PENGEMBANGAN DAN INOVASI KURIKULUM
Pengembangan Dan Inovasi Kurikulum
Kurikulum sebagai sebuah rancangan pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam semua aspek kegiatan pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, maka pada penyusunan kurikulum tidak sanggup dilakukan tanpa memakai landasan yang kokoh serta bertenaga.
Landasan pengembangan kurikulum nir hanya diharapkan bagi para penyusun kurikulum atau kurikulum tertulis yang tak jarang diklaim pula menjadi kurikulum ideal, akan tetapi terutama harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh para pelaksana kurikulum yaitu para pengawas pendidikan serta para pengajar dan pihak-pihak lain yang terkait menggunakan tugas-tugas pengelolaan pendidikan, menjadi bahan untuk dijadikan instrumen dalam melakukan pelatihan terhadap implementasi kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Dibutuhkan aneka macam landasan yg kuat supaya mampu dijadikan dasar pijakan pada melakukan proses penyelenggaraan pendidikan, sebagai akibatnya dapat memfasilitasi tercapainya target pendidikan dan pembelajaran secara lebih efektif serta efisien.
Landasan Pengembangan Kurikulum
Suatu bangunan kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen evaluasi, maka supaya setiap komponen mampu menjalankan kegunaannya secara sempurna serta bersinergi, maka perlu ditopang sang sejumlah landasan yaitu landasan filosofis menjadi landasan primer, rakyat serta kebudayaan, individu (peserta didik), serta teori-teori belajar (psikologis).
Landasan Filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum ialah rumusan yang dihasilkan dari hasil berpikir secara mendalam, analisis, logis, sistematis dalam merencanakan, melaksanakan, membina dan membuatkan kurikulum baik pada bentuk kurikulum menjadi planning (tertulis), terlebih kurikulum dalam bentuk pelaksanaan pada sekolah.
1. Filsafat Pendidikan
Filsafat berupaya menyelidiki aneka macam permasalahan yang dihadapai manusia, termasuk perkara pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu lain menjadi penunjang, pada antaranya filsafat. Filsafat pendidikan dalam dasarnya merupakan penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis buat memecahkan masalah-masalah pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), masih ada tiga sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran pendidikan dalam umumnya serta pendidikan di Indonesia dalam khususnya, yaitu : filsafat idealisme, realisme serta filsafat fragmatisme.
2. Filsafat serta Tujuan Pendidikan
Bidang telaahan filsafat dalam awalnya mempersoalkan siapa manusia itu? Kajian terhadap masalah ini berupaya buat menelusuri hakikat insan, sehingga muncul beberapa asumsi mengenai insan. Misalnya insan merupakan makhluk religius, makhluk sosial, makhluk yang berbudaya, dan lain sebagainya. Dari beberapa telaahan tadi filsafat mencoba mempelajari mengenai tiga utama problem, yaitu hakikat sahih-keliru (nalar), hakikat baik-tidak baik (etika), dan hakikat latif-buruk (estetika). Oleh karenanya maka ketiga pandangan tadi sangat diharapkan pada pendidikan. Terutama pada memilih arah serta tujuan pendidikan. Artinya ke mana pendidikan akan dibawa, terlebih dahulu harus ada kejelasan etos insan atau tentang hidup serta eksistensinya.
Filsafat akan memilih arah kemana peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat nilai-nilai yg melandasi serta membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karenanya, filsafat yang dianut sang suatu bangsa atau kelompok rakyat eksklusif atau bahkan yg dianut sang perorangan akan sangat mempengaruhi terhadap tujuan pendidikan yg ingin dicapai.
Tujuan pendidikan nasional pada Indonesia tentu saja bersumber dalam pandangan dan cara hidup insan Indonesia, yakni Pancasila. Hal ini berarti bahwa pendidikan di Indonesia wajib membawa siswa agar sebagai insan yg berPancasila. Dengan istilah lain, landasan dan arah yg ingin diwujudkan sang pendidikan di Indonesia merupakan yg sesuai menggunakan kandungan falsafah Pancasila itu sendiri.
Sebagai akibat berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila yg dianut bangsa Indonesia, dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti terdapat dalam UU No.20 Tahun 2003, yaitu : Pendidikan Nasional menurut Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan menciptakan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi siswa agar menjadimanusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berdikari dan sebagai rakyat yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 2 dan tiga). Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, tersurat serta tersirat nilai-nilai yang terkandung pada rumusan Pancasila.
Melalui rumusan tujuan pendidikan nasional pada atas, telah jelas tergambar bahwa peserta didikyang ingin dihasilkan sang sistem pendidikan kita antara lain adalah untuk melahirkan insan yang beriman, bertaqwa, berilmu dan beramal dalam syarat yg harmonis, selaras dan seimbang. Di sinilah pentingnya filsafat sebagai pandangan hidup insan pada hubunganya dengan pendidikan dan pembelajaran.
3. Manfaat Filsafat Pendidikan
Filsafat pendidikan dalam dasarnya adalah penerapan berdasarkan pemikiran-pemikiran filsafat buat memecahkan permasalahn pendidikan. Dengan demikian tentu saja bahwa filsafat memiliki manfaat serta memberikan kontribusi yg akbar terutama pada menaruh kajian sistematis berkenaan menggunakan kepentingan pendidikan.
Menurut Nasution (1982) mengidentifikasi beberapa manfaat filsafat pendidikan, yaitu:
- Filsafat pendidikan dapat menentukan arah akan dibawa ke mana anak-anak melalui pendidikan pada sekolah? Sekolah merupakan suatu lembaga yg didirikan buat mendidik anak-anak ke arah yg dicita-citakan sang warga , bangsa serta negara.
- Dengan adanya tujuan pendidikan yg diwarnai sang filsafat yg dianut, kita mendapat hamparan yg jelas mengenai hasil yang harus dicapai.
- Filsafat dan tujuan pendidikan memberi kesatuan yg bulat kepada segala bisnis pendidikan.
- Tujuan pendidikan memungkinkan si penduduk menilai usahanya, sampai manakah tujuan itu tercapai.
- Tujuan pendidikan menaruh motivasi atau dorongan bagi aktivitas-lkegiatan pendidikan.
4. Kurikulum serta Filsafat Pendidikan
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena tujuan pendidikan sangat ditentukan oleh filsafat atau etos suatu bangsa, maka tentu saja kurikulum yang dikembangkan pula akan mencerminkan falsafah/etos yg dianut oleh bangsa tersebut oleh karenanya masih ada interaksi yang sangat erat antara kurikulum pendidikan pada suatu negara menggunakan filsafat negara yang dianutnya. Sebagai contoh, Indonesia dalam masa penjajahan Belanda, kurikulum yg dianut dalam masa itu sangat berorientasi dalam kepentingan politik Belanda. Demikian juga dalam ketika negara kita dijajah Jepang, maka orientasi kurikulum berpindah yaitu diadaptasi dengan kepentingan dan sistem nilai yang dianut sang negara Matahari Terbit itu. Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, dan secara bulat dan utuh menggunakan pancasila menjadi dasar dan falsafah dalam berbangsa serta bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai pancasila itu sendiri.
Pengembangan kurikulum walaupun pada termin awal sangat dipengaruhi oleh filsafat dan ideologi negara, tetapi tidak berarti bahwa kurikulum bersifat statis, melainkan senantiasa memerluka pengembangan, pembaharuan serta penyempurnaan diadaptasi menggunakan kebutuhan dan tuntutan dan perkembangan zaman yang senantiasa cepat berubah.
Landasan Psikologis
Penerapan landasan psikologi pada pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yg dilakukan dapat menyesuaikan menurut segi materi atau bahan yang wajib disampaikan, penyesuaian menurut segi proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian menurut unsur-unsur upaya pendidikan lainnya.
1. Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Anak sejak dilahirkan telah menunjukkan keunikan-keunikan, misalnya pernyataan dirinya pada bentuk tangisan atau gerakan-gerakan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa sebenarnya semenjak lahir anak sudah mempunyai potensi buat berkembang. Bagi genre yang sangat percaya dengan syarat tersebut acapkali menduga anak menjadi orang dewasa pada bentuk kecil. J.J.rousseau, seseorang ahli pendidikan bangsa Perancis, termasuk yg fanatik berpandangan misalnya itu. Dewasa dalam bentuk mini mengandung makna bahwa anak itu belum sepenuhya memiliki potensi yg diperlukan bagi penyesuaian diri terhadap lingkungannya, ia masih memerlukan bantuan buat berkembang ke arah kedewasaan yg sempurna, Rousseau memberi tekanan kepada kebebasan berkembang secara mulus sebagai orang dewasa yg diharapkan.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa perkembangan anak itu merupakan output berdasarkan dampak lingkungan. Anak dipercaya menjadi kertas putih, pada mana orang-orang pada sekelilingnya bisa bebas menulis kertas tadi. Pandangan ini bertentangan menggunakan pandangan pada atas, pada mana justru aspek-aspek di luar anak/lingkungannya lebih poly mempengaruhi perkembangan anak sebagai individu yang dewasa. Pandangan ini tak jarang dianggap teori Tabularasa dengan tokohnya yaitu John Locke.
Selain ke 2 pandangan tersebut, masih ada pandangan yg menjelaskan bahwa perkembangan anak itu merupakan hasil formasi antara pembawaan serta lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat insan yg mempunyai potensi sejak lahir, namun potensi ini akan berkembang sebagai baik dan paripurna berkat efek lingkungan. Aliran ini dianggap aliran konvergensi menggunakan tokohnya yaitu William Stern. Pandangan yg terakhir ini dikembangkan lagi sang Havighurst dengan teorinya tentang tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Tugas-tugas perkembangan yg dimaksud adalah tugas yg secara konkret harus dipenuhi oleh setiap anak/individu sinkron menggunakan taraf/taraf perkembangan yg dituntut sang lingkungannya. Apabila tugas-tugas itu tidak terpenuhi, maka pada taraf perkembangan berikutnya anak/individu tadi akan mengalami perkara.
Melalui tugas-tugas ini, anak akan berkembang dengan baik serta beroperasi secara kumulatif menurut yang sederhana menuju ke arah yg lebih kompleks. Namun demikian, objek penelitian yg dilakukan sang Havighurst adalah anak-anak Amerika, jadi kebenarannya masih perlu diteliti dan dikaji menggunakan cermat disesuaikan dengan anak-anak Indonesia yang memiliki syarat lingkungan yang berbeda. Pandangan tentang anak sebagai makhluk yg unik sangat berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum pendidikan. Setiap anak adalah langsung tersendiri, memiliki disparitas disamping persamaannya.
Implikasi menurut hal tadi terhadap pengembangan kurikulum yaitu :
- Setiap anak diberi kesempatan buat berkembang sesuai dengan talenta, minat dan kebutuhannya.
- Di samping disediakan pelajaran yang sifatnya generik (program inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan juga pelajaran pilihan yang sesuai menggunakan minat anak.
- Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar yang bersifat kejuruan jua menyediakan materi ajar yang bersifat akademik. Bagi anak yang berbakat pada bidang akademik diberi kesempatan buat melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
- Kurikulum memuat tujuan-tujuan yg mengandung pengetahuan, nilai/sikap, dan keterampilan yang menggambarkan holistik pribadi yg utuh lahir serta batin.
Implikasi lain berdasarkan pengetahuan mengenai anak terhadap proses pembelajaran (actual curriculum) bisa diuraikan menjadi berikut :
a. Tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada perubahan Stingkah laku peserta didik.
b. Bahan/materi yang diberikan harus sesuai menggunakan kebutuhan, minat dan perhatian anak, bahan tadi mudah diterima sang anak.
c. Strategi belajar mengajar yang dipakai harus sesuai dengan taraf perkembangan anak.
d. Media yang digunakan senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
e. Sistem penilaian berpadu pada satu kesatuan yg menyekuruh serta berkesinambungan menurut satu termin ke tahap yg lainnya serta dijalankan secara terus menerus.
2. Psikologi Belajar dan Kurikulum
Psikologi belajar adalah suatu cabang bagaimana individu belajar. Belajar bisa diartikan menjadi perubahan konduite yg terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan konduite baik yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi lantaran prosespengalaman dapat mengkategorikan menjadi konduite belajar. Perubahan-perubahan perilaku yang terjadi secara naluri atau terjadi lantaran kematangan, atau konduite yang terjadi secara kebetulan, tidak termasuk belajar. Mengetahui tentang psikologi/teori belajar adalah bekal bagi para guru dalam tugas pokoknya yaitu pembelajaran anak.
Psikologi atau teori belajar yg berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke pada tiga rumpun, yaitu : Teori Disiplin Mental atau Teori Daya (Faculty Theory), Behaviorisme, serta Organismik atau kognitif Gestalt Field.
1. Menurut Teori Daya (Disiplin Mental)
Menurut teori ini, sejak kelahirannya anak/individu telah memiliki otensi-potensi atau daya-daya tertentu (faculties) yg masing-masing mempunyai fungsi eksklusif, seperti potensi/daya mengingat, daya berfikir, daya mencurahkan pendapat, daya mengamati, daya memecahkan perkara, serta daya-daya lainnya. Daya-daya tersebut dapat dilatih supaya dapat berfungsi dengan baik. Daya-daya yang sudah terlatih dapat dipindahkan pada pembentukan daya-daya lain. Pemindahan (transfer) ini absolut dilakukan melalui latihan (drill), karenanya pengertian mengajar menurut teori ini merupakan melatih siswa pada daya-daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan serta latihan.
2. Teori Behaviorisme
Rumpun teori ini meliputi tiga teori, yaitu koneksionisme atau teori asosiasi, teori kondisioning, serta teori reinforcement (operant conditioning). Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan sang lingkungan (famili, sekolah, rakyat). Teori ini nir mengakui sesuatu yg sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal-hal nyata yg bisa ditinjau serta diamati. Teori Asosiasi merupakan teori yang awal dari rumpun Behaviorisme. Menurut teori ini kehidupan tunduk pada hokum stimulus-respon atau aksi-reaksi. Belajar adalah upaya buat membangun hubungan stimulus-respon sebesar-banyaknya.
3. Teori Organismik (Gestalt)
Teori ini mengacu pada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna daripada bagian-bagian, holistik bukan gugusan menurut bagian-bagian. Manusia dianggap menjadi makhluk organism yang melakukan interaksi timbale kembali menggunakan lingkungan secara keseluruhan, interaksi ini dijalin sang stimulus serta respon. Menurut teori ini, Stimulus yg hadir itu diseleksi dari tujuannya, kemudian individu melakukan hubungan dengannya dan seterusnya terjadi perbuatan belajar. Disini peran pengajar merupakan sebagai pembimbing bukan penyampai pengetahuan, anak didik berperan sebagai pengelola bahan pelajaran.
Belajar dari teori ini bukanlah menghapal akan namun memecahkan masalah, dan metoda belajar yang dipakai adalah metoda ilmiah menggunakan cara anak dihadapkan pada berbagai konflik, merumuskan hipotesis atau praduga, mengumpulkan data yang diperlukan buat memecahkan masalah, menguji hipotesis yg telah dirumuskan, dan pada akhirnya para anak didik dibimbing buat menarik konklusi-konklusi. Teori ini banyak menghipnotis praktek pedagogi pada sekolah lantaran memiliki prinsip menjadi berikut :
- Belajar berdasarkan keseluruhan
- Belajar adalah pembentukan kepribadian
- Belajar berkat pemahaman
- Belajar dari Pengalaman
- Belajar merupakan suatu proses perkembangan
- Belajar merupakan proses berkelanjutan
Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis menyangkut kekuatan-kekuatan sosial pada masyarakat. Kekuatan-kekuatan itu berkembang serta selalu berubah-ubah sinkron menggunakan perkembangan zaman. Kekuatan itu bisa berupa kekuatan yg konkret maupun yg potensial, yang berpengaruh dalam perkembangan kebudayaan seirama menggunakan dinamika warga .
Perkembangan Peserta Didik serta Kurikulum
Faktor kebudayaan merupakan bagian yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan :
1. Individu lahir tidak berbudaya, baik dalam hal norma, hasrat, sikap, pengetahuan, keterampilan, serta lain sebagainya.
2. Kurikulum pada suatu rakyat dalam dasarnya merupakan refleksi berdasarkan cara orang berpikir, berasa, bercita-cita, atau kebiasaan-norma.
3. Seluruh nilai yg sudah disepakati warga dapat pula diklaim kebudayaan. Kebudayaan adalah output berdasarkan cipta, rasa, karsa manusia yang diwujudkan pada 3 tanda-tanda, yaitu:Ide, konsep, gagasan, nilai, norma, peraturan, serta lain-lain.kegiatan, yaitu tindakan berpola berdasarkan insan dalam bermasyarakat.benda output karya manusia.
Masyarakat serta Kurikulum
Mayarakat adalah suatu kelompok individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke pada gerombolan -kelompok tidak sinkron. Kebudayaan hendaknya dibedakan dengan kata masyarakat yang memiliki arti suatu gerombolan individu yang terorganisir yg berpikir tentang dirinya sebagai suatu yang tidak sinkron menggunakan kelompok atau rakyat lainnya. Tiap masyarakat memiliki kebudayaan sendiri-sendiri, menggunakan demikian yg membedakan masyarakat yang satu menggunakan masyarakat lainnya merupakan kebudayaan. Hal ini memiliki implikasi bahwa apa yg sebagai keyakinan pemikiran seorang, reaksi terhadap perangsang sangat tergantung pada kebudayaan di mana dia dibesarkan..
Perubahan sosial budaya pada suatu masyarakat akan mengganti juga kebutuhan warga . Kebutuhan masyarakat jua dipenuhi oleh kondisi dari warga itu sendiri. Adanya perbedaan antara warga satu menggunakan warga lainnya sebagian akbar ditimbulkan oleh kualitas individu-individu yg sebagai anggota rakyat tadi. Di sisi lain kebutuhan warga dalam umumnya jua berpengaruh terhadap individu-individu sebagai menjadi anggota rakyat. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum yang hanya berdasarkan pada keterampilan dasar saja nir akan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat terkini yg bersifat teknologis serta mengglobal.
Pengembangan kurikulum jua wajib ditekankan dalam pengembangan individu yang meliputi keterkaitannya menggunakan lingkungan sosial setempat. Lingkungan sosial budaya merupakan asal daya yang meliputi kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan uraian di atas, sangatlah krusial memperhatikan faktor kebutuhan warga pada pengembangan kurikulum. Perkembangan warga menuntut tersedianya proses pendidikan yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai dengan perkembangan rakyat maka dibutuhkan rancangan berupa kurikulum yg landasan pengembangannya memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.
Landasan Lain
1. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pendidikan merupakan bisnis menyiapkan subjek didik (murid) menghadapi lingkungan hidup yg mengalami perubahan yg semakin pesat. Pendidikan adalah bisnis sadar buat menyiapkan siswa melalui kegiatan bimbingan, pengajaran serta atau latihan bagi kiprahnya pada masa yg akan datang. Teknologi adalah pelaksanaan menurut ilmu pengetahuan ilmiah serta ilmu-ilmu lainnya buat memecahkan masalah-perkara mudah. Ilmu dan teknologi tak bisa dipisahkan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang teramat pesat seiring lajunya perkembangan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan serta kemampuan- kemampuan tadi, maka ada hal-hal yg dijadikan menjadi dasar, yakni:
- Pembangunan IPTEK wajib berada dalam keseimbangan yg dinamis dan efektif menggunakan pelatihan asal daya manusia, pengembangan sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan dan penelitian serta pengembangan serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
- Pembangunan IPTEK tertuju pada peningkatan kualitas, yakni buat menaikkan kualitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
- Pembangunan IPTEK harus selaras (relevan) menggunakan nilai-nilai kepercayaan , nilai luhur budaya bangsa, syarat sosial budaya, dan lingkungan hidup.
- Pembangunan IPTEK wajib berpijak pada upaya peningkatan produktivitas, efesiensi dan efektivitas penelitian serta pengembangan yang lebih tinggi.
- Pembangunan IPTEK dari dalam asas pemanfaatannya yg menaruh nilai tambah serta menaruh pemecahan kasus konkret dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi dilaksanakan oleh banyak sekali pihak, yakni:
- Pemerintah, yg menyebarkan serta memanfaatkan IPTEK buat menunjang pembangunan pada segala bidang.
- Masyarakat, yang memanfaatkan IPTEK itu pengembangan warga dan mengembangakannya secara swadaya.
- Akademisi terutama di lingkungan perguruan tinggi, membuatkan IPTEK buat disumbangkan pada pembangunan.
- Pengusaha, buat mempertinggi produktivitas
Mengingat pendidikan merupakan upaya menyiapkan murid menghadapi masa depan serta perubahan masyarakat yang semakin pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan ilmu pengetahuan serta teknologi.
2. Landasan Historis
Landasan Historis berkaitan menggunakan formulasi program-acara sekolah pada ketika lampau yg masih hayati hingga kini , atau yg pengaruhnya masih akbar pada kurikulum waktu ini (Johnson, 1968). Oleh lantaran kurikulum selalu perlu diadaptasi menggunakan kebutuhan-kebutuhan serta perkembangan zaman, maka perkembangan kurikulum pada suatu saat eksklusif diadakan buat memenuhi tuntutan dan perkembangan dalam ketika tertentu.
Kurikulum yg dikembangkan dalam ketika ini, perlu mempertimbangkan apa yang sudah dilakukan dan apa yg telah kita capai melalui kurikulum sebelumnya. Begitu jua selanjutnya, kita perlu mempertimbangkan kurikulum yang yang terdapat kini ketika membuatkan kurikulum di masa depan, karena apa yg telah kita lakukan kini akan berpengaruh terhadap kurikulum yg akan dikembangkan di masa depan.
3. Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya adalah produk yuridis yg ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh forum legislatif yg mestinya mendasarkan pada konstitusi/Undang-Undang Dasar. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini adalah UUD 1945 (pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan misalnya: UU mengenai pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan berdasarkan Dirjen Dikti, peraturan-peraturan wilayah serta sebagainya.