Sahabat pada Pembelajaran kita tak jarang mendengar istilah Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik Dan Model, Jadi apa itu semua? Apakah seluruh itu memiliki perbedaan? Oke kita eksklusif saja baca.
PENGERTIAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Pendekatan Pembelajaran: bisa diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadapproses pembelajaran, yg merujuk dalam pandangan tentang terjadinya suatu proses yg sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat menurut pendekatannya, terdapat 2 jenis pendekatan pembelajaran, yaitu:
pendekatan pembelajaran yg berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan
pendekatan pembelajaran yg berorientasi atau berpusat dalam pengajar (teacher centered approach).
PENGERTIAN STRATEGI PEMBELAJARAN
Strategi pembelajaran adalah suatu aktivitas pembelajaran yang wajib dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran bisa dicapai secara efektif dan efisien. Artinya, bahwa strategi dalam dasarnya masih bersifat konseptual mengenai keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu aplikasi pembelajaran. Dilihat menurut strateginya, pembelajaran bisa dikelompokkan ke pada dua bagian pula, yaitu: 1. exposition- discovery learning dan 2. group-individual learning. Ditinjau menurut cara penyajian dan cara pengolahannya, taktik pembelajaran bisa dibedakan antara taktik pembelajaran induktif serta taktik pembelajaran deduktif. Contoh berdasarkan taktik pembelajaran adalah strategi cooperative learning dan strategi active learning .
PENGERTIAN METODE PEMBELAJARAN
Metode Pembelajaran: dapat diartikan menjadi cara yg dipakai buat mengimplementasikan rencana yang telah disusun dalam bentuk kegiatan konkret serta praktis buat mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yg bisa digunakan buat mengimplementasikan taktik pembelajaran, diantaranya:
Ceramah
Demonstrasi
Diskusi
Simulasi
Laboratorium
Debat, dll
Dapat juga dikatakan bahwa metode merupakan prosedur pembelajaran yg difokuskan ke pencapaian tujuan.
TEKNIK PEMBELAJARAN
Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke pada teknik dan gaya pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan menjadi cara yang dilakukan seorang pada mengimplementasikan suatu metode secara spesifik. Misalkan, penggunaan metode ceramah dalam kelas dengan jumlah murid yg relatif poly membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda menggunakan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian juga, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang tidak sama pada kelas yang siswanya tergolong aktif menggunakan kelas yang siswanya tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti -ganti teknik meskipun pada koridor metode yg sama.
TAKTIK PEMBELAJARAN
Sementara strategi pembelajaran adalah gaya seorang dalam melaksanakan metode atau teknik pembelajaran eksklusif yg sifatnya individual. Misalkan, terdapat 2 orang sama-sama menggunakan metode ceramah, namun mungkin akan sangat berbeda pada strategi yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yg tinggi.
PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN
Model pembelajaran: dalam dasarnya adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yg disajikan secara khas sang guru. Dengan istilah lain, contoh pembelajaran adalah bungkus atau bingkai berdasarkan penerapan suatu pendekatan, metode, serta teknik pembelajaran. Berkenaan menggunakan model pembelajaran, mengetengahkan 4 (empat) gerombolan model pembelajaran, diantaranya: 1. model hubungan sosial; 2. model pengolahan liputan; 3. contoh personal-humanistik; dan 4. contoh modifikasi tingkah laku . Kendati demikian, sering penggunaan kata model pembelajaran tadi diidentikkan dengan taktik pembelajaran.
A. PENGERTIAN METODE Metode memiliki kiprah yg sangat strategis pada mengajar. Metode berperan sebagai rambu -rambu atau “bagaimana memproses” pembelajaran sebagai akibatnya dapat berjalan baik serta sistematis. Bahkan dapat dikatakan proses pembelajaran tidak dapat berlangsung tanpa suatu metode. Lantaran itu, setiap guru dituntut menguasai banyak sekali metode dalam rangka memproses pembelajaran efektif, efesien, menyenangkan dan tercapai tujuan pembelajaran yang ditargetkan. Secara implementatif metode pembelajaran dilaksanakan menjadi teknik, yaitu pelaksanakan apa yg sesungguhnya terjadi (dilakukan pengajar) untuk mencapai tujuan.
Metode secara harfiah berarti “cara”. Secara generik, metode diartikan menjadi suatu cara atau prosedur yg digunakan buat mencapai tujuan tertentu. Dalam pendapat lain jua dijelaskan bahwa metode adalah cara atau prosedur yang dipergunakan oleh fasilitator dalam interaksi belajar menggunakan memperhatikan keseluruhan sistem buat mencapai suatu tujuan.sedangkan kata “mengajar” sendiri berarti memberi pelajaran (Fathurrohman serta Sutikno, 2007; 55).
Berdasarkan pandangan pada atas bisa dipahami bahwa metode mengajar adalah cara-cara menyajikan bahan pelajaran pada peserta didik buat mencapai tujuan yg sudah ditetapkan. Metode itu sendiri adalah salah satu sub sistem pada sistem pembelajaran, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Oleh karena itu, salah satu masalah yg sangat memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran merupakan metode pembelajaran (learning method). Pada awalnya metode ini kurang menerima perhatian, lantaran orang berpandangan bahwa pembelajaran itu adalah suatu aktivitas yg sifatnya praktis. Jadi tidak dibutuhkan pengetahuan (teori) yang terdapat sangkut pautnya menggunakan pembelajaran. Orang merasa sudah sanggup mengajar dan menjadi pendidik atau fasilitator kalau telah menguasai materi yang akan disampaikan. Pandangan ini tidaklah sahih. Fasilitator perlu juga mempelajari pengetahuan yang ada kaitannya dengan aktivitas pembelajaran, khususnya metode pembelajaran, yg berguna buat “bagaimana memproses” terjadinya hubungan belajar. Jadi metode digunakan oleh pengajar buat mengkreasi lingkungan belajar dan menkhususkan aktivitas pada mana guru dan peserta didik terlibat selama proses pembelajaran berlangsung.
Metode pembelajaran dalam implementasinya memiliki mekanisme atau fase-fase eksklusif. Secara garis besar dalam satu proses hubungan belajar, metode pembelajaran dikelompokkan sebagai empat fase primer, yaitu fase pendahuluan, fase pembahasan, fase membentuk dan fase penurunan.
Fase pendahuluan; dimaksudkan untuk menyusun serta mempersiapkan mental set yg menguntungkan, menyenangkan guna pembahasan materi pembelajaran. Dalam fase ini fasilitator dapat melakukan kaji ulang (review) terhadap pembahasan sebelumnnya dan menghubungkan dengan pembahasan berikutnya.
Fase pembahasan dimaksudkan buat melakukan kajian, pembahasan dan penelahaan terhadap materi pembelajaran. Dalam fase ini, peserta didik mulai dikonsentasikan perhatiannya kepada pokok materi pembahasan. Dalam fase ini perlu dicari metode yang cocok dengan tujuan, sifat materi, latar belakang peserta didik serta guru.
Fase membentuk termin penarikan konklusi bedasarkan berdasarkan seluruh hasil pembahasan yang berdasarkan pengalaman dan teori yg mendukungnya. Fase penurunan dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi peserta didik secara berangsur -angsur. Ketegangan perhatian peserta didik terhadap materi pembelajaran perlu secara bertahap diturunkan untuk memberi isyarat bahwa proses pembelajaran akan berakhir.
Secara implementatif metode pembelajaran dilaksanakan sebagai teknik pembelajaran. Secara utuh bila dirangkai menurut filosofinya rangkaian itu merupakan dari pendekatan, model, stategi, metode, dan teknik pembelajaran. Pendekatan adalah pola/cara berpikir atau dasar pandangan terhadap sesuatu. Model adalah orientasi filosofi menurut pembelajaran. Pendekatan serta contoh masih ada sejumlah strategi yang bisa dipakai. Sedangkan strategi adalah pola umum perbuatan gurupeserta didik pada pada perwujudan aktivitas pembelajaran. Strategi ini memuat beberapa metode. Metode merupakan indera buat mencapai tujuan yang bersifat prosedural (fase pendahuluan, fase pembahasan, fase membuat dan fase penurunan ), sedangkan teknik adalah pelaksanakan apa yg sesungguhnya terjadi (dilakukan pengajar) buat mencapai tujuan yg bersifat implementatif. Istilah lain dari teknik pembelajaran merupakan keterampilan pembelajaran
Keterampilan adalah konduite pembelajaran yang paling spesifik. Keterampilan mencakup keterampilan/teknik mengungkapkan, demonstrasi, bertanya, dan masih banyak lagi’
Keterampilan/teknik menjelaskan Penjelasan perlu diberikan buat membantu peserta didik mencapai atau mendalami pemahaman konsep, serta tahu generalisasi. Untuk tujuan ini pengajar perlu memilih konsep serta definisi yang cocok begitu juga menggunakan contoh dan yg bukan contoh. Penjelasan hendaknya dapat memperlihatkan: • interaksi karena akibat, • peristiwa yang diatur oleh suatu keteraturan dan hukum, • mekanisme atau proses, • tujuan suatu kegiatan atau proses. Keterampilan/teknik demonstrasi Seringkali peserta didik belajar dari apa yg dilakukan sang orang lain. Sebuah demonstrasi bisa menentukan hubungan antara kengetahui sesuatu dengan dapat melakukan sesuatu. Riset menampakan bahwa demonstrasi efektif bila tepat, peserta didik bisa mengamati dengan baik dan memahami apa yg sedang terjadi dan bila penjelasan dan diskusi dilakukan saat demonstrasi sedang berlangsung.
Keterampilan bertanya Diantara keterampilan pembelajaran, bertanya adalah keterampilan utama dalam pembelajaran. Pertanyaan baik digunakan apabila: • partisipasi peserta didik menjadi tinggi bila pertanyaan diajukan • terjadi adonan antara level kognitif tinggi dan rendah • pemahaman pemahaman semakin meningkat • pemikiran peserta didik terangsang • balikan serta penguatan terjadi • kemampuan berfikir kritis demakin tajam • kreativitas peserta didik didorong Biasanya metode digunakan melalui keliru satu taktik, namun jua nir tertutup kemungkinan beberapa metode berada pada taktik yg bervariasi, ialah penetapan metode bisa divariasikan melalui strategi yang tidak sama tergantung dalam tujuan yang akan dicapai serta konten proses yang akan dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Sebagai contoh, guru mungkin memberikan fakta melalui metode ceramah (menurut taktik pembelajaran eksklusif) ad interim mereka juga memakai metode interpretive buat meminta peserta menentukan liputan yg signifikan dari warta yang dipresentasikan (dari strategi pembelajaran tidak eksklusif).
B. KLASIFIKASI METODE Metode bukan adalah tujuan, melainkan cara untuk mencapai tujuan sebaik-baiknya. Untuk itu nir mungkin mengungkapkan metode tanpa mengetahui tujuan yang hendak dicapai. Jadi berhasil tidaknya tujuan yang akan dicapai bergantung dalam penggunaan metode yang sempurna. Hal tadi mengingatkan kita bahwa sebenarnya nir terdapat metode mengajar yg paling baik atau tidak baik. Yang terdapat adalah pengajar yg cakap menggunakan tidak cakap dalam memilih serta mempergunakan metode pada pembelajaran.
Klasifikasi metode pembelajaran, hanya buat memudahkan guru pada memilih metode sesuai dengan taktik yg akan dipilih. Untuk itu penjabaran disini didasarkan dalam taktik pembelajaran. Klasifikasi metode pembelajaran
Strategi pembelajaran pribadi, Strategi pembelajaran eksklusif sangat diarahkan oleh guru. Metode yang cocok antara lain: ceramah, tanya jawab, demonstrasi, latihan, dan drill.
Strategi pembelajaran tidak eksklusif, Sering disebut inkuiri, induktif, pemecahan kasus, pengambilan keputusan dan inovasi. Strategi ini berpusat pada peserta didik. Metode yang cocok digunakan antara lain: inkuiri, studi kasus, pemecahan masalah, peta konsep.
Strategi pembelajaran interaktif, Menekankan pada diskusi serta sharing di antara peserta didik, maka metode yang cocok antara lain: diskusi kelas, diskusi grup kecil atau projek, kerja berpasangan.
Strategi pembelajaran berdikari, Merupakan strategi pembelajaran yg bertujuan buat membentuk inisiatif individu, kemandirian, dan peningkatan diri. Bisa dilakukan menggunakan sahabat atau menjadi bagian berdasarkan gerombolan mini . Memberikan kesempatan peserta didik buat bertanggung jawab pada merencanakan serta memacu belajarnya sendiri. Dapat dilaksanakan menjadi rangkaian berdasarkan metode lain atau menjadi strategi pembelajaran tunggal buat holistik unit. Metode yang cocok antara lain: pekerjaan rumah, karya tulis, projek penelitian, belajar berbasisi personal komputer , E learning.
Belajar melalui pengalaman, Berorientasi pada aktivitas induktif, berpusat pada siswa dan berbasis aktivitas. Refleksi pribadi tentang pengalaman dan formulasi perencanaan menuju penerapan pada konteks yg lain adalah faktor kritis pada pembelajaran empirik yang efektif. Metode yg cocok antara lain: bermain kiprah, observasi/survey, simulasi.
Berdasarkan beberapa pendekatan yg dilakukan, metode pembelajaran dibagi kedalam beberapa jenis, diantaranya menjadi berikut.
Berdasarkan pemberian warta, yaitu: metode ceramah, metode tanya jawab, metode demonstrasi, serta lain sebagainya.
Berdasarkan pemecahan masalah, yaitu: metode curah pendapat, metode diskusi gerombolan , metode rembuk sejoli, metode panel, metode seminar, serta lain sebagainya.
Berdasarkan penugasan, yaitu: metode latihan, metode penugasan, metode permainan, metode kerja kelompok, metode studi kasus, dan metode karya wisata.
C. FAKTOR-FAKTOR DALAM MENENTUKAN METODE PEMBELAJARAN
Sebelum mengetahui faktor-faktor apa saja yang wajib diperhatikan dalam menentukan metode pembelajaran, sebelumnya wajib diketahui terlebih dahulu prinsip-prinsip metode pembelajaran. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip pada pembahasan ini adalah hal hal yang wajib diperhatikan dalam memakai metode pembelajaran. Prinsip generik penggunaan metode pembelajaran adalah bahwa tidak seluruh metode pembelajaran cocok digunakan untuk mencapai semua tujuan pembelajaran dan keadaan pembelajaran berlangsung. Semua metode pembelajaran memiliki kekhasan sendiri-sendiri dan relevan menggunakan tujuan pembelajaran eksklusif tetapi tidak cocok buat tujuan dan keadaan yang lain. Dengan kata lain, seluruh metode pembelajaran memiliki kelebihan serta kelemahan masing masing.
Guru menjadi agency of change wajib sanggup memillih metode yg sempurna sinkron dengan tujuan serta keadaan pembelajaran. Kesalahan pada memilih metode pada mengajar berarti pengajar telah merancang kegagalan dalam pembelajaran. Sebagai guide dalam memilih metode yg tepat, terdapat empat prinsip generik pada menentukan metode pembelajaran, pada antaranya; 1. berorientasi dalam tujuan pembelajaran 2. berorientasi dalam kegiatan peserta didik 3. berorientasi pada individualitas, dan 4. berorientasi dalam integritas.
Berorientasi dalam tujuan pembelajaran. Dalam sistem pembelajaran tujuan adalah komponen yg primer. Segala aktivitas pengajar serta peserta didik, mestilah diupayakan buat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Ini sangat krusial, sebab mengajar merupakan proses yg bertujuan. Oleh lantaran itu, keberhasilan suatu metode pembelajaran dapat ditentukan dari keberhasilan peserta didik mencapai tujuan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran bisa memilih suatu metode yg wajib digunakan guru akan namun hal ini seringkali dilupakan guru. Guru yang bahagia berceramah, hampir setiap tujuan menggunakan metode ceramah, seakan- akan beliau berpikir bahwa segala jenis tujuan dapat dicapai dengan metode yg demikian. Hal ini tentu saja keliru. Jika kita menginginkan peserta didik terampil menggunakan indera eksklusif, katakanlah terampil menggunakan termometer sebagai indera pengukur suhu badan, tidak mungkin memakai metode ceramah saja. Untuk mencapai tujuan yang demikian, peserta didik wajib berpraktik secara eksklusif. Demikian jua, manakala kita menginginkan agar peserta didik dapat menyebutkan hari dan tanggal proklamasi kemerdekaan suatu negara, tidak akan efektif bila menggunakan metode diskusi buat memecahkan perkara. Untuk mencapai tujuan yang demikian guru relatif menggunakan metode ceramah atau pengajaran secara eksklusif.
Aktivitas peserta didik. Belajar bukan sebatas aktivitas menghafal sejumlah berita atau informasi. Belajar merupakan berbuat (learning by doing) yak ni memperoleh pengalaman eksklusif sesuai dengan tujuan yg diharapkan. Karena itu, metode pembelajaran harus dapat mendorong kegiatan peserta didik. Aktivitas tidak dimaksudkan terbatas dalam aktivitas fisik, akan namun meliputi kegiatan yg bersifat psikis atau aktifitas mental. Pengajar acapkali lupa dengan hal ini. Banyak guru yang terkecoh oleh sikap peserta didik yg pura - pura aktif padahal sebenarnya tidak.
Individualitas. Mengajar merupakan bisnis membuatkan setiap individu siswa. Walaupun guru mengajar sekelompok peserta didik, namun dalam hakikatnya yang ingin dicapai dalah perubahan prilaku setiap anak didik. Sama misalnya seorang dokter. Dikatakan seorang dokter yg jitu serta profesional manakala ia menangani 50 orang pasien, seluruhnya sembuh; dandikatakan dokter yang jelek manakala dia menangani 50 orang pasien, 49 sakitnya bertambah parah atau malah meninggal. Demikian jua halnya dengan pengajar, dikatakan guru yg baik serta profesional manakala dia menangani 50 orang siswa, seluruhnya berhas il mencapai tujuan; dan sebaliknya, dikatakan guru yang tidak baik atau tidak berhasil manakala ia menangani 50 orang peserta didik, 49 nir berhasil mencapai tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, dipandang menurut segi jumlah peserta didik sebaiknya standar keberhasilan pengajar ditentukan setinggi -tingginya. Semakin tinggi baku keberhasilan ditentukan, maka semakin berkualitas proses pembelajaran.
Integritas. Mengajar wajib dicermati sebagai usaha menyebarkan semua langsung murid. Mengajar bukan hanya menyebarkan kemampuan kognitif saja, akan namun mencakup pengembangan aspek afektif dan psikomotorik. Oleh karena itu, pembelajaran harus diarahkan buat menyebarkan seluruh aspek kepribadian peserta didik secara terintegrasi (ranah kognitif, afektif dan psikomotorik). Penggunaan metode diskusi, contohnya, guru harus bisa merancang strategi pelaksanaan diskusi tidak hanya terbatas pada pengembangan aspek intelektual saja, namun harus terdorong peserta didik supaya mereka sanggup berkembang secara holistik, misalkan mendorong agar peserta didik dapat menghargai pendapat orang lain, mendorong siswa agar berani mengeluarkan gagasan atau pandangan baru yang orisinil, mendorong peserta didik buat bersikap amanah, tenggang rasa, serta lain sebagainya.
Di samping itu, dalam Bab IV Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik buat berpartisipasi aktif, dan memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis siswa.
Dari beberapa uraian pada atas dapat dipengaruhi faktor-faktor yg perlu di perhatikan pada memilih metode pembelajaran, antara lain: 1. tujuan pembelajaran 2. kemampuan guru 3. kemampuan peserta didik 4. jumlah peserta didik 5. jenis materi 6. waktu 7. fasilitas yang terdapat.
Tujuan pembelajaran adalah kriteria terpenting pada pada memilih metode pembelajaran, lantaran metode merupakan cara menyajikan isi pembelajaran buat mencapai tujuan pembelajaran. Di dalam tujuan pembelajaran terdapat kompentesi yg dibutuhkan dikuasai peserta didik pada akhir pembelajaran. Misalnya, masih ada suatu indikator sebagai berikut: peserta didik diperlukan dapat mengidentifikasi minimal 7 tugas perkembangan masa bayi serta awal masa kanak -kanak. Kemampuan yang diperlukan berdasarkan indikaor itu adalah peserta didk dapat mengidentifikasi. Untuk mengidentifikasi ada beberapa alternatif penggunaan metode serta teknik pembelajarannya. Misalnya mekanisme/langkah yg dipilih buat mencapai tujuan tersebut merupakan: 1. Peserta didik diminta buat mengamati bayi serta anak- anak 2. Peserta didik diminta membaca buku tentang perkembangan masa bayi serta anak-anak 3. Peserta didik diminta mendiskusikan hasil pengamatan serta hasil bacaanya 4. Peserta didik diminta membandingkan perkembangan masa bayi serta anak-anak
Dari model pada atas terlihat bahwa metode primer yang digunakan adalah studi kasus, serta diskusi, dengan 4 langkah teknik seper ti pada atas. Keempat langkah tadi dinamakan strategi pembelajaran.
Kemampuan guru adalah pertimbangan di dalam pemilihan metode, sebab pengajar itulah yg melakukan pembelajaran. Sebaik apapun metode tadi jika guru yang melaksanakan nir menguas ai penggunaannya, maka metode tersebut nir akan baik. Begitu jua tentang kemampuan siswa. Guru harus memperhatikan kemampuan intelektual anak, sehingga tepat penggunaan metodenya.
Jumlah peserta didik perlu dipakai pada penentuan metode, contohnya jika jumlah peserta didik poly, maka lebih efisien menggunakan metoda ceramah serta tanya jawab dibandingkan metode yg lain. Dan pertimbangan jenis materi pula sangat penting, karena jenis materi eksklusif mempunyai kespesifikan masing-masing pada menggunakan metode. Waktu jua mensugesti pengajar di dalam menetukan metode, contohnya lantaran sesuatu hal maka saat belajar peserta didik banyak dipakai aktivitas lain. Untuk itu pengajar harus mencari cara lain metode dengan saat singkat menerima materi y ang poly.
Begitu jua menggunakan fasilitas. Fasilitas juga mempengaruhi penentuan metode. Misalnya dari jenis materinya maka metode yang wajib digunakan merupakan metode pengamatan/pratikum, lantaran indera dan bahan kurang bisa diganti menggunakan demontrasi.
Dalam memilih metode seseorang guru wajib memegang prinsip-prinsip antara lain: 1. Efektif serta efisien. 2. Digunakan secara bervariasi. 3. Digunakan dengan memadukan beberapa metode. Efektif serta efisien wajib selalu dipikirkan dalam penggunaan metode lantaran buat agar nir terjadi pemborosan saat juga porto dalam pembelajaran. Sedangkan variasi dan pemaduan penggunaan sangat menguntungkan karena buat megurangi kebosanan, dan memudahkan peserta didik dalam mencapai dalam tujuan pembelajaran. Karena masing-masing metode mempunyai kelebihan dan kekurangannya.
Perlu diketahui jua bahwa pada dalam memandang keunggulan serta kelemahan metode perlu jua dipikirkan mengenai prinsip- prinsip belajar, diantaranya: 1. Prinsip motivasi. 2. Prinsip-prinsip keaktifan. 3. Prinsip umpan kembali serta penguatan. 4. Prinsip kecepatan belajar.
Motivasi merupakan pendorong tingkah laku peserta didik ke arah tujuan tertentu. Kaitannya menggunakan metode, maka guru diharapkan menggunakan metode yg bisa menarik peserta didik, sebagai akibatnya peserta didk berminat buat belajar, ingin kerja keras, serta berusaha merampungkan tugas hingga terselesaikan. Hal ini pula bisa dilakukan pengajar dengan memakai variasi metode untuk mengurangi kebosanan peserta didik. Lantaran kebosanan akan mengurangi minat peserta didik buat belajar. Keaktifan dapat didorong dengan menggunakan mengaitkan pengalaman peserta didik menggunakan pengetahuan yang baru. Untuk itu seseorang pengajar harus dapat memilih metode yang dapat mangaktifkan proses berpikir peserta didik dengan menghubungkan pengalaman lama mereka menggunakan pengetahuan yg baru diajarkan. Keaktifan siswa akan menurun bila nir mendapatkan umpan balik , sebagai akibatnya menaruh penguatan atas upaya yang dilakukan peserta didik.
Dipandang berdasarkan kecepatan belajar, peserta didik dapat dibedakan menjadi peserta didik yg cepat belajar, dan peserta didik lambat belajar. Dengan adanya perbedaan peserta didik ini pengajar wajib pintar -pintar memilih metode agar tidak menyebabkan putus harapan bagi peserta didik.
1. Pengantar ke arah Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Didasarkan atas pendekatan historik, Januszewski (2001: 2-15) menyampaikan bahwa termin awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam sang tiga faktor berikut: Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968); Kedua, science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990), dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dari hasil kajiannya menerangkan bahwa teknologi pendidikan memiliki keterkaitan dan saling ketergantungan dengan ketiga faktor tersebut (engineering, science, serta audiovisual education).
Dalam kaitannya menggunakan engineering, pengkajian diawali menurut makna engineering yg mendeskripsikan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi buat digunakan secara praktis, yg kebanyakan masih ada di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt serta W.W. Charters sebagai perintis penggunaan istilah “educational engineering” dalam tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan buat pengembangan kurikulum. Penggunaan istilah engineering ini dipakai jua oleh Munroe (1912) pada mengikat konsep ilmu managemen pada setting pendidikan dan educational engineering. Munroe beralasan bahwa kata educational engeering diharapkan dalam mempelajari tentang usaha yg besar buat mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupannya, mana yang lebih baik, mana yg wajib dihindari, persyaratan apa yang perlu dipersiapkan, dimana dan mengapa mereka mengalami ketidakberhasilan. Charters (1941) yang dinyatakan T.J. Hoover serta J.C.L. Fish membicarakan bahwa engineering adalah aktivitas profesional dan sistematik dalam mengaplikasikan ilmu untuk memanfaatkan asal alam secara efisien pada membuat kesejahteraan. Selanjutnya menurut output diskusi antara konsep engineering yg diungkapkan Charters dan konsep teknologi yg dikembangkan Noble membentuk empat kesamaan, yaitu: 1) keduanya memerlukan usaha yang sistimatik; dua) keduanya menyatakan aplikasi ilmu; 3) keduanya menekankan pada efisiensi pemanfaatan asal; dan 4) tujuan dari keduanya merupakan untuk menghasilkan sesuatu. Dalam penerapannya dalam pendidikan, digambarkan bahwa bisnis sistimatik perlu dilakukan setiap teknolog pendidikan pada setiap menyebarkan acara, serta dalam penyelenggara pembelajaran. Dalam kaitannya menggunakan pelaksanaan ilmu, Charters menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar pada pendidikan, serta setiap usaha pada pendidikan perlu dilandasi sang kejelasan ilmu yg dipakai. Untuk hal tersebut, diyakini bahwa adanya titik yang sama antara educational engineering menggunakan industrial engineering, keduanya menggunakan metode riset yg dilandasi oleh dasar keilmuan. Selanjutnya, penyelenggara pendidikan perlu tetapkan efisiensi pada setiap bisnis yg dilakukannya, guru perlu tetapkan bagaimana cara yg efisien agar siswa memperoleh pengalaman belajar yg maksimal . Dalam kaitannya menggunakan memproduksi setiap program pembelajaran dalam hakekatnya ditujukan buat memberikan pengalaman belajar pada peserta didik secara aporisma sebagai akibatnya kasus belajar bisa terpecahkan.
Terdapat 3 perbedaan antara Charters dengan John Dewey dalam memandang ilmu serta engineering pada pendidikan. Pertama, kalaulah Charters menyatakan bahwa sistimatisasi pembelajaran dan ilmu yg dipelajari sebagai ukuran pada proses serta hasil belajar, tetapi Dewey kurang putusan bulat menggunakan penggunaan pendekatan algoritmik ilmu serta engineering pada pendidikan. Kedua, dalam metode ilmu serta berpikir reflektif, Charters mengungkapkan bahwa adanya kesamaan tahapan metode ilmu serta berpikir reflektif pada metode engineering. Berpikir reflektif adalah artikulasi metode engineering, bersifat proses serta prosedur linier pada menetapkan aktivitas awal dan akhir. Sedangkan Dewey kurang sepakat menggunakan inspirasi bahwa berpikir reflektif merupakan prosedur linier, menurutnya bahwa masih ada proses yg terbuka sinkron dengan konflik serta hipotesis yg akan diuji. Akan namun keduanya putusan bulat atas 5 tahapan pada berpikir reflektif. Ketiga, bahwa Dewey kurang sepakat menggunakan model yg terrencana dalam pendidikan misalnya yang digunakan dalam kiprah pekerja didalam industri (Munroe, 1912). Dewey mengharapkan bahwa praktisi pendidikan perlu memanfaatkan pengalaman dan kepandaian reflektif pada memakai metode ilmu, serta menolak penggunaan mekanisme yang terstandarisasi.
Penggunaan pendekatan science pada bidang pendidikan termasuk teknologi pendidikan merupakan suatu keharusan, karena konsep serta praksis pendidikan dalam hakekatnya mengungkapkan hal-hal yg terjadi secara empirik di lapangan. Herbert Kliebert (1987) sebagai pakar Sejarah Pendidikan serta Kurikulum mengidentifikasi adanya 3 peristiwa yg tidak sama yg ditemukan pada awal abad dua puluh dalam tahu penggunaan science pada pendidikan. Pertama, berkaitan dengan perkembangan anak yang didukung secara mendasar sang konsep G Stanley Hall mengenai ilmu perkembangan. Para pendidik mengkaji perkembangan anak sinkron dengan syarat lingkungan mereka, tujuannya buat mengungkap kurikulum yang paling sempurna buat mereka. Pandangan kedua, pemanfaatan science dalam pendidikan memakai contoh generik scientific inquiry pada berfikir reflektif yang dikembangkan oleh Dewey. Ia tertarik untuk menyelidiki contoh mengajar buat keterampilan berpikir dengan memakai science, serta pola science dijadikan dasar buat menetapkan metode pembelajaran serta materi ajar yg akan disampaikan. Pandangan ketiga, menyampaikan bahwa science sebagai berukuran yg eksak serta baku yg sempurna buat memelihara serta memprediksi keteraturan global (Kliebard, 1987). Sejalan dengan itu, science dalam pendidikan menjadi laboratorium serta percobaan buat menentukan dan menetapkan calon peserta didik, penetapan kurikulum, penetapan metode pembelajaran, serta menilai output belajar peserta didik. Tujuan science pada pendidikan memberikan agunan bahwa insiden belajar yg diperlukan memiliki impak terhadap efisiensi serta efektifitas pembelajaran, disamping kemampuan output belajar dapat diprediksi dan dikontrol.
Faktor ketiga yang menghipnotis lahirnya teknologi pendidikan merupakan adanya gerakan pengembangan audiovisual (alat pandang dengar) pada pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangan konsep audiovisual pada pendidikan tidak memiliki keterkaitan menggunakan konsep engineering serta science secara luas. Bahkan secara khusus teknologi pendidikan memandang bahwa konsep audiovisual dilandasi oleh pemahaman tentang hardware dan equipment (Finn, 1960). Kebanyakan penggunaan alat-alat pendidikan di kelas digunakan sesudah Perang Dunia ke II (Lange, 1969). Oleh karenanya pemahaman yang terkenal memberitahuakn bahwa teknologi pendidikan merupakan output evolusi gerakan penggunaan audiovisual pada pendidikan. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di OHIO State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 beserta ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka menyampaikan interaksi antara materi ajar secara kongkrit dengan proses belajar. Mereka mulai menggambarkan mengenai visual aid atau alat bantu mengajar yg berupa gambar, contoh, objek yg berupa pengalaman belajar kongkrit pada siswa dengan tujuan buat memperkenalkan, menciptakan, memperkaya, atau mengklarifikasi konsep tak berbentuk. Kemudian Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar pada dalam kelas. Buku yg pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menyebutkan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana terkenal hingga waktu kini . Konsepnya sangat mensugesti serta mengilhami pengembangan konsep audiovisual.
2. Fase Permulaan Lahirnya Konsep
Perkembangan selanjutnya adalah termasuk “Fase Permulaan” disusunnya konsep teknologi pendidikan secara sistematis, berlangsung pada tahun 1963 menggunakan bercirikan pergeseran audiovisual ke arah teknologi pendidikan. Pada masa ini mulai disusun definisi secara formal teknologi pendidikan sebagaimana dinyatakan sang AECT, walaupun perumusan definisinya masih kental dengan kandungan audiovisual communication. Formulasi definisi yang disusun menggunakan serius dalam pemahaman bahwa teknologi pendidikan merupakan teori serta reorientasi konsep yg membedakannya menggunakan konsep audiovisual.
Hasil identifikasi menerangkan bahwa kandungan definisi teknologi pendidikan memuat tiga inspirasi utama yaitu: 1. Menggunakan konsep proses dibanding konsep produk; 2. Memakai kata massage dan media instrumentation dibanding istilah materials dan machine; dan tiga. Memperkenalkan bagian krusial menurut belajar dan teori komunikasi (Ely, 1963: 19). Dari kandungan definisi tadi maka sejak tahun 1963 masih ada pemahaman bahwa teknologi pendidikan memperoleh donasi konsep menurut konsep komunikasi, teori belajar, serta teaching machine and programmed instruction.
Teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan pada mengusut konsep komunikasi dalam pendidikan. Hal ini diperkuat Dale yg menekankan perlunya komunikasi pada memulai mengajar dan menulis. Konsep komunikasi yang terpilih dalam masa itu bergeser berdasarkan komunikasi satu arah ke komunikasi 2 arah atau interaktif. Konsep komunikasi yang diungkapkan Shannon serta Weaver’s menjadi output kajiannya terhadap komunikasi telpon dan teknologi radio menjadi model yang khas yg diklaim Mathematical Theory of Communication, menggunakan komponen-komponennya yang terdiri berdasarkan: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong dalam komunikasi linier. Kemudian David Berlo (1960) yg banyak diilhami contoh Shannon serta Weaver membentuk temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak menaruh perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini sebagai dasar pengembangan pada komunikasi audiovisual dalam pendidikan. Perkembangan ke arah komunikasi interaktif mempunyai pengaruh terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan yg banyak memperhatikan perubahan posisi decoder serta encoder dalam mendapat, memasak, serta menyampaikan feed back pesan sehingga terjadinya saling memberi keterangan.
Kajian pakar-pakar psikologi dan sosial psikologi pada pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama sebagai penekanan kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Hasil kajiannya membawa pengaruh terhadap penyelenggaraan pembelajaran, terutama pada menetapkan tujuan pengajaran, tahu siswa, pemilihan metode mengajar, pemilihan asal belajar, serta evaluasi. Kemudian berkembang beberapa kajian yang berkaitan dengan hubungan antara media audiovisual dengan pembelajaran yang difokuskan pada persepsi peserta didik, penyajian pesan, dan pengembangan model pembelajaran. Studi masa itu kebanyakan diwarnai sang aliran psikologi behavior, menjadi contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Teori belajar dan psikologi behavior ini mempengaruhi teknologi pendidikan pada masa itu pada tiga hal, yaitu: 1. Pengembangan serta penggunaan teaching machine dan program pembelajaran; 2. Spesifikasi tujuan pendidikan ke arah behavioral objectives; serta 3. Pencocokan konsep operant conditioning menggunakan konsep model komunikasi (Ely, 1963).
Keterkaitan teori belajar ini terus dikaji sang para ahli teknologi pendidikan, sebagai akibatnya nir hanya psikologi behavior saja yg mempunyai kontribusi terhadap teknologi pendidikan akan tetapi bergeser ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan sang Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kedudukan teori belajar dijadikan asal ilham di pada pengembangan contoh pembelajaran, terutama pada pada penetapan tingkah laku yang harus dikuasai peserta didik, ciri siswa, syarat-syarat pembelajaran yg wajib dirancang, bersama berbagai fasilitas belajar yg dapat memperkuat pengalaman belajar siswa.
Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), serta kajian kurikulum buat pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat terkenal dan diawali kajiannya sang Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yg mulai membuatkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine serta programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler, 1990). Dasar-dasar pemahaman teaching machine, programmed instruction diantaranya pemahaman mengenai perbedaan individual, pengorganisasian pembelajaran, dan penilaian hasil belajar.
Skinner membicarakan bahwa teaching machine sangat fundamental dalam proses pembelajaran, terutama dalam memperkuat (reinforcement) pembelajaran. Menurutnya bahwa teaching machine adalah instrumen yang simpel serta menyatu menggunakan usaha penguatan pembelajaran, sebagai akibatnya siswa dapat memperkuat perolehan pengalaman belajarnya. Konsep reinforcement pada pengajaran ini banyak diwarnai sang aturan operant conditioning yang mengikuti Thorndike’s law effect.
Program pembelajaran pada hakekatnya ditujukan untuk kepentingan efesiensi pembelajaran, sehingga setiap penyelenggaraan pembelajaran perlu berdasarkan atas prinsip-prinsip pengajaran yg sempurna. Kalaulah sistem pembelajaran itu sebagai proses pengajaran dan belajar, dan didalamnya terkandung proses komunikasi, maka perlu dianalisis komponen-komponen apa yg perlu dipersiapkan buat terjadinya proses pengajaran serta belajar tadi. Pada masa tersebut pemanfaatan media audiovisual khususnya teaching machine dalam pembelajaran menjadi kajian utama sehingga mewarnai perumusan definisi teknologi pendidikan versi tahun 1960-an.
Sumbangan berdasarkan komunikasi, teori belajar, serta the man-machine system terhadap perumusan teknologi pendidikan sebagaimana dirumuskan sang National Education Association (NEA) pada istilah komunikasi audiovisual diakui AECT sebagai definisi formal yg pertama untuk teknologi pendidikan, walaupun disebutnya dengan memakai istilah komunikasi audiovisual. Menurut NEA bahwa komunikasi audiovisual merupakan cabang dari teori dan praktek pendidikan yang secara spesifik berkaitan menggunakan desain dan pemanfaatan pesan buat mengendalikan proses belajar. Kegiatannya mencakup: (a). Mempelajari kelebihan dan kekurangan yg unik juga yang relatif berdasarkan pesan baik yg diungkapkan pada bentuk gambar, maupun yang bukan, dan yang digunakan buat tujuan apapun pada proses belajar; serta (b) penyusunan serta penataan pesan oleh insan serta alat pada suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, pemilihan, manajemen serta pemanfaatan berdasarkan komponen dan seluruh sistem pembelajaran. (Ely, 1963: 18-19).
3. Fase Mempertahankan Identitas
Konsep yang berkembang pada masa permulaan terus dikaji ulang serta diubahsuaikan dengan perkembangan pemanfaatan audiovisual dalam pendidikan. Hasil kajian tahun 1965 melahirkan adanya beberapa pilihan, yaitu: 1). Dimungkinkan buat memakai kembali label audiovisual; dua). Merubah nama audiovisual menjadi educational communication; 3). Merubah nama audiovisual sebagai learning resources; serta 4). Merubah nama audiovisual sebagai instructional technology or educational technology. Sejalan menggunakan perubahan Department of Audiovisual Instruction (DAVI) sebagai Association for Educational Communication and Technology (AECT), maka secara serempak bidang kajian audiovisual berubah menjadi Instructional technology atau educational technology. Bahkan mencakup kajian educational communication. Silber (1972), mengungkapkan bahwa perubahan ini memiliki akibat terhadap cakupan pekerjaan educational technology yg akan membuat keanekaragaman program serta rancangan pembelajaran yang dapat dimanfaatkan siswa untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.
Terdapat 3 konsep utama yang menaruh kontribusi terhadap perumusan definisi versi tahun1972 sehingga teknologi pendidikan dijadikan sebagai bidang kajian, yaitu: 1). Keluasan pemaknaan learning resources; dua). Kontribusi acara individual or personal instruction, dan 3). Pemanfaatan system approach. Ketiga konsep ini digabungkan ke dalam suatu pendekatan buat memfasilitasi belajar, membangun keunikan, dan mempunyai alasan buat kepentingan pengembangan dalam bidang teknologi pendidikan.
Learning resources sebagai konsep yang pertama yg mendukung perumusan definisi 1972, dimaknai menjadi lingkungan belajar yang dapat menaruh, memperkuat, dan menambah fakta yg disampaikan guru. Ely (1972) mengklasifikasi learning resources ini ke dalam empat katagori, yaitu: bahan belajar, alat-alat serta fasilitas, orang, dan lingkungan. Klasifikasi lain membaginya ke pada dua kelompok, yaitu: human resources, dan non-human resources. Secara teknis, pengadaan learning resources ini dibagi ke dalam dua pola, yaitu by design, dan by utilization. Sumber belajar jenis by utilization kadangkala diklaim dengan “real world resources”, karena tidak spesifik dibuat buat kepentingan suatu pembelajaran tetapi memanfaatkan sumber belajar yang tersedia dalam global nyata buat membantu proses pembelajaran. Sedangkan maksud sumber belajar jenis by design adalah berbagai sumber belajar yang didesain serta diproduksi pengadaannya buat kepentingan penyelenggaraan pembelajaran. Melalui sumber belajar macam ini dibutuhkan dapat mengurangi kedudukan pengajar sebagai “transmitter of information” penyampai fakta, akan tetapi sebagai pengajar yg bisa memberi kemudahan pada peserta didik buat mencari serta memperoleh keterangan yg luas serta banyak sesuai menggunakan topik yg sedang dipelajarinya.
Faktor ke 2 yg banyak memberikan kontribusi terhadap definisi 1972 adalah berkembangnya konsep dan penggunaan individual or personal instruction pada penyelenggaraan pembelajaran. Hal ini diakibatkan oleh tumbuhnya banyak sekali kebutuhan belajar yg nir bisa dilayani dalam pembelajaran di kelas, belum terakomodasi dalam kurikulum yg diselenggarakan pada sekolah, dan atau adanya impian buat menaikkan pemahaman mengenai bahan belajar yang dipelajari di sekolah. Maksud dari individual or personal instruction merupakan sejumlah materi ajar yang disampaikan melalui teknik yg memungkinkan buat dapat belajar secara perorangan.
Empat contoh acara individualized instruction yang sangat populer yg menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, adalah: Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968); dan Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan sang Wisconsin Research and Development tahun 1976.
Kajian Mastery Learning poly mempengaruhi konsep individualized instruction dalam tahun 1960 an serta 1970 an. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa melalui mastery learning bisa diprediksi bahwa 95 % siswa dapat mencapai tingkat keberhasilan belajar bila mereka disediakan ketika belajar yg tepat. Melalui pendekatan individual ini peserta dapat belajar secara cepat serta independen, bahkan pendekatan ini menekankan dalam penyelesaian belajar buat bagian eksklusif secara utuh sebelum melanjutkan pada bagian lainnya. Bloom (196
mengidentifikasi adanya 5 variabel yg sangat penting dalam program mastery learning, yaitu: kualitas pembelajaran, kecakapan buat memahami pelajaran, ketekunan, saat, serta kecerdasan. Menurut Bloom (196
didasarkan atas hasil kajiiannya memberitahuakn bahwa siswa yang mempunyai kecerdasan yang tinggi dapat mengerjakan secara baik setiap tugas yg diberikannya, bahkan beliau bisa terlibat belajar walaupun buat bahan ajar yang sangat komplek, sedangkan peserta didik yang mempunyai kecerdasan yang rendah hanya bisa menyelidiki materi ajar yang sederhana sesuai menggunakan kemampuannya. Sedangkan John Carroll (1963) menyebutkan bahwa bila syarat peserta didik memiliki kecerdasan yang berdistribusi normal serta mereka memperoleh kualitas pembelajaran dan jumlah saat belajar yang sama maka pengukuran output belajar akan membuktikan distribusi normal juga. Menurutnya, bahwa kecerdasaan dan jumlah ketika belajar merupakan persyaratan bagi peserta didik buat bisa memperoleh hasil belajar secara tuntas.
Disamping mastery learning yg memiliki donasi terhadap perkembangan konsep teknologi pendidikan pada kaitannya menggunakan individual instructin adalah Fred Keller (196
yang membuatkan the Personalized System of Instruction (PSI) menjadi hasil kajiannya pada perguruan tinggi. Konsep ini merupakan adonan antara mastery learning menggunakan program pembelajaran yg konvensional, serta ditambah menggunakan motivasi. Pengajaran tatap muka didesain menjadi suplemen buat memperkaya dominasi bahan belajar dibanding sebagai sumber keterangan yang utama untuk ketuntasan pemahaman materi ajar. Keller memakai pengawas atau pembimbing yg menguasai bahan ajar, dan ditugaskan buat mencatat output tes serta memberikan tutorial pada peserta didik yang memerlukannya. Melalui pengawas ini diharapkan dapat menaikkan aspek sosial pada diri peserta didik pada proses pendidikan.
Kemudian di Universitas Pittsburgh (1964) dikembangkan jua Individually Prescribed Instruction (IPI) untuk kepentingan pedagogi di sekolah dasar. IPI ini hampir sama menggunakan PSI yg memakai prinsip penggabungan teori belajar behavioris menggunakan mastery learning. Sebelum siswa mempelajari bahan belajar mereka diberikan tes awal buat memutuskan kemampuan awal siswa serta strata bahan belajar yg akan dipelajarinya. Tes awal ini yg membedakan antara konsep IPI dengan contoh yang dikembangkan Keller dan mastery learning. Dan dari hasil kajiannya tes awal ini lebih efektif pada menetapkan awal siswa mempelajari materi ajar dan penguasaan holistik mata pelajaran.
Kajian lain dilakukan oleh Wisconsin Research and Developmen Center (1976) yg berbagi Individually Guided Education (IGE) pada lebih kurang 3000 sekolah menggunakan adanya keanekaragaman treatment. Model ini memiliki pola adanya tes awal, tujuan pengajaran spesifik, dan rancangan acara pengajaran. Model ini jua menggunakan adanya pembinaan guru, pengujian contoh pengajaran yang digunakan, adanya team teaching, nir adanya tingkatan sekolah, serta tutor sebaya dan lintas umur. Dengan adanya pengembangan staf untuk menguasai contoh yg digunakan maka memudahkan dalam mencapai keberhasilan model ini dalam penyelenggaraan pembelajaran.
Kontribusi ketiga terhadap definisi teknologi pendidikan versi tahun 1972 adalah pendekatan sistem. Hal ini didasarkan atas pemahaman bahwa program pembelajaran merupakan menjadi sistem yg mempunyai komponen-komponen pembelajaran yg saling keterkaitan satu sama lainnya buat mencapai tujuan pengajaran. Sesuai dengan konsep sistem yg bersifat preskriptif, maka rancangan acara merupakan penetapan berbagai komponen pembelajaran untuk mencapai tujuan pedagogi yang telah ditetapkan. Standar yang terkandung dalam tujuan pengajaran dipakai sebagai acuan buat memutuskan karakteristik siswa, materi ajar, sumber belajar, fasilitas yg perlu digunakan serta tes buat mengukur keberhasilan pencapaian tujuan itu sendiri. Hug dan King (1984) mengungkapkan bahwa tujuan penggunaan pendekatan sistem ini adalah buat merancang, mengimplementasikan, dan menilai holistik acara pendidikan. Sedangkan penafsiran berdasarkan pendekatan sistem itu sendiri didasarkan atas pendapat Ludwig von Bertalanffy (1975) dalam General System Theory yang menekankan dalam studi terhadap keseluruhan entitas dalam memahami interaksi yang fundamental eksistensi dari keseluruhan komponen dalam sistem.
Melalui pendekatan sistem maka teknologi pendidikan tidak memutuskan langkah-langkah secara partial akan namun didasarkan atas holistik komponen-komponen yang terlibat pada pendidikan itu sendiri, baik dalam kaitannya menggunakan pembelajaran secara mikro maupun penyelenggaraan pendidikan secara makro.
Didasarkan atas masukan-masukan konsep tadi maka AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi 1972 (bukan menggunakan istilah komunikasi audiovisual) merupakan suatu bidang yg berkepentingan dengan memfasilitasi belajar dalam insan melalui bisnis yg sistematik pada identifikasi, pengembangan, pengorganisasi, serta pemanfaatan banyak sekali asal belajar dan menggunakan pengelolaan semua proses tadi (AECT, 1972:36).
4. Masa sistemisasi konsep
Perubahan dari AV communications ke teknologi pendidikan yang berlangsung pada tahun 1972 melahirkan definisi teknologi pendidikan versi 1972 yang menunjuk pada suatu bidang kajian dalam pendidikan. Konsep yang terkandung pada memaknai teknologi pendidikan ini terus dikritisi para ahli pendidikan dan didapatkan pemahaman bahwa teknologi pendidikan itu merupakan suatu proses bukan hanya buat bidang kajian saja, bahkan termasuk teori serta profesi teknologi pendidikan. Secara konsep perkembangan kajian ini melahirkan definisi versi 1977 yg didukung oleh tiga konsep primer yaitu: learning resources, managemen, serta pengembangan.
Association of Educational and Communication Technology (AECT) dalam tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology yg mengungkapkan: 1) hasil analisis yang sistematis dan menyeluruh mengenai wangsit serta konsep bidang teknologi pendidikan; dan 2) keterkaitan antara wangsit serta konsep yg satu dan lainnya. Buku tersebut mengungkapkan sejarah berdasarkan bidang kajian, alasan perumusan definisi, kerangka teoritis yg melandasi definisi, diskusi tentang pelaksanaan simpel, kode etik profesi organisasi, serta glossary peristilahan yg memiliki keterkaitan dengan definisi. Termasuk bahasan yg menjawab kontroversi antara kata educational technology serta instructional technology, yg memperlihatkan bahwa instructional technology sebagai bagian ”subset” berdasarkan educational technology yang adalah empiris pengajaran dalam pendidikan.
Kontribusi terhadap perumusan pulang definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan menggunakan perubahan penjabaran learning resources, yg dalam awalnya hanya meliputi empat kategori yaitu: bahan, alat-alat, orang, serta lingkungan, sebagai enam (6) kategori atau grup, yaitu: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik, dan lingkungan.
Terdapat tiga alasan menurut konsep yang terkandung pada learning resources versi 1977, yaitu: 1) keluasan asal belajar; 2) media; serta tiga) pengadaan asal melalui rancangan serta pemanfaatan. Keluasan asal belajar sebagai dasar kemungkinan adanya variasi penggunaan model teknologi pendidikan pada memecahkan perkara belajar. Melalui asal belajar yg bervariasi maka contoh pembelajaran dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, sistem penyampaian, dan anugerah pengalaman belajar kepada peserta didik. Pemanfaatan media ditujukan buat mentransformasikan warta, sebagai akibatnya dikembangkan contoh pembelajaran menggunakan memanfaatkan media tadi, seperti model media audio visual dimanfaatkan untuk contoh pembelajaran melalui audio visual. Sedangkan pengadaan asal belajar masih melanjutkan dari konsep versi 1972, yaitu adanya pengadaan yang didesain (by design), serta yg dimanfaatkan (by utilization). Pengadaan asal belajar yang didesain serta yang dimanfaatkan keduanya ditetapkan melalui analisis sistem buat tetapkan komponen pembelajaran yang paling cocok buat kepentingan belajar peserta didik pada mencapai tujuan secara efisien dan efektif. Perbedaannya terletak dalam proses pengadaan yaitu adanya rancangan serta produk yang sinkron dengan keperluan model pembelajaran, dan pada lain pihak adanya sumber belajar yg dimanfaatkan berupa dunia konkret sebagai lingkungan belajar buat kepentingan pembelajaran. Dalam makna bahwa learning resources yg telah ada pada sekeliling peserta didik dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan belajar.
Managemen menjadi pendukungan ke 2 dalam membentuk definisi teknologi pendidikan versi 1977, hal ini adalah dampak dari perkembangan konsep managemen terhadap gerakan efesiensi pendidikan. Pada awalnya managemen mensugesti terhadap administrasi sekolah, serta kemudian mempengaruhi kepada pembelajaran pada kelas. Managemen ini dilihat menjadi proses, yg semenjak definisi 1963 memiliki keterkaitan dengan menggunakan disain serta pemanfaatan pesan pendidikan. Pada tahun 1972, konsep managemen terlihat lebih kental dalam bidang kajian teknologi pendidikan. Diskusi yg berkembang ketika itu sepakat bahwa managemen mempunyai keterkaitan dengan teknologi secara umum, dan pada kaitannya dengan teknologi pendidikan terlihat bahwa proses belajar serta mengajar memerlukan adanya langkah-langkah proses pembelajaran, pengelolaan sistem pembelajaran, dan pengawasan. Untuk itu, disarankan bahwa guru perlu mempunyai pemahaman tentang managemen, karena mereka menjadi manager di dalam kelas yg memerlukan kemampuan pengelolaan kelas secara baik.
Heinich (1970) memiliki konsep bahwa managemen telah dikembangkan bersamaan dengan prinsip-prinsip sistem di dalam merancang pembelajaran, bahkan konsepnya sejalan dengan pendapat Hoban (1965) walaupun pada peristilah yang tidak sinkron. Ia menyebutnya dengan kata ”management of instruction”, sedangkan Hoban menggunakan istilah ”management of learning”. Menurutnya bahwa management of instruction nir hanya membuatkan dan menggunakan bahan belajar serta teknik pembelajaran saja akan namun termasuk pula keperluan-keperluan logistik, pendekatan sosiologis, serta faktor ekonomi. Bahkan adanya perubahan paradigma pemanfaatan teknologi pendidikan dalam sistem pendidikan yang pada awalnya kedudukan Audiovisual dimanfaatkan buat kepentingan pengajaran pada kelas dalam ketika guru mengajar, berubah dengan menempatkan teknologi pendidikan berada dan memberi donasi pada dalam proses pengembangan kurikulum. Dasar asumsinya bahwa perancangan kurikulum serta tahap pengembangannya menjadi sumber penetapan taktik pembelajaran yg mencakup strategi dalam penyelenggaraan pembelajaran. Di samping itu kedudukan pengajar nir hanya penentu contoh pengajaran yang akan digunakannya, akan tetapi beliau pun menjadi bagian berdasarkan perekayasa pada penyelenggaraan pembelajaran. Perubahan paradigma tadi sebagaimana terlihat pada bagan berikut:
Bagan 2
Kedudukan Audiovisual dalam Pembelajaran di Kelas (Heinich R, 1970)
Bagan 3
Kedudukan Teknologi Pembelajaran dalam Pengembangan Kurikulum (Heinich, R, 1970):
Dalam definisi versi 1977 ditetapkan bahwa managemen memiliki dua tahap, yaitu adanya managemen organisasi serta managemen personal. Margaret Chisholm serta Donald Ely (1976) menyampaikan bahwa tugas ke 2 managemen tadi diperlukan adanya keseimbangan. Menurutnya didalam acara pembelajaran melalui media terdapat enam (6) hal yg wajib sebagai tanggung jawab managemen organisasi, yaitu: penetapan tujuan, perencanaan program, pendanaan, perencanaan dan pengelolaan fasilitas, akses organisasi serta sistem penyampaian, serta penilaian. Dan managemen personal mempunyai enam tugas pula, yaitu: penetapan tujuan, rekrutmen, pemanfaatan, pembagian personal, peningkatan kemampuan staf, penetapan rancangan tugas, penilaian kinerja, dan pelaksanaan pengawasan.
Penggunaan istilah managemen dalam definisi teknologi pendidikan ini menjadi diskusi yang hangat diantara para ahli, akan namun dari segi manfaatnya mereka sepakat bahwa fungsi managemen ini menjadi hal yg penting buat mengelola banyak sekali macam hal yg berkaitan dengan perancangan, aplikasi, pengawasan, serta evaluasi pendidikan yang memakai pendekatan teknologi pendidikan.
Kontribusi ketiga terhadap perumusan definisi tahun 1977 merupakan pengembangan pendidikan. Istilah pengembangan pendidikan dianggap juga dengan kata teknologi pendidikan yg secara sistematik menyangkut desain, produksi, evaluasi, dan pemanfaatan sistem pendidikan, hal ini dapat diidentifikasi sebagai fungsi pengembangan pendidikan. Pengembangan pendidikan memakai pendekatan sistem dan pengembangan sistem instruksional yang diwujudkan dalam tahapan-tahapan riset dan pengembangan berdasarkan mulai identifikasi perkara belajar, disain, pengembangan, produksi contoh pembelajaran, uji coba model, pemanfaatan model pembelajaran, serta penyebarannya. Konsep pengembangan ini sejalan menggunakan konsep penemuan dan difusi yg dikembangkan Everet M Rogers (1962).
Terdapat 3 alasan pengembangan contoh instruksional yang dilakukan pada teknologi pendidikan, yaitu: pertama, sebagai alat buat dikomunikasikan kepada calon peserta didik dan pihak lainnya; ke 2, sebagai rancangan yg dipakai dalam pengelolaan pembelajaran; dan ketiga, model yg sederhana memudahkan buat dikomunikasikan pada calon siswa, serta model yang rinci akan memudahkan pada pengelolaan dan pembuatan keputusan penggunaannya. Model instruksional yg generik memudahkan setiap pihak yang mengadopsinya buat mengimplementasikan dalam banyak sekali macam setting. Jika diklasifikasi model-contoh yang berkembang bisa digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu model mikro yang antara lain dikembangkan oleh Banathy (1968), dan model makro yang dikembangkan the National Special Media Instritute (1971) yg dianggap menggunakan the Instructional Development Institute (IDI). Model Bela H Banathy mempunyai pendekatan terhadap siswa menjadi pusat sistem pembelajaran, serta modelnya ditujukan buat kepentingan pengajar dalam mengelola aktivitas belajar. Model ini diadopsi pada pengembangan sistem pembelajaran pada Indonesia, serta diklaim menggunakan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sedangkan contoh IDI bertujuan buat membantu sekolah yang mempunyai keterbatasan resources, adanya sejumlah guru yang memiliki dedikasi yang bertenaga dan ingin membantu siswa, dan mengharapkan buat menemukan inovasi menjadi solusi yg efektif buat memecahkan masalah belajar dan pembelajaran. Model IDI ini divalidasi oleh konsorsium empat perguruan tinggi: Michigan State University, Syracuse University, the United States International University, dan the University of Southern California. Model IDI ini mempunyai keberhasilan yg sangat optimal dalam memecahkan pembelajaran siswa, dan para pakar mengakui bahwa model pembelajaran ini sebagai output rekayasa pembelajaran yang sangat matang.
Bagan 4
Model Bela H Banathy (Instructional Design System)
Bagan 5
Model the Instructional Development Institute:
Masukan konsep berdasarkan ketiga faktor: learning resources, managemen, serta pengembangan tadi menghasilkan rumusan definisi teknologi pendidikan versi 1977. Didasarkan atas masukan tersebut AECT (1977) merumuskan definisi teknologi pendidikan menjadi proses yg komplek serta terpadu yang melibatkan orang, mekanisme, ide, alat-alat, serta oraganisasi buat menganalisis masalah, mencari jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan yg menyangkut seluruh aspek belajar insan.
Didasarkan atas definisi tadi, maka kawasan teknologi pendidikan bisa digambarkan melalui bagan berikut adalah:
Bagan 6
Kawasan Teknologi Pendidikan
(AECT, 1977)
Kawasan teknologi pendidikan tersebut mendeskripsikan bahwa semua usaha dalam teknologi pendidikan ditujukan buat memfasilitasi dan memecahkan perkara belajar siswa. Usaha-usaha tadi terdiri berdasarkan pengelolaan, pengembangan sistem pembelajaran menggunakan memanfaatkan asal belajar.
5. Fase Penyempurnaan Konsep
Pengakuan bahwa teknologi pembelajaran menjadi bagian dari teknologi pendidikan sebagaimana diungkapkan pada definisi 1977 sebagai kajian yg berfokus di lingkungan pakar-pakar pendidikan, sebagai akibatnya melahirkan dua gerombolan yg mempunyai argumentasi masing-masing. Kelompok yang memakai kata teknologi pembelajaran mendasarkan atas 2 alasan, yaitu: pertama, kata pembelajaran lebih sinkron menggunakan fungsi teknologi; kedua, istilah pendidikan lebih sesuai buat hal-hal yg berhubungan dengan sekolah atau lingkungan pendidikan. Kelompok ini beranggapan bahwa istilah pendidikan digunakan buat setting sekolah, sedangkan pembelajaran mempunyai cakupan yg luas, termasuk situasi training. Para ahli yg lebih putusan bulat menggunakan istilah teknologi pendidikan tetap bersikukuh bahwa istilah pembelajaran (instruction) diakui sebagai bagian dari pendidikan, sehingga usahakan digunakan peristilahan yang lebih luas (AECT, 1977). Kedua kelompok kelihatannya bersikukuh dengan pendapatnya, namun terdapat jua gerombolan yg menggunakan kedua kata tersebut dipakai secara bergantian, hal ini berdasarkan atas alasan-alasan: (a) dewasa ini kata teknologi pembelajaran lazim digunakan pada Amerika Serikat, sedangan teknologi pendidikan dipakai di Inggris serta Kanada; (b) mencakup banyaknya pemanfaatan teknologi pada pendidikan dan pengajaran; (c) perlu mendeskripsikan fungsi teknologi dalam pendidikan secara lebih tepat; serta (d) dalam satu batasan bisa merujuk baik pada pendidikan maupun pembelajaran. Didasarkan atas penggunaan ke 2 istilah tadi, maka kata “teknologi pembelajaran” digunakan dalam definisi 1994 (Seels and Richey, 1994:5).
Barbara B. Seels dari University of Pittsburg dan Rita C Richey dari Wayna State University keduanya menurut komisi termonologi AECT menyebarkan definisi teknologi pembelajaran bersama kawasannya. Menurutnya bahwa teknologi pembelajaran adalah teori dan praktek pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan serta evaluasi proses dan sumber buat belajar. Definisi tersebut memiliki komponen-komponen: 1) teori dan praktek; dua) desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi; 3) proses dan asal; dan 4) buat kepentingan belajar.
Komponen teori serta praktek menunjukkan bahwa teknologi pembelajaran mempunyai landasan pengetahuan yg berdasarkan atas output kajian melalui riset dan pengalaman. Teori ditunjukkan oleh adanya konsep, konstruk, prinsip, serta proposisi yg memberi sumbangan terhadap keluasan pengetahuan. Sedangkan praktek merupakan penerapan pengetahuan tersebut dalam setting pembelajaran eksklusif, terutama dalam memecahkan perkara belajar. Dalam pembelajaran kita memahami bahwa teori-teori yang dipakai pada hakekatnya menurunkan menurut teori-teori yg dikembangkan sang ilmu murni, seperti psikologi yang diturunkan ke dalam teori belajar, adanya komunikasi pembelajaran, serta pengelolaan pembelajaran dan ilmu-ilmu lainnya. Sedangkan pada praktek pembelajaran ditunjukkan oleh penurunan konsep-konsep pengetahuan sesuai menggunakan syarat serta karakteristiknya, sebagai contoh syarat dan ciri siswa, bahan belajar, wahana dan fasilitas.
Komponen disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi adalah komponen sistem pengelolaan dalam pembelajaran. Setiap komponen memiliki teori serta praktek yang spesifik dan mempunyai keterkaitan secara sistimatis dengan bagian-bagian lainnya, baik menjadi masukan juga umpan pulang serta penilaian. Tahapan-tahapan tersebut merupakan tahapan pengelolaan pembelajaran yang di dalamnya memiliki aktifitas kegiatan masing-masing.
Komponen proses serta asal dimaksudkan menggunakan serangkaian kegiatan yang memanfaatkan sumber belajar buat mencapai hasil belajar. Proses dan sumber mempunyai keterkaitan menggunakan komponen pengelolaan pembelajaran di atas. Melalui komponen proses ini maka dianilisis serta ditetapkan aktivitas-aktivitas yg tepat serta sistematis melalui pemanfaatan asal belajar yang sudah diputuskan buat mencapai tujuan pedagogi yg telah ditetapkan.
Komponen belajar dimaksudkan bahwa acara pembelajaran yg dirancang pada hakekatnya ditujukan buat terjadinya belajar dalam diri siswa, sebagai akibatnya kasus belajar yang dimilikinya dapat terpecahkan. Oleh karena itu, kejelasan kebutuhan belajar yg akan dipecahkan sang suatu acara pembelajaran perlu diidentifikasi secara definitif terlebih dahulu, yang dalam akhirnya hal tadi menjadi salah satu kriteria dari keberhasilan acara pembelajaran yg dikembangkan.
Definisi teknologi pembelajaran di atas kemudian dipetakan ke pada tempat teknologi pembelajaran sebagai digambarkan Seels dan Richey ini dia:
Bagana 7
Kawasan Teknologi Pembelajaran:
(Seels serta Richey, 1994)
6. Rancangan Definisi 2004
Konsep definisi teknologi pendidikan menerima kajian secara terus menerus serta selalu dikritisi para pakar terutama yg tergabung pada AECT, hal ini sinkron menggunakan perkembangan pendidikan termasuk pembelajaran serta yg lebih khusus syarat serta ciri peserta didik dan komponen pembelajaran lainnya. AECT merumuskan definisi teknologi pendidikan versi bulan juni 2004 yang termasuk masih prematur dan dilemparkan pada semua warga yg terkait menggunakan pendidikan melalui media internet. Pernyataan yg disampaikan bahwa definisi ini adalah pre-publication dari bab awal buku yg akan dipublikasikan AECT. Isi informasinya hanya buat mahasiswa, studi serta reviu, serta tidak diperkenankan untuk diproduksi terlebih dahulu.
Konsep definisi versi 2004 merupakan sebagai berikut: Teknologi pendidikan merupakan studi dan praktek yang etis pada memberi kemudahan belajar dan pemugaran kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses serta asal teknologi yang sempurna. Kalau dianalisis, di dalam definisi tersebut terkandung beberapa elemen berikut: 1) studi; dua) praktek yang etis; 3) kemudahan belajar; 4) perbaikan kinerja; 5) pemugaran kinerja; 6) kreasi, penggunaan, dan pengelolaan; 7) teknologi yg sempurna; dan
Istilah studi yg dipakai dalam definisi tadi merujuk dalam pemaknaan studi sebagai bisnis buat mengumpulkan kabar dan menganalisisnya melebihi aplikasi riset yg tradisional, meliputi kajian-kajian kualitatif dan kuantitatif buat mendalami teori, kajian filsafat, pengkajian historik, pengembangan projek, kesalahan analisis, analisa sistem, dan penilaian. Studi dalam teknologi pendidikan telah berkembang terutama dalam kaitannya dengan pengembangan model pembelajaran, efektifitas kedudukan media serta teknologi dalam pelaksanaan pembelajaran, dam penerapan teknologi pada pemugaran belajar. Kajian mutakhir banyak difokuskan pada penempatan posisi teori belajar, managemen berita, dan perkembangan pemanfaatan teknologi buat memecahkan perkara belajar yang dihadapi peserta didik. Istilah studi pada definisi tadi pada hakekatnya ditujukan buat memberi kemudahan belajar serta perbaikan kinerja belajar siswa melalui aktivitas belajar yang memanfaatkan sumber belajar yang tepat.
Definisi tersebut mengarahkan bahwa teknologi pendidikan memiliki praktek yang etis pada menaruh kemudahan belajar dan perbaikan kinerja belajar siswa. Maksud dari praktek yang etis tadi adalah adanya baku atau kebiasaan dalam mengkreasi atau merancang, memakai, serta mengelola proses pembelajaran dan pemanfaatan sumber belajar buat kepentingan belajarnya peserta didik.
Dari definisi 2004 ini tergambar bahwa adanya pergeseran gerakan teknologi pendidikan berdasarkan definisi sebelumnya yaitu bahwa teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran sebagai teori serta praktek, bahkan bidang kajian, sebagai studi dan praktek yg etis. Hal ini mengarahkan perlu adanya kajian-kajian yg mendalam serta lebih sempurna sebagai akibatnya diperoleh konsep-konsep dan praktek belajar sinkron menggunakan kepentingan belajar setiap individu. Namun demikian, perubahan gerakan tadi tidak menyurutkan tujuan menurut teknologi pendidikan yaitu memfasilitasi belajar dan perbaikan penampilan belajar peserta didik menggunakan menggunakan berbagai macam sumber belajar.
Pendahuluan Menurut Mills (1989:4), contoh adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yg memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan contoh itu. Hal itu merupakan interpretasi atas output observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Perumusan model memiliki tujuan: (1) menaruh citra kerja sistem buat periode eksklusif, serta di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan buat melaksanakan perubahan; (2) memberikan gambaran tentang kenyataan tertentu menurut diferensiasi saat atau memproduksi seperangkat anggaran yg bernilai bagi keteraturan sebuah sistem; (3) memproduk model yg mempresentasikan data serta format ringkas dengan kompleksitas rendah. Dengan demikian, suatu contoh dapat dipandang dari aspek mana kita memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian contoh pembelajaran dalam konteks ini, adalah landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan serta teori belajar, yg didesain menurut proses analisis yg diarahkan dalam implementasi KTSP serta implikasinya dalam taraf operasional pada pembelajaran. Model Mengajar Model mengajar bisa diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang dipakai dalam menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada guru di pada kelas dalam setting pengajaran. Untuk memutuskan model mengajar yg tepat, merupakan suatu pekerjaan yg nir mudah, lantaran memerlukan pemahaman yang mendalam tentang materi yg akan diberikan dan model mengajar yang dikuasai. Memilih suatu contoh mengajar, wajib juga diadaptasi dengan empiris yang ada dan situasi kelas yang akan didapatkan menurut proses kerjasama yg dilakukan antara guru serta siswa. Meskipun pada menentukan model mengajar yang cocok itu tidak gampang, namun guru harus memiliki perkiraan, bahwa hanya ada model mengajar yang sesuai menggunakan model belajar. Apabila pengajar mengharapkan peserta didiknya menjadi produktif, maka pengajar wajib membiarkannya dia berkembang sinkron dengan gayanya masing-masing. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar peserta didik. Banyak model mengajar yg telah dikembangkan sang para pakar. Pengembangan contoh tersebut didasarkan dalam konsep teori yang selama ini dikembangkan. Mengingat banyaknya contoh mengajar yg sudah dikembangkan, Bruce Joyce et.al (2000) mengelompokkan menjadi empat rumpun yaitu: contoh pemrosesan liputan (processing information contoh), contoh eksklusif (personal model), contoh interaksi sosial (social model), dan model konduite (behavior contoh). Model mengajar pemrosesan kabar terdiri dari model mengajar yang menjelaskan bagaimana cara individu memberi respon terhadap stimulus yang tiba berdasarkan lingkungan. Dalam prosesnya ditempuh langkah-langkah misalnya mengorganisasi data, memformulasikan kasus, menciptakan konsep serta rencana pemecahan masalah, dan penggunaan simbol mulut serta non lisan. Banyak contoh mengajar yang tergolong pada gerombolan model ini, yaitu: Inductive thinking (classification-oriented), Concept attainment, Scientific inquiry, Inquiry Tarining. Model langsung berorientasi pada perkembangan diri individu. Pelaksanannya lebih menekankan pada upaya membantu individu pada membangun dan mengorganisasikan realita yang unik dan lebih memperhatikan kehidupan emosional siswa. Upaya pedagogi lebih diarahkan dalam menolong siswa buat dapat menyebarkan kemampuannya dalam berbagi hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Yang tergolong dalam grup model mengajar ini adalah: Nondirective teaching dan Enhancing self esteem. Model Interaksi Sosial mengutamakan dalam interaksi individu menggunakan warga atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada proses dimana realita yg ada dipandang sebagai negosiasi sosial. Prioritas primer diletakkan dalam kecakapan individu pada herbi orang lain. Yang tergolong pada kelompok model mengajar antara lain: Partner in learning, Structured Inquiry, Group Investigation, Role Playing. Model mengajar perilaku dibangun atas dasar teori yg generik, yaitu kerangka teori perilaku. Salah satu cirinya merupakan kecenderungan memecahkan tugas belajar kepada sejumlah perilaku yg kecil-kecil serta berurutan serta dapat terukur. Belajar ditinjau menjadi sesuatu yang tidak menyeluruh, tetapi diuraikan pada langkah-langkah yg konkrit dan bisa diamati. Mengajar berarti mengusahakan terjadinya perbuatan pada konduite murid, serta perubahan tadi haruslah teramati. Termasuk dalam contoh konduite ini adalah: Mastery learning, Direct Instruction, Simulation, Social Learning, Programmed Schedule. Pergeseran Konsep Pembelajaran Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yg ditunjang sang perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, mendorong terjadinya pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model belajar. Asumsi pergeseran tadi, bertolak berdasarkan siswa yg dibutuhkan dapat menaikkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap serta keterampilan. Pengajar di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, akan tetapi bagian integral pada sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar yang terdapat, bermuara dalam 3 model utama, yaitu: a) Behaviroisme, b) Kognitivisme, serta c) Konstruktivisme. a. Pembelajaran Behavirosime Good et. Al.(1973) menganggap Behaviorisme atau tingkah laris bisa diperhatikan serta diukur. Prinsip utama bagi teori ini artinya faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan serta respon siswa terhadap rangsangan itu artinya responsnya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan pada antara stimulus serta respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan reward yg positif serta tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (sanksi). Sebagai contoh, seorang peserta didik diberikan ganjaran positif sehabis dia menampakan respon positif. Dia akan mengulangi respon tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan diperoleh dalam pengajaran guru menggunakan adanya latihan dan ganjaran terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) yg terbina akan memberi rangsangan agar belajar lebih bersemangat serta bermotivasi tinggi. Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan pada sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan menerima response positif. b. Pembelajaran Kognitif Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori konduite yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini mempunyai perspektif bahwa para siswa memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, serta lalu menemukan hubungan antara pengetahuan yg baru menggunakan pengetahuan yg sudah terdapat. Model ini menekankan pada bagaimana liputan diproses. Peneliti yang berbagi kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, serta Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki fokus yang tidak sinkron. Ausubel menekankan dalam apsek pengelolaan (organizer) yg memiliki imbas utama terhadap belajar. Menurut Ausubel, konsep tadi dimaksudkan buat penyiapan struktur kognitif siswa buat pengalaman belajar. Bruner bekerja dalam pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep menjadi suatu jawaban atas bagaimana siswa memperoleh liputan dari lingkungan. Bruner berbagi teorinya mengenai perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana seorang siswa belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek; (dua) iconic, dimana belajar terjadi melalui penggunaan contoh dan gambar; serta (tiga) symbolic yang menggambarkan kapasitas pada berfikir abstrak Gagne melakukan penelitian pada belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, memakai step-step kognitif: pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving), serta pemindahan kabar (transferring information). Menurut Bruner (1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui 3 termin yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan symbolic. Tahap pertama merupakan termin enaktif, dimana murid melakukan aktifitas-aktifitasnya pada usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah termin ikonik dimana dia melihat global melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal.tahap ketiga merupakan tahap simbolik, dimana dia memiliki gagasan-gagasan abstrak yg banyak ditentukan bahasa dan akal serta komunikasi dilkukan dengan pertolongan sistem simbol. Menurut Hartley & Davies (1978), prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan pada global pendidikan khususnya dalam melaksanakan aktivitas perancangan pembelajaran, yg mencakup: (1) Peserta didik akan lebih bisa mengingat dan memahami sesuatu bila pelajaran tersebut disusun berdasarkan pola serta logika eksklusif; (2) Penyusunan bahan ajar wajib menurut yg sederhana ke yang rumit. Untuk bisa melakukan tugas menggunakan baik peserta didik wajib lebih memahami tugas-tugas yg bersifat lebih sederhana; (3) Belajar menggunakan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa pengertian. Sesuatu yang baru wajib sinkron menggunakan apa yang telah diketahui murid sebelumnya. Tugas pengajar disini adalah memberitahuakn interaksi apa yg sudah diketahui sebelumnya; DAN (4) Adanya disparitas individu pada anak didik harus diperhatikan lantaran faktor ini sangat mensugesti proses belajar anak didik. Perbedaan ini meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses serta lain-lain. (pada Toeti Soekamto 1992:36) c. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisime adalah proses pembelajaran yg memperlihatkan bagaimana pengetahuan disusun pada diri insan. Unsur-unsur konstruktivisme sudah usang dipraktekkan pada proses belajar dan pembelajaran baik pada taraf sekolah dasar, menengah, maupun universitas, meskipun belum kentara terlihat. Berdasarkan faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, pengajar nir serta merta memindahkan pengetahuan kepada peserta didik pada bentuk yg serba sempurna. Dengan istilah lain, pesera didik harus menciptakan suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah output menurut bisnis peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan pada sekolah merupakan suatu skema, yaitu kegiatan mental yg digunakan sang peserta didik menjadi bahan mentah bagi proses renungan serta pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan menghadapi fenomena pada bentuk yang terasing dalam lingkungan sekitar. Realita yang diketahui siswa merupakan realita yang beliau bina sendiri. Peserta didik sebenarnya telah memiliki satu set idea dan pengalaman yang membangun struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang terdapat dalam mereka. Apabila pengetahuan baru sudah disesuaikan dan diserap buat dijadikan sebagian daripada pegangan bertenaga mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina. John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini menggunakan menyampaikan bahwa pendidik yg cakap wajib melaksanakan pengajaran serta pembelajaran menjadi proses menyusun atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau jua menekankan kepentingan keikutsertakan siswa di pada setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Ditinjau persepektif epistemologi yg disarankan pada konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku pada teknik pedagogi serta pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai model, perspektif ini akan mengganti kaidah pengajaran serta pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan siswa mencontoh menggunakan sempurna apa saja yang disampaikan sang pengajar, pada kaidah pedagogi serta pembelajaran yg menumpu pada kemampuan siswa pada membina skema pengkonsepan menurut pengalaman yg aktif. Ia jua akan mengubah tumpuan penelitian berdasarkan pelatihan contoh berdasarkan kaca mata guru pada pembelajaran sesuatu konsep dilihat berdasarkan kaca mata siswa. Beberapa aliran pembelajaran konstruktivisme: § Piaget Pembelajaran konstruktivisme menurut pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seorang dihasilkan pada ketika berinteraksi menggunakan lingkungannya, dua) pengetahuan yg diterima sang seseorang adalah proses pembinaan diri serta pemaknaan, bukan internalisasi makna berdasarkan luar. § Konstrukstivisme personal pembelajaran menurut konstruktivisme personal, mempunyai beberapa anggapan (postulat), yaitu: 1) Set mental (idea) yg dimiliki siswa mempengaruhi panca alat serta dalam akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2) Input yg diterima peserta didik nir mempunyai makna yang tetap, tiga) siswa menyimpan input yg diterima tadi ke dalam memorinya, 4) input yang tersimpan dalam memori tersebut bisa digunakan lagi buat menguji input lain yang baru diterima, lima) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang sebagai keputusannya. § Konstrukstivisme sosial Konstruktivisme sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk sang siswa, merupakan output interaksinya menggunakan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina sang manusia, 2) pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan personal merupakan perantara sosial dan pembina pengetahuan sosial merupakan perantara personal, 4) pelatihan pengetahuan sosial merupakan output interaksi sosial, serta 5) hubungan sosial menggunakan yang lain adalah sebagian menurut personal, training sosial, serta training pengetahuan bawaan. § Konstrukstivisme radikal Konstruktivisme radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara absolut, 2) pengetahuan saintifik hanya bisa diketahui menggunakan memakai instrumen yg tepat, 3) konsep yg terjadi merupakan output yg diperoleh individu selesainya melakukan ujicoba buat menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan berkembang dalam upaya penggambaran fungsi efektif mengenai pengalaman subjektif. Implikasi konstrukstivisme terhadap pembelajaran merupakan: (1) Pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan perkara dengan tingkat pengetahuan yg dimilikinya; (dua) Pada akhir proses pembelajaran, siswa mempunyai taraf pengetahuan yg tidak selaras sesuai menggunakan kemampuannya; (tiga) Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik harus bekerja sama dengan siswa yg lain; (4) Pengajar wajib mengakui bahwa siswa membentuk dan menstruktur pengetahuannya dari modalitas belajar yang dimilikinya. 2. Pengembangan Model Pembelajaran Berpijak pada 3 teori belajar misalnya dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan contoh pembelajaran wajib selaras menggunakan teori belajar yang dianut. Dengan kata lain, bila kita menganut teori behaviorisme, maka contoh pembelajaran yg bisa digunakan diantaranya adalah model pembelajaran yang tergolong dalam kelompok perilaku. Untuk penganut teori kognitivisme, contoh pembelajaran yang bisa dipakai merupakan model pembelajaran yang mengarah pada proses pengolahan informasi. Adapun buat yg menganut teori belajar konstruktivisme, maka model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran yg bersifat interaktif serta contoh pembelajaran yg berpusat dalam kasus. Hal ini berdasarkan dalam keliru satu prinsip yg dianut sang konstruktivisme, yaitu bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri menurut pengalaman dan output interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi pengetahuan itu tidak begitu saja diberikan oleh guru. a. Pengembangan model pembelajaran behaviorisme. Sesuai dengan pilosofis yang dianut sang para pakar behavioris tentang belajar, yaitu perubahan konduite yg dapat diukur, maka pada pengembangan model pembelajaran harus diarahkan pada proses penciptaan konduite baru yg dapat diukur. Menurut pilosofis behaviorist, belajar terjadi menurut pola berfikir deduktif, dan murid belajar secara individu (individual learning). Selain itu, pada proses pemelajarannya lebih terfokus pada guru (teacher centered). Model pembelajaran yang dapat dikembangkan diantaranya merupakan model pembelajaran mastery, model pembelajaran eksklusif, model pembelajaran simulasi, contoh pembelajaran sosial, serta model pembelajaran berprogram. Setiap model tersebut bisa dikembangkan menggunakan berbagai pendekatan dan strategi. b. Pengembangan model pembelajaran yg menganut teori kognitivisme. Menurut pandangan kognitivis, belajar bukan hanya sekedar perubahan konduite yg bisa diukur, melainkan bagaimana pengetahuan tadi diproses. Dengan istilah lain, berdasarkan kognitivis belajar bukan hanya sekedar keterkaitan antara stimulus serta respons, melainkan apa yang terjadi didalam fikiran atau mental orang yang belajar. Menurut pandangan kognitivis, seorang dikatakan belajar jika dalam diri individu tadi terjadi proses pengolahan keterangan menurut ketika mendapat berita baru, mengolah, menyimpan serta mengulang balik . Menurut pandangan ini, belajar akan baik jika diseusuaikan menggunakan taraf perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang sama buat anak dan orang dewasa akan mempunyai cara yang tidak sinkron. Dalam proses berfikirnya, bisa menganut pola fikir deduktif, juga induktif. c. Pengembangan contoh pembelajaran yg menganut teori konstruktivisme. Berbeda menggunakan teori sebelumnya, konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh langsung sang anak didik berdasarkan pengalaman dan hasil interaksi menggunakan lingkungan sekitar. Dalam proses pemelajarannya lebih ditekankan pada model belajar kolaboratif. Dengan kata lain, murid belajar pada grup nir seperti pada pembelajaran konvensional, bahwa siswa belajar secara individu. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa seseorang murid tidak hanya belajar menurut dirinya sendiri, melainkan pula belajar menurut yg lain. Dengan demikian, contoh pembelajaran yg perlu dikembangkan merupakan model pembelajaran yang terpusat pada perkara dan model belajar kolaboratif. Trend Pembelajaran
Ada beberapa konsep serta metode pembelajaran yg berkembang dewasa ini, dan menjadi demam isu yang diterapkan diberbagai forum pendidikan serta pedagogi di antaranya :
1. Quantum Learning Keberhasilan proses belajar yang dialami sang seseorang, nir terlepas dari beberapa faktor yg mempengaruhinya, baik yang dari menurut luar diri individu juga yang berasal berdasarkan dalam diri individu yang bersangkutan. Faktor yang dari menurut dalam diri individu berupa: motivasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan, serta pelaksanaan. Adapun yg dari dari luar diri individu bisa berasal dari bahan ajar, guru, ataupun lingkungan loka beliau belajar. Proses belajar yg terjadi dalam individu yg belajar, erat kaitannya menggunakan struktur otak yang dimilikinya. Berdasarkan belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Otak kanan mempunyai ciri pada cara berfikir logis, sekuensial, linier, dan rasional. Adapun otak kiri memiliki ciri dalam berfikir yg acak, tidak teratur, intuitif, serta keseluruhan. Agar pada proses belajar terjadi ekuilibrium, wajib diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri seimbang. Quantum learning membentuk konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh karenanya, belajar dalam konsep quantum learning merupakan memberdayakan semua potensi yang ada, sebagai akibatnya proses belajar menjadi suatu yang menyenangkan bukan menjadi sesuatu yg memberatkan. Quantum learning mengonsep mengenai “menata pentas: lingkungan belajar yg sempurna.” Penataan lingkungan ditujukan pada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset krusial buat belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke pada lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Target penataannya merupakan membangun suasana yg menyebabkan ketenangan serta rasa kalem. Lingkungan makro merupakan “global yang luas”. Peserta didik diminta buat menciptakan ruang belajar di rakyat. Mereka diminta buat memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan eksklusif, berinteraksi sosial ke lingkungan warga yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi menggunakan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yg menantang serta semakin mudah Anda menyelidiki keterangan baru”. Setiap murid diminta berhubungan secara aktif serta menerima rangsangan baru pada lingkungan warga , supaya mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan eksklusif. Pola yg dikembangkan tersebut, maka dalam setiap individu dibutuhkan timbul sikap tanggung jawab terhadap diri, sehingga akan terus belajar dan berupaya menggali sesuatu yg baru dan menggunakannya. Kemampuan pada menyerap kabar selanjutnya dikenal menggunakan istilah modalitas belajar. Adapun kemampuan dalam mengatur dan memasak berita dikenal menggunakan istilah penguasaan otak. DePorter (2002) mengelompokkan modalitas seseorang sebagai tiga gerombolan yaitu visual, auditorial, dan kinestesik. Dalam proses belajar modalitas tersebut bisa dibantu menggunakan memakai suatu alat yg dinamakan media, yakni media pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap dirinya, akan sahih-sahih menyadari terhadap modalitas, khususnya modalitas belajar yg dimilikinya. Komponen modalitas secara teoretis mengandung aspek-aspek misalnya yg dikemukakan Gardner (1992) meliputi aneka macam cara dilakukan pada membelajarkan diri, meliputi: (1) lisan/linguistik, (dua) logical/mathematical, (3) visual/spatial, (4) body/kinesetik, (5) musical/rhythmic, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, serta ( 8) naturalistik. 2. Quantum Teaching Mengajar adalah galat satu tugas seseorang yg menyandang predikat sebagai pengajar. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki seseorang pengajar yaitu kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa, melaksanakan proses pembelajaran, menguasai bahan ajar, serta melakukan penilaian hasil belajar. Mengajar dalam hakekatnya merujuk dalam kegiatan yang dilakukan sang guru pada rangka menciptkan proses belajar pada pembelajar. Dengan demikian, mengajar adalah upaya guru buat membentuk syarat-syarat atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sebagai akibatnya terjadi proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan pengajar, indera pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut, diperlukan pada diri peserta didik terjadi proses yg dikenal dengan nama proses belajar (Nasution, 1982). Dalam konsep pada atas, implisit bahwa kiprah pengajar adalah pemimpin dan fasilitator belajar. Dengan demikian, mengajar bukan hanya mengungkapkan bahan pelajaran, namun suatu proses dalam upaya membelajarkan peserta pembelajar. Mengingat sasaran utama pada proses pembelajaran merupakan terjadinya proses belajar, maka komponen-komponen pembelajaran diubahsuaikan menggunakan ciri siswa, terutama modalitas yang dimilikinya. Quantum teaching, merupakan konsep yg dikembangkan tentang mengajar ini berdasarkan dalam asas utama, yaitu “bawalah dunia mereka ke dunia kita serta bawalah global kita ke dunia mereka”. Selain itu, dikembangkan pula lima prinsip dasar, yaitu segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum anugerah nama, akui setiap usaha, dan bila layak dikerjakan layak juga dihargai (DePorter, 2002). Model yg dikembangkan terdiri dari dua komponen yaitu konteks yang memiliki empat aspek (suasana, landasan, lingkungan, dan rancangan) serta isi yang mencakup presentasi. Kerangka rancangan belajarnya merupakan tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi, dan rayakan (TANDUR). DAFTAR PUSTAKA Bruce Joyce., Marsha Weil. (2000). Model of Teaching. Boston : Allyn and Bacon Bruner, Jerome S. (1963). The Process of Education. New York : Vontage Books Davis, Russel G. (1980). Planning Education for Development: Volume Issue and Problems in The Planning of Education in Developing Coutries. Cambridge. Massachusetts. Gardner., White Blythe (1992). Multiple Modalities of Learning (Multiple Ontelligences).usa : CORD Communications, Inc Good,C.V.(1973).dictionary of Education.new York:McGraw-Hill Book Company. McKenzie, Jamie. 2000. Beyond Edutainment and Technotainment. //fno.org/sep00 /eliterate.html Pannen Paulina, dkk. 2005. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Jakarta: Dikti. Depdiknas. Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra. 1997. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Dikti. Depdiknas. Wowo Sunaryo Kuswana., Yayat, Sriyono. 2003. Model, Pendekatan, Strategi, Metode, Gaya. //wowosk.com/artikel/kurpem-contoh.php.