KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME INDONESIA

Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia 
Konstitusi secara sederhana oleh Brian Thompson bisa diartikan sebagai suatu dokumen yg berisi anggaran-anggaran buat menjalankan suatu organisasi. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Dalam konsep konstitusi itu ter­cakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan serta kesepakatan -konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yg me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur interaksi organ-organ negara tadi dengan masyarakat negara.

Dasar keberadaan konstitusi adalah kesepa­katan generik atau persetujuan (consensus) pada antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan menggunakan negara. Organisasi negara itu diperlukan oleh rakyat masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan serta penggunaan prosedur yang dianggap negara. Kata kunci­nya merupakan mufakat atau general agreement.

Oleh karenanya, ciri serta identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan serta kenegaraan di pada konstitusi. Hal itu dapat ditinjau berdasarkan salah satu konsensus dasar yg termaktub pada konstitusi, yaitu konvensi mengenai tujuan atau impian bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat serta berlaku buat suatu negara tertentu. Konstitusi dibuat dari pengalaman serta akar sejarah suatu bangsa, syarat yg sedang dialami, dan impian yang hendak dicapai.

Setiap bangsa serta peradaban mempunyai karakter yang unik. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter serta kualitas tersendiri yang secara intrinsik nir terdapat yang bersifat superior satu diantara yang lainnya. Dalam hubungannya menggunakan pembentukan sistem hukum, von Savigny menyatakan bahwa suatu sistem aturan merupakan bagian dari budaya warga . Hukum tidak lahir menurut suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), namun dibangun serta bisa ditemukan pada pada jiwa rakyat. Hukum secara hipotetis dapat dikatakan asal menurut norma dan selanjutnya dibentuk melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity).

Dengan demikian akar hukum serta ketatanegaraan suatu bangsa yg diatur dalam konstitusi dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, akar ketatanegaraan Indonesia terkini dapat dilacak berdasarkan Hukum Tata Negara Adat yang pernah berlaku pada kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yg pernah hayati pada wilayah nusantara. Bahkan aturan rapikan negara tata cara juga masih dapat dijumpai hayati dan berlaku pada lingkup masyarakat hukum istiadat.

Oleh karena itu menilik aturan tata negara norma dibutuhkan sebagai bagian menurut upaya memahami ketatanegaraan Indonesia terkini serta mengenali identitas bangsa Indonesia yg senantiasa tumbuh dan berkembang dalam keberagaman. Selain itu, mempelajari aturan rapikan negara istiadat menggunakan kontekstualisasi terhadap ketatanegaraan Indonesia terkini juga akan mendekatkan konsep-konsep konstitusi terbaru terhadap warga Indonesia, khususnya rakyat hukum tata cara. Dengan demikian konstitusi mempunyai akar dan benar-sahih menjadi bagian berdasarkan sistem hayati warga , dipraktikkan dan berkembang seiring dengan perkembangan warga (the living constitution).

Hukum Tata Negara Adat dalam Pembahasan BPUPK
Proses pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 sang BPUPK menampakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dibuat menggunakan cita-cita serta spirit yang berakar dari semangat bangsa Indonesia yg khas, dan pengalaman ketatanegaraan norma yg sudah dipraktikkan oleh rakyat Indonesia. Hal itu dapat ditinjau dari pidato Soekarno, Soepomo, bahkan Muhammad Yamin. Spirit bangsa Indonesia menurut seluruh golongan yg terdapat diungkapkan sang Soekarno sebagai 5 dasar, yaitu Pancasila. Inilah salah satu bentuk konvensi mengenai filosofi pemerintahan yg dapat disepakati beserta (general acceptance of the same philosophy of government) . Kesepakatan tadi terjadi karena Pancasila memiliki akar dalam masyarakat Indonesia sehingga disetujui sang para pendiri bangsa, sebagaimana dikemukakan pada pidato Soekarno berikut ini.

Kita beserta-sama mentjari philosophische grondslag, mentjari satu “Weltanschauung” jang kita semuanja setudju. Saja katakan lagi setudju! Jang saudara Yamin setudjui, jang Ki Bagoes setudjui, jang Ki Hadjar setudjui, jang saudara Sanoesi setudjui, jang saudara Abikoesno setudjui, jang saudara Lim Koen Jian setudjui, pendeknja kita semua mentjari satu modus.

Soepomo menyatakan bahwa dasar serta susunan negara herbi riwayat aturan (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial dari negara itu sendiri. Oleh karenanya pembangunan negara Indonesia harus disesuaikan menggunakan struktur sosial warga Indonesia yg terdapat, misalnya yg disampaikan sang Soepomo dalam kedap BPUPK menjadi berikut.

Sungguh benar, dasar dan bentuk susunan menurut suatu negara itu berafiliasi erat menggunakan riwayat aturan (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial (sociale structuur) dari negara itu. Berhubung dengan itu apa jang baik serta adil buat suatu negara, belum tentu baik serta adil buat negara lain, sang karena keadaan nir sama.

Tiap-tiap negara mempunjai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung menggunakan riwajat dan tjorak masjarakatnja. Oleh karena itu, politik Pembangunan Negara Indonesia wajib disesuaikan menggunakan “sociale structuur” masjarakat Indonesia jang njata pada masa sekarang, dan harus diadaptasi dengan panggilan zaman, misalnja tjita-tjita Negara Indonesia dalam lingkungan Asia Timur Raya.

Muhammad Yamin pula menyatakan bahwa yang dapat sebagai dasar negara adalah menurut susunan negara aturan tata cara. Hal itu dikemukakan oleh Yamin berikut adalah.

Dari peradaban rakjat jaman sekarang, dan menurut susunan Negara Hukum norma bagian bawahan, berdasarkan sanalah kita mengumpulkan serta mengumpulkan sari-sara tata negara jang sebetul-betulnja dapat mendjadi dasar negara.

Salah satu wujud hukum rapikan negara norma yg sebagai karakteristik ketatanegaraan Indonesia merupakan prinsip musyawarah. Musyawarah dibutuhkan supaya penyelenggara negara bisa menjalankan tugasnya mewujudkan keadilan sosial sinkron menggunakan cita-cita masyarakat. Musyawarah merupakan forum pengambilan keputusan sekaligus restriksi kekuasaan. Konsep musyawarah sudah dikenal dan dipraktikkan pada ketatanegaraan tata cara di wilayah nusantara. Soepomo menyatakan

Menurut sifat tatanegara Indonesia yang orisinil, jang sampai sekarangpun masih bisa terlihat pada suasana desa baik di Djama, juga di Sumatera dan kepulauan-kepulauan Indonesia lain, maka para pendjabat negara merupakan pemimpin jang bersatu-djiwa menggunakan rakjat dan para pendjabat negara senantiasa berwadjib memegang teguh persatuan dan keimbangan dalam masjarakatnja.

Kepala desa, atau ketua rakjat berwadjib menjelenggarakan keinsjafan keadilan rakjat, wajib senantiasa memberi bentuk (Gestaltung) pada rasa keadilan serta tjita-tjita rakjat. Oleh karenanya, kepala rakjat “memegang adat” (kata pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala mobilitas-gerik dalam masjarakatnja dan buat maksud itu, senantiasa bermusjawarah menggunakan rakjatnja atau menggunakan ketua-kepala keluarga dalam desanja, agar supaja pertalian bathin antara pemimpin dan rakjat seluruhnja senantiasa terpelihara.

Yamin pula menegaskan bahwa prinsip musyawarah adalah sifat peradaban bangsa Indonesia yg orisinil, bahkan sebelum masuknya Islam. Prinsip musyawarah lah yg menyusun masyarakat dan ketatanegaraan berdasarkan keputusan beserta.

Diantara segala negeri-negeri Islam di global, barangkali bangsa Indonesialah jang sangat mengemukakan dasar permusjawaratan dan memberi tjorak jang istimewa kepada aplikasi permusjawaratan. Keadaan itu bukan kebetulan, melainkan berafiliasi karena dikuatkan sang sifat peradaban yg asli. Sebelum Islam berkembang ditanah Indonesia, maka sedjak zaman purbakala sudah menciptakan susunan desa, susunan masjarakat serta susunan hak tanah jang bersandar kepada keputusan bersama jang boleh dinamai kebulatan beserta atas masjarakat. Dasar kebulatan inilah jang sama tuanja menggunakan susunan desa, negeri, marga dan lain-lain dan mufakat itulah jang menghilangkan dasar perseorangan serta mengakibatkan hayati beserta dalam masjarakat jang teratur dan pada rapikan-negara desa jang dipelihara buat kepentingan beserta dan buat rakjat turun-temurun.

Pemikiran Soekarno, Soepomo, dan Yamin tersebut menampakan pentingnya aturan tata negara adat menjadi akar ketatanegaraan Indonesia merdeka. Oleh karenanya, memahami ketatanegaraan Indonesia tentu akan lebih komprehensif dengan mengetahui serta memahami hukum tata negara istiadat. Bahkan hukum rapikan negara istiadat yg berlaku di pada persekutuan-persekutuan hukum norma dinyatakan oleh Yamin sebagai “kaki susunan negara sebagai bagian bawah”.

Pengakuan terhadap hukum tata negara adat dan warga hukumnya selanjutnya terwujud dalam rumusan Pasal 18 UUD 1945 yg disahkan PPKI dalam 18 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa pembagian daerah Indonesia atas daerah akbar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan pada sistem pemerintahan negara, serta hak-hak berasal-usul dalam daerah-wilayah yg bersifat istimewa. 

Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan menjelaskan bahwa dalam wilayah Indonesia masih ada sekitar 250 zelfbestuurende landchappen serta volksgemeenschappen, yg memiliki susunan orisinil dan bisa dikatakan sebagai daerah istimewa. Negara menghormati kedudukan wilayah-wilayah istimewa tadi dan segala peraturan negara yang mengenai wilayah-daerah itu akan mempertimbangkan hak-hak berasal-usul wilayah yg bersifat istimewa. Hak asal-usul tadi jua meliputi bentuk serta struktur pemerintahan yg diatur dari aturan rapikan negara adat.

UUD 1945 Pasca Perubahan dan Hukum Tata Negara Adat
Walaupun para pendiri bangsa mengakui pentingnya hukum rapikan negara istiadat serta merumuskannya pengakuan terhadap keberadaan warga aturan adat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan dan penjelasannya, namun pada praktiknya hukum tata negara istiadat serta warga aturan norma itu sendiri kurang mendapat perhatian. Sebaliknya, kebijakan yang dikembangkan adalah sentralisasi serta penyeragaman ketatanegaraan pada tingkat daerah. Aspek aturan masyarakat istiadat tersisa adalah aspek keperdataan semata, yang memang nir poly melibatkan kiprah pemerintah. Hal itu bisa ditinjau diantaranya pada UU Nomor lima Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan pada Daerah dan UU Nomor lima Tahun 1979 mengenai Pemerintahan Desa yg menyeragamkan struktur pemerintahan tanpa mempertimbangkan struktur masyarakat yang telah ada terdapat berjalan. Akibtanya, warga harus mengikuti struktur dan norma bermasyarakat yang asing serta mungkin pada beberapa hal kurang sesuai dengan rapikan nilai setempat. Hal itu mengakibatkan ketegangan serta ketidakadilan yg tidak jarang mengarah pada konflik sosial.

Bersamaan menggunakan keluarnya gelombang reformasi, berkembang perlunya pengakuan dan proteksi terhadap masyarakat aturan norma. Oleh karena itu kebijakan mengalami perubahan dari sentralisasi menuju desentralisasi serta pembangunan berbasis pada kearifan lokal menggunakan penghormatan terhadap masyarakat aturan adat, termasuk hukum tata negara adat.

Penegasan pengakuan terhadap warga hukum istiadat serta hukum ketatanegaraan adat dilakukan dengan mengangkat hal-hal yg bersifat normatif pada penjelasan UUD 1945 sebagai bagian menurut pasal-pasal. Hal itu dimaksudkan buat menegaskan dan memperkuat ketentuan tersebut agar dilaksanakan pada praktik kehidupan berbangsa serta bernegara. Ketentuan mengenai pemerintahan daerah yang semula hanya 1 ayat pada 1 pasal, berkembang sebagai tiga pasal yang berisi 11 ayat ketentuan. Terkait menggunakan masyarakat aturan tata cara dan aturan rapikan negara norma diatur dalam Pasal 18B, menjadi berikut.
  1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan wilayah yang bersifat spesifik atau istimewa yang diatur menggunakan undang-undang.
  2. Negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan warga aturan norma beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sinkron menggunakan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur pada undang-undang.
Pengakuan dan penghormatan terhadap satuan pemerintahan wilayah yg bersifat spesifik atau istimewa merupakan meliputi pengakuan terhadap berlakunya aturan rapikan negara tata cara sesuai dengan struktur masyarakat setempat. Hal itu meliputi baik aspek struktur pemerintahan wilayah maupun pembentukannya. Masyarakat yang mempunyai struktur yg spesifik serta istimewa tentu tidak bisa dipaksakan menjalankan ketentuan yang kurang sinkron. Hal itu contohnya bisa dipandang dalam kasus pemilihan Gubernur Jogjakarta di mana struktur serta budaya masyarakatnya memiliki kekhususan serta keistimewaan sehingga belum dapat mendapat pemilihan ketua wilayah secara langsung.

Demikian pula halnya dengan pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat aturan istiadat, tentu dimaksudkan pula mencakup hukum tata negara norma, baik pada taraf desa dan nagari, marga, atau strata yang lebih luas lagi. Tetapi demikian, pengakuan tersebut merupakan terhadap kesatuan rakyat aturan istiadat yg memang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan warga dan prinsip negara kesatuan. Oleh karena itu, nir dalam tempatnya buat memaksanakan aturan rapikan negara istiadat yang sesungguhnya sudah tidak hidup dalam masyarakatnya, buat diberlakukan pulang dalam masyarakat setempat yg telah jauh berbeda struktur dan budayanya.

Adanya ketentuan Pasal 18B UUD 1945 merupakan landasan pluralisme aturan, terutama dalam hal rapikan pemerintahan daerah sesuai dengan aturan rapikan negara norma masing-masing. Di dalam sistem hukum nasional terdapat beberapa sistem aturan yg lebih kecil dan terbatas, yang saling terkait serta tertata pada kesatuan sistem aturan nasional.

Hukum Tata Negara Adat dan Domestikasi UUD 1945
Studi terhadap aturan rapikan negara adat tidak hanya diharapkan pada kaitannya menggunakan penerapan kebiasaan hukum rapikan negara tata cara itu sendiri. Untuk hukum rapikan negara adat yang telah tidak hidup dan tidak berlaku lagi pada masyarakatnya sendiri, tentu nir bisa diberlakukan. Tetapi demikian mengusut aturan tata negara tata cara itu permanen diharapkan buat mendekatkan serta berakibat Undang-Undang Dasar 1945 sebagai bagian menurut sejarah perkembangan warga . Hal itu berarti menampakan bahwa konsep-konsep dalam UUD 1945 memiliki akar sejarah.

Walaupun dari penerangan para pendiri bangsa bisa diketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun berdasarkan karakteristik asli masyarakat Indonesia, namun konsep-konsep serta kata-istilah yang digunakan adalah istilah-kata asing yg tidak dikenal rakyat. Pada waktu pembahasan UUD 1945 sang BPUPK misalnya, kata serta konsep yg dipakai lebih banyak berdasarkan Belanda serta Jerman, misalnya philosophische grondslag, weltanschauung, rechtstaats, serta sebagainya. Sedangkan pada perubahan UUD 1945, istilah-istilah yg digunakan jua adalah istilah asing seperti konstitusi itu sendiri, rule of law, separation of power, eksekutif, legislatif, yudikatif, serta sebagainya.

Istilah-kata tadi dipakai adalah buat memudahkan penyampaian atau komunikasi. Sedangkan esensinya sesungguhnya telah bisa ditemukan akarnya dalam hukum tata negara tata cara. Separation of power misalnya, sudah banyak dipraktikkan sang kerajaan-kerajaan pada nusantara dengan memisahkan antara lembaga atau pejabat-pejabat yg menjadi pelaksana pemerintahan (eksekutif), mengadili (hakim), dan yang memberi pertimbangan pembuatan anggaran dan keputusan pada raja, walaupun seluruh forum atau pejabat tersebut kedudukannya berada di bawah raja. Demikian juga dengan konsep supremasi konstitusi, pula dikenal pada hukum tata negara istiadat karena terdapat kerajaan-kerajaan yang memiliki buku-kitab rujukan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan negara. Untuk kesultanan-kesultanan Islam, yg sebagai sumber aturan tertinggi asalah al-Qur’an dan hadist.

Di sisi lain, eksplorasi hukum rapikan negara istiadat jua dibutuhkan buat mengungkapkan konsep-konsep Undang-Undang Dasar 1945 sesuai menggunakan pengetahuan serta medan pengalaman warga Indonesia sebagai akibatnya mudah di pahami dan diterima sang warga Indonesia. Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 akan sebagai konstitusi yang hidup serta berkembang pada praktik kehidupan berbangsa dan bernegara (the living constitution).

Oleh karena itu, upaya menilik aturan rapikan negara tata cara memiliki arti yg krusial dalam proses menciptakan konstitusionalisme Indonesia. Hal itu dapat dilakukan menggunakan mempelajari konstitusi-konstitusi pada kerajaan atau kesultanan yang pernah ada pada daerah nusantara. Di Jawa Barat dan Banten misalnya, 2 kesultanan besar yg pernah terdapat adalah Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Kesultanan Cirebon berdiri dalam awal abad ke-16 di bawah pemerintahan Sunan Gunung Djati. Kesultanan ini berdiri hampir dua abad, yaitu hingga tahun 1697 dengan Sultan terakhir adalah Panembahan Sepuh. 

Sedangkan Kesultanan Banten terbentuk berdasarkan Kerajaan Panten yg sudah terdapat dari tahun 1330 yg semula berada pada bawah kekuasaan Majapahit. Lantaran pengaruh pedagang Islam yang berdatangan di Banten, berdirilah Kesultanan Islam Banten dalam tahun 1552 dengan Sultan pertamanya merupakan Sultan Maulana Panembahan Surasowan. Kesultanan Banten berjalan efektif sampai tahun 1820 ketika meninggalnya Sultan terakhir, Muhammad Rafi’uddin.

KONSTITUSI DAN KONSTITUSIONALISME INDONESIA

Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia 
Konstitusi secara sederhana sang Brian Thompson bisa diartikan menjadi suatu dokumen yang berisi anggaran-aturan buat menjalankan suatu organisasi. Organisasi dimaksud bera­gam bentuk dan kompleksitas struktur­nya. Dalam konsep konstitusi itu ter­cakup pula pengertian peraturan tertulis, norma serta konvensi-konvensi ke­negaraan (ketatanegaraan) yg me­nen­tukan susunan dan kedu­dukan organ-organ negara, meng­atur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur interaksi organ-organ negara tadi dengan rakyat negara.

Dasar eksistensi konstitusi merupakan kesepa­katan umum atau persetujuan (consensus) pada antara mayo­ritas rakyat mengenai bangunan yg diidealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara itu diharapkan sang warga warga politik agar kepentingan mereka bersama bisa dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan prosedur yg dianggap negara. Kata kunci­nya merupakan konsensus atau general agreement.

Oleh karenanya, ciri dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan serta kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dipandang dari salah satu mufakat dasar yang termaktub pada konstitusi, yaitu konvensi mengenai tujuan atau impian bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government). Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibentuk serta berlaku untuk suatu negara eksklusif. Konstitusi dibentuk berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami, serta hasrat yg hendak dicapai.

Setiap bangsa dan peradaban memiliki karakter yg unik. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter serta kualitas tersendiri yg secara intrinsik nir terdapat yg bersifat superior satu diantara yg lainnya. Dalam hubungannya menggunakan pembentukan sistem aturan, von Savigny menyatakan bahwa suatu sistem aturan adalah bagian menurut budaya rakyat. Hukum nir lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), namun dibangun dan dapat ditemukan di pada jiwa warga . Hukum secara hipotetis dapat dikatakan berasal berdasarkan norma dan selanjutnya dibentuk melalui suatu aktivitas aturan (juristic activity).

Dengan demikian akar aturan dan ketatanegaraan suatu bangsa yg diatur pada konstitusi dapat dilacak berdasarkan sejarah bangsa itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, akar ketatanegaraan Indonesia terbaru dapat dilacak berdasarkan Hukum Tata Negara Adat yg pernah berlaku pada kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yg pernah hayati pada daerah nusantara. Bahkan aturan rapikan negara adat jua masih bisa dijumpai hayati dan berlaku pada lingkup warga aturan istiadat.

Oleh karena itu mengusut aturan rapikan negara norma diharapkan menjadi bagian menurut upaya memahami ketatanegaraan Indonesia terkini serta mengenali identitas bangsa Indonesia yg senantiasa tumbuh dan berkembang pada keberagaman. Selain itu, menilik hukum rapikan negara tata cara menggunakan kontekstualisasi terhadap ketatanegaraan Indonesia modern jua akan mendekatkan konsep-konsep konstitusi terkini terhadap masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat aturan tata cara. Dengan demikian konstitusi memiliki akar dan sahih-benar menjadi bagian berdasarkan sistem hidup rakyat, dipraktikkan serta berkembang seiring menggunakan perkembangan rakyat (the living constitution).

Hukum Tata Negara Adat dalam Pembahasan BPUPK
Proses pembahasan UUD 1945 oleh BPUPK memperlihatkan bahwa UUD 1945 dibentuk menggunakan harapan dan spirit yang berakar menurut semangat bangsa Indonesia yang khas, dan pengalaman ketatanegaraan tata cara yang sudah dipraktikkan sang rakyat Indonesia. Hal itu dapat ditinjau dari pidato Soekarno, Soepomo, bahkan Muhammad Yamin. Spirit bangsa Indonesia menurut semua golongan yang terdapat diungkapkan sang Soekarno sebagai 5 dasar, yaitu Pancasila. Inilah keliru satu bentuk kesepakatan mengenai filosofi pemerintahan yg dapat disepakati beserta (general acceptance of the same philosophy of government) . Kesepakatan tadi terjadi lantaran Pancasila memiliki akar dalam masyarakat Indonesia sehingga disetujui oleh para pendiri bangsa, sebagaimana dikemukakan dalam pidato Soekarno berikut ini.

Kita beserta-sama mentjari philosophische grondslag, mentjari satu “Weltanschauung” jang kita semuanja setudju. Saja katakan lagi setudju! Jang saudara Yamin setudjui, jang Ki Bagoes setudjui, jang Ki Hadjar setudjui, jang saudara Sanoesi setudjui, jang saudara Abikoesno setudjui, jang saudara Lim Koen Jian setudjui, pendeknja kita semua mentjari satu modus.

Soepomo menyatakan bahwa dasar dan susunan negara berhubungan dengan riwayat aturan (rechtsgeschichte) serta lembaga sosial menurut negara itu sendiri. Oleh karenanya pembangunan negara Indonesia wajib diadaptasi menggunakan struktur sosial masyarakat Indonesia yang terdapat, seperti yg disampaikan oleh Soepomo pada rapat BPUPK sebagai berikut.

Sungguh sahih, dasar dan bentuk susunan berdasarkan suatu negara itu berhubungan erat menggunakan riwayat aturan (rechtsgeschichte) serta forum sosial (sociale structuur) berdasarkan negara itu. Berhubung menggunakan itu apa jang baik serta adil buat suatu negara, belum tentu baik serta adil buat negara lain, oleh lantaran keadaan tidak sama.

Tiap-tiap negara mempunjai keistimewaan sendiri-sendiri berhubung dengan riwajat dan tjorak masjarakatnja. Oleh karenanya, politik Pembangunan Negara Indonesia wajib disesuaikan dengan “sociale structuur” masjarakat Indonesia jang njata dalam masa sekarang, dan wajib diubahsuaikan menggunakan panggilan zaman, misalnja tjita-tjita Negara Indonesia pada lingkungan Asia Timur Raya.

Muhammad Yamin pula menyatakan bahwa yg bisa menjadi dasar negara adalah menurut susunan negara hukum tata cara. Hal itu dikemukakan oleh Yamin berikut adalah.

Dari peradaban rakjat jaman kini , serta menurut susunan Negara Hukum tata cara bagian bawahan, berdasarkan sanalah kita mengumpulkan serta mengumpulkan sari-sara rapikan negara jang sebetul-betulnja bisa mendjadi dasar negara.

Salah satu wujud hukum rapikan negara norma yang sebagai ciri ketatanegaraan Indonesia merupakan prinsip musyawarah. Musyawarah dibutuhkan agar penyelenggara negara bisa menjalankan tugasnya mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan impian warga . Musyawarah adalah lembaga pengambilan keputusan sekaligus pembatasan kekuasaan. Konsep musyawarah telah dikenal serta dipraktikkan dalam ketatanegaraan norma di wilayah nusantara. Soepomo menyatakan

Menurut sifat tatanegara Indonesia yang orisinil, jang hingga sekarangpun masih dapat terlihat dalam suasana desa baik pada Djama, juga di Sumatera serta kepulauan-kepulauan Indonesia lain, maka para pendjabat negara merupakan pemimpin jang bersatu-djiwa dengan rakjat serta para pendjabat negara senantiasa berwadjib memegang teguh persatuan dan keimbangan pada masjarakatnja.

Kepala desa, atau ketua rakjat berwadjib menjelenggarakan keinsjafan keadilan rakjat, wajib senantiasa memberi bentuk (Gestaltung) pada rasa keadilan dan tjita-tjita rakjat. Oleh karenanya, ketua rakjat “memegang adat” (istilah pepatah Minangkabau) senantiasa memperhatikan segala mobilitas-gerik pada masjarakatnja serta buat maksud itu, senantiasa bermusjawarah menggunakan rakjatnja atau dengan ketua-ketua famili dalam desanja, supaya supaja pertalian bathin antara pemimpin serta rakjat seluruhnja senantiasa terpelihara.

Yamin jua menegaskan bahwa prinsip musyawarah adalah sifat peradaban bangsa Indonesia yg asli, bahkan sebelum masuknya Islam. Prinsip musyawarah lah yang menyusun warga serta ketatanegaraan berdasarkan keputusan bersama.

Diantara segala negeri-negeri Islam pada dunia, barangkali bangsa Indonesialah jang sangat mengemukakan dasar permusjawaratan serta memberi tjorak jang istimewa kepada aplikasi permusjawaratan. Keadaan itu bukan kebetulan, melainkan bekerjasama lantaran dikuatkan sang sifat peradaban yg asli. Sebelum Islam berkembang ditanah Indonesia, maka sedjak zaman purbakala telah membangun susunan desa, susunan masjarakat serta susunan hak tanah jang bersandar pada keputusan bersama jang boleh dinamai kebulatan beserta atas masjarakat. Dasar kebulatan inilah jang sama tuanja dengan susunan desa, negeri, marga dan lain-lain dan mufakat itulah jang menghilangkan dasar perseorangan serta mengakibatkan hayati bersama dalam masjarakat jang teratur dan pada rapikan-negara desa jang dipelihara buat kepentingan bersama dan buat rakjat turun-temurun.

Pemikiran Soekarno, Soepomo, serta Yamin tersebut memperlihatkan pentingnya aturan rapikan negara istiadat sebagai akar ketatanegaraan Indonesia merdeka. Oleh karenanya, tahu ketatanegaraan Indonesia tentu akan lebih komprehensif menggunakan mengetahui dan memahami hukum tata negara tata cara. Bahkan hukum tata negara tata cara yang berlaku di pada komplotan-persekutuan aturan tata cara dinyatakan oleh Yamin menjadi “kaki susunan negara menjadi bagian bawah”.

Pengakuan terhadap aturan tata negara tata cara serta masyarakat hukumnya selanjutnya terwujud dalam rumusan Pasal 18 UUD 1945 yg disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945 yang menyatakan bahwa pembagian wilayah Indonesia atas daerah besar serta mini , menggunakan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, menggunakan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan pada sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul pada daerah-wilayah yg bersifat istimewa. 

Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan mengungkapkan bahwa pada wilayah Indonesia terdapat kurang lebih 250 zelfbestuurende landchappen dan volksgemeenschappen, yg mempunyai susunan asli serta bisa dikatakan menjadi wilayah istimewa. Negara menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut serta segala peraturan negara yang mengenai wilayah-wilayah itu akan mempertimbangkan hak-hak dari-usul daerah yang bersifat istimewa. Hak berasal-usul tadi jua meliputi bentuk dan struktur pemerintahan yg diatur berdasarkan aturan tata negara istiadat.

UUD 1945 Pasca Perubahan dan Hukum Tata Negara Adat
Walaupun para pendiri bangsa mengakui pentingnya aturan rapikan negara istiadat dan merumuskannya pengakuan terhadap eksistensi rakyat aturan adat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan dan penjelasannya, namun pada praktiknya aturan tata negara tata cara serta warga aturan istiadat itu sendiri kurang menerima perhatian. Sebaliknya, kebijakan yang dikembangkan merupakan sentralisasi dan penyeragaman ketatanegaraan pada tingkat daerah. Aspek aturan warga tata cara tersisa merupakan aspek keperdataan semata, yg memang nir banyak melibatkan peran pemerintah. Hal itu dapat ditinjau diantaranya dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan pada Daerah dan UU Nomor lima Tahun 1979 mengenai Pemerintahan Desa yg menyeragamkan struktur pemerintahan tanpa mempertimbangkan struktur warga yg sudah terdapat terdapat berjalan. Akibtanya, rakyat harus mengikuti struktur dan kebiasaan bermasyarakat yg asing dan mungkin dalam beberapa hal kurang sinkron dengan rapikan nilai setempat. Hal itu menyebabkan ketegangan dan ketidakadilan yg nir jarang menunjuk pada perseteruan sosial.

Bersamaan dengan keluarnya gelombang reformasi, berkembang perlunya pengakuan serta perlindungan terhadap rakyat hukum adat. Oleh karenanya kebijakan mengalami perubahan menurut sentralisasi menuju desentralisasi serta pembangunan berbasis dalam kearifan lokal dengan penghormatan terhadap warga aturan tata cara, termasuk hukum tata negara istiadat.

Penegasan pengakuan terhadap masyarakat hukum norma serta hukum ketatanegaraan adat dilakukan menggunakan mengangkat hal-hal yg bersifat normatif pada penjelasan UUD 1945 sebagai bagian menurut pasal-pasal. Hal itu dimaksudkan untuk menegaskan serta memperkuat ketentuan tadi agar dilaksanakan pada praktik kehidupan berbangsa serta bernegara. Ketentuan mengenai pemerintahan wilayah yg semula hanya 1 ayat dalam 1 pasal, berkembang sebagai tiga pasal yg berisi 11 ayat ketentuan. Terkait dengan rakyat hukum adat dan aturan tata negara norma diatur dalam Pasal 18B, sebagai berikut.
  1. Negara mengakui serta menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat spesifik atau istimewa yang diatur dengan undang-undang.
  2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan warga aturan adat bersama hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan rakyat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yg diatur dalam undang-undang.
Pengakuan serta penghormatan terhadap satuan pemerintahan wilayah yg bersifat spesifik atau istimewa adalah mencakup pengakuan terhadap berlakunya hukum tata negara istiadat sinkron menggunakan struktur warga setempat. Hal itu meliputi baik aspek struktur pemerintahan daerah juga pembentukannya. Masyarakat yg mempunyai struktur yg khusus dan istimewa tentu nir dapat dipaksakan menjalankan ketentuan yg kurang sesuai. Hal itu misalnya dapat dilihat dalam masalah pemilihan Gubernur Jogjakarta pada mana struktur dan budaya masyarakatnya memiliki kekhususan dan keistimewaan sebagai akibatnya belum bisa mendapat pemilihan kepala wilayah secara langsung.

Demikian juga halnya menggunakan pengakuan dan penghormatan kesatuan rakyat hukum tata cara, tentu dimaksudkan jua meliputi aturan tata negara adat, baik pada tingkat desa serta nagari, marga, atau strata yang lebih luas lagi. Namun demikian, pengakuan tersebut merupakan terhadap kesatuan warga hukum norma yg memang masih hayati serta sinkron dengan perkembangan warga dan prinsip negara kesatuan. Oleh karena itu, nir dalam tempatnya buat memaksanakan aturan tata negara norma yang sesungguhnya sudah tidak hidup dalam masyarakatnya, buat diberlakukan pulang pada rakyat setempat yang sudah jauh tidak sinkron struktur serta budayanya.

Adanya ketentuan Pasal 18B UUD 1945 merupakan landasan pluralisme hukum, terutama dalam hal rapikan pemerintahan daerah sesuai menggunakan hukum tata negara tata cara masing-masing. Di pada sistem hukum nasional masih ada beberapa sistem aturan yg lebih kecil serta terbatas, yang saling terkait dan tertata pada kesatuan sistem aturan nasional.

Hukum Tata Negara Adat dan Domestikasi Undang-Undang Dasar 1945
Studi terhadap aturan tata negara tata cara nir hanya diharapkan dalam kaitannya menggunakan penerapan kebiasaan hukum tata negara tata cara itu sendiri. Untuk hukum rapikan negara adat yg telah tidak hidup dan nir berlaku lagi dalam masyarakatnya sendiri, tentu nir bisa diberlakukan. Tetapi demikian mempelajari hukum tata negara tata cara itu tetap diharapkan buat mendekatkan serta menjadikan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi bagian menurut sejarah perkembangan rakyat. Hal itu berarti memberitahuakn bahwa konsep-konsep dalam Undang-Undang Dasar 1945 memiliki akar sejarah.

Walaupun berdasarkan penerangan para pendiri bangsa dapat diketahui bahwa Undang-Undang Dasar 1945 disusun menurut ciri orisinil rakyat Indonesia, tetapi konsep-konsep dan istilah-kata yg dipakai adalah istilah-kata asing yg nir dikenal masyarakat. Pada ketika pembahasan Undang-Undang Dasar 1945 oleh BPUPK contohnya, kata dan konsep yg digunakan lebih poly dari Belanda serta Jerman, contohnya philosophische grondslag, weltanschauung, rechtstaats, serta sebagainya. Sedangkan pada perubahan UUD 1945, kata-istilah yg dipakai jua adalah kata asing misalnya konstitusi itu sendiri, rule of law, separation of power, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan sebagainya.

Istilah-istilah tadi dipakai adalah buat memudahkan penyampaian atau komunikasi. Sedangkan esensinya sesungguhnya telah bisa ditemukan akarnya pada hukum tata negara adat. Separation of power misalnya, telah poly dipraktikkan sang kerajaan-kerajaan di nusantara menggunakan memisahkan antara lembaga atau pejabat-pejabat yang sebagai pelaksana pemerintahan (eksekutif), mengadili (hakim), dan yg memberi pertimbangan pembuatan aturan dan keputusan kepada raja, walaupun semua lembaga atau pejabat tersebut kedudukannya berada di bawah raja. Demikian jua menggunakan konsep supremasi konstitusi, pula dikenal pada aturan tata negara tata cara lantaran masih ada kerajaan-kerajaan yang mempunyai buku-kitab acum menjadi pedoman dalam penyelenggaraan negara. Untuk kesultanan-kesultanan Islam, yg menjadi asal aturan tertinggi asalah al-Qur’an serta hadist.

Di sisi lain, eksplorasi aturan rapikan negara istiadat jua diharapkan untuk membicarakan konsep-konsep Undang-Undang Dasar 1945 sinkron dengan pengetahuan serta medan pengalaman rakyat Indonesia sehingga mudah pada pahami dan diterima oleh warga Indonesia. Dengan demikian Undang-Undang Dasar 1945 akan menjadi konstitusi yg hidup dan berkembang pada praktik kehidupan berbangsa serta bernegara (the living constitution).

Oleh karena itu, upaya memeriksa hukum rapikan negara norma mempunyai arti yg penting pada proses membentuk konstitusionalisme Indonesia. Hal itu bisa dilakukan menggunakan mempelajari konstitusi-konstitusi pada kerajaan atau kesultanan yang pernah ada pada wilayah nusantara. Di Jawa Barat dan Banten contohnya, dua kesultanan besar yang pernah terdapat adalah Kesultanan Cirebon serta Kesultanan Banten. Kesultanan Cirebon berdiri dalam awal abad ke-16 di bawah pemerintahan Sunan Gunung Djati. Kesultanan ini berdiri hampir 2 abad, yaitu hingga tahun 1697 dengan Sultan terakhir adalah Panembahan Sepuh. 

Sedangkan Kesultanan Banten terbentuk menurut Kerajaan Panten yang sudah terdapat dari tahun 1330 yang semula berada pada bawah kekuasaan Majapahit. Lantaran impak pedagang Islam yang berdatangan pada Banten, berdirilah Kesultanan Islam Banten dalam tahun 1552 dengan Sultan pertamanya merupakan Sultan Maulana Panembahan Surasowan. Kesultanan Banten berjalan efektif hingga tahun 1820 waktu meninggalnya Sultan terakhir, Muhammad Rafi’uddin.

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: 2-15) menyampaikan bahwa termin awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menerangkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut (engineering, science, serta audiovisual education).

Dalam kaitannya menggunakan engineering, pengkajian diawali menurut makna engineering yg mendeskripsikan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi buat digunakan secara praktis, yg kebanyakan masih ada di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt serta W.W. Charters sebagai perintis penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan buat pengembangan kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini dipakai jua oleh Munroe (1912) pada mengikat konsep ilmu managemen pada setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa kata educational engeering diharapkan dalam mempelajari tentang usaha yg besar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yg wajib dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover serta J.C.L. Fish membicarakan bahwa engineering adalah aktivitas profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan asal alam secara efisien pada membuat kesejahteraan. Selanjutnya menurut output diskusi antara konsep engineering yg diungkapkan Charters dan konsep teknologi yg dikembangkan Noble membentuk empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan aplikasi ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan asal; dan 4) tujuan dari keduanya merupakan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam penerapannya dalam pendidikan, digambarkan bahwa bisnis sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap menyebarkan acara, serta dalam penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan pelaksanaan ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap usaha pada pendidikan perlu dilandasi sang kejelasan ilmu yg dipakai. Untuk hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering menggunakan industrial engineering, keduanya menggunakan metode riset yg dilandasi oleh dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu tetapkan efisiensi pada setiap bisnis yg dilakukannya, guru perlu tetapkan bagaimana cara yg efisien agar siswa memperoleh pengalaman belajar yg maksimal . Dalam kaitannya menggunakan memproduksi setiap program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya kasus belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu serta engineering pada pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yg dipelajari sebagai ukuran pada proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu serta engineering pada pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu serta berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu serta berpikir reflektif pada metode engineering. Berpikir reflektif adalah artikulasi metode engineering, bersifat proses serta prosedur linier pada menetapkan aktivitas awal dan akhir. Sedangkan Dewey kurang sepakat menggunakan inspirasi bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier, menurutnya bahwa masih ada proses yg terbuka sinkron dengan konflik serta hipotesis yg akan diuji. Akan namun keduanya putusan bulat atas 5 tahapan pada berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang sepakat menggunakan model yg terrencana dalam pendidikan misalnya yang digunakan dalam kiprah pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman dan kepandaian reflektif pada memakai metode ilmu, serta menolak penggunaan mekanisme yang terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science pada bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan merupakan suatu keharusan, karena konsep serta praksis pendidikan dalam hakekatnya mengungkapkan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) sebagai pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yg tidak sama yg ditemukan pada awal abad dua puluh dalam tahu penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yang didukung secara mendasar sang konsep G Stanley Hall mengenai ilmu perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan anak sinkron dengan syarat lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yang paling sempurna buat mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science dalam pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yang dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik untuk menyelidiki contoh mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, serta pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta materi ajar yg akan disampaikan. Pandangan ketiga, menyampaikan bahwa science sebagai berukuran yg eksak serta baku yg sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan dengan itu, science dalam pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat menentukan dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai output belajar peserta didik. Tujuan science pada pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki impak terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar dapat diprediksi dan dikontrol.

Faktor ketiga yang menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (alat pandang dengar) pada pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas digunakan sesudah Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karenanya pemahaman yang terkenal memberitahuakn bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka menyampaikan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yg berupa pengalaman belajar kongkrit pada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep tak berbentuk. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar pada dalam kelas. Buku yg pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menyebutkan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana terkenal hingga waktu kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung pada tahun 1963 menggunakan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun menggunakan serius dalam pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori serta reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menerangkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat tiga inspirasi utama yaitu: 1. Menggunakan konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan tiga. Memperkenalkan bagian krusial menurut belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tadi maka sejak tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh donasi konsep menurut konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mengusut konsep komunikasi dalam pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yg menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih dalam masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon serta Weaver’s menjadi output kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang khas yg diklaim Mathematical Theory of Communication, menggunakan komponen-komponennya yang terdiri berdasarkan: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yg banyak diilhami contoh Shannon serta Weaver membentuk temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini sebagai dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif mempunyai pengaruh terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder dalam mendapat, memasak, serta menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi keterangan.

Kajian pakar-pakar psikologi dan sosial psikologi pada pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai penekanan kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama pada menetapkan tujuan pengajaran, tahu siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan asal belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine dan program pembelajaran; 2. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; serta 3. Pencocokan konsep operant conditioning menggunakan konsep model komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji sang para ahli teknologi pendidikan, sebagai akibatnya nir hanya psikologi behavior saja yg mempunyai kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal ilham di pada pengembangan contoh pembelajaran, terutama pada pada penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, ciri siswa, syarat-syarat pembelajaran yg wajib dirancang, bersama berbagai fasilitas belajar yg dapat memperkuat pengalaman belajar siswa.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum buat pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal dan diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yg mulai membuatkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction diantaranya pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat fundamental dalam proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu menggunakan usaha penguatan pembelajaran, sebagai akibatnya siswa dapat memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement pada pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, dan didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan buat terjadinya proses pengajaran serta belajar tadi. Pada masa tersebut pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sehingga mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan berdasarkan komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yg pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan memakai istilah komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual merupakan cabang dari teori dan praktek pendidikan yang secara spesifik berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan dan kekurangan yg unik juga yang relatif berdasarkan pesan baik yg diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan serta penataan pesan oleh insan serta alat pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen serta pemanfaatan berdasarkan komponen dan seluruh sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diubahsuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; dua). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual sebagai learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) sebagai Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yg akan membuat keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep utama yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi acara individual or personal instruction, dan 3). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke dalam suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, membangun keunikan, dan mempunyai alasan buat kepentingan pengembangan dalam bidang teknologi pendidikan.

Learning resources sebagai konsep yang pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai menjadi lingkungan belajar yang dapat menaruh, memperkuat, dan menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat serta fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke pada dua kelompok, yaitu: human resources, dan non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala diklaim dengan “real world resources”, karena tidak spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia dalam global nyata buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai sumber belajar yang didesain serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini dibutuhkan dapat mengurangi kedudukan pengajar sebagai “transmitter of information” penyampai fakta, akan tetapi sebagai pengajar yg bisa memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari serta memperoleh keterangan yg luas serta banyak sesuai menggunakan topik yg sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak memberikan kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or personal instruction pada penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya banyak sekali kebutuhan belajar yg nir bisa dilayani dalam pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yg diselenggarakan pada sekolah, dan atau adanya impian buat menaikkan pemahaman mengenai bahan belajar yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal instruction merupakan sejumlah materi ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat contoh acara individualized instruction yang sangat populer yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning poly mempengaruhi konsep individualized instruction dalam tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar bila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat serta independen, bahkan pendekatan ini menekankan dalam penyelesaian belajar buat bagian eksklusif secara utuh sebelum melanjutkan pada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya 5 variabel yg sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan buat memahami pelajaran, ketekunan, saat, serta kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya memberitahuakn bahwa siswa yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan beliau bisa terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang rendah hanya bisa menyelidiki materi ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa bila syarat peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah saat belajar yang sama maka pengukuran output belajar akan membuktikan distribusi normal juga. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah ketika belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik buat bisa memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yg memiliki donasi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya menggunakan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang membuatkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya pada perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning menggunakan program pembelajaran yg konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain menjadi suplemen buat memperkaya dominasi bahan belajar dibanding sebagai sumber keterangan yang utama untuk ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat output tes serta memberikan tutorial pada peserta didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan dapat menaikkan aspek sosial pada diri peserta didik pada proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan jua Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pedagogi di sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg memakai prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta strata bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yg membedakan antara konsep IPI dengan contoh yang dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal siswa mempelajari materi ajar dan penguasaan holistik mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yg berbagi Individually Guided Education (IGE) pada lebih kurang 3000 sekolah menggunakan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan acara pengajaran. Model ini jua menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian contoh pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai contoh yg digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran merupakan menjadi sistem yg mempunyai komponen-komponen pembelajaran yg saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang telah ditetapkan. Standar yang terkandung dalam tujuan pengajaran dipakai sebagai acuan buat memutuskan karakteristik siswa, materi ajar, sumber belajar, fasilitas yg perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai holistik acara pendidikan. Sedangkan penafsiran berdasarkan pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang menekankan dalam studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami interaksi yang fundamental eksistensi dari keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak memutuskan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas holistik komponen-komponen yang terlibat pada pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya menggunakan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan dengan memfasilitasi belajar dalam insan melalui bisnis yg sistematik pada identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan banyak sekali asal belajar dan menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan dari AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang menunjuk pada suatu bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan dan didapatkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori serta profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yg didukung oleh tiga konsep primer yaitu: learning resources, managemen, serta pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) dalam tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis dan menyeluruh mengenai wangsit serta konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2) keterkaitan antara wangsit serta konsep yg satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang pelaksanaan simpel, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan dengan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yg memperlihatkan bahwa instructional technology sebagai bagian ”subset” berdasarkan educational technology yang adalah empiris pengajaran dalam pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan pulang definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan menggunakan perubahan penjabaran learning resources, yg dalam awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, serta lingkungan, sebagai enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.

Terdapat tiga alasan menurut konsep yang terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; serta tiga) pengadaan asal melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan asal belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan pada memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yg bervariasi maka contoh pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan warta, sebagai akibatnya dikembangkan contoh pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, seperti model media audio visual dimanfaatkan untuk contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan asal belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yang didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yang didesain serta yang dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem buat tetapkan komponen pembelajaran yang paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik pada mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron dengan keperluan model pembelajaran, dan pada lain pihak adanya sumber belajar yg dimanfaatkan berupa dunia konkret sebagai lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg telah ada pada sekeliling peserta didik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 dalam membentuk definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini adalah dampak dari perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mensugesti terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mempengaruhi kepada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan menggunakan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang ketika itu sepakat bahwa managemen mempunyai keterkaitan dengan teknologi secara umum, dan pada kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu mempunyai pemahaman tentang managemen, karena mereka menjadi manager di dalam kelas yg memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun pada peristilah yang tidak sinkron. Ia menyebutnya dengan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya membuatkan dan menggunakan bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk pula keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, serta faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas dalam ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi donasi pada dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta tahap pengembangannya menjadi sumber penetapan taktik pembelajaran yg mencakup strategi dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar nir hanya penentu contoh pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi beliau pun menjadi bagian berdasarkan perekayasa pada penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan paradigma tadi sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual dalam Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen memiliki dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm serta Donald Ely (1976) menyampaikan bahwa tugas ke 2 managemen tadi diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yg wajib sebagai tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi serta sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal mempunyai enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, dan pelaksanaan pengawasan.

Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan namun dari segi manfaatnya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola banyak sekali macam hal yg berkaitan dengan perancangan, aplikasi, pengawasan, serta evaluasi pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 merupakan pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan dianggap juga dengan kata teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan berdasarkan mulai identifikasi perkara belajar, disain, pengembangan, produksi contoh pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, serta penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan dan difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat 3 alasan pengembangan contoh instruksional yang dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya; ke 2, sebagai rancangan yg dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; dan ketiga, model yg sederhana memudahkan buat dikomunikasikan pada calon siswa, serta model yang rinci akan memudahkan pada pengelolaan dan pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan dalam banyak sekali macam setting. Jika diklasifikasi model-contoh yang berkembang bisa digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang antara lain dikembangkan oleh Banathy (1968), dan model makro yang dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yg dianggap menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy mempunyai pendekatan terhadap siswa menjadi pusat sistem pembelajaran, serta modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar dalam mengelola aktivitas belajar. Model ini diadopsi pada pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, serta diklaim menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yang mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki dedikasi yang bertenaga dan ingin membantu siswa, dan mengharapkan buat menemukan inovasi menjadi solusi yg efektif buat memecahkan masalah belajar dan pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yg sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran siswa, dan para pakar mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai output rekayasa pembelajaran yang sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep berdasarkan ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tadi menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan menjadi proses yg komplek serta terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, ide, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yg menyangkut seluruh aspek belajar insan.

Didasarkan atas definisi tadi, maka kawasan teknologi pendidikan bisa digambarkan melalui bagan berikut adalah:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tersebut mendeskripsikan bahwa semua usaha dalam teknologi pendidikan ditujukan buat memfasilitasi dan memecahkan perkara belajar siswa. Usaha-usaha tadi terdiri berdasarkan pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan pada definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus di lingkungan pakar-pakar pendidikan, sebagai akibatnya melahirkan dua gerombolan yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sinkron menggunakan fungsi teknologi; kedua, istilah pendidikan lebih sesuai buat hal-hal yg berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa istilah pendidikan digunakan buat setting sekolah, sedangkan pembelajaran mempunyai cakupan yg luas, termasuk situasi training. Para ahli yg lebih putusan bulat menggunakan istilah teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga usahakan digunakan peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya bersikukuh dengan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yg menggunakan kedua kata tersebut dipakai secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan pada Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan dipakai di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi pada pendidikan dan pengajaran; (c) perlu mendeskripsikan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 istilah tadi, maka kata “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT menyebarkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; dua) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi; 3) proses dan asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran mempunyai landasan pengetahuan yg berdasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, serta proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan perkara belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang dipakai pada hakekatnya menurunkan menurut teori-teori yg dikembangkan sang ilmu murni, seperti psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai menggunakan syarat serta karakteristiknya, sebagai contoh syarat dan ciri siswa, bahan belajar, wahana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi adalah komponen sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik dan mempunyai keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik menjadi masukan juga umpan pulang serta penilaian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas kegiatan masing-masing.

Komponen proses serta asal dimaksudkan menggunakan serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber mempunyai keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan aktivitas-aktivitas yg tepat serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa acara pembelajaran yg dirancang pada hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri siswa, sebagai akibatnya kasus belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan sang suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yang dalam akhirnya hal tadi menjadi salah satu kriteria dari keberhasilan acara pembelajaran yg dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels serta Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan menerima kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para pakar terutama yg tergabung pada AECT, hal ini sinkron menggunakan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran serta yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yang termasuk masih prematur dan dilemparkan pada semua warga yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication dari bab awal buku yg akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi serta reviu, serta tidak diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan sebagai berikut: Teknologi pendidikan merupakan studi dan praktek yang etis pada memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses serta asal teknologi yang sempurna. Kalau dianalisis, di dalam definisi tersebut terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yang etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) kreasi, penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses dan sumber.

Istilah studi yg dipakai dalam definisi tadi merujuk dalam pemaknaan studi sebagai bisnis buat mengumpulkan kabar dan menganalisisnya melebihi aplikasi riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif buat mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media serta teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen berita, dan perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi peserta didik. Istilah studi pada definisi tadi pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar serta perbaikan kinerja belajar siswa melalui aktivitas belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.

Definisi tersebut mengarahkan bahwa teknologi pendidikan memiliki praktek yang etis pada menaruh kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar siswa. Maksud dari praktek yang etis tadi adalah adanya baku atau kebiasaan dalam mengkreasi atau merancang, memakai, serta mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan sumber belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan berdasarkan definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai teori serta praktek, bahkan bidang kajian, sebagai studi dan praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam serta lebih sempurna sebagai akibatnya diperoleh konsep-konsep dan praktek belajar sinkron menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tadi tidak menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar peserta didik menggunakan menggunakan berbagai macam sumber belajar.

SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP

Sejarah Perkembangan Konsep
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: dua-15) membicarakan bahwa tahap awal menjadi pengantar ke arah pengembangan konsep serta istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya memperlihatkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan serta saling ketergantungan menggunakan ketiga faktor tersebut (engineering, science, dan audiovisual education).

Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali berdasarkan makna engineering yg menggambarkan aktivitas riset serta pengembangan serta bisnis membuat teknologi buat dipakai secara praktis, yg kebanyakan terdapat pada bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi pioner penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya dalam pendekatan yg dipakai buat pengembangan kurikulum. Penggunaan kata engineering ini dipakai juga oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa istilah educational engeering diperlukan pada menyelidiki mengenai usaha yg akbar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yg lebih baik, mana yang harus dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana serta mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yg dinyatakan T.J. Hoover dan J.C.L. Fish mengungkapkan bahwa engineering merupakan aktivitas profesional serta sistematik pada mengaplikasikan ilmu buat memanfaatkan asal alam secara efisien dalam membentuk kesejahteraan. Selanjutnya menurut hasil diskusi antara konsep engineering yang diungkapkan Charters serta konsep teknologi yang dikembangkan Noble menghasilkan empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan pelaksanaan ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan sumber; dan 4) tujuan dari keduanya adalah buat memproduksi sesuatu. Dalam penerapannya pada pendidikan, digambarkan bahwa usaha sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap membuatkan program, dan pada penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan aplikasi ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap bisnis pada pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yg digunakan. Untuk hal tadi, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering dengan industrial engineering, keduanya memakai metode riset yg dilandasi sang dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu menetapkan efisiensi dalam setiap usaha yang dilakukannya, guru perlu memutuskan bagaimana cara yg efisien supaya peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang maksimal . Dalam kaitannya dengan memproduksi setiap acara pembelajaran pada hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya masalah belajar bisa terpecahkan.

Terdapat 3 disparitas antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu dan engineering dalam pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran serta ilmu yang dipelajari sebagai berukuran dalam proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu dan engineering dalam pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu dan berpikir reflektif, Charters menyampaikan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu dan berpikir reflektif dalam metode engineering. Berpikir reflektif merupakan artikulasi metode engineering, bersifat proses serta mekanisme linier pada menetapkan kegiatan awal serta akhir. Sedangkan Dewey kurang setuju dengan ide bahwa berpikir reflektif merupakan mekanisme linier, menurutnya bahwa masih ada proses yang terbuka sinkron menggunakan permasalahan dan hipotesis yg akan diuji. Akan tetapi keduanya putusan bulat atas 5 tahapan dalam berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang putusan bulat dengan contoh yang terrencana pada pendidikan seperti yg digunakan pada peran pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman serta kemampuan berpikir reflektif pada memakai metode ilmu, dan menolak penggunaan mekanisme yg terstandarisasi.

Penggunaan pendekatan science dalam bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan adalah suatu keharusan, lantaran konsep dan praksis pendidikan dalam hakekatnya menyampaikan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) menjadi pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yang tidak sama yg ditemukan dalam awal abad dua puluh pada memahami penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yg didukung secara fundamental sang konsep G Stanley Hall tentang ilmu perkembangan. Para pendidik menelaah perkembangan anak sinkron menggunakan kondisi lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yg paling sempurna untuk mereka. Pandangan ke 2, pemanfaatan science pada pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yg dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik buat menelaah model mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, dan pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta bahan ajar yang akan disampaikan. Pandangan ketiga, mengungkapkan bahwa science menjadi ukuran yg eksak dan standar yang sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan menggunakan itu, science pada pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat memilih dan memutuskan calon siswa, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai hasil belajar siswa. Tujuan science dalam pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki efek terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar bisa diprediksi serta dikontrol.

Faktor ketiga yg menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (indera pandang dengar) dalam pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan nir memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi sang pemahaman mengenai hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas dipakai selesainya Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karena itu pemahaman yang terkenal menampakan bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual dalam pendidikan. Hoban yg menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University sudah menulis kitab tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya serta Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yang berupa pengalaman belajar kongkrit kepada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep abstrak. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.

2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung dalam tahun 1963 dengan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun dengan berfokus pada pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori dan reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.

Hasil identifikasi menunjukkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat 3 wangsit utama yaitu: 1. Memakai konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage serta media instrumentation dibanding istilah materials serta machine; serta 3. Memperkenalkan bagian penting dari belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tersebut maka dari tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh kontribusi konsep berdasarkan konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.

Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mempelajari konsep komunikasi pada pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yang menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yg terpilih pada masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yg diungkapkan Shannon dan Weaver’s menjadi hasil kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi contoh yang khas yg dianggap Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yang banyak diilhami contoh Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya poly menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif memiliki imbas terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder pada menerima, mengolah, dan mengungkapkan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi berita.

Kajian ahli-ahli psikologi serta sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai fokus kajian di lingkungan pedagogi militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa efek terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama dalam tetapkan tujuan pedagogi, memahami siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan sumber belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yg berkaitan menggunakan interaksi antara media audiovisual menggunakan pembelajaran yang difokuskan dalam persepsi siswa, penyajian pesan, serta pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yg ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mensugesti teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine serta program pembelajaran; dua. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; dan 3. Pencocokan konsep operant conditioning dengan konsep contoh komunikasi (Ely, 1963).

Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji oleh para pakar teknologi pendidikan, sebagai akibatnya tidak hanya psikologi behavior saja yg mempunyai donasi terhadap teknologi pendidikan akan namun bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal wangsit pada pada pengembangan model pembelajaran, terutama di dalam penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, karakteristik peserta didik, kondisi-syarat pembelajaran yang harus dibuat, bersama aneka macam fasilitas belajar yang dapat memperkuat pengalaman belajar peserta didik.

Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal serta diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction antara lain pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, serta evaluasi output belajar.

Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat mendasar pada proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu dengan bisnis penguatan pembelajaran, sehingga peserta didik bisa memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement dalam pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.

Program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pedagogi yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, serta didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan untuk terjadinya proses pedagogi dan belajar tadi. Pada masa tadi pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sebagai akibatnya mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.

Sumbangan dari komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada kata komunikasi audiovisual diakui AECT menjadi definisi formal yang pertama buat teknologi pendidikan, walaupun disebutnya menggunakan menggunakan kata komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual adalah cabang dari teori serta praktek pendidikan yg secara khusus berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan serta kekurangan yang unik juga yang nisbi berdasarkan pesan baik yang diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yg bukan, serta yg digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan dan penataan pesan oleh manusia dan indera pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini mencakup perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen dan pemanfaatan dari komponen dan semua sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).

3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diadaptasi menggunakan perkembangan pemanfaatan audiovisual pada pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; 2). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual menjadi learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) menjadi Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan meliputi kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yang akan membentuk keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang bisa dimanfaatkan peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.

Terdapat 3 konsep primer yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sebagai akibatnya teknologi pendidikan dijadikan menjadi bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi program individual or personal instruction, serta tiga). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke pada suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, menciptakan keunikan, dan memiliki alasan buat kepentingan pengembangan pada bidang teknologi pendidikan.

Learning resources menjadi konsep yg pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai sebagai lingkungan belajar yang dapat memberikan, memperkuat, serta menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat dan fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke dalam 2 gerombolan , yaitu: human resources, serta non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke pada dua pola, yaitu by design, serta by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala disebut dengan “real world resources”, karena nir spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia pada global konkret buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah aneka macam sumber belajar yg dirancang serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini diperlukan dapat mengurangi kedudukan pengajar menjadi “transmitter of information” penyampai berita, akan tetapi sebagai guru yg dapat memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari dan memperoleh kabar yang luas serta poly sinkron menggunakan topik yang sedang dipelajarinya.

Faktor ke 2 yg banyak menaruh kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep serta penggunaan individual or personal instruction dalam penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan sang tumbuhnya aneka macam kebutuhan belajar yang nir dapat dilayani pada pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yang diselenggarakan pada sekolah, serta atau adanya harapan buat meningkatkan pemahaman mengenai bahan belajar yg dipelajari pada sekolah. Maksud berdasarkan individual or personal instruction adalah sejumlah bahan ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.

Empat model acara individualized instruction yang sangat terkenal yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, merupakan: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yg dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yg dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.

Kajian Mastery Learning banyak menghipnotis konsep individualized instruction pada tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya memperlihatkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai taraf keberhasilan belajar apabila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta bisa belajar secara cepat dan independen, bahkan pendekatan ini menekankan pada penyelesaian belajar buat bagian tertentu secara utuh sebelum melanjutkan kepada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya lima variabel yang sangat krusial pada program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan untuk tahu pelajaran, ketekunan, saat, dan kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya menerangkan bahwa siswa yg mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan ia dapat terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yg sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yg rendah hanya dapat memeriksa bahan ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa jika kondisi peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah waktu belajar yg sama maka pengukuran hasil belajar akan pertanda distribusi normal jua. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah waktu belajar adalah persyaratan bagi peserta didik buat dapat memperoleh hasil belajar secara tuntas.

Disamping mastery learning yang memiliki kontribusi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya dengan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang menyebarkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya di perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning dengan acara pembelajaran yang konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain sebagai suplemen untuk memperkaya penguasaan bahan belajar dibanding menjadi sumber fakta yang utama buat ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat hasil tes dan menaruh tutorial pada siswa yg memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan bisa meningkatkan aspek sosial pada diri siswa dalam proses pendidikan.

Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan juga Individually Prescribed Instruction (IPI) buat kepentingan pengajaran pada sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg menggunakan prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta tingkatan bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yang membedakan antara konsep IPI menggunakan contoh yg dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal peserta didik mengusut materi ajar serta penguasaan keseluruhan mata pelajaran.

Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yang menyebarkan Individually Guided Education (IGE) pada sekitar 3000 sekolah dengan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan program pengajaran. Model ini pula menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian model pengajaran yg digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf buat menguasai model yang dipakai maka memudahkan pada mencapai keberhasilan model ini pada penyelenggaraan pembelajaran.

Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa acara pembelajaran adalah menjadi sistem yg memiliki komponen-komponen pembelajaran yang saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pedagogi. Sesuai menggunakan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang sudah ditetapkan. Standar yg terkandung pada tujuan pedagogi digunakan sebagai acuan buat memutuskan ciri siswa, bahan ajar, sumber belajar, fasilitas yang perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) menyampaikan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai keseluruhan acara pendidikan. Sedangkan penafsiran dari pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yg menekankan pada studi terhadap keseluruhan entitas dalam tahu hubungan yang fundamental eksistensi berdasarkan keseluruhan komponen dalam sistem.

Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan nir menetapkan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas keseluruhan komponen-komponen yg terlibat dalam pendidikan itu sendiri, baik pada kaitannya dengan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.

Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan kata komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan menggunakan memfasilitasi belajar pada insan melalui bisnis yg sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan aneka macam asal belajar serta menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).

4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan berdasarkan AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang mengarah dalam suatu bidang kajian pada pendidikan. Konsep yg terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan serta dihasilkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori dan profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yang didukung oleh 3 konsep primer yaitu: learning resources, managemen, dan pengembangan.

Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg membicarakan: 1) output analisis yg sistematis serta menyeluruh mengenai inspirasi dan konsep bidang teknologi pendidikan; dan dua) keterkaitan antara pandangan baru dan konsep yang satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang aplikasi praktis, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan menggunakan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yang menunjukkan bahwa instructional technology menjadi bagian ”subset” dari educational technology yang adalah empiris pengajaran pada pendidikan.

Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan pembagian terstruktur mengenai learning resources, yang dalam awalnya hanya mencakup empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, dan lingkungan, menjadi enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, serta lingkungan.

Terdapat 3 alasan berdasarkan konsep yg terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; dan 3) pengadaan sumber melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan sumber belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan contoh teknologi pendidikan dalam memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yang bervariasi maka model pembelajaran bisa dikembangkan sinkron dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan kabar, sebagai akibatnya dikembangkan model pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, misalnya contoh media audio visual dimanfaatkan buat contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan sumber belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yg didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yg didesain dan yg dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem untuk menetapkan komponen pembelajaran yg paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik dalam mencapai tujuan secara efisien serta efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron menggunakan keperluan model pembelajaran, serta pada lain pihak adanya asal belajar yg dimanfaatkan berupa global konkret menjadi lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg sudah ada di sekeliling siswa dimanfaatkan buat memenuhi kebutuhan belajar.

Managemen menjadi pendukungan ke 2 pada menciptakan definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini merupakan imbas menurut perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mempengaruhi terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mensugesti pada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan dengan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang saat itu sepakat bahwa managemen memiliki keterkaitan menggunakan teknologi secara generik, dan pada kaitannya menggunakan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan supervisi. Untuk itu, disarankan bahwa pengajar perlu mempunyai pemahaman mengenai managemen, karena mereka sebagai manager di dalam kelas yang memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.

Heinich (1970) mempunyai konsep bahwa managemen sudah dikembangkan bersamaan menggunakan prinsip-prinsip sistem pada pada merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan menggunakan pendapat Hoban (1965) walaupun dalam peristilah yg tidak sinkron. Ia menyebutnya menggunakan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban memakai kata ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya berbagi dan memakai bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk jua keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, dan faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan kerangka berpikir pemanfaatan teknologi pendidikan pada sistem pendidikan yg pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas pada ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada serta memberi kontribusi di pada proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta termin pengembangannya sebagai asal penetapan taktik pembelajaran yg mencakup taktik dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar tidak hanya penentu model pedagogi yg akan digunakannya, akan namun beliau pun menjadi bagian menurut perekayasa dalam penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan kerangka berpikir tersebut sebagaimana terlihat pada bagan berikut:

Bagan 2
Kedudukan Audiovisual pada Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)

Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):

Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen mempunyai dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm dan Donald Ely (1976) membicarakan bahwa tugas kedua managemen tadi diperlukan adanya ekuilibrium. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media masih ada enam (6) hal yang harus menjadi tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan serta pengelolaan fasilitas, akses organisasi dan sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal memiliki enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, serta pelaksanaan supervisi.

Penggunaan kata managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yg hangat diantara para pakar, akan tetapi menurut segi fungsinya mereka setuju bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola berbagai macam hal yg berkaitan dengan perancangan, pelaksanaan, supervisi, dan penilaian pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.

Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 adalah pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan disebut jua menggunakan istilah teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, serta pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yg diwujudkan pada tahapan-tahapan riset serta pengembangan menurut mulai identifikasi masalah belajar, disain, pengembangan, produksi model pembelajaran, uji coba contoh, pemanfaatan model pembelajaran, dan penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan serta difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).

Terdapat tiga alasan pengembangan contoh instruksional yg dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan pada calon siswa serta pihak lainnya; kedua, menjadi rancangan yang dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; serta ketiga, contoh yg sederhana memudahkan untuk dikomunikasikan pada calon siswa, dan model yg rinci akan memudahkan pada pengelolaan serta pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan pada berbagai macam setting. Apabila diklasifikasi model-model yang berkembang bisa digolongkan ke pada dua bentuk, yaitu contoh mikro yg antara lain dikembangkan sang Banathy (1968), dan model makro yg dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yang diklaim menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy memiliki pendekatan terhadap siswa sebagai sentra sistem pembelajaran, dan modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar pada mengelola kegiatan belajar. Model ini diadopsi dalam pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, dan disebut dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yg mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki pengabdian yang bertenaga serta ingin membantu siswa, serta mengharapkan untuk menemukan penemuan menjadi solusi yang efektif buat memecahkan perkara belajar serta pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yang sangat optimal pada memecahkan pembelajaran siswa, serta para ahli mengakui bahwa contoh pembelajaran ini sebagai hasil rekayasa pembelajaran yg sangat matang.

Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)

Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:

Masukan konsep dari ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tersebut menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan sebagai proses yang komplek dan terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, pandangan baru, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yang menyangkut semua aspek belajar manusia.

Didasarkan atas definisi tersebut, maka daerah teknologi pendidikan dapat digambarkan melalui bagan ini dia:

Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)

Kawasan teknologi pendidikan tadi menggambarkan bahwa seluruh bisnis dalam teknologi pendidikan ditujukan untuk memfasilitasi dan memecahkan masalah belajar siswa. Usaha-usaha tersebut terdiri dari pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.

5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian menurut teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan dalam definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus pada lingkungan ahli-ahli pendidikan, sehingga melahirkan 2 grup yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sesuai dengan fungsi teknologi; kedua, kata pendidikan lebih sinkron buat hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa kata pendidikan dipakai untuk setting sekolah, sedangkan pembelajaran memiliki cakupan yg luas, termasuk situasi pelatihan. Para pakar yg lebih sepakat menggunakan kata teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian berdasarkan pendidikan, sebagai akibatnya usahakan dipakai peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua gerombolan kelihatannya bersikukuh menggunakan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yang memakai kedua kata tadi digunakan secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan di Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan digunakan di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi dalam pendidikan dan pedagogi; (c) perlu menggambarkan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih sempurna; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik dalam pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 kata tersebut, maka istilah “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels berdasarkan University of Pittsburg serta Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT membuatkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran merupakan teori dan praktek dalam disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan penilaian proses serta sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; 2) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi; tiga) proses serta asal; dan 4) buat kepentingan belajar.

Komponen teori serta praktek menampakan bahwa teknologi pembelajaran memiliki landasan pengetahuan yg didasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, dan proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek adalah penerapan pengetahuan tersebut pada setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan masalah belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang digunakan dalam hakekatnya menurunkan dari teori-teori yang dikembangkan oleh ilmu murni, misalnya psikologi yg diturunkan ke pada teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai dengan kondisi dan karakteristiknya, sebagai model kondisi dan karakteristik peserta didik, bahan belajar, sarana dan fasilitas.

Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi merupakan komponen sistem pengelolaan pada pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik serta memiliki keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik sebagai masukan juga umpan kembali serta penilaian. Tahapan-tahapan tadi adalah tahapan pengelolaan pembelajaran yg di dalamnya mempunyai aktifitas aktivitas masing-masing.

Komponen proses dan sumber dimaksudkan dengan serangkaian aktivitas yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber memiliki keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan kegiatan-kegiatan yang sempurna serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa program pembelajaran yg dibuat dalam hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri peserta didik, sebagai akibatnya masalah belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan oleh suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yg pada akhirnya hal tadi sebagai salah satu kriteria dari keberhasilan program pembelajaran yang dikembangkan.

Definisi teknologi pembelajaran pada atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels serta Richey ini dia:

Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels dan Richey, 1994)

6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan mendapatkan kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para ahli terutama yang tergabung dalam AECT, hal ini sesuai dengan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran dan yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yg termasuk masih prematur serta dilemparkan pada semua masyarakat yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication menurut bab awal kitab yang akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi dan reviu, serta nir diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.

Konsep definisi versi 2004 merupakan menjadi berikut: Teknologi pendidikan adalah studi serta praktek yg etis dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan asal teknologi yang tepat. Kalau dianalisis, pada pada definisi tadi terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yg etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) ciptaan, penggunaan, serta pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
proses serta sumber.

Istilah studi yg dipakai pada definisi tersebut merujuk pada pemaknaan studi sebagai usaha buat mengumpulkan informasi serta menganalisisnya melebihi pelaksanaan riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif untuk mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, serta evaluasi. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media dan teknologi pada aplikasi pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir poly difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen keterangan, serta perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi siswa. Istilah studi pada definisi tersebut pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja belajar siswa melalui kegiatan belajar yang memanfaatkan asal belajar yang sempurna.

Definisi tadi mengarahkan bahwa teknologi pendidikan mempunyai praktek yang etis pada memberikan kemudahan belajar dan pemugaran kinerja belajar peserta didik. Maksud menurut praktek yg etis tersebut adalah adanya standar atau kebiasaan pada mengkreasi atau merancang, menggunakan, dan mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan asal belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.

Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan menurut definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran menjadi teori serta praktek, bahkan bidang kajian, menjadi studi serta praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam dan lebih tepat sehingga diperoleh konsep-konsep serta praktek belajar sesuai menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tersebut nir menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar siswa dengan menggunakan berbagai macam sumber belajar.