KIAT MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA

Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja 
Dalam upaya memenangkan persaingan di pasar bebas setiap perusahaan dituntut untuk mampu membentuk barang/jasa yang berdaya saing tinggi, yaitu barang/jasa yang memiliki keunggulan-keunggulan tertentu. Untuk menghasilakan barang/jasa yg berdaya saing tinggi ditentukan oleh taraf efisiensi yg tinggi. Tingkat efisien yg tinggi ditentukan sang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu SDM yg professional yang bisa membangun nilai tambah baru dan mampu menjawab tantangan baru. Untuk dapat memiliki SDM yg professional organisasi bisa melakukan pendidikan dan training serta bimbingan bagi SDM-nya. Hanya saja buat membuat prestasi kerja yang tinggi seorang karyawan tidak saja perlu mempunyai keterampilan, tetapi ia juga mempunyai impian serta semangat buat berprestasi tinggi. 

Dalam rangka buat meningkatkan prestasi kerja karyawan, tulisan ini akan membahas mengenai sebuah sistem dalam bidang manajemen SDM yang diyakini akan bisa mendorong tenaga kerja buat menaikkan prestasi kerjanya, yaitu yang disebut menggunakan Sistem Manajemen Kinerja, khususnya Sistem Manajemen Kinerja yg memfokuskan perhatiannya pada hasil.

ARTI DAN TUJUAN MANAJEMEN KINERJA 
Istilah Manajemen Kinerja adalah terjemahan menurut Performance Management. Menurut Ruky (2004), dipandang menurut suara kalimatnya, Manajemen Kinerja berkaitan dengan usaha, aktivitas atau acara yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi untuk merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi kerja karyawan. Lantaran program ini mencantumkan istilah manajemen, maka seluruh kegiatan yang dilakukan pada “proses manajemen” harus terjadi dimulai dengan menetapkan tujuan dan target yg ingin dicapai, lalu tahap pembuatan rencana, pengorganisasian, penggerakan/pengarahan serta akhirnya penilaian atas hasilnya.

Bacal (2001) mendefinisikan Manajemen Kinerja menjadi proses komunikasi berkesinambungan yg dilaksanakan dari kemitraan antara karyawan serta atasan langsungnya. Terciptanya komunikasi 2 arah ini sebagai cara buat berhubungan meningkatkan kinerja serta sekaligus mencegah munculnya kinerja buruk.

Baik Ruky juga Bacal beropini, bahwa bagian yang paling penting pada Manajemen Kinerja adalah perencanaan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan pada Manajemen Kinerja ini adalah tetapkan tujuan atau target. Atasan dan masing-masing bawahan harus mengidentifikasi tujuan atau target yg hendak mereka capai, yaitu kinerja pada bentuk apa serta yg seperti bagaimana yg ingin dicapai. Dan lantaran yg menjadi objek merupakan kinerja insan, maka bentuk yang paling generik tentunya merupakan kinerja pada bentuk “produktivitas” SDM.

Ruang Lingkup Program Manajemen Kinerja
Program manajemen Kinerja ini ruang kingkupnya relatif akbar. Ia bersifat menyeluruh atau menggarap seluruh bagian/fungsi berdasarkan sebuah organisasi. Program ini menjamah seluruh elemen, unsur atau input yang harus didayagunakan oleh organisasi buat meningkatkan kinerja organisasi tersebut, bukan hanya manusia. Elemen-elemen tadi adalah teknologi (peralatan, metode kerja) yang digunakan, kualitas berdasarkan input (termasuk material), kualitas lingkungan fisik (keselamatan, kesehatan kerja, lay-out temapt kerja serta kebersihan), iklim serta budaya organisasi serta kompensasi dan imbalan. Kegiatan dengan ruang lingkup misalnya tadi diatas merupakan sebuah proyek akbar serta melibatkan hampir semua orang, serta wajib ditangani eksklusif oleh pemimpin puncak organisasi. Beberapa tim “adhoc” baik yang terdiri dari “orang pada” serta/atau konsultan diberi tugas khusus buat membantu pemimpin melakukan penelitia-penelitian membuat rancangan sampai menangani proyek-proyek khusus.

Dari uraian diatas dapat kita simpulkan, bahwa acara manajemen kinerja pada dasarnya merupakan sebuah proses pada MSDM. Selain itu penggunaan kata “manajemen” mempunyai implikasi, bahwa aktivitas tadi harus dilaksanakan sebagai proses manajemen umum, yang dimulai dengan penetapan sasaran dan pada akhiri menggunakan evaluasi. Proses tadi pada garis besarnya terdiri menurut lima kegiatan primer yaitu:
  • Merumuskan tanggung jawab serta tugas yg harus dicapai sang karyawan dan rumusan tadi disepakati beserta.
  • Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk output yg wajib dicapai oleh karyawan untuk kurun ketika eksklusif. Termasuk pada termin ini merupakan penetapan baku prestasi serta tolak ukurnya.
  • Melakukan “monitoring”, melakukan koreksi, menaruh kesempatan dan donasi yang dibutuhkan bawahan.
  • Menilai prestasi karyawan tersebut menggunakan cara membandingkan prestasi yg dicapai dengan baku atau tolak ukur yg sudah ditetapkan sebelumnya. Dalam tahap penilaian ini harus tercakup juga kegiatan mengidentifikasi bidang-bidang yang ada serta dirasakan masih ada kelemahan pada orang yang dinilai.
  • Memberikan umpan balik pada karyawan yang dinilai menggunakan semua hasil penilaian yg dilakukan. Disini juga dibicarakan cara-cara buat memperbaiki kelemahan yg telah diketahui dengan tujuan menaikkan prestasi kerja dalam priode berikutnya.
Manfaat Program Manajemen Kinerja
Ada beberapa manfaat yg dapat diperoleh organisasi dengan menerapkan Sistem Manajemen Kinerja yaitu:
  1. Dapat menaikkan prestasi kerja karyawan, baik secara individu maupun kelompok, lantaran disini atasan dan bawahan diberi kesempatan buat memenuhi ekspresi pada kerangka pencapaian tujuan perusahaan dengan menetapkan sendiri sasaran kerja dan baku prestasi yg wajib dicapai dalam kurun ketika eksklusif.
  2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi karyawan secara perorangan pada akhirnya akan mendorong kinerja sumber daya insan secara holistik yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas.
  3. merangsang minat dalam pengembangan langsung dengan tujuan menaikkan output karya serta prestasi pribadi serta potensi karyawan dengan cara menaruh umpan balik pada mereka tentang prestasi kerjanya.
  4. membantu perusahaan buat dapat menyusun program pengenbangan serta pelatihan karyawan yg lebih tepat guna. Dan nantinya dibutuhkan bisnis ini akan membantu perusahaan buat memiliki pasokan energi yg cakap dan terampil yg relatif buat pengembangan perusahaan pada masa depan.
  5. menyedikan indera/sarana buat mebandingkan prestasi kerja karyawan denagn tingkat imbalan/gajinya sebagai bagian menurut kebijakan serta system imbalan yg baik.
  6. memberikan kesempatan kepada karyawan buat mengeluarkan perasaannya tentang pekerjaan atau hal-hal yg berkaitan dengannya. Dengan demikian jalur komunikasi dan obrolan akan terbuka sebagai akibatnya bisa diharapkan bahwa proses penilaian prestasi kerja akan mengeratkan hubungan antara atasan dan bawahan.
Dari manfaat yang diuraikan diatas, dapat dijelaskan bahwa program Manajemen Kinerja akan membantu organisasi/perusahaan untuk merencanakan dan melaksanakan program-acara lain menggunakan lebih tepat serta baik, misalnya misalnya buat:
  • penyusunan program pembinaan dan pengembangan karyawan. Dengan melaksanakan Manajemen Kinerja bisa diketahui serta diidentifikasi pelatihan tambahan apa saja yg harus diberikan pada karyawan buat membantu supaya mampu mencapai baku prestasi yang ditetapkan.
  • Penyusunan acara susksesi dan kaderisasi. Dengan melaksanakan manajenem kinerja juga dapat diidentifikasi siapa saja karyawan yang memiliki potensi buat dikembangkan kariernya serta dicalonkan unutk menduduki jabatan-jabatan yg starategis.
  • Pembinaan karywan. Pelaksanaan manajemen kinerja pula dapat sebagai sasaran buat meneliti kendala karyawan buat meningkatkan prestasi kerjanya. Jika ternyata hambatannya bukan kemampuan, tetapi kemauan (motivasi), maka program pelatihan bisa dilakukan secara langsung, misalnya dengan memberikan konseling sang atasannya atau seorang konselor yg ditunjuk perusahaan.
Sistem Manajemen Kinerja Karyawan Yang Berorientasi Pada Output
Sistem Manajemen Kinerja yang berorientasi dalam output tak jarang juga diklaim menjadi Sistem Manajemen Kinerja yang berbasiskan pencapaian Sasaran Kinerja Individu (SKI). System ini memfokuskan dalam output yg diperoleh atau yang dicapai oleh karyawan. Ruky (2004) menyebutnya sebagai Result Oriented Performance Management By Objective (MBO) atau pada Indonesia popular dengan kata MBS (Manajemen Berdasarkan Sasaran).

Bagaimana menggunakan MBS menjadi dasar Manajemen Kinerja? Untuk menjawab pertanyaan diatas marilah kita melihat gambar berikut ini:

Dari gambar diatas bisa dipandang, bahwa acara Manajemen Kinerja ini benar-sahih memerlukan komunikasi 2 arah serta keterbukaan antara atasan dan bawahan. Mereka secara bersama-sama wajib meneliti pulang ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan weweng bawahan. Kemudian atasan membicarakan sasaran-target perusahaan dan sasaran yang sebagai tanggung jawabnya pada bawahan. Selanjutnya bawahan juga harus tetapkan sasaran kerja sendiri yg akan mendukung sasaran perusahaan dan target atasan dilengkapi menggunakan standar prestasi serta tolak ukur keberhasilan pada nomor (satuan), saat penyelesaian dan spesifikasi lainya. Jika target telah disetujui sang atasan, kemudian dibuat action plan (rencana tindakan) yg mencantumkan secara rinci langkah-langkah apa yg akan diambil, siapa yang akan melakukan, kapan dimulai, kapan terselesaikan serta berapa biayanya. Agar target yg telah ditetapkan tercapai, pemantauan terhadap setiap output aktivitas sebaiknya dilakukan secara periodik atau bisa jua per proyek. Tujuan pemantauan ini supaya apabila karyawan mengalami kesulitan/ kendala bisa segera dibantu. Selain itu atasan serta bawahan secara formal akan bertemu buat melakukan pembicaraan (konseling) Baru dalam akhir kurun waktu,dilaksanakan penilaian prestasi kerja tahunan secara formal. Semua hasil yg dicapai dicatat, kendala-kendala serta kegagalan diidentifikasi dan dicari sebabnya. Pada beberapa organisasi, bawahan diminta buat menciptakan analisa sendiri atas hasil yg dicapainya. Langkah selajutnya, atasan serta bawahan membahas hasil kerja dan sekaligus mencari cara buat mengatasi kendala dalam masa berikutnya. Pada saat yg sama, bawahan umumnya telah menyiapkan sasaran kerja ynag ingin dicapai pada periode berikutnya. Kemudian atasan mengungkapkan hasil penilaiannya menggunakan atasan yg lebih tinggi, lengkap dengan usulan atau planning yg akan dilakukan terhadap bawahannya. 

Kendala dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Dalam menerapkan manajemen kinerja terdapat beberapa hambatan yg perlu kita ketahui, yaitu:
  1. Perlu perubahan fundamental dalam budaya organisasi. Manajemn kinerja berbasis MBS hanya bisa sukses bilamana diteriama menjadi “budaya’ organisasi dalam arti yg luas-luasnya. Manajemen kinerja wajib telah dianggap menjadi suatu kebutuhan dan cara kerja yang dianggap sangat membantu mereka buat sukses. Semua anggota organisasi wajib punya perasaan memiliki system kerja tersebut. Untuk itu dibutuhkan komitmen penuh berdasarkan seluruh jajaran manajemen serta divisi sumberdaya insan yang harus terus menerus memantau penerapannya.
  2. Penolakan diam-membisu berdasarkan manajer serta karyawan. Masalah ini masih terkait erat dengan aspek budaya, baik budaya nasional maupun organisasi. Menurut output penelitian dan pengamatan pakar serta praktisi menejemen, galat astu aspek budaya Indonesia yg merusak kemajuan bangsa ini dan pengembangan karir individu yang bergerak pada organisasi adalah masih rendahnya penghargaan terhadap prestasi individu. Dalam organisasi besar termasuk perusahaan (misalnya BUMN) telah menjadi suatu kesepakatan (nilai) yang nir tertulis, bahwa’interaksi (dengan atasan) yg baik merupakan lebih krusial daripada prestasi kerja”. Oleh karena itu, setiap usaha mengukur prestasi secara obyektif dan terbuka selalu menyebabkan kegelisahan dan bisnis penghindaran. Masih terkait dengan hal itu, merupakan bahwa keharusan buat melakukan pembicaraan terbuka antara atasan bawahan mengenai kinerja bawahan juga menyebabkan situasi yang sama. Sistem nilai feodalistik yg masih kental menjurus pada gaya kepemimpinan “benevolen autokratik” dimana atasan wajib dipercaya ”bapak” dan bawaha wajib selalu tergantung pada atasan. Kondisi tadi dapat mengubah wacana konseling menjadi obrolan satu arah dimana atasan membei “pengarahan” /wejangan kepada bawahan yg hanya mengangguk angguk serta mengucapkan terima kasih (lantaran yg krusial gaji naik serta dapat bonus).
  3. Fokus Manajemen kinerja yg berjangka pendek. Apabila MBS hanya diterapkan menjadi dasar bagi manajemen kinerja sering nir dikaitkan menggunakan tujuan jangka panjang serta target jangka pendek bagi perusahaan secara keseluruhan, yang menjadi impian dan tanggung jawab” pemimpin puncak ”. Dalam kenyataannya, ini adalah keliru satu kelemahan terbesar menurut pengguanaan MBS menjadi dasar buat manajemen kinerja. Pimpinan puncak mempunyai tujuan, sasaran, rencana kerja dan rencana sendiri, namun pada jajaran dibawahnya masing-masing memutuskan target kerja sendiri yg mungkin nir sejalan menggunakan tujuan dan target yang ditetapkan oleh pimpinan zenit. Akibatnya dapat terjadi bahwa mayoritas karyawan mencapai sasaran masing-masing, namun perusahaannya mengalami kerugian paling atau paling sedikit nir mencapai target yang diinginkan. Oleh karena itu, walaupun perusahan mungkin tidak ingin terlihat menerapkan MBS secara keseluruhan serta hanya ingin menerapkan manajemen kinerja yang berbasis sasaran kerja individu (SKI) seharusnya target-target yg dibentuk sang setiap jajaran organisasi sejalan menggunakan sasaran perusahaan. Mekanisme dan sistemnya harus dipikirkan sang pimpinan puncak serta divisi sumber daya insan.
  4. Keberhasilan beberapa pekerjaan/jabatan hanya dapat diukur sehabis dua hingga lima tahun. Penetapan target kerja/sasaran jangka pendek seperti ditunjuk sang Manjemen Kinerja dari MBS belum tentu tepat untuk jabatan-jabatan tertentu. Untuk beberapa jabatan mungkin tidak tepat menetapkan target jangka pendek,. Karena orientasinya adalah dalam hasil jangka panjang. Contohnya merupakan dalam bidang Research and Development yang melakukan penelitian serta pengembangan pruduk yang outputnya tidak bisa pada menetapkan jangka waktu. Ada Produk yg mungkin baru dapat selesai pengembangannya setelah 18 bulan atau 2 tahun. 
  5. Tidak semua sasaran kerja bisa dirumuskan secara kuantitatif. Untuk beberapa bidang eksklusif terdapat kesulitan tetapkan target kerja yg mempunyai baku-setandar prestasi dalam ukuran kuantitatif atau angka. Misalnya buat bidang keuangan, akutansi, aturan dan SDM. Biasanya untuk itu terpaksa dicari-cari tolak ukur prestasi yg bisa digunakan, misalnya tanggal penyesesaian proyek/tugas. Selain itu, untuk pekerjaan tertentu misalnya oprator pada indrusti proses dan jabatan administratif dalam tingkat terendah mungkin sulit mambuat target-target kerja perorangan yg bisa ditetapkan secara kualitatif.
  6. Dapat terjadi “kongkalikong ” antara atasan serta bawahan pada memutuskan target. Pernah dan sering diketahui bahwa untuk menolong bawahannya sendiri supaya tidak menerima nilai tidak baik, atasan membiarkanya tetapkan target-target yang ringan atau tidak berbobot. Hal ini tak jarang terjadi terutama bila penetapan target terlalu dilepaskan kepada setiap jajaran tanpa terdapat koordinasi dari pimpinan yang lebih tinggi.
  7. Diperlukan latihan serta bimbingan yg sangat intensif bagi seluruh yg akan terlibat dari mulai cara menetapan target kerja dan menciptakan perencanaan kerja hingga menggunakan cara konseling. Banyak model serta kejadian bahwa perusahaan membangun manajemen kinerja berbasis target kerja individu (SKI) lengkap menggunakan pedoman tertulis dan formulir penilainnya, tetapi kemudian sesudah beberapa tahun ternyata hasilnya tidak seperti yg dibutuhkan, dan istilah-kata mencemooh acara ini sudah mulai terdengar berdasarkan para manajer lini. Semua perkara tadi sebenarnya bisa dihindari bila penerapannya dimulai menggunakan training-pelatihan yang intensif yg disusul dengan acara sosialisasi dan bimbingan. 
Beberapa variasi pada penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Mengingat banyaknya kendala dan kemungkinan penyalahgunaan pada penerapannya, dalam praktek penerapan sistem MBS ini bisa ditemukan secara bhineka. Perbedaan tersebut berkisar mulai menurut formalisasi atau stukturisasi caranya pada suatu organisasi tertentu sampai tingkat mana bawahan diijinkan buat memilih sasaran mereka sendiri. Beberapa jenis variasinya bisa disebutkan dibawah ini:
  • MBS diterapkan menggunakan cara sangat informal. Seperti kita ketahui, bahwa MBS seringkali diterapkan menjadi suatu sistem manajemen yg sangat formal menggunakan penjadwalan yg tepat dan formulir-formulir khusus yg digunakan buat menyajikan tujuan dan baku buat dievaluasi/dievaluasi. Tetapi lalu lebih banyak perusahaan yg meninggalkan cara yang sangat formal dan kaku tadi. Mungkin juga bahwa MBS masih permanen dilaksanakan secara formal sampai dalam tahapan memutuskan sasaran dan rencana kerja, namun rendezvous buat melakukan evaluasi secara regular apakah tiap kwartal, semester atau setiap akhir tahun seringkali kali dilaksanakan secara informal saja.
  • Ada kebebasan anak butir dalam tetapkan sasarannya sendiri. Dalam hal ini ada beberapa fackor yang mensugesti. Pertama, dalam perkara dimana jenis pekerjaan yang dilaksanakan oleh sebuah organisasi harus persis mengikuti apa yang digariskan (contohnya industri spesifik – reaktor nuklir), maka hampir semua karyawan hanya mengikuti apa yg digariskan oleh pimpinannya. Di pihak lain, dalam organisasi yang justru tergantung pada kreativitas orang-orangnya, kebebasan yang sangat besar diberikan pada seluruh orang buat memutuskan tujuan masing-masing selama seluruh mengarahan pada dan mendukung tercapainya tujuan organisasi yang primer (misalnya industri teknologi keterangan).
  • Hasil kerja siapa yang diukur. Hal ini berkaitan menggunakan kendala menurut penerapan sistem MBS pada Negara-negara seperti Indonesia, yaitu bahwa orang Indonesia masih cenderung kuat rasa kolektivismenya dan lebih senang memutuskan sasaran kerja buat gerombolan , bukan buat sendiri-sendiri. Untuk menerobos hambatan tadi, manajemen bisa mengambil “laba” dari budaya kolektif dengan meminta gerombolan buat memutuskan target kerja yang ingin mereka capai, contohnya pada hal efisiensi kerja dan produktifitas. Oleh karena itu cara ini biasanya digunakan buat sebagai dasar dalam pembagian insentif yg dikaitkan dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi.
  • Pemberian skorsing. Mengingat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan pada sstem MBS yang berbentuk penggunaan segala cara yang mungkin nir halal poly perusahaan beranggapan bahwa bila evaluasi semata mata berdasarkan pada output (result) bisa menimbulkan dua bahaya:
  1. Karyawan yg sangat ambisius dan memiliki cita-cita yang sangat bertenaga untuk menonjol dan maju sendiri akan dijangkiti obsesi yang berlebiahan terhadap pencapaian hasil, sehingga bila perlu mengorbankan sahabat atau anak buah.
  2. Focus/ perhatian/ minat karyawan sangat terikat dengan pencapaian output pada jangka pendek (maksimum 1 tahun) sebagai akibatnya mereka akan mengabaikan program-acara jangka panjang yg mungkin sangat krusial.
Berdasarkan pertimbangan tadi poly perusahaan masih tetap menekankan pentingnya memberi nilai dalam “cara” atau “proses” bagaimana output tersebut dicapai, yang sebenarnya merupakan “input” yang didayagunakan untuk memperoleh “output” yang ditargetkan. Sistem Manajemen Kinerja yg digunakan masih permanen menyisihkan score atau point buat factor-faktor tersebut, yg pada beberapa perusahaan dianggap “ kompensasi”, misalnya kerjasama pada team, interaksi antar pribadi serta sebagainya. Hasil akhir umumnya score dibagi sebagai dua bagian antara 65%-70% buat pencapaian sasaran (output) dan 30-35% buat faktor-faktor kualitatif yang disebutkan tadi. Faktor-faktor yg generik digunakan menjadi komponen kualitatif adalah:
  1. Technical Knowledge (pengetahuan mengenai aspek teknis berdasarkan pekerjaannya sendiri).
  2. Kompensasi Manajerial (Misal: objectives/target setting, planning, organizing, dll., bagi yg mempunyai jabatan manajerial saja).
  3. Keterampilan Komunikasi (prestasi, negoisasi dll.).
  4. Resourcefullness(kreativitas, inisiatif, dan penemuan).
  5. Kemampuan buat mrnyemangati bawahan buat berprestasi tinggi secara konsisten(bagi yg memimpin sejumlah orang).
  6. Kemampuan Hubungan Antar Pribadi (kemauan serta keterampilan).
  7. Kerjasama dalam team (kemauan serta keterampilannya)
  8. Ketaatan pada “Sistem nilai” (kode etik/ prinsip-prinsip berusaha yang diterapkan perusahaan. 
Setiap faktor tersebut wajib di buat tingkatan-tingkatannya, apakah antara 1 hingga 10 atau A(buat terbaik) sampai E (terburuk)serta lalu di buat definisi/penjelasn buat strata tersebut.

Langkah-Langkah Penerapan Manajemen Kinerja Berbasis MBS
Untuk menerapkan manajemen Kinerja yg berbasis dalam MBS terdapat beberapa langkah (tindakan) yg harus dilakukan misalnya terebut pada bawah ini:

1. Perencanaan serta perancangan 
Apabila dirasakan bahwa “budaya perusahaan” sudah mendukung dilaksanakannya program Manajemen Kinerja yg berdasarkan pada konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBS),serta sudah terdapat “permintaan “ yg konkret untuk menerapkannya termasuk menurut pimpinan zenit, maka yang pertama wajib dilakukan merupakan merancang program tersebut. Yang wajib dilakukan pada kegiatan ini adalah menciptakan konsep berbentuk proposal yang diajukan kepada pimpinan zenit. 

2. Seminar atau Kick off Meeting
Setelah mendapat dukungan berdasarkan manajemen puncak , maka dapat dilakukan seminar intern yg harus dihadiri oleh semua manajer madya. Tujuan seminar ini buat mengungkapkan apa itu Menejemen Kinerja, tujuannya dan bagaimana menerapkannya.

3. Pelatihan menggunakan sistem manajemen kinerja yg berdasarkan MBS.
Salah satu tantangan terbesar pada penerapan sistem ini merupakan bahwa karyawan dalam hampir semua strata memiliki kesulitan dalam memutuskan dan merumuskan tujuan juga sasaran kerja mereka. Mereka lebih terbiasa merumuskan “ aktivitas” yang mereka lakukan menurut pada pada bentuk hasil menurut aktivitas itu. Oleh karena itu, seluruh karyawan dari semua tingkatan yg prestasi kerjanya akan diukur menggunakan menggunakan metode ini harus mengikuti program training khusus dan intensif yang umumnya berbentuk workshop (lokakarya) yang akan membantu karyawan tahu tujuan atau alasan mengapa wajib “bekerja berdasarkan target” Menurut Ruky (2004), dari pengalaman pelatihan ini sangat penting sekali dan adalah tahap yang sangat crucial.

Dalam training tersebut dapat dirasakan betapa sulitnya merubah norma berpikir dan kerja yg tadinya berbasiskan “ kegiatan” menjadi berbasiskan “target dan output”. Oleh karena itu, adalah beralasan bila ahli mengungkapkan bahwa komitmen pimpinan puncak sangat diperlukan, disamping pembinaan itu sendiri wajib dilakukan menggunakan sahih serta tabah dan kemudian disusul menggunakan bimbingan sang para “fasilitator” dan instruktur yg handal.

4. Pelatihan teknik konseling.
Pelatihan pertama harus dikombinasikan dengan pelatihan spesifik tentang teknik komunikasi buat tujuan konseling dengan bawahan semenjak berdasarkan tahap pembicaraan tentang target-sasaran target yg harus diakui merupakan bahwa sedikit manajer atau supervisor yg telah mempunyai kemampuan tersebut secara alami, sehingga mereka wajib mendapatkan training. Termasuk dalam pelatihan ini merupakan merupakan teknik interaksi antara langsung yg konstruktif;mendengarkan menyemangati dan menangani bawahan yang berkeberatan serta mengajukan protes

5. Panduan tertulis.
Bersamaan menggunakan langkah pertama departemen SDM menyiapkan sebuah pedoman tertulis untuk menjadi pegangan bagi seluruh atasan yg menilai disertai formulir-formulir evaluasi yang diharapkan. Panduan tertulis serta formulir yang akan digunakan wajib tersedia dalam ketika training dilaksanakan.

6. Sosialisasi sistem manajemen kinerja 
Setelah semua persiapan selesai, harus dilakukan sebuah program sosialisasi mengenai sistem manajemen kinerja kepada semua karyawan bawahan yang prestasinya harus dinilai. Sosialisasi ini mampu dilakukan melalui semacam seminar dua-3 jam melalui pertemuan singkat pada tiap unit kerja serta penerangan tertulis.

7. Periode percobaan (trial period)
Menyusul program sosialisasi wajib diberlakukan sebuah periode percobaan buat men-test semua persiapan dan mengevaluasi aplikasi, sebagai akibatnya pemugaran yang perlu dapat diambil. Karena itu, sebaiknya persiapan buat menerapkan sistem manajemen kinerja berbasis MBS/SKI sudah selesai 1 atau 2 bulan sebelum tahun masa kerja perusahaan/ organisasi dimulai.

KIAT MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA

Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja 
Dalam upaya memenangkan persaingan pada pasar bebas setiap perusahaan dituntut buat mampu membentuk barang/jasa yang berdaya saing tinggi, yaitu barang/jasa yang mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu. Untuk menghasilakan barang/jasa yg berdaya saing tinggi ditentukan sang tingkat efisiensi yg tinggi. Tingkat efisien yang tinggi ditentukan sang kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), yaitu SDM yg professional yang dapat membentuk nilai tambah baru dan bisa menjawab tantangan baru. Untuk bisa mempunyai SDM yang professional organisasi bisa melakukan pendidikan serta pelatihan serta bimbingan bagi SDM-nya. Hanya saja buat membentuk prestasi kerja yang tinggi seorang karyawan tidak saja perlu memiliki keterampilan, tetapi beliau jua mempunyai asa dan semangat buat berprestasi tinggi. 

Dalam rangka buat menaikkan prestasi kerja karyawan, tulisan ini akan membahas mengenai sebuah sistem pada bidang manajemen SDM yg diyakini akan dapat mendorong energi kerja buat meningkatkan prestasi kerjanya, yaitu yg dianggap dengan Sistem Manajemen Kinerja, khususnya Sistem Manajemen Kinerja yg memfokuskan perhatiannya dalam output.

ARTI DAN TUJUAN MANAJEMEN KINERJA 
Istilah Manajemen Kinerja merupakan terjemahan berdasarkan Performance Management. Menurut Ruky (2004), dilihat dari suara kalimatnya, Manajemen Kinerja berkaitan dengan bisnis, kegiatan atau program yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pimpinan organisasi buat merencanakan, mengarahkan dan mengendalikan prestasi kerja karyawan. Karena program ini mencantumkan kata manajemen, maka seluruh aktivitas yg dilakukan pada “proses manajemen” wajib terjadi dimulai dengan menetapkan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai, kemudian tahap pembuatan planning, pengorganisasian, penggerakan/pengarahan dan akhirnya evaluasi atas hasilnya.

Bacal (2001) mendefinisikan Manajemen Kinerja menjadi proses komunikasi berkesinambungan yang dilaksanakan dari kemitraan antara karyawan serta atasan langsungnya. Terciptanya komunikasi dua arah ini sebagai cara untuk bekerjasama meningkatkan kinerja dan sekaligus mencegah munculnya kinerja jelek.

Baik Ruky maupun Bacal beropini, bahwa bagian yang paling krusial dalam Manajemen Kinerja adalah perencanaan. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan dalam Manajemen Kinerja ini merupakan memutuskan tujuan atau sasaran. Atasan dan masing-masing bawahan harus mengidentifikasi tujuan atau target yg hendak mereka capai, yaitu kinerja dalam bentuk apa dan yg seperti bagaimana yg ingin dicapai. Dan karena yang menjadi objek merupakan kinerja manusia, maka bentuk yang paling generik tentunya merupakan kinerja pada bentuk “produktivitas” SDM.

Ruang Lingkup Program Manajemen Kinerja
Program manajemen Kinerja ini ruang kingkupnya relatif besar . Ia bersifat menyeluruh atau menggarap seluruh bagian/fungsi dari sebuah organisasi. Program ini menjamah seluruh elemen, unsur atau input yang harus didayagunakan oleh organisasi buat menaikkan kinerja organisasi tadi, bukan hanya manusia. Elemen-elemen tersebut adalah teknologi (alat-alat, metode kerja) yang dipakai, kualitas dari input (termasuk material), kualitas lingkungan fisik (keselamatan, kesehatan kerja, lay-out temapt kerja dan kebersihan), iklim dan budaya organisasi dan kompensasi serta imbalan. Kegiatan menggunakan ruang lingkup misalnya tersebut diatas merupakan sebuah proyek besar serta melibatkan hampir semua orang, serta harus ditangani eksklusif sang pemimpin zenit organisasi. Beberapa tim “adhoc” baik yang terdiri berdasarkan “orang dalam” serta/atau konsultan diberi tugas khusus buat membantu pemimpin melakukan penelitia-penelitian membuat rancangan hingga menangani proyek-proyek khusus.

Dari uraian diatas bisa kita simpulkan, bahwa program manajemen kinerja dalam dasarnya merupakan sebuah proses pada MSDM. Selain itu penggunaan istilah “manajemen” memiliki implikasi, bahwa kegiatan tadi wajib dilaksanakan menjadi proses manajemen umum, yang dimulai dengan penetapan sasaran serta pada akhiri dengan penilaian. Proses tersebut pada garis besarnya terdiri dari lima aktivitas utama yaitu:
  • Merumuskan tanggung jawab serta tugas yg harus dicapai oleh karyawan serta rumusan tadi disepakati bersama.
  • Menyepakati sasaran kerja dalam bentuk output yg wajib dicapai oleh karyawan buat kurun ketika tertentu. Termasuk dalam tahap ini adalah penetapan baku prestasi dan tolak ukurnya.
  • Melakukan “monitoring”, melakukan koreksi, menaruh kesempatan serta donasi yg diperlukan bawahan.
  • Menilai prestasi karyawan tadi menggunakan cara membandingkan prestasi yg dicapai menggunakan standar atau tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam termin evaluasi ini wajib tercakup jua aktivitas mengidentifikasi bidang-bidang yg ada serta dirasakan masih ada kelemahan pada orang yg dinilai.
  • Memberikan umpan balik dalam karyawan yang dinilai menggunakan seluruh output penilaian yang dilakukan. Disini pula dibicarakan cara-cara buat memperbaiki kelemahan yang telah diketahui menggunakan tujuan menaikkan prestasi kerja pada priode berikutnya.
Manfaat Program Manajemen Kinerja
Ada beberapa manfaat yg dapat diperoleh organisasi dengan menerapkan Sistem Manajemen Kinerja yaitu:
  1. Dapat menaikkan prestasi kerja karyawan, baik secara individu juga kelompok, lantaran disini atasan dan bawahan diberi kesempatan buat memenuhi ekspresi dalam kerangka pencapaian tujuan perusahaan menggunakan menetapkan sendiri sasaran kerja dan baku prestasi yang wajib dicapai dalam kurun saat eksklusif.
  2. Peningkatan yang terjadi pada prestasi karyawan secara perorangan dalam akhirnya akan mendorong kinerja asal daya manusia secara keseluruhan yang direfleksikan dalam kenaikan produktivitas.
  3. merangsang minat pada pengembangan eksklusif menggunakan tujuan menaikkan output karya serta prestasi langsung dan potensi karyawan dengan cara memberikan umpan balik pada mereka mengenai prestasi kerjanya.
  4. membantu perusahaan buat dapat menyusun program pengenbangan serta pelatihan karyawan yg lebih tepat guna. Dan nantinya dibutuhkan usaha ini akan membantu perusahaan buat mempunyai pasokan tenaga yang cakap serta terampil yg cukup buat pengembangan perusahaan di masa depan.
  5. menyedikan alat/sarana buat mebandingkan prestasi kerja karyawan denagn tingkat imbalan/gajinya sebagai bagian dari kebijakan dan system imbalan yang baik.
  6. memberikan kesempatan pada karyawan buat mengeluarkan perasaannya mengenai pekerjaan atau hal-hal yang berkaitan dengannya. Dengan demikian jalur komunikasi dan dialog akan terbuka sehingga dapat diharapkan bahwa proses evaluasi prestasi kerja akan mengeratkan interaksi antara atasan serta bawahan.
Dari manfaat yg diuraikan diatas, dapat dijelaskan bahwa acara Manajemen Kinerja akan membantu organisasi/perusahaan buat merencanakan serta melaksanakan acara-program lain menggunakan lebih tepat serta baik, seperti contohnya buat:
  • penyusunan program training serta pengembangan karyawan. Dengan melaksanakan Manajemen Kinerja bisa diketahui serta diidentifikasi training tambahan apa saja yang harus diberikan kepada karyawan buat membantu agar sanggup mencapai standar prestasi yang ditetapkan.
  • Penyusunan acara susksesi dan kaderisasi. Dengan melaksanakan manajenem kinerja pula dapat diidentifikasi siapa saja karyawan yang memiliki potensi buat dikembangkan kariernya dan dicalonkan unutk menduduki jabatan-jabatan yang starategis.
  • Pembinaan karywan. Pelaksanaan manajemen kinerja pula dapat menjadi target buat meneliti kendala karyawan buat menaikkan prestasi kerjanya. Jika ternyata hambatannya bukan kemampuan, namun kemauan (motivasi), maka program pembinaan dapat dilakukan secara pribadi, misalnya menggunakan memberikan konseling sang atasannya atau seorang konselor yg ditunjuk perusahaan.
Sistem Manajemen Kinerja Karyawan Yang Berorientasi Pada Output
Sistem Manajemen Kinerja yang berorientasi pada hasil tak jarang pula diklaim sebagai Sistem Manajemen Kinerja yg berbasiskan pencapaian Sasaran Kinerja Individu (SKI). System ini memfokuskan pada output yg diperoleh atau yang dicapai oleh karyawan. Ruky (2004) menyebutnya menjadi Result Oriented Performance Management By Objective (MBO) atau pada Indonesia popular dengan istilah MBS (Manajemen Berdasarkan Sasaran).

Bagaimana memakai MBS sebagai dasar Manajemen Kinerja? Untuk menjawab pertanyaan diatas marilah kita melihat gambar berikut ini:

Dari gambar diatas dapat dipandang, bahwa program Manajemen Kinerja ini benar-sahih memerlukan komunikasi 2 arah dan keterbukaan antara atasan dan bawahan. Mereka secara bersama-sama harus meneliti pulang ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan weweng bawahan. Kemudian atasan mengungkapkan target-target perusahaan dan target yg menjadi tanggung jawabnya kepada bawahan. Selanjutnya bawahan pula wajib tetapkan target kerja sendiri yang akan mendukung sasaran perusahaan dan sasaran atasan dilengkapi menggunakan standar prestasi dan tolak ukur keberhasilan pada angka (satuan), waktu penyelesaian dan spesifikasi lainya. Jika sasaran sudah disetujui sang atasan, lalu dibuat action plan (planning tindakan) yg mencantumkan secara rinci langkah-langkah apa yang akan diambil, siapa yang akan melakukan, kapan dimulai, kapan terselesaikan dan berapa biayanya. Agar sasaran yang sudah ditetapkan tercapai, pemantauan terhadap setiap hasil aktivitas sebaiknya dilakukan secara periodik atau mampu pula per proyek. Tujuan pemantauan ini agar jika karyawan mengalami kesulitan/ kendala bisa segera dibantu. Selain itu atasan dan bawahan secara formal akan bertemu buat melakukan pembicaraan (konseling) Baru dalam akhir kurun waktu,dilaksanakan evaluasi prestasi kerja tahunan secara formal. Semua output yang dicapai dicatat, kendala-kendala dan kegagalan diidentifikasi dan dicari sebabnya. Pada beberapa organisasi, bawahan diminta buat membuat analisa sendiri atas hasil yang dicapainya. Langkah selajutnya, atasan serta bawahan membahas output kerja dan sekaligus mencari cara untuk mengatasi hambatan dalam masa berikutnya. Pada saat yang sama, bawahan umumnya telah menyiapkan target kerja ynag ingin dicapai pada periode berikutnya. Kemudian atasan menyampaikan hasil penilaiannya menggunakan atasan yang lebih tinggi, lengkap dengan usulan atau planning yang akan dilakukan terhadap bawahannya. 

Kendala dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Dalam menerapkan manajemen kinerja terdapat beberapa kendala yang perlu kita ketahui, yaitu:
  1. Perlu perubahan mendasar dalam budaya organisasi. Manajemn kinerja berbasis MBS hanya bisa sukses bilamana diteriama menjadi “budaya’ organisasi dalam arti yang luas-luasnya. Manajemen kinerja harus telah dianggap sebagai suatu kebutuhan serta cara kerja yg dipercaya sangat membantu mereka buat sukses. Semua anggota organisasi wajib punya perasaan mempunyai system kerja tersebut. Untuk itu diharapkan komitmen penuh menurut semua jajaran manajemen dan divisi sumberdaya insan yang harus terus menerus memantau penerapannya.
  2. Penolakan diam-membisu dari manajer dan karyawan. Masalah ini masih terkait erat menggunakan aspek budaya, baik budaya nasional maupun organisasi. Menurut output penelitian serta pengamatan pakar serta praktisi menejemen, salah astu aspek budaya Indonesia yang menghambat kemajuan bangsa ini dan pengembangan karir individu yang berkiprah pada organisasi merupakan masih rendahnya penghargaan terhadap prestasi individu. Dalam organisasi akbar termasuk perusahaan (misalnya BUMN) telah menjadi suatu konvensi (nilai) yg nir tertulis, bahwa’hubungan (dengan atasan) yg baik merupakan lebih penting daripada prestasi kerja”. Oleh karena itu, setiap bisnis mengukur prestasi secara obyektif dan terbuka selalu mengakibatkan kegelisahan dan bisnis penghindaran. Masih terkait dengan hal itu, merupakan bahwa keharusan buat melakukan pembicaraan terbuka antara atasan bawahan mengenai kinerja bawahan pula mengakibatkan situasi yg sama. Sistem nilai feodalistik yang masih kental menjurus pada gaya kepemimpinan “benevolen autokratik” dimana atasan wajib dianggap ”bapak” serta bawaha harus selalu tergantung kepada atasan. Kondisi tersebut bisa mengganti wacana konseling menjadi obrolan satu arah dimana atasan membei “pengarahan” /wejangan pada bawahan yang hanya mengangguk angguk dan mengucapkan terima kasih (karena yg krusial honor naik serta bisa insentif).
  3. Fokus Manajemen kinerja yang berjangka pendek. Jika MBS hanya diterapkan menjadi dasar bagi manajemen kinerja acapkali tidak dikaitkan dengan tujuan jangka panjang dan sasaran jangka pendek bagi perusahaan secara holistik, yang menjadi asa dan tanggung jawab” pemimpin zenit”. Dalam kenyataannya, ini adalah galat satu kelemahan terbesar berdasarkan pengguanaan MBS sebagai dasar buat manajemen kinerja. Pimpinan puncak mempunyai tujuan, target, rencana kerja serta rencana sendiri, tetapi pada jajaran dibawahnya masing-masing menetapkan target kerja sendiri yang mungkin tidak sejalan menggunakan tujuan serta target yg ditetapkan oleh pimpinan zenit. Akibatnya dapat terjadi bahwa dominan karyawan mencapai target masing-masing, namun perusahaannya mengalami kerugian paling atau paling sedikit nir mencapai target yg diinginkan. Oleh karena itu, walaupun perusahan mungkin tidak ingin terlihat menerapkan MBS secara keseluruhan serta hanya ingin menerapkan manajemen kinerja yang berbasis sasaran kerja individu (SKI) seharusnya sasaran-sasaran yang dibentuk oleh setiap jajaran organisasi sejalan dengan target perusahaan. Mekanisme serta sistemnya harus dipikirkan oleh pimpinan zenit dan divisi asal daya insan.
  4. Keberhasilan beberapa pekerjaan/jabatan hanya bisa diukur selesainya dua sampai 5 tahun. Penetapan target kerja/sasaran jangka pendek seperti ditunjuk sang Manjemen Kinerja dari MBS belum tentu tepat buat jabatan-jabatan tertentu. Untuk beberapa jabatan mungkin nir tepat menetapkan sasaran jangka pendek,. Lantaran orientasinya merupakan dalam hasil jangka panjang. Contohnya adalah pada bidang Research and Development yg melakukan penelitian dan pengembangan pruduk yang outputnya tidak dapat pada menetapkan jangka ketika. Ada Produk yg mungkin baru bisa selesai pengembangannya selesainya 18 bulan atau 2 tahun. 
  5. Tidak semua sasaran kerja bisa dirumuskan secara kuantitatif. Untuk beberapa bidang tertentu terdapat kesulitan tetapkan sasaran kerja yg memiliki baku-setandar prestasi dalam ukuran kuantitatif atau angka. Misalnya untuk bidang keuangan, akutansi, aturan serta SDM. Biasanya buat itu terpaksa dicari-cari tolak ukur prestasi yg dapat digunakan, misalnya lepas penyesesaian proyek/tugas. Selain itu, buat pekerjaan tertentu misalnya oprator pada indrusti proses dan jabatan administratif pada tingkat terendah mungkin sulit mambuat target-target kerja perorangan yg dapat ditetapkan secara kualitatif.
  6. Dapat terjadi “kolusi” antara atasan dan bawahan dalam menetapkan sasaran. Pernah serta tak jarang diketahui bahwa buat menolong bawahannya sendiri agar nir menerima nilai tidak baik, atasan membiarkanya tetapkan sasaran-sasaran yg ringan atau tidak berbobot. Hal ini sering terjadi terutama apabila penetapan target terlalu dilepaskan pada setiap jajaran tanpa ada koordinasi menurut pimpinan yg lebih tinggi.
  7. Diperlukan latihan serta bimbingan yg sangat intensif bagi semua yang akan terlibat berdasarkan mulai cara menetapan target kerja serta membuat perencanaan kerja sampai menggunakan cara konseling. Banyak model serta peristiwa bahwa perusahaan membentuk manajemen kinerja berbasis sasaran kerja individu (SKI) lengkap menggunakan pedoman tertulis serta formulir penilainnya, namun lalu sesudah beberapa tahun ternyata hasilnya tidak misalnya yg diperlukan, dan istilah-istilah mencemooh acara ini sudah mulai terdengar berdasarkan para manajer lini. Semua masalah tadi sebenarnya bisa dihindari apabila penerapannya dimulai menggunakan pembinaan-pelatihan yg intensif yg disusul dengan acara sosialisasi serta bimbingan. 
Beberapa variasi dalam penerapan Manajemen Kinerja berbasis MBS
Mengingat banyaknya hambatan serta kemungkinan penyalahgunaan pada penerapannya, dalam praktek penerapan sistem MBS ini bisa ditemukan secara berbeda-beda. Perbedaan tadi berkisar mulai dari formalisasi atau stukturisasi caranya pada suatu organisasi tertentu hingga tingkat mana bawahan diijinkan buat menentukan sasaran mereka sendiri. Beberapa jenis variasinya dapat disebutkan dibawah ini:
  • MBS diterapkan menggunakan cara sangat informal. Seperti kita ketahui, bahwa MBS acapkali diterapkan menjadi suatu sistem manajemen yang sangat formal dengan penjadwalan yang tepat dan formulir-formulir spesifik yang digunakan buat menyajikan tujuan serta baku buat dievaluasi/dinilai. Tetapi kemudian lebih poly perusahaan yg meninggalkan cara yg sangat formal dan kaku tadi. Mungkin jua bahwa MBS masih tetap dilaksanakan secara formal sampai pada tahapan memutuskan target serta planning kerja, namun rendezvous buat melakukan evaluasi secara regular apakah tiap kwartal, semester atau setiap akhir tahun seringkali kali dilaksanakan secara informal saja.
  • Ada kebebasan anak buah pada menetapkan sasarannya sendiri. Dalam hal ini terdapat beberapa fackor yang mensugesti. Pertama, pada kasus dimana jenis pekerjaan yg dilaksanakan oleh sebuah organisasi harus persis mengikuti apa yang digariskan (contohnya industri khusus – reaktor nuklir), maka hampir semua karyawan hanya mengikuti apa yang digariskan oleh pimpinannya. Di pihak lain, pada organisasi yang justru tergantung pada kreativitas orang-orangnya, kebebasan yg sangat besar diberikan pada seluruh orang buat menetapkan tujuan masing-masing selama seluruh mengarahan pada serta mendukung tercapainya tujuan organisasi yang primer (misalnya industri teknologi liputan).
  • Hasil kerja siapa yg diukur. Hal ini berkaitan menggunakan kendala berdasarkan penerapan sistem MBS di Negara-negara misalnya Indonesia, yaitu bahwa orang Indonesia masih cenderung bertenaga rasa kolektivismenya serta lebih suka memutuskan target kerja buat kelompok, bukan buat sendiri-sendiri. Untuk menerobos hambatan tersebut, manajemen dapat mengambil “laba” berdasarkan budaya kolektif dengan meminta kelompok untuk menetapkan sasaran kerja yg ingin mereka capai, contohnya dalam hal efisiensi kerja serta produktifitas. Oleh karena itu cara ini umumnya digunakan buat sebagai dasar pada pembagian insentif yang dikaitkan dengan peningkatan produktivitas atau efisiensi.
  • Pemberian skorsing. Mengingat kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dalam sstem MBS yang berbentuk penggunaan segala cara yang mungkin tidak halal poly perusahaan beranggapan bahwa apabila penilaian semata mata didasarkan dalam hasil (result) bisa menyebabkan 2 bahaya:
  1. Karyawan yg sangat ambisius dan mempunyai keinginan yang sangat bertenaga buat menonjol serta maju sendiri akan dijangkiti obsesi yg berlebiahan terhadap pencapaian output, sehingga jika perlu mengorbankan teman atau anak butir.
  2. Focus/ perhatian/ minat karyawan sangat terikat menggunakan pencapaian output dalam jangka pendek (maksimum 1 tahun) sebagai akibatnya mereka akan mengabaikan program-program jangka panjang yg mungkin sangat penting.
Berdasarkan pertimbangan tadi poly perusahaan masih tetap menekankan pentingnya memberi nilai pada “cara” atau “proses” bagaimana output tersebut dicapai, yg sebenarnya adalah “input” yang didayagunakan buat memperoleh “output” yang ditargetkan. Sistem Manajemen Kinerja yg digunakan masih tetap menyisihkan score atau point buat factor-faktor tadi, yg dalam beberapa perusahaan diklaim “ kompensasi”, misalnya kerjasama pada team, interaksi antar langsung serta sebagainya. Hasil akhir umumnya score dibagi sebagai 2 bagian antara 65%-70% buat pencapaian sasaran (output) dan 30-35% buat faktor-faktor kualitatif yg disebutkan tersebut. Faktor-faktor yang generik digunakan sebagai komponen kualitatif merupakan:
  1. Technical Knowledge (pengetahuan tentang aspek teknis menurut pekerjaannya sendiri).
  2. Kompensasi Manajerial (Misal: objectives/target setting, planning, organizing, dll., bagi yg memiliki jabatan manajerial saja).
  3. Keterampilan Komunikasi (prestasi, negoisasi dll.).
  4. Resourcefullness(kreativitas, inisiatif, serta penemuan).
  5. Kemampuan buat mrnyemangati bawahan buat berprestasi tinggi secara konsisten(bagi yg memimpin sejumlah orang).
  6. Kemampuan Hubungan Antar Pribadi (kemauan serta keterampilan).
  7. Kerjasama pada team (kemauan dan keterampilannya)
  8. Ketaatan pada “Sistem nilai” (kode etik/ prinsip-prinsip berusaha yang diterapkan perusahaan. 
Setiap faktor tersebut wajib pada buat tingkatan-tingkatannya, apakah antara 1 sampai 10 atau A(buat terbaik) hingga E (terburuk)serta kemudian di untuk definisi/penjelasn buat tingkatan tadi.

Langkah-Langkah Penerapan Manajemen Kinerja Berbasis MBS
Untuk menerapkan manajemen Kinerja yg berbasis dalam MBS terdapat beberapa langkah (tindakan) yang wajib dilakukan seperti terebut pada bawah ini:

1. Perencanaan serta perancangan 
Apabila dirasakan bahwa “budaya perusahaan” sudah mendukung dilaksanakannya acara Manajemen Kinerja yg didasarkan pada konsep Manajemen Berdasarkan Sasaran (MBS),serta telah ada “permintaan “ yang konkret untuk menerapkannya termasuk berdasarkan pimpinan puncak , maka yg pertama harus dilakukan merupakan merancang acara tersebut. Yang harus dilakukan dalam kegiatan ini merupakan menciptakan konsep berbentuk proposal yang diajukan kepada pimpinan zenit. 

2. Seminar atau Kick off Meeting
Setelah mendapat dukungan dari manajemen zenit, maka bisa dilakukan seminar intern yang wajib dihadiri oleh seluruh manajer madya. Tujuan seminar ini untuk mengungkapkan apa itu Menejemen Kinerja, tujuannya dan bagaimana menerapkannya.

3. Pelatihan memakai sistem manajemen kinerja yang menurut MBS.
Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan sistem ini adalah bahwa karyawan dalam hampir seluruh strata mempunyai kesulitan dalam memutuskan serta merumuskan tujuan maupun sasaran kerja mereka. Mereka lebih terbiasa merumuskan “ kegiatan” yg mereka lakukan berdasarkan pada pada bentuk output dari kegiatan itu. Oleh karena itu, seluruh karyawan dari semua tingkatan yg prestasi kerjanya akan diukur menggunakan menggunakan metode ini harus mengikuti acara pembinaan khusus serta intensif yang biasanya berbentuk workshop (lokakarya) yg akan membantu karyawan memahami tujuan atau alasan mengapa wajib “bekerja menurut sasaran” Menurut Ruky (2004), dari pengalaman training ini sangat penting sekali serta adalah tahap yg sangat crucial.

Dalam pelatihan tadi dapat dirasakan betapa sulitnya merubah norma berpikir serta kerja yang tadinya berbasiskan “ aktivitas” menjadi berbasiskan “target dan output”. Oleh karenanya, adalah beralasan bila ahli mengatakan bahwa komitmen pimpinan zenit sangat diperlukan, disamping pelatihan itu sendiri wajib dilakukan dengan sahih serta sabar serta lalu disusul menggunakan bimbingan sang para “fasilitator” dan instruktur yang handal.

4. Pelatihan teknik konseling.
Pelatihan pertama harus dikombinasikan dengan pembinaan spesifik tentang teknik komunikasi buat tujuan konseling menggunakan bawahan sejak berdasarkan termin pembicaraan mengenai target-target sasaran yang harus diakui merupakan bahwa sedikit manajer atau supervisor yang telah mempunyai kemampuan tadi secara alami, sebagai akibatnya mereka wajib mendapatkan pembinaan. Termasuk dalam pembinaan ini adalah merupakan teknik hubungan antara langsung yg konstruktif;mendengarkan menyemangati serta menangani bawahan yg berkeberatan serta mengajukan protes

5. Panduan tertulis.
Bersamaan dengan langkah pertama departemen SDM menyiapkan sebuah panduan tertulis buat sebagai pegangan bagi semua atasan yg menilai disertai formulir-formulir evaluasi yang diperlukan. Panduan tertulis serta formulir yg akan dipakai wajib tersedia pada saat pembinaan dilaksanakan.

6. Sosialisasi sistem manajemen kinerja 
Setelah semua persiapan selesai, harus dilakukan sebuah acara pengenalan tentang sistem manajemen kinerja kepada semua karyawan bawahan yg prestasinya harus dievaluasi. Sosialisasi ini sanggup dilakukan melalui semacam seminar dua-tiga jam melalui rendezvous singkat pada tiap unit kerja serta penerangan tertulis.

7. Periode percobaan (trial period)
Menyusul program sosialisasi wajib diberlakukan sebuah periode percobaan untuk men-test seluruh persiapan dan mengevaluasi pelaksanaan, sehingga perbaikan yang perlu bisa diambil. Karena itu, usahakan persiapan buat menerapkan sistem manajemen kinerja berbasis MBS/SKI sudah selesai 1 atau dua bulan sebelum tahun masa kerja perusahaan/ organisasi dimulai.

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA STRATEGI UNGGULAN KOMPETITIF

Manajemen Sumber Daya Manusia : Strategi Unggulan Kompetitif 
Keberadaan sumber daya insan pada suatu organisasi merupakan aset yang berharga bagi organisasi itu sendiri. Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi berdasarkan kualitas orang-orang yg berada di dalamnya. SDM akan bekerja secara optimal apabila organisasi dapat mendukung kemajuan karir mereka menggunakan melihat apa sebenarnya kompetensi mereka. Biasanya, pengembangan SDM berbasis kompetensi akan menaikkan produktivitas karyawan sehingga kualitas kerja pun lebih tinggi jua dan berujung pada puasnya pelanggan serta organisasi akan diuntungkan. 

Pengembangan SDM berbasis kompetensi dilakukan supaya bisa memberikan hasil sinkron menggunakan tujuan dan target organisasi menggunakan baku kinerja yang telah ditetapkan. Kompetensi yg dimiliki seseorang karyawan secara individual wajib dapat mendukung aplikasi visi misi organisasi melalui kinerja strategis organisasi tersebut. Oleh karena itu kinerja individu pada organisasi adalah jalan dalam meningkatkan poduktivitas organisasi itu sendiri.

PENGERTIAN SDM
Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir serta daya fisik yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya dipengaruhi oleh keturunan serta lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh impian buat memenuhi kepuasannya. Sumber daya manusia merupakan aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yang menyangkut keberadaan organiasi. 

Sumber daya manusia atau biasa disingkat sebagai SDM merupakan potensi yg terkandung dalam diri insan buat mewujudkan kiprahnya sebagai makhluk sosial yang adaptif serta transformatif yang bisa mengelola dirinya sendiri dan seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti menjadi bagian integral dari sistem yg menciptakan suatu organisasi. Oleh karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM harus merogoh penjurusan industri dan organisasi.

Mengenai perkembangan Sumber Daya Manusia pada suatu organisasi, Greer menyatakan bahwa :

Dewasa ini, perkembangan terkini memandang SDM bukan menjadi sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Lantaran itu lalu muncullah kata baru di luar H.R. (Human Resources), yaitu H.C. Atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar menjadi aset primer, namun aset yg bernilai dan bisa dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan menggunakan portfolio investasi) dan jua bukan kebalikannya menjadi liability (beban,cost). Di sini perspektif SDM menjadi investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.

Berdasarkan hal di atas, maka SDM memegang nilai yang sangat krusial pada manajemen keorganisasian. Meskipun teknologi banyak dilibatkan dalam roda organisasi, namun permanen saja organisasi memerlukan SDM sebagai daya penggerak berdasarkan asal daya lainnya yang dimiliki sang organisasi pada bentuk apapun. 

KOMPETENSI
Kompeten merupakan keterampilan yg diharapkan seseorang yg ditunjukkan oleh kemampuannya buat dengan konsisten memberikan taraf kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan khusus. Kompeten harus dibedakan menggunakan kompetensi, walaupun pada pemakaian generik kata ini digunakan bisa dipertukarkan. Upaya awal buat memilih kualitas menurut manajer yg efektif berdasarkan pada sejumlah sifat-sifat kepribadian serta keterampilan manajer yang ideal. Ini adalah suatu pendekatan contoh input, yang fokus dalam keterampilan yg diharapkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Keterampilan-keterampilan ini merupakan kompetensi dan mencerminkan kemampuan potensial buat melakukan sesuatu. Dengan munculnya manajemen ilmiah, perhatian orang-orang berbalik lebih pada perilaku para manajer efektif serta dalam hasil manajemen yg sukses. Pendekatan ini merupakan suatu model output, dengan mana efektivitas manajer dipengaruhi, yg menerangkan bahwa seseorang telah menilik bagaimana melakukan sesuatu menggunakan baik.

Terdapat disparitas konsep tentang kompetensi menurut konsep Inggris serta konsep Amerika Serikat. Menurut konsep Inggris, kompetensi dipakai di loka kerja dalam banyak sekali cara. Pelatihan sering berbasiskan kompetensi. Sistem National Council Vocational Qualification (NCVQ) berdasarkan dalam baku kompetensi. Kompetensi jua digunakan dalam manajemen imbalan, menjadi contoh, pada pembayaran berdasarkan kompetensi. Penilaian kompetensi adalah suatu proses yg perlu buat menyokong inisiatif-inisiatif ini dengan menentukan kompetensi-komptensi apa yang karyawan wajib perlihatkan.

Pendapat yg hampir sama menggunakan konsep Inggris dikemukakan oleh Kravetz (2004), bahwa kompetensi adalah sesuatu yg seorang tunjukkan dalam kerja setiap hari. Fokusnya merupakan dalam perilaku pada loka kerja, bukan sifat-sifat kepribadian atau keterampilan dasar yg ada di luar loka kerja ataupun pada dalam loka kerja.

Kompetensi mencakup melakukan sesuatu, nir hanya pengetahuan yang pasif. Seorang karyawan mungkin pandai , tetapi bila mereka tidak menterjemahkan kepandaiannya ke pada perilaku di tempat kerja yg efektif, kepandaian tidak berguna. Jadi kompetensi tidak hanya mengetahui apa yg wajib dilakukan. 

Menurut Spencer and Spencer (1993) Kompetensi didefinisikan menjadi Underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion- referenced effective and or superior performance in a job or situation. Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu pada pekerjaannya. 

Secara general, kompetensi sendiri bisa dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, serta pengetahuan (knowledge) yg tercermin melalui konduite kinerja (job behavior) yg dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi 2 tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, interaksi antar insan dan membentuk hubungan menggunakan orang lain. Contoh soft competency merupakan: leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yg ke 2 sering dianggap hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan menggunakan seluk beluk teknis yg berkaitan menggunakan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.

PROGRAM PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI
Pelatihan dan pengembangan bisa didefinisikan sebagai bisnis yg terencana menurut organisasi buat menaikkan pengetahuan, keterampilan serta kemampuan pegawai. Pelatihan dan pengembangan adalah dua konsep yang sama, yaitu buat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Namun jika ditinjau berdasarkan sasarannya, pembinaan lebih ditekankan dalam peningkatan kemampuan buat melakukan pekerjaan yang spesifik pada waktu ini, serta pengembangan lebih ditekankan pada peningkatan pengetahuan buat melakukan pekerjaan dalam masa yang akan datang, yg dilakukan melalui pendekatan yang terintegrasi menggunakan kegiatan lain untuk mengganti konduite kerja. 

Terdapat beberapa laba menggunakan dilakukannya training dan pengembangan bagi pegawai yang dalam akhirnya akan membawa laba bagi organisasi antara lain :
1. Mendorong pencapaian pengembangan diri pegawai
2. Memberikan kesempatan bagi pegawai buat berkembang dan mempunyai pandangan mengenai masa depan kariernya.
3. Membantu pegawai pada menangani konflik dan ketegangan.
4. Meningkatkan kepuasan kerja dan prestasi kerja
5. Menjadi jalan untuk pemugaran keterampilan pada bersosialisasi dan berkomunikasi.
6. Membantu menghilangkan ketakutan pada mencoba hal-hal baru dalam pekerjaan
7. Menggerakkan pegawai untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi 

Berdasarkan hal-hal pada atas maka pelatihan dan pengembangan asal daya manusia menaruh pengaruh yang baik terhadap kinerja pegawai tadi sebagai individu. Hal ini jelas akan membawa peningkatan terhadap kinerja organisasi bila pelatihan serta pengembangan pegawai dilakukan secara terjadwal serta berkesinambungan. Pengembangan SDM dirasakan sangat penting lantaran tuntutan pekerjaan yang sangat kompleks akibat kemajuan teknologi dan kompetisi diantara banyak sekali organisasi, sangat membutuhkan pengembangan pegawai yang baik. 

Beberapa tujuan dari pengembangan pegawai diantaranya :
1. Meningkatkan produktivitas kerja
2. Meningkatkan efisiensi energi, waktu, bahan standar, dan mengurangi ausnya mesin-mesin
3. Mengurangi tingkat kecelakaan pegawai
4. Meningkatkan pelayanan yg lebih baik menurut karyawan buat konsumen perusahaan dan atau organisasi
5. Menjaga moral pegawai yang baik
6. Meningkatkan karier pegawai
7. Meningkatkan kecakapan manajerial pegawai

PENGEMBANGAN SDM BERBASIS KOMPETENSI DALAM MENINGKATKAN KINERJA ORGANISASI
Dalam mengungkap kinerja organisasi Nickson (2007:169) mengutip pendapat Armstrong tentang yaitu :

“Performance management is about getting better results from the organization, teams and individuals by understanding and managing performance within an agreed framework of planned goals, standards and competing requirements. It is a process for establishing shared understanding about what is to be achieved, and an approach to managing and developing people in a way which increases the probability that it will be achieved in the short and long term. It is owned and driven by management. “

Berdasarkan pendapatnya di atas bisa dikatakan bahwa kinerja organisasi diperoleh dari pengelolaan aneka macam tujuan, target dan pengembangan sumber daya manusia di dalamnya pada rangka mencapai tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Peran pimpinan dalam hal ini sangat secara umum dikuasai. Sejauh mana pimpinan menghendaki SDM organisasinya berkembang maka pimpinan tadi memiliki wewenang pada mewujudkan pengembangan SDM melalui berbagai kegiatan pengembangan serta training sesuai dengan masing-masing kompetensi yang dimiliki pegawainya.

Berbagai upaya pengembangan SDM hendaknya didukung oleh beberapa faktor antara lain:
1. Terdapat seleksi SDM yg baik buat benar-sahih membangun pegawai yang berkualitas
2. Merancang keselarasan antara kebutuhan organisasi dan kemampuan pegawai
3. Menyediakan wahana, prasarana serta teknologi yang sesuai buat pengembangan pegawai
4. Komitmen yang tinggi dari setiap elemen organisasi buat melakukan pengembangan pegawai secara berkesinambungan.

Apabila daya dukung organisasi sudah dapat berjalan secara simultan maka pengembangan sumberdaya insan berbasis kompetensi akan bisa menaruh dampak baik bagi peningkatan kinerja organisasi. Hal ini terjadi lantaran sumberdaya manusia yang berkembang secara kompeten merupakan suatu kondisi dimana seluruh elemen internal organisasi siap buat bekerja dengan mengandalkan kualitas diri dan kemampuan yang baik. 

Pada level tertentu dimana syarat di atas telah bisa tercipta pada suatu organisasi maka kinerja individu organisasi menjadi cerminan bagi kinerja organisasi. Terdapat poly tantangan pada membangun situasi aman bagi organisasi buat mempertinggi kinerjanya dan pengembangan SDM merupakan galat satu hal yg patut kian dilakukan. Organisasi yang menghendaki kinerja yang optimal diperlukan juga konsistensi menurut manajemen mengenai pengelolaan pegawai yg baik serta proporsional dan membentuk interaksi kerja yang efektif.

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA STRATEGI UNGGULAN KOMPETITIF

Manajemen Sumber Daya Manusia : Strategi Unggulan Kompetitif 
Keberadaan sumber daya insan pada suatu organisasi merupakan aset yang berharga bagi organisasi itu sendiri. Keberhasilan suatu organisasi ditentukan menurut kualitas orang-orang yg berada pada dalamnya. SDM akan bekerja secara optimal jika organisasi bisa mendukung kemajuan karir mereka menggunakan melihat apa sebenarnya kompetensi mereka. Biasanya, pengembangan SDM berbasis kompetensi akan menaikkan produktivitas karyawan sebagai akibatnya kualitas kerja pun lebih tinggi pula dan berujung pada puasnya pelanggan serta organisasi akan diuntungkan. 

Pengembangan SDM berbasis kompetensi dilakukan supaya bisa memberikan output sesuai menggunakan tujuan dan sasaran organisasi dengan baku kinerja yang sudah ditetapkan. Kompetensi yg dimiliki seorang karyawan secara individual harus dapat mendukung aplikasi visi misi organisasi melalui kinerja strategis organisasi tersebut. Oleh karenanya kinerja individu dalam organisasi merupakan jalan dalam menaikkan poduktivitas organisasi itu sendiri.

PENGERTIAN SDM
Sumber daya insan merupakan kemampuan terpadu berdasarkan daya pikir dan daya fisik yg dimiliki individu, perilaku serta sifatnya dipengaruhi sang keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh harapan buat memenuhi kepuasannya. Sumber daya manusia adalah aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yg menyangkut keberadaan organiasi. 

Sumber daya manusia atau biasa disingkat sebagai SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri insan buat mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yg adaptif serta transformatif yg mampu mengelola dirinya sendiri serta semua potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan pada tatanan yg seimbang serta berkelanjutan. Dalam pengertian simpel sehari-hari, SDM lebih dimengerti menjadi bagian integral menurut sistem yg membentuk suatu organisasi. Oleh karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM wajib mengambil penjurusan industri serta organisasi.

Mengenai perkembangan Sumber Daya Manusia pada suatu organisasi, Greer menyatakan bahwa :

Dewasa ini, perkembangan modern memandang SDM bukan menjadi sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Karena itu lalu muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources), yaitu H.C. Atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar menjadi aset primer, tetapi aset yang bernilai serta dapat dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan menggunakan portfolio investasi) serta jua bukan kebalikannya menjadi liability (beban,cost). Di sini perspektif SDM menjadi investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.

Berdasarkan hal di atas, maka SDM memegang nilai yang sangat penting dalam manajemen keorganisasian. Meskipun teknologi banyak dilibatkan pada roda organisasi, tetapi tetap saja organisasi memerlukan SDM sebagai daya penggerak menurut asal daya lainnya yg dimiliki oleh organisasi pada bentuk apapun. 

KOMPETENSI
Kompeten adalah keterampilan yang diharapkan seseorang yang ditunjukkan oleh kemampuannya untuk dengan konsisten menaruh tingkat kinerja yg memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan khusus. Kompeten harus dibedakan menggunakan kompetensi, walaupun pada pemakaian generik kata ini dipakai bisa dipertukarkan. Upaya awal buat menentukan kualitas berdasarkan manajer yang efektif berdasarkan dalam sejumlah sifat-sifat kepribadian serta keterampilan manajer yg ideal. Ini adalah suatu pendekatan model input, yg penekanan dalam keterampilan yang diperlukan buat mengerjakan suatu pekerjaan. Keterampilan-keterampilan ini adalah kompetensi dan mencerminkan kemampuan potensial buat melakukan sesuatu. Dengan munculnya manajemen ilmiah, perhatian orang-orang berbalik lebih pada perilaku para manajer efektif dan dalam hasil manajemen yg sukses. Pendekatan ini merupakan suatu model hasil, dengan mana efektivitas manajer ditentukan, yg menerangkan bahwa seseorang sudah mengusut bagaimana melakukan sesuatu menggunakan baik.

Terdapat disparitas konsep tentang kompetensi dari konsep Inggris serta konsep Amerika Serikat. Menurut konsep Inggris, kompetensi digunakan di tempat kerja pada banyak sekali cara. Pelatihan seringkali berbasiskan kompetensi. Sistem National Council Vocational Qualification (NCVQ) didasarkan dalam standar kompetensi. Kompetensi jua digunakan dalam manajemen imbalan, sebagai model, dalam pembayaran dari kompetensi. Penilaian kompetensi adalah suatu proses yang perlu buat menyokong inisiatif-inisiatif ini menggunakan memilih kompetensi-komptensi apa yg karyawan wajib perlihatkan.

Pendapat yang hampir sama menggunakan konsep Inggris dikemukakan oleh Kravetz (2004), bahwa kompetensi adalah sesuatu yang seseorang tunjukkan dalam kerja setiap hari. Fokusnya merupakan pada perilaku pada tempat kerja, bukan sifat-sifat kepribadian atau keterampilan dasar yg ada pada luar tempat kerja ataupun pada dalam tempat kerja.

Kompetensi meliputi melakukan sesuatu, nir hanya pengetahuan yg pasif. Seorang karyawan mungkin pintar, tetapi bila mereka tidak menterjemahkan kepandaiannya ke dalam perilaku pada tempat kerja yang efektif, akal budi nir bermanfaat. Jadi kompetensi tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan. 

Menurut Spencer and Spencer (1993) Kompetensi didefinisikan menjadi Underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion- referenced effective and or superior performance in a job or situation. Kompetensi merupakan ciri yang mendasari seseorang dan berkaitan menggunakan efektivitas kinerja individu pada pekerjaannya. 

Secara general, kompetensi sendiri bisa dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yg tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang bisa diamati, diukur serta dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi acapkali dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia dan membentuk interaksi menggunakan orang lain. Contoh soft competency merupakan: leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua seringkali dianggap hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan menggunakan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yg berkaitan menggunakan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency merupakan : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.

PROGRAM PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI
Pelatihan dan pengembangan dapat didefinisikan sebagai bisnis yg terpola dari organisasi buat menaikkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pegawai. Pelatihan serta pengembangan merupakan 2 konsep yg sama, yaitu buat menaikkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Namun apabila dilihat dari sasarannya, pembinaan lebih ditekankan dalam peningkatan kemampuan buat melakukan pekerjaan yang khusus pada saat ini, dan pengembangan lebih ditekankan pada peningkatan pengetahuan buat melakukan pekerjaan dalam masa yg akan tiba, yang dilakukan melalui pendekatan yang terintegrasi menggunakan aktivitas lain buat mengganti perilaku kerja. 

Terdapat beberapa laba dengan dilakukannya training serta pengembangan bagi pegawai yg pada akhirnya akan membawa laba bagi organisasi antara lain :
1. Mendorong pencapaian pengembangan diri pegawai
2. Memberikan kesempatan bagi pegawai buat berkembang dan mempunyai pandangan mengenai masa depan kariernya.
3. Membantu pegawai pada menangani pertarungan serta ketegangan.
4. Meningkatkan kepuasan kerja serta prestasi kerja
5. Menjadi jalan buat perbaikan keterampilan pada bersosialisasi serta berkomunikasi.
6. Membantu menghilangkan ketakutan dalam mencoba hal-hal baru pada pekerjaan
7. Menggerakkan pegawai untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi 

Berdasarkan hal-hal pada atas maka pelatihan serta pengembangan asal daya insan menaruh imbas yang baik terhadap kinerja pegawai tadi sebagai individu. Hal ini jelas akan membawa peningkatan terhadap kinerja organisasi apabila pembinaan serta pengembangan pegawai dilakukan secara bersiklus dan berkesinambungan. Pengembangan SDM dirasakan sangat krusial karena tuntutan pekerjaan yg sangat kompleks dampak kemajuan teknologi dan kompetisi diantara banyak sekali organisasi, sangat membutuhkan pengembangan pegawai yang baik. 

Beberapa tujuan dari pengembangan pegawai diantaranya :
1. Meningkatkan produktivitas kerja
2. Meningkatkan efisiensi energi, saat, bahan standar, dan mengurangi ausnya mesin-mesin
3. Mengurangi taraf kecelakaan pegawai
4. Meningkatkan pelayanan yg lebih baik dari karyawan buat konsumen perusahaan serta atau organisasi
5. Menjaga moral pegawai yang baik
6. Meningkatkan karier pegawai
7. Meningkatkan kecakapan manajerial pegawai

PENGEMBANGAN SDM BERBASIS KOMPETENSI DALAM MENINGKATKAN KINERJA ORGANISASI
Dalam mengungkap kinerja organisasi Nickson (2007:169) mengutip pendapat Armstrong mengenai yaitu :

“Performance management is about getting better results from the organization, teams and individuals by understanding and managing performance within an agreed framework of planned goals, standards and competing requirements. It is a process for establishing shared understanding about what is to be achieved, and an approach to managing and developing people in a way which increases the probability that it will be achieved in the short and long term. It is owned and driven by management. “

Berdasarkan pendapatnya pada atas bisa dikatakan bahwa kinerja organisasi diperoleh dari pengelolaan banyak sekali tujuan, target dan pengembangan asal daya manusia pada dalamnya pada rangka mencapai tujuan baik jangka pendek juga jangka panjang. Peran pimpinan dalam hal ini sangat secara umum dikuasai. Sejauh mana pimpinan menghendaki SDM organisasinya berkembang maka pimpinan tadi memiliki kewenangan pada mewujudkan pengembangan SDM melalui aneka macam aktivitas pengembangan dan training sesuai menggunakan masing-masing kompetensi yang dimiliki pegawainya.

Berbagai upaya pengembangan SDM hendaknya didukung oleh beberapa faktor diantaranya:
1. Terdapat seleksi SDM yang baik buat benar-sahih membangun pegawai yang berkualitas
2. Merancang keselarasan antara kebutuhan organisasi dan kemampuan pegawai
3. Menyediakan wahana, prasarana dan teknologi yang sinkron untuk pengembangan pegawai
4. Komitmen yang tinggi dari setiap elemen organisasi buat melakukan pengembangan pegawai secara berkesinambungan.

Apabila daya dukung organisasi sudah dapat berjalan secara simultan maka pengembangan sumberdaya manusia berbasis kompetensi akan bisa memberikan efek baik bagi peningkatan kinerja organisasi. Hal ini terjadi lantaran sumberdaya insan yg berkembang secara kompeten merupakan suatu syarat dimana semua elemen internal organisasi siap buat bekerja menggunakan mengandalkan kualitas diri dan kemampuan yang baik. 

Pada level tertentu dimana kondisi pada atas sudah mampu tercipta pada suatu organisasi maka kinerja individu organisasi sebagai cerminan bagi kinerja organisasi. Terdapat poly tantangan dalam membentuk situasi kondusif bagi organisasi buat meningkatkan kinerjanya dan pengembangan SDM adalah galat satu hal yg patut kian dilakukan. Organisasi yg menghendaki kinerja yang optimal dibutuhkan juga konsistensi dari manajemen mengenai pengelolaan pegawai yang baik dan proporsional dan menciptakan hubungan kerja yg efektif.

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Motivasi Kerja Guru Terhadap Kinerja Pengajar 
Sekolah menjadi lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan serta proses belajar mengajar dalam usaha buat mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah menjadi seorang yang diberi tugas buat memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan sebagai pemimpin berdasarkan inovator pada sekolah. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan buat memberdayakan semua asal daya manusia yang ada buat mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan dengan guru ketua sekolah wajib memiliki kemampuan buat meningkatkan kinerja pengajar, melalui pemberdayaan sumber daya insan (guru). 

Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala asal daya sekolah buat mencapai tujuan sesuai menggunakan situasi, dibutuhkan seorang kepala sekolah yg memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pembinaan serta pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi serta supervisi. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan pada membangun suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sebagai akibatnya pengajar-pengajar dapat melaksanakan pembelajaran menggunakan baik serta murid bisa belajar dengan tenang. Di samping itu ketua sekolah dituntut buat bisa bekerja sama menggunakan bawahannya, pada hal ini pengajar. Kepala sekolah bisa mengelola dan memberdayakan pengajar-guru agar terus mempertinggi kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan pengajar-guru yg jua adalah mitra kerja ketua sekolah dalam berbagai bidang aktivitas pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya serta menaikkan kinerjanya.

Kepemimpinan kepala sekolah usahakan menghindari terciptanya pola interaksi dengan pengajar yg hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga wajib menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan dalam kolaborasi kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba seram, serta kebalikannya perlu membentuk keadaan yg menciptakan semua pengajar percaya diri.

Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi dalam tugas pengadaan sarana serta prasarana dan kurang memperhatikan pengajar dalam melakukan tindakan, bisa menyebabkan pengajar sering melalaikan tugas menjadi pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal tersebut dapat menumbuhkan perilaku yang negatif dari seseorang pengajar terhadap pekerjaannya pada sekolah, sebagai akibatnya pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi murid di sekolah. Kepala sekolah juga dituntut buat mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating and controlling, karena ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja guru . Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis dengan peran kepala sekolah menjadi educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.

Kepuasan kerja adalah galat satu faktor krusial buat menerima output kerja yang optimal. Menurut Siagiaan (2003: 297) kepuasan kerja dapat memacu prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. Oleh karenanya saat seseorang merasakan kepuasan pada bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya buat menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja pegawai akan semakin tinggi secara optimal. Oleh karenanya seyogyanya kepala sekolah berusaha buat memahami para pengajar dan mengupayakan supaya guru memperoleh kepuasan pada menjalankan tugasnya. Persepsi pengajar tehadap kepemimpinan ketua sekolah berdampak pada taraf kepuasan kerja guru di sekolah.

Kepuasan kerja pengajar jua dipengaruhi sang iklim organisasi. Hal ini berdasarkan dalam asumsi bahwa para guru bekerja selain buat mengharapkan imbalan baik material juga non material mereka jua menginginkan iklim yg sinkron menggunakan harapan mereka seperti terdapat keterbukaan dalam organisasi, terdapat perhatian, dukungan, serta penghargaan. Penciptaan iklim yg berorientasi dalam prestasi serta mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yang diinginkan.

Pada kenyataannya kerja yang menjernihkan, suasana lingkungan kerja yang tidak aman misalnya sahabat yg tidak saling mendukung, kebijakan pimpinan yg kurang mendukung dan siswa yg tingkah lakunya menjengkelkan. Di lain pihak ada menurut mereka yg menurun semangatnya pada mengajar, merasa bosan, jenuh menggunakan pekerjaan. Menunjukkan iklim organisasi yg kurang berpihak pada kinerja pengajar. Kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara maju, riset mengenai iklim kerja pada sekolah (school working environment atau school climate) telah berkembang dengan mapan serta menaruh sumbangan yg cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif. Ditegaskan bahwa jika pengajar mencicipi suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diperlukan siswanya akan mencapai prestasi akademik yg memuaskan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai/pengajar adalah jika mereka melakukan sesuatu yang bermanfaat serta menyebabkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan dan diperlukan sebagai orang yg bernilai (Davis dan Newstrom, 2001: 24). Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah menghipnotis sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tadi, khususnya pada pencapaian prestasi akademik anak didik. 

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya

Di lain pihak kepuasan kerja dipengaruhi juga oleh hal lain yg sanggup dilakukan buat menaikkan kepuasan kerja adalah menaruh bonus, menaruh motivasi, mempertinggi kemampuan, gaya kepemimpinan yg baik. Sementara kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan jika insentif diberikan tepat waktunya, dan pihak manajemen sekolah bisa mengetahui apa yg dibutuhkan serta kapan sanggup harapan-harapan diakui terhadap hasil kerjanya. Pemberian insentif tehadap pengajar merupakan menjadi pendorong yg dapat memotivasi guru buat lebih bekerja keras secara efektif. Insentif terkait erat menggunakan kinerja guru. Terdapat timbal pulang dua arah antara hadiah bonus menggunakan kinerja. Insentif diberikan lantaran adanya kinerja yg baik serta diberikan buat lebih menaikkan kinerja lagi dimasa mendatang. 

1. Kepuasan Kerja Guru
Kepuasan kerja menurut Davis serta Newstrom (2001: 105) adalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Pendapat senada juga dikemukakan sang Milton pada Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002:162) bahwa kepuasan kerja adalah sesuatu yang menyenangkan atau pernyataan emosional yang positif, didapatkan dari penilaian pengalaman kerja seseorang. Artinya apabila seseorang merasa puas terhadap pekerjaannya, maka ia akan mempunyai perilaku positif dan menyenangi pekerjaannya. Kepuasan kerja jua dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2001: 98) yaitu keadaan emosi yg positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja akan muncul waktu asa-asa ini tidak dipenuhi. 

Some theorists view job satisfaction as being the positive emotional reactions and attitudes an individual has towards their job. Others have viewed it as a bi-dimensional construct consisting of ‘‘intrinsic’’ and ‘‘extrinsic’’ satisfaction dimensions,or alternatively of ‘‘satisfaction/lack of satisfaction’’ and ‘‘dissatisfaction/lack of dissatisfaction’’ dimensions.more recently, debate has arisen as to whether job satisfaction is a dunia concept or is composed of facets of satisfaction with various aspects of an individual’s job. Recent studyhas suggested that the most important determinants of job satisfaction are whether an employee finds their job interesting, has good relationships with their managers and colleagues, has a high income, is allowed to work independently, and has clearly defined career advancement opportunities. Measures of job satisfaction tend to fall into two broad types: single item dunia measures and composite measures of satisfaction with various job components. 

Kepuasan kerja pengajar ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar. Jika pengajar puas akan keadaan yg mempengaruhi dia maka beliau akan bekerja menggunakan baik/mengajar dengan baik. Tetapi bila pengajar kurang puas maka beliau akan mengajar sinkron kehendaknya. Kepuasan kerja adalah keliru satu perilaku kerja guru yg perlu diciptakan pada sekolah, agar guru dapat bekerja dengan moral yg tinggi, disiplin, semangat, berdedikasi dan menghayati profesinya. Gum yang merasa puas terhadap lembaganya akan berdampak pada kelancaran aktivitas belajar mengajar di sekolah serta peningkatan kualitas pelayanan pada para siswa. Dengan istilah lain dengan mencapai taraf kepuasan kerja tertentu maka dibutuhkan kinerja sebagai seseorang guru baik.

Penelitian tentang kepuasan kerja yg sangat akbar sumbangannya adalah penelitian Herzberg. Teori ini dikenal menggunakan "model dua faktor" yaitu faktor motivasional dan faktor higiene/pemeliharaan (Burhanuddin, Ali, Maisyaroh, 2002:166). Apabila faktor higiene dipenuhi tidak bisa memotivasi pekerja tetapi bisa meminimalkan ketidakpuasan. Apabila faktor higiene nir terpenuhi, sesesorang nir akan merasa puas. Faktor higiene mencakup company policy andadministration (kebijakan organisasi); supervision (supervisi), salary (gaji/kesejahteraan), interpersonal relations (hubungan antar eksklusif) serta working condition (kondisi kerja), possibility of growth (peluang buat tumbuh), personal life (imbas kerja terhadap kehidupan pribadi) serta status. Faktor-faktor motivasional bisa membangun kepuasan kerja dengan memenuhi kebutuhan-kebuUihan pekerja, meliputi achievement (prestasi), recognition (pengakuan), work itself (kerja itu sendiri) responsibility (tanggung jawab), serta advancement (kenaikan pangkat ). Berkenaan dengan kepuasan kerja guru yaitu keterlibatan guru dalam pembuatan keputusan di sekolah, pengakuan yang dirasakan pengajar, asa pengajar , interaksi antar personel yang terjadi pada pada lingkungan kerja, dan otoritas yg diterima pengajar (De Roche pada Burhanudin, Imron serta Maisyaroh, 2002:165). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kepuasan kerja pengajar merupakan pernyataan perilaku pengajar yg positif juga negatif, didasarkan sang cara pandang (persepsi) guru yang bersangkutan terhadap pekerjaannya menjadi pengajar dan pelaksana pendidikan pada sekolah, adapun indikator kepuasan kerja dalam penelitian ini merupakan: pengakuan/penghargaan, kenaikan pangkat /promosi, pengawasan, gaji/kesejahteraan, kerja itu sendiri, serta interaksi personal/rekan sekerja.

2. Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah merupakan forum yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat komplek lantaran sekolah menjadi organisasi di dalamnya masih ada aneka macam dimensi yang satu sama lain saling berkaitan serta saling memilih. Sekolah bersifat unik lantaran sekolah mempunyai karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, loka terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yg kompleks dan unik tadi, sekolah menjadi organisasi memerlukan tingkat koordinasi yg tinggi.

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran bertenaga pada mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua asal daya pendidikan yang tersedia pada sekolah. Kepemimpinan ketua sekolah adalah galat satu faktor yg bisa mendorong sekolah buat mewujudkan visi, misi, tujuan serta sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil jika mereka memahami keberadaan sekolah menjadi organisasi yang kompleks serta unik, serta mampu melaksanakan kiprahnya pada memimpin sekolah.

Kepemimpinan biasanya didefinisikan oleh para pakar berdasarkan pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena berdasarkan kepentingan yg paling baik bagi pakar yg bersangkutan. Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses yang menghipnotis orang lain buat tahu dan sepakat menggunakan apa yang perlu dilakukan serta bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses buat memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Definisi tadi meliputi upaya yang nir hanya buat mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan kelompok atau organisasi yg sekarang namun definisi ini dapat jua dipakai buat memastikan bahwa semuanya dipersiapkan buat memenuhi tantangan masa depan. 

Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan adalah aktivitas buat menghipnotis orang-orang yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) membicarakan bahwa “leadership is compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (dua) human processes with in school; (3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun oleh empat dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (dua) proses humanisasi pada sekolah; (3) kontek social politik pada penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri. Kepemimpinan merupakan kesanggupan atau teknik buat membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati segala apa yg dikehendaki, membuat bawahan antusias dan mengikuti pemimpin dan rela berkorban untuknya (Purwanto, 2007: 26)

Berdasarkan uraian mengenai definisi kepemimpinan di atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan merupakan imbas yg dimiliki seorang serta dalam gilirannya dampak impak itu bagi orang yang hendak ditentukan. Peranan penting dalam kepemimpinan merupakan upaya seorang yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mensugesti orang lain pada organisasi/forum tertentu buat mencapai tujuan.

Kepemimpinan kepala sekolah pada konteks penelitian ini adalah kemampuan kepala sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan dan guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Peran pemimpin di sekolah (kepala sekolah) sangat krusial karena adalah motor penggerak bagi asal daya sekolah terutama pengajar serta karyawan. Wood (Daniel, 2008) mengungkapkan ketua sekolah memiliki lima peran kunci kepemimpinan yaitu: (1) culture builder; (2) instructional leader; (3) facilitator of mentors; (4) recruiter new teacher; (lima) advocate for new teacher. Peran pertama pembangun budaya; kedua pemimpin pedagogi; ketiga fasilitator; keempat perekrut pengajar baru; kelima menyokong pengajar-guru baru. Besarnya peran kepemimpinan kepala sekolah dalam proses mencapai tujuan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya kegiatan sekolah sebagian ditentukan sang kualitas kepemimpinan yg dimiliki sang kepala sekolah. Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002: 135) menyebutkan fungsi kepemimpinan ketua sekolah yaitu: (a) membantu guru memahami, memilih, serta merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (b) menggerakkan guru-guru, karyawan, anak didik, serta anggota warga buat menyukseskan acara-acara pendidikan pada sekolah; (c) menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yg harmonis, sehat, dinamis, serta nyaman, sebagai akibatnya segenap anggota bisa bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yg tinggi. Fungsi pemimpin selalu terkait menggunakan: (1) tugas-tugas yang diberikan serta dilaksanakan bawahan; (dua) baik tidaknya jalinan interaksi kepala sekolah menggunakan bawahan. Apabila kedua hal tersebut bisa ditangani menggunakan baik, maka keberhasilan tujuan sekolah dapat diperlukan.

Studi kepemimpinan yang terdiri dari banyak sekali macam pendekatan dalam hakikatnya adalah bisnis buat menjawab atau menaruh pemecahan duduk perkara mengenai kemungkinan seseorang sebagai pemimpin yang baik serta mampu memajukan organisasi yg dipimpinnya, seperti dijelaskan pada jurnal:

“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate pelatihan. But no element of an instructional coaching acara is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the acara with time and support will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”

Menurut Mulyasa (2003: 108), buat tahu kepemimpinan, dapat dikaji berdasarkan tiga pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tadi: 

a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seseorang pemimpin yang berhasil pada melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan lantaran dibentuk atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yg ialah pemimpin adalah dilahirkan bukan dibentuk bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan buat memimpin, namun mewarisinya.

Tead pada Mulyasa (2003:109) menjelaskan, seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat bawaan yg membedakannya berdasarkan yang bukan pemimpin. Adapun beberapa syarat yang wajib dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik serta susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (tiga) antusiasme; (4) keramahtamahan; (5) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) kepercayaan .

Pendekatan sifat tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan di kurang lebih kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini pada menjawab pertanyaan seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan banyak kritikan. Salah satunya adalah menurut output penelitian Hersey serta Blanchard (Soekarto, 2006: 39), ternyata nir berhasil ditemukan satu atau sejumlah sifat yang bisa dipergunakan menjadi berukuran buat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. 

b. Pendekatan perilaku (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan serta mengidentifikasi perilaku yg spesial dari pemimpin pada kegiatannya mempengaruhi orang lain. Berkaitan dengan pendekatan konduite, Universitas negeri Ohio (Ohio State University) mengemukakan adanya 2 macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating structure (pemrakarsa struktur tugas) dan consideration (perhatian kepada bawahan). Keefektifan seseorang pemimpin terlihat menurut dua jenis konduite pada menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama adalah hingga sejauh mana seorang pimpinan memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yg akan dilaksanakan sang para bawahannya. Kedua, hingga sejauh mana serta pada bentuk apa seseorang pimpinan menaruh perhatian pada bawahan. Dalam studi ini yang dimaksud dengan pemrakarsa struktur merupakan sampai sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya dan peranan bawahannya pada usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Purwanto (2007: 36) perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi mempunyai karakteristik-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yg tinggi; (tiga). Mengutamakan penyelesaian tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan; (4) lebih poly melakukan pengarahan; (lima) melaksanakan tugas menggunakan melalui mekanisme kerja yang ketat; (6) melakukan supervisi yang ketat; (7) evaluasi terhadap bawahan semata-mata berdasarkan hasil kerja.

Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (dua) berusaha menciptakan suasana saling percaya; (tiga) berusaha membentuk suasana saling menghargai; (4) simpati terhadap perasaan bawahan; (lima) mempunyai perilaku bersahabat; (6) menumbuhkan peran dan bawahan dalam pembuatan keputusan serta aktivitas lain; (7) mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, serta pengontrolan diri. Antara kedua perilaku kepemimpinan tersebut nir saling bergantung. Artinya pelaksanaan dari perilaku kepemimpinan yang satu tidak menghipnotis perilaku yang lain. Antara perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat dilaksanakan secara beserta-sama. Dengan demikian seorang pemimpin dapat menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.

“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with class membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The model assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the class prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a class that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…” 

Prinsip kepemimpinan berdasarkan output Universitas Michigan pada prinsipnya sama dengan output penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kecenderungan konduite pemimpin yg berorientasi dalam bawahan serta orientasi produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan orientasi bawahan merupakan: penekanan pada interaksi atasan bawahan, perhatian langsung pimpinan dalam pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima perbedaan-perbedaan kepribadian, kemampuan serta konduite yg terdapat pada diri bawahan tadi. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi merupakan: cenderung menekankan segi-segi teknis menurut pekerjaan yg wajib dilakukan sang para bawahan serta kurang dalam segi manusianya, pertimbangan utama diletakkan pada terselenggaranya tugas, baik oleh orang per orang dalam satuan kerja tertentu juga oleh kelompok-gerombolan kerja yg terdapat pada organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas pada atas pertimbangan-pertimbangan yg menyangkut unsur manusia dalam organisasi. 

c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama menggunakan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti konduite kepemimpinan pada situasi eksklusif. Dalam hal ini kepemimpinan lebih adalah fungsi situasi daripada sebagai kualitas langsung serta merupakan suatu kualitas yg muncul lantaran hubungan orang-orang dalam situasi eksklusif (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi didasarkan atas perkiraan bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau forum tidak hanya bergantung dalam atau dipengaruhi sang konduite dan karakteristik-karakteristik pemimpin saja namun masih hams disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan serta situasi organisasional yang dihadapi menggunakan memperhitungkan faktor ketika dan ruang (Sondang, 2003: 128). 

Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan sang Hersey dan Blanchard menurut teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi memiliki ciri-ciri spesifik dan unik sebagai akibatnya masalah yg dihadapi tidak selaras, situasinya tidak sama, serta harus dihadapi menggunakan konduite kepemimpinan yang tidak selaras sinkron situasi organisasi tersebut.

Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan 3 dimensi, yg berdasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu konduite tugas (task behavior), konduite hubungan (relationship behavior) serta kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penerangan eksklusif, apa yang wajib dikerjakan, bilamana serta bagaimana mengerjakannya, dan mengawasi mereka secara ketat. Perilaku interaksi adalah ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi 2 arah yg mencakup mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan perkara. Adapun kematangan merupakan kemampuan serta kemauan anak butir dalam mempertanggungjawabkan aplikasi tugas yang dibebankan kepadanya.

Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif jika diubahsuaikan menggunakan taraf kematangan anak buah. Makin matang anak butir, pemimpin harus mengurangi konduite tugas serta menambah konduite interaksi. Apabila anak buah berkecimpung mencapai rata-homogen taraf kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada ketika anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan telah bisa berdikari, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang pada anak buah.

Gaya kepemimpinan yang sempurna untuk diterapkan pada keempat taraf kematangan anak butir serta kombinasi yg tepat antara konduite tugas dan konduite hubungan adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)

Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui perilaku kepemimpinan ketua sekolah yg mengacu dalam konduite yang berorientasi pada tugas serta konduite yang berorientasi pada bawahan, akan membangun perilaku yang berkaitan dengan bagaimana para guru berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan serta gaya kepemimpinan ketua sekolah mempengaruhi motivasi memimpin guru pada menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. “ A principal’s style and actions have great influence over teacher leaders’ motivation for performing teacher leadership roles effectively (Birky, Shelton and Headly, 2006). Penelitian Keller (Birky, Shelton and Headly, 2006) menerangkan bahwa gaya kepamimpinan kepala sekolah berdampak dalam kesuksesan anak didik serta sekolah. Kepala sekolah yg lebih berfungsi menjadi manajer menurut dalam pemimpin pedagogi mempunyai sekolah-sekolah yang kurang sukses berdasarkan dalam yang bekerja secara dekat menggunakan pengajar-pengajar dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yg dapat dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang dinyatakan sang Syafarudin (2002:67) menaruh otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan dan menaikkan penghargaan terhadap pekerjaan pengajar.

Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu dalam dua dimensi yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar tugas-tugas yg diberikan dalam bawahan sanggup dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga wajib menjaga hubungan humanisme menggunakan bawahannya (berorientasi pada bawahan), supaya mereka permanen merasa bahagia pada melaksanakan tugasnya. Namun derajat perilaku tersebut bervariasi, sehingga terdapat ketua sekolah yang mempunyai perilaku berorientasi tugas serta konduite berorientasi pada bawahan yg keduanya tinggi, tetapi ada pula yg keduanya rendah serta ada juga yang rendah dalam satu konduite serta tinggi pada konduite lainnya. Karena itu berbagai perilaku kepemimpinan ketua sekolah akan dipersepsi sang guru menjadi bawahannya serta selanjutnya akan membentuk sikap atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku pada bekerja sehari-hari.

Dalam penelitian ini yg dimaksud dengan kepemimpinan ketua sekolah adalah kemampuan ketua sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Dimensi kepemimpinan ketua sekolah yang akan dikaji mengacu pada pendekatan perilaku kepemimpinan yang mengacu dalam:
1. Orientasi pada tugas, menggunakan indikator: membangun struktur tugas dan menekankan dalam produktivitas.
2. Orientasi dalam bawahan menggunakan indikator memperhatikan kebutuhan bawahan, toleransi serta kebebasan, serta menyatukan bawahan.
3. Iklim Organisasi

Organisasi adalah suatu wadah bagi para pegawai berinteraksi clan bekerja satu sama lain pada mencapai tujuan organisasi. Kochler dalam Muhammad (2005: 23) organisasi merupakan sistem hubungan yg terstruktur yg mengkoordinasi bisnis suatu gerombolan orang buat mencapai tujuan eksklusif. Selanjutnya Duncan dalam Wahjosumidjo (2005: 59) mengemukakan pengertian organisasi menjadi suatu kebersamaan dan hubungan serta saling ketergantungan individu-individu yg bekerja ke arah tujuan yang bersifat generik serta hubungan kerjasamanya sudah diatur sesuai dengan struktur yang sudah ditentukan.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat diperoleh liputan sebagai berikut. Pertama, organisasi dilihat menjadi gerombolan orang yg bekerja sama dengan tujuan yg sama Kedua, organisasi dibentuk buat menuntaskan jenis fungsi serta kegiatan khusus buat efisiensi tujuan. Ketiga, organisasi tersusun atas bagian-bagian dan hubungan-interaksi.

Sub sistem yg paling krusial dalam suatu organisasi adalah subsistem manusia karena berdasarkan Muhammad (2005: 39) insan menjadi anggota organisasi merupakan adalah inti organisasi. Faktor manusia pada organisasi wajib mendapat perhatian dan nir bisa diabaikan. Hal ini disebabkan berhasil atau tidaknya organisasi itu mencapai tujuan dan mempertahankan eksistensinya lebih banyak dipengaruhi sang faktor manusianya. Oleh sebab itu dalam melaksanakan aktivitasnya, manusia yg bekerja dalam organisasi tersebut perlu disubstitusi dengan berbagai stimulus dan fasilitas yang dapat mempertinggi motivasi dan gairah kerjanya.

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya. 

Owens dalam Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 91), mengatakan bahwa iklim organisasi mengambarkan pada: to perceptions of persons in the organization that reflect those norms, assumptions, and beliefs. Hal yang sama diungkapkan oleh Hoy dan Miskel (1991: 221) bahwa iklim organisasi adalah : "perceptions of the general work environtment of the school'. Sedangkan Gilmer dalam (Hoy serta Miskel, 1991: 221) menyatakan: "those characteristics that distinguish the organization from other organizations and that influence the behaviour of people in the organization". Rousseau (1990) menyampaikan iklim organisasi merupakan: “the descriptive beliefs and perceptions indviduals hold of the organization”. Iklim organisasi merupakan gambaran kepercayaan -agama serta persepsi-persepsi yg dipegang individu tentang organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tadi memberitahuakn bahwa iklim organisasi selalu berhubungan dengan (1) persepsi para anggota organisasi yg bersangkutan. Dalam hal ini merupakan sikap serta perasaan yang ditampilkan oleh pegawai terhadap sifat-sifat atau karakteristik yg terdapat dalam organisasi; (dua) output interaksi seluruh komponen pada organisasi, serta sang karena itu menghipnotis konduite individu-individu pada organisasi.

Organizational climate is a set of values, often taken for granted, that help people in an organization understand which actions are considered acceptable and which are considered unacceptable. Often there values are communicated through stories and other symbolic means (Moorhead and Griffin, 1989). Organization climate is developed by the organization. It reflects the struggle, both internal and external, the type of people who compose the organization, the work process, the means of communication and the exercise of authority within the individual organization. 

Litwin dan Stringer (dalam Muhammad, 2005: 83) menaruh dimensi iklim oganisasi menjadi berikut: (1) rasa tanggung jawab; (2) baku atau harapan mengenai kualitas pekerjaan; (tiga) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; serta (lima) semangat tim. Di sisi lain Davis serta Newstrom (1996:24) mengungkapkan beberapa unsur spesial yg membangun iklim yg menyenangkan adalah: (1) Kualitas kepemimpinan; (2) Kadar agama; (3) Komunikasi, ke atas serta ke bawah; (4) Perasaan melakukan pekerjaan yg bermanfaat; (lima) Tanggung jawab; (6) Imbalan yang adil; (7) Tekanan pekerjaan yg akal; (8) Kesempatan; (9) Pengendalian; struktur, dan birokrasi yang akal; (10) Keterlibatan pegawai, keikutsertaan.

Unsur-unsur iklim organisasi yg dikemukakakan sang Litwin dan Stringer, Davis dan Nestrom, dan Campbell merupakan unsur-unsur iklim organisasi yang positif, yg menyenangkan. Iklim yang menyenangkan bagi para pegawai (Davis dan Newstrom, 2005: 24) adalah apabila mereka melakukan sesuatu yangbermanfaat serta menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan serta diperlukan menjadi orang yg bernilai. Adanya iklim yang positif, yg menyenangkan bisa membawa impak positif pada kinerja seseorang. Iklim yang berorientasi pada manusia akan menghasilkan kinerja serta kepuasan kerja yg lebih tinggi. Para pegawai merasa bahwa organisasi benar-benar memperhatikan kebutuhan serta kasus mereka, apabila mana iklim bermanfaat bagi kebutuhan individu (contohnya, memperhatikan kepentingan pekerja serta berorientasi prestasi), maka dapat mengharapkan tingkah laris ke arah tujuan yang tinggi. Sebaliknya, bilamana iklim yg timbul bertentangan dengan tujuan, kebutuhan dan motivasi pribadi, prestasi juga kepuasan bisa berkurang.

Iklim organisasi pada penelitian ini adalah karakteristik sekolah menjadi suatu organisasi yg dipersepsi para guru dan sekaligus menghipnotis perilakunya. Adapun indikator iklim organisasi mengacu dalam:
a. Struktur organisasi,
b. Pemberian tanggung jawab,
c. Kebijakan serta praktek manajemen yang mendukung,
d. Keterlibatan/keikutsertaan guru dalam organisasi, dan
e. Komitmen daiam mengemban tugas.