REFLEKSI SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA
Refleksi Sekolah Inklusi pada Indonesia
Berbicara tentang sekolah Inklusi, aku teringat artikel yang ditulis Prof. Dr. Frieda Mangunsong, M.ed, Psi berjudul “Gambaran Emosional Anak Berkebutuhan Khusus.” Dalam artikel yg sebenarnya adalah proposal penelitian itu, Prof. Frieda menyoroti perkembangan global pendidikan belakangan terakhir. Dalam pandangannya, ketika ini semakin familiar tentang anak berkebutuhan khusus atau yg tak jarang diklaim dengan ABK. “Berbagai artikel serta tayangan pada media massa mengangkat topik mengenai autism, tunagrahita, serta banyak sekali bentuk kebutuhan khusus lainnya. Perhatian menurut pemerintah pun tampak berdasarkan layanan pendidikan khusus yang disediakan bagi mereka, sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Dirjen Manajmen Dikdasmen, 2006)” tulis Prof. Frieda dalam artikelnya itu.
Saat ini, menurut Prof. Frieda, diperkirakan sepuluh % dari populasi anak pada dunia ini adalah anak berkebutuhan khusus. “Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia pun terus semakin tinggi, meski tidak dapat dipastikan. Dinas Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional mencatat terdapat 324.000 orang ABK di Indonesia. Prevalensinya yg tinggi dan pencerahan masyarakat yg semakin semakin tinggi mengenai informasi ini membuat ABK semakin menerima perhatian,” jelasnya dalam artikel tadi.
Pada faktanya di lapangan, kita mulai menjumpai—meski memang belum pada seluruh daerah mampu kita temui—adanya institusi-institusi pendidikan yg mulai menyediakan layanan pendidikan khusus untuk anak berkebutuhan spesifik. Seperti yg terdapat pada Sleman, daerah dimana saya berdomisili pada Yogyakarta, di sana terdapat sekolah yang bernama SD Muhammadiyah Gondanglegi, Sleman. Sekolah ini merupakan sekolah yg juga menerapkan system pendidikan inklusi. Kemudian pada Surabaya, ada namanya Sekolah Dasar Negeri Klampis 1/246 Rintisan Inklusi, yg terletak pada Jalan AR. Hakim 99 C Kec. Sukolilo Surabaya. Sama, sekolah ini juga mulai merintis dalam ranah pendidikan inklusi. Tetapi demikian, tidak menampik fakta juga bahwa sekolah inklusi ini memang mulai berkembang di Jakarta tahun 2003 kemudian. Di Surabaya saja baru mulai tahun pelajaran 2007-2008. Itu pun baru 2 sekolah yang ditunjuk menjadi sekolah inklusi, yaitu Sekolah Menengah Kejuruan 8 dan Sekolah Menengah Atas 10 Surabaya. Dan waktu ini, pihak institusi sekolah baru sebatas mengakomodir hadirnya siswa berkebutuhan khusus, namun belum didukung infrastruktur serta SDM atau pengajar yg memadai.
Mungkin terdapat benarnya bahwa sekolah inklusi tidak selaras dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Di SLB anak anak diberi fasilitas sinkron menggunakan keterbatasan mereka, mulai menurut guru, cara berkomunikasi, konstruksi gedung disesuaikan. Namun pada sekolah inklusi mereka tidak sepenuhnya menerima seluruh itu, karena mereka berkumpul dengan anak-anak normal secara fisik, tentunya mereka harus mengikuti sekaligus menyesuaikan mulai dari guru, cara berkomunikasi, bahkan fasilitas sekolah yg memang terdapat beberapa yang belum terpenuhi buat mereka. Kondisi itu bisa jadi membuat mereka semakin mandiri untuk nanti hayati pada warga . Tetapi demikian, memang ada banyak jenis sekolah inklusi.
Dalam makalah berjudul “Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)” yg disampaikan dalam program Festival Seminar & Pameran Pendidikan di Hotel Kartika Chandra - Jakarta, dua Agustus 2006 lalu, Prof. Frieda memberikan definsi pendidikan Inklusi yg menarik—setidaknya demikian bagi saya—dari Western Regional Resource Center (2002). Yaitu inklusi didefinisikan menjadi penyedia instruksi/pengajaran yg dibuat secara spesifik dan menyediakan dukungan buat siswa-anak didik menggunakan kebutuhan spesifik dalam konteks setting pendidikan regular. Definisi ini, bagi aku , membuktikan adanya asa seorang pengajar atau institusi pendidikan yang nir membeda-bedakan kemampuan yang dimiliki sang setiap siswa. Sekolah inklusi, bila mengacu dalam definisi tadi, maka dalam pandangan aku akan memberikan apa yg diinginkan dan sanggup dikembangkan sang masing-masing skill yg dimiliki siswa. Pembelajaran misalnya ini, secara otomatis, akan sangat memperhatikan disparitas individu yg dimiliki oleh setiap murid.
Adapun tugas menurut seseorang pengajar atau pendidik ke depannya nanti, dalam pandangan aku , merupakan mereka akan bertanggung jawab buat mengupayakan bantuan pada menyediakan dan menaruh layanan pendidikan pada seluruh anak (tanpa terkecuali) berdasarkan otoritas sekolah, warga , keluarga, forum pendidikan, layanan kesehatan, pemimpin rakyat, dan lain-lain. Disamping itu, siswa juga harus mampu dijamin buat permanen mampu memperoleh kesempatan belajar yg sama sesuai dengan tempo dan kemampuan masing-masing. Dengan adanya sekolah inklusi seperti ini, diharapkan mampu menghapus dominasi sistem pendidikan yg eksklusif. Karena dampaknya tidak hanya dirasakan oleh anak berkebutuhan khusus saja tetapi masyarakat tempat mereka tinggal pun sanggup terbebani karena ketidakmampuan mereka pada bermasyarakat.
Dengan sekolah inklusi misalnya ini, mereka akan mendapatkan pembelajaran riil bersosialisasi dengan anak-anak normal. Mereka tidak lagi dilihat sebelah mata oleh masyarakat. Terlebih apabila pada sekolah inklusi tadi mereka akan bisa berprestasi melebihi anak didik lainnya. Hal tersebut akan mengokohkan bahwa mereka sanggup sejajar menggunakan anak-anak lainnya. Besar harapan bangsa akan adanya pendidikan yang berorientasi dalam based on ability’s student misalnya sekolah inklusi ini. Majulah terus, pendidikan Indonesia!
Comments
Post a Comment