LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Landasan Teori Dan Perumusan Hipotesis 
1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler serta Keller (2006) menjelaskan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yang berbasis pengembangan, desain, implementasi serta kegiatan proses pemasaran yg dikenali memiliki nilai ketergantungan yang tinggi. Pendekatan holistik didasari pada cara buat mengatasi berbagi konflik pemasaran yg kompleks serta luas. Karakteristik pemasaran keseluruhan merupakan integrasi berdasarkan empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) adalah konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha memilih apa keinginan, kebutuhan, dan ketertarikan atau kepentingan menurut sasaran pasar. Organisasi lalu menaruh nilai superior kepada konsumen dengan cara-cara yang bisa mempertahankan atau menaikkan kesejahteraan konsumen dan masyarakat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar buat dapat menyeimbangkan 3 pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan warga . Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, insentif dan teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yang bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005). 

Pemasaran sosial menggunakan konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan dan pengujian konsep produk, komunikasi yg diarahkan, pemberian fasilitas, bonus-insentif dan perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan grup sasaran. Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa konsep pemasaran sosial yg condong untuk aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi aktivitas pengembangan rakyat yang bersifat non profit. Kotler serta Keller (2006) menjelaskan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated rencana and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yg berkepentingan buat membarui perilaku masyarakat, yaitu suatu produk sosial. Bentuk berdasarkan produk sosial antara lain berupa inspirasi sosial, yaitu bentuk dari keyakinan, sikap atau nilai. Ide sosial yg dipasarkan bisa pula merupakan sebuat perilaku atau sebuah nilai.

Belch serta Belch (2004) menyebutkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral menurut societal marketing dan pertukaran ini nir hanya terbatas dalam pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya pada hubungan antara perusahaan donor dan lembaga nirlaba terkait menggunakan suatu info sosial. Lembaga nirlaba akan mendapat sejumlah donasi berdasarkan perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor nir menerima bentuk laba material serta donasi yg diberikan. Donasi yang diberikan oleh perusahaan merupakan pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti contohnya feelings of goodwill dan altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan menurut frase cause-related marketing ditujukan kepada perusahaan kartu kredit American Express yg menjalankan taktik pemasarannya pada tahun 1983. Tujuan awal perusahaan adalah meningkatkan jumlah pengguna kartu kredit, yg lalu berkembang menggunakan taktik pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty pada Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent dari penggunaan kartu kredit, dan satu dollar menurut penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan di tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 %, dibandingkan menggunakan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang herbi cause-related marketing yg menyebutkan keluarnya konsep sejalan dengan teori yg hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Menurut Polonski dan Speed (2001), banyak laba yang mampu diperoleh oleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama adalah menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal sudah tertarik buat melakukan cause yang kemudian dipromosikan sang perusahaan. Keuntungan ke 2 merupakan tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial eksklusif. Manfaat ketiga, aktivitas sosial sanggup dipengaruhi sang perusahaan, yang melihat keterkaitan antara produknya dengan aktivitas sosial tertentu. Perusahaan yg melakukan cause-related marketing akan bisa menerima ceruk pasarnya dengan lebih tepat. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk menggunakan informasi tertentu, serta konsumen yang tertarik menggunakan berita tadi akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu dengan gosip yang menjadi perhatiannya. Keempat, output penjualan sanggup meningkat lantaran tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan menggunakan pihak-pihak yg memiliki kepedulian yang sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati identitas merek yang positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya penjelasan yang kentara perbedaan diantara cause-related marketing menggunakan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing nir termasuk pada philanthropy perusahaan dan sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang pada pihak nonprofit, berdasar kepada jumlah produk yang dapat terjual pada konsumen. Program khusus yg dilakukan dalam cause-related marketing merupakan penjualan dan promosi suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship merupakan aktivitas yg melibatkan uang dan barang pada pihak lain yang bertujuan mengenalkan produk tertentu serta nama perusahaan melalui aktivitas yg diadakan sang pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship menggunakan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang kedua pihak mengenai jumlah serta cara donasinya. 

Menurut Kotler dan Lee (2005), masih ada aneka macam macam cara buat melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang eksklusif setiap produk terjual, (dua) jumlah uang eksklusif setiap aplikasi terhadap produk jasa tertentu, (3) persentase eksklusif dari penjualan produk, (4) proporsi yg tidak dipengaruhi sebelumnya dari penjualan produk, (5) perusahaan memberikan kontribusi sejumlah kontribusi dari konsumen, (6) persentase eksklusif menurut laba bersih, (7) penawarannya mungkin terkait menggunakan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku buat kerangka saat eksklusif atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas menurut kontribusi (bukan dengan saat).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi keluarga Indonesia untuk mendukung acara peningkatan pencerahan warga tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- dalam setiap pembelian sabun btg Lifebouy. Hasil yg terkumpul sejauh ini telah dirasakan manfaatnya oleh 10.000 murid Sekolah Dasar yg memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan langsung. Bahkan dana tersebut relatif buat membiayai program menurut sekolah ke sekolah, yg mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam keluarga mereka serta mendorong terciptanya gaya hayati yang lebih sehat. Ribuan anak turut serta pada memberikan cap ke 2 tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka buat mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan nir saja menyebarkan iklan dan kenaikan pangkat yang bertanggung jawab. Di pada komunikasi, perusahaan tidak saja menyampaikan mengenai manfaat produk itu sendiri, namun pula pesan-pesan pendidikan tentang kesadaran hayati sehat (Susanto, 2007). 

3. Cause-Related Marketing Strategis serta Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing pada pemasaran mempunyai interaksi yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit dan konsumen. Tetapi, dampak yang didapatkan akan bhineka tergantung pada situasi tertentu, yakni pola acara cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam cause-related marketing terdiri menurut 2 bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis mempunyai perbedaan yang mendasar menggunakan pola cause-related marketing strategis, namun memiliki dimensi yang sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema dari cause-related marketing taktis dan strategis
Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka ketika yang lama , keterlibatan manajemen yang menyeluruh berdasarkan zenit sampai bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan pada acara akbar, serta adanya kesesuaian interaksi yg tinggi yang dirasakan antara suatu isu dengan lini produk, merk image, positioning dan target pasar. Perusahaan yang menggunakan cause-related marketing dengan cara taktis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka waktu yg terbatas dan pada periode saat tertentu, keterlibatan manajemen pada acara sebatas kelompok yg dibentuk dalam kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan nir sebesar strategic cause-related marketing, dan kesesuaian hubungan yang nir tinggi yang dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, merk image, positioning dan target pasar (Varadarajan dan Menon, 1988). 

A. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan kegiatan cause-related marketing diyakini memberikan pengaruh positif bagi perusahaan. Tetapi demikian, imbas positif tadi nir terbentuk begitu saja. Konsumen tidak secara mudah mendapat inisiatif sosial buat kemudian menaruh reward pada perusahaan. Asosiasi positif yang terbentuk dari suatu inisiatif sosial akan bergantung pada evaluasi konsumen terhadap inisiatif tersebut dalam hubungannya dengan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang mempunyai peran penting pada proses evaluasi konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar dalam level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor serta aktivitas filantropi buat tetapkan apakah pantas bagi perusahaan tadi buat terlibat dalam suatu sponsorship spesifik (Drumwright et al, 1996). Konsumen mempunyai keyakinan yang bertenaga bahwa perusahaan seharusnya mensponsori informasi-berita sosial yang mempunyai asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). 

Varadarajan dan Menon (1988) menyatakan bahwa dalam cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan sebagai kesesuaian hubungan yg dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, brand image, positioning dan target pasar. Congruence atau fit asal dari asosiasi bersama antara merek dan filantropi, misalnya misalnya dimensi produk, afinitas menggunakan sasaran segmen spesifik, corporate image associations yang terbentuk akibat kegiatan merek terdahulu pada domain sosial spesifik, serta keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon serta Khan, 2003). Definsi lain tentang congruence diberikan sang Becker et al. (2006) menjadi kesesuaian antara perusahaan dan gosip sosial yg bisa diperoleh dari misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau mengembangkan bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa peran krusial congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh dalam kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu dalam suatu hubungan, misalnya mempertinggi elaborasi mengenai perusahaan, inisitif sosial, dan atau interaksi itu sendiri waktu dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta kabar yg terdapat. Alasan ke 2 merupakan congruence berpengaruh dalam tipe spesifik yang muncul pada pikiran, seperti misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif dan low congruence itu sendiri bisa dinilai negatif. Alasan ketiga merupakan congruence menghipnotis evaluasi berdasarkan dua objek. Apabila konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan buat mengurangi perilaku mereka terhadap perubahan serta inisiatif sosial dan mempertanyakan motif menurut apa yg dilakukan sang perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menyebutkan bahwa incongruent yang dirasakan lemah atau tidak terdapat dalam aliansi antara organisasi memberitahuakn bahwa konsumen membutuhkan penjelasan terperinci konitif yg lebih pada dalam informasi yg ada buat menentukan alasan menurut aliansi tadi. 

B. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) pada Wymer serta Sergeant (2006), keliru satu dimensi pada cause-related marketing merupakan durasi. Usia yg panjang pada suatu hubungan terlihat merupakan penting bagi perusahaan yg bergerak dalam bidang usaha menggunakan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yg panjang merupakan bentuk yang ideal. Ketika hubungan tersebut berjalan dengan ketika yang usang, maka akan terbentuk hubungan partnership yg akan membangun komitmen perusahaan yang sejalan dengan misi dari organisasi non profit. Sagawa serta Segal (2001) dalam Wymer serta Sergeant (2006) mengambil suatu pandangan yg lebih pragmatis, yakni menggunakan merekomendasikan para kawan atau organisasi non profit buat nir mencari keuntungan, dengan mengenali manfaat-manfaat yang dibutuhkan dari para pendukung usaha (perusahaan) buat memastikan bahwa para kawan usaha menerima publisitas serta sosialisasi yang akbar untuk dukungan mereka. 

Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan usaha nir tertarik terhadap hubungan-hubungan jangka panjang dalam program cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan menggunakan organsiasi non profit melalui restriksi saat. Perusahaan memandang interaksi-interaksi dalam jangka waktu yang lebih pendek dipercayai dapat memperoleh sasaran hasil yang lebih baik, dan memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat pada hal biaya -biaya yg lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas usaha dengan tujuan utama buat mencari keuntungan menyebabkan pengalaman para pemasar cenderung buat mempunyai asa-asa yang lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), terdapat dua bentuk durasi program cause-related marketing menurut ketika, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit dalam jangka saat yg pendek. Sebagai model, perusahaan melakukan acara cause-related marketing pada jangka saat tiga bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama menggunakan pihak organisasi non profit pada jangka saat yang panjang, namun tidak secara permanen. 

Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif dapat mempertinggi merk equity melalui kerjasama dalam waktu yang lama dengan organisasi tadi. Asosiasi kedua pihak membentuk ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan dan merek-merek dari perusahaan dengan mudah dapat mengatur balik asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yg menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif menurut prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan bisa meningkatkan menggunakan gampang dan bertenaga investasi mereka pada hal yg terkait menggunakan cause-related marketing (Till serta Nowak, 2000).

C. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dipercaya sebagai cost semata, melainkan pula sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan wajib konfiden bahwa ada korelasi positif antara pelaksanaan cause-related marketing menggunakan meningkatnya apresiasi global internasional juga domestik terhadap perusahaan yg bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten pada jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan rakyat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yang pada gilirannya bisa memberikan keuntungan ekonomi-bisnis kepada perusahaan yang bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yg telah well-planned dan bahkan sangat integrated sedemikian rupa sebagai akibatnya sangat sistematis serta metodologis, tetapi juga masih banyak perusahaan yg pengeluaran dana CSR-nya berbasis pada proposal yg diajukan rakyat (Susanto, 2007).

Cause-related marketing dapat ditinjau menjadi perwujudan perhatian perusahaan terhadap aktivitas sosial. Pada dasarnya acara cause-related marketing memiliki 2 tujuan primer, yaitu mempertinggi performa perusahaan serta memberikan donasi sosial yang berguna, dengan menaikkan aturan yg sebagian menurut laba atau penjualan produknya akan disumbangkan buat aktivitas sosial eksklusif. Dalam beberapa masalah, perusahaan yg melakukan cause-related marketing tidak memiliki aturan yang permanen sepanjang saat buat kegiatan tersebut. Porsi menurut anggaran cause-related marketing lebih poly dipakai melalui iklan yg ditayangkan di suratkabar atau televisi buat mempromosikan kegiatan cause-related marketing tadi. Hai ini dilakukan supaya memperoleh respon yg positif menurut konsumen terhadap aktivitas cause-related marketing, yg secara nir pribadi pada sisi lainnya merupakan produk yg berkaitan dengan acara cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

D. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) pada pemasaran baru dapat sebagai berkelanjutan bila acara yang dibentuk oleh suatu perusahaan benar-sahih adalah komitmen beserta berdasarkan segenap unsur yg terdapat pada dalam perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan dengan penuh antusias menurut karyawan akan mengakibatkan program-program tadi nir berjalan menggunakan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai berdasarkan program-program tersebut akan menaruh arti tersendiri yang sangat besar bagi perusahaan.

Miller (2002) menjelaskan faktor primer yang bisa menaikkan kesetiaan pelanggan pada suatu aktivitas pemasaran yang terkait dengan cause-related marketing merupakan menyatakan terlibat pada program tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan istilah lain, cause-related marketing merupakan penting bagi suatu kemitraan buat tidak mencari keuntungan, bahwa dengan mengintegrasikan donasi, sukarelawan-sukarelawan karyawan serta manajemen zenit perusahaan yg bisa mendukung acara cause-related marketing adalah krusial bagi publik. Hal ini menerangkan adanya komitmen yang tinggi dari perusahaan buat kemitraan dalam jangka saat yang panjang, yang dalam akhirnya akan menciptakan loyalitas dengan konsumen. Ketika menyebarkan suatu program cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu tahu keterkaitan dengan kemitraan tersebut, yg paling mudah dikomunikasikan menggunakan memilih suatu acara yang sinkron menggunakan kemampuan perusahaan dalam aplikasi tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yang berhubungan dengan CSR mempunyai tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan dari dewan direksi, manajemen zenit, serta pemilik serta sukarelawan dari aneka macam unit dalam perusahaan yang terkena impak atau terlibat dengan berita-informasi seputar cause-related marketing dalam CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi program akan menjadi landasan bagi aktivitas evaluasi selanjutnya, bisa juga diidentifikasi sebagai nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang dalam setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih mengklaim tercapainya tujuan dan penerimaan berdasarkan kegiatan cause-related marketing pada CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, dan aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip dan dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara spesifik memiliki proses pengambilan keputusan yg spesifik serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari aktivitas operasionalnya, kegiatan-kegiatan yang secara eksklusif berhubungan dengan produk dan layanan yang dihasilkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-informasi krusial yang sedang hangat pada tanggung jawab sosial. Oleh karenanya diskusi menggunakan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat krusial guna memetakan kepentingan yang mereka miliki. Adalah penting buat memperoleh kejelasan tentang tujuan diskusi, lantaran stakeholder dapat melihat sebagai kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka mengenai perilaku perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini merupakan memetakan definisi mereka tentang keberhasilan dalam rangka kerjasamanya dengan perusahaan.

LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

Landasan Teori Dan Perumusan Hipotesis 
1. Konsep Pemasaran Holistik 
Kotler dan Keller (2006) menyebutkan bahwa pemasaran keseluruhan merupakan konsep yg berbasis pengembangan, desain, implementasi dan kegiatan proses pemasaran yg dikenali memiliki nilai ketergantungan yg tinggi. Pendekatan holistik didasari dalam cara buat mengatasi menyebarkan perseteruan pemasaran yang kompleks dan luas. Karakteristik pemasaran holistik merupakan integrasi dari empat konsep pemasaran, yaitu konsep pemasaran internal (internal marketing), pemasaran integrasi (integrated marketing), pemasaran relasional (relationship marketing) serta pemasaran sosial (societal marketing). 

Pemasaran sosial (societal marketing) merupakan konsep yg memandang bahwa organisasi berusaha menentukan apa cita-cita, kebutuhan, serta ketertarikan atau kepentingan berdasarkan target pasar. Organisasi kemudian memberikan nilai superior pada konsumen dengan cara-cara yg bisa mempertahankan atau mempertinggi kesejahteraan konsumen serta rakyat secara lebih luas. Konsep societal marketing menuntut pasar buat dapat menyeimbangkan 3 pertimbangan pada merogoh keputusan tentang kebijakan pemasaran, yaitu keuntungan perusahaan, kepuasan konsumen, serta kepentingan masyarakat. Konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan konsep, komunikasi, fasilitasi, bonus serta teori pertukaran dipakai buat memaksimalkan respon yg bersifat komersial (Kotler dan Lee, 2005). 

Pemasaran sosial memakai konsep-konsep segmentasi pasar, riset konsumen, pengembangan serta pengujian konsep produk, komunikasi yang diarahkan, anugerah fasilitas, bonus-insentif serta perubahan teori buat memaksimumkan tanggapan kelompok target. Asumsi dasar penelitian ini merupakan bahwa konsep pemasaran sosial yg condong buat aktivitas komersial, sesungguhnya dapat pula dikembangkan bagi kegiatan pengembangan warga yang bersifat non profit. Kotler dan Keller (2006) menyebutkan:

“Social marketing is a strategy for changing behaviour. It combines the best elements of traditional approaches to social change in an integrated rencana and action framework and utilities advances in communication technology and marketing skills”

Pemasaran sosial akan dibawa ke rakyat sang institusi yg berkepentingan buat membarui konduite warga , yaitu suatu produk sosial. Bentuk menurut produk sosial antara lain berupa inspirasi sosial, yaitu bentuk menurut keyakinan, perilaku atau nilai. Ide sosial yang dipasarkan dapat pula adalah sebuat perilaku atau sebuah nilai.

Belch dan Belch (2004) menyebutkan bahwa pertukaran nilai menjadi konsep sentral berdasarkan societal marketing serta pertukaran ini nir hanya terbatas pada pertukaran uang buat barang atau jasa. Sebagai model misalnya pada hubungan antara perusahaan donor serta forum nirlaba terkait menggunakan suatu gosip sosial. Lembaga nirlaba akan menerima sejumlah bantuan menurut perusahaan, namun demikian perusahaan sponsor tidak mendapat bentuk laba material dan kontribusi yg diberikan. Donasi yang diberikan oleh perusahaan merupakan pertukaran buat keperluan sosial serta psikologis bagi perusahaan, seperti contohnya feelings of goodwill dan altruisme. 

2. Cause-Related Marketing 
Permulaan dari frase cause-related marketing ditujukan pada perusahaan kartu kredit American Express yang menjalankan strategi pemasarannya dalam tahun 1983. Tujuan awal perusahaan merupakan menaikkan jumlah pengguna kartu kredit, yg lalu berkembang menggunakan strategi pemasaran lanjutan buat berkomitmen buat mendonasikan sebagian dana, guna restorasi patung Liberty di Amerika Serikat. Perusahaaan berjanji buat mendonasikan uang sejumlah satu cent menurut penggunaan kartu kredit, serta satu dollar berdasarkan penerbitan kartu kredit baru, selama empat bulan pada tahun 1983. Perusahaan American Express memperoleh peningkatan penggunaan kartu kredit sebanyak 28 %, dibandingkan menggunakan periode yang sama tahun sebelumnya. 

Varadarajan serta Menon (1988) mempublikasikan literatur akademis yang berhubungan dengan cause-related marketing yg mengungkapkan keluarnya konsep sejalan menggunakan teori yang hampir sama menggunakan corporate social responsibility:

Cause-related marketing is the process of formulating and implementing marketing activities that are characterized by an offer from the firm to contribute a specific amount to a designated cause when customers engage in revenue-providing exchanges that satisfy organizational and individual objectives 

Menurut Polonski serta Speed (2001), banyak laba yg sanggup diperoleh oleh perusahaan dan atau mitranya dengan melakukan cause-related marketing. Keuntungan pertama merupakan menarik para konsumen baru, yaitu orang yg sedari awal telah tertarik untuk melakukan cause yang lalu dipromosikan oleh perusahaan. Keuntungan ke 2 adalah tersedianya dana buat membiayai aktivitas sosial tertentu. Manfaat ketiga, kegiatan sosial sanggup ditentukan sang perusahaan, yg melihat keterkaitan antara produknya menggunakan kegiatan sosial tertentu. Perusahaan yang melakukan cause-related marketing akan mampu mendapatkan ceruk pasarnya menggunakan lebih sempurna. Cause-related marketing akan menghubungkan antara produk dengan gosip eksklusif, serta konsumen yang tertarik menggunakan isu tersebut akan mengetahui asosiasi antara produk tertentu menggunakan berita yg sebagai perhatiannya. Keempat, hasil penjualan sanggup meningkat lantaran tambahan konsumen serta ceruk pasar, terbentuknya kemitraan menggunakan pihak-pihak yang memiliki kepedulian yang sama. Keuntungan yang terakhir merupakan perusahaan akan menikmati bukti diri merek yg positif.

Sundar (2007) menyatakan adanya klarifikasi yg kentara disparitas diantara cause-related marketing menggunakan philanthropy perusahaan serta sponsorship. Cause-related marketing tidak termasuk dalam philanthropy perusahaan serta sponsorship. Program cause-related marketing mendonasikan uang kepada pihak nonprofit, berdasar pada jumlah produk yg bisa terjual pada konsumen. Program spesifik yg dilakukan pada cause-related marketing adalah penjualan serta kenaikan pangkat suatu produk. Donasi acara murni dipengaruhi sang perusahaan. Sponsorship adalah kegiatan yang melibatkan uang serta barang pada pihak lain yg bertujuan mengenalkan produk tertentu dan nama perusahaan melalui kegiatan yang diadakan oleh pihak lain. Perusahaan melakukan Sponsorship dengan pihak lain melalui perjanjian yg sudah disepakati sang ke 2 pihak tentang jumlah dan cara donasinya. 

Menurut Kotler dan Lee (2005), masih ada aneka macam macam cara buat melakukan cause-related marketing, umunya adalah sebagai berikut: (1) jumlah uang tertentu setiap produk terjual, (dua) jumlah uang tertentu setiap pelaksanaan terhadap produk jasa eksklusif, (3) persentase eksklusif dari penjualan produk, (4) proporsi yang tidak dipengaruhi sebelumnya menurut penjualan produk, (lima) perusahaan menaruh kontribusi sejumlah donasi menurut konsumen, (6) persentase tertentu dari keuntungan higienis, (7) penawarannya mungkin terkait menggunakan satu produk saja, atau beberapa hingga seluruh produk, (8) penawarannya mungkin berlaku buat kerangka saat eksklusif atau tidak dibatasi, atau (9) perusahaan menetapkan batas atas dari kontribusi (bukan menggunakan saat).

Program “Lifebouy Berbagi Sehat” memberikan kesempatan bagi famili Indonesia buat mendukung acara peningkatan pencerahan masyarakat tentang kesehatan. Konsumen secara otomatis memberikan sumbangan Rp. 10- dalam setiap pembelian sabun btg Lifebouy. Hasil yang terkumpul sejauh ini telah dirasakan keuntungannya oleh 10.000 siswa SD yang memperoleh modul interaktif mengenai perawatan kesehatan eksklusif. Bahkan dana tersebut relatif buat membiayai program dari sekolah ke sekolah, yang mengajak anak-anak menjadi agen perubahan dalam famili mereka serta mendorong terciptanya gaya hidup yang lebih sehat. Ribuan anak turut dan dalam menaruh cap kedua tangan mereka di atas sebuah spanduk sebagai ungkapan tekad mereka buat mendukung peningkatan kebersihan. Perusahaan tidak saja mengembangkan iklan serta kenaikan pangkat yang bertanggung jawab. Di pada komunikasi, perusahaan tidak saja membicarakan tentang manfaat produk itu sendiri, tetapi jua pesan-pesan pendidikan tentang kesadaran hayati sehat (Susanto, 2007). 

3. Cause-Related Marketing Strategis dan Taktis
Menurut Mohr et al. (2001), kegiatan cause-related marketing pada pemasaran memiliki hubungan yang signifikan antara perusahaan, organisasi nonprofit serta konsumen. Namun, dampak yang dihasilkan akan berbeda-beda tergantung kepada situasi eksklusif, yakni pola acara cause-related marketing. Brink et al. (2006) menyatakan bahwa pola dalam cause-related marketing terdiri dari 2 bentuk, yaitu pola strategis serta taktis. Pola cause-related marketing taktis mempunyai perbedaan yg mendasar menggunakan pola cause-related marketing strategis, namun mempunyai dimensi yg sama, yaitu kesesuian (congruence), durasi (duration), jumlah investasi (amount of investment), dan keterlibatan manajemen (management involvement)

Gambar Skema menurut cause-related marketing taktis dan strategis
Sumber : Brink et al. (2006).

Indikator suatu perusahaan melakukan cause-related marketing dengan cara strategis merupakan komitmen perusahaan melakukan kegiatan cause-related marketing dalam jangka ketika yang lama , keterlibatan manajemen yang menyeluruh menurut puncak sampai bawahan, jumlah investasi yang ditanamkan pada program akbar, dan adanya kesesuaian hubungan yg tinggi yang dirasakan antara suatu informasi dengan lini produk, brand image, positioning dan sasaran pasar. Perusahaan yang memakai cause-related marketing menggunakan cara taktis merupakan komitmen perusahaan melakukan aktivitas cause-related marketing dalam jangka saat yg terbatas serta pada periode saat tertentu, keterlibatan manajemen pada acara sebatas kelompok yg dibuat pada kegiatan cause-related marketing, jumlah investasi yang ditanamkan nir sebesar strategic cause-related marketing, dan kesesuaian interaksi yg nir tinggi yg dirasakan antara suatu info dengan lini produk, merk image, positioning serta sasaran pasar (Varadarajan dan Menon, 1988). 

A. Kesesuaian (congruence)
Pelaksanaan aktivitas cause-related marketing diyakini memberikan impak positif bagi perusahaan. Tetapi demikian, dampak positif tersebut tidak terbentuk begitu saja. Konsumen nir secara gampang menerima inisiatif sosial buat lalu menaruh reward kepada perusahaan. Asosiasi positif yang terbentuk dari suatu inisiatif sosial akan bergantung dalam penilaian konsumen terhadap inisiatif tersebut dalam hubungannya menggunakan perusahaan (Becker et al, 2006).

Salah satu variabel yang memiliki kiprah penting pada proses penilaian konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing adalah perceived congruence (Ellen et al, 2006). Konsumen akan bersandar dalam level congruence atau kesesuaian antara perusahaan sponsor dan aktivitas filantropi buat tetapkan apakah pantas bagi perusahaan tersebut buat terlibat pada suatu sponsorship khusus (Drumwright et al, 1996). Konsumen mempunyai keyakinan yang bertenaga bahwa perusahaan seharusnya mensponsori berita-info sosial yg mempunyai asosiasi logis dengan aktivitas perusahaan (Menon serta Kahn, 2003). 

Varadarajan serta Menon (1988) menyatakan bahwa pada cause-related marketing, congruence atau fit didefinisikan menjadi kesesuaian hubungan yang dirasakan antara suatu info menggunakan lini produk, brand image, positioning serta target pasar. Congruence atau fit dari berdasarkan asosiasi bersama antara merek dan filantropi, seperti misalnya dimensi produk, afinitas menggunakan sasaran segmen spesifik, corporate image associations yg terbentuk dampak kegiatan merek terdahulu dalam domain sosial spesifik, dan keterlibatan personel dalam suatu perusahaan atau merek pada domain sosial (Menon dan Khan, 2003). Definsi lain tentang congruence diberikan oleh Becker et al. (2006) menjadi kesesuaian antara perusahaan dan berita sosial yg dapat diperoleh menurut misi, produk, pasar, teknologi, atribut, konsep merek, atau berbagi bentuk asosiasi kinci lainnya.

Becker et al. (2006) mengemukakan bahwa kiprah penting congruence didasarkan oleh sejumlah alasan. Pertama, congruence berpengaruh pada kuantitas pikiran yang diberikan oleh individu dalam suatu interaksi, misalnya menaikkan penjelasan terperinci mengenai perusahaan, inisitif sosial, serta atau hubungan itu sendiri waktu dirasakan inkonsistensi dengan ekspektasi awal serta informasi yg terdapat. Alasan ke 2 adalah congruence berpengaruh pada tipe khusus yang muncul pada pikiran, misalnya misalnya low congruence membentuk pemikiran negatif serta low congruence itu sendiri dapat dinilai negatif. Alasan ketiga merupakan congruence mensugesti evaluasi menurut 2 objek. Jika konsumen mengelaborasi keadaan incognity maka terdapat kecenderungan buat mengurangi perilaku mereka terhadap perubahan dan inisiatif sosial serta mempertanyakan motif menurut apa yang dilakukan oleh perusahaan (Menon dan Kahn, 2003). Chandon et al. (2000) menyebutkan bahwa incongruent yg dirasakan lemah atau nir terdapat pada aliansi antara organisasi menunjukkan bahwa konsumen membutuhkan elaborasi konitif yang lebih pada dalam liputan yg terdapat buat memilih alasan dari aliansi tersebut. 

B. Durasi (duration)
Menurut Sagawa et al. (2000) dalam Wymer dan Sergeant (2006), salah satu dimensi dalam cause-related marketing adalah durasi. Usia yg panjang dalam suatu interaksi terlihat adalah krusial bagi perusahaan yg berkecimpung pada bidang usaha dengan organisasi non profit. Program cause-related marketing dengan durasi waktu yg panjang merupakan bentuk yang ideal. Ketika hubungan tadi berjalan dengan ketika yang usang, maka akan terbentuk interaksi partnership yg akan menciptakan komitmen perusahaan yg sejalan menggunakan misi berdasarkan organisasi non profit. Sagawa dan Segal (2001) pada Wymer dan Sergeant (2006) merogoh suatu pandangan yang lebih pragmatis, yakni dengan merekomendasikan para mitra atau organisasi non profit buat nir mencari keuntungan, menggunakan mengenali manfaat-manfaat yg diperlukan dari para pendukung bisnis (perusahaan) untuk memastikan bahwa para mitra bisnis mendapat publisitas serta sosialisasi yang akbar buat dukungan mereka. 

Drumwright (1996) mengungkapkan bahwa beberapa perusahaan bisnis nir tertarik terhadap interaksi-hubungan jangka panjang dalam acara cause-related marketing. Perusahaan lebih tertarik keterlibatan dengan organsiasi non profit melalui pembatasan waktu. Perusahaan memandang hubungan-hubungan dalam jangka saat yang lebih pendek dipercayai dapat memperoleh sasaran output yg lebih baik, serta memperoleh lebih banyak manfaat-manfaat dalam hal biaya -porto yang lebih rendah. Perusahaan melakukan aktivitas usaha menggunakan tujuan utama untuk mencari keuntungan mengakibatkan pengalaman para pemasar cenderung buat memiliki asa-asa yang lebih realistis.

Menurut Sundar (2007), terdapat 2 bentuk durasi acara cause-related marketing dari waktu, yaitu:
1. Temporary, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit dalam jangka waktu yg pendek. Sebagai contoh, perusahaan melakukan program cause-related marketing pada jangka waktu tiga bulan.
2. Ongoing, yaitu perusahaan melakukan kerjasama dengan pihak organisasi non profit pada jangka saat yg panjang, namun nir secara tetap. 

Hubungan antara cause-related marketing perusahaan dengan organisasi sponsor atau nonprofit secara positif bisa meningkatkan merk equity melalui kerjasama pada ketika yang usang dengan organisasi tersebut. Asosiasi ke 2 pihak membangun ingatan jangka panjang (long term memory). Perusahaan dan merek-merek dari perusahaan menggunakan mudah dapat mengatur pulang asosiasi network dari konsumen-konsumen mereka, terbentuk suatu mata rantai yg menghubungkan antara perusahaan serta konsumen. Melalui penggunaan yang efektif dari prinsip-prinsip pelajaran dasar asosiasi, perusahaan dapat menaikkan menggunakan gampang serta bertenaga investasi mereka pada hal yang terkait menggunakan cause-related marketing (Till dan Nowak, 2000).

C. Jumlah Investasi (Amount of Investment)
Penerapan cause-related marketing seharusnya tidak dipercaya menjadi cost semata, melainkan juga sebuah investasi jangka panjang bagi perusahaan bersangkutan. Perusahaan harus yakin bahwa ada hubungan positif antara aplikasi cause-related marketing dengan meningkatnya apresiasi dunia internasional maupun domestik terhadap perusahaan yang bersangkutan. Pelaksanaan cause-related marketing secara konsisten pada jangka panjang akan menumbuhkan rasa penerimaan rakyat terhadap kehadiran perusahaan. Kondisi seperti inilah yg dalam gilirannya dapat menaruh keuntungan ekonomi-usaha pada perusahaan yg bersangkutan. Dari segi penyampaian serta peruntukannya, banyak perusahaan yang sudah well-planned serta bahkan sangat integrated sedemikian rupa sehingga sangat sistematis serta metodologis, tetapi pula masih poly perusahaan yang pengeluaran dana CSR-nya berbasis pada proposal yg diajukan warga (Susanto, 2007).

Cause-related marketing bisa ditinjau menjadi perwujudan perhatian perusahaan terhadap aktivitas sosial. Pada dasarnya program cause-related marketing memiliki dua tujuan utama, yaitu menaikkan performa perusahaan dan memberikan donasi sosial yang berguna, menggunakan menaikkan anggaran yg sebagian berdasarkan laba atau penjualan produknya akan disumbangkan buat kegiatan sosial tertentu. Dalam beberapa perkara, perusahaan yang melakukan cause-related marketing tidak memiliki aturan yg permanen sepanjang waktu untuk kegiatan tersebut. Porsi dari aturan cause-related marketing lebih banyak digunakan melalui iklan yg ditayangkan di suratkabar atau televisi untuk mempromosikan kegiatan cause-related marketing tadi. Hai ini dilakukan agar memperoleh respon yg positif dari konsumen terhadap kegiatan cause-related marketing, yang secara tidak pribadi di sisi lainnya merupakan produk yg berkaitan dengan program cause-related marketing dapat dikenal baik oleh masyarakat (Varadarajan serta Menon, 1988).

D. Keterlibatan Manajemen (Management Involvement)
Menurut Susanto (2007), program corporate social responsibility (CSR) dalam pemasaran baru bisa sebagai berkelanjutan bila acara yg dibentuk oleh suatu perusahaan sahih-benar adalah komitmen beserta dari segenap unsur yang terdapat di pada perusahaan itu sendiri. Tentunya tanpa adanya komitmen dan dukungan menggunakan penuh antusias menurut karyawan akan menjadikan program-acara tadi nir berjalan dengan baik. Dengan melibatkan karyawan secara intensif, maka nilai dari acara-program tadi akan memberikan arti tersendiri yang sangat akbar bagi perusahaan.

Miller (2002) mengungkapkan faktor primer yang dapat menaikkan kesetiaan pelanggan pada suatu aktivitas pemasaran yang terkait menggunakan cause-related marketing adalah menyatakan terlibat dalam acara tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan kata lain, cause-related marketing merupakan krusial bagi suatu kemitraan buat nir mencari laba, bahwa dengan mengintegrasikan bantuan, sukarelawan-sukarelawan karyawan dan manajemen puncak perusahaan yg dapat mendukung acara cause-related marketing adalah penting bagi publik. Hal ini memperlihatkan adanya komitmen yang tinggi berdasarkan perusahaan buat kemitraan pada jangka waktu yg panjang, yang dalam akhirnya akan menciptakan loyalitas menggunakan konsumen. Ketika membuatkan suatu acara cause-related marketing, stakeholder perusahaan perlu tahu keterkaitan menggunakan kemitraan tadi, yang paling mudah dikomunikasikan dengan memilih suatu acara yg sinkron dengan kemampuan perusahaan pada pelaksanaan tanggung jawab sosial. 

Kegiatan cause-related marketing yang herbi CSR memiliki tahapan-tahapan pada pelaksanaannya. Menurut Susanto (2007), tahapan-tahapan tadi antara lain:

1. Membentuk tim kepemimpinan
Biasanya tim kepemimpinan mencakup perwakilan berdasarkan dewan direksi, manajemen puncak , dan pemilik dan sukarelawan menurut aneka macam unit pada perusahaan yg terkena pengaruh atau terlibat dengan info-isu seputar cause-related marketing pada CSR.

2. Merumuskan definisi program
Perumusan definisi acara akan sebagai landasan bagi aktivitas evaluasi selanjutnya, dapat juga diidentifikasi menjadi nilai-nilai kunci yang memotivasi perusahaan. Melibatkan orang-orang pada setiap tingkatan dalam perusahaan akan lebih mengklaim tercapainya tujuan serta penerimaan dari aktivitas cause-related marketing dalam CSR.

3. Melakukan kajian terhadap dokumen, proses, dan aktivitas perusahaan
Dokumen-dokumen ini mencakup misi, kebijakan, code of conduct, prinsip-prinsip dan dokumen-dokumen lainnya. Perusahaan secara khusus mempunyai proses pengambilan keputusan yang khusus serta proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aspek-aspek eksklusif dari aktivitas operasionalnya, aktivitas-kegiatan yg secara eksklusif berhubungan dengan produk serta layanan yang didapatkan. 

4. Mengidentifikasi serta melibatkan stakeholder kunci
Perusahaan mungkin saja melewatkan isu-berita krusial yang sedang hangat dalam tanggung jawab sosial. Oleh karena itu diskusi menggunakan stakeholder kunci, khususnya pihak eksternal sangat penting guna memetakan kepentingan yg mereka miliki. Adalah penting untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan diskusi, karena stakeholder dapat melihat sebagai kesempatan buat mengemukakan pandangan mereka tentang konduite perusahaan, Kunci bagi efektifnya keterlibatan para stakeholder ini adalah memetakan definisi mereka mengenai keberhasilan dalam rangka kerjasamanya dengan perusahaan.

KONSEP DASAR BERFIKIR ILMIAH DENGAN PENALARAN DEDUKTIF INDUKTIF DAN ABDUKTIF

Konsep Dasar Berfikir Ilmiah menggunakan Penalaran Deduktif, Induktif, Dan Abduktif
Berpikir merupakan sebuah proses yang berakibat pengetahuan. Proses ini adalah serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran eksklusif yang akhirnya hingga pada sebuah konklusi yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir buat menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan berdasarkan sesuatu yang dikehendaki (Achmadi, 1998). Menurut Himsworth (1997), manusia merupakan makhluk yg berpikir. Setiap saat menurut hidupnya, semenjak beliau lahir hingga masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada kasus yang menyangkut menggunakan perikehidupan yang terlepas menurut jangkauan pikirannya, menurut soal paling remeh hingga soal paling asasi (Hardiman, 2004).


Berpikir ilmiah adalah memakai logika budi buat mempertimbangkan, tetapkan, mengembangkan dan sebagainya (James, 1999). Pada dasarnya setiap objek yg ada di dunia pastilah menuntut metode eksklusif. Seperti halnya pada memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih menurut satu metode ataupun bisa diselesaikan berdasarkan banyak sekali metode (Ahmad Saebani, 2009). Akhirnya suatu pendapat berkata, bahwa sesuatu mempunyai berbagai segi yg menuntut penggunaan berbagai metode. Untuk memperoleh pengetahuan, maka digunakanlah metode berfikir ilmiah (Sumadi, 2010). Metode berfikir ilmiah dapat dilakukan melalui tiga jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif, Penalaran Induktif, dan Penalaran Abduktif (Redja, 2001).


Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menaruh perumusan perkara khususnya yg berkenaan menggunakan kajian berpikir ilmiah. Untuk itu penulis merumuskan perkara, menjadi berikut :
1. Apa yg dimaksud metode berpikir ilmiah?
2. Apa nilai guna metode berpikir ilmiah?
3. Bagaimana cara berpikir ilmiah menggunakan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif?


Tujuan
Berdasarkan rumusan perkara diatas, maka yg sebagai tujuan pembahasan dalam makalah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah.
2. Untuk mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah.
3. Untuk mengetahui cara berfikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, serta abduktif.


Metode Penulisan
Sumber dan Jenis Data
Data-data yg dipergunakan dalam makalah ini bersumber berdasarkan banyak sekali referensi atau literatur yg relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Validitas dan relevansi referensi yg dipakai dapat dipertanggungjawabkan. Jenis data yg diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif.


Pengumpulan Data
Penulisan makalah ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka menggunakan menelusuri berbagai rujukan yang terkait dengan topik utama permasalahan. Literatur yg dipakai merupakan literatur yg telah dikaji validitasnya dan mendukung pada penguraian kasus.


Penyusunan Data
Setelah data terkumpul, dilakukan penyusunan data (pembahasan) dengan sistematis sinkron dengan masalah yg dikaji. Penyusunan data ini merujuk pada berbagai literatur berupa buku dan jurnal yg relevan dengan topik makalah yg telah dikumpulkan. Dari tahapan penyusunan data, tujuan penulisan makalah bisa terpenuhi yaitu mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah, mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah, mengetahui cara berfikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, serta abduktif. Setelah penyusunan data dilakukan penarikan konklusi dari kajian topik yg sudah dilakukan.



Pembahasan
Metode Berfikir Ilmiah
Secara etimologis, metode asal menurut Bahasa Yunani, yaitu “Meta” yang merupakan setelah atau dibalik sesuatu, dan “Hodos” yang artinya jalan yang wajib ditempuh (Richard, 1986). Jadi metode berarti langkah-langkah (cara dan teknik) yang diambil berdasarkan urutan tertentu buat mencapai pengetahuan tertentu. Jadi metode berfikir ilmiah merupakan prosedur, cara serta teknik memperoleh pengetahuan, dan buat mengambarkan sahih salahnya suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya (Branner, 2002).


Metode ilmiah ini adalah sebuah prosedur yang digunakan para ilmuan pada pencarian kebenaran baru. Dilakukannya menggunakan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru, dan melakukan peninjauan pulang kepada pengetahuan yg sudah terdapat (Kattsoff, 1992). Tujuan menurut penggunaan metode ilmiah ini yaitu agar ilmu berkembang serta permanen eksis dan mampu menjawab aneka macam tantangan yg dihadapi. Kebenaran serta kecocokan kajian ilmiah, akan terbatas pada ruang, saat, tempat dan kondisi eksklusif (Milton, 2004).


Metode ilmiah dipengaruhi sang unsur alam yang berubah dan beranjak secara dinamik dan teratur. Kondisi alam yang diduga para filosof lantaran adanya asas tunggal berdasarkan alam (natural law). Filosof konfiden, bahwa natural law sudah menjadi keliru satu sebab adanya ketertiban alam (Zuhairini, 1995). Ketertiban akan diangkat serta wajib diletakkan menjadi objek berukuran dalam menentukan kebenaran. Corak-corak metodis yang sandarannya pada kondisi alam, yang dinamik serta teratur, harus diakui sudah meneyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat dan kecendrungan yang positivistic (Titus, 1959). Ilmu selalu berkembang dalam ukuran-berukuran yg konkrit menggunakan contoh serta pendekatan dan eksperimen dan observasi. Dalam perkembangan selanjutnya model dan cara berfikir demikian telah memperoleh gugatan. Lantaran, nir seluruh ilmu bisa didekati menggunakan model yang sama (Sidi, 1973). Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara eksklusif telah menyebabkan terjadinya kemajuan pada ilmu pengetahuan. Manusia bukan saja hidup dalam ritmis modernisasi yg serba mudah dan menjanjikan. Lebih berdasarkan itu seluruh, insan dapat menggapai sesuatu yg sebelumnya seolah nir mungkin. Manusia nir lagi berpangku tangan, terhadap apa yg menjadi kehendak alam (Peursen, 2003).


Manfaat Berfikir Ilmiah
Metode berpikir ilmiah memiliki peranan penting pada membantu insan buat memperoleh pengetahuan cakrawala baru dalam mengklaim keberadaan kehidupan manusia. Dengan menggunakan metode berfikir ilmiah, manusia terus menyebarkan pengetahuannya (Liang, 1982).


Menurut Sugiharto (1996) ada 4 cara manusia memperoleh pengetahuan:
1. Berpegang pada sesuartu yg sudah terdapat (metode keteguhan).
2. Merujuk pada pendapat ahli
3. Berpegang dalam bisikan hati (metode bisikan hati)
4. Menggunakan metode ilmiah


Dari keempat itulah, manusia memperoleh pengetahuannya sebagai pelekat dasar kemajuan insan. Tetapi cara yang keempat ini, tak jarang disebut sebagai cara ilmuan dalam memperoleh ilmu. Dalam praktiknya, metode ilmiah digunakan buat mengungkap serta menyebarkan ilmu, melalui cara kerja penelitian (Magnis, 1992). Cara kerja ilmuan dengan penelitian ilmiah, ada menjadi reaksi berdasarkan tantangan yg dihadapi manusia. Pemecahan masalah melalui metode ilmiah nir akan pernah berpaling. Penelitian ilmiah menggunakan memakai metode ilmiah, memegang peranan krusial dalam membantu manusia untuk memecahkan setiap perkara yang pada hadapinya (Jammer, 1999).


Ilmuan umumnya bekerja dengan cara kerja sistematis, berlogika dan menghindari diri menurut pertimbangan subjektif. Rasa tidak puas terhadap pengetahuan yg asal dari paham orang awam, mendorong kelahiran filsafat. Filsafat menyelidik ulang semua pengetahuan insan buat mendapat pengetahuan yg hakiki (Capra, 1998). Ilmuan memiliki falsafah yang sama, yaitu dalam penggunaan cara menuntaskan perkara dengan memakai metode ilmiah (Noeng, 1996). Metode ilmiah selalu dipakai untuk memecahkan masalah yg dihadapinya. Penggunaan metode ilmiah tertentu dalam kajian eksklusif, dapat memudahkan ilmuan dan pengguna hasil keilmuannya bisa memudahkan melakukan penelusuran. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, “nir ada” kebenaran yg sekedar berada pada jumantara meskipun atas nama logika. Setiap kebenaran ilmiah, senantiasa diperkuat bukti-bukti empirik serta indrawi, bahkan sesuatu kebenaran tadi sudah teruji (Hardiman, 2004).


Penalaran Ilmiah
Terdapat poly cara penarikan konklusi, namun buat sesuai menggunakan maksud tulisan ini yang memusatkan kepada berpikir ilmiah maka terdapat 3 jenis penarikan kesimpulan yakni dari nalar induktif, logika deduktif serta akal abduktif :


Logika Induktif
Merupakan cara berpikir menarik suatu kesimpulan yang bersifat generik dari aneka macam kasus yang bersifat individual (seperti konklusi peneliti humoris). Misalnya, kita punya informasi bahwa kambing punya mata, kucing punya mata, demikian jua anjing serta aneka macam hewan lainnya. Dari fenomena-fenomena ini dapat kita tarik kesimpulan umum bahwa seluruh hewan mempunyai mata. Dua keuntungan menurut nalar induktif : 


a. Ekonomis
Karena dengan penalaran induktif kehidupan yg beraneka ragam menggunakan berbagai corak serta segi bisa direduksi/dikurangi menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yg dikumpulkan manusia bukan adalah koleksi/ formasi berdasarkan banyak sekali kabar melainkan esensi berdasarkan kabar-informasi tadi. Demikian pula pengetahuan nir bermaksud membuat reproduksi menurut obyek tertentu, melainkan menekankan dalam struktur dasar yg mendasari ujud keterangan tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya nir bisa mereproduksi betapa manisnya secangkir kopi atau betapa pahitnya pil kina. Jadi pengetahuan relatif puas menggunakan pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis serta pil kina itu pahit. Pernyataan misalnya ini sudah relatif bagi manusia buat bersifat fungsional pada kehidupan simpel dan berpikir teoritis. 


b. Penalaran lanjut 
Secara induktif menurut banyak sekali pernyataan yg bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yg bersifat lebih umum lagi. Melanjutkan contoh tentang konklusi bahwa semua binatang memiliki mata (induksi hewan), dan seluruh manusia mempunyai mata (induksi insan) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh makluk mempunyai mata. Penalaran misalnya ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yg menunjuk pada pernyataan-pernyataan yang makin usang makin bersifat mendasar. 



Logika Deduktif
Adalah aktivitas berpikir yg sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan bersifat generik ditarik konklusi bersifat khusus. Penarikan konklusi secara deduktif umumnya memakai pola berpikir silogismus. Silogismus, disusun menurut dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yg mendukung silogismus ini disebut premis yang lalu bisa dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Pengetahuan yang didapat berdasarkan penalaran deduktif adalah hasil kesimpulan menurut ke 2 premis tadi. Melanjutkan model penalaran induktif di atas bisa dibentuk silogismus sebagai berikut : 

Semua makluk mempunyai mata [premis mayor] ------ Landasan [1] 

Si Polan merupakan seseorang makluk [premis minor] ------- Landasan [2] 

Jadi si Polan mempunyai mata [kesimpulan] ---------- Pengetahuan 


Kesimpulan yg diambil bahwa si Polan punya mata adalah pengetahuan yang absah dari penalaran deduktif, karena konklusi ini ditarik secara logis menurut dua premis yang mendukungnya. Jika kebenaran berdasarkan konklusi/pengetahuan dipertanyakan maka wajib dikembalikan pada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya ke 2 premis yg mendukungnya adalah sahih maka bisa dipastikan bahwa konklusi yang ditariknya jua benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah , meskipun ke 2 premisnya sahih, karena cara penarikan kesimpulannya tidak absah. Contoh : 

Semua makluk memiliki mata [premis mayor] ----Landasan [1] 

Si Polan adalah bukan makluk [premis minor] ----Landasan [2] 

Jadi si Polan mempunyai mata [kesimpulan] ------Pengetahuan 

Semua makluk mempunyai rumah [premis mayor] ----Landasan [1] 

Si Polan merupakan seseorang makluk [premis minor] ----Landasan [2] 

Jadi si Polan memiliki rumah [kesimpulan] ------Pengetahuan 

Semua makluk memiliki mata [premis mayor] ----Landasan [1] 

Si Polan merupakan seseorang makluk [premis minor] ----Landasan [2] 

Jadi si Polan mempunyai kaki [kesimpulan] ------Pengetahuan 


Jadi ketepatan penarikan konklusi dalam penalaran deduktif bergantung menurut 3 hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Jika galat satu menurut ketiga unsur tadi persyaratannya nir terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan keliru. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Misalnya, A = B dan bila B = C maka A = C. Kesimpulan A sama dengan C pada hakekatnya bukan adalah pengetahuan baru pada arti yg sebenarnya, melainkan sekedar konsekwensi dari dua pengetahuan yang telah kita ketahui sebelumnya.


Logika Abduktif
Pemikiran mendasar di sini merupakan bahwa sebuah hal yg mungkin buat melukiskan serta mendeskripsikan konsekuensi menurut sebuah produk pada iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut menurut produk yg diiklankan ataupun interaksi nilai dari pengguna produk bisa disimpulkan (abduktif) sang penerima iklan tadi. Sebagai model, pada dalam iklan buat sebuah merek margarin (Blue Band). Orang yang langsing dan ramping akan ditampilkan sedang memakai merek sebuah margarin yg diiklankan. Dalam masalah ini, konsekuensi dari sebuah produk ditampilkan (bahwa Blue Band itu membuat kuliner enak). Dari iklan ini, menjadi misalnya, kita sanggup mendapatkan sebuah kesimpulan abduktif yaitu Blue Band merupakan margarin dengan presentase “rendah-lemak” (atributnya).
  1. Hasil : Pengguna Blue Band menerima bentuk tubuh dan figur yg baik (ramping)
  2. Aturan : Margarin dengan presentase “rendah-lemak” sangat baik buat bentuk tubuh.
  3. Kasus : Blue Band merupakan margarin dengan presentase “rendah lemak” (konklusi informatif)
Apabila konklusi abduktif ini tidak secara eksplisit ada pada pada sebuah iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun pula, dari dalam konsekuensi yg digambarkan di pada iklan itu (Blue Band merupakan sebuah pilihan sempurna buat mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga menerima konklusi abduktif lain yg dibuat pada penggunaan Blue Band, pengguna produk akan mengingatnya dan nir sanggup dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).

  1. Hasil : Pengguna Blue Band menerima bentuk tubuh dan figur yg baik (ramping)
  2. Aturan : Orang dengan bentuk tubuh yg baik akan dipuji oleh orang lain
  3. Kasus : Dengan memakai Blue Band pengguna produk (akan tetap memiliki bentuk tubuh yang baik) serta dipuji sang orang lain. (konklusi transformatif).
Abduktif (abduksi) melakukan penalaran dari sebuah berita ke aksi atau syarat yg menyebabkan berita tersebut terjadi. Metode ini digunakan buat mengungkapkan event yg kita amati. Sebagai contoh, misalkan kita mengetahui bahwa seorang yg bernama Sam selalu mengendarai mobilnya menggunakan sangat cepat jika sdang mabuk. Maka pada ketika kita melihat Sam mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Sam mabuk. Tentunya hal ini belum tentu sahih, mungkin saja beliau sedang terburu-buru atau pada keadaan gawat darurat.


Walaupun abduktif mungkin nir bisa diandalkan, namun insan acapkali memperlihatkan sesuatu hal menggunakan cara seperti ini, serta mempertahankan penjelasaannya sampai ada bukti lain yg mendukung penjelasan atau teori alternatif.


Pandangan Beberapa Filsuf :
1. Aristoteles menyebut abduktif (abduksi) mengacu pada jenis-jenis inferensi (penyimpulan, penalaran) silogistik yang tidak berhasil membawa kepastian, lantaran interaksi yg lemah antara term-term mayor serta tengah, atau term-term tengah, minor. Premis mayor bersifat niscaya, sedangkan premis minor nir niscaya. Karena itu kesimpulannya sebagai kurang pasti atau sama dengan premis minor. Contoh klasik ialah: "semua yg tidak hancur merupakan hal yg tidak material, jasmani; insan mempunyai jiwa" 

2. Adalah Charles Sander Peice (1839-1914) mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir bersifat "menduga" (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.


Pemikiran peirce tentang pentingnya insting pada fase abduktif memiliki akibat teoritis yang akbar. Pertanyaan kita kini merupakan apakah abduksi dan hipotesis eksplanatoris menjadi hasilnya mempunyai nilai-nilai ilmiah-teoritis? Atau dengan perkataan lain, apa ciri-karakteristik dasar nilai menurut abduktif dan hipotesis eksplanatoris?


Pertama-tama wajib dikatakan bahwa abduksi membentuk suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduktif adalah suatu proses penyimpulan dari suatu kasus eksklusif. Kesimpulan menurut proses itu adalah suatu proposisi yg menempatkan suatu perkara khusus tertentu dalam suatu kelas atau gerombolan . Maka menggunakan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu perkara individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum.


Kedua, abduktif merupakan suatu proses yang tidak bisa dipatok menggunakan satu jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibentuk sang imajinasi, bukan sang penalaran kritis. Lebih lagi, seseorang ilmuan akan memakai instingnya buat menciptakan suatu pilihan yang hemat dan bermanfaat waktu menghadapi begitu banyak penerangan yang harus diuji. Hipotesis abduktif, karena itu, tidak muncul menurut suatu proses logis yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau wangsit, di bawah khayalan, dan pada luar kemampuan penalaran kritis.


Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap orisinalitas realitas. Lantaran hipotesis abduktif adalah output dari kilatan wangsit khayalan ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi poly orang merupakan sesuatu yang baru. Peirce sangat konfiden bahwa abduksi adalah satu-satunya bentuk penalaran yg bisa membentuk inspirasi bagi ilmu pengetahuan. Abduksi berhenti menggunakan memperlihatkan suatu hipotesis yg harus diuji, bukan sesuatu yang telah diketahui kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an original way what the explanation for the phenomena might be”.


Keempat, adalah interpretatif. Abduktif yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh dan khayalan yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yang berpengalaman umumnya lebih berhasil berdasarkan yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduktif merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi hipotesis yg berhasil dirumuskan itu tidak lain berdasarkan cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman.

KONSEP DASAR BERFIKIR ILMIAH DENGAN PENALARAN DEDUKTIF INDUKTIF DAN ABDUKTIF

Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif, Dan Abduktif
Berpikir adalah sebuah proses yg membuahkan pengetahuan. Proses ini adalah serangkaian gerak pemikiran pada mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya hingga pada sebuah kesimpulan yg berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, serta konklusi atau keputusan menurut sesuatu yang dikehendaki (Achmadi, 1998). Menurut Himsworth (1997), manusia adalah makhluk yang berpikir. Setiap saat berdasarkan hidupnya, semenjak dia lahir hingga masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak terdapat masalah yg menyangkut menggunakan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, menurut soal paling remeh hingga soal paling asasi (Hardiman, 2004).


Berpikir ilmiah merupakan menggunakan logika budi untuk mempertimbangkan, menetapkan, berbagi dan sebagainya (James, 1999). Pada dasarnya setiap objek yang terdapat pada dunia pastilah menuntut metode tertentu. Seperti halnya dalam memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun bisa diselesaikan berdasarkan berbagai metode (Ahmad Saebani, 2009). Akhirnya suatu pendapat mengatakan, bahwa sesuatu mempunyai berbagai segi yg menuntut penggunaan aneka macam metode. Untuk memperoleh pengetahuan, maka digunakanlah metode berfikir ilmiah (Sumadi, 2010). Metode berfikir ilmiah bisa dilakukan melalui 3 jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif, Penalaran Induktif, dan Penalaran Abduktif (Redja, 2001).


Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis memberikan perumusan masalah khususnya yg berkenaan dengan kajian berpikir ilmiah. Untuk itu penulis merumuskan perkara, menjadi berikut :
1. Apa yang dimaksud metode berpikir ilmiah?
2. Apa nilai guna metode berpikir ilmiah?
3. Bagaimana cara berpikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif?


Tujuan
Berdasarkan rumusan kasus diatas, maka yang sebagai tujuan pembahasan pada makalah merupakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah.
2. Untuk mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah.
3. Untuk mengetahui cara berfikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif.


Metode Penulisan
Sumber dan Jenis Data
Data-data yg digunakan dalam makalah ini bersumber dari banyak sekali surat keterangan atau literatur yang relevan menggunakan topik perseteruan yang dibahas. Validitas serta relevansi referensi yang digunakan bisa dipertanggungjawabkan. Jenis data yg diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif.


Pengumpulan Data
Penulisan makalah ini dilakukan menggunakan memakai studi pustaka menggunakan menelusuri aneka macam acum yang terkait dengan topik primer konflik. Literatur yang digunakan adalah literatur yg telah dikaji validitasnya dan mendukung pada penguraian masalah.


Penyusunan Data
Setelah data terkumpul, dilakukan penyusunan data (pembahasan) dengan sistematis sesuai menggunakan masalah yg dikaji. Penyusunan data ini merujuk pada berbagai literatur berupa buku dan jurnal yg relevan dengan topik makalah yang sudah dikumpulkan. Dari tahapan penyusunan data, tujuan penulisan makalah bisa terpenuhi yaitu mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah, mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah, mengetahui cara berfikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif. Setelah penyusunan data dilakukan penarikan kesimpulan berdasarkan kajian topik yg sudah dilakukan.



Pembahasan
Metode Berfikir Ilmiah
Secara etimologis, metode asal berdasarkan Bahasa Yunani, yaitu “Meta” yg adalah setelah atau dibalik sesuatu, serta “Hodos” yg artinya jalan yang harus ditempuh (Richard, 1986). Jadi metode berarti langkah-langkah (cara dan teknik) yang diambil menurut urutan eksklusif buat mencapai pengetahuan eksklusif. Jadi metode berfikir ilmiah adalah mekanisme, cara dan teknik memperoleh pengetahuan, serta buat pertanda sahih salahnya suatu hipotesis yg telah ditentukan sebelumnya (Branner, 2002).


Metode ilmiah ini merupakan sebuah prosedur yang dipakai para ilmuan dalam pencarian kebenaran baru. Dilakukannya dengan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru, dan melakukan peninjauan pulang kepada pengetahuan yg sudah ada (Kattsoff, 1992). Tujuan menurut penggunaan metode ilmiah ini yaitu agar ilmu berkembang dan tetap eksis serta sanggup menjawab berbagai tantangan yg dihadapi. Kebenaran serta kecocokan kajian ilmiah, akan terbatas dalam ruang, waktu, loka serta kondisi eksklusif (Milton, 2004).


Metode ilmiah dipengaruhi sang unsur alam yang berubah serta bergerak secara dinamik dan teratur. Kondisi alam yang diduga para filosof karena adanya asas tunggal menurut alam (natural law). Filosof yakin, bahwa natural law telah sebagai galat satu sebab adanya ketertiban alam (Zuhairini, 1995). Ketertiban akan diangkat dan wajib diletakkan sebagai objek ukuran pada memilih kebenaran. Corak-corak metodis yg sandarannya dalam kondisi alam, yg dinamik dan teratur, harus diakui sudah meneyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat serta kecendrungan yang positivistic (Titus, 1959). Ilmu selalu berkembang dalam berukuran-berukuran yang konkrit dengan contoh serta pendekatan dan eksperimen dan observasi. Dalam perkembangan selanjutnya contoh serta cara berfikir demikian sudah memperoleh somasi. Lantaran, tidak seluruh ilmu dapat didekati dengan contoh yg sama (Sidi, 1973). Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terjadinya kemajuan pada ilmu pengetahuan. Manusia bukan saja hayati pada ritmis modernisasi yang serba gampang serta menjanjikan. Lebih berdasarkan itu seluruh, manusia bisa menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah tidak mungkin. Manusia tidak lagi berpangku tangan, terhadap apa yg menjadi kehendak alam (Peursen, 2003).


Manfaat Berfikir Ilmiah
Metode berpikir ilmiah memiliki peranan penting pada membantu manusia buat memperoleh pengetahuan cakrawala baru dalam menjamin keberadaan kehidupan manusia. Dengan memakai metode berfikir ilmiah, insan terus berbagi pengetahuannya (Liang, 1982).


Menurut Sugiharto (1996) terdapat 4 cara manusia memperoleh pengetahuan:
1. Berpegang dalam sesuartu yg sudah terdapat (metode keteguhan).
2. Merujuk pada pendapat ahli
3. Berpegang pada intuisi (metode bisikan hati)
4. Menggunakan metode ilmiah


Dari keempat itulah, insan memperoleh pengetahuannya sebagai pelekat dasar kemajuan manusia. Tetapi cara yang keempat ini, acapkali diklaim sebagai cara ilmuan dalam memperoleh ilmu. Dalam praktiknya, metode ilmiah dipakai buat mengungkap dan menyebarkan ilmu, melalui cara kerja penelitian (Magnis, 1992). Cara kerja ilmuan dengan penelitian ilmiah, ada menjadi reaksi menurut tantangan yg dihadapi manusia. Pemecahan perkara melalui metode ilmiah nir akan pernah berpaling. Penelitian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah, memegang peranan penting pada membantu insan buat memecahkan setiap masalah yang pada hadapinya (Jammer, 1999).


Ilmuan umumnya bekerja menggunakan cara kerja sistematis, berlogika serta menghindari diri dari pertimbangan subjektif. Rasa tidak puas terhadap pengetahuan yang dari dari paham orang umum , mendorong kelahiran filsafat. Filsafat menyelidik ulang seluruh pengetahuan insan buat mendapat pengetahuan yg hakiki (Capra, 1998). Ilmuan memiliki falsafah yang sama, yaitu pada penggunaan cara menuntaskan perkara menggunakan menggunakan metode ilmiah (Noeng, 1996). Metode ilmiah selalu digunakan buat memecahkan masalah yang dihadapinya. Penggunaan metode ilmiah tertentu dalam kajian tertentu, bisa memudahkan ilmuan dan pengguna output keilmuannya bisa memudahkan melakukan penelusuran. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, “tidak terdapat” kebenaran yg sekedar berada pada jumantara meskipun atas nama akal. Setiap kebenaran ilmiah, senantiasa diperkuat bukti-bukti empirik dan indrawi, bahkan sesuatu kebenaran tadi telah teruji (Hardiman, 2004).


Penalaran Ilmiah
Terdapat poly cara penarikan konklusi, namun buat sinkron menggunakan maksud tulisan ini yg memusatkan kepada berpikir ilmiah maka terdapat 3 jenis penarikan kesimpulan yakni menurut akal induktif, logika deduktif serta akal abduktif :


Logika Induktif
Merupakan cara berpikir menarik suatu konklusi yang bersifat generik berdasarkan berbagai perkara yg bersifat individual (seperti kesimpulan peneliti humoris). Misalnya, kita punya informasi bahwa kambing punya mata, kucing punya mata, demikian juga anjing serta aneka macam hewan lainnya. Dari fenomena-kenyataan ini bisa kita tarik konklusi umum bahwa seluruh binatang memiliki mata. Dua laba berdasarkan akal induktif : 


a. Ekonomis
Karena menggunakan penalaran induktif kehidupan yang beraneka ragam dengan banyak sekali corak serta segi dapat direduksi/dikurangi menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukan merupakan koleksi/ kumpulan menurut berbagai berita melainkan esensi dari fakta-keterangan tadi. Demikian pula pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek eksklusif, melainkan menekankan pada struktur dasar yang mendasari ujud warta tadi. Pernyataan yg bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak bisa mereproduksi betapa manisnya secangkir kopi atau betapa pahitnya pil kina. Jadi pengetahuan cukup puas menggunakan pernyataan elementer yg bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini telah cukup bagi insan buat bersifat fungsional pada kehidupan simpel serta berpikir teoritis. 


b. Penalaran lanjut 
Secara induktif dari berbagai pernyataan yg bersifat generik bisa disimpulkan pernyataan yg bersifat lebih generik lagi. Melanjutkan model tentang konklusi bahwa semua hewan memiliki mata (induksi hewan), dan seluruh insan mempunyai mata (induksi manusia) maka dapat ditarik konklusi bahwa semua makluk mempunyai mata. Penalaran misalnya ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yg menunjuk pada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental. 



Logika Deduktif
Adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya berdasarkan penalaran induktif. Deduksi merupakan cara berpikir dimana menurut pernyataan bersifat umum ditarik konklusi bersifat spesifik. Penarikan konklusi secara deduktif umumnya menggunakan pola berpikir silogismus. Silogismus, disusun menurut 2 buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yg mendukung silogismus ini diklaim premis yang kemudian bisa dibedakan sebagai premis mayor serta premis minor. Pengetahuan yg didapat berdasarkan penalaran deduktif merupakan output kesimpulan menurut kedua premis tersebut. Melanjutkan contoh penalaran induktif pada atas dapat dibuat silogismus sebagai berikut : 

Semua makluk mempunyai mata [premis mayor] ------ Landasan [1] 

Si Polan merupakan seseorang makluk [premis minor] ------- Landasan [2] 

Jadi si Polan mempunyai mata [kesimpulan] ---------- Pengetahuan 


Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan punya mata adalah pengetahuan yang absah dari penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis menurut 2 premis yang mendukungnya. Jika kebenaran dari konklusi/pengetahuan dipertanyakan maka wajib dikembalikan pada kebenaran premis yg mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya merupakan benar maka bisa dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya pula sahih. Mungkin saja kesimpulan itu keliru, meskipun kedua premisnya benar, karena cara penarikan kesimpulannya nir absah. Contoh : 

Semua makluk mempunyai mata [premis mayor] ----Landasan [1] 

Si Polan merupakan bukan makluk [premis minor] ----Landasan [2] 

Jadi si Polan mempunyai mata [kesimpulan] ------Pengetahuan 

Semua makluk memiliki tempat tinggal [premis mayor] ----Landasan [1] 

Si Polan adalah seseorang makluk [premis minor] ----Landasan [2] 

Jadi si Polan mempunyai tempat tinggal [kesimpulan] ------Pengetahuan 

Semua makluk mempunyai mata [premis mayor] ----Landasan [1] 

Si Polan adalah seseorang makluk [premis minor] ----Landasan [2] 

Jadi si Polan memiliki kaki [kesimpulan] ------Pengetahuan 


Jadi ketepatan penarikan kesimpulan pada penalaran deduktif bergantung menurut tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, serta keabsahan pengambilan konklusi. Apabila keliru satu dari ketiga unsur tadi persyaratannya nir terpenuhi maka konklusi yg ditariknya akan galat. Matematika merupakan pengetahuan yang disusun secara deduktif. Misalnya, A = B serta apabila B = C maka A = C. Kesimpulan A sama dengan C dalam hakekatnya bukan merupakan pengetahuan baru pada arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekwensi dari 2 pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya.


Logika Abduktif
Pemikiran fundamental di sini adalah bahwa sebuah hal yg mungkin buat melukiskan dan menggambarkan konsekuensi berdasarkan sebuah produk dalam iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut menurut produk yang diiklankan ataupun interaksi nilai dari pengguna produk bisa disimpulkan (abduktif) oleh penerima iklan tersebut. Sebagai contoh, di dalam iklan buat sebuah merek margarin (Blue Band). Orang yang langsing serta ramping akan ditampilkan sedang memakai merek sebuah margarin yang diiklankan. Dalam perkara ini, konsekuensi berdasarkan sebuah produk ditampilkan (bahwa Blue Band itu membuat makanan enak). Dari iklan ini, menjadi misalnya, kita sanggup mendapatkan sebuah kesimpulan abduktif yaitu Blue Band merupakan margarin dengan presentase “rendah-lemak” (atributnya).
  1. Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh serta figur yg baik (ramping)
  2. Aturan : Margarin menggunakan presentase “rendah-lemak” sangat baik buat bentuk tubuh.
  3. Kasus : Blue Band merupakan margarin menggunakan presentase “rendah lemak” (kesimpulan informatif)
Apabila konklusi abduktif ini tidak secara eksplisit terdapat di dalam sebuah iklan, maka berarti dibuat secara tersirat. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yg digambarkan di dalam iklan itu (Blue Band adalah sebuah pilihan tepat buat mendapatkan serta mempertahankan kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga mendapatkan konklusi abduktif lain yg dibuat pada penggunaan Blue Band, pengguna produk akan mengingatnya serta tidak bisa dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).

  1. Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh serta figur yg baik (ramping)
  2. Aturan : Orang dengan bentuk tubuh yg baik akan dipuji sang orang lain
  3. Kasus : Dengan menggunakan Blue Band pengguna produk (akan permanen memiliki bentuk tubuh yg baik) serta dipuji sang orang lain. (konklusi transformatif).
Abduktif (abduksi) melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau syarat yg mengakibatkan liputan tersebut terjadi. Metode ini dipakai buat menjelaskan event yang kita amati. Sebagai contoh, misalkan kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama Sam selalu mengendarai mobilnya menggunakan sangat cepat jika sdang mabuk. Maka dalam ketika kita melihat Sam mengendarai mobilnya menggunakan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Sam mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja dia sedang terburu-buru atau dalam keadaan gawat darurat.


Walaupun abduktif mungkin nir dapat diandalkan, namun manusia acapkali memperlihatkan sesuatu hal dengan cara misalnya ini, serta mempertahankan penjelasaannya hingga ada bukti lain yang mendukung penjelasan atau teori alternatif.


Pandangan Beberapa Filsuf :
1. Aristoteles menyebut abduktif (abduksi) mengacu kepada jenis-jenis inferensi (penyimpulan, penalaran) silogistik yang tidak berhasil membawa kepastian, lantaran hubungan yang lemah antara term-term mayor serta tengah, atau term-term tengah, minor. Premis mayor bersifat niscaya, sedangkan premis minor tidak niscaya. Lantaran itu kesimpulannya sebagai kurang pasti atau sama dengan premis minor. Contoh klasik adalah: "seluruh yg nir musnah adalah hal yg tidak material, jasmani; insan memiliki jiwa" 

2. Adalah Charles Sander Peice (1839-1914) mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir bersifat "menduga" (speculation) dan diberi nama menggunakan Abduktif.


Pemikiran peirce mengenai pentingnya insting pada fase abduktif memiliki implikasi teoritis yang akbar. Pertanyaan kita sekarang adalah apakah abduksi serta hipotesis eksplanatoris menjadi hasilnya mempunyai nilai-nilai ilmiah-teoritis? Atau menggunakan perkataan lain, apa karakteristik-karakteristik dasar nilai berdasarkan abduktif serta hipotesis eksplanatoris?


Pertama-tama wajib dikatakan bahwa abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduktif merupakan suatu proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Kesimpulan menurut proses itu merupakan suatu proposisi yang menempatkan suatu kasus khusus eksklusif pada suatu kelas atau grup. Maka menggunakan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu perkara individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum.


Kedua, abduktif adalah suatu proses yang nir dapat dipatok dengan satu jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibuat sang khayalan, bukan sang penalaran kritis. Lebih lagi, seorang ilmuan akan memakai instingnya buat menciptakan suatu pilihan yang hemat serta bermanfaat saat menghadapi begitu banyak penjelasan yang harus diuji. Hipotesis abduktif, karenanya, tidak timbul menurut suatu proses logis yg ketat, namun menurut suatu kilatan insight, pengertian, atau wangsit, pada bawah imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis.


Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha buat menangkap orisinalitas empiris. Lantaran hipotesis abduktif merupakan hasil dari kilatan wangsit khayalan ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan serta bagi banyak orang adalah sesuatu yg baru. Peirce sangat yakin bahwa abduksi merupakan satu-satunya bentuk penalaran yg sanggup membentuk inspirasi bagi ilmu pengetahuan. Abduksi berhenti menggunakan menawarkan suatu hipotesis yg wajib diuji, bukan sesuatu yg sudah diketahui kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an original way what the explanation for the phenomena might be”.


Keempat, merupakan interpretatif. Abduktif yang berhasil mengandaikan keterlibatan yg menyeluruh dan khayalan yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yg berpengalaman umumnya lebih berhasil berdasarkan yg nir berpengalaman. Ini berarti bahwa abduktif merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi pada arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuwan terhadap kabar atau pengalaman.