PENGERTIAN PEMASARAN DAN MANAJEMEN PEMASARAN

Pengertian Pemasaran serta Manajemen Pemasaran 
Pengertian pemasaran dari pendapat beberapa ahli sudah mengemukakan definisi tentang pemasaran yang kelihatannya berbeda meskipun sebenarnya sama. Perbedaan ini disebabkan lantaran mereka meninjau pemasaran yang paling luas, ada beberapa pendapat tentang definisi pemasaran diantaranya dikemukakan oleh (William J. Stanton,1994) yaitu:
  • Pemasaran adalah sistem holistik menurut aktivitas usaha yg ditujukan buat merencanakan, memilih harga, mempromosikan, serta mendistribusikan barang dan jasa yang bisa memuaskan kebutuhan pada pembeli yg terdapat juga pembeli potensial (Basu Swasta, 2000). Dari definisi tersebut pada atas terlihat bahwa pemasaran meliputi usaha perusahaan yang dimulai diantaranya menggunakan mengidentifikasikan kebutuhan debitur yg perlu dipuaskan melalui pelayanan yg bermutu.
  • Selanjutnya Stanton beranggapan bahwa keberhasilan pelayanan dalam pemasaran menentukan keberhasilan perusahaan. Untuk itu kegiatan pemasaran harus dikoordinasikan dan dikelola dengan cara yang baik. Manajemen pemasaran menurut Philip Kotler didefinisikan sebagai berikut:Pengertian pemasaran dari pendapat beberapa ahli sudah mengemukakan definisi tentang pemasaran yang kelihatannya berbeda meskipun sebenarnya sama. Perbedaan ini disebabkan lantaran mereka meninjau pemasaran yang paling luas, ada beberapa pendapat tentang definisi pemasaran diantaranya dikemukakan oleh (William J. Stanton,1994) yaitu: Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Basu Swasta, 2000). 
Dari definisi tadi di atas terlihat bahwa pemasaran meliputi bisnis perusahaan yang dimulai antara lain dengan mengidentifikasikan kebutuhan debitur yg perlu dipuaskan melalui pelayanan yang bermutu. Selanjutnya Stanton beranggapan bahwa keberhasilan pelayanan dalam pemasaran memilih keberhasilan perusahaan. Untuk itu aktivitas pemasaran wajib dikoordinasikan dan dikelola dengan cara yang baik. Manajemen pemasaran dari Philip Kotler didefinisikan sebagai berikut: Manajemen pemasaran adalah analisis perencanaan, penerapan serta pengendalian terhadap acara yg dirancang buat membangun, membangun, serta mempertahankan pertukaran dan hubungan yang menguntungkan pasar target dengan maksud buat mencapai tujuan organisasi (James F, Angel , 1990). Dari definisi di atas, manajemen pemasaran dirumuskan sebagai suatu proses manajemen yg meliputi penganalisaan, perencanaan, pelaksanaan, dan supervisi terhadap aktivitas yg dilakukan oleh perusahaan dalam memenuhi kebutuhan serta asa pasar, dan mendorong proses pertukaran secara paripurna serta menguntungkan pihak-pihak yang terlibat.konsep Pemasaran Pemasaran adalah faktor krusial bagi keberhasilan suatu perusahaan, maka faktor pelayanan sebagai faktor penting yang tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, maka konsep pemasaran bisa didefinisikan sebagai berikut: Konsep pemasaran merupakan sebuah falsafah bisnis yg menyatakan bahwa pemuas kebutuhan debitur merupakan syarat ekonomis dan sosial bagi kelangsungan hayati perusahaan (Herry Assael, 1990). Berdasarkan definisi tersebut, dapat diambil makna bahwa semua kegiatan pada perusahaan wajib ditujukan kepada pemuas kebutuhan debitur, sebagai akibatnya dapat diperoleh laba maksimum pada jangka panjang, demi kelangsungan hidup perusahaan. Menurut Basu Swasta pada bukunya “Asas-asas marketing” disebutkan bahwa ada 3 faktor yg mendasari konsep pemasaran, yaitu: 
1.seluruh perencanaan dan aktivitas perusahaan harus berorientasi dalam debitur atau pasar. 
2.volume penjualan yang menguntungkan wajib menjadi tujuan perusahaan.
3.seluruh aktivitas perusahaan dalam pemasaran harus dikoordinasikan dan diintegrasikan secara organisasi.berdasarkan hal tersebut, maka konsep pemasaran ini memiliki interaksi yg erat dengan perkembangan manajemen pemasaran. Sejak terjadinya revolusi industri, manajemen pemasaran sudah mengalami beberapa tahap perkembangan, yaitu:

1.tahap Orientasi Produksi
Pada termin ini perusahaan mempunyai perkara utama bagaimana caranya untuk mempertinggi produksi, faktor layanan yang baik menggunakan harga yang layak supaya bisa diperoleh laba yg besar . Konsep yg dianut sang perusahaan yang berada pada termin ini adalah konsep produk, yang menyatakan bahwa produk yg dijual dengan harga yang layak, dan dibutuhkan sedikit bisnis pemasaran agar tercapai penjualan yg memuaskan.

2.tahap Orientasi Penjualan
Setelah masalah produksi teratasi jumlah produk menjadi berlimpah. Oleh karena pangsa pasarnya terbatas, maka muncul pertarungan bagaimana supaya bisa menjual produk-produk yg telah dihasilkan. Perusahaan yg berada pada tahap ini menganut sebuah konsep yaitu konsep penjualan, yang menyatakan bahwa debitur nir akan bersedia membeli suatu produk dalam jumlah yang cukup poly tanpa didorong menggunakan bisnis-usaha kenaikan pangkat yg kuat. Perusahaan yang mengaplikasikan konsep ini lebih mementingkan penjualan dari pada kepuasan debitur. Cara misalnya ini dalam hakekatnya justru merugikan perusahaan sendiri, sebab pembeli merasa tertipu dan kecewa sehingga nir akan mengulang pembeliannya. 

3.tahap Orientasi Pemasaran
Dengan adanya berbagai perubahan rakyat yg cepat, kemajuan teknologi yg semakin maju serta rasa jenuh debitur, maka orientasi penjualan nir bisa lagi menaruh pemecahan atau jawaban secara holistik terhadap usaha-usaha buat mencapai tujuan perusahaan. Untuk mencapai tujuan perusahaan wajib lebih mementingkan kebutuhan serta asa debitur. Perusahaan yang demikian ini menganut orientasi pemasaran, yang menyatakan bahwa kunci buat mencapai tujuan perusahaan terdiri berdasarkan penentuan kebutuhan serta harapan debitur serta anugerah kepuasaan yg diinginkan secara lebih efektif dan efisien berdasarkan yang dilakukan sang pesaing. Jadi konsep pemasaran adalah suatu orientasi dalam debitur yang didukung oleh pemasaran yg terpadu dan ditujukan untu mecapai kepuasan yang semakin meningkat menjadi kunci tercapainya tujuan perusahaan.

4.orientasi Manusia serta Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yg berupaya memberikan kepuasan kepada debitur dan kemakmuran rakyat pada jangka panjang menganut konsep pemasaran kemasyarakatan. Konsep ini menyatakan bahwa perusahaan harus membuat kepuasan debitur serta kesejahteraan warga pada jangka panjang menjadi kunci buat mencapai tujuan perusahaan yg poly herbi masalah penciptaan dan pencapaian faktor hidup yg lebih baik, maka konsep ini ditinjau menjadi konsep pemasaran yg baru.perkembangan masyarakat serta teknlogi sudah mengakibatkan perkembangan konsep pemasaran. Sekarang ini perusahaan dituntut buat bisa menanggapi cara-cara atau kebiasaan masyarakat. Perusahaan tidak hanya berorientasi dalam debitur saja, tetapi jua harus berorientasi pada warga . Dengan konsep pemasaran sosial (Social Market Concept), perusahaan berusaha menaruh kepuasan debitur serta kesejahteraan warga buat jangka panjang.artikel from: //mm.unsoed.net/index.php

PENGERTIAN PEMASARAN DAN MANAJEMEN PEMASARAN

Pengertian Pemasaran serta Manajemen Pemasaran 
Pengertian pemasaran menurut pendapat beberapa ahli telah mengemukakan definisi tentang pemasaran yang kelihatannya tidak selaras meskipun sebenarnya sama. Perbedaan ini disebabkan karena mereka meninjau pemasaran yang paling luas, ada beberapa pendapat mengenai definisi pemasaran antara lain dikemukakan sang (William J. Stanton,1994) yaitu:
  • Pemasaran merupakan sistem holistik dari kegiatan bisnis yg ditujukan buat merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang serta jasa yg dapat memuaskan kebutuhan pada pembeli yang terdapat maupun pembeli potensial (Basu Swasta, 2000). Dari definisi tadi di atas terlihat bahwa pemasaran mencakup usaha perusahaan yg dimulai antara lain dengan mengidentifikasikan kebutuhan debitur yg perlu dipuaskan melalui pelayanan yang bermutu.
  • Selanjutnya Stanton beranggapan bahwa keberhasilan pelayanan dalam pemasaran menentukan keberhasilan perusahaan. Untuk itu kegiatan pemasaran harus dikoordinasikan dan dikelola dengan cara yang baik. Manajemen pemasaran menurut Philip Kotler didefinisikan sebagai berikut:Pengertian pemasaran menurut pendapat beberapa ahli telah mengemukakan definisi tentang pemasaran yang kelihatannya tidak selaras meskipun sebenarnya sama. Perbedaan ini disebabkan karena mereka meninjau pemasaran yang paling luas, ada beberapa pendapat mengenai definisi pemasaran antara lain dikemukakan sang (William J. Stanton,1994) yaitu: Pemasaran adalah sistem keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Basu Swasta, 2000). 
Dari definisi tersebut di atas terlihat bahwa pemasaran meliputi usaha perusahaan yg dimulai diantaranya menggunakan mengidentifikasikan kebutuhan debitur yg perlu dipuaskan melalui pelayanan yang bermutu. Selanjutnya Stanton beranggapan bahwa keberhasilan pelayanan dalam pemasaran memilih keberhasilan perusahaan. Untuk itu aktivitas pemasaran harus dikoordinasikan serta dikelola dengan cara yg baik. Manajemen pemasaran menurut Philip Kotler didefinisikan sebagai berikut: Manajemen pemasaran merupakan analisis perencanaan, penerapan serta pengendalian terhadap program yg dirancang buat membentuk, menciptakan, serta mempertahankan pertukaran serta hubungan yg menguntungkan pasar target menggunakan maksud buat mencapai tujuan organisasi (James F, Angel , 1990). Dari definisi pada atas, manajemen pemasaran dirumuskan menjadi suatu proses manajemen yg meliputi penganalisaan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan pada memenuhi kebutuhan dan hasrat pasar, dan mendorong proses pertukaran secara sempurna dan menguntungkan pihak-pihak yg terlibat.konsep Pemasaran Pemasaran merupakan faktor krusial bagi keberhasilan suatu perusahaan, maka faktor pelayanan menjadi faktor krusial yang tidak boleh diabaikan. Dengan demikian, maka konsep pemasaran dapat didefinisikan menjadi berikut: Konsep pemasaran adalah sebuah falsafah usaha yg menyatakan bahwa pemuas kebutuhan debitur adalah kondisi ekonomis serta sosial bagi kelangsungan hayati perusahaan (Herry Assael, 1990). Berdasarkan definisi tersebut, bisa diambil makna bahwa semua kegiatan pada perusahaan harus ditujukan pada pemuas kebutuhan debitur, sehingga bisa diperoleh keuntungan maksimum pada jangka panjang, demi kelangsungan hidup perusahaan. Menurut Basu Swasta pada bukunya “Asas-asas marketing” disebutkan bahwa ada 3 faktor yang mendasari konsep pemasaran, yaitu: 
1.seluruh perencanaan serta aktivitas perusahaan wajib berorientasi dalam debitur atau pasar. 
2.volume penjualan yang menguntungkan wajib menjadi tujuan perusahaan.
3.seluruh kegiatan perusahaan pada pemasaran wajib dikoordinasikan dan diintegrasikan secara organisasi.berdasarkan hal tersebut, maka konsep pemasaran ini memiliki hubungan yang erat menggunakan perkembangan manajemen pemasaran. Sejak terjadinya revolusi industri, manajemen pemasaran sudah mengalami beberapa tahap perkembangan, yaitu:

1.tahap Orientasi Produksi
Pada tahap ini perusahaan memiliki perkara utama bagaimana caranya buat mempertinggi produksi, faktor layanan yg baik menggunakan harga yang layak agar bisa diperoleh keuntungan yg akbar. Konsep yg dianut sang perusahaan yang berada pada tahap ini adalah konsep produk, yang menyatakan bahwa produk yang dijual dengan harga yang layak, serta diharapkan sedikit bisnis pemasaran supaya tercapai penjualan yang memuaskan.

2.tahap Orientasi Penjualan
Setelah masalah produksi teratasi jumlah produk sebagai berlimpah. Oleh lantaran pangsa pasarnya terbatas, maka muncul perseteruan bagaimana supaya dapat menjual produk-produk yg telah didapatkan. Perusahaan yg berada pada tahap ini menganut sebuah konsep yaitu konsep penjualan, yang menyatakan bahwa debitur nir akan bersedia membeli suatu produk dalam jumlah yg cukup banyak tanpa didorong menggunakan usaha-bisnis kenaikan pangkat yang bertenaga. Perusahaan yang mengaplikasikan konsep ini lebih mementingkan penjualan berdasarkan pada kepuasan debitur. Cara misalnya ini dalam hakekatnya justru merugikan perusahaan sendiri, karena pembeli merasa tertipu serta kecewa sehingga tidak akan mengulang pembeliannya. 

3.tahap Orientasi Pemasaran
Dengan adanya aneka macam perubahan rakyat yang cepat, kemajuan teknologi yang semakin maju serta rasa jenuh debitur, maka orientasi penjualan tidak dapat lagi memberikan pemecahan atau jawaban secara keseluruhan terhadap bisnis-usaha buat mencapai tujuan perusahaan. Untuk mencapai tujuan perusahaan wajib lebih mementingkan kebutuhan serta keinginan debitur. Perusahaan yg demikian ini menganut orientasi pemasaran, yg menyatakan bahwa kunci buat mencapai tujuan perusahaan terdiri berdasarkan penentuan kebutuhan dan impian debitur dan anugerah kepuasaan yang diinginkan secara lebih efektif serta efisien berdasarkan yang dilakukan sang pesaing. Jadi konsep pemasaran merupakan suatu orientasi dalam debitur yang didukung sang pemasaran yg terpadu dan ditujukan untu mecapai kepuasan yang semakin semakin tinggi menjadi kunci tercapainya tujuan perusahaan.

4.orientasi Manusia dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yang berupaya memberikan kepuasan pada debitur serta kemakmuran masyarakat pada jangka panjang menganut konsep pemasaran kemasyarakatan. Konsep ini menyatakan bahwa perusahaan harus membentuk kepuasan debitur serta kesejahteraan warga pada jangka panjang sebagai kunci buat mencapai tujuan perusahaan yg banyak herbi kasus penciptaan serta pencapaian faktor hidup yang lebih baik, maka konsep ini dilihat sebagai konsep pemasaran yang baru.perkembangan warga dan teknlogi telah mengakibatkan perkembangan konsep pemasaran. Sekarang ini perusahaan dituntut buat dapat menanggapi cara-cara atau norma warga . Perusahaan tidak hanya berorientasi pada debitur saja, namun pula harus berorientasi kepada rakyat. Dengan konsep pemasaran sosial (Social Market Concept), perusahaan berusaha memberikan kepuasan debitur dan kesejahteraan masyarakat buat jangka panjang.artikel from: //mm.unsoed.net/index.php

PERBEDAAN ORIENTASI PRODUKSI ORIENTASI PENJUALAN DAN ORIENTASI PEMASARAN

Perbedaan Orientasi Produksi, Orientasi Penjualan, dan Orientasi Pemasaran
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kegiatan pemasaran ibarat jantung kehidupan bagi sebuah perusahaan. Oleh karena itu, semakin hari semakin banyak perusahaan menganut konsep pemasaran dalam melakukan aktivitas bisnisnya. Tetapi, sebagaimana halnya konsep lainnya, konsep pemasaran ini wajib diaplikasikan dengan benar-benar-benar-benar supaya diperoleh keuntungannya secara maksimal . Tanpa itu, dia akan menjadi pembicaraan yang tanpa arti bagi suatu perusahaan bisnis. Dalam pernyataan ini terkandung makna bahwa : 
  1. Kegiatan pemasaran wajib dikoordinasikan secara menyeluruh dengan pihak-pihak lain serta dikelola secara sungguh-benar-benar; 
  2. Eksekutif pemasaran harus selalu terlibat dan berperan maksimal dalam perencanaan perusahaan. 
Jika kedua item tersebut mulai diterapkan dalam sebuah perusahaan, maka sanggup dikatakan bahwa manajemen pemasaran mulai berkembang di pada perusahaan tadi. Jadi, manajemen pemasaran merupakan konsep pemasaran dalam tingkat nyata.

Terdapat 3 termin perkembangan, dan tahap yg keempat kini sedang muncul. Meskipun demikian, poly perusahaan masih berada pada taraf awal pada menerapkan konsep pemasaran. Hanya beberapa perusahaan saja yg telah menerapkan termin-termin mutakhir menurut perkembangan filsafat dan praktek pemasaran.

Ada pun tahap-tahap perkembangan atau evolusi manajemen pemasaran merupakan sebagai berikut :

Tahap Orientasi Produksi 
Pada tahap awal ini, sebuah perusahaan umumnya berorientasi ke bidang produksi. Perencanaan perusahaan dibuat sang eksekutif produksi dan departemen tehnik. Peran dari bidang atau departemen penjualan hanyalah sekadar menjual produk yg didapatkan oleh bagian produksi serta keuangan. Tahap ini seringkali dianggap menjadi tahap “perangkap tikus” yg lebih baik. Asumsi yang mendasari adalah berasal produk bermutu baik serta harga yg lumrah, produk pasti laku dijual. Tidak dibutuhkan upaya pemasaran untuk membujuk orang membeli produk yang ditawarkan.

Dalam termin ini, perusahaan belum mengakui departemen pemasaran. Yang terdapat merupakan departemen penjualan yg dipimpin oleh manajer penjualan yang bertugas mengelola energi penjualan. Hal semacam ini mendominasi banyak sekali perusahaan di dunia sampai tahun 1930-an.

Tahap Orientasi Penjualan 
Depresi perekonomian dunia memberi sebuah pelajaran berharga bahwa masalah utama dalam ekonomi adalah bukanlah menghasilkan berbagai produk secara relatif. Namun yg menjadi perkara adalah bagaimana menjual produk-produk tersebut. Hanya memproduksi “perangkap tikus” yang lebih baik tidak menjamin keberhasilan perusahaan dalam menguasai pasar. Untuk menguasai pasar, wajib dilakukan promosi yg memadai. Dengan kenaikan pangkat yang memadai, penjualan produk secara akbar-besaran akan sanggup dicapai. Dalam termin ini, penjualan serta pengelolaannya memperoleh pengakuan dan tanggung-jawab baru dalam perusahaan.

Akan namun, di samping memperoleh pengakuan yang tinggi, dalam termin ini penjualan memperoleh reputasi yang jelek. Jaman ini dikenal menjadi jaman “menjual keras”. Hal ini digambarkan dengan para sales yg mendatangi rumah ke tempat tinggal ( door to door ). Dengan perilaku ini mengakibatkan calon konsumen “terpaksa wajib membeli” produk yg ditawarkan para sales tadi. Konsep “menjual keras” ini nir hanya dilakukan sang bisnis korporat saja, tetapi organisasi-organisasi non bisnis juga menggunakan konsep ini. Akibatnya, konsep “penjualan keras” ini banyak menuai kritik serta kecaman. Bahkan pekerjaan menjadi sales poly mendapat pandangan negatif.

Pada termin penjualan ini, terjadi dua perubahan penting dalam pengelolaan organisasi usaha. Pertama, semua aktivitas pemasaran seperti periklanan serta riset pemasaran umumnya dipimpin oleh manajer penjualan atau wakil direktur bidang penjualan. Kedua, aktivitas misalnya pelatihan serta analisis penjualan yang sebelumnya ditangani sang departemen lain kini dikelola sang departemen penjualan. Secara generik tahap ini berjalan menurut tahun 1930-an sampai tahun 1950-an.

Tahap Orientasi Pemasaran 
Pada tahap ketiga ini, perusahaan-perusahaan menganut konsep manajemen pemasaran yg terkoordinir dan diarahkan buat mencapai tujuan ganda : orientasi konsumen dan volume penjualan yg menguntungkan. Perhatian ditujukan ke pemasaran, bukan ke penjualan. Eksekutif puncaknya disebut menjadi manajer pemasaran atau wakil direktur pemasaran. Dalam termin ini beberapa kegiatan yang biasanya dikelola oleh eksekutif departemen lain, kini menjadi tanggung-jawab manajer pemasaran. Misalnya aktivitas pengendalian sediaan, pergudangan dan aspek-aspek perencanaan produk. Para manajer pemasaran dilibatkan semenjak tahap awal menurut daur produksi. Dengan pelibatan sejak awal ini dibutuhkan mereka dapat mengintegrasikan pemasaran ke pada setiap termin berdasarkan kegiatan perusahaan. Pemasaran wajib mensugesti semua kebijakan perusahaan, baik yang jangka pendek maupun yang jangka panjang.

Penerapan konsep pemasaran ini akan berhasil hanya apabila menerima dukungan menurut manajemen puncak . Pasalnya, “hanya manajemen puncaklah yg sanggup menyediakan iklim, disiplin, serta kepemimpinan yang diharapkan buat sebuah acara pemasaran yang berhasil,” demikian celoteh seorang eksekutif Chase Bank. Bahkan, seorang eksekutif puncak pemasaran di International Mineral and Chemical Coorporation memperingatkan : ”Sebuah perusahaan nir dapat sebagai sadar konsumen hanya lantaran keputusan serta perintah. Karena seluruh organisasi cenderung mencontoh pemimpinnya, sehingga penting buat seorang pemimpin bisnis sebagai sadar-konsumen. Dia akan dapat mengembangkan suasana, atmosfir serta semangat kesatuan yg memantulkan citra bahwa konsumen merupakan raja pada perusahaan kami, dan gagasan ini meresap ke seluruh bagian pada perusahaan”.

Dewasa ini sebagian akbar perusahaan besar , terutama perusahaan multi nasional, berada dalam termin ini. Mereka telah mengadopsi konsep pemasaran buat menjalankan bisnis bisnisnya. Burouhgs Coorporation memberitahuakn gambaran perusahaan yg telah sepenuhnya menerapkan konsep pemasaran. Dia berkata, ”Setiap perusahaan yg bukan merupakan organisasi pemasaran tidak bisa dikatakan menjadi perusahaan.” Presiden Direktur Pepsi Cola berkata,”Bisnis kita adalah bisnis pemasaran”.

Tahap Orientasi Manusia dan Tanggung-jawab Sosial 
Kondisi sosial serta ekonomi pada tahun 1970-an mendorong munculnya tahap ke empat pada evolusi manajemen pemasaran, tahapan yang poly diwarnai sang orientasi sosial kemasyarakatannya. Di sini eksekutif pemasaran wajib bertindak menurut perilaku dan tanggung-jawab sosial bila mereka ingin berhasil, atau selamat. Tekanan-tekanan berdasarkan luar tekanan-tekanan menurut luar ketidakpuasan konsumen, perhatian pada perkara-maslah lingkungan, serta kekuatan-kekuatan politik yg sah mempengaruhi program pemasaran perusahaan-perusahaan.

Yang perlu diperhatikan adalah meskipun di atas diuraikan pembagian tahun buat masing-masing tahapan, sesungguhnya pembagian di atas hanyalah pembagian secara generik saja. Pada kenyataannya, tidak terdapat ketika yang niscaya yg membatasi masing-masing berdasarkan keempat tahapan evolusi manajemen pemasaran pada atas.

PERBEDAAN ORIENTASI PRODUKSI ORIENTASI PENJUALAN DAN ORIENTASI PEMASARAN

Perbedaan Orientasi Produksi, Orientasi Penjualan, dan Orientasi Pemasaran
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, aktivitas pemasaran ibarat jantung kehidupan bagi sebuah perusahaan. Oleh karena itu, semakin hari semakin poly perusahaan menganut konsep pemasaran pada melakukan kegiatan bisnisnya. Tetapi, sebagaimana halnya konsep lainnya, konsep pemasaran ini wajib diaplikasikan menggunakan benar-benar-sungguh supaya diperoleh keuntungannya secara maksimal . Tanpa itu, ia akan sebagai pembicaraan yang tanpa arti bagi suatu perusahaan bisnis. Dalam pernyataan ini terkandung makna bahwa : 
  1. Kegiatan pemasaran wajib dikoordinasikan secara menyeluruh menggunakan pihak-pihak lain serta dikelola secara sungguh-sungguh; 
  2. Eksekutif pemasaran harus selalu terlibat dan berperan maksimal dalam perencanaan perusahaan. 
Jika kedua item tadi mulai diterapkan pada sebuah perusahaan, maka mampu dikatakan bahwa manajemen pemasaran mulai berkembang pada pada perusahaan tersebut. Jadi, manajemen pemasaran adalah konsep pemasaran pada taraf nyata.

Terdapat 3 termin perkembangan, serta termin yang keempat sekarang sedang timbul. Meskipun demikian, banyak perusahaan masih berada pada taraf awal dalam menerapkan konsep pemasaran. Hanya beberapa perusahaan saja yang sudah menerapkan tahap-tahap terkini menurut perkembangan filsafat dan praktek pemasaran.

Ada pun tahap-termin perkembangan atau evolusi manajemen pemasaran adalah sebagai berikut :

Tahap Orientasi Produksi 
Pada termin awal ini, sebuah perusahaan umumnya berorientasi ke bidang produksi. Perencanaan perusahaan dibentuk oleh eksekutif produksi serta departemen tehnik. Peran menurut bidang atau departemen penjualan hanyalah sekadar menjual produk yang dihasilkan sang bagian produksi serta keuangan. Tahap ini seringkali dianggap sebagai termin “perangkap tikus” yang lebih baik. Asumsi yang mendasari artinya dari produk bermutu baik serta harga yang lumrah, produk niscaya laku dijual. Tidak diharapkan upaya pemasaran untuk membujuk orang membeli produk yg ditawarkan.

Dalam tahap ini, perusahaan belum mengakui departemen pemasaran. Yang terdapat merupakan departemen penjualan yg dipimpin sang manajer penjualan yang bertugas mengelola tenaga penjualan. Hal semacam ini mendominasi aneka macam perusahaan pada dunia hingga tahun 1930-an.

Tahap Orientasi Penjualan 
Depresi perekonomian dunia memberi sebuah pelajaran berharga bahwa masalah utama dalam ekonomi adalah bukanlah menghasilkan aneka macam produk secara relatif. Tetapi yg menjadi masalah merupakan bagaimana menjual produk-produk tadi. Hanya memproduksi “perangkap tikus” yg lebih baik nir menjamin keberhasilan perusahaan dalam menguasai pasar. Untuk menguasai pasar, harus dilakukan kenaikan pangkat yg memadai. Dengan kenaikan pangkat yg memadai, penjualan produk secara akbar-besaran akan sanggup dicapai. Dalam tahap ini, penjualan dan pengelolaannya memperoleh pengakuan dan tanggung-jawab baru dalam perusahaan.

Akan tetapi, di samping memperoleh pengakuan yg tinggi, pada tahap ini penjualan memperoleh reputasi yang buruk. Jaman ini dikenal sebagai jaman “menjual keras”. Hal ini digambarkan dengan para sales yang mendatangi tempat tinggal ke rumah ( door to door ). Dengan perilaku ini mengakibatkan calon konsumen “terpaksa harus membeli” produk yang ditawarkan para sales tadi. Konsep “menjual keras” ini tidak hanya dilakukan oleh bisnis korporat saja, tetapi organisasi-organisasi non bisnis juga memakai konsep ini. Akibatnya, konsep “penjualan keras” ini poly menuai kritik serta kecaman. Bahkan pekerjaan sebagai sales banyak menerima pandangan negatif.

Pada tahap penjualan ini, terjadi 2 perubahan penting pada pengelolaan organisasi usaha. Pertama, seluruh kegiatan pemasaran misalnya periklanan dan riset pemasaran umumnya dipimpin sang manajer penjualan atau wakil direktur bidang penjualan. Kedua, aktivitas seperti pembinaan serta analisis penjualan yang sebelumnya ditangani oleh departemen lain kini dikelola oleh departemen penjualan. Secara umum termin ini berjalan berdasarkan tahun 1930-an sampai tahun 1950-an.

Tahap Orientasi Pemasaran 
Pada termin ketiga ini, perusahaan-perusahaan menganut konsep manajemen pemasaran yg terkoordinir dan diarahkan buat mencapai tujuan ganda : orientasi konsumen dan volume penjualan yang menguntungkan. Perhatian ditujukan ke pemasaran, bukan ke penjualan. Eksekutif puncaknya dianggap sebagai manajer pemasaran atau wakil direktur pemasaran. Dalam termin ini beberapa aktivitas yg umumnya dikelola sang eksekutif departemen lain, kini sebagai tanggung-jawab manajer pemasaran. Misalnya aktivitas pengendalian sediaan, pergudangan serta aspek-aspek perencanaan produk. Para manajer pemasaran dilibatkan semenjak termin awal dari siklus produksi. Dengan pelibatan semenjak awal ini dibutuhkan mereka dapat mengintegrasikan pemasaran ke dalam setiap termin dari kegiatan perusahaan. Pemasaran harus mensugesti seluruh kebijakan perusahaan, baik yang jangka pendek juga yg jangka panjang.

Penerapan konsep pemasaran ini akan berhasil hanya jika mendapat dukungan berdasarkan manajemen puncak . Pasalnya, “hanya manajemen puncaklah yg bisa menyediakan iklim, disiplin, serta kepemimpinan yg diperlukan buat sebuah program pemasaran yang berhasil,” demikian tutur seorang eksekutif Chase Bank. Bahkan, seorang eksekutif zenit pemasaran di International Mineral and Chemical Coorporation memperingatkan : ”Sebuah perusahaan nir bisa menjadi sadar konsumen hanya karena keputusan serta perintah. Lantaran seluruh organisasi cenderung mencontoh pemimpinnya, sehingga penting buat seorang pemimpin usaha menjadi sadar-konsumen. Dia akan bisa membuatkan suasana, atmosfir dan semangat kesatuan yg memantulkan citra bahwa konsumen merupakan raja pada perusahaan kami, dan gagasan ini meresap ke semua bagian pada perusahaan”.

Dewasa ini sebagian akbar perusahaan akbar, terutama perusahaan multi nasional, berada dalam tahap ini. Mereka telah mengadopsi konsep pemasaran untuk menjalankan usaha bisnisnya. Burouhgs Coorporation menampakan citra perusahaan yang sudah sepenuhnya menerapkan konsep pemasaran. Dia mengatakan, ”Setiap perusahaan yang bukan adalah organisasi pemasaran tidak bisa dikatakan menjadi perusahaan.” Presiden Direktur Pepsi Cola menyampaikan,”Bisnis kita adalah bisnis pemasaran”.

Tahap Orientasi Manusia dan Tanggung-jawab Sosial 
Kondisi sosial dan ekonomi dalam tahun 1970-an mendorong keluarnya termin ke empat pada evolusi manajemen pemasaran, tahapan yang poly diwarnai oleh orientasi sosial kemasyarakatannya. Di sini eksekutif pemasaran harus bertindak menurut sikap serta tanggung-jawab sosial jika mereka ingin berhasil, atau selamat. Tekanan-tekanan menurut luar tekanan-tekanan menurut luar ketidakpuasan konsumen, perhatian pada perkara-maslah lingkungan, serta kekuatan-kekuatan politik yang sah mempengaruhi acara pemasaran perusahaan-perusahaan.

Yang perlu diperhatikan adalah meskipun pada atas diuraikan pembagian tahun untuk masing-masing tahapan, sesungguhnya pembagian pada atas hanyalah pembagian secara generik saja. Pada kenyataannya, tidak ada saat yang niscaya yang membatasi masing-masing menurut keempat tahapan evolusi manajemen pemasaran pada atas.

MANAJEMEN PEMASARAN ANALISA PERILAKU KONSUMEN

Manajemen Pemasaran, Analisa Perilaku Konsumen
Konsep Pemasaran Dalam Industri Perbankan Di Indonesia
“Tingkatkan produksi, turunkan harga” demikian pemikiran Henry Ford dalam membuatkan pasar mobil era 1900 an (Kotler & Amstrong, 1991). Dengan banyak sekali kemampuan, Ford menaikkan produksi secara besar -besaran buat mengurangi biaya . Hasil menampakan Ford sanggup menguasai pasar mobil di Amerika Serikat (AS) dengan strategi biaya minimum.

Saat ini di seluruh dunia termasuk pada AS kejayaan Ford telah berakhir berganti menggunakan era kendaraan beroda empat-mobil Jepang. Padahal di Alaihi Salam, Ford diyakini menjadi mobilnya orang Amerika yang tidak akan tergoyahkan. Gencarnya serbuan kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat protesis Jepang dengan strategi memahami konsumen Alaihi Salam membuat kampiun industri mobil ini collapse sehingga akhirnya menjadi tamu pada negerinya sendiri.

Fenomena pada atas menampakan bahwa dalam persaingan yang sangat kompetitif, pemimpin industri (industry leader) yang sebelumnya begitu secara umum dikuasai bisa terhempas. Kasus yg lebih aktual merupakan goyahnya jawara industri personal komputer IBM oleh tekanan Compaq. Dalam industri perbankan pada Indonesia, Bank Mandiri menjadi bank terbesar di Indonesia menggantikan kedudukan Bank BNI dan Bank BCA. Contoh lainnya dalam industri perbankan syariah, Bank Syariah Mandiri sebagai bank syariah terbesar menggeser kiprah Bank Muammalat Indonesia.

Situasi tadi menggambarkan gelombang perubahan yg dahsyat dalam usaha. Gelombang perubahan tadi mengakibatkan pergeseran paradigma pemasaran dan usaha. Pesaing pada pada industri semakin poly dan berkualitas. Demikian halnya konsumen semakin cerdas dalam menentukan produk.

Perubahan dalam lingkungan bisnis adalah sebuah keniscayaan. “Tidak terdapat sesuatu yang kontinu atau tetap, kecuali perubahan itu sendiri” . Implikasinya, setiap perusahaan seharusnya adaptif dan antisipatif terhadap perubahan bila mereka tidak ingin menjadi cerita latif di masa kemudian.

Bagaimana pada Konteks Industri Perbankan di Indonesia? 
Bagi industri perbankan, kasus-masalah pemasaran dapat dijadikan semacam proyeksi dalam menerapkan strategi menghadapi gempuran perubahan. Kompetitor yg timbul bukan hanya sesama pemain dalam industri perbankan, tetapi pula forum keuangan bukan bank, misalnya modal ventura, reksadana, pasar modal, BMT dan sebagainya.

Dalam konteks perbankan nasional telah terjadi revolusi yg sangat mendasar. Berawal berdasarkan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor keuangan, khususnya menyangkut bidang perbankan serta moneter yg pula menandai berakhirnya represi keuangan (financial repression) serta pada mulainya liberalisasi keuangan perbankan (financial liberalization).

Kehadiran kebijakan Paket Juni (pakjun) 1983, Paket Oktober (pakto)1988 serta paket-paket berikutnya menyebabkan persaingan semakin kompetitif dan nasabah menjadi semakin selektif lantaran keberadaan penawaran produk yg semakin semakin tinggi. Paradigma yg menekankan dalam berbagai upaya menerima laba menggunakan cara menjual sebesar-banyaknya supaya mencapai laba aporisma (selling concept) menjadi lama . Dahulu selling concept memang berakibat hasil lantaran pasarnya merupakan pasar penjual (seller’s market). Tetapi syarat saat ini, yaitu pasokan melebihi permintaan, maka upaya mendongkrak penjualan nir sanggup memecahkan persoalan jangka panjang perusahaan.

Customer Driven Company
Keberhasilan bisnis perbankan dewasa ini sangat dipengaruhi kepuasan nasabahnya. Hal tadi sejalan dengan pandangan para ahli pemasaran bahwa pelanggan merupakan faktor kunci keberhasilan pemasaran (Assael, 1998; Dharmesta & Handoko, 2000). Dalam buku terbarunya ”Beyond Maxi Marketing”, Stan Rapp dan Collins (dikutip pada Kertajaya, 1999) berpendapat bahwa syarat saat ini konsumen akan semakin pandai , minta dilayani secara langsung, minta terlibat pada pengembangan suatu produk, makin sensitif dan makin tidak loyal pada merek tertentu. Dengan demikian permintaan serta asa-asa mereka (nasabah) semakin meningkat.

Dalam persaingan yang semakin tajam, program-acara pengembangan kualitas produk bagi pengembangan kualitas buat kepuasan nasabah menjadi hal yg bersifat fardlu ’ain (wajib secara individual). Dalam situasi tadi, perilaku dan perilaku nasabah kritis serta cerdas. Oleh karenanya bank harus bisa dan mau mengerti arti nilai suatu produk di mata nasabah, supaya dapat memuaskan kebutuhan mereka. 

Dalam pandangan Kertajaya (1999) sudah terjadi pergeseran orientasi perusahaan berdasarkan pemasaran yg masih berorientasi perusahaan (marketing oriented company) menjadi perusahaan yang penekanan dalam pelanggan (custoner driven company). Pergeseran tersebut dipicu sang situasi persaingan pada saat itu. Apabila situasi persaingan rendah atau bahkan tidak terdapat persaingan, maka pemasaran tidak atau belum terlalu dibutuhkan perusahaan. Apabila pada situasi persaingan yg semakin keras maka fungsi pemasaran sebagai semakin krusial pada pada perusahaan. Sedangkan pada situasi persaingan yg sangat keras, nir bisa diduga dan rancu, maka pemasaran wajib menjadi jiwa setiap orang di pada perusahaan tadi.

Pada syarat persaingan yang sangat keras pada atas, jiwa organisasi adalah pemasaran. Dari sisi struktur organisasi, mungkin tidak terdapat departemen pemasaran atau bahkan istilah pemasaran sudah hilang dari badan organisasi, namun setiap departemen serta unit mempunyai jiwa pemasaran. Kombinasi pemasaran yg dibangun perusahaan sudah bergeser dari 4-P (product, price,place, promotion) sebagai 4-C, yaitu menjadi berikut:
  • Customer solution (solusi untuk pelanggan) adalah perusahaan berpandangan bahwa produk akan semakin bermakna bila bisa menaruh solusi bagi atas perkara yang dihadapi pelanggannya. 
  • Cost (biaya dari sisi pelanggan) merupakan perusahaan seharusnya melihat penetapan harga (price) sebagai suatu konsekuensi finansial secara total yg adalah beban bagi pelanggan. 
  • Convenient channel, merupakan refleksi berdasarkan timbulnya beragam cara pelanggan membeli produk. Produsen nir mampu hanya mengandalkan distributor konvensional, namun wajib menaruh aneka macam pilihan bagi konsumen dalam menerima produk. 
  • Communication, interaksi yang bersifat dua atah merupakan revolusi akbar menurut bauran pemasaran (marketing mix) yg berkonotasi satu arah.

MANAJEMEN PEMASARAN ANALISA PERILAKU KONSUMEN

Manajemen Pemasaran, Analisa Perilaku Konsumen
Konsep Pemasaran Dalam Industri Perbankan Di Indonesia
“Tingkatkan produksi, turunkan harga” demikian pemikiran Henry Ford pada mengembangkan pasar mobil era 1900 an (Kotler & Amstrong, 1991). Dengan berbagai kemampuan, Ford menaikkan produksi secara besar -besaran buat mengurangi porto. Hasil memberitahuakn Ford mampu menguasai pasar mobil di Amerika Serikat (Alaihi Salam) dengan taktik porto minimum.

Saat ini di seluruh global termasuk pada Alaihi Salam kejayaan Ford sudah berakhir berganti dengan era mobil-kendaraan beroda empat Jepang. Padahal di AS, Ford diyakini sebagai mobilnya orang Amerika yg tidak akan tergoyahkan. Gencarnya serbuan mobil-mobil protesis Jepang dengan strategi memahami konsumen Alaihi Salam menciptakan juara industri mobil ini collapse sehingga akhirnya sebagai tamu pada negerinya sendiri.

Fenomena di atas memberitahuakn bahwa pada persaingan yang sangat kompetitif, pemimpin industri (industry leader) yg sebelumnya begitu dominan bisa terhempas. Kasus yg lebih aktual adalah goyahnya jawara industri personal komputer IBM sang tekanan Compaq. Dalam industri perbankan pada Indonesia, Bank Mandiri sebagai bank terbesar di Indonesia menggantikan kedudukan Bank BNI dan Bank BCA. Contoh lainnya pada industri perbankan syariah, Bank Syariah Mandiri sebagai bank syariah terbesar menggeser peran Bank Muammalat Indonesia.

Situasi tadi mendeskripsikan gelombang perubahan yg dahsyat pada usaha. Gelombang perubahan tadi menyebabkan pergeseran paradigma pemasaran serta bisnis. Pesaing pada dalam industri semakin poly dan berkualitas. Demikian halnya konsumen semakin cerdas dalam memilih produk.

Perubahan pada lingkungan bisnis adalah sebuah keniscayaan. “Tidak terdapat sesuatu yg konstan atau permanen, kecuali perubahan itu sendiri” . Implikasinya, setiap perusahaan seharusnya adaptif serta antisipatif terhadap perubahan jika mereka nir ingin sebagai cerita latif pada masa lalu.

Bagaimana pada Konteks Industri Perbankan di Indonesia? 
Bagi industri perbankan, perkara-kasus pemasaran dapat dijadikan semacam proyeksi dalam menerapkan strategi menghadapi gempuran perubahan. Kompetitor yang ada bukan hanya sesama pemain pada industri perbankan, namun jua lembaga keuangan bukan bank, misalnya modal ventura, reksadana, pasar modal, BMT serta sebagainya.

Dalam konteks perbankan nasional sudah terjadi revolusi yang sangat fundamental. Berawal berdasarkan serangkaian kebijakan deregulasi di sektor keuangan, khususnya menyangkut bidang perbankan serta moneter yang jua menandai berakhirnya represi keuangan (financial repression) serta pada mulainya liberalisasi keuangan perbankan (financial liberalization).

Kehadiran kebijakan Paket Juni (pakjun) 1983, Paket Oktober (pakto)1988 dan paket-paket berikutnya mengakibatkan persaingan semakin kompetitif serta nasabah sebagai semakin selektif lantaran eksistensi penawaran produk yg semakin semakin tinggi. Paradigma yang menekankan dalam banyak sekali upaya mendapatkan keuntungan dengan cara menjual sebanyak-banyaknya agar mencapai keuntungan aporisma (selling concept) menjadi lama . Dahulu selling concept memang menjadikan output lantaran pasarnya merupakan pasar penjual (seller’s market). Namun kondisi saat ini, yaitu pasokan melebihi permintaan, maka upaya mendongkrak penjualan nir sanggup memecahkan persoalan jangka panjang perusahaan.

Customer Driven Company
Keberhasilan usaha perbankan dewasa ini sangat dipengaruhi kepuasan nasabahnya. Hal tersebut sejalan dengan pandangan para pakar pemasaran bahwa pelanggan adalah faktor kunci keberhasilan pemasaran (Assael, 1998; Dharmesta & Handoko, 2000). Dalam kitab terbarunya ”Beyond Maxi Marketing”, Stan Rapp dan Collins (dikutip pada Kertajaya, 1999) beropini bahwa syarat saat ini konsumen akan semakin pintar, minta dilayani secara pribadi, minta terlibat dalam pengembangan suatu produk, makin sensitif dan makin nir loyal pada merek eksklusif. Dengan demikian permintaan dan harapan-asa mereka (nasabah) semakin semakin tinggi.

Dalam persaingan yg semakin tajam, acara-program pengembangan kualitas produk bagi pengembangan kualitas buat kepuasan nasabah menjadi hal yg bersifat fardlu ’ain (harus secara individual). Dalam situasi tadi, perilaku serta konduite nasabah kritis serta cerdas. Oleh karenanya bank harus dapat serta mau mengerti arti nilai suatu produk di mata nasabah, supaya bisa memuaskan kebutuhan mereka. 

Dalam pandangan Kertajaya (1999) sudah terjadi pergeseran orientasi perusahaan berdasarkan pemasaran yang masih berorientasi perusahaan (marketing oriented company) sebagai perusahaan yang penekanan dalam pelanggan (custoner driven company). Pergeseran tersebut dipicu oleh situasi persaingan pada waktu itu. Jika situasi persaingan rendah atau bahkan tidak ada persaingan, maka pemasaran nir atau belum terlalu dibutuhkan perusahaan. Jika pada situasi persaingan yg semakin keras maka fungsi pemasaran menjadi semakin krusial di pada perusahaan. Sedangkan dalam situasi persaingan yang sangat keras, nir bisa diduga serta kacau, maka pemasaran wajib menjadi jiwa setiap orang di pada perusahaan tadi.

Pada syarat persaingan yg sangat keras di atas, jiwa organisasi adalah pemasaran. Dari sisi struktur organisasi, mungkin tidak terdapat departemen pemasaran atau bahkan istilah pemasaran sudah hilang dari badan organisasi, tetapi setiap departemen serta unit mempunyai jiwa pemasaran. Kombinasi pemasaran yang dibangun perusahaan telah bergeser menurut 4-P (product, price,place, promotion) menjadi 4-C, yaitu menjadi berikut:
  • Customer solution (solusi buat pelanggan) artinya perusahaan berpandangan bahwa produk akan semakin bermakna jika bisa memberikan solusi bagi atas masalah yang dihadapi pelanggannya. 
  • Cost (biaya dari sisi pelanggan) ialah perusahaan seharusnya melihat penetapan harga (price) sebagai suatu konsekuensi finansial secara total yang adalah beban bagi pelanggan. 
  • Convenient channel, merupakan refleksi menurut timbulnya bermacam-macam cara pelanggan membeli produk. Penghasil tidak sanggup hanya mengandalkan distributor konvensional, namun wajib memberikan berbagai pilihan bagi konsumen dalam mendapatkan produk. 
  • Communication, hubungan yg bersifat 2 atah merupakan revolusi besar berdasarkan bauran pemasaran (marketing mix) yg berkonotasi satu arah.

LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Landasan Teori Dan Perumusan Hipotesis 
1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler serta Keller (2006) menjelaskan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yang berbasis pengembangan, desain, implementasi serta kegiatan proses pemasaran yg dikenali memiliki nilai ketergantungan yang tinggi. Pendekatan holistik didasari pada cara buat mengatasi berbagi konflik pemasaran yg kompleks serta luas. Karakteristik pemasaran keseluruhan merupakan integrasi berdasarkan empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) adalah konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha memilih apa keinginan, kebutuhan, dan ketertarikan atau kepentingan menurut sasaran pasar. Organisasi lalu menaruh nilai superior kepada konsumen dengan cara-cara yang bisa mempertahankan atau menaikkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar buat dapat menyeimbangkan 3 pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan warga . Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, insentif dan teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005). 

Pemasaran sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan dan pengujian konsep produk, komunikasi yg diarahkan, pemberian fasilitas, bonus-insentif dan perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan grup sasaran. Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa konsep pemasaran sosial yg condong untuk aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas pengembangan rakyat yang bersifat non profit. Kotler serta Keller (2006) menjelaskan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated rencana and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yg berkepentingan buat membarui perilaku masyarakat, yaitu suatu produk sosial. Bentuk berdasarkan produk sosial antara lain berupa inspirasi sosial, yaitu bentuk dari keyakinan, sikap atau nilai. Ide sosial yg dipasarkan bisa pula merupakan sebuat perilaku atau sebuah nilai.

Belch serta Belch (2004) menyebutkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral menurut societal marketing dan pertukaran ini nir hanya terbatas dalam pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya pada hubungan antara perusahaan donor dan lembaga nirlaba terkait menggunakan suatu info sosial. Lembaga nirlaba akan mendapat sejumlah donasi berdasarkan perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor nir menerima bentuk laba material serta donasi yg diberikan. Donasi yang diberikan oleh perusahaan merupakan pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti contohnya feelings of goodwill dan altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan menurut frase cause-related marketing ditujukan kepada perusahaan kartu kredit American Express yg menjalankan taktik pemasarannya pada tahun 1983. Tujuan awal perusahaan adalah meningkatkan jumlah pengguna kartu kredit, yg lalu berkembang menggunakan taktik pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty pada Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent dari penggunaan kartu kredit, dan satu dollar menurut penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan di tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 %, dibandingkan menggunakan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang herbi cause-related marketing yg menyebutkan keluarnya konsep sejalan dengan teori yg hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Menurut Polonski dan Speed (2001), banyak laba yang mampu diperoleh oleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama adalah menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal sudah tertarik buat melakukan cause yang kemudian dipromosikan sang perusahaan. Keuntungan ke 2 merupakan tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial eksklusif. Manfaat ketiga, aktivitas sosial sanggup dipengaruhi sang perusahaan, yang melihat keterkaitan antara produknya dengan aktivitas sosial tertentu. Perusahaan yg melakukan cause-related marketing akan bisa menerima ceruk pasarnya dengan lebih tepat. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk menggunakan informasi tertentu, serta konsumen yang tertarik menggunakan berita tadi akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu dengan gosip yang menjadi perhatiannya. Keempat, output penjualan sanggup meningkat lantaran tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan menggunakan pihak-pihak yg memiliki kepedulian yang sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati identitas merek yang positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya penjelasan yang kentara perbedaan diantara cause-related marketing menggunakan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing nir termasuk pada philanthropy perusahaan dan sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang pada pihak nonprofit, berdasar kepada jumlah produk yang dapat terjual pada konsumen. Program khusus yg dilakukan dalam cause-related marketing merupakan penjualan dan promosi suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship merupakan aktivitas yg melibatkan uang dan barang pada pihak lain yang bertujuan mengenalkan produk tertentu serta nama perusahaan melalui aktivitas yg diadakan sang pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship menggunakan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang kedua pihak mengenai jumlah serta cara donasinya. 

Menurut Kotler dan Lee (2005), masih ada aneka macam macam cara buat melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang eksklusif setiap produk terjual, (dua) jumlah uang eksklusif setiap aplikasi terhadap produk jasa tertentu, (3) persentase eksklusif dari penjualan produk, (4) proporsi yg tidak dipengaruhi sebelumnya dari penjualan produk, (5) perusahaan memberikan kontribusi sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase eksklusif menurut laba bersih, (7) penawarannya mungkin terkait menggunakan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku buat kerangka saat eksklusif atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas menurut kontribusi (bukan dengan saat).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi keluarga Indonesia untuk mendukung acara peningkatan pencerahan warga tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- dalam setiap pembelian sabun btg Lifebouy. Hasil yg terkumpul sejauh ini telah dirasakan manfaatnya oleh 10.000 murid Sekolah Dasar yg memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan langsung. Bahkan dana tersebut relatif buat membiayai program menurut sekolah ke sekolah, yg mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam keluarga mereka serta mendorong terciptanya gaya hayati yang lebih sehat. Ribuan anak turut serta pada memberikan cap ke 2 tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka buat mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan nir saja menyebarkan iklan dan kenaikan pangkat yang bertanggung jawab. Di pada komunikasi, perusahaan tidak saja menyampaikan mengenai manfaat produk itu sendiri, namun pula pesan-pesan pendidikan tentang kesadaran hayati sehat (Susanto, 2007). 

3. Cause-Related Marketing Strategis serta Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing pada pemasaran mempunyai interaksi yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit dan konsumen. Tetapi, dampak yang didapatkan akan bhineka tergantung pada situasi tertentu, yakni pola acara cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam cause-related marketing terdiri menurut 2 bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis mempunyai perbedaan yang mendasar menggunakan pola cause-related marketing strategis, namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema dari cause-related marketing taktis dan strategis
Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka ketika yang lama , keterlibatan manajemen yang menyeluruh berdasarkan zenit sampai bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan pada acara akbar, serta adanya kesesuaian interaksi yg tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, merk image, positioning dan target pasar. Perusahaan yang menggunakan cause-related marketing dengan cara taktis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka waktu yg terbatas dan pada periode saat tertentu, keterlibatan manajemen pada acara sebatas kelompok yg dibentuk dalam kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan nir sebesar strategic cause-related marketing, dan kesesuaian hubungan yang nir tinggi yang dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, merk image, positioning dan target pasar (Varadarajan dan Menon, 1988). 

A. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan kegiatan cause-related marketing diyakini memberikan pengaruh positif bagi perusahaan. Tetapi demikian, imbas positif tadi nir terbentuk begitu saja. Konsumen tidak secara mudah mendapat inisiatif sosial buat kemudian menaruh reward pada perusahaan. Asosiasi positif yang terbentuk dari suatu inisiatif sosial akan bergantung pada evaluasi konsumen terhadap inisiatif tersebut dalam hubungannya dengan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang mempunyai peran penting pada proses evaluasi konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar dalam level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor serta aktivitas filantropi buat tetapkan apakah pantas bagi perusahaan tadi buat terlibat dalam suatu sponsorship spesifik (Drumwright et al, 1996). Konsumen mempunyai keyakinan yang bertenaga bahwa perusahaan seharusnya mensponsori informasi-berita sosial yang mempunyai asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). 

Varadarajan dan Menon (1988) menyatakan bahwa dalam cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan sebagai kesesuaian hubungan yg dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, brand image, positioning dan target pasar. Congruence atau fit asal dari asosiasi bersama antara merek dan filantropi, misalnya misalnya dimensi produk, afinitas menggunakan sasaran segmen spesifik, corporate image associations yang terbentuk akibat kegiatan merek terdahulu pada domain sosial spesifik, serta keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon serta Khan, 2003). Definsi lain tentang congruence diberikan sang Becker et al. (2006) menjadi kesesuaian antara perusahaan dan gosip sosial yg bisa diperoleh dari misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau mengembangkan bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa peran krusial congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh dalam kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu dalam suatu hubungan, misalnya mempertinggi elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, dan atau interaksi itu sendiri waktu dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta kabar yg terdapat. Alasan ke 2 merupakan congruence berpengaruh dalam tipe spesifik yang muncul pada pikiran, seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif dan low congruence itu sendiri bisa dinilai negatif. Alasan ketiga merupakan congruence menghipnotis evaluasi berdasarkan dua objek. Apabila konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan buat mengurangi perilaku mereka terhadap perubahan serta inisiatif sosial dan mempertanyakan motif menurut apa yg dilakukan sang perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menyebutkan bahwa incongruent yang dirasakan lemah atau tidak terdapat dalam aliansi antara organisasi memberitahuakn bahwa konsumen membutuhkan penjelasan terperinci konitif yg lebih pada dalam informasi yg ada buat menentukan alasan menurut aliansi tadi. 

B. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) pada Wymer serta Sergeant (2006), keliru satu dimensi pada cause-related marketing merupakan durasi. Usia yg panjang pada suatu hubungan terlihat merupakan penting bagi perusahaan yg bergerak dalam bidang usaha menggunakan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yg panjang merupakan bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut berjalan dengan ketika yang usang, maka akan terbentuk hubungan partnership yg akan membangun komitmen perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa serta Segal (2001) dalam Wymer serta Sergeant (2006) mengambil suatu pandangan yg lebih pragmatis, yakni menggunakan merekomendasikan para kawan atau organisasi non profit buat nir mencari keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang dibutuhkan dari para pendukung usaha (perusahaan) buat memastikan bahwa para kawan usaha menerima publisitas serta sosialisasi yang akbar untuk dukungan mereka. 

Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan usaha nir tertarik terhadap hubungan-hubungan jangka panjang dalam program cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan menggunakan organsiasi non profit melalui restriksi saat. Perusahaan memandang interaksi-interaksi dalam jangka waktu yang lebih pendek dipercayai dapat memperoleh sasaran hasil yang lebih baik, dan memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat pada hal biaya -biaya yg lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas usaha dengan tujuan utama buat mencari keuntungan menyebabkan pengalaman para pemasar cenderung buat mempunyai asa-asa yang lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), terdapat dua bentuk durasi program cause-related marketing menurut ketika, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit dalam jangka saat yg pendek. Sebagai model, perusahaan melakukan acara cause-related marketing pada jangka saat tiga bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit pada jangka saat yang panjang, namun tidak secara permanen. 

Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif dapat mempertinggi merk equity melalui kerjasama dalam waktu yang lama dengan organisasi tadi. Asosiasi kedua pihak membentuk ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan dan merek-merek dari perusahaan dengan mudah dapat mengatur balik asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yg menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif menurut prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan bisa meningkatkan menggunakan gampang dan bertenaga investasi mereka pada hal yg terkait menggunakan cause-related marketing (Till serta Nowak, 2000).

C. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dipercaya sebagai cost semata, melainkan pula sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan wajib konfiden bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan cause-related marketing menggunakan meningkatnya apresiasi global internasional juga domestik terhadap perusahaan yg bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten pada jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan rakyat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya bisa memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yg telah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sebagai akibatnya sangat sistematis serta metodologis, tetapi juga masih banyak perusahaan yg pengeluaran dana CSR-nya berbasis pada proposal yg diajukan rakyat (Susanto, 2007).

Cause-related marketing dapat ditinjau menjadi perwujudan perhatian perusahaan terhadap aktivitas sosial. Pada dasarnya acara cause-related marketing memiliki 2 tujuan primer, yaitu mempertinggi performa perusahaan serta memberikan donasi sosial yang berguna, dengan menaikkan aturan yg sebagian menurut laba atau penjualan produknya akan disumbangkan buat aktivitas sosial eksklusif. Dalam beberapa masalah, perusahaan yg melakukan cause-related marketing tidak memiliki aturan yang permanen sepanjang saat buat kegiatan tersebut. Porsi menurut anggaran cause-related marketing lebih poly dipakai melalui iklan yg ditayangkan di suratkabar atau televisi buat mempromosikan kegiatan cause-related marketing tadi. Hai ini dilakukan supaya memperoleh respon yg positif menurut konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing, yg secara nir pribadi pada sisi lainnya merupakan produk yg berkaitan dengan acara cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

D. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) pada pemasaran baru dapat sebagai berkelanjutan bila acara yang dibentuk oleh suatu perusahaan benar-sahih adalah komitmen beserta berdasarkan segenap unsur yg terdapat pada dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh antusias menurut karyawan akan mengakibatkan program-program tadi nir berjalan menggunakan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai berdasarkan program-program tersebut akan menaruh arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.

Miller (2002) menjelaskan faktor primer yang bisa menaikkan kesetiaan pelanggan pada suatu aktivitas pemasaran yang terkait dengan cause-related marketing merupakan menyatakan terlibat pada program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan istilah lain, cause-related marketing merupakan penting bagi suatu kemitraan buat tidak mencari keuntungan, bahwa dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawan-sukarelawan karyawan serta manajemen zenit perusahaan yg bisa mendukung acara cause-related marketing adalah krusial bagi publik. Hal ini menerangkan adanya komitmen yang tinggi dari perusahaan buat kemitraan dalam jangka saat yang panjang, yang dalam akhirnya akan menciptakan loyalitas dengan konsumen. Ketika menyebarkan suatu program cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu tahu keterkaitan dengan kemitraan tersebut, yg paling mudah dikomunikasikan menggunakan memilih suatu acara yang sinkron menggunakan kemampuan perusahaan dalam aplikasi tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yang berhubungan dengan CSR mempunyai tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan dari dewan direksi, manajemen zenit, serta pemilik serta sukarelawan dari aneka macam unit dalam perusahaan yang terkena impak atau terlibat dengan berita-informasi seputar cause-related marketing dalam CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi program akan menjadi landasan bagi aktivitas evaluasi selanjutnya, bisa juga diidentifikasi sebagai nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang dalam setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih mengklaim tercapainya tujuan dan penerimaan berdasarkan kegiatan cause-related marketing pada CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, dan aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip dan dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara spesifik memiliki proses pengambilan keputusan yg spesifik serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari aktivitas operasionalnya, kegiatan-kegiatan yang secara eksklusif berhubungan dengan produk dan layanan yang dihasilkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-informasi krusial yang sedang hangat pada tanggung jawab sosial. Oleh karenanya diskusi menggunakan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat krusial guna memetakan kepentingan yang mereka miliki. Adalah penting buat memperoleh kejelasan tentang tujuan diskusi, lantaran stakeholder dapat melihat sebagai kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka mengenai perilaku perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini merupakan memetakan definisi mereka tentang keberhasilan dalam rangka kerjasamanya dengan perusahaan.

LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Landasan Teori Dan Perumusan Hipotesis 
1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler dan Keller (2006) menyebutkan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yg berbasis pengembangan, desain, implementasi dan kegiatan proses pemasaran yg dikenali memiliki nilai ketergantungan yg tinggi. Pendekatan holistik didasari dalam cara buat mengatasi menyebarkan perseteruan pemasaran yang kompleks dan luas. Karakteristik pemasaran holistik merupakan integrasi dari empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha menentukan apa cita-cita, kebutuhan, serta ketertarikan atau kepentingan berdasarkan target pasar. Organisasi kemudian memberikan nilai superior pada konsumen dengan cara-cara yg bisa mempertahankan atau mempertinggi kesejahteraan konsumen serta rakyat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar buat dapat menyeimbangkan 3 pertimbangan pada merogoh keputusan tentang kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan masyarakat. Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, bonus serta teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yg bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005). 

Pemasaran sosial memakai konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan serta pengujian konsep produk, komunikasi yang diarahkan, anugerah fasilitas, bonus-insentif serta perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan kelompok target. Asumsi dasar penelitian ini merupakan bahwa konsep pemasaran sosial yg condong buat aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi kegiatan pengembangan warga yang bersifat non profit. Kotler dan Keller (2006) menyebutkan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated rencana and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yg berkepentingan buat membarui konduite warga , yaitu suatu produk sosial. Bentuk menurut produk sosial antara lain berupa inspirasi sosial, yaitu bentuk menurut keyakinan, perilaku atau nilai. Ide sosial yang dipasarkan dapat pula adalah sebuat perilaku atau sebuah nilai.

Belch dan Belch (2004) menyebutkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral berdasarkan societal marketing serta pertukaran ini nir hanya terbatas pada pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya pada hubungan antara perusahaan donor serta forum nirlaba terkait menggunakan suatu gosip sosial. Lembaga nirlaba akan menerima sejumlah bantuan menurut perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor tidak mendapat bentuk laba material dan kontribusi yg diberikan. Donasi yang diberikan oleh perusahaan merupakan pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti contohnya feelings of goodwill dan altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan dari frase cause-related marketing ditujukan pada perusahaan kartu kredit American Express yang menjalankan strategi pemasarannya dalam tahun 1983. Tujuan awal perusahaan merupakan menaikkan jumlah pengguna kartu kredit, yg lalu berkembang menggunakan strategi pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty di Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent menurut penggunaan kartu kredit, serta satu dollar berdasarkan penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan pada tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 %, dibandingkan menggunakan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang berhubungan dengan cause-related marketing yg mengungkapkan keluarnya konsep sejalan menggunakan teori yang hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Menurut Polonski serta Speed (2001), banyak laba yg sanggup diperoleh oleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama merupakan menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal telah tertarik untuk melakukan cause yang lalu dipromosikan oleh perusahaan. Keuntungan ke 2 adalah tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial tertentu. Manfaat ketiga, kegiatan sosial sanggup ditentukan sang perusahaan, yg melihat keterkaitan antara produknya menggunakan kegiatan sosial tertentu. Perusahaan yang melakukan cause-related marketing akan mampu mendapatkan ceruk pasarnya menggunakan lebih sempurna. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk dengan gosip eksklusif, serta konsumen yang tertarik menggunakan isu tersebut akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu menggunakan berita yg sebagai perhatiannya. Keempat, hasil penjualan sanggup meningkat lantaran tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan menggunakan pihak-pihak yang memiliki kepedulian yang sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati bukti diri merek yg positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya klarifikasi yg kentara disparitas diantara cause-related marketing menggunakan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing tidak termasuk dalam philanthropy perusahaan serta sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang kepada pihak nonprofit, berdasar pada jumlah produk yg bisa terjual pada konsumen. Program spesifik yg dilakukan pada cause-related marketing adalah penjualan serta kenaikan pangkat suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship adalah kegiatan yang melibatkan uang serta barang pada pihak lain yg bertujuan mengenalkan produk tertentu dan nama perusahaan melalui kegiatan yang diadakan oleh pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship dengan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang ke 2 pihak tentang jumlah dan cara donasinya. 

Menurut Kotler dan Lee (2005), masih ada aneka macam macam cara buat melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (dua) jumlah uang tertentu setiap pelaksanaan terhadap produk jasa eksklusif, (3) persentase eksklusif dari penjualan produk, (4) proporsi yang tidak dipengaruhi sebelumnya menurut penjualan produk, (lima) perusahaan menaruh kontribusi sejumlah donasi menurut konsumen, (6) persentase tertentu dari keuntungan higienis, (7) penawarannya mungkin terkait menggunakan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku buat kerangka saat eksklusif atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas dari kontribusi (bukan menggunakan saat).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi famili Indonesia buat mendukung acara peningkatan pencerahan masyarakat tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- dalam setiap pembelian sabun btg Lifebouy. Hasil yang terkumpul sejauh ini telah dirasakan keuntungannya oleh 10.000 siswa SD yang memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan eksklusif. Bahkan dana tersebut relatif buat membiayai program dari sekolah ke sekolah, yang mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam famili mereka serta mendorong terciptanya gaya hidup yang lebih sehat. Ribuan anak turut dan dalam menaruh cap kedua tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka buat mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan tidak saja mengembangkan iklan serta kenaikan pangkat yang bertanggung jawab. Di pada komunikasi, perusahaan tidak saja membicarakan tentang manfaat produk itu sendiri, tetapi jua pesan-pesan pendidikan tentang kesadaran hayati sehat (Susanto, 2007). 

3. Cause-Related Marketing Strategis dan Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing pada pemasaran memiliki hubungan yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit serta konsumen. Namun, dampak yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung kepada situasi eksklusif, yakni pola acara cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam cause-related marketing terdiri dari 2 bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis mempunyai perbedaan yg mendasar menggunakan pola cause-related marketing strategis, namun mempunyai dimensi yg sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema menurut cause-related marketing taktis dan strategis
Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis merupakan komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka ketika yang lama , keterlibatan manajemen yang menyeluruh menurut puncak sampai bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan pada program akbar, dan adanya kesesuaian hubungan yg tinggi yang dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, brand image, positioning dan sasaran pasar. Perusahaan yang memakai cause-related marketing menggunakan cara taktis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka saat yg terbatas serta pada periode saat tertentu, keterlibatan manajemen pada acara sebatas kelompok yg dibuat pada kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan nir sebesar strategic cause-related marketing, dan kesesuaian interaksi yg nir tinggi yg dirasakan antara suatu info dengan lini produk, merk image, positioning serta sasaran pasar (Varadarajan dan Menon, 1988). 

A. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan aktivitas cause-related marketing diyakini memberikan impak positif bagi perusahaan. Tetapi demikian, dampak positif tersebut tidak terbentuk begitu saja. Konsumen nir secara gampang menerima inisiatif sosial buat lalu menaruh reward kepada perusahaan. Asosiasi positif yang terbentuk dari suatu inisiatif sosial akan bergantung dalam penilaian konsumen terhadap inisiatif tersebut dalam hubungannya menggunakan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang memiliki kiprah penting pada proses penilaian konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar dalam level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor dan aktivitas filantropi buat tetapkan apakah pantas bagi perusahaan tersebut buat terlibat pada suatu sponsorship khusus (Drumwright et al, 1996). Konsumen mempunyai keyakinan yang bertenaga bahwa perusahaan seharusnya mensponsori berita-info sosial yg mempunyai asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). 

Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa pada cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan menjadi kesesuaian hubungan yang dirasakan antara suatu info menggunakan lini produk, brand image, positioning serta target pasar. Congruence atau fit dari berdasarkan asosiasi bersama antara merek dan filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas menggunakan sasaran segmen spesifik, corporate image associations yg terbentuk dampak kegiatan merek terdahulu dalam domain sosial spesifik, dan keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon dan Khan, 2003). Definsi lain tentang congruence diberikan oleh Becker et al. (2006) menjadi kesesuaian antara perusahaan dan berita sosial yg dapat diperoleh menurut misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa kiprah penting congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh pada kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu dalam suatu interaksi, misalnya menaikkan penjelasan terperinci mengenai perusahaan, inisitif sosial, serta atau hubungan itu sendiri waktu dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta informasi yg terdapat. Alasan ke 2 adalah congruence berpengaruh pada tipe khusus yang muncul pada pikiran, misalnya misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif serta low congruence itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga merupakan congruence mensugesti evaluasi menurut 2 objek. Jika konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan buat mengurangi perilaku mereka terhadap perubahan dan inisiatif sosial serta mempertanyakan motif menurut apa yang dilakukan oleh perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menyebutkan bahwa incongruent yg dirasakan lemah atau nir terdapat pada aliansi antara organisasi menunjukkan bahwa konsumen membutuhkan elaborasi konitif yang lebih pada dalam liputan yg terdapat buat memilih alasan dari aliansi tersebut. 

B. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) dalam Wymer dan Sergeant (2006), salah satu dimensi dalam cause-related marketing adalah durasi. Usia yg panjang dalam suatu interaksi terlihat adalah krusial bagi perusahaan yg berkecimpung pada bidang usaha dengan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yg panjang merupakan bentuk yang ideal. Ketika hubungan tadi berjalan dengan ketika yang usang, maka akan terbentuk interaksi partnership yg akan menciptakan komitmen perusahaan yg sejalan menggunakan misi berdasarkan organisasi non profit. Sagawa dan Segal (2001) pada Wymer dan Sergeant (2006) merogoh suatu pandangan yang lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non profit buat nir mencari keuntungan, menggunakan mengenali manfaat-manfaat yg diperlukan dari para pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para mitra bisnis mendapat publisitas serta sosialisasi yang akbar buat dukungan mereka. 

Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan bisnis nir tertarik terhadap interaksi-hubungan jangka panjang dalam acara cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan dengan organsiasi non profit melalui pembatasan waktu. Perusahaan memandang hubungan-hubungan dalam jangka saat yang lebih pendek dipercayai dapat memperoleh sasaran output yg lebih baik, serta memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat dalam hal biaya -porto yang lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas usaha menggunakan tujuan utama untuk mencari keuntungan mengakibatkan pengalaman para pemasar cenderung buat memiliki asa-asa yang lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), terdapat 2 bentuk durasi acara cause-related marketing dari waktu, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit dalam jangka waktu yg pendek. Sebagai contoh, perusahaan melakukan program cause-related marketing pada jangka waktu tiga bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit pada jangka saat yg panjang, namun nir secara tetap. 

Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif bisa meningkatkan merk equity melalui kerjasama pada ketika yang usang dengan organisasi tersebut. Asosiasi ke 2 pihak membangun ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan dan merek-merek dari perusahaan menggunakan mudah dapat mengatur pulang asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yg menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat menaikkan menggunakan gampang serta bertenaga investasi mereka pada hal yang terkait menggunakan cause-related marketing (Till dan Nowak, 2000).

C. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dipercaya menjadi cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus yakin bahwa ada hubungan positif antara aplikasi cause-related marketing dengan meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten pada jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan rakyat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yg dalam gilirannya dapat menaruh keuntungan ekonomi-usaha pada perusahaan yg bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yang sudah well-planned serta bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis serta metodologis, tetapi pula masih poly perusahaan yang pengeluaran dana CSR-nya berbasis pada proposal yg diajukan warga (Susanto, 2007).

Cause-related marketing bisa ditinjau menjadi perwujudan perhatian perusahaan terhadap aktivitas sosial. Pada dasarnya program cause-related marketing memiliki dua tujuan utama, yaitu menaikkan performa perusahaan dan memberikan donasi sosial yang berguna, menggunakan menaikkan anggaran yg sebagian berdasarkan laba atau penjualan produknya akan disumbangkan buat kegiatan sosial tertentu. Dalam beberapa perkara, perusahaan yang melakukan cause-related marketing tidak memiliki aturan yg permanen sepanjang waktu untuk kegiatan tersebut. Porsi dari aturan cause-related marketing lebih banyak digunakan melalui iklan yg ditayangkan di suratkabar atau televisi untuk mempromosikan kegiatan cause-related marketing tadi. Hai ini dilakukan agar memperoleh respon yg positif dari konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing, yang secara tidak pribadi di sisi lainnya merupakan produk yg berkaitan dengan program cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

D. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) dalam pemasaran baru bisa sebagai berkelanjutan bila acara yg dibentuk oleh suatu perusahaan sahih-benar adalah komitmen beserta dari segenap unsur yang terdapat di pada perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan menggunakan penuh antusias menurut karyawan akan menjadikan program-acara tadi nir berjalan dengan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari acara-program tadi akan memberikan arti tersendiri yang sangat akbar bagi perusahaan.

Miller (2002) mengungkapkan faktor primer yang dapat menaikkan kesetiaan pelanggan pada suatu aktivitas pemasaran yang terkait menggunakan cause-related marketing adalah menyatakan terlibat dalam acara tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, cause-related marketing merupakan krusial bagi suatu kemitraan buat nir mencari laba, bahwa dengan mengintegrasikan bantuan, sukarelawan-sukarelawan karyawan dan manajemen puncak perusahaan yg dapat mendukung acara cause-related marketing adalah penting bagi publik. Hal ini memperlihatkan adanya komitmen yang tinggi berdasarkan perusahaan buat kemitraan pada jangka waktu yg panjang, yang dalam akhirnya akan menciptakan loyalitas menggunakan konsumen. Ketika membuatkan suatu acara cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu tahu keterkaitan menggunakan kemitraan tadi, yang paling mudah dikomunikasikan dengan memilih suatu acara yg sinkron dengan kemampuan perusahaan pada pelaksanaan tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yang herbi CSR memiliki tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan berdasarkan dewan direksi, manajemen puncak , dan pemilik dan sukarelawan menurut aneka macam unit pada perusahaan yg terkena pengaruh atau terlibat dengan info-isu seputar cause-related marketing pada CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi acara akan sebagai landasan bagi aktivitas evaluasi selanjutnya, dapat juga diidentifikasi menjadi nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang pada setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih mengklaim tercapainya tujuan serta penerimaan dari aktivitas cause-related marketing dalam CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, dan aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip dan dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara khusus mempunyai proses pengambilan keputusan yang khusus serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek eksklusif dari aktivitas operasionalnya, aktivitas-kegiatan yg secara eksklusif berhubungan dengan produk serta layanan yang didapatkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-berita krusial yang sedang hangat dalam tanggung jawab sosial. Oleh karena itu diskusi menggunakan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat penting guna memetakan kepentingan yg mereka miliki. Adalah penting untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan diskusi, karena stakeholder dapat melihat sebagai kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka tentang konduite perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini adalah memetakan definisi mereka mengenai keberhasilan dalam rangka kerjasamanya dengan perusahaan.