PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Motivasi Kerja Guru Terhadap Kinerja Pengajar 
Sekolah menjadi lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan serta proses belajar mengajar dalam usaha buat mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah menjadi seorang yang diberi tugas buat memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan sebagai pemimpin berdasarkan inovator pada sekolah. Oleh karena itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan buat memberdayakan semua asal daya manusia yang ada buat mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan dengan guru ketua sekolah wajib memiliki kemampuan buat meningkatkan kinerja pengajar, melalui pemberdayaan sumber daya insan (guru). 

Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala asal daya sekolah buat mencapai tujuan sesuai menggunakan situasi, dibutuhkan seorang kepala sekolah yg memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pembinaan serta pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi serta supervisi. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan pada membangun suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sebagai akibatnya pengajar-pengajar dapat melaksanakan pembelajaran menggunakan baik serta murid bisa belajar dengan tenang. Di samping itu ketua sekolah dituntut buat bisa bekerja sama menggunakan bawahannya, pada hal ini pengajar. Kepala sekolah bisa mengelola dan memberdayakan pengajar-guru agar terus mempertinggi kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan pengajar-guru yg jua adalah mitra kerja ketua sekolah dalam berbagai bidang aktivitas pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya serta menaikkan kinerjanya.

Kepemimpinan kepala sekolah usahakan menghindari terciptanya pola interaksi dengan pengajar yg hanya mengandalkan kekuasaan, dan sebaliknya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia juga wajib menghindarkan diri dari one man show, sebaliknya harus menekankan dalam kolaborasi kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yang serba seram, serta kebalikannya perlu membentuk keadaan yg menciptakan semua pengajar percaya diri.

Kepemimpinan kepala sekolah yang terlalu berorientasi dalam tugas pengadaan sarana serta prasarana dan kurang memperhatikan pengajar dalam melakukan tindakan, bisa menyebabkan pengajar sering melalaikan tugas menjadi pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal tersebut dapat menumbuhkan perilaku yang negatif dari seseorang pengajar terhadap pekerjaannya pada sekolah, sebagai akibatnya pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi murid di sekolah. Kepala sekolah juga dituntut buat mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu planning, organizing, actuating and controlling, karena ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja guru . Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis dengan peran kepala sekolah menjadi educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator.

Kepuasan kerja adalah galat satu faktor krusial buat menerima output kerja yang optimal. Menurut Siagiaan (2003: 297) kepuasan kerja dapat memacu prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. Oleh karenanya saat seseorang merasakan kepuasan pada bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya buat menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja pegawai akan semakin tinggi secara optimal. Oleh karenanya seyogyanya kepala sekolah berusaha buat memahami para pengajar dan mengupayakan supaya guru memperoleh kepuasan pada menjalankan tugasnya. Persepsi pengajar tehadap kepemimpinan ketua sekolah berdampak pada taraf kepuasan kerja guru di sekolah.

Kepuasan kerja pengajar jua dipengaruhi sang iklim organisasi. Hal ini berdasarkan dalam asumsi bahwa para guru bekerja selain buat mengharapkan imbalan baik material juga non material mereka jua menginginkan iklim yg sinkron menggunakan harapan mereka seperti terdapat keterbukaan dalam organisasi, terdapat perhatian, dukungan, serta penghargaan. Penciptaan iklim yg berorientasi dalam prestasi serta mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yang diinginkan.

Pada kenyataannya kerja yang menjernihkan, suasana lingkungan kerja yang tidak aman misalnya sahabat yg tidak saling mendukung, kebijakan pimpinan yg kurang mendukung dan siswa yg tingkah lakunya menjengkelkan. Di lain pihak ada menurut mereka yg menurun semangatnya pada mengajar, merasa bosan, jenuh menggunakan pekerjaan. Menunjukkan iklim organisasi yg kurang berpihak pada kinerja pengajar. Kinerja sekolah ditentukan oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tersebut. Di negara-negara maju, riset mengenai iklim kerja pada sekolah (school working environment atau school climate) telah berkembang dengan mapan serta menaruh sumbangan yg cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif. Ditegaskan bahwa jika pengajar mencicipi suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diperlukan siswanya akan mencapai prestasi akademik yg memuaskan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai/pengajar adalah jika mereka melakukan sesuatu yang bermanfaat serta menyebabkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan dan diperlukan sebagai orang yg bernilai (Davis dan Newstrom, 2001: 24). Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah menghipnotis sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tadi, khususnya pada pencapaian prestasi akademik anak didik. 

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya

Di lain pihak kepuasan kerja dipengaruhi juga oleh hal lain yg sanggup dilakukan buat menaikkan kepuasan kerja adalah menaruh bonus, menaruh motivasi, mempertinggi kemampuan, gaya kepemimpinan yg baik. Sementara kepuasan kerja guru dapat ditingkatkan jika insentif diberikan tepat waktunya, dan pihak manajemen sekolah bisa mengetahui apa yg dibutuhkan serta kapan sanggup harapan-harapan diakui terhadap hasil kerjanya. Pemberian insentif tehadap pengajar merupakan menjadi pendorong yg dapat memotivasi guru buat lebih bekerja keras secara efektif. Insentif terkait erat menggunakan kinerja guru. Terdapat timbal pulang dua arah antara hadiah bonus menggunakan kinerja. Insentif diberikan lantaran adanya kinerja yg baik serta diberikan buat lebih menaikkan kinerja lagi dimasa mendatang. 

1. Kepuasan Kerja Guru
Kepuasan kerja menurut Davis serta Newstrom (2001: 105) adalah cara seorang pekerja merasakan pekerjaannya. Pendapat senada juga dikemukakan sang Milton pada Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002:162) bahwa kepuasan kerja adalah sesuatu yang menyenangkan atau pernyataan emosional yang positif, didapatkan dari penilaian pengalaman kerja seseorang. Artinya apabila seseorang merasa puas terhadap pekerjaannya, maka ia akan mempunyai perilaku positif dan menyenangi pekerjaannya. Kepuasan kerja jua dikemukakan oleh Mathis dan Jackson (2001: 98) yaitu keadaan emosi yg positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja akan muncul waktu asa-asa ini tidak dipenuhi. 

Some theorists view job satisfaction as being the positive emotional reactions and attitudes an individual has towards their job. Others have viewed it as a bi-dimensional construct consisting of ‘‘intrinsic’’ and ‘‘extrinsic’’ satisfaction dimensions,or alternatively of ‘‘satisfaction/lack of satisfaction’’ and ‘‘dissatisfaction/lack of dissatisfaction’’ dimensions.more recently, debate has arisen as to whether job satisfaction is a dunia concept or is composed of facets of satisfaction with various aspects of an individual’s job. Recent studyhas suggested that the most important determinants of job satisfaction are whether an employee finds their job interesting, has good relationships with their managers and colleagues, has a high income, is allowed to work independently, and has clearly defined career advancement opportunities. Measures of job satisfaction tend to fall into two broad types: single item dunia measures and composite measures of satisfaction with various job components. 

Kepuasan kerja pengajar ditunjukkan oleh sikapnya dalam bekerja/mengajar. Jika pengajar puas akan keadaan yg mempengaruhi dia maka beliau akan bekerja menggunakan baik/mengajar dengan baik. Tetapi bila pengajar kurang puas maka beliau akan mengajar sinkron kehendaknya. Kepuasan kerja adalah keliru satu perilaku kerja guru yg perlu diciptakan pada sekolah, agar guru dapat bekerja dengan moral yg tinggi, disiplin, semangat, berdedikasi dan menghayati profesinya. Gum yang merasa puas terhadap lembaganya akan berdampak pada kelancaran aktivitas belajar mengajar di sekolah serta peningkatan kualitas pelayanan pada para siswa. Dengan istilah lain dengan mencapai taraf kepuasan kerja tertentu maka dibutuhkan kinerja sebagai seseorang guru baik.

Penelitian tentang kepuasan kerja yg sangat akbar sumbangannya adalah penelitian Herzberg. Teori ini dikenal menggunakan "model dua faktor" yaitu faktor motivasional dan faktor higiene/pemeliharaan (Burhanuddin, Ali, Maisyaroh, 2002:166). Apabila faktor higiene dipenuhi tidak bisa memotivasi pekerja tetapi bisa meminimalkan ketidakpuasan. Apabila faktor higiene nir terpenuhi, sesesorang nir akan merasa puas. Faktor higiene mencakup company policy andadministration (kebijakan organisasi); supervision (supervisi), salary (gaji/kesejahteraan), interpersonal relations (hubungan antar eksklusif) serta working condition (kondisi kerja), possibility of growth (peluang buat tumbuh), personal life (imbas kerja terhadap kehidupan pribadi) serta status. Faktor-faktor motivasional bisa membangun kepuasan kerja dengan memenuhi kebutuhan-kebuUihan pekerja, meliputi achievement (prestasi), recognition (pengakuan), work itself (kerja itu sendiri) responsibility (tanggung jawab), serta advancement (kenaikan pangkat ). Berkenaan dengan kepuasan kerja guru yaitu keterlibatan guru dalam pembuatan keputusan di sekolah, pengakuan yang dirasakan pengajar, asa pengajar , interaksi antar personel yang terjadi pada pada lingkungan kerja, dan otoritas yg diterima pengajar (De Roche pada Burhanudin, Imron serta Maisyaroh, 2002:165). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kepuasan kerja pengajar merupakan pernyataan perilaku pengajar yg positif juga negatif, didasarkan sang cara pandang (persepsi) guru yang bersangkutan terhadap pekerjaannya menjadi pengajar dan pelaksana pendidikan pada sekolah, adapun indikator kepuasan kerja dalam penelitian ini merupakan: pengakuan/penghargaan, kenaikan pangkat /promosi, pengawasan, gaji/kesejahteraan, kerja itu sendiri, serta interaksi personal/rekan sekerja.

2. Persepsi guru tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah merupakan forum yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat komplek lantaran sekolah menjadi organisasi di dalamnya masih ada aneka macam dimensi yang satu sama lain saling berkaitan serta saling memilih. Sekolah bersifat unik lantaran sekolah mempunyai karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, loka terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yg kompleks dan unik tadi, sekolah menjadi organisasi memerlukan tingkat koordinasi yg tinggi.

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran bertenaga pada mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua asal daya pendidikan yang tersedia pada sekolah. Kepemimpinan ketua sekolah adalah galat satu faktor yg bisa mendorong sekolah buat mewujudkan visi, misi, tujuan serta sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil jika mereka memahami keberadaan sekolah menjadi organisasi yang kompleks serta unik, serta mampu melaksanakan kiprahnya pada memimpin sekolah.

Kepemimpinan biasanya didefinisikan oleh para pakar berdasarkan pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena berdasarkan kepentingan yg paling baik bagi pakar yg bersangkutan. Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses yang menghipnotis orang lain buat tahu dan sepakat menggunakan apa yang perlu dilakukan serta bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses buat memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Definisi tadi meliputi upaya yang nir hanya buat mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan kelompok atau organisasi yg sekarang namun definisi ini dapat jua dipakai buat memastikan bahwa semuanya dipersiapkan buat memenuhi tantangan masa depan. 

Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan adalah aktivitas buat menghipnotis orang-orang yang diarahkan pada pencapaian tujuan organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) membicarakan bahwa “leadership is compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (dua) human processes with in school; (3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun oleh empat dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (dua) proses humanisasi pada sekolah; (3) kontek social politik pada penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri. Kepemimpinan merupakan kesanggupan atau teknik buat membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati segala apa yg dikehendaki, membuat bawahan antusias dan mengikuti pemimpin dan rela berkorban untuknya (Purwanto, 2007: 26)

Berdasarkan uraian mengenai definisi kepemimpinan di atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan merupakan imbas yg dimiliki seorang serta dalam gilirannya dampak impak itu bagi orang yang hendak ditentukan. Peranan penting dalam kepemimpinan merupakan upaya seorang yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mensugesti orang lain pada organisasi/forum tertentu buat mencapai tujuan.

Kepemimpinan kepala sekolah pada konteks penelitian ini adalah kemampuan kepala sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan dan guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Peran pemimpin di sekolah (kepala sekolah) sangat krusial karena adalah motor penggerak bagi asal daya sekolah terutama pengajar serta karyawan. Wood (Daniel, 2008) mengungkapkan ketua sekolah memiliki lima peran kunci kepemimpinan yaitu: (1) culture builder; (2) instructional leader; (3) facilitator of mentors; (4) recruiter new teacher; (lima) advocate for new teacher. Peran pertama pembangun budaya; kedua pemimpin pedagogi; ketiga fasilitator; keempat perekrut pengajar baru; kelima menyokong pengajar-guru baru. Besarnya peran kepemimpinan kepala sekolah dalam proses mencapai tujuan pendidikan, maka dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya kegiatan sekolah sebagian ditentukan sang kualitas kepemimpinan yg dimiliki sang kepala sekolah. Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002: 135) menyebutkan fungsi kepemimpinan ketua sekolah yaitu: (a) membantu guru memahami, memilih, serta merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (b) menggerakkan guru-guru, karyawan, anak didik, serta anggota warga buat menyukseskan acara-acara pendidikan pada sekolah; (c) menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yg harmonis, sehat, dinamis, serta nyaman, sebagai akibatnya segenap anggota bisa bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yg tinggi. Fungsi pemimpin selalu terkait menggunakan: (1) tugas-tugas yang diberikan serta dilaksanakan bawahan; (dua) baik tidaknya jalinan interaksi kepala sekolah menggunakan bawahan. Apabila kedua hal tersebut bisa ditangani menggunakan baik, maka keberhasilan tujuan sekolah dapat diperlukan.

Studi kepemimpinan yang terdiri dari banyak sekali macam pendekatan dalam hakikatnya adalah bisnis buat menjawab atau menaruh pemecahan duduk perkara mengenai kemungkinan seseorang sebagai pemimpin yang baik serta mampu memajukan organisasi yg dipimpinnya, seperti dijelaskan pada jurnal:

“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate pelatihan. But no element of an instructional coaching acara is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the acara with time and support will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”

Menurut Mulyasa (2003: 108), buat tahu kepemimpinan, dapat dikaji berdasarkan tiga pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tadi: 

a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seseorang pemimpin yang berhasil pada melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan lantaran dibentuk atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yg ialah pemimpin adalah dilahirkan bukan dibentuk bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan buat memimpin, namun mewarisinya.

Tead pada Mulyasa (2003:109) menjelaskan, seorang pemimpin mempunyai sifat-sifat bawaan yg membedakannya berdasarkan yang bukan pemimpin. Adapun beberapa syarat yang wajib dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik serta susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (tiga) antusiasme; (4) keramahtamahan; (5) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) kepercayaan .

Pendekatan sifat tidak bisa menjawab berbagai pertanyaan di kurang lebih kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini pada menjawab pertanyaan seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan banyak kritikan. Salah satunya adalah menurut output penelitian Hersey serta Blanchard (Soekarto, 2006: 39), ternyata nir berhasil ditemukan satu atau sejumlah sifat yang bisa dipergunakan menjadi berukuran buat membedakan pemimpin dan bukan pemimpin. 

b. Pendekatan perilaku (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan serta mengidentifikasi perilaku yg spesial dari pemimpin pada kegiatannya mempengaruhi orang lain. Berkaitan dengan pendekatan konduite, Universitas negeri Ohio (Ohio State University) mengemukakan adanya 2 macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating structure (pemrakarsa struktur tugas) dan consideration (perhatian kepada bawahan). Keefektifan seseorang pemimpin terlihat menurut dua jenis konduite pada menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama adalah hingga sejauh mana seorang pimpinan memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yg akan dilaksanakan sang para bawahannya. Kedua, hingga sejauh mana serta pada bentuk apa seseorang pimpinan menaruh perhatian pada bawahan. Dalam studi ini yang dimaksud dengan pemrakarsa struktur merupakan sampai sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya dan peranan bawahannya pada usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Purwanto (2007: 36) perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi mempunyai karakteristik-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yg tinggi; (tiga). Mengutamakan penyelesaian tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan; (4) lebih poly melakukan pengarahan; (lima) melaksanakan tugas menggunakan melalui mekanisme kerja yang ketat; (6) melakukan supervisi yang ketat; (7) evaluasi terhadap bawahan semata-mata berdasarkan hasil kerja.

Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (dua) berusaha menciptakan suasana saling percaya; (tiga) berusaha membentuk suasana saling menghargai; (4) simpati terhadap perasaan bawahan; (lima) mempunyai perilaku bersahabat; (6) menumbuhkan peran dan bawahan dalam pembuatan keputusan serta aktivitas lain; (7) mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, serta pengontrolan diri. Antara kedua perilaku kepemimpinan tersebut nir saling bergantung. Artinya pelaksanaan dari perilaku kepemimpinan yang satu tidak menghipnotis perilaku yang lain. Antara perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat dilaksanakan secara beserta-sama. Dengan demikian seorang pemimpin dapat menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.

“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with class membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The model assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the class prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a class that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…” 

Prinsip kepemimpinan berdasarkan output Universitas Michigan pada prinsipnya sama dengan output penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kecenderungan konduite pemimpin yg berorientasi dalam bawahan serta orientasi produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan orientasi bawahan merupakan: penekanan pada interaksi atasan bawahan, perhatian langsung pimpinan dalam pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima perbedaan-perbedaan kepribadian, kemampuan serta konduite yg terdapat pada diri bawahan tadi. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi merupakan: cenderung menekankan segi-segi teknis menurut pekerjaan yg wajib dilakukan sang para bawahan serta kurang dalam segi manusianya, pertimbangan utama diletakkan pada terselenggaranya tugas, baik oleh orang per orang dalam satuan kerja tertentu juga oleh kelompok-gerombolan kerja yg terdapat pada organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas pada atas pertimbangan-pertimbangan yg menyangkut unsur manusia dalam organisasi. 

c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama menggunakan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti konduite kepemimpinan pada situasi eksklusif. Dalam hal ini kepemimpinan lebih adalah fungsi situasi daripada sebagai kualitas langsung serta merupakan suatu kualitas yg muncul lantaran hubungan orang-orang dalam situasi eksklusif (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi didasarkan atas perkiraan bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau forum tidak hanya bergantung dalam atau dipengaruhi sang konduite dan karakteristik-karakteristik pemimpin saja namun masih hams disesuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan serta situasi organisasional yang dihadapi menggunakan memperhitungkan faktor ketika dan ruang (Sondang, 2003: 128). 

Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan sang Hersey dan Blanchard menurut teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi memiliki ciri-ciri spesifik dan unik sebagai akibatnya masalah yg dihadapi tidak selaras, situasinya tidak sama, serta harus dihadapi menggunakan konduite kepemimpinan yang tidak selaras sinkron situasi organisasi tersebut.

Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan 3 dimensi, yg berdasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu konduite tugas (task behavior), konduite hubungan (relationship behavior) serta kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penerangan eksklusif, apa yang wajib dikerjakan, bilamana serta bagaimana mengerjakannya, dan mengawasi mereka secara ketat. Perilaku interaksi adalah ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi 2 arah yg mencakup mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan perkara. Adapun kematangan merupakan kemampuan serta kemauan anak butir dalam mempertanggungjawabkan aplikasi tugas yang dibebankan kepadanya.

Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif jika diubahsuaikan menggunakan taraf kematangan anak buah. Makin matang anak butir, pemimpin harus mengurangi konduite tugas serta menambah konduite interaksi. Apabila anak buah berkecimpung mencapai rata-homogen taraf kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada ketika anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan telah bisa berdikari, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang pada anak buah.

Gaya kepemimpinan yang sempurna untuk diterapkan pada keempat taraf kematangan anak butir serta kombinasi yg tepat antara konduite tugas dan konduite hubungan adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)

Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui perilaku kepemimpinan ketua sekolah yg mengacu dalam konduite yang berorientasi pada tugas serta konduite yang berorientasi pada bawahan, akan membangun perilaku yang berkaitan dengan bagaimana para guru berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan serta gaya kepemimpinan ketua sekolah mempengaruhi motivasi memimpin guru pada menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. “ A principal’s style and actions have great influence over teacher leaders’ motivation for performing teacher leadership roles effectively (Birky, Shelton and Headly, 2006). Penelitian Keller (Birky, Shelton and Headly, 2006) menerangkan bahwa gaya kepamimpinan kepala sekolah berdampak dalam kesuksesan anak didik serta sekolah. Kepala sekolah yg lebih berfungsi menjadi manajer menurut dalam pemimpin pedagogi mempunyai sekolah-sekolah yang kurang sukses berdasarkan dalam yang bekerja secara dekat menggunakan pengajar-pengajar dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yg dapat dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang dinyatakan sang Syafarudin (2002:67) menaruh otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan dan menaikkan penghargaan terhadap pekerjaan pengajar.

Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu dalam dua dimensi yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar tugas-tugas yg diberikan dalam bawahan sanggup dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga wajib menjaga hubungan humanisme menggunakan bawahannya (berorientasi pada bawahan), supaya mereka permanen merasa bahagia pada melaksanakan tugasnya. Namun derajat perilaku tersebut bervariasi, sehingga terdapat ketua sekolah yang mempunyai perilaku berorientasi tugas serta konduite berorientasi pada bawahan yg keduanya tinggi, tetapi ada pula yg keduanya rendah serta ada juga yang rendah dalam satu konduite serta tinggi pada konduite lainnya. Karena itu berbagai perilaku kepemimpinan ketua sekolah akan dipersepsi sang guru menjadi bawahannya serta selanjutnya akan membentuk sikap atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku pada bekerja sehari-hari.

Dalam penelitian ini yg dimaksud dengan kepemimpinan ketua sekolah adalah kemampuan ketua sekolah dalam mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Dimensi kepemimpinan ketua sekolah yang akan dikaji mengacu pada pendekatan perilaku kepemimpinan yang mengacu dalam:
1. Orientasi pada tugas, menggunakan indikator: membangun struktur tugas dan menekankan dalam produktivitas.
2. Orientasi dalam bawahan menggunakan indikator memperhatikan kebutuhan bawahan, toleransi serta kebebasan, serta menyatukan bawahan.
3. Iklim Organisasi

Organisasi adalah suatu wadah bagi para pegawai berinteraksi clan bekerja satu sama lain pada mencapai tujuan organisasi. Kochler dalam Muhammad (2005: 23) organisasi merupakan sistem hubungan yg terstruktur yg mengkoordinasi bisnis suatu gerombolan orang buat mencapai tujuan eksklusif. Selanjutnya Duncan dalam Wahjosumidjo (2005: 59) mengemukakan pengertian organisasi menjadi suatu kebersamaan dan hubungan serta saling ketergantungan individu-individu yg bekerja ke arah tujuan yang bersifat generik serta hubungan kerjasamanya sudah diatur sesuai dengan struktur yang sudah ditentukan.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka dapat diperoleh liputan sebagai berikut. Pertama, organisasi dilihat menjadi gerombolan orang yg bekerja sama dengan tujuan yg sama Kedua, organisasi dibentuk buat menuntaskan jenis fungsi serta kegiatan khusus buat efisiensi tujuan. Ketiga, organisasi tersusun atas bagian-bagian dan hubungan-interaksi.

Sub sistem yg paling krusial dalam suatu organisasi adalah subsistem manusia karena berdasarkan Muhammad (2005: 39) insan menjadi anggota organisasi merupakan adalah inti organisasi. Faktor manusia pada organisasi wajib mendapat perhatian dan nir bisa diabaikan. Hal ini disebabkan berhasil atau tidaknya organisasi itu mencapai tujuan dan mempertahankan eksistensinya lebih banyak dipengaruhi sang faktor manusianya. Oleh sebab itu dalam melaksanakan aktivitasnya, manusia yg bekerja dalam organisasi tersebut perlu disubstitusi dengan berbagai stimulus dan fasilitas yang dapat mempertinggi motivasi dan gairah kerjanya.

Iklim yang kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman pada melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yg aman akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat dan kemampuannya. 

Owens dalam Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 91), mengatakan bahwa iklim organisasi mengambarkan pada: to perceptions of persons in the organization that reflect those norms, assumptions, and beliefs. Hal yang sama diungkapkan oleh Hoy dan Miskel (1991: 221) bahwa iklim organisasi adalah : "perceptions of the general work environtment of the school'. Sedangkan Gilmer dalam (Hoy serta Miskel, 1991: 221) menyatakan: "those characteristics that distinguish the organization from other organizations and that influence the behaviour of people in the organization". Rousseau (1990) menyampaikan iklim organisasi merupakan: “the descriptive beliefs and perceptions indviduals hold of the organization”. Iklim organisasi merupakan gambaran kepercayaan -agama serta persepsi-persepsi yg dipegang individu tentang organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tadi memberitahuakn bahwa iklim organisasi selalu berhubungan dengan (1) persepsi para anggota organisasi yg bersangkutan. Dalam hal ini merupakan sikap serta perasaan yang ditampilkan oleh pegawai terhadap sifat-sifat atau karakteristik yg terdapat dalam organisasi; (dua) output interaksi seluruh komponen pada organisasi, serta sang karena itu menghipnotis konduite individu-individu pada organisasi.

Organizational climate is a set of values, often taken for granted, that help people in an organization understand which actions are considered acceptable and which are considered unacceptable. Often there values are communicated through stories and other symbolic means (Moorhead and Griffin, 1989). Organization climate is developed by the organization. It reflects the struggle, both internal and external, the type of people who compose the organization, the work process, the means of communication and the exercise of authority within the individual organization. 

Litwin dan Stringer (dalam Muhammad, 2005: 83) menaruh dimensi iklim oganisasi menjadi berikut: (1) rasa tanggung jawab; (2) baku atau harapan mengenai kualitas pekerjaan; (tiga) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; serta (lima) semangat tim. Di sisi lain Davis serta Newstrom (1996:24) mengungkapkan beberapa unsur spesial yg membangun iklim yg menyenangkan adalah: (1) Kualitas kepemimpinan; (2) Kadar agama; (3) Komunikasi, ke atas serta ke bawah; (4) Perasaan melakukan pekerjaan yg bermanfaat; (lima) Tanggung jawab; (6) Imbalan yang adil; (7) Tekanan pekerjaan yg akal; (8) Kesempatan; (9) Pengendalian; struktur, dan birokrasi yang akal; (10) Keterlibatan pegawai, keikutsertaan.

Unsur-unsur iklim organisasi yg dikemukakakan sang Litwin dan Stringer, Davis dan Nestrom, dan Campbell merupakan unsur-unsur iklim organisasi yang positif, yg menyenangkan. Iklim yang menyenangkan bagi para pegawai (Davis dan Newstrom, 2005: 24) adalah apabila mereka melakukan sesuatu yangbermanfaat serta menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan serta diperlukan menjadi orang yg bernilai. Adanya iklim yang positif, yg menyenangkan bisa membawa impak positif pada kinerja seseorang. Iklim yang berorientasi pada manusia akan menghasilkan kinerja serta kepuasan kerja yg lebih tinggi. Para pegawai merasa bahwa organisasi benar-benar memperhatikan kebutuhan serta kasus mereka, apabila mana iklim bermanfaat bagi kebutuhan individu (contohnya, memperhatikan kepentingan pekerja serta berorientasi prestasi), maka dapat mengharapkan tingkah laris ke arah tujuan yang tinggi. Sebaliknya, bilamana iklim yg timbul bertentangan dengan tujuan, kebutuhan dan motivasi pribadi, prestasi juga kepuasan bisa berkurang.

Iklim organisasi pada penelitian ini adalah karakteristik sekolah menjadi suatu organisasi yg dipersepsi para guru dan sekaligus menghipnotis perilakunya. Adapun indikator iklim organisasi mengacu dalam:
a. Struktur organisasi,
b. Pemberian tanggung jawab,
c. Kebijakan serta praktek manajemen yang mendukung,
d. Keterlibatan/keikutsertaan guru dalam organisasi, dan
e. Komitmen daiam mengemban tugas.

PENGARUH KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU

Pengaruh Kepemimpinan Kepala Sekolah Dan Motivasi Kerja Pengajar Terhadap Kinerja Guru 
Sekolah menjadi forum pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan serta proses belajar mengajar dalam usaha buat mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah menjadi seorang yg diberi tugas buat memimpin sekolah, ketua sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah dibutuhkan menjadi pemimpin berdasarkan inovator di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu mempunyai kemampuan buat memberdayakan semua sumber daya manusia yang terdapat buat mencapai tujuan sekolah. Khusus berkaitan menggunakan guru kepala sekolah harus mempunyai kemampuan buat meningkatkan kinerja pengajar, melalui pemberdayaan sumber daya manusia (guru). 

Lebih lanjut dinyatakan bahwa agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah buat mencapai tujuan sinkron dengan situasi, diperlukan seseorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan serta pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan supervisi. Kepala sekolah perlu mempunyai kemampuan dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yg kondusif, sehingga pengajar-guru bisa melaksanakan pembelajaran menggunakan baik dan anak didik bisa belajar menggunakan damai. Di samping itu kepala sekolah dituntut buat bisa bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepala sekolah bisa mengelola serta memberdayakan guru-pengajar agar terus menaikkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-pengajar yg pula adalah mitra kerja ketua sekolah dalam banyak sekali bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya serta meningkatkan kinerjanya.

Kepemimpinan ketua sekolah sebaiknya menghindari terciptanya pola hubungan dengan guru yg hanya mengandalkan kekuasaan, dan kebalikannya perlu mengedepankan kerja sama fungsional. Ia pula wajib menghindarkan diri berdasarkan one man show, kebalikannya harus menekankan pada kolaborasi kesejawatan; menghindari terciptanya suasana kerja yg serba angker, serta sebaliknya perlu menciptakan keadaan yg menciptakan semua guru percaya diri.

Kepemimpinan ketua sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas pengadaan wahana dan prasarana dan kurang memperhatikan pengajar pada melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru tak jarang melalaikan tugas menjadi pengajar serta pembentuk nilai moral. Hal tadi bisa menumbuhkan perilaku yg negatif berdasarkan seorang guru terhadap pekerjaannya pada sekolah, sebagai akibatnya pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi anak didik pada sekolah. Kepala sekolah jua dituntut untuk mengamalkan fungsi-fungsi manajemen yaitu rencana, organizing, actuating and controlling, sebab ini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja pengajar . Fungsi-fungsi manajemen ini akan berjalan secara sinergis menggunakan peran kepala sekolah sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, inovator serta motivator.

Kepuasan kerja adalah salah satu faktor penting buat mendapatkan output kerja yg optimal. Menurut Siagiaan (2003: 297) kepuasan kerja bisa memacu prestasi kerja (kinerja) yang lebih baik. Oleh karenanya waktu seseorang mencicipi kepuasan pada bekerja tentunya beliau akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yg dimilikinya buat menyelesaikan tugas pekerjaannya. Dengan demikian produktivitas dan hasil kerja pegawai akan meningkat secara optimal. Oleh karena itu seyogyanya kepala sekolah berusaha untuk tahu para guru serta mengupayakan supaya guru memperoleh kepuasan pada menjalankan tugasnya. Persepsi pengajar tehadap kepemimpinan ketua sekolah berdampak pada taraf kepuasan kerja guru di sekolah.

Kepuasan kerja pengajar jua ditentukan sang iklim organisasi. Hal ini didasarkan dalam perkiraan bahwa para pengajar bekerja selain buat mengharapkan imbalan baik material juga non material mereka pula menginginkan iklim yg sinkron menggunakan harapan mereka misalnya masih ada keterbukaan dalam organisasi, terdapat perhatian, dukungan, dan penghargaan. Penciptaan iklim yang berorientasi dalam prestasi dan mementingkan pekerja dapat memperlancar pencapaian hasil yg diinginkan.

Pada kenyataannya kerja yg menjernihkan, suasana lingkungan kerja yg tidak aman misalnya sahabat yg tidak saling mendukung, kebijakan pimpinan yang kurang mendukung serta siswa yg tingkah lakunya menjengkelkan. Di lain pihak terdapat menurut mereka yg menurun semangatnya dalam mengajar, merasa bosan, jenuh menggunakan pekerjaan. Menunjukkan iklim organisasi yang kurang berpihak dalam kinerja pengajar. Kinerja sekolah dipengaruhi oleh suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah tadi. Di negara-negara maju, riset mengenai iklim kerja pada sekolah (school working environment atau school climate) sudah berkembang menggunakan mapan serta menaruh sumbangan yg cukup signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang efektif. Ditegaskan bahwa jika pengajar mencicipi suasana kerja yg kondusif pada sekolahnya, maka dapat diperlukan siswanya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai/pengajar merupakan apabila mereka melakukan sesuatu yg berguna dan menyebabkan perasaan berharga, menerima tanggung jawab serta kesempatan buat berhasil, didengarkan serta diharapkan menjadi orang yang bernilai (Davis serta Newstrom, 2001: 24). Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah mempengaruhi perilaku dan tindakan semua komunitas sekolah tersebut, khususnya dalam pencapaian prestasi akademik murid. 

Iklim yg kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yang kondusif akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat serta kemampuannya

Di lain pihak kepuasan kerja ditentukan jua oleh hal lain yang bisa dilakukan buat menaikkan kepuasan kerja merupakan menaruh insentif, memberikan motivasi, menaikkan kemampuan, gaya kepemimpinan yg baik. Sementara kepuasan kerja pengajar dapat ditingkatkan bila bonus diberikan sempurna waktunya, dan pihak manajemen sekolah bisa mengetahui apa yang dibutuhkan serta kapan bisa harapan-asa diakui terhadap output kerjanya. Pemberian insentif tehadap guru merupakan sebagai pendorong yang bisa memotivasi guru buat lebih bekerja keras secara efektif. Insentif terkait erat dengan kinerja pengajar. Terdapat timbal balik dua arah antara hadiah insentif menggunakan kinerja. Insentif diberikan karena adanya kinerja yg baik serta diberikan buat lebih menaikkan kinerja lagi dimasa mendatang. 

1. Kepuasan Kerja Guru
Kepuasan kerja berdasarkan Davis dan Newstrom (2001: 105) adalah cara seorang pekerja mencicipi pekerjaannya. Pendapat senada juga dikemukakan sang Milton dalam Burhanuddin, Ali dan Maisyaroh (2002:162) bahwa kepuasan kerja merupakan sesuatu yang menyenangkan atau pernyataan emosional yang positif, dihasilkan berdasarkan penilaian pengalaman kerja seorang. Artinya apabila seorang merasa puas terhadap pekerjaannya, maka dia akan mempunyai perilaku positif serta menyenangi pekerjaannya. Kepuasan kerja juga dikemukakan oleh Mathis serta Jackson (2001: 98) yaitu keadaan emosi yang positif dari mengevaluasi pengalaman kerja seorang. Ketidakpuasan kerja akan timbul saat harapan-asa ini tidak dipenuhi. 

Some theorists view job satisfaction as being the positive emotional reactions and attitudes an individual has towards their job. Others have viewed it as a bi-dimensional construct consisting of ‘‘intrinsic’’ and ‘‘extrinsic’’ satisfaction dimensions,or alternatively of ‘‘satisfaction/lack of satisfaction’’ and ‘‘dissatisfaction/lack of dissatisfaction’’ dimensions.more recently, debate has arisen as to whether job satisfaction is a global concept or is composed of facets of satisfaction with various aspects of an individual’s job. Recent studyhas suggested that the most important determinants of job satisfaction are whether an employee finds their job interesting, has good relationships with their managers and colleagues, has a high income, is allowed to work independently, and has clearly defined career advancement opportunities. Measures of job satisfaction tend to fall into two broad types: single item global measures and composite measures of satisfaction with various job components. 

Kepuasan kerja pengajar ditunjukkan sang sikapnya pada bekerja/mengajar. Apabila guru puas akan keadaan yang mensugesti beliau maka dia akan bekerja dengan baik/mengajar dengan baik. Tetapi apabila guru kurang puas maka beliau akan mengajar sinkron kehendaknya. Kepuasan kerja merupakan galat satu sikap kerja pengajar yg perlu diciptakan di sekolah, agar pengajar dapat bekerja dengan moral yg tinggi, disiplin, semangat, berdedikasi serta menghayati profesinya. Gum yg merasa puas terhadap lembaganya akan berdampak dalam kelancaran kegiatan belajar mengajar di sekolah serta peningkatan kualitas pelayanan kepada para anak didik. Dengan kata lain menggunakan mencapai taraf kepuasan kerja tertentu maka diharapkan kinerja sebagai seorang guru baik.

Penelitian mengenai kepuasan kerja yg sangat besar sumbangannya merupakan penelitian Herzberg. Teori ini dikenal menggunakan "model 2 faktor" yaitu faktor motivasional serta faktor higiene/pemeliharaan (Burhanuddin, Ali, Maisyaroh, 2002:166). Jika faktor higiene dipenuhi nir dapat memotivasi pekerja namun bisa meminimalkan ketidakpuasan. Jika faktor higiene nir terpenuhi, sesesorang nir akan merasa puas. Faktor higiene meliputi company policy andadministration (kebijakan organisasi); supervision (pengawasan), salary (gaji/kesejahteraan), interpersonal relations (hubungan antar langsung) dan working condition (kondisi kerja), possibility of growth (peluang untuk tumbuh), personal life (efek kerja terhadap kehidupan eksklusif) serta status. Faktor-faktor motivasional dapat membangun kepuasan kerja dengan memenuhi kebutuhan-kebuUihan pekerja, mencakup achievement (prestasi), recognition (pengakuan), work itself (kerja itu sendiri) responsibility (tanggung jawab), serta advancement (promosi). Berkenaan dengan kepuasan kerja pengajar yaitu keterlibatan pengajar pada pembuatan keputusan di sekolah, pengakuan yang dirasakan pengajar, harapan guru , hubungan antar personel yang terjadi di dalam lingkungan kerja, serta otoritas yg diterima pengajar (De Roche pada Burhanudin, Imron serta Maisyaroh, 2002:165). Dalam penelitian ini yg dimaksud menggunakan kepuasan kerja guru merupakan pernyataan sikap pengajar yg positif maupun negatif, didasarkan sang cara pandang (persepsi) guru yang bersangkutan terhadap pekerjaannya sebagai guru dan pelaksana pendidikan pada sekolah, adapun indikator kepuasan kerja pada penelitian ini adalah: pengakuan/penghargaan, promosi/promosi, supervisi, honor /kesejahteraan, kerja itu sendiri, serta hubungan personal/rekan sekerja.

2. Persepsi pengajar mengenai Kepemimpinan Kepala Sekolah
Sekolah adalah lembaga yg bersifat kompleks serta unik. Bersifat komplek karena sekolah menjadi organisasi pada dalamnya masih ada aneka macam dimensi yg satu sama lain saling berkaitan serta saling memilih. Sekolah bersifat unik karena sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan manusia. Karena sifatnya yg kompleks serta unik tersebut, sekolah menjadi organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi.

Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya mempunyai kiprah bertenaga dalam mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan serta menyerasikan semua asal daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan ketua sekolah adalah salah satu faktor yg dapat mendorong sekolah buat mewujudkan visi, misi, tujuan serta sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil bila mereka tahu keberadaan sekolah menjadi organisasi yang kompleks serta unik, serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.

Kepemimpinan biasanya didefinisikan sang para pakar menurut pandangan eksklusif mereka, serta aspek-aspek kenyataan berdasarkan kepentingan yang paling baik bagi pakar yg bersangkutan. Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan menjadi proses yg mempengaruhi orang lain buat tahu dan setuju dengan apa yg perlu dilakukan serta bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses buat memfasilitasi upaya individu serta kolektif buat mencapai tujuan beserta. Definisi tersebut mencakup upaya yang tidak hanya buat mempengaruhi serta memfasilitasi pekerjaan gerombolan atau organisasi yang kini tetapi definisi ini bisa jua digunakan buat memastikan bahwa semuanya dipersiapkan buat memenuhi tantangan masa depan. 

Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan merupakan kegiatan buat mensugesti orang-orang yang diarahkan dalam pencapaian tujuan organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) membicarakan bahwa “leadership is compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (2) human processes with in school; (3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun sang empat dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (dua) proses humanisasi pada sekolah; (3) kontek social politik dalam penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri. Kepemimpinan adalah kesanggupan atau teknik buat menciptakan sekelompok orang bawahan pada organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati segala apa yg dikehendaki, menciptakan bawahan antusias dan mengikuti pemimpin serta rela berkorban untuknya (Purwanto, 2007: 26)

Berdasarkan uraian mengenai definisi kepemimpinan pada atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah efek yang dimiliki seorang serta dalam gilirannya akibat pengaruh itu bagi orang yg hendak ditentukan. Peranan penting dalam kepemimpinan adalah upaya seorang yang memainkan peran menjadi pemimpin guna menghipnotis orang lain pada organisasi/lembaga tertentu buat mencapai tujuan.

Kepemimpinan ketua sekolah pada konteks penelitian ini adalah kemampuan ketua sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, dan menggerakkan para pengajar buat bekerja, berperan serta guna mencapai tujuan yg telah ditetapkan. Peran pemimpin di sekolah (ketua sekolah) sangat krusial lantaran merupakan motor penggerak bagi sumber daya sekolah terutama guru dan karyawan. Wood (Daniel, 2008) menjelaskan kepala sekolah memiliki 5 peran kunci kepemimpinan yaitu: (1) culture builder; (dua) instructional leader; (3) facilitator of mentors; (4) recruiter new teacher; (lima) advocate for new teacher. Peran pertama pembangun budaya; ke 2 pemimpin pedagogi; ketiga fasilitator; keempat perekrut pengajar baru; kelima menyokong pengajar-guru baru. Besarnya peran kepemimpinan ketua sekolah dalam proses mencapai tujuan pendidikan, maka bisa dikatakan bahwa sukses tidaknya aktivitas sekolah sebagian ditentukan sang kualitas kepemimpinan yg dimiliki sang kepala sekolah. Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 135) menyebutkan fungsi kepemimpinan kepala sekolah yaitu: (a) membantu guru tahu, memilih, serta merumuskan tujuan pendidikan yg akan dicapai; (b) menggerakkan pengajar-pengajar, karyawan, murid, serta anggota masyarakat buat menyukseskan acara-program pendidikan pada sekolah; (c) membangun sekolah menjadi suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, bergerak maju, dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas serta memperoleh kepuasan kerja yang tinggi. Fungsi pemimpin selalu terkait menggunakan: (1) tugas-tugas yg diberikan serta dilaksanakan bawahan; (dua) baik tidaknya jalinan hubungan kepala sekolah menggunakan bawahan. Apabila kedua hal tadi bisa ditangani dengan baik, maka keberhasilan tujuan sekolah bisa dibutuhkan.

Studi kepemimpinan yang terdiri dari berbagai macam pendekatan pada hakikatnya adalah bisnis buat menjawab atau menaruh pemecahan dilema tentang kemungkinan seorang menjadi pemimpin yang baik dan sanggup memajukan organisasi yg dipimpinnya, misalnya dijelaskan dalam jurnal:

“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate training. But no element of an instructional coaching program is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the acara with time and support will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”

Menurut Mulyasa (2003: 108), buat tahu kepemimpinan, dapat dikaji berdasarkan 3 pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan konduite dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tadi: 

a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seorang pemimpin yang berhasil pada melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang sebagai pemimpin karena sifat-sifatnya yg dibawa semenjak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti dikatakan sang Thierauf pada Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yang ialah pemimpin adalah dilahirkan bukan dibentuk bahwa pemimpin nir bisa memperoleh kemampuan buat memimpin, namun mewarisinya.

Tead pada Mulyasa (2003:109) menyebutkan, seorang pemimpin memiliki sifat-sifat bawaan yang membedakannya menurut yg bukan pemimpin. Adapun beberapa kondisi yg wajib dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik serta susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah serta tujuan; (3) antusiasme; (4) keramahtamahan; (lima) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) agama.

Pendekatan sifat nir sanggup menjawab berbagai pertanyaan pada lebih kurang kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini dalam menjawab pertanyaan seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan poly kritikan. Salah satunya merupakan dari output penelitian Hersey dan Blanchard (Soekarto, 2006: 39), ternyata tidak berhasil ditemukan satu atau sejumlah sifat yg bisa digunakan sebagai ukuran untuk membedakan pemimpin serta bukan pemimpin. 

b. Pendekatan konduite (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan dan mengidentifikasi konduite yang khas dari pemimpin pada kegiatannya mensugesti orang lain. Berkaitan dengan pendekatan konduite, Universitas negeri Ohio (Ohio State University) mengemukakan adanya 2 macam konduite kepemimpinan yaitu initiating structure (pemrakarsa struktur tugas) serta consideration (perhatian pada bawahan). Keefektifan seseorang pemimpin terlihat berdasarkan dua jenis konduite pada menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama merupakan sampai sejauh mana seseorang pimpinan memberikan penekanan dalam peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yang akan dilaksanakan oleh para bawahannya. Kedua, sampai sejauh mana dan pada bentuk apa seseorang pimpinan menaruh perhatian kepada bawahan. Dalam studi ini yg dimaksud dengan pemrakarsa struktur artinya sampai sejauh mana seseorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya serta peranan bawahannya pada usaha mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Purwanto (2007: 36) konduite kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas serta konsiderasi mempunyai karakteristik-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yg tinggi; (tiga). Mengutamakan penyelesaian tugas berdasarkan jadwal yang sudah ditetapkan; (4) lebih poly melakukan pengarahan; (lima) melaksanakan tugas menggunakan melalui mekanisme kerja yang ketat; (6) melakukan pengawasan yang ketat; (7) penilaian terhadap bawahan semata-mata berdasarkan output kerja.

Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (dua) berusaha membentuk suasana saling percaya; (tiga) berusaha membangun suasana saling menghargai; (4) simpati terhadap perasaan bawahan; (lima) mempunyai sikap bersahabat; (6) menumbuhkan peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan dan kegiatan lain; (7) mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, dan pengontrolan diri. Antara ke 2 perilaku kepemimpinan tersebut nir saling bergantung. Artinya aplikasi menurut perilaku kepemimpinan yang satu tidak mempengaruhi perilaku yang lain. Antara perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat dilaksanakan secara beserta-sama. Dengan demikian seorang pemimpin bisa menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.

“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with class membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The contoh assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the class prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a class that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…” 

Prinsip kepemimpinan berdasarkan hasil Universitas Michigan pada prinsipnya sama menggunakan output penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kesamaan konduite pemimpin yang berorientasi pada bawahan dan orientasi produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan konduite pimpinan dengan orientasi bawahan adalah: fokus dalam interaksi atasan bawahan, perhatian pribadi pimpinan pada pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima disparitas-perbedaan kepribadian, kemampuan serta perilaku yang masih ada dalam diri bawahan tersebut. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi adalah: cenderung menekankan segi-segi teknis menurut pekerjaan yg harus dilakukan oleh para bawahan serta kurang dalam segi manusianya, pertimbangan primer diletakkan dalam terselenggaranya tugas, baik sang orang per orang pada satuan kerja eksklusif maupun oleh gerombolan -gerombolan kerja yang masih ada dalam organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas di atas pertimbangan-pertimbangan yg menyangkut unsur insan dalam organisasi. 

c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini kepemimpinan lebih adalah fungsi situasi daripada menjadi kualitas langsung serta adalah suatu kualitas yang timbul lantaran interaksi orang-orang pada situasi eksklusif (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan situasional atau pendekatan kontingensi didasarkan atas perkiraan bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi atau lembaga nir hanya bergantung pada atau ditentukan oleh konduite dan ciri-karakteristik pemimpin saja tetapi masih hams diubahsuaikan dengan tuntutan situasi kepemimpinan dan situasi organisasional yg dihadapi menggunakan memperhitungkan faktor saat dan ruang (Sondang, 2003: 128). 

Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi mempunyai ciri-karakteristik khusus dan unik sebagai akibatnya kasus yang dihadapi tidak selaras, situasinya tidak selaras, serta wajib dihadapi dengan perilaku kepemimpinan yang tidak sinkron sesuai situasi organisasi tersebut.

Teori ini merupakan pengembangan dari contoh kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan dalam interaksi antara 3 faktor, yaitu perilaku tugas (task behavior), konduite hubungan (relationship behavior) dan kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan anugerah petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa yang harus dikerjakan, bilamana serta bagaimana mengerjakannya, dan mengawasi mereka secara ketat. Perilaku interaksi merupakan ajakan yg disampaikan sang pemimpin melalui komunikasi dua arah yg mencakup mendengar dan melibatkan anak buah pada pemecahan masalah. Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas yg dibebankan kepadanya.

Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif bila disesuaikan dengan taraf kematangan anak butir. Makin matang anak buah, pemimpin wajib mengurangi konduite tugas dan menambah konduite hubungan. Apabila anak butir bergerak mencapai homogen-homogen taraf kematangan, pemimpin wajib mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak butir mencapai taraf kematangan penuh dan sudah dapat berdikari, pemimpin telah dapat mendelegasikan kewenangan pada anak buah.

Gaya kepemimpinan yg sempurna buat diterapkan pada keempat tingkat kematangan anak buah serta kombinasi yg sempurna antara konduite tugas dan perilaku interaksi adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)

Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui konduite kepemimpinan ketua sekolah yang mengacu pada perilaku yang berorientasi dalam tugas serta konduite yang berorientasi dalam bawahan, akan membangun sikap yg berkaitan menggunakan bagaimana para pengajar berperilaku pada melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan serta gaya kepemimpinan kepala sekolah mempengaruhi motivasi memimpin pengajar dalam menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. “ A principal’s style and actions have great influence over teacher leaders’ motivation for performing teacher leadership roles effectively (Birky, Shelton and Headly, 2006). Penelitian Keller (Birky, Shelton and Headly, 2006) menampakan bahwa gaya kepamimpinan ketua sekolah berdampak dalam kesuksesan murid serta sekolah. Kepala sekolah yg lebih berfungsi menjadi manajer dari pada pemimpin pedagogi mempunyai sekolah-sekolah yang kurang sukses berdasarkan pada yg bekerja secara dekat menggunakan pengajar-pengajar pada menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yg bisa dilakukan sang ketua sekolah seperti yang dinyatakan oleh Syafarudin (2002:67) menaruh otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan serta meningkatkan penghargaan terhadap pekerjaan guru.

Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan dalam umumnya mengacu dalam 2 dimensi yaitu berorientasi dalam tugas (task oriented), supaya tugas-tugas yg diberikan pada bawahan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi dalam tugas, kepala sekolah jua harus menjaga interaksi kemanusiaan menggunakan bawahannya (berorientasi pada bawahan), supaya mereka tetap merasa senang pada melaksanakan tugasnya. Tetapi derajat konduite tersebut bervariasi, sehingga terdapat kepala sekolah yg memiliki perilaku berorientasi tugas serta konduite berorientasi pada bawahan yang keduanya tinggi, tetapi ada jua yg keduanya rendah dan terdapat jua yang rendah pada satu perilaku serta tinggi pada perilaku lainnya. Lantaran itu berbagai perilaku kepemimpinan ketua sekolah akan dipersepsi oleh guru sebagai bawahannya serta selanjutnya akan membangun perilaku atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku pada bekerja sehari-hari.

Dalam penelitian ini yg dimaksud dengan kepemimpinan ketua sekolah merupakan kemampuan kepala sekolah pada mendorong, membimbing, mengarahkan, serta menggerakkan para guru buat bekerja, berperan dan guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Dimensi kepemimpinan ketua sekolah yg akan dikaji mengacu dalam pendekatan perilaku kepemimpinan yg mengacu dalam:
1. Orientasi dalam tugas, dengan indikator: membangun struktur tugas serta menekankan dalam produktivitas.
2. Orientasi dalam bawahan dengan indikator memperhatikan kebutuhan bawahan, toleransi dan kebebasan, dan menyatukan bawahan.
3. Iklim Organisasi

Organisasi adalah suatu wadah bagi para pegawai berinteraksi clan bekerja satu sama lain pada mencapai tujuan organisasi. Kochler pada Muhammad (2005: 23) organisasi merupakan sistem interaksi yang terstruktur yang mengkoordinasi bisnis suatu gerombolan orang untuk mencapai tujuan eksklusif. Selanjutnya Duncan pada Wahjosumidjo (2005: 59) mengemukakan pengertian organisasi menjadi suatu kebersamaan dan hubungan serta saling ketergantungan individu-individu yang bekerja ke arah tujuan yg bersifat generik serta hubungan kerjasamanya sudah diatur sinkron menggunakan struktur yang telah ditentukan.

Berdasarkan pengertian tadi pada atas, maka dapat diperoleh liputan menjadi berikut. Pertama, organisasi dipandang menjadi gerombolan orang yang bekerja sama dengan tujuan yang sama Kedua, organisasi dibentuk buat menyelesaikan jenis fungsi dan aktivitas spesifik buat efisiensi tujuan. Ketiga, organisasi tersusun atas bagian-bagian serta hubungan-hubungan.

Sub sistem yang paling krusial pada suatu organisasi adalah subsistem insan lantaran dari Muhammad (2005: 39) manusia sebagai anggota organisasi merupakan adalah inti organisasi. Faktor insan dalam organisasi wajib mendapat perhatian dan tidak bisa diabaikan. Hal ini disebabkan berhasil atau tidaknya organisasi itu mencapai tujuan dan mempertahankan eksistensinya lebih banyak ditentukan sang faktor manusianya. Oleh karena itu dalam melaksanakan aktivitasnya, manusia yang bekerja pada organisasi tersebut perlu disubstitusi menggunakan aneka macam stimulus serta fasilitas yang dapat menaikkan motivasi dan gairah kerjanya.

Iklim yg kondusif dapat mendorong serta mempertahankan motivasi para pegawai. Dengan demikian iklim organisasi wajib diciptakan sedemikian rupa sehingga pegawai merasa nyaman dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Iklim organisasi yang kondusif akan mendorong pegawai buat lebih berprestasi secara optimal sesuai dengan minat serta kemampuannya. 

Owens dalam Burhanuddin, Ali serta Maisyaroh (2002: 91), mengatakan bahwa iklim organisasi menerangkan dalam: to perceptions of persons in the organization that reflect those norms, assumptions, and beliefs. Hal yang sama diungkapkan sang Hoy dan Miskel (1991: 221) bahwa iklim organisasi merupakan : "perceptions of the general work environtment of the school'. Sedangkan Gilmer dalam (Hoy dan Miskel, 1991: 221) menyatakan: "those characteristics that distinguish the organization from other organizations and that influence the behaviour of people in the organization". Rousseau (1990) membicarakan iklim organisasi adalah: “the descriptive beliefs and perceptions indviduals hold of the organization”. Iklim organisasi adalah gambaran kepercayaan -agama dan persepsi-persepsi yang dipegang individu mengenai organisasi. Berdasarkan pendapat-pendapat tadi memperlihatkan bahwa iklim organisasi selalu berhubungan dengan (1) persepsi para anggota organisasi yang bersangkutan. Dalam hal ini adalah sikap dan perasaan yg ditampilkan oleh pegawai terhadap sifat-sifat atau ciri yg ada pada organisasi; (2) hasil interaksi semua komponen dalam organisasi, dan sang karenanya menghipnotis konduite individu-individu pada organisasi.

Organizational climate is a set of values, often taken for granted, that help people in an organization understand which actions are considered acceptable and which are considered unacceptable. Often there values are communicated through stories and other symbolic means (Moorhead and Griffin, 1989). Organization climate is developed by the organization. It reflects the struggle, both internal and external, the type of people who compose the organization, the work process, the means of communication and the exercise of authority within the individual organization. 

Litwin dan Stringer (pada Muhammad, 2005: 83) memberikan dimensi iklim oganisasi menjadi berikut: (1) rasa tanggung jawab; (dua) standar atau asa mengenai kualitas pekerjaan; (tiga) ganjaran atau reward; (4) rasa persaudaraan; dan (lima) semangat tim. Di sisi lain Davis dan Newstrom (1996:24) menjelaskan beberapa unsur spesial yg membentuk iklim yg menyenangkan adalah: (1) Kualitas kepemimpinan; (dua) Kadar kepercayaan ; (tiga) Komunikasi, ke atas dan ke bawah; (4) Perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat; (5) Tanggung jawab; (6) Imbalan yang adil; (7) Tekanan pekerjaan yg akal; (8) Kesempatan; (9) Pengendalian; struktur, serta birokrasi yang nalar; (10) Keterlibatan pegawai, keikutsertaan.

Unsur-unsur iklim organisasi yang dikemukakakan sang Litwin dan Stringer, Davis dan Nestrom, serta Campbell merupakan unsur-unsur iklim organisasi yang positif, yang menyenangkan. Iklim yg menyenangkan bagi para pegawai (Davis serta Newstrom, 2005: 24) merupakan apabila mereka melakukan sesuatu yangbermanfaat serta menimbulkan perasaan berharga, mendapatkan tanggung jawab dan kesempatan buat berhasil, didengarkan dan diharapkan sebagai orang yg bernilai. Adanya iklim yang positif, yang menyenangkan dapat membawa pengaruh positif dalam kinerja seorang. Iklim yang berorientasi pada insan akan membuat kinerja dan kepuasan kerja yg lebih tinggi. Para pegawai merasa bahwa organisasi sahih-benar memperhatikan kebutuhan dan masalah mereka, apabila mana iklim bermanfaat bagi kebutuhan individu (contohnya, memperhatikan kepentingan pekerja serta berorientasi prestasi), maka dapat mengharapkan tingkah laris ke arah tujuan yg tinggi. Sebaliknya, bilamana iklim yang ada bertentangan dengan tujuan, kebutuhan dan motivasi pribadi, prestasi maupun kepuasan bisa berkurang.

Iklim organisasi pada penelitian ini adalah ciri sekolah sebagai suatu organisasi yg dipersepsi para guru dan sekaligus mempengaruhi perilakunya. Adapun indikator iklim organisasi mengacu dalam:
a. Struktur organisasi,
b. Pemberian tanggung jawab,
c. Kebijakan serta praktek manajemen yg mendukung,
d. Keterlibatan/keikutsertaan guru pada organisasi, dan
e. Komitmen daiam mengemban tugas.

MANAJEMEN PROFESI KEPENDIDIKAN

Manajemen Profesi Kependidikan 
Rasional 
Dalam pembahasan sebelumnya sudah ditegaskan, bahwa energi kependidikan merupakan mencakup baik pengajar, maupun non pengajar. Secara rinci yg termasuk energi kependidikan di sekolah adalah meliputi: guru, kepala sekolah, tenaga bimbingan, serta energi administrasi atau rapikan-usaha. Tetapi dalam kitab ini pembahasan tentang tenaga kependidikan tadi lebih ditekankan dalam pengkajian jabatan pengajar menjadi suatu profesi, sehingga dalam pembahasan berikutnya nanti yang dimaksud menggunakan tenaga kependidikan merupakan pengajar. Tenaga kependidikan lainnya, misalnya ketua sekolah (administrator pendidikan) dan tenaga pelayanan bimbingan akan dibahas sepintas saja. 

Alasan mengapa pengajar yang paling poly disoroti pada kitab ini adalah, pertama, lantaran pengajar adalah tenaga utama di suatu sekolah, mereka merupakan tenaga penggerak utama di sektor pendidikan dan paling mayoritas peranannya dalam mencapai keberhasilan tujuan pendidikan. Kedua, pada samping menjadi penggerak utama pada sektor pendidikan, jumlah mereka termasuk paling poly pada bandingkan dengan dengan energi kependidikan yang lainnya. 

Sebagai energi penggerak utama pada bidang pendidikan dengan jumlah paling akbar, yang dibutuhkan dapat memajukan dunia pendidikan, pengajar mempunyai tugas-tugas kependidikan yang amat berat, walaupun mereka sering mendapatkan perlakuan yang kurang adil. Banyak guru yg terpaksa ditempatkan pada loka (tempat kerja) yg berdeak-friksi serta bekerja dengan alat-alat yang pas-pasan. Mereka jua memperoleh penghasilan yang pas-pasan juga, pada hal berdasarkan sini mereka dibutuhkan bisa melaksanakan tugas pendidikan dengan baik. Belum lagi dengan tugas-tugas tambahan non mengajar, seperti aktivitas ko-kurikuler yang menyita poly ketika guru, tetapi tanpa imbalan yg memadai. 

Tugas-tugas pengajar tadi akan semakin terasa lebih berat dan kompleks jika dihadapkan menggunakan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun menggunakan dukunan fasilitas yg minim dan dengan iklim kerja yg belum menyenangkan. 

Dengan luapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perkembangan yg dialami warga , maka hal itu membawa konsekuensi serta persyaratan yg semakin berat dan semakin kompleks bagi pelaksana dalam sektor pendidikan pada biasanya serta pengajar dalam khususnya. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tadi membawa tuntutan baru bagi rakyat; sedangkan warga sendiri telah terbiasa membuahkan sekolah menjadi pintu gerbang pada mengejar perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi tadi. Oleh karena itu wajarlah jika tuntutan terhadap sekolah dan peranan guru juga meningkat. Atau dengan perkataan lain, warga semakin membutuhkan sekolah yang baik menggunakan pengajar-gurunya yang baik atau yg profesional. Masalahnya sekarang adalah bagaimanakah guru yg baik atau profesional itu ? Sebab selama ini dengan ketiadaan kreteria yang jelas mengenai pengajar yg baik/profesional tadi dapat mengakibatkan bermacam-macam penafsiran tentang hal tadi. Untuk memperjelas hal tersebut ini dia akan diuraikan engenai guru yang profesional tersebut.

A. Hakekat Pengajar Sebagai Profesi
Seperti dikemukakan di atas, bahwa pengertian pengajar yang baik atau yg profesional bisa menimbulkan poly penafsiran. Di antara penafsiran tadi diantaranya ada yg menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yg lebih ketat, terdapat yg menghendaki pengawasan yang lebih efektif serta efisien, terdapat yang menghendaki adanya sistem penyiapan/pendidikan yang baik, ada yang menghendaki perlunya komitmen dan semangat kerja yang tinggi, serta terdapat jua yang mengutamakan perlunya kelengkapan wahana serta prasarana yg lebih memungkinan para pengajar menerapkan pengetahuan dan keterampilan yg mereka telah miliki sebelumnya. 

Untuk situasi serta kondisi tertentu, semua hal di atas mungkin sama-sama diperlukan. Lepas dari fenomena, bahwa perkara disiplin kerja bukan sekedar kasus ketaatan akan peraturan yg secara ketat, tetapi mempunyai arti yang jauh lebih luas serta dalam menurut itu. Dengan disiplin yg ketat cenderung buat membuahkan insan itu bertingkah laris secara rutin dan berrsifat mekanis, dalam hal pekerjaan mengajar serta pendidikan lainnya yg harus dilakukan guru serta energi kependidikan memerlukan sifat-sifat kreatif, dinamis dan inovatif. Demikian pula menggunakan pengadaan banyak sekali donasi pada rangka peningkatan kualitas lingkungan kerja yg serasi, menyenangkan dan nyaman, misalnya pengadaan alat-alat laboratorium, bahan-bahan pengajaran serta fasilitas lain yang dibutuhkan. Pada akhirnya bisa jua dikemukakan, bahwa menggunakan gedung yang glamor dan penuh peralatan pendidikan yang sophisticated, namun dihuni oleh pengajar-guru tanpa apresiasi, kreativitas, dinamika, motivasi, semangat, pengabdian dan kompetensi profesional, belumlah adalah agunan buat berhasilnya pendidikan, serta bahkan mungkin sekali akan berakhir dengan frustrasi serta kekecewaan.

Selanjutnya, hakekat pengajar sebagai suatu profesi mempunyai beberapa peran yang melekat dalam profesinya tesebut. Hakekat guru sebagaimana dimaksudkan itu sebagaimana dikemukakan oleh Ditjen Dikti (2006) menjadi berikut: (1) pengajar merupakan pendidik, (2) pengajar berperan menjadi pemimpin serta pendukung nilai-nilai yang dianut sang rakyat, (3) pengajar berperan sebagai fasilitatyor belajar bagi peserta didik, (4) guru turut bertanggungjawab atas tercapainya output belajar siswa, (5) guru sebagai teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sinkron dengan agama yg diberikan kepadanya, (6) guru bertanggung jawab secara profesional buat terus menerus menaikkan kemampuannya, serta (7) pengajar merupakan agen pembaharuan. 

Berdasarkan dalam uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa pada mencari jawaban apa serta siapa pengajar yang baik, profesional memerlukan suatu tinjauan yg luas dan melingkupi banyak sekali segi. Sesudah itu barulah disimpulkan profil pengajar yang bagaimana yg dikehendaki. Jawabnya merupakan, bahwa pengajar yang baik, profesional adalah guru yang sanggup menampilkan diri secara utuh sebagai pendidik. Untuk menjadi guru yg baik, bukanlah sekedar dia mau atau sekedar mengetahui sesuatu, akan namun beliau harus dapat menampilkan diri secara utuh sebagai pendidik. Ian harus mempunyai kompetensi eksklusif yang berkaitan menggunakan tugas profesionalnya. Kompetensi tersebut mencakup: kompetensi pedagogik, personal/ kepribadian, profesional, serta sosial (UU No. 14/2005). Keempat kompetensi sebagaimana dimaksudkan oleh UU no. 14/2005 tadi dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Kompetensi Pedagogik
Seorang pengajar adalah sekaligus menjadi pendidik. Oleh karena itu guru yg profesional harus mempunyai bekal ilmu pengetahuan yang memadai dalam hal paedagogik atau ilmu pendidikan. Pada penerangan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yg dimaksud menggunakan kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran siswa yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan serta aplikasi pembelajaran, evaluasi output belajar, serta pengembangan peserta didik buat mengaktualisasikan banyak sekali potensi yg dimilikinya. 

Dengan memiliki kompetensi paedagogik tersebut dibutuhkan pengajar akan dapat merancang dan melaksanakan segala kegiatan mengajarnya menurut dimensi pendidikan. Kompetensi ini lebih menekan-kan pada pembentukan insan sempurna. Proses belajar-mengajar nir hanya dilihat berdasarkan bertambahnya ilmu dalam diri anak saja, tetapi bagi pengajar yang tahu ilmu pendidikan, melalui proses belajar-mengajar yg dilakukan juga wajib mengandung aspek pendidikan. Di sini aspek-aspek moral dan akhlak yang mulia perlu dilekatkan dalam bidang studi atau matapelajaran yg diajarkan. Dengan demikian murid bukan saja pintar pada bidang studi, akan tetapi pula memiliki tanggung jawab moral yg melekat dalam bidang studi yg dipelajari. Misalnya, saat mengajarkan metematika, guru nir hanya mengajar materi matematikanya saja, melainkan juga mendidik agar setelah pandai matematika nir digunakan buat hal-hal yang negatif, seperti menipu atau manipulasi penghitngan yg dipercayakan kepadanya. Demikian jua dalam pelajaran-pelajaran lainnya, bila gurunya sudah profesional serta tahu kasus pendidikan, maka diperlukan siswa akan bisa sebagai anak-anak yang pada samping pintar pada matapelajaran, jua bermoral yg baik. Masalah inilah yg selama ini kurang mendapatkan perhatian dalam proses belajar mengajar pada sekolah-sekolah kita ketika ini.

b. Kompetensi Kepribadian (Personal) 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yg dimaksud menggunakan kompetensi kepribadian merupakan kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, sebagai teladan bagi peserta didik, serta berakhlak mulia. Memiliki kompetensi personal, artinya mempunyai perilaku kepribadian yg mantap, amanah, adil serta penuh dedikasi, sebagai akibatnya bisa menjadi asal teladan bagi subyek didik. Jelasnya dia mempunyai kepribadian yg patut diteladani, sehingga sanggup melaksanakan kepemimpinan yang baik pada kegiatan belajar-mengajar, seperti kepemimpinan yg dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara, yaitu : Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Orang yg memiliki kompetensi kepribadian yang baik akan bisa tahan menghadapi banyak sekali gangguan dalam menjalankan tugasnya. Di samping itu, otrang yg memiliki kompetensi kepribadian yang baik akan selalu dapat menerapkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) menggunakan baik dalam pembinaan siswanya.

c. Kompetensi Profesional 
Pada bagian penjelasan PP No. 19/2005 ditegaskan, bahwa yg dimaksud dengan kompetensi profesional merupakan kemampuan dominasi materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing siswa memenuhi standar kompetensi yg ditetapkan pada Standar Nasional Pendidikan. Memiliki kompetensi profesional arinya beliau memiliki pengetahuan yg luas, baik dalam kaitan dengan bidang studi/mata pelajaran yg akan diajarkan bersama penunjangnya, metodologi pengajarannnya, bisa mengevaluasi dan mengembangkan materi menggunakan baik. 

Secara rinci kemampuan tersebut dirumuskan ke dalam 10 kompetensi jabatan guru, yaitu mencakup : (1) menguasai bahan/bidang studi, (dua) mengelola program belajar-mengajar, (3) mengelola kelas, (4) menggunakan media dan asal belajar, (5) menguasai landasan kependidikan, (6) mengelola hubungan belajar-mengajar, (7) menilai prestas anak didik buat kepentingan pedagogi, (8) mengenal fungsi serta program Bimbingan Penyuluhan pada sekolah, (9) mengenal serta menyelenggarakan administrasi sekolah, (10) tahu prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. 

d. Kompetensi sosial 
Yang dimaksud dengan kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik menjadi bagian berdasarkan masyarakat buat berkomunikasi dan berteman secara efektif menggunakan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali siswa, dan masyarakat kurang lebih. Memiliki kompetensi sosiaol ialah ia menunjukkan kemampuan berkomunikasi sosial yang baik, mempunyai seni pergaulan (the social arts) yg baik, baik pergaulan menggunakan anak didik-muridnya, juga menggunakan sesama pengajar serta dengan ketua sekolah, bahkan menggunakan masyarakat luas. Di sini guru dituntut buat bisa menerapkan “multiple intellegence” secara sempurna. Dengan penerapan “multiple intellegence” secara tepat tersebut, maka pengajar akan bisa dengan mudah menyesuaikan menggunakan banyak sekali syarat masyarakat yang dilayaninya. 

Dengan mempunyai kompetensi sosial yg baik tadi, maka akan bisa mendukung terjadinya interaksi yang baik antara guru menggunakan “stakeholders”- nya. Dengan adanya hubungan yang baik antara pengajar dengan “stakeholders” nya tersebut, maka eksistensi profesi pengajar akan bisa diterima secara luas sang semua lapisan rakyat, utamanya stakeholders pendidikan. Jika ini terjadi maka pengakuan terhadap profesi guru akan lebih meluas. Hal inilah yang dapat menguatkan eksistensi profesi pengajar di pada masyarakat.

Apabila digambarkan, sosok utuh guru yang profesional tadi dapat ditinjau pada gambar angka sebagai berikut:

Gambar  Gambaran sosok utuh pengajar yang profesional

Dalam upaya aplikasi profesionalisasi jabatan guru, menurut UU No. 14/2005 Bab III, Pasal 7, ayat (1), ditegaskan, bahwa jabatan pengajar adalah pekerjaan khusus yg dilaksnakan dari pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Mempunyai bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; 
b. Memiliki komitmen buat menaikkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; 
c. Memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai menggunakan bidang tugas; 
d. Mempunyai kompetensi yang dibutuhkan sinkron dengan bidang tugas; 
e. Mempunyai tanggung jawab atas aplikasi tugas keprofesionalan; 
f. Memperoleh penghasilan yang dipengaruhi sesuai dengan prestasi kerja; 
g. Memiliki kesempatan buat mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan menggunakan belajar sepanjang hayat; 
h. Mempunyai agunan perlindungan aturan pada melaksanakan tugas keprofesionalan; serta 
i. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan menggunakan tugas keprofesionalan guru.

B. Kompetensi Tambahan Bagi Guru Yang memegang Jabatan Kepala Sekolah
Profesi kepala sekolah sebenarnya nir sanggup terlepas berdasarkan profesi guru, karena pada hakikatnya kepala sekolah merupakan pengajar yang diberi tugas tambahan sebagai ketua sekolah (Peraturan Menteri pendidikan nasional No. 13/2007). Lantaran merupakan pengajar yg diberi tugas tambahan sebagai ketua sekolah, maka profesi ini tidak mampu terlepas berdasarkan profesi pengajar. Oleh karenanya pemegang jabatan kepala sekolah juga wajib memiliki kompetensi yang dipersyaratkan kepada guru. Dengan demikian ketua sekolah jua terikat dengan semua peraturan yg berkaitan menggunakan guru, terutama UU No. 14/2005 ditambah menggunakan beberapa perangkat peraturan khusus tentang jabatan kepala sekolah. Semua persyaratan profesi pengajar, termasuk kewajiban mempunyai sertifikat sebagai guru yang professional juga inheren dalam jabatan kepala sekolah.

Dengan demikian kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang kepala sekolah menjadi pejabat professional dalam bidang kependidikan merupakan mencakup 4 kompetensi yg diwajibkan pada pengajar menurut UU No. 14 tahun 2005 mengenai pengajar dan dosen, yaitu mencakup: (1) kompetensi pedagogig, (dua) kompetensi kepribadian (personal), (3) kompetensi professional, serta (4) kompetensi sosial. Di samping keempat kompetensi di atas, bagi pengajar yang menerima tugas tambahan sebagai kepala sekolah masih diharuskan menguasai tiga macam kompetensi tambahan misalnya yg diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 13/2007. Ketiga kompetensi tadi merupakan meliputi: (1) kompetensi manajerial, (dua) kompetensi kewirausahaan, dan (3) kompetensi supervsi. 

Keempat kompetensi yang pertama (yaitu kompetensi menjadi pengajar professional) telah dibahas pada pembahasan guru menjadi jabatan professional pada bidang kependidikan. Sedangkan 3 kompetensi tamahan tadi akan diuraikan dalam bagian berikut.

1. Kompetensi Manajerial.
Yang dimaksudkan menggunakan kompetensi manajerial dalam konteks kompetensi kepala sekolah tersebut merupakan kompetensi yg berkaitan dengan merencanakan, melaksanakan, mengkordinasikan, memonitor atau mengawasi, serta menilai semua substansi acara aktivitas pada sekolah. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi manajerial kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci sebagai 16 macam kompetensi menjadi berikut:
  • Menyusun perencanaan sekolah/madrasah buat aneka macam tingkatan perencanaan; 
  • Mengembangkan organisasi sekolah/madrasah buat banyak sekali kebutuhan; 
  • Memimpin sekolah/madrasah pada rangka mendayagunakan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal’ 
  • Mengelola perubahan dan pengembangan madrasah/sekolah menuju organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Menciptakan budaya serta iklim sekolah/madrasah yg kondusif serta inovatif bagi pembelajaran peserta didik; 
  • Mengelola pengajar serta staf pada rangka pendayagunaan asal daya manusia secara optimal; 
  • Mengelola sarana dan prasarana sekolah/madrasah pada rangka pendayagunaan secara optimal; 
  • Mengelola interaksi sekolah/madrasah menggunakan masyarakat pada rangka pencapaian dukungan wangsit, asal belajar, serta pembiayaan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, serta penempatan dan pengembangan kapasitas siswa; 
  • Mengelola pengembangan kurikulum kegiatan pembelajaran sinkron dengan arah serta tujuan pendidikan nasional; 
  • Mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai menggunakan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan dan efisien; 
  • Mengelola ketata usahaan sekolah/madrasah dalam mendukung tujuan sekolah/madrasah; 
  • Mengelola unit layanan spesifik sekolah/madrasah pada mendukung aktivitas pembelajaran dan aktivitas siswa di sekolah/madrasah; 
  • Mengelola sistem liputan sekolah/madrasah pada mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan; 
  • Memanfaatkan kemajuan teknologi kabar bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah, serta 
  • Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan acara aktivitas sekolah/madrasah dengan mekanisme yg tepat, dan merencanakan tindak lanjutnya. 
2. Kompetensi Kewirausahaan.
Kompetensi kewirausahaan yang dimaksudkan di sini merupakan kompetensi dalam megusahakan serta memperjuangkan terciptanya kehidupan sekolah yg lebih baik, mau serta mampu bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah, mempunyai motivasi untuk sukses pada mengelola forum yg dipimpinnya, dan pantang menyerah pada setiap usaha peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.madrasah yang ia pimpin. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi kewirausahaan kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 5 macam kompetensi sebagai berikut:
  • Menciptakan penemuan yg bermanfaat bagi pengembangan sekolah/madrasah; 
  • Bekerja keras buat mencapai keberhasilan sekolah/madrasah sebagai organisasi pembelajar yang efektif; 
  • Memiliki motivasi yang kuat buat sukses pada melaksanakan utama serta kegunaannya menjadi pemimpin sekolah/madrasah; 
  • Pantang menyerah serta selalu mencari solusi terbaik dalam mengatasi hambatan yang dihadapi sekolah/madrasah; serta 
  • Memiliki naluri kewirausahaan pada mengelola kegiatan produksi/jasa sekolah/ madrasah sebagai asal belajar peserta didik. 
3. Kompetensi Supervisi
Yang dimaksudkan menjadi kompetensi supervisi di sini adalah kompetensi supervise akademik pada membina serta membuatkan guru supaya bisa mencapai peningkatan dalam kemampuan mengajar serta pada rangka menaikkan profesionalisme pengajar. Dengan demikian kineja guru pada pembelajaran dibutuhkan akan selalu semakin tinggi. Dengan meningkatnya kineja pembelajaran guru tadi diharapkan akan dapat dicapai kemajuan pendidikan pada sekolah secara kontinyu. Dalam Peraturan Menteri pendidikan Nasional No. 13/2007, kompetensi pengawasan kepala sekolah ini dijabarkan secara rinci menjadi 3 macam kompetensi sebagai berikut:
  • Merencanakan acara pengawasan akademik pada rangka peningkatan profesionalisme pengajar; 
  • melaksanakan supervisi akademik terhadap pengajar menggunakan memakai pendekatan dan teknik supervise yang sempurna; serta 
  • menindak hasil supervisi akademik terhadap pengajar pada rangka peningkatan profesionalisme guru. 
Dengan berbekal 7 macam kompetensi tersebut diharapkan ketua sekolah/madrasah akan dapat sukses pada menjalankan tugas dan kegunaannya sebagai kepala sekolah, yaitu sebagai pengelola dan Pembina serta pengembang seluruh kegiatan pendidikan di sekolah. Dalam pelaksanaan pada lapangan, nir seluruh kepala sekolah sanggup menguasai 7 macam kompetensi tadi secara baik. Untuk itulah dibutuhkan penilaian, pelatihan serta pengembangan menurut pengawas sekolah. Dengan demikian pengawas sekolah juga harus menguasai kompetensi tadi secara baik supaya dapat melakukan tugas serta fungsinya secara baik. 

C. Hak serta Kewajiban Profesional Guru
Apabila guru telah memiliki keempat komponen kompetensi sebagaimana diuraikan di atas, maka dia akan bisa memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat pemakainya (siswa, masyarakat, serta stakeholders lainnya). Pelayanan yg diperlukan menurut seseorang tenaga profesional merupakan pelayanan yang mengutamakan nilai-nilai humanisme dari dalam benda-benda material. Jika seorang guru telah mempunyai kompetensi tersebut di atas, maka berdasarkan Winarno Surachmat (1973) pengajar tadi telah memiliki hak profesional karena dia telah menggunakan konkret :
1) Mendapat pengakuan serta perlakuan hukum terhadap batas kewenangan keguruan yang menjadi tanggung jawabnya.
2) Memiliki kebebasan buat mengambil langkah-langkah interaksi edukatif dalam batas tanggung jawabnya serta ikut serta dalam proses pengembangan pendidikan setempat. 
3) Menikmati kepemimpinan teknis serta dukungan pengelolaan yang efektif dan efisien dalam rangka menjalankan tugas sehari-hari. 
4) Menerima perlindungan dan penghargaan yang masuk akal terhadap bisnis-bisnis dan prestasi yg inovatif dalam bidang pengabdiannya. 
5) Menghayati kebebasan menyebarkan kompetensi profesionalnya secara individual, juga secara institusional.

Hak-hak profesional seseorang guru yg dimaksudkan sang Winarno Surachmat di atas, hingga waktu ini memang belum dapat diaktualisasikan. Gagasan untuk memberikan hak-hak tadi memang sudah ada. Bahkan pada Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 mengenai Guru dan Dosen, ditegaskan, bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, pengajar memiliki 11 macam hak profesional. Hak-hak tersebebut meliputi menjadi berikut:
a. Memperoleh penghasilan pada atas kebutuhan hidup minimum dan agunan kesejahteraan sosial. Penghasilan di atas kebutuhan hayati minimum tadi mencakup: 
(1) gaji utama. Pengajar yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah wilayah diberi gaji sinkron dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengajar yg diangkat oleh satuan pendidikan yg diselenggarakan oleh rakyat diberi gaji dari perjanjian kerja atau kesepakatan kerja beserta.
(2) tunjangan yang inheren pada honor , 
(tiga) tunjangan profesi. Tunjangan profesi sebagaimana dimaksudkan tersebut diberikan setara menggunakan 1 (satu) kali honor utama pengajar;
(4) tunjangan fungsional, 
(5) tunjangan spesifik. Tunjangan ini diberikan pada guru yg bertugas di wilayah spesifik. Tunjangan khusus sebagaimana dimaksud diberikan setara menggunakan 1 (satu) kali honor pokok guru; dan 
(6) maslahat tambahan yg terkait dengan tugasnya menjadi guru yg ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Maslahat tambahan ini menurut pasal 19 dapat berupa: tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, premi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, dan kemudahan buat memperoleh pendidikan bagi putra serta putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain.

b. Mendapatkan kenaikan pangkat dan penghargaan sesuai dengan tugas serta prestasi kerja;
c. Memperoleh proteksi dalam melaksanakan tugas serta hak atas kekayaan intelektual;
d. Memperoleh kesempatan buat menaikkan kompetensi;
e. Memperoleh serta memanfaatkan sarana serta prasarana pembelajaran buat menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. Mempunyai kebebasan dalam menaruh penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, serta/atau sanksi pada siswa sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, serta peraturan perundang-undangan;
g. Memperoleh rasa kondusif dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. Mempunyai kebebasan buat berserikat dalam organisasi profesi;
i. Memiliki kesempatan buat berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. Memperoleh kesempatan buat berbagi dan mempertinggi kualifikasi akademik serta kompetensi; serta/atau
k. Memperoleh pelatihan serta pengembangan profesi dalam bidangnya.

Di samping hak-hak istimewa guru tadi, dalam UU No. 14/2005 pengajar pula diikat dengan berbagai kewajiban profesional. Kewajban tadi dituangkan pada Bab IV Pasal 20. Kewajiban profesional tadi meliputi sebagai berikut:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yg bermutu, dan menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; 
b. Menaikkan serta mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta seni;
c. Bertindak objektif serta nir diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, kepercayaan , suku, ras, dan syarat fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, serta status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; 
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, dan nilai-nilai kepercayaan serta etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

Apabila dipandang hak dan kewajiban guru sebagaimana diuraikan tadi, maka jabatan guru sebenarnya adalah jabatan yang sangat prospektif, cukup menjanjikan kesejahteraan bagi pemegangnya. Sayangnya, hak-hak yg terdapat tersebut masih belum bisa direalisasikan sepenuhnya, karena untuk merealisasikan hak-hak istimewa guru tersebut masih diperlukan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai acuan operasionalnya. Paling nir UU No. 14 tersebut masih membutuhkan 8 buah Peraturan pemerintah (PP) buat dapat diarealisaikan. Kita belum dapat mengetahui secara pasti, kapan Peraturan Pemerintah (PP) yg diperlukan buat merealisasikan UU No. 14 tersebut bisa diwujudkan. Hingga ketika ini satu PP pun yang diperlukan buat itu belum diterbitkan. Rasa psimispun timbul, sebab 38 Peraturan Pemerintah (PP) yg diperlukan menjadi perangkat pelaksanaan UU No. 20/2003 yang lebih dulu saja sampai saat ini baru diterbitkan satu PP. Lalu kapan giliran penerbitan PP yg berkaitan menggunakan UU No. 14/2005. Semoga UU No. 14/2005 ini nir menaruh harapan yg hampa bagi guru.

Walaupun secara ideal hak-hak profesional seseorang pengajar sudah dirumuskan seperti diuraikan di atas, tetapi dalam kenyataan, kondisi-kondisi guru pada Indoinesia saat ini masih jauh berbeda menggunakan harapan tersebut. Hak-hak profesional guru ketika ini masih rendah. Dengan perkataan lain kondisi obyektif guru ketika ini masih belum layak diklaim menjadi jabatan profesional, karena dilihat dari penghasilannya, homogen-homogen guru masih menerima penghasilan yg rendah, belum memenuhi standart hayati layak menjadi suatu profesi. Apa lagi bila penghasilan tadi masih harus dipotong buat biaya pengembangan profesi, misalnya membeli buku-kitab , mengikuti pendidikan, penataran membeli majalah profesi menggunakan porto mandiri, tentu penghasilan tersebut akan sangat tidak mencukupi. Belum lagi bila dipandang menurut kebebasan penemuan serta kreativitas pengajar. Banyaknya peraturan yang bersifat teknis tentang aplikasi kegiatan belajar-mengajar di sekolah bisa Mengganggu kreativitas serta sifat inovatif guru, karena guru secara kaku wajib mengikuti peraturan serta ketentuan yg sudah ada. 

Berdasarkan uraian pada atas dapat dikemukakan, bahwa eksistensi profesi pengajar pada Indonesia belum dapat dikatakan sepenuhnya profesional; melainkan baru pada tingkat embriyonal. Artinya profesi guru di Indonesia saat ini masih baru dalam taraf pertumbuhan, dan berada para taraf peralihan menurut rutinitas ke profesional. Walaupun demikian indikasi-indikasi ke arah profesional sudah nampak secara konkret, misalnya upaya-upaya yang telah dilakukan sebagai berikut: 
1) adanya upaya mempertinggi taraf pendidikan para pengajar yang sudah berdinas, semula untuk pengajar SD minmal D2, buat SLTP minimal D3. Dan untuk SMU/Sekolah Menengah Kejuruan harus S1. Saat ini berdasarkan PP No. 19/2005 dan UU No. 14/2005, seluruh pengajar mulai berdasarkan TK hingga SLTA wajib memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau D4 sinkron menggunakan bidang studi yg diajar. Semua itu dimaksudkan agar para pengajar selalu bisa mengikuti perkembangan keilmuan, terutama yang berkaitan menggunakan bidang profesinya, sehingga selalu dapat menaruh pelayanan sinkron dengan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.

2) Di samping itu juga adanya perubahan pengakuan kedudukan jabatan pengajar menurut pegawai biasa sebagai fungsional, yang ditandai dengan adanya perubahan sistem promosi berdasarkan regule ke promosi pilihan dan keharusan buat mengumpulkan nomor kredit eksklusif untuk menduduki jenjang jabatan pengajar tertentu menurut SK Menpan No. 26/1989. Pengakuan keprofesional jabatan pengajar tadi kemudian diperkuat dengan UU 20/2003, PP. No 19/2005 serta lalu UU No. 14/2005 mengenai pengajar dan dosen.

3) Diberikannya tunjangan fungsional sejak tahun 1985, walaupun jumlahnya masih sangat kecil. Seiring dengan mulai diakuinya jabatan guru sebagai jabatan fungsional, maka guru mulai diberikan tunjangan fungsional yg besarnya menurut golongan pangkatnya. Pada awalnya tunbjangan fungsional guru diberikan menurut jenjang sekolah yg diajar, kemudian anugerah tunjangan tersebut berdasarkan pada golongan pangkatnya tanpa memperhatikan di mana dia mengajar. Hal itu merupakan bukti kongkrit adanya pengakuan jabatan guru sebagai jabatan profesional, meski belum optimal. Akan namun dengan adanya UU No. 14/2005 tentu penghargaan pengajar sebagai jabatan profesional akan lebih akbar lagi.

Upaya-upaya itulah yg kita anggap menjadi indikator positif untuk menuju profesionalisasi jabatan guru secara penuh pada Indonesia. Tentu saja masih poly faktor penentu jabatan profesional yang wajib dipenuhi buat menunju dalam era jabatan profesinal pengajar secara penuh.

D. Faktor Penetu Profesi Guru
Meskipun ketika ini telah ada Undang-undang mengenai Pengajar serta dosen, yaitu UU No. 14/2005, namun eksistensi profesi guru di Indonesia hingga waktu ini masih berada dalam tingkat embriyonal, andaipun demikian indikasi-tanda ke arah profesional yang sebenarnya sudah nampak. Penerapan Undang Undang No. 14 tersebut masih membutuhkan saat yang panjang, lantaran keterbatasan-keterbatasan yg dimiliki sang pemerintah, terutama berdasarkan segi keuangan negara. Penerapan undang-undang tersebut membutuhkan porto yang relatif mahal. 

Dari aneka macam kajian bisa dikemukakan, bahwa keberadaan profesi pengajar, dalam arti bertenaga-tidanya posisinya ditentukan sang beberapa faktor. Faktor-faktor tadi anta lain merupakan sebagai beriku: (1) akuntabilitas rata-rata LPTK rendah, (2) pendidikan pada jabatan (inservice pelatihan) kurang baik, (3) organisasi profesi lemah, (4) kode etik profesi longgar, (lima) penghargaan terhadap jabatan pengajar selama ini kurang baik, serta (lima) kurang adanya perlindungan jabatan. Kelima faktor tersebut dibahas lebih rinci dalam bagian berikut ini.

1. Akuntabilitas LPTK Rata-Rata Rendah. 
Akuntabilitas acara LPTK sebagai penghasil energi kependidikan hingga saat ini homogen-rata umumnya masih rendah. Hal itu dapat dimaklumi, sebab dilihat menurut acara/kurikulum, energi guru, wahana serta prasarana pendidikan, pembiayaan serta input atau masukannya masih kurang memenuhi standart. Hal yang demikian ini dapat berpengaruh terhadap mutu lulusan yang didapatkan. Lantaran mutu lulusa yg didapatkan rendah, maka keterpercayaan terhadap lembaga ini huga rendah. Dampak lebih lanjut berdasarkan hal ini adalah adanya penghargaan yang rendah dalam para lulusan. Kondisi yang demikian ini semakin diperparah dengan kontrol yg kurang ketat terhadap keberadaan LPTK-LPTK yang kurang memenuhi persyaratan serta penyelenggrraraan pendidikannya yg carut-marut pada beberapa LPTK pinggiran, maka hal itu semakin menaruh image, bahwa penyelenggara pendidikan guru kurang profesional.

Akuntabilitas kurikulum sebagian akbar LPTK relatif rendah. LPTK kurang akomodatif pada penyusunan dan pengembangan kurikulumnya. Umumnya LPTK menyusun serta membuatkan kurikulum sendiri, tanpa melibatkan kebutuhan ataupun tuntutan kebutuhan stake-holder lainnya sehingga tidak bisa mengakomodasikan kebutuhan riil profesi di lapangan. Mestinya penyusunan dan pengembangan kurikulum LPTK perlu melibatkan gerombolan -grup profesi, pengamat dan pengguna lulusan LPTK sehingga kurikulumnya dapat relevan menggunakan kebutuhan riil pada lapangan.

Demikian pula mengenai tenaga pengajar LPTK. Umumnya energi pengajar pada LPTK, terutama pada beberapa LPTK swasta kurang memenuhi persyaratan professional juga akademis tertentu. Banyak dosen LPTK yg sembarangan, baik menurut segi kesesuaian atau relevansi matakuliah yang diampu dengan bidang keahliannya dosen pengampunya, maupun dari segi jenjang pendidikan yg kurang memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan pada Undang-Undang No. 14 tahun 2005 dan PP No. 19 tahun 2005. Hal demikian itu menyebabkan kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh para energi dosen tadi kurang. Dampak lebih lanjut, hal itu dapat mengurangi keterpercayaan pada lulusan LPTK yg didapatkan. Bahkan efek yang lebih parah adalah adanya generalisasi terhadap semua lulusan LPTK, karena para lulusan tadi sulit didentifikasi beral berdasarkan LPTK mana.

Manajemen dan faktor kepemimpinan forum pula turut menjadi galat satu penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Banyak LPTK yang dimanaj sembarangan, baik yg berkaitan dengan manajemen pembelajaran atau akademik, wahana serta prasarana, kemahasiswaan, maupun substansi bidang manajemen lainnya kurang berjalan menggunakan baik. Dari sisi manajemen akademik misalnya, banyak LPTK yang menyelenggarakan perkuliahan sembarangan serta kurang menunjukkan proses pembelajaran yang baik. Ada LPTK yg menyelenggarakan kelas jauh dan diselenggarakan pada tempat yg kurang memenuhi persyaratan (seperti di gedung SD), demikian juga perkuliahan dilaksanakan secara borongan setiap seminggu sekali, bahkan ada yang sebulan sekali serta tidak menuntut kehadiran mahasiswanya secara optimal. Hal ini tentu saja akan membuat lulusan yg kurang berkualitas. Lebih-lebih perkuliahan diselenggarakan dengan dosen dan wahana prasarana seadanya, maka hal itu akan lebih memperburuk kualitas lulusan LPTK dan selanjutnya bila lulusan LPTK tadi diangkat sebagai pengajar, maka hal tadi akan bisa memperpuruk citra pengajar sebagai energi profesional dalam bidang pendidikan. 

Banyak temuan perkara dalam pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), pelatihan pengajar-guru yang nir lulus tunjangan profesi profesi pengajar melalui jalur portofolio pada rayon 16 (Universitas Jember) yg menerangkan, bahwa guru nir memenuhi kreteria profesional, khususnya dalam penguasaan bidang studi yg wajib diajarkan. Banyak pengajar yang mengikuti sertifikasi dalam bidang pendidikan bahasa Inggris, tetapi waktu praktik mengajar (peer teaching), mereka nir mampu dan bahkan nir berani mengajar Bahasa Inggris ataupun banyak salah konsep pada melakukan pembelajaran. Demikian pula dalam kasus pengajar matematika, poly guru peserta PLPG tersebut ternyata jua membuat kesalahan konsep yg sangat fundamental dalam melaksanakan pembelajaran pada peer teaching, pada hal mereka sudah sebagai pengajar relatif usang. Inilah diantaranya merupakan salah satu pengaruh menurut proses pendidikan calon guru yg dilaksanakan menggunakan kurang baik dan sembarangan. Semua itu jika nir segera diatasi akan bisa semakin memperpuruk citra profesi pengajar.

Di samping itu, faktor kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan serta rendahnya pembiayaan pendidikan pula merupakan galat satu kendala pada meningktkan kualitas proses dan output pembelajaran dalam sebagian akbar LPTK. Sebagian besar LPTK memiliki kelengkapan wahana dan prasarana pendidikan yang relatif memprihatinkan. Bahkan beberapa komponen sarana yang vital sekalipun tidak dimiliki, misalnya laboratorium bahasa, laboratorium IPA, laboratorium microteaching, dan peralatan pembelajaran lainnya. Hal demikian itu menyebabkan kurang optimalnya proses pembelajaran yang berlangsung. Belajar nahasa, contohnya tidak dapat mempraktikkan pada laboratorium sebagai akibatnya tingkat akurasinya kurang. Demikian jua dalam belajar ekamatra juga tidak bisa dilakukan dengan percobaan-percobaan laboratorium. Belajar fisika hanya dilakukan menggunakan ceramah serta diskusi, sehingga hingga terlontar insinuasi, apakah ini sedang belajar ekamatra ataukah “sastra ekamatra”? Sindiran itu ada lantaran pembelajaran fisika yang seharusnya poly dipraktikkan ternyata hanya dilakukan dengan cerita belaka, bagaikan pembelajaran sastra. Demikian juga berdasarkan segi biaya pendidikan, biasanya LPTK merupakan perguruan tinggi yang miskin, sebagai akibatnya pembiayaan proses pembelajaran yg berlangsung juga sangat minim. Padahal pembelajaran yang berkualitas sanga memerlukan pembiayaan yg cukup mahal, baik buat kesejahteraan dosennya, juga buat porto-porto operasional pembelajaran yang lainnya. Dampak berdasarkan hal itu akan mengakibatkan kurang berkualitasnya lulusan yg didapatkan LPTK, dan imbas lebih lanjut hal itu merupakan bisa mengurangi akuntabilitas LPTK yang ada.

Rendahnya input LPTK pula menjadi keliru satu faktor penyebab rendahnya akuntabilitas LPTK. Secara sistemik kesemua komponen pembelajaran di LPTK memang sangat berpengaruh, termasuk berpengaruh pada masukan atau input LPTK tadi. Sebagai suatu misal, lantaran eksistensi jabatan pengajar masih belum menarik, maka hal itu bisa berdampak dalam perolehan input yg kurang berkualitas pula. Para anak didik SLTA yg potensial biasanya tidak tertarik buat memasuki forum pendidikan guru, dan mereka lebih cenderung untuk menentukan profesi-profesi yang keren dan bergengsi, misalnya dokter, teknologi, farmasi, komputer dan lain sebagainya karena profesi tersebut lebih menjanjikan nasib mereka pada masa yang akan tiba. Dengan tidak bisa direkrutnya input yg berkualitas, maka hal itu akan berdampak dalam kurang berkualitasnya lulusan LPTK, serta impak lebih lanjut hal itu merupakan bisa mengurangi akuntabilitas LPTK itu senndiri.

2. Pendidikan Dalam Jabatan (inservice training) Kurang Baik 
Pembinaan guru melalui penataran selama ini dirasa kurang intensif, kurang mengena target, sehingga dapat menghipnotis mutu guru. Penataran ternyata nir dapat mempertinggi profesional-itas pengajar. Penataran hanya dapat menambah pengetahuan pengajar serta belum terdapat bukti mampu membarui prilaku dan perilaku profesionalisme pengajar. Bahka hasil penelitian memberitahuakn, bahwa para pengajar yang ditatar dan yg tidak ditatar menunjukkan perilaku yg sama pada hal penerapan CBSA sebagai pembaharuan pendidikan (Sulthon, 1997). Banyak kegiatan penataran yg dilakukan dengan sia-sia, karena tidak diawali dengan identifikasi kebutuhan riil pada lapangan. Penataran umumnya dilakukan menggunakan pendekatan “top-down”, sebagai akibatnya materi penataran kurang menyentuh kebutuhan riil pada lapangan. Dampaknya pengajar yg ditatar kurang berminat terhadap materi penataran yang disampaikan. 

Di samping itu, permasalahan lain menurut lemahnya penyelenggaraan penataran tersebut adalah berkaitan dengan energi penatar atau pembinaan. Kebanyakan tenaga penatar atau pelatih yg ditugasi buat melatih kurang menguasai materi dengan baik. Demikian pula bila dipandang berdasarkan proses penyelenggraan penataran jua kurang sempurna. Selama ini penataran guru sering nir berdasarkan atas kebutuhan riil para guru. Kebanyakan penataran dilaksanakan aas cita-cita pengambil kebijakan, serta bukan didasarkan atas kebutuhan pengajar pada lapangan, sebagai akibatnya output penataran juga kurang optimal.

Semestinya penataran diselenggarakan berdasarkan output pemetaan kebutuhan pengajar di lapangan. Sebelum penataran perlu dilakukan identifikasi kebutuhan pengajar. Pemetaan kebutuhan pengajar pula dapat dilakukan dari hasil ujian nasional (UNAS/UN). Dari output UN tersebut bisa dipetakan kebutuhan guru di lapangan. Jika hasil UN di wilayah tertentu menampakan, bahwa sebagian besar siswa pada daerah tertentu nilai matematikanya buruk, maka guru matematika memerlukan penataran matematika, apabila bahasa Inggris rata-rata buruk, maka guru bahasa Inggris perlu mendapatkan penataran, serta sebagainya. Dengan demikian program penataran pengajar akan menjadi lebih fungsional serta mengena pada sasaran yang dibutuhkan. 

3. Organisasi Profesi Guru Lemah
Keberadaan organisasi profesi pengajar yang ada sampai saat ini masih rendah. Organisasi tadi masih seringkali terpancing dalam kegiatan-aktivitas non-profesional, seperti politk serta kepentingan eksklusif yang nir terdapat kaitannya dengan kepentingan profesional. Dengan demikian fungsi organisasi sebagai indera buat pengembangan dan usaha gerombolan profesi kurang optimal. 

Untuk mengatasi hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi organisasi profesi pengajar. Organisasi profesi pengajar hasus diorientasikan dalam pengembangan profesionalitas guru dengan cara acapkali melakukan identifikasi kebutuhan dan perseteruan profesional, dan menindaklanjuti menggunakan training pada anggotanya. Organisasi ini pula harus dapat mengendalikan keanggotaannya secara ketat, artinya hanya mereka yg memenuhi persyaratan sebagai guru saja yg dapat diterima menjadi anggota serta berpraktik menjadi guru, meskipun mengajar di swasta. Organisasi ini pula wajib memegang kendali profesi, dalam pengertian bahwa organisasi ini jua harus berperan pada memberikan rekomendasi kelayakan bagi setiap orang yang akan berpraktik sebagai pengajar. Apabila organisasi ini belum menaruh rekomendasi, maka siapapun, termasuk pemerintah tidak boleh memberikan ijin atau mengangkatnya menjadi guru. Untuk melaksanakan tugas ini, perlengkapan organisasi wajib dibenahi secara baik.

Di samping itu, organisasi ini jua harus dapat membentuk solidaritas profesi yang tinggi di antara anggotanya. Sesama anggota organisasi profesi wajib ditumbuhkan rasa kebersamaan, rasa saling membutuhkan, rasa saling mengisi, dan rasa saling memilki yg tinggi. Solidaritas yg tinggi ini terutama dibutuhkan untukm peningkatan profesionalitas serta kesejahteraan para anggotanya. Apabila hal itu dapat diwujudkan, maka nilai bargaining organisasi ini jua akan tinggi. Organisasi ini akan diakui dan disegani siapa saja, baik sang rakyat, pemerintah, maupun gerombolan profesi lainnya. Dengan demikian, maka eksistensi profesi guru pada masa akan tiba akan dapat terangkat kredibiltasnya. 

4. Kode Etik Profesi Guru Longgar 
Kode etik menjadi landasan moral dan rambu-rambu tingkah laku bagi setiap anggota sangat menghipnotis kuat-tidaknya suatu profesi. Hingga ketika ini kode etik profesi guru kurang bisa berfungsi dengan baik. Kode etik tadi kurang ”membumi” dan terkesan sebagai pelengkap organisasi saja. Bahkan kebanyakan guru kurang mengenalnya dengan baik. Akibatnya, kode etik tadi kurang mewarnai perilaku guru pada menjalankan tugas sehari-hari. 

Permasalahan lain, pada negeri kita ini yang merasa terikat menggunakan berbagai peraturan hanyalah guru negeri, sedangkan pengajar partikelir tidak merasa terikat. Selama ini pengajar partikelir merasa terbebas berdasarkan segala peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, lantaran mereka tidak dibayar sang pemerintah. Pada hal jumlah guru partikelir relatif banyak, dan bahkan kemungkinan sanggup lebih poly berdasarkan dalam pengajar negeri. Demikian pula, apabila terjadi masalah pelanggaran pada keliru satu guru, meskipun itu pengajar swasta dampaknya relatif luas bagi profesi pengajar secara keseluruhan. Hal inilah yg perlu segera aicarikan penyelesaiannya. Kode etik guru wajib dikembangkan dan disosialisasikan secara terus menerus, baik pada guru negeri maupun partikelir, serta bahkan kepada calon pengajar. Apabila perlu kode etik guru harus masuk pada kurikulum pendidikan guru. Dengan demikian ”jiwa guru” yang melekat dalam kode etik guru tadi telah dapat dihafal serta dijiwai sang para calon guru sejak pada proses pendidikan guru. Jika ini dapat dicapai, maka di masa mendatang nir akan ada pengajar yang masih asing lagi terhadap kode etik jabatan pengajar. 

5. Penghargaan terhadap Jabatan Guru Kurang Baik
Nilai suatu jabatan keliru satu di antaranya merupakan dipengaruhi sang tinggi rendahnya penghargaan terhadap jabatan tersebut. Jika jabatan tersebut mendapat penghargaan yang tinggi (terutama penghargaan finansial atau gaji tinggi), maka jabatan tersebut bisa dipercaya bernilai tinggi sehingga dihargai dan diminati banyak orang. Sebaliknya bila berdasarkan jabatan tersebut nir dapat memberikan penghasilan yg tinggi, maka jabatan tersebut dianggap kurang bernilai tinggi sehingga kurang dihargai dan kurang diminati banyak orang.

Jabatan guru selama ini termasuk jabatan yang kurang mendapatkan penghargaan yang layak. Gaji serta penghasilan pengajar selama ini sangat rendah. Penghasilan yg diperoleh menurut jabatan pengajar selama ini kurang dapat menjamin kelayakan hidup famili, apa lagi buat pembiayaan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan famili. Bahkan poly di antara para guru terpaksa harus mencari tambahan penghasilan lain pada luar profesinya, misalnya sebagai ”tukang ojek” seusai mengajar atau bekerja di sektor pertukangan dan jasa lainnya. Semua itu jelas dapat menurunkan nilai jabatan guru.

Apabila hal-hal tadi tidak segera ditangani secara baik, maka sampai kapanpun jabatan pengajar nir akan memperoleh penghargaan yg baik. Dampak lebih jauh merupakan kurang tertariknya generasi belia buat sebagai guru. Jika hal itu terjadi, maka upaa untuk menerima pengajar-guru yg baik akan sulit diwujudkan, sebab dengan kurang menariknya jabatan pengajar tersebut, maka generasi belia yang baik serta potensial akan enggan menadi pengajar, ia akan menentukan profesi lain yg lebih menarik.

Untuk menaikkan keberadaa profesi pengajar tersebut kiranya perlu segera direalisasikan hak-hak pengajar yang tercantum pada UU No. 14 tahun 2005. Apabila hal itu te;lah dilaksanakan, maka pada masa yg akan tiba, profesi guru akan sebagai profesi yg cukup bergengsi. Dengan demikian profesi guru akan sebagai profesi yang diminati, termasuk generasi muda yg baik serta potensial.

6. Kurang Adanya Perlindungan Jabatan Guru
Selama ini profesi pengajar kurang menerima perlindungan secara aturan. Ringannya persyaratan sebagai pengajar, terutama di forum swasta dapat menurunkan eksistensi profesi ini. Profesi ini terkesan “murahan”, dan siapa saja boleh memangkunya. Kondisi yg demikian ini membuat eksistensi profesi guru menjadi lemah. Untuk menaikkan eksistensi profesi guru tersebut perlu adanya persyaratan yg ketat buat sebagai pengajar, baik dalam sekolah-sekolah negeri, juga partikelir. Siapa saja yang melakukan tugas sebagai pengajar harus memiliki sertifikat kelayakan menjadi guru yang memadai. 

Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidkan serta UU No. 14/2005 mengenai Guru dan Dosen, ditegaskan bahwa guru mulai TK hingga SLTA wajib memiliki ijazah minimal S1 atau D-IV. Hal itu mestinya wajib diterapkan secara ketat. Demikian juga supervisi serta sangsi terhadap pelanggarannya jua wajib dilakukan secara ketat jua. Seharusnya, siapa saja yang berpraktik menjadi guru tanpa mempunyai sertifikat kelayakan menjadi guru yg sah dan siapa saja yang memakai/memperkerjakan seorang menjadi pengajar tanpa disertai sertifikat menjadi guru yang sah dinyatakan bersalah serta dapat ditindak secara tegas. Dengan cara demikian itu diperlukan eksistensi profesi guru akan terlindungi.