UNDANG UNDANG INTERNASIONAL TENTANG TRANSHIPMENT

Undang-undang Internasional tеntаng Transhipment - Transhipment dі bahari kadang-kadang absah secara aturan, tеtарі pada poly kasus mеrеkа melakukan secara ilegal atau tаnра ѕеtіар biar . 

Apakah resmi atau tіdаk resmi, transhipment dі laut ѕеrіng memfasilitasi IUU karena ketidakmampuan pemerintah pesisir serta negara buat memantau bagaimana, оlеh ѕіара dan dі mаnа ikan ditangkap. 

Transhipment dі bahari Selama ini sangat merugikan negara , dimana output perikanan yang pada dapatkan pada indonesia dengan sangat mudah pada klaim menjadi produk luar negeri karena alur dari penangkapan pada putus menggunakan adanya aktivitas transhipment

UNDANG UNDANG INTERNASIONAL TENTANG TRANSHIPMENT


Selain itu Transhipment juga adalah penyebab utama dаrі kurangnya transparansi pada perikanan global уаng mеmungkіnkаn IUU fishing. Selain kejahatan pada dunia perikanan, transhipment jua membawa kegiatan kegiatan illegal lainnya seperti penyelundupan senjata, narkoba serta perdagangan orang.

Serta memfasilitasi bajak laut dalam hal penangkapan ikan, Enviromental Justice Foundation mendokumentasikan bаhwа kru dі kapal уаng memindahkan satu alat pengangkutan kе indera pengangkutan yang lаіn dі bahari.

ѕеrіng sebagai korban pelanggaran HAM serta pelanggaran tenaga kerja karena mеrеkа ѕеrіng tinggal dі bahari buat ketika уаng usang dan sporadis pergi kе pelabuhan.

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, mеѕkірun undang-undang іnі tіdаk mengatur tеntаng IUU Fishing serta transhipment. Undang-undang іnі hаnуа mengatur secara umum tеntаng penegakan hukum dilaut teritorial maupun ZEE ѕuаtu negara. 

Jіkа pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi dі laut teritorial ataupun perairan ѕuаtu negara, maka sesuai dеngаn kedaulatan уаng diberikan оlеh pasal 2 UNCLOS 1982, 

negara pantai dараt memberlakukan anggaran peraturan hukum pidananya terhadap kapal tadi, аkаn tеtарі hаnуа bila pelaanggaran tersevut membawa efek bagi negara pantai atau mengganggu keamanan negara pantai.

International plan of Action (IPOA). IPOA – IUU merupakan instrument sukarela (voluntary instrument) уаng dараt diberlakukan dalam seluruh negara. Mekanisme іnі memfokuskan dalam tanggung jawab dan kiprah semua negara dі global. 

Semua rakyat global tidak hanya Negara pantai, negara pelabuhan, organisasi penelitian dan Regional Fisheries Management Organization (REMOs) yg bertanggungjawab memberantas trashipment namun negara negara lain pun wajib ikut menjaga berdasarkan kejahatan kejahatan transhipment.

Code of Conduct for Responsile Fisheries (CCRF). Efektifitas Code of Conduct for Responsile Fisheries dilakukan dеngаn cara mewajibkan negara-negara anggota buat memberikan laporan perkembangan kemajuan (progress report) ѕеtіар dua tahun pada FAO. 

Laporan negara-negara anggota аkаn menjadi acum dalam penentuan kasus kepatuhan negara terhadap praktek penangkapan ikan secara bertanggung jawab serta dalam gilirannya menghindari ѕuаtu negara dаrі tuduhan melakukan praktek IUU Fishing.


MAKNA DAN IMPLIKASI UU NO.20 SISDIKNAS TENTANG PAUD

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, disahkan sang DPR dalam lepas 11 Juni 2003, serta diberlakukan dalam lepas 8 Juli 2003. Dalam Batang Tubuh Undang-Undang tadi memuat 22 Bab, dan 77 Pasal, adalah cukup ideal serta akomodatif pada mengatur sistem pendidikan pada Indonesia, termasuk sistem pendidikan Para sekolah (PAUD). UU Sisdiknas bisa dikatakan sebagai suatu “rahmat” dan "kemenangan" menurut segi konsep tentang PAUD. Pendidikan anak usia dini menurut UU Sisdiknas ini merupakan suatu upaya pelatihan yg ditujukan pada anak semenjak lahir sampai dengan usia enam tahun yg dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan buat membantu pertumbuhan serta perkembangan jasmani serta rohani supaya anak memiliki kesiapan pada memasuki pendidikan lebih lanjut. Dengan demikian target pendidikan anak usia dini dari UU merupakan 0 – 6 tahun, dan dapat dilaksanakan baik melalui jalur pendidikan formal, nonformal, serta/atau informal.
Morrison (1995) menyebutkan bahwa pendidikan anak usia dini meliputi anak-anak semenjak lahir sampai delapan tahun, sinkron menggunakan definisi yg digunakan oleh NAEYC. Program pendidikan anak usia dini melayani anak semenjak lahir sampai delapan tahun melalui grup-grup program selama sehari penuh juga separuh hari pada sentra, tempat tinggal juga institusi. Tujuan acara pendidikan anak usia dini mencakup banyak sekali layanan program yg dirancang buat meningkatkan perkembangan intelektual, sosial serta emosional, bahasa serta fisik anak (Bredecamp & Copple, 1997).
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan suatu konsep gerakan nasional yang menjadi lebih mempunyai kepastian aturan dalam taraf undang-undang, baik berdasarkan segi eksistensi serta program-programnya juga dari segi namanya (Supriadi, 2003). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menjadi bagian tersendiri yaitu pada Bagian Ketujuh. Kepastian hukum ini membawa konsekuensi logis bagi pemerintah untuk menjalankan amanat Undang-undang Sisdiknas sebagai akibatnya pada bulan yang sama, bertepatan menggunakan puncak Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan Pendidikan Anak Usia Dini dilaksanakan di semua Indonesia demi kepentingan terbaik anak.
Bila dikaji lebih lanjut tentang makna UU Sisdiknas yang terkait dengan pendidikan anak usia dini, bisa disimpulkan bahwa PAUD merupakan payung berdasarkan seluruh pendidikan bagi anak usia dini yg bisa dilaksanakan pada jalur formal, nonformal dan informal. Rumusan Pasal 28 itu mewakili pemikiran yang inklusif tentang PAUD. Inklusif dapat mengandung dua pengertian: Pertama, Inklusif bahwa PAUD mencakup semua pendidikan usia dini, apa pun bentuknya, pada mana pun diselenggarakan serta siapa pun yang menyelenggarakannya. Kedua, inklusif mengandung makna bahwa pengertian PAUD dalam UU Sisdiknas "mengatasi" (merupakan nir memperdulikan) tentang siapa yg menangani pendidikan ini. Kalau dikatakan bahwa Direktorat PAUD merupakan pihak yang bertanggung jawab mengoordinasikan, memfasilitasi, dan memantau aktivitas PAUD itu sahih, karena memang tugas dan fungsinya demikian. Tapi bukan berarti juga Direktorat inilah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas dan program PAUD di Indonesia. Direktorat Taman Kanak-kanak/SD dalam batas kewenangan serta sinkron dengan tugas dan fungsinya juga bertanggung jawab pada mendorong perkembangan TK. Begitu pula Departemen Agama yg membina Raudhatul Athfal dan Departemen Sosial yg selama ini membina Taman Penitipan Anak, turut bertanggung jawab (Supriadi, 2003).
MAKNA DAN IMPLIKASI UU SISDIKNAS TENTANG PAUD
Digulirkannya reformasi pada semua bidang; ekonomi, politik, aturan, kepercayaan dan sosial budaya, termasuk bidang pendidikan, adalah harapan baru rakyat Indonesia untuk belajar berdasarkan pengalaman-pengalaman di masa lalu seraya mengarahkan perubahan warga Indonesia menuju masyarakat madani (civil society). Tuntutan reformasi tresebut dipenuhi oleh DPR-RI, beserta dengan pemerintah, menggunakan disahkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tanggal 11 Juni 2003 yang kemudian. Sistem Pendidikan Nasional yang handal serta visioner telah harus diketemukan, agar bisa menjawab globalisasi dan membawa Indonesia hayati sama hormat dan sederajat dalam panggung kehidupan internasional menggunakan bangsa-bangsa maju lainnya. Suatu Sistem Pendidikan Nasional yang mampu mengantarkan orang Indonesia menjadi masyarakat global modern tanpa kehilangan jati dirinya.
Pada era reformasi, sistem pendidikan nasional masih diatur pada Undang-Undang Nomor dua tahun 1989, yg poly pihak menilainya bahwa UU tersebut tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yg atas dasar itulah kemudian disusun Undang-Undang yang baru mengenai Sistem Pendidikan Nasional, yang meskipun melalui perdebatan yg relatif rumit dan melelahkan, namun akhirnya bisa disahkan menjadi Undang-Undang.
Disahkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional, oleh poly kalangan dipercaya menjadi titik awal kebangkitan pendidikan nasional, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Hal ini lantaran secara eksplisit UU tersebut menyebut kiprah dan kedudukan pendidikan kepercayaan (Islam), baik menjadi proses juga sebagai lembaga.
Setelah berjalan beberapa tahun, nampaknya UU Sisdiknas itu pun sudah waktunya buat direvisi dalam beberapa pasalnya. Tilaar, sebagaimana dikutip Armai Arief, menggarisbawahi kaji ulang sistem pendidikan nasional sebagai berikut : (1) perlunya dikembangkan dan dimantapkan sistem pendidikan nasional yang dititikberatkan kepada pemberdayaan forum pendidikan, dengan cara menaruh otonomi seluas-luasnya kepada lembaga sekolah; (dua) perlunya pengembangan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi keragaman budaya dan warga dalam implementasinya; (tiga) program-acara pendidikan nasional hendaknya dibatasi hanya dalam upaya tetapnya integritas bangsa.
Menurut Armai Arif buat melaksanakan sistem pendidikan nasional yang baru tadi terdapat beberapa program yang harus dilaksanakan yaitu :
Pertama, perlunya mempersiapkan forum-lembaga pendidikan serta training di daerah yang meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi, fasilitas serta acara kerjasama antarlembaga pada wilayah.
Kedua, perlunya debirokratisasi penyelenggaraan pendidikan menggunakan merestrukturisasi departemen sentra supaya lebih efisien, serta secara berangsur-angsur memberikan swatantra pada penyelenggaraan pendidikan dalam tingkat sekolah (otonomi forum).
Ketiga, desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara sedikit demi sedikit, mulai menurut tingkat provinsi, kabupaten/kota menggunakan mempersiapkan SDM, dana, wahana dan prasarana yang memadai pada daerah Tingkat Dua tersebut.
Keempat, perlunya penghapusan aneka macam peraturan perundang-undangan yg menghalangi penemuan serta eksperimen menuju sistem pendidikan yang berdaya saing pada masa depan.
Kelima, mengadakan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional bersama peraturan perundangan pelaksanaannya. Revisi ini mencakup swatantra bagi sekolah buat mengatur diri sendiri; peran rakyat buat ikut memilih kebijakan pendidikan yg diwadahi pada bentuk Dewan Sekolah; fungsi supervisi diarahkan buat peningkatan profesionalisme pengajar; adanya otonomi pengajar untuk menentukan metode serta sistem evaluasi belajar, dan sebagainya.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disahkan oleh DPR dalam lepas 11 Juni 2003, dan diberlakukan pada lepas 8 Juli 2003. Dalam Batang Tubuh Undang-Undang tersebut memuat 22 Bab, dan 77 Pasal, adalah relatif ideal serta akomodatif pada mengatur sistem pendidikan pada Indonesia, termasuk sistem pendidikan Para sekolah (PAUD). UU Sisdiknas bisa dikatakan sebagai suatu “rahmat” serta "kemenangan" menurut segi konsep mengenai PAUD. 
Pendidikan anak usia dini menurut UU Sisdiknas ini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dengan demikian sasaran pendidikan anak usia dini menurut UU adalah 0 – 6 tahun, dan dapat dilaksanakan baik melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. Morrison (1995) menyebutkan bahwa pendidikan anak usia dini meliputi anak-anak semenjak lahir sampai delapan tahun, sinkron menggunakan definisi yg digunakan oleh NAEYC. Program pendidikan anak usia dini melayani anak semenjak lahir sampai delapan tahun melalui grup-grup program selama sehari penuh juga separuh hari pada sentra, tempat tinggal juga institusi. Tujuan acara pendidikan anak usia dini mencakup banyak sekali layanan program yg dirancang buat meningkatkan perkembangan intelektual, sosial serta emosional, bahasa serta fisik anak (Bredecamp & Copple, 1997).
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan suatu konsep gerakan nasional yang menjadi lebih mempunyai kepastian aturan dalam taraf undang-undang, baik berdasarkan segi keberadaan dan acara-programnya juga dari segi namanya (Supriadi, 2003).
Pendidikan Anak Usia Dini dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebagai bagian tersendiri yaitu dalam Bagian Ketujuh. Kepastian aturan ini membawa konsekuensi logis bagi pemerintah buat menjalankan amanat Undang-undang Sisdiknas sehingga pada bulan yang sama, bertepatan menggunakan zenit Hari Anak Nasional Tanggal 23 Juli 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan Pendidikan Anak Usia Dini dilaksanakan pada seluruh Indonesia demi kepentingan terbaik anak.
Bila dikaji lebih lanjut tentang makna UU Sisdiknas yang terkait menggunakan pendidikan anak usia dini, bisa disimpulkan bahwa PAUD merupakan payung berdasarkan seluruh pendidikan bagi anak usia dini yg bisa dilaksanakan dalam jalur formal, nonformal dan informal. Rumusan Pasal 28 itu mewakili pemikiran yg inklusif tentang PAUD. Inklusif dapat mengandung 2 pengertian: Pertama, Inklusif bahwa PAUD mencakup seluruh pendidikan usia dini, apa pun bentuknya, di mana pun diselenggarakan serta siapa pun yang menyelenggarakannya. Kedua, inklusif mengandung makna bahwa pengertian PAUD pada UU Sisdiknas "mengatasi" (artinya tidak memperdulikan) mengenai siapa yang menangani pendidikan ini. Kalau dikatakan bahwa Direktorat PAUD adalah pihak yang bertanggung jawab mengoordinasikan, memfasilitasi, dan memantau kegiatan PAUD itu benar, lantaran memang tugas dan kegunaannya demikian. Tapi bukan berarti juga Direktorat inilah satu-satunya pihak yg bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan dan program PAUD di Indonesia. Direktorat Taman Kanak-kanak/SD dalam batas wewenang dan sinkron menggunakan tugas serta manfaatnya pula bertanggung jawab dalam mendorong perkembangan TK. Begitu jua Departemen Agama yg membina Raudhatul Athfal serta Departemen Sosial yang selama ini membina Taman Penitipan Anak, turut bertanggung jawab

HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional 
Wacana ham terus berkembang seiring menggunakan intensitas pencerahan insan atas hak dan kewajiban yg dimilikinya, gerakan diseminasi ham terus berlangsung bahkan menembus batas-batas teritori sebuah negara. Para pakar memberikan julukan pada abad XX ini sebagai jaman hak asasi insan, sebagaimana yang disampaikan oleh Manfred Nowak serta Ruth Gavinson : the twentieth century is often described as ”the age of rigths”. 

Bagi Indonesia, perihal Ham diterima, di pahami serta diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan dan sosio politis yg berkembang, dan mementum yg semakin mengokohkan agunan terhadap hak asasi manusia adalah waktu dimasukannya perlindungan ham dalam perubahan konstitusi indonesia saat reformasi. Kondisi ini sekaligus diyakini menjadi warta sejarah sekaligus sebagai starting poin bagi penhuatan demokrasi yg berbasis perilindungan HAM.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yg selanjutnya disebut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 tertulis:

“Everyone is entitled to all rights of freedom ... Without discrimation on any kind, such as race , colour, sex, language, religion or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status”

Secara generik hak asasi manusia diberi pengertian menjadi hak yang inheren pada diri manusia yg merupakan anugerah Tuhan semenjak insan lahir, sehingga tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi insan (selanjutnya disingkat HAM) ini tidak boleh tidak wajib inheren dalam insan, lantaran apabila tidak; manusia akan kehilangan sifat humanisme serta keluhurannya.

Dari pengertian di atas, lalu lahirlah paham persamaan kedudukan serta hak atas umat insan dari prinsip keadilan yg menaruh pengakuan bahwa manusia mempunyai hak serta kewajiban yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Maka pada sejarah kehidupan politik, manusia kemudian melakukan perjanjian (kontrak) buat membentuk negara guna melindungi kepentingan-kepentingan atau hak-hak mereka. Menurut Ralp Cranshaw: Hak asasi insan adalah hak yang inheren menggunakan eksistensi kita menjadi manusia. Hak-hak ini memungkinkan kita mengembangkan diri serta memenuhi kebutuhan kita menjadi insan. Hak-hak ini pula melindungi kehidupan, keutuhan fisik serta psikologis. 

Leach Levin seorang aktivis hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi insan terdapat dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, bahwa hak asasi manusia nir mampu dipisahkan serta dicabut, hak asasi insan merupakan hak insan lantaran ia seseorang insan. Hak adalah hak-hak moral yg berasal berdasarkan kemanusiaan setiap insan serta hak-hak itu bertujuan buat menjamin martabat setiap manusia (Natural Rights). Kedua, hak asasi manusia adalah hak-hak berdasarkan hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum berdasarkan warga itu sendiri, baik secara nasional maupun secara internasional. Dasar dari hak-hak ini merupakan persetujuan dari yg diperintah, yaitu persetujuan menurut para rakyat negara, yang tunduk kapada hak-hak itu serta nir hanya tata tertib alamiah yg adalah dasar menurut arti yg pertama.

Perjuangan atas penegakan HAM sudah berlangsung berabad-abad yang melahirkan poly sekali instrumen HAM yang bercorak lokal/kaukus. Puncak atas usaha ini adalah dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948 yg kemudian menjadi acuan atau bahan rujukan negara-negara pada global dalam membentuk instrumen HAM. Kesadaran dan pemahaman akan HAM, terutama pengakuan dan penghormatannya dalam kehidupan bermasyarakat serta berpolitik bhineka pelaksanaannya. Semuanya bertolak berdasarkan perumusan HAM yg sangat tergantung dalam situasi serta kondisi negara-negara yang bersangkutan, terutama aspek sosiokulturnya.

Permasalahan HAM ketika ini telah sebagai sorotan utama global internasional dalam kaitannya menggunakan kehidupan berbangsa serta bernegara. Wawasan HAM pada dimensi global selalu dikaitkan dengan hak-hak politik, sosial, ekonomi serta kehidupan budaya. Nanang Pamuji Mugasejati serta Ucu Martanto, mengutip Robertson dan Giddens mengartikan globalisasi sebagai pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu holistik atau intensifikasi rekanan-relasi sosial seluruh global yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sebagai akibatnya insiden-peristiwa di suatu loka ditentukan sang insiden lain yang terjadi bermil-mil jaraknya menurut situ dan demikian sebaliknya.

Sejak para filosof Yunani, hingga kebudayaan timur, khususnya Islam sudah ikut andil dalam menciptakan aturan bangsa-bangsa yang berkembang di Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial dan politik masyarakat negara, baik secara individual maupun kolektif sudah sedemikian rupa diatur. Tetapi pada realisasinya, menurut dulu hingga kini , HAM seringkali sangat bergantung dalam willingness of the states. Begitu jua ajaran agama dan budaya setempat sudah sangat mensugesti perilaku warga terhadap HAM. 

Timbulnya disparitas persepsi HAM antara masyarakat Barat dan Timur, khususnya Asia Tenggara pertanda adanya impak positif pada luar aspek-aspek HAM itu sendiri. Djawahir Thontowi menguraikan, disparitas persepsi HAM Barat dan Timur yang terjadi lantaran adanya perbedaan formulasi dalam arti, konsep, praktik dan pula kepentingan-kepentingan penguasa.

Konsep negara terbaru mensyaratkan adanya demokrasi, rule of law serta proteksi HAM. Indonesia sebagai negara aturan telah memiliki instrumen-­instrumen HAM. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, telah banyak dikenal banyak sekali dokumen konstitusional juga peraturan perundangan yg memuat nilai serta kebiasaan penegakan HAM, termasuk dalam konstitusi seperti Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS serta Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. 

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi berupa kegunaan-kegunaan sebagai berikut:
a. Memberi sumbangan pemikiran tentang proteksi HAM dalam konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sehingga diharapkan sanggup memberi kontribusi positif bagi upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya penegakan aturan pada bidang HAM. 
b. Menambah bahan surat keterangan mengenai konstitusi serta HAM, sebagai akibatnya selain membantu pembaca memahami permasalahan konstitusi dan HAM, pula diperlukan bisa menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya yg mengarahkan perhatian pada globalisasi serta pengaruhnya dalam kehidupan kenegaraan Indonesia.

Menurut pengetahuan peneliti, selesainya mengadakan pengamatan, maka penelitian mengenai dinamika pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, UUD 1945 dalam perspektif globalisas, belum pernah dilakukan.

Namun demikian, kajian-kajian mengenai HAM dan konstitusi sudah poly dilakukan. Misalnya Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana yang membahas HAM berkaitan menggunakan aturan pidana secara generik, tidak sampai pada pembahasan HAM yg berkaitan menggunakan konstitusi. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, karya Gunawan Setiardja, isinya meninjau proses terbentuknya Pancasila serta hukum dasar UUD 1945 hingga pada pembahasan pemuatan HAM dalam konstitusi. 

Kemudian kitab Saafroedin Bahar Hak Asasi Manusia Analis Komnas HAM serta Jajaran Hankam/ABRI berisi tentang apa saja yang menjadi pedoman penerapan HAM, mampukah Komnas HAM sebagai penegak HAM serta bagaimana pandangan ABRI dalam berbagai masalah HAM. Buku Demokrasi, HAM serta Masyarakat Madani adalah karya Tim ICCE UIN Jakarta yang berusaha memaparkan serta mensosialisasikan demokrasi serta HAM pada tengah arus transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (civilitezed democracy). 

Selanjutnya, Muh. Budairi Idjehar dalam kitab HAM Versus Kapitalisme berupaya menginspirasi membentuk bangsa pada perspektif demokrasi dan HAM dan memberikan perlawanan kapitalisme melalui gerakan HAM serta Bagir Manan dkk dalam Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM pada Indonesia menyimpulkan bahwa HAM di Indonesia sudah dikenal semenjak 1908, serta menelaah perlunya pemajuan HAM dan perlunya pemerintah mengambil langkah konkret pada masalah degradasi HAM.

Hestu Cipto Handoyo, dalam Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan serta Hak Asasi Manusia, menguraikan implementasi prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan, hak asasi insan pada kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Melalui bukunya, Hestu ingin memahamkan proses konsolidasi sistem demokrasi pada Indonesia secara luas.

Dalam Mendudukkan UUD, Satjipto Rahardjo melakukan penelusuran terhadap konstitusi menjadi suatu tipe perundang-undangan yg spesial serta membawanya ke ranah ilmu hukum yang tidak hanya berkutat pada perundang-undangan, melainkan pada konteks yg lebih luas, yaitu hukum serta masyarakatnya. 

Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, karya Ni’matul Huda, difokuskan dalam menelaah hasil-output perubahan ketatanegaraan Indonesia khususnya lembaga kepresidenan, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dilema-persoalan lain yang melingkupi Mahkamah Konstitusi dan pengujian terhadap undang-undang.

Hendarmin, dalam bukunya Dinamika Konstitusi Indonesia, menilai serta mengevaluasi apa saja yang sesungguhnya terjadi dengan konstitusi yg sempat berlaku dan sedang diberlakukan pada Indonesia. Sementara, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, karya Anhar Gonggong memberi citra singkat mengenai sejarah konstitusi Indonesia, sekaligus memberi pemahaman tentang makna strategis berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Dimyati Hartono, pada Problematik serta Solusi Amandemen UUD 1945 memandang problem amandemen menyangkut keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta implementasi berdasarkan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat tadi yg nir konsisten karena menggunakan pendekatan yg praktis, pragmatis, simplitis dan parsial pada memahami serta melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Rekomendasi berdasarkan kitab ini antara lain adalah melakukan lagi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan dasar landasan, tujuan yang sinkron dengan jiwa Proklamasi 17 agustus 1945 menggunakan memberlakukan pulang UUD 1945 maupun penjelasannya, sedangkan dinamika dan tuntutan kebutuhan hayati bermasyarakat, berbangsa, bernegara disusun dalam bentuk amandemen.

Sementara, buku karya Jimly Asshiddiqie Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, adalah sumber yang membahas sejarah mula konstitusi serta sejarah konstitusi Indonesia hingga pada pembahasan nomokrasi serta demokrasi. Dan, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, karya Harun Alrasid, berisi naskah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum serta selesainya amandemen menurut amandemen pertama hingga amandemen keempat disertai analisis tajam mengenai proses serta hasil amandemen itu sendiri.

Penelitian Udiyo Basuki, dkk, “Konstitusionalisme HAM Indonesia (Kajian Yuridis atas Dinamika Pengaturan HAM Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945)” mengurai penerangan impak amandemen UUD 1945 terhadap pengaturan HAM di dalamnya serta mengungkapkan pengaruhnya terhadap pengaturan HAM pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Suparman Marzuki dalam bukunya Pengadilan HAM pada Indonesia Melanggengkan Impunity menyebutkan, perubahan politik sudah membangkitkan asa akan tuntasnya berbagai perkara pelanggaran HAM masa lalu. Pada kenyataannya, itu hanya asa semu. Dengan keluarnya UU Peradilan HAM ataupun peradilan HAM ad hoc tumbuh keyakinan atas terbitnya keadilan. Dikatakan asa yg semu lantaran prosesi pradilan seperti ritual yang kaya simbol, namun miskin makna. Peradilan malah sebagai pelindung dan medan pembelaan para penjahat HAM. Tidak saja ini mengacuhkan keberadaan korban, tetapi jua jadi loka untuk menyucikan kembali motif serta tindakan pelaku.

Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, karya Bahder Johan Nasution menyampaikan, telah semenjak lama problem negara hukum serta hak asasi insan, selalu diperbincangkan dikalangan ahli-pakar hukum ketatanegaraan dan dikalangan para pemikir-pemikir politik. Tujuannya untuk mencari suatu konsep yg ideal, tentang negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia yg dianggap ideal, selalu menjadi perdebatan. Terlebih hak asasi manusia tak jarang dipahami secara dangkal lantaran hanya dipercaya sebagai panduan moral semata-mata. Pemahaman yg demikian adalah pemahaman yang keliru, pemahamannya bukan hanya pada tatanan moral akan tetapi juga pada tatanan aturan. Kenyataan menunjukkan dampak pemahaman yg dangkal terhadap hak asasi insan, penghormatan serta penegakan terhadap hak asasi tadi acapkali tidak dilaksanakan secara sempurna sebagaimana dicita-citakan oleh negara hukum.

Harifin A. Tumpa dalam bukunya Peluang serta Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, menyebutkan, hak asasi manusia adalah perwujudan eksistensi serta kemandirian seorang sebagai seorang insan. Yang harus dihormati serta dijaga kehormatannya, sebagai akibatnya bisa bertahan berdasarkan bernalitas pragmatis kekuasaan, ambisi, dan impian, dan sebagai landasan yang bertenaga bagi pembentukan sebuah bangsa yg demokratis dan ideal, karena hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada dalam diri langsung individu, dan hak ini adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu buat berdiri serta hidup secara merdeka pada komunitas-komunitas warga . 

Tragedi Politik Hukum serta HAM, karya Suparman Marzuki menyebutkan, memutus rantai politik otoriter hanya bisa apabila melalui jalan penegakan HAM. Pengalaman poly negeri membawa bukti bahwa penegakan HAM sudah menancapkan episode masa depan politik yang demokratis, menghormati hak dan melindungi minoritas. Akan tetapi, pada fenomena Indonesia mengalami peristiwa dalam upaya menembus keadilan. Praktek penegakan HAM meluncur dalam serangkaian pengadilan yang nir membawa pelaku serta nir bisa mengembalikan keadilan.

Mien Rukmini dalam bukunya yg berjudul Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Pradilan Pidana pada Indonesia, mengungkapkan, di pada UUD 1945 tidak ada satu pasalpun yg secara tegas mencantumkan asas praduga tidak bersalah, berbeda dengan KRIS 1949 serta UUDS 1950, yaitu pada dalam pasal 14 ayat (1). Meskipun demikian, keberadaan asas tersebut sudah ditemukan serta diatur dalam Pasal 8 UU No.4 Tahun 1970 sebagaimana sudah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta di pada pasal 18 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan asas persamaan kedudukan pada hukum, asas ini secara tegas diatur baik di dalam KRIS 1949 serta UUDS 1950 maupun UUD 1945 yaitu pada pada pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

METODOLOGI PENELITIAN 
A. Pendekatan 
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis, yaitu menyelidiki konsep normatif atau peraturan perundang-undangan pada hal ini, Undang-Undang Dasar 1945 mengenai HAM. Empiris, yaitu menelaah fenomena empiris yang berpijak pada fenomena, pada hal ini empiris globalisasi yg menghipnotis konsep pemikiran HAM.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan memakai data berupa dokumen-dokumen, kitab -buku, artikel serta bahan-bahan hukum lainnya yg berkaitan dengan konstitusionalisme dan hak asasi insan. Dalam pelaksanaannya, mengingat banyaknya kepustakaan yg hendak diteliti, penelitian ini akan melibatkan dua mahasiswa. 

3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu penelitian buat menyelesaikan masalah demgam cara menggambarkan perkara melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data, kemudian dijelaskan serta selanjutnya diberi penilaian

4. Data Penelitian 
Data yang dipakai pada penelitian ini meliputi data primer, data sekunder serta data tersier, yaitu:
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yg mencakup:
1) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 yg asli
2) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen pertama hingga amandemen keempat
3) Berbagai peraturan perundang-undangan tentang HAM
4) Berbagai kitab mengenai globalisasi

b. Data sekunder, yaitu bahan aturan yang memberi penerangan mengenai bahan primer, meliputi buku-buku hukum, buku-buku mengenai globalisasi, hasil penelitian, jurnal, makalah dan literatur lain yg berkaitan menggunakan fokus penelitian, baik tentang hukum secara generik, HAM, konstitusi serta globalisasi.

c. Data tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk atau penerangan terhadap bahan utama serta bahan sekunder, mencakup:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedi hukum
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, nir menggunakan angka-nomor , rumus-rumus dan penghitungan eksakta lainnya sebagai alat bantu analisis.

B. Landasan Teori
1. Globalisasi: Kesejagatan, Keniscayaan 
Globalisasi telah menjadi realita harian yang nir bisa dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat serta kompleks dengan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat dilarang masuk ke semua bidang kehidupan umat insan. Globalisasi adalah proses multidimensional pada aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yg bergerak secara ekstensif dan intensif ke dalam rakyat dunia. 

Globalisasi merupakan kata yg mengerikan menggunakan makna yg kabur, pertama digunakan pada 1960, serta sebagai mode yg makin terkenal dalam 1990. Bagi banyak pendukungnya dia adalah kekuatan tidak tertahankan yg diinginkan yang menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintahan-pemerintahan despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yg disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, beliau jua kekuatan tidak tertahankan, akan tetapi tak diinginkan. Menurut Anne Krueger, First Deputy Managing Director, Dana Moneter Internasional, Dalam kuliah John Binyhton, disampaikan pada australia dalam 2000 mendefinisikan globalisasi adalah sesuatu fenomena pada mana agen-agen ekonomi di bagian manapun di global jauh lebih terkena impak insiden yg terjadi di loka lain di global berdasarkan dalam sebelumnya.

Brink Lindsey pada bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan istilah globalisasi dalam 3 makna yang tidak sama yaitu: Pertama, untuk mendeskripsikan fenomena ekonomi berdasarkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik. Kedua, buat mendeskripsikan fenomena politik yang terbatas tentang runtuhnya rinntangan-rintangan yg dipasang sang pemerintah oleh arus internasional barang, jasa, dan kapital.

Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya sebagai kata yang merujuk pada suatu keadaan pada mana antara satu negara dengan negara lain sudah menyatu. Batas teritorial, kultural, dan sebagainya telah bukan merupakan kendala lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan tehnologi canggih pada bidang komunikasi, misalnya radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.

Globalisasi sebagai kelanjutan multinasionalisasi serta transnasionalisasi telah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini berakibat manusia dengan rekanan-rekanan sosial budayanya sebagai sub-human pada pusaran pasar global global. Globalisasi bahkan adalah zenit menurut kapitalisme dunia pada penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan akbar pada global kemanusiaan menjadi tersubordinasi dan terkooptasi sang mesin kapitalisme dunia yang keras serta serba melintasi. Sejumlah krisis kemanusiaan diduga akan semakin massive dan kompleks. 

Setidaknya ada lima pengaruh tidak baik globalisasi bagi masyarakat. 
Pertama, pengaburan batas-batas kultural serta geografis/ekologis tidak diperhatikan, sehingga kemampuan beradaptasi serta daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah. 
Kedua, gaya pikir akan ditentukan oleh penghasil kabar serta penyebarannya yg mayoritas sehingga mengakibatkan gangguan yang tidak bisa diadaptasi.
Ketiga, hak-hak insan yg dipropagandakan adalah versi Barat dengan bersandar dalam individualisme. Hak-hak gerombolan banyak terlanggar, namun diabaikan saja. Hak-hak insan acapkali dikalahkan oleh hak-hak kapital, sebagai akibatnya globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal. 
Keempat, terancamnya demokrasi sang globalisme. Demokrasi berarti poly pilihan, multiopsional, tiap-tiap manusia serta negara bebas memilih yang terbaik buat dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman di global yg sangat bervariasi. 
Kelima, hubungan budaya akan terjadi dalam skala akbar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak bisa dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yang mencolok terlihat dari perubahan pola hubungan antar anggota rakyat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis serta acuh terhadap orang lain. 

Kelima hal pada atas merupakan sedikit catatan menurut efek tidak baik globalisasi. Globalisasi yg ditandai menggunakan pesatnya inovasi hal baru baik dalam ilmu pengetahuan serta teknologi semakin mendorong masyarakat buat berubah menggunakan cepat. Melalui berbagai alat-alat tadi banyak sekali peristiwa atau insiden yang terjadi pada belahan dunia yg lain pun dapat dengan gampang diketahui bahkan diakses. Semakin banyak insan memakai alat-alat tersebut semakin poly liputan yg dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus warta tadi demikian banyak dan padat, maka taraf kecepatan buat mendapatkan informasi tadi menjadi meningkat.

Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yg semakin erat menurut seluruh aspek kehidupan, suatu tanda-tanda yang timbul menurut interaksi yg semakin intensif dalam perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi. 

Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan akbar pada zaman ini yg membawa kepada perkembangan yg semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok global serta memberikan keuntungan bagi semuanya. Namun di sisi lain, globalisasi melahirkan kontradiksi antar insan pada muka bumi ini, yg disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa.

Selain membawa efek positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yg semakin luas; globalisasi jua membawa efek negatif misalnya syarat ketergantungan baik bagi individu, grup rakyat juga Negara serta semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk di Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan kata lain, globalisasi adalah tanda-tanda yang sekaligus dirayakan dan diratapi. 

Oleh karena globalisasi terkait dengan situasi nyata serta hayati mati manusia pada planet bumi, maka sudah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan dua premis menyangkut standar etika sosial tersebut. 
Pertama, rakyat hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang sebagai dasar premis ini adalah prestise insan. Orientasi konkretnya, kaum miskin yg tidak sanggup dan nir punya peluang buat ambil bagian pada proses pembangunan.
Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, dan globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan adalah wahana demi kesejahteraan hayati serta perkembangan insan. Yang menjadi orientasi di sini merupakan tanggung jawab beserta pada aneka macam taraf buat tujuan bonum communae, kebaikan bersama.

Globalisasi dilukiskan sebagai penyusutan ruang serta ketika yang belum pernah terjadi sebelumnya, yg mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala dunia. Ia dipahami sebagai tatanan rakyat baru yg tidak lagi mengungkapkan hal-hal yg sifatnya lokal. Transformasi dunia sudah merambah ke semua dunia, yg mana tidak lagi terdapat batas-batas yg jelas dalam suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, hukum serta bahkan perilaku warga . 

Globalisasi mengakibatkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan adalah kenyataan krusial yang nir sanggup dihindarkan sang siapapun, bangsa manapun dan negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

2. Konstitusi serta Kostitusionalisme
Konstitusi dari Rukmana Amanwinata, berpadanan menggunakan “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda) “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Latin).

Dalam Ilmu Hukum seringkali digunakan beberapa kata menggunakan arti yang sama. Sebaliknya nir tertutup kemungkinan untuk arti tidak sama digunakan kata yang sama. Demikian pula halnya yang terjadi menggunakan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal istilah lain, yaitu Undang-Undang Dasar serta aturan dasar.

Mengenai kata konstitusi serta Undang-Undang Dasar terbagi menjadi dua, yaitu pertama, pendapat yang membedakan konstitusi menggunakan UUD dan ke 2, pendapat yg menyamakan konstitusi menggunakan UUD. Saat ini sepertinya pendapat ke 2 lebih diterima.

Konstitusi juga dapat dibedakan pada 2 kategori, yaitu konstitusi politik serta konstitusi sosial. Konstitusi politik merupakan semata-mata dokumen hukum yang berisi pasal-pasal yg mengandung norma-kebiasaan dasar dalam penyelenggaraan Negara, hubungan rakyat menggunakan Negara, antar lembaga Negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih luas dari itu, lantaran mengandung cita-cita sosial bangsa yg menciptkannya, rumusan filosofis tentang Negara, rumusan sistem sosial dan ekonomi, dan sistem politik yg dikembangkan.

Dari catatan sejarah klasik masih ada 2 perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang ten­tang konstitusi, yaitu dalam per­kataan Yunani Kuno poli­teia dan perkataan bahasa Latin constitutio yg pula berkaitan dengan kata juz. Dalam ke 2 perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan sang umat manusia. Kata politeia menurut kebu­daya­an Yunani bisa dianggap yg paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya kata yang mencerminkan pengertian ka­ta juz ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang tiba kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution merupakan seperti apa yang kita maksudkan kini ini. Perkata­an consti­tution pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), pada bentuk bahasa latinnya, mula-mula dipakai se­ba­gai kata teknis buat menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan dengan poly aspek dari aturan Romawi yang dipinjam ke pada sistem pemikiran aturan di kalangan gereja, maka kata teknis constitution juga dipinjam buat menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yg berlaku pada semua gereja atau­pun buat beberapa peraturan eklesiastik yg ber­laku pada gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, buku-kitab Hukum Romawi serta Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yg seringkali dipercaya menjadi sum­ber rujukan atau surat keterangan paling awal mengenai peng­gu­na­an perkataan constitution pada sejarah.

Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, pada arti belum berbentuk misalnya yg dime­nger­ti di zaman mo­dern sekarang. Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa telah tergambar dalam pembedaan yang dila­kukan sang Aristoteles terhadap pengertian istilah politea serta nomoi. Pengertian politiea bisa dise­pa­dankan dengan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi merupakan undang-undang biasa. 

Politea mengandung ke­kuasaan yang lebih tinggi berdasarkan dalam nomoi, lantaran politea mem­punyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi nir terdapat, karena beliau hanya merupakan materi yg wajib di­bentuk agar su­paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi ber­hubungan erat menggunakan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yg melahirkan slogan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yg arti­­nya ”Rajalah yg berhak memilih struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya produsen un­dang-undang”.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan menggunakan istilah konstitusi merupakan “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yg disebut sang Henry II menjadi const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition, me­nyangkut interaksi antara gereja dan pemerintahan Negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang diklaim menjadi kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan oleh pemerintahan seku­ler. Tetapi, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu seringkali pula dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut aneka macam secular administrative enactments. Glanvill seringkali meng­guna­kan istilah constitution buat a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill jua mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, serta menyebut the assize of novel disseisin menjadi a re­cog­nitio sekaligus menjadi a constitutio. 

Beberapa tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yg menyebut salah satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, serta mengaitkan satu bagian dari Magna Carta yg dimuntahkan kembali pada tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yg hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir pada Perancis beropini bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu serta selama mudun-abad sesudahnya, per­kata­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini dipakai buat membedakan antara particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), pada bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution pada arti yg hampir sama dengan penger­tian sekarang. Hanya saja kandungan maknanya lebih luas serta lebih generik, lantaran Gregoire menggunakan frase yg lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min pada pernyataan Sir James Whitelocke dalam se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is juz pub­licum regni”. Bagi James White­locke, juz publicum regni itulah yg adalah kerangka alami serta konstitusi po­li­tik bagi kerajaan.

Dari sini, kita bisa tahu pengertian konsti­tusi dalam 2 konsepsi. Pertama, konsti­tusi menjadi the natural frame of the state yg dapat ditarik ke belakang menggunakan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti juz publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero bisa dianggap sebagai sarjana pertama yg meng­gunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Re Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini pada bentuk Latinnya juga digunakan sebagai istilah teknis buat menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro 

Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man. 

Pendapat Cato dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif serta saya­mu­indah. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik tentang konsti­tusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam pada perkembangan penger­tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani serta perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta interaksi di antara keduanya satu sama lain di se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan serta hukum. 

Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yg dalam akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia pada pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris terkini. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan menggunakan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, istilah constitution juga diartikan menjadi pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karenanya, constitution bisa pula digunakan buat menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”. 

Dalam pengertiannya yang demikian itu, kon­stitusi selalu dipercaya “mendahului” dan “menga­tasi” pemerin­ta­han serta segala keputusan dan peraturan lainnya. A Constitution, istilah Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi dianggap mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yg supe­rior dan kewenangannya buat mengikat.

Konstitusionalisme, merupakan pemikiran yang telah lama berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih khusus lagi melalui konstitusi. Constitutionalisme is belief in imposition of retrains on government by means of constitution. Menurut Lev, pada pada dasarnya konstitusionalisme adalah proses aturan.

Asshiddiqie, memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai seperangkat prinsip yang tercermin pada kelembagaan suatu bangsa serta tidak terdapat yang mengatasinya menurut luar dan nir ada pula yg mendahuluinya.

Fredrich berpendapat konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu formasi aktivitas yg diselenggarakan atas nama masyarakat yg tunduk pada beberapa pembatasan buat menjamin kekuasaan yg dibutuhkan pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh orang-orang yg ditugasi memerintah.

Berdasarkan inspirasi konstitusionalisme, semua pemegang kekuasaan harus dibatasi. Di satu sisi tidak ada satu pihak atau satu lembaga pun yg boleh mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap hadiah kekuasaan senantiasa perlu disertai dengan pembatasan kekuasaan.

3. Konstitusionalisme, Negara Hukum dan HAM 
Konstitusi, artinya kerangka warga politik, yang diorganisir berdasarkan hukum, yang membangun forum-lembaga tetap dengan tugas dan kewenangan eksklusif. Dengan demikian konstitusi merupakan perpaduan prinsip-prinsip yg mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat dan interaksi antara kedua hal tersebut.

Konstitusi digunakan pada dua pengertian, yakni konstitusi pada arti abstrak dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem aturan, norma, dan konvensi yg memutuskan susunan serta kewenangan alat perlengkapan negara itu satu dengan yg lain dan dengan rakyat negara. Adapun konstitusi dalam arti konkret adalah dokumen yg berisi aturan konstitusi yang sangat krusial yang ditetapkan secara resmi. Konstitusi dalam arti konkret pula disebut UUD.

Negara yang berdasar konstitusi merupakan yang kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya dan interaksi antara kekuasaan pemerintah serta hak-hak rakyat negaranya diatur dengan hukum.

Motivasi yg menjadi latar belakang pembuatan Undang-Undang Dasar bagi negara yg satu tidak selaras dengan negara lain. Hal ini ditimbulkan karena beberapa hal, diantaranya: sejarah yg dialami bangsa yg bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaannya, situasi serta syarat dalam waktu menjelang kemerdekaan dan lain sebagainya.

Menurut Bryce, hal-hal yang menjadi alasan sebagai akibatnya sesuatu negara mempunyai Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak masyarakat negara menurut negara yang bersangkutan supaya terjamin hak-haknya, serta bertujuan buat membatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tadi.
b. Adanya kehendak menurut penguasa negara serta atau rakyatnya untuk menjamin supaya masih ada pola atau sistem tertentu atas pemerintah negaranya.
c. Adanya kehendak menurut pembentuk negara tadi agar terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri sendiri, buat mengklaim kerjasama.

Berdasarkan pendapat Bryce di atas, motivasi adanya konstitusi pertama RI, yaitu UUD 1945 yang dimiliki sesaat selesainya kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945 merupakan kehendak para pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan ketatanegaraannya serta mengklaim kepastian aturan.

Negara hukum, dari Aristoteles, merupakan negara yang diperintah menggunakan konstitusi serta berkedaulatan aturan. Terdapat tiga unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan buat kepentingan generik, pemerintahan menurut aturan berdasar ketentuan generik, dan pemerintahan atas kehendak rakyat.

Kant, membicarakan gagasan negara hukum formil, menggunakan mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu proteksi HAM dan pemisahan kekuasaan. Stahl, menguraikan unsur negara aturan materiil, dengan menambah dua unsur lain, yaitu tindakan pemerintah wajib berdasar aturan serta adanya peradilan administrasi yg berdiri sendiri.

Menurut Dicey, unsur utama pemerintahan yang kekuasaannya di bawah aturan (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, serta constitution based on individual rights. Ismail Suny menandaskan bahwa suatu rule of law harus mempunyai syarat-syarat esensial eksklusif, diantaranya harus masih ada kondisi-syarat minimum dari suatu sistem aturan dimana hak-hak asasi manusia dan human dignity dihormati. 

Negara aturan sudah muncul jauh sebelum terjadinya revolusi 1689 di Inggris tetapi sulit buat mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga ketika ini. Di Indonesia kata negara hukum adalah terjemahan eksklusif berdasarkan rechsstaat, kata rechsstaat mulai terkenal di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang negara hukum sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai terkenal menggunakan terbitnya sebuah buku berdasarkan Albert Venn Dicey tahun 1885 menggunakan judul Introduction to the study of Law of The Constitution. Perbedaan tadi memunculkan konsep rechsstaat dan konsep the rule of law yang sama-sama mengarahkan pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia walaupun keduanya permanen berjalan dalam target yang sama namun keduanya tetap berjalan menggunakan sistem sendiri yaitu aturan sendiri.

Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law yg mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut, yaitu: 
(1) Adanya pembagian kekuasaan.
(2) Pemerintahan berdasarkan konstitusi
(tiga) Perlindungan hak asasi insan.
(4) Peradilan administrasi negara. 

Dan negara aturan the rule of law bertumpu pada common law, yg menekankan dalam tiga (tiga) tolok ukur atau unsur primer, yaitu:
(1) Supremasi hukum atau supremacy of law
(dua) Persamaan di hadapan aturan atau equality before the law
(3) Konstitusi yang didasarkan dalam hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.

Jika karakteristik-karakteristik tersebut dikaitkan menggunakan ketentuan aturan yang berlaku pada Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa secara generik Indonesia sudah memenuhi persyaratan menjadi negara hukum bisa terlihat berdasarkan Konstitusi Indonesia. Maka bisa dijabarkan menjadi berikut yaitu adanya pengakuan serta perlindungan atas hak-hak asasi manusia, bisa ditemukan jaminannya pada pada pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, yaitu pada dalam Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, lalu pada pada alinea IV disebutkan pula keliru satu dasar yaitu ”humanisme yg adil serta beradab”, sedangkan pada pada Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan rakyat negara di dalam aturan serta pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan buat berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk kepercayaan ), Pasal 30 (kewajiban melakukan usaha pertahanan dan keamanan negara), serta Pasal 31 (jaminan hak buat menerima pengajaran).

Ciri kedua yaitu peradilan yg bebas menurut impak sesuatu kekuasaan, dapat dicermati pada Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan”. Ciri selanjutnya tentang legalitas dalam arti hukum segala bentuknya serta kekuasaan yg dijalankan dari atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan serta kebijakannya wajib menurut ketentuan hukum (due process of law) saling keterkaitan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (tiga) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Muchsan beropini bahwa Undang-Undang Dasar sebagai asal aturan yg tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:
a. Menjamin hak-hak para masyarakat warga , terutama rakyat negaranya berdasarkan tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam Negara aturan modern yg bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan serta diperluas, yakni hingga menggunakan terselenggaranya kepentingan warga sebagai akibatnya nir hanya sekadar terjaminnya perlindungan aturan terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan namun juga setiap anggota masyarakat Negara dapat mengembangkan hak-hak sebagai insan.

b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya sudah digambarkan dalam anggaran-anggaran dan ketentuan Undang-Undang Dasar.

C. Hipotesis
Bahwa pengaturan HAM dalam konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sangat dipengaruhi sang globalisasi pemikira HAM yang telah sangat mendunia.

D. Tahapan Penelitian 
Penelitian ini dilakukan dalam banyak sekali tahap yg bisa dirinci menjadi berikut:

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai dengan penelusuran pengumpulan serta inventarisasi bahan pustaka tentang aturan, konstitusi HAM serta aneka macam peraturan perundang-undangan, dan surat keterangan tentang globalisasi dan pengaruhnya.

2. Tahap Pelaksanaan
Pada termin ini dilakukan pengumpulan serta pengkajian terhadap data primer, sekunder serta tersier.

3. Tahap Penyelesaian
Kegiatan yg dilakukan dalam termin ini adalah menganalisa data output penelitian, dilanjutkan menggunakan penyusunan data serta kemudian dilakukan penyusunan laporan penelitian.

PENGERTIAN SISTEM HUKUM NASIONAL MENURUT AHLI

Pengertian Sistem Hukum Nasional 
Sistem adalah kesatuan yang terdiri menurut bagian-bagian yg satu dengan yg lain saling bergantung buat mencapai tujuan eksklusif. Ada jua yang menyampaikan bahwa sistem merupakan keseluruhan yg terdiri dari poly bagian atau komponen yang terjalin dalam interaksi antara komponen yg satu dengan yang lain secara teratur. Sedangkan aturan nasional adalah hukum atau peratuan perundang-undangan yang dibuat serta dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu negara. Dalam konteks ini, aturan nasional Indonesia merupakan kesatuan hukum atau perundang-undangan yg dibangun buat mencapai tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. 

Dikatakan demikian, karena pada dalam Pembukaan dan Pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita aturan negara Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai spesial budaya bangsa Indonesia yg tumbuh serta berkembang pada kesadaran hidup bermasyarakat selama berabad-abad. 

Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia merupakan sistem hukum yang berlaku di seluruh daerah Indonesia yang meliputi seluruh unsur aturan (seperti isi, struktur, budaya, wahana, peraturan perundang-undangan, dan seluruh sub unsurnya) yg antara satu menggunakan yg lain saling bergantung serta yg bersumber dari Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 (Mahfud, 2006:21). 

Unsur-unsur sistem hukum 
Ketika menyebut unsur-unsur utama sistem aturan, poly orang mengacu dalam Friedman yang menyebutkan adanya tiga unsur yakni substance(materi/substansi), structure (struktur), serta culture (budaya). Tetapi, banyak jua yang lalu mengembangkannya ke dalam unsur-unsur yg lebih spesifik sehingga komponennya bukan hanya 3 tetapi lebih berdasarkan itu. GBHN-GBHN menjelang masa akhir Orde Baru pada politik pembangunan hukumnya misalnya menyebut empat unsur yakni isi, aparat, budaya, dan sarana-prasarana (Mahfud, 2006:22). 

Sebagai pembanding, Sunaryati Hartono merinci unsur-unsur sistem aturan ke pada 12 unsur yaitu (1) filsafat (termasuk asas-asas aturan), (dua) substansi atau materi hukum, (3) keseluruhan lembaga-forum aturan, (4) proses serta prosedur hukum, (5) sumber daya insan (brainware), (6) sistem pendidikan aturan, (7) susunan dan sistem organisasi serta koordinasi antarlembaga aturan, (8) alat-alat perkantoran lembaga-forum hukum (hardware), (9) perangkat lunak (software) misalnya petunjuk pelaksanaan yang sempurna, (10) keterangan hukum, perpustakaan dan penerbitan dokumen-dokumen serta kitab atau website (melalui internet), (11) pencerahan hukum serta konduite warga (budaya hukum), serta (12) anggaran belanja negara yang disediakan bagi aplikasi tugas-tugas forum hukum serta penyelenggaraan pembangunan aturan yang profesional. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa kasus-perkara yang dipersoalkan pada sistem hukum mencakup lima hal, yaitu (1) elemen atau unsur-unsur sistem hukum, (2) bidang-bidang sistem hukum, (tiga) konsistensi sistem hukum, (4) pengertianpengertian dasar sistem hukum, serta (5) kelengkapan sistem hukum. 

Peradilan Nasional 
Kebebasan lembaga peradilan dari campur tangan serta intervensi kekuatan di luarnya adalah perkara yg sangat esensial dalam penegakan hukum. Di Indonesia, masalah ini telah menjadi diskusi resmi di kalangan pendiri Republik Indonesia di BPUPKI serta menjadi diskusi publik semenjak awal Orde Baru sampai sekarang (Mahfud, 2006:89). 

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri menegaskan keharusan kemerdekaan forum peradilan ini, tetapi Undang-Undang Dasar ini nir menegaskan prinsip kebebasan itu apakah ke dalam struktur ataukah cukup kegunaannya saja. Di banyak sekali negara yg penegakan hukumnya telah nisbi indah, secara struktural memang tidak terdapat keharusan adanya pemisahan tegas antara lembaga yudikatif serta eksekutif, karena yang primer adalah fungsinya. Tetapi, buat Indonesia ada pertimbangan tertentu yg mendorong adanya pemisahan struktural itu. 

Salah satu hal yg perlu ditegaskan bahwa negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 tidaklah menganut paham Trias Politika sepenuhnya. Ini penting ditegaskan lantaran sering timbul pandangan bahwa negara demokrasi itu wajib menganut konsep Trias Politika seperti apa adanya. Namun, pelembagaan banyak sekali kekuasaan negara di Indonesia menerangkan menggunakan tegas bahwa para perumus UUD 1945 sangat dipengaruhi oleh ajaran Trias Politika. Dikatakan sebagai dipengaruhi tetapi tidak menganut Trias Politika lantaran poros-poros kekuasaan di Indonesia bukan hanya tiga, melainkan semula terdapat 5 yang sejajar, yaitu legislatif (Presiden dan DPR), eksekutif (Presiden), yudikatif (Mahkamah Agung), auditif (BPK), serta konsultatif (DPA). Kemudian pada atas kelima poros itu ada MPR yg adalah lembaga suprematif. Selain itu, poros kekuasaan yang dipengaruhi UUD 1945 itu tidaklah diletakkan pada posisi yang terpisah secara mutlak melainkan dijalin sang satu interaksi kerjasama fungsional. Setelah amandemen atas UUD 1945, lembaga-forum negara permanen lebih menurut 3 tetapi tidak ada lagi yg lebih tinggi antara satu menggunakan yg lain. 

1. Kekuasaan Kehakiman Era Orde Lama 
Sejak kemerdekaan, pada waktu pembentukan Kabinet pertama (dua September 1945), di lingkungan eksekutif telah dibentuk Departemen Kehakiman yang eksistensinya berlanjut hingga kini . 

Di dalam era Demokrasi Terpimpin yang pula disebut era Orde Lama ini, sistem politik yg dibangun Bung Karno merupakan sistem politik otoriter yang mengkonsentrasikan kekuasaan pada tangan presiden. Sistem politik yg semacam ini berimbas jua pada dilemahkannya forum peradilan dan dihilangkannya kebebasannya. UU No. 19 Tahun 1964 dan UU No. 13 Tahun 1965 memuat ketentuan yg kentara-jelas menghilangkan kebebasan kekuasan peradilan. 

Pada pasal 19 UU No. 19 tahun1964 dicantumkan ketentuan bahwa : “Demi kehormatan revolusi, negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yg sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur tangan pada soal-soal pengadilan. 

Ketentuan ini menampakan bahwa betapa campur tangan Presiden dalam soal-soal pengadilan diberi pembenaran sang undnag-undang. Meskipun disebutkan bahwa campur tangan itu hanya dapat dilakukan menggunakan alasan demi kehormatan revolusi, negara, serta bangsa atau kepentingan rakyat yg sangat mendesak, kriteria alasan-alasan tersebut batas-batasnya nir dipengaruhi sebagai akibatnya beliau lebih banyak diserahkan pada pandangan dan kemauan presiden. Seumpama terdapat kriterianya pun, campur tangan pemerintah atas forum peradilan menggunakan alasan apa pun tetap tidak dapat dibenarkan pada pada negara konstitusional. 

2. Pembenahan Masa Orde Baru 
Setelah Orde Baru lahir, menggunakan tema menegakkan kehidupan yg konstitusional atau melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, maka upaya menaruh kemerdekaan dalam kekuasaan kehakiman mulai diteriakkan. Orde Baru memang lahir dengan semangat konstitusionalisme. 

Krisis politik serta ekonomi yg melilit negara pada masa Demokrasi Terpimpin dinilai sebagai dampak menurut terlalu otoriter serta inkonstitusionalnya Bung Karno sebagai Presiden. Untuk mengatasi krisis tadi, maka ajakan hayati bernegara secara konstitusional diteriakkan pada mana-mana. Komitmen buat menegakkan Pancasila serta UUD 1945 diperkokoh dan demokratisasi ditawarkan sebagai babakan baru pada kehidupan bernegara. Sejauh menyangkut independensi kekuasaan kehakiman, somasi-gugatan atas keberadaan UU No. 19 Tahun 1964 serta UU No. 13 Tahun 1965 diteriakkan secara gencar. 

Keluarnya Tap MPRS No. XIX Tahun 1966 dapat dianggap sebagai pernyataan tentang inkonstitusionalnya kedua UU produk Orde Lama itu, terutama sejauh menyangkut campur tangan presiden. 

Pada awal Orde Baru, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) Jawa Tengah menyampaikan pendapat supaya badan-badan peradilan baik secara organisatoris maupun secara administratif finansial diletakkan di bawah Mahkamah Agung sebagai alat kelengkapan negara yg berdiri sendiri. Namun, langkah awal tersebut ternyata harus surut saat dalam tahun 1970 diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 mengenai Pokok-Pokok kekuasaan kehakiman yg ternyata masih menganut sistem training administratif serta finansial hakim oleh eksekutif. Hal ini permanen dapat menjadi persoalan bila dia dikaitkan dengan asa buat mengimplementasikan prinsip kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka. 

3. Era Reformasi 
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh melalui reformasi pada bulan Mei tahun 1998, seluruh produk hukum era Orde baru yang berwatak ortodok segera diubah. Ini sinkron menggunakan dalil bahwa menjadi produk politik maka aturan-hukum akan berubah sejalan dengan perubahan politik. Hukum-aturan yg diubah saat itu adalah hukum-aturan di bidang politik yang terkait menggunakan interaksi kekuasaan yang perubahannya diarahkan menurut tabiat sentralistik serta otoriter sebagai partisipatif serta demokratis. 

Hukum pada bidang kekuasaan kehakiman yang selama Orde Baru terlalu membuka peluang bagi campur tangan pihak eksekutif kemudian diubah serta diganti. UU No. 14 Tahun 1970 diganti dengan UU No. 35 Tahun 1999 yg galat satu politik hukumnya adalah menyatuatapkan kekuasaan kehakiman pada bawah Mahkamah Agung. Dengan penyatuatapan ini, maka pelatihan hakim yang semula dipencar ke eksekutif (pada hal kepegawaian, administratif serta finansial) serta ke yudikatif atau MA (pada hal teknis yudisial) menurut UU tersebut disatukan semua di bawah Mahkamah Agung. 

Perkembangan yg lebih maju dalam politik aturan kekuasaan kehakiman ini kemudian dituangkan pula dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada amandemen ketiga tahun 2001, pasal 24 ayat (dua) UUD 1945 menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan sang Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi menggunakan kompetensi yg tidak sama. Mahkamah Konstitusi dimunculkan sebagai lembaga negara menggunakan hak melakukan uji materi (judicial review atau secara lebih khusus melakukan constitutional review) UU terhadap UUD. Mahkamah Konstitusi pula memiliki tugas khusus lain yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden nir lagi memenuhi kondisi; memutus pendapat DPR bahwa Presiden sudah melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar sebagai akibatnya mereka dapat diproses untuk diberhentikan; memutus sengketa wewenang antar forum negara yang kewenangannya diberikan sang Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran parpol serta memutus sengketa hasil pemilu. Sementara itu, Mahkamah Agung mengadili kasus-perkara konvensional lainnya ditambah menggunakan hak uji materi peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan perundangan yang lebih tinggi. 

Selain mengatur pembentukan Mahkamah Konstitusi perubahan ketiga UUD 1945 jua memperkenalkan forum negara baru pada rumpun kekuasaan kehakiman sebagai forum pembantu (auxiliary institution) yaitu Komisi Yudisial (KY). UU tentang Komisi Yudisial dibuat dalam tahun 2004 melalui UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, sedangkan Komisi Yudisial sendiri baru dibentuk dalam pertengahan tahun 2005. 

4. Hukum serta Peradilan Internasional 
Dalam interaksi antarnegara sangat mungkin timbul pertikaian akibat ketidaksepahaman 2 atau beberapa negara tentang suatu hal. Lantaran itu diperlukan suatu anggaran yang disepakati bersama dan dihormati secara internasional oleh negara-negara yg ada di global. Dua atau lebih negara bisa menjalin konvensi tentang maslaah bersama. Kesepakatan semacam ini diharapkan supaya tercipta ketertiban dunia. 

Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa aturan internasional merupakan holistik kaidah serta asas yg mengatur interaksi atau duduk perkara yg melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara. Hukum internasional diberlakukan pada rangka menjaga interaksi dan kolaborasi antarnegara. Lantaran itu, hukum tadi nir boleh dibentuk tanpa memperhatikan kepentingan masing-masing negara. Untuk itu, aturan internasional wajib memperhatikan asas-asas berikut: 

a. Asas teritorial 
Asas ini didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Menurut asas ini, negara melaksanakan aturan bagi semua orang dan seluruh barang di daerahnya. Jadi, terhadap semua barang atau orang yang berada pada luar wilayah tersebut berlaku hukum asing (internasional) sepenuhnya. 

b. Asas kebangsaan 
Asas ini berdasarkan pada kekuasaan negara buat mengatur warga negaranya. Menurut asas ini, setiap warga negara pada manapun berada, tetap berada di bawah jangkauan hukum negara asalnya. Asas ini memiliki kekuatan exteritorial. Artinya, hukum suatu negara permanen berlaku bagi rakyat negaranya walaupun beliau berada di negara lain. 

c. Asas kepentingan umum 
Asas ini berdasarkan pada kewenangan negara buat melindungi serta mengatur kepentingan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, negara bisa mengikuti keadaan dengan seluruh keadaan dan insiden yang bersangkut paut dengan kepentingan umum. Jadi, hukum tidak terikat dalam batas-batas wilayah suatu negara. 

Apabila ketiga asas ini tidak diperhatikan, akan timbul kekacauan dalam hubungan antarbangsa (internasional). Oleh sebab itu, antara satu negara menggunakan negara lain perlu ada hubungan yang teratur serta tertib dalam bentuk hukum internasional.

HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional 
Wacana ham terus berkembang seiring menggunakan intensitas kesadaran manusia atas hak dan kewajiban yg dimilikinya, gerakan diseminasi ham terus berlangsung bahkan menembus batas-batas teritori sebuah negara. Para ahli memberikan julukan dalam abad XX ini sebagai jaman hak asasi insan, sebagaimana yg disampaikan oleh Manfred Nowak serta Ruth Gavinson : the twentieth century is often described as ”the age of rigths”. 

Bagi Indonesia, perihal Ham diterima, pada pahami serta diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan serta sosio politis yg berkembang, serta mementum yang semakin mengokohkan jaminan terhadap hak asasi manusia adalah waktu dimasukannya perlindungan ham dalam perubahan konstitusi indonesia ketika reformasi. Kondisi ini sekaligus diyakini menjadi warta sejarah sekaligus menjadi starting poin bagi penhuatan demokrasi yang berbasis perilindungan HAM.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang selanjutnya diklaim Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 tertulis:

“Everyone is entitled to all rights of freedom ... Without discrimation on any kind, such as race , colour, sex, language, religion or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status”

Secara generik hak asasi insan diberi pengertian sebagai hak yang melekat pada diri insan yang merupakan anugerah Tuhan sejak manusia lahir, sehingga nir dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi insan (selanjutnya disingkat HAM) ini nir boleh tidak wajib melekat dalam insan, karena jika nir; insan akan kehilangan sifat humanisme dan keluhurannya.

Dari pengertian di atas, lalu lahirlah paham persamaan kedudukan dan hak atas umat insan menurut prinsip keadilan yg memberikan pengakuan bahwa insan mempunyai hak dan kewajiban yg sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Maka pada sejarah kehidupan politik, manusia lalu melakukan perjanjian (kontrak) untuk membangun negara guna melindungi kepentingan-kepentingan atau hak-hak mereka. Menurut Ralp Cranshaw: Hak asasi manusia merupakan hak yg melekat menggunakan keberadaan kita menjadi manusia. Hak-hak ini memungkinkan kita berbagi diri dan memenuhi kebutuhan kita menjadi manusia. Hak-hak ini juga melindungi kehidupan, keutuhan fisik dan psikologis. 

Leach Levin seorang aktivis hak asasi insan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi manusia terdapat dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, bahwa hak asasi insan nir mampu dipisahkan serta dicabut, hak asasi manusia merupakan hak manusia lantaran dia seseorang manusia. Hak merupakan hak-hak moral yang dari menurut kemanusiaan setiap manusia dan hak-hak itu bertujuan buat menjamin prestise setiap insan (Natural Rights). Kedua, hak asasi insan merupakan hak-hak dari aturan, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum menurut masyarakat itu sendiri, baik secara nasional juga secara internasional. Dasar berdasarkan hak-hak ini merupakan persetujuan dari yang diperintah, yaitu persetujuan dari para masyarakat negara, yang tunduk kapada hak-hak itu dan tidak hanya tata tertib alamiah yang merupakan dasar menurut arti yang pertama.

Perjuangan atas penegakan HAM telah berlangsung berabad-abad yang melahirkan poly sekali instrumen HAM yg bercorak lokal/kaukus. Puncak atas bisnis ini merupakan dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Right dalam lepas 10 Desember 1948 yang kemudian sebagai acuan atau bahan rujukan negara-negara pada global dalam membangun instrumen HAM. Kesadaran serta pemahaman akan HAM, terutama pengakuan dan penghormatannya pada kehidupan bermasyarakat dan berpolitik berbeda-beda pelaksanaannya. Semuanya bertolak menurut perumusan HAM yg sangat tergantung pada situasi serta kondisi negara-negara yang bersangkutan, terutama aspek sosiokulturnya.

Permasalahan HAM saat ini telah menjadi sorotan primer global internasional dalam kaitannya menggunakan kehidupan berbangsa serta bernegara. Wawasan HAM pada dimensi global selalu dikaitkan menggunakan hak-hak politik, sosial, ekonomi serta kehidupan budaya. Nanang Pamuji Mugasejati dan Ucu Martanto, mengutip Robertson serta Giddens mengartikan globalisasi menjadi pemadatan dunia dan intensifikasi pencerahan dunia menjadi satu holistik atau intensifikasi rekanan-relasi sosial seluruh dunia yg menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sehingga insiden-insiden pada suatu loka ditentukan sang peristiwa lain yg terjadi bermil-mil jaraknya menurut situ serta demikian kebalikannya.

Sejak para filosof Yunani, hingga kebudayaan timur, khususnya Islam telah ikut andil pada menciptakan aturan bangsa-bangsa yg berkembang pada Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial serta politik masyarakat negara, baik secara individual juga kolektif sudah sedemikian rupa diatur. Tetapi pada realisasinya, menurut dulu sampai kini , HAM acapkali sangat bergantung pada willingness of the states. Begitu pula ajaran agama dan budaya setempat telah sangat menghipnotis sikap rakyat terhadap HAM. 

Timbulnya disparitas persepsi HAM antara warga Barat serta Timur, khususnya Asia Tenggara menerangkan adanya impak positif di luar aspek-aspek HAM itu sendiri. Djawahir Thontowi menguraikan, perbedaan persepsi HAM Barat serta Timur yg terjadi lantaran adanya perbedaan formulasi dalam arti, konsep, praktik serta jua kepentingan-kepentingan penguasa.

Konsep negara terbaru mensyaratkan adanya demokrasi, rule of law serta proteksi HAM. Indonesia menjadi negara aturan sudah mempunyai instrumen-­instrumen HAM. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, telah poly dikenal berbagai dokumen konstitusional maupun peraturan perundangan yang memuat nilai serta kebiasaan penegakan HAM, termasuk dalam konstitusi seperti UUD 1945, Konstitusi RIS serta UUD Sementara Tahun 1950. 

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini dibutuhkan memberi kontribusi berupa kegunaan-kegunaan menjadi berikut:
a. Memberi sumbangan pemikiran tentang perlindungan HAM dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, sebagai akibatnya diharapkan mampu memberi kontribusi positif bagi upaya menumbuhkan pencerahan warga Indonesia akan pentingnya penegakan hukum pada bidang HAM. 
b. Menambah bahan surat keterangan tentang konstitusi serta HAM, sebagai akibatnya selain membantu pembaca tahu perseteruan konstitusi serta HAM, juga diharapkan bisa sebagai acum bagi penelitian selanjutnya yg mengarahkan perhatian dalam globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan kenegaraan Indonesia.

Menurut pengetahuan peneliti, sehabis mengadakan pengamatan, maka penelitian tentang dinamika pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pada perspektif globalisas, belum pernah dilakukan.

Namun demikian, kajian-kajian mengenai HAM serta konstitusi telah poly dilakukan. Misalnya Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik serta Sistem Peradilan Pidana yg membahas HAM berkaitan dengan aturan pidana secara umum, tidak sampai pada pembahasan HAM yg berkaitan dengan konstitusi. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, karya Gunawan Setiardja, isinya meninjau proses terbentuknya Pancasila dan hukum dasar UUD 1945 hingga pada pembahasan pemuatan HAM pada konstitusi. 

Kemudian buku Saafroedin Bahar Hak Asasi Manusia Analis Komnas HAM serta Jajaran Hankam/ABRI berisi mengenai apa saja yang sebagai pedoman penerapan HAM, mampukah Komnas HAM sebagai penegak HAM serta bagaimana pandangan ABRI dalam berbagai masalah HAM. Buku Demokrasi, HAM serta Masyarakat Madani merupakan karya Tim ICCE UIN Jakarta yang berusaha memaparkan serta mensosialisasikan demokrasi serta HAM di tengah arus transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (civilitezed democracy). 

Selanjutnya, Muh. Budairi Idjehar dalam kitab HAM Versus Kapitalisme berupaya menginspirasi membangun bangsa dalam perspektif demokrasi serta HAM serta menunjukkan perlawanan kapitalisme melalui gerakan HAM serta Bagir Manan dkk dalam Perkembangan Pemikiran serta Pengaturan HAM pada Indonesia menyimpulkan bahwa HAM di Indonesia telah dikenal sejak 1908, dan mengkaji perlunya pemajuan HAM dan perlunya pemerintah merogoh langkah nyata pada kasus degradasi HAM.

Hestu Cipto Handoyo, dalam Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, menguraikan implementasi prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan, hak asasi insan dalam kehidupan ketatanegaraan pada Indonesia. Melalui bukunya, Hestu ingin memahamkan proses konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia secara luas.

Dalam Mendudukkan UUD, Satjipto Rahardjo melakukan penelusuran terhadap konstitusi sebagai suatu tipe perundang-undangan yg khas serta membawanya ke ranah ilmu aturan yg tidak hanya berkutat dalam perundang-undangan, melainkan pada konteks yg lebih luas, yaitu aturan dan masyarakatnya. 

Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, karya Ni’matul Huda, difokuskan pada menyelidiki output-output perubahan ketatanegaraan Indonesia khususnya lembaga kepresidenan, Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat dan masalah-problem lain yg melingkupi Mahkamah Konstitusi dan pengujian terhadap undang-undang.

Hendarmin, pada bukunya Dinamika Konstitusi Indonesia, menilai serta mengevaluasi apa saja yang sesungguhnya terjadi dengan konstitusi yang sempat berlaku dan sedang diberlakukan pada Indonesia. Sementara, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, karya Anhar Gonggong memberi citra singkat tentang sejarah konstitusi Indonesia, sekaligus memberi pemahaman mengenai makna strategis dari amandemen UUD 1945.

Dimyati Hartono, dalam Problematik dan Solusi Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memandang dilema amandemen menyangkut keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta implementasi dari Keputusan MPR tadi yang tidak konsisten lantaran menggunakan pendekatan yg mudah, pragmatis, simplitis dan parsial pada memahami dan melakukan amandemen UUD 1945. Rekomendasi menurut buku ini diantaranya adalah melakukan lagi perubahan UUD 1945 menggunakan dasar landasan, tujuan yg sinkron dengan jiwa Proklamasi 17 agustus 1945 dengan memberlakukan balik Undang-Undang Dasar 1945 maupun penjelasannya, sedangkan dinamika dan tuntutan kebutuhan hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara disusun pada bentuk amandemen.

Sementara, kitab karya Jimly Asshiddiqie Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, adalah asal yg membahas sejarah mula konstitusi serta sejarah konstitusi Indonesia sampai pada pembahasan nomokrasi dan demokrasi. Dan, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, karya Harun Alrasid, berisi naskah UUD 1945 sebelum serta selesainya amandemen berdasarkan amandemen pertama hingga amandemen keempat disertai analisis tajam mengenai proses serta hasil amandemen itu sendiri.

Penelitian Udiyo Basuki, dkk, “Konstitusionalisme HAM Indonesia (Kajian Yuridis atas Dinamika Pengaturan HAM Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945)” mengurai penerangan efek amandemen UUD 1945 terhadap pengaturan HAM pada dalamnya serta mengungkapkan pengaruhnya terhadap pengaturan HAM pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Suparman Marzuki pada bukunya Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity menyebutkan, perubahan politik sudah membangkitkan asa akan tuntasnya berbagai masalah pelanggaran HAM masa kemudian. Pada kenyataannya, itu hanya harapan semu. Dengan munculnya UU Peradilan HAM ataupun peradilan HAM ad hoc tumbuh keyakinan atas terbitnya keadilan. Dikatakan harapan yg semu lantaran prosesi pradilan seperti ritual yang kaya simbol, tetapi miskin makna. Peradilan malah sebagai pelindung serta medan pembelaan para penjahat HAM. Tidak saja ini mengacuhkan keberadaan korban, namun pula jadi tempat untuk menyucikan balik motif dan tindakan pelaku.

Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, karya Bahder Johan Nasution menyampaikan, sudah semenjak lama duduk perkara negara aturan dan hak asasi insan, selalu diperbincangkan dikalangan ahli-ahli aturan ketatanegaraan serta dikalangan para pemikir-pemikir politik. Tujuannya buat mencari suatu konsep yg ideal, tentang negara hukum serta proteksi hak asasi insan yang dianggap ideal, selalu menjadi perdebatan. Terlebih hak asasi manusia acapkali dipahami secara dangkal karena hanya dianggap menjadi panduan moral semata-mata. Pemahaman yg demikian merupakan pemahaman yg keliru, pemahamannya bukan hanya di tatanan moral akan tetapi juga dalam tatanan aturan. Kenyataan menampakan dampak pemahaman yang dangkal terhadap hak asasi insan, penghormatan dan penegakan terhadap hak asasi tadi acapkali tidak dilaksanakan secara sempurna sebagaimana dicita-citakan oleh negara hukum.

Harifin A. Tumpa dalam bukunya Peluang serta Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM pada Indonesia, menjelaskan, hak asasi insan merupakan perwujudan keberadaan dan kemandirian seorang menjadi seorang insan. Yang harus dihormati dan dijaga kehormatannya, sehingga sanggup bertahan dari bernalitas pragmatis kekuasaan, ambisi, serta cita-cita, serta sebagai landasan yang kuat bagi pembentukan sebuah bangsa yang demokratis serta ideal, lantaran hak asasi insan adalah hak yg inheren pada dalam diri eksklusif individu, serta hak ini adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu buat berdiri serta hayati secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat. 

Tragedi Politik Hukum serta HAM, karya Suparman Marzuki mengungkapkan, memutus rantai politik otoriter hanya sanggup jika melalui jalan penegakan HAM. Pengalaman banyak negeri membawa bukti bahwa penegakan HAM sudah menancapkan episode masa depan politik yang demokratis, menghormati hak dan melindungi minoritas. Akan tetapi, dalam kenyataan Indonesia mengalami bencana pada upaya menembus keadilan. Praktek penegakan HAM meluncur dalam serangkaian pengadilan yang nir membawa pelaku dan tidak sanggup mengembalikan keadilan.

Mien Rukmini pada bukunya yang berjudul Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah serta Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Pradilan Pidana di Indonesia, menyampaikan, di pada UUD 1945 nir ada satu pasalpun yang secara tegas mencantumkan asas praduga nir bersalah, tidak selaras menggunakan KRIS 1949 serta UUDS 1950, yaitu di pada pasal 14 ayat (1). Meskipun demikian, eksistensi asas tadi sudah ditemukan dan diatur pada Pasal 8 UU No.4 Tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 mengenai Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta di pada pasal 18 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan asas persamaan kedudukan pada aturan, asas ini secara tegas diatur baik pada dalam KRIS 1949 dan UUDS 1950 juga UUD 1945 yaitu di dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.

METODOLOGI PENELITIAN 
A. Pendekatan 
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai pada penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis, yaitu mengkaji konsep normatif atau peraturan perundang-undangan dalam hal ini, UUD 1945 mengenai HAM. Empiris, yaitu mengkaji fenomena empiris yang berpijak dalam fenomena, pada hal ini empiris globalisasi yang mensugesti konsep pemikiran HAM.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) menggunakan menggunakan data berupa dokumen-dokumen, kitab -buku, artikel dan bahan-bahan hukum lainnya yg berkaitan dengan konstitusionalisme serta hak asasi insan. Dalam pelaksanaannya, mengingat banyaknya kepustakaan yg hendak diteliti, penelitian ini akan melibatkan dua mahasiswa. 

3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat naratif analitik, yaitu penelitian buat merampungkan masalah demgam cara menggambarkan masalah melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data, lalu dijelaskan dan selanjutnya diberi penilaian

4. Data Penelitian 
Data yg digunakan dalam penelitian ini meliputi data utama, data sekunder dan data tersier, yaitu:
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yg meliputi:
1) Naskah UUD 1945 yg asli
2) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen pertama hingga amandemen keempat
3) Berbagai peraturan perundang-undangan tentang HAM
4) Berbagai buku tentang globalisasi

b. Data sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan tentang bahan primer, mencakup kitab -kitab aturan, kitab -buku mengenai globalisasi, output penelitian, jurnal, makalah serta literatur lain yang berkaitan dengan fokus penelitian, baik tentang aturan secara umum, HAM, konstitusi serta globalisasi.

c. Data tersier, yaitu bahan yg memberi petunjuk atau penerangan terhadap bahan utama serta bahan sekunder, meliputi:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedi hukum
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia

5. Metode Analisis Data

Data yg diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, nir memakai nomor -angka, rumus-rumus serta penghitungan eksakta lainnya menjadi indera bantu analisis.

B. Landasan Teori
1. Globalisasi: Kesejagatan, Keniscayaan 
Globalisasi telah menjadi realita harian yg tidak dapat dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat serta kompleks menggunakan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat tidak boleh masuk ke semua bidang kehidupan umat manusia. Globalisasi merupakan proses multidimensional pada aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yg beranjak secara ekstensif dan intensif ke pada masyarakat global. 

Globalisasi adalah kata yang mengerikan menggunakan makna yg kabur, pertama dipakai pada 1960, dan menjadi mode yang makin populer dalam 1990. Bagi banyak pendukungnya dia adalah kekuatan tidak tertahankan yg diinginkan yang menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintahan-pemerintahan despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yang disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, dia pula kekuatan tak tertahankan, tapi tak diinginkan. Menurut Anne Krueger, First Deputy Managing Director, Dana Moneter Internasional, Dalam kuliah John Binyhton, disampaikan pada australia pada 2000 mendefinisikan globalisasi adalah sesuatu kenyataan di mana agen-agen ekonomi pada bagian manapun di dunia jauh lebih terkena impak peristiwa yg terjadi di tempat lain di dunia dari pada sebelumnya.

Brink Lindsey dalam bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan kata globalisasi dalam tiga makna yang tidak sinkron yaitu: Pertama, buat mendeskripsikan fenomena ekonomi berdasarkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik. Kedua, buat mendeskripsikan kenyataan politik yg terbatas tentang runtuhnya rinntangan-rintangan yang dipasang sang pemerintah oleh arus internasional barang, jasa, dan kapital.

Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya sebagai kata yg merujuk kepada suatu keadaan di mana antara satu negara dengan negara lain telah menyatu. Batas teritorial, kultural, serta sebagainya telah bukan merupakan kendala lagi untuk melakukan penyatuan tadi. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan tehnologi canggih pada bidang komunikasi, seperti radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.

Globalisasi menjadi kelanjutan multinasionalisasi serta transnasionalisasi sudah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini membuahkan manusia dengan relasi-relasi sosial budayanya menjadi sub-human pada pusaran pasar global dunia. Globalisasi bahkan adalah puncak dari kapitalisme dunia di penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan akbar kepada global humanisme menjadi tersubordinasi dan terkooptasi oleh mesin kapitalisme global yg keras serta serba melintasi. Sejumlah krisis humanisme diduga akan semakin massive dan kompleks. 

Setidaknya terdapat lima dampak jelek globalisasi bagi warga . 
Pertama, pengaburan batas-batas kultural serta geografis/ekologis tidak diperhatikan, sebagai akibatnya kemampuan beradaptasi serta daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah. 
Kedua, gaya pikir akan ditentukan sang produsen liputan serta penyebarannya yang secara umum dikuasai sebagai akibatnya menimbulkan gangguan yg tidak bisa diadaptasi.
Ketiga, hak-hak manusia yang dipropagandakan merupakan versi Barat dengan bersandar pada individualisme. Hak-hak grup banyak terlanggar, tetapi diabaikan saja. Hak-hak manusia sering dikalahkan oleh hak-hak kapital, sehingga globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal. 
Keempat, terancamnya demokrasi sang globalisme. Demokrasi berarti poly pilihan, multiopsional, tiap-tiap insan dan negara bebas menentukan yang terbaik buat dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman pada dunia yang sangat bervariasi. 
Kelima, hubungan budaya akan terjadi dalam skala besar , cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak dapat dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yg mencolok terlihat menurut perubahan pola hubungan antar anggota masyarakat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis dan acuh terhadap orang lain. 

Kelima hal pada atas merupakan sedikit catatan berdasarkan efek buruk globalisasi. Globalisasi yang ditandai menggunakan pesatnya penemuan hal baru baik dalam ilmu pengetahuan serta teknologi semakin mendorong masyarakat buat berubah dengan cepat. Melalui banyak sekali peralatan tersebut berbagai insiden atau insiden yang terjadi di belahan global yang lain pun bisa dengan gampang diketahui bahkan diakses. Semakin poly insan menggunakan peralatan tadi semakin poly kabar yg dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus keterangan tadi demikian banyak dan padat, maka tingkat kecepatan buat mendapatkan warta tersebut sebagai meningkat.

Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yang semakin erat berdasarkan semua aspek kehidupan, suatu gejala yg muncul berdasarkan interaksi yg semakin intensif pada perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi. 

Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan besar pada zaman ini yang membawa kepada perkembangan yg semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok dunia dan memberikan laba bagi semuanya. Tetapi di sisi lain, globalisasi melahirkan pertentangan antar insan pada muka bumi ini, yang disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa.

Selain membawa dampak positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yang semakin luas; globalisasi pula membawa efek negatif seperti kondisi ketergantungan baik bagi individu, grup rakyat juga Negara serta semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk pada Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan istilah lain, globalisasi merupakan tanda-tanda yang sekaligus dirayakan dan diratapi. 

Oleh karena globalisasi terkait menggunakan situasi konkret serta hayati mangkat insan di planet bumi, maka telah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan 2 premis menyangkut standar etika sosial tadi. 
Pertama, warga hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang menjadi dasar premis ini merupakan prestise manusia. Orientasi konkretnya, kaum miskin yg nir mampu serta tidak punya peluang buat ambil bagian dalam proses pembangunan.
Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, serta globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan adalah sarana demi kesejahteraan hayati dan perkembangan manusia. Yang sebagai orientasi pada sini merupakan tanggung jawab beserta pada banyak sekali taraf buat tujuan bonum communae, kebaikan beserta.

Globalisasi dilukiskan menjadi penyusutan ruang dan saat yang belum pernah terjadi sebelumnya, yg mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala global. Ia dipahami sebagai tatanan warga baru yang nir lagi membicarakan hal-hal yg sifatnya lokal. Transformasi global telah merambah ke seluruh global, yang mana nir lagi ada batas-batas yang jelas pada suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, aturan serta bahkan perilaku warga . 

Globalisasi menyebabkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan merupakan kenyataan krusial yg tidak sanggup dihindarkan oleh siapapun, bangsa manapun serta negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa serta negara Indonesia.

2. Konstitusi dan Kostitusionalisme
Konstitusi menurut Rukmana Amanwinata, berpadanan menggunakan “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda) “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Latin).

Dalam Ilmu Hukum sering dipakai beberapa istilah dengan arti yang sama. Sebaliknya nir tertutup kemungkinan buat arti tidak sama dipakai istilah yg sama. Demikian juga halnya yang terjadi menggunakan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal istilah lain, yaitu UUD serta hukum dasar.

Mengenai kata konstitusi serta Undang-Undang Dasar terbagi sebagai dua, yaitu pertama, pendapat yang membedakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar dan ke 2, pendapat yang menyamakan konstitusi menggunakan Undang-Undang Dasar. Saat ini sepertinya pendapat kedua lebih diterima.

Konstitusi jua dapat dibedakan pada 2 kategori, yaitu konstitusi politik serta konstitusi sosial. Konstitusi politik adalah semata-mata dokumen aturan yg berisi pasal-pasal yang mengandung norma-norma dasar pada penyelenggaraan Negara, hubungan masyarakat menggunakan Negara, antar forum Negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih luas dari itu, karena mengandung keinginan sosial bangsa yg menciptkannya, rumusan filosofis mengenai Negara, rumusan sistem sosial serta ekonomi, serta sistem politik yg dikembangkan.

Dari catatan sejarah klasik masih ada 2 perkataan yg berkaitan erat menggunakan pengertian kita kini ten­tang konstitusi, yaitu pada per­kataan Yunani Kuno poli­teia serta perkataan bahasa Latin constitutio yg juga berkaitan dengan istilah juz. Dalam ke 2 perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan sang umat insan. Kata politeia berdasarkan kebu­daya­an Yunani bisa disebut yang paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yg mencerminkan pengertian ka­ta juz ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yg datang kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution merupakan seperti apa yg kita maksudkan sekarang ini. Perkata­an consti­tution pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula dipakai se­ba­gai istilah teknis untuk menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan menggunakan poly aspek dari hukum Romawi yg dipinjam ke dalam sistem pemikiran aturan pada kalangan gereja, maka kata teknis constitution pula dipinjam buat menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yg berlaku di semua gereja atau­pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang ber­laku di gereja-gereja eksklusif (ecclesiastical province). Oleh karenanya, kitab -buku Hukum Romawi serta Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yang seringkali dianggap sebagai sum­ber rujukan atau surat keterangan paling awal tentang peng­gu­na­an perkataan constitution dalam sejarah.

Pengertian konstitusi pada zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk misalnya yg dime­nger­ti di zaman mo­dern kini . Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa telah tergambar pada pembedaan yang dila­kukan sang Aristoteles terhadap pengertian kata politea serta nomoi. Pengertian politiea dapat dise­pa­dankan menggunakan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi adalah undang-undang biasa. 

Politea mengandung ke­kuasaan yg lebih tinggi berdasarkan pada nomoi, karena politea mem­punyai kekuasaan membangun sedangkan pada nomoi nir terdapat, karena dia hanya adalah materi yang harus pada­bentuk supaya su­paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani kata konstitusi ber­hubungan erat menggunakan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yg melahirkan slogan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yg arti­­nya ”Rajalah yg berhak menentukan struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat un­dang-undang”.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan kata konstitusi merupakan “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yg disebut sang Henry II menjadi const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition, me­nyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan Negara di masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yg disebut menjadi kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan sang pemerintahan seku­ler. Namun, pada masa-masa selanjutnya, kata constitutio itu sering juga dipertukarkan satu sama lain menggunakan istilah lex atau edictum buat menyebut aneka macam secular administrative enactments. Glanvill acapkali meng­guna­kan kata constitution buat a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill pula mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, serta menyebut the assize of novel disseisin menjadi a re­cog­nitio sekaligus menjadi a constitutio. 

Beberapa tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Merton dalam tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yang menyebut keliru satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, serta mengaitkan satu bagian berdasarkan Magna Carta yang dikeluarkan pulang dalam tahun 1225 menjadi constitutio libertatis. Dalam saat yang hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir di Perancis beropini bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu dan selama beradab-abad sesudahnya, per­istilah­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini digunakan buat membedakan antara particular enactment menurut consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), pada bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution pada arti yg hampir sama dengan penger­tian kini . Hanya saja kandungan maknanya lebih luas dan lebih generik, lantaran Gregoire menggunakan frase yg lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min dalam pernyataan Sir James Whitelocke pada se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is juz pub­licum regni”. Bagi James White­locke, juz publicum regni itulah yang adalah kerangka alami dan konstitusi po­li­tik bagi kerajaan.

Dari sini, kita bisa tahu pengertian konsti­tusi pada 2 konsepsi. Pertama, konsti­tusi menjadi the natural frame of the state yg bisa ditarik ke belakang menggunakan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi pada arti juz publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero dapat disebut sebagai sarjana pertama yg meng­pakai perkataan constitutio dalam pengertian ke 2 ini, seperti tergambar pada bukunya “De Re Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini pada bentuk Latinnya juga digunakan sebagai kata teknis buat menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro 

Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man. 

Pendapat Cato bisa dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif dan saya­mu­latif. Oleh karenanya, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik tentang konsti­tusi dan konstitusionalisme bisa ditelusuri lebih mendalam dalam perkembangan penger­tian serta penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani serta perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta interaksi pada antara keduanya satu sama lain pada se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan serta hukum. 

Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yg pada akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia dalam pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris terbaru. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, istilah constitution pula diartikan menjadi pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karena itu, constitution bisa jua digunakan buat menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”. 

Dalam pengertiannya yg demikian itu, kon­stitusi selalu dianggap “mendahului” serta “menga­tasi” pemerin­ta­han serta segala keputusan dan peraturan lainnya. A Constitution, istilah Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi diklaim mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan pada sifatnya yg supe­rior dan kewenangannya buat mengikat.

Konstitusionalisme, merupakan pemikiran yg telah usang berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih spesifik lagi melalui konstitusi. Constitutionalisme is belief in imposition of retrains on government by means of constitution. Menurut Lev, pada intinya konstitusionalisme adalah proses hukum.

Asshiddiqie, memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai seperangkat prinsip yg tercermin dalam kelembagaan suatu bangsa serta tidak terdapat yg mengatasinya dari luar dan tidak ada pula yang mendahuluinya.

Fredrich beropini konstitusionalisme merupakan gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu gugusan kegiatan yang diselenggarakan atas nama rakyat yg tunduk dalam beberapa restriksi buat menjamin kekuasaan yg diharapkan pemerintah itu nir disalahgunakan oleh orang-orang yg ditugasi memerintah.

Berdasarkan inspirasi konstitusionalisme, seluruh pemegang kekuasaan wajib dibatasi. Di satu sisi nir ada satu pihak atau satu forum pun yg boleh mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap hadiah kekuasaan senantiasa perlu disertai menggunakan pembatasan kekuasaan.

3. Konstitusionalisme, Negara Hukum serta HAM 
Konstitusi, merupakan kerangka masyarakat politik, yang diorganisir dari hukum, yang menciptakan forum-forum permanen dengan tugas dan kewenangan tertentu. Dengan demikian konstitusi merupakan deretan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat serta interaksi antara ke 2 hal tadi.

Konstitusi dipakai dalam 2 pengertian, yakni konstitusi dalam arti tak berbentuk dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem aturan, norma, serta konvensi yang tetapkan susunan dan kewenangan indera perlengkapan negara itu satu dengan yang lain dan menggunakan rakyat negara. Adapun konstitusi dalam arti konkret merupakan dokumen yg berisi aturan konstitusi yang sangat penting yg ditetapkan secara resmi. Konstitusi dalam arti nyata juga dianggap UUD.

Negara yang berdasar konstitusi adalah yg kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya serta interaksi antara kekuasaan pemerintah dan hak-hak masyarakat negaranya diatur dengan hukum.

Motivasi yg menjadi latar belakang pembuatan UUD bagi negara yang satu tidak sinkron dengan negara lain. Hal ini disebabkan lantaran beberapa hal, diantaranya: sejarah yang dialami bangsa yg bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaannya, situasi serta syarat dalam saat menjelang kemerdekaan dan lain sebagainya.

Menurut Bryce, hal-hal yg sebagai alasan sebagai akibatnya sesuatu negara mempunyai Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak rakyat negara menurut negara yg bersangkutan agar terjamin hak-haknya, dan bertujuan buat membatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tadi.
b. Adanya kehendak menurut penguasa negara serta atau rakyatnya buat menjamin agar masih ada pola atau sistem eksklusif atas pemerintah negaranya.
c. Adanya kehendak berdasarkan pembentuk negara tersebut supaya terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri sendiri, buat mengklaim kerjasama.

Berdasarkan pendapat Bryce pada atas, motivasi adanya konstitusi pertama RI, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 yg dimiliki sesaat selesainya kemerdekaan, lepas 18 Agustus 1945 adalah kehendak para pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan ketatanegaraannya dan menjamin kepastian hukum.

Negara aturan, dari Aristoteles, merupakan negara yg diperintah menggunakan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Terdapat 3 unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yg dilaksanakan buat kepentingan umum, pemerintahan berdasarkan hukum berdasar ketentuan generik, serta pemerintahan atas kehendak warga .

Kant, membicarakan gagasan negara aturan formil, menggunakan mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu proteksi HAM dan pemisahan kekuasaan. Stahl, menguraikan unsur negara aturan materiil, dengan menambah 2 unsur lain, yaitu tindakan pemerintah wajib berdasar hukum dan adanya peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

Menurut Dicey, unsur utama pemerintahan yg kekuasaannya pada bawah hukum (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, serta constitution based on individual rights. Ismail Suny menandaskan bahwa suatu rule of law wajib memiliki syarat-kondisi esensial eksklusif, diantaranya harus masih ada kondisi-kondisi minimum dari suatu sistem aturan dimana hak-hak asasi manusia serta human dignity dihormati. 

Negara aturan sudah muncul jauh sebelum terjadinya revolusi 1689 pada Inggris namun sulit untuk mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga waktu ini. Di Indonesia istilah negara hukum adalah terjemahan pribadi berdasarkan rechsstaat, istilah rechsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang negara aturan sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai terkenal menggunakan terbitnya sebuah kitab berdasarkan Albert Venn Dicey tahun 1885 menggunakan judul Introduction to the study of Law of The Constitution. Perbedaan tadi memunculkan konsep rechsstaat dan konsep the rule of law yang sama-sama mengarahkan pada pengakuan serta perlindungan hak asasi insan walaupun keduanya tetap berjalan pada sasaran yang sama namun keduanya tetap berjalan dengan sistem sendiri yaitu aturan sendiri.

Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yg dianggap civil law yang memiliki ciri-ciri menjadi berikut, yaitu: 
(1) Adanya pembagian kekuasaan.
(dua) Pemerintahan dari konstitusi
(tiga) Perlindungan hak asasi manusia.
(4) Peradilan administrasi negara. 

Dan negara hukum the rule of law bertumpu pada common law, yang menekankan dalam tiga (3) tolok ukur atau unsur primer, yaitu:
(1) Supremasi hukum atau supremacy of law
(2) Persamaan di hadapan aturan atau equality before the law
(3) Konstitusi yang berdasarkan pada hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.

Jika karakteristik-karakteristik tadi dikaitkan dengan ketentuan aturan yg berlaku di Indonesia, maka bisa dinyatakan bahwa secara generik Indonesia sudah memenuhi persyaratan menjadi negara aturan bisa terlihat dari Konstitusi Indonesia. Maka bisa dijabarkan menjadi berikut yaitu adanya pengakuan dan proteksi atas hak-hak asasi manusia, sanggup ditemukan jaminannya di dalam pembukaan serta Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada pada Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, kemudian pada dalam alinea IV disebutkan jua salah satu dasar yaitu ”kemanusiaan yang adil serta mudun”, sedangkan pada dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan rakyat negara pada pada hukum dan pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk kepercayaan ), Pasal 30 (kewajiban melakukan bisnis pertahanan serta keamanan negara), serta Pasal 31 (agunan hak buat mendapatkan pengajaran).

Ciri kedua yaitu peradilan yg bebas berdasarkan imbas sesuatu kekuasaan, dapat ditinjau pada Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yg merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Ciri selanjutnya mengenai legalitas pada arti hukum segala bentuknya dan kekuasaan yg dijalankan menurut atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus dari ketentuan hukum (due process of law) saling keterkaitan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Muchsan berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar menjadi sumber aturan yang tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:
a. Menjamin hak-hak para rakyat rakyat, terutama rakyat negaranya menurut tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam Negara hukum terbaru yg bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan dan diperluas, yakni sampai dengan terselenggaranya kepentingan masyarakat sebagai akibatnya tidak hanya sekadar terjaminnya proteksi aturan terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan namun pula setiap anggota warga Negara bisa menyebarkan hak-hak sebagai manusia.

b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan menurut suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya telah digambarkan dalam anggaran-anggaran dan ketentuan Undang-Undang Dasar.

C. Hipotesis
Bahwa pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, UUD 1945, sangat ditentukan sang globalisasi pemikira HAM yang sudah sangat terkenal diseluruh dunia.

D. Tahapan Penelitian 
Penelitian ini dilakukan dalam aneka macam tahap yg dapat dirinci menjadi berikut:

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai menggunakan penelusuran pengumpulan serta inventarisasi bahan pustaka mengenai aturan, konstitusi HAM dan berbagai peraturan perundang-undangan, serta referensi tentang globalisasi serta pengaruhnya.

2. Tahap Pelaksanaan
Pada termin ini dilakukan pengumpulan dan pengkajian terhadap data primer, sekunder serta tersier.

3. Tahap Penyelesaian
Kegiatan yg dilakukan dalam tahap ini adalah menganalisa data hasil penelitian, dilanjutkan menggunakan penyusunan data dan kemudian dilakukan penyusunan laporan penelitian.