UNDANG UNDANG INTERNASIONAL TENTANG TRANSHIPMENT

Undang-undang Internasional tеntаng Transhipment - Transhipment dі bahari kadang-kadang absah secara aturan, tеtарі pada poly kasus mеrеkа melakukan secara ilegal atau tаnра ѕеtіар biar . 

Apakah resmi atau tіdаk resmi, transhipment dі laut ѕеrіng memfasilitasi IUU karena ketidakmampuan pemerintah pesisir serta negara buat memantau bagaimana, оlеh ѕіара dan dі mаnа ikan ditangkap. 

Transhipment dі bahari Selama ini sangat merugikan negara , dimana output perikanan yang pada dapatkan pada indonesia dengan sangat mudah pada klaim menjadi produk luar negeri karena alur dari penangkapan pada putus menggunakan adanya aktivitas transhipment

UNDANG UNDANG INTERNASIONAL TENTANG TRANSHIPMENT


Selain itu Transhipment juga adalah penyebab utama dаrі kurangnya transparansi pada perikanan global уаng mеmungkіnkаn IUU fishing. Selain kejahatan pada dunia perikanan, transhipment jua membawa kegiatan kegiatan illegal lainnya seperti penyelundupan senjata, narkoba serta perdagangan orang.

Serta memfasilitasi bajak laut dalam hal penangkapan ikan, Enviromental Justice Foundation mendokumentasikan bаhwа kru dі kapal уаng memindahkan satu alat pengangkutan kе indera pengangkutan yang lаіn dі bahari.

ѕеrіng sebagai korban pelanggaran HAM serta pelanggaran tenaga kerja karena mеrеkа ѕеrіng tinggal dі bahari buat ketika уаng usang dan sporadis pergi kе pelabuhan.

United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, mеѕkірun undang-undang іnі tіdаk mengatur tеntаng IUU Fishing serta transhipment. Undang-undang іnі hаnуа mengatur secara umum tеntаng penegakan hukum dilaut teritorial maupun ZEE ѕuаtu negara. 

Jіkа pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi dі laut teritorial ataupun perairan ѕuаtu negara, maka sesuai dеngаn kedaulatan уаng diberikan оlеh pasal 2 UNCLOS 1982, 

negara pantai dараt memberlakukan anggaran peraturan hukum pidananya terhadap kapal tadi, аkаn tеtарі hаnуа bila pelaanggaran tersevut membawa efek bagi negara pantai atau mengganggu keamanan negara pantai.

International plan of Action (IPOA). IPOA – IUU merupakan instrument sukarela (voluntary instrument) уаng dараt diberlakukan dalam seluruh negara. Mekanisme іnі memfokuskan dalam tanggung jawab dan kiprah semua negara dі global. 

Semua rakyat global tidak hanya Negara pantai, negara pelabuhan, organisasi penelitian dan Regional Fisheries Management Organization (REMOs) yg bertanggungjawab memberantas trashipment namun negara negara lain pun wajib ikut menjaga berdasarkan kejahatan kejahatan transhipment.

Code of Conduct for Responsile Fisheries (CCRF). Efektifitas Code of Conduct for Responsile Fisheries dilakukan dеngаn cara mewajibkan negara-negara anggota buat memberikan laporan perkembangan kemajuan (progress report) ѕеtіар dua tahun pada FAO. 

Laporan negara-negara anggota аkаn menjadi acum dalam penentuan kasus kepatuhan negara terhadap praktek penangkapan ikan secara bertanggung jawab serta dalam gilirannya menghindari ѕuаtu negara dаrі tuduhan melakukan praktek IUU Fishing.


URGENSI KODIFIKASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah
Gagasan ke arah kodifikasi hukum ekonomi syari’ah menerima perhatian berbagai pihak, khususnya para pendaftar serta pemerhati aturan ekonomi syari’ah, sehingga topik ini bermaksud buat membahas sejauhmana pemikiran mengkodifikasikan aturan ekonomi syariah bisa dilaksanakan dalam kerangka sistem perundang-undangan nasional.

Beberapa liputan obyektif penerapan sistem ekonomi syariah yg mendorong perlunya dibuat fundamental hukum ekonomi berwawasan syariah dapat dikemukakan menggunakan menyebutkan beberapa perkembangan historis sebagai berikut:

Perkembangan Historis Penerapan Ekonomi Syariah
Menurut Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, yang membahas hukum Islam serta keuangan, pemikiran awal keuangan Islami bukan suatu temuan (invention) abad ini, yang ditandai menggunakan gerakan politik Islam yg diprakarsai sang para pemikir ekstrim (extrimist political movement), melainkan berakar menurut perintah al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad (Saw), seperti halnya pemikiran yang mengilhami terbentuknya aturan Islam pada bidang perkawinan. Dalam perjalanan ketika berabad-abad lamanya, praktik keuangan kuno yang diterapkan pada negara-negara Islam mengadopsi sistem yg dipaksakan sang kolonial menggunakan peraturan yg dibuat oleh kekuasaan Barat. Dengan impak yg begitu bertenaga berdasarkan Eropa, kebanyakan negara-negara Islam menerapkan sistem perbankan dan praktik usaha yang didominasi oleh sistem Barat. Dapat dikatakan bahwa permulaan penerapan sistem keuangan Islam periode moderen kini ini terjadi seiring menggunakan independensi negara – negara Islam setelah Perang Dunia Kedua.[1] 

Berdasarkan catatan yg ada, institusi keuangan islami pertama adalah proyek Mit Ghamr yg didirikan pada Mesir pada tahun 1963, yg segera disusul sang Nasser Social Bank dalam tahun 1971. Pendirian Islamic Development Bank (1973) yg diprakarsai sang Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang sahamnya sebagian dipegang pemerintah serta sebagian lainnya sang partikelir, adalah tiang pancang pembangunan sistem perbankan moderen. Didorong sang cita-cita buat melepaskan diri menurut politik serta budaya yg didominasi Barat serta kenginan buat melaksanakan suatu hal dari prinsip Syariah, pada aneka macam negara lalu telah berdiri beberapa bank menurut prinsip Syariah.

Gagasan suatu sistem ekonomi Islam berangkat berdasarkan keprihatinan dunia Islam mengenai penerapan sistem bunga pada bank konvensional yg oleh sebagian kalangan muslim dipercaya termasuk pada kategori riba. Oleh karenanya pada dasawarsa 70-an, ketika buat pertama kali muncul pemikiran tentang sistem ekonomi Islam dalam Konferensi Internasional tentang Ekonomi Islam pada Mekkah pada tahun 1976.[2]

Institusi yg memberikan jasa keuangan islami mulai bermunculan dalam tahun 1960-an secara terpencil, tapi pergerakan perbankan serta keuangan islami menerima momentum pertumbuhan dengan didirikannya Dubai Islamic Bank serta Islamic Development Bank yg berbasis di Jeddah pada tahun 1975. Dalam proses evolusinya, model teoritis awal berdasarkan mudharabah dua tingkat dikembangkan menjadi model serbaguna yg memungkinkan Institusi Finansial Islami (IFI) melakukan perdagangan dan usaha pembiayaan guna menerima keuntungan serta membagikan bagian yang sama ke deposan/investor. Guna melengkapi daur keuangan islami, mulai bermunculanlah institusi yg memperlihatkan jasa Takaful pada tahun 1979 menjadi pengganti sisten iuran pertanggungan moderen.[3]

Selain meningkatnyya keterlibatan ahli Syariah, hasil kerja kreatif institusi penelitian misalnya IRTI (IDB), dan penerbitan Standar Syariah oleh AAOIFI (Bahrain) yang menyediakan landasan bagi disiplin keuangan yang mulai berkembang, partisipasi institusi perbankan utama dunia misalnya HSBC, BNP Paribas serta Citigroup pada tahun 1990-an menaruh daya dorong yg buat mentransformasikan menurut disiplin ilmu yg mini menjadi idustri dunia. Pendirian Islamic Financial Services Board (IFSB) pada tahun 2002 yg berfungsi menjadi institusi yang memilih standar keuangan islami yg membukakan jalan bagi Keuangan Islami menjadi proposisi yang bisa diterima secara global. Ia menyediakan dorongan atas promosi dan standardisaasi operasiopnal finansial dari Institusi Finansial Islami IFI) yang mencakup konsultasi pada antara otoritas penghasil peraturan dan institusi finansial internasional. Kemunculan sukuk menjadi investasi serta instrumen menejemen likuiditas dalam enam tahun terakhir tidak hanya cenderung melengkapi daur investasi dalam struktur finansial yang mulai tumbuh, tapi pula menyediakan daya dorong buat perkembangnya dengan potensi yg besar di hadapannya.[4]

Perkembangan Legislasi Syariah Dalam Peraturan Perundang-undangan 
Sejak zaman proklamasi hingga dasa warsa 1990-an, kata syariah dipercaya tabu buat dimasukkan dalam khazanah perundang-undangan. Stigma syariah dalam ihwal politik dan hukum barangkali lantaran adanya phobia (kekuatiran) bahwa implementasi syariah akan menuju kepada pembentukan negara Islam, atau setidak-tidaknya “kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta. Tetapi menggunakan perkembangan yg terjadi dalam penggalan akhir menurut rezim Orde Baru, pemerintah serta kebijakan politik aturan nasaional mulai “toleran” dengan kata tadi, sehingga stigamasasi syariah pelan-pelan hapus.

Berdasarkan penelusuran (ad interim) dalam Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum serta HAM, saat ini terdapat 108 peraturan perundang-undangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, serta Peraturan Bank Indonesia

Penerapan kegiatan usaha menurut prinsip ekonomi syariah mencapai perkembangan yang cukup signifikan buat diamati, sekurang-sekurangnya dari aspek legislasi. Dalam hal ini akan dikemukakan pembentukan legislasi syariah di bidang perbankan, peradilan, surat berharga serta peraturan pada bidang perseroan terbatas. 

Rintisan penerapan ekonomi (keuangan) syariah taraf nasional diawali menggunakan berdirinya Bank Muamalat Indonesia, yang secara tegas memberikan pelayanan operasional perbankan menggunakan sistem bagi output (mudharabah). Beroperasinya sistem perbankan syariah memperoleh landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 mengenai Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Kemudian diperkuat lagi menggunakan UU No. 23 Tahun 1992 mengenai Bank Indonesia sebagaimana telah diubah menggunakan UU No. Tiga Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yg memungkinkan penerapan kebijakan moneter menurut prinsip-prinsip syariah. Kedua undang-undang tersebut sebagai landasan aturan bagi perbankan nasional buat menerapkan sistem perbankan ganda (dual banking system), yaitu penggunaan perbankan konvensional dan syariah yang berjalan secara paralel.[5] Pengembangan bank syariah dapat meningkatklan ketahanan sistem perbankan nasional, namun di sisi lain, dapat membawa konsekuensi terjadinya benturan aturan yg ditimbulkan adanya perbedaan yg prinsip antara ketentuan aturan yg berlaku bagi bank konvensional dengan bank syariah.[6] Mengingat luasnya substansi perbankan syariah (misalnya, perizinan, kepemilikan, bentuk badan hukum, struktur organisasi, manajemen permodalan, jenis kegiatan usaha, cakupan misteri bank, evaluasi kesehatan bank, pengawasan syariah, pasar keuangan, instrumen pasar uang, likuidasi, dan sanksi pidana), Dhani Gunawan menyimpulkan bahwa keberadaan perbankan syariah memerlukan landasan hukum yg kuat pada bentuk undang-undang.[7] 

Pada 7 Mei 2008, berlaku UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menjadi dasar hukum pengembangan instrumen keuangan syariah. Dengan diakuinya SBSN menjadi cara lain instrumen pembiayaan aturan negara, maka sistem perundang-undang nasional telah menaruh landasan aturan bagi upaya memobilisasi dana publik secara luas berdasarkan prinsip syariah. Upaya pengembangan instrumen pembiayaan tersebut bertujuan buat: (1) memperkuat dan menaikkan sistem keuangan berbasis syariah pada pada negeri; (2) memperluas basis pembiayaan aturan negara; (tiga) membentuk bench mark instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5) mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri juga luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; serta (6) mendorong pertumbuihan pasar keuangan syariah pada Indonesia.[8] SBSN (Sukuk Negara) yang adalah surat berharga dari prinsip syariah, sebagai akibatnya banyak sekali bentuk akad sukuk yg dikenal pada ekonomi syariah (ijarah, mudharabah, musyarakah, istishna’, serta lain-lain) bisa diterapkan dari UU No. 19 Tahun 2008. 

Perkembangan aktivitas usaha dari prinsip syariah yg dilakukan sang badan aturan perseroan terbatas merupakan salah satu alasan penggantian UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menggunakan UU No. 40 Tahun 2007. Perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha menurut prinsip syariah, selain mempunyai Dewan Komisaris wajib mempunyai Dewan Pengawas Syariah (DPS), yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. DPS bertugas memberikan nasihat dan saran pada Direksi dan mengawasi aktivitas Perseroan agar sesuai menggunakan prinsip syariah.[9] DPS sebagai organ perseroan yang mendampingi atau melengkapi Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan supaya aktivitas perseroan tidak melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip ekonomi syariah (umpama embargo riba - bunga uang atau return yang diperoleh dari penggunaan uang buat menerima uang - maysir - unsur spekulasi, judi, dan perilaku untung-untungan – dan gharar - unsur ketidakpastian yg antara lain denngan penyerahan, kualitas serta kuantitas. 

Sejalan dengan perkembangan legislasi syariah di atas, maka legislasi di bidang badan peradilan pula perlu “beradaptasi”. UU No. 7 Tahun 1989 mengenai Peradilan Agama sudah diubah dengan UU No. Tiga Tahun 2006. Salah satu pertimbangan yuridis bagi perubahan tadi adalah “perluasan kewenangan Pengadilan Agama” menggunakan alasan “sesuai menggunakan perkembangan hukum dan kebutuhan warga , khususnya rakyat muslim.” Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah.[10] Dengan demikian ruang lingkup yurisdiksi Pengadilan Agama mencakup bidang perkawinan, waris, wasiat, hadiah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.[11] 

Pemikiran dan Urgensi Kodifikasi Hukum
a. Pengertian Kodifikasi 
Dalam Bahasa Latin, code atau codex berarti “a systematically arranged and comprehensive collection of laws[12] yg berarti himpunan peraturan hukum secara lengkap yg disusun secara sistimatik. Maka kodifikasi (codification, codificatie,) berarti perbuatan atau pekerjaan mengkodifikasikan atau menghimpun hukum atau peraturan ke pada suatu buku hukum secara sistematik (to systematize and arrange (laws and regulations) into a code).[13]

Fockema Andreas mengartikan bahwa codificatie adalah: “Het samensellen en invoeren van systimatisch ingerichte wetboeken (codices) voor rechtsgebieden van enige omvang.[14]” (menyusun serta membawa masuk secara teratur dan sistimatik ke dalam kitab undang-undang pada bidang hukum menggunakan ruang lingkup yg luas). 

M.J. Koenen serta J.B. Drewes mengartikan codificatie menjadi vereniging van verschillende voorschriften tot een wet; het opstellen van een wetboek[15] (menyatukan aneka macam peraturan ke dalam suatu undang-undang; menyusun kitab undang-undang). 

Henry Campbell Black mengartikan bahwa:
  • codification merupakan the process of collecting aand arranging systematically, usually by subject, the laws of a state or country, or the rules and regulations covering a particular area or subject of law or practice.... The product may be called a code, revised code or revised statute.[16] (proses mengumpulkan serta menyusun secara sistematik hukum-aturan negara atau peraturan dan regulasi yg mencakup bidang eksklusif atau subyek (isi) hukum atau praktik, yg umumnya dari subyek (isi)nya. 
  • code sebagai a systematic collection, compendium or revision of laws, rules, regulations. A private or official compilation of all permanent laws in force consolidated and classified according to subject matter[17] (himpunan, kompendium, atau reveisi hukum secara sistematik. Kompilasi swasta atau resmi berdasarkan seluruh hukum yang berlaku permanen yang dikonsolidasikan serta dikelompokkan berdasarkan isinya. Maka code (antara lain) berarti buku undang-undang (wetboek). 
Dari berbagai kutipan definisi pada atas dapat disimpulkan bahwa kodifikasi merupakan proses menghimpun serta menyusun secara sistimatik banyak sekali aturan, regulasi atau peraturan pada bidang eksklusif yang ditetapkan oleh negara. Produk menurut kegiatan kodifikasi dapat berupa buku undang-undang (wet, code). 

Bagaimana membedakan atara kodifikasi dengan kompilasi (compilation)? Secara teknis yuridis ke 2 kata tadi agak sulit dibedakan. Tetapi menggunakan memperhatikan definisi tentang compilation dapat diketahui kata tadi berarti “a bringing together of preexisting statutes in the form in which they appear in the books, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in arrangement designed to facilitate their use.”[18] (membawa bersama-sama undang-undang yang ada sebelumnya dalam format yang timbul pada buku, menggunakan menghapus bagian-bagian yang telah dicabut dan penggantian dari perubahan dengan susunan yang dirancang buat menfasilitasi pemakaiannya). Jadi kompilasi dilaksanakan terhadap aneka macam anggaran yg telah terdapat sebelumnya (preexisting statutes) menggunakan mengungkapkan bagian mana (pasal atau paragraf) yg sudah dicabut berikut substitusi (penggantian)nya. 

Apakah kodifikasi atau kompilasi membuat suatu undang-undang atau peraturan yang sama sekali baru? Dari aneka macam definisi di atas terlihat bahwa kodifikasi dalam dasarnya bukanlah membuat undang-undang atau peraturan yang baru melainkan mengumpulkan dan menyusun peraturan yg sudah ada di bidang tertentu secara sistimatik. Tetapi pada perpestif sejarah, misalnya akan diuraikan di bawah ini, masih ada kesan bahwa kodifikasi berarti membangun suatu undang-undang atau peraturan.

b. Asal Usul Kodifikasi 
Mengkodifikasikan undang-undang adalah salah satu kegiatan pembangunan aturan yg merujuk kepada produk aturan abad ke 18 dan 19, yg ditandai menggunakan lahirnya Kodifikasi Napoleon yang diikuti menggunakan banyak sekali kodifikasi di Jerman, Belanda, Italia, dan Indonesia. Tetapi, sebenarnya kegiatan para ilmuwan aturan pada bidang kodifikasi sudah terdapat semenjak zaman Imperirum Romawi, jauh sebelum Masehi. 

Dalam filsafat aturan alam yg berlatar belakang Plato serta Aristoteles terdapat semacam teori bahwa kekuasaan yang dimiliki seorang raja dari dalam perjanjian yg dibuat dengan rakyat, yang intinya rakyat bersedia menyerahkan hak-hak mereka pada raja, setelah mereka bersepakat terlebih dahulu (pactum subjectionis) . Sebelum perjanjian itu dibuat mereka setuju lebih dahulu bahwa hak-hak mereka telah diserahkan pada koltivitas (pactum unionis). Sebelum paham aturan alam itu dikembangkan oleh Hobbes, Locke dan Rousseau yang seringkali dihormati sebagai bapak verdragstheorie, hukum rumawi yang membentuk hukum menggunakan memperhtikan faktor-faktor atau kondisi moral, politik, dan sosiologi warga . Hukum Rumawi yang religious serta agraris uyang dituangkan dalam normatif yuridis, pada arti aturan dilihat sebagai norma. Sejak awal hingga akhir, perkembangan hukum Rumawi adalah bersandarkan kodifikaasi, yaitu yang dimulai menggunakan kodifikasi yg diklaim twaalftafelen (meja atau batu hukum dua belas) serta diakhiri pula dengan kodifikasi yaitu yg dianggap Corpus Iuris Civilis.[19] 

Menurut Djoklosoetono, kodifikasi terbesar sepanjang sejarah hukum yg tidak terdapat bandingannya hingga sekarang, terjadi dampak adanya 2 lapisan masyarakat (standen) yang disebut Res Mancipi serta Emancipatio, yg diwujudkan dengan gerombolan (golongan) patriciers dana golongan plebeyers yang selalu terjadi permasalahan karena tidak ada persamaan hak. Golongan patriciers menguasai 

SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :

[1] Frank E Vogel & Samuel L. Hayes, Islamic Law and Finance – Religion, Risk, and Return, (The Hague, Kluwer International, 1998), hal. 4 - 5
[2] Marulak Pardede & Ahyar, Problem Dual Banking System, dalam Buletin Hukum Perbankan & Kebanksetralan Vol. Tiga – 1 April 2005, hal. 13
[3] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, A – Z Keuangan Syariah, penerjemah Aditiya Wisnu Abadi, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009), hal. Xxvii - xxviii
[4] Ibid
[5] Pasal 1 nomor 3 UU 10/1998
[6] Dhani Gunawan Idat, Analisis Yuridis Pembentukan Undang-Undang Perbankan Syariah, pada Buletin Hukum Perbankan serta Kebanksentralan, Vol. Tiga – 1 April 2005, hal. Dua - 3
[7] Ibid, hal. 11
[8] Penjelasan Umum alinea 2 UU 19/2008.
[9] UU 40/2007, Pasal 109, ayat (1), (dua) serta (tiga)
[10] Penjelasan Umum, alinea 2, UU 3/2006. 
[11] “Pasal 49 UU 3/2006.
[13] The American Haritage Dictionary, hal. 287
[14] Juridisch Woordenboek, 97
[15] Wolters’ Woordenboek Nederlands, hal. 263
[16] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[17] Black’s Law Dictionary, hal. 232
[18] Black’s Law Dictionary, hal. 258
[19] Djokosoetono, Ilmu Negara, Catatan Kuliah yg dihimpun sang Harun Alrasid, 2006, hal. 146 – 147.

NEOLIBERALISME REFORMASI ADMINISTRASI NEGARA SWATANTRA DESENTRALISASI

Neo-liberalisme, Reformasi, Administrasi Negara, Swatantra, Desentralisasi 
Desentralisasi telah berlangsung lebih dari satu dasa warsa di Indonesia. Seiring menggunakan genderang reformasi politik dan administrasi, terbitnya Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 22/1999, memindahkan urusan serta kewenangan dari pemerintah sentra ke pemerintah daerah menyebabkan perubahan sangat akbar pada rapikan interaksi pemerintah pusat-wilayah. Titik berat desentralisasi pada level pemerintah kabupaten/kota meredusir pola kekuasaan berpangku dalam pemerintah provinsi. 

Permasalahan demi permasalahan muncul seiring menggunakan merebaknya semangat, euphoria, suka cita pemerintah kabupaten/kota menikmati setiap sisi potensial kekayaan alamnya tanpa berpikir bahwa asal daya alam akan habis suatu waktu, memperluas kewenangannya walaupun buat itu harus bersinggungan menggunakan wewenang tetangganya. Konflik tersebut tidaklah belum pelik jika kita telisik lebih jauh, bahwa titik pertarungan paling krusial adalah desentralisasi belum dapat mengklaim kesejahteraan rakyat pada wilayah.

Namun demikian, masalah desentralisasi di masa kini berdasarkan penulis tidaklah spesial karena pada masa kemudian, tepatnya dalam periode masa pemerintahan transisi berdasarkan Republik Indonesia Serikat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan pemekaran, konflik kewenangan antar elit wilayah, pertentangan sentra serta daerah, selalu diwarnai sang politik uang, praktik cronyism, terjadi pulang pada masa kini . Pada akhirnya, reformasi administrasi negara melalui desentralisasi akhirnya seperti nir peduli masa kemudian.

Bagian goresan pena pada bawah ini akan membahas bagaimana selama melakukan reformasi administrasi negara pada hal desentralisasi cenderung melupakan sejarah pembentukan negara Indonesia pada masa lalu. Terlupakan atau sengaja melupakan sejarah berpengaruh akbar terhadap perseteruan pelaksanaan desentralisasi yang ketika ini menitikberatkan dalam wilayah kabupaten/kota. Dengan menguraikannya ke pada beberapa tahapan, yaitu: pertama, konsep desentralisasi: antara langit serta bumi; ke 2, desentralisasi periode transisi (1949-1950): pembelaran menurut sejarah; ketiga, desentralisasi periode reformasi administrasi negara; keempat, desentralisasi ditinjau menurut harapan dan kenyataan; kelima, perseteruan titik berat desentralisasi di kabupaten/kota; serta keenam, tinjauan kritis dalam kesalahan reformasi administrasi negara pada desentralisasi.

Konsep Desentralisasi: Antara Langit dan Bumi
Bila kita melihat ke belakang, peta politik dunia di tahun 1980an menerangkan bahwa revolusi neo-liberal merebak ke semua dunia. Revolusi tersebut menyerang kepercayaan perananan negara menjadi pengatur pada bidang kebijakan-kebijakan sosial serta ekonomi. Konsep welfare state dipertentangkan menggunakan konsep limited government yang diusung ideologi neo-liberal. 

Kejatuhan tembok Berlin pada Jerman semakin mengukuhkan kedigdayaan ideologi neo-liberal mengatasi sosialis, yang diakhiri menggunakan hancurnya episode perang dingin, menggunakan bubarnya negara sosialis komunis Uni Soviet pada tahun 1991. Sejalan dengan berakhirnya perang dingin, rejim otoriter di global ketigapun turut berakhir.

Neo-liberal membawa beberapa prinsip, antara lain adalah memaksakan keterbukaan pasar, memperkecil peranan negara, dan menegakkan demokrasi lebih kuat. Diharapkan, ketiga prinsip utama tersebut bisa menumbuhkan rakyat sipil kuat serta pemerintah skala mini tanpa campur tangan politis. Tujuan akhirnya adalah terciptanya good governance dengan agunan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam kehidupan sosial serta politik memperkuat sistem demokratis. 

Masyarakat sipil bertenaga bersama pemerintahan yang ukuran mini tanpa campur tangan politis merupakan prasyarat dari desentralisasi. Desentralisasi menginginkan peranan negara (sentra) kecil serta demokrasi bertenaga. Peranan negara kecil secara logika neo-liberal akan membuka pasar, menumbuhkan perekonomian karena terdapatnya persaingan usaha, yg selanjutnya akan menaikkan standar hidup masyarakat.

Pandangan neo-liberal seperti ini dipakai buat menjustifikasi pelaksanaan desentralisasi pada negara dunia ketiga mendapat tentangan berdasarkan Robison serta Hadiz (2004), yg menandakan kuatnya “sifat delusi dari pandangan neo-liberalis ini, dan menerangkan ketahanan oligarki-oligarki politis dan hemat pada Indonesia.”

Oleh karenanya perlu kita sadari bahwa konsep desentralisasi yang dihembuskan sang Barat tersebut sebenarnya adalah bentuk pendelegasian wewenang sentra ke daerah yg nir khusus. Sejarah desentralisasi di Indonesia cukup panjang buat menata struktur pendelegasian wewenang antara pusat serta wilayah, jauh sebelum ideologi neo-liberal merambah dunia. Sehingga, alasan bahwa desentralisasi diperlukan Indonesia buat menata kembali struktur kelembagaan formal di daerah yang mengakibatkan keruntuhan perekonomian Indonesia pada tahun 1997, merupakan tidak cukup. 

Nordholt dan van Klinken (2007) mengungkapkan bahwa, “merupakan terlalu simplisistis buat menyimpulkan bahwa negara pada Indonesia sudah melemah dari tahun 1998.” Mereka mendasarkan kesimpulannya menurut pengalaman banyak sekali negara berdekatan Indonesia yang terkena imbas krisis seperti Thailand yang sebelum kejatuhan perekonomiannya telah memiliki bangunan institutsi-institusi formal dan jaringan informal pada tiap provinsinya penuh dengan aktifitas ekonomi dan politik illegal dan kerap diwarnai menggunakan tindak kriminalitas. Pendapat tadi diperkuat sang Mc Vey (2000) serta Phongpaichit et al. (1998), keduanya mengungkapkan, bahwa birokrat, politisi, militer, polisi, dan penjahat memelihara hubungan yg intim sebagai akibatnya perbedaan profesi diantara mereka kabur. 

Sehingga Indonesia dalam tahun 1998 masih dapat dikatakan memiliki struktur kelembagaan daerah yg relatif memadai buat suksesnya desentralisasi. Persoalannya, mengapa desentralisasi di Indonesia justru mengundang lebih poly pertarungan ketimbang menuntaskan masalah.

Genderang desentralisasi terlanjut ditabuh, tidak terdapat langkah mundur bisa dilakukan sang pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Seperti halnya dikemukakan oleh Kent Eaton (2001) proses desentralisasi “selalu beranjak bolak baik pada dalam garis lurus desentralisasi [sehingga] desentralisasi selalu bukan adalah proses yg bisa dibalikkan, akan namun bisa dibalikkan apabila berkenaan dengan kewenangan antara pemerintah sentra serta daerah” (back and forth along the decentralization continuum.…decentralization is always not an irreversible process, but it is a reversible process between central and local regions) memberikan justifikasi bahwa Undang-undang Pemda Nomor 22/1999-pun bisa berubah seperti sekarang, yaitu menjadi Undang-undang Pemerintahan Daerah Nomor 32/2004. 

Perundangan baru, diklaim juga Undang-undang Otonomi Daerah, menebar kecurigaan di antara elit pemerintah kabupaten/kota yg selama ini sudah hidup menggunakan nyaman di bawah naungan perundangan lama . Ketenangan elit kabupaten/kota terusik mengingat Undang-undang Nomor 32/2004 kembali menarik wewenang pemerintah kabupaten/kota pada hal pengelolaan sumber daya manusia serta juga menggariskan secara jelas tata penyelenggaraan pemilihan ketua daerah dan titik singgung wewenang pemerintah provinsi serta kabupaten/kota yang selama berlakunya perundangan lama menjadi persoalan.

Perjalanan Undang-undang Nomor 32/2004 pula nir mulus. Selain kecurigaan yang terus tumbuh pada kalangan pemerintah kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat serta provinsi menjadi penanggungjawab wilayah administratif dan perpanjangan tangan pemerintah sentra, tinjauan yuridis atau judicial review terhadap pasal pemilihan kepala daerah (pilkada) menurut calon independen-pun bergulir di Mahkamah Konstitusi. Pengajuan tinjauan tadi dilakukan oleh pihak-pihak independen minus dukungan partai politik yg merasa dirugikan dengan proses pilkada, mengharuskan pencalonan ketua daerah menurut partai politik. Pasal tersebut bertentangan menggunakan semangat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yg menaruh kesempatan sama kepada setiap warga negara buat menduduki jabatan pemerintahan. Akhirnya Undang-undang Nomor 32/2004 diamandemen sebagian sebagai Undang-undang Nomor 12/2008.

Desentralisasi seperti bagai langit serta bumi, jauh antara asa denga kenyataan, bagi bangsa Indonesia, perubahan ke arah pemerintahan lebih demokratis di masa depan sebagai sekedar janji. Menurut Maria Dolores G. Alicias (2005), “kebijakan desentralisasi bertujuan mempercepat tercapainya tujuan-tujuan pembangunan dan demokrasi….melingkupi paling kurang empat hal: pertama, ekspansi partisipasi dalam aktivitas politik, sosial dan ekonomi yg emperkuat proses demokrasi; ke 2, perbaikan pemugaran pelayanan generik yang makin efisien dan efektif; ketiga, pemugaran kinerja pemerintahan daerah melalui pertanggungjawaban publik, transparansi atas proses-proses kerjanya dan responsif atas kebutuhan dan aspirasi warga ; keempat, perluasan akses dalam pengambilan keputusan politik bagi daerah dan grup yang terpinggirkan sehingga distribusi asal-asal makin merata.

Desentralisasi Periode Transisi (1949-1950): Pembelajaran Dari Sejarah
Praktek pemerintahan daerah pada saat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Indonesia mengalami pemerintahan dengan bangunan negara federasi. Republik Indonesia tidaklah berumur lama , lantaran susunan negara memang didesain oleh Pemerintah Belanda buat men-fait-a-compli pemerintah Negara Republik Indonesia (NRI) dalam ketika itu.

Pemulihan kedaulatan Indonesia dilakukan oleh Pemerintah Belanda dalam lepas 27 Desember 1949, dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi bentuk komitmen konvensi dalam Konferensi Meja Bundar. Di pada RIS, kedudukan NRI adalah keliru satu negara bagian penyusun RIS. Pemerintahan daerah diatur oleh masing-masing negara atau daerah bagian.

Pada transisi ini, pemerintah daerah mengalami dualisme kebijakan, yaitu pemerintah negara bagian Republik Indonesia (RI), berkedudukan di Yogyakarta, menjalankan pemerintahannya berdasarkan Undang-undang Nomor 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah. Sedangkan di akhir masa berlakunya RIS, sebelum penggabungan menggunakan NRI, Negara bagian yg tergabung dalam Negara Indonesia Timur (NIT) mengeluarkan peraturan utama tentang pemerintahan daerah yaitu Undang-undang NIT Nomor 44/1950. Peraturan baru tadi menjelaskan bahwa ada 13 wilayah–wilayah yang telah terbentuk dengan peraturan yg dianggap Regeling tot vorming v/d Staat Oost-Indonesia.

Pada tanggal 17 Agustus 1950, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikembalikan, dengan meleburkan antara pemerintah RIS dengan NRI, diawali menggunakan penggabungan negara bagian Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan lainnya. Selain itu, penggabungan diupayakan supaya pemberontakan yg ada untuk memecah belah persatuan Indonesia seperti peristiwa Westerling pada Bandung, Andi Azis pada Makassar, dan Soumokil pada Maluku Selatan, tidak bermunculan di daerah lainnya.

Untuk lebih lengkapnya, ikhtisar pemerintahan wilayah pada masa pemerintahan RIS, hasil konferensi Meja Bundar, adalah menjadi berikut:

Sumber: Diolah menurut Muslimin (1960: 44).

Sejarah negara federasi sebagai NKRI menandai berakhirnya upaya Belanda mengembalikan atau mempertahankan kekuasaannya pada Indonesia. Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22/1948 mengenai Pemerintahan Daerah, maka perbedaan antara cara pemerintahan pada kepulauan Jawa-Madura serta wilayah pada luar Jawa-Madura sedikit demi sedikit dihilangkan. Secara garis akbar, pemerintah wilayah pada Indonesia pada tahun 1950 merupakan sebagai berikut:
  • Daerah Indonesia dibagi pada 8 provinsi yg dikepalai oleh seseorang Gubernur. Provinsi ini hanya wilayah administratif saja. 
  • Daerah provinsi dibagi pada daerah-wilayah karesidenan. Oleh karena belum ada ketentuan baru tentang batas-batas dan jumlah karesidenan [sesuai Peraturan Peralihan UUD dan PP 1945 No. 2], jumlah karesidenan berdasarkan batas-batas yg usang masih dilanjutkan, sebelum diadakan peraturan atau perubahan baru. 
  • Disamping Gubernur serta Residen diadakan Komite Nasional Daerah, yg asalnya hanya badan Pembantu dari Gubernur dan Residen. (Muslimin, 1959: 28). 
Di masa transisi menurut RIS kembali ke bangunan NKRI, desentralisasi pada masa sesudah kemerdekaan lebih diwarnai oleh derasnya arus desentralisasi politis dibandingkan dengan desentralisasi fungsional juga kebudayaan. Dengan demikian, NKRI menggunakan semua aturan-aturan yang diwarisinya menurut RIS walaupun mengundang konsekuensi terdapatnya kebijakan tumpang tindih tentang pemerintahan daerah, terhitung mulai menurut Undang-undang Nomor 22/1948, Undang-undang NIT Nomor 44/1950, dan terakhir SGO, SGOB dan perundangan lainnya.

Baru selesainya enam setengah tahun kemudian, pada lepas 18 Januari 1957, terbitlah Undang-undang Nomor 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, berbicara tentang satu UU swatantra wilayah menggugurkan perundangan sebelumnya yang tidak beraturan. Daerah-daerah swatantrapun bermunculan, mengundang gejolak instabilitas politik di pada negeri lantaran adanya terlalu dipaksakan. UU baru belum memuat ketentuan mengenai isi tempat tinggal tangga daerah otonomi, belum ada perincian urusan, hanya menyebutkan bidang-bidang urusan secara generik. 

Dapat ditebak selanjutnya bahwa wilayah-daerah otonomi terutama di luar Jawa-Madura, belum berpengalaman sebagai akibatnya belum dapat bekerja karena tidak adanya penyerahan secara nyata wewenang menurut pemerintahan negara bagian RI di Yogyakarta yg sudah diambil alih sang NKRI sebagai pengganti RIS. Berseberangan menggunakan wilayah swatantra berdasarkan output bentukan NIT, wilayah-daerah tersebut diatur dengan memakai Undang-undang serta Peraturan Pemerintah lebih rinci sehingga penyerahan urusan-urusan dengan berpedoman urusan di Jawa-Madura, dapat segera dilaksanakan. 

Undang-undang Nomor 1/1957 mensyaratkan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bertanggung jawab terhadap pemilihan dari: 
  • Kepala Daerah, 
  • Ketua serta Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, 
  • Anggota Dewan Pemda (DPD). 
Masalah demi masalah desentralisasi pada pemerintahan daerah bermunculan seiring menggunakan perkembangan sejarah yg tidak dapat meninggalkan warisan sejarahnya. Namun, para petinggi negeri waktu itu putusan bulat bahwa anggaran yg simpang siur harus ditegaskan, sehingga perlu dibentuk keseragaman pada seluruh daerah Indonesia. Undang-undang Nomor 1/1957 telah berusahan menerangkan bisnis menyeragamkan atau uniformitet di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yg sangat berseberangan secara prinsip dengan otonomi rancangan Pemerintah Belanda di masa kemudian. Pemerintah Belanda menginginkan disparitas-disparitas perlakuan administratifdi dalam daerah-daerah otonomnya dengan memberlakukan peraturan berbeda, sebagai akibatnya mengakibatkan gejolak ketimpangan antara negara-negara bagian.

Tujuan menyeragamkan peraturan tentang pemerintahan daerah merupakan baik lantaran berusaha menghilangkan anasir-anasir jahat politik devide et impera Belanda terhadap daerah-daerah Indonesia. Perbedaan susunan administrasi pemerintah antara pulau ditiadakan, sehingga pemerintah NKRI bisa memulihkan kecurigaan akan adanya diskriminasi jilid II, menciptakan perbedaan antara satu wilayah menggunakan wilayah lainnya.

Walaupun begitu, perjalanan sejarah mewarisi cerita lain lantaran di saat transisi dari pemerintahan RIS ke NKRI, ternyata taraf kemajuan dan kemampuan wilayah bhineka. Inilah yang sering terlupakan oleh pemuka negeri yang begitu cepatnya ingin melakukan perubahan atau reform sehinga justru mengakibatkan sentimen subordinat pemerintah sentra terhadap daerah-wilayah kepulauan Indonesia.

Perbedaan jelas terlihat dari aplikasi pemerintahan di daerah otonomi Jawa-Madura, dimana wilayah-wilayah tadi sudah memiliki pengalaman menjalankan pemerintahan dari warisan administratif kolonial Belanda, yaitu adanya provinsi, kabupaten, dan desa otonom terutama pada Jawa, sudah mengalami pendemokrasian. Tidak demikian halnya dengan pada luar Jawa-Madura, pemerintahan mengalami kemunduran karena kekurangan modal dasar pemerintahan yg relatif kuat. Pembentukan daerah otonomi di luar Jawa-Madura hanya dilakukan menggunakan penggabungan wilayah-wilayah administratif tanpa menghiraukan wilayah-daerah otonomi lebih dahulu hidup pada sana.

Akibatnya wilayah-daerah swatantra luar Jawa-Madura terseok-seok perjalanannya, bahkan pada Sumatera, kabupaten-kabupaten kota akbar dan kota kecil yang seyogianya telah terbentuk berdasarkan hasil Undang-undang Nomor 22/1948, ternyata baru 7 tahun setelahnya terbentuk, yaitu di akhir tahun 1956. Kabupaten-kabupaten yang telah ada sebelumnya sesudah Indonesia merdeka tahun 1945, sudah ada, tetapi tidak berjalan lantaran kurang pengalaman, miskin energi pakar, serta kekeringan sumber daya keuangan sendiri.

Pembentukan wilayah otonomi pada daerah bekas NIT juga sama nasibnya dengan daerah di luar Jawa-Madura, namun lebih parah karena tidak ada sama sekali pembentukan daerah baru. Pembentukan wilayah swatantra lebih pada pertimbangan politis, melahirkan wilayah-wilayah tingkat I Aceh, Irian Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.

Pemerintah pusat mengalami kesulitan besar dengan ilham penyeragaman tersebut lantaran wilayah-wilayah swatantra pada luar Jawa-Madura nir menerima perlakuan adil, mengakibatkan kesalahpahaman, dianaktirikan, dan diulur-ulur waktu pada pembentukannya. Persoalan demikian nampaknya bukan merupakan sesuatu yang istimewa karena negara Indonesia masih belia, perlu poly belajar. Kecemburuan antara satu wilayah menggunakan wilayah lainnya akan memberikan pemahaman berharga akan bentuk desentralisasi yg lebih masuk akal pada hal proporsi kewenangan juga pengaturan batas daerah administratif pemerintahan wilayah.

Celakanya, mengapa persoalan desentralisasi di masa pemerintahan transisi RIS ke NKRI justru terulang di masa reformasi administrasi negara, tepatnya 58 tahun setelah insiden sejarah berlalu? Mengapa terdapat stigma kesenjangan pembangunan antara pusat dan wilayah? Mengapa jua, desentralisasi periode reformasi administrasi negara justru memunculkan kecurigaan daerah akan kembalinya kekuasaan pusat terhadap daerah? Dan terakhir, mengapa pula banyak bermunculan ketidakpuasan wilayah sebagai akibatnya menginginkan dirinya buat lepas berdasarkan NKRI? Apakah desentralisasi di masa kini , saat reformasi administrasi negara ditegakkan, lupa belajar berdasarkan sejarah?

Desentralisasi Periode Reformasi Administrasi Negara: Lupa Belajar Dari Sejarah
Seperti sudah dijelaskan pada bagian tulisan sebelumnya bahwa taktik desentralisasi di Indonesia adalah buah berdasarkan adopsi ideologi neo-liberalisme di global, terutama pada negara-negara Amerika Latin, Afrika, Eropa Timur, dan Asia. Institusi internasional yg gencar mensosialisasikan desentralisasi merupakan World Bank menggunakan janji desentralisasi akan merangsang ekonomi serta demokrasi.

Di Indonesia, ideologi neo-liberal bertemu menggunakan gerakan reformasi pasca kejatuhan Orde Baru, membentuk bentuk desentralisasi seperti tahun 1950an. Bedanya, titik berat desentralisasi kali ini berada pada tingkat kabupaten/kotamadya bukan di provinsi. Dapat dibayangkan bahwa pergeseran titik berat desentralisasi menurut provinsi ke kabupaten/kota membawa impak pada proses fragmentasi politis. Dampak kurang menyenangkan ini sering dianggap sebagai konsekuensi berdasarkan strategi devide et impera atau divide and rule pemerintah pusat terhadap daerah menggunakan maksud: membangun fragmentasi administratif serta mempertahankan kontrol fiskal di sentra.

Di titik ini, tampaknya pemerintah mengalami amnesia, lupa dalam sejarah, karena demikian hebatnya goncangan perkawinan antara ideologi neo-liberal menggunakan gerakan reformasi, sebagai akibatnya problem-problem tidak khas desentralisasi di masa kemudian timbul balik serta dianggap menjadi suatu yang unik pada masa sekarang. Perpindahan secara cepat pola administrasi pemerintahan tersentralistis sebagai desentralisasi mengabaikan aneka dilema di daerah, termasuk harapan kuat buat menyeragamkan aturan desentralisasi dimana daerah-daerah memang sejatinya tidaklah seragam.

Di periode reformasi administrasi negara, konflik lama kerap timbul pada dalam pelaksanaan desentralisasi, terutama menguatnya tarik menarik antara wewenang sentra serta wilayah. Penetapan titik berat desentralisasi pada daerah yg dulunya bernama tingkat II atau kini diklaim hanya menjadi kabupaten/kota saja menyisakan beberapa kegundahan akan ketepatan pengambilan kebijakan desentralisasi pasca kejatuhan Orde Baru.

Memang ironis, bahwa upaya buat membangun administrasi negara yang terkini yang misalnya diinginkan sang Max Weber, terbangun berdasarkan kelas birokrasi rasional, bertumpu pada aspek profesionalitas dan prestasi menjadi public servant, ternyata masih sulit buat dibangun. Sepanjang era reformasi, birokrasi terutama pada daerah malah kian terperangkap sebagai alat politik partisan. Apalagi sumber rekrutmen kepemimpinan birokrasi wilayah mulai Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, sampai Bupati/Wakil Bupati, nir terlepas berdasarkan jaringan dukungan parpol.

Pada awalnya, Departemen Dalam Negeri menggunakan UU Nomor 22/1999 merancang devolusi kekuasaan agar pemerintah lebih dekat dengan warga serta memperbesar tingkat transparansi. Hal ini serupa dengan UU Nomor 1/1957, dimana saat itu pemerintah berpikiran bahwa para gubernur, bupati serta walikota nir lagi ditunjuk pusat, akan namun dipilih oleh parlemen wilayah. Bahkan rencananya, pemerintah wilayah selanjutnya akan dipilih pribadi oleh warga . UU Nomor 1/1957 memperbolehkan adanya partai politik pada wilayah, membuka kesempatan para pemain politik lokal buat masuk ke pada pemerintahan. Sedangkan UU Nomor 22/1999 nir menyinggung masalah partai politik daerah.

Sedikit demi sedikit UU Nomor 22/1999 memunculkan persoalan antara lain adalah besarnya kesempatan terjadinya money politics, lantaran ketua wilayah yang otonom akan leluasa memakai kekuasaannya buat korupsi dan DPRD sebagal forum perwakilan daerah memiliki kekuasaan mengganti kepala wilayah menurut seleranya. Kedua kewenangan elit lokal ini menjadi pangkal penyakit desentralisasi di tahun 1999.

Oleh karenanya juga, pemerintahan Presiden Megawati memandang bahwa desentralisasi dalam keadaan yang membahayakan sehingga UU Nomor 22/1999 harus dirubah (diganti) menggunakan UU baru yang selanjutnya sebagai UU Nomor 32/2004. Malley (2004) berkata bahwa pemerintahan Megawati “tidak hanya sekedar mengamanemen tapi mengganti sama sekali” perundangan mengenai desentralisasi, dengan melakukan: pelucutan terhadap kekuasaan bupati yang dapat diberhentikan oleh sentra bila terbukti korupsi atau membahayakan keamanan serta DPRD sehingga nir dapat membarui bupati/walikota sesuka hatinya.”

Titik berat desentralisasi dalam wilayah kabupaten/kota menyisakan dilema diantaranya yaitu:
  • munculnya ketegangan horizontal wilayah kaya versus miskin karena masing-masing daerah mementingkan wilayahnya sendiri dan bahkan bersaing satu sama lain dalam mengumpulkan PAD misalnya; 
  • perbedaan tajam antara kompetensi SDM pusat lawan daerah; 
  • banyaknya birokrat wilayah yg pasif menunggu instruksi atasan ketimbang berinisiatif menjalankan pekerjaannya; 
  • DPRD menjadi sangat lamban pada bekerja, terlebih lagi mereka memprioritaskan gaji sendiri buat kepentingan pengembalian dana ke kas partai serta jua memperbesar anggaran bepergian dinas; 
  • Pemerintah daerah menjadi mesin pembelanjaan (Ray dan Good Paster, 2005); 
  • Beban keuangan wilayah dari pajak ekstra nir memperhatikan lingkungan; 
  • Tidak adanya koordinasi pada taraf supra-regional, garis batas tanggung jawab antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sangat kabur; 
  • Merebaknya politik bukti diri yg ditandai menggunakan menguatnya egoisme sektoral karena pembangunan bertumpu dalam asas dekonsentrasi dan bersifat sektoral. 
  • Peranan polisi sebaga penjaga keamanan dan ketertiban serta tentara sebagai penjaga persatuan serta kesatuan pada wilayah terabaikan. 
Desentralisasi ternyata nir menciptakan birokrasi pemerintahan kabupaten/kota belajar, terbukti menurut banyaknya bupati/walikota yang nir mempunyai kemampuan teknis menyusun Propeda (Program Pembangunan Daerah). Banyak diantara mereka harus mengontrak konsultan, yg dalam akhirnya membengkakkan porto pengeluaran, buat merancang visi, misi, serta strategi daerah sinkron menggunakan potensi, sumberdaya, serta masalah wilayah. Terlebih lagi kuallitas SDM pada daerah masih rendah sebagai akibatnya tidak sanggup mendongkrak penguatan kelembagaan daerah.

Kedua UU berbicara tentang desentralisasi yg menitikberatkan pada daerah kabupaten/kota dengan pertimbangan:
  • mendekatkan pelayanan publik pemerintah kepada rakyatnya; 
  • cakupan wilayah provinsi terlalu luas serta kelembagaannya terlalu besar dalam mendorong roda ekonomi menuju pasar bebas; 
  • demokrasi bisa tumbuh lebih baik jika pemerintahannya berskala kecil; 
  • partisipasi masyarakat sipil pada pembangunan bisa lebih aktif karena dekat dengan pemerintah serta pengusaha (good governance); 
  • daerah kabupaten/kota umumnya, walau nir semuanya, memiliki pusat-pusat kekuatan ekonomi yg sudah dikelola dengan baik, seperti halnya sumber daya alam, kebudayaan, dan lainnya; 
  • kesejahteraan masyarakat bisa lebih diperhatikan sang pemerintah; 
  • penciptaan lapangan pekerjaan pada wilayah terutama pada bidang administrasi pemerintahan bisa menyerap angkatan kerja berasal berdasarkan putra daerah. 
Sebaliknya apabila titik berat desentralisasi diberikan kepada provinsi, terdapat beberapa pertimbangan pemerintah pusat bahwa:
  • desentralisasi dalam wilayah berskala luas akan menjauhkan kontrol pusat terhadap daerah; 
  • pusat akan kesulitan mengintervensi kebijakan provinsi yang sudah demikian otonomnya sehingga memungkinkan mempertajam hasrat berpisah berdasarkan NKRI; 
  • pertimbangan politis bahwa provinsi akan mengalami kendala mendistribusikan kewenangan serta kesejahteraan secara adil terhadap kabupaten/kota pada bawahnya karena demikian luasnya cakupan kewenangan yang dimilikinya; 
  • adanya kekhawatiran tidak meratanya distribusi asal daya insan yang bisa mengelola wilayah lantaran terpusat pada provinsi; 
  • masyarakat akan dirugikan karena pemerintah provinsi akan fokus pada membagi-bagi wewenang ketimbang memperhatikan aspirasi rakyat dan pertumbuhan demokrasi pada tiap bagian penyusun provinsi. 
Secara garis akbar, reformasi administrasi negara di dalam desentralisasi pemerintahan, ternyata belum membawa impak positif bagi warga , memperpendek rantai wewenang antara sentra serta daerah. Kontribusi desentralisasi pada mensejahterakan rakyat juga tidak kunjung terealisasi.

Memang penitikberatan desentralisasi pada kabupaten/kota masih belum mengembirakan. Banyak sekali problem yg harus dibenahi bersama-sama antara pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten/kota sendiri. Desentralisasi agaknya masih mengecewakan, karena tidak dan merta mengakibatkan demokratisasi, good governance, serta penguatan rakyat sipil di taraf daerah. 

Namun demikian, desentralisasi bukanlah proses irreversible, ingat proses yg tidak bisa dikembalikan, bukan pergeseran wewenang antara pusat serta wilayah. Sehingga, agar desentralisasi sukses, hal yg perlu dilakukan adalah menata pulang kelembagaan desentralisasi beserta kewenangan menggunakan memperhatikan aspirasi warga bukan semata-mata kepentingan pemerintah saja.

HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM NASIONAL DAN INTERNASIONAL

Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Nasional Dan Internasional 
Wacana ham terus berkembang seiring menggunakan intensitas pencerahan insan atas hak dan kewajiban yg dimilikinya, gerakan diseminasi ham terus berlangsung bahkan menembus batas-batas teritori sebuah negara. Para pakar memberikan julukan pada abad XX ini sebagai jaman hak asasi insan, sebagaimana yang disampaikan oleh Manfred Nowak serta Ruth Gavinson : the twentieth century is often described as ”the age of rigths”. 

Bagi Indonesia, perihal Ham diterima, di pahami serta diaktualisasikan dalam bingkai formulasi kebijakan dan sosio politis yg berkembang, dan mementum yg semakin mengokohkan agunan terhadap hak asasi manusia adalah waktu dimasukannya perlindungan ham dalam perubahan konstitusi indonesia saat reformasi. Kondisi ini sekaligus diyakini menjadi warta sejarah sekaligus sebagai starting poin bagi penhuatan demokrasi yg berbasis perilindungan HAM.

Dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yg selanjutnya disebut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 tertulis:

“Everyone is entitled to all rights of freedom ... Without discrimation on any kind, such as race , colour, sex, language, religion or other opinion, national or sosial origin, property, birth or other status”

Secara generik hak asasi manusia diberi pengertian menjadi hak yang inheren pada diri manusia yg merupakan anugerah Tuhan semenjak insan lahir, sehingga tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Hak asasi insan (selanjutnya disingkat HAM) ini tidak boleh tidak wajib inheren dalam insan, lantaran apabila tidak; manusia akan kehilangan sifat humanisme serta keluhurannya.

Dari pengertian di atas, lalu lahirlah paham persamaan kedudukan serta hak atas umat insan dari prinsip keadilan yg menaruh pengakuan bahwa manusia mempunyai hak serta kewajiban yang sama tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, agama, status sosial dan sebagainya. Maka pada sejarah kehidupan politik, manusia kemudian melakukan perjanjian (kontrak) buat membentuk negara guna melindungi kepentingan-kepentingan atau hak-hak mereka. Menurut Ralp Cranshaw: Hak asasi insan adalah hak yang inheren menggunakan eksistensi kita menjadi manusia. Hak-hak ini memungkinkan kita mengembangkan diri serta memenuhi kebutuhan kita menjadi insan. Hak-hak ini pula melindungi kehidupan, keutuhan fisik serta psikologis. 

Leach Levin seorang aktivis hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemukakan bahwa konsep hak asasi insan terdapat dua pengertian dasar, yaitu : Pertama, bahwa hak asasi manusia nir mampu dipisahkan serta dicabut, hak asasi insan merupakan hak insan lantaran ia seseorang insan. Hak adalah hak-hak moral yg berasal berdasarkan kemanusiaan setiap insan serta hak-hak itu bertujuan buat menjamin martabat setiap manusia (Natural Rights). Kedua, hak asasi manusia adalah hak-hak berdasarkan hukum, yang dibuat melalui proses pembentukan hukum berdasarkan warga itu sendiri, baik secara nasional maupun secara internasional. Dasar dari hak-hak ini merupakan persetujuan dari yg diperintah, yaitu persetujuan menurut para rakyat negara, yang tunduk kapada hak-hak itu serta nir hanya tata tertib alamiah yg adalah dasar menurut arti yg pertama.

Perjuangan atas penegakan HAM sudah berlangsung berabad-abad yang melahirkan poly sekali instrumen HAM yang bercorak lokal/kaukus. Puncak atas usaha ini adalah dengan lahirnya The Universal Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948 yg kemudian menjadi acuan atau bahan rujukan negara-negara pada global dalam membentuk instrumen HAM. Kesadaran dan pemahaman akan HAM, terutama pengakuan dan penghormatannya dalam kehidupan bermasyarakat serta berpolitik bhineka pelaksanaannya. Semuanya bertolak berdasarkan perumusan HAM yg sangat tergantung dalam situasi serta kondisi negara-negara yang bersangkutan, terutama aspek sosiokulturnya.

Permasalahan HAM ketika ini telah sebagai sorotan utama global internasional dalam kaitannya menggunakan kehidupan berbangsa serta bernegara. Wawasan HAM pada dimensi global selalu dikaitkan dengan hak-hak politik, sosial, ekonomi serta kehidupan budaya. Nanang Pamuji Mugasejati serta Ucu Martanto, mengutip Robertson dan Giddens mengartikan globalisasi sebagai pemadatan dunia dan intensifikasi kesadaran dunia sebagai satu holistik atau intensifikasi rekanan-relasi sosial seluruh global yang menghubungkan lokalitas-lokalitas berjauhan sedemikian rupa sebagai akibatnya insiden-peristiwa di suatu loka ditentukan sang insiden lain yang terjadi bermil-mil jaraknya menurut situ dan demikian sebaliknya.

Sejak para filosof Yunani, hingga kebudayaan timur, khususnya Islam sudah ikut andil dalam menciptakan aturan bangsa-bangsa yang berkembang di Romawi. Penjabaran hak-hak hukum, sosial dan politik masyarakat negara, baik secara individual maupun kolektif sudah sedemikian rupa diatur. Tetapi pada realisasinya, menurut dulu hingga kini , HAM seringkali sangat bergantung dalam willingness of the states. Begitu jua ajaran agama dan budaya setempat sudah sangat mensugesti perilaku warga terhadap HAM. 

Timbulnya disparitas persepsi HAM antara masyarakat Barat dan Timur, khususnya Asia Tenggara pertanda adanya impak positif pada luar aspek-aspek HAM itu sendiri. Djawahir Thontowi menguraikan, disparitas persepsi HAM Barat dan Timur yang terjadi lantaran adanya perbedaan formulasi dalam arti, konsep, praktik dan pula kepentingan-kepentingan penguasa.

Konsep negara terbaru mensyaratkan adanya demokrasi, rule of law serta proteksi HAM. Indonesia sebagai negara aturan telah memiliki instrumen-­instrumen HAM. Dalam sejarah ketatanegaraan RI, telah banyak dikenal banyak sekali dokumen konstitusional juga peraturan perundangan yg memuat nilai serta kebiasaan penegakan HAM, termasuk dalam konstitusi seperti Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS serta Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. 

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi berupa kegunaan-kegunaan sebagai berikut:
a. Memberi sumbangan pemikiran tentang proteksi HAM dalam konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sehingga diharapkan sanggup memberi kontribusi positif bagi upaya menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya penegakan aturan pada bidang HAM. 
b. Menambah bahan surat keterangan mengenai konstitusi serta HAM, sebagai akibatnya selain membantu pembaca memahami permasalahan konstitusi dan HAM, pula diperlukan bisa menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya yg mengarahkan perhatian pada globalisasi serta pengaruhnya dalam kehidupan kenegaraan Indonesia.

Menurut pengetahuan peneliti, selesainya mengadakan pengamatan, maka penelitian mengenai dinamika pengaturan HAM pada konstitusi Indonesia, UUD 1945 dalam perspektif globalisas, belum pernah dilakukan.

Namun demikian, kajian-kajian mengenai HAM dan konstitusi sudah poly dilakukan. Misalnya Muladi dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana yang membahas HAM berkaitan menggunakan aturan pidana secara generik, tidak sampai pada pembahasan HAM yg berkaitan menggunakan konstitusi. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, karya Gunawan Setiardja, isinya meninjau proses terbentuknya Pancasila serta hukum dasar UUD 1945 hingga pada pembahasan pemuatan HAM dalam konstitusi. 

Kemudian kitab Saafroedin Bahar Hak Asasi Manusia Analis Komnas HAM serta Jajaran Hankam/ABRI berisi tentang apa saja yang menjadi pedoman penerapan HAM, mampukah Komnas HAM sebagai penegak HAM serta bagaimana pandangan ABRI dalam berbagai masalah HAM. Buku Demokrasi, HAM serta Masyarakat Madani adalah karya Tim ICCE UIN Jakarta yang berusaha memaparkan serta mensosialisasikan demokrasi serta HAM pada tengah arus transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (civilitezed democracy). 

Selanjutnya, Muh. Budairi Idjehar dalam kitab HAM Versus Kapitalisme berupaya menginspirasi membentuk bangsa pada perspektif demokrasi dan HAM dan memberikan perlawanan kapitalisme melalui gerakan HAM serta Bagir Manan dkk dalam Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM pada Indonesia menyimpulkan bahwa HAM di Indonesia sudah dikenal semenjak 1908, serta menelaah perlunya pemajuan HAM dan perlunya pemerintah mengambil langkah konkret pada masalah degradasi HAM.

Hestu Cipto Handoyo, dalam Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan serta Hak Asasi Manusia, menguraikan implementasi prinsip-prinsip demokrasi pemerintahan, hak asasi insan pada kehidupan ketatanegaraan di Indonesia. Melalui bukunya, Hestu ingin memahamkan proses konsolidasi sistem demokrasi pada Indonesia secara luas.

Dalam Mendudukkan UUD, Satjipto Rahardjo melakukan penelusuran terhadap konstitusi menjadi suatu tipe perundang-undangan yg spesial serta membawanya ke ranah ilmu hukum yang tidak hanya berkutat pada perundang-undangan, melainkan pada konteks yg lebih luas, yaitu hukum serta masyarakatnya. 

Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945, karya Ni’matul Huda, difokuskan dalam menelaah hasil-output perubahan ketatanegaraan Indonesia khususnya lembaga kepresidenan, Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dilema-persoalan lain yang melingkupi Mahkamah Konstitusi dan pengujian terhadap undang-undang.

Hendarmin, dalam bukunya Dinamika Konstitusi Indonesia, menilai serta mengevaluasi apa saja yang sesungguhnya terjadi dengan konstitusi yg sempat berlaku dan sedang diberlakukan pada Indonesia. Sementara, Menengok Sejarah Konstitusi Indonesia, karya Anhar Gonggong memberi citra singkat mengenai sejarah konstitusi Indonesia, sekaligus memberi pemahaman tentang makna strategis berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Dimyati Hartono, pada Problematik serta Solusi Amandemen UUD 1945 memandang problem amandemen menyangkut keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta implementasi berdasarkan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat tadi yg nir konsisten karena menggunakan pendekatan yg praktis, pragmatis, simplitis dan parsial pada memahami serta melakukan amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Rekomendasi berdasarkan kitab ini antara lain adalah melakukan lagi perubahan Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan dasar landasan, tujuan yang sinkron dengan jiwa Proklamasi 17 agustus 1945 menggunakan memberlakukan pulang UUD 1945 maupun penjelasannya, sedangkan dinamika dan tuntutan kebutuhan hayati bermasyarakat, berbangsa, bernegara disusun dalam bentuk amandemen.

Sementara, buku karya Jimly Asshiddiqie Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, adalah sumber yang membahas sejarah mula konstitusi serta sejarah konstitusi Indonesia hingga pada pembahasan nomokrasi serta demokrasi. Dan, Naskah Undang-Undang Dasar 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, karya Harun Alrasid, berisi naskah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum serta selesainya amandemen menurut amandemen pertama hingga amandemen keempat disertai analisis tajam mengenai proses serta hasil amandemen itu sendiri.

Penelitian Udiyo Basuki, dkk, “Konstitusionalisme HAM Indonesia (Kajian Yuridis atas Dinamika Pengaturan HAM Indonesia Pasca-Amandemen UUD 1945)” mengurai penerangan impak amandemen UUD 1945 terhadap pengaturan HAM di dalamnya serta mengungkapkan pengaruhnya terhadap pengaturan HAM pada peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Suparman Marzuki dalam bukunya Pengadilan HAM pada Indonesia Melanggengkan Impunity menyebutkan, perubahan politik sudah membangkitkan asa akan tuntasnya berbagai perkara pelanggaran HAM masa lalu. Pada kenyataannya, itu hanya asa semu. Dengan keluarnya UU Peradilan HAM ataupun peradilan HAM ad hoc tumbuh keyakinan atas terbitnya keadilan. Dikatakan asa yg semu lantaran prosesi pradilan seperti ritual yang kaya simbol, namun miskin makna. Peradilan malah sebagai pelindung dan medan pembelaan para penjahat HAM. Tidak saja ini mengacuhkan keberadaan korban, tetapi jua jadi loka untuk menyucikan kembali motif serta tindakan pelaku.

Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, karya Bahder Johan Nasution menyampaikan, telah semenjak lama problem negara hukum serta hak asasi insan, selalu diperbincangkan dikalangan ahli-pakar hukum ketatanegaraan dan dikalangan para pemikir-pemikir politik. Tujuannya untuk mencari suatu konsep yg ideal, tentang negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia yg dianggap ideal, selalu menjadi perdebatan. Terlebih hak asasi manusia tak jarang dipahami secara dangkal lantaran hanya dipercaya sebagai panduan moral semata-mata. Pemahaman yg demikian adalah pemahaman yang keliru, pemahamannya bukan hanya pada tatanan moral akan tetapi juga pada tatanan aturan. Kenyataan menunjukkan dampak pemahaman yg dangkal terhadap hak asasi insan, penghormatan serta penegakan terhadap hak asasi tadi acapkali tidak dilaksanakan secara sempurna sebagaimana dicita-citakan oleh negara hukum.

Harifin A. Tumpa dalam bukunya Peluang serta Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, menyebutkan, hak asasi manusia adalah perwujudan eksistensi serta kemandirian seorang sebagai seorang insan. Yang harus dihormati serta dijaga kehormatannya, sebagai akibatnya bisa bertahan berdasarkan bernalitas pragmatis kekuasaan, ambisi, dan impian, dan sebagai landasan yang bertenaga bagi pembentukan sebuah bangsa yg demokratis dan ideal, karena hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada dalam diri langsung individu, dan hak ini adalah hak yang paling mendasar bagi setiap individu buat berdiri serta hidup secara merdeka pada komunitas-komunitas warga . 

Tragedi Politik Hukum serta HAM, karya Suparman Marzuki menyebutkan, memutus rantai politik otoriter hanya bisa apabila melalui jalan penegakan HAM. Pengalaman poly negeri membawa bukti bahwa penegakan HAM sudah menancapkan episode masa depan politik yang demokratis, menghormati hak dan melindungi minoritas. Akan tetapi, pada fenomena Indonesia mengalami peristiwa dalam upaya menembus keadilan. Praktek penegakan HAM meluncur dalam serangkaian pengadilan yang nir membawa pelaku serta nir bisa mengembalikan keadilan.

Mien Rukmini dalam bukunya yg berjudul Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Pradilan Pidana pada Indonesia, mengungkapkan, di pada UUD 1945 tidak ada satu pasalpun yg secara tegas mencantumkan asas praduga tidak bersalah, berbeda dengan KRIS 1949 serta UUDS 1950, yaitu pada dalam pasal 14 ayat (1). Meskipun demikian, keberadaan asas tersebut sudah ditemukan serta diatur dalam Pasal 8 UU No.4 Tahun 1970 sebagaimana sudah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta di pada pasal 18 UU No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Berbeda dengan asas persamaan kedudukan pada hukum, asas ini secara tegas diatur baik di dalam KRIS 1949 serta UUDS 1950 maupun UUD 1945 yaitu pada pada pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

METODOLOGI PENELITIAN 
A. Pendekatan 
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Yuridis, yaitu menyelidiki konsep normatif atau peraturan perundang-undangan pada hal ini, Undang-Undang Dasar 1945 mengenai HAM. Empiris, yaitu menelaah fenomena empiris yang berpijak pada fenomena, pada hal ini empiris globalisasi yg menghipnotis konsep pemikiran HAM.

2. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan memakai data berupa dokumen-dokumen, kitab -buku, artikel serta bahan-bahan hukum lainnya yg berkaitan dengan konstitusionalisme dan hak asasi insan. Dalam pelaksanaannya, mengingat banyaknya kepustakaan yg hendak diteliti, penelitian ini akan melibatkan dua mahasiswa. 

3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu penelitian buat menyelesaikan masalah demgam cara menggambarkan perkara melalui pengumpulan, penyusunan dan penganalisisan data, kemudian dijelaskan serta selanjutnya diberi penilaian

4. Data Penelitian 
Data yang dipakai pada penelitian ini meliputi data primer, data sekunder serta data tersier, yaitu:
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yg mencakup:
1) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 yg asli
2) Naskah Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen pertama hingga amandemen keempat
3) Berbagai peraturan perundang-undangan tentang HAM
4) Berbagai kitab mengenai globalisasi

b. Data sekunder, yaitu bahan aturan yang memberi penerangan mengenai bahan primer, meliputi buku-buku hukum, buku-buku mengenai globalisasi, hasil penelitian, jurnal, makalah dan literatur lain yg berkaitan menggunakan fokus penelitian, baik tentang hukum secara generik, HAM, konstitusi serta globalisasi.

c. Data tersier, yaitu bahan yang memberi petunjuk atau penerangan terhadap bahan utama serta bahan sekunder, mencakup:
1) Kamus hukum
2) Ensiklopedi hukum
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia

5. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif, nir menggunakan angka-nomor , rumus-rumus dan penghitungan eksakta lainnya sebagai alat bantu analisis.

B. Landasan Teori
1. Globalisasi: Kesejagatan, Keniscayaan 
Globalisasi telah menjadi realita harian yang nir bisa dihindari. Prosesnya yang berlangsung sangat cepat serta kompleks dengan jangkauan aspek-aspek yang luas, tanpa dapat dilarang masuk ke semua bidang kehidupan umat insan. Globalisasi adalah proses multidimensional pada aspek sosial, ekonomi, politik, kultural yg bergerak secara ekstensif dan intensif ke dalam rakyat dunia. 

Globalisasi merupakan kata yg mengerikan menggunakan makna yg kabur, pertama digunakan pada 1960, serta sebagai mode yg makin terkenal dalam 1990. Bagi banyak pendukungnya dia adalah kekuatan tidak tertahankan yg diinginkan yang menyapu batas-batas, menjungkalkan pemerintahan-pemerintahan despot, memperlemah pemajakan, membebaskan individu, dan memperkaya apa saja yg disentuhnya. Bagi banyak penentangnya, beliau jua kekuatan tidak tertahankan, akan tetapi tak diinginkan. Menurut Anne Krueger, First Deputy Managing Director, Dana Moneter Internasional, Dalam kuliah John Binyhton, disampaikan pada australia dalam 2000 mendefinisikan globalisasi adalah sesuatu fenomena pada mana agen-agen ekonomi di bagian manapun di global jauh lebih terkena impak insiden yg terjadi di loka lain di global berdasarkan dalam sebelumnya.

Brink Lindsey pada bukunya Against the Dead Hand mendefinisikan istilah globalisasi dalam 3 makna yang tidak sama yaitu: Pertama, untuk mendeskripsikan fenomena ekonomi berdasarkan peningkatan integrasi pasar lintas perbatasan politik. Kedua, buat mendeskripsikan fenomena politik yang terbatas tentang runtuhnya rinntangan-rintangan yg dipasang sang pemerintah oleh arus internasional barang, jasa, dan kapital.

Secara harfiah global berarti sedunia, sejagat. Kata ini selanjutnya sebagai kata yang merujuk pada suatu keadaan pada mana antara satu negara dengan negara lain sudah menyatu. Batas teritorial, kultural, dan sebagainya telah bukan merupakan kendala lagi untuk melakukan penyatuan tersebut. Situasi ini tercipta berkat adanya dukungan tehnologi canggih pada bidang komunikasi, misalnya radio, televisi, telephon, faxsimile, internet dan sebagainya.

Globalisasi sebagai kelanjutan multinasionalisasi serta transnasionalisasi telah merobohkan batas-batas kebudayaan secara meluas lebih dari sekadar melintasi batas geografis administrasi antar negara. Proses ini berakibat manusia dengan rekanan-rekanan sosial budayanya sebagai sub-human pada pusaran pasar global global. Globalisasi bahkan adalah zenit menurut kapitalisme dunia pada penghujung abad ke-20 ini, yang memberikan kemungkinan akbar pada global kemanusiaan menjadi tersubordinasi dan terkooptasi sang mesin kapitalisme dunia yang keras serta serba melintasi. Sejumlah krisis kemanusiaan diduga akan semakin massive dan kompleks. 

Setidaknya ada lima pengaruh tidak baik globalisasi bagi masyarakat. 
Pertama, pengaburan batas-batas kultural serta geografis/ekologis tidak diperhatikan, sehingga kemampuan beradaptasi serta daya tahan menurun, terutama bagi masyarakat atau negara lemah. 
Kedua, gaya pikir akan ditentukan oleh penghasil kabar serta penyebarannya yg mayoritas sehingga mengakibatkan gangguan yang tidak bisa diadaptasi.
Ketiga, hak-hak insan yg dipropagandakan adalah versi Barat dengan bersandar dalam individualisme. Hak-hak gerombolan banyak terlanggar, namun diabaikan saja. Hak-hak insan acapkali dikalahkan oleh hak-hak kapital, sebagai akibatnya globalisme dapat dianggap perang pembebasan modal. 
Keempat, terancamnya demokrasi sang globalisme. Demokrasi berarti poly pilihan, multiopsional, tiap-tiap manusia serta negara bebas memilih yang terbaik buat dirinya. Sedangkan globalisme mengurangi penganekaragaman di global yg sangat bervariasi. 
Kelima, hubungan budaya akan terjadi dalam skala akbar, cepat, multidimensional dan serempak, sehingga tidak bisa dielakkan terjadinya peniadaan budaya, kesalahan adaptasi, dan kegoncangan budaya. Pengaruh yang mencolok terlihat dari perubahan pola hubungan antar anggota rakyat. Masyarakat sebagai individu lebih bersikap individualistik, hedonis serta acuh terhadap orang lain. 

Kelima hal pada atas merupakan sedikit catatan menurut efek tidak baik globalisasi. Globalisasi yg ditandai menggunakan pesatnya inovasi hal baru baik dalam ilmu pengetahuan serta teknologi semakin mendorong masyarakat buat berubah menggunakan cepat. Melalui berbagai alat-alat tadi banyak sekali peristiwa atau insiden yang terjadi pada belahan dunia yg lain pun dapat dengan gampang diketahui bahkan diakses. Semakin banyak insan memakai alat-alat tersebut semakin poly liputan yg dapat diketahui. Selanjutnya, mengingat arus warta tadi demikian banyak dan padat, maka taraf kecepatan buat mendapatkan informasi tadi menjadi meningkat.

Pada dataran empirik globalisasi berarti proses kaitan yg semakin erat menurut seluruh aspek kehidupan, suatu tanda-tanda yang timbul menurut interaksi yg semakin intensif dalam perdagangan, transaksi finansial, media dan tehnologi. 

Globalisasi mengandung ambivalensi. Di satu sisi, proses globalisasi merupakan kesempatan akbar pada zaman ini yg membawa kepada perkembangan yg semakin manusiawi sampai ke pojok-pojok global serta memberikan keuntungan bagi semuanya. Namun di sisi lain, globalisasi melahirkan kontradiksi antar insan pada muka bumi ini, yg disebabkan oleh arus penyeragaman budaya yang memaksa.

Selain membawa efek positif berupa peningkatan akumulasi modal, teknologi, jaringan yg semakin luas; globalisasi jua membawa efek negatif misalnya syarat ketergantungan baik bagi individu, grup rakyat juga Negara serta semakin parahnya kemiskinan yang melanda penduduk di Negara-negara berkembang. Secara tajam dapat dirumuskan, dengan kata lain, globalisasi adalah tanda-tanda yang sekaligus dirayakan dan diratapi. 

Oleh karena globalisasi terkait dengan situasi nyata serta hayati mati manusia pada planet bumi, maka sudah selayaknya dirumuskan suatu standar etika sosial berhadapan dengannya. German Bishop’s Conference (GBS), merumuskan dua premis menyangkut standar etika sosial tersebut. 
Pertama, rakyat hendaknya menjadi pusat setiap perkembangan atau pembangunan. Yang sebagai dasar premis ini adalah prestise insan. Orientasi konkretnya, kaum miskin yg tidak sanggup dan nir punya peluang buat ambil bagian pada proses pembangunan.
Kedua, ekonomi, pasar, kemajuan tehnologi, dan globalisasi bukan demi dirinya sendiri, melainkan adalah wahana demi kesejahteraan hayati serta perkembangan insan. Yang menjadi orientasi di sini merupakan tanggung jawab beserta pada aneka macam taraf buat tujuan bonum communae, kebaikan bersama.

Globalisasi dilukiskan sebagai penyusutan ruang serta ketika yang belum pernah terjadi sebelumnya, yg mencerminkan peningkatan interkoneksi serta interdependensi sosial, politik, ekonomi dan kultural dalam skala dunia. Ia dipahami sebagai tatanan rakyat baru yg tidak lagi mengungkapkan hal-hal yg sifatnya lokal. Transformasi dunia sudah merambah ke semua dunia, yg mana tidak lagi terdapat batas-batas yg jelas dalam suatu negara, budaya, transformasi, ekonomi, hukum serta bahkan perilaku warga . 

Globalisasi mengakibatkan kian meredupnya keutamaan faham negara bangsa (nation state) bahkan adalah kenyataan krusial yang nir sanggup dihindarkan sang siapapun, bangsa manapun dan negara manapun, termasuk masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.

2. Konstitusi serta Kostitusionalisme
Konstitusi dari Rukmana Amanwinata, berpadanan menggunakan “constitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda) “constitutional” (bahasa Perancis), “Verfassung” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Latin).

Dalam Ilmu Hukum seringkali digunakan beberapa kata menggunakan arti yang sama. Sebaliknya nir tertutup kemungkinan untuk arti tidak sama digunakan kata yang sama. Demikian pula halnya yang terjadi menggunakan istilah konstitusi. Selain konstitusi, dikenal istilah lain, yaitu Undang-Undang Dasar serta aturan dasar.

Mengenai kata konstitusi serta Undang-Undang Dasar terbagi menjadi dua, yaitu pertama, pendapat yang membedakan konstitusi menggunakan UUD dan ke 2, pendapat yg menyamakan konstitusi menggunakan UUD. Saat ini sepertinya pendapat ke 2 lebih diterima.

Konstitusi juga dapat dibedakan pada 2 kategori, yaitu konstitusi politik serta konstitusi sosial. Konstitusi politik merupakan semata-mata dokumen hukum yang berisi pasal-pasal yg mengandung norma-kebiasaan dasar dalam penyelenggaraan Negara, hubungan rakyat menggunakan Negara, antar lembaga Negara dan sebagainya. Sedangkan konstitusi sosial lebih luas dari itu, lantaran mengandung cita-cita sosial bangsa yg menciptkannya, rumusan filosofis tentang Negara, rumusan sistem sosial dan ekonomi, dan sistem politik yg dikembangkan.

Dari catatan sejarah klasik masih ada 2 perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang ten­tang konstitusi, yaitu dalam per­kataan Yunani Kuno poli­teia dan perkataan bahasa Latin constitutio yg pula berkaitan dengan kata juz. Dalam ke 2 perkataan poli­teia dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitu­sio­nalisme diekspresikan sang umat manusia. Kata politeia menurut kebu­daya­an Yunani bisa dianggap yg paling tua usianya. Pengertiannya secara luas mencakup all the innumerable characteristics which determine that state’s peculiar nature, and these include its whole economic and social texture as well as matters govern­mental in our narrower modern sense. It is a purely descriptive term, and as inclusive in its meaning as our own use of the word ‘constitution’ when we speak gene­rally of a man’s constitution or of the constitu­tion of matter.

Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya kata yang mencerminkan pengertian ka­ta juz ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang tiba kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution merupakan seperti apa yang kita maksudkan kini ini. Perkata­an consti­tution pada zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), pada bentuk bahasa latinnya, mula-mula dipakai se­ba­gai kata teknis buat menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan dengan poly aspek dari aturan Romawi yang dipinjam ke pada sistem pemikiran aturan di kalangan gereja, maka kata teknis constitution juga dipinjam buat menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yg berlaku pada semua gereja atau­pun buat beberapa peraturan eklesiastik yg ber­laku pada gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, buku-kitab Hukum Romawi serta Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yg seringkali dipercaya menjadi sum­ber rujukan atau surat keterangan paling awal mengenai peng­gu­na­an perkataan constitution pada sejarah.

Pengertian konstitusi di zaman Yunani Kuno masih bersifat materiil, pada arti belum berbentuk misalnya yg dime­nger­ti di zaman mo­dern sekarang. Namun, per­bedaan antara konstitusi de­ngan hukum biasa telah tergambar dalam pembedaan yang dila­kukan sang Aristoteles terhadap pengertian istilah politea serta nomoi. Pengertian politiea bisa dise­pa­dankan dengan pengertian konstitusi, sedang­kan nomoi merupakan undang-undang biasa. 

Politea mengandung ke­kuasaan yang lebih tinggi berdasarkan dalam nomoi, lantaran politea mem­punyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi nir terdapat, karena beliau hanya merupakan materi yg wajib di­bentuk agar su­paya tidak bercerai-berai. Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi ber­hubungan erat menggunakan ucapan Res­pub­lica Consti­tuere yg melahirkan slogan, Prinsep Legibus Solutus Est, Salus Publica Suprema Lex, yg arti­­nya ”Rajalah yg berhak memilih struk­tur orga­ni­sasi negara, karena dialah satu-satunya produsen un­dang-undang”.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan menggunakan istilah konstitusi merupakan “Consti­tutions of Cla­rendon 1164” yg disebut sang Henry II menjadi const­i­tutions, avitae constitu­tions or leges, a recordatio vel recognition, me­nyangkut interaksi antara gereja dan pemerintahan Negara pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang diklaim menjadi kon­stitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun pemasyarakatannya dila­ku­kan oleh pemerintahan seku­ler. Tetapi, di masa-masa selanjutnya, istilah constitutio itu seringkali pula dipertukarkan satu sama lain dengan istilah lex atau edictum untuk menyebut aneka macam secular administrative enactments. Glanvill seringkali meng­guna­kan istilah constitution buat a royal edict (titah raja atau ratu). Glanvill jua mengaitkan Henry II’s writ creating the remedy by grand assize as ‘legalis is a constitutio’, serta menyebut the assize of novel disseisin menjadi a re­cog­nitio sekaligus menjadi a constitutio. 

Beberapa tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Merton pada tahun 1236, Brac­ton menulis arti­kel yg menyebut salah satu ketentuan dalam undang-undang itu sebagai a new constitution, serta mengaitkan satu bagian dari Magna Carta yg dimuntahkan kembali pada tahun 1225 sebagai constitutio libertatis. Dalam waktu yg hampir bersamaan (satu zaman), Beauma-noir pada Perancis beropini bahwa “speaks of the re­medy in novel disseisin as ’une nouvele constitucion’ made by the kings”. Ketika itu serta selama mudun-abad sesudahnya, per­kata­an constitution selalu diartikan se­bagai a particular administrative enactment much as it had meant to the Roman lawyers. Perkataan consti­­tution ini dipakai buat membedakan antara particular enactment dari consuetudo atau ancient custom (kebia­saan).

Pierre Gregoire Tholosano (of Toulouse), pada bukunya De Republica (1578) meng­gunakan kata con­stitution pada arti yg hampir sama dengan penger­tian sekarang. Hanya saja kandungan maknanya lebih luas serta lebih generik, lantaran Gregoire menggunakan frase yg lebih tua, yaitu status reipublicae. Dapat dikatakan bahwa di zaman ini, arti perkataan constitution tercer­min pada pernyataan Sir James Whitelocke dalam se­kitar tahun yang sama, yaitu “the natural frame and con­stitution of the policy of this Kingdom, which is juz pub­licum regni”. Bagi James White­locke, juz publicum regni itulah yg adalah kerangka alami serta konstitusi po­li­tik bagi kerajaan.

Dari sini, kita bisa tahu pengertian konsti­tusi dalam 2 konsepsi. Pertama, konsti­tusi menjadi the natural frame of the state yg dapat ditarik ke belakang menggunakan mengaitkannya dengan pengertian politeia da­lam tradisi Yunani Kuno. Kedua, konstitusi dalam arti juz publicum regni, yaitu the public law of the realm. Ci­cero bisa dianggap sebagai sarjana pertama yg meng­gunakan perkataan constitutio dalam pengertian kedua ini, seperti tergambar dalam bukunya “De Re Pub­lica”. Di lingkungan Kerajaan Romawi (Roman Empire), per­kataan constitutio ini pada bentuk Latinnya juga digunakan sebagai istilah teknis buat menyebut the acts of legislation by the Emperor. Menurut Cicero, “This con­s­ti­tution (haec constitution) has a great measure of equa­bi­lity without which men can hardly remain free for any length of time”. Selanjutnya dikatakan oleh Cice­ro 

Now that opinion of Cato becomes more certain, that the constitution of the republic (consitutionem rei publicae) is the work of no single time or of no single man. 

Pendapat Cato dapat dipahami bahwa konstitusi republik bukanlah hasil ker­ja satu wak­tu ataupun satu orang, melainkan kerja kolektif serta saya­mu­indah. Oleh karena itu, dari sudut etimologi, konsep kla­­sik tentang konsti­tusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam pada perkembangan penger­tian dan penggunaan perkataan politeia dalam bahasa Yunani serta perkataan constitutio dalam bahasa Latin, serta interaksi di antara keduanya satu sama lain di se­panjang sejarah pemikiran maupun pengalaman praktik kehidupan kenegaraan serta hukum. 

Perkembangan-perkembangan demikian itu­lah yg dalam akhirnya mengantarkan umat ma­nu­sia pada pe­ngertian kata constitution itu dalam bahasa Inggris terkini. Dalam Oxford Dictionary, perkataan consti­tution dikaitkan menggunakan beberapa arti, yaitu: “… the act of establishing or of ordai­ning, or the ordinance or re­gu­lation so establi­shed”. Selain itu, istilah constitution juga diartikan menjadi pembuatan atau penyusunan yang me­nentukan hakikat sesuatu (the “make” or com­po­sition which determines the nature of any­thing). Oleh karenanya, constitution bisa pula digunakan buat menyebut “… the body or the mind of man as well as to external ob­jects”. 

Dalam pengertiannya yang demikian itu, kon­stitusi selalu dipercaya “mendahului” dan “menga­tasi” pemerin­ta­han serta segala keputusan dan peraturan lainnya. A Constitution, istilah Thomas Paine, “is not the act of a go­vern­ment but of the people constituting a govern­ment”. Kon­stitusi dianggap mendahului, bukan karena urutan waktunya, melainkan dalam sifatnya yg supe­rior dan kewenangannya buat mengikat.

Konstitusionalisme, merupakan pemikiran yang telah lama berkembang. Pemikiran ini menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan ini terutama dilakukan melalui hukum, lebih khusus lagi melalui konstitusi. Constitutionalisme is belief in imposition of retrains on government by means of constitution. Menurut Lev, pada pada dasarnya konstitusionalisme adalah proses aturan.

Asshiddiqie, memaparkan gagasan konstitusionalisme sebagai seperangkat prinsip yang tercermin pada kelembagaan suatu bangsa serta tidak terdapat yang mengatasinya menurut luar dan nir ada pula yg mendahuluinya.

Fredrich berpendapat konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu formasi aktivitas yg diselenggarakan atas nama masyarakat yg tunduk pada beberapa pembatasan buat menjamin kekuasaan yg dibutuhkan pemerintah itu tidak disalahgunakan oleh orang-orang yg ditugasi memerintah.

Berdasarkan inspirasi konstitusionalisme, semua pemegang kekuasaan harus dibatasi. Di satu sisi tidak ada satu pihak atau satu lembaga pun yg boleh mempunyai kekuasaan tanpa batas. Di sisi lain, setiap hadiah kekuasaan senantiasa perlu disertai dengan pembatasan kekuasaan.

3. Konstitusionalisme, Negara Hukum dan HAM 
Konstitusi, artinya kerangka warga politik, yang diorganisir berdasarkan hukum, yang membangun forum-lembaga tetap dengan tugas dan kewenangan eksklusif. Dengan demikian konstitusi merupakan perpaduan prinsip-prinsip yg mengatur kekuasaan pemerintah, hak-hak rakyat dan interaksi antara kedua hal tersebut.

Konstitusi digunakan pada dua pengertian, yakni konstitusi pada arti abstrak dan konkret. Konstitusi abstrak adalah sistem aturan, norma, dan konvensi yg memutuskan susunan serta kewenangan alat perlengkapan negara itu satu dengan yg lain dan dengan rakyat negara. Adapun konstitusi dalam arti konkret adalah dokumen yg berisi aturan konstitusi yang sangat krusial yang ditetapkan secara resmi. Konstitusi dalam arti konkret pula disebut UUD.

Negara yang berdasar konstitusi merupakan yang kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya dan interaksi antara kekuasaan pemerintah serta hak-hak rakyat negaranya diatur dengan hukum.

Motivasi yg menjadi latar belakang pembuatan Undang-Undang Dasar bagi negara yg satu tidak selaras dengan negara lain. Hal ini ditimbulkan karena beberapa hal, diantaranya: sejarah yg dialami bangsa yg bersangkutan, cara memperoleh kemerdekaannya, situasi serta syarat dalam waktu menjelang kemerdekaan dan lain sebagainya.

Menurut Bryce, hal-hal yang menjadi alasan sebagai akibatnya sesuatu negara mempunyai Undang-Undang Dasar, terdapat beberapa macam, yaitu:
a. Adanya kehendak masyarakat negara menurut negara yang bersangkutan supaya terjamin hak-haknya, serta bertujuan buat membatasi tindakan-tindakan para penguasa negara tadi.
b. Adanya kehendak menurut penguasa negara serta atau rakyatnya untuk menjamin supaya masih ada pola atau sistem tertentu atas pemerintah negaranya.
c. Adanya kehendak menurut pembentuk negara tadi agar terdapat kepastian tentang cara penyelenggaraan kenegaraannya.
d. Adanya kehendak beberapa negara yang masing-masing semula berdiri sendiri, buat mengklaim kerjasama.

Berdasarkan pendapat Bryce di atas, motivasi adanya konstitusi pertama RI, yaitu UUD 1945 yang dimiliki sesaat selesainya kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945 merupakan kehendak para pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia agar terjamin penyelenggaraan ketatanegaraannya serta mengklaim kepastian aturan.

Negara hukum, dari Aristoteles, merupakan negara yang diperintah menggunakan konstitusi serta berkedaulatan aturan. Terdapat tiga unsur pemerintahan berkonstitusi, yaitu pemerintahan yang dilaksanakan buat kepentingan generik, pemerintahan menurut aturan berdasar ketentuan generik, dan pemerintahan atas kehendak rakyat.

Kant, membicarakan gagasan negara hukum formil, menggunakan mengemukakan unsur-unsurnya, yaitu proteksi HAM dan pemisahan kekuasaan. Stahl, menguraikan unsur negara aturan materiil, dengan menambah dua unsur lain, yaitu tindakan pemerintah wajib berdasar aturan serta adanya peradilan administrasi yg berdiri sendiri.

Menurut Dicey, unsur utama pemerintahan yang kekuasaannya di bawah aturan (rule of law), yaitu supremacy of law, equality before the law, serta constitution based on individual rights. Ismail Suny menandaskan bahwa suatu rule of law harus mempunyai syarat-syarat esensial eksklusif, diantaranya harus masih ada kondisi-syarat minimum dari suatu sistem aturan dimana hak-hak asasi manusia dan human dignity dihormati. 

Negara aturan sudah muncul jauh sebelum terjadinya revolusi 1689 di Inggris tetapi sulit buat mewujudkannya dalam kehidupan bernegara hingga ketika ini. Di Indonesia kata negara hukum adalah terjemahan eksklusif berdasarkan rechsstaat, kata rechsstaat mulai terkenal di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang negara hukum sudah lama adanya. Istilah the rule of law mulai terkenal menggunakan terbitnya sebuah buku berdasarkan Albert Venn Dicey tahun 1885 menggunakan judul Introduction to the study of Law of The Constitution. Perbedaan tadi memunculkan konsep rechsstaat dan konsep the rule of law yang sama-sama mengarahkan pada pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia walaupun keduanya permanen berjalan dalam target yang sama namun keduanya tetap berjalan menggunakan sistem sendiri yaitu aturan sendiri.

Konsep rechsstaat bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law yg mempunyai karakteristik-karakteristik sebagai berikut, yaitu: 
(1) Adanya pembagian kekuasaan.
(2) Pemerintahan berdasarkan konstitusi
(tiga) Perlindungan hak asasi insan.
(4) Peradilan administrasi negara. 

Dan negara aturan the rule of law bertumpu pada common law, yg menekankan dalam tiga (tiga) tolok ukur atau unsur primer, yaitu:
(1) Supremasi hukum atau supremacy of law
(dua) Persamaan di hadapan aturan atau equality before the law
(3) Konstitusi yang didasarkan dalam hak-hak perorangan atau the constitution based on individual rights.

Jika karakteristik-karakteristik tersebut dikaitkan menggunakan ketentuan aturan yang berlaku pada Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa secara generik Indonesia sudah memenuhi persyaratan menjadi negara hukum bisa terlihat berdasarkan Konstitusi Indonesia. Maka bisa dijabarkan menjadi berikut yaitu adanya pengakuan serta perlindungan atas hak-hak asasi manusia, bisa ditemukan jaminannya pada pada pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, yaitu pada dalam Pembukaan alinea I bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, lalu pada pada alinea IV disebutkan pula keliru satu dasar yaitu ”humanisme yg adil serta beradab”, sedangkan pada pada Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bisa ditemui dalam Pasal 27 (persamaan kedudukan rakyat negara di dalam aturan serta pemerintahan serta persamaan hak atas pekerjaan serta penghidupan yang layak), Pasal 28 (jaminan kemerdekaan buat berserikat dan berkumpul dan mengeluarkan pendapat), Pasal 29 (kebebasan memeluk kepercayaan ), Pasal 30 (kewajiban melakukan usaha pertahanan dan keamanan negara), serta Pasal 31 (jaminan hak buat menerima pengajaran).

Ciri kedua yaitu peradilan yg bebas menurut impak sesuatu kekuasaan, dapat dicermati pada Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka buat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan”. Ciri selanjutnya tentang legalitas dalam arti hukum segala bentuknya serta kekuasaan yg dijalankan dari atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan serta kebijakannya wajib menurut ketentuan hukum (due process of law) saling keterkaitan sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (tiga) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Muchsan beropini bahwa Undang-Undang Dasar sebagai asal aturan yg tertinggi mempunyai dua fungsi, yaitu:
a. Menjamin hak-hak para masyarakat warga , terutama rakyat negaranya berdasarkan tindakan sewenang-wenang para penguasa. Dalam Negara aturan modern yg bertipe welfare state, tujuan ini diteruskan serta diperluas, yakni hingga menggunakan terselenggaranya kepentingan warga sebagai akibatnya nir hanya sekadar terjaminnya perlindungan aturan terhadap hak-hak anggota masyarakat, akan namun juga setiap anggota masyarakat Negara dapat mengembangkan hak-hak sebagai insan.

b. Sebagai landasan struktural dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan suatu sistem ketatanegaraan yang pasti yang ketentuannya sudah digambarkan dalam anggaran-anggaran dan ketentuan Undang-Undang Dasar.

C. Hipotesis
Bahwa pengaturan HAM dalam konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, sangat dipengaruhi sang globalisasi pemikira HAM yang telah sangat mendunia.

D. Tahapan Penelitian 
Penelitian ini dilakukan dalam banyak sekali tahap yg bisa dirinci menjadi berikut:

1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan dimulai dengan penelusuran pengumpulan serta inventarisasi bahan pustaka tentang aturan, konstitusi HAM serta aneka macam peraturan perundang-undangan, dan surat keterangan tentang globalisasi dan pengaruhnya.

2. Tahap Pelaksanaan
Pada termin ini dilakukan pengumpulan serta pengkajian terhadap data primer, sekunder serta tersier.

3. Tahap Penyelesaian
Kegiatan yg dilakukan dalam termin ini adalah menganalisa data output penelitian, dilanjutkan menggunakan penyusunan data serta kemudian dilakukan penyusunan laporan penelitian.