kemampuan pendidikan insan. Konsep kultural yg antisipatif 
untuk menyongsong masa depan berpusat dalam spiritualitas kepercayaan dan kearifan kebudayaan. 
Artinya, bila aspirasi negarawan sudah mulai percaya dalam agama serta kearifan budaya, berarti 
sebagai bangsa kita sudah pulang menyiapkan hati nurani yg selama ini diabaikan serta 

Dalam budaya politik, menurut Tilaar, terdapat perbedaan antara budaya politik yang terpuji 
dengan budaya politik yang tercela ini terletak pada nilai-nilai serta sistem nilai yang mendasari cara 
mendapatkan agama menurut warga , cara memimpin warga , dan cara mempergunakan kekuasaan 
yang diberikan sang warga . Budaya politik yg baik dan terpuji merupakan budaya politik yang 
menekankan pada prinsip-prinsip tentang keharusan mendahulukan kepentingan masyarakat dan bangsa 
di atas kepentingan individu serta gerombolan , dan perlunya melibatkan rakyat (atau setidaknya 
mempertimbangkan kepentingan masyarakat) pada setiap pengambilan keputusan politik. Sebaliknya, 
budaya politik yang tidak baik atau tercela ditandai sang praktik-praktik mendahulukan kepentingan 
individu serta grup di atas kepentingan masyarakat, berorientasi dalam kepentingan penguasa saja, serta 
mengabaikan kepentingan warga . 

Selain kasus budaya, tantangan utama politik pada Indonesia adalah kekerasan dan ketidakadilan 
yang diakibatkan oleh praktik politik kekuasaan. Politik yang identik menggunakan kekuasaan dijalankan 
bukan atas dasar etika politik, tetapi buat mempertahankan kekuasaan. Oleh karena itu, poly 
konsesi diberikan dengan mengorbankan tujuan primer politik itu sendiri, yaitu kesejahteraan 
bersama. Haryatmoko menyatakan bahwa budaya politik nir mampu dilepaskan menggunakan etika politik, 
yang mengandaikan aspek normatif (moral serta etika), kaidah kebudayaan (kejujuran serta keadilan), 
dan peduli terhadap pelatihan nilai-nilai dan perwujudan keinginan. Oleh karenanya, perlu disadari 
dan dilakukan upaya buat mengembalikan hakikat aspek-aspek politik, supaya bisa membantu 
terwujudnya bangsa yang civilized, meskipun hal ini membutuhkan ketika yg nir sebentar dan 
perlu perjuangan secara serentak menurut semua pihak lebih berdasarkan satu generasi (bersifat evolusioner). 
Para politikus kita nir menyadari bahwa pendidikan bersifat antisipatoris serta preparatoris,
yaitu selalu mengacu ke masa depan serta selalu mempersiapkan generasi belia untuk kehidupan 
masa mendatang. Pemikir serta pelaku yg baik pada bidang ekonomi dan politik tidak akan ada 
secara mendadak atau ‘dikarbit’, namun mereka harus dibina secara sistematis selama kurun ketika 
yang panjang. Kondisi kehidupan pendidikan saat ini akan mensugesti syarat kehidupan 
ekonomi serta politik di masa depan. Kalau kita sekarang membiarkan syarat pendidikan yang 
menyedihkan ini terus berlangsung, maka dapat diramalkan kehidupan ekonomi serta politik kita 15 
tahun yg akan datang jua permanen menyedihkan. Kelalaian buat melakukan investasi pendidikan 
saat ini harus ditebus dengan harga mahal pada masa depan. 

Pendidikan menjadi proses pengembangan perilaku demokratis. Dalam proses pendidikan ini, kita 
berhadapan dengan seorang individu yg ‘sedang sebagai’. Kekuasaan dalam pendidikan berarti 
kekuasaan buat menaruh kesempatan (opportunity) berdasarkan kebebasan insan. Manusia sebagai 
subjek harus merasa bebas. Dari kebebasan inilah dibimbing kepada kemampuan mengambil 
keputusan, merumuskan alternatif, serta secara bersama-sama menciptakan warga yang lebih 
baik. Demokrasi pada sini bukan dalam arti formal, tetapi adalah perilaku hidup yg dinyatakan 
dalam perbuatan (action), sebagai hasil refleksi dari pengalaman konkret dalam kehidupan. 
Upaya pengembangan budaya politik demokratis wajib dilakukan menggunakan melibatkan segmen 
masyarakat, mulai menurut elit politik hingga masyarakat awam. Salah satu cara yang dapat ditempuh merupakan

URGENSI PENDIDIKAN URGENSI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA POLITIK

Urgensi Pendidikan Urgensi Pendidikan dalam Budaya Politik
Indonesia baru yg dicita-citakan banyak orang adalah masyarakat baru yg disebut civil 
society. Hal ini berarti kekuasaan berada pada tangan masyarakat, dipengaruhi sang rakyat, dan untuk warga . 
Rakyat nir lagi menjadi objek, tetapi sebagai subjek pelaku kekuasaan. Masyarakat madani hanya 
dapat terwujud bila masyarakat memperoleh pendidikan yang memadai sebagai akibatnya rakyat dapat 
memahami perannya pada proses perubahan sosial secara kreatif-konstruktif buat mencari 
bentuk-bentuk sintetik baru secara lapang dada, hening sekaligus mencerahkan.

Oleh karenanya, pemerintah seharusnya dapat meningkatkan komitmennya untuk menciptakan 
pemerintahan yg higienis, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan berpihak dalam proses 
pemberdayaan masyarakat dengan memprioritaskan pada bidang pendidikan. Kesejahteraan rakyat 
seharusnya diartikan dengan semakin meningkatnya kualitas asal daya insan yang terdidik 
agar bisa meningkatkan penghasilannya secara sahih, berdikari, serta kreatif. 

Sebagaimana yg dinyatakan Kuntowijoyo bahwa berukuran kemajuan suatu rakyat bukan 
hanya menggunakan melihat pertumbuhan ekonomi saja, atau apa yang beliau sebut “keadaan luar”. Ukuran 
kemajuan merupakan bertambahnya iman, wama zadahum illa imana (Q.S. Al-Ahzab: 22). Keadaan luar 
itu merupakan syarat yg perlu (necessary condition), namun itu saja nir cukup, karena ekonomi 
bukan suatu kondisi yg dapat mencukupi (sufficient condition).tiga Kenyataan memperlihatkan poly 
orang yg berkecukupan secara materi, tetapi kehidupan yg dijalaninya nir menampakan 
kebahagiaan. Tidak jarang karena ekonomi orang justru lupa diri. Oleh karenanya, perubahan 
“keadaan pada dalam” (perubahan hati) itulah yg sejati dan esensial. Artinya, tujuan akhir berdasarkan suksesnya pembangunan adalah perubahan pencerahan setiap individu. Perubahan pencerahan jauh 
lebih permanen daripada perubahan secara material. 

Oleh karena itu, pendidikan sebagai galat satu faktor penentu serta indikator kemajuan suatu 
bangsa hendaknya menjadi tujuan pembangunan. Melalui pendidikan diperlukan para pelaku 
politik pada negeri ini sanggup lebih memahami posisi sekaligus tugas serta tanggung jawab yang diemban 
bagi kesejahteraan masyarakat. Bagaimana setiap orang yang beranjak di dunia politik menyadari 
hakikat berpolitik. Pendidikan yg dimaksud mencakup segala aspek yg bisa menaruh 
pemahaman baru mengenai apa, buat apa, bagi siapa sesuatu (kekuasaan) wajib dicapai dan di 
pertahankan. 

Pokok pertarungan yang ingin diulas dalam makalah ini merupakan tentang bagaimana atau 
seperti apa budaya politik yg terdapat pada Indonesia? Dengan melihat kenyataan budaya politik yang 
ada, aspek apa dalam kehidupan bangsa ini yg perlu dibenahi serta siapa yang dipercaya bisa 
memperbaikinya? Serta bentuk pendidikan yang bagaimana yang bisa membarui serta 
mengembalikan hakikat budaya politik tadi? 

Idealitas dan Realitas Budaya Politik 
Budaya politik didefinisikan sang Almond serta Verba sebagai suatu perilaku orientasi yang khas 
suatu rakyat negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, serta perilaku terhadap peranan 
warga negara pada pada sistem itu.

Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman 
konsep yang memadukan dua taraf orientasi politik, yaitu orientasi sistem serta orientasi individu. 
Sebagai sebuah sistem, organisasi politik hendaknya mempunyai orientasi yang hendak mengupayakan 
kesejahteraan warga negara. Aspek individu dalam orientasi politik hanya menjadi pengakuan dalam 
adanya fenomena pada warga tertentu yg semakin mempertegas bahwa rakyat secara 
keseluruhan nir dapat terlepas menurut orientasi individu. Artinya, hakikat politik sebenarnya bukan 
berorientasi pada individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan kesejahteraan rakyat yang 
menjadi orientasinya. Sementara itu, tentang objek politik dari Albert serta Verba mencakup tiga komponen; kognitif, afektif, serta evaluatif.

Komponen kognitif dipakai buat mengukur tingkat pengetahuan 
seseorang tentang jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yg mereka 
ambil, atau tentang simbol-simbol yang dimiliki sistem politiknya secara holistik. Komponen 
afektif berbicara tentang aspek perasaan seseorang masyarakat negara yg bisa membuatnya menerima 
atau menolak sistem politik tertentu. Sikap yang telah usang tumbuh dan berkembang pada 
keluarga atau lingkungan seorang juga bisa mempengaruhi pembentukan perasaan tersebut. 
Sementara komponen evaluatif dipengaruhi sang evaluasi moral yang dimiliki seseorang. Di sini, nilai 
moral serta norma yang dianut bisa memilih dan sebagai dasar perilaku serta penilaiannya 
terhadap sistem politik. Oleh karenanya, diperlukan penanaman nilai-nilai moral bagi warga , 
agar dapat menilai dan memihak menggunakan sahih serta arif, salah satunya melalui institusi pendidikan. 
Konsep budaya politik dalam hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran serta perasaan) manusia 
yang merupakan dasar seluruh tindakan. Oleh karenanya, dalam menuju arah pembangunan dan
modernisasi suatu masyarakat akan menempuh jalan yang tidak sinkron antara satu rakyat dengan 
yang lain serta itu terjadi karena peranan kebudayaan sebagai galat satu faktor. Budaya politik ini 
dalam suatu derajat yg sangat tinggi-- dapat menciptakan aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas 
tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan sang perubahan sosial politik.

Setiap masyarakat memiliki common sense yang bervarisi menurut satu kebudayaan dengan kebudayaan yang 
lain, yg berimplikasi dalam disparitas persepsi mengenai kekuasaan, partisipasi, supervisi 
(control) sosial, dan kritik rakyat. 

Dalam kehidupan politik acapkali muncul fenomena politik kekuasaan, bukan politik moral,
yaitu tindakan politik yang semata-mata buat merebut dan memperoleh kekuasaan lantaran dengan 
kekuasaan politik yg dimilikinya seorang atau grup akan memperoleh laba materi, 
popularitas, dan fasilitas yang menciptakan hidupnya serba berkecukupan dan memperoleh status sosial 
yang tinggi. Dalam format politik yg demikian bisa dipastikan, siapapun akan mengorbankan 
apa saja dan menggunakan cara bagaimanapun berusaha buat mencapai tujuan politiknya. Dengan istilah 
lain, kekuasaan adalah segala-galanya sebagai akibatnya harus diperjuangkan menggunakan mati-matian. 

Dalam politik moral, kekuasaan bukan tujuan akhir, namun sebagai indera usaha buat 
mewujudkan impian moral kemanusiaan. Kekuasaan yg hendak dicapainya nir diperoleh 
dengan menghalalkan segala cara, namun dicapai melalui cara-cara yang bijak, absah, serta sehat secara 
prosedural, dibenarkan secara moralitas humanisme, serta kepatutan sosial. Politik moral ini 
seharusnya menjadi tujuan yg harus dicapai oleh politisi sejati, dengan harapan jalannya 
pemerintahan dan negara akan lebih sehat, bertenaga, terkontrol, serta berlangsung buat kepentingan 
memajukan kehidupan masyarakat yang lebih baik secara jasmani, rohani, dan intelektual. 

Sejak pembahasan pertama oleh dua filsuf Yunani klasik, Plato dan Aristoteles, mengenai 
hakikat aktivitas politik memang berkaitan menggunakan kasus moral. Politik didefinisikan sebagai 
keperihatinan pada berita-informasi umum yg mensugesti keseluruhan aktivitas komunitas. Mereka 
membedakan kepentingan umum dan kepentingan langsung. Artinya, kepentingan generik dipandang 
sebagai hal yang lebih tinggi secara moral. Aristoteles menyatakan, “Manusia dalam hakikatnya 
adalah makhluk politik; sudah sebagai pembawaannya hayati pada suatu polis”. Hanya pada 
polis manusia dapat mencapai nilai moralnya yg paling tinggi. Di luar polis, insan dapat 
menjadi subhuman (binatang buas) atau superhuman (Tuhan).

Lebih lanjut Aristoteles dan Plato memandang politik terutama dalam kerangka tujuan-tujuan 
moral yang wajib dikejar oleh para pengambil keputusan. Adanya polis buat mencari kebaikan 
bersama, kebajikan warga , serta kesempurnaan moral. Para pemimpin politik mempunyai
tanggungjawab buat menjamin kebahagiaan, yg bukan sekadar kenikmatan hedonistik, 
melainkan kesesuaian gagasan serta tindakannya. Oleh karenanya, perilaku mereka wajib dinilai 
berdasarkan kriteria etis, yaitu apakah mereka hanya memenuhi kepentingan pribadi atau melayani 
kepentingan umum.

Dalam budaya politik, birokrasi pemerintahan Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini  
masih belum bergeser menurut kerangka berpikir kekuatan, bukan pelayanan. Dalam kerangka berpikir kekuasaan 
terkandung hak-hak buat mengatur, untuk itu mereka memperoleh sesuatu berdasarkan mereka yg 
diatur. Rakyat sebagai pihak yang dikuasai, bukan yang menguasai. Oleh karena itu, masyarakat harus 
memberikan sesuatu pada penguasa supaya dapat melayaninya. Fenomena sosial menerangkan 
betapa masyarakat dibuat sibuk sang aparat pemerintah buat upacara penyambutan presiden, sebagai 
penguasa tertinggi di negeri ini yg berkunjung ke wilayah kekuasaannya. Demikian juga waktu 
para petinggi pemerintahan lain berkunjung, pengadaan acara-acara seremonial, dan pengagungan 
simbol-simbol menjadi momen penting yg menghabiskan poly dana yg sebenarnya kurang 
bermanfaat. Hal ini memperlihatkan upaya warga buat menghormati pemerintah/atasan supaya mereka 
tetap menerima pelayanan. Padahal secara esensial, pelayanan menjadi tugas yang diemban sang 
pemerintah. 

Affan Gaffar (alm.) mengemukakan bahwa budaya politik rakyat Indonesia terbagi 
menjadi 3; hierarkhi tegar, patronage (patron-client), dan neo-patrimonialistik.

Hierarkhi yg tegar memilahkan menggunakan merogoh jarak antara pemegang kekuasaan menggunakan rakyat sebagai akibatnya kalangan birokrat acapkali menampakkan diri menggunakan self-image yang bersifat benevolent. 
Seolah-olah mereka menjadi kelompok pemurah, baik hati serta pelindung masyarakat, sebagai akibatnya ada tuntutan warga wajib patuh, tunduk, dan setia pada penguasa. Perlawanan terhadap penguasa akan sebagai 
ancaman bagi rakyat. Lebih tragis lagi, suatu upaya buat melindungi hak mereka sendiri pun 
diartikan menjadi perlawanan jua. 

Budaya politik patronage berdasarkan Gaffar sebagai budaya yang paling menonjol pada Indonesia. 
Pola hubungan dalam budaya politik patronage ini bersifat individual, yakni antara si patron dan si 
client, majikan dan pembantu, atasan serta bawahan. Antara keduanya terjadi hubungan yg bersifat 
resiprokal atau timbal pulang menggunakan mempertukarkan kekuasaan, kedudukan, jabatan dengan tenaga, 
dukungan, materi, dan loyalitas. Budaya politik ini sebagai keliru satu penyebab maraknya praktik 
KKN serta ketidakadilan dalam warga . Budaya neo-patrimonialistik lantaran negara mempunyai 
atribut yang bersifat terkini serta rasionalistik, misalnya birokrasi pada samping juga memperlihatkan 
atribut yang bersifat patrimonialistik. 

Nurcholish Madjid menyatakan, “Sistem politik yg sebaiknya diterapkan pada Indonesia merupakan 
sistem politik yang nir hanya baik buat umat Islam, tetapi yg sekiranya jua akan membawa 
kebaikan buat seluruh anggota masyarakat Indonesia”. Artinya, cita-cita politik seharusnya 
bertujuan buat mewujudkan kebaikan beserta secara kemanusiaan, nir hanya menguntungkan 
kelompok atau golongan, terlebih individu eksklusif sebagai pemegang kekuasaan. 

Apapun budaya politik yg dianut, yg terpenting bahwa penguasa politik jangan menjauh 
dari realitas rakyat yang telah memilihnya. Pemilihan generik yang dianggap menjadi pesta demokrasi 
rakyat jangan hanya terhenti dalam usaha masyarakat pada mempertahankan figur/tokohnya. 
Fenomena yang tak jarang dijumpai, sesudah memenangkan pemilu dan berhasil menjadi pemimpin, 
mereka lupa diri serta lebih parahnya mereka tidak lagi perduli pada masyarakat. Bila kekuasaan masih 
didominasi oleh sistem feodal serta patrimonial-irrasional, maka demokrasi yang didambakan sang 
setiap orang akan sulit terwujud. 

Peran Pendidikan dalam Mewarnai Budaya Politik 
Hakikat serta tugas utama pendidikan adalah berakibat siswa insan yg humanis.
Pendidikan jua harus membekali generasi belia buat bisa mengatasi pendangkalan hidup. 
Untuk itu, pendidikan perlu membantu anak didik untuk dapat memuliakan hidup. Di sini, pendidikan 
ditantang tidak hanya sanggup membantu anak didik agar hidupnya berhasil, namun lebih-lebih dapat 
bermakna. Pendidikan wajib sanggup memberikan kearifan. Kearifan dimaksudkan nir hanya 
mengenai individu, namun juga demi kepentingan generik serta rakyat secara luas. 

Manusia nir hanya terdiri dari kemampuan intelektualitasnya saja. Pendidikan yang baik nir 
boleh tergoda buat sekadar menekankan kehebatan dan perkembangan intelektualitas semata. 
Pendidikan perlu membekali diri buat pelatihan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab, sikap 
egaliter, dan kepekaan normatif yg menyangkut makna nilai dan rapikan nilai. Nilai, jati diri, serta perilaku 
egaliter ini menyangkut “hati” dan afeksi. Pendidikan jua harus membantu murid buat 
membentuk hati serta perasaannya, belajar mengendalikan diri, mengajar untuk menghindari sifat 
sombong, sewenang-wenang, serta merendahkan orang lain Singkat istilah, sekolah secara sadar 
harus membina cipta, rasa, dan karsa murid secara simultan. 

Pendidikan harus mempelajari balik perlunya pendidikan nilai atau moral, pendidikan budi 
pekerti atau pendidikan karakter yang disadari selama ini ditelantarkan. Oleh lantaran nilai adalah 
inti dari setiap kebudayaan, khususnya nilai moral. Nilai-nilai tadi bukanlah nilai-nilai subjektif, 
tetapi nilai-nilai objektif dan nilai-nilai hakikat humanisme (human dignity) yg sebagai perekat 
dasar serta pengikat dalam kehidupan beserta. 

Jika pandangan ini yang sebagai acuan setiap pemegang kekuasaan, akibatnya krisis bangsa 
yang sudah multidimensi ini nir akan pernah selesai secara manusiawi. Kancah politik 
bangsa akan terus merajalela serta rakyatlah yg akan menjadi korbannya. Artinya, perpolitikan 
telah mengalami degradasi moral yg menghancurkan derajat kemanusiaan serta menghambat aspek 
kehidupan rakyat. Oleh karenanya, proses pendidikan politik buat memperkuat kekuasaan 
hati nurani perlu disosialisasikan secara aktual, baik dalam pendidikan politik di masyarakat juga 
di lembaga pendidikan itu sendiri. 

Aktualisasi pendidikan politik menuntut buat segera diaplikasikan dalam semua jenjang 
pendidikan. Sedini mungkin dalam setiap individu ditanamkan sikap terbuka, amanah, menghargai, dan 
mau mendengarkan pendapat orang lain, pembiasaan hayati disiplin, dan pemahaman makna hak 
dan tanggung jawab, sekaligus pemahaman untuk sanggup menyeimbangkan keduanya. 
Diharapkan nilai-nilai ini bisa sebagai jati diri yang terus dimiliki dan teraplikasikan pada 
kehidupan. Penanaman nilai-nilai ini dapat dilakukan secara serentak oleh guru, orangtua, dan 
lingkungan yg mengitarinya. Upaya yang lebih efektif adalah dengan pemberian contoh teladan 
(uswah hasanah) dalam anak dalam kehidupan sehari-hari karena apabila hanya menggunakan teori saja, 
konkrisitas moral tadi nir akan ditemukan, serta teori hanya akan menjadi teori saja, tanpa 
adanya upaya untuk mengaktualisasikannya. 

Pentingnya keteladanan ini bahkan dianggap sebagai biang segala masalah oleh Kartono 
sebagaimana dikutip oleh Paulus Mujiran. Krisis keteladanan menjadi galat satu penyebab 
muramnya wajah pendidikan pada tanah air, yang berimbas dalam aspek politik, ekonomi, sosial, dan 
budaya. Bukti yg bisa dipandang merupakan rendahnya keteladanan pemimpin kepada rakyatnya. 
Masyarakat nir lagi menemukan panutan yang bisa dijadikan contoh. Padahal dalam kehidupan 
bersama, keteladanan merupakan hal yg absolut. Akibatnya, timbul krisis agama berimbas pada 
hilangnya legitimasi penguasa itu sendiri. 

Menurutnya, buat membentuk keteladanan diharapkan sikap sebagai berikut. Pertama,
mendasarkan diri dalam nilai pertimbangan moral yg dapat ditempuh dengan melatih amanah, 
mengasah nurani, dan mengenal tanggungjawab. Kedua, perimbangan logika budi, yang disinyalir 
dapat meminimalisir terjadinya tindakan anarkhis dan perseteruan. Ketiga, menempatkan nilai 
pertimbangan sosial, dengan memupuk perilaku rendah hati, mudah mengucapkan terima kasih, 
toleransi, serta santun. Keempat, budaya menghargai pendapat orang lain, disparitas serta pluralitas. 
Pendidikan tidak dapat terpisah dari struktur kebudayaan, di mana proses pendidikan itu terjadi. 
Proses pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan serta ilmu pengetahuan, namun 
merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan 
akan berkembang sinkron menggunakan kemampuan pendidikan insan. Konsep kultural yang antisipatif 
untuk menyongsong masa depan berpusat pada spiritualitas agama serta kearifan kebudayaan. 
Artinya, jikalau aspirasi negarawan sudah mulai percaya dalam agama serta kearifan budaya, berarti 
sebagai bangsa kita sudah kembali menyiapkan hati nurani yang selama ini diabaikan serta 

Dalam budaya politik, dari Tilaar, terdapat perbedaan antara budaya politik yg terpuji 
dengan budaya politik yg tercela ini terletak pada nilai-nilai dan sistem nilai yg mendasari cara 
mendapatkan agama dari warga , cara memimpin rakyat, dan cara mempergunakan kekuasaan 
yang diberikan oleh warga . Budaya politik yang baik dan terpuji adalah budaya politik yang 
menekankan dalam prinsip-prinsip mengenai keharusan mendahulukan kepentingan masyarakat dan bangsa 
di atas kepentingan individu serta gerombolan , serta perlunya melibatkan warga (atau setidaknya 
mempertimbangkan kepentingan rakyat) dalam setiap pengambilan keputusan politik. Sebaliknya, 
budaya politik yg buruk atau tercela ditandai sang praktik-praktik mendahulukan kepentingan 
individu dan gerombolan pada atas kepentingan rakyat, berorientasi pada kepentingan penguasa saja, serta 
mengabaikan kepentingan rakyat. 

Selain masalah budaya, tantangan primer politik pada Indonesia adalah kekerasan serta ketidakadilan 
yang diakibatkan sang praktik politik kekuasaan. Politik yang identik dengan kekuasaan dijalankan 
bukan atas dasar etika politik, tetapi buat mempertahankan kekuasaan. Oleh karenanya, banyak 
konsesi diberikan menggunakan mengorbankan tujuan utama politik itu sendiri, yaitu kesejahteraan 
bersama. Haryatmoko menyatakan bahwa budaya politik nir mampu dilepaskan dengan etika politik, 
yang mengandaikan aspek normatif (moral serta etika), kaidah kebudayaan (kejujuran dan keadilan), 
dan peduli terhadap pelatihan nilai-nilai serta perwujudan keinginan. Oleh karena itu, perlu disadari 
dan dilakukan upaya buat mengembalikan hakikat aspek-aspek politik, agar bisa membantu 
terwujudnya bangsa yang civilized, meskipun hal ini membutuhkan saat yang tidak sementara waktu dan 
perlu perjuangan secara serentak menurut semua pihak lebih menurut satu generasi (bersifat evolusioner). 
Para politikus kita tidak menyadari bahwa pendidikan bersifat antisipatoris serta preparatoris,
yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda buat kehidupan 
masa mendatang. Pemikir serta pelaku yang baik di bidang ekonomi dan politik tidak akan timbul 
secara mendadak atau ‘dikarbit’, namun mereka harus dibina secara sistematis selama kurun waktu 
yang panjang. Kondisi kehidupan pendidikan saat ini akan mempengaruhi syarat kehidupan 
ekonomi serta politik di masa depan. Kalau kita kini membiarkan kondisi pendidikan yg 
menyedihkan ini terus berlangsung, maka bisa diramalkan kehidupan ekonomi dan politik kita 15 
tahun yang akan tiba juga permanen menyedihkan. Kelalaian untuk melakukan investasi pendidikan 
saat ini wajib ditebus menggunakan harga mahal di masa depan. 

Pendidikan sebagai proses pengembangan sikap demokratis. Dalam proses pendidikan ini, kita 
berhadapan dengan seseorang individu yg ‘sedang sebagai’. Kekuasaan pada pendidikan berarti 
kekuasaan buat memberikan kesempatan (opportunity) berdasarkan kebebasan insan. Manusia sebagai 
subjek harus merasa bebas. Dari kebebasan inilah dibimbing pada kemampuan mengambil 
keputusan, merumuskan cara lain , serta secara bersama-sama membangun rakyat yang lebih 
baik. Demokrasi pada sini bukan dalam arti formal, tetapi adalah perilaku hidup yang dinyatakan 
dalam perbuatan (action), menjadi hasil refleksi dari pengalaman konkret dalam kehidupan. 
Upaya pengembangan budaya politik demokratis wajib dilakukan menggunakan melibatkan segmen 
masyarakat, mulai dari elit politik hingga masyarakat umum . Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah