PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Motivasi Kerja Guru Terhadap Kinerja Pengajar 
Sekolah menjadi lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan serta proses belajar mengajar dalam usaha buat mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah menjadi seorang yang diberi tugas buat memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan sebagai pemimpin berdasarkan inovator pada sekolah. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan buat memberdayakan semua asal daya manusia yang ada buat mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan dengan guru ketua sekolah wajib memiliki kemampuan buat meningkatkan kinerja pengajar, melalui pemberdayaan sumber daya insan (guru). 

Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala asal daya sekolah buat mencapai tujuan sesuai menggunakan situasi, dibutuhkan seorang kepala sekolah yg memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pembinaan serta pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi serta supervisi. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan pada membangun suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sebagai akibatnya pengajar-pengajar dapat melaksanakan pembelajaran menggunakan baik serta murid bisa belajar dengan tenang. Di samping itu ketua sekolah dituntut buat bisa bekerja sama menggunakan bawahannya, pada hal ini pengajar. Kepala sekolah bisa mengelola dan memberdayakan pengajar-guru agar terus mempertinggi kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan pengajar-guru yg jua adalah mitra kerja ketua sekolah dalam berbagai bidang aktivitas pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya serta menaikkan kinerjanya.

Kepemimpinan kepala sekolah usahakan menghindari terciptanya pola interaksi dengan pengajar yg hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga wajib menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan dalam kolaborasi kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba seram, serta kebalikannya perlu membentuk keadaan yg menciptakan semua pengajar percaya diri.

Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi dalam tugas pengadaan sarana serta prasarana dan kurang memperhatikan pengajar dalam melakukan tindakan, bisa menyebabkan pengajar sering melalaikan tugas menjadi pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal tersebut dapat menumbuhkan perilaku yang negatif dari seseorang pengajar terhadap pekerjaannya pada sekolah, sebagai akibatnya pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi murid di sekolah. Kepala sekolah juga dituntut buat mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating and controlling, karena ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja guru . Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis dengan peran kepala sekolah menjadi educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.

Kepuasan kerja adalah galat satu faktor krusial buat menerima output kerja yang optimal. Menurut Siagiaan (2003: 297) kepuasan kerja dapat memacu prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. Oleh karenanya saat seseorang merasakan kepuasan pada bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya buat menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja pegawai akan semakin tinggi secara optimal. Oleh karenanya seyogyanya kepala sekolah berusaha buat memahami para pengajar dan mengupayakan supaya guru memperoleh kepuasan pada menjalankan tugasnya. Persepsi pengajar tehadap kepemimpinan ketua sekolah berdampak pada taraf kepuasan kerja guru di sekolah.

Kepuasan kerja pengajar jua dipengaruhi sang iklim organisasi. Hal ini berdasarkan dalam asumsi bahwa para guru bekerja selain buat mengharapkan imbalan baik material juga non material mereka jua menginginkan iklim yg sinkron menggunakan harapan mereka seperti terdapat keterbukaan dalam organisasi, terdapat perhatian, dukungan, serta penghargaan. Penciptaan iklim yg berorientasi dalam prestasi serta mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yang diinginkan.

Pada kenyataannya kerja yang menjernihkan, suasana lingkungan kerja yang tidak aman misalnya sahabat yg tidak saling mendukung, kebijakan pimpinan yg kurang mendukung dan siswa yg tingkah lakunya menjengkelkan. Di lain pihak ada menurut mereka yg menurun semangatnya pada mengajar, merasa bosan, jenuh menggunakan pekerjaan. Menunjukkan iklim organisasi yg kurang berpihak pada kinerja pengajar. Kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara maju, riset mengenai iklim kerja pada sekolah (school working environment atau school climate) telah berkembang dengan mapan serta menaruh sumbangan yg cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif. Ditegaskan bahwa jika pengajar mencicipi suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diperlukan siswanya akan mencapai prestasi akademik yg memuaskan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai/pengajar adalah jika mereka melakukan sesuatu yang bermanfaat serta menyebabkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan dan diperlukan sebagai orang yg bernilai (Davis dan Newstrom, 2001: 24). Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah menghipnotis sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tadi, khususnya pada pencapaian prestasi akademik anak didik. 

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya

Di lain pihak kepuasan kerja dipengaruhi juga oleh hal lain yg sanggup dilakukan buat menaikkan kepuasan kerja adalah menaruh bonus, menaruh motivasi, mempertinggi kemampuan, gaya kepemimpinan yg baik. Sementara kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan jika insentif diberikan tepat waktunya, dan pihak manajemen sekolah bisa mengetahui apa yg dibutuhkan serta kapan sanggup harapan-harapan diakui terhadap hasil kerjanya. Pemberian insentif tehadap pengajar merupakan menjadi pendorong yg dapat memotivasi guru buat lebih bekerja keras secara efektif. Insentif terkait erat menggunakan kinerja guru. Terdapat timbal pulang dua arah antara hadiah bonus menggunakan kinerja. Insentif diberikan lantaran adanya kinerja yg baik serta diberikan buat lebih menaikkan kinerja lagi dimasa mendatang. 

1. Kepuasan Kerja Guru
Kepuasan kerja menurut Davis serta Newstrom (2001: 105) adalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Pendapat senada juga dikemukakan sang Milton pada Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002:162) bahwa kepuasan kerja adalah sesuatu yang menyenangkan atau pernyataan emosional yang positif, didapatkan dari penilaian pengalaman kerja seseorang. Artinya apabila seseorang merasa puas terhadap pekerjaannya, maka ia akan mempunyai perilaku positif dan menyenangi pekerjaannya. Kepuasan kerja jua dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2001: 98) yaitu keadaan emosi yg positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja akan muncul waktu asa-asa ini tidak dipenuhi. 

Some theorists view job satisfaction as being the positive emotional reactions and attitudes an individual has towards their job. Others have viewed it as a bi-dimensional construct consisting of ‘‘intrinsic’’ and ‘‘extrinsic’’ satisfaction dimensions,or alternatively of ‘‘satisfaction/lack of satisfaction’’ and ‘‘dissatisfaction/lack of dissatisfaction’’ dimensions.more recently, debate has arisen as to whether job satisfaction is a dunia concept or is composed of facets of satisfaction with various aspects of an individual’s job. Recent studyhas suggested that the most important determinants of job satisfaction are whether an employee finds their job interesting, has good relationships with their managers and colleagues, has a high income, is allowed to work independently, and has clearly defined career advancement opportunities. Measures of job satisfaction tend to fall into two broad types: single item dunia measures and composite measures of satisfaction with various job components. 

Kepuasan kerja pengajar ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar. Jika pengajar puas akan keadaan yg mempengaruhi dia maka beliau akan bekerja menggunakan baik/mengajar dengan baik. Tetapi bila pengajar kurang puas maka beliau akan mengajar sinkron kehendaknya. Kepuasan kerja adalah keliru satu perilaku kerja guru yg perlu diciptakan pada sekolah, agar guru dapat bekerja dengan moral yg tinggi, disiplin, semangat, berdedikasi dan menghayati profesinya. Gum yang merasa puas terhadap lembaganya akan berdampak pada kelancaran aktivitas belajar mengajar di sekolah serta peningkatan kualitas pelayanan pada para siswa. Dengan istilah lain dengan mencapai taraf kepuasan kerja tertentu maka dibutuhkan kinerja sebagai seseorang guru baik.

Penelitian tentang kepuasan kerja yg sangat akbar sumbangannya adalah penelitian Herzberg. Teori ini dikenal menggunakan "model dua faktor" yaitu faktor motivasional dan faktor higiene/pemeliharaan (Burhanuddin, Ali, Maisyaroh, 2002:166). Apabila faktor higiene dipenuhi tidak bisa memotivasi pekerja tetapi bisa meminimalkan ketidakpuasan. Apabila faktor higiene nir terpenuhi, sesesorang nir akan merasa puas. Faktor higiene mencakup company policy andadministration (kebijakan organisasi); supervision (supervisi), salary (gaji/kesejahteraan), interpersonal relations (hubungan antar eksklusif) serta working condition (kondisi kerja), possibility of growth (peluang buat tumbuh), personal life (imbas kerja terhadap kehidupan pribadi) serta status. Faktor-faktor motivasional bisa membangun kepuasan kerja dengan memenuhi kebutuhan-kebuUihan pekerja, meliputi achievement (prestasi), recognition (pengakuan), work itself (kerja itu sendiri) responsibility (tanggung jawab), serta advancement (kenaikan pangkat ). Berkenaan dengan kepuasan kerja guru yaitu keterlibatan guru dalam pembuatan keputusan di sekolah, pengakuan yang dirasakan pengajar, asa pengajar , interaksi antar personel yang terjadi pada pada lingkungan kerja, dan otoritas yg diterima pengajar (De Roche pada Burhanudin, Imron serta Maisyaroh, 2002:165). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kepuasan kerja pengajar merupakan pernyataan perilaku pengajar yg positif juga negatif, didasarkan sang cara pandang (persepsi) guru yang bersangkutan terhadap pekerjaannya menjadi pengajar dan pelaksana pendidikan pada sekolah, adapun indikator kepuasan kerja dalam penelitian ini merupakan: pengakuan/penghargaan, kenaikan pangkat /promosi, pengawasan, gaji/kesejahteraan, kerja itu sendiri, serta interaksi personal/rekan sekerja.

2. Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah merupakan forum yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat komplek lantaran sekolah menjadi organisasi di dalamnya masih ada aneka macam dimensi yang satu sama lain saling berkaitan serta saling memilih. Sekolah bersifat unik lantaran sekolah mempunyai karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, loka terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yg kompleks dan unik tadi, sekolah menjadi organisasi memerlukan tingkat koordinasi yg tinggi.

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran bertenaga pada mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua asal daya pendidikan yang tersedia pada sekolah. Kepemimpinan ketua sekolah adalah galat satu faktor yg bisa mendorong sekolah buat mewujudkan visi, misi, tujuan serta sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil jika mereka memahami keberadaan sekolah menjadi organisasi yang kompleks serta unik, serta mampu melaksanakan kiprahnya pada memimpin sekolah.

Kepemimpinan biasanya didefinisikan oleh para pakar berdasarkan pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena berdasarkan kepentingan yg paling baik bagi pakar yg bersangkutan. Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses yang menghipnotis orang lain buat tahu dan sepakat menggunakan apa yang perlu dilakukan serta bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses buat memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Definisi tadi meliputi upaya yang nir hanya buat mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan kelompok atau organisasi yg sekarang namun definisi ini dapat jua dipakai buat memastikan bahwa semuanya dipersiapkan buat memenuhi tantangan masa depan. 

Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan adalah aktivitas buat menghipnotis orang-orang yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) membicarakan bahwa “leadership is compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (dua) human processes with in school; (3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun oleh empat dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (dua) proses humanisasi pada sekolah; (3) kontek social politik pada penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri. Kepemimpinan merupakan kesanggupan atau teknik buat membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati segala apa yg dikehendaki, membuat bawahan antusias dan mengikuti pemimpin dan rela berkorban untuknya (Purwanto, 2007: 26)

Berdasarkan uraian mengenai definisi kepemimpinan di atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan merupakan imbas yg dimiliki seorang serta dalam gilirannya dampak impak itu bagi orang yang hendak ditentukan. Peranan penting dalam kepemimpinan merupakan upaya seorang yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mensugesti orang lain pada organisasi/forum tertentu buat mencapai tujuan.

Kepemimpinan kepala sekolah pada konteks penelitian ini adalah kemampuan kepala sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan dan guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Peran pemimpin di sekolah (kepala sekolah) sangat krusial karena adalah motor penggerak bagi asal daya sekolah terutama pengajar serta karyawan. Wood (Daniel, 2008) mengungkapkan ketua sekolah memiliki lima peran kunci kepemimpinan yaitu: (1) culture builder; (2) instructional leader; (3) facilitator of mentors; (4) recruiter new teacher; (lima) advocate for new teacher. Peran pertama pembangun budaya; kedua pemimpin pedagogi; ketiga fasilitator; keempat perekrut pengajar baru; kelima menyokong pengajar-guru baru. Besarnya peran kepemimpinan kepala sekolah dalam proses mencapai tujuan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya kegiatan sekolah sebagian ditentukan sang kualitas kepemimpinan yg dimiliki sang kepala sekolah. Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002: 135) menyebutkan fungsi kepemimpinan ketua sekolah yaitu: (a) membantu guru memahami, memilih, serta merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (b) menggerakkan guru-guru, karyawan, anak didik, serta anggota warga buat menyukseskan acara-acara pendidikan pada sekolah; (c) menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yg harmonis, sehat, dinamis, serta nyaman, sebagai akibatnya segenap anggota bisa bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yg tinggi. Fungsi pemimpin selalu terkait menggunakan: (1) tugas-tugas yang diberikan serta dilaksanakan bawahan; (dua) baik tidaknya jalinan interaksi kepala sekolah menggunakan bawahan. Apabila kedua hal tersebut bisa ditangani menggunakan baik, maka keberhasilan tujuan sekolah dapat diperlukan.

Studi kepemimpinan yang terdiri dari banyak sekali macam pendekatan dalam hakikatnya adalah bisnis buat menjawab atau menaruh pemecahan duduk perkara mengenai kemungkinan seseorang sebagai pemimpin yang baik serta mampu memajukan organisasi yg dipimpinnya, seperti dijelaskan pada jurnal:

“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate pelatihan. But no element of an instructional coaching acara is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the acara with time and support will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”

Menurut Mulyasa (2003: 108), buat tahu kepemimpinan, dapat dikaji berdasarkan tiga pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tadi: 

a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seseorang pemimpin yang berhasil pada melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan lantaran dibentuk atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yg ialah pemimpin adalah dilahirkan bukan dibentuk bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan buat memimpin, namun mewarisinya.

Tead pada Mulyasa (2003:109) menjelaskan, seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat bawaan yg membedakannya berdasarkan yang bukan pemimpin. Adapun beberapa syarat yang wajib dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik serta susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (tiga) antusiasme; (4) keramahtamahan; (5) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) kepercayaan .

Pendekatan sifat tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan di kurang lebih kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini pada menjawab pertanyaan seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan banyak kritikan. Salah satunya adalah menurut output penelitian Hersey serta Blanchard (Soekarto, 2006: 39), ternyata nir berhasil ditemukan satu atau sejumlah sifat yang bisa dipergunakan menjadi berukuran buat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. 

b. Pendekatan perilaku (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan serta mengidentifikasi perilaku yg spesial dari pemimpin pada kegiatannya mempengaruhi orang lain. Berkaitan dengan pendekatan konduite, Universitas negeri Ohio (Ohio State University) mengemukakan adanya 2 macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating structure (pemrakarsa struktur tugas) dan consideration (perhatian kepada bawahan). Keefektifan seseorang pemimpin terlihat menurut dua jenis konduite pada menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama adalah hingga sejauh mana seorang pimpinan memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yg akan dilaksanakan sang para bawahannya. Kedua, hingga sejauh mana serta pada bentuk apa seseorang pimpinan menaruh perhatian pada bawahan. Dalam studi ini yang dimaksud dengan pemrakarsa struktur merupakan sampai sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya dan peranan bawahannya pada usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Purwanto (2007: 36) perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi mempunyai karakteristik-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yg tinggi; (tiga). Mengutamakan penyelesaian tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan; (4) lebih poly melakukan pengarahan; (lima) melaksanakan tugas menggunakan melalui mekanisme kerja yang ketat; (6) melakukan supervisi yang ketat; (7) evaluasi terhadap bawahan semata-mata berdasarkan hasil kerja.

Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (dua) berusaha menciptakan suasana saling percaya; (tiga) berusaha membentuk suasana saling menghargai; (4) simpati terhadap perasaan bawahan; (lima) mempunyai perilaku bersahabat; (6) menumbuhkan peran dan bawahan dalam pembuatan keputusan serta aktivitas lain; (7) mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, serta pengontrolan diri. Antara kedua perilaku kepemimpinan tersebut nir saling bergantung. Artinya pelaksanaan dari perilaku kepemimpinan yang satu tidak menghipnotis perilaku yang lain. Antara perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat dilaksanakan secara beserta-sama. Dengan demikian seorang pemimpin dapat menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.

“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with class membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The model assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the class prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a class that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…” 

Prinsip kepemimpinan berdasarkan output Universitas Michigan pada prinsipnya sama dengan output penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kecenderungan konduite pemimpin yg berorientasi dalam bawahan serta orientasi produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan orientasi bawahan merupakan: penekanan pada interaksi atasan bawahan, perhatian langsung pimpinan dalam pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima perbedaan-perbedaan kepribadian, kemampuan serta konduite yg terdapat pada diri bawahan tadi. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi merupakan: cenderung menekankan segi-segi teknis menurut pekerjaan yg wajib dilakukan sang para bawahan serta kurang dalam segi manusianya, pertimbangan utama diletakkan pada terselenggaranya tugas, baik oleh orang per orang dalam satuan kerja tertentu juga oleh kelompok-gerombolan kerja yg terdapat pada organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas pada atas pertimbangan-pertimbangan yg menyangkut unsur manusia dalam organisasi. 

c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama menggunakan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti konduite kepemimpinan pada situasi eksklusif. Dalam hal ini kepemimpinan lebih adalah fungsi situasi daripada sebagai kualitas langsung serta merupakan suatu kualitas yg muncul lantaran hubungan orang-orang dalam situasi eksklusif (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi didasarkan atas perkiraan bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau forum tidak hanya bergantung dalam atau dipengaruhi sang konduite dan karakteristik-karakteristik pemimpin saja namun masih hams disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan serta situasi organisasional yang dihadapi menggunakan memperhitungkan faktor ketika dan ruang (Sondang, 2003: 128). 

Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan sang Hersey dan Blanchard menurut teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi memiliki ciri-ciri spesifik dan unik sebagai akibatnya masalah yg dihadapi tidak selaras, situasinya tidak sama, serta harus dihadapi menggunakan konduite kepemimpinan yang tidak selaras sinkron situasi organisasi tersebut.

Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan 3 dimensi, yg berdasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu konduite tugas (task behavior), konduite hubungan (relationship behavior) serta kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penerangan eksklusif, apa yang wajib dikerjakan, bilamana serta bagaimana mengerjakannya, dan mengawasi mereka secara ketat. Perilaku interaksi adalah ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi 2 arah yg mencakup mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan perkara. Adapun kematangan merupakan kemampuan serta kemauan anak butir dalam mempertanggungjawabkan aplikasi tugas yang dibebankan kepadanya.

Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif jika diubahsuaikan menggunakan taraf kematangan anak buah. Makin matang anak butir, pemimpin harus mengurangi konduite tugas serta menambah konduite interaksi. Apabila anak buah berkecimpung mencapai rata-homogen taraf kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada ketika anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan telah bisa berdikari, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang pada anak buah.

Gaya kepemimpinan yang sempurna untuk diterapkan pada keempat taraf kematangan anak butir serta kombinasi yg tepat antara konduite tugas dan konduite hubungan adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)

Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui perilaku kepemimpinan ketua sekolah yg mengacu dalam konduite yang berorientasi pada tugas serta konduite yang berorientasi pada bawahan, akan membangun perilaku yang berkaitan dengan bagaimana para guru berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan serta gaya kepemimpinan ketua sekolah mempengaruhi motivasi memimpin guru pada menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. “ A principal’s style and actions have great influence over teacher leaders’ motivation for performing teacher leadership roles effectively (Birky, Shelton and Headly, 2006). Penelitian Keller (Birky, Shelton and Headly, 2006) menerangkan bahwa gaya kepamimpinan kepala sekolah berdampak dalam kesuksesan anak didik serta sekolah. Kepala sekolah yg lebih berfungsi menjadi manajer menurut dalam pemimpin pedagogi mempunyai sekolah-sekolah yang kurang sukses berdasarkan dalam yang bekerja secara dekat menggunakan pengajar-pengajar dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yg dapat dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang dinyatakan sang Syafarudin (2002:67) menaruh otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan dan menaikkan penghargaan terhadap pekerjaan pengajar.

Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu dalam dua dimensi yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar tugas-tugas yg diberikan dalam bawahan sanggup dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga wajib menjaga hubungan humanisme menggunakan bawahannya (berorientasi pada bawahan), supaya mereka permanen merasa bahagia pada melaksanakan tugasnya. Namun derajat perilaku tersebut bervariasi, sehingga terdapat ketua sekolah yang mempunyai perilaku berorientasi tugas serta konduite berorientasi pada bawahan yg keduanya tinggi, tetapi ada pula yg keduanya rendah serta ada juga yang rendah dalam satu konduite serta tinggi pada konduite lainnya. Karena itu berbagai perilaku kepemimpinan ketua sekolah akan dipersepsi sang guru menjadi bawahannya serta selanjutnya akan membentuk sikap atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku pada bekerja sehari-hari.

Dalam penelitian ini yg dimaksud dengan kepemimpinan ketua sekolah adalah kemampuan ketua sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Dimensi kepemimpinan ketua sekolah yang akan dikaji mengacu pada pendekatan perilaku kepemimpinan yang mengacu dalam:
1. Orientasi pada tugas, menggunakan indikator: membangun struktur tugas dan menekankan dalam produktivitas.
2. Orientasi dalam bawahan menggunakan indikator memperhatikan kebutuhan bawahan, toleransi serta kebebasan, serta menyatukan bawahan.
3. Iklim Organisasi

Organisasi adalah suatu wadah bagi para pegawai berinteraksi clan bekerja satu sama lain pada mencapai tujuan organisasi. Kochler dalam Muhammad (2005: 23) organisasi merupakan sistem hubungan yg terstruktur yg mengkoordinasi bisnis suatu gerombolan orang buat mencapai tujuan eksklusif. Selanjutnya Duncan dalam Wahjosumidjo (2005: 59) mengemukakan pengertian organisasi menjadi suatu kebersamaan dan hubungan serta saling ketergantungan individu-individu yg bekerja ke arah tujuan yang bersifat generik serta hubungan kerjasamanya sudah diatur sesuai dengan struktur yang sudah ditentukan.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat diperoleh liputan sebagai berikut. Pertama, organisasi dilihat menjadi gerombolan orang yg bekerja sama dengan tujuan yg sama Kedua, organisasi dibentuk buat menuntaskan jenis fungsi serta kegiatan khusus buat efisiensi tujuan. Ketiga, organisasi tersusun atas bagian-bagian dan hubungan-interaksi.

Sub sistem yg paling krusial dalam suatu organisasi adalah subsistem manusia karena berdasarkan Muhammad (2005: 39) insan menjadi anggota organisasi merupakan adalah inti organisasi. Faktor manusia pada organisasi wajib mendapat perhatian dan nir bisa diabaikan. Hal ini disebabkan berhasil atau tidaknya organisasi itu mencapai tujuan dan mempertahankan eksistensinya lebih banyak dipengaruhi sang faktor manusianya. Oleh sebab itu dalam melaksanakan aktivitasnya, manusia yg bekerja dalam organisasi tersebut perlu disubstitusi dengan berbagai stimulus dan fasilitas yang dapat mempertinggi motivasi dan gairah kerjanya.

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya. 

Owens dalam Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 91), mengatakan bahwa iklim organisasi mengambarkan pada: to perceptions of persons in the organization that reflect those norms, assumptions, and beliefs. Hal yang sama diungkapkan oleh Hoy dan Miskel (1991: 221) bahwa iklim organisasi adalah : "perceptions of the general work environtment of the school'. Sedangkan Gilmer dalam (Hoy serta Miskel, 1991: 221) menyatakan: "those characteristics that distinguish the organization from other organizations and that influence the behaviour of people in the organization". Rousseau (1990) menyampaikan iklim organisasi merupakan: “the descriptive beliefs and perceptions indviduals hold of the organization”. Iklim organisasi merupakan gambaran kepercayaan -agama serta persepsi-persepsi yg dipegang individu tentang organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tadi memberitahuakn bahwa iklim organisasi selalu berhubungan dengan (1) persepsi para anggota organisasi yg bersangkutan. Dalam hal ini merupakan sikap serta perasaan yang ditampilkan oleh pegawai terhadap sifat-sifat atau karakteristik yg terdapat dalam organisasi; (dua) output interaksi seluruh komponen pada organisasi, serta sang karena itu menghipnotis konduite individu-individu pada organisasi.

Organizational climate is a set of values, often taken for granted, that help people in an organization understand which actions are considered acceptable and which are considered unacceptable. Often there values are communicated through stories and other symbolic means (Moorhead and Griffin, 1989). Organization climate is developed by the organization. It reflects the struggle, both internal and external, the type of people who compose the organization, the work process, the means of communication and the exercise of authority within the individual organization. 

Litwin dan Stringer (dalam Muhammad, 2005: 83) menaruh dimensi iklim oganisasi menjadi berikut: (1) rasa tanggung jawab; (2) baku atau harapan mengenai kualitas pekerjaan; (tiga) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; serta (lima) semangat tim. Di sisi lain Davis serta Newstrom (1996:24) mengungkapkan beberapa unsur spesial yg membangun iklim yg menyenangkan adalah: (1) Kualitas kepemimpinan; (2) Kadar agama; (3) Komunikasi, ke atas serta ke bawah; (4) Perasaan melakukan pekerjaan yg bermanfaat; (lima) Tanggung jawab; (6) Imbalan yang adil; (7) Tekanan pekerjaan yg akal; (8) Kesempatan; (9) Pengendalian; struktur, dan birokrasi yang akal; (10) Keterlibatan pegawai, keikutsertaan.

Unsur-unsur iklim organisasi yg dikemukakakan sang Litwin dan Stringer, Davis dan Nestrom, dan Campbell merupakan unsur-unsur iklim organisasi yang positif, yg menyenangkan. Iklim yang menyenangkan bagi para pegawai (Davis dan Newstrom, 2005: 24) adalah apabila mereka melakukan sesuatu yangbermanfaat serta menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan serta diperlukan menjadi orang yg bernilai. Adanya iklim yang positif, yg menyenangkan bisa membawa impak positif pada kinerja seseorang. Iklim yang berorientasi pada manusia akan menghasilkan kinerja serta kepuasan kerja yg lebih tinggi. Para pegawai merasa bahwa organisasi benar-benar memperhatikan kebutuhan serta kasus mereka, apabila mana iklim bermanfaat bagi kebutuhan individu (contohnya, memperhatikan kepentingan pekerja serta berorientasi prestasi), maka dapat mengharapkan tingkah laris ke arah tujuan yang tinggi. Sebaliknya, bilamana iklim yg timbul bertentangan dengan tujuan, kebutuhan dan motivasi pribadi, prestasi juga kepuasan bisa berkurang.

Iklim organisasi pada penelitian ini adalah karakteristik sekolah menjadi suatu organisasi yg dipersepsi para guru dan sekaligus menghipnotis perilakunya. Adapun indikator iklim organisasi mengacu dalam:
a. Struktur organisasi,
b. Pemberian tanggung jawab,
c. Kebijakan serta praktek manajemen yang mendukung,
d. Keterlibatan/keikutsertaan guru dalam organisasi, dan
e. Komitmen daiam mengemban tugas.

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Motivasi Kerja Pengajar Terhadap Kinerja Guru 
Sekolah menjadi forum pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan serta proses belajar mengajar dalam usaha buat mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah menjadi seorang yg diberi tugas buat memimpin sekolah, ketua sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah dibutuhkan menjadi pemimpin berdasarkan inovator di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu mempunyai kemampuan buat memberdayakan semua sumber daya manusia yang terdapat buat mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan menggunakan guru kepala sekolah harus mempunyai kemampuan buat meningkatkan kinerja pengajar, melalui pemberdayaan sumber daya manusia (guru). 

Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah buat mencapai tujuan sinkron dengan situasi, diperlukan seseorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan serta pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan supervisi. Kepala sekolah perlu mempunyai kemampuan dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yg kondusif, sehingga pengajar-guru bisa melaksanakan pembelajaran menggunakan baik dan anak didik bisa belajar menggunakan damai. Di samping itu kepala sekolah dituntut buat bisa bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepala sekolah bisa mengelola serta memberdayakan guru-pengajar agar terus menaikkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-pengajar yg pula adalah mitra kerja ketua sekolah dalam banyak sekali bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya serta meningkatkan kinerjanya.

Kepemimpinan ketua sekolah sebaiknya menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yg hanya mengandalkan kekuasaan, dan kebalikannya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia pula wajib menghindarkan diri berdasarkan one man show, kebalikannya harus menekankan pada kolaborasi kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yg serba angker, serta sebaliknya perlu menciptakan keadaan yg menciptakan semua guru percaya diri.

Kepemimpinan ketua sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan wahana dan prasarana dan kurang memperhatikan pengajar pada melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru tak jarang melalaikan tugas menjadi pengajar serta pembentuk nilai moral. Hal tadi bisa menumbuhkan perilaku yg negatif berdasarkan seorang guru terhadap pekerjaannya pada sekolah, sebagai akibatnya pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi anak didik pada sekolah. Kepala sekolah jua dituntut untuk mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu rencana, organizing, actuating and controlling, sebab ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja pengajar . Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis menggunakan peran kepala sekolah sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator serta motivator.

Kepuasan kerja adalah salah satu faktor penting buat mendapatkan output kerja yg optimal. Menurut Siagiaan (2003: 297) kepuasan kerja bisa memacu prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. Oleh karenanya waktu seseorang mencicipi kepuasan pada bekerja tentunya beliau akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yg dimilikinya buat menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja pegawai akan meningkat secara optimal. Oleh karena itu seyogyanya kepala sekolah berusaha untuk tahu para guru serta mengupayakan supaya guru memperoleh kepuasan pada menjalankan tugasnya. Persepsi pengajar tehadap kepemimpinan ketua sekolah berdampak pada taraf kepuasan kerja guru di sekolah.

Kepuasan kerja pengajar jua ditentukan sang iklim organisasi. Hal ini didasarkan dalam perkiraan bahwa para pengajar bekerja selain buat mengharapkan imbalan baik material juga non material mereka pula menginginkan iklim yg sinkron menggunakan harapan mereka misalnya masih ada keterbukaan dalam organisasi, terdapat perhatian, dukungan, dan penghargaan. Penciptaan iklim yang berorientasi dalam prestasi dan mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yg diinginkan.

Pada kenyataannya kerja yg menjernihkan, suasana lingkungan kerja yg tidak aman misalnya sahabat yg tidak saling mendukung, kebijakan pimpinan yang kurang mendukung serta siswa yg tingkah lakunya menjengkelkan. Di lain pihak terdapat menurut mereka yg menurun semangatnya dalam mengajar, merasa bosan, jenuh menggunakan pekerjaan. Menunjukkan iklim organisasi yang kurang berpihak dalam kinerja pengajar. Kinerja sekolah dipengaruhi oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tadi. Di negara-negara maju, riset mengenai iklim kerja pada sekolah (school working environment atau school climate) sudah berkembang menggunakan mapan serta menaruh sumbangan yg cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif. Ditegaskan bahwa jika pengajar mencicipi suasana kerja yg kondusif pada sekolahnya, maka dapat diperlukan siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai/pengajar merupakan apabila mereka melakukan sesuatu yg berguna dan menyebabkan perasaan berharga, menerima tanggung jawab serta kesempatan buat berhasil, didengarkan serta diharapkan menjadi orang yang bernilai (Davis serta Newstrom, 2001: 24). Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah mempengaruhi perilaku dan tindakan semua komunitas sekolah tersebut, khususnya dalam pencapaian prestasi akademik murid. 

Iklim yg kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yang kondusif akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat serta kemampuannya

Di lain pihak kepuasan kerja ditentukan jua oleh hal lain yang bisa dilakukan buat menaikkan kepuasan kerja merupakan menaruh insentif, memberikan motivasi, menaikkan kemampuan, gaya kepemimpinan yg baik. Sementara kepuasan kerja pengajar dapat ditingkatkan bila bonus diberikan sempurna waktunya, dan pihak manajemen sekolah bisa mengetahui apa yang dibutuhkan serta kapan bisa harapan-asa diakui terhadap output kerjanya. Pemberian insentif tehadap guru merupakan sebagai pendorong yang bisa memotivasi guru buat lebih bekerja keras secara efektif. Insentif terkait erat dengan kinerja pengajar. Terdapat timbal balik dua arah antara hadiah insentif menggunakan kinerja. Insentif diberikan karena adanya kinerja yg baik serta diberikan buat lebih menaikkan kinerja lagi dimasa mendatang. 

1. Kepuasan Kerja Guru
Kepuasan kerja berdasarkan Davis dan Newstrom (2001: 105) adalah cara seorang pekerja mencicipi pekerjaannya. Pendapat senada juga dikemukakan sang Milton dalam Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002:162) bahwa kepuasan kerja merupakan sesuatu yang menyenangkan atau pernyataan emosional yang positif, dihasilkan berdasarkan penilaian pengalaman kerja seorang. Artinya apabila seorang merasa puas terhadap pekerjaannya, maka dia akan mempunyai perilaku positif serta menyenangi pekerjaannya. Kepuasan kerja juga dikemukakan oleh Mathis serta Jackson (2001: 98) yaitu keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seorang. Ketidakpuasan kerja akan timbul saat harapan-asa ini tidak dipenuhi. 

Some theorists view job satisfaction as being the positive emotional reactions and attitudes an individual has towards their job. Others have viewed it as a bi-dimensional construct consisting of ‘‘intrinsic’’ and ‘‘extrinsic’’ satisfaction dimensions,or alternatively of ‘‘satisfaction/lack of satisfaction’’ and ‘‘dissatisfaction/lack of dissatisfaction’’ dimensions.more recently, debate has arisen as to whether job satisfaction is a global concept or is composed of facets of satisfaction with various aspects of an individual’s job. Recent studyhas suggested that the most important determinants of job satisfaction are whether an employee finds their job interesting, has good relationships with their managers and colleagues, has a high income, is allowed to work independently, and has clearly defined career advancement opportunities. Measures of job satisfaction tend to fall into two broad types: single item global measures and composite measures of satisfaction with various job components. 

Kepuasan kerja pengajar ditunjukkan sang sikapnya pada bekerja/mengajar. Apabila guru puas akan keadaan yang mensugesti beliau maka dia akan bekerja dengan baik/mengajar dengan baik. Tetapi apabila guru kurang puas maka beliau akan mengajar sinkron kehendaknya. Kepuasan kerja merupakan galat satu sikap kerja pengajar yg perlu diciptakan di sekolah, agar pengajar dapat bekerja dengan moral yg tinggi, disiplin, semangat, berdedikasi serta menghayati profesinya. Gum yg merasa puas terhadap lembaganya akan berdampak dalam kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah serta peningkatan kualitas pelayanan kepada para anak didik. Dengan kata lain menggunakan mencapai taraf kepuasan kerja tertentu maka diharapkan kinerja sebagai seorang guru baik.

Penelitian mengenai kepuasan kerja yg sangat besar sumbangannya merupakan penelitian Herzberg. Teori ini dikenal menggunakan "model 2 faktor" yaitu faktor motivasional serta faktor higiene/pemeliharaan (Burhanuddin, Ali, Maisyaroh, 2002:166). Jika faktor higiene dipenuhi nir dapat memotivasi pekerja namun bisa meminimalkan ketidakpuasan. Jika faktor higiene nir terpenuhi, sesesorang nir akan merasa puas. Faktor higiene meliputi company policy andadministration (kebijakan organisasi); supervision (pengawasan), salary (gaji/kesejahteraan), interpersonal relations (hubungan antar langsung) dan working condition (kondisi kerja), possibility of growth (peluang untuk tumbuh), personal life (efek kerja terhadap kehidupan eksklusif) serta status. Faktor-faktor motivasional dapat membangun kepuasan kerja dengan memenuhi kebutuhan-kebuUihan pekerja, mencakup achievement (prestasi), recognition (pengakuan), work itself (kerja itu sendiri) responsibility (tanggung jawab), serta advancement (promosi). Berkenaan dengan kepuasan kerja pengajar yaitu keterlibatan pengajar pada pembuatan keputusan di sekolah, pengakuan yang dirasakan pengajar, harapan guru , hubungan antar personel yang terjadi di dalam lingkungan kerja, serta otoritas yg diterima pengajar (De Roche pada Burhanudin, Imron serta Maisyaroh, 2002:165). Dalam penelitian ini yg dimaksud menggunakan kepuasan kerja guru merupakan pernyataan sikap pengajar yg positif maupun negatif, didasarkan sang cara pandang (persepsi) guru yang bersangkutan terhadap pekerjaannya sebagai guru dan pelaksana pendidikan pada sekolah, adapun indikator kepuasan kerja pada penelitian ini adalah: pengakuan/penghargaan, promosi/promosi, supervisi, honor /kesejahteraan, kerja itu sendiri, serta hubungan personal/rekan sekerja.

2. Persepsi pengajar mengenai Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah adalah lembaga yg bersifat kompleks serta unik. Bersifat komplek karena sekolah menjadi organisasi pada dalamnya masih ada aneka macam dimensi yg satu sama lain saling berkaitan serta saling memilih. Sekolah bersifat unik karena sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yg kompleks serta unik tersebut, sekolah menjadi organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi.

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya mempunyai kiprah bertenaga dalam mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan serta menyerasikan semua asal daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan ketua sekolah adalah salah satu faktor yg dapat mendorong sekolah buat mewujudkan visi, misi, tujuan serta sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil bila mereka tahu keberadaan sekolah menjadi organisasi yang kompleks serta unik, serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.

Kepemimpinan biasanya didefinisikan sang para pakar menurut pandangan eksklusif mereka, serta aspek-aspek kenyataan berdasarkan kepentingan yang paling baik bagi pakar yg bersangkutan. Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses yg mempengaruhi orang lain buat tahu dan setuju dengan apa yg perlu dilakukan serta bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses buat memfasilitasi upaya individu serta kolektif buat mencapai tujuan beserta. Definisi tersebut mencakup upaya yang tidak hanya buat mempengaruhi serta memfasilitasi pekerjaan gerombolan atau organisasi yang kini tetapi definisi ini bisa jua digunakan buat memastikan bahwa semuanya dipersiapkan buat memenuhi tantangan masa depan. 

Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan merupakan kegiatan buat mensugesti orang-orang yang diarahkan dalam pencapaian tujuan organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) membicarakan bahwa “leadership is compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (2) human processes with in school; (3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun sang empat dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (dua) proses humanisasi pada sekolah; (3) kontek social politik dalam penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri. Kepemimpinan adalah kesanggupan atau teknik buat menciptakan sekelompok orang bawahan pada organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati segala apa yg dikehendaki, menciptakan bawahan antusias dan mengikuti pemimpin serta rela berkorban untuknya (Purwanto, 2007: 26)

Berdasarkan uraian mengenai definisi kepemimpinan pada atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah efek yang dimiliki seorang serta dalam gilirannya akibat pengaruh itu bagi orang yg hendak ditentukan. Peranan penting dalam kepemimpinan adalah upaya seorang yang memainkan peran menjadi pemimpin guna menghipnotis orang lain pada organisasi/lembaga tertentu buat mencapai tujuan.

Kepemimpinan ketua sekolah pada konteks penelitian ini adalah kemampuan ketua sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yg telah ditetapkan. Peran pemimpin di sekolah (ketua sekolah) sangat krusial lantaran merupakan motor penggerak bagi sumber daya sekolah terutama guru dan karyawan. Wood (Daniel, 2008) menjelaskan kepala sekolah memiliki 5 peran kunci kepemimpinan yaitu: (1) culture builder; (dua) instructional leader; (3) facilitator of mentors; (4) recruiter new teacher; (lima) advocate for new teacher. Peran pertama pembangun budaya; ke 2 pemimpin pedagogi; ketiga fasilitator; keempat perekrut pengajar baru; kelima menyokong pengajar-guru baru. Besarnya peran kepemimpinan ketua sekolah dalam proses mencapai tujuan pendidikan, maka bisa dikatakan bahwa sukses tidaknya aktivitas sekolah sebagian ditentukan sang kualitas kepemimpinan yg dimiliki sang kepala sekolah. Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 135) menyebutkan fungsi kepemimpinan kepala sekolah yaitu: (a) membantu guru tahu, memilih, serta merumuskan tujuan pendidikan yg akan dicapai; (b) menggerakkan pengajar-pengajar, karyawan, murid, serta anggota masyarakat buat menyukseskan acara-program pendidikan pada sekolah; (c) membangun sekolah menjadi suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, bergerak maju, dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas serta memperoleh kepuasan kerja yang tinggi. Fungsi pemimpin selalu terkait menggunakan: (1) tugas-tugas yg diberikan serta dilaksanakan bawahan; (dua) baik tidaknya jalinan hubungan kepala sekolah menggunakan bawahan. Apabila kedua hal tadi bisa ditangani dengan baik, maka keberhasilan tujuan sekolah bisa dibutuhkan.

Studi kepemimpinan yang terdiri dari berbagai macam pendekatan pada hakikatnya adalah bisnis buat menjawab atau menaruh pemecahan dilema tentang kemungkinan seorang menjadi pemimpin yang baik dan sanggup memajukan organisasi yg dipimpinnya, misalnya dijelaskan dalam jurnal:

“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate training. But no element of an instructional coaching program is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the acara with time and support will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”

Menurut Mulyasa (2003: 108), buat tahu kepemimpinan, dapat dikaji berdasarkan 3 pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan konduite dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tadi: 

a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seorang pemimpin yang berhasil pada melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang sebagai pemimpin karena sifat-sifatnya yg dibawa semenjak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti dikatakan sang Thierauf pada Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yang ialah pemimpin adalah dilahirkan bukan dibentuk bahwa pemimpin nir bisa memperoleh kemampuan buat memimpin, namun mewarisinya.

Tead pada Mulyasa (2003:109) menyebutkan, seorang pemimpin memiliki sifat-sifat bawaan yang membedakannya menurut yg bukan pemimpin. Adapun beberapa kondisi yg wajib dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik serta susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah serta tujuan; (3) antusiasme; (4) keramahtamahan; (lima) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) agama.

Pendekatan sifat nir sanggup menjawab berbagai pertanyaan pada lebih kurang kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini dalam menjawab pertanyaan seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan poly kritikan. Salah satunya merupakan dari output penelitian Hersey dan Blanchard (Soekarto, 2006: 39), ternyata tidak berhasil ditemukan satu atau sejumlah sifat yg bisa digunakan sebagai ukuran untuk membedakan pemimpin serta bukan pemimpin. 

b. Pendekatan konduite (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan dan mengidentifikasi konduite yang khas dari pemimpin pada kegiatannya mensugesti orang lain. Berkaitan dengan pendekatan konduite, Universitas negeri Ohio (Ohio State University) mengemukakan adanya 2 macam konduite kepemimpinan yaitu initiating structure (pemrakarsa struktur tugas) serta consideration (perhatian pada bawahan). Keefektifan seseorang pemimpin terlihat berdasarkan dua jenis konduite pada menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama merupakan sampai sejauh mana seseorang pimpinan memberikan penekanan dalam peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yang akan dilaksanakan oleh para bawahannya. Kedua, sampai sejauh mana dan pada bentuk apa seseorang pimpinan menaruh perhatian kepada bawahan. Dalam studi ini yg dimaksud dengan pemrakarsa struktur artinya sampai sejauh mana seseorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya serta peranan bawahannya pada usaha mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Purwanto (2007: 36) konduite kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas serta konsiderasi mempunyai karakteristik-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yg tinggi; (tiga). Mengutamakan penyelesaian tugas berdasarkan jadwal yang sudah ditetapkan; (4) lebih poly melakukan pengarahan; (lima) melaksanakan tugas menggunakan melalui mekanisme kerja yang ketat; (6) melakukan pengawasan yang ketat; (7) penilaian terhadap bawahan semata-mata berdasarkan output kerja.

Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (dua) berusaha membentuk suasana saling percaya; (tiga) berusaha membangun suasana saling menghargai; (4) simpati terhadap perasaan bawahan; (lima) mempunyai sikap bersahabat; (6) menumbuhkan peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan dan kegiatan lain; (7) mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, dan pengontrolan diri. Antara ke 2 perilaku kepemimpinan tersebut nir saling bergantung. Artinya aplikasi menurut perilaku kepemimpinan yang satu tidak mempengaruhi perilaku yang lain. Antara perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat dilaksanakan secara beserta-sama. Dengan demikian seorang pemimpin bisa menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.

“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with class membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The contoh assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the class prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a class that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…” 

Prinsip kepemimpinan berdasarkan hasil Universitas Michigan pada prinsipnya sama menggunakan output penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kesamaan konduite pemimpin yang berorientasi pada bawahan dan orientasi produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan konduite pimpinan dengan orientasi bawahan adalah: fokus dalam interaksi atasan bawahan, perhatian pribadi pimpinan pada pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima disparitas-perbedaan kepribadian, kemampuan serta perilaku yang masih ada dalam diri bawahan tersebut. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi adalah: cenderung menekankan segi-segi teknis menurut pekerjaan yg harus dilakukan oleh para bawahan serta kurang dalam segi manusianya, pertimbangan primer diletakkan dalam terselenggaranya tugas, baik sang orang per orang pada satuan kerja eksklusif maupun oleh gerombolan -gerombolan kerja yang masih ada dalam organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas di atas pertimbangan-pertimbangan yg menyangkut unsur insan dalam organisasi. 

c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini kepemimpinan lebih adalah fungsi situasi daripada menjadi kualitas langsung serta adalah suatu kualitas yang timbul lantaran interaksi orang-orang pada situasi eksklusif (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi didasarkan atas perkiraan bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau lembaga nir hanya bergantung pada atau ditentukan oleh konduite dan ciri-karakteristik pemimpin saja tetapi masih hams diubahsuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yg dihadapi menggunakan memperhitungkan faktor saat dan ruang (Sondang, 2003: 128). 

Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi mempunyai ciri-karakteristik khusus dan unik sebagai akibatnya kasus yang dihadapi tidak selaras, situasinya tidak selaras, serta wajib dihadapi dengan perilaku kepemimpinan yang tidak sinkron sesuai situasi organisasi tersebut.

Teori ini merupakan pengembangan dari contoh kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan dalam interaksi antara 3 faktor, yaitu perilaku tugas (task behavior), konduite hubungan (relationship behavior) dan kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan anugerah petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa yang harus dikerjakan, bilamana serta bagaimana mengerjakannya, dan mengawasi mereka secara ketat. Perilaku interaksi merupakan ajakan yg disampaikan sang pemimpin melalui komunikasi dua arah yg mencakup mendengar dan melibatkan anak buah pada pemecahan masalah. Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas yg dibebankan kepadanya.

Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif bila disesuaikan dengan taraf kematangan anak butir. Makin matang anak buah, pemimpin wajib mengurangi konduite tugas dan menambah konduite hubungan. Apabila anak butir bergerak mencapai homogen-homogen taraf kematangan, pemimpin wajib mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak butir mencapai taraf kematangan penuh dan sudah dapat berdikari, pemimpin telah dapat mendelegasikan kewenangan pada anak buah.

Gaya kepemimpinan yg sempurna buat diterapkan pada keempat tingkat kematangan anak buah serta kombinasi yg sempurna antara konduite tugas dan perilaku interaksi adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)

Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui konduite kepemimpinan ketua sekolah yang mengacu pada perilaku yang berorientasi dalam tugas serta konduite yang berorientasi dalam bawahan, akan membangun sikap yg berkaitan menggunakan bagaimana para pengajar berperilaku pada melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan serta gaya kepemimpinan kepala sekolah mempengaruhi motivasi memimpin pengajar dalam menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. “ A principal’s style and actions have great influence over teacher leaders’ motivation for performing teacher leadership roles effectively (Birky, Shelton and Headly, 2006). Penelitian Keller (Birky, Shelton and Headly, 2006) menampakan bahwa gaya kepamimpinan ketua sekolah berdampak dalam kesuksesan murid serta sekolah. Kepala sekolah yg lebih berfungsi menjadi manajer dari pada pemimpin pedagogi mempunyai sekolah-sekolah yang kurang sukses berdasarkan pada yg bekerja secara dekat menggunakan pengajar-pengajar pada menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yg bisa dilakukan sang ketua sekolah seperti yang dinyatakan oleh Syafarudin (2002:67) menaruh otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan serta meningkatkan penghargaan terhadap pekerjaan guru.

Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan dalam umumnya mengacu dalam 2 dimensi yaitu berorientasi dalam tugas (task oriented), supaya tugas-tugas yg diberikan pada bawahan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi dalam tugas, kepala sekolah jua harus menjaga interaksi kemanusiaan menggunakan bawahannya (berorientasi pada bawahan), supaya mereka tetap merasa senang pada melaksanakan tugasnya. Tetapi derajat konduite tersebut bervariasi, sehingga terdapat kepala sekolah yg memiliki perilaku berorientasi tugas serta konduite berorientasi pada bawahan yang keduanya tinggi, tetapi ada jua yg keduanya rendah dan terdapat jua yang rendah pada satu perilaku serta tinggi pada perilaku lainnya. Lantaran itu berbagai perilaku kepemimpinan ketua sekolah akan dipersepsi oleh guru sebagai bawahannya serta selanjutnya akan membangun perilaku atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku pada bekerja sehari-hari.

Dalam penelitian ini yg dimaksud dengan kepemimpinan ketua sekolah merupakan kemampuan kepala sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para guru buat bekerja, berperan dan guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dimensi kepemimpinan ketua sekolah yg akan dikaji mengacu dalam pendekatan perilaku kepemimpinan yg mengacu dalam:
1. Orientasi dalam tugas, dengan indikator: membangun struktur tugas serta menekankan dalam produktivitas.
2. Orientasi dalam bawahan dengan indikator memperhatikan kebutuhan bawahan, toleransi dan kebebasan, dan menyatukan bawahan.
3. Iklim Organisasi

Organisasi adalah suatu wadah bagi para pegawai berinteraksi clan bekerja satu sama lain pada mencapai tujuan organisasi. Kochler pada Muhammad (2005: 23) organisasi merupakan sistem interaksi yang terstruktur yang mengkoordinasi bisnis suatu gerombolan orang untuk mencapai tujuan eksklusif. Selanjutnya Duncan pada Wahjosumidjo (2005: 59) mengemukakan pengertian organisasi menjadi suatu kebersamaan dan hubungan serta saling ketergantungan individu-individu yang bekerja ke arah tujuan yg bersifat generik serta hubungan kerjasamanya sudah diatur sinkron menggunakan struktur yang telah ditentukan.

Berdasarkan pengertian tadi pada atas, maka dapat diperoleh liputan menjadi berikut. Pertama, organisasi dipandang menjadi gerombolan orang yang bekerja sama dengan tujuan yang sama Kedua, organisasi dibentuk buat menyelesaikan jenis fungsi dan aktivitas spesifik buat efisiensi tujuan. Ketiga, organisasi tersusun atas bagian-bagian serta hubungan-hubungan.

Sub sistem yang paling krusial pada suatu organisasi adalah subsistem insan lantaran dari Muhammad (2005: 39) manusia sebagai anggota organisasi merupakan adalah inti organisasi. Faktor insan dalam organisasi wajib mendapat perhatian dan tidak bisa diabaikan. Hal ini disebabkan berhasil atau tidaknya organisasi itu mencapai tujuan dan mempertahankan eksistensinya lebih banyak ditentukan sang faktor manusianya. Oleh karena itu dalam melaksanakan aktivitasnya, manusia yang bekerja pada organisasi tersebut perlu disubstitusi menggunakan aneka macam stimulus serta fasilitas yang dapat menaikkan motivasi dan gairah kerjanya.

Iklim yg kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yang kondusif akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat serta kemampuannya. 

Owens dalam Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 91), mengatakan bahwa iklim organisasi menerangkan dalam: to perceptions of persons in the organization that reflect those norms, assumptions, and beliefs. Hal yang sama diungkapkan sang Hoy dan Miskel (1991: 221) bahwa iklim organisasi merupakan : "perceptions of the general work environtment of the school'. Sedangkan Gilmer dalam (Hoy dan Miskel, 1991: 221) menyatakan: "those characteristics that distinguish the organization from other organizations and that influence the behaviour of people in the organization". Rousseau (1990) membicarakan iklim organisasi adalah: “the descriptive beliefs and perceptions indviduals hold of the organization”. Iklim organisasi adalah gambaran kepercayaan -agama dan persepsi-persepsi yang dipegang individu mengenai organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tadi memperlihatkan bahwa iklim organisasi selalu berhubungan dengan (1) persepsi para anggota organisasi yang bersangkutan. Dalam hal ini adalah sikap dan perasaan yg ditampilkan oleh pegawai terhadap sifat-sifat atau ciri yg ada pada organisasi; (2) hasil interaksi semua komponen dalam organisasi, dan sang karenanya menghipnotis konduite individu-individu pada organisasi.

Organizational climate is a set of values, often taken for granted, that help people in an organization understand which actions are considered acceptable and which are considered unacceptable. Often there values are communicated through stories and other symbolic means (Moorhead and Griffin, 1989). Organization climate is developed by the organization. It reflects the struggle, both internal and external, the type of people who compose the organization, the work process, the means of communication and the exercise of authority within the individual organization. 

Litwin dan Stringer (pada Muhammad, 2005: 83) memberikan dimensi iklim oganisasi menjadi berikut: (1) rasa tanggung jawab; (dua) standar atau asa mengenai kualitas pekerjaan; (tiga) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; dan (lima) semangat tim. Di sisi lain Davis dan Newstrom (1996:24) menjelaskan beberapa unsur spesial yg membentuk iklim yg menyenangkan adalah: (1) Kualitas kepemimpinan; (dua) Kadar kepercayaan ; (tiga) Komunikasi, ke atas dan ke bawah; (4) Perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat; (5) Tanggung jawab; (6) Imbalan yang adil; (7) Tekanan pekerjaan yg akal; (8) Kesempatan; (9) Pengendalian; struktur, serta birokrasi yang nalar; (10) Keterlibatan pegawai, keikutsertaan.

Unsur-unsur iklim organisasi yang dikemukakakan sang Litwin dan Stringer, Davis dan Nestrom, serta Campbell merupakan unsur-unsur iklim organisasi yang positif, yang menyenangkan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai (Davis serta Newstrom, 2005: 24) merupakan apabila mereka melakukan sesuatu yangbermanfaat serta menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan dan diharapkan sebagai orang yg bernilai. Adanya iklim yang positif, yang menyenangkan dapat membawa pengaruh positif dalam kinerja seorang. Iklim yang berorientasi pada insan akan membuat kinerja dan kepuasan kerja yg lebih tinggi. Para pegawai merasa bahwa organisasi sahih-benar memperhatikan kebutuhan dan masalah mereka, apabila mana iklim bermanfaat bagi kebutuhan individu (contohnya, memperhatikan kepentingan pekerja serta berorientasi prestasi), maka dapat mengharapkan tingkah laris ke arah tujuan yg tinggi. Sebaliknya, bilamana iklim yang ada bertentangan dengan tujuan, kebutuhan dan motivasi pribadi, prestasi maupun kepuasan bisa berkurang.

Iklim organisasi pada penelitian ini adalah ciri sekolah sebagai suatu organisasi yg dipersepsi para guru dan sekaligus mempengaruhi perilakunya. Adapun indikator iklim organisasi mengacu dalam:
a. Struktur organisasi,
b. Pemberian tanggung jawab,
c. Kebijakan serta praktek manajemen yg mendukung,
d. Keterlibatan/keikutsertaan guru pada organisasi, dan
e. Komitmen daiam mengemban tugas.

PENGERTIAN KEPEMIMPINAN DARI BERBAGAI AHLI

Pengertian Kepemimpinan Dari Berbagai Ahli 
A. Pengertian Kepemimpinan
Secara umum mungkin bisa diartikan kepemimpinan tersebut menjadi aktivitas buat mempengaruhi orang-orang yang diarahkan terhadap pencapaian tujuan organisasi. Namun demikian tampaknya pengertian kepemimpinan sang para pakar tadi masing-masing terdapat perbedaannya tergantung menurut sudut pandang, penekanannya, keluasannya dan kedalaman yg terkandung pada dalamnya. Sutisna (1993) contohnya merumuskan kepemim-pinan tersebut menjadi suatu proses mempengaruhi aktivitas seorang atau sekelompok orang dalam usaha ke arah pencapaian tujuan dalam situasi tertentu. Sementara Supardi (1988) menyatakan bahwa kepemimpinan tersebut menjadi kemampuan buat mengge-rakkan, mempengaruhi, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, serta kalau perlu menghukum, serta membina dengan maksud supaya insan sebagai media manajemen mau bekerja pada rangka mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

Dari beberapa pengertian kepemimpinan tadi menunjukkan bahwa dalam kepe-mimpinan tadi paling nir meliputi tiga hal yg saling berkaitan, yaitu: adanya pemimpin dan karakteristiknya, adanya bawahan, serta adanya situasi pada kelompok loka pemimpin dan bawahan saling berinteraksi. 

Dengan demikian untuk bisa dijelaskan efektifnya suatu organisasi tersebut dalam mencapai tujuannya akan sangat tergantung pada: pertama pemimpin serta karakteristiknya yang pada manajemen kemudian lazim dianggap serta dikenal menggunakan istilah pola kepemimpinan atau gaya kepemimpinan, yang mana pola atau gaya kepemimpinan tersebut kemudian secara realitanya akan tampak dalam suatu pola konduite seseorang pemimpin yang khas pada ketika menghipnotis bawahannya, apa yang dipilih sang pemimpin atau yang dikerjakannya, cara memimpin serta bertindak pada menghipnotis bawahannya sehingga bawahannya mau taat dan melakukannya (Thoha.1995). Faktor ke 2 yg dapat memilih efektifnya suatu organisasi pada mencapai tujuannya adalah faktor bawahan yg tekanannya dalam taraf kematangan bawahan tadi, jadi semakin tinggi tingkat kematangan bawahan atau karyawan tadi efektifitas suatu organisasi akan semakin tinggi. Kemudian faktor ketiga yang bisa menentukan efektifnya suatu organisasi dalam mencapai tujuannya adalah faktor situasi interaksi tempat berkerja yg dalam manajemen seringkali dianggap menggunakan istilah iklim organisasi atau budaya organisasi serta lain sebagainya (Komariah serta Triatna. 2006). Sedangkan di sisi yang lain Tilaar (1993) menyatakan bahwa untuk bisa organisasi berhasil mencapai tujuannya secara efektif dalam kondisi yg sedang mengalami aneka macam perubahan merupakan: 
  1. adanya suatu visi yang jelas dari organisasi tadi, 
  2. kejelasan misinya, 
  3. kejelasan rancangan kerjanya, 
  4. sumber daya yang memadai,
  5. keterampilan profesionalitas, serta 
  6. motivasi serta insentif.
Sekolah menjadi suatu organisasi sosial yang adalah bagian penyelenggaraan dari sistem pendidikan nasional, pada waktu ini tampaknya jua mengalami perubahan yg sangat besar pada berbagai dimensi, sebagai akibat adanya perubahan sistem dan kewe-nangan pada mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional, yaitu yang dalam mulanya bersifat sentralistik sinkron dengan UU No. Dua tahun 1989 yang telah diganti sebagai sistem yang bersifat desentralisasi sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003, telah melahirkan banyak sekali kebijakan yg menuntut kiprah pemerintah wilayah provinsi, kabupaten/kota adanya sistem manajemen, gaya kepemimpinan, dan keterampilan manaje-rial yg lebih tinggi pada penyelenggaraan sistem pendidikan di taraf mikro atau pada taraf sekolah.

Bertitik tolak pada uraian tersebut di atas bisa ditegaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menentukan dari efektifitas suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan terutama di sekolah. Tampaknya berdasarkan banyak sekali faktor yg sudah disebutkan pada atas, faktor kepemimpinan yg paling sangat krusial dan determinan mengingat yang akan memenaje bawahan serta mengkondisikan situasi hubungan pada organisasi, serta mengelola faktor-faktor organisasi yang lainnya pada rangka mencapai tujuan organisasi tersebut adalah pimpinan. 

B. Berbagai Gaya Kepemimpinan
Dalam kepustakaan disebutkan ada aneka macam cara pada mendekati kepemimpinan serta karkteristiknya atau gaya kepemimpinan seorang yg disebut efektif. Pendekatan teori kepemimpinan tersebut mulai menurut teori pendekatan sifat, teori pendekatan perilaku, teori pendekatan situasional, dan teori kemungkinan pengembangan kepemimpinan pada era desentralisasi ini. 

Teori pendekatan sifat mencoba mengungkapkan keefektipan dan keberhasilan seseorang pemimpinan menggunakan bertolak dalam asumsi-perkiraan bahwa individu adalah sentra kepe-mimpinan seseorang. Kepemimpinan dipandang menjadi sesuatu yg mengandung lebih banyak unsur-unsur individu terutama sifat-sifat individu. Jadi orang yang memiliki sifat-sifat eksklusif yang dipertimbangkan buat dapat menduduki posisi pimpinan (Mulyasa. 2002). Sifat-sifat bawaan inilah yg membedakan antara pemimpin menggunakan bukan pemim-pin. Demikian pula yg dimaksudkan menggunakan sifat-sifat bawaan tersebut, seperti kekuatan fisik serta susunan syaraf, penghayatan terhadap arah tujuan, antusiasisme, keramahan, integritas, keahlian, kemampuan merogoh keputusan, keterampilan memimpin, serta kepercayaan . 

Tampakya sifat-sifat bawaan seseorang belum mampu menaruh jawaban yang memuaskan, sang lantaran itulah para ahli tampaknya mengalihkan perhatiannya dalam konduite pemimpin. Teori pendekatan kepemimpinan ini tampaknnya memfokuskan serta mengidentifikasi konduite yang spesial dari pemimpin dalam melakukan kegiatan mempenga-ruhi bawahannya. Beberapa studi menggunakan memakai teori pendekatan perilaku kepemimpinan ini adalah Universitas OHIO, dengan melihat konduite inisiatif (initiating structure) dan perhatian (consideration) menurut pemimpin, Universitas Michigan menggunakan melihat perilaku orientasi dalam bawahan, serta orientasi pada produksi dalam organisasi, lalu teori jaringan manajemen oleh Blacke serta Mouton yg melihat perilaku pimpinan menurut perhatiannya terhadap produksi serta karyawannya.

Kemudian yang dimaksud dengan pendekatan situasional merupakan suatu pendekatan yang pada menyoroti perilaku pemimpin dalam situasi tertentu, dengan lebih menekankan kepemimpinan adalah fungsi daripada sebagai kualitas langsung yg timbul lantaran interaksi orang-orang dalam situasi eksklusif. Atas dasar pandangan teori pendekatan situasi-onal dikembangkan beberapa gaya kepemimpinan, misalnya: kepemimpinan kontingensi oleh Fiedler dan Chemers (Mulyasa. 2002) yang mengungkapkan bahwa seseorang akan sebagai pemimpin yang efektif akan sangat tergantung dari interaksi antara pemimpin menggunakan bawahan artinya bagaimana seorang pemimpin bisa diterima sang bawahannya dan bagaimana persepsi pemimpin terhadap bawahannya, struktur tugas pada arti apakah tugas-tugas bawahan adalah menjadi sesuatu yang rutin serta jelas, dan kekuasaan yang bersumber dari organsasi akan mendapatkan kepatuhan yg lebih akbar dari bawahnnya. Kemudian ada juga teori berdasarkan Reddin yg dikenal dengan teori kepemimpinan tiga dimensi. Dasar yang digunakan buat menentukan efektifitas kepemimpinan seorang merupakan perhatian pada produksi dan tugas, perhatian pada bawahan, serta efektifitas (Mulyasa. 2002). Dan salah satu teori kepemimpinan dengan memakai pendekatan situasional ini adalah teori yg dikembangkan Hersey dan Blanchard (1982) yg menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseoang akan sangat tergantung dalam tiga faktor, yaitu: pertama faktor perilaku tugas, yang berupa petunjuk sang pimpinan, penje-lasan tertertu apa yang wajib dilakukan, bilamana dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, serta pengawasan yg ketat. Kedua, faktor konduite interaksi berupa ajakan pada bawahan melalui komunikasi berdasarkan 2 arah, yaitu pimpinan serta bawahan. 

Dalam bidang pendidikan contohnya ketua sekolah menjadi pemimpin pendidikan akan dihadapkan pada kasus gaya kepemimpinan yang bagaimana sebaiknya diterapkan yang dipercaya sempurna dan sesuai dengan tingkat kematangan pengajar sebagai bawahan. Seperti contohnya kalau taraf kematangan pengajar termasuk tinggi (M4) yg ditandai dengan ciri-karakteristik bawahan atau guru bisa dan mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yg seharusnya digunakan oleh seseorang kepala sekolah adalah gaya kepemimpinan delegasi (G4) yang ditandai menggunakan karakteristik-ciri kepemimpinannya tinggi interaksi serta rendah tugas. Demikian juga halnya kalau seorang pemimpin atau kepala sekolah dihadapkan dalam pengajar yang memiliki tingkat kematangan yg termasuk sedang (M3, M2) yang ditandai menggunakan ciri-karakteristik pengajar mampu akan tetapi tidak mau atau pengajar mau tapi tidak bisa melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesi-onalismenya, maka gaya kepemimpinan yg seharusnya digunakan sang seseorang kepala sekolah merupakan gaya kepemimpinan partisipasi (G3) yang ditandai menggunakan ciri-karakteristik kepemimpinannya rendah hubungan serta rendah tugas atau gaya kepemimpinan menjajakan (G2) yang ditandai dengan ciri-ciri kepemimpinannya tinggi tugas dan rendah interaksi. Begitu jua halnya jikalau seorang pemimpin atau ketua sekolah dihadapkan pada guru yg mempunyai taraf kematangan yang termasuk rendah (M1) yg ditandai dengan ciri-karakteristik pengajar tidak mampu dan tidak mau melakukan peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya, maka gaya kepemimpinan yang seharusnya dipakai sang seorang kepala sekolah adalah gaya kepemimpinan mendikte (G1) yang ditandai dengan karakteristik-karakteristik kepemimpinannya tinggi tugas dan tinggi interaksi.

Kemudian teori kepemimpinan yg bagaimanakah yang dipercaya paling efektif pada masa kini yg sedang mengalami perubahan dan masa globalisasi. Paling tidak terdapat tiga jenis kepemimpinan yang dipandang referensentatif menggunakan tuntutan jaman yang sedang mengalami perubahan khususnya pada penyelenggaraan sistem pendidikan menggunakan sistem desentralisasi dalam ketika ini. Jenis kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemim-pinan transsaksional, visioner, serta kepemimpinan transfomasional (Komariah serta Triatna. 2006., Danim. 2005. 2006). 

Kepemimpinan transaksional yg dimaksudkan adalah pemimpin yg menekan-kan dalam tugas yang diemban sang bawahan, merancang pekerjaannya, beserta mekanisme-nya, bawahan melaksanakannya sesuai dengan kemampuannya, serta pada sisi yang lain bawahan melakukan tugasnya bukan pada rangka buat ekspresi, tetapi buat menerima bonus sinkron dengan beban pekerjaan serta kemampuannya. Dengan kata lain dalam kepemimpinan yang transaksional pimpinan dihadapkan pada bawahan yg masih kurang matang yg ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dari sisi sandang, pangan, dan papan. Dengan demikian kepemimpinan transaksional diklaim pula menggunakan dorongan konti-ngen dalam bentuk reward serta punishment yg adalah kesefakatan bersama pada kontrak kerja yg apabila bawahan dapat bekerja menggunakan berhasil baik sinkron dengan asa, maka pula akan menerima kontingen berupa imbalan. Dalam kaitan ini Hoover, dan Leitwood (pada Komariah serta Triatna. 2006) mengungkapkan secara skematis gaya kepe-mimpinan transaksional sebagai bagan di bawah ini.

BAGAN KEPEIMIMPINAN TRANSAKSIONAL

Kepemimpinan yg visioner, yaitu kepemimpinan yg kerja pokoknya difokus-kan dalam rekayasa masa depan yang penuh tantangan. Kepemimpinan yang visioner adalah ditandai sang adanya kemampuan dalam menciptakan perencanaan yg jelas sebagai akibatnya berdasarkan rumusan visinya akan tergambar target apa yang hendak dicapai berdasarkan pengembangan forum yang dipimpinnya. Kepemimpinan visioner merupakan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk merumuskan, mengkomunikasikan, mensosialisasikan, mentransforma-sikan, dan mengimplementasikan pikiran-pikiran idealnya atau sebagai hasil interaksi sosial diantara anggota organisasi serta yg diyakini menjadi asa organisasi di masa depan yg wajib diraih dan diwujudkan melalui komitmen seluruh personel.

Kemudian kepemimpinan transformasional adalah menjadi suatu proses yg dalam dasarnya para pemimpin serta pengikutnya saling menaikan diri ketingkat moralitas serta motivasi yang lebih tinggi (Komariah serta Triatna. 2006). Kepemimpinan transformasional merupakan pemimpin yang memiliki wawasan jauh ke depan serta berupaya memperbaiki dan menyebarkan organisasi untuk pada masa depan. Danim (2006) dengan mengutip Burns menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional suatu proses kepemimpinan yg mana pemimpin serta bawahannya saling merangsang diri satu sama lain buat menaikkan moralitas dan motivasinya yang lebih besar yang dikaitkan menggunakan tugas pokok serta fungsinya. Dengan kepemimpinan transformasional ini akan mampu membawa kesadaran pengikutnya memunculkan ilham-pandangan baru produktif, hubungan yang sinergik, tanggungjawab, kepedulian terhadap pendidikan, asa bersama serta nilai-nilai moral, bersama-sama menerjemahkan visi, misi organisasinya. 

Kalau pengertian kepemimpinan transformasional tadi digambarkan dalam bentuk bagan dengan mengutif berdasarkan Komariah serta Triatna (2006), maka akan tampak seperti dalam bagan 02 pada bawah ini. 

BAGAN KEPEMIMPINAN TRANSFORMASINAL

Secara lebih kentara pada menggambarkan kepemimpinan transformasional tadi adalah misalnya yg dikemukakan oleh Bass dan Aviola (Komariah serta Triatna. 2006), sebagai berikut:
1. Perilaku pemimpin yg membuat rasa hormat dan rasa percaya diri pada bawah-annya. Perilaku pemimpin seperti ini pula mengandung arti saling berbagi risiko mela-lui pertimbangan kebutuhan para staf pada atas kebutuhan pribadi serta perilaku moral etis.
2. Perilaku pemimpin yang senantiasa menyediakan tantangan pekerjaan bagi bawahannya dan memperhatikan makna pekerjaan bagi bawahannya. Pemimpin pertanda atau mendemontrasikan komitmen terhadap target organisasi melalui perilaku yang dapat diobservasi. Pemimpin adalah motivator yg bersemangat terus membangkitkan antu-siasisme dan optimisme staf.
3. Perilaku pemimpin yang memperaktekkan penemuan-inovasi. Sikap dan konduite kepe-mimpinannya berdasarkan pada pengetahuan yang berkembang dan secara intektual dia mampu menerjemahkan dalam bentuk kinerja yg produktif. Sebagai intelektual pemimpin senantiasa menggali inspirasi-pandangan baru dan solusi yg kreatif dari para staf dan tidak lupa mendorong staf mempelajarinya dan melakukan pendekatan baru dalam mela-kukan pekerjaan.
4. Perilaku pemimpin merefleksikan dirinya sebagai orang penuh perhatian dalam men-dengarkan dan menindaklanjuti keluhan, pandangan baru, asa, serta segala tambahkan yang disampaikan oleh staf. Bahkan secara lebih rinci Anderson (Usman. 2006), menerangkan ciri-karakteristik menurut kepemimpinan tarnsformasional adalah menjadi berikut. Pertama kepemimpian transformasinal mempunyai atau bercirikan bahwa seseorang pemimpin tersebut pertama harus memberitahuakn diri menjadi komunikator: yaitu mengenali bawahannya, mengelola bawahannya, tahu bawahan-nya menggunakan seksama, mengkomunikasikan visinya dengan bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya, menahan emosi terhadap bawahannya, mengatasi permasalahan antar pribadi, membina interaksi yg efektif dan menyenangkan terhadap bawahanya, menghormati dan menghargai bawahanya, memberikan dukungan terhadap bawahannya. Kedua sebagai konselor, yaitu: membantu bawahannya mengatasi masalahnya, membantu bawahannya menciptakan rencana atau tujuan yg ingin dicapai, memotivasi bawahannya buat bertindak, menghadapi orang-orang yang jenuh dan membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara selektif, serta efektif, membagi pengalaman pada bawahanya, membina bawahannya buat mencapai tujuan, mengevaluasi kinerja serta menaruh unpan balik . Ketiga pemimpin tadi wajib memberitahuakn diri menjadi konsultan, yaitu: melaksanakan konsultasi serta komunikasi dengan bawahanya, menciptakan nilai serta budaya beserta, melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi perkembangan gerombolan , mengklarifikasi norma-kebiasaan, nilai-nilai, dan keyakinan, mengkomunikasikan visi serta misi, serta tujuan arganisasi, memecahkan konflik organisasi, menghadapai anggota yg mengganggu, meneliti kabar yg penting bagi bawahan serta organisasi, merencanakan dan mengkoordinasikan banyak sekali sumberdaya organisasi. 

Tampaknya mencermati gaya kepemimpinan transsaksional, visioner, dan tarnsfor-masional masing-masing menurut ketiga jenis gaya kepemimpinan tersebut memiliki kekhusus-nya yang saling melengkapi sinkron menggunakan jenis pertarungan serta prosedur kerja pada hubungannya dengan para bawahannya. Dari ketiga jenis gaya kepemimpinan tadi gaya kepemimpinan transformasional disebutkan sebagai gaya kepemimpinan yang memiliki sisi-sisi yg paling cocok dengan jaman kini ini.

Berdasarkan pada pembahasan terhadap beberapa jenis gaya kepemipinan seperti yg sudah diuraikan pada atas, ternyata masih ada aneka macam jenis gaya kemimpinan yg masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya. Dari hasil pembahasan terhadap berbagai jenis gaya kepemimpinan tadi sepertinya memang benar bahwa kepemim-pinan transformasional tersebut memiliki kelebihan, karena memperhatikan serta sebagai-kan aneka macam sisi positif yang dijadikan dasar dalam menyebarkan teori kepemimpinan yg lainnya tadi, baik pada teori yang menggunakan pendekatan sifat, pendekatan konduite, serta pendekatan situasional, sepertinya tercakup di dalamnya. Kemudian kepada para kepala sekolah silahkan merfleksi diri pada melaksanakan tugas-tugas sebagai kepala sekolah menggunakan berpijak pada banyak sekali teori kepempinan tadi, lebih lanjut menghayati banyak sekali kelebihan dan kekurangan menurut setiap gaya kepemimpinan. Lebih lanjut akan bisa mengambil sisi-sisi positifnya dan mengaplikasikannya dalam menjalankan tugas-tugas sebagai ketua sekolah sebagai akibatnya akan dibutuhkan berdampak langsung terhadap pening-katan mutu pengelolaan pendidikan di sekolah.

C. Kepemimpinan Asta Sebagai Gaya Kepempinan Berbasis Budaya Bali
Pada ketika kini ini rakyat Bali pada umumnya serta warga akademik khususnya nampak menerangkan adanya kecendrungan bahwa pada belajar mengenai kepemimpinan lebih banyak dan lebih senang pada teori-teori yang asal dari negara-negara barat, seperti teori-teori manajemen serta kepemimpinan yg berkembang di Eropa serta Amerika. Masyarakat Bali dalam umumnya serta warga akademik khususnya apabila pada melakukan suatu aktivitas akademik yang berfokus pada masalah kepemimpinan maka pada dalam menguraikan, membahas, menyelidiki, menganalisisnya tanpa berpijak dan berlandaskan dalam teori-teori manajemen dan kepemimpinan yg berkembang di global barat tadi, maka produk berdasarkan karya kegiatan ilmiah tersebut akan dirasakan kurang berkualitas, kurang ilmiah, kurang terbaru, kurang canggih, serta terkesan kurang menarik. Padahal disisi lain sebenarnya masih ada teori-teori kepemimpinan yg nir kalah baiknya dan hebatnya yang terdapat serta bersumber dari budaya bangsa, khususnya sastra-sastra Agama Hindu yg adalah mahakarya yg luhur dan adi luhung yang diwariskan sang nenek moyang bangsa Indonesia berdasarkan semenjak jaman dahulu yg seharusnya pula sangat penting perlu dipelajari dan bisa dijadikan acum, landasan pijakan pada dalam membahas perkara-kasus kepemimpinan, serta diaplikasikan pada mengemban suatu kepemimpinan tadi termasuk dalam dunia pendidikan khususnya para kepala sekolah. Ariasna (1988) misalnya menjelaskan ada beberapa pola atau sisfat-sifat kepemimpinan yg bersumber berdasarkan budaya bangsa, khususnya sastra-sastra Agama Hindu, misalnya: (1) contoh kepemimpinan dari Niti Sastra, (2) Asta Brata, (tiga) Panca Sthiti Dharmaning Prabhu, (4) Asta Dasa Paramiteng Perabhu, (lima) Panca Pendawa, (6) Catur Kotamaning Nrpati, serta (7) Catur Naya Sandhi. 

Dalam buku ajar ini juga dibahas keliru satu model atau sifat kepemimpinan yg bersumber menurut teori-teori budaya, dan sastra-sastra kepercayaan Hindu tersebut, yaitu contoh atau kepemimpinan Asta Brata.tulisan ini dilakukan buat mencoba menelusuri dan menggambarkan bagaimana kelebihan dan kehebatan berdasarkan teori-teori kepemimpinan yang bersumber menurut budaya, karya-karya santra, dan agama Hindu tersebut, pula menjadi bahan tambahkan bagi warga atau publik khususnya para kepala sekolah sebagai pelaku, sebagai pigur pendidikan yg sentral serta strategis buat dijadikan rujukan dalam penyelengaraan pengelolaan pendidikan pada sekolah, serta pada rangka ikut mewujudkan pencapaian target kebijakan lokal gerakan serta melestarikan Ajeg Bali.

Dalam kepustakaan disebutkan terdapat aneka macam cara dalam mendekati kepemimpinan serta karkteristik atau gaya kepemimpinan seorang. Pendekatan teori kepemimpinan tersebut mulai berdasarkan teori pendekatan sifat, teori pendekatan konduite, teori kontingensi, serta pendekatan situasional (Mulyasa.2002). Demikian juga dalam saat jaman globalisasi seka-rang ini yang penuh ditandai dengan adanya perubahan pada semua aspek kehidupan manusia yg begitu cepat serta dasyat jua dikaji teori kepemimpinan yang dipercaya sinkron dengan jamannya seperti teori kepemimpinan dalam keberagaman budaya (Gerring Supriyadi, Suradji, Daan Suganda. 2001), kemudian teori kepemimpinan transaksional, visioner, dan transformasional (Komariah dan Triatna. 2006., Danim. 2005. 2006., Raihani. 2010). 

Semua gaya atau pola kepemimpinan yang disebutkan pada atas dalam dasarnya adalah adalah teori-teori pada manjemen dan kepemimpinan yg dipelajari serta berkem-bang di dunia barat. 

Dalam pembahasan berikutnya akan dibahas teori kepemimpinan Asta Brata yg adalah keliru satu teori kepemimpinan yg bersumber dari budaya, dan sastra kepercayaan Hindu. Dipilihnya teori kepemimpinan Asta Brata pada pembahasan ini, karena model kepemimpinan ini tidak saja dikenal khususnya pada masyarakat Indonesia yg beragama Hindu, namun telah dikenal oleh seluruh warga bangsa Indonesia pada umumnya. Alasan lainnya yang dapat disebutkan mengapa pola kepemimpinan Asta Brata ini perlu dibahas lantaran mempunyai kebenaran universal, memiliki nilai yg luhur serta adi luhung, dari dari warisan budaya bangsa bersumber dari ajaran agama Hindu. Oleh karenanya contoh kepemimpinan Asta Brata tadi sangat penting dipelajari, dipahami sehingga bisa diaplikasikan dalam melaksanakan tugas para pemimpin, baik menjadi pemimpin tata cara, pemimpin kepercayaan dan pemimpin dalam berbagai organisasi formal pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengingat begitu pentingnya model kepemimpinan Asta Brata ini, maka dahulu dalam jaman pemerintahan Presiden Soeharto saat menerima para peserta pekan Wayang Indonesia ke VI di Istana Negara menyatakan bahwa mengenai pendidikan kepemimpinan yg belum diperoleh pada sekolah sanggup diajarkan lewat tokoh-tokoh rakyat khususnya para Dalang yakni Asta Brata yg sebagai dasar kepemimpinan pada kisah Ramayana dan kisah Maha Brata. Lebih jauh mantan Presiden Soeharto pula menyatakan Asta Brata memberikan ajaran yang gampang dipahami, lantaran memakai alam kreasi Tuhan Yang Maha Esa sebagai ancer-ancer atau titik tolak, yaitu menggunakan mendalami atau menghayati sifat dan watak alam semesta, baik sifat bumi, samudra, angin, angkasa, surya, bulan, api dan bintang. Lebih lanjut dia pula menyatakan bahwa kalau saja seluruh masyarakat Indonesia sanggup dan dapat mengusut kepemimpinan Asta Brata ini, mulai berdasarkan yang muda hingga kepada yg pada waktu sekarang ini memegang pimpinan mau serta bisa menerapkan sifat serta tabiat alam yg digunakan sebagai ancer-ancer kepemimpinannya, aku kira Indonesia akan menjadi jaya (Ariasna. 1998). Dari kutipan tadi memperlihatkan bahwa betapa mantan Presiden Soeharto mengharapkan kepemimpinan Asta Brata tersebut agar dipelajari karena sudah terbukti memiliki berbagai kelebihannya dari sejak jaman dahulu yakni sejak jaman nenek moyang bangsa Indonesia pada jaman kejayaan kerajaan Sri Wijaya serta kerajaan Majapahit. 

Oleh karena contoh kepemimpinan Asta Berata tadi adalah warisan budaya bangsa, warisan budaya Hindu maka wajib dipelajari, dipahami secara baik, serta telah tentunya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh orang yang diklaim pemimpin, apakah pemimpin dalam bidang norma, kepercayaan , bangsa serta negara termasuk para ketua sekolah. Bahkan khususnya warga Bali dengan memeriksa, memahami secara benar, serta menerapkannya secara konsisten pada melaksanakan tugas menjadi ketua sekolah berarti pula para kepala sekolah tersebut sudah ikut berpartisipasi dalam menyukseskan kebijaksanaan lokal gerakan serta melestarikan ajeg Bali. Persoalannya merupakan bagaimanakah model dan profil kepemimpinan Asta Brata tersebut secara lebih lengkap dan utuh.

Asta Berata asal dari kata Asta yang berarti delapan, dan Brata yg berarti tugas, kewajiban, laris primer, keteguhan hati (Oka Mahendra. 2001). Dengan demikian Asta Brata berarti delapan tugas atau kewajiban primer yg mesti dipegang teguh oleh seseorang pemimpin pada melaksanakan tugas seorang pemimpin. Asta Brata terdapat dalam Kitab Manawadharma Sastra atau Manusmrti Bab IX Sloka 303 yang menyatakan sebagai berikut: ”Hendaknya raja atau pemimpin berbuat seperti perilaku yg sama menggunakan Indra, Surya, Wayu, Yama, Waruna, Candra, Agni serta Pertiwi”.

Demikian juga ajaran Asta Brata tersebut masih ada dalam Kakawin Ramayana yang diubah sang Pujangga Walmiki dan terdiri atas 10 seloka (Wiratmadja. 1995). Dalam seloka pendahuluannya disebutkan mengenai sifat Hyang Widhi Waca yang menjadikan kekuatan umatnya serta menggambarkan tentang kemampuan yg wajib dimiliki sang segenap pemimpin. Kemudian pada sloka yang keduanya disebutkan: ”Dewa Indra, Yama, Surya, Candra, Anila/Bayu, Kuwera, Baruna, serta Agni itulah delapan Dewa yg merupakan badan sang pemimpin, kedelapannya itulah yang adalah Asta Brata”.

Kemudian penerangan dari Asta Brata tadi menggunakan merujuk pada penjelasan Oka Mahendra (2001) dapat disajikan menjadi berikut pada bawah ini.

1. Indra Brata. Di pada Manusmerti Bab. IX: 304 dikemukakan sebagai berikut: ”Laksana Indra yg mencurahkan hujan pada musim hujan. Demikianlah raja menempati kedudukan Indra dengan menghujankan dana kekakayan bagi kerajaannya”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: ”Beginilah brata Hyang Indra yang harus diikuti yaitu memberikan hujan kesejahteraan pada warga , anda hendaknya meniru brata Indra ini, sudana-lah yg anda limpahkan demi kesejahtraan masyarakat”.

Sesuai dengan ajaran Indra Brata seperti yg telah dikutip pada atas seorang pemimpin hendaknya sanggup memenuhi keperluan dasar rakyat di bidang ekonomi, membe-rikan rasa aman, menaikkan kecerdasan masyarakat, memberikan perhatian yg besar dalam masyarakat lapisan bawah, acapkali turun ke bawah menyerap aspirasi warga menjadi masukan dalam merogoh kebijakan, serta mampu menghanyutkan segala bentuk defleksi serta penyelewengan yg Mengganggu kesejahtraan serta keadilan pada rakyat. 

Dengan demikian pemimpin hendaknya bagaikan air hujan yang turun berdasarkan langit yang menaruh kesejukan, menghapuskan kegersangan sehingga tercipta kesejahteraan lahir bathin secara adil dan merata hingga menggunakan lapisan rakyat yg paling bawah dan ke semua penjuru. 

2. Yama Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 307 dikemukakan sebagai berikut: ”Laksana Yama yang saatnya bertindak tegas kepada teman juga pada versus, demikianlah hendaknya semua rakyatnya dikendalikan oleh raja sinkron menggunakan kedu-dukannya menyerupai Dewa Yama”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 54 dikemu-kakan: ”Dalam menghadapi perbuatan hendaknya diterapkan ajaran Yama Brata yaitu menghukum setiap perbuatan pencurian apalagi apabila hingga menyebabkan kematian. Ikut dihukum mereka yg turut dan berbuat galat. Setiap orang yg mengacaukan negara patut mendapatkan hukuman meninggal”.

Jadi sesuai dengan ajaran Yama Brata misalnya yg telah dikutip di atas seseorang pemimpin harus mampu menciptakan ketertiban menggunakan aturan menjadi sarananya. Semua orang termasuk penguasa wajib tunduk serta taat dalam aturan sebagai wahana ketertiban serta pembangunan. Tidak terdapat seorangpun yang kebal aturan, berdiri pada atas hukum, atau berada pada luar hukum. Dengan demikian sebagai seseorang pemimpin harus sanggup menegakan wibawa hukum, menggunakan hukum menjadi dasar tindakannya, memperlakukan seluruh orang sama di depan aturan, berlaku adil menggunakan menghormati harkat dan prestise insan.

3. Surya Brata. Di pada Manusmerti Bab. IX: 305 dikemukakan menjadi berikut: ”Laksana Surya, selama delapan bulan menyerap air melalui sinar panasnya yg tidak terlihat, demikianlah hendaknya beliau menggunakan perlahan-huma menarik pajak masyarakat-nya, sinkron dengan kedudukannya yg menyerupai Matahari” Dari kutipan tadi terkesan mengemukakan sesuatu makna yang spesifik hanya pada hal pemungutan pajak. Tampaknya pada Ramayana XXIV: 55 akan mempunyai makna yang lebih luas karena di dalamnya dikemukakan: ”Dewa Matahari selalu menyerap air perlahan-huma tidak tergesa-gesa, demikianlah hendaknya jika anda menginginkan sesuatu pada mengambilnya, hendaknya menjadi caranya Matahari, yaitu selalu menggunakan cara yang lemah lembut”.

Dari kutipan-kutipan tersebut pada atas sesuai dengan ajaran Surya Brata seseorang pemimpin dibutuhkan mampu menggali potensi pajak menjadi asal pendapatan dan asal pembangunan yang dipungut secara adil, maupun membebaskan tanah buat pembangunan contohnya haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya. Seorang pemimpin nir boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yg mantap dan tujuan yang kentara merogoh sesuatu berdasarkan warga . Setiap asal pendapatan yg dipungut menurut warga wajib dikembalikan pada rakyat, buat kesejahteraan masyarakat. Jadi ibarat surya yang menyerap air menurut samudra, lalu sebagai mendung, serta akhirnya menjadi hujan yang turun menyegarkan segala yg terdapat pada bumi. Dengan demikian pemimpin jua dituntut buat melindungi kepada rakyatnya menurut segala bentuk, serta bisa memberikan energi, kekuatan kepada rakyat supaya memiliki motivasi dan kegairahan buat membentuk menggunakan mengandalkan kemampuan sendiri. 

4. Candra Brata. Di dalam Manusmerti Bab. IX: 309 dikemukakan menjadi berikut: ” Baginda merupakan raja yang menduduki tempatnya Dewi Candra, yang rakyatnya menyambut kehadirannya menggunakan penuh bahagia hati, menjadi orang-orang yg gembira melihat bulan purnama”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 56 dikemu-kakan: ”Laku utama dari Dewa Bulan menciptakan semua dunia merasa senang . Demikianlah tindakan adinda, hendaknya selalu anggun menjadi air kehidupan, junjung tinggilah orang tua dan orang-orang bijakasana dan bermurah hatilah terhadap mereka” 

Jadi sinkron menggunakan ajaran Candra Brata maka seseorang pemimpin tadi haruslah meperlakukan bawahannya menggunakan penuh kasih sayang, penuh kesejukan, serta menggunakan penuh simpatik. Menghormati para sesepuh dan pini sepuh, lebih-lebih orang yg banyak berjasa dalam rakyat, para rohaniawan, cendekiawan, karena mereka membimbing rohani serta mencerdaskan rakyat. Pemimpin wajib sanggup memberi sinar terperinci, menyejukan, serta membahagiakan rakyatnya.


5. Vhayu Brata (Maruta). Di pada Manusmerti Bab. IX: 306 dikemukakan menjadi berikut: ”laksana wahyu (angin) berkecimpung kemana-mana masuk merupakan napas bagi semua mahluk hayati, demikianlah hendaknya raja melalui segala arah, karena sebagai inilah kedudukannya menyerupai angin”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 56 dikemukakan:”Hendaknya anda berbuat menjadi angin jika anda ingin menilik tingkah laku orang lain. Penyelidikan itu hendaknya dilakukan dengan sopan nir nampak. Itulah Bayu Brata yg tinggi nilainya dan membawakan jasa yang sangat mengagumkan.”

Dari 2 kutipan di atas bisa disebutkan bahwa seorang pemimpin dari ajaran Vhayu Brata pertama harus menguasai semua wilayahnya, rakyatnya serta menjadi nafas kehidupan bagi semua mahluk. Kedua Pemimpin harus berkomunikasi serta melakukan kunjungan resmi juga tidak resmi, selalu berkomunikasi dengan rakyatnya secara timbal pulang. Jadi pemimpin bagaikan angin berada dimana-mana memhami apa yg hayati dan berkembang serta terjadi di tengah-tengah rakyatnya, baik berupa masalah-masalah, keluhan-keluhan, yg akan Mengganggu harapan rakyatnya. Menurut ajaran Asta Brata pengawasan juga sangat penting dilakukan untuk mengukur apa yg dicapai, menilai, serta mengadakan pemugaran terhadap banyak sekali kebijakan yang dilihat perlu. Pengawasan yang dilaksanakan tidak saja inheren pada sistem, namun melekat dalam diri sendiri, sebagai akibatnya walaupun nir tampak, tetapi dirasakan terdapat misalnya layaknya angin yg ada pada mana-mana.

6. Bhumi (Dhanada). Di dalam Manusmerti Bab. IX: 331 dikemukakan sebagai berikut: ”laksana Bhumi menunjang semua mahluk hidup secara adil serta merata, demikianlah hendaknya raja terhadap rakyatnya sinkron menggunakan kedudukannya sebagai mak pertiwi”. Kemudian pada Ramayana XXIV: 58 dikemukakan:” Nikmatilah kekayaan hayati ini, tanpa melewati batas, baik dalam makan, minum, pakaian serta perhiasan, itulah laksana primer menurut Dewa Dhanada yang hendaknya dipegang sebagai model”.

Dari 2 kutipan tersebut pada atas para pemimpin hendaknya mengusahakan kesejah-teraan seluruh mahluk secara adil dan merata. Sesuai menggunakan fungsi bumi pemimpin hendaknya memberi peluang serta kesempatan yg sama pada rakyatnya buat memperoleh kesejahteraan lahir dan bathin. Memperhatikan kesejahteraan masyarakat poly, para pemimpin wajib menjadi tauladan pada menerapkan pola hayati sederhana, serta nir dibenarkan melewati batas dalam memakai kekayaan buat porto hayati.

7. Varuna Brata. Di pada Manusmerti Bab. IX: 308 dikemukakan menjadi berikut: ” Laksana orang-orang berdosa tampak terikat tali sang Waruna, demikianlah hendaknya raja menghukum orang-orang itu sinkron kedudukannya menyerupai Waruna”. Kemudian dalam Ramayana XXIV: 58 dikemukakan: ”Dewa Waruna memegang senjata yangat berbisa yaitu Nagapasa yang dapat mengikat secara ketat, anda hendak-nya menggunakan secara teladan hakekat dari Nagapasa ini, yaitu anda wajib mengikat menggunakan ketat”. 

Bedasarkan dalam kutipan pada atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin haruslah memerangi semua jenis tanpa kenal kompromi. Pemimpin harus tegas menghukum, mengikat erat-erat orang-orang durjana, pemimpin harus mampu menghalangi asal-asal, demi terciptanya pergaulan sosial yang tertib serta tentram. 

8. Agni Brata. Di pada Manusmerti Bab. IX: 310 dikemukakan sebagai berikut: ”Bila baginda bersemangat pada menumpas dan mempunyai kekuatan yg dasyat dan bisa menghancurkan penguasa-penguasa yg , maka sifat baginda sama dikatakan seperti Agni”. Kemudian pada Ramayana XXIV: 60 dikemukakan:” Kewa-jiban utama yang dilakukan sang Bahni (Api) adalah selalu menghanguskan penentang-nya. Keberanian serta ketangguhan buat menghadapi musuh, itulah perlambang api, siapapun yang anda serang niscaya hancur lebur, itulah yang dinamkan Agni Brata”

Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin tersebut harus mempunyai kemampuan pada menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dan daerah negara dan menjaga kekuasaan negara menurut aneka macam ancaman yang datangnya berdasarkan pada serta berdasarkan luar. Pemimpin harus bisa melindungi masyarakat menurut ancaman serta musuh yg datangnya menurut luar serta berdasarkan dalam negeri, pemimpin harus mempunyai kemampuan serta kekuatan buat membasmi segala bentuk demi buat kejayaan rakyat.

Berdasarkan dalam penerangan berdasarkan masing-masing unsur kepemimpinan Asta Brata tadi pada atas, tampak begitu banyak berisi dan mengandung nilai-nilai, norma-kebiasaan, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yg bisa dan seharusnya ditauladani, ditaati, serta dilaksanakan dan perlu dipertahankan serta dijunjung tinggi sang setiap pemimpin termasuk kepala sekolah. Kemudian bila dipandang secara lebih hati-hati, sepertinya dengan keterbatasan kekeritisan berdasarkan penulis, keterbatasan pada bahan asal kajian terutama yang bersumber dari ajaran-ajaran agama Hindu menjadi pisau atau indera analisisnya, mungkin penulis akan bisa mengidentifikasi serta menjabarkan turunannya secara lebih bebas, sederhana, operasional, serta riil bahwa nilai-nilai, kebiasaan-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, panduan yg bersumber dari Kepemimpinan Asta Brata tadi yg seharusnya dapat serta diharapkan ditauladani seorang pemimpin khususnya seseorang ketua sekolah haruslah bisa mewujudkan sifat atau pola kepemimpinan Asta Brata yang bercirikan sekitar atau paling tidak sebagai berikut di bawah ini:
1. Kepala sekolah wajib bisa mewujudkan serta memenuhi keperluan dasar masyarakat/ rakyat sekolah dalam banyak sekali fasilitas material dan non material. 
2. Kepala sekolah wajib memberikan rasa aman pada semua masyarakat sekolah.
3. Kepala sekolah wajib menaikkan kecerdasan seluruh rakyat sekolah. 
4. Kepala sekolah wajib memberikan perhatian yg akbar pada masyarakat sekolah hingga lapisan paling bawah misalnya pesuruh, juga tukang kebersihan sekolah. 
5. Kepala sekolah wajib bisa menyerap aspirasi rakyat sekolah yg bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam merogoh banyak sekali keputusan.
6. Kepala sekolah mampu menegakan wibawa hukum terhadap masyarakat sekolah. 
7. Kepala sekolah wajib berani memberantas dan menghanyutkan segala bentuk penyim-pangan serta penyelewengan yg mungkin dilakukan oleh rakyat sekolah.
8. Kepala sekolah harus mampu membentuk ketertiban sekolah menggunakan aneka macam peraturan, dan hukum menjadi sarananya. 
9. Kepala sekolah harus menggunakan aturan sebagai dasar tindakannya, 
10. Kepala sekolah harus memperlakukan semua warga sekolah sama pada depan aturan, serta berlaku secara adil dengan menghormati harkat dan martabat manusia.
11. Kepala sekolah wajib tunduk dan taat pada hukum sebagai wahana ketertiban serta pembangunan.
12. Kepala sekolah sanggup menggali potensi asal pendapatan dan sumber pembangun-an secara adil.
13. Kepala sekolah tidak boleh tergesa-gesa, tanpa perencanaan yg mantap dan tujuan yang kentara, strategis, dan visioner pada mengambil sesuatu kebijakan.
14. Kepala sekolah bisa melindungi rakyat sekolah.
15. Kepala sekolah bisa menaruh energi, kekuatan kepada masyarakat sekolah supaya memi-liki motivasi dan kegairahan buat menciptakan menggunakan mengandalkan kemampuan sendiri. 
16. Kepala sekolah harus menghormati para sesepuh dan pini sepuh, lebih-lebih orang yang banyak berjasa pada warga , seperti para rohaniawan, cendekiawan, karena mereka membimbing rohani dan mencerdaskan masyarakat sekolah.
17. Kepala sekolah harus mampu memberi sinar terang, menyejukan, dan membahagiakan masyarakat sekolah.
18. Kepala sekolah meperlakukan warga sekolah menggunakan penuh afeksi serta menggunakan penuh simpatik. 
19. Kepala sekolah wajib menguasai seluruh lingkungan sekolah, warga sekolah dan menjadi nafas kehidupan bagi seluruh di lingkungan sekolah. 
20. Kepala sekolah wajib sanggup berkomunikasi secara baik.menggunakan masyarakat sekolah.
21. Kepala sekolah bisa menyebarkan sistem supervisi yg terdapat dalam diri sendiri para rakyat sekolah, sehingga walaupun nir tampak, tetapi dirasakan ada misalnya layaknya angin yg terdapat pada mana-mana. 
22. Kepala sekolah hendaknya memberi peluang dan kesempatan yang sama pada warga sekolah buat memperoleh kesejahteraan lahir serta bathin secara adil serta merata. 
23. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya sebagai tauladan bagi masyarakat sekolah dalam menerapkan pola hidup sederhana.
24. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya sanggup memerangi seluruh jenis yg kemungkinannya dilakukan oleh masyarakat sekolah tanpa kenal kompromi. 
25. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya mempunyai sifat yang tegas menghukum terhadap rakyat sekolah yg melakukan, mengikat erat-erat orang-orang durjana,
26. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya bisa menghalangi asal-sumber, demi terciptanya pergaulan sosial yg tertib dan tentram diantara masyarakat sekolah.
27. Kepala sekolah menjadi pemimpin hendaknya memiliki kemampuan pada menegak-kan persatuan serta kesatuan warga sekolah.
28. Kepala sekolah sebagai pemimpin hendaknya bisa melindungi warga sekolah sekolah berdasarkan ancaman yang datangnya menurut luar dan berdasarkan pada sekolah. 
29. Kepala sekolah menjadi pemimpin hendaknya memiliki kemampuan serta kekuatan untuk membasmi segala bentuk demi buat kejayaan sekolahnya.

Demikianlah mungkin pelukisan pola kepemimpinan Asta Brata yang bisa diidentifikasi dan diturunkan dalam bentuk nilai-nilai, kebiasaan-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, panduan sebagai pemimpin pada melaksanakan tugas menjadi kepala sekolah, sudah tentunya masih poly yg bisa dan bisa digali dan dikembangkan, terlebih-lebih unsur-unsur dari kepemimpinan Asta Brata tersebut sesungguhnya diklaim-kan adalah menjadi pencerminan dan manifestasi menurut sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca, yang telah tentunya sesuai dengan ajaran agama Hindu Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca mempunyai sifat yg maha sempurna. Jadi barangkali nilai-nilai, kebiasaan-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yg disebutkan oleh penulis tadi hanya baru merupakan bagian mini saja, hanya menjadi stimulan agar aneka macam lapisan mayarakat khususnya di Bali ikut mengkajinya dan mendiskusikannya dari aneka macam sisi. Demikian pula karena semua bentuk nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, panduan sebagai pemimpin tadi merupakan menjadi manipestasi dan bersumber dari sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca, maka sebagai seseorang pemimpin sudah tentunya seharusnya menerapkannya karena adalah sifat-sifat dan kehendak menurut Tuhan. Tetapi demikian sesungguhnya kalau dipandang dan dikritisi secara lebih akademik cara berpikir yg memposisikan pola kepemimpinan Asta Brata sebagai suatu contoh kepemimpinan yg bersumber berdasarkan sifat-sifat Tuhan Ida Shang Hyang Widhi Waca yg lalu memunculkan adanya adagium yg menyatakan suara raja menjadi pemimpin merupakan suara Tuhan. Suara raja atau seluruh perintah raja tersebut merupakan sahih, raja nir pernah berbuat keliru pada saat sekarang ini di jaman terkini tampak ada semacam pertentangan menggunakan paham kepemimpinan yang bersifat demokrasi, yang memunculkan adagium bunyi masyarakat adalah bunyi Tuhan. Jadi rakyatlah yang paling berkuasa, walaupun dalam saat terkini ini dipresentasikan melalui wakil-wakilnya. Secara sepintas kentara ke 2 pola kepemimpinan tadi tampak bertentangan. Dan telah tentunya berdasarkan ekonomis penulis dari kedua cara padang, cara berpikir, dan cara mendekati pola kepemimpinan tersebut nir mesti didebatkan atau dipertentangkan, karena dalam dasarnya kalau ditinjau secara lebih pada berdasarkan sisi sifat, indikator, juga karakteristik-cirinya secara realnya kepemim-pinan Asta Brata dan kepemimpinan yang bersifat demokratis yang disebut paling relevan menggunakan jaman globalisasi seperti contohnya kepemimpinan transaksional, visioner, dan tarnsformasi tidak jauh berbeda, malah poly memiliki kesamaannya, saling melengkapi. Dalam hubungan ini barangkali bisa dibandingkan beberapa nilai-nilai, norma-norma, kaidah-kaidah, petunjuk-petunjuk, pedoman yg dicoba dan bisa diidentikasikan dari kepemimpinan Asta Brata tadi di atas dengan beberapa sifat yg adalah ciri menurut kepemimpinan transformasional seperti yg dikemukakan sang Anderson (Usman. 2006), menjadi berikut. Kepemimpian transformasinal memiliki atau bercirikan bahwa seseorang pemimpin tadi, pertama, harus menerangkan diri menjadi komunikator: yaitu mengenali bawahannya, mengelola bawahannya, tahu bawahannya dengan seksama, mengko-muni-kasikan visinya dengan bawahannya, mengakui keberhasilan bawahannya, menahan emosi terhadap bawahannya, mengatasi perseteruan antar langsung, membina hubungan yang efektif serta menyenangkan terhadap bawahanya, menghormati dan menghargai bawahanya, menaruh dukungan terhadap bawahannya. Kedua, sebagai konselor, yaitu: membantu bawahannya mengatasi masalahnya, membantu bawahannya membuat rencana atau tujuan yg ingin dicapai, memotivasi bawahannya buat bertindak, menghadapi orang-orang yg jenuh dan membangkang, melakukan pemindahan bawah-annya secara selektif, dan efektif, membagi pengalaman pada bawahanya, membina bawahannya buat mencapai tujuan, mengevaluasi kinerja serta menaruh unpan pulang, serta yang ketiga, pemimpin tersebut harus memperlihatkan diri menjadi konsultan, yaitu: melaksanakan konsultasi dan komunikasi dengan bawahanya, menciptakan nilai dan budaya bersama, melegitimasi kepemimpinan orang lain, memfasilitasi perkembangan grup, mengklari-fikasi kebiasaan-norma, nilai-nilai, dan keyakinan, mengkomunikasikan visi serta misi, dan tujuan arganisasi, memecahkan pertarungan organisasi, menghadapai anggota yang mengganggu, meneliti fakta yg krusial bagi bawahan serta organisasi, merencanakan dan mengkoordinasikan berbagai sumberdaya organisasi. Bahkan kelebihan menurut kepemim-pinan Asta Brata tadi tidak saja karena terdapat kesamaan ciri menggunakan kepemimpinan transformasi, tetapi jua karena dasarnya, sumbernya adalah keyakinan, agama, religiusitas, moralitas, kesetiaan, komitmen, keteguhan prinsip dalam ajaran agama Hindu tanpa ada diskusi yg panjang secara akademik, maka sepertinya dan seharusnya orang-orang yg disebut pemimpinan pasti akan merasa lebih terikat, lebih terdorong buat mengaplikasikannya, serta akan merasa dosa atau bersalah apabila nir melaksanakan dalam tugasnya menjadi pemimpin yg selalu harus diingatkan atau diinstruksikan secara formal sang atasan secara garis kuasa atau birokrasi yg vertikal dalam suatu lembaga atau organisasi seperti sekolah.

D. Kompetensi Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan
Kompetensi adalah merupakan keliru satu kriteria menurut suatu profesi. Kepala sebagai suatu pengembangan jabatan dari pengajar yang diklaim tugas tambahan juga dituntut buat memenuhi kriteria kompetensi tersebut. Kompetensi bisa dipandang dari berbagai aspek misalnya pengertiannya, karakteristiknya, juga cara mengukur kompetensi tersebut. Dalam pembahasan bab ini juga dibahas beberapa aspek menurut kompetensi profesi energi kependidikan khususnya kepla sekolah.

Mengenai pengertian kompetensi sebagai salah satu ciri berdasarkan profesi dalam kepus-takaan diberikan pengertian secara beraneka ragam tergantung menurut sudut pandang para penulis. Keaneka ragaman pengertian kompetensi tersebut, dapat ditunjukkan pada pembahasan ini, seperti, contohnya ada pendapat yg menyatakan bahwa kompetensi tersebut merupakan suatu hal yg mendeskripsikan kemampuan seorang, baik yang kuali-tatif juga kuantitatif (Usman. 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pengertian kompe-tensi misalnya ini mengandung makna bahwa kompetensi tadi dapat dipakai dalam dua kontek. Kontek pertama menjadi indikator yang memberitahuakn pada perbuatan yg diamati. Kontek ke 2 sebagai konsep yang meliputi aspek-aspek kognitif. Afektif, dan perbuatan, dan tahap-tahap pelaksanaannya secara utuh. Kemudian kompetensi juga diberikan pengertian menjadi pengetahuan, keterampilan, serta kemampuan yg dikuasai oleh seseorang yg telah menjadi bagian darinya sebagai akibatnya beliau bisa melakukan konduite-perilaku kognitif, afektif, serta psikomotorik dengan sebaik-baiknya (Mulyasa. 2003). Kompetensi juga diberikan pengertian sebagai panguasaan terhadap tugas, keterampilan, sikap, dan apresiasi yg dibutuhkan buat keberhasilan (Mulyasa. 2003). Kemudian Gordon pada Mulyasa (2005) memerinci beberapa aspek dari kompetensi, sebagai berikut. Pertama pengetahuan, yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya, contohnya seseorang guru sekolah mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan bantuan yg diperlukan muridnya dalam melakukan pembelajaran dikelasnya. Kedua pemahaman yaitu kedalaman kognitif dan apektif yg dimiliki oleh individu, misalnya contohnya seseorang guru yg akan melaksanakan pemebelajaran wajib memiliki pemahaman yang luas tentang karekteristik serta syarat muridnya supaya dapat pembelajaran berjalan secara efktif. Ketiga kemampuan, yaitu suatu yang dimiliki oleh seorang buat dapat melakukan tugas atau pekerjaan yg dibebankan kepadanya, misalnya, misalnya kemam-puan pengajar pada menentukan dan membuat media pembelajaran yg diperlukan buat lebih memotivasi serta memudahkan pembelajaran siswa. Keempat nilai, yaitu suatu standar perilaku yg telah diyakini serta secara psikologis telah menyatu dalam diri seorang, misalnya, misalnya baku konduite pada pembelajaran, diantaranya kejujuran, keterbukaan, demokratis, obyektif, adil. Kelima perilaku, yaitu perasaan seperti perasaan senang dan nir senang , senang nir senang, atau reaksi terhadap terhadap suatu rangsangan yg tiba dari luar, misalnya reaksi terhadap krisis ekonomi, kenaikan honor , serta sebagainya. Keenam minat yaitu kecendrungan seorang buat melakukan suatu perbuatan, seperti, contohnya, minat sesorang buat melakukan sesuatu atau mempelajari sesuatu. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa kompetensi yang wajib dimiliki sang suatu profesi adalah mencakup: kemampuan untuk berbagi langsung, penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan berkarya, kemampuan menyikapi dan berprilaku dalam berkarya, dapat hidup bermasya-akat (Pusposutardjo. 2002). Pengertian kompetensi lainnya yang lebih konseptual sifatnya menguraikan bahwa kompetensi tersebut mengandung 3 pengertian. (1) pengertian kompetensi itu dalam dasarnya adalah kecakapan atau kemampuan buat mengerjakan sesuatu pekerjaan, (dua) memilih pada pengertian bahwa kompetensi itu adalah sifat orang-orang, yg memiliki kecakapan, kemampuan, otoritas, kemahiran, pengetahuan dan lain sebagainya buat bisa mengerjakan sesuatu yg dibutuhkan, serta (tiga) bahwa kompetensi merupakan tindakan atau kinerja rasional yang bisa mencapai tujuan-tujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi yg diperlukan (Makmun.1996, Dep-dikbud.1978, Depdikbud. 1984). Lebih jauh Makmun (1996) menyatakan bahwa berpijak pada pengertian kompetensi tadi dapat pula dijelaskan bahwa sesungguhnya seseorang yg bisa diklaim sebagai profesional yg kompeten, kalau menampakan karakteristik: (1) bisa melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional, dalam arti, ia memiliki visi serta misi yg kentara, dia melakukan sesuatu menurut dalam hasil analitis kritis dan pertimbangan logis dalam membuat pilihan serta merogoh keputusan mengenai apapun yg akan dikerjakan, (2) menguasai perangkat pengetahuan yaitu teori, konsep, prinsip dan kaidah, hipotesis dan generalisasi, data serta imformasi lainnya tentang seluk beluk apa yang sebagai bidang tugas pekerjaannya, (3) menguasai perangkat keterampilan yg meliputi taktik serta strategi, metode serta teknik, prosedur serta prosedur, wahana dan instrumen, mengenai cara melakukan tugas pekerjaannya, (4) menguasai perangkat persyaratan ambang mengenai ketentuan kelayakan normatif minimal syarat berdasarkan proses yang bisa ditoleran-sikan dan kriteria keberhasilan yang bisa diterima menurut apa yg dilakukannya, (5) memiliki daya dan gambaran unggulan dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ia bukan sekedar puas dengan memadai persyaratan minimal, melainkan berusaha mencapai yang sebaik mungkin, dan (6) memiliki wewenang yang memancar atas dominasi perangkat kompetensi yang pada batas eksklusif dapat didemontrasikan dan teruji sehinga memung-kinkan memperoleh pengakuan pihak berwewenang.

Demikian variasi pengertian tentang kompetensi dari para penulis, menggunakan demikian menurut dalam pengertian kompetensi yg begitu beragam tersebut menambah wawas-an serta khasanah para calon kepla sekolah, serta lebih lanjut akan mempunyai pijakan yang lebih luas dan kuat pada mengusut serta memahami kompetensi profesi kependidikan khususnya jabatan kepala sekolah tersebut.

Persoalannya kini bagaimanakah kompetensi yg wajib dimiliki sang seorang kepala sekolah supaya dapat melaksanakan tugasnya menjadi pemimpin secara efektif? Dalam hubungannya menggunakan kompetensi ketua sekolah terdapat pendapat yang menyatakan bahwa seseorang kepala sekolah dituntut buat mempunyai kemampuan: (1) perilaku yang berorientasi pada tugas menggunakan memfokuskan dalam kegiatan penyusunan perencanaan, mengatur pekerjaan, melakukan koordinasi kegiatan anggota, serta menyediakan peralatan serta donasi teknis yg dibutuhkan, (2) konduite yang berorientasi interaksi ketua sekolah sebagai manajer wajib penuh perhatian mendukung dan membantu pengajar, konselor, dan karyawan sekolah dan berusaha tahu perseteruan dan pemecahannya, da (3) konduite partisipatif, kepala sekolah melakukan pertemuan gerombolan yg memudahkan partisipasi, pengambilan keputusan, memperbaiki komunikasi, mendorong kerjasama, dan memudahkan pemecahan perseteruan (Sergiovanni. 1977). Sesuai dengan Peraturan Menteri No. 13 Tahun 2007 tentang standar kepala sekolah diatur bahwa seseorang kepala sekolah tadi dituntut harus mempunyai kompetensi keperibadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial. Secara lebih lebih lengkap serta rincinya kompetensi yang dimaksudkan tersebut adalah seperti yg disajikan dalam daftar tabel berikut di bawah ini.

TABEL NO DAFTAR KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH











1. Kepribadian

Mampu atau mempunyai akhlak mulia.
Mampu membuatkan budaya dan tradisi akhlak mulia di sekolah tempat bertugas.
Mampu menjadi teladan akhlak mulia bagi komunitas sekolah.
Mampu atau mempunyai integritas kepribadian dalam memimpin pada sekolah
Mampu atau mempunyai hasrat yg kuat pada pengembangan diri menjadi ketua sekolah

Mampu mengembangkan perilaku terbuka pada melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai ketua sekolah.
Mampu mengendalikan diri pada menghadapi kasus dalam peker-jaan sebagai kepala sekolah.
Mampu atau memiliki bakat serta minat menjadi kepala sekolah.













2. Manajerial

Mampu menyusun perencanaan yg visioner.
Mampu mengembangkan organisasi sekolah sinkron kebutuhan.

Mampu memimpin sekolah dalam memakai sumberdaya seko-lah.

Mampu mengelola perubahan serta pengembangan sekolah menuju organisasi belajar yang efektif.
Mampu menciptakan budaya serta iklim sekolah yang aman dan inovatif bagi PBM anak didik.
Mampu menerapkan nilai-nilai kewirausahaan dalam membentuk penemuan yg bermanfaat bagi pembangunan sekolah.
Mampu mengelola guru dan staf pada rangka pandayagunaan SDM secara optimal.
Mampu mengelola wahana serta prasarana sekolah pada rangka panda-yagunaan secara optimal.
Mampu mengelola hubungan sekolah serta masyarakat pada rangka pencarian dukungan wangsit, asal belajar serta pembiayaan sekolah.
Mampu mengelola kesiswaan dalam rangka penerimaan anak didik baru, penempatan siswa, serta pengembangan kafasitas murid.
Mampu mengelola perkembangan kurikulum dan kegiatan pem-belajaran sinkron dengan arah dan tujuan pendidikan nasional.
Mampu mengelola keuangan sekolah sinkron menggunakan prinsip pengelo-laan yang akuntabel, tranfarans, dan efisien.
Mampu mengelola ketatausahaan sekolah pada mendukung penca-paian tujuan sekolah.
Mampu mengelola buat layanan spesifik sekolah dalam mendukung aktivitas pembelajaran serta kegiatan kesiswaan lainnya.
Mengelola system informasi sekolah pada mendukung penyusunan program serta pengambilan keputusan.
Mampu memanfaatkan kemajuan teknologi berita bagi peningkat-an pembelajaran serta manajemen sekolah.
Mampu mengelola kegiatan produksi/jasa menjadi sumber belajar siswa.
Mampu melakukan monitoring penilaian, dan pelaporan aplikasi program aktivitas sekolah menggunakan prosedur yg sempurna, dan meren-canakan tindak lanjutnya.









3. Kewirausahaan
Mampu membangun inovasi bagi pengembangan sekolah.
Mampu bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah menjadi organisasi pembelajar yang efektif.

Memiliki motivasi yang bertenaga buat sukses pada melaksanakan tugas pokok serta kegunaannya menjadi pemimpin sekolah.

Pantang menyerah dan selalu mencari solusi terbaik pada mengha-dapi hambatan yang  dihadapi sekolah.

Memiliki insting kewirausahaan dalam mengelola kegiatan produksi/ jasa sekolah/menjadi sumber belajar peserta didik.






4.  Supervisor

Mampu merencanakan acara pengawasan akademik dalam rangka meingkatkan profesionalisme guru.
Mampu melaksanakan pengawasan akademik terhadap guru menggunakan menggunakan pendekatan dan teknik pengawasan yg sempurna.

Mampu menindaklanjuti hasil pengawasan akademik terhadap guru da-lam rangka peningkatan profesionalisme pengajar.


5. Sosial

Mampu berafiliasi dengan pihak lain buat kepentingan sekolah
Mampu melakukan partisipasi dalam aktivitas sosial.

Memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau gerombolan lain.

6. Penunjang

Mampu meningkatkan gambaran dan profesionalisme sekolah.
Mampu meningkatan daya saing sekolah secara dunia.

Mampu menggugah jati diri bangsa


Demikian juga di samping kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan misalnya yang sudah diuraikan pada atas, lebih dari itu kemampuan tersebut sebaiknya didukung oleh suatu sifat kepemipinan yg menurut pendapat Dewantara (Depdikbud, Dijendikdasmen. 1993) ketua sekolah harus memiliki sifat kepemimpinan yg sinkron dengan kepribadian bangsa. Kepemimpinan yg paling cocok menggunakan kepribadian bangsa Indonesia merupakan kepemimpinan Pancasila, yaitu ing ngarso sung tuludo, ing madio mangun karso, tut wuri andayani. Sifat kepemimpinan tadi lalu lebih dejelaskan menjadi berikut. Ing ngarso sung tuludo yg adalah lebih kurang menjadi ketua sekolah yang berdiri tegak di paling depan wajib sanggup memberi contoh atau teladan pada bawahannya contohnya sebagai berikut: cara berpakaian yg rapi, kehadiran yg lebih awal menurut pengajar-guru yg lain, mempunyai wibawa, menguasai perkara yang menyangkut bidangnnya, mempunyai rasa tanggungjawab yang tinggi, penuh dedikasi, aktif serta kreatif. Ing madio mangun karso yg merupakan lebih kurang sebagai berikut kepla sekolah yg ideal bila ada ditengah-tengah lingkungan tugasnya serta bijkasana, yaitu sanggup memberikan motivasi terhadap pengajar-pengajar serta karyawan yg lainnya agar mencintai profesinya, bisa serta menampakan perkara-kasus pekerjaan jika guru dan karyawan mendapatkan kesulitan, jangan hanya mampu menyalahkan, mencari kesalahan guru-pengajar serta karyawan, namun harus mebantu memecahkan perkara tadi, wajib bisa membentuk suasana yang menyenangkan sehingga guru dan karyawan bekerja dengan suasana aman, merasa nir ditekan, serta memperhatikan kesejahteraaan bawahannya dalam hal transpotasi, kehidupan famili, tempat tinggal, membantu memecahkan masalah famili bila dimintai pertimbangan oleh bawahan, sebagai akibatnya bawahan dapat bekerja dengan damai. Ttut wuri andayani yang artinya lebih kurang kepala sekolah hendaknya memberi kebebasan kepada bawahannya buat bertindak aktif serta kreatif dalam menjalankan tugasnya, yaitu bisa menjabarkan tugas-tugas menjadi pengajar dan karyawan, wakil kepala sekolah serta staf karyawan supaya diberikan kesempatan buat menjabarkan kebijakan kepla sekolah yang telah dituangkan dalam program, dan administrasi sekolah yang dikelola sang karyawan rapikan bisnis agar dijabarkan sinkron dengan kebutuhannya. Kepala sekolah mengikutinya, mengarahkannya apbila terjadi kesalahan penafsiran atau terjadi penyimpangan dari kebijkan yg sudah ditetapkan. 

E. Kuasa serta Jenis Kuasa Kepala Sekolah
Istilah kekuasaan dalam literatur manajemen sudah digunakan secara generik, akan tetapi masih pula terjadi kekaburan tentang pengertiannya. Sering istilah kekuasaan digunakan secara silih berganti menggunakan kata-istilah lainnya, seperti imbas, serta otoritas. Menurut Max Weber (Thoha. 1990) memberikan pengertian kekuasaan sebagai suatu kemungkinan yg membuat seorang aktor pada dalam suatu interaksi sosial berada pada suatu jabatan buat melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. Dalam asal yg sama Thoha (1990) mengutip pendapat Walter Nord yg memberikan pengertian kekuasaan tersebut sebagai suatu kemampuan untuk mensugesti genre energi serta dana yang tersedia buat mencapai suatu tujuan yg tidak sama secara jelas menurut tujuan yg lainnya. Wexley serta Yukl (1977) menaruh pengertian kekuasaan sebagai kapasitas mempengaruhi orang lain. Seorang memiliki kekuasaan sepanjang terus dapat mensugesti tidak peduli apakah usaha-usaha yang dilakukan itu sahih-benar mem-punyai efek. Kemudian Rivai (2004) memberikan pengertian kekuasaan menjadi kemampuan buat membuat orang lain melakukan apa yg diinginkan sang pihak yg lainnya. Kekuasaan meliputi hubungan antara dua orang atau lebih. Seseorang atau kelompok tidak akan bisa mempunyai kekuasaan dalam keadaan terisolasi, kekuasaan wajib diterapkan, atau mempunyai potensi buat diterapkan dalam hubungannya menggunakan orang atau grup lainnya. Rogers (1973) berusaha membuat lebih kentara kekaburan istilah dengan merumuskan kekuasaan sebagai suatu potensi menurut suatu pengaruh. Dengan demikian kekuasaan merupakan suatu sumber yg mampu atau tidak mampu buat digunakan. Pengunaan kekuasaan selalu menyebabkan perubahan dalam kemungkinan bahwa seseorang atau gerombolan akan mengangkat suatu perubahan konduite yg diinginkan. Rogers sepertinya sudah memberikan rumusan yang bermakna bagi kepemimpinan dijelaskan olehnya bahwa kepemimpinan artinya suatu proses buat menghipnotis aktivitas-aktivitas individu serta grup pada usahanya buat mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dengan mengikuti penjelasan menurut Rogers bisa disimpulkan bahwa kepemim-pinan merupakan setiap bisnis buat menghipnotis, sementara itu kekuasaan dapat diartikan menjadi suatu potensi impak dari seorang pemimpin tadi. Demikian pula dijelaskan bahwa otoritas adalah sebagai suatu tipe spesifik berdasarkan kekuasaan yang secara orisinil melekat pada jabatan yang diduduki sang pemimpin.

Banyak teori yang menyebutkan jenis kuasa yang telah dikaji oleh para pakar. Dari sejumlah teori tadi diantaranya Bateman serta Snell (2007) menggunakan mengutip teori dari French dan Raven menyebutkan bahwa pemimpin tersebut paling nir mempunyai 5 jenis kuasa, demikian pula Wexley dan Yukl (1977), Koontz, dkk (1984), Stoner, dkk (1995) menjelaskan 5 jemis kuasa bisa dipakai secara luas. Jenis kuasa yang dimaksudkan merupakan kuasa paksaan (Coercive power), kuasa refernsi (Refrent power), kuasa legitimasi (Legitimte power), kuasa keahlian (Expert power), serta kuasa penghargaan (reward power). 

Kuasa paksaan (Coercive power) merupakan didasarkan atas rasa ketakutan bahwa kegagalan mematuhi peraturan atau perintah akan menyebabkan beberapa bentuk hukuman. 

Sumber dari kuasa paksaan adalah pengendaliannya atas konsekwensi-konsekwensi negatif para bawahan, seperti: denda , skorsing, serta pemecatan, penurunan pangkat, mutasi, dan lain sebagainya.

Kuasa refernsi (Refrent power) merupakan didasarkan atas identifikasi serta ketertarikan. Sejumlah pemimpin politik atau kegamaan memiliki kharisma atau daya tarik langsung yang luar biasa serta para bawahannya sangat patuh serta menghormati. Kuasa refrensi ditentukan sang kepribadian pemimpin dan kapasitasnya pada memberi ilham terhadap bawahan serta memberikan asa-asa serta nilai-nilai. Disamping itu kuasa refernsi ditentukan juga sang bagaimana caranya pemimpin memperlakukan bawahan. Cara yg paling layak bagi seseorang pemimpin adalah menggunakan meninggikan konsiderasi. 

Kuasa legitimasi (Legitime power) merupakan kekuasaan yang bersumber menurut kedu-dukan atau jabatan formal atau informal yang dipegang seorang. Kekuasaan legitimasi diperoleh berdasarkan wewenang aturan. Kekuasa ini mencakup kepatuhan bawahan dengan peraturan dan perintah serta petunjuk yg diberikan dari pimpinan bila hal ini dianggap absah sang bawahan berdasarkan segi lingkup pemimpin. Lingkup kewenangan dipengaruhi oleh organisasi dan keanggotaan bawahan dipengaruhi pada perjanjian formal atau mungkin telah tercakup dalam persetujuan informal. Wewenang pemimpin sangat tinggi terutama yg berkaitan menggunakan mekanisme serta penjawalan kerja. Banyaknya imbas seorang pemimpin dari berdasarkan wewenang organisasi, karena itu kuasa legitimasi dari pemimpin biasanya usahakan didukung dengan kuasa paksaan. 

Kuasa keahlian (Expert power) merupakan kuasa yg bersumber menurut suatu keahlian serta kemampuan yang dimiliki oleh seseorang pemimpin. Seorang pemimpin dapat mempe-ngaruhi pendapat bawahan bila beliau dilihat mempunyai pengetahuan serta keahlian yg luas. Dengan keahliannya menghipnotis secara nir pribadi perilaku bawahanya. Pengaruh pimpinan akan lebih akbar apabila memiliki pengetahuan penting yang luas, bila pemimpin sangat persuasif dan pintar pada menghipnotis bawahannya, jika pemimpin memiliki kejujuran serta agama yg tinggi dari bawahan..

Kuasa penghargaan (reward power) merupakan kekuasaan yg bersumber menurut bantuan gratis atau penghargaan yg diberikan oleh seseorang pemimpin. Pemimpimpin akan mengen-dalikan atas konsekwensi-konsekwensi positif yang disebabkan terhadap bawahan, sperti kenaikan upah, kenaikan gaji, kenaikan pangkat , promosi, penugasan, pengakuan formal, dan penghargaan yang lainnya.

Dari kutipan dan uraian pada atas bisa diketahui paling nir ada lima jenis kuasa yg dikenal dalam teori manajemen, namun demikian kalau mengikuti uraiannya Hersey serta Blanchard (1982) disamping 5 jenis kuasa pada atas, terdapat 2 jenis kuasa yg lainnya, yaitu kuasa koneksi dan kuasa keterangan. 

Berdasarkan uraian di atas maka terdapat berberapa variasi pilihan jenis kuasa yang bisa dipilih serta dipakai sang seseorang pemimpin pada upaya buat meningkatkan kinerja atau profesionalime bawahannya. Demikian juga pada bidang pendidikan seorang kepala sekolah menjadi pemimpin pendidikan mempunyai variasi pilihan jenis kuasa yang bisa diubahsuaikan dan telah tentunya jua menggunakan mempertimbangkan tingkat kematangan para pengajar menjadi bawahannya pada rangka buat peningkatan kualitas kompetensi profesionalismenya.

Secara teori manajemen terutama pada teori gaya kepemimpinan situasional yg dikembangkan oleh Hersey serta Blanchard (1982) bahwa tingkat kematangan bawahan atau pengikut tidak hanya menentukan gaya kepemimpinan seseorang pemimpin, tetapi pula sangat memilih pada pada menentukan jenis kuasa yang seharusnya perlu dipakai pemimpin buat dapat menimbulkan peningkatan kepatuhan konduite bawahan. Oleh karena itu pemimpin yang efektif perlu menyesuaikan atau memvariasikan jenis kuasa yang diterapkan atau diperlakukan terhadap pengikutnya. 

Dalam hubungan ini bila taraf kematangan bawahan tersebut termasuk tingggi (M4), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sang seorangg pemimpin sehingga kepemimpinannya tadi dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa keahlian. Apabila taraf kematangan bawahan tadi termasuk sedang (M3, M2), maka alternatif pilihan jenis kuasa yg perlu diterapkan oleh seorang pemimpin sebagai akibatnya kepemimpinannya tersebut dapat terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa refrensi atau kuasa penghargaan. Demikian pula jika tingkat kematangan bawahan tadi termasuk rendah (M1), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan oleh seseorang pemimpin sehingga kepemimpinannya tersebut bisa terlaksana secara efektif merupakan jenis kuasa paksaan.

Dengan demikian pada bidang pendidikan terutama pada sekolah kepala sekolah tampaknya pula mempunyai variasi pilihan jenis kuasa yang dapat dipilih serta digunakan dalam rangka melaksanakan pembinaan kualitas kompetensi profesionalisme para pengajar sebagai bawahannya. Jika ketua sekolah pada rangka melaksanakan pelatihan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime pengajar berhadapan menggunakan para guru sebagai bawahnya yang mempunyai tingkat kematangan yg tingi (M4), maka cara lain pilihan jenis kuasa yg perlu diterapkan sebagai akibatnya pembinaanya tersebut dapat terlaksana secara efektif merupakan jenis kuasa keahlian. Kemudian Apabila kepala sekolah pada rangka melaksanakan pembinaan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime pengajar berhadapan dengan para pengajar menjadi bawahnya mempunyai tingkat kematangan yang sedang (M3, M2), maka alternatif pilihan jenis kuasa yang perlu diterapkan sehingga pembinaanya tersebut bisa terlaksana secara efektif adalah jenis kuasa refernsi atau jenis kuasa penghargaan. Demikian pula apabila kepala sekolah dalam rangka melaksanakan pelatihan peningkatan kualitas kompetensi profesionalime para pengajar tersebut berhadapan dengan guru menjadi bawahnya yg mempunyai tingkat kematangan yang rendah (M1), maka alternatif pilihan jenis kuasa yg perlu diterapkan sebagai akibatnya pembinaannya tadi bisa terealisasi secara efektif adalah jenis kuasa paksaan.