BAGAIMANA CARA MEMOTIVASI & MENINGKATKAN KINERJA KARYAWAN

Dalam setiap bisnis yang berjalan dengan baik serta sukses pasti tidak dapat dipisahkan berdasarkan kinerja anak butir atau karyawan. Merekalah yg menjalankan roda perusahaan anda, kesuksesan maupun kegagalan perusahaan mereka jugalah yg mempengaruhi. Dan setiap karyawan pasti mempunyai karakter yang tidak selaras sebagai akibatnya berpengaruh juga terhadap kinerja mereka. Nah berikut adalah beberapa tips memotivasi karyawan atau anak buah supaya kinerja mereka semakin tinggi seiring saat:

Memotivasi & Meningkatkan Kinerja Karyawan
Mendukung pandangan baru-pandangan baru baru
Ide brilian bisa datang dari siapa saja termasuk karyawan anda. Pastikan untuk menerima dan mendukung masukan-masukan maupun ide ide baru dari karyawan anda untuk perkembangan usaha anda. Ketika anak buah atau karyawan anda memberikan ide atau masukan yang baik untuk perusahaan anda, itu tandanya mereka peduli. Mendukung pandangan baru-pandangan baru baru dan memberikan masing-masing individu kesempatan untuk menjalankannya adalah sebuah motivasi, meskipun pada akhirnya ide tersebut tidak berhasil.
Berikan kewenangan dalam setiap individu
Memberikan kewenangan pada karyawan anda membuat kinerja karyawan akan meningkat. Mereka merasa optimis dan mempunyai tanggung jawab yang lebih lantaran anda mempercayakan wewenang sinkron dengan bidang karyawan anda. Membuat mereka mempunyai kiprah dalam pekerjaan mereka, besar atau mini , akan menciptakan mereka memiliki ‘sense of ownership’ yang akan menciptakan mereka mempunyai performa yang melebihi ekspektasi.
Jangan biarkan kebosanan mensugesti kinerja mereka
Ya kebosanan ditengarai sebagai masalah yang cukup umum sebagai faktor penyebab penurunan kinerja karyawan. Jadi jangan abaikan kebosanan dalam perusahaan atau tempat kerja mensugesti kinerja karyawan anda. Merencanakan happy hour, melakukan kunjungan kerja atau liburan saat perlop beserta, berkumpul bersama karyawan serta melakukan hal menyenangkan diluar jam kerja dsb.
Rayakan setiap momen penting
Kepedulian anda terhadap karyawan pula akan membangkitkan semangat mereka sebagai akibatnya kinerja akan semakin tinggi. Menurut salah satu pebisnis online sukses mengungkapkan 7 tahun kemudian, ketika perusahaan hanya mempunyai kurang dari 10 karyawan, kami merayakan ulang tahun setiap karyawan, work anniversary, pertunangan, dan juga peristiwa-peristiwa krusial eksklusif mereka. Sekarang, menjadi perusahaan yang mempunyai lebih menurut 100 karyawan, kami masih merayakan kejadian-insiden penting tadi.
Tidak hanya punishment mereka pula ingin diakui pencapaian professional mereka
Wajar apabila anda menaruh "sanksi" bagi karyawan anda yang melanggar kebijakan menurut perusahaan anda, tetapi jangan pernah juga melupakan menaruh kebanggaan atau rewards pada mereka yg berhasil mencapai keprofesionalan mereka. Setiap orang ingin diakui kehebatannya. Pengakuan dan kebanggaan berdasarkan perusahaan akan sangat berarti bagi seorang karyawan, lebih menurut yg Anda bayangkan.
Berikan pengakuan dalam mereka yg berhak mendapatkannya. Meskipun para karyawan datang ke kantor buat menuntaskan pekerjaan yang sudah ditetapkan buat mereka, bila mereka melakukannya dengan baik, hal itu pula adalah sebuah pencapaian. Beri tahu seluruh orang pada perusahaan tentang kerja keras mereka. Memberikan reward dalam suatu pencapaian, Anda dapat menaruh insentif keuangan akan menciptakan mereka terkesan atau intangible reward seperti pelatihan yang valuable.
Luangkan ketika Anda & Dengarkan mereka
Meskipun Anda mempunyai jadwal yg sangat padat, Anda perlu meluangkan sedikit ketika, mungkin beberapa mnt setiap harinya buat mengobrol menggunakan karyawan Anda. Meskipun mungkin hal tersebut nir ada pada kalender jadwal Anda. Setiap orang tidaklah sama. Mendorong berkembangnya kepribadian setiap orang akan membangun kultur yg dinamis serta beraneka ragam. Selain itu juga akan tercipta lingkungan kerja yg lebih terbuka serta bisa menerima perbedaan.
Mungkin anda menjadi pemilik usaha akan terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, namun sesibuk apapun pekerjaan anda luangkan sedikit waktu dekat menggunakan karyawan dan mendengarkan mereka. Meluangkan sedikit saat setiap harinya buat mendengarkan ide karyawan Anda tidak hanya membuat mereka bahagia, tetapi juga akan memberikan Anda wawasan lebih dalam usaha Anda menurut orang-orang yg membantu Anda menjalankannya. Bagi karyawan sendiri mereka akan mencicipi kedekatan dengan owner perusahaan sekaligus akan menaikkan semangat kerja mereka.
Mendukung & mendorong adanya persaingan yang sehat
Dalam setiap lingkungan bisnis niscaya selalu terdapat lingkungan yg kompetitif, dan bila anda selalu mendukung dan mendorong lingkungan kerja yang sehat serta kompetitif maka anda akan menerima lingkungan yang produktif. Mendorong karyawan buat berpartisipasi pada kompetisi atau tantangan merupakan hal yang sehat serta bahkan akan menaikkan persahabatan.
Buatlah target yg sesuai serta dapat dicapai
Banyak karyawan selalu mengeluhkan sasaran yang terlampau sulit atau tinggi yg ditetapkan sang perusahaan. Membuat sebuah target merupakan hal yang penting, tetapi memastikan bahwa sasaran yg dibuat tidak terlampau tinggi akan membantu Anda menentukan tercapai atau tidaknya sasaran pada evaluasi akhir tahun.
Jadilah leader atau pemimpin yang layak buat diikuti
Setiap figur pemimpin niscaya akan dicontoh oleh anak buahnya. Jadi jangan pernah mengharapkan kinerja karyawan akan maksimal jika anda tidak berkinerja tinggi. Jika karyawan tidak menilai anda menjadi pemimpin yang layak, bagaimana anda sanggup mengharapkan mereka jua melakukan hal yg sama. Saya nir dapat mengharapkan karyawan aku buat melakukan suatu hal bila saya tidak melakukannya juga. Saya selalu bertanya pada diri saya apakah ekspektasi aku untuk karyawan saya sebanding menggunakan ekpektasi yang akan aku tetapkan buat diri saya sendiri. Jadi berikan mereka model dan teladan yang baik.
Membuat interaksi yg lebih personal
Ini memang merupakan hal yg relatif tricky, karena terdapat suatu batasan yang nir boleh kita lewati antara bos dengan karyawannya. Namun, memberitahuakn kepedulian serta ketertarikan pada kehidupan masing-masing karyawan akan cukup bermanfaat.
Membuat lingkungan kerja yang positif
Tidak ada loka buat pikiran negatif buat mencapai kesuksesan. Sebuah lingkungan kerja yg positif merupakan cerminan menurut pemimpin yg positif.
Mengembangkan kreativitas
Lingkungan yang kreatif merupakan lingkungan yg mudah berkembang. Doronglah kreativitas, buatlah “thinking out of the box” menjadi kewajiban, serta lihatlah bisnis Anda berkembang
Buatlah ekspektasi yang jelas
Tentukan ekspektasi atau harapan yang kentara, sebagai akibatnya Anda bisa menetapkan output yg khusus.
Buatlah karyawan merasa memiliki perusahaan
Kesuksesan suatu bisnis berada dalam ‘ownership’. Ketika karyawan merasa mereka mempunyai investasi pada perusahaan, produktivitas akan semakin tinggi.
Jadilah lebih fleksibel
Segala sesuatu tidak berakhir sesuai yang direncanakan, namun bila karyawan melihat Anda cukup terbuka dan berlapang dada buat mengikuti alur, ketegangan akan menurun serta produktivitas akan tetap konstan.
Berikan keseimbangan pada waktu kerja
Sebuah lingkungan kerja yang hayati memang baik, tetapi menjaga keseimbangan antara ketika kerja dan refreshing jua penting buat mempertahankan taraf produktivitas serta pula kesehatan jiwa para karyawan.
Berikan mereka alasan untuk tiba bekerja setiap hari
Datang bekerja setiap hari serta kesiapan buat melampaui ekspektasi, membutuhkan semangat juang yg tinggi buat mencapainya.

CARA MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA SISWA PELAJAR

Sebelum kita mengetahui bagaimana cara mempertinggi keterampilan membaca berdasarkan para anak didik atau pelajar ini terlebih dahulu kita ketahui pengertian serta pemahaman dari membaca.
Membaca dari Tarigan (1987: 7-8) adalah suatu proses untuk memahami yg tersirat serta tersurat, melihat pikiran yg terkandung pada dalam kata-istilah yang tertulis. Selanjutnya menurut Tampubolon (1990: 41), membaca merupakan suatu kegiatan fisik serta mental.  Dikatakan kegiatan fisik  lantaran melibatkan kerja mata, dan dikatakan aktivitas mental karena menuntut kerja pikiran buat tahu yg tertulis.  Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa membaca adalah suatu proses yg dilakukan serta dipergunakan sang pembaca buat memperoleh pesan yang hendak disampaikan sang penulis melalui media istilah-istilah atau bahasa tulis.
Membaca merupakan proses pengolahan bacaan secara kritis, kreatif yg dilakukan menggunakan tujuan memperoleh pemahaman yg bersifat menyeluruh tentang bacaan itu dan evaluasi terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan imbas bacaan itu (Oka, 1983: 17). Selanjutnya Burns dkk (1984: dua) beropini bahwa membaca dapat dipandang sebagai suatu proses serta hasil. Membaca menjadi suatu proses adalah semua kegiatan serta teknik yg ditempuh oleh pembaca yang menunjuk pada tujuan melalui termin-tahap tertentu. Hal tadi berarti bahwa keterampilan membaca mengandung unsur-unsur: (1) suatu proses aktivitas yg aktif-kreatif, (2) objek dan atau target aktivitas membaca yaitu lambang-lambang tertulis sebagai penuangan gagasan atau ide orang lain, dan (3) adanya pemahaman yang bersifat menyeluruh. Dalam pengertian tersebut, pembaca dicermati sebagai suatu aktivitas yg aktif karena pembaca nir hanya menerima yang dibacanya saja, melainkan berproses buat tahu, merespon, mengevaluasi, serta menghubung-hubungkan banyak sekali pengetahuan serta pengalaman yg ada pada dirinya. Adapun membaca sebagai produk mengacu pada konsekuensi dari kegiatan yang dilakukan dalam saat membaca. Jadi dapat dikatakan bahwa keterampilan membaca adalah keterampilan yang dimiliki seseorang buat memahami isi perihal tulis. Sejalan dengan hal tersebut, Harris serta Sipay (1985: 12) mengungkapkan:
“Reading is the meaningful interpretation of printed or written ekspresi symbols.  Reading (comprehension) is a result of the interaction between the perception of graphic symbols that represent language and the reader’s language skills,cognitive skills, and knowledge of the world.  In this process the reader tries to re-create the meanings intended by the writer.
Celce-Murcia (2001: 154) menyatakan:
   
In reading, “an individual constructs meaning through a transaction with written text that has been created by symbols that represent language.  The transaction involves the reader’s acting on or interpreting the text, and the interpretation is influenced by the reader’s past experiences, language background, and cultural framework, as well as the reader’s purpose for reading”.
Menurut Tarigan (1987: 11-12), ada 2 aspek keterampilan membaca yaitu keterampilan yg bersifat mekanis serta bersifat pemahaman.  Pertama, keterampilan yang bersifat mekanis  tadi meliputi: sosialisasi bentuk huruf, sosialisasi unsur-unsur linguistik serta pengenalan interaksi pola ejaan dan suara. Kedua, keterampilan yg bersifat pemahaman meliputi: tahu pengertian sederhana, tahu makna, penilaian, serta kecepatan membaca yg fleksibel.  Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan setiap pembaca adalah memahami bacaan yg dibacanya.  Dengan demikian, pemahaman merupakan faktor yang amat penting dalam membaca.
Menurut Nuttal (1988: 31) keterampilan membaca pemahaman menjadi suatu proses interaksi antara pembaca menggunakan teks dalam suatu peristiwa membaca.  Dalam proses ini dituntut kemampuan mengolah kabar untuk membuat pemahaman.  Saat proses komunikasi tadi terjadi, pembaca melakukan penyusunan balik pesan yang terdapat dalam teks.  Pada termin ini pembaca melakukan interaksi antara makna yang masih ada dalam teks menggunakan makna yg telah dimiliki sebelumnya.  Jadi membaca pemahaman adalah proses menganalisis pesan penulis yg melibatkan proses mental dan dipengaruhi sang banyak sekali faktor. 


Zuchdi (1995: 34) menyatakan bahwa pemahaman merupakan seperangkat keterampilan pemerolehan pengetahuan yg digeneralisasi, yg memungkinkan orang memperoleh dan mewujudkan fakta yang diperoleh menjadi hasil membaca bahan tertulis.  Hal tersebut berarti bahwa pada proses pemahaman terjadi asimilasi dan akomodasi antara keterangan, konsep, serta generalisasi yang baru menggunakan seluruh pengetahuan yang telah dimiliki pembaca. Pembaca menginterpretasikan apa yang dibacanya berdasarkan pengetahuan yang sudah dimilikinya.  Secara tidak pribadi pembaca berdialog dengan penulis lewat bacaan. 
Makna yang masih ada pada bahan  nir selamanya masih ada dalam bacaan itu sendiri namun bisa pula berada di luar bacaan itu sendiri (makna tersirat).  Oleh karenanya pembaca yg baik wajib jeli dan melibatkan secara aktif dalam bacaan tersebut.  Hal tadi akan memudahkan pembaca dalam memperoleh pemahaman.
Berkenaan dengan keterampilan membaca pemahaman tersebut Wiryodijoyo (1989: 29) menyatakan bahwa pengajar wajib dapat mengajarkan enam macam keterampilan, yaitu menemukan lebih jelasnya, menunjukkan pikiran pokok, mencapai kata akhir, menarik kesimpulan, membuat penilaian, serta mengikuti petunjuk-petunjuk.
Dalam menyusun pertanyaan untuk mengukur keterampilan membaca pemahaman  teks bahasa Indonesia, terdapat beberapa taksonomi yang bisa digunakan sebagai acuan.  Taksonomi tujuan pendidikan yg dibuat sang Bloom, terutama buat ranah kognitif sangat banyak dipakai dalam menyusun tes.
Berdasarkan taksonomi tersebut ada enam (6) jenis pertanyaan buat mengungkap hasil belajar dalam ranah kognitif, yaitu menjadi berikut.
a.kemampuan pada aspek pengetahuan/ingatan
Kemampuan pada aspek pengetahuan/ingatan hanya dimaksud buat mengukur kemampuan ingatan tentang sesuatu hal atau warta faktual.  Kemampuan soal pada taraf ini berarti hanya mengukur taraf yg sifatnya hanya warta faktual saja.
b.kemampuan pada aspek pemahaman
Soal yang mengukur aspek tingkat pemahaman adalah soal yang dimaksudkan buat mengukur kemampuan pemahaman murid tentang adanya interaksi yg sederhana pada antara berita-berita atau konsep
c.kemampuan pada aspek aplikasi
Soal yg mengukur aspek aplikasi merupakan soal yang dimaksud buat mengukur kemampuan anak didik memilih serta mempergunakan sesuatu abstraksi eksklusif dalam situasi yg baru.
d.kemampuan pada aspek analisis
Soal yg mengukur aspek analisis merupakan soal yang dimaksud buat mengukur kemampuan siswa menganalisis sesuatu hal, hubungan, atau situasi tertentu dengan mempergunakan konsep-konsep dasar tertentu.
e.kemampuan pada aspek sintesis
Soal yang mengukur aspek sintesis adalah soal yg dimaksud buat mengukur kemampuan murid buat menghubungkan antara beberapa hal, menyusun balik hal-hal eksklusif sebagai struktur baru, atau melakukan generalisasi.
f.kemampuan pada aspek evaluasi
Soal yg mengukur pada aspek penilaian merupakan soal yang menuntut murid buat dapat melakukan penilaian terhadap sesuatu hal, perkara, atau situasi yg dihadapinya menggunakan mendasarkan diri dalam konsep atau acuan tertentu.
Menurut pendapat Heilman, Blair, dan Rupley (1986: 193), sistem klasifikasi taksonomi  Barret  dibagi sebagai 5 (lima) buah.  In Barret’s classification system, the following five levels of comprehension are identified: literal comprehension, reorganization, inferential comprehension, evaluation, and appreciation. 
Sejalan menggunakan pendapat tadi, berdasarkan Brown dan Attardo (2000: 169), pemahaman bacaan diklasifikasikan sebagai empat (4) buah, antara lain:
a.pengertian literal:  jawaban-jawaban atas pertanyaan terdapat di pada teks bacaan/tersurat.  Siswa hanya mengadopsi atau mengambil berdasarkan bacaan tersebut.
b.penggabungan kembali:  pertanyaan-pertanyaan ini masih mengenai hal-hal yg tersurat, namun digabungkan dengan warta tersurat dari 2 atau lebih bagian bacaan.
c.kesimpulan:  jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yg implisit.
d.tanggapan pribadi:  Pertanyaan seperti  “Apakah Anda menikmati cerita itu?” dan  “Apa pendapatmu tentang perilaku dari karakter X?”
Sedangkan menurut Harris & Sipay (1985: 87), pemahaman bacaan diklasifikasi menjadi lima (lima) buah berikut.
a.kosakata. Siswa itu wajib :
1)memiliki suatu kosakata bacaan yang seksama serta ekstensif.
2)memakai konteks secara efektif buat (a) menentukan makna serta suatu istilah yg tidak familiar (biasa didengar) dan (b) memilih makna yang tepat menurut suatu kata.
3)menginterpertasikan bahasa figuratif dan nonliteral.
b.pemahaman literal.  Siswa itu harus:
1)memahami makna dan keterkaitan berdasarkan aneka macam unit yang lebih luas secara meningkat, seperti frase, kalimat, paragraf, dan holistik seleksi.
2)mengerti serta mengingat kembali ilham-ilham utama yang terdapat.
3)mencatat serta mengingat kembali hal-hal detil yang ada/tersurat.
4)mengenali dan mengingat pulang serangkaian insiden yang terdapat sinkron dengan urutan yg sahih.
5)mencatat serta mengungkapkan hubungan sebab-dampak yang tersurat.
6)menemukan aneka macam jawaban pada pertanyaan yang spesifik.
7)mengikuti perintah-perintah yang tersurat secara akurat.
8)membaca sepintas buat mendapatkan kesan yg menyeluruh.
c.pemahaman inferensial.  Siswa itu wajib :
1)mengerti dan mengulang pulang ilham-wangsit primer yang implisit.
2)Mencatat dan mengulang hal-hal detil krusial yang tersirat.
3)Mengenali dan mengulang suatu rangkaian insiden-peristiwa yang implisit sinkron menggunakan urutan yg sahih.
4)Mencatat serta menjelaskan hubungan sebab-dampak yang tersirat.
5)Mengantisipasi serta memprediksi hasil-hasil.
6)Memahami planning serta maksud berdasarkan pengarang.
7)Mengidentifikasi teknik-teknik mengarang yg dipakai buat membentuk impak-impak yg diinginkan.
d.membaca kritis.  Siswa itu hendaknya mengevaluasi apa yang dibaca secara kritis.
e.membaca kreatif. Siswa itu hendaknya sanggup memprediksi berdasarkan apa yg telah dibaca untuk menerima berbagai inspirasi dan kesimpulan baru.
Faktor-faktor yg Mempengaruhi Keterampilan Membaca Pemahaman
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, bahwa membaca pemahaman adalah aktivitas yg melibatkan berbagai keterampilan, peningkatan keterampilan membaca pemahaman bukanlah suatu hal yang gampang.  Proses pemahaman pada keterampilan membaca merupakan proses yg memiliki aneka macam segi serta dipengaruhi oleh aneka macam faktor yg bervariasi.  Faktor-faktor tersebut diantaranya: intelegensi, minat baca, motivasi, dampak lingkungan,  pengetahuan atau pengalaman pembaca, juga kompetensi linguistik yang meliputi penguasan struktur tata bentuk,  struktur kalimat, serta pemilihan istilah. 
Jadi, keterampilan membaca pemahaman merupakan keterampilan yg sangat kompleks dan banyak dipengaruhi sang banyak sekali faktor. Jika keterampilan tadi tidak dikuasai, sudah dapat dipastikan bahwa pembaca tidak akan memperoleh taraf pemahaman yg tinggi.
Menurut Pearson (1978: 9), kemampuan membaca seorang ditentukan oleh faktor dalam diri serta luar diri seorang.  Faktor dari dalam diri mencakup: kompetensi linguistik, minat, motivasi, serta kemampuan membaca.  Sedangkan faktor menurut luar diri siswa yaitu:  unsur berdasarkan bacaan itu sendiri yg berupa pesan yg tertulis serta faktor-faktor pada lingkungan membaca.
Pendapat tersebut di atas sejalan dengan pernyataan menurut Leu Jr serta Kinzer (1987: 9) yang menyampaikan bahwa reading is a developmental, interactive, and dunia process involving learned skills.  The process specifically incorporates an individual’s linguistic knowledge, and can be both positively and negatively influenced by non-linguistic internal and external variables or factors.
Menurut Slameto (1995: 54-72), faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan sebagai dua, yaitu faktor internal serta faktor eksternal.  Faktor internal dibagi menjadi 3 faktor, yaitu faktor jasmaniah, psikologis, serta kelelahan.  Adapun faktor eksternal dikelompokkan sebagai tiga faktor, yaitu faktor keluarga, sekolah, serta warga .
Suryabrata (1995: 249-254) membagi faktor-faktor yg diduga mensugesti penentu keberhasilan belajar  pada dua klasifikasi,  yaitu: faktor-faktor yg asal dari luar diri siswa serta faktor-faktor yang dari dari dalam diri anak didik.  Faktor-faktor menurut luar murid dibagi lagi sebagai dua faktor, yaitu faktor-faktor nonsosial dan  sosial.  Adapun faktor-faktor dari pada diri siswa dibagi lagi sebagai 2 golongan, yaitu faktor-faktor psikologis dan fisiologis.
 
Selanjutnya, menurut Schieffellein dan Simmons (1981) membagi faktor-faktor yg menghipnotis kemampuan output belajar pada 3 kategori, yaitu (1) asal belajar serta proses belajar pada sekolah, (dua) kemampuan serta kecakapan pengajar,  dan (3) kemampuan murid.  Madaus (1979: 208-230),  beserta tim penelitiannya membagi sebagai 5 kategori, yaitu (1) individual anak didik, (2) lingkup sekolah, (3) latar belakang siswa, (4) komposit ubahan kelas serta individu siswa, serta (lima) skor tes intelegensi.  Sudarsono (1985: 11),  menunjukkan betapa banyaknya variabel yg diduga mempengaruhi hasil belajar murid, terdiri atas (1) latar belakang famili, seperti bahasa yang digunakan anak didik di tempat tinggal , asa orang tua, fasilitas belajar di tempat tinggal , norma belajar pada rumah, banyak saudara kandung, pendidikan orang tua,  (dua) ciri perseorangan siswa, seperti jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, kemampuan dasar, intelegensi, sikap serta motivasi, (tiga) ciri guru, seperti pengalaman mengajar, pendidikan, penataran, serta perilaku,  (4) latar belakang sekolah, misalnya fasilitas fisik sekolah, besar sekolah, dan fasilitas alat pelajaran, termasuk kelengkapan buku-kitab pelajaran, (5) gerombolan sahabat sebaya.

Pendapat-pendapat tadi pada hakikatnya hampir sama dan saling mengisi sehingga faktor-faktor yg diduga menghipnotis kemampuan dalam keterampilan membaca pemahaman dapat dikelompokkan sebagai dua bagian, yaitu faktor linguistik dan  nonlinguistik. Faktor linguistik yg dimaksud dalam penelitian ini diantaranya:  pengetahuan fonologi, morfologi, sintaksis, serta semantik. Adapun faktor-faktor nonlinguistik berupa:  kecerdasan, minat, motivasi, cara mengikuti pelajaran, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah serta guru, lingkungan sosial, asal belajar dan proses belajar, fasilitas belajar, dan sebagainya.
Sumber : Disarikan menurut banyak sekali sumber
Sumber Gambar : //www.kemdiknas.go.id/
Referensi :
Allen, M. J. Serta Yen, W. M. (1979).  Intriduction to measurement theory.  California: Brooks/Cole Publishing Company.
Bloom, B. S., Engelhart, M. D., and Fusrt, E. J. (1956).  Taxonomy of educational objectives: Handbook I, Cognitive domain. London: Longman Group LTD.
Brown, H. D. (2000).  Principles of language learning and teaching. Fourth Edition New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Brown, S. And Attardo, S. (2000). Understanding language structure, interaction, and variation. An introduction to applied linguistics and sociolinguistics for nonspecialists. USA: The University of Michigan Press.
Burns, P. C., Roe, B. D., and Ross, E. P. (1984). Teaching reading in today’s elementary school.  Boston: Houghton Mifllin Company.
Cohen, J. (1977).  Statistical power analysis for the behavioural sciences (Rev. Ed.). New York: Academic Press.
Falk, S. Y. (1973). Linguistics and language. A kuesioner of basic concepts and applications.  USA: Xerox Co.
Leu, Jr., D. J. And Kinzer, C. K. (1987).  Effective reading instruction in the elementary grades.  Columbus:  Merrill Publishing Company and A Bell & Howell Company.
Tampubolon, D. P. (1990). Kemampuan membaca: teknik membaca efektif dan efisien.  Bandung:  Angkasa.
Tarigan, H. G.  (1987). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
-----------. (1990). Kemampuan membaca: teknik membaca efektif dan efisien.  Bandung: Angkasa.
Wiryodijoyo, S. (1989). Strategi menaikkan kemampuan membaca (diktat). Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.
Yuwanti. (1998). Faktor-faktor penyebab rendahnya kemampuan membaca pemahaman anak didik kelas IV Sekolah Dasar: studi masalah di Sekolah Dasar Negeri Pabean (skripsi). Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.
Zuchdi, D. (1993). Keterampilan membaca serta faktor-faktor penghambatnya: studi masalah terhadap mahasiswa berprestasi rendah. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
------------. (1995). Strategi menaikkan kemampuan membaca: peningkatan kemampuan pemahaman bacaan.  Yogyakarta: FPBS IKIP Yogyakarta.

KIAT MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA

Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja 
Dalam upaya memenangkan persaingan di pasar bebas setiap perusahaan dituntut untuk mampu membentuk barang/jasa yang berdaya saing tinggi, yaitu barang/jasa yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Untuk menghasilakan barang/jasa yg berdaya saing tinggi ditentukan oleh taraf efisiensi yg tinggi. Tingkat efisien yg tinggi ditentukan sang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu SDM yg professional yang bisa membangun nilai tambah baru dan mampu menjawab tantangan baru. Untuk dapat memiliki SDM yg professional organisasi bisa melakukan pendidikan dan training serta bimbingan bagi SDM-nya. Hanya saja buat membuat prestasi kerja yang tinggi seorang karyawan tidak saja perlu mempunyai keterampilan, tetapi ia juga mempunyai impian serta semangat buat berprestasi tinggi. 

Dalam rangka buat meningkatkan prestasi kerja karyawan, tulisan ini akan membahas mengenai sebuah sistem dalam bidang manajemen SDM yang diyakini akan bisa mendorong tenaga kerja buat menaikkan prestasi kerjanya, yaitu yang disebut menggunakan Sistem Manajemen Kinerja, khususnya Sistem Manajemen Kinerja yg memfokuskan perhatiannya pada hasil.

ARTI DAN TUJUAN MANAJEMEN KINERJA 
Istilah Manajemen Kinerja adalah terjemahan menurut Performance Management. Menurut Ruky (2004), dipandang menurut suara kalimatnya, Manajemen Kinerja berkaitan dengan usaha, aktivitas atau acara yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi untuk merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi kerja karyawan. Lantaran program ini mencantumkan istilah manajemen, maka seluruh kegiatan yang dilakukan pada “proses manajemen” harus terjadi dimulai dengan menetapkan tujuan dan target yg ingin dicapai, lalu tahap pembuatan rencana, pengorganisasian, penggerakan/pengarahan serta akhirnya penilaian atas hasilnya.

Bacal (2001) mendefinisikan Manajemen Kinerja menjadi proses komunikasi berkesinambungan yg dilaksanakan dari kemitraan antara karyawan serta atasan langsungnya. Terciptanya komunikasi 2 arah ini sebagai cara buat berhubungan meningkatkan kinerja serta sekaligus mencegah munculnya kinerja buruk.

Baik Ruky juga Bacal beropini, bahwa bagian yang paling penting pada Manajemen Kinerja adalah perencanaan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan pada Manajemen Kinerja ini adalah tetapkan tujuan atau target. Atasan dan masing-masing bawahan harus mengidentifikasi tujuan atau target yg hendak mereka capai, yaitu kinerja pada bentuk apa serta yg seperti bagaimana yg ingin dicapai. Dan lantaran yg menjadi objek merupakan kinerja insan, maka bentuk yang paling generik tentunya merupakan kinerja pada bentuk “produktivitas” SDM.

Ruang Lingkup Program Manajemen Kinerja
Program manajemen Kinerja ini ruang kingkupnya relatif akbar. Ia bersifat menyeluruh atau menggarap seluruh bagian/fungsi berdasarkan sebuah organisasi. Program ini menjamah seluruh elemen, unsur atau input yang harus didayagunakan oleh organisasi buat meningkatkan kinerja organisasi tersebut, bukan hanya manusia. Elemen-elemen tadi adalah teknologi (peralatan, metode kerja) yang digunakan, kualitas berdasarkan input (termasuk material), kualitas lingkungan fisik (keselamatan, kesehatan kerja, lay-out temapt kerja serta kebersihan), iklim serta budaya organisasi serta kompensasi dan imbalan. Kegiatan dengan ruang lingkup misalnya tadi diatas merupakan sebuah proyek akbar serta melibatkan hampir semua orang, serta wajib ditangani eksklusif oleh pemimpin puncak organisasi. Beberapa tim “adhoc” baik yang terdiri dari “orang pada” serta/atau konsultan diberi tugas khusus buat membantu pemimpin melakukan penelitia-penelitian membuat rancangan sampai menangani proyek-proyek khusus.

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan, bahwa acara manajemen kinerja pada dasarnya merupakan sebuah proses pada MSDM. Selain itu penggunaan kata “manajemen” mempunyai implikasi, bahwa aktivitas tadi harus dilaksanakan sebagai proses manajemen umum, yang dimulai dengan penetapan sasaran dan pada akhiri menggunakan evaluasi. Proses tadi pada garis besarnya terdiri menurut lima kegiatan primer yaitu:
  • Merumuskan tanggung jawab serta tugas yg harus dicapai sang karyawan dan rumusan tadi disepakati beserta.
  • Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk output yg wajib dicapai oleh karyawan untuk kurun ketika eksklusif. Termasuk pada termin ini merupakan penetapan baku prestasi serta tolak ukurnya.
  • Melakukan “monitoring”, melakukan koreksi, menaruh kesempatan dan donasi yang dibutuhkan bawahan.
  • Menilai prestasi karyawan tersebut menggunakan cara membandingkan prestasi yg dicapai dengan baku atau tolak ukur yg sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam tahap penilaian ini harus tercakup juga kegiatan mengidentifikasi bidang-bidang yang ada serta dirasakan masih ada kelemahan pada orang yang dinilai.
  • Memberikan umpan balik pada karyawan yang dinilai menggunakan semua hasil penilaian yg dilakukan. Disini juga dibicarakan cara-cara buat memperbaiki kelemahan yg telah diketahui dengan tujuan menaikkan prestasi kerja dalam priode berikutnya.
Manfaat Program Manajemen Kinerja
Ada beberapa manfaat yg dapat diperoleh organisasi dengan menerapkan Sistem Manajemen Kinerja yaitu:
  1. Dapat menaikkan prestasi kerja karyawan, baik secara individu maupun kelompok, lantaran disini atasan dan bawahan diberi kesempatan buat memenuhi ekspresi pada kerangka pencapaian tujuan perusahaan dengan menetapkan sendiri sasaran kerja dan baku prestasi yg wajib dicapai dalam kurun ketika eksklusif.
  2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi karyawan secara perorangan pada akhirnya akan mendorong kinerja sumber daya insan secara holistik yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas.
  3. merangsang minat dalam pengembangan langsung dengan tujuan menaikkan output karya serta prestasi pribadi serta potensi karyawan dengan cara menaruh umpan balik pada mereka tentang prestasi kerjanya.
  4. membantu perusahaan buat dapat menyusun program pengenbangan serta pelatihan karyawan yg lebih tepat guna. Dan nantinya dibutuhkan bisnis ini akan membantu perusahaan buat memiliki pasokan energi yg cakap dan terampil yg relatif buat pengembangan perusahaan pada masa depan.
  5. menyedikan indera/sarana buat mebandingkan prestasi kerja karyawan denagn tingkat imbalan/gajinya sebagai bagian menurut kebijakan serta system imbalan yg baik.
  6. memberikan kesempatan kepada karyawan buat mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaan atau hal-hal yg berkaitan dengannya. Dengan demikian jalur komunikasi dan obrolan akan terbuka sebagai akibatnya bisa diharapkan bahwa proses penilaian prestasi kerja akan mengeratkan hubungan antara atasan dan bawahan.
Dari manfaat yang diuraikan diatas, dapat dijelaskan bahwa program Manajemen Kinerja akan membantu organisasi/perusahaan untuk merencanakan dan melaksanakan program-acara lain menggunakan lebih tepat serta baik, misalnya misalnya buat:
  • penyusunan program pembinaan dan pengembangan karyawan. Dengan melaksanakan Manajemen Kinerja bisa diketahui serta diidentifikasi pelatihan tambahan apa saja yg harus diberikan pada karyawan buat membantu supaya mampu mencapai baku prestasi yang ditetapkan.
  • Penyusunan acara susksesi dan kaderisasi. Dengan melaksanakan manajenem kinerja juga dapat diidentifikasi siapa saja karyawan yang memiliki potensi buat dikembangkan kariernya serta dicalonkan unutk menduduki jabatan-jabatan yg starategis.
  • Pembinaan karywan. Pelaksanaan manajemen kinerja pula dapat sebagai sasaran buat meneliti kendala karyawan buat meningkatkan prestasi kerjanya. Jika ternyata hambatannya bukan kemampuan, tetapi kemauan (motivasi), maka program pelatihan bisa dilakukan secara langsung, misalnya dengan memberikan konseling sang atasannya atau seorang konselor yg ditunjuk perusahaan.
Sistem Manajemen Kinerja Karyawan Yang Berorientasi Pada Output
Sistem Manajemen Kinerja yang berorientasi dalam output tak jarang juga diklaim menjadi Sistem Manajemen Kinerja yang berbasiskan pencapaian Sasaran Kinerja Individu (SKI). System ini memfokuskan dalam output yg diperoleh atau yang dicapai oleh karyawan. Ruky (2004) menyebutnya sebagai Result Oriented Performance Management By Objective (MBO) atau pada Indonesia popular dengan kata MBS (Manajemen Berdasarkan Sasaran).

Bagaimana menggunakan MBS menjadi dasar Manajemen Kinerja? Untuk menjawab pertanyaan diatas marilah kita melihat gambar berikut ini:

Dari gambar diatas bisa dipandang, bahwa acara Manajemen Kinerja ini benar-sahih memerlukan komunikasi 2 arah serta keterbukaan antara atasan dan bawahan. Mereka secara bersama-sama wajib meneliti pulang ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan weweng bawahan. Kemudian atasan membicarakan sasaran-target perusahaan dan sasaran yang sebagai tanggung jawabnya pada bawahan. Selanjutnya bawahan juga harus tetapkan sasaran kerja sendiri yg akan mendukung sasaran perusahaan dan target atasan dilengkapi menggunakan standar prestasi serta tolak ukur keberhasilan pada nomor (satuan), saat penyelesaian dan spesifikasi lainya. Jika target telah disetujui sang atasan, kemudian dibuat action plan (rencana tindakan) yg mencantumkan secara rinci langkah-langkah apa yg akan diambil, siapa yang akan melakukan, kapan dimulai, kapan terselesaikan serta berapa biayanya. Agar target yg telah ditetapkan tercapai, pemantauan terhadap setiap output aktivitas sebaiknya dilakukan secara periodik atau bisa jua per proyek. Tujuan pemantauan ini supaya apabila karyawan mengalami kesulitan/ kendala bisa segera dibantu. Selain itu atasan serta bawahan secara formal akan bertemu buat melakukan pembicaraan (konseling) Baru dalam akhir kurun waktu,dilaksanakan penilaian prestasi kerja tahunan secara formal. Semua hasil yg dicapai dicatat, kendala-kendala serta kegagalan diidentifikasi dan dicari sebabnya. Pada beberapa organisasi, bawahan diminta buat menciptakan analisa sendiri atas hasil yg dicapainya. Langkah selajutnya, atasan serta bawahan membahas hasil kerja dan sekaligus mencari cara buat mengatasi kendala dalam masa berikutnya. Pada saat yg sama, bawahan umumnya telah menyiapkan sasaran kerja ynag ingin dicapai pada periode berikutnya. Kemudian atasan mengungkapkan hasil penilaiannya menggunakan atasan yg lebih tinggi, lengkap dengan usulan atau planning yg akan dilakukan terhadap bawahannya. 

Kendala dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Dalam menerapkan manajemen kinerja terdapat beberapa hambatan yg perlu kita ketahui, yaitu:
  1. Perlu perubahan fundamental dalam budaya organisasi. Manajemn kinerja berbasis MBS hanya bisa sukses bilamana diteriama menjadi “budaya’ organisasi dalam arti yg luas-luasnya. Manajemen kinerja wajib telah dianggap menjadi suatu kebutuhan dan cara kerja yang dianggap sangat membantu mereka buat sukses. Semua anggota organisasi wajib punya perasaan memiliki system kerja tersebut. Untuk itu dibutuhkan komitmen penuh berdasarkan seluruh jajaran manajemen serta divisi sumberdaya insan yang harus terus menerus memantau penerapannya.
  2. Penolakan diam-membisu berdasarkan manajer serta karyawan. Masalah ini masih terkait erat dengan aspek budaya, baik budaya nasional maupun organisasi. Menurut output penelitian dan pengamatan pakar serta praktisi menejemen, galat astu aspek budaya Indonesia yg merusak kemajuan bangsa ini dan pengembangan karir individu yang bergerak pada organisasi adalah masih rendahnya penghargaan terhadap prestasi individu. Dalam organisasi besar termasuk perusahaan (misalnya BUMN) telah menjadi suatu kesepakatan (nilai) yang nir tertulis, bahwa’interaksi (dengan atasan) yg baik merupakan lebih krusial daripada prestasi kerja”. Oleh karena itu, setiap usaha mengukur prestasi secara obyektif dan terbuka selalu menyebabkan kegelisahan dan bisnis penghindaran. Masih terkait dengan hal itu, merupakan bahwa keharusan buat melakukan pembicaraan terbuka antara atasan bawahan mengenai kinerja bawahan juga menyebabkan situasi yang sama. Sistem nilai feodalistik yg masih kental menjurus pada gaya kepemimpinan “benevolen autokratik” dimana atasan wajib dipercaya ”bapak” dan bawaha wajib selalu tergantung pada atasan. Kondisi tadi dapat mengubah wacana konseling menjadi obrolan satu arah dimana atasan membei “pengarahan” /wejangan kepada bawahan yg hanya mengangguk angguk serta mengucapkan terima kasih (lantaran yg krusial gaji naik serta dapat bonus).
  3. Fokus Manajemen kinerja yg berjangka pendek. Apabila MBS hanya diterapkan menjadi dasar bagi manajemen kinerja sering nir dikaitkan menggunakan tujuan jangka panjang serta target jangka pendek bagi perusahaan secara keseluruhan, yang menjadi impian dan tanggung jawab” pemimpin puncak ”. Dalam kenyataannya, ini adalah keliru satu kelemahan terbesar menurut pengguanaan MBS menjadi dasar buat manajemen kinerja. Pimpinan puncak mempunyai tujuan, sasaran, rencana kerja dan rencana sendiri, namun pada jajaran dibawahnya masing-masing memutuskan target kerja sendiri yg mungkin nir sejalan menggunakan tujuan dan target yang ditetapkan oleh pimpinan zenit. Akibatnya dapat terjadi bahwa mayoritas karyawan mencapai sasaran masing-masing, namun perusahaannya mengalami kerugian paling atau paling sedikit nir mencapai target yang diinginkan. Oleh karena itu, walaupun perusahan mungkin tidak ingin terlihat menerapkan MBS secara keseluruhan serta hanya ingin menerapkan manajemen kinerja yang berbasis sasaran kerja individu (SKI) seharusnya target-target yg dibentuk sang setiap jajaran organisasi sejalan menggunakan sasaran perusahaan. Mekanisme dan sistemnya harus dipikirkan sang pimpinan puncak serta divisi sumber daya insan.
  4. Keberhasilan beberapa pekerjaan/jabatan hanya dapat diukur sehabis dua hingga lima tahun. Penetapan target kerja/sasaran jangka pendek seperti ditunjuk sang Manjemen Kinerja dari MBS belum tentu tepat untuk jabatan-jabatan tertentu. Untuk beberapa jabatan mungkin tidak tepat menetapkan target jangka pendek,. Karena orientasinya adalah dalam hasil jangka panjang. Contohnya merupakan dalam bidang Research and Development yang melakukan penelitian serta pengembangan pruduk yang outputnya tidak bisa pada menetapkan jangka waktu. Ada Produk yg mungkin baru dapat selesai pengembangannya setelah 18 bulan atau 2 tahun. 
  5. Tidak semua sasaran kerja bisa dirumuskan secara kuantitatif. Untuk beberapa bidang eksklusif terdapat kesulitan tetapkan target kerja yg mempunyai baku-setandar prestasi dalam ukuran kuantitatif atau angka. Misalnya buat bidang keuangan, akutansi, aturan dan SDM. Biasanya untuk itu terpaksa dicari-cari tolak ukur prestasi yg bisa digunakan, misalnya tanggal penyesesaian proyek/tugas. Selain itu, untuk pekerjaan tertentu misalnya oprator pada indrusti proses dan jabatan administratif dalam tingkat terendah mungkin sulit mambuat target-target kerja perorangan yg bisa ditetapkan secara kualitatif.
  6. Dapat terjadi “kongkalikong ” antara atasan serta bawahan pada memutuskan target. Pernah dan sering diketahui bahwa untuk menolong bawahannya sendiri supaya tidak menerima nilai tidak baik, atasan membiarkanya tetapkan target-target yang ringan atau tidak berbobot. Hal ini tak jarang terjadi terutama bila penetapan target terlalu dilepaskan kepada setiap jajaran tanpa terdapat koordinasi dari pimpinan yang lebih tinggi.
  7. Diperlukan latihan serta bimbingan yg sangat intensif bagi seluruh yg akan terlibat dari mulai cara menetapan target kerja dan menciptakan perencanaan kerja hingga menggunakan cara konseling. Banyak model serta kejadian bahwa perusahaan membangun manajemen kinerja berbasis target kerja individu (SKI) lengkap menggunakan pedoman tertulis dan formulir penilainnya, tetapi kemudian sesudah beberapa tahun ternyata hasilnya tidak seperti yg dibutuhkan, dan istilah-kata mencemooh acara ini sudah mulai terdengar berdasarkan para manajer lini. Semua perkara tadi sebenarnya bisa dihindari bila penerapannya dimulai menggunakan training-pelatihan yang intensif yg disusul dengan acara sosialisasi dan bimbingan. 
Beberapa variasi pada penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Mengingat banyaknya kendala dan kemungkinan penyalahgunaan pada penerapannya, dalam praktek penerapan sistem MBS ini bisa ditemukan secara bhineka. Perbedaan tersebut berkisar mulai menurut formalisasi atau stukturisasi caranya pada suatu organisasi tertentu sampai tingkat mana bawahan diijinkan buat memilih sasaran mereka sendiri. Beberapa jenis variasinya bisa disebutkan dibawah ini:
  • MBS diterapkan menggunakan cara sangat informal. Seperti kita ketahui, bahwa MBS seringkali diterapkan menjadi suatu sistem manajemen yg sangat formal menggunakan penjadwalan yg tepat dan formulir-formulir khusus yg digunakan buat menyajikan tujuan dan baku buat dievaluasi/dievaluasi. Tetapi lalu lebih banyak perusahaan yg meninggalkan cara yang sangat formal dan kaku tadi. Mungkin juga bahwa MBS masih permanen dilaksanakan secara formal sampai dalam tahapan memutuskan sasaran dan rencana kerja, namun rendezvous buat melakukan evaluasi secara regular apakah tiap kwartal, semester atau setiap akhir tahun seringkali kali dilaksanakan secara informal saja.
  • Ada kebebasan anak butir dalam tetapkan sasarannya sendiri. Dalam hal ini ada beberapa fackor yang mensugesti. Pertama, dalam perkara dimana jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi harus persis mengikuti apa yang digariskan (contohnya industri spesifik – reaktor nuklir), maka hampir semua karyawan hanya mengikuti apa yg digariskan oleh pimpinannya. Di pihak lain, dalam organisasi yang justru tergantung pada kreativitas orang-orangnya, kebebasan yang sangat besar diberikan pada seluruh orang buat memutuskan tujuan masing-masing selama seluruh mengarahan pada dan mendukung tercapainya tujuan organisasi yang primer (misalnya industri teknologi keterangan).
  • Hasil kerja siapa yang diukur. Hal ini berkaitan menggunakan kendala menurut penerapan sistem MBS pada Negara-negara seperti Indonesia, yaitu bahwa orang Indonesia masih cenderung kuat rasa kolektivismenya dan lebih senang memutuskan sasaran kerja buat gerombolan , bukan buat sendiri-sendiri. Untuk menerobos hambatan tadi, manajemen bisa mengambil “laba” dari budaya kolektif dengan meminta gerombolan buat memutuskan target kerja yang ingin mereka capai, contohnya pada hal efisiensi kerja dan produktifitas. Oleh karena itu cara ini biasanya digunakan buat sebagai dasar dalam pembagian insentif yg dikaitkan dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi.
  • Pemberian skorsing. Mengingat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan pada sstem MBS yang berbentuk penggunaan segala cara yang mungkin nir halal poly perusahaan beranggapan bahwa bila evaluasi semata mata berdasarkan pada output (result) bisa menimbulkan dua bahaya:
  1. Karyawan yg sangat ambisius dan memiliki cita-cita yang sangat bertenaga untuk menonjol dan maju sendiri akan dijangkiti obsesi yang berlebiahan terhadap pencapaian hasil, sehingga bila perlu mengorbankan sahabat atau anak buah.
  2. Focus/ perhatian/ minat karyawan sangat terikat dengan pencapaian output pada jangka pendek (maksimum 1 tahun) sebagai akibatnya mereka akan mengabaikan program-acara jangka panjang yg mungkin sangat krusial.
Berdasarkan pertimbangan tadi poly perusahaan masih tetap menekankan pentingnya memberi nilai dalam “cara” atau “proses” bagaimana output tersebut dicapai, yang sebenarnya merupakan “input” yang didayagunakan untuk memperoleh “output” yang ditargetkan. Sistem Manajemen Kinerja yg digunakan masih permanen menyisihkan score atau point buat factor-faktor tersebut, yg pada beberapa perusahaan dianggap “ kompensasi”, misalnya kerjasama pada team, interaksi antar pribadi serta sebagainya. Hasil akhir umumnya score dibagi sebagai dua bagian antara 65%-70% buat pencapaian sasaran (output) dan 30-35% buat faktor-faktor kualitatif yang disebutkan tadi. Faktor-faktor yg generik digunakan menjadi komponen kualitatif adalah:
  1. Technical Knowledge (pengetahuan mengenai aspek teknis berdasarkan pekerjaannya sendiri).
  2. Kompensasi Manajerial (Misal: objectives/target setting, planning, organizing, dll., bagi yg mempunyai jabatan manajerial saja).
  3. Keterampilan Komunikasi (prestasi, negoisasi dll.).
  4. Resourcefullness(kreativitas, inisiatif, dan penemuan).
  5. Kemampuan buat mrnyemangati bawahan buat berprestasi tinggi secara konsisten(bagi yg memimpin sejumlah orang).
  6. Kemampuan Hubungan Antar Pribadi (kemauan serta keterampilan).
  7. Kerjasama dalam team (kemauan serta keterampilannya)
  8. Ketaatan pada “Sistem nilai” (kode etik/ prinsip-prinsip berusaha yang diterapkan perusahaan. 
Setiap faktor tersebut wajib di buat tingkatan-tingkatannya, apakah antara 1 hingga 10 atau A(buat terbaik) sampai E (terburuk)serta lalu di buat definisi/penjelasn buat strata tersebut.

Langkah-Langkah Penerapan Manajemen Kinerja Berbasis MBS
Untuk menerapkan manajemen Kinerja yg berbasis dalam MBS terdapat beberapa langkah (tindakan) yg harus dilakukan misalnya terebut pada bawah ini:

1. Perencanaan serta perancangan 
Apabila dirasakan bahwa “budaya perusahaan” sudah mendukung dilaksanakannya program Manajemen Kinerja yg berdasarkan pada konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBS),serta sudah terdapat “permintaan “ yg konkret untuk menerapkannya termasuk menurut pimpinan zenit, maka yang pertama wajib dilakukan merupakan merancang program tersebut. Yang wajib dilakukan pada kegiatan ini adalah menciptakan konsep berbentuk proposal yang diajukan kepada pimpinan zenit. 

2. Seminar atau Kick off Meeting
Setelah mendapat dukungan berdasarkan manajemen puncak , maka dapat dilakukan seminar intern yg harus dihadiri oleh semua manajer madya. Tujuan seminar ini buat mengungkapkan apa itu Menejemen Kinerja, tujuannya dan bagaimana menerapkannya.

3. Pelatihan menggunakan sistem manajemen kinerja yg berdasarkan MBS.
Salah satu tantangan terbesar pada penerapan sistem ini merupakan bahwa karyawan dalam hampir semua strata memiliki kesulitan dalam memutuskan dan merumuskan tujuan juga sasaran kerja mereka. Mereka lebih terbiasa merumuskan “ aktivitas” yang mereka lakukan menurut pada pada bentuk hasil menurut aktivitas itu. Oleh karena itu, seluruh karyawan dari semua tingkatan yg prestasi kerjanya akan diukur menggunakan menggunakan metode ini harus mengikuti program training khusus dan intensif yang umumnya berbentuk workshop (lokakarya) yang akan membantu karyawan tahu tujuan atau alasan mengapa wajib “bekerja berdasarkan target” Menurut Ruky (2004), dari pengalaman pelatihan ini sangat penting sekali dan adalah tahap yang sangat crucial.

Dalam training tersebut dapat dirasakan betapa sulitnya merubah norma berpikir dan kerja yg tadinya berbasiskan “ kegiatan” menjadi berbasiskan “target dan output”. Oleh karena itu, adalah beralasan bila ahli mengungkapkan bahwa komitmen pimpinan puncak sangat diperlukan, disamping pembinaan itu sendiri wajib dilakukan menggunakan sahih serta tabah dan kemudian disusul menggunakan bimbingan sang para “fasilitator” dan instruktur yg handal.

4. Pelatihan teknik konseling.
Pelatihan pertama harus dikombinasikan dengan pelatihan spesifik tentang teknik komunikasi buat tujuan konseling dengan bawahan semenjak berdasarkan tahap pembicaraan tentang target-sasaran target yg harus diakui merupakan bahwa sedikit manajer atau supervisor yg telah mempunyai kemampuan tersebut secara alami, sehingga mereka wajib mendapatkan training. Termasuk dalam pelatihan ini merupakan merupakan teknik interaksi antara langsung yg konstruktif;mendengarkan menyemangati dan menangani bawahan yang berkeberatan serta mengajukan protes

5. Panduan tertulis.
Bersamaan menggunakan langkah pertama departemen SDM menyiapkan sebuah pedoman tertulis untuk menjadi pegangan bagi seluruh atasan yg menilai disertai formulir-formulir evaluasi yang diharapkan. Panduan tertulis serta formulir yang akan digunakan wajib tersedia dalam ketika training dilaksanakan.

6. Sosialisasi sistem manajemen kinerja 
Setelah semua persiapan selesai, harus dilakukan sebuah program sosialisasi mengenai sistem manajemen kinerja kepada semua karyawan bawahan yang prestasinya harus dinilai. Sosialisasi ini mampu dilakukan melalui semacam seminar dua-3 jam melalui pertemuan singkat pada tiap unit kerja serta penerangan tertulis.

7. Periode percobaan (trial period)
Menyusul program sosialisasi wajib diberlakukan sebuah periode percobaan buat men-test semua persiapan dan mengevaluasi aplikasi, sebagai akibatnya pemugaran yang perlu dapat diambil. Karena itu, sebaiknya persiapan buat menerapkan sistem manajemen kinerja berbasis MBS/SKI sudah selesai 1 atau 2 bulan sebelum tahun masa kerja perusahaan/ organisasi dimulai.

KIAT MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA

Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja 
Dalam upaya memenangkan persaingan pada pasar bebas setiap perusahaan dituntut buat mampu membentuk barang/jasa yang berdaya saing tinggi, yaitu barang/jasa yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu. Untuk menghasilakan barang/jasa yg berdaya saing tinggi ditentukan sang tingkat efisiensi yg tinggi. Tingkat efisien yang tinggi ditentukan sang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu SDM yg professional yang dapat membentuk nilai tambah baru dan bisa menjawab tantangan baru. Untuk bisa mempunyai SDM yang professional organisasi bisa melakukan pendidikan serta pelatihan serta bimbingan bagi SDM-nya. Hanya saja buat membentuk prestasi kerja yang tinggi seorang karyawan tidak saja perlu memiliki keterampilan, tetapi beliau jua mempunyai asa dan semangat buat berprestasi tinggi. 

Dalam rangka buat menaikkan prestasi kerja karyawan, tulisan ini akan membahas mengenai sebuah sistem pada bidang manajemen SDM yg diyakini akan dapat mendorong energi kerja buat meningkatkan prestasi kerjanya, yaitu yg dianggap dengan Sistem Manajemen Kinerja, khususnya Sistem Manajemen Kinerja yg memfokuskan perhatiannya dalam output.

ARTI DAN TUJUAN MANAJEMEN KINERJA 
Istilah Manajemen Kinerja merupakan terjemahan berdasarkan Performance Management. Menurut Ruky (2004), dilihat dari suara kalimatnya, Manajemen Kinerja berkaitan dengan bisnis, kegiatan atau program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi buat merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi kerja karyawan. Karena program ini mencantumkan kata manajemen, maka seluruh aktivitas yg dilakukan pada “proses manajemen” wajib terjadi dimulai dengan menetapkan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai, kemudian tahap pembuatan planning, pengorganisasian, penggerakan/pengarahan dan akhirnya evaluasi atas hasilnya.

Bacal (2001) mendefinisikan Manajemen Kinerja menjadi proses komunikasi berkesinambungan yang dilaksanakan dari kemitraan antara karyawan serta atasan langsungnya. Terciptanya komunikasi dua arah ini sebagai cara untuk bekerjasama meningkatkan kinerja dan sekaligus mencegah munculnya kinerja jelek.

Baik Ruky maupun Bacal beropini, bahwa bagian yang paling krusial dalam Manajemen Kinerja adalah perencanaan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan dalam Manajemen Kinerja ini merupakan memutuskan tujuan atau sasaran. Atasan dan masing-masing bawahan harus mengidentifikasi tujuan atau target yg hendak mereka capai, yaitu kinerja dalam bentuk apa dan yg seperti bagaimana yg ingin dicapai. Dan karena yang menjadi objek merupakan kinerja manusia, maka bentuk yang paling generik tentunya merupakan kinerja pada bentuk “produktivitas” SDM.

Ruang Lingkup Program Manajemen Kinerja
Program manajemen Kinerja ini ruang kingkupnya relatif besar . Ia bersifat menyeluruh atau menggarap seluruh bagian/fungsi dari sebuah organisasi. Program ini menjamah seluruh elemen, unsur atau input yang harus didayagunakan oleh organisasi buat menaikkan kinerja organisasi tadi, bukan hanya manusia. Elemen-elemen tersebut adalah teknologi (alat-alat, metode kerja) yang dipakai, kualitas dari input (termasuk material), kualitas lingkungan fisik (keselamatan, kesehatan kerja, lay-out temapt kerja dan kebersihan), iklim dan budaya organisasi dan kompensasi serta imbalan. Kegiatan menggunakan ruang lingkup misalnya tersebut diatas merupakan sebuah proyek besar serta melibatkan hampir semua orang, serta harus ditangani eksklusif sang pemimpin zenit organisasi. Beberapa tim “adhoc” baik yang terdiri berdasarkan “orang dalam” serta/atau konsultan diberi tugas khusus buat membantu pemimpin melakukan penelitia-penelitian membuat rancangan hingga menangani proyek-proyek khusus.

Dari uraian diatas bisa kita simpulkan, bahwa program manajemen kinerja dalam dasarnya merupakan sebuah proses pada MSDM. Selain itu penggunaan istilah “manajemen” memiliki implikasi, bahwa kegiatan tadi wajib dilaksanakan menjadi proses manajemen umum, yang dimulai dengan penetapan sasaran serta pada akhiri dengan penilaian. Proses tersebut pada garis besarnya terdiri dari lima aktivitas utama yaitu:
  • Merumuskan tanggung jawab serta tugas yg harus dicapai oleh karyawan serta rumusan tadi disepakati bersama.
  • Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk output yg wajib dicapai oleh karyawan buat kurun ketika tertentu. Termasuk dalam tahap ini adalah penetapan baku prestasi dan tolak ukurnya.
  • Melakukan “monitoring”, melakukan koreksi, menaruh kesempatan serta donasi yg diperlukan bawahan.
  • Menilai prestasi karyawan tadi menggunakan cara membandingkan prestasi yg dicapai menggunakan standar atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam termin evaluasi ini wajib tercakup jua aktivitas mengidentifikasi bidang-bidang yg ada serta dirasakan masih ada kelemahan pada orang yg dinilai.
  • Memberikan umpan balik dalam karyawan yang dinilai menggunakan seluruh output penilaian yang dilakukan. Disini pula dibicarakan cara-cara buat memperbaiki kelemahan yang telah diketahui menggunakan tujuan menaikkan prestasi kerja pada priode berikutnya.
Manfaat Program Manajemen Kinerja
Ada beberapa manfaat yg dapat diperoleh organisasi dengan menerapkan Sistem Manajemen Kinerja yaitu:
  1. Dapat menaikkan prestasi kerja karyawan, baik secara individu juga kelompok, lantaran disini atasan dan bawahan diberi kesempatan buat memenuhi ekspresi dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan menggunakan menetapkan sendiri sasaran kerja dan baku prestasi yang wajib dicapai dalam kurun saat eksklusif.
  2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi karyawan secara perorangan dalam akhirnya akan mendorong kinerja asal daya manusia secara keseluruhan yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas.
  3. merangsang minat pada pengembangan eksklusif menggunakan tujuan menaikkan output karya serta prestasi langsung dan potensi karyawan dengan cara memberikan umpan balik pada mereka mengenai prestasi kerjanya.
  4. membantu perusahaan buat dapat menyusun program pengenbangan serta pelatihan karyawan yg lebih tepat guna. Dan nantinya dibutuhkan usaha ini akan membantu perusahaan buat mempunyai pasokan tenaga yang cakap serta terampil yg cukup buat pengembangan perusahaan di masa depan.
  5. menyedikan alat/sarana buat mebandingkan prestasi kerja karyawan denagn tingkat imbalan/gajinya sebagai bagian dari kebijakan dan system imbalan yang baik.
  6. memberikan kesempatan pada karyawan buat mengeluarkan perasaannya mengenai pekerjaan atau hal-hal yang berkaitan dengannya. Dengan demikian jalur komunikasi dan dialog akan terbuka sehingga dapat diharapkan bahwa proses evaluasi prestasi kerja akan mengeratkan interaksi antara atasan serta bawahan.
Dari manfaat yg diuraikan diatas, dapat dijelaskan bahwa acara Manajemen Kinerja akan membantu organisasi/perusahaan buat merencanakan serta melaksanakan acara-program lain menggunakan lebih tepat serta baik, seperti contohnya buat:
  • penyusunan program training serta pengembangan karyawan. Dengan melaksanakan Manajemen Kinerja bisa diketahui serta diidentifikasi training tambahan apa saja yang harus diberikan kepada karyawan buat membantu agar sanggup mencapai standar prestasi yang ditetapkan.
  • Penyusunan acara susksesi dan kaderisasi. Dengan melaksanakan manajenem kinerja pula dapat diidentifikasi siapa saja karyawan yang memiliki potensi buat dikembangkan kariernya dan dicalonkan unutk menduduki jabatan-jabatan yang starategis.
  • Pembinaan karywan. Pelaksanaan manajemen kinerja pula dapat menjadi target buat meneliti kendala karyawan buat menaikkan prestasi kerjanya. Jika ternyata hambatannya bukan kemampuan, namun kemauan (motivasi), maka program pembinaan dapat dilakukan secara pribadi, misalnya menggunakan memberikan konseling sang atasannya atau seorang konselor yg ditunjuk perusahaan.
Sistem Manajemen Kinerja Karyawan Yang Berorientasi Pada Output
Sistem Manajemen Kinerja yang berorientasi pada hasil tak jarang pula diklaim sebagai Sistem Manajemen Kinerja yg berbasiskan pencapaian Sasaran Kinerja Individu (SKI). System ini memfokuskan pada output yg diperoleh atau yang dicapai oleh karyawan. Ruky (2004) menyebutnya menjadi Result Oriented Performance Management By Objective (MBO) atau pada Indonesia popular dengan istilah MBS (Manajemen Berdasarkan Sasaran).

Bagaimana memakai MBS sebagai dasar Manajemen Kinerja? Untuk menjawab pertanyaan diatas marilah kita melihat gambar berikut ini:

Dari gambar diatas dapat dipandang, bahwa program Manajemen Kinerja ini benar-sahih memerlukan komunikasi 2 arah dan keterbukaan antara atasan dan bawahan. Mereka secara bersama-sama harus meneliti pulang ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan weweng bawahan. Kemudian atasan mengungkapkan target-target perusahaan dan target yg menjadi tanggung jawabnya kepada bawahan. Selanjutnya bawahan pula wajib tetapkan target kerja sendiri yang akan mendukung sasaran perusahaan dan sasaran atasan dilengkapi menggunakan standar prestasi dan tolak ukur keberhasilan pada angka (satuan), waktu penyelesaian dan spesifikasi lainya. Jika sasaran sudah disetujui sang atasan, lalu dibuat action plan (planning tindakan) yg mencantumkan secara rinci langkah-langkah apa yang akan diambil, siapa yang akan melakukan, kapan dimulai, kapan terselesaikan dan berapa biayanya. Agar sasaran yang sudah ditetapkan tercapai, pemantauan terhadap setiap hasil aktivitas sebaiknya dilakukan secara periodik atau mampu pula per proyek. Tujuan pemantauan ini agar jika karyawan mengalami kesulitan/ kendala bisa segera dibantu. Selain itu atasan dan bawahan secara formal akan bertemu buat melakukan pembicaraan (konseling) Baru dalam akhir kurun waktu,dilaksanakan evaluasi prestasi kerja tahunan secara formal. Semua output yang dicapai dicatat, kendala-kendala dan kegagalan diidentifikasi dan dicari sebabnya. Pada beberapa organisasi, bawahan diminta buat membuat analisa sendiri atas hasil yang dicapainya. Langkah selajutnya, atasan serta bawahan membahas output kerja dan sekaligus mencari cara untuk mengatasi hambatan dalam masa berikutnya. Pada saat yang sama, bawahan umumnya telah menyiapkan target kerja ynag ingin dicapai pada periode berikutnya. Kemudian atasan menyampaikan hasil penilaiannya menggunakan atasan yang lebih tinggi, lengkap dengan usulan atau planning yang akan dilakukan terhadap bawahannya. 

Kendala dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Dalam menerapkan manajemen kinerja terdapat beberapa kendala yang perlu kita ketahui, yaitu:
  1. Perlu perubahan mendasar dalam budaya organisasi. Manajemn kinerja berbasis MBS hanya bisa sukses bilamana diteriama menjadi “budaya’ organisasi dalam arti yang luas-luasnya. Manajemen kinerja harus telah dianggap sebagai suatu kebutuhan serta cara kerja yg dipercaya sangat membantu mereka buat sukses. Semua anggota organisasi wajib punya perasaan mempunyai system kerja tersebut. Untuk itu diharapkan komitmen penuh menurut semua jajaran manajemen dan divisi sumberdaya insan yang harus terus menerus memantau penerapannya.
  2. Penolakan diam-membisu dari manajer dan karyawan. Masalah ini masih terkait erat menggunakan aspek budaya, baik budaya nasional maupun organisasi. Menurut output penelitian serta pengamatan pakar serta praktisi menejemen, salah astu aspek budaya Indonesia yang menghambat kemajuan bangsa ini dan pengembangan karir individu yang berkiprah pada organisasi merupakan masih rendahnya penghargaan terhadap prestasi individu. Dalam organisasi akbar termasuk perusahaan (misalnya BUMN) telah menjadi suatu konvensi (nilai) yg nir tertulis, bahwa’hubungan (dengan atasan) yg baik merupakan lebih penting daripada prestasi kerja”. Oleh karena itu, setiap bisnis mengukur prestasi secara obyektif dan terbuka selalu mengakibatkan kegelisahan dan bisnis penghindaran. Masih terkait dengan hal itu, merupakan bahwa keharusan buat melakukan pembicaraan terbuka antara atasan bawahan mengenai kinerja bawahan pula mengakibatkan situasi yg sama. Sistem nilai feodalistik yang masih kental menjurus pada gaya kepemimpinan “benevolen autokratik” dimana atasan wajib dianggap ”bapak” serta bawaha harus selalu tergantung kepada atasan. Kondisi tersebut bisa mengganti wacana konseling menjadi obrolan satu arah dimana atasan membei “pengarahan” /wejangan pada bawahan yang hanya mengangguk angguk dan mengucapkan terima kasih (karena yg krusial honor naik serta bisa insentif).
  3. Fokus Manajemen kinerja yang berjangka pendek. Jika MBS hanya diterapkan menjadi dasar bagi manajemen kinerja acapkali tidak dikaitkan dengan tujuan jangka panjang dan sasaran jangka pendek bagi perusahaan secara holistik, yang menjadi asa dan tanggung jawab” pemimpin zenit”. Dalam kenyataannya, ini adalah galat satu kelemahan terbesar berdasarkan pengguanaan MBS sebagai dasar buat manajemen kinerja. Pimpinan puncak mempunyai tujuan, target, rencana kerja serta rencana sendiri, tetapi pada jajaran dibawahnya masing-masing menetapkan target kerja sendiri yang mungkin tidak sejalan menggunakan tujuan serta target yg ditetapkan oleh pimpinan zenit. Akibatnya dapat terjadi bahwa dominan karyawan mencapai target masing-masing, namun perusahaannya mengalami kerugian paling atau paling sedikit nir mencapai target yg diinginkan. Oleh karena itu, walaupun perusahan mungkin tidak ingin terlihat menerapkan MBS secara keseluruhan serta hanya ingin menerapkan manajemen kinerja yang berbasis sasaran kerja individu (SKI) seharusnya sasaran-sasaran yang dibentuk oleh setiap jajaran organisasi sejalan dengan target perusahaan. Mekanisme serta sistemnya harus dipikirkan oleh pimpinan zenit dan divisi asal daya insan.
  4. Keberhasilan beberapa pekerjaan/jabatan hanya bisa diukur selesainya dua sampai 5 tahun. Penetapan target kerja/sasaran jangka pendek seperti ditunjuk sang Manjemen Kinerja dari MBS belum tentu tepat buat jabatan-jabatan tertentu. Untuk beberapa jabatan mungkin nir tepat menetapkan sasaran jangka pendek,. Lantaran orientasinya merupakan dalam hasil jangka panjang. Contohnya adalah pada bidang Research and Development yg melakukan penelitian dan pengembangan pruduk yang outputnya tidak dapat pada menetapkan jangka ketika. Ada Produk yg mungkin baru bisa selesai pengembangannya selesainya 18 bulan atau 2 tahun. 
  5. Tidak semua sasaran kerja bisa dirumuskan secara kuantitatif. Untuk beberapa bidang tertentu terdapat kesulitan tetapkan sasaran kerja yg memiliki baku-setandar prestasi dalam ukuran kuantitatif atau angka. Misalnya untuk bidang keuangan, akutansi, aturan serta SDM. Biasanya buat itu terpaksa dicari-cari tolak ukur prestasi yg dapat digunakan, misalnya lepas penyesesaian proyek/tugas. Selain itu, buat pekerjaan tertentu misalnya oprator pada indrusti proses dan jabatan administratif pada tingkat terendah mungkin sulit mambuat target-target kerja perorangan yg dapat ditetapkan secara kualitatif.
  6. Dapat terjadi “kolusi” antara atasan dan bawahan dalam menetapkan sasaran. Pernah serta tak jarang diketahui bahwa buat menolong bawahannya sendiri agar nir menerima nilai tidak baik, atasan membiarkanya tetapkan sasaran-sasaran yg ringan atau tidak berbobot. Hal ini sering terjadi terutama apabila penetapan target terlalu dilepaskan pada setiap jajaran tanpa ada koordinasi menurut pimpinan yg lebih tinggi.
  7. Diperlukan latihan serta bimbingan yg sangat intensif bagi semua yang akan terlibat berdasarkan mulai cara menetapan target kerja serta membuat perencanaan kerja sampai menggunakan cara konseling. Banyak model serta peristiwa bahwa perusahaan membentuk manajemen kinerja berbasis sasaran kerja individu (SKI) lengkap menggunakan pedoman tertulis serta formulir penilainnya, namun lalu sesudah beberapa tahun ternyata hasilnya tidak misalnya yg diperlukan, dan istilah-istilah mencemooh acara ini sudah mulai terdengar berdasarkan para manajer lini. Semua masalah tadi sebenarnya bisa dihindari apabila penerapannya dimulai menggunakan pembinaan-pelatihan yg intensif yg disusul dengan acara sosialisasi serta bimbingan. 
Beberapa variasi dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Mengingat banyaknya hambatan serta kemungkinan penyalahgunaan pada penerapannya, dalam praktek penerapan sistem MBS ini bisa ditemukan secara berbeda-beda. Perbedaan tadi berkisar mulai dari formalisasi atau stukturisasi caranya pada suatu organisasi tertentu hingga tingkat mana bawahan diijinkan buat menentukan sasaran mereka sendiri. Beberapa jenis variasinya dapat disebutkan dibawah ini:
  • MBS diterapkan menggunakan cara sangat informal. Seperti kita ketahui, bahwa MBS acapkali diterapkan menjadi suatu sistem manajemen yang sangat formal dengan penjadwalan yang tepat dan formulir-formulir spesifik yang digunakan buat menyajikan tujuan serta baku buat dievaluasi/dinilai. Tetapi kemudian lebih poly perusahaan yg meninggalkan cara yg sangat formal dan kaku tadi. Mungkin jua bahwa MBS masih tetap dilaksanakan secara formal sampai pada tahapan memutuskan target serta planning kerja, namun rendezvous buat melakukan evaluasi secara regular apakah tiap kwartal, semester atau setiap akhir tahun seringkali kali dilaksanakan secara informal saja.
  • Ada kebebasan anak buah pada menetapkan sasarannya sendiri. Dalam hal ini terdapat beberapa fackor yang mensugesti. Pertama, pada kasus dimana jenis pekerjaan yg dilaksanakan oleh sebuah organisasi harus persis mengikuti apa yang digariskan (contohnya industri khusus – reaktor nuklir), maka hampir semua karyawan hanya mengikuti apa yang digariskan oleh pimpinannya. Di pihak lain, pada organisasi yang justru tergantung pada kreativitas orang-orangnya, kebebasan yg sangat besar diberikan pada seluruh orang buat menetapkan tujuan masing-masing selama seluruh mengarahan pada serta mendukung tercapainya tujuan organisasi yang primer (misalnya industri teknologi liputan).
  • Hasil kerja siapa yg diukur. Hal ini berkaitan menggunakan kendala berdasarkan penerapan sistem MBS di Negara-negara misalnya Indonesia, yaitu bahwa orang Indonesia masih cenderung bertenaga rasa kolektivismenya serta lebih suka memutuskan target kerja buat kelompok, bukan buat sendiri-sendiri. Untuk menerobos hambatan tersebut, manajemen dapat mengambil “laba” berdasarkan budaya kolektif dengan meminta kelompok untuk menetapkan sasaran kerja yg ingin mereka capai, contohnya dalam hal efisiensi kerja serta produktifitas. Oleh karena itu cara ini umumnya digunakan buat sebagai dasar pada pembagian insentif yang dikaitkan dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi.
  • Pemberian skorsing. Mengingat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dalam sstem MBS yang berbentuk penggunaan segala cara yang mungkin tidak halal poly perusahaan beranggapan bahwa apabila penilaian semata mata didasarkan dalam hasil (result) bisa menyebabkan 2 bahaya:
  1. Karyawan yg sangat ambisius dan mempunyai keinginan yang sangat bertenaga buat menonjol serta maju sendiri akan dijangkiti obsesi yg berlebiahan terhadap pencapaian output, sehingga jika perlu mengorbankan teman atau anak butir.
  2. Focus/ perhatian/ minat karyawan sangat terikat menggunakan pencapaian output dalam jangka pendek (maksimum 1 tahun) sebagai akibatnya mereka akan mengabaikan program-program jangka panjang yg mungkin sangat penting.
Berdasarkan pertimbangan tadi poly perusahaan masih tetap menekankan pentingnya memberi nilai pada “cara” atau “proses” bagaimana output tersebut dicapai, yg sebenarnya adalah “input” yang didayagunakan buat memperoleh “output” yang ditargetkan. Sistem Manajemen Kinerja yg digunakan masih tetap menyisihkan score atau point buat factor-faktor tadi, yg dalam beberapa perusahaan diklaim “ kompensasi”, misalnya kerjasama pada team, interaksi antar langsung serta sebagainya. Hasil akhir umumnya score dibagi sebagai 2 bagian antara 65%-70% buat pencapaian sasaran (output) dan 30-35% buat faktor-faktor kualitatif yg disebutkan tersebut. Faktor-faktor yang generik digunakan sebagai komponen kualitatif merupakan:
  1. Technical Knowledge (pengetahuan tentang aspek teknis menurut pekerjaannya sendiri).
  2. Kompensasi Manajerial (Misal: objectives/target setting, planning, organizing, dll., bagi yg memiliki jabatan manajerial saja).
  3. Keterampilan Komunikasi (prestasi, negoisasi dll.).
  4. Resourcefullness(kreativitas, inisiatif, serta penemuan).
  5. Kemampuan buat mrnyemangati bawahan buat berprestasi tinggi secara konsisten(bagi yg memimpin sejumlah orang).
  6. Kemampuan Hubungan Antar Pribadi (kemauan serta keterampilan).
  7. Kerjasama pada team (kemauan dan keterampilannya)
  8. Ketaatan pada “Sistem nilai” (kode etik/ prinsip-prinsip berusaha yang diterapkan perusahaan. 
Setiap faktor tersebut wajib pada buat tingkatan-tingkatannya, apakah antara 1 sampai 10 atau A(buat terbaik) hingga E (terburuk)serta kemudian di untuk definisi/penjelasn buat tingkatan tadi.

Langkah-Langkah Penerapan Manajemen Kinerja Berbasis MBS
Untuk menerapkan manajemen Kinerja yg berbasis dalam MBS terdapat beberapa langkah (tindakan) yang wajib dilakukan seperti terebut pada bawah ini:

1. Perencanaan serta perancangan 
Apabila dirasakan bahwa “budaya perusahaan” sudah mendukung dilaksanakannya acara Manajemen Kinerja yg didasarkan pada konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBS),serta telah ada “permintaan “ yang konkret untuk menerapkannya termasuk berdasarkan pimpinan puncak , maka yg pertama harus dilakukan merupakan merancang acara tersebut. Yang harus dilakukan dalam kegiatan ini merupakan menciptakan konsep berbentuk proposal yang diajukan kepada pimpinan zenit. 

2. Seminar atau Kick off Meeting
Setelah mendapat dukungan dari manajemen zenit, maka bisa dilakukan seminar intern yang wajib dihadiri oleh seluruh manajer madya. Tujuan seminar ini untuk mengungkapkan apa itu Menejemen Kinerja, tujuannya dan bagaimana menerapkannya.

3. Pelatihan memakai sistem manajemen kinerja yang menurut MBS.
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan sistem ini adalah bahwa karyawan dalam hampir seluruh strata mempunyai kesulitan dalam memutuskan serta merumuskan tujuan maupun sasaran kerja mereka. Mereka lebih terbiasa merumuskan “ kegiatan” yg mereka lakukan berdasarkan pada pada bentuk output dari kegiatan itu. Oleh karena itu, seluruh karyawan dari semua tingkatan yg prestasi kerjanya akan diukur menggunakan menggunakan metode ini harus mengikuti acara pembinaan khusus serta intensif yang biasanya berbentuk workshop (lokakarya) yg akan membantu karyawan memahami tujuan atau alasan mengapa wajib “bekerja menurut sasaran” Menurut Ruky (2004), dari pengalaman training ini sangat penting sekali serta adalah tahap yg sangat crucial.

Dalam pelatihan tadi dapat dirasakan betapa sulitnya merubah norma berpikir serta kerja yang tadinya berbasiskan “ aktivitas” menjadi berbasiskan “target dan output”. Oleh karenanya, adalah beralasan bila ahli mengatakan bahwa komitmen pimpinan zenit sangat diperlukan, disamping pelatihan itu sendiri wajib dilakukan dengan sahih serta sabar serta lalu disusul menggunakan bimbingan sang para “fasilitator” dan instruktur yang handal.

4. Pelatihan teknik konseling.
Pelatihan pertama harus dikombinasikan dengan pembinaan spesifik tentang teknik komunikasi buat tujuan konseling menggunakan bawahan sejak berdasarkan termin pembicaraan mengenai target-target sasaran yang harus diakui merupakan bahwa sedikit manajer atau supervisor yang telah mempunyai kemampuan tadi secara alami, sebagai akibatnya mereka wajib mendapatkan pembinaan. Termasuk dalam pembinaan ini adalah merupakan teknik hubungan antara langsung yg konstruktif;mendengarkan menyemangati serta menangani bawahan yg berkeberatan serta mengajukan protes

5. Panduan tertulis.
Bersamaan dengan langkah pertama departemen SDM menyiapkan sebuah panduan tertulis buat sebagai pegangan bagi semua atasan yg menilai disertai formulir-formulir evaluasi yang diperlukan. Panduan tertulis serta formulir yg akan dipakai wajib tersedia pada saat pembinaan dilaksanakan.

6. Sosialisasi sistem manajemen kinerja 
Setelah semua persiapan selesai, harus dilakukan sebuah acara pengenalan tentang sistem manajemen kinerja kepada semua karyawan bawahan yg prestasinya harus dievaluasi. Sosialisasi ini sanggup dilakukan melalui semacam seminar dua-tiga jam melalui rendezvous singkat pada tiap unit kerja serta penerangan tertulis.

7. Periode percobaan (trial period)
Menyusul program sosialisasi wajib diberlakukan sebuah periode percobaan untuk men-test seluruh persiapan dan mengevaluasi pelaksanaan, sehingga perbaikan yang perlu bisa diambil. Karena itu, usahakan persiapan buat menerapkan sistem manajemen kinerja berbasis MBS/SKI sudah selesai 1 atau dua bulan sebelum tahun masa kerja perusahaan/ organisasi dimulai.

RUANG LINGKUP DAN PROSES TERBENTUKNYA KEWIRAUSAHAAN

Ruang Lingkup dan Proses Terbentuknya Kewirausahaan
1. Disiplin Ilmu Kewirausahaan dan Perkembangannya
Dalam teori ekonomi, studi mengenai kewirausahaan ditekankan dalam identifikasi peluang yang terdapat pada peranserta membahas fungsi inovasi berdasarkan wirausaha pada membangun kombinasi sumber daya irit sehingga memengaruhi ekonomi agregat.

Studi kewirausahaan kemudian berkembang pada disiplin ilmu lain yang penekanannya pada sang wirausaha sendiri. Dalam bidang ilmu psikologi, misalnya studi kewirausahaan meneliti ciri kepribadian wirausaha, sedangkan dalam ilmu sosiologi penelitian ditekankan pada dampak menurut lingkungan sosial dan kebudayaan dalam pembentukan rakyat wirausaha. Ray dan Ranachandran (1996) menandaskan, walau masih ada disparitas sudut pandang, penelitian yg dilakukan baik oleh ahli ekonomi, psikologi, dan sosiologi harus tetap bepijak pada aktivitas kewirausahaan dan sebab akibatnya pada tingkat mikro serta makro. Dengan demikian merupakan wajar apabila studi kewirausahaan menggunakan penekanan keilmuan yg tidak sinkron itu pada akhirnya akan saling bekerjasama serta memengaruhi.

Sementara itu kenyataan kewirausahaan ini masih terus diteliti dan belum terdapat satu pengertian standar yang dianut sang seluruh pakar (Shapero, 1982). Ini memperlihatkan perkembangan teori ini masih pada perjalanan panjang dan dari adanya perubahan-perubahan ekonomi dunia diharapkan memberi poly masukan bagi peneliti. 

Muculnya banyak wirausaha atau pebisnis, sudah menarik perhatian para ahli buat meneliti bagaimana mereka terbantuk. Bagian ini mengungkapkan teori-teori mengenai proses pembentukan wirausaha. Teori tadi diantaranya: life path change, goal directed behavior, teori outcome expectancy. Terakhir, masih ada acuan komprehensif tentang teori pembetukan wirausaha yg dipadukan sang teori-teori sebelumnya. Begitu poly teori yg sudah mengupas persoalan ini, intinya bahwa menjadi wirausaha adalah sebuah proses.

2. Kewirausahaan dicermati dari aneka macam sudut pandang
Terlepas dari berbagai definisi kewirausahaan yg dikemukakan sang para ahli, wirausaha dapat dipandang dari aneka macam sudut serta konteks, yaitu pakar ekonomi, manajemen, pelaku bisnis, psikolog dan pemodal.

Ø Pandangan Ahli Ekonomi
Menurut ahli ekonomi, wirausaha merupakan orang yang mengkombinasikan factor-faktor produksi misalnya sumber daya alam, tenaga kerja, material, serta peralatan lainnya buat meningkatkan nilai yg lebih tinggi menurut sebelumnya. Wirausaha juga merupakan orang yang memperkenalkan perubahan-perubahan, inovasi dan perbaikan produksi lainnya. Dengan istilah lain, wirausaha merupakan seseorang atau sekelompok orang yg mengorganisasikan factor-faktor produksi, asal daya alam, energi, modal dan keahlian buat tujuan memproduksi barang dan jasa.

Ø Pandangan Ahli Manajemen
Wirausaha adalah seseorang yang mempunyai kemampuan dalam menggunakan dan mengkombinasikan sumber daya misalnya keuangan, material, energi kerja, keterampilan buat membuat produk, proses produksi, usaha dan orgasisasi bisnis baru (Marzuki Usman, 1997:3). Wirausaha merupakan seseorang yg mempunyai kombinasi unsur-unsur internal yang mencakup motivasi, visi, komunikasi, optimism, dorongan, semangat dan kemampuan memanfaatkan peluang bisnis.

Ø Pandangan Pelaku Bisnis
Menurut Scarborough serta Zimmerer (1993 : 35), wirausaha adalah orang yg membentuk suatu bisnis baru dalam menghadapi resiko dan ketidakpastian dengan maksud buat memperoleh laba dan pertumbuhan menggunakan cara mengenali peluang dan mengkombinasikan sumber-asal daya yg diharapkan buat memanfaatkan peluang tersebut.

Menurut Dun Steinhoff dan John F. Burgess (1993 : 35), pengusaha merupakan orang yg mengorganisasikan, mengelola dan berani menanggung resiko sebuah bisnis atau perusahaan. Sedang wirausaha merupakan orang yg menanggung resiko keuangan, material, dan sumber daya manusia, cara membangun konsep bisnis yg baru atau peluang pada perusahaan yg telah terdapat.

Dalam konteks bisnis menurut Sri Edi Swasono (1978 : 38), wirausaha merupakan pengusaha, tetapi nir semua pengusaha merupakan wirausaha. Wirausaha merupakan pelopor dalam usaha, innovator, penanggung resiko yg memiliki visi ke depan serta memiliki keunggulan dalam prestasi pada bidang usaha.

Ø Pandangan Psikolog
Wirausaha adalah orang memiliki dorongan kekuatan menurut dalam dirinya buat memperoleh suatu tujuan dan senang bereksperimen buat menampilkan kebebasan dirinya pada luar kekuasaan orang lain.

Ø Pandangan Pemodal
Wirausaha adalah orang yg menciptakan kesejahteraan buat orang lain, menemukan cara-cara baru buat menggunakan sumber daya, mengurangi pemborosan dan membuka lapangan kerja yg disenangi rakyat.

3. Teori Life Path Change
Menurut Shapero serta Sokol (1982) pada Sundjaja (1990), tidak semua wirausaha lahir dan berkembang mengikuti jalur yang sistematis serta terjadwal. Banyak orang yg sebagai wirausaha justru tidak memaluli proses yg direncanakan. Antara lain disebabkan sang: 

a. Negative displacement
Seseorang mampu saja menjadi wirausaha gara-gara dipecat menurut tempatnya bekerja, tertekan, terhina atau mengalami kebosanan selam bekerja, dipaksa/terpaksa pindah menurut wilayah dari. Atau bisa juga karena telah memasuki usia pensiun atau cerai perkawinan dan sejenisnya. 

Banyaknya kendala yang dialami keturunan Cina buat memasuki bidang pekerjaan tertentu (misalnya menjadi pegawai negeri) menyisakan pilihan terbatas bagi mereka. Di sisi lain, menjaga kelangsungan hayati diri serta keluarganya, menjadi wirausaha pada syarat misalnya ini merupakan pilihan terbaik karena sifatnya yg bebas serta tidak bergantung pada birokrasi yang diskriminatif.

b. Being between things
Orang-orang yang baru keluar menurut ketentaan, sekolah, atau penjara, kadangkala merasa misalnya memasuki dunia baru yg belum mereka mengerti serta kuasai. Keadaan ini membuat mereka seakan berada pada tengah-tengah berdasarkan 2 dunia yang tidak sinkron, tetapi mereka tetap harus berjuanfa menjaga kealngsungan hidupnya. Di sinilah umumnya pilihan sebagai wirausahaa timbul lantaran menggunakan menjadi wirausahan mereka bekerja dengan mengandalkan diri sendiri.

c. Having positive pull
Terdapat jua orang-orang yg mendapat dukungan membuka bisnis berdasarkan kawan kerja, investor, pelanggan, atau mentor. Dukungan memudahkan mereka pada mengantisipasi peluang bisnis, selain itu juga membangun rasa kondusif berdasarkan risiko usaha. Seorang mantan manajer di sebuah perusahan otomotif, misalnya, yg menetapkan buat masuk ke bisnis suku cadang otomotif, misalnya dengan bahan baku ban bekas, misalnya stopper back door, engine mounting, atau mufler mounting. Perusahaan otomotif tersebut memberi dukungan menggunakan menampung produk mantan manajernya tersebut.

4. Teori Goal Directed Behavior
Menurut Wolman (1973), seseorang dapat saja menjadi wirausaha lantaran termotivasi buat mencapai tujuan tertentu. Teori ini diklaim dengan Goal Directed Behavior.

Teori ini hendak menggambarkan bagaimana seorang tergerak sebagai wirausaha, motivasinya dapat terlihat langkah-langkahnya dalam emncapai tujuan (goal directed behavior). Diawali dari adanya dorongan need, kemudian goal directed behavior, sampai tercapainya tujuan. Sedangkan need itu sendiri berdasarkan skema ada lantaran adanya deficit serta ketidakseimbangan tertentu dalam diri individu yg bersangkutan (wirausaha).

Seseorang terjun dalam global wirausaha diawali menggunakan adanya kebutuhan-kebutuhan, ini mendorong aktivitas-aktivitas eksklusif, yg ditujukan dalam pencapaian tujuan. Dari kacaata teori need dan motivasi tingkah laku , misalnya menemukan kesempatan berusaha, sampai mendirikan serta melembagakan usahanya adalah goal directed behavior. Sedangkan goal tujuannya merupakan mempertahankan serta memperbaiki kelangsungan hidu wirausaha.

5. Teori Outcome Expectancy
Bandura (1986) menyatakan bahwa outcome expectancy bukan suatu konduite tetapi keyakinan mengenai konskuensi yang diterima sesudah seseorang melakukan suatu tindakan tertentu.

...judgement about likely consequences of specific behaviors in particular situations. 
(Bandura, 1986:82)

Dari definisi pada atas, outcome expectancy bisa diartikan menjadi keyakinan seorang tentang hasil yan akan diperolehnya jika beliau melaksanakan suatu perilaku eksklusif, yaitu konduite yang memperlihatkan keberhasilan. Seseorang memperkirakan bahwa keberhasilannya dalam melakukan tugas tertentu akan mendatangkan imbalan menggunakan nilai eksklusif juga. Imbalan ini berupa pula insentif kerja yg dapat diperoleh dnegan segera atau dalam jangka panjang. Karenanya bila seseorang menduga profesi wirausaha akan memberikan bonus yg sinkron menggunakan keinginannya maka dia akan berusaha buat memenuhi keinginannya dengan menjadi wirausaha. Michael Dell, seorang mahasiswa teknik komputer pada Alaihi Salam, mempunyai keyakinan yg kuat bahwa apabila dia geluti serius hobi modifikasi komputer yang diminati teman-temannya dia akan dapat mengalahkan IBM kelak. Terdorong oleh hal itu Dell terus berbagi bisnis menggunakan mendirikan Dell Corporation. Hingga kini Del dan IBM terus bersaing pada industri personal komputer .

Jenis Outcome Expectancy
Menurut bandura (1986) terdapat berbagai jenis insentif sebagai imbalan kerja yg dibutuhkan individu dan setiap jenis mempunyai kekhasan sendiri. Jenis bonus tersebut adalah:

a. Insentif primer
Merupakan imbalan yang herbi kebutuhan dengan kebutuhan fisiologis kita misalnya makan, minum, hubungan fisik, dan sebagainya. Insentif diperkuat nilainya apabila seorang dalam keadaan sangat kekurangan, misalnya kurang makan/minum.

b. Insentif sensoris
Beberapa kegiatan manusia ditujukan untk memperoleh umpan pulang sensoris yg terdapat di lingkungannya. Misalnya anak kecil melakukan banyak sekali kegiatan buat menerima insemtif sensoris berupa suara-bunyi baru atau berupa stimulus baru buat dipandang atau orang dewasa yang bermain musik buat memperoleh umpan kembali sensoris berupa bunyi musik yang dimainkan.

c. Insentif sosial
Manusia akan melakukan sesuatu buat menerima penghargaan serta penerimaan dari lingkungan sosialnya. Penerimaan atau penolakan dari sebuah lingkungan sosial akan lebih berfungsi secara efektif menjadi imbalan atau sanksi daripada reaksi yg berasal dari satu individu.

d. Insentif yang berupa token ekonomi
Token ekonomi adalah imbalan yang berkaitan menggunakan pemenuhan kebutuhan ekonomi misalnya upah, kenaikan pangkat , penambahan tunjungan, dan lain-lain. Hampir seluruh masyarakat memakai uang menjadi bonus. Hal ini ditimbulkan menggunakan uang, individu dapat memperoleh hampir seluruh hal yg diinginkannya, mulai berdasarkan pelayanan jasa sampai pemenuhan kebutuhan fisik, kesehatan, serta lain-lain.

e. Insentif yg berupa aktivitas
Teori-teori tentang reinforcement yang sangat terikat dalam dorongan biologis, mengasumsikan bahwa imbalan akan memengaruhi konduite dengan cara memuaskan atau mengurangi dorongan fisiologis. Ternyata berdasarkan penelitian terkini diketahui bahwa beberapa aktivitas atau kegiatan fisik justru menaruh nilai bonus yang tersendiri pada individu.

f. Insentif status dan pengaruh
Pada sebagian akbar rakyat, kedudukan individu seringkali dikaitkan menggunakan status kekuasaan. Kekuasaan yang dimiliki individu dalam lingkungan sosial menaruh kesempatan kepadnya buat mengontrol perilaku orang lain, baik melalui simbol atau secara konkret. Dengan kedudukannya yg tinggi pada rakyat, mereka dapat menikmati imbalan materi, penghargaan sosial, kepatuhan, serta lain-lain. Keuntungan yg spesial ini membawa individu berusaha keras buat mencapai posisi yang memberikan kekuasaan.

g. Insentif berupa terpenuhinya baku internal
Insentif ini berasal menurut tingkat kepuasan diri yang diperoleh individu menurut pekerjaanya. Insentif bukan dari berdasarkan hal pada luar diri, tetapi berasal berdasarkan dalam diri seseorang. Reaksidiri yang berupa rasa puas dan senang adalah galat satu bentuk imbalan internal yang ingin diperoleh seorang dari pekerjaannya. Seorang yg merasakan bahwa kemampuannya tidak akan dapat optimal jika hanya bekerja sebagai karyawan, akan lebih puas apabila ia merasa bahwa menggunakan berwirausaha segenap potensinya dapat tersalurkan.

Jadi terdapat insentif-bonus eksklusif yang umumnya dibutuhkan seseorang menggunakan sebagai wirausaha. Antara lain insentif primer, insentif sosial, bonus status dan dampak, serta bonus terpenuhinya standar iinternal. 

6. Tujuan Pembentukan Wirausaha
Teori-teori diatas sudah menjelaskan mengenai bagaimana proses seorang bisa sebagai wirausaha. Walau teori tersebut masing-masing berdiri sendiri, sebenarnya ke empat teori tadi saling mengisi. Dengan memadukan ke empat teori tadi bisa menjadi contoh tahapan pembentukan yg sifatnya lebih komprehensif. Tahapan tersebut merupakan:

a. Deficit equilibrium
Seseorang merasa adanya kekurangan pada dirinya dan berusaha untk mengatasinya. Kekurangan tadi tidak wajib berupa materi saja, namun bisa jua berupa ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri (motivasi, baku internal, dan lain-lain). Deficit equilibrium dapat juga terjadi lantaran berubahnya jalur hayati, seperti bila seseorang menerima tekanan atau hinaan, misalnya baru keluar dari penjara, serta menerima dukungan menurut orang lain (Shapero & Sokol, 1982).

b. Pengambilan keputusan sebagai wirausaha
Perasaan kekurangan mendorong dia buat mencari pemecahannya, buat itu beliau mengevaluasi cara lain pemecahan yang dimiliki. Dalam hal ini kemampuan perseptual, kapasitas warta yang diterima, keberanian mengambil resiko, dan, tingkat aspirasinya terhadap suatu alternatif keputusan memeiliki kiprah yang sangat akbar (Reitman, 1976) dalam usahanya merogoh keputusan buat menjadi wirausaha.

c. Goal Directed Behavior
Keputusan sebagai wirausaha diambil menggunakan tujuan memecahkan kasus kekurangan yang beliau miliki. Di sini masalah kekurangan diidentifikasi menggunakan adanya harapan sebagai pemecahan. Harapan-harapan tersebut berupa insentif yang akan beliau dapat apabila melakukan tindakan eksklusif. Insentif ini menjadi rangsangan atau tujuan sehingga mendorong tindakan dan perilakunya sebagai seseorang wirausaha (Wolman, 1973).

d. Pencapaian Tujuan
Seperti dijelaskan sebelumnya, tujuan sangat krusial buat pengambilan keputusan sebagai wirausaha. Tujuan ini berupa insentif yg diyakini akan dinikmati bila seorang melaukan aktivitas tertentu.

7. Peran Pendidikan pada Pembentukan Wirausaha
Bagaimana peran pendidikan dalam proses pembetukan kewirausahaan? Masih ada perdebatan mengenai pertanyan ini. Meskipun seorang wirausaha belajar menurut lingkungannya dalam tahu dunia wirausaha, namn terdapat pendapat yang berkata bahwa seorang wirausaha lebih mempunyai streetsmart daripada booksmart, maksudnya merupakan seseorang wirausaha lebih mengutamakan buat belajar berdasarkan pengalaman (streetsmart) dibandingkan menggunakan belajar dari buku dan pendidikan formal (booksmart). Pandangan ini masih perlu dibuktikan kebenarannya. Apabila pendapat tersebut sahih maka secara tidak pribadi bisnis-usaha yang dilakukan buat mendorong lahirnya jiwa kewirausahaan leat jalur pendidikan formal dalam akhirnya sukar buat berhasil.

Terhadap pendangan pada atas, Chruchill (1987) memberi sanggahan terhadap pendapat ini, menurutnya masalah pendidikan sangatlah penting bagi keberhasilan wirausaha. Bahkan beliau mengatakan bahwa kegagalan pertama berdasarkan seseorang wirausaha adalah lantaran beliau lebih mengandalkan pengalaman daripada pendidikan. Namun dia jua nir menganggap remeh arti pengalaman bagi seoranga wirausaha, baginya sumber kegagalan ke 2 merupakan apabila seseorang wirausaha hanya bermodalkan pendidikan tapi miskin pengalamam lapangan. Oleh karenanya formasi antara pendidikan dan pengalaman adalah faktor utaman yang menentukan keberhasilan wirausaha.

Menurut Eels (1984) dam Mas’oed (1994), dibandingkan menggunakan energi lain tenaga terdidik S1 memiliki potensi lebih besar buat berhasil menjadi seseorang wirausaha karena memiliki kemampuan penalaran yang telah berkembang serta wawasan berpikir yg lebih luas. Seorang sarjana jua mempunyai dua peran utama, pertama menjadi manajer dan ke 2 sebagai pencetus gagasan. Peran pertama berupa tindakan buat menyelesaikan kasus, sehingga pegnetahuan manajemen serta keteknikan yang memadai mutalk dibutuhkan. Peran kedua menekankan pada perlunya kemampuan merangkai alternatif-cara lain . Dalam hal ini bekal yg diperlukan berupa pengetahuan keilmuan yg lengkap.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang wirausaha yang mempunyai potensi sukses merupakan mereka yg mengerti kegunaan pendidikan buat menunjang aktivitas seta mau belajar buat mempertinggi pengetahuan. Lingkungan pendidikan dimanfaatkan sang wirausaha menjadi sarana buat mencapai tujuan, pendidikan disini berarti pemahaman suatu kasus yang dicermati dari sudut keilmuan atau teori menjadi landasan berpikir.

8. Faktor-faktor pemicu kewirausahaan
David C. McClelland (1961 : 207) mengemukakan bahwa kewirausahaan dipengaruhi oleh motif berprestasi, optimisme, sikap nilai serta status keswirausahaan. Perilaku kewirausahaan ditentukan oleh faktor internal serta eksternal. Faktor-faktor internal meliputi hak kepemilikan (property right), kemampuan/kompetensi (ability/competency) serta bonus, sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan (environment).

9. Ciri krusial tahap permulaan pertumbuhan kewirausahaan
Pada umumnya proses pertumbuhan kewirausahaan dalam usaha mini tadi mempunyai 3 ciri penting, yaitu :
Ø Tahap imitasi dan duplikasi
Ø Tahap duplikasi serta penembangan
Ø Tahap mencitakan sendiri barang dan jasa baru yg berbeda

10. Langkah menuju keberhasilan berwirausaha
Untuk menjadi wirausaha yg sukses, seorang harus memiliki ilham atau visi usaha yg kentara serta kemauan dan keberanian buat menghadapi resiko, baik waktu maupun uang. Apabila terdapat kesiapan pada menghadapi resiko, langkah berikutnya merupakan menciptakan perencanaan usaha, mengorganisasikan serta menjalankannya.

11. Faktor penyebab keberhasilan serta kegagalan berwirausaha
Penyebab keberhasilah berwirausaha
  • Keberhasilan seseorang wirausaha ditentukan sang beberapa faktor, yaitu ;
  •  Kemapuan dan kemauan
  • Tekad yg bertenaga serta kerja keras
  • Mengenal peluang yang ada serta berusaha meraihnya waktu ada kesempatan.

Penyebab kegagalan berwirausaha
Zimmerer (1996 : 14-15) mengemukakan beberapa faktor yang mengakibatkan wirausaha gagal pada menjalankan usaha barunya, yaitu :
  • Tidak kompeten pada hal manajerial
  • Kurang berpengalaman
  • Kurang bisa mengendalikan keuangan
  • Gagal dalam perencanan
  • Lokasi yang kurang memadai
  • Kurangnya pengawan peralatan
  • Sikap yang kurang benar-benar-sungguh pada berusaha
  • Kemampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan