LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Landasan Teori Dan Perumusan Hipotesis 
1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler serta Keller (2006) menjelaskan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yang berbasis pengembangan, desain, implementasi serta kegiatan proses pemasaran yg dikenali memiliki nilai ketergantungan yang tinggi. Pendekatan holistik didasari pada cara buat mengatasi berbagi konflik pemasaran yg kompleks serta luas. Karakteristik pemasaran keseluruhan merupakan integrasi berdasarkan empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) adalah konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha memilih apa keinginan, kebutuhan, dan ketertarikan atau kepentingan menurut sasaran pasar. Organisasi lalu menaruh nilai superior kepada konsumen dengan cara-cara yang bisa mempertahankan atau menaikkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar buat dapat menyeimbangkan 3 pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan warga . Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, insentif dan teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005). 

Pemasaran sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan dan pengujian konsep produk, komunikasi yg diarahkan, pemberian fasilitas, bonus-insentif dan perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan grup sasaran. Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa konsep pemasaran sosial yg condong untuk aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas pengembangan rakyat yang bersifat non profit. Kotler serta Keller (2006) menjelaskan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated rencana and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yg berkepentingan buat membarui perilaku masyarakat, yaitu suatu produk sosial. Bentuk berdasarkan produk sosial antara lain berupa inspirasi sosial, yaitu bentuk dari keyakinan, sikap atau nilai. Ide sosial yg dipasarkan bisa pula merupakan sebuat perilaku atau sebuah nilai.

Belch serta Belch (2004) menyebutkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral menurut societal marketing dan pertukaran ini nir hanya terbatas dalam pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya pada hubungan antara perusahaan donor dan lembaga nirlaba terkait menggunakan suatu info sosial. Lembaga nirlaba akan mendapat sejumlah donasi berdasarkan perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor nir menerima bentuk laba material serta donasi yg diberikan. Donasi yang diberikan oleh perusahaan merupakan pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti contohnya feelings of goodwill dan altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan menurut frase cause-related marketing ditujukan kepada perusahaan kartu kredit American Express yg menjalankan taktik pemasarannya pada tahun 1983. Tujuan awal perusahaan adalah meningkatkan jumlah pengguna kartu kredit, yg lalu berkembang menggunakan taktik pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty pada Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent dari penggunaan kartu kredit, dan satu dollar menurut penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan di tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 %, dibandingkan menggunakan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang herbi cause-related marketing yg menyebutkan keluarnya konsep sejalan dengan teori yg hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Menurut Polonski dan Speed (2001), banyak laba yang mampu diperoleh oleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama adalah menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal sudah tertarik buat melakukan cause yang kemudian dipromosikan sang perusahaan. Keuntungan ke 2 merupakan tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial eksklusif. Manfaat ketiga, aktivitas sosial sanggup dipengaruhi sang perusahaan, yang melihat keterkaitan antara produknya dengan aktivitas sosial tertentu. Perusahaan yg melakukan cause-related marketing akan bisa menerima ceruk pasarnya dengan lebih tepat. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk menggunakan informasi tertentu, serta konsumen yang tertarik menggunakan berita tadi akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu dengan gosip yang menjadi perhatiannya. Keempat, output penjualan sanggup meningkat lantaran tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan menggunakan pihak-pihak yg memiliki kepedulian yang sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati identitas merek yang positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya penjelasan yang kentara perbedaan diantara cause-related marketing menggunakan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing nir termasuk pada philanthropy perusahaan dan sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang pada pihak nonprofit, berdasar kepada jumlah produk yang dapat terjual pada konsumen. Program khusus yg dilakukan dalam cause-related marketing merupakan penjualan dan promosi suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship merupakan aktivitas yg melibatkan uang dan barang pada pihak lain yang bertujuan mengenalkan produk tertentu serta nama perusahaan melalui aktivitas yg diadakan sang pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship menggunakan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang kedua pihak mengenai jumlah serta cara donasinya. 

Menurut Kotler dan Lee (2005), masih ada aneka macam macam cara buat melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang eksklusif setiap produk terjual, (dua) jumlah uang eksklusif setiap aplikasi terhadap produk jasa tertentu, (3) persentase eksklusif dari penjualan produk, (4) proporsi yg tidak dipengaruhi sebelumnya dari penjualan produk, (5) perusahaan memberikan kontribusi sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase eksklusif menurut laba bersih, (7) penawarannya mungkin terkait menggunakan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku buat kerangka saat eksklusif atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas menurut kontribusi (bukan dengan saat).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi keluarga Indonesia untuk mendukung acara peningkatan pencerahan warga tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- dalam setiap pembelian sabun btg Lifebouy. Hasil yg terkumpul sejauh ini telah dirasakan manfaatnya oleh 10.000 murid Sekolah Dasar yg memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan langsung. Bahkan dana tersebut relatif buat membiayai program menurut sekolah ke sekolah, yg mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam keluarga mereka serta mendorong terciptanya gaya hayati yang lebih sehat. Ribuan anak turut serta pada memberikan cap ke 2 tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka buat mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan nir saja menyebarkan iklan dan kenaikan pangkat yang bertanggung jawab. Di pada komunikasi, perusahaan tidak saja menyampaikan mengenai manfaat produk itu sendiri, namun pula pesan-pesan pendidikan tentang kesadaran hayati sehat (Susanto, 2007). 

3. Cause-Related Marketing Strategis serta Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing pada pemasaran mempunyai interaksi yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit dan konsumen. Tetapi, dampak yang didapatkan akan bhineka tergantung pada situasi tertentu, yakni pola acara cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam cause-related marketing terdiri menurut 2 bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis mempunyai perbedaan yang mendasar menggunakan pola cause-related marketing strategis, namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema dari cause-related marketing taktis dan strategis
Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka ketika yang lama , keterlibatan manajemen yang menyeluruh berdasarkan zenit sampai bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan pada acara akbar, serta adanya kesesuaian interaksi yg tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, merk image, positioning dan target pasar. Perusahaan yang menggunakan cause-related marketing dengan cara taktis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka waktu yg terbatas dan pada periode saat tertentu, keterlibatan manajemen pada acara sebatas kelompok yg dibentuk dalam kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan nir sebesar strategic cause-related marketing, dan kesesuaian hubungan yang nir tinggi yang dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, merk image, positioning dan target pasar (Varadarajan dan Menon, 1988). 

A. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan kegiatan cause-related marketing diyakini memberikan pengaruh positif bagi perusahaan. Tetapi demikian, imbas positif tadi nir terbentuk begitu saja. Konsumen tidak secara mudah mendapat inisiatif sosial buat kemudian menaruh reward pada perusahaan. Asosiasi positif yang terbentuk dari suatu inisiatif sosial akan bergantung pada evaluasi konsumen terhadap inisiatif tersebut dalam hubungannya dengan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang mempunyai peran penting pada proses evaluasi konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar dalam level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor serta aktivitas filantropi buat tetapkan apakah pantas bagi perusahaan tadi buat terlibat dalam suatu sponsorship spesifik (Drumwright et al, 1996). Konsumen mempunyai keyakinan yang bertenaga bahwa perusahaan seharusnya mensponsori informasi-berita sosial yang mempunyai asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). 

Varadarajan dan Menon (1988) menyatakan bahwa dalam cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan sebagai kesesuaian hubungan yg dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, brand image, positioning dan target pasar. Congruence atau fit asal dari asosiasi bersama antara merek dan filantropi, misalnya misalnya dimensi produk, afinitas menggunakan sasaran segmen spesifik, corporate image associations yang terbentuk akibat kegiatan merek terdahulu pada domain sosial spesifik, serta keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon serta Khan, 2003). Definsi lain tentang congruence diberikan sang Becker et al. (2006) menjadi kesesuaian antara perusahaan dan gosip sosial yg bisa diperoleh dari misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau mengembangkan bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa peran krusial congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh dalam kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu dalam suatu hubungan, misalnya mempertinggi elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, dan atau interaksi itu sendiri waktu dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta kabar yg terdapat. Alasan ke 2 merupakan congruence berpengaruh dalam tipe spesifik yang muncul pada pikiran, seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif dan low congruence itu sendiri bisa dinilai negatif. Alasan ketiga merupakan congruence menghipnotis evaluasi berdasarkan dua objek. Apabila konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan buat mengurangi perilaku mereka terhadap perubahan serta inisiatif sosial dan mempertanyakan motif menurut apa yg dilakukan sang perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menyebutkan bahwa incongruent yang dirasakan lemah atau tidak terdapat dalam aliansi antara organisasi memberitahuakn bahwa konsumen membutuhkan penjelasan terperinci konitif yg lebih pada dalam informasi yg ada buat menentukan alasan menurut aliansi tadi. 

B. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) pada Wymer serta Sergeant (2006), keliru satu dimensi pada cause-related marketing merupakan durasi. Usia yg panjang pada suatu hubungan terlihat merupakan penting bagi perusahaan yg bergerak dalam bidang usaha menggunakan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yg panjang merupakan bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut berjalan dengan ketika yang usang, maka akan terbentuk hubungan partnership yg akan membangun komitmen perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa serta Segal (2001) dalam Wymer serta Sergeant (2006) mengambil suatu pandangan yg lebih pragmatis, yakni menggunakan merekomendasikan para kawan atau organisasi non profit buat nir mencari keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang dibutuhkan dari para pendukung usaha (perusahaan) buat memastikan bahwa para kawan usaha menerima publisitas serta sosialisasi yang akbar untuk dukungan mereka. 

Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan usaha nir tertarik terhadap hubungan-hubungan jangka panjang dalam program cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan menggunakan organsiasi non profit melalui restriksi saat. Perusahaan memandang interaksi-interaksi dalam jangka waktu yang lebih pendek dipercayai dapat memperoleh sasaran hasil yang lebih baik, dan memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat pada hal biaya -biaya yg lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas usaha dengan tujuan utama buat mencari keuntungan menyebabkan pengalaman para pemasar cenderung buat mempunyai asa-asa yang lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), terdapat dua bentuk durasi program cause-related marketing menurut ketika, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit dalam jangka saat yg pendek. Sebagai model, perusahaan melakukan acara cause-related marketing pada jangka saat tiga bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit pada jangka saat yang panjang, namun tidak secara permanen. 

Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif dapat mempertinggi merk equity melalui kerjasama dalam waktu yang lama dengan organisasi tadi. Asosiasi kedua pihak membentuk ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan dan merek-merek dari perusahaan dengan mudah dapat mengatur balik asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yg menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif menurut prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan bisa meningkatkan menggunakan gampang dan bertenaga investasi mereka pada hal yg terkait menggunakan cause-related marketing (Till serta Nowak, 2000).

C. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dipercaya sebagai cost semata, melainkan pula sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan wajib konfiden bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan cause-related marketing menggunakan meningkatnya apresiasi global internasional juga domestik terhadap perusahaan yg bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten pada jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan rakyat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya bisa memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yg telah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sebagai akibatnya sangat sistematis serta metodologis, tetapi juga masih banyak perusahaan yg pengeluaran dana CSR-nya berbasis pada proposal yg diajukan rakyat (Susanto, 2007).

Cause-related marketing dapat ditinjau menjadi perwujudan perhatian perusahaan terhadap aktivitas sosial. Pada dasarnya acara cause-related marketing memiliki 2 tujuan primer, yaitu mempertinggi performa perusahaan serta memberikan donasi sosial yang berguna, dengan menaikkan aturan yg sebagian menurut laba atau penjualan produknya akan disumbangkan buat aktivitas sosial eksklusif. Dalam beberapa masalah, perusahaan yg melakukan cause-related marketing tidak memiliki aturan yang permanen sepanjang saat buat kegiatan tersebut. Porsi menurut anggaran cause-related marketing lebih poly dipakai melalui iklan yg ditayangkan di suratkabar atau televisi buat mempromosikan kegiatan cause-related marketing tadi. Hai ini dilakukan supaya memperoleh respon yg positif menurut konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing, yg secara nir pribadi pada sisi lainnya merupakan produk yg berkaitan dengan acara cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

D. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) pada pemasaran baru dapat sebagai berkelanjutan bila acara yang dibentuk oleh suatu perusahaan benar-sahih adalah komitmen beserta berdasarkan segenap unsur yg terdapat pada dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh antusias menurut karyawan akan mengakibatkan program-program tadi nir berjalan menggunakan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai berdasarkan program-program tersebut akan menaruh arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.

Miller (2002) menjelaskan faktor primer yang bisa menaikkan kesetiaan pelanggan pada suatu aktivitas pemasaran yang terkait dengan cause-related marketing merupakan menyatakan terlibat pada program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan istilah lain, cause-related marketing merupakan penting bagi suatu kemitraan buat tidak mencari keuntungan, bahwa dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawan-sukarelawan karyawan serta manajemen zenit perusahaan yg bisa mendukung acara cause-related marketing adalah krusial bagi publik. Hal ini menerangkan adanya komitmen yang tinggi dari perusahaan buat kemitraan dalam jangka saat yang panjang, yang dalam akhirnya akan menciptakan loyalitas dengan konsumen. Ketika menyebarkan suatu program cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu tahu keterkaitan dengan kemitraan tersebut, yg paling mudah dikomunikasikan menggunakan memilih suatu acara yang sinkron menggunakan kemampuan perusahaan dalam aplikasi tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yang berhubungan dengan CSR mempunyai tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan dari dewan direksi, manajemen zenit, serta pemilik serta sukarelawan dari aneka macam unit dalam perusahaan yang terkena impak atau terlibat dengan berita-informasi seputar cause-related marketing dalam CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi program akan menjadi landasan bagi aktivitas evaluasi selanjutnya, bisa juga diidentifikasi sebagai nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang dalam setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih mengklaim tercapainya tujuan dan penerimaan berdasarkan kegiatan cause-related marketing pada CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, dan aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip dan dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara spesifik memiliki proses pengambilan keputusan yg spesifik serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari aktivitas operasionalnya, kegiatan-kegiatan yang secara eksklusif berhubungan dengan produk dan layanan yang dihasilkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-informasi krusial yang sedang hangat pada tanggung jawab sosial. Oleh karenanya diskusi menggunakan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat krusial guna memetakan kepentingan yang mereka miliki. Adalah penting buat memperoleh kejelasan tentang tujuan diskusi, lantaran stakeholder dapat melihat sebagai kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka mengenai perilaku perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini merupakan memetakan definisi mereka tentang keberhasilan dalam rangka kerjasamanya dengan perusahaan.

LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Landasan Teori Dan Perumusan Hipotesis 
1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler dan Keller (2006) menyebutkan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yg berbasis pengembangan, desain, implementasi dan kegiatan proses pemasaran yg dikenali memiliki nilai ketergantungan yg tinggi. Pendekatan holistik didasari dalam cara buat mengatasi menyebarkan perseteruan pemasaran yang kompleks dan luas. Karakteristik pemasaran holistik merupakan integrasi dari empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha menentukan apa cita-cita, kebutuhan, serta ketertarikan atau kepentingan berdasarkan target pasar. Organisasi kemudian memberikan nilai superior pada konsumen dengan cara-cara yg bisa mempertahankan atau mempertinggi kesejahteraan konsumen serta rakyat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar buat dapat menyeimbangkan 3 pertimbangan pada merogoh keputusan tentang kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan masyarakat. Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, bonus serta teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yg bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005). 

Pemasaran sosial memakai konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan serta pengujian konsep produk, komunikasi yang diarahkan, anugerah fasilitas, bonus-insentif serta perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan kelompok target. Asumsi dasar penelitian ini merupakan bahwa konsep pemasaran sosial yg condong buat aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi kegiatan pengembangan warga yang bersifat non profit. Kotler dan Keller (2006) menyebutkan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated rencana and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yg berkepentingan buat membarui konduite warga , yaitu suatu produk sosial. Bentuk menurut produk sosial antara lain berupa inspirasi sosial, yaitu bentuk menurut keyakinan, perilaku atau nilai. Ide sosial yang dipasarkan dapat pula adalah sebuat perilaku atau sebuah nilai.

Belch dan Belch (2004) menyebutkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral berdasarkan societal marketing serta pertukaran ini nir hanya terbatas pada pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya pada hubungan antara perusahaan donor serta forum nirlaba terkait menggunakan suatu gosip sosial. Lembaga nirlaba akan menerima sejumlah bantuan menurut perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor tidak mendapat bentuk laba material dan kontribusi yg diberikan. Donasi yang diberikan oleh perusahaan merupakan pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti contohnya feelings of goodwill dan altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan dari frase cause-related marketing ditujukan pada perusahaan kartu kredit American Express yang menjalankan strategi pemasarannya dalam tahun 1983. Tujuan awal perusahaan merupakan menaikkan jumlah pengguna kartu kredit, yg lalu berkembang menggunakan strategi pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty di Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent menurut penggunaan kartu kredit, serta satu dollar berdasarkan penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan pada tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 %, dibandingkan menggunakan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang berhubungan dengan cause-related marketing yg mengungkapkan keluarnya konsep sejalan menggunakan teori yang hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Menurut Polonski serta Speed (2001), banyak laba yg sanggup diperoleh oleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama merupakan menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal telah tertarik untuk melakukan cause yang lalu dipromosikan oleh perusahaan. Keuntungan ke 2 adalah tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial tertentu. Manfaat ketiga, kegiatan sosial sanggup ditentukan sang perusahaan, yg melihat keterkaitan antara produknya menggunakan kegiatan sosial tertentu. Perusahaan yang melakukan cause-related marketing akan mampu mendapatkan ceruk pasarnya menggunakan lebih sempurna. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk dengan gosip eksklusif, serta konsumen yang tertarik menggunakan isu tersebut akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu menggunakan berita yg sebagai perhatiannya. Keempat, hasil penjualan sanggup meningkat lantaran tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan menggunakan pihak-pihak yang memiliki kepedulian yang sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati bukti diri merek yg positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya klarifikasi yg kentara disparitas diantara cause-related marketing menggunakan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing tidak termasuk dalam philanthropy perusahaan serta sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang kepada pihak nonprofit, berdasar pada jumlah produk yg bisa terjual pada konsumen. Program spesifik yg dilakukan pada cause-related marketing adalah penjualan serta kenaikan pangkat suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship adalah kegiatan yang melibatkan uang serta barang pada pihak lain yg bertujuan mengenalkan produk tertentu dan nama perusahaan melalui kegiatan yang diadakan oleh pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship dengan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang ke 2 pihak tentang jumlah dan cara donasinya. 

Menurut Kotler dan Lee (2005), masih ada aneka macam macam cara buat melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (dua) jumlah uang tertentu setiap pelaksanaan terhadap produk jasa eksklusif, (3) persentase eksklusif dari penjualan produk, (4) proporsi yang tidak dipengaruhi sebelumnya menurut penjualan produk, (lima) perusahaan menaruh kontribusi sejumlah donasi menurut konsumen, (6) persentase tertentu dari keuntungan higienis, (7) penawarannya mungkin terkait menggunakan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku buat kerangka saat eksklusif atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas dari kontribusi (bukan menggunakan saat).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi famili Indonesia buat mendukung acara peningkatan pencerahan masyarakat tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- dalam setiap pembelian sabun btg Lifebouy. Hasil yang terkumpul sejauh ini telah dirasakan keuntungannya oleh 10.000 siswa SD yang memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan eksklusif. Bahkan dana tersebut relatif buat membiayai program dari sekolah ke sekolah, yang mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam famili mereka serta mendorong terciptanya gaya hidup yang lebih sehat. Ribuan anak turut dan dalam menaruh cap kedua tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka buat mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan tidak saja mengembangkan iklan serta kenaikan pangkat yang bertanggung jawab. Di pada komunikasi, perusahaan tidak saja membicarakan tentang manfaat produk itu sendiri, tetapi jua pesan-pesan pendidikan tentang kesadaran hayati sehat (Susanto, 2007). 

3. Cause-Related Marketing Strategis dan Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing pada pemasaran memiliki hubungan yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit serta konsumen. Namun, dampak yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung kepada situasi eksklusif, yakni pola acara cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam cause-related marketing terdiri dari 2 bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis mempunyai perbedaan yg mendasar menggunakan pola cause-related marketing strategis, namun mempunyai dimensi yg sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema menurut cause-related marketing taktis dan strategis
Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis merupakan komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka ketika yang lama , keterlibatan manajemen yang menyeluruh menurut puncak sampai bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan pada program akbar, dan adanya kesesuaian hubungan yg tinggi yang dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, brand image, positioning dan sasaran pasar. Perusahaan yang memakai cause-related marketing menggunakan cara taktis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka saat yg terbatas serta pada periode saat tertentu, keterlibatan manajemen pada acara sebatas kelompok yg dibuat pada kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan nir sebesar strategic cause-related marketing, dan kesesuaian interaksi yg nir tinggi yg dirasakan antara suatu info dengan lini produk, merk image, positioning serta sasaran pasar (Varadarajan dan Menon, 1988). 

A. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan aktivitas cause-related marketing diyakini memberikan impak positif bagi perusahaan. Tetapi demikian, dampak positif tersebut tidak terbentuk begitu saja. Konsumen nir secara gampang menerima inisiatif sosial buat lalu menaruh reward kepada perusahaan. Asosiasi positif yang terbentuk dari suatu inisiatif sosial akan bergantung dalam penilaian konsumen terhadap inisiatif tersebut dalam hubungannya menggunakan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang memiliki kiprah penting pada proses penilaian konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar dalam level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor dan aktivitas filantropi buat tetapkan apakah pantas bagi perusahaan tersebut buat terlibat pada suatu sponsorship khusus (Drumwright et al, 1996). Konsumen mempunyai keyakinan yang bertenaga bahwa perusahaan seharusnya mensponsori berita-info sosial yg mempunyai asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). 

Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa pada cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan menjadi kesesuaian hubungan yang dirasakan antara suatu info menggunakan lini produk, brand image, positioning serta target pasar. Congruence atau fit dari berdasarkan asosiasi bersama antara merek dan filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas menggunakan sasaran segmen spesifik, corporate image associations yg terbentuk dampak kegiatan merek terdahulu dalam domain sosial spesifik, dan keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon dan Khan, 2003). Definsi lain tentang congruence diberikan oleh Becker et al. (2006) menjadi kesesuaian antara perusahaan dan berita sosial yg dapat diperoleh menurut misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa kiprah penting congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh pada kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu dalam suatu interaksi, misalnya menaikkan penjelasan terperinci mengenai perusahaan, inisitif sosial, serta atau hubungan itu sendiri waktu dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta informasi yg terdapat. Alasan ke 2 adalah congruence berpengaruh pada tipe khusus yang muncul pada pikiran, misalnya misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif serta low congruence itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga merupakan congruence mensugesti evaluasi menurut 2 objek. Jika konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan buat mengurangi perilaku mereka terhadap perubahan dan inisiatif sosial serta mempertanyakan motif menurut apa yang dilakukan oleh perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menyebutkan bahwa incongruent yg dirasakan lemah atau nir terdapat pada aliansi antara organisasi menunjukkan bahwa konsumen membutuhkan elaborasi konitif yang lebih pada dalam liputan yg terdapat buat memilih alasan dari aliansi tersebut. 

B. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) dalam Wymer dan Sergeant (2006), salah satu dimensi dalam cause-related marketing adalah durasi. Usia yg panjang dalam suatu interaksi terlihat adalah krusial bagi perusahaan yg berkecimpung pada bidang usaha dengan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yg panjang merupakan bentuk yang ideal. Ketika hubungan tadi berjalan dengan ketika yang usang, maka akan terbentuk interaksi partnership yg akan menciptakan komitmen perusahaan yg sejalan menggunakan misi berdasarkan organisasi non profit. Sagawa dan Segal (2001) pada Wymer dan Sergeant (2006) merogoh suatu pandangan yang lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non profit buat nir mencari keuntungan, menggunakan mengenali manfaat-manfaat yg diperlukan dari para pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para mitra bisnis mendapat publisitas serta sosialisasi yang akbar buat dukungan mereka. 

Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan bisnis nir tertarik terhadap interaksi-hubungan jangka panjang dalam acara cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan dengan organsiasi non profit melalui pembatasan waktu. Perusahaan memandang hubungan-hubungan dalam jangka saat yang lebih pendek dipercayai dapat memperoleh sasaran output yg lebih baik, serta memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat dalam hal biaya -porto yang lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas usaha menggunakan tujuan utama untuk mencari keuntungan mengakibatkan pengalaman para pemasar cenderung buat memiliki asa-asa yang lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), terdapat 2 bentuk durasi acara cause-related marketing dari waktu, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit dalam jangka waktu yg pendek. Sebagai contoh, perusahaan melakukan program cause-related marketing pada jangka waktu tiga bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit pada jangka saat yg panjang, namun nir secara tetap. 

Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif bisa meningkatkan merk equity melalui kerjasama pada ketika yang usang dengan organisasi tersebut. Asosiasi ke 2 pihak membangun ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan dan merek-merek dari perusahaan menggunakan mudah dapat mengatur pulang asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yg menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat menaikkan menggunakan gampang serta bertenaga investasi mereka pada hal yang terkait menggunakan cause-related marketing (Till dan Nowak, 2000).

C. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dipercaya menjadi cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus yakin bahwa ada hubungan positif antara aplikasi cause-related marketing dengan meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten pada jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan rakyat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yg dalam gilirannya dapat menaruh keuntungan ekonomi-usaha pada perusahaan yg bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yang sudah well-planned serta bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis serta metodologis, tetapi pula masih poly perusahaan yang pengeluaran dana CSR-nya berbasis pada proposal yg diajukan warga (Susanto, 2007).

Cause-related marketing bisa ditinjau menjadi perwujudan perhatian perusahaan terhadap aktivitas sosial. Pada dasarnya program cause-related marketing memiliki dua tujuan utama, yaitu menaikkan performa perusahaan dan memberikan donasi sosial yang berguna, menggunakan menaikkan anggaran yg sebagian berdasarkan laba atau penjualan produknya akan disumbangkan buat kegiatan sosial tertentu. Dalam beberapa perkara, perusahaan yang melakukan cause-related marketing tidak memiliki aturan yg permanen sepanjang waktu untuk kegiatan tersebut. Porsi dari aturan cause-related marketing lebih banyak digunakan melalui iklan yg ditayangkan di suratkabar atau televisi untuk mempromosikan kegiatan cause-related marketing tadi. Hai ini dilakukan agar memperoleh respon yg positif dari konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing, yang secara tidak pribadi di sisi lainnya merupakan produk yg berkaitan dengan program cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

D. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) dalam pemasaran baru bisa sebagai berkelanjutan bila acara yg dibentuk oleh suatu perusahaan sahih-benar adalah komitmen beserta dari segenap unsur yang terdapat di pada perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan menggunakan penuh antusias menurut karyawan akan menjadikan program-acara tadi nir berjalan dengan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari acara-program tadi akan memberikan arti tersendiri yang sangat akbar bagi perusahaan.

Miller (2002) mengungkapkan faktor primer yang dapat menaikkan kesetiaan pelanggan pada suatu aktivitas pemasaran yang terkait menggunakan cause-related marketing adalah menyatakan terlibat dalam acara tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, cause-related marketing merupakan krusial bagi suatu kemitraan buat nir mencari laba, bahwa dengan mengintegrasikan bantuan, sukarelawan-sukarelawan karyawan dan manajemen puncak perusahaan yg dapat mendukung acara cause-related marketing adalah penting bagi publik. Hal ini memperlihatkan adanya komitmen yang tinggi berdasarkan perusahaan buat kemitraan pada jangka waktu yg panjang, yang dalam akhirnya akan menciptakan loyalitas menggunakan konsumen. Ketika membuatkan suatu acara cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu tahu keterkaitan menggunakan kemitraan tadi, yang paling mudah dikomunikasikan dengan memilih suatu acara yg sinkron dengan kemampuan perusahaan pada pelaksanaan tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yang herbi CSR memiliki tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan berdasarkan dewan direksi, manajemen puncak , dan pemilik dan sukarelawan menurut aneka macam unit pada perusahaan yg terkena pengaruh atau terlibat dengan info-isu seputar cause-related marketing pada CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi acara akan sebagai landasan bagi aktivitas evaluasi selanjutnya, dapat juga diidentifikasi menjadi nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang pada setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih mengklaim tercapainya tujuan serta penerimaan dari aktivitas cause-related marketing dalam CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, dan aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip dan dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara khusus mempunyai proses pengambilan keputusan yang khusus serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek eksklusif dari aktivitas operasionalnya, aktivitas-kegiatan yg secara eksklusif berhubungan dengan produk serta layanan yang didapatkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-berita krusial yang sedang hangat dalam tanggung jawab sosial. Oleh karena itu diskusi menggunakan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat penting guna memetakan kepentingan yg mereka miliki. Adalah penting untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan diskusi, karena stakeholder dapat melihat sebagai kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka tentang konduite perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini adalah memetakan definisi mereka mengenai keberhasilan dalam rangka kerjasamanya dengan perusahaan.

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: 2-15) menyampaikan bahwa termin awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menerangkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut (engineering, science, serta audiovisual education).

Dalam kaitannya menggunakan engineering, pengkajian diawali menurut makna engineering yg mendeskripsikan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi buat digunakan secara praktis, yg kebanyakan masih ada di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt serta W.W. Charters sebagai perintis penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan buat pengembangan kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini dipakai jua oleh Munroe (1912) pada mengikat konsep ilmu managemen pada setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa kata educational engeering diharapkan dalam mempelajari tentang usaha yg besar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yg wajib dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover serta J.C.L. Fish membicarakan bahwa engineering adalah aktivitas profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan asal alam secara efisien pada membuat kesejahteraan. Selanjutnya menurut output diskusi antara konsep engineering yg diungkapkan Charters dan konsep teknologi yg dikembangkan Noble membentuk empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan aplikasi ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan asal; dan 4) tujuan dari keduanya merupakan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam penerapannya dalam pendidikan, digambarkan bahwa bisnis sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap menyebarkan acara, serta dalam penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan pelaksanaan ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap usaha pada pendidikan perlu dilandasi sang kejelasan ilmu yg dipakai. Untuk hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering menggunakan industrial engineering, keduanya menggunakan metode riset yg dilandasi oleh dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu tetapkan efisiensi pada setiap bisnis yg dilakukannya, guru perlu tetapkan bagaimana cara yg efisien agar siswa memperoleh pengalaman belajar yg maksimal . Dalam kaitannya menggunakan memproduksi setiap program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya kasus belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu serta engineering pada pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yg dipelajari sebagai ukuran pada proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu serta engineering pada pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu serta berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu serta berpikir reflektif pada metode engineering. Berpikir reflektif adalah artikulasi metode engineering, bersifat proses serta prosedur linier pada menetapkan aktivitas awal dan akhir. Sedangkan Dewey kurang sepakat menggunakan inspirasi bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier, menurutnya bahwa masih ada proses yg terbuka sinkron dengan konflik serta hipotesis yg akan diuji. Akan namun keduanya putusan bulat atas 5 tahapan pada berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang sepakat menggunakan model yg terrencana dalam pendidikan misalnya yang digunakan dalam kiprah pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman dan kepandaian reflektif pada memakai metode ilmu, serta menolak penggunaan mekanisme yang terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science pada bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan merupakan suatu keharusan, karena konsep serta praksis pendidikan dalam hakekatnya mengungkapkan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) sebagai pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yg tidak sama yg ditemukan pada awal abad dua puluh dalam tahu penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yang didukung secara mendasar sang konsep G Stanley Hall mengenai ilmu perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan anak sinkron dengan syarat lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yang paling sempurna buat mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science dalam pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yang dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik untuk menyelidiki contoh mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, serta pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta materi ajar yg akan disampaikan. Pandangan ketiga, menyampaikan bahwa science sebagai berukuran yg eksak serta baku yg sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan dengan itu, science dalam pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat menentukan dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai output belajar peserta didik. Tujuan science pada pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki impak terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar dapat diprediksi dan dikontrol.

Faktor ketiga yang menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (alat pandang dengar) pada pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas digunakan sesudah Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karenanya pemahaman yang terkenal memberitahuakn bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka menyampaikan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yg berupa pengalaman belajar kongkrit pada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep tak berbentuk. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar pada dalam kelas. Buku yg pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menyebutkan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana terkenal hingga waktu kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung pada tahun 1963 menggunakan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun menggunakan serius dalam pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori serta reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menerangkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat tiga inspirasi utama yaitu: 1. Menggunakan konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan tiga. Memperkenalkan bagian krusial menurut belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tadi maka sejak tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh donasi konsep menurut konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mengusut konsep komunikasi dalam pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yg menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih dalam masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon serta Weaver’s menjadi output kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang khas yg diklaim Mathematical Theory of Communication, menggunakan komponen-komponennya yang terdiri berdasarkan: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yg banyak diilhami contoh Shannon serta Weaver membentuk temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini sebagai dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif mempunyai pengaruh terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder dalam mendapat, memasak, serta menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi keterangan.

Kajian pakar-pakar psikologi dan sosial psikologi pada pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai penekanan kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama pada menetapkan tujuan pengajaran, tahu siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan asal belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine dan program pembelajaran; 2. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; serta 3. Pencocokan konsep operant conditioning menggunakan konsep model komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji sang para ahli teknologi pendidikan, sebagai akibatnya nir hanya psikologi behavior saja yg mempunyai kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal ilham di pada pengembangan contoh pembelajaran, terutama pada pada penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, ciri siswa, syarat-syarat pembelajaran yg wajib dirancang, bersama berbagai fasilitas belajar yg dapat memperkuat pengalaman belajar siswa.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum buat pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal dan diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yg mulai membuatkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction diantaranya pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat fundamental dalam proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu menggunakan usaha penguatan pembelajaran, sebagai akibatnya siswa dapat memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement pada pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, dan didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan buat terjadinya proses pengajaran serta belajar tadi. Pada masa tersebut pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sehingga mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan berdasarkan komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yg pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan memakai istilah komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual merupakan cabang dari teori dan praktek pendidikan yang secara spesifik berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan dan kekurangan yg unik juga yang relatif berdasarkan pesan baik yg diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan serta penataan pesan oleh insan serta alat pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen serta pemanfaatan berdasarkan komponen dan seluruh sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diubahsuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; dua). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual sebagai learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) sebagai Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yg akan membuat keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep utama yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi acara individual or personal instruction, dan 3). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke dalam suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, membangun keunikan, dan mempunyai alasan buat kepentingan pengembangan dalam bidang teknologi pendidikan.

Learning resources sebagai konsep yang pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai menjadi lingkungan belajar yang dapat menaruh, memperkuat, dan menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat serta fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke pada dua kelompok, yaitu: human resources, dan non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala diklaim dengan “real world resources”, karena tidak spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia dalam global nyata buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai sumber belajar yang didesain serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini dibutuhkan dapat mengurangi kedudukan pengajar sebagai “transmitter of information” penyampai fakta, akan tetapi sebagai pengajar yg bisa memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari serta memperoleh keterangan yg luas serta banyak sesuai menggunakan topik yg sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak memberikan kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or personal instruction pada penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya banyak sekali kebutuhan belajar yg nir bisa dilayani dalam pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yg diselenggarakan pada sekolah, dan atau adanya impian buat menaikkan pemahaman mengenai bahan belajar yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal instruction merupakan sejumlah materi ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat contoh acara individualized instruction yang sangat populer yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning poly mempengaruhi konsep individualized instruction dalam tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar bila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat serta independen, bahkan pendekatan ini menekankan dalam penyelesaian belajar buat bagian eksklusif secara utuh sebelum melanjutkan pada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya 5 variabel yg sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan buat memahami pelajaran, ketekunan, saat, serta kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya memberitahuakn bahwa siswa yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan beliau bisa terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang rendah hanya bisa menyelidiki materi ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa bila syarat peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah saat belajar yang sama maka pengukuran output belajar akan membuktikan distribusi normal juga. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah ketika belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik buat bisa memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yg memiliki donasi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya menggunakan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang membuatkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya pada perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning menggunakan program pembelajaran yg konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain menjadi suplemen buat memperkaya dominasi bahan belajar dibanding sebagai sumber keterangan yang utama untuk ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat output tes serta memberikan tutorial pada peserta didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan dapat menaikkan aspek sosial pada diri peserta didik pada proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan jua Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pedagogi di sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg memakai prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta strata bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yg membedakan antara konsep IPI dengan contoh yang dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal siswa mempelajari materi ajar dan penguasaan holistik mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yg berbagi Individually Guided Education (IGE) pada lebih kurang 3000 sekolah menggunakan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan acara pengajaran. Model ini jua menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian contoh pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai contoh yg digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran merupakan menjadi sistem yg mempunyai komponen-komponen pembelajaran yg saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang telah ditetapkan. Standar yang terkandung dalam tujuan pengajaran dipakai sebagai acuan buat memutuskan karakteristik siswa, materi ajar, sumber belajar, fasilitas yg perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai holistik acara pendidikan. Sedangkan penafsiran berdasarkan pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang menekankan dalam studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami interaksi yang fundamental eksistensi dari keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak memutuskan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas holistik komponen-komponen yang terlibat pada pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya menggunakan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan dengan memfasilitasi belajar dalam insan melalui bisnis yg sistematik pada identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan banyak sekali asal belajar dan menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan dari AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang menunjuk pada suatu bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan dan didapatkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori serta profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yg didukung oleh tiga konsep primer yaitu: learning resources, managemen, serta pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) dalam tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis dan menyeluruh mengenai wangsit serta konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2) keterkaitan antara wangsit serta konsep yg satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang pelaksanaan simpel, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan dengan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yg memperlihatkan bahwa instructional technology sebagai bagian ”subset” berdasarkan educational technology yang adalah empiris pengajaran dalam pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan pulang definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan menggunakan perubahan penjabaran learning resources, yg dalam awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, serta lingkungan, sebagai enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.

Terdapat tiga alasan menurut konsep yang terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; serta tiga) pengadaan asal melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan asal belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan pada memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yg bervariasi maka contoh pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan warta, sebagai akibatnya dikembangkan contoh pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, seperti model media audio visual dimanfaatkan untuk contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan asal belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yang didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yang didesain serta yang dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem buat tetapkan komponen pembelajaran yang paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik pada mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron dengan keperluan model pembelajaran, dan pada lain pihak adanya sumber belajar yg dimanfaatkan berupa dunia konkret sebagai lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg telah ada pada sekeliling peserta didik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 dalam membentuk definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini adalah dampak dari perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mensugesti terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mempengaruhi kepada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan menggunakan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang ketika itu sepakat bahwa managemen mempunyai keterkaitan dengan teknologi secara umum, dan pada kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu mempunyai pemahaman tentang managemen, karena mereka menjadi manager di dalam kelas yg memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun pada peristilah yang tidak sinkron. Ia menyebutnya dengan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya membuatkan dan menggunakan bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk pula keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, serta faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas dalam ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi donasi pada dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta tahap pengembangannya menjadi sumber penetapan taktik pembelajaran yg mencakup strategi dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar nir hanya penentu contoh pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi beliau pun menjadi bagian berdasarkan perekayasa pada penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan paradigma tadi sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual dalam Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen memiliki dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm serta Donald Ely (1976) menyampaikan bahwa tugas ke 2 managemen tadi diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yg wajib sebagai tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi serta sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal mempunyai enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, dan pelaksanaan pengawasan.

Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan namun dari segi manfaatnya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola banyak sekali macam hal yg berkaitan dengan perancangan, aplikasi, pengawasan, serta evaluasi pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 merupakan pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan dianggap juga dengan kata teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan berdasarkan mulai identifikasi perkara belajar, disain, pengembangan, produksi contoh pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, serta penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan dan difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat 3 alasan pengembangan contoh instruksional yang dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya; ke 2, sebagai rancangan yg dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; dan ketiga, model yg sederhana memudahkan buat dikomunikasikan pada calon siswa, serta model yang rinci akan memudahkan pada pengelolaan dan pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan dalam banyak sekali macam setting. Jika diklasifikasi model-contoh yang berkembang bisa digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang antara lain dikembangkan oleh Banathy (1968), dan model makro yang dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yg dianggap menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy mempunyai pendekatan terhadap siswa menjadi pusat sistem pembelajaran, serta modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar dalam mengelola aktivitas belajar. Model ini diadopsi pada pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, serta diklaim menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yang mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki dedikasi yang bertenaga dan ingin membantu siswa, dan mengharapkan buat menemukan inovasi menjadi solusi yg efektif buat memecahkan masalah belajar dan pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yg sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran siswa, dan para pakar mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai output rekayasa pembelajaran yang sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep berdasarkan ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tadi menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan menjadi proses yg komplek serta terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, ide, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yg menyangkut seluruh aspek belajar insan.

Didasarkan atas definisi tadi, maka kawasan teknologi pendidikan bisa digambarkan melalui bagan berikut adalah:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tersebut mendeskripsikan bahwa semua usaha dalam teknologi pendidikan ditujukan buat memfasilitasi dan memecahkan perkara belajar siswa. Usaha-usaha tadi terdiri berdasarkan pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan pada definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus di lingkungan pakar-pakar pendidikan, sebagai akibatnya melahirkan dua gerombolan yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sinkron menggunakan fungsi teknologi; kedua, istilah pendidikan lebih sesuai buat hal-hal yg berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa istilah pendidikan digunakan buat setting sekolah, sedangkan pembelajaran mempunyai cakupan yg luas, termasuk situasi training. Para ahli yg lebih putusan bulat menggunakan istilah teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga usahakan digunakan peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya bersikukuh dengan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yg menggunakan kedua kata tersebut dipakai secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan pada Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan dipakai di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi pada pendidikan dan pengajaran; (c) perlu mendeskripsikan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 istilah tadi, maka kata “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT menyebarkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; dua) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi; 3) proses dan asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran mempunyai landasan pengetahuan yg berdasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, serta proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan perkara belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang dipakai pada hakekatnya menurunkan menurut teori-teori yg dikembangkan sang ilmu murni, seperti psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai menggunakan syarat serta karakteristiknya, sebagai contoh syarat dan ciri siswa, bahan belajar, wahana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi adalah komponen sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik dan mempunyai keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik menjadi masukan juga umpan pulang serta penilaian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas kegiatan masing-masing.

Komponen proses serta asal dimaksudkan menggunakan serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber mempunyai keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan aktivitas-aktivitas yg tepat serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa acara pembelajaran yg dirancang pada hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri siswa, sebagai akibatnya kasus belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan sang suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yang dalam akhirnya hal tadi menjadi salah satu kriteria dari keberhasilan acara pembelajaran yg dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels serta Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan menerima kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para pakar terutama yg tergabung pada AECT, hal ini sinkron menggunakan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran serta yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yang termasuk masih prematur dan dilemparkan pada semua warga yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication dari bab awal buku yg akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi serta reviu, serta tidak diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan sebagai berikut: Teknologi pendidikan merupakan studi dan praktek yang etis pada memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses serta asal teknologi yang sempurna. Kalau dianalisis, di dalam definisi tersebut terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yang etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) kreasi, penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses dan sumber.

Istilah studi yg dipakai dalam definisi tadi merujuk dalam pemaknaan studi sebagai bisnis buat mengumpulkan kabar dan menganalisisnya melebihi aplikasi riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif buat mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media serta teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen berita, dan perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi peserta didik. Istilah studi pada definisi tadi pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar serta perbaikan kinerja belajar siswa melalui aktivitas belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.

Definisi tersebut mengarahkan bahwa teknologi pendidikan memiliki praktek yang etis pada menaruh kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar siswa. Maksud dari praktek yang etis tadi adalah adanya baku atau kebiasaan dalam mengkreasi atau merancang, memakai, serta mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan sumber belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan berdasarkan definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai teori serta praktek, bahkan bidang kajian, sebagai studi dan praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam serta lebih sempurna sebagai akibatnya diperoleh konsep-konsep dan praktek belajar sinkron menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tadi tidak menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar peserta didik menggunakan menggunakan berbagai macam sumber belajar.