PENGERTIAN SEJARAH MENURUT PARA AHLI

Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli
Istilah “sejarah” dari dari bahasa Arab, yakni menurut kata Syajaratun yg memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian pohon kayu disini menunjukan adanya suatu insiden, perkembangan atau pertumbuhan mengenai suatu hal atau insiden pada suatu transedental (kontinuitas) (Dadang Supardan, 2007: 341). Dalam bahasa lain, peristilahan sejarah dianggap juga histore (Perancis), geschite (Jerman), histoire atau geschiedenis (Belanda), dan history (inggris) (Dudung Abdurrahman, 1999: dua). Semuanya sama-sama mengandung pengertian yang sama, yaitu masa lampau umat insan. Sehingga menurut pengertian yang paling umum, istilah sejarah atau history berarti masa lampau umat manusia.

Menurut Abromowitz (Supardan, 2007: 342) bahwa”…history is a chronology of ivents”. Selanjutnya Costa (Supardan, 2007: 342) mendifinisikan sejarah sebagai “…record of the whole human experience”. Jadi menurut Costa bahwa sejarah dalam hakikatnnya adalah catatan semua pengalaman baik secara individu juga secara kolektif bangsa/ nation dimasa kemudian mengenai kehidupan umat insan. Selain itu dalam kamus generik bahasa Indonesia oleh W. J. S Poerwadarminta (Tamburaka, 2002: 32) disebutkan bahwa sejarah mengandung tiga pengertian, yaitu:
(1). Kesustraan usang; silsilah; dari-usul.
(dua). Kejadian dan insiden yang sahih-benar terjadi pada masa lampau.
(3). Ilmu pengetahuan, cerita pelajaran mengenai kejadian serta insiden yg sahih-sahih terjadi dalam masa lampau.

Dari beberapa kabar diatas, kentara pendapat mengenai perhatian terhadap insiden-insiden masa lalu berada dibawah ruang lingkup penulisan sejarah, yg muncul lambat laun selama berabad- abad. Tetapi buat lebih jelasnya perlu dikutif beberapa definisi sejarah menurut beberapa pakar antara lain:
1. Prof. Bernheim (Rustam E. Tamburaka: 2002) mendifinisikan sejarah sebagai “diegerchite ist de wisenchaft von die entwietlung der menrechen bettetiegung als soziele warssen”. Artinya sejarah merupakan pengetahuan yg menyelidiki mengenai perbuatan insan pada perkembangannya menjadi mahluk sosial.

2. James Hervey Robinson (Helius Sjamsuddin: 2007) mengungkapkan bahwa sejarah, pada arti yang luas merupakan seluruh yg kita ketaahui tentang setiap hal yang pernah manusia lakukan , atau pikirkan, atau rasakan. (“history in the brodes sense of the world, is all that we know everything than man ever done, or thought or felt”) 

3. R. G.kolingwood (rustam E. Tamburaka: 2007) damal bukunya yang berjudul “the of history”, menjadi orang dialis beliau menemukan dua dalil tentang sejarah yaitu: 

Pertama; sejarah mempunyai arti yg kokoh buat menilik alam pikiran manusia dan pengalaman-permgalamannya.

Kedua: sejarah bersipat unik, langsung dan dekat. Pengertian sejarah bisa menerobos hakikat yang mendalam menurut peristiwa yang sedang dipelajari serta bisa menghayati peristiwa yg sebenarnya dari alam. Mengerti sejarah berati menyelami untuk melihat menggunakan jelas pikiran pikiran yg didalamnya.

4 Prof. DR. Sartono Katordirdjo (Rusmen E. Tamburaka :2007) membagi sejarah sebagai dua pengertian yaitu: sejarah pada arti bsubjektif serta sejarah arti objektif. Sejarah pada arti subjektif adalah suatu kontrakjsi bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sedangkan sejarah dalam arti yang objektif menujukkan pada kajian atau peristiwa itu sendiri, merupakan proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi dan nir dapat berulang balik .

Dari beberapa definisi sejarah menurut para hali di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sejarah adalah insiden masa lampau umat manusia yg hanya sekali terjadi (objektif) namun sanggup dikonstuksi pada penulisan sejarah sebagai manifestasi dari kehidupan insan baik dalam kehidupannya sekarang juga yang akan tiba.

Sejarah sosial
Sejalan dengan perkembangan ilmu sejarah sampai waktu ini sudah timbul aneka macam cabang ilmu sejarah dari teman-teman yang menaruh sifat atau karaktistik tertentu dalam berbagai ragam historiografi yang dihasilkan, diantara ada yang dikatagorikan sebagai sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah mentalitas, sejarah intelektual, sejarah demografi dan lain sebagainya, (helius sjamsuddin, 2007: 306). Sedangkan dalam goresan pena ini akan dibahas mengenai sejarah menggunakan mengunakan pendekatan sejarah sosial rakyat yang acapkali jugak dianggap sejarah sasyarakat yg terpinggirkan. Sehingga masyarakat pada penulisan sejarah tidak sebagai manusia-manusia tanpa sejarah.

Sebagai mana yg terkandung menurut tema sejarah yang pada usungnya yaitu sejarah sosial, maka sudah barang tentu didalamnya menelaah sejarah mengenai sejarah masyarakat (kemasyarakatan) (sjamsuddin, 2007: 307).

Adapun definisi sejarah sosial serta/atau sosiologi sejarah menjadi sejarah masyarakat, seringkali para sajarawan sendiri membuat definisi masing-masing yang tidak jauh tidak sama, tetapi maksudnya sama yaitu mempelajari masyarakat. Beberapaa definisi yg di makdud mengenai sejarah sosial memenurut beberapa ahli adalah sebabai berikut:
1. G. M. Trevrlan (sjamsuddin: 2007) menyebut sejarah warga menggunakan menghilangkan politiknya(the histoty of a people with the politics left out) 
2 Asa brings (sjamsuddin: 2007) menyebutkan bahwa sejarah sosial mengkaji sejarah berdasarkan orang-orang mikin atau kelas bawah, gerakan-gerakan sosial, menjadi aktivitas manusia misalnya tingkah laku , istiadat-adat, kehidupan sehari-hari , sejarah sosial pada interaksi dengan sejarah ekonomi
3. Desin smith (helius Sjamuddin:2007) mendefinisikan sejarah sosiah sebagai kajiaan tentang masa kemudian buat mengetahui bagaimana masyarakat-rakyat bekerja dan berubah .

Sehubungan menggunakan beberapa definisi sejarah sosial diatas, ada kalanya juga sejarah sosial juga diartikan menjadi sejarah aneka macam gerakan sosial, diantaranya menycakup gerakan petani, buruh, mahasiswa, proses sosial dan lain sebagainya (saartono katordirdjo, 1993: 158).

Dari bebeerapa pendapat pakar diatas bisa disimpulkan bahwasejarah sosial adalah sejarah menurut mayarakat bahwa dalam umumnya baik itu adalah aktivitas sehari-hari, kegiatan ekonomi, tata cara-tata cara, stratifikasi sosial serta lain sebagainya. Sekaligus mengkaji bagaimana warga -masyarakt tersebut pada kehidupan sosialnya, pekerjaannya maupun perubahannya dalam lintas sejarah…

Dengan mengunakan ilmu-ilmu sosial , sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas, sekalipun kadang-kadang wajib terikat pada contoh teoritisnya. Dan pada akhirnya sejarah sosial dapat mengambil paktor sosial sebagai bahan kajiannya (kuntowijoyo, 2003: 41).

Salah satu tema pokok dari bidang sejarah sosial sudah barang tentu yialah perubahan dalam konteks sejarahnya, serta merupakan dalam satu konsep yang sangat luas cakupannya, sesungauhnya proses sejarah dalam keseluruhannya, apa apabila dikaji menurut perspektif sejarah sosialnya, merupakan proses perubahan sosial dalam berbagai dimensi atau aspeknya. 

Dipandang sebagainya proses modernisasi, prubahan sosial, yang kadang-kadang sebagai pertarungan sosial adalah adanya proses akulturasi. Artinya proses yang menycakup bisnis warga menghadapi efek kultur dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian komuditi menurut syarat dari nilai atau itiologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan reprensi cultural, yang kesemuanya adalah factor-faktor cultural yg menentukan sikap terhadap impak baru (Sartono Kartodirdji, 1993: 160).

Sehubungan menggunakan pendapat pada atas maka kehidupan sosial rakyat pada desa Jerowaru jua mengalami proses yang pada sebut menjadi proses perubahan ini, atau lebih tepat dikatakan terjadinya proses adaptasi dengan pengaruh luar dampak adanya hubungan sosial dalam masyarakt dan pada beberapa aspek kehidupan.

Mampat ilmu sejarah
Sejarah selalu dikaitkan dengan insiden atau peristiwa masa lampau umat insan, selaku sebuah cerita, sejarah menberikan suatu keadaan yg sebelumnya terjadi, tidak selaras dengan dongeng yg juga berbentuk cerita, tetapi hanya pelibur lara, sedangkan cerita sejarah, sumbernya adalah insiden masa lampau/ masa dilamberdasarkan peningalan sejarah. Peningalan tadi berupahasil perubahan insan sebagai mahluk sosial (Rustam E. Tamburaka 2007: 7). Dari pengalaman manuaia tersbut kita dapat bercermin dan pemiliki perubahan-perubahan nama yang dapat dijadikan ilham dan perbuatan serta tindakan mana yang seharusnya dihindari.

Dengan demikian, mamfaat yang bisa kita petik dengan mengetahui sejarah merupakan kita dapat lebih berhati-hati supaya kegagalan yg pernah perjadi nir terulang balik . Sehing tetaplah istilah kompuse, seorang filsof cina berkata “ sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana. Selanjutnya Cicero (seorang pakar sejarah yunani) mengungkapkan “ history its magisstra vitae” merupakan sejarah bermamfaat sebagai guru yg baik (bijaksana). Sehingga terciptalah sebuah cerita sejarah yang berdasar pada fenomena, pada bentuk peningalan atau sumber sejarah (Rustam E.tamburaka, 2002: 7).

PENGERTIAN SEJARAH MENURUT PARA AHLI

Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli
Istilah “sejarah” dari dari bahasa Arab, yakni dari istilah Syajaratun yang mempunyai arti “pohon kayu”. Pengertian pohon kayu disini mengambarkan adanya suatu kejadian, perkembangan atau pertumbuhan tentang suatu hal atau insiden pada suatu transedental (kontinuitas) (Dadang Supardan, 2007: 341). Dalam bahasa lain, peristilahan sejarah dianggap jua histore (Perancis), geschite (Jerman), histoire atau geschiedenis (Belanda), serta history (inggris) (Dudung Abdurrahman, 1999: 2). Semuanya sama-sama mengandung pengertian yg sama, yaitu masa lampau umat insan. Sehingga menurut pengertian yg paling generik, kata sejarah atau history berarti masa lampau umat insan.

Menurut Abromowitz (Supardan, 2007: 342) bahwa”…history is a chronology of ivents”. Selanjutnya Costa (Supardan, 2007: 342) mendifinisikan sejarah menjadi “…record of the whole human experience”. Jadi dari Costa bahwa sejarah pada hakikatnnya adalah catatan seluruh pengalaman baik secara individu maupun secara kolektif bangsa/ nation dimasa lalu mengenai kehidupan umat manusia. Selain itu dalam kamus umum bahasa Indonesia oleh W. J. S Poerwadarminta (Tamburaka, 2002: 32) disebutkan bahwa sejarah mengandung 3 pengertian, yaitu:
(1). Kesustraan lama ; silsilah; dari-usul.
(dua). Kejadian serta peristiwa yang sahih-benar terjadi dalam masa lampau.
(tiga). Ilmu pengetahuan, cerita pelajaran tentang insiden serta peristiwa yang benar-sahih terjadi dalam masa lampau.

Dari beberapa keterangan diatas, jelas pendapat mengenai perhatian terhadap insiden-peristiwa masa lalu berada dibawah ruang lingkup penulisan sejarah, yg timbul lambat laun selama berabad- abad. Namun buat lebih jelasnya perlu dikutif beberapa definisi sejarah berdasarkan beberapa pakar diantaranya:
1. Prof. Bernheim (Rustam E. Tamburaka: 2002) mendifinisikan sejarah sebagai “diegerchite ist de wisenchaft von die entwietlung der menrechen bettetiegung als soziele warssen”. Artinya sejarah merupakan pengetahuan yg mengusut tentang perbuatan manusia dalam perkembangannya menjadi mahluk sosial.

2. James Hervey Robinson (Helius Sjamsuddin: 2007) mengungkapkan bahwa sejarah, pada arti yg luas merupakan seluruh yg kita ketaahui mengenai setiap hal yg pernah manusia lakukan , atau pikirkan, atau rasakan. (“history in the brodes sense of the world, is all that we know everything than man ever done, or thought or felt”) 

3. R. G.kolingwood (rustam E. Tamburaka: 2007) damal bukunya yg berjudul “the of history”, sebagai orang dialis beliau menemukan 2 dalil mengenai sejarah yaitu: 

Pertama; sejarah memiliki arti yg kokoh buat mengusut alam pikiran insan dan pengalaman-permgalamannya.

Kedua: sejarah bersipat unik, langsung dan dekat. Pengertian sejarah dapat menerobos hakikat yang mendalam menurut peristiwa yang sedang dipelajari serta dapat menghayati peristiwa yg sebenarnya menurut alam. Mengerti sejarah berati menyelami buat melihat menggunakan jelas pikiran pikiran yg didalamnya.

4 Prof. DR. Sartono Katordirdjo (Rusmen E. Tamburaka :2007) membagi sejarah menjadi dua pengertian yaitu: sejarah pada arti bsubjektif dan sejarah arti objektif. Sejarah pada arti subjektif adalah suatu kontrakjsi bangunan yg disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sedangkan sejarah pada arti yg objektif menujukkan kepada kajian atau peristiwa itu sendiri, merupakan proses sejarah pada aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi dan tidak bisa berulang pulang.

Dari beberapa definisi sejarah dari para hali pada atas, bisa diambil suatu kesimpulan bahwa sejarah merupakan insiden masa lampau umat manusia yg hanya sekali terjadi (objektif) tetapi mampu dikonstuksi pada penulisan sejarah menjadi manifestasi berdasarkan kehidupan manusia baik pada kehidupannya kini juga yang akan datang.

Sejarah sosial
Sejalan menggunakan perkembangan ilmu sejarah sampai ketika ini sudah timbul banyak sekali cabang ilmu sejarah dari sahabat-sahabat yang menaruh sifat atau karaktistik eksklusif dalam aneka macam ragam historiografi yang didapatkan, diantara ada yg dikatagorikan sebagai sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah mentalitas, sejarah intelektual, sejarah demografi dan lain sebagainya, (helius sjamsuddin, 2007: 306). Sedangkan dalam goresan pena ini akan dibahas mengenai sejarah dengan mengunakan pendekatan sejarah sosial masyarakat yg acapkali jugak disebut sejarah sasyarakat yang terpinggirkan. Sehingga warga dalam penulisan sejarah tidak menjadi manusia-manusia tanpa sejarah.

Sebagai mana yang terkandung berdasarkan tema sejarah yg di usungnya yaitu sejarah sosial, maka sudah barang tentu didalamnya menelaah sejarah mengenai sejarah rakyat (kemasyarakatan) (sjamsuddin, 2007: 307).

Adapun definisi sejarah sosial dan/atau sosiologi sejarah menjadi sejarah masyarakat, seringkali para sajarawan sendiri membuat definisi masing-masing yg tidak jauh berbeda, namun maksudnya sama yaitu mengkaji rakyat. Beberapaa definisi yang pada makdud mengenai sejarah sosial memenurut beberapa pakar adalah sebabai berikut:
1. G. M. Trevrlan (sjamsuddin: 2007) menyebut sejarah rakyat dengan menghilangkan politiknya(the histoty of a people with the politics left out) 
2 Asa brings (sjamsuddin: 2007) mengungkapkan bahwa sejarah sosial menyelidiki sejarah berdasarkan orang-orang mikin atau kelas bawah, gerakan-gerakan sosial, sebagai kegiatan manusia misalnya tingkah laris, istiadat-tata cara, kehidupan sehari-hari , sejarah sosial pada interaksi menggunakan sejarah ekonomi
3. Desin smith (helius Sjamuddin:2007) mendefinisikan sejarah sosiah menjadi kajiaan mengenai masa lalu untuk mengetahui bagaimana rakyat-rakyat bekerja dan berubah .

Sehubungan dengan beberapa definisi sejarah sosial diatas, terdapat kalanya jua sejarah sosial pula diartikan sebagai sejarah banyak sekali gerakan sosial, antara lain menycakup gerakan petani, buruh, mahasiswa, proses sosial dan lain sebagainya (saartono katordirdjo, 1993: 158).

Dari bebeerapa pendapat pakar diatas bisa disimpulkan bahwasejarah sosial adalah sejarah menurut mayarakat bahwa pada umumnya baik itu adalah aktivitas sehari-hari, aktivitas ekonomi, istiadat-tata cara, stratifikasi sosial dan lain sebagainya. Sekaligus menelaah bagaimana rakyat-masyarakt tersebut dalam kehidupan sosialnya, pekerjaannya maupun perubahannya pada lintas sejarah…

Dengan mengunakan ilmu-ilmu sosial , sejarawan memiliki kemampuan memperlihatkan yang lebih kentara, sekalipun kadang-kadang harus terikat dalam model teoritisnya. Dan pada akhirnya sejarah sosial dapat merogoh paktor sosial menjadi bahan kajiannya (kuntowijoyo, 2003: 41).

Salah satu tema utama berdasarkan bidang sejarah sosial sudah barang tentu yialah perubahan pada konteks sejarahnya, dan merupakan dalam satu konsep yang sangat luas cakupannya, sesungauhnya proses sejarah dalam keseluruhannya, apa apabila dikaji menurut perspektif sejarah sosialnya, merupakan proses perubahan sosial dalam banyak sekali dimensi atau aspeknya. 

Dipandang sebagainya proses modernisasi, prubahan sosial, yg kadang-kadang sebagai konflik sosial merupakan adanya proses akulturasi. Artinya proses yang menycakup bisnis rakyat menghadapi dampak kultur menurut luar menggunakan mencari bentuk penyesuaian komuditi menurut kondisi menurut nilai atau itiologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan syarat, disposisi, serta reprensi cultural, yg kesemuanya adalah factor-faktor cultural yg memilih sikap terhadap imbas baru (Sartono Kartodirdji, 1993: 160).

Sehubungan menggunakan pendapat pada atas maka kehidupan sosial masyarakat pada desa Jerowaru pula mengalami proses yang di sebut menjadi proses perubahan ini, atau lebih tepat dikatakan terjadinya proses adaptasi dengan efek luar akibat adanya hubungan sosial dalam masyarakt serta pada beberapa aspek kehidupan.

Mampat ilmu sejarah
Sejarah selalu dikaitkan dengan insiden atau insiden masa lampau umat manusia, selaku sebuah cerita, sejarah menberikan suatu keadaan yang sebelumnya terjadi, tidak sinkron dengan dongeng yg pula berbentuk cerita, tetapi hanya pelibur lara, sedangkan cerita sejarah, sumbernya adalah insiden masa lampau/ masa dilamberdasarkan peningalan sejarah. Peningalan tersebut berupahasil perubahan insan menjadi mahluk sosial (Rustam E. Tamburaka 2007: 7). Dari pengalaman manuaia tersbut kita bisa bercermin dan pemiliki perubahan-perubahan nama yg bisa dijadikan ide serta perbuatan serta tindakan mana yg seharusnya dihindari.

Dengan demikian, mamfaat yang bisa kita petik dengan mengetahui sejarah merupakan kita bisa lebih berhati-hati agar kegagalan yg pernah perjadi tidak terulang kembali. Sehing tetaplah kata kompuse, seorang filsof cina berkata “ sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana. Selanjutnya Cicero (seseorang ahli sejarah yunani) menyampaikan “ history its magisstra vitae” merupakan sejarah bermamfaat sebagai guru yg baik (bijaksana). Sehingga terciptalah sebuah cerita sejarah yang berdasar pada kenyataan, pada bentuk peningalan atau sumber sejarah (Rustam E.tamburaka, 2002: 7).

PENGERTIAN RUANG LINGKUP DAN SEJARAH ILMU GEOGRAFI

Warga belajar--sekalian-- berikut ini akan kita lanjutkan pembelajaran kita dengan pembahasan tetang Pengertian, ruang lingkup dan sejarah ilmu geografi. Secara fundamental Geografi sebagai pengetahuan mengenai bumi telah berkembang sejak jaman Yunani Kuni, bahkan mungkin sejak insan menempati beberapa bagian menurut bumi. Sebagai Ilmu pengetahuan,geografi umurnya sangat tua yaitu sejak Anaximandros menciptakan peta yang pertama mengenai bumi dalam tahun 550 sebelum masehi (SM). Kemudian disusul sang Herodotusthaun 400 SM yg membuat peta wilayah-wilayah di lebih kurang Laut Tengah.

Istilah geografi sendiri sudah diperkenalkan oleh Eratosthenes (276 - 194 SM), yaitu Geographika yang berarti "pelukisan atau goresan pena mengenai bumi". Seorang tokoh bernama Eratosthenes dianggap menjadi peletak dasar geografi, seorang tokoh yang mernah mencoba mengukur keliling bumi secara matematika menurut perhitungan jeda menurut syene (Aswan) serta Alexanderia. Di Syene dia menggali sumur, sedangkan di Alexanderia menancapkan tongkat. Pada Saat pengukuran, cahaya Matahari di Syene menyinari seluruh dasar sumur (tanpa ada bayangan menurut didinding sumur), sedangkan di Alexanderia ia mengukur panjang bayangan tongkat.

Eratosthenes menduga cahaya surya di Syene akan tembus ke sentra bumi, sedangkan sudut yang dibentuk dalam ujung tongkat terhadap panjang bayang-bayangnya sama besar dengan sudut pusat bumi terhadap kelurusan tongkat. Dari cahaya perhitungan ini, Eratosthenes memperoleh angka keliling bumi, yaitu sejauh 252.000 stadia = 45.654 km (1 stadia = 157 meter) dengan perkiraan jarak antara Alexanderia - Syene sejauh 5000 stadia.

Generasi berikutnya timbul Claudius Ptolomeus padatahun 150 SM yg mendeskripsikan benua-benua Asia, Eropa, serta Afrika (Abdurahchim, 1986).ptolomeus membuat peta yang sudah dilengkapi menggunakan garis-garis dan garis-garis bujur, menggunakan proyeksi kerucut, dan dilengkapi kabar tentang zona-zona iklim. Peta Ptolomeus dipercaya menjadi pelopor peta topografi lantaran telah dibuat jaring-jaring derajat, memuat alur-alur sungai, dan mencantumkan garis-garis bukit serta pegunungan. Claudius Ptolomeus menulis buku berjudul Geographike Unpegesis serta menyebutkan bahwa geografi adalah suatu penyajian mengenai bagian atas bumi pada wujud peta.

Pada tempat yang tidak selaras, penjelajahan menerima wilayah-wilayah yang belum diketahui telah dimulai sejak 985 SM, yaitu ketika orang Cina dalam jaman kekaisaran Mu Wang menerima Gurun Gobi. Setelah itu poly bangsa-bangsa lain mengadakan bepergian ke wilayah-daerah yang belum diketahui. Sebut saja Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung) mendatangi Hindukush serta Punjab di India tahun 330 SM, namun karena belum banyak ditulis maka hasil penjelajahannya belum banyak terungkap serta pengetahuan tentang bumi masih relatif sedikit.
Catatan lain mengenai bumi ditulis sang Bangsa Arab yaitu dalam Dinasti Abassiyah di masa pemerintahan Khalifah Abu Ja'far al Mansur (754-775 M) dan pada jaman kekhalifahan Al-Ma'mun. Buku atau buku yang berisi tentang peta bumi diberi judul as-Surah al-Ma'muniayah. Selain menciptakan kitab , bangsa Arab pula menerjemahkan kitab -buku karangan bangsa Yunani Kuno misalnya karya Marinus serta Ptolemues.
Penjelahan yg meninggalkan catatan sejarah mulai tampak dalam tahun 1246 yaitu saat Giovani Delcarpini (Bangsa Italia) menemukan Mongolia, Longimeau (bangsa Prancis) menjelajahi daerah pegunungan Karakorum, serta Ordorico Portenone (1318-1330) seorang Vatikan mengungkapkan mengenai negeri Cina serta Tibet.
Perjalanan mengarungi samudera luas sudah ditempuh sang Bartolomeus Dias (orang Portugis) yaitu ke Tanjung Harapan (Cape of Good Hope) pada Afrika Selatan dan diteruskan menggunakan mengarungi Samudra India ke Kalikut di India tahun 1486. Penjelajahan Bartolomeus Diaz diulangi oleh Vasco da Gama tahun 1498 sampai akhirnya menemukan Indonesia.
Ditempat lain, pada tahun 1492 - 1493, Colombus seorang Genoa mengarungi Samudra Atlantik sampai ke kuba serta Haiti. Perjalanannya untuk mencari Benua Amerika. Tokoh penjelajah lainnya yang cukup terkenal adalah Marcopolo (1272 - 1295) yang melakukan bepergian dengan maksud berpetualang serta menjelajahi Asia Timur dan Asia Tengah.
Dari perjalanan mereka, banyak diterbitkan kisah-kisah bepergian tentang wilayah-daerah, loka-loka serta bangsa-bangsa yg dijumpai. Kisah-kisah yang mereka tulis antara lain mengenai keadaan fisiografi muka bumi, cuaca, lautan, gelombang, arus serta ikan-ikannya, hutan-hutan, tumbuh-tanaman dan hewan-hewan yang ditinjau dan dijumpai. Semua tulisan hasil perjalanan para pendahulu itu dinamankan logografi yg kelak akan memperkaya pengetahuan tentang bumi serta merangsang ke arah lahirnya ilmu geografi (Abdurachim, 1986:9).
Setelah sekian lama tidak banyak dibicarakan, muncullah Bernharudus Veranius (1622 - 1650) sebagai orang yang menyadari akan perlunya penataan kembali ilmu geografi. Ia menerbitkan kitab berjudul Geographia Genaralis di Amsterdam tahun 1650. Veranius berpendapat bahwa ruang lingkup geografi terdiri atas 2 yaitu geografi generik dan geografi spesifik. Geografi generik mempunyai penekanan kejian terhadap fenomena alamiah sedangkan geografi khusus memperlajari daerah atau daerah yang sifanya diperoleh menurut hasil interaksi antara insan dengan proses alamiah (Bintaro, 1987: tiga).
Setelah Veranius, tokoh geografi selanjutnya adalah Immanuel Kant (1724 - 1804) menganggap bahwa geografi layak dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu yg berdikari. Kemudian muncul Alexander von Humboldt (1769 - 1859) yg mengembara ke benua Amerika, menciptakan profil benua, dan mendeskripsikan interaksi vegetasi menggunakan ketinggian loka. Dari hasil pengembaraannya, Humboldt menulis geografi regional tentang Cuba serta Mexico.
Walaupun poly goresan pena tentang bumi dan banyak jua orang yg berkecipung di dalam ilmu sebagaimana sudah dijelaskan pada atas, tetapi mereka masih bekerja secara perorangan. Ilmu geografi belum diajarkan dalam lembaga pendidikan. Barulah pada tahun 1825, Universitas Friederich Wilhelm di Berlin mulai memelopori hal itu dengan mengangkat Carl Ritter menjadi Profesioan Geografi yang pertama pada universitas tadi (Abdurachim, 1986:9).
Pengaruh Carl Ritter dalam Ilmu geografi merupakan menanamkan aliran fisis determinis. Ia menyatakan bahwa insan adalan cermin menurut keadaan buminya. Segala hal yg menyangkut hayati manusia ditentukan sang alam. Hasil karyanya adalah Die Ernkunde suatu pelukisan regional dari semua dunia.
Aliran fisis determinis, didukung sang Friederich Ratzel (1844 - 1904) seorang tokoh Geografi Jerman yg menyatakan bahwa alam (memang sangat) menentukan kehidupan insan. Buku jilid pertamanya diberi judul Anthropogeographie yang memperkenalkan konsep libensraum yaitu memandang bahwa negara merupakan suatu organisme. Negara, berdasarkan Ratzel seperti makhluk hayati yang dapat tumbuh serta jua dapat mangkat . Untuk mempertahankan hidup serta pertubuhannya, negara perlu makan serta perlu wilayah kekuasaan yg luas. Paham ini diterapkan dalam geopolitik Jerman menjadi landasan politik ekspansi dan penjajahan. Pada masa Ratzel, geografi pernah disalah-arahkan yaitu buat maksud imperialisme.
Aliran fisis determinis kurang populer di Eropa. Ferdinand von Richthofen menyarankan supaya geografi nir dipupuk dari aliran fisis deteminis. Ia mengusulkan agar geografi dijadikan sebagai ilmu pengetahuan yg bersifat chorologi (wilayah). Pendapat Richthofen didukung sang Alfred Hetter (1959 - 1941) yg menyatakan bahwa geografi adalah sebagai ilmu kewilayahan. Geografi membahas mengenai daerah-wilayah dipermukaan bumi dengan segala disparitas serta rekanan (interaksi) keruangannya. Permukaan bumi merupaka landschaft dyang didalamnya menilik tentang keadaan alam serta aktivitas manusia yan ada pada alam yg didiaminya (Pasya, 1996: 35).
Sejalan menggunakan Hetter, Paul Vidal de la Blanche (1854 - 1918) mengusulkan supaya geografi menyatukan studinya antara lingkungan fisikal serta masyarakatnya. Menurutnya, geografi adalah ilmu yag menilik mengenai suatu masyarakat yg telah dan sedang dipengaruhi sang lingkungan fisikal. Karenanya, objek studi geografi harus bersifat kewilayahan atau region (Bintaro, 1987 : 6).
Vidal de la Blanche merupakan orang yang menentang faham fisis determinis. Ia mengatakan bahwa alam bukan adalah penentu suatu kebudayaan, fisik atau rohan manusia, tetapi alam hanya berfungsi sebagai pemberi kemungkinan terhadap aktivitas manusiayang akan melahirkan kebudayaan. Karena itu manusia merupakan makhluk yg dapat bertindak aktif, nir menunggu segala sesuatu yg disediakan oleh alam (Pasya, 1996: 35). Aliran ini memandang insan menjadi makhluk yang berakal dan mampu mengatasi alam dan berusaha membarui keadaan sekelilinnya demi masa depan kehidupan yang lebih baik. Aliran ini lalu dikenal sebagai faham posibilis.
Perkembangan geografi semakin mantap. Richard hartshorne (1939) menulis buku mengenai The Nature of Geography, isinya mengenai pandangan korologi yang menyangkut disparitas wilayah pada bagian atas bumi serta menaruh anjuran pada hali geografi mengeai cara bertindak terhadap jenis kenyataan fisik, ekonomi, dan sosial yg mempunyai persamaan dalam suatu wilayah sehingga menggunakan persamaan itu, bisa diketahui perbedaannya menggunakan daerah yang lain.
Dari sejarah perkembangan geografi pada atas, akhirnya Rhoad Murphey pada tahun 1966 mencoba menyimpulkan pendapat para ahli. Menurut Murphey ruang lingkup geografi (pada bukunya The Scope of Geography) terdiri atas:
  1. Persebaran dan hubungan ummat manusia di muka bumi dengan aspek keruangan loka tinggalnya. Geografi juga mengusut tentang bagaimana memakai ruang di atas bagian atas insan.
  2. Interaksi antara kehidupan manusia dengan lingkungan fisik yg adalah bagian menurut kajian keanekaragaman wilayah.
  3. kerangka pikir dan analisis regionalnya adlaah wilayah-wilayah yg lebih spresifik.
Dari ketiga poko yg dikemukakan pada atas, sebagai jelas bahwa ruang lingkup geografi nir dapat dilepaskan menurut aspek fisik alamiah saja melainkan juga aspek kehidupan tumbuh-tanaman , binatang serta manusia menjadi penghuni bagian atas bumi. Aspek fisik serta aspek kehidupan diungkapkan dalam suatu ruang bagian atas bumi berdasarkan prisip-prinsip penyebaran, rekanan, serta interaksinya. Hubungan antara lingkungan fisik dan manusia dianggap pada akhirnya akan mengungkap karakteristik suatu wilayah yang tidak sama dengan daerah lainnya (Sumaatmadja. 1981:38).
E.J. Taaffe dalam tahun 1970 yg dikutip Bintaro (1987) mengajukan pendapat yg lebih konkrit. Ia menyampaikan bahwa geografi merupakan ilmu yang mengusut organisasi keruangan yg didalamnya masih ada pola-pola dan proses-proses keruangan. Dengan nada yg sama, P. Hagget (1965) pula menyetujui bahwa geografi merupakan ilmu yang mempelajari pola-pola keruangan dicermati dari sistem ekologi serta sistem keruangan. Sistem ekologi berkaitan dengan insan serta lingkungannya, sedangkan sistem keruangan berkenaan dengan interaksi antar wilayah pada interaksi timbal kembali yang kompleks berdasarkan gerakan pertukaran.
Pada tahun 1980, P. Hagget yg dikutip Suharyono (1988) mendeskripsikan tiga konvensi para pakar geografi mengenai unsur-unsur yg dipelajari geografi yaitu:
  1. Geografi menilik tentang bagian atas bumi. Bumi sebagai lingkungan hayati manusia, yaitu suatu lingkungan menghipnotis hayati manusia serta mengorganisasi dirinya.
  2. Geografi memusatkan perhatiannya pada organisasi keruangan insan serta hubungan ekologinya dengan lingkungan hidupnya itu, dan
  3. Geografi sangat sensitif terhadap kekayaan dan keanekaragaman yang terdapat dipermukaan bumi.
Akhirnya pada tahun 1987, Bintarto mengajukan pendapat yang lebih paripurna. Menurutnya geografi merupakan ilmu yg menilik interaksi kausal tanda-tanda-tanda-tanda muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dimuka bumi, baik yang fisik juga yang menyangkut makhluk hidup bersama permasalahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi, dan regional buat kepentingan program, proses, dan keberhasilan pembangunan. (Bintarto, 1987).

Demikianlah rakyat belajar sekalian, berdasarkan beberapa uraian diatas bisa kita tari sebuah konklusi, bahwa geografi yg sedang kita pelajari kali ini dalam dasarnya mempunyai ruang lingkup kajian utamanya yaitu: (a) mempelajari bumi menjadi tinggal manusia, (b) menilik hubungan manusia menggunakan lingkungan, (c) pada dimensi ruang dan dimensi historis, serta menggunakan (d) pendekatan yang digunakannya adalah pendekatan keruangan (spatial), ekologi serta regional. 

Semoga bermanfaat buat rakyat belajar sekalian. Terimakasih atas kunjungannya ke web-blog ini.

Sumber: disarikan dari aneka macam sumber, antara lain :
  • www.physicalgoegraphy.net
  • www.wikipedia.com
  • Abdurachim, 1986. Geografi Latar Belakang Pemikiran serta Metode. Bandung. Penerbit Bina Budaya.
  • Bintaro, R serta Hadisumarno, S. 1987. Metode Analisis Geografi. Jakarta. LP3ES.
  • Pasya, G.K. 1996. Geografi-Pengantar ke arah Pemahaman Konsep dan Metodologi. Bandung. Buana Nusa.
  • Modul mata Pelajaran Geografi Kesetaraan 2011.

PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM DAN ISTILAHISTILAH PENDIDIKAN

Pengertian Pendidikan Islam Dan Istilah-Istilah Pendidikan
Secara umum pendidikan dalam Islam diungkapkan pada beberapa kata, yakni: ta’dib, ta’lim, dan tarbiyah. Pada bagian ini akan dibahas secara rinci menurut masing-masing istilah tadi, sebagaimana akan didiskripsikan di bawah ini. 

Pendidikan itu sendiri berasal dari istilah didik kemudian kata ini mendapat imbuhan me- sehingga menjadi mendidik, ialah memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan dan pimpinan mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran.[1]

Pendidikan dalam hakikatnya mempunyai jangkauan makna yg luas dan, pada rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan ketika serta tenaga yg nir mini . Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan Minal mahdi ilal lahdi (berdasarkan buaian sampai liang lahad atau pendidikan seumur hayati), sebagaimana dikenal pula pernyataan ilmu pada siswa: “Berilah saya seluruh yang engkau miliki, maka akan kuberikan kepadamu sebagian yang aku punyai.”[2] 

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) masih ada penjelasan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan perilaku dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam bisnis mendewasakan manusia melalui upaya pedagogi serta latihan. Sedang mendidik diartikan menggunakan memelihara serta memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak serta kecerdasan pikiran. 

Secara terminologis, pengertian pendidikan yg masih ada pada Ensiklopedia Pendidikan mendefinisikan bahwa pendidikan dalam arti yang luas meliputi seluruh perbuatan dan bisnis berdasarkan generasi tua buat mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya dan keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya supaya bisa memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.[3] 

Dalam undang-undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan merupakan bisnis sadar serta terpola buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran supaya siswa secara aktif membuatkan potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yg diperlukan dirinya, rakyat, bangsa serta negara.[4] 

Sedangkan pengertian pendidikan dari kata Psikologi merupakan proses menumbuh kembangkan semua kemampuan dan konduite manusia melalui pedagogi. Adanya istilah pengajaran ini berarti terdapat suatu proses perubahan tingkah laris menjadi output interaksi menggunakan lingkungan yg diklaim dengan belajar.[5]

Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yg berwarna Islam. Pembahasan pendidikan berdasarkan Islam terutama berdasarkan atas Al-Qur’an serta Al-Hadits, kadang-kadang diambil jua pendapat para pakar pendidikan Islam.[6] 

Menurut M. Athoullah Ahmad pada tulisannya menyampaikan, Islam merupakan forum (dustur) Islam, barang siapa yg membenarkan Islam adalah berdasarkan Allah, beriman secara global dan terperinci, maka disebut Mu’min, serta iman dalam pengertian ini tidak bisa dipandang kecuali hanya sang Allah SWT, lantaran insan tak pernah membedah hati seorang serta tidak mengetahui apa pada dalamnya.[7] 

Menurut Muhammad Thalib, Islam merupakan kepercayaan yg Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad saw., yang mengajarkan segala aspek tatanan kehidupan yg diharapkan sang insan, termasuk pada dalamnya aspek pendidikan.[8]

Pendapat lain mengatakan, kata Islam berasal berdasarkan bahasa Arab “aslama”. Bila dipandang menurut segi bahasa, Islam memiliki beberapa arti:
  1. Islam berarti taat/patuh dan berserah diri kepada Allah SWT.
  2. Islam berarti damai dan afeksi. Maksudnya, kepercayaan Islam mengajarkan perdamaian serta kasih-sayang bagi umat manusia tanpa memandang rona kulit, kepercayaan , dan status sosial.
  3. Islam berarti selamat, maksudnya Islam merupakan petunjuk buat memperoleh keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak Itulah sebabnya salam bagi umat Islam merupakan “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” (semoga Allah melimpahkan keselamatan serta kesejahteraan-Nya padamu).[9]
Dalam Tafsir Al-Mishbah yg ditulis oleh M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Islam merupakan ketundukan makhluk pada Tuhan Yang Maha Esa pada ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung sang karamah serta bukti-bukti yang meyakinkan.

Hanya saja, kata Islam buat ajaran para nabi yg kemudian merupakan sifat, sedang umat Nabi Muhammad saw. Memiliki keistimewaan dari kesinambungan berdasarkan sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus menjadi pertanda dan nama baginya.[10] 

Setelah tadi diungkapkan antara pengertian pendidikan serta Islam secara terpisah, maka apabila dipandang berdasarkan sudut pandang bahasa, pendidikan Islam berasal dari khazanah bahasa Arab yg diterjemahkan, mengingat dalam bahasa itulah ajaran Islam diturunkan. Seperti yang implisit pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dua sumber utama ajaran Islam, kata yang dipergunakan dan dianggap relevan sehingga menggambarkan konsep serta aktifitas pendidikan Islam itu ada tiga, yaitu At-Tarbiyah, At-Ta’lim, dan At-Ta’dib, ketiga kata ini direkomendasikan dalam Konferensi Internasional pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 menjadi berikut:

”The meaning of education in Islam totality in the context of Islam inherent in the connotation of three each these term conveys conserning man his society and environment in relation to God Islam related to ten other, and together they represent the scope of education in Islam both formal and non formal.” 

“Yang dimaksud totalitas pendidikan dalam konteks Islam artinya yg nir bisa dipisahkan pada konotasi tiga kata pendidikan mengenai manusia, lingkungan serta masyarakatnya serta dalam hubungannya dengan Tuhan, jua yang herbi sepuluh lainnya, dan bersama-sama membangun lingkup pendidikan Islam baik formal dan non formal”.[11]

Dari hasil rekomendasi dalam konferensi pertama di atas, terdapat beberapa istilah mengenai pendidikan, yaitu: At-Ta’dib, At-Ta’lim,serta At-Tarbiyah.

A. At-Ta’dib
Pendidikan diistilahkan menggunakan istilah At-Ta’dib, istilah ini sebetulnya tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, tetapi pada Al-Hadits dinyatakan, yaitu: 

أَدَّبــَنِـيْ رَبــِّيْ فَــأَحْسَنَ تــَـأْدِ يـْبـــِيْ ( رواه السمعـــانى ) 

“Tuhanku telah mendidikku, maka Ia baguskan pendidikanku” (HR. As-Sam’ani).[12]

Menurut Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, kata ta’dib inilah yg berarti pendidikan. Menurutnya ta’dib memiliki arti yang sama serta ditemukan rekanan konseptualnya pada pada kata ta’lim, walaupun diakui bahwa cakupan istilah ta’dib menurut Al-Attas lebih luas dari yang dicakup kata ta’lim. Dalam ialah yang orisinil dan mendasar addaba (fi’il madhi) adalah the inviting to a banquet (undangan kepada suatu perjamuan). Gagasan mengenai suatu perjamuan rakyat bahwa tuan tempat tinggal adalah orang yg mulia, sementara hadirin adalah yang diperkirakan pantas menerima penghormatan buat diundang, oleh lantaran mereka adalah orang-orang yg bermutu dan berpendidikan serta bisa menyesuaikan diri, baik tingkah laris maupun keadaannya, sebagai akibatnya konsep ta’dib jika diaplikasikan secara sederhana dari persepsi Bloom, “bukan sekedar meliputi aspek kasih sayang (afektif), melainkan mencakup pula aspek kognitif serta psikomotorik, kendatipun aspek yg pertama lebih dominan”.[13] 

Beliau mendasarkan analisisnya atas konsep semantik dan hadits Rasulullah SAW. Riwayat Ibn Mas’ud saat Al-Qur’an digambarkan menjadi undangan Allah buat menghadiri suatu perjamuan di atas bumi, serta kita sangat dianjurkan buat mengambil bagian menggunakan cara mempunyai pengetahuan yg benar mengenai-Nya disabda Rasulullah SAW. Menjadi berikut:

إِنَّّ هَـذَا الْقُـرْأَنَ مَـأْدَبـَةُ اللهِ فِى الأَرْضِ فَـتـــَعَـلَـّمُوْا مِنْ مَـأْدَ بَــتـِهِ ( رواه ابن مسعود) 

“Sesungguhnya Al-Quran adalah sajian Allah di atas bumi, maka barang siapa yang mempelajarinya, berarti beliau belajar berdasarkan hidangannya” (HR. Ibn Mas’ud).[14] 

Oleh karenanya istilah ta’dib adalah kata yg paling relevan dibandingkan menggunakan istilah ta’lim serta tarbiyah.
Sedangkan konsekuensi akibat tidak dikembangkannya kata ta’dib pada konsep serta aktifitas pendidikan Islam berpengaruh pada 3 hal penting, pertama, kebiasaan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan, yg dalam gilirannya akan menciptakan kondisi yang kedua, yakni gilirannya adab dalam umat, kondisi yg timbul dampak yang pertama dan kedua merupakan konsekuensi yg ketiga, berupa bangkitnya pimpinan yg nir memenuhi syarat kepemimpinan yang absah pada kalangan umat, lantaran nir memenuhi standar moral, intelektual dan spiritual yg tinggi, yang diperlukan bagi suatu kepemimpinan pengendalian yg berkelanjutan atas urusan-urusan umat oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai semua bidang kehidupan.[15]

B. At-Ta’lim
Menurut Fattah Jalal, Istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yg sebenarnya berlaku hanya buat pendidikan anak mini . Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan serta pengusahaan dalam fase pertama pertumbuhan insan (yg sang Lanqeveld disebut pendidikan pendahuluan), atau dari kata yg terkenal diklaim fase bayi serta kanak-kanak. 

Pandangan beliau didasarkan dalam 2 ayat sebagaimana firman Allah:

ﻮﻗﻞ ﺭﺐ ﺍ ﺮﺣﻣﻬﻣﺎ ﻛﻣﺎ ﺭﺑﻳﻧﻰ ﺼﻐﻳﺭﺍ

“…Dan ucapkanlah: Ya Rabbi, kasihanilah mereka berdua sebagaimana (kasihnya) mereka berdua mendidik aku saat kecil” (QS. Al-Isra’: 24).[16]

Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mendidikmu pada pada keluarga kami waktu engkau masih kanak-kanak, serta kamu tinggal beserta kami beberapa tahun menurut umurmu” (QS. Asy-Syu’ara: 18).[17] 

Kalimat ta’lim dari Abdul Fattah Jalal merupakan proses yg terus menerus diusahakan insan semenjak lahir, sehingga satu segi sudah meliputi aspek kognisi dan pada segi lain nir mengabaikan aspek affeksi dan psikomotorik. Beliau pula mendasarkan pandangan tadi dalam argumentasi, bahwa Rasulullah SAW. Diutus sebagai mu’allim, sebagai pendidik, hal ini ditegaskan oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya, QS. Al-Baqarah: 151 yang ialah sebagai berikut:

”Sebagaimana Kami telah mengutus pada kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian, mensucikan kalian dan mengajarkan kalian al-Kitab serta al-Hikmah, dan mengajarkan pada kalian apa yang belum diketahui” (QS. Al-Baqarah: 151).[18]

Ayat pada atas didukung pula sang ayat yang lain yg terdapat pada QS. Al-Jumu’ah: 2, yaitu:
”Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta alfabet seseorang Rosul pada antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Akitab serta Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-sahih pada kesesatan yg nyata” (QS. Al-Jumu’ah: dua).[19]

Kata menyucikan dalam ayat pada atas dapat diidentikan menggunakan mendidik, sedang mengajar nir lain kecuali mengisi benak murid menggunakan pengetahuan berkaitan menggunakan alam metafísika serta físika.[20] 

Menurut Fattah Jalal, Islam dicerminkan sang ayat 151 surat Al-Baqarah tadi memandang proses ta’lim sebagai lebih menurut universal menurut tarbiyah. Sebab, saat mengajarkan tilawah Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW. Tidak sekedar terbatas dalam mengajar mereka membaca, melainkan membaca disertai perenungan mengenai pengertian, pemahaman, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari membaca semacam itu Rasulullah SAW. Membawa mereka kepada tazkiyah, yakni penyucian dan pembersihan diri insan dari segala kotoran serta menjadikan diri itu berada pada suasana yang memungkinkannya dapat mendapat nasihat, menyelidiki segala yang nir diketahui serta yg berguna. Al-Hikmah nir bisa dipelajari secara parsial dan sederhana, tetapi harus mencakup keseluruhan ilmu secara integral. Kata Al-Hikmah asal menurut Al-Ihkam, yang dari Fattah Jalal berarti “keunggulan pada pada ilmu, amal, perbuatan serta atau pada pada semuanya itu”.[21] 

Kata hikmah juga mempunyai arti bisa menangkap gejala dan hakikat pada balik sebuah insiden. Mereka nir hanya melihat apa yang tampak, namun dengan mata bathinnya (bashirah), mereka bisa mengenal apa yang berada pada kembali yang tampak tersebut. “Inilah yang dimaksudkan menggunakan hikmah yang nir lain diartikan menjadi kearifan (the man of wisdom)”.[22] 

C. At-Tarbiyah
Jika diamati lebih intens, tampak kata tarbiyah yg sudah sekian abad digunakan memperoleh porsi sorotan lebih tajam dibandingkan sorotan dalam istilah ta’lim dan ta’dib. Hal tersebut dapat dimaklumi, lantaran istilah tarbiyah itulah yg dikembangkan secara umum dikuasai para ahli disepanjang sejarah.[23]

Tetapi yg lebih menarik buat disimak ádalah bagaimana argumentasi pokok yang menjamin kata tarbiyah menjadi yg lebih relevan pada menggambarkan konsep dan aktifitas pendidikan Islam.

Athiyyah Al-Abrasyi serta Mahmud Yunus menyatakan bahwa kata tarbiyah serta ta’lim berdasarkan segi makna istilah maupun aplikasinya memiliki disparitas fundamental, mengingat berdasarkan segi makna, istilah tarbiyah berarti “mendidik, sedangkan ta’lim berarti mengajar, 2 kata yg secara substansial nir bisa disamakan”.[24]

Perbedaan mendidik serta mengajar berdasarkan kedua ahli pada atas sangat mendasar sekali. Mendidik berarti mempersiapkan peserta didik dengan segala macam cara, supaya dapat mempergunakan energi dan bakatnya dengan baik, sebagai akibatnya mencapai kehidupan yang sempurna di pada rakyat. Oleh sebab itu, tarbiyah meliputi pendidikan jasmani, pendidikan ‘aql, perasaan, keindahan serta kemasyarakatan. Sementara ta’lim adalah keliru satu dari pendidikan yg bermacam-macam itu.

Dalam ta’lim, guru mentransfer ilmu, pandangan atau pikiran kepada siswa menurut metode yg disukai, sedangkan pada tarbiyah siswa turut terlihat membahas, memeriksa, mengupas, serta memikirkan soal-soal yang sulit serta mencari solusi buat mengatasi kesulitan itu menggunakan energi dan pikirannya sendiri. Oleh karena itu, ta’lim sebenarnya adalah tarbiyah ‘aql, bagian dari tarbiyah menggunakan tujuan supaya peserta didik menerima ilmu pengetahuan atau kemampuan berpikir. Sedangkan tarbiyah mengarahkan siswa supaya hidup berilmu, beramal, bekerja, bertubuh sehat, ber’aql cerdas, berakhlak mulia serta pintar pada tengah-tengah masyarakat.

Para pakar pendidikan nampaknya menemui kesulitan dalam menaruh rumusan definisi pendidikan, kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yg akan dibina. Bahkan konferensi internasional pertama tentang pendidikan Islam ternyata nir berhasil menyusun suatu definisi pendidikan Islam yg disepakati semua pihak. Jadi sangat tidak mungkin menciptakan suatu definisi pendidikan Islam yg singkat tetapi meliputi wilayah binaan yang luas. Lantaran, pendidikan merupakan bisnis mengembangkan diri pada segala aspeknya. 

Demikian juga kerancuan pemakaian dan pemahaman ketiga istilah itu, sebenarnya nir perlu terjadi bila konsep yg dikandung oleh ketiga kata tersebut kita aplikasikan pada lingkup forum pendidikan jalur sekolah. Namun demikian, kita dituntut bersikap selektif tanpa melakukan deskreditasi pada kata-kata yg dianggap kurang relevan dikembangkan, apalagi bila ketiganya ditampilkan secara konfrontatif, lantaran dalam ketiganya masih ada kelebihan disamping kekurangannya.

Kelebihan masing-masing istilah itulah yang perlu dirumuskan serta diantisipasi lebih mencerminkan konsep serta aktifitas pendidikan Islam, sebagai akibatnya pada terapannya sebagai:
a. Istilah tarbiyah kiranya mampu digunakan buat dikembangkan, mengingat kandungan kata tersebut lebih mencakup serta lebih luas dibanding menggunakan kedua istilah lain (ta’lim dan ta’dib).
b. Dalam proses belajar mengajar, konsep ta’lim bagaimanapun tidak sanggup diabaikan, mengingat keliru satu cara atau metode mencapai tujuan tarbiyah merupakan dengan melalui proses ta’lim tersebut.
c. Ta’lim dan tarbiyah dalam konsep ta’dib pada perumusan arah dan tujuan aktifitas, tetapi menggunakan modifikasi, sehingga tujuannya nir sekedar dirumuskan menggunakan istilah singkat Al-Fadlilah, tetapi rumusan tujuan pendidikan Islam yang lebih menaruh porsi primer pengembangan pada pertumbuhan dan training keimanan, keIslaman serta keihsanan disamping nir mengabaikan pertumbuhan serta pengembangan kemampuan intelektual siswa.[25]

Dengan demikian kata pendidikan yg relevan menggunakan rekanan konsep bahasa Arabnya ádalah istilah At-tarbiyah, sebagai akibatnya kata pendidikan Islam akan menjadi At-tarbiyah Al-Islamiyah, bukan At-ta’lim al-Islamiy atau At-ta’dib Al-Islamy.[26]

Selain pendapat-pendapat tentang definisi pendidikan Islam di atas, berikut adalah definisi pendidikan Islam dari beberapa pakar:
1. Menurut Burhan Somad, pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan buat membentuk individu sebagai makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi berdasarkan ukuran Allah. Secara rinci beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam jika mempunyai 2 ciri khas, yaitu:
a. Tujuannya buat membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi dari hukum Al-Qur’an.
b Isi pendidikannya ajaran Allah yg tercantum menggunakan lengkap pada pada Al-Qur’an dan pelaksanaannya dalam praktek kehidupan sehari-hari, sebagaimana yg dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.[27]

2. Menurut Abuddin Nata, pendidikan Islam (Tarbiyah al-Islamiyah) diartikan menjadi proses pemeliharaan, pengembangan serta pelatihan, jua adalah upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan semua potensi diri manusia, sesuai fitrahnya serta proteksi menyeluruh terhadap hak-hak kemanusiaannya.[28]

3. Menurut Abdur Rahman Nahlawi:

أَلتـــَّرْبــِيَّة ُاْلإ ِسْلا َمِيَّة ُهِيَ التـــَّنْظِــيْمُ الْمُنْفَسِيُّ وَاْلإِجْتِمَاعِيُّ الَّذِيْ يــُؤْدِيْ إِلىَ اعْتِنَاقِ اْلإ ِسْلا َمِ وَتــَطْبِيْقَةٍ كُلِّــيًّافِى حَيَاةِ الْفَرْدِوَالْجَمَاعَةِ

”Pendidikan Islam merupakan pengaturan langsung serta rakyat yg karena itu dapatlah memeluk Islam secara logis dan sinkron secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif”.[29]

Dari uraian tadi bisa diambil konklusi bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan dilakukan sang seorang dewasa pada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia mempunyai kepribadian muslim. Dan lantaran ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku langsung pada rakyat, menuju kesejahteraan hayati perseorangan dan beserta, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu serta pendidikan rakyat. [30]


Sumber-Sumber Artikel Di Atas :

[1]. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. VI, h.10 
[2]. M. Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 1994, Cet. XXIX, h. 272
[3] Baihaqi A.K. Mendidik Anak Dalam Kandungan, Jakata: Darul Ulum Press, 2003, Cet. Ke-tiga, h. 1
[4] UU RI No. 20, Th 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan UU RI No.14 Th. 2005 tentang pengajar dan dosen, Jakarta: Visimedia, 2007, Cet. I, h. 2.
[5]. //dewilenys.wordpress.com/2008/04/15/pendidikan-anak-dari-Islam
[6].ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan pada Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Ke IV, h. 24.
[7].M. Athoullah Ahmad, Pendidikan Agama Islam, Serang: Yayasan Rihlah Al-Qudsiyah, 1997, Cet, ke-1, h.4
[8]. Muhammad Thalib, 20 Kerangka Pokok Pendidikan Islami, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001, Cet. I, h. 10. 
[9]. Syamsu Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Jakarta: Penebar Salam, 2001, Cet. X, h. 2.
[10]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. VI, hal.41 
[11] Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia 2002, h. 2 
[12]. Ibid. H. 3
[13]. Ibid., h. 4
[14]. Ibid., h. 3
[15]. Ibid. H. 4
[16] Hasbi Ash-Shiddieqy, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 284 
[17] Ibid, h. 367
[18] Ibid, h. 23
[19]. Ibid, h. 553
[20]. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992 Cet. Ke-I, h. 172
[21].abdul Halim Soebahar,Op. Cit., h. 6.
[22].toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah ( Transcendental Intelligence), Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke II, 
[23]. Abdul Halim Soebahar, Loc. Cit. H. 6
[24]. Ibid, h. 7
[25]. Ibid, h. 8 
[26] Ibid, h. 12
[27]. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, h. 10
[28]. M. Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Yayasan Karsa Utama serta PB Mathla’ul Anwar, 1998, Cet. Ke 1, h. 3
[29]. Nur Uhbiyati, Op. Cit., h. 9
[30] . Ibid, h. 12

FILSAFAT DAN METODOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Filsafat Dan Metodologi Ilmu Dalam Islam Dan Penerapannya Di Indonesia
Islam sudah menjadi kajian yg menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya pada pengertian historis serta doktriner, namun sudah sebagai kenyataan yg kompleks. Islam nir hanya terdiri menurut rangkaian petunjuk formal mengenai bagaimana seseorang individu wajib memaknai kehidupannya. Islam sudah sebagai sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi serta bagian sah menurut perkembangan dunia. Mengkaji serta mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya diharapkan metode serta pendekatan interdisipliner.

Kajian kepercayaan , termasuk Islam, seperti disebutkan pada atas dilakukan sang sarjana Barat dengan memakai ilmu-ilmu sosial serta humanities, sebagai akibatnya ada sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan warga Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun jua masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.

Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap kenyataan Islam dari pelbagai aspek: sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, agunan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, serta seterusnya.

Sementara itu, kepercayaan atau keagamaan sebagai sistem agama dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui banyak sekali sudut pandang. Islam khususnya, sebagai kepercayaan yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan poly banyak masalah yg perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yg bisa dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu merupakan pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tadi, Islam bisa dipahami pada aneka macam dimensinya. Betapa banyak dilema umat Islam hingga pada perkembangannya kini , bisa dipelajari menggunakan berkaca kepada insiden-peristiwa masa lampau, sebagai akibatnya segala kearifan masa lalu itu memungkinkan buat dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab problem-problem masa kini . Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah menjadi pengetahuan ataukah beliau dijadikan pendekatan didalam menyelidiki agama.

Bila sejarah dijadikan menjadi sesuatu pendekatan buat mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan bisa membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah menjadi suatu metodologi menekankan perhatiannya pada pemahaman banyak sekali tanda-tanda dalam dimensi ketika. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk tanda-tanda kepercayaan atau keagamaan, adalah karakteristik khas pada dalam pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap gejala-gejala kepercayaan dari pendekatan ini haruslah ditinjau segi-segi prosesnya serta perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu insiden, melainkan pula sanggup tahu tanda-tanda-gejala struktural yg menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yg sesungguhnya perlu dikembangkan di pada penelitian masalahmasalah agama.

Makalah ini berusaha membahas tentang ciri pendekatan sejarah menjadi salah satu pendekatan pada dalam Studi Islam menggunakan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.

A. Studi Islam menjadi Disiplin Ilmu
Munculnya istilah Studi Islam, yang pada dunia Barat dikenal menggunakan istilah Islamic Studies, pada global Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya sudah didahului sang adanya perhatian akbar terhadap disiplin ilmu agama yg terjadi pada abad ke sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini pada tandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang asal menurut Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis memiliki Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) serta sebagainya. Amirika menghasilkan tokoh misalnya William James (1842-1910) yg dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) berdasarkan Polandia, Mircea Elaide menurut Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam global ilmu kepercayaan , walaupun nir seluruhnya bisa penulis sebutkan pada sini.

Tidak hanya di Barat, di Asia pun timbul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang ada J. Takakusu yg berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas dan T. Suzuki menggunakan sederaetan karya ilmiahnya tentang Zen Budhisme. India memiliki S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), serta P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yg diterbitkan di London dalam 1959. Dan filsafat analitis.

Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di global Islam telah lama ada. Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh pada aneka macam disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, serta Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh seperti Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar abad ke 2 dan keempat hijriyah. Dan akhirnya ada tokoh-tokoh abad kesembilan belas misalnya: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, serta Abad ke 2 puluh seperti Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun muncul tokh-tokoh akbar dari berbagai aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah, serta Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh misalnya al-qusyairi yang terkenal dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, serta sebagainya.

Walaupun secara realitas studi ilmu kepercayaan (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya nir terbantahkan, namun dikalangan para pakar masih masih ada perdebatan di lebih kurang perseteruan apakah beliau (Studi Islam) bisa dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat serta karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama tidak selaras. Pembahasan pada kurang lebih permasalahan ini poly dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan pada kelas, kemudian apa bedanya dengan kegiatan pengajian serta dakwah yg sudah ramai diselenggarakan pada luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tadi menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope daerah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar dalam kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative serta histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas bila dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.

Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen serta pengajar jua mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang nir mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga poly siswa atau mahasiswa yang tidak memahami apa yg mereka pelajari, sungguh ironis.

Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih poly terbebani sang misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sebagai akibatnya kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama pada mempelajari teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti eksklusif yg masih sangat terbatas.

Dengan demikian secara sederhana bisa ditemukan jawabannya bahwa dipandang dari segi normatif sebagaimana yg masih ada dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih merupakan kepercayaan yang tidak dapat diberlakukan kepadanya kerangka berpikir ilmu ilmu pengetahuan yaitu kerangka berpikir analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai kepercayaan , Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, serta subyektif. Sedangkan apabila dilihat menurut segi historis, yakni Islam pada arti yg dipraktekkan sang insan dan tumbuh serta berkembang dalam kehidupan insan, maka Islam bisa dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah. 

Perbedaan pada melihat Islam yang demikian itu bisa menimbulkan disparitas dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dipandang berdasarkan sudut normatif, maka Islam adalah agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yg berkaitan dengan urusan akidah serta mu’amalah. Sedangkan saat Islam dilihat menurut sudut histories atau sebagaimana yg nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil menjadi sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

Selanjutnya studi Islam sebagaimana yg dikemukakan pada atas, tidak sinkron pula dengan apa yang dianggap sebagai Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed Husen Nasr merupakan sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad kedua hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, serta lain sebagainya.

Dengan demikian sains Islam mencakup banyak sekali pengetahuan terkini yg dibangun atas arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yg dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah serta kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan agama merupakan pengetahuan yang sepenuhnya diambil menurut ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Qur’an serta akhlak.

Berdasarkan uraian di atas, berkenaan menggunakan Studi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri sangat terkait erat dengan persoalan metode dan pendekatan yg akan digunakan pada melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yg menjadi topik utama dalam kajian makalah ini. 

Metode serta pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan sang para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998 serta menjadi mejadi matakuliah baru menggunakan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.

B. Pertumbuhan serta Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi serta teman, dilakukan pada Masjid. Pusat-sentra studi Islam sebagaimana yg dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam pada masa ini, berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat pada Basrah serta Kufah serta Damaskus. Masing-masing wilayah diwakili oleh teman ternama.

Pada masa keemasan Islam, dalam masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan pada Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan dalam pemerintahan Islam pada Spanyol pada pusatkan pada Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah berdasarkan kalangan Syi’ah.

Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara pada global, baik Islam juga yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada jua sejumlah Perguruan Tinggi Swasta yg menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) serta Unisba (Bandung).

Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan pada beberapa negara, diantaranya di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam pada bagi mnjadi 2: Islam menjadi doktrin pada kaji di Fakultas Ushuluddin yang memiliki dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam berdasarkan Aspek sejarah pada kaji di Fakultas Humaniora pada jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji pada Fakultas Humaniora yang membawahi jua Arabic Studies, Persian Studies, serta Political Science.

Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan pada Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada pada bawah Pusat Studi Timur Tengah serta Jurusan Bahasa, serta Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.

Di Amirika, studi Islam dalam biasanya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra serta ilmu-ilmu social. Studi Islam pada Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.

Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin serta sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, serta sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan pada School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran serta Afrika) yg mempunyai banyak sekali jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.

Dengan demikian obyek studi Islam dapat dikelompokkan sebagai beberapa bagian, yaitu, sumber-sumber Islam, doktrin Islam, ritual dan institusi Islam, Sejarah Islam, genre serta pemikiran tokoh, studi tempat, serta bahasa.

C. Metode serta Pendekatan Sejarah pada Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) sebagai disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di bedakan antara fenomena, pengetahuan, dan ilmu. 

Setidaknya ada 2 kenyataan yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama, fenomena yg disepakati (agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dipercaya nyata karena kita bersepakat menetapkannya menjadi kenyataan; fenomena yg dialami orang lain serta kita akui menjadi fenomena. Kedua, fenomena yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya 2 jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagi sebagai dua macam; pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman eksklusif atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena kita nir belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.

Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, namun ada satu hal yg mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) agar orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yg benar (valid) atau sahih (true).

Kesahihan pengetahuan benyak bergantung dalam sumbernya. Ada 2 asal pengetahuan yang kita peroleh melalui agreement: tradisi serta autoritas. Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau transmisi menurut generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan ke 2 adalah autoritas (authority), yaitu pengetahuan yang didapatkan melalui penemuan-penemuan baru sang mereka yg mempunyai wewenang serta keahlian pada bidangnya. Penerimaan autoritas menjadi pengetahuan bergantung pada status orang yg menemukannya atau menyampaikannya.

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu pada arti science menunjukkan 2 bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik agreed reality juga experienced reality, melalui penalaran personal, yaitu pendekatan spesifik buat menemukan kenyataan itu. Ilmu memberikan pendekatan khusus yg diklaim metodologi, yaitu ilmu buat mengetahui. 

Metode terbaik buat memperoleh pengetahuan merupakan metode ilmiah (scientific method). Untuk memahami metode ini terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu pada arti science dapat dibedakan menggunakan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge). Ilmu adalah pengetahuan yg sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak menilik ihwal surga maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman insan. Demikian pula tentang keadaan sebelum serta sesudah tewas, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal misalnya ini sebagai kajian kepercayaan . Tetapi demikian, pengetahuan kepercayaan yg telah tersusun secara sistematik, terstruktur, serta berdisiplin, bisa jua dinyatakan menjadi ilmu kepercayaan .

Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun memiliki 2 macam sifat: tabi’ serta matbu’. Ilmu yang mempunyai sifat yg pertama merupakan ilmu yang eksistensi obyeknya tidak memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang keberadaan obyek tadi. Sifat ilmu yg kedua, merupakan ilmu yang keberadaan obyeknya bergantung dalam pengetahuan dan asa si subyek. 

Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu di bagi kepada dua cabang akbar. Pertama ilmu mengenai Tuhan, serta kedua ilmu tentang makhluk-makhluk kreasi Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, dan ilmu kedua melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan metodologi pada arti generik. Ilmu-ilmu kealaman menggunakan memakai metode ilmiah termasuk kedalam cabang ilmu ke 2 ilmu ini.

Ilmu dalam kategori kedua, berdasarkan Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan dengan ilmu dari pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas mekanisme metode ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode pada sini merupakan cara mengetahui sesuatu menggunakan langkah-langkah yang sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam metode tersebut disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-pembuktian yang merupakan adonan menurut metode deduktif serta induktif. Dalam kontek inilah ilmu agama dalam Studi Islam (Islamic Studies) yang menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari menggunakan memakai mekanisme ilmiah. Yakni harus menggunakan metode dan pendekatan yang sistematis, terukur menurut kondisi-kondisi ilmiah.

Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yg dipergunakan pada memahami Islam. Penguasaan serta ketepatan pemilihan metode tidak dapat dipercaya sepele. Lantaran dominasi metode yg sempurna dapat mengakibatkan seseorang dapat menyebarkan ilmu yg dimilikinya. Sebaliknya mereka yang nir menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, serta bukan menjadi penghasil. Oleh karenanya disadari bahwa kemampuan pada menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkan.

Diantara metode studi Islam yg pernah terdapat pada sejarah, secara garis besar dapat dibagi sebagai 2. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara tahu kepercayaan menggunakan membandingkan seluruh aspek yg ada pada agama Islam tadi dengan kepercayaan lainnya. Dengan cara yg demikian akan didapatkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode buatan, yaitu suatu cara memahami Islam yg memadukan antara metode ilmiah menggunakan segala cirinya yg rasional, obyektif, kritis, serta seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah dipakai buat tahu Islam yang nampak pada fenomena histories, realitas, serta sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan buat tahu Islam yang terkandung pada kitab kudus. Melalui metode teologis normative ini seorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama kepercayaan yg absolut sahih. Hal ini di dasarkan kerena agama asal berdasarkan Tuhan, dan apa yg asal menurut Tuhan absolut sahih, maka agamapun absolut sahih. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan banyak sekali aspek kehidupan insan yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.

Metode-metode yang dipakai untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dpandang nir relatif lagi, sehingga diharapkan adanya pendekatan baru yang wajib terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yg dipakai dalam memahami kepercayaan . Diantaranya merupakan pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan pada konteks penelitian), merupakan cara pandang atau paradigma yang masih ada pada satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan pada memahami kepercayaan . Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa kepercayaan bisa diteliti menggunakan menggunakan berbagai kerangka berpikir. Realitas keagamaan yg diungkapkan memiliki nilai kebenaran sinkron menggunakan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada masalah apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistic.

Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis nir akan menguraikan secara holistik pendekatan yang ada, melaikan hanya pendekatan histories sesuai menggunakan judul pada atas, yakni pendekatan histories.

Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yg pada dalamnya dibahas banyak sekali insiden menggunakan memperhatikan unsure loka, saat, obyek, latar belakang, serta pelaku dari insiden tadi. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan insiden itu terjadi, pada mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam insiden tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik berdasarkan alam idealis ke alam yang bersifat emiris serta terkenal diseluruh dunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yg terdapat dalam alam idealis dengan yg ada pada alam realitas dan histories.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami kepercayaan , karena gama itu sendiri turun dalam situasi yg konkret bahkan berkaitan dengan syarat social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo sudah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang pada hal ini Islam, dari pendekatan sejarah. Ketika beliau mempelajari al-Qur’an dia sampai dalam satu konklusi bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi sebagai 2 bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, serta bagian ke 2 berisi kisah-kisah sejarah serta perumpamaan.

Dalam bagian pertama yg berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yg merujuk pada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, anggaran-anggaran legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada biasanya. Istilah-kata atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat berdasarkan konsep-konsep yg sudah dikenal sang masyarakat Arab dalam waktu al-Qur’an, atau bias jadi adalah istilah-istilah baru yang dibentuk buat mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas kata itu kemudian dintegrasikan ke pada pandangan dunia al-Qur’an, serta dengan demikian, lalu menjadi onsep-konsep yang otentik.

Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yg bersifat abstrak juga nyata. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya merupakan termasuk yg tak berbentuk. Sedangkan konsep mengenai fuqara’, masakin, termasuk yang nyata.

Selanjutnya, apabila pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud menciptakan pemahaman yg komprehensif tentang nilai-nilai Islam, maka pada bagian yg ke 2 yg berisi kisah serta perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan buat memperoleh hikmah. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak buat memasuki keadaan yg sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu insiden. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yg ingin memahami al-Qur’an secara sahih misalnya, yang bersangkutan harus tahu sejarah turunnya al-Qur’an atau insiden-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya diklaim menggunakan ilmu asbab al-nuzul yg pada pada dasarnya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan bisa mengetahui nasihat yg terkadung pada suatu ayat yang berkenaan menggunakan aturan eksklusif, serta ditujukan buat memelihara syari’at menurut kekeliruan memahaminya.

REVOLUSI ISLAM IRAN DAN REALISASI VILAYATI FAQIH

Revolusi Islam Iran Dan Realisasi Vilayat-I Faqih 
Revolusi Iran merupakan model paling spektakuler di dunia Islam, bagaimana agama mampu memberi kekuatan bagi gerakan revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan tiranik dan despotik. Bahkan tidak sekedar menumbangkan kekuasaan, namun lebih mendasar berdasarkan itu, mengganti sistem politik usang (monarki) dengan sistem politik baru (wilâyah al-faqîh). Banyak kalangan menyebut revolusi ini sebagai “keliru satu pemberontakan warga terbesar dalam sejarah umat Islam”. Kesuksesannya dapat disejajarkan menggunakan Revolusi Prancis (1789) atau Revolusi Bolshevik Rusia (1917).

Revolusi yg telah berlangsung pada Iran tahun 1978-1979 serta membentuk pemerintahan Islam yg berlangsung hingga hari ini, mengangkat poly berita yg terkait dengan kebangkitan Islam pada masa ini: keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, serta politik dengan fokus dalam identitas bangsa, keaslian budaya, partisipasi politik, dan keadilan sosial disertai pula menggunakan penolakan terhadap pembaratan  otoriterisme kekuasaan, serta pembagian kekayaan yang tidak adil. Inilah “the real revolution” yg digerakkan oleh seluruh lapisan rakyat dan dipimpin sang para tokoh kepercayaan .

Keterlibatan para mullah pada gerakan revolusioner menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa pada Iran mulai tahun 1925-1979, adalah fenomena menarik dan unik jika dicermati dari perspektif sejarah sosial-politik Syi’ah. Syi’ah sebagai madzab resmi Iran sejak Dinasti Safavi menekankan artikulasi politik yang lebih akomodatif terhadap kekuasaan. Perilaku para pengikut Syi’ah semenjak usang bersiklus dalam tradisi taqiyeh (dissimulation) serta quietisme. Apa yg telah ditampakkan sang para mullah dan pengikutnya yg terlibat dalam gerakan revolusi adalah pergeseran orientasi sikap keberagamaan menurut pasivisme menanti datangnya Imam Mahdi ke arah gerakan kongkret serta pro-aktif pada melawan kesewenang-wenangan serta ketidakadilan. Di sinilah tampak kiprah para reformer ideologi Syi’ah pada masa ini yang berhasil memperbaharui ajaran Syi’ah.

Syi’ah menjadi madzab resmi Iran menjadi identitas nasional dan asal legitimasi politik semenjak abad keenam belas. Islam Syi’ah sudah terlibat dalam percaturan politik sejak kemunculannya serta karena itu memiliki sejarah serta sistem agama yang dapat ditafsirkan dan dimanfaatkan pada krisis politik. Tetapi semenjak ditetapkan menjadi madzab resmi pada Dinasti Savafi, ajaran Syi’ah Imâmiyah (genre mainstreem pada Syi’ah) mempunyai kecenderungan apolitis dan terlalu kooperatif menggunakan penguasa negara. Wacana keagamaan yg diusung para ulama berkutat pada perkara-kasus ringan dan fiqh oriented dari dalam perkara sosial-politik yang memiliki jangkauan spektrum lebih luas. Julukan buat mereka merupakan para akhund, sebuah kata pejoratif buat menyebut ulama yg berpengetahuan dangkal.

Dalam tradisi Sunni, ulama contoh itu jua sebagai fenomena mayoritas pada konstelasi politik negara-negara berbasis madzab sunni. Ulama-ulama Wahhabi, contohnya, posisi sosio-politik mereka telah terhegemoni oleh sistem politik kerajaan Saudi. Wahabi sebagai madzab resmi Kerajaan Saudi Arabia sehingga beliau adalah sumber legitimasi bagi penguasannya. Wahabi yang pada awal-awal kelahirannya sangat kritis, telah berubah sebagai sekadar forum stempel bagi kekuasaan sang Raja. Agama dalam kondisi misalnya ini seolah meninggal suri karena tidak bisa berbuat apa-apa buat merubah sejarah umat insan. Agama sudah kehilangan elan penting menjadi sumber pandangan baru untuk membela yang lemah dan memerangi kemungkaran (depotisme).

Ali Syari’ati, keliru satu dari sedikit para pemikir Iran yg sangat galau menggunakan kenyataan “kematian agama (syi’ah)”. Apalagi latar historis ketika Syari’ati tumbuh berkembang menjadi intelektual terkemuka merupakan kekuasaan Syah Reza Pahlevi yg mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Di ketika para ulama Syi’ah kebanyakan bungkam atau merogoh sikap membisu serta menjaga jeda dengan dengan sosio-politik kala itu, Syari’ati tampil buat melontarkan gagasan-gagasan radikal tentang oposisi serta revolusi yg bersumber menurut ajaran Syi’ah yg telah dicangkokkan menggunakan tradisi revolusioner Dunia Ketiga dan Marxisme. Ali Syari’ati berhasil menciptakan ideologi Islam revolusioner yg lantas ditawarkan sebagai ideologi cara lain atas kesamaan Marxis serta nasinalis-sekular yang poly digemari kalangan belia Iran.

Ali Syari’ati mengecam para ulama yg sudah berakibat Syi’ah semata-mata sebagai agama berkabung dengan membarui arti hakiki peristiwa Karbala. Ulama, dari Syari’ati telah mengkhianati Islam dengan “menjual diri” kepada kelas penguasa, menggunakan begitu ulama telah membarui Syi’ah dari agama revolusioner menjadi ideologi ortodok; sebagai agama negara (dîn-i dewlati), yg paling tinggi hanya sebabatas menekankan sikap kedermawanan (philantropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela berdasarkan kemewahan.

Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan spesifik ulama semacam itu telah berakibat mereka menjadi instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-forum pendidikan Islam yg dikelola ulama dibiayai kaum kelas berharta buat mencegah ulama berbicara mengenai perlunya menyelamatkan kaum miskin serta mereka yang tertindas (mustad’afîn). Sebaliknya, menggunakan menggunakan doktrin tentang fiqh ekonomi, ulama merupaya mengabsahkan eksploitasi yang menurut Syari’ati lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Islam di tangan ulama itu sudah menjadi khordeh-I burzhuazi (borjuasi kecil). 

Masih menurut Syari’ati, banyak ulama berpandangan sangat picik (ulamâ-i qisyri), yg sanggup bisa mengulang-ulang doktrin fiqih secara ndeso. Mereka memberlakukan Kitab Suci sebagai lembaran kemarau, tanpa makna, sementara pada sisi lain asik menggunakan berita-gosip yg nir penting misalnya soal sandang, ritual, panjang pendeknya jenggot dan semacamnya. Akibatnya ulama gagal tahu makna istilah-kata kunci misalnya ummah, imâmah, serta nizâm al-tauhîd. Ulama yang digambarkan Syari’ati itu lebih cenderung fiqh oriented serta senang bergumul dengan ihwal khilâfiyah yang seluruh itu nir terkait menggunakan dilema real rakyat. Kemisminan, kebodohan dan keterbelakangan dan penindasan menjadi isu yg tak tersentuh (untouchtable) pada alam pikiran para ulama sehari-hari, lantaran mereka lebih disibukkan menggunakan polemik ihwal fiqhiyyah yang nir urgen.

Kecenderungan ulama misalnya gambaran di atas akan menguntungkan posisi penguasa, karena aspek-aspek penyelewengan kekuasaan, praktek ketidakadilan dan kebijakan yg hanya menguntungkan diri sendiri menjadi lepas dari kontrol dan kritik ulama. Maka tidak aneh apabila pihak penguasa menyediakan dana yg cukup buat aktifitas ulama model ini, karena semakin ulama nir independen, akan lebih memudahkan para penguasa melakukan kontrol terhadap aktivitas mereka. Kolaborasi semacam ini yang sudah terjadi di Iran sebelum revolusi, dimana rezim Syah banyak memanfaatkan ulama buat melakukan counter pulang terhadap perihal kritis yang dilontarkan para kaum oposisi. Termasuk pada antara kaum oposisi itu, Ali Syari’ati merupakan keliru satu tokoh pentingnya.

Berada dalam pusaran oposisi vis-à-vis kekuasaan rezim Syah serta ulama konservatif, Ali Syari’ati poly menuai kritik bahkan hujatan serta fitnah berdasarkan beberapa ulama. Mereka pada biasanya menuduh Syari’ati menyesatkan dan menipu kaum belia mengenai ajaran Islam sejati versi Syari’ati. Ulama asal panutan (marja’ taqlid) misalnya Ayatullah Khu’i, Milani, Ruhani dan Thabathaba’i, bahkan mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual serta membaca goresan pena Syari’ati. Mereka menganggap goresan pena-tulisan Ali Syari’ati, khususnya dalam bukunya Eslamshenasi (diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Islamology), sudah menyimpang dari tradisi Islam Syi’ah lantaran menggunakan asal-asal non-Syi’ah. 

Ali Syari’ati merupakan contoh intelektual sui generis yang berani pada posisi melawan mainstreem politik juga pemikiran Islam. Ia bisa disejajarkan dengan para pembaharu Sunni pendahulunya, misalnya Jamal al-Din al-Afghani (w.1897), Muhammad Abduh (w. 1905) atau Muhammad Iqbal (w.1938). Sama dengan Syari’ati, mereka adalah pembaharu pemikiran Islam serta sekaligus para oposan yang sangat kritis menggunakan fenomena ketidakadilan serta imperialisme Barat. Yang membedakan antara Syari’ati dengan ketiga tokoh Sunni itu merupakan bahwa Syari’ati lebih radikal dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran pembaharuannya serta ini yang perlu mendapat catatan tebal sejarah pembaharuan Islam, bahwa Syari’ati menggunakan gagasan revolusinya berhasil menarik gerbong oposisi di kalangan masyarakat Iran buat melawan rezim yg berkuasa sampai akhirnya gerakan oposisi itu berhasil melakukan revolusi bersejarah tahun 1979.

Ali Syari’ati serta Revolusi Iran merupakan 2 hal yang sulit buat dipisahkan. Walau dia mangkat dunia beberapa waktu sebelum revolusi itu sahih-benar terwujud, tepatnya tanggal 19 Juni 1977, gema revolusi yang dia kampanyekan di Iran hingga akhir hayatnya, menerima sambutan yang antusias berdasarkan massa pengunjak rasa pada puncak gerakan revolusi 1978-1979. Poster-poster Ali Syari’ati bersanding dengan poster tokoh revolusi lain misalnya Mossadeq serta tentunya Khomeini, diusung sepanjang demonstrasi besar -besaran melawan Rezim Syah. Bahkan beberapa kalangan menyebut Syari’ati lebih mempunyai kiprah dalam Revolusi Iran ketimbang Khomeini, contohnya, yg munculnya dalam waktu-ketika sehabis secara efektif revolusi berakhir. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution: Past, Present, and Future, bahkan menuduh Khomeini menjadi pembajak Revolusi Iran menurut para pejuang pra-revolusi. 

Bertitik tolak berdasarkan latar belakang tadi, peneliti menemukan titik urgensi penelitian tentang pemikiran Ali Syari’ati, khususnya yg terkait menggunakan Islam dan revolusi. Syari’ati merupakan prototype cendekiawan Islam yg melaju diantara pusaran konservatisme pemikiran Islam yang menekankan Islam menjadi kepercayaan yg terpisah menggunakan duduk perkara-persoalan real pada rakyat, serta sekularisme pemikiran yg begitu tergoda menggunakan modernisme Barat serta meninggalkan Tradisi Suci Agama. Syari’ati memperlihatkan model lain (the third way, pada kata Antoni Gidden), yaitu Islam revolusioner, Islam yang mengambil posisi sebagai jalan revolusi menuju pembebasan umat atas segala macam bentuk ketidakadilan dan penindasan. Syari’ati berhasil menggali nilai-nilai revolusioner Islam yg selama ini terkubur sang ortodoksi, yg pada konteks ajaran Syi’ah, Syari’ati telah merevolusi doktrin Syi’ah pada bentuknya yg lebih progresif. Simbol-simbol krusial Syi’ah seperti asy-Syûra, Karbala, Syâhid diposisikan pulang pada ihwal perlawanan seperti semula. 

Penelitian ini pula akan menggali lebih eksploratif tentang efek pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dalam Revolusi Iran 1979. Keberhasilan Revolusi Iran tidak bisa tanggal berdasarkan keberhasilan revolusi doktin Syi’ah. Dan galat satu tokoh krusial yg terlibat dalam proyek revolusi doktrin Syi’ah itu merupakan Ali Syari’ati.

Pemikiran Ali Syari’ati yang revolusioner mengundang perhatian orang buat menyelidiki lebih pada hubungan pemikirannya menggunakan para pemikir revolusioner sebelumnya. Para pengkaji pun lantas mengaitkan Syari’ati dengan Marx dalam satu pola hubungan geneologis pemikiran. Hasilnya pun sanggup ditebak, bahwa Syari’ati sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Marx, khususnya yang terkait dengan bagaimana menganalisis ketimpangan sosial pada masyarakat. Sehingga beberapa kalangan menyebut proyek pemikiran Syari’ati adalah Islamisasi Marxisme atau Marxisisasi Islam.

Eko Supriyadi merupakan keliru satu menurut peneliti Indonesia yang sudah berusaha mempelajari dampak Marxisme pada pemikiran Ali Syari’ati. Dalam penelitiannya yang sudah diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati, Eko berupaya menelusuri akar-akar geneologis pemikiran sosialisme Ali Syari’ati pada pemikiran Marxisme. Dalam temuannya Supriyadi menyatakan bahwa terdapat pengaruh Marx pada pemikiran Syari’ati, tetapi Syari’ati mendapat pemikiran Marx dengan kritik serta beliau memberikan sintesa antara Marxisme dan Islam. Salah satu yg dikritik Syari’ati pada rancang bangun pemikiran Marx merupakan kecenderungannya yg menafikan segala bentuk spiritualitas, yang menggunakan begitu menafikan agama, sekaligus Tuhan. Penelitian lain yg relatif seperti dengan karya Eko Supriyadi adalah yg dilakukan sang Munawar Anwar Firdausi menggunakan judul Analisis Tipologi Pemikiran Karl Marx pada Pandangan Ali Syari’ati yang beliau ajukan sebagai tesis pada pascasarjaan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004. 

Kedua penelitian pada atas lebih menekankan dalam impak pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati serta kritik Syari'ati terhadap Marxisme. Penelitian itu tidak memotret secara utuh bagaimana wacana Islam serta politik yg diusung Syari'ati apalagi mengaitkannya menggunakan revolusi Iran. Tetapi paling nir berdasarkan penelitian itu dapat dilacak akar geneologis pemikiran revolusioner Syari'ati, sebagai akibatnya lebih memudahkan buat merekonstruksi pemikirannya serta mengaitkannya dengan revolusi Iran 1979.

Adalah terlalu sempit bila memposisikan Syari’ati sebatas tokoh yg mampu mensitesakan antara Islam serta Marxisme. Realitas sosial, politik dan budaya yang melingkupi Syari’ati dalam menelorkan karya-karya intelektualnya begitu komplek. Rezim Syah Pahlevi yg despotik, ajaran-ajaran Islam (Syi’ah) yang dibonsai ulama resmi sebagai sebatas ajaran ritual, serta kondisi generik rakyat Islam yang berada dalam cengkraman intervensi Barat adalah fenomena krusial yg membangun karakter pemikiran Syari’ati, sehingga lumrah bila tampak karakter revolusioner dalam pemikirannya. Ali Syari’ati tergelisahkan sang kondisi umat yang terus-menerus diposisikan sebagai pihak yg teraniaya (mustal’afîn), dan karya-karya Syari’ati seolah mewakili bunyi-suara itu.

Ali Rahmena yg sudah melakukan pembacaan relatif komprehensif atas beberapa karya penting Syari’ati dalam bukunya Pioneer of Islamic Revival yg dalam edisi Indonesia sang penerbit Mizan diberi judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Buku Rahmena mereview pemikiran-pemikiran Syari’ati yg tertuang pada beberapa karya krusial, diantaranya adalah Eslamshenasi (Islamologi) dan Kavir (Gurun).

Tulisan Rahnema relatif lengkap sebagai tulisan yg memotret sejarah kehidupan Ali Syari'ati yg sarat menggunakan petualangan khas seseorang revolusioner. Penelitian ia yang bersumber berdasarkan data utama akurat serta berbahasa orisinil (Persia) memungkinkan Rahnema untuk menganalisis secara lebih tajam fenomena kesejarahan pemikiran serta kegiatan politik Syari'ati. Namun lantaran tulisan itu hanya sebuah tulisan biografi, bangunan pemikiran Ali Syari'ati yg kaya serta komplek tidak tertuang menggunakan utuh, dan sebaliknya, poly konteks historis yg terlewatkan begitu saja, sehingga kesan yg timbul adalah fragmentasi serta penyimpangan . Tetapi goresan pena Rahnema akan sebagai liputan awal yg relatif krusial buat memetakan secara historis warisan intelektual dan politik Ali Syari'ati.

Azyumardi Azra pada galat satu bagian dari bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, menulis mengenai filsafat konvoi Ali Syari’ati. Azra menyatakan bahwa pandangan dunia Syari'ati yang paling menonjol merupakan menyangkut hubungan antara kepercayaan serta politik. Sehingga pada konteks ini, Syari'ati bisa diklaim politico–religio thinker (pemikir politik keagamaan), yg butir pikirannya sebagai salah satu akar ideologi Revolusi Islam Iran. Azra jua menyorot bagaimana kritik Syari'ati terhadap ulama serta tawaran Syari'ati mengenai ideologi Syi’ah revolusioner (Syi’ah Alawi) menjadi lawan dari Syi’ah konservatif (Syi’ah Safavi).

Sama dengan goresan pena Rahnema, Azra hanya memotret pemikiran Syari'ati pada segmen tertentu saja. Ketika dia menulis tentang imbas penting pemikiran Ali Syari'ati terhadap Revolusi Islam, Azra nir menjelaskan lebih lanjut bagaimana proses pengaruh-menghipnotis itu berjalan. Tulisan Azra hanya menambah liputan tentang karakter pemikiran Syari'ati serta komentar-komentar para tokoh terhadap pemikiran serta peran Syari'ati dalam gerakan oposisi pada Iran waktu itu.

Senada menggunakan John L. Esposito dan John O. Voll, Abdulaziz Sachedina pada tulisannya, Ali Syari’ati: Ideologue of Iranian Revolution, menyatakan bahwa Syari’ati merupakan keliru satu tokoh yang berhasil merumuskan ideologi usaha bagi Revolusi Iran. Syari’ati, tulis Sachedina, memperlihatkan satu bentuk penafsiran baru pada pemikiran Islam yang mendorong umat Islam buat bersikap progresif dan anti status quo. Progresifitas serta anti status quo inilah yang sebagai ruh dalam ideologi perlawanan yg ditawarkan Syari’ati, serta itu diterima baik oleh khususnya kelompok mahasiswa serta kaum terpelajar lainnya pada Iran saat itu.

John L. Esposito serta John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina sudah menulis tentang dampak pemikiran Ali Syari'ati terhadap revolusi Iran, namun seperti juga tulisan-goresan pena para tokoh terdahulu, apa yang ditulis oleh John L. Esposito serta John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina nir lebih hanya sekadar perkiraan atau tesis yg nir dilengkapi menggunakan berita historis secara detail. Apa yg mereka tulis tidak utuh mendeskripsikan berita historis dan sosio-politik disaat pemikiran Syari'ati mengalami pergolakan.

Hamid Dabashi menyebut Syari’ati menjadi “the ideologist of revolt”. Dalam bukunya, Theology of Discontent: The Idelogical Foundation of The Islamic Revolution in Iran, Dabashi menyatakan bahwa Ali Syari’ati merupakan salah satu ideolog terkemuka Iran yang mengusung aliran dan ideologi primer serta penting yg berpengaruh pada Iran sebelum pecahnya revolusi. Dalam kajian beberapa sarjana yang concern dengan Revolusi Iran, ada beberapa genre dan ideologi menonjol yg berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi 1978-1979, antara lain adalah ideologi sosialis-sekuler yang diusung antara lain sang Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), dan ideologi sosialis-religius (Syi’ah progresif) yg diusung sang Ali Syari’ati.

Partai Tudeh memang disebut-sebut sang Zuyar pada bukunya, Iranian Revolution: Past, Present and Future, sebagai elemen penting pada revolusi Iran, disamping beberapa gerombolan gerakan sosialis lainnya, antara lain adalah Fadaeen (Organisasi Rakyat Iran). Tidak hanya itu, Zuyar bahkan menempatkan Khomeini hanya menjadi tokoh yg datangnya lebih belakangan yg ambil bagian pada gerakan revolusi. Khomeini tidak lebih berdasarkan “pembajak revolusi” tulis Zayar.

Apa yg ditulis sang Dabashi dan Zayar memberi jalan masuk yang lebar atas potret historis revolusi Iran. Namun masing-masing kurang menyinggung, bahkan dalam tulisan Zayar nir disinggung sama sekali peran Ali Syari'ati dalam revolusi itu. Sehingga apa yg ditulis Zayar, lebih menampakkan kiprah penting grup Marxis Iran, serta ini seakan misalnya menafikan warta historis-sosiologis bahwa rakyat Iran adalah dominan Syi’ah. 

Penelitian ini merogoh penekanan pada pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dan pengaruhnya terhadap Revolusi Islam Iran. Berbeda dengan apa yang sudah diteliti oleh Eko Supriyadi dan Munawar Anwar Firdausi yang lebih penekanan dalam impak pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati, penelitian ini lebih penekanan dalam efek pemikirannya terhadap gerakan revolusi di Iran yg berhasih menumbangkan rezim Syah. Begitu jua menggunakan apa yg sudah dikaji sang Ali Rahmena yang lebih menyorot karya-karya penting Syari’ati. Tulisan Azyumardi Azra memang memberi inspirasi buat melacak imbas pemikiran Syari’ati terhadap Revolusi Iran, namun apa yang disampaikan Azra lebih sekedar hipotesis awal dari pada sebuah analisa yg mendalam. Karya Hamid Dabashi memang memberi liputan lebih jelasnya mengenai berbagai genre serta ideologi yang berpengaruh dalam Revolusi Iran, namun berdasarkan kesekian aliran itu mana yang paling berpengaruh, dan sejauhmana dampak ideologi yang digagas Syari’ati dalam revolusi sepertinya belum dikupas secara memadai sang para peneliti serta penulis itu. 

KERANGKA TEORITIK
Selama ini revolusi adalah sebuah kata yang digunakan untuk menyebut suatu perubahan mendasar di pemerintahan atau konstitusi politik sebuah negara, terutama yg terjadi lantaran sebab-sebab internal dan lewat suatu pergolakan bersenjata, serta rusuh. Menurut Funk & Wagnalls New Encyclopedia, revolusi merupakan sebuah perubahan sosial atau politik menggunakan memakai kekerasan serta secara paksa, dipengaruhi sang kekejaman dan bentrok senjata; revolusi juga berarti perubahan sistem politik, tetapi secara cepat dan total, melalui cara-cara di luar konstitusi serta pengingkaran atas lembaga pemerintahan. Senada dengan pengertian itu, pada Black’s Law Ditionary, revolusi diartikan “on overthrow of a government usu. Resulting in fundamental political change, a successful rebellion” (meruntuhkan pemerintah yang ada, membuat perubahan politik secara mendasar, dan sebuah pemberontakan yg sukses). 

Eugene Camenka adalah salah satu yg menyatakan bahwa kekerasan pada revolusi merupakan sebuah keniscayaan, namun, dia buru-buru memberi penerangan lanjutan, andai saja revolusi itu tanpa menimbulkan kekerasan, masih tetap dianggap revolusi. Akhirnya Samuel Huntington merumuskan revolusi sebagai “suatu penjungkirbalikan nilai-nilai, mitos, lembaga-forum politik, struktur sosial, kepemimpinan, serta aktifitas maupun kebijaksanaan pemerintah yang sudah mayoritas di warga ”. Dan secara prinsip menurut aneka macam definisi yg diberikan para ahli politik, revolusi terkait menggunakan gagasan perubahan menyeluruh, pembaharuan serta diskontinuitas menyeluruh serta jua menganut perkiraan bahwa revolusi erat hubungannya menggunakan transformasi sosial.

Dari beberapa definisi tentang revolusi di atas dapat diambil beberapa kata kunci (key words) dalam diskursus revolusi diantaranya merupakan; perubahan politik secara mendasar (fundamental change in the political system), kekuatan massa (extra-sah mass actions), pemberontakan (rebellion and revolt), serta oposisi. Dalam banyak perkara oposisi senantiasa menyebabkan kekacauan (chaos) serta kekerasan (violence), tetapi terminologi itu bukan karakter pokok dalam revolusi, namun hanya sebagai akibat samping ketika revolusi itu dijalankan.

Bagaimana revolusi bisa dijelaskan sebagai satu taktik politik pada mencapai suatu tujuan? Tentu terdapat poly perspektif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Salah satu perspektif buat melihat masalah itu adalah tesis Gramsci tentang hegemoni. Pada prinsipnya, pada teori intervensi ala Gramsci disebutkan bahwa para elite membutuhkan cara buat dapat melakukan kontrol efektif terhadap pihak yang dikuasainya. Cara-cara elit ini penting dalam rangka tetap terus menjaga posisi kekuasannya berdasarkan ancaman-ancaman ketidakpatuhan. Hegemoni yg dilakukan para penguasa/elite tidak sebatas hegemoni cara-cara pruduksi, namun pula hegemoni ideologi. Dengan demikian, melalui hegemoni ideologis, kepatuhan mampu dipaksakan dan perlawanan sanggup dipatahkan atau dilenyapkan oleh elite. Pada akhirnya saat hegemoni itu mengalami titik klimaks, demikian istilah Gramsci, pada waktu yg sama, perlawanan bisa mengambil bentuk berupa upaya-upaya kontra hegemoni oleh kelas yang dikuasai untuk melawan perpaduan sosial yg terdapat.

Bagaimana kontra hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yg tertindas? Kerkvliet merupakan salah satu ahli politik yg bisa melihat kenyataan kontra- hegemoni sebagai sesuatu yang mungkin terjadi yang berasal-muasalnya adalah dari perilaku kritisisme masyarakat bawah (yg tertindas) terhadap ideologi mayoritas yg dipaksakan oleh elite kekuasaan. Lebih jelas Kerkvliet menulis :

“Masyarakat berdasarkan kelas yg dikuasai tidak wajib selalu tunduk pada ideologi mayoritas, lantaran mereka memiliki gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan alternatif yg mampu menampilkan tantangan signifikan kepada pandangan gerombolan mayoritas mengenai bagaimana hak milik serta asal-sumber lainnya mampu dipakai sang siapa saja. Mereka memiliki gagasan tentang hak-hak mereka dan apa itu keadilan, yg sekali lagi menentang keyakinan banyak orang yang berkuasa”.

Singkatnya, gagasan bahwa ideologi kelas yg dikuasai bisa menyusup serta melawan ideologi hegemonik adalah mungkin. Banyak model yang membenarkan tesis ini, misalnya yg diperlihatkan sang buruh tambang pada Indian. Mereka mengembangkan ideologi mereka sendiri melalui elaborasi atas kebudayaan tradisional Indian serta mereka menggunakan idiom-idiom budaya buat melakukan perlawanan terhadap pemilik-pemilik tambang serta negara.

Apakah agama sanggup menjadi asal kekuatan dan pandangan baru ideologis buat melakukan oposisi serta revolusi terhadap kekuatan elite yang hegemonik? Bagi Gramsci, fungsi agama keliru satunya merupakan menaruh bentuk-bentuk kesadaran baru yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan sosial yg baru. Menurut Gramsci, sesuatu yg memiliki nilai krusial spesifik adalah agama atau ideologi yg bisa mewujudkan suatu ‘kehendak kolektif nasional-terkenal’ misalnya yang dia lihat pada protestanisme pada revolusi Perancis.

Oliever Roy dalam bukunya yang sangat populer The Failure of political Islam mengemukakan suatu kabar bahwa keyakinan eksklusif terhadap agama (Islam) ternyata membawa akibat terhadap perilaku politik eksklusif. Kaum Islamisis, begitu Roy menjelaskan, memiliki argumen politik yg berpijak dalam asas bahwa Islam adalah sistem pemikiran dunia dan menyeluruh. Menurut mereka, warga yg terdiri dari orang-orang Islam saja nir relatif, tetapi juga harus Islami pada landasan maupun strukturnya. Konsekwensinya, lanjut Roy, setiap orang punya kewajiban untuk memberontak terhadap negara Muslim yg dinilai korup; bahkan juga keharusan buat mengekskomunikasikan (takfir) penguasa yang ditinjau murtad serta buat melakukan tindakan kekerasan (revolusi) terhadapnya.

Peneliti nir bermaksud memperdebatkan apakah gerakan kelompok Islamisis itu kontra produktif terhadap upaya-upaya gerakan Islam yang ramah serta toleran, namun sekadar mencari bukti kebenaran tesis Gramsci pada atas bahwa kepercayaan bisa, bahkan sebagai faktor penting dalam menumbuhkan kekuatan oposisi serta revolusi. Mungkin ini yang ingin dieksplorasi secara akademis oleh Ali Syari’ati. Ia berupaya buat merumuskan tradisi keberagamaan Islam yang tidak melulu mengurus akherat, seperti yg ditunjukkan sang perilaku secara umum dikuasai Muslim. Akan namun yang lebih berarti dari itu seluruh merupakan bagaimana membuahkan kepercayaan sebagai kekuatan revolusi yang membebaskan umat menurut penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Sebagaimana telah dikemukakan pada muka, bahwa Ali Syari’ati adalah sosok intelektual Muslim yang revolusioner. Pandangan dunia Syari’ati yg paling menonjol merupakan menyangkut interaksi antara agama dan politik, yang bisa dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Ali Syari’ati adalah pada hal ini, Islam dapat dan harus pada fungsionalisasikan menjadi kekuatan revolusioner buat membebaskan rakyat yg tertindas, baik secara kultural juga politik. Lebih tegas lagi, Islam pada bentuk murninya yg belum dikuasai kekuatan ortodok – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga menurut penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia mencicipi dilema akut yang dimunculkan kolonialisme serta neo-kolonialisme yg mengalienasikan masyarakat berdasarkan akar-akar tradisi mereka.

Hassan Hanafi senafas menggunakan Ali Syari’ati pada memberdayakan Islam sebagai kekuatan revolusi. Untuk mewujudkan idealisme Islam pembebasan itulah, Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasâr al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) dalam tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan menurut Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr, yang sebagai rencana Al-Afghani dalam melawan kolonialisme serta keterbelakangan, menyerukan kebebasan serta keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke pada blok Islam atau blok Timur. Jurnal ini jua terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Sehingga, peristiwa besar itu memang sudah membangkitkan Hassan Hanafi pada meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Tetapi, menganggap insiden itu menjadi satu-satunya penyebab, merupakan nir benar karena kita jua wajib memperhitungkan faktor konvoi Islam modern serta lingkungan Arab-Islam. Demikian pula, istilah Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karenanya berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. Kiri Islam lahir berdasarkan kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, buat lalu melakukan rekonstruksi terhadap semua bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini merupakan suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yg sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yg menindas.

Tokoh Islam lain yg senafas dengan Ali Syari’ati serta Hassan Hanafi merupakan misalnya Ashar Ali Engineer. Asghar menyatakan bahwa kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad sudah berperan secara signifikan dalam sejarah umat insan. Akan namun, begitu warta selanjutnya dari Asghar, selesainya meninggalnya Nabi Muhammad, terjadi perebutan kekuasaan yg berorientasi kepada kepentingan pribadi. Saat kekuasaan itu menjadi instrumen kepentingan langsung, muncullah pada wilayah kekuasaan Islam, penguasa-penguasa despotik seperti yg dipertontonkan secara nyata oleh Reza Syeh Pahlevi yg menjadi obyek kritik serta oposisi Ali Syari’ati atau para penguasa Mesir yg jua menjadi ladang kritisisme seseorang anak bangsa misalnya Hassan Hanafi yg dikenal sebagai pengusung al-yasar al-islami (kiri Islam). Watak perlawanan Islam terhadap kesewenang-wenangan sekaligus keberpihakan Islam terhadap grup tertindas (mustad’afîn) sudah menjadi tabiat dasar Islam menjadi kepercayaan rahmatan li al-’âlamîn. Maka akan poly dijumpai dalam al-Qur’an, kitab pedoman umat Islam, pelbagai anjuran bahkan perintah tegas buat melakukan pembelaan terhadap mustad’afîn Pembelaan terhadap mustad’afîn ini dilakukan secara simultan dengan larangan secara tegas pula atas segala bentuk ketidakadilan, baik kultural maupun struktural.

Sebagaimana yg sebagai penekanan kajian para pemikir Islam revolusioner, bahwa Islam nir hanya sebatas kepercayaan yang melangit, hanya sekadar deretan doktrin, tetapi lebih menurut itu, Islam merupakan agama yg sarat menggunakan dimensi praksis. Istilah yang tak jarang dipakai buat ini merupakan faith in actions, keyakinan yang diwujudkan dalam aksi-aksi nyata. Berangkat berdasarkan kerangka berfikir ini, para pemikir Islam revolusioner, termasuk pada dalamnya Ali Syari’ati berupaya supaya butir pikirannya bisa diserap sebesar mungkin lapisan warga buat mensugesti pola pikir mereka. Setelah masyarakat mengalami revolusi pemikiran, maka harapan selanjutnya adalah mewujudkan sebuah gerakan sosial-politik yg radikal untuk merevolusi struktur sosial politik yang dominan.