RINGKASAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

Para tutor dan masyarakat belajar sekalian, kita tentunya telah mengetahui bahwa pendidikan kita menggunakan sistem eksklusif yangdiatur dalam undang-udang sistem pendidikan nasional kita. Nah..disini kita akan coba mengenal serta membahas bagaimana sistem pendidikan nasional itu. Berikut ini kompendium serta bagaimana sistem pendidikan nasional itu; Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Sisdiknas No. 20 tahun 2003).
Fungsi Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta menciptakan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yg bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi insan yg beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari, serta sebagai rakyat negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Jalur Pendidikan
Jalur pendidikan terdiri atas:
1. Pendidikan formal,
2. Nonformal, dan
3. Informal.
Jalur Pendidikan Formal
Jenjang pendidikan formal terdiri atas:
1. Pendidikan dasar,
2. Pendidikan menengah,
3. Serta pendidikan tinggi.
Jenis pendidikan mencakup:
1. Pendidikan umum,
2. Kejuruan,
3. Akademik,
4. Profesi,
5. Vokasi,
6. Keagamaan, dan
7. Spesifik.
Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Setiap rakyat negara yg berusia tujuh hingga menggunakan 5 belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengklaim terselenggaranya harus belajar bagi setiap masyarakat negara yang berusia 6 (enam) tahun dalam jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya .
Pendidikan dasar berbentuk:
1. Sekolah Dasar (SD) serta Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yg sederajat.
Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah adalah lanjutan pendidikan dasar.
Pendidikan menengah terdiri atas:
1. Pendidikan menengah generik, dan
2. Pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:
1. SMA (SMA),
2. Madrasah Aliyah (MA),
3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yg meliputi program pendidikan diploma, sarjana, magister, seorang ahli, serta doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Perguruan tinggi dapat berbentuk:
1. Akademi,
2. Politeknik,
3. Sekolah tinggi,
4. Institut, atau
5. Universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, serta pengabdian kepada rakyat.
Perguruan tinggi bisa menyelenggarakan acara akademik, profesi, dan/atau vokasi.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga rakyat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi menjadi pengganti, penambah, serta/atau pelengkap pendidikan formal pada rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan nonformal berfungsi menyebarkan potensi siswa dengan fokus dalam penguasaan pengetahuan serta keterampilan fungsional dan pengembangan perilaku serta kepribadian profesional.
Pendidikan nonformal meliputi:
1. Pendidikan kecakapan hayati,
2. Pendidikan anak usia dini,
3. Pendidikan kepemudaan,
4. Pendidikan pemberdayaan perempuan ,
5. Pendidikan keaksaraan,
6. Pendidikan keterampilan serta pembinaan kerja,
7. Pendidikan kesetaraan, serta
8. Pendidikan lain yg ditujukan buat membuatkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:
1. Forum kursus,
2. Forum training,
3. Kelompok belajar,
4. Sentra kegiatan belajar warga , dan
5. Majelis taklim, dan satuan pendidikan yg sejenis.
Kursus serta pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, serta perilaku buat membuatkan diri, berbagi profesi, bekerja, usaha berdikari, serta/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi.
Hasil pendidikan nonformal bisa dihargai setara dengan output acara pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan sang lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu dalam standar nasional pendidikan.
Pendidikan Informal
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan sang keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara berdikari.
Hasil pendidikan informal diakui sama menggunakan pendidikan formal serta nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan baku nasional pendidikan.
Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
Pendidikan anak usia dini bisa diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, serta/atau informal.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:
1. TK (TK),
2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:
1. Kelompok Bermain (KB),
2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan famili atau pendidikan yg diselenggarakan sang lingkungan.
Pendidikan Kedinasan
Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan sang departemen atau forum pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan pada pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal serta nonformal.
Pendidikan Keagamaan
Pendidikan keagamaan diselenggarakan sang Pemerintah serta/atau grup warga dari pemeluk agama, sinkron dengan peraturan perundang-undangan.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan keagamaan berbentuk:
1. Pendidikan diniyah,
2. Pesantren,
3. Pasraman,
4. Pabhaja samanera, serta bentuk lain yg homogen.
Pendidikan Jarak Jauh
Pendidikan jeda jauh bisa diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pendidikan jeda jauh berfungsi menaruh layanan pendidikan kepada grup warga yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada berbagai bentuk, modus, serta cakupan yang didukung sang wahana dan layanan belajar serta sistem evaluasi yang mengklaim mutu lulusan sinkron menggunakan standar nasional pendidikan.
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pendidikan khusus adalah pendidikan bagi peserta didik yang memiliki taraf kesulitan pada mengikuti proses pembelajaran lantaran kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, serta/atau memiliki potensi kecerdasan serta talenta istimewa.
Pendidikan layanan spesifik adalah pendidikan bagi peserta didik pada daerah terpencil atau terbelakang, rakyat istiadat yg terpencil, serta/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu berdasarkan segi ekonomi.
**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik dalam satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daftar Istilah
Pendidikan adalah Usaha sadar serta terpola buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diharapkan dirinya, rakyat, bangsa dan negara.
Pendidikan nasional merupakan Pendidikan yang menurut Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar dalam nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia serta tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Sistem pendidikan nasional adalah Keseluruhan komponen pendidikan yg saling terkait secara terpadu buat mencapai tujuan pendidikan nasional.
Peserta didik adalah Anggota masyarakat yg berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia dalam jalur, jenjang, dan jenis pendidikan eksklusif.
Jalur pendidikan adalah Wahana yg dilalui peserta didik buat berbagi potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Jenjang pendidikan merupakan Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan taraf perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, serta kemampuan yg dikembangkan.
Jenis pendidikan merupakan Kelompok yang didasarkan dalam kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.
Satuan pendidikan merupakan Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dalam jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang serta jenis pendidikan.
Pendidikan formal merupakan Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan nonformal merupakan Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yg bisa dilaksanakan secara terstruktur serta berjenjang.
Pendidikan informal adalah Jalur pendidikan famili serta lingkungan.
Pendidikan anak usia dini adalah Suatu upaya pembinaan yg ditujukan kepada anak semenjak lahir sampai dengan usia enam tahun yg dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan buat membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani agar anak mempunyai kesiapan pada memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan jarak jauh merupakan Pendidikan yg peserta didiknya terpisah dari pendidik serta pembelajarannya menggunakan banyak sekali asal belajar melalui teknologi komunikasi, keterangan, serta media lain.
Standar nasional pendidikan merupakan Kriteria minimal mengenai sistem pendidikan di seluruh daerah aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wajib belajar adalah Program pendidikan minimal yang harus diikuti sang Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah serta Pemda.
Warga Negara merupakan Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di daerah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga pada luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat adalah Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yg mempunyai perhatian serta peranan pada bidang pendidikan.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
Pemerintah Daerah merupakan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.
Menteri merupakan Menteri yg bertanggung jawab pada bidang pendidikan nasional.
Demikianlah ringkasan tentang sistem pendidikan nasional Indonesia, semoga berguna.
Sumber: Dirangkum menurut berbagai sumber, khususnya kitab Undang-undang Sisdiknas no.20 tahun 2003

PENGEMBANGAN DAN INOVASI KURIKULUM

Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum
Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam semua aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka pada penyusunan kurikulum tidak sanggup dilakukan tanpa memakai landasan yang kokoh serta bertenaga.

Landasan pengembangan kurikulum nir hanya diharapkan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yang tak jarang diklaim pula menjadi kurikulum ideal, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan serta para pengajar dan pihak-pihak lain yang terkait menggunakan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, menjadi bahan untuk dijadikan instrumen dalam melakukan pelatihan terhadap implementasi kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dibutuhkan aneka macam landasan yg kuat supaya mampu dijadikan dasar pijakan pada melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sebagai akibatnya dapat memfasilitasi tercapainya target pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif serta efisien.

Landasan Pengembangan Kurikulum
Suatu bangunan kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen evaluasi, maka supaya setiap komponen mampu menjalankan kegunaannya secara sempurna serta bersinergi, maka perlu ditopang sang sejumlah landasan yaitu landasan filosofis menjadi landasan primer, rakyat serta kebudayaan, individu (peserta didik), serta teori-teori belajar (psikologis).

Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum ialah rumusan yang dihasilkan dari hasil berpikir secara mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina dan membuatkan kurikulum baik pada bentuk kurikulum menjadi planning (tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan pada sekolah.

1. Filsafat Pendidikan
Filsafat berupaya menyelidiki aneka macam permasalahan yang dihadapai manusia, termasuk perkara pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu lain menjadi penunjang, pada antaranya filsafat. Filsafat pendidikan dalam dasarnya merupakan penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis buat memecahkan masalah-masalah pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), masih ada tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan dalam umumnya serta pendidikan di Indonesia dalam khususnya, yaitu : filsafat idealisme, realisme serta filsafat fragmatisme.

2. Filsafat serta Tujuan Pendidikan
Bidang telaahan filsafat dalam awalnya mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap masalah ini berupaya buat menelusuri hakikat insan, sehingga muncul beberapa asumsi mengenai insan. Misalnya insan merupakan makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tadi filsafat mencoba mempelajari mengenai tiga utama problem, yaitu hakikat sahih-keliru (nalar), hakikat baik-tidak baik (etika), dan hakikat latif-buruk (estetika). Oleh karenanya maka ketiga pandangan tadi sangat diharapkan pada pendidikan. Terutama pada memilih arah serta tujuan pendidikan. Artinya ke mana pendidikan akan dibawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan etos insan atau tentang hidup serta eksistensinya.

Filsafat akan memilih arah kemana peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yg melandasi serta membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karenanya, filsafat yang dianut sang suatu bangsa atau kelompok rakyat eksklusif atau bahkan yg dianut sang perorangan akan sangat mempengaruhi terhadap tujuan pendidikan yg ingin dicapai.

Tujuan pendidikan nasional pada Indonesia tentu saja bersumber dalam pandangan dan cara hidup insan Indonesia, yakni Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia wajib membawa siswa agar sebagai insan yg berPancasila. Dengan istilah lain, landasan dan arah yg ingin diwujudkan sang pendidikan di Indonesia merupakan yg sesuai menggunakan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri.

Sebagai akibat berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila yg dianut bangsa Indonesia, dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003, yaitu : Pendidikan Nasional menurut Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan menciptakan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa agar menjadimanusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan sebagai rakyat yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 2 dan tiga). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, tersurat serta tersirat nilai-nilai yang terkandung pada rumusan Pancasila.

Melalui rumusan tujuan pendidikan nasional pada atas, telah jelas tergambar bahwa peserta didikyang ingin dihasilkan sang sistem pendidikan kita antara lain adalah untuk melahirkan insan yang beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal dalam syarat yg harmonis, selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai pandangan hidup insan pada hubunganya dengan pendidikan dan pembelajaran.

3. Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan dalam dasarnya adalah penerapan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat buat memecahkan permasalahn pendidikan. Dengan demikian tentu saja bahwa filsafat memiliki manfaat serta memberikan kontribusi yg akbar terutama pada menaruh kajian sistematis berkenaan menggunakan kepentingan pendidikan. 

Menurut Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
  • Filsafat pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui pendidikan pada sekolah? Sekolah merupakan suatu lembaga yg didirikan buat mendidik anak-anak ke arah yg dicita-citakan sang warga , bangsa serta negara.
  • Dengan adanya tujuan pendidikan yg diwarnai sang filsafat yg dianut, kita mendapat hamparan yg jelas mengenai hasil yang harus dicapai.
  • Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yg bulat kepada segala bisnis pendidikan.
  • Tujuan pendidikan memungkinkan si penduduk menilai usahanya, sampai manakah tujuan itu tercapai.
  • Tujuan pendidikan menaruh motivasi atau dorongan bagi aktivitas-lkegiatan pendidikan.
4. Kurikulum serta Filsafat Pendidikan
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh filsafat atau etos suatu bangsa, maka tentu saja kurikulum yang dikembangkan pula akan mencerminkan falsafah/etos yg dianut oleh bangsa tersebut oleh karenanya masih ada interaksi yang sangat erat antara kurikulum pendidikan pada suatu negara menggunakan filsafat negara yang dianutnya. Sebagai contoh, Indonesia dalam masa penjajahan Belanda, kurikulum yg dianut dalam masa itu sangat berorientasi dalam kepentingan politik Belanda. Demikian juga dalam ketika negara kita dijajah Jepang, maka orientasi kurikulum berpindah yaitu diadaptasi dengan kepentingan dan sistem nilai yang dianut sang negara Matahari Terbit itu. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, dan secara bulat dan utuh menggunakan pancasila menjadi dasar dan falsafah dalam berbangsa serta bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Pengembangan kurikulum walaupun pada termin awal sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi negara, tetapi tidak berarti bahwa kurikulum bersifat statis, melainkan senantiasa memerluka pengembangan, pembaharuan serta penyempurnaan diadaptasi menggunakan kebutuhan dan tuntutan dan perkembangan zaman yang senantiasa cepat berubah.

Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologi pada pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yg dilakukan dapat menyesuaikan menurut segi materi atau bahan yang wajib disampaikan, penyesuaian menurut segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian menurut unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.

1. Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Anak sejak dilahirkan telah menunjukkan keunikan-keunikan, misalnya pernyataan dirinya pada bentuk tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa sebenarnya semenjak lahir anak sudah mempunyai potensi buat berkembang. Bagi genre yang sangat percaya dengan syarat tersebut acapkali menduga anak menjadi orang dewasa pada bentuk kecil. J.J.rousseau, seseorang ahli pendidikan bangsa Perancis, termasuk yg fanatik berpandangan misalnya itu. Dewasa dalam bentuk mini mengandung makna bahwa anak itu belum sepenuhya memiliki potensi yg diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap lingkungannya, ia masih memerlukan bantuan buat berkembang ke arah kedewasaan yg sempurna, Rousseau memberi tekanan kepada kebebasan berkembang secara mulus sebagai orang dewasa yg diharapkan.

Pendapat lain mengungkapkan bahwa perkembangan anak itu merupakan output berdasarkan dampak lingkungan. Anak dipercaya menjadi kertas putih, pada mana orang-orang pada sekelilingnya bisa bebas menulis kertas tadi. Pandangan ini bertentangan menggunakan pandangan pada atas, pada mana justru aspek-aspek di luar anak/lingkungannya lebih poly mempengaruhi perkembangan anak sebagai individu yang dewasa. Pandangan ini tak jarang dianggap teori Tabularasa dengan tokohnya yaitu John Locke.

Selain ke 2 pandangan tersebut, masih ada pandangan yg menjelaskan bahwa perkembangan anak itu merupakan hasil formasi antara pembawaan serta lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat insan yg mempunyai potensi sejak lahir, namun potensi ini akan berkembang sebagai baik dan paripurna berkat efek lingkungan. Aliran ini dianggap aliran konvergensi menggunakan tokohnya yaitu William Stern. Pandangan yg terakhir ini dikembangkan lagi sang Havighurst dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yg dimaksud adalah tugas yg secara konkret harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sinkron menggunakan taraf/taraf perkembangan yg dituntut sang lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu tadi akan mengalami perkara.

Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik serta beroperasi secara kumulatif menurut yang sederhana menuju ke arah yg lebih kompleks. Namun demikian, objek penelitian yg dilakukan sang Havighurst adalah anak-anak Amerika, jadi kebenarannya masih perlu diteliti dan dikaji menggunakan cermat disesuaikan dengan anak-anak Indonesia yang memiliki syarat lingkungan yang berbeda. Pandangan tentang anak sebagai makhluk yg unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak adalah langsung tersendiri, memiliki disparitas disamping persamaannya. 

Implikasi menurut hal tadi terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
  • Setiap anak diberi kesempatan buat berkembang sesuai dengan talenta, minat dan kebutuhannya.
  • Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya generik (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan juga pelajaran pilihan yang sesuai menggunakan minat anak.
  • Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan jua menyediakan materi ajar yang bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat pada bidang akademik diberi kesempatan buat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
  • Kurikulum memuat tujuan-tujuan yg mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan holistik pribadi yg utuh lahir serta batin.
Implikasi lain berdasarkan pengetahuan mengenai anak terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) bisa diuraikan menjadi berikut :
a. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan Stingkah laku peserta didik.
b. Bahan/materi yang diberikan harus sesuai menggunakan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tadi mudah diterima sang anak.
c. Strategi belajar mengajar yang dipakai harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
d. Media yang digunakan senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
e. Sistem penilaian berpadu pada satu kesatuan yg menyekuruh serta berkesinambungan menurut satu termin ke tahap yg lainnya serta dijalankan secara terus menerus.

2. Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar adalah suatu cabang bagaimana individu belajar. Belajar bisa diartikan menjadi perubahan konduite yg terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan konduite baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi lantaran prosespengalaman dapat mengkategorikan menjadi konduite belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara naluri atau terjadi lantaran kematangan, atau konduite yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk belajar. Mengetahui tentang psikologi/teori belajar adalah bekal bagi para guru dalam tugas pokoknya yaitu pembelajaran anak.

Psikologi atau teori belajar yg berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke pada tiga rumpun, yaitu : Teori Disiplin Mental atau Teori Daya (Faculty Theory), Behaviorisme, serta Organismik atau kognitif Gestalt Field.

1. Menurut Teori Daya (Disiplin Mental)
Menurut teori ini, sejak kelahirannya anak/individu telah memiliki otensi-potensi atau daya-daya tertentu (faculties) yg masing-masing mempunyai fungsi eksklusif, seperti potensi/daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan perkara, serta daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih supaya dapat berfungsi dengan baik. Daya-daya yang sudah terlatih dapat dipindahkan pada pembentukan daya-daya lain. Pemindahan (transfer) ini absolut dilakukan melalui latihan (drill), karenanya pengertian mengajar menurut teori ini merupakan melatih siswa pada daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan serta latihan.

2. Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini meliputi tiga teori, yaitu koneksionisme atau teori asosiasi, teori kondisioning, serta teori reinforcement (operant conditioning). Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan sang lingkungan (famili, sekolah, rakyat). Teori ini nir mengakui sesuatu yg sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yg bisa ditinjau serta diamati. Teori Asosiasi merupakan teori yang awal dari rumpun Behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hokum stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar adalah upaya buat membangun hubungan stimulus-respon sebesar-banyaknya.

3. Teori Organismik (Gestalt)
Teori ini mengacu pada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, holistik bukan gugusan menurut bagian-bagian. Manusia dianggap menjadi makhluk organism yang melakukan interaksi timbale kembali menggunakan lingkungan secara keseluruhan, interaksi ini dijalin sang stimulus serta respon. Menurut teori ini, Stimulus yg hadir itu diseleksi dari tujuannya, kemudian individu melakukan hubungan dengannya dan seterusnya terjadi perbuatan belajar. Disini peran pengajar merupakan sebagai pembimbing bukan penyampai pengetahuan, anak didik berperan sebagai pengelola bahan pelajaran.

Belajar dari teori ini bukanlah menghapal akan namun memecahkan masalah, dan metoda belajar yang dipakai adalah metoda ilmiah menggunakan cara anak dihadapkan pada berbagai konflik, merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang diperlukan buat memecahkan masalah, menguji hipotesis yg telah dirumuskan, dan pada akhirnya para anak didik dibimbing buat menarik konklusi-konklusi. Teori ini banyak menghipnotis praktek pedagogi pada sekolah lantaran memiliki prinsip menjadi berikut :
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menyangkut kekuatan-kekuatan sosial pada masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang serta selalu berubah-ubah sinkron menggunakan perkembangan zaman. Kekuatan itu bisa berupa kekuatan yg konkret maupun yg potensial, yang berpengaruh dalam perkembangan kebudayaan seirama menggunakan dinamika warga .

Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
1. Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal norma, hasrat, sikap, pengetahuan, keterampilan, serta lain sebagainya.
2. Kurikulum pada suatu rakyat dalam dasarnya merupakan refleksi berdasarkan cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-norma.
3. Seluruh nilai yg sudah disepakati warga dapat pula diklaim kebudayaan. Kebudayaan adalah output berdasarkan cipta, rasa, karsa manusia yang diwujudkan pada 3 tanda-tanda, yaitu:Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, serta lain-lain.kegiatan, yaitu tindakan berpola berdasarkan insan dalam bermasyarakat.benda output karya manusia.

Masyarakat serta Kurikulum
Mayarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke pada gerombolan -kelompok tidak sinkron. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan kata masyarakat yang memiliki arti suatu gerombolan individu yang terorganisir yg berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang tidak sinkron menggunakan kelompok atau rakyat lainnya. Tiap masyarakat memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, menggunakan demikian yg membedakan masyarakat yang satu menggunakan masyarakat lainnya merupakan kebudayaan. Hal ini memiliki implikasi bahwa apa yg sebagai keyakinan pemikiran seorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung pada kebudayaan di mana dia dibesarkan..

Perubahan sosial budaya pada suatu masyarakat akan mengganti juga kebutuhan warga . Kebutuhan masyarakat jua dipenuhi oleh kondisi dari warga itu sendiri. Adanya perbedaan antara warga satu menggunakan warga lainnya sebagian akbar ditimbulkan oleh kualitas individu-individu yg sebagai anggota rakyat tadi. Di sisi lain kebutuhan warga dalam umumnya jua berpengaruh terhadap individu-individu sebagai menjadi anggota rakyat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja nir akan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat terkini yg bersifat teknologis serta mengglobal.

Pengembangan kurikulum jua wajib ditekankan dalam pengembangan individu yang meliputi keterkaitannya menggunakan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan asal daya yang meliputi kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah krusial memperhatikan faktor kebutuhan warga pada pengembangan kurikulum. Perkembangan warga menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan rakyat maka dibutuhkan rancangan berupa kurikulum yg landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.

Landasan Lain
1. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pendidikan merupakan bisnis menyiapkan subjek didik (murid) menghadapi lingkungan hidup yg mengalami perubahan yg semakin pesat. Pendidikan adalah bisnis sadar buat menyiapkan siswa melalui kegiatan bimbingan, pengajaran serta atau latihan bagi kiprahnya pada masa yg akan datang. Teknologi adalah pelaksanaan menurut ilmu pengetahuan ilmiah serta ilmu-ilmu lainnya buat memecahkan masalah-perkara mudah. Ilmu dan teknologi tak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring lajunya perkembangan masyarakat.

Untuk mencapai tujuan serta kemampuan- kemampuan tadi, maka ada hal-hal yg dijadikan menjadi dasar, yakni:
  • Pembangunan IPTEK wajib berada dalam keseimbangan yg dinamis dan efektif menggunakan pelatihan asal daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan dan penelitian serta pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
  • Pembangunan IPTEK tertuju pada peningkatan kualitas, yakni buat menaikkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
  • Pembangunan IPTEK harus selaras (relevan) menggunakan nilai-nilai kepercayaan , nilai luhur budaya bangsa, syarat sosial budaya, dan lingkungan hidup.
  • Pembangunan IPTEK wajib berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efesiensi dan efektivitas penelitian serta pengembangan yang lebih tinggi.
  • Pembangunan IPTEK dari dalam asas pemanfaatannya yg menaruh nilai tambah serta menaruh pemecahan kasus konkret dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dilaksanakan oleh banyak sekali pihak, yakni:
  • Pemerintah, yg menyebarkan serta memanfaatkan IPTEK buat menunjang pembangunan pada segala bidang.
  • Masyarakat, yang memanfaatkan IPTEK itu pengembangan warga dan mengembangakannya secara swadaya.
  • Akademisi terutama di lingkungan perguruan tinggi, membuatkan IPTEK buat disumbangkan pada pembangunan.
  • Pengusaha, buat mempertinggi produktivitas
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan murid menghadapi masa depan serta perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan serta teknologi.

2. Landasan Historis
Landasan Historis berkaitan menggunakan formulasi program-acara sekolah pada ketika lampau yg masih hayati hingga kini , atau yg pengaruhnya masih akbar pada kurikulum waktu ini (Johnson, 1968). Oleh lantaran kurikulum selalu perlu diadaptasi menggunakan kebutuhan-kebutuhan serta perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada suatu saat eksklusif diadakan buat memenuhi tuntutan dan perkembangan dalam ketika tertentu.

Kurikulum yg dikembangkan dalam ketika ini, perlu mempertimbangkan apa yang sudah dilakukan dan apa yg telah kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Begitu jua selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan kurikulum yang yang terdapat kini ketika membuatkan kurikulum di masa depan, karena apa yg telah kita lakukan kini akan berpengaruh terhadap kurikulum yg akan dikembangkan di masa depan.

3. Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya adalah produk yuridis yg ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh forum legislatif yg mestinya mendasarkan pada konstitusi/Undang-Undang Dasar. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini adalah UUD 1945 (pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan misalnya: UU mengenai pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan berdasarkan Dirjen Dikti, peraturan-peraturan wilayah serta sebagainya.

PENGEMBANGAN DAN INOVASI KURIKULUM

Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum
Kurikulum menjadi sebuah rancangan pendidikan memiliki kedudukan yg sangat strategis pada semua aspek aktivitas pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum pada pada pendidikan dan pada perkembangan kehidupan insan, maka pada penyusunan kurikulum tidak sanggup dilakukan tanpa menggunakan landasan yang kokoh dan bertenaga.

Landasan pengembangan kurikulum nir hanya dibutuhkan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yg sering disebut juga sebagai kurikulum ideal, akan namun terutama harus dipahami serta dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan dan para pengajar serta pihak-pihak lain yang terkait menggunakan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, sebagai bahan buat dijadikan instrumen dalam melakukan pelatihan terhadap implementasi kurikulum di setiap jenjang pendidikan. Penyusunan serta pengembangan kurikulum nir bisa dilakukan secara asal-asalan. Dibutuhkan banyak sekali landasan yg bertenaga agar sanggup dijadikan dasar pijakan pada melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga bisa memfasilitasi tercapainya sasaran pendidikan serta pembelajaran secara lebih efektif serta efisien.

Landasan Pengembangan Kurikulum
Suatu bangunan kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen evaluasi, maka supaya setiap komponen sanggup menjalankan kegunaannya secara tepat serta bersinergi, maka perlu ditopang oleh sejumlah landasan yaitu landasan filosofis menjadi landasan utama, warga serta kebudayaan, individu (peserta didik), serta teori-teori belajar (psikologis).

Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum artinya rumusan yg didapatkan menurut output berpikir secara mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina serta membuatkan kurikulum baik pada bentuk kurikulum sebagai rencana (tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan pada sekolah.

1. Filsafat Pendidikan
Filsafat berupaya menyelidiki aneka macam permasalahan yang dihadapai manusia, termasuk kasus pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu lain menjadi penunjang, pada antaranya filsafat. Filsafat pendidikan dalam dasarnya merupakan penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis buat memecahkan perkara-masalah pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), masih ada tiga sistem pemikiran filsafat yg sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan dalam umumnya dan pendidikan di Indonesia dalam khususnya, yaitu : filsafat idealisme, realisme dan filsafat fragmatisme.

2. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Bidang telaahan filsafat dalam awalnya mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap dilema ini berupaya buat menelusuri hakikat insan, sebagai akibatnya ada beberapa asumsi mengenai manusia. Misalnya insan merupakan makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tersebut filsafat mencoba mempelajari mengenai tiga pokok masalah, yaitu hakikat sahih-keliru (akal), hakikat baik-tidak baik (etika), serta hakikat latif-buruk (keindahan). Oleh karena itu maka ketiga pandangan tadi sangat diperlukan dalam pendidikan. Terutama dalam memilih arah dan tujuan pendidikan. Artinya ke mana pendidikan akan dibawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan etos manusia atau tentang hayati dan eksistensinya.

Filsafat akan memilih arah kemana peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yg melandasi serta membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, filsafat yang dianut sang suatu bangsa atau kelompok masyarakat eksklusif atau bahkan yg dianut oleh perorangan akan sangat mensugesti terhadap tujuan pendidikan yg ingin dicapai.

Tujuan pendidikan nasional di Indonesia tentu saja bersumber dalam pandangan dan cara hayati manusia Indonesia, yakni Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia harus membawa peserta didik agar menjadi insan yg berPancasila. Dengan kata lain, landasan serta arah yang ingin diwujudkan sang pendidikan pada Indonesia adalah yg sesuai dengan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri.

Sebagai implikasi berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila yang dianut bangsa Indonesia, dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional misalnya masih ada pada UU No.20 Tahun 2003, yaitu : Pendidikan Nasional dari Pancasila serta UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membangun tabiat dan peradaban bangsa yg bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik supaya menjadimanusia yg beriman serta bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan menjadi rakyat yg demokratis serta bertanggung jawab (Pasal dua dan tiga). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tadi, tersurat dan tersirat nilai-nilai yang terkandung pada rumusan Pancasila.

Melalui rumusan tujuan pendidikan nasional pada atas, sudah kentara tergambar bahwa peserta didikyang ingin didapatkan oleh sistem pendidikan kita antara lain adalah buat melahirkan manusia yg beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal dalam kondisi yg serasi, selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai etos insan pada hubunganya dengan pendidikan dan pembelajaran.

3. Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan dalam dasarnya adalah penerapan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat untuk memecahkan permasalahn pendidikan. Dengan demikian tentu saja bahwa filsafat mempunyai manfaat serta menaruh donasi yang besar terutama dalam memberikan kajian sistematis berkenaan menggunakan kepentingan pendidikan. 

Menurut Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
  • Filsafat pendidikan bisa menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui pendidikan pada sekolah? Sekolah adalah suatu lembaga yang didirikan untuk mendidik anak-anak ke arah yg dicita-citakan oleh rakyat, bangsa dan negara.
  • Dengan adanya tujuan pendidikan yang diwarnai sang filsafat yg dianut, kita mendapat hamparan yang jelas mengenai output yg harus dicapai.
  • Filsafat serta tujuan pendidikan memberi kesatuan yang bundar pada segala bisnis pendidikan.
  • Tujuan pendidikan memungkinkan si penduduk menilai usahanya, hingga manakah tujuan itu tercapai.
  • Tujuan pendidikan memberikan motivasi atau dorongan bagi kegiatan-lkegiatan pendidikan.
4. Kurikulum dan Filsafat Pendidikan
Kurikulum pada hakikatnya merupakan alat buat mencapai tujuan pendidikan, lantaran tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh filsafat atau etos suatu bangsa, maka tentu saja kurikulum yang dikembangkan jua akan mencerminkan falsafah/pandangan hidup yg dianut oleh bangsa tadi oleh karenanya terdapat hubungan yang sangat erat antara kurikulum pendidikan di suatu negara dengan filsafat negara yang dianutnya. Sebagai model, Indonesia dalam masa penjajahan Belanda, kurikulum yang dianut pada masa itu sangat berorientasi dalam kepentingan politik Belanda. Demikian pula pada saat negara kita dijajah Jepang, maka orientasi kurikulum berpindah yaitu disesuaikan menggunakan kepentingan dan sistem nilai yg dianut oleh negara Matahari Terbit itu. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, serta secara bulat serta utuh memakai pancasila sebagai dasar dan falsafah dalam berbangsa dan bernegara, maka kurikulum pendidikan pun diubahsuaikan menggunakan nilai-nilai pancasila itu sendiri.

Pengembangan kurikulum walaupun dalam tahap awal sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi negara, namun nir berarti bahwa kurikulum bersifat statis, melainkan senantiasa memerluka pengembangan, pembaharuan serta penyempurnaan disesuaikan menggunakan kebutuhan dan tuntutan serta perkembangan zaman yang senantiasa cepat berubah.

Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologi dalam pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang dilakukan bisa menyesuaikan menurut segi materi atau bahan yg harus disampaikan, penyesuaian dari segi proses penyampaian atau pembelajarannya, serta penyesuaian dari unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.

1. Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Anak semenjak dilahirkan sudah menampakan keunikan-keunikan, misalnya pernyataan dirinya pada bentuk tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan citra bahwa sebenarnya semenjak lahir anak sudah mempunyai potensi buat berkembang. Bagi genre yg sangat percaya dengan kondisi tersebut tak jarang menganggap anak menjadi orang dewasa dalam bentuk kecil. J.J.rousseau, seseorang pakar pendidikan bangsa Perancis, termasuk yang fanatik berpandangan misalnya itu. Dewasa dalam bentuk mini mengandung makna bahwa anak itu belum sepenuhya memiliki potensi yang diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap lingkungannya, ia masih memerlukan donasi buat berkembang ke arah kedewasaan yg paripurna, Rousseau memberi tekanan pada kebebasan berkembang secara mulus menjadi orang dewasa yg diperlukan.

Pendapat lain berkata bahwa perkembangan anak itu merupakan output menurut pengaruh lingkungan. Anak dipercaya menjadi kertas putih, di mana orang-orang pada sekelilingnya bisa bebas menulis kertas tersebut. Pandangan ini bertentangan menggunakan pandangan pada atas, pada mana justru aspek-aspek pada luar anak/lingkungannya lebih poly mensugesti perkembangan anak sebagai individu yang dewasa. Pandangan ini tak jarang disebut teori Tabularasa menggunakan tokohnya yaitu John Locke.

Selain ke 2 pandangan tersebut, terdapat pandangan yg menjelaskan bahwa perkembangan anak itu merupakan output formasi antara pembawaan dan lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat insan yg memiliki potensi semenjak lahir, namun potensi ini akan berkembang menjadi baik serta sempurna berkat imbas lingkungan. Aliran ini disebut aliran konvergensi dengan tokohnya yaitu William Stern. Pandangan yang terakhir ini dikembangkan lagi sang Havighurst menggunakan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yg dimaksud adalah tugas yg secara konkret harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sinkron menggunakan taraf/taraf perkembangan yg dituntut sang lingkungannya. Jika tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka dalam tingkat perkembangan berikutnya anak/individu tersebut akan mengalami kasus.

Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik serta beroperasi secara kumulatif menurut yang sederhana menuju ke arah yg lebih kompleks. Tetapi demikian, objek penelitian yang dilakukan oleh Havighurst adalah anak-anak Amerika, jadi kebenarannya masih perlu diteliti serta dikaji dengan cermat diubahsuaikan menggunakan anak-anak Indonesia yang mempunyai syarat lingkungan yg tidak sinkron. Pandangan mengenai anak sebagai makhluk yg unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak adalah pribadi tersendiri, memiliki perbedaan disamping persamaannya. 

Implikasi dari hal tersebut terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
  • Setiap anak diberi kesempatan buat berkembang sesuai menggunakan bakat, minat serta kebutuhannya.
  • Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya generik (program inti) yg harus dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan yang sesuai dengan minat anak.
  • Kurikulum disamping menyediakan materi ajar yg bersifat kejuruan jua menyediakan bahan ajar yg bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat pada bidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
  • Kurikulum memuat tujuan-tujuan yg mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yg menggambarkan keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Implikasi lain berdasarkan pengetahuan mengenai anak terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) bisa diuraikan sebagai berikut :
a. Tujuan pembelajaran yg dirumuskan secara operasional selalu berpusat pada perubahan Stingkah laris peserta didik.
b. Bahan/materi yang diberikan harus sesuai menggunakan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tersebut mudah diterima oleh anak.
c. Strategi belajar mengajar yg digunakan wajib sinkron dengan taraf perkembangan anak.
d. Media yg digunakan senantiasa bisa menarik perhatian dan minat anak.
e. Sistem evaluasi berpadu dalam satu kesatuan yg menyekuruh serta berkesinambungan menurut satu tahap ke termin yg lainnya serta dijalankan secara terus menerus.

2. Psikologi Belajar serta Kurikulum
Psikologi belajar adalah suatu cabang bagaimana individu belajar. Belajar mampu diartikan sebagai perubahan konduite yg terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan perilaku baik yang berbentuk kognitif, afektif, juga psikomotor dan terjadi lantaran prosespengalaman bisa mengkategorikan sebagai konduite belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara insting atau terjadi lantaran kematangan, atau perilaku yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk belajar. Mengetahui mengenai psikologi/teori belajar adalah bekal bagi para pengajar pada tugas pokoknya yaitu pembelajaran anak.

Psikologi atau teori belajar yang berkembang dalam dasarnya bisa dikelompokkan ke pada 3 rumpun, yaitu : Teori Disiplin Mental atau Teori Daya (Faculty Theory), Behaviorisme, dan Organismik atau kognitif Gestalt Field.

1. Menurut Teori Daya (Disiplin Mental)
Menurut teori ini, sejak kelahirannya anak/individu telah memiliki otensi-potensi atau daya-daya eksklusif (faculties) yg masing-masing memiliki fungsi eksklusif, seperti potensi/daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih supaya dapat berfungsi menggunakan baik. Daya-daya yg telah terlatih dapat dipindahkan dalam pembentukan daya-daya lain. Pemindahan (transfer) ini mutlak dilakukan melalui latihan (drill), karena itu pengertian mengajar menurut teori ini merupakan melatih peserta didik pada daya-daya itu, cara mempelajarinya dalam umumnya melalui hapalan serta latihan.

2. Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini mencakup tiga teori, yaitu koneksionisme atau teori asosiasi, teori kondisioning, dan teori reinforcement (operant conditioning). Behaviorisme berangkat menurut asumsi bahwa individu nir membawa potensi semenjak lahir. Perkembangan individu ditentukan sang lingkungan (famili, sekolah, rakyat). Teori ini nir mengakui sesuatu yang sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yang bisa dilihat dan diamati. Teori Asosiasi merupakan teori yg awal dari rumpun Behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hokum stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar adalah upaya buat membentuk interaksi stimulus-respon sebanyak-banyaknya.

3. Teori Organismik (Gestalt)
Teori ini mengacu dalam pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, keseluruhan bukan perpaduan dari bagian-bagian. Manusia dipercaya menjadi makhluk organism yang melakukan interaksi timbale kembali menggunakan lingkungan secara holistik, hubungan ini dijalin sang stimulus serta respon. Menurut teori ini, Stimulus yang hadir itu diseleksi dari tujuannya, kemudian individu melakukan hubungan dengannya serta seterusnya terjadi perbuatan belajar. Disini peran guru merupakan sebagai pembimbing bukan penyampai pengetahuan, anak didik berperan sebagai pengelola bahan pelajaran.

Belajar menurut teori ini bukanlah menghapal akan tetapi memecahkan masalah, dan metoda belajar yang dipakai merupakan metoda ilmiah menggunakan cara anak dihadapkan pada aneka macam pertarungan, merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang dibutuhkan buat memecahkan masalah, menguji hipotesis yg telah dirumuskan, dan pada akhirnya para murid dibimbing buat menarik konklusi-konklusi. Teori ini poly menghipnotis praktek pedagogi di sekolah lantaran memiliki prinsip sebagai berikut :
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menyangkut kekuatan-kekuatan sosial pada rakyat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang dan selalu berubah-ubah sinkron dengan perkembangan zaman. Kekuatan itu bisa berupa kekuatan yang nyata juga yg potensial, yg berpengaruh pada perkembangan kebudayaan seirama menggunakan dinamika rakyat.

Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Faktor kebudayaan adalah bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
1. Individu lahir tak berbudaya, baik pada hal kebiasaan, impian, perilaku, pengetahuan, keterampilan, dan lain sebagainya.
2. Kurikulum dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan refleksi dari cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-kebiasaan.
3. Seluruh nilai yang sudah disepakati rakyat dapat jua disebut kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil menurut cipta, rasa, karsa manusia yg diwujudkan pada tiga tanda-tanda, yaitu:Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain-lain.kegiatan, yaitu tindakan berpola dari insan pada bermasyarakat.benda output karya insan.

Masyarakat dan Kurikulum
Mayarakat merupakan suatu gerombolan individu yg diorganisasikan mereka sendiri ke pada kelompok-grup tidak sama. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan kata masyarakat yg memiliki arti suatu kelompok individu yang terorganisir yg berpikir tentang dirinya sebagai suatu yg tidak sinkron menggunakan gerombolan atau rakyat lainnya. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri, dengan demikian yg membedakan warga yang satu dengan rakyat lainnya adalah kebudayaan. Hal ini memiliki implikasi bahwa apa yg menjadi keyakinan pemikiran seorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung kepada kebudayaan di mana beliau dibesarkan..

Perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat akan mengganti jua kebutuhan rakyat. Kebutuhan rakyat pula dipenuhi sang syarat dari rakyat itu sendiri. Adanya perbedaan antara rakyat satu dengan rakyat lainnya sebagian akbar ditimbulkan sang kualitas individu-individu yg sebagai anggota rakyat tadi. Di sisi lain kebutuhan masyarakat dalam biasanya juga berpengaruh terhadap individu-individu menjadi sebagai anggota warga . Oleh karenanya, pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan dalam keterampilan dasar saja nir akan bisa memenuhi kebutuhan rakyat terkini yang bersifat teknologis dan mengglobal.

Pengembangan kurikulum jua harus ditekankan dalam pengembangan individu yg meliputi keterkaitannya dengan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan sumber daya yg meliputi kebudayaan, ilmu pengetahuan serta teknologi. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah krusial memperhatikan faktor kebutuhan masyarakat dalam pengembangan kurikulum. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan yg relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan warga maka diharapkan rancangan berupa kurikulum yg landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan rakyat.

Landasan Lain
1. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pendidikan adalah usaha menyiapkan subjek didik (anak didik) menghadapi lingkungan hayati yg mengalami perubahan yg semakin pesat. Pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyiapkan siswa melalui aktivitas bimbingan, pengajaran serta atau latihan bagi kiprahnya di masa yang akan tiba. Teknologi adalah aplikasi dari ilmu pengetahuan ilmiah dan ilmu-ilmu lainnya buat memecahkan kasus-kasus praktis. Ilmu serta teknologi tidak dapat dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring lajunya perkembangan rakyat.

Untuk mencapai tujuan serta kemampuan- kemampuan tersebut, maka ada hal-hal yang dijadikan sebagai dasar, yakni:
  • Pembangunan IPTEK harus berada pada ekuilibrium yg dinamis dan efektif dengan pembinaan asal daya insan, pengembangan sarana serta prasarana iptek, aplikasi dan penelitian serta pengembangan dan rekayasa serta produksi barang dan jasa.
  • Pembangunan IPTEK tertuju dalam peningkatan kualitas, yakni buat mempertinggi kualitas kesejahteraan serta kehidupan bangsa.
  • Pembangunan IPTEK wajib selaras (relevan) dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial budaya, serta lingkungan hayati.
  • Pembangunan IPTEK harus berpijak dalam upaya peningkatan produktivitas, efesiensi dan efektivitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi.
  • Pembangunan IPTEK dari pada asas pemanfaatannya yg memberikan nilai tambah dan memberikan pemecahan perkara nyata dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilaksanakan oleh berbagai pihak, yakni:
  • Pemerintah, yang membuatkan dan memanfaatkan IPTEK buat menunjang pembangunan pada segala bidang.
  • Masyarakat, yg memanfaatkan IPTEK itu pengembangan masyarakat serta mengembangakannya secara swadaya.
  • Akademisi terutama di lingkungan perguruan tinggi, berbagi IPTEK buat disumbangkan pada pembangunan.
  • Pengusaha, buat menaikkan produktivitas
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan murid menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk pada dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Landasan Historis
Landasan Historis berkaitan dengan formulasi acara-program sekolah dalam waktu lampau yang masih hayati hingga sekarang, atau yg pengaruhnya masih besar pada kurikulum waktu ini (Johnson, 1968). Oleh karena kurikulum selalu perlu diubahsuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan serta perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada suatu waktu tertentu diadakan buat memenuhi tuntutan dan perkembangan dalam ketika tertentu.

Kurikulum yang dikembangkan dalam ketika ini, perlu mempertimbangkan apa yang telah dilakukan serta apa yang telah kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Begitu pula selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan kurikulum yg yang ada kini ketika menyebarkan kurikulum di masa depan, lantaran apa yang telah kita lakukan sekarang akan berpengaruh terhadap kurikulum yg akan dikembangkan pada masa depan.

3. Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya merupakan produk yuridis yang ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yg ditetapkan sang forum legislatif yang mestinya mendasarkan dalam konstitusi/UUD. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini merupakan Undang-Undang Dasar 1945 (pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan seperti: UU tentang pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan berdasarkan Dirjen Dikti, peraturan-peraturan daerah dan sebagainya.

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam Dan Sistem Hukum Di Indonesia 
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan, 
"…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia, yg terbentuk pada suatu susunan Negara Republik Indonesia yg berkedaulatan masyarakat dengan menurut kepada: Ketuhanan yang Maha Esa…".

Dari paragraph tadi nampak kentara, bahwa Indonesia adalah adalah Negara aturan, yang berkeinginan buat membentuk suatu aturan baru sinkron dengan kebangsaan Indonesia.

Sebagai perwujudan asa tadi, maka diterbitkanlah UU No. 1 tahun 1946, yg walaupun secara subtansial masih memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana Hindia-Belanda sehingga banyak menerima sorotan,[1] namun mengingat keberadaan Indonesia sebagai suatu Negara yg berdaulat meskipun masih pada hitungan bulan, maka masih adanya keterkaitan kuat menggunakan aturan Belanda yang telah ratusan tahun inheren dalam peri kehidupan bangsa Indonesia itu karena itu mampu dimaklumi.

Untuk dapat menciptakan undang-undang yang sinkron sahih dengan keindonesiaan, tentunya sangat memerlukan rentang masa yang panjang, ad interim pemerintah Indonesia ketika itu masih disibukkan menggunakan aneka macam bisnis buat mempertahankan kemerdekaan.

Berdasarkan Keputusan Presiden No.107/1958, maka dibentuklah "Lembaga Pembinaan Hukum Nasional" (LPHN), yg dari tahun 1974 kemudian dirubah sebagai "Badan Pembinaan Hukum Nasional" (BPHN).

Sesuai dengan bentuk ketatanegaraan Indonesia yg berlaku hingga akhir tahun 1958, LPHN secara pribadi berada pada bawah kekuasaan Perdana Menteri. Namun sejak kembali ke Undang-Undang Dasar-45 serta kemudian diperkuat sang Keputusan Presiden RI No. 45/1974, kedudukan LPHN yg kemudian berubah sebagai BPHN itu sebagai setingkat dengan Direktorat Jenderal dalam Departemen Kehakiman.

Dalam menunjang Programn Legislatif Nasional Repelita III (1979-1984), BPHN sudah ikut aktif dalam pembuatan peta aturan nasional, yang sampai tahun 1987 tercatat telah berhasil menerbitkan 34 buah UU.

Usaha buat mewujudkan aturan baru nasional itu permanen berlangsung, walaupun berbagai kendala semenjak semula jua terus menghadang, tidak hanya oleh penganut teori resepsi,[2] yang masih banyak bercokol pada tengah-tengah masyarakat Indonesia, terutama yg dari menurut kalangan perguruan tinggi aturan positif yang tidak menginginkan dominasi aturan Islam[3] pada aturan nasional, tetapi jua oleh kalangan ulama Islam sendiri yg masih tahu aturan Islam secara sepotong-pangkas dan terjebak dalam kerangka fanatisme mazhab yang sempit, sebagai akibatnya kemudian lebih tersibukkan dengan berbagai konfrontasi antara sesamanya dengan melupakan peningkatan kesadaran buat melaksanakan aturan Islam itu dalam realitas kehidupan umat.

Tulisan ini akan mencoba buat memakai kontribusi serta prospek hukum Islam terhadap pembinaan aturan nasional pada Indonesia,[4] meliputi beberapa aspek bahasan; 1) Esensi dan eksistensi aturan Islam, dua) Pelembagaan, pembaharuan serta pengembangan hukum Islam, tiga) Prospek penerapan aturan Islam di Indonesia.

A. Esensi Dan Eksistensi Hukum Islam
Secara sosiologis, aturan adalah refleksi tata nilai yang diyakini oleh masyarakat sebagai suatu pranata pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hal ini berarti, bahwa muatan aturan itu seharusnya bisa menangkap aspirasi warga yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya bersifat kekinian, namun juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik pada masa depan.[5]

Dengan demikian, aturan itu nir hanya sebagai kebiasaan tidak aktif yg hanya mengutamakan kepastian serta ketertiban, tetapi jua berkemampuan buat mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku warga pada menggapai impian.

Dalam perspektif Islam, hukum akan senantiasa berkemampuan buat mendasari dan mengarahkan banyak sekali perubahan sosial warga .

Hal ini mengingat, bahwa hukum Islam[6] itu mengandung dua dimensi:
  • Hukum Islam dalam kaitannya dengan syari'at[7] yang berakar pada nash qath'i berlaku universal dan menjadi asas pemersatu serta mempolakan arus utama aktivitas umat Islam sedunia. 
  • Hukum Islam yg berakar dalam nas zhanni yang merupakan daerah ijtihadi yg produk-produknya kemudian dianggap dengan fiqhi.[8] 
Dalam pengertiannya yg kedua inilah, yg kemudian menaruh kemungkinan epistemologis aturan, bahwa setiap wilayah yang dihuni umat Islam bisa menerapkan aturan Islam secara bhineka,[9] sinkron menggunakan konteks pertarungan yg dihadapi.

Di Indonesia, sebagaimana negeri-negeri lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, keberdayaannya telah semenjak usang memperoleh loka yg layak dalam kehidupan rakyat seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, serta bahkan pernah sempat sebagai aturan resmi Negara.[10]

Setelah kedatangan bangsa penjajah (Belanda) yang kemudian berhasil mengambil alih seluruh kekuasaan kerajaan Islam tadi, maka sedikit-sedikit aturan Islam mulai dipangkas, hingga akhirnya yang tertinggal-selain ibadah-hanya sebagian saja dari hukum keluarga (nikah, talak, rujuk, waris) dengan Pengadilan Agama menjadi pelaksananya.[11]

Meskipun demikian, hukum Islam masih tetap eksis, sekalipun sudah tidak seutuhnya. Secara sosiologis serta kultural, hukum Islam nir pernah mati serta bahkan selalu hadir dalam kehidupan umat Islam pada sistem politik apapun, baik masa kolonialisme maupun masa kemerdekaan dan hingga masa sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, hukum Islam pada Indonesia itu[12] kemudian dibagi menjadi dua:
  • Hukum Islam yang bersifat normatif, yaitu yg berkaitan dengan aspek ibadah murni, yang pelaksanaannya sangat tergantung pada iman serta kepatuhan umat Islam Indonesia kepada agamanya. 
  • Hukum Islam yg bersifat yuridis formal, yaitu yang berkaitan menggunakan aspek muamalat (khususnya bidang perdata serta dipayakan juga dalam bidang pidana[13] sekalipun hingga kini masih pada termin perjuangan), yang sudah menjadi bagian berdasarkan aturan positif pada Indonesia. 
Meskipun keduanya (aturan normative serta yuridis formal) masih mendapatkan disparitas dalam pemberlakuannya, tetapi keduanya itu sebenarnya bisa terealisasi secara serentak di Indonesia sinkron menggunakan UUD 45 pasal 29 ayat dua.

Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa esensi hukum Islam Indonesia adalah hukum-aturan Islam yang hidup[14] dalam masyarakat Indonesia, baik yg bersifat normatif juga yuridis formal, yg konkritnya bisa berupa UU, fatwa ulama dan yurisprudensi.

Adapun eksistensi hukum Islam di Indonesia yg sebagian daripadanya sudah terpaparkan dalam uraian sebelumnya, sepenuhnya bisa ditelusuri melalui pendekatan historis, ataupun teoritis.[15]

Dalam lintas sejarah, hukum Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi empat periode,[16] 2 periode sebelum kemerdekaan, serta dua lagi pasca kemerdekaan.

1. Dua periode pertama, dapat dibagi lagi ke dalam dua fase menjadi berikut:
a. Fase berlakunya hukum Islam sepenuhnya. Dalam fase ini, dikenal teori reception in complexu yg dikemukakan oleh L.W.C. Van Den Breg.

Menurut teori ini, hukum Islam sepenuhnya telah diterima oleh umat Islam[17] berlaku semenjak adanya kerajaan Islam sampai masa awal VOC, yakni saat Belanda masih belum mencampuri seluruh duduk perkara hukum yang berlaku pada rakyat.

Setelah Belanda dengan VOC-nya mulai semakin bertenaga dalam menjarah kekayaan bumi Indonesia, maka dalam tanggal 25 Mei 1760 M pemerintah Belanda secara resmi menerbitkan peraturan Resolutio der Indischr Regeering yang kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Peraturan ini memang tidak hanya memuat pemberlakuan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan (perkawinan serta kewarisan), namun jua menggantikan wewenang forum-lembaga peradilan Islam yg dibentuk sang para raja atau sultan Islam menggunakan peradilan buatan Belanda.[18]

Keberadaan aturan Islam[19] di Indonesia sepenuhnya baru diakui sang Belanda setelah dicabutnya Compendium Freijer secara berangsur-angsur, serta terakhir dengan staatstabled 1913 No. 354.

Dalam Staatsbled 1882 No. 152 ditetapkan pembentukan Peradilan Agama di Jawa serta Madura, menggunakan tanpa mengurangi legalitas mereka pada melaksanakan tugas peradilan sinkron dengan ketentuan fiqhi.[20]

2. Fase berlakunya aturan Islam sesudah dikehendaki atau diterima sang aturan tata cara. Dalam fase ini, teori Reception in Complexu yg pertama kali diperkenalkan sang L.W.C. Van Den Breg itu[21] lalu digantikan oleh teori Receptio yg dikemukakan oleh Cristian Snouk Hurgronye dan dimulai oleh Corenlis Van Vallonhoven[22] menjadi penggagas pertama.

Untuk menggantikan Receptio in Complexu dengan Receptio, pemerintah Belanda kemudian menerbitkan Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (I.S), yang sekaligus membatalkan Regeerrings Reglement (RR) tahun 1885, pasal 75 yang menganjurkan pada hakim Indonesia buat memberlakukan undang-undang agama.

Dalam I.S. Tadi, diundangkan Stbl 1929: 212 yang menyatakan bahwa aturan Islam dicabut dari lingkungan rapikan hukum Hindia Belanda. Dan pada pasal 134 ayat 2 dinyatakan:

"Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesame orang Islam, akan diselesaikan sang hakim agama Islam apabila hukum Adat mereka menghendakinya, serta sejauh itu tidak dipengaruhi lain dengan sesuatu ordonansi".[23]

Berdasarkan ketentuan di atas, maka dengan alasan hukum waris belum diterima sepenuhnya oleh hukum tata cara, pemerintah Belanda lalu menerbitkan Stbl. 1937: 116 yang berisikan pencabutan wewenang Pengadilan agama dalam kasus waris (yang semenjak 1882 sudah sebagai kompetensinya) serta dialihkan ke Pengadilan Negeri.[24]

Dengan pemberlakuan teori Receptio tersebut dengan segala peraturan yg meninak-lanjutinya, di samping didesain buat melumpuhkan system serta kelembagaan aturan Islam yg ada, jua secara nir pribadi telah mengakibatkan perkembangan aturan Barat di Indonesia semakin eksis, mengingat ruang mobilitas aturan adapt sangat terbatas nir misalnya hukum Islam, sehingga dalam kasus-perkara eksklusif kemudian dibutuhkan hukum Barat.

Dengan demikian, maka pada fase ini hukum Islam mengalami kemunduran sebagai rekayasa Belanda yg mulai berkeyakinan, bahwa letak kekuatan moral umat Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada komitmennya terhadap ajaran Islam.

2. Dua periode kedua, yakni sehabis kemerdekaan bisa dibagi jua ke dalam 2 fase menjadi berikut:
a. Hukum Islam menjadi asal persuasif, yang dalam hukum konstitusi diklaim menggunakan persuasisive source, yakni bahwa suatu sumber hukum baru dapat diterima hanya sehabis diyakini.
b. Hukum Islam menjadi sumber otoritatif, yg pada hukum konstitusi dikenal menggunakan outheriotative source, yakni sebagai asal aturan yg eksklusif memiliki kekuatan aturan.

Piagam Jakarta, sebelum Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, berkedudukan menjadi asal persuasuf Undang-Undang Dasar-45.[25] Namun selesainya Dekrit yg mengakui bahwa Piagam itu menjiwai Undang-Undang Dasar-45, berubah menjadi sumber otoritatif.

Suatu hal yg niscaya merupakan, bahwa proklamasi kemerdekaan RI yg dikumandangkan dalam lepas 17 Agustus 1945, mempunyai arti yang sangat krusial bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.

Bangsa Indonesia yang sebelumnya dikondisikan buat mengikuti system hukum Belanda mulai berusaha buat melepaskan diri serta berupaya buat menggali aturan secara mandiri.

Hal ini bukan berarti mengubahnya secara revolutif sebagaimana perolehan kemerdekaan itu sendiri. Perubahan suatu produk aturan yang sudah usang melembaga dalam tata-pola kehidupan bangsa adalah tidak mudah. Ia memerlukan upaya persuasif serta harus dilakukan secara terus menerus, simultan serta sistematis.

Upaya pertama yang dilakukan sang pemerintah RI terhadap hukum Islam merupakan pemberlakuan teori Receptio Exit gagasan Hazairin[26] yang berarti menolak teori Receptio yg diberlakukan sang pemerintah colonial Belanda sebelumnya.

Menurutnya, teori receptio itu memang sengaja diciptakan oleh Belanda buat merintangi kemajuan Islam pada Indonesia. Teori itu sama menggunakan teori iblis karena mengajak umat Islam buat tidak mematuhi serta melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.[27]

Perkembangan aturan Islam sebagai semakin menggembirakan setelah lahirnya teori Receptio a Canirario yg memberlakukan hukum kebalikan berdasarkan Receptio, yakni bahwa aturan tata cara itu baru dapat diberlakukan apabila nir bertentangan menggunakan hukum Islam. Dengan teori yang terakhir ini, maka aturan Islam jadi mempunyai ruang mobilitas yang lebih leluasa.

Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa perkembangan aturan Islam pada Indonesia sudah melampaui tiga tahapan: 1. Masa penerimaan, 2. Masa suram akibat politik kolonial Belanda, tiga. Masa kesadaran menggunakan membuahkan hukum Islam sebagai salah satu alternative primer yg dianggap sang pemerintah RI dalam upaya membangun hukum nasional.

B. Pelembagaan, Pembaharuan Dan Pengembangan Hukum Islam
Diantara wujud donasi aturan Islam, setidak-tidaknya pada aspek penjiwaan dan nilai islami (khususnya bidang perdata lantaran bidang pidana untuk ketika ini masih belum memungkinkan) terhadap aturan nasional adalah.[28]

UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuatan-kekuatan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 10 ayat (1) diperundangkan; "Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh peradilan pada lingkungan: 1) Peradilan umum, 2) Peradilan Agama, 3) Peradilan Militer, 4) Peradilan Tata Usaha Negara.

Dari sudut pelembagaan, UU ini telah terkodifikasikan serta terunifikasikan pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga menjadi undang-undang tertulis dan berlaku bagi semua warga Indonesia tanpa terkecuali. Tetapi demikian, secara substansial terdapat bagian-bagian tertentu yg hanya berlaku spesifik bagi warga Islam saja.

UU No. 7 tahun 1989 mengenai Peradilan Agama. Undang-undang ini telah terlahirkan selesainya melalui berbagai usaha yang panjang nan sulit penuh liku dalam 3 zaman: zaman Kolonial Belanda,[29] zaman pendudukan Jepang, serta pasca kemerdekaan.

Pada tahun 1946, pemerintah RI mulai menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dan Kementerian Kehakiman pada Kementrian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 5/Sekolah Dasar/1946[30] lalu setelah pengakuan kedaulatan, 27 Desember 1949 Pemerintah RI melalui Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, menegaskan kembali pendiriannya untuk tetap memberlakukan Peradilan Agama.

Sebagai tindak lanjut menurut penegasan tersebut, setidak-tidaknya sudah diterbitkan tiga peraturan perundang-undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu: stbl 1882 No. 152 jo stbl 1937 No. 116 tentang Peradilan Agama di jawa dan Madura. Stbl 1937 No. 638 serta 639 tentang Peradilan Agama pada Kalimantan Selatan.

Selanjutnya menggunakan disahkannya pula UU No. 7 1989, maka selain lebih mempertegas keberadaan forum Peradilan Agama dalam system pengadilan nasional, juga telah membatalkan segala peraturan tentang Peradilan Agama yg telah terdapat sebelumnya.

Pembaharuan aturan Islam di Indonesia. 
Istilah pembaharuan adalah terjemahan menurut bahasa Arab, Tajdid yg pada istilah Indonesia dikenal dengan modern, modernisasi dan modernisme.

Dalam rakyat Barat, modernisme itu berarti fikiran, aliran, gerakan dan usaha buat merubah faham-faham, adpat tata cara, insitusi-institusi lama , dan sebaginya buat disesuaikan menggunakan suasana baru yang disebabkan sang kemajuan ilmu-pengetahuan serta teknologi terbaru.[31]

Sedangkan dalam pemikiran Islam, kasus tajdid itu muncul terutama sesudah Islam menjadi agama serta sekaligus tradisi akbar, berhadapan menggunakan berbagai budaya local, banyak sekali faham non Islam dan aneka bentuk pemerintahan yg terdapat, baik pada global Timur maupun Barat.[32]

Dalam bidang aturan Islam (khususnya di Indonesia), maka tajdid yang dimaksud mampu berbentuk pikiran atau gerakan (pada bidang aturan Islam) yang ingin merubah faham atau fikiran lama yg bersumber menurut ketentuan yg bersifat zanni (aspek muamalat) yg bukan yang bersifat qath'i untuk diubahsuaikan dengan tuntutan suasana baru yg ditimbulkan sang kemajuan zaman dan budaya lokal di Indonesia, pada rangka pembangunan, training serta pembentukan aturan nasional.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terlahir berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991[33] yang berisikan rangkuman banyak sekali pendapat hukum dari buku-buku fiqhi buat dijadikan sebagai pertimbangan bagi hakim kepercayaan pada mengambil keputusan,[34] serta kemudian disusun secara sistematis menyerupai buku perundang-undangan, terdiri dari bab-bab serta pasal-pasal, adalah merupakan galat satu kontribusi pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Disebut menjadi pembaharuan, karena pada satu sisi gagasan eksistensi KHI tadi nir pernah tercetus secara resmi sebelumnya (meskipun materi perbandingan mazhab telah usang dikenal), jua beberapa materi muatannya memang termasuk baru, khususnya bagi rakyat Islam Indonesia, seperti ahli waris pengganti, pelarangan perkawinan tidak selaras agama, serta sebagainya.

Produk lain yang masih termasuk ke dalam bagian ini misalnya merupakan UU No. 7 1989 mengenai Peradilan Agama, dan PP No. 28 mengenai Wakaf tanah milik. Dikatakan baru, karena sebelumnya memang tidak dikenal dalam rapikan aturan nasional.

Dengan sudah adanya banyak sekali pembaharuan tersebut, maka sangat dimungkinkan hukum Islam di Indonesia lalu berkembang sinkron dan seiring dengan perubahan sosial terutama di era globalisasi saat ini. Dimana kemajuan teknologi fakta seringkali dapat mengakibatkan pergeseran nilai-nilai yg semula dipercaya telah sangat mapan.

Jika umat Islam tidak cepat mengantisipasi perubahan sosial tersebut dan sekaligus mencari solusi dan pemecahan yang tepat, maka nir mustahil Islam akan dilanda krisis relevansi (crisis of relevance)[35] serta akihrnya tersisihkan dan ditinggalkan orang.[36]

Kebangkitan baru intelektualisme Islam buat melakukan pembaharuan itu ditandai menggunakan keluarnya berbagai pemikiran keislaman yang menaruh formulasi, interpretasi serta refleksi terhadap berbagai dilema kemasyarakatan dalam arti luas (bukan hanya dalam bidang aturan saja, tetapi jua pada bidang yg lain: politik, budaya dan sebagainya).

Namun demikian, sejarah seringkali menyajikan kabar yg cukup menyedihkan tentang nasib para penggagas pembaharuan, baik pada Indonesia maupun pada loka lain.[37] Penyebabnya cukup variatif, antara lain merupakan penafsiran pembaharuan itu dengan kata yg provokatif, yg dengan konotasi tertentu bisa mengakibatkan kecurigaan dan kesalahpahaman. Pembaharuan kemudian dianggap sang sebagian orang sebagai upaya menggugat keabsahan asal ajaran Islam yang sudah diyakini telah sangat benar dan mapan.

Sesungguhnya keadaan Islam dan masyarakat Islam pada masa depan sangat tergantung pada kecakapan para intelektualnya pada menghadapi, mengerti dan memecahkan aneka macam dilema yg baru.[38]

Namun fenomena menerangkan, bahwa terdapat sebagian umat Islam, bahkan menurut kalangan intelektual yg masih bersikukuh mempertahankan intepretasi ajaran usang dan nir terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.

Sebagai contoh konkrit, khususnya dalam bidang aturan Islam adalah penetapan terhadap gagasan fiqhi bercorak keindonesiaan oleh Hazairin dengan mazhab Nasional[39] dan Hasbi Ash-Shiddieqy dengan Fiqhi Indonesia.[40] Penentangan itu bukan hanya dari kalangan umum , tetapi yang sangat keras justru berdasarkan pada cendekiawan, misalnya Ali Yafie[41] walaupun belakangan nampak adanya kesamaan buat mendukungnya.[42]

C. Prospek Hukum Islam Di Indonesia
Dalam menyampaikan prospek hukum Islam pada Indonesia, setidaknya ada dua aspek yang perlu buat dikedepankan:
1. Aspek kekuatan serta peluang. Keduanya berkaitan menggunakan aturan Islam dan umat Islam yg berperan sebagai pendukung prospek hukum Islam di Indonesia.
2. Aspek kelemahan dan kendala. Aspek ini berkaitan dengan kehidupan hukum pada Indonesia yg menjadi hambatan bagi prospek penerapan hukum Islam sebagai hukum positif pada Indonesia.

Adapun aspek kekuatan[43]
a. Al-Qur'an serta hadits, yg selain memuat ajaran tentang aqidah dan akhlaq, juga memuat anggaran-aturan hukum kemasyarakatan, baik bidang perdata juga pidana.

Ketiga esensi ajaran ini telah menjadi satu kesatuan yg tidak terpisahkan pada Islam. Ketiganya bagaikan segi tiga sama kaki yg saling mendukung yang daripadanya kemudian lahir prinsip-prinsip hukum dalam Islam, asas serta tujuan-tujuannya.[44]

b. Syareat Islam datang untuk kebaikan insan semata, sinkron dengan fitrah dan kodratnya yg karena itu sangat menganjurkan berbuat kebaikan, dan melarang perbuatan yg merusak.[45] Dengan demikian, maka produk-produk hukumnya akan senantiasa sesuai menggunakan kebutuhan normal manusia, kapan pun dan pada man apun sebab syareat Islam dibangun di atas dan demi kebaikan manusia itu sendiri sebagai akibatnya akan tetap diminati.

c. Dalam sejarah perjalanan hukum di Indonesia, keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional adalah usaha eksistensi, yang merumuskan keadaan aturan nasional Indonesia dalam masa kemudian, masa kini dan akan datang, bahwa hukum Islam itu ada di dalam aturan nasional, baik pada hukum tertulis juga nir tertulis, dalam berbagai lapangan kehidupan aturan serta praktek aturan.[46]

d. Telah terwujudnya donasi aturan Islam dalam aturan nasional, baik pada bentuk UU juga IP,[47] merupakan bukti konkret mengenai kekuatan serta kemampuan hukum Islam dalam berintegrasi menggunakan hukum nasional.

Aspek-aspek kekuatan tadi akan semakin eksis menggunakan memperhatikan beberapa aspek pendukung menjadi berikut:
Pancasila, yg tertuang pada Pembukaan Undang-Undang Dasar-45 menjadi dasar Negara, yg sila-silanya adalah kebiasaan dasar serta norma tertinggi bagi berlakunya semua norma hukum dasar Negara,[48] sudah mendudukkan kepercayaan (terutama dalam sila pertama) pada posisi yang sangat mendasar, serta memasukkan ajaran serta hukumnya dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. 

Hal ini berarti, bahwa secara filosofis-politis interaksi Pancasila menggunakan agama sangat erat, lantaran menempatkannya pada posisi sentral, pertama serta utama.

Dengan demikian, ajaran (termasuk hukum) Islam yg merupakan kepercayaan anutan dominan penduduk Indonesia, diberi serta memiliki peluang besar buat mewarnai aturan nasional.
Dalam GBHN 1993-1998, antara lain disebutkan: 

"…berfungsinya system aturan yang mantap, bersumberkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan memperhatikan tatanan hukum yg berlaku, yg bisa menjamin kepastian, ketertiban…".[49]

Dari muatan GBHN tadi, tampak jelas adanya peluang aturan Islam buat ikut andil dalam pembangunan hukum nasional. Hal ini mengingat, bahwa aturan Islam termasuk ke dalam tatanan hukum yang berlaku pada masyarakat, yang bisa mengklaim kepastian, ketertiban, keadilan, kebenaran dan seterusnya sebagaimana yang diinginkan oleh aturan itu sendiri. Semua itu terjadi lantaran hukum Islam bersumber dari syareat sebagaimana sudah dipaparkan di atas, sesuai dengan ajaran Allah, Dzat Yang Maha Sempurna pada segala-Nya.

Dengan memperhatikan aneka macam aspek tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prospek aturan Islam pada pembangunan aturan nasional sangat cerah dan baik. Namun demikian, bukan berarti tanpa terdapat kelemahan dan hambatan sama sekali yang memungkinkannya dapat berjalan mulus.

Diantara kelemahan serta kendala itu[50] merupakan:
  • Kemajuan bangsa, yang selain melahirkan pluralisme etnis, juga budaya, kepercayaan dan kepercayaan . Di samping itu, dalam warga Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai syarat yang saling tidak sama yang mengakibatkan upaya pengintegrasiannya ke pada hukum nasional harus dipilih, mana yang telah sanggup diunifikasikan dan yg belum sanggup. 
  • Bagi rakyat non Islam, sangat dimengerti apabila lalu nir bahagia terhadap pemberlakuan (setidaknya penjiwaan) hukum Islam dalam hukum nasional, ad interim pemerintah sendiri nampaknya belum memiliki kemauan politik yg bertenaga untuk memberlakukannya (terutama dalam bidang pidana), barangkali akibat syok masa lalu sang adanya gerombolan ekstrim Islam dengan cara kekerasan (misalnya DI/TII) serta terakhir sang grup Imam Samudra dan Amrozi sebagai akibatnya menyebabkan kekacauan berkepanjangan. 
  • Lemahnya kesadaran masyarakat Islam sendiri (kecuali pada NAD menurut swatantra khsusus yg masih dalam tingkat uji-coba dan nampak masih 1/2 hati) terhadap pentingnya memberlakukan hukum Islam (kecuali dalam nikah, cerai dan rujuk), serta diperparah menggunakan masih dianutnya kebijaksanaan tentang aturan colonial yang dilanjutkan pada pada Peraturan Perundang-undangan Baru (UUPA), yg memperbolehkan umat Islam buat menentukan antara Peradilan Agama dengan Pengadilan Umum. 
  • Lemahnya pemahaman serta penguasaan aturan Islam, bahkan pada kalangan cendikiawan muslim sendiri ditimbulkan oleh poly faktor, misalnya melemahnya dominasi bahasa Arab dan metode istinbat, sementara aturan Islam yang banyak beredar berbentuk fiqhi klasik wajib berhadapan dengan aneka macam perkara baru yg sangat memerlukan ijtihad baru, selain lantaran telah nir terkait lagi dengan fatwa ulama' mujtahidin terdahulu, juga kasusnya memang berbeda sekali (seperti rekayasa Iptek dalam reproduksi manusia). 
Untuk menanggulangi banyak sekali hambatan dan kendala di atas, maka beberapa solusi[51] kemungkinan dapat dipertimbangkan, diantaranya:
1) Mengadakan pembaharuan yg radikal terhadap pendidikan aturan, baik pada hukum Islam juga aturan generik yg meliputi pola dan kurikulum, sehingga bisa mencetak para sarjana hukum yg handal, produktif, responsif serta antisipatif terhadap perkembangan sosial rakyat.
2) Mewujudkan integritas kelembagaan antara fakultas Syari'ah menjadi Pembina aturan Islam dengan fakultas aturan umum sebagai Pembina ilmu hukum.
3) Menggalakkan obrolan, seminar serta sejenisnya antara ahli aturan Islam menggunakan sesamanya, dan menggunakan pakar aturan generik buat menemukan kecenderungan visi dan persepsi pada rangka membentuk aturan nasional.

Catatan Kaki / Sumber Artikel Di Atas :

[1] Lihar Sucipto, Tinjauan Kritis Terhadap Pembangunan Hukum Indonesia, pada Analisa (SIS, No. I, Januari-Pebruari, 1993), h. 64
[2] Menurut Teori Resepsi, Hukum Islam itu bukan "aturan" dan nir bisa sebagai "hukum" apabila belum diresapi oleh aturan adat. Walaupun semenjak pemberlakuan UU Perkawinan dalam 1 Oktober 1974, sebenarnya teori tersebut dengan sendirinya telah mangkat , tetapi arwah dan semangatnya ternyata masih melekat pada benak sebagian sarjana aturan Indonesia. Lihat S. Praja, Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran serta Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 85
[3] Sebenarnya, hukum Islam itu telah eksis sejak masa kerajaan Islam awal, dan bahkan secara resmi sebagai hukum Negara pada masa kesultanan Islam Indonesia. Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, Cet. I,), h. 12: Rahmat Djatmika, Sosialisasi Hukum Islam pada Indonesia, pada Abdurrahman Wahid, et al, Kontroversi Pemikiran Islam pada Indonesia, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991, Cet. I), h. 230
[4] Hukum Islam yang memang merupakan sub system aturan nasional di Indonesia di samping sub system aturan Barat serta aturan istiadat, keberadaannya telah menjadi autoritive source sejak Dekrit Presiden lima Juli 1959. Lihat Juhana S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Xi-xii
[5] Amrullah Ahmad, SF. Dkk., Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Press, 1966), h. Ix
[6] Hukum Islam adalah koleksi daya upaya para fuqaha pada menerapkan syariat Islam sinkron dengan kebutuhan rakyat. Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988, cet III), h. 44
[7] Syariat mempunyai dua pengertian: umum serta spesifik. Secara umum, mencakup keseluruhan tata kehidupan serta Islam termasuk pengetahuan mengenai ketuhanan. Dalam pengertian spesifik, ketetapan yang didapatkan menurut pemahaman seorang muslim yg memenuhi syarat tertentu tentang al-Qur'an serta sunnah menggunakan menggunakan metode eksklusif (Ushul Fiqhi), Lihat: Juhaya S. Praja, Hukum Islam pada Indonesia…, h. Vii
[8] Fiqhi adalah aturan syara' yg bersifat simpel diperoleh melalui dalil-dalil yang terinci. Lihat: Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h. 11
[9] Amruullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional…,
[10] Ahmad Rafiq, Hukum Islam pada Indonesia…
[11] Ali Syafie, Fungsi Hukum Islam pada Kehidupan Ummat, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam …, h. 93
[12] Mohammad Daud Ali, Penerapan Hukum Islam pada Negara Republik Indonesia, Makalah Kuliah Umum Pada Pendidikan Kader Ulama di Jakarta, lepas 17 Mei 1995.
[13] Hukum Pidana adalah aturan yang mengatur mengenai pelanggaran-pelanggaran serta kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, yang mengakibatkan pelakunya dapat diancam menggunakan sanksi eksklusif dan merupakan penderitaan atau siksaan baginya. Lihat JB. Daliyo dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1992), h. 73-74
[14] Yakni, aturan yg diterima dan digunakan secara konkret pada kehidupan umat, atau yg tersosialisasikan serta diterima warga secara persuasive, karena dipercaya sudah sinkron menggunakan kesadaran aturan dan cita mereka tentang keadailan. Lihat Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, h. 209; Jamal D. Rahmat et al, Wacana Baru Fiqhi Sosial, (Bandung: Mizan, 1977), h. 177
[15] Tentang teori-teori tadi, selengkapnya dapat ditelaah dalam H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya hukum Islam pada Indonesia, dalam Tjum Surajaman (ed), Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 91), 101-36.
[16] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, pada kitab Prospek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, h. 200
[17] Rahmat Djatmiko, Sosialisasi Hukum Islam…, h. 231-232
[18] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum pada Indonesia, (Jakarta: Risalah, 1984), h. 12
[19] Ketika itu, aturan Islam diakui sebagai otoritas aturan, namun demikian eksistensi serta bentuknya masih sama dengan hukum istiadat yg tidak tertulis sebagaimana selayaknya peraturan perundang-undangan. Dan yang ada hanyalah kitab -buku fiqhi yg masih berbentuk kajian ilmu hukum Islam pada banyak sekali macam mazhab, walaupun mayoritasnya adalah mazhab Syafi'i. Lihat: Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam pada Indonesia, (Ed. I: Jakarta: Akademika Pressindo, 1995), h. 15-29
[20] Munawir Sjadzali, Landasan Pemikiran Politik Hukum di Indonesia dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama pada Indonesia, dalam Tjua Suryaman, Politik Hukum pada Indonesia, Perkembangan dan Pembentukannya, (Cet. I: Bandung: Raja Rosdakarya, 1991), h. 43-44
[21] Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji Masagung, 1990), h. 28; Hazairin, Demokrasi Pancasila (Jakarta: Tinta Mas, 1973), h. 13
[22] Mura Hutagalung, Hukum Islam pada Era Pembangunan (Jakarta: Ind-Hill-CO, 1985, Cet I), h. 19
[23] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia…, h. 132
[24] Notosusanto, Organisasi serta Yurisprudensi Pengadilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada, 1963), h. 9-10
[25] Bandingkan paragraph dalam Undang-Undang Dasar-45 yg lalu menjadi sila pertama Pancasila sebagai Dasar Negara RI menggunakan rumusan pada Piagam Jakarta: "…ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syarat Islam bagi para pemeluknya".
[26] Pada tahun 50-an sebagai penggagas pertama fiqhi Indonesia menjadi Mazhab Nasional, Lihat: Hazairin, Hendak ke Mana Hukum Islam, (Jakarta: Tinta Mas, 1976), h. 3-6
[27] M. Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia…, h. 220
[28] Andi Rosdiyanah, Problematika serta Kendala yg Dihadapi Hukum Islam dalam Upaya Transformasi ke Dalam Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai Konstribusi Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional Setelah 50 tahun Indonesia Merdeka, di Ujung Pandang lepas 1-2 Maret 1996, h. 9-10; Umar Shihab, Aspek Kelembagaan Hukum dan Perundang-Undangan, Makalah Disampaikan dalam seminar yang sama, h. 13-14.
[29] Pada masa kerajaan Islam dengan Tahkim menjadi lembaga peradilan dalam bentuknya yang masih sederhana menggunakan tokoh agama menjadi hakimnya. Lihat: Syadzali Musthofa, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia (Cet. II, Solo: CV. Ramadani, 1990), h. 59
[30] Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional…, h. 4
[31] Harun Nasution, Pembaharuan pada Islam. Sejarah Pemikiran serta Gerakannya (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11
[32] Amien Rais, Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta (Cet VIII; Bandung: Mizan, 1966), h. 116
[33] Karenanya, berdasarkan segi kedudukan belum menjadi UU bukan aturan tertulis meskipun dituliskan, bukan peraturan-peraturan pemerintah, bukan Kepres, serta seterusnya. Lihat: A. Hamid S. Atamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Suatu Tunjauan berdasarkan Sudut Perundang-Undangan Indonesia, pada Amrullah Ahmad dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam pada Sistem Hukum Nasional, h. 152
[34] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akad: Mika Pressindo, 1995), h. 15-20.
[35] Krisis relevansi dalam Islam muncul dampak pemahaman yang sempit terhadap ajaran Islam. Uraian lebih lanjut, Lihat: Pengantar Amin Rais dalam Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammad (Jakarta: Logo Publishing House, 1995), h. X.
[36] Uraian lebih lanjut, lihat: John Obert Voll dalam Ajat Sudrajat, Politik Islam: Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1977), h. 444
[37] Mereka itu diantaranya Muhammad Abduh dan Ali Abd Roziq di Timur Tengah, Fazlur Rahman pada Pakistan serta Nurcholis Madjid pada Indonesia, yang dipercaya terlalu liberal, elitis serta nir membumi, serta terlepas menurut realita. Uraian selengkapnya lihat: Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1991), h. 21; Taufik Adnan Amal, Islam serta Tantangan Modernisasi: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Cet. V: Bandung: Mizan, 1994), h. 104-105; Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intelektual Response to New Modernization (terj) sang Ahmadie Thaha (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987), h. 150-151.
[38] A. Munir serta Sudarsono, Aliran Modern pada Islam (Jakarta: Rineka CIpta, 1994), h. 44
[39] Hazairin, Hendak Kemana Hukum Islam, Tujuan Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Tinta Mas, 1971), h. 115
[40] Nouruzzaman Shiddieqy, Jeram-Jeram Peradaban Muslim (Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 236.
[41] Ali Yafie, Mata Rantai yang Hilang, Dalam Pesantren No. Dua, Vol. II, 1985, h. 45-46
[42] Ali Yafie, Menggagas Fiqhi Indonesia, (Cet 1: Bandung Mizan, 1994), h. 107-122
[43] Bandingkan dengan Muin Salim, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia (Makalah), h. Tiga-5
[44] Tentang Prinsip, tujuan dan asas hukum Islam, bisa ditelaah selengkapnya dalam: Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Usul al-Syare'ah, Jilid II (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), h. 3-4; Rahmat Djarmika, Jalan Mencari Hukum Islam Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijatihad, pada Aspek Hukum Islam pada Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta: FP-IKAHA, 1994), h. 146-157 
[45] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Cet II: Beirut: Maktabah al-Imam, 1987), h. 266; QS. Dua: 195
[46] Andi Rasdiyanah, Problematika serta Kendala…, h. 5-6
[47] Seperti UU No. 1, tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, IP No. 1, tahun 1991 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU No. 7 1992 tentang Bank (Muamalat).
[48] Andi Rasdiyanah, Kontribusi Hukum Islam dalam Mewujudkan Hukum Pidana Nasional, Makalah disampaikan pada upacara pembukaan Seminar Nasional mengenai Kontribusi Hukum Islam Terhadap Terwujudnya Hukum Pidana Nasional yang Berjiwa Kebangsaan, Yogyakarta, 2 Desember 1995, h. 4
[49] Majlis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Garis-Garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia, 1993-1998 (Surabaya: Bina Pustaka Tama, tt), h. 33-34
[50] Penjelasan lebih lanjut mengenai aspek kelemahan serta hambatan tadi, dapat dilihat pada: Andi Rasdiyanah, Problematika dan Kendala, h. 11-14; Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan pada Seminar Nasional serta Kongres I Forum Mahasiswa Syari'ah se Indonesia, lepas 13 Juli 1996, di Ujung Pandang, h. 6-7
[51] Perihal tawaran solusi pada atas, bandingkan menggunakan pemaparan Nasaruddin Umar, Konstitusionalisasi Hukum Islam di Indonesia, h. 8-9; Abu Mu'in Salim, Konstitusional Hukum Islam di Indonesia, h. 11-12.