PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM DAN ISTILAHISTILAH PENDIDIKAN

Pengertian Pendidikan Islam Dan Istilah-Istilah Pendidikan
Secara umum pendidikan dalam Islam diungkapkan pada beberapa kata, yakni: ta’dib, ta’lim, dan tarbiyah. Pada bagian ini akan dibahas secara rinci menurut masing-masing istilah tadi, sebagaimana akan didiskripsikan di bawah ini. 

Pendidikan itu sendiri berasal dari istilah didik kemudian kata ini mendapat imbuhan me- sehingga menjadi mendidik, ialah memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan dan pimpinan mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran.[1]

Pendidikan dalam hakikatnya mempunyai jangkauan makna yg luas dan, pada rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan ketika serta tenaga yg nir mini . Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan Minal mahdi ilal lahdi (berdasarkan buaian sampai liang lahad atau pendidikan seumur hayati), sebagaimana dikenal pula pernyataan ilmu pada siswa: “Berilah saya seluruh yang engkau miliki, maka akan kuberikan kepadamu sebagian yang aku punyai.”[2] 

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) masih ada penjelasan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan perilaku dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam bisnis mendewasakan manusia melalui upaya pedagogi serta latihan. Sedang mendidik diartikan menggunakan memelihara serta memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak serta kecerdasan pikiran. 

Secara terminologis, pengertian pendidikan yg masih ada pada Ensiklopedia Pendidikan mendefinisikan bahwa pendidikan dalam arti yang luas meliputi seluruh perbuatan dan bisnis berdasarkan generasi tua buat mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya dan keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya supaya bisa memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.[3] 

Dalam undang-undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan merupakan bisnis sadar serta terpola buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran supaya siswa secara aktif membuatkan potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yg diperlukan dirinya, rakyat, bangsa serta negara.[4] 

Sedangkan pengertian pendidikan dari kata Psikologi merupakan proses menumbuh kembangkan semua kemampuan dan konduite manusia melalui pedagogi. Adanya istilah pengajaran ini berarti terdapat suatu proses perubahan tingkah laris menjadi output interaksi menggunakan lingkungan yg diklaim dengan belajar.[5]

Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yg berwarna Islam. Pembahasan pendidikan berdasarkan Islam terutama berdasarkan atas Al-Qur’an serta Al-Hadits, kadang-kadang diambil jua pendapat para pakar pendidikan Islam.[6] 

Menurut M. Athoullah Ahmad pada tulisannya menyampaikan, Islam merupakan forum (dustur) Islam, barang siapa yg membenarkan Islam adalah berdasarkan Allah, beriman secara global dan terperinci, maka disebut Mu’min, serta iman dalam pengertian ini tidak bisa dipandang kecuali hanya sang Allah SWT, lantaran insan tak pernah membedah hati seorang serta tidak mengetahui apa pada dalamnya.[7] 

Menurut Muhammad Thalib, Islam merupakan kepercayaan yg Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad saw., yang mengajarkan segala aspek tatanan kehidupan yg diharapkan sang insan, termasuk pada dalamnya aspek pendidikan.[8]

Pendapat lain mengatakan, kata Islam berasal berdasarkan bahasa Arab “aslama”. Bila dipandang menurut segi bahasa, Islam memiliki beberapa arti:
  1. Islam berarti taat/patuh dan berserah diri kepada Allah SWT.
  2. Islam berarti damai dan afeksi. Maksudnya, kepercayaan Islam mengajarkan perdamaian serta kasih-sayang bagi umat manusia tanpa memandang rona kulit, kepercayaan , dan status sosial.
  3. Islam berarti selamat, maksudnya Islam merupakan petunjuk buat memperoleh keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak Itulah sebabnya salam bagi umat Islam merupakan “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” (semoga Allah melimpahkan keselamatan serta kesejahteraan-Nya padamu).[9]
Dalam Tafsir Al-Mishbah yg ditulis oleh M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Islam merupakan ketundukan makhluk pada Tuhan Yang Maha Esa pada ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung sang karamah serta bukti-bukti yang meyakinkan.

Hanya saja, kata Islam buat ajaran para nabi yg kemudian merupakan sifat, sedang umat Nabi Muhammad saw. Memiliki keistimewaan dari kesinambungan berdasarkan sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus menjadi pertanda dan nama baginya.[10] 

Setelah tadi diungkapkan antara pengertian pendidikan serta Islam secara terpisah, maka apabila dipandang berdasarkan sudut pandang bahasa, pendidikan Islam berasal dari khazanah bahasa Arab yg diterjemahkan, mengingat dalam bahasa itulah ajaran Islam diturunkan. Seperti yang implisit pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dua sumber utama ajaran Islam, kata yang dipergunakan dan dianggap relevan sehingga menggambarkan konsep serta aktifitas pendidikan Islam itu ada tiga, yaitu At-Tarbiyah, At-Ta’lim, dan At-Ta’dib, ketiga kata ini direkomendasikan dalam Konferensi Internasional pertama tentang pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977 menjadi berikut:

”The meaning of education in Islam totality in the context of Islam inherent in the connotation of three each these term conveys conserning man his society and environment in relation to God Islam related to ten other, and together they represent the scope of education in Islam both formal and non formal.” 

“Yang dimaksud totalitas pendidikan dalam konteks Islam artinya yg nir bisa dipisahkan pada konotasi tiga kata pendidikan mengenai manusia, lingkungan serta masyarakatnya serta dalam hubungannya dengan Tuhan, jua yang herbi sepuluh lainnya, dan bersama-sama membangun lingkup pendidikan Islam baik formal dan non formal”.[11]

Dari hasil rekomendasi dalam konferensi pertama di atas, terdapat beberapa istilah mengenai pendidikan, yaitu: At-Ta’dib, At-Ta’lim,serta At-Tarbiyah.

A. At-Ta’dib
Pendidikan diistilahkan menggunakan istilah At-Ta’dib, istilah ini sebetulnya tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, tetapi pada Al-Hadits dinyatakan, yaitu: 

أَدَّبــَنِـيْ رَبــِّيْ فَــأَحْسَنَ تــَـأْدِ يـْبـــِيْ ( رواه السمعـــانى ) 

“Tuhanku telah mendidikku, maka Ia baguskan pendidikanku” (HR. As-Sam’ani).[12]

Menurut Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, kata ta’dib inilah yg berarti pendidikan. Menurutnya ta’dib memiliki arti yang sama serta ditemukan rekanan konseptualnya pada pada kata ta’lim, walaupun diakui bahwa cakupan istilah ta’dib menurut Al-Attas lebih luas dari yang dicakup kata ta’lim. Dalam ialah yang orisinil dan mendasar addaba (fi’il madhi) adalah the inviting to a banquet (undangan kepada suatu perjamuan). Gagasan mengenai suatu perjamuan rakyat bahwa tuan tempat tinggal adalah orang yg mulia, sementara hadirin adalah yang diperkirakan pantas menerima penghormatan buat diundang, oleh lantaran mereka adalah orang-orang yg bermutu dan berpendidikan serta bisa menyesuaikan diri, baik tingkah laris maupun keadaannya, sebagai akibatnya konsep ta’dib jika diaplikasikan secara sederhana dari persepsi Bloom, “bukan sekedar meliputi aspek kasih sayang (afektif), melainkan mencakup pula aspek kognitif serta psikomotorik, kendatipun aspek yg pertama lebih dominan”.[13] 

Beliau mendasarkan analisisnya atas konsep semantik dan hadits Rasulullah SAW. Riwayat Ibn Mas’ud saat Al-Qur’an digambarkan menjadi undangan Allah buat menghadiri suatu perjamuan di atas bumi, serta kita sangat dianjurkan buat mengambil bagian menggunakan cara mempunyai pengetahuan yg benar mengenai-Nya disabda Rasulullah SAW. Menjadi berikut:

إِنَّّ هَـذَا الْقُـرْأَنَ مَـأْدَبـَةُ اللهِ فِى الأَرْضِ فَـتـــَعَـلَـّمُوْا مِنْ مَـأْدَ بَــتـِهِ ( رواه ابن مسعود) 

“Sesungguhnya Al-Quran adalah sajian Allah di atas bumi, maka barang siapa yang mempelajarinya, berarti beliau belajar berdasarkan hidangannya” (HR. Ibn Mas’ud).[14] 

Oleh karenanya istilah ta’dib adalah kata yg paling relevan dibandingkan menggunakan istilah ta’lim serta tarbiyah.
Sedangkan konsekuensi akibat tidak dikembangkannya kata ta’dib pada konsep serta aktifitas pendidikan Islam berpengaruh pada 3 hal penting, pertama, kebiasaan dan kesalahan dalam ilmu pengetahuan, yg dalam gilirannya akan menciptakan kondisi yang kedua, yakni gilirannya adab dalam umat, kondisi yg timbul dampak yang pertama dan kedua merupakan konsekuensi yg ketiga, berupa bangkitnya pimpinan yg nir memenuhi syarat kepemimpinan yang absah pada kalangan umat, lantaran nir memenuhi standar moral, intelektual dan spiritual yg tinggi, yang diperlukan bagi suatu kepemimpinan pengendalian yg berkelanjutan atas urusan-urusan umat oleh pemimpin-pemimpin seperti mereka yang menguasai semua bidang kehidupan.[15]

B. At-Ta’lim
Menurut Fattah Jalal, Istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yg sebenarnya berlaku hanya buat pendidikan anak mini . Yang dimaksudkan sebagai proses persiapan serta pengusahaan dalam fase pertama pertumbuhan insan (yg sang Lanqeveld disebut pendidikan pendahuluan), atau dari kata yg terkenal diklaim fase bayi serta kanak-kanak. 

Pandangan beliau didasarkan dalam 2 ayat sebagaimana firman Allah:

ﻮﻗﻞ ﺭﺐ ﺍ ﺮﺣﻣﻬﻣﺎ ﻛﻣﺎ ﺭﺑﻳﻧﻰ ﺼﻐﻳﺭﺍ

“…Dan ucapkanlah: Ya Rabbi, kasihanilah mereka berdua sebagaimana (kasihnya) mereka berdua mendidik aku saat kecil” (QS. Al-Isra’: 24).[16]

Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mendidikmu pada pada keluarga kami waktu engkau masih kanak-kanak, serta kamu tinggal beserta kami beberapa tahun menurut umurmu” (QS. Asy-Syu’ara: 18).[17] 

Kalimat ta’lim dari Abdul Fattah Jalal merupakan proses yg terus menerus diusahakan insan semenjak lahir, sehingga satu segi sudah meliputi aspek kognisi dan pada segi lain nir mengabaikan aspek affeksi dan psikomotorik. Beliau pula mendasarkan pandangan tadi dalam argumentasi, bahwa Rasulullah SAW. Diutus sebagai mu’allim, sebagai pendidik, hal ini ditegaskan oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya, QS. Al-Baqarah: 151 yang ialah sebagai berikut:

”Sebagaimana Kami telah mengutus pada kalian yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kalian, mensucikan kalian dan mengajarkan kalian al-Kitab serta al-Hikmah, dan mengajarkan pada kalian apa yang belum diketahui” (QS. Al-Baqarah: 151).[18]

Ayat pada atas didukung pula sang ayat yang lain yg terdapat pada QS. Al-Jumu’ah: 2, yaitu:
”Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta alfabet seseorang Rosul pada antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Akitab serta Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-sahih pada kesesatan yg nyata” (QS. Al-Jumu’ah: dua).[19]

Kata menyucikan dalam ayat pada atas dapat diidentikan menggunakan mendidik, sedang mengajar nir lain kecuali mengisi benak murid menggunakan pengetahuan berkaitan menggunakan alam metafísika serta físika.[20] 

Menurut Fattah Jalal, Islam dicerminkan sang ayat 151 surat Al-Baqarah tadi memandang proses ta’lim sebagai lebih menurut universal menurut tarbiyah. Sebab, saat mengajarkan tilawah Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW. Tidak sekedar terbatas dalam mengajar mereka membaca, melainkan membaca disertai perenungan mengenai pengertian, pemahaman, tanggung jawab dan penanaman amanah. Dari membaca semacam itu Rasulullah SAW. Membawa mereka kepada tazkiyah, yakni penyucian dan pembersihan diri insan dari segala kotoran serta menjadikan diri itu berada pada suasana yang memungkinkannya dapat mendapat nasihat, menyelidiki segala yang nir diketahui serta yg berguna. Al-Hikmah nir bisa dipelajari secara parsial dan sederhana, tetapi harus mencakup keseluruhan ilmu secara integral. Kata Al-Hikmah asal menurut Al-Ihkam, yang dari Fattah Jalal berarti “keunggulan pada pada ilmu, amal, perbuatan serta atau pada pada semuanya itu”.[21] 

Kata hikmah juga mempunyai arti bisa menangkap gejala dan hakikat pada balik sebuah insiden. Mereka nir hanya melihat apa yang tampak, namun dengan mata bathinnya (bashirah), mereka bisa mengenal apa yang berada pada kembali yang tampak tersebut. “Inilah yang dimaksudkan menggunakan hikmah yang nir lain diartikan menjadi kearifan (the man of wisdom)”.[22] 

C. At-Tarbiyah
Jika diamati lebih intens, tampak kata tarbiyah yg sudah sekian abad digunakan memperoleh porsi sorotan lebih tajam dibandingkan sorotan dalam istilah ta’lim dan ta’dib. Hal tersebut dapat dimaklumi, lantaran istilah tarbiyah itulah yg dikembangkan secara umum dikuasai para ahli disepanjang sejarah.[23]

Tetapi yg lebih menarik buat disimak ádalah bagaimana argumentasi pokok yang menjamin kata tarbiyah menjadi yg lebih relevan pada menggambarkan konsep dan aktifitas pendidikan Islam.

Athiyyah Al-Abrasyi serta Mahmud Yunus menyatakan bahwa kata tarbiyah serta ta’lim berdasarkan segi makna istilah maupun aplikasinya memiliki disparitas fundamental, mengingat berdasarkan segi makna, istilah tarbiyah berarti “mendidik, sedangkan ta’lim berarti mengajar, 2 kata yg secara substansial nir bisa disamakan”.[24]

Perbedaan mendidik serta mengajar berdasarkan kedua ahli pada atas sangat mendasar sekali. Mendidik berarti mempersiapkan peserta didik dengan segala macam cara, supaya dapat mempergunakan energi dan bakatnya dengan baik, sebagai akibatnya mencapai kehidupan yang sempurna di pada rakyat. Oleh sebab itu, tarbiyah meliputi pendidikan jasmani, pendidikan ‘aql, perasaan, keindahan serta kemasyarakatan. Sementara ta’lim adalah keliru satu dari pendidikan yg bermacam-macam itu.

Dalam ta’lim, guru mentransfer ilmu, pandangan atau pikiran kepada siswa menurut metode yg disukai, sedangkan pada tarbiyah siswa turut terlihat membahas, memeriksa, mengupas, serta memikirkan soal-soal yang sulit serta mencari solusi buat mengatasi kesulitan itu menggunakan energi dan pikirannya sendiri. Oleh karena itu, ta’lim sebenarnya adalah tarbiyah ‘aql, bagian dari tarbiyah menggunakan tujuan supaya peserta didik menerima ilmu pengetahuan atau kemampuan berpikir. Sedangkan tarbiyah mengarahkan siswa supaya hidup berilmu, beramal, bekerja, bertubuh sehat, ber’aql cerdas, berakhlak mulia serta pintar pada tengah-tengah masyarakat.

Para pakar pendidikan nampaknya menemui kesulitan dalam menaruh rumusan definisi pendidikan, kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yg akan dibina. Bahkan konferensi internasional pertama tentang pendidikan Islam ternyata nir berhasil menyusun suatu definisi pendidikan Islam yg disepakati semua pihak. Jadi sangat tidak mungkin menciptakan suatu definisi pendidikan Islam yg singkat tetapi meliputi wilayah binaan yang luas. Lantaran, pendidikan merupakan bisnis mengembangkan diri pada segala aspeknya. 

Demikian juga kerancuan pemakaian dan pemahaman ketiga istilah itu, sebenarnya nir perlu terjadi bila konsep yg dikandung oleh ketiga kata tersebut kita aplikasikan pada lingkup forum pendidikan jalur sekolah. Namun demikian, kita dituntut bersikap selektif tanpa melakukan deskreditasi pada kata-kata yg dianggap kurang relevan dikembangkan, apalagi bila ketiganya ditampilkan secara konfrontatif, lantaran dalam ketiganya masih ada kelebihan disamping kekurangannya.

Kelebihan masing-masing istilah itulah yang perlu dirumuskan serta diantisipasi lebih mencerminkan konsep serta aktifitas pendidikan Islam, sebagai akibatnya pada terapannya sebagai:
a. Istilah tarbiyah kiranya mampu digunakan buat dikembangkan, mengingat kandungan kata tersebut lebih mencakup serta lebih luas dibanding menggunakan kedua istilah lain (ta’lim dan ta’dib).
b. Dalam proses belajar mengajar, konsep ta’lim bagaimanapun tidak sanggup diabaikan, mengingat keliru satu cara atau metode mencapai tujuan tarbiyah merupakan dengan melalui proses ta’lim tersebut.
c. Ta’lim dan tarbiyah dalam konsep ta’dib pada perumusan arah dan tujuan aktifitas, tetapi menggunakan modifikasi, sehingga tujuannya nir sekedar dirumuskan menggunakan istilah singkat Al-Fadlilah, tetapi rumusan tujuan pendidikan Islam yang lebih menaruh porsi primer pengembangan pada pertumbuhan dan training keimanan, keIslaman serta keihsanan disamping nir mengabaikan pertumbuhan serta pengembangan kemampuan intelektual siswa.[25]

Dengan demikian kata pendidikan yg relevan menggunakan rekanan konsep bahasa Arabnya ádalah istilah At-tarbiyah, sebagai akibatnya kata pendidikan Islam akan menjadi At-tarbiyah Al-Islamiyah, bukan At-ta’lim al-Islamiy atau At-ta’dib Al-Islamy.[26]

Selain pendapat-pendapat tentang definisi pendidikan Islam di atas, berikut adalah definisi pendidikan Islam dari beberapa pakar:
1. Menurut Burhan Somad, pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan buat membentuk individu sebagai makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi berdasarkan ukuran Allah. Secara rinci beliau mengemukakan pendidikan itu baru dapat disebut pendidikan Islam jika mempunyai 2 ciri khas, yaitu:
a. Tujuannya buat membentuk individu menjadi bercorak diri tertinggi dari hukum Al-Qur’an.
b Isi pendidikannya ajaran Allah yg tercantum menggunakan lengkap pada pada Al-Qur’an dan pelaksanaannya dalam praktek kehidupan sehari-hari, sebagaimana yg dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.[27]

2. Menurut Abuddin Nata, pendidikan Islam (Tarbiyah al-Islamiyah) diartikan menjadi proses pemeliharaan, pengembangan serta pelatihan, jua adalah upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan semua potensi diri manusia, sesuai fitrahnya serta proteksi menyeluruh terhadap hak-hak kemanusiaannya.[28]

3. Menurut Abdur Rahman Nahlawi:

أَلتـــَّرْبــِيَّة ُاْلإ ِسْلا َمِيَّة ُهِيَ التـــَّنْظِــيْمُ الْمُنْفَسِيُّ وَاْلإِجْتِمَاعِيُّ الَّذِيْ يــُؤْدِيْ إِلىَ اعْتِنَاقِ اْلإ ِسْلا َمِ وَتــَطْبِيْقَةٍ كُلِّــيًّافِى حَيَاةِ الْفَرْدِوَالْجَمَاعَةِ

”Pendidikan Islam merupakan pengaturan langsung serta rakyat yg karena itu dapatlah memeluk Islam secara logis dan sinkron secara keseluruhan baik dalam kehidupan individu maupun kolektif”.[29]

Dari uraian tadi bisa diambil konklusi bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan dilakukan sang seorang dewasa pada terdidik dalam masa pertumbuhan agar ia mempunyai kepribadian muslim. Dan lantaran ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku langsung pada rakyat, menuju kesejahteraan hayati perseorangan dan beserta, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu serta pendidikan rakyat. [30]


Sumber-Sumber Artikel Di Atas :

[1]. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. VI, h.10 
[2]. M. Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 1994, Cet. XXIX, h. 272
[3] Baihaqi A.K. Mendidik Anak Dalam Kandungan, Jakata: Darul Ulum Press, 2003, Cet. Ke-tiga, h. 1
[4] UU RI No. 20, Th 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan UU RI No.14 Th. 2005 tentang pengajar dan dosen, Jakarta: Visimedia, 2007, Cet. I, h. 2.
[5]. //dewilenys.wordpress.com/2008/04/15/pendidikan-anak-dari-Islam
[6].ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan pada Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Ke IV, h. 24.
[7].M. Athoullah Ahmad, Pendidikan Agama Islam, Serang: Yayasan Rihlah Al-Qudsiyah, 1997, Cet, ke-1, h.4
[8]. Muhammad Thalib, 20 Kerangka Pokok Pendidikan Islami, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001, Cet. I, h. 10. 
[9]. Syamsu Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Jakarta: Penebar Salam, 2001, Cet. X, h. 2.
[10]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. 2, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. VI, hal.41 
[11] Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia 2002, h. 2 
[12]. Ibid. H. 3
[13]. Ibid., h. 4
[14]. Ibid., h. 3
[15]. Ibid. H. 4
[16] Hasbi Ash-Shiddieqy, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 284 
[17] Ibid, h. 367
[18] Ibid, h. 23
[19]. Ibid, h. 553
[20]. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992 Cet. Ke-I, h. 172
[21].abdul Halim Soebahar,Op. Cit., h. 6.
[22].toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah ( Transcendental Intelligence), Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke II, 
[23]. Abdul Halim Soebahar, Loc. Cit. H. 6
[24]. Ibid, h. 7
[25]. Ibid, h. 8 
[26] Ibid, h. 12
[27]. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, h. 10
[28]. M. Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Yayasan Karsa Utama serta PB Mathla’ul Anwar, 1998, Cet. Ke 1, h. 3
[29]. Nur Uhbiyati, Op. Cit., h. 9
[30] . Ibid, h. 12

PENGERTIAN PENDIDIKAN ISLAM DAN ISTILAHISTILAH PENDIDIKAN

Pengertian Pendidikan Islam Dan Istilah-Istilah Pendidikan
Secara generik pendidikan pada Islam diungkapkan pada beberapa istilah, yakni: ta’dib, ta’lim, dan tarbiyah. Pada bagian ini akan dibahas secara rinci dari masing-masing istilah tadi, sebagaimana akan didiskripsikan pada bawah ini. 

Pendidikan itu sendiri berasal berdasarkan istilah didik kemudian istilah ini mendapat imbuhan me- sehingga sebagai mendidik, ialah memelihara serta memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan dibutuhkan adanya ajaran, tuntunan serta pimpinan tentang akhlaq serta kecerdasan pikiran.[1]

Pendidikan dalam hakikatnya mempunyai jangkauan makna yang luas dan, pada rangka mencapai kesempurnaannya, memerlukan saat dan energi yang tidak kecil. Dalam khazanah keagamaan dikenal ungkapan Minal mahdi ilal lahdi (berdasarkan buaian sampai liang lahad atau pendidikan seumur hidup), sebagaimana dikenal juga pernyataan ilmu pada siswa: “Berilah aku semua yang kamu miliki, maka akan kuberikan kepadamu sebagian yang saya punyai.”[2] 

Di pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) masih ada penerangan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan perilaku serta tata laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Sedang mendidik diartikan menggunakan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak serta kecerdasan pikiran. 

Secara terminologis, pengertian pendidikan yang masih ada pada Ensiklopedia Pendidikan mendefinisikan bahwa pendidikan pada arti yg luas mencakup semua perbuatan dan usaha berdasarkan generasi tua buat mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya dan keterampilannya pada generasi belia menjadi usaha menyiapkannya supaya bisa memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah juga rohaniah.[3] 

Dalam undang-undang Republik Indonesia no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, bahwa pendidikan adalah bisnis sadar dan terpola buat mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar siswa secara aktif menyebarkan potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yg diperlukan dirinya, rakyat, bangsa serta negara.[4] 

Sedangkan pengertian pendidikan berdasarkan kata Psikologi merupakan proses menumbuh kembangkan semua kemampuan dan konduite manusia melalui pedagogi. Adanya kata pedagogi ini berarti ada suatu proses perubahan tingkah laris menjadi hasil hubungan menggunakan lingkungan yg dianggap dengan belajar.[5]

Kata Islam pada pendidikan Islam menunjukan rona pendidikan eksklusif, yaitu pendidikan yang berwarna Islam. Pembahasan pendidikan berdasarkan Islam terutama berdasarkan atas Al-Qur’an dan Al-Hadits, kadang-kadang diambil pula pendapat para pakar pendidikan Islam.[6] 

Menurut M. Athoullah Ahmad dalam tulisannya berkata, Islam merupakan lembaga (dustur) Islam, barang siapa yang membenarkan Islam adalah menurut Allah, beriman secara global dan terang, maka disebut Mu’min, serta iman dalam pengertian ini tak bisa ditinjau kecuali hanya sang Allah SWT, karena manusia tidak pernah membedah hati seorang serta nir mengetahui apa pada dalamnya.[7] 

Menurut Muhammad Thalib, Islam adalah kepercayaan yg Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad saw., yg mengajarkan segala aspek tatanan kehidupan yg dibutuhkan sang manusia, termasuk di dalamnya aspek pendidikan.[8]

Pendapat lain mengungkapkan, istilah Islam asal menurut bahasa Arab “aslama”. Bila dipandang dari segi bahasa, Islam memiliki beberapa arti:
  1. Islam berarti taat/patuh dan berserah diri kepada Allah SWT.
  2. Islam berarti hening serta kasih sayang. Maksudnya, kepercayaan Islam mengajarkan perdamaian dan kasih-sayang bagi umat insan tanpa memandang rona kulit, agama, serta status sosial.
  3. Islam berarti selamat, maksudnya Islam merupakan petunjuk untuk memperoleh keselamatan hidup baik di global juga di akhirat kelak Itulah sebabnya salam bagi umat Islam adalah “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” (semoga Allah melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan-Nya padamu).[9]
Dalam Tafsir Al-Mishbah yg ditulis oleh M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Islam merupakan ketundukan makhluk pada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung sang karamah dan bukti-bukti yg meyakinkan.

Hanya saja, kata Islam buat ajaran para nabi yang lalu adalah sifat, sedang umat Nabi Muhammad saw. Mempunyai keistimewaan dari transedental berdasarkan sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus sebagai pertanda serta nama baginya.[10] 

Setelah tadi diungkapkan antara pengertian pendidikan serta Islam secara terpisah, maka jika dipandang menurut sudut pandang bahasa, pendidikan Islam asal dari khazanah bahasa Arab yang diterjemahkan, mengingat dalam bahasa itulah ajaran Islam diturunkan. Seperti yang tersirat pada Al-Qur’an dan Al-Hadits, dua asal primer ajaran Islam, kata yg digunakan dan dianggap relevan sebagai akibatnya menggambarkan konsep serta aktifitas pendidikan Islam itu ada tiga, yaitu At-Tarbiyah, At-Ta’lim, dan At-Ta’dib, ketiga kata ini direkomendasikan dalam Konferensi Internasional pertama mengenai pendidikan Islam di Makkah dalam tahun 1977 sebagai berikut:

”The meaning of education in Islam totality in the context of Islam inherent in the connotation of three each these term conveys conserning man his society and environment in relation to God Islam related to ten other, and together they represent the scope of education in Islam both formal and non formal.” 

“Yang dimaksud totalitas pendidikan pada konteks Islam ialah yg nir mampu dipisahkan pada konotasi 3 kata pendidikan mengenai manusia, lingkungan dan masyarakatnya dan pada hubungannya dengan Tuhan, jua yg berhubungan dengan sepuluh lainnya, serta beserta-sama membentuk lingkup pendidikan Islam baik formal dan non formal”.[11]

Dari hasil rekomendasi pada konferensi pertama di atas, terdapat beberapa kata tentang pendidikan, yaitu: At-Ta’dib, At-Ta’lim,dan At-Tarbiyah.

A. At-Ta’dib
Pendidikan diistilahkan menggunakan kata At-Ta’dib, kata ini sebetulnya nir dijumpai pada Al-Qur’an, tetapi dalam Al-Hadits dinyatakan, yaitu: 

أَدَّبــَنِـيْ رَبــِّيْ فَــأَحْسَنَ تــَـأْدِ يـْبـــِيْ ( رواه السمعـــانى ) 

“Tuhanku sudah mendidikku, maka Ia baguskan pendidikanku” (HR. As-Sam’ani).[12]

Menurut Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, kata ta’dib inilah yang berarti pendidikan. Menurutnya ta’dib memiliki arti yang sama serta ditemukan relasi konseptualnya di pada kata ta’lim, walaupun diakui bahwa cakupan kata ta’dib berdasarkan Al-Attas lebih luas menurut yang dicakup kata ta’lim. Dalam ialah yang orisinil serta fundamental addaba (fi’il madhi) adalah the inviting to a banquet (undangan kepada suatu perjamuan). Gagasan tentang suatu perjamuan masyarakat bahwa tuan tempat tinggal merupakan orang yang mulia, sementara hadirin merupakan yang diperkirakan pantas menerima penghormatan buat diundang, sang karena mereka merupakan orang-orang yg bermutu serta berpendidikan serta sanggup mengikuti keadaan, baik tingkah laku maupun keadaannya, sehingga konsep ta’dib bila diaplikasikan secara sederhana menurut persepsi Bloom, “bukan sekedar mencakup aspek afeksi (afektif), melainkan meliputi juga aspek kognitif serta psikomotorik, kendatipun aspek yg pertama lebih mayoritas”.[13] 

Beliau mendasarkan analisisnya atas konsep semantik dan hadits Rasulullah SAW. Riwayat Ibn Mas’ud ketika Al-Qur’an digambarkan menjadi undangan Allah untuk menghadiri suatu perjamuan pada atas bumi, serta kita sangat dianjurkan buat mengambil bagian menggunakan cara memiliki pengetahuan yg sahih tentang-Nya disabda Rasulullah SAW. Menjadi berikut:

إِنَّّ هَـذَا الْقُـرْأَنَ مَـأْدَبـَةُ اللهِ فِى الأَرْضِ فَـتـــَعَـلَـّمُوْا مِنْ مَـأْدَ بَــتـِهِ ( رواه ابن مسعود) 

“Sesungguhnya Al-Quran adalah hidangan Allah di atas bumi, maka barang siapa yg mempelajarinya, berarti beliau belajar dari hidangannya” (HR. Ibn Mas’ud).[14] 

Oleh karenanya istilah ta’dib adalah kata yg paling relevan dibandingkan dengan kata ta’lim serta tarbiyah.
Sedangkan konsekuensi akibat tidak dikembangkannya istilah ta’dib pada konsep dan aktifitas pendidikan Islam berpengaruh dalam tiga hal penting, pertama, kebiasaan dan kesalahan pada ilmu pengetahuan, yg pada gilirannya akan membangun syarat yg ke 2, yakni gilirannya adab pada umat, syarat yg muncul akibat yg pertama serta kedua merupakan konsekuensi yg ketiga, berupa bangkitnya pimpinan yg tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang sah pada kalangan umat, karena tidak memenuhi standar moral, intelektual serta spiritual yg tinggi, yang diharapkan bagi suatu kepemimpinan pengendalian yg berkelanjutan atas urusan-urusan umat sang pemimpin-pemimpin misalnya mereka yg menguasai semua bidang kehidupan.[15]

B. At-Ta’lim
Menurut Fattah Jalal, Istilah ta’lim lebih luas dibanding tarbiyah yang sebenarnya berlaku hanya buat pendidikan anak mini . Yang dimaksudkan menjadi proses persiapan serta pengusahaan pada fase pertama pertumbuhan manusia (yang oleh Lanqeveld diklaim pendidikan pendahuluan), atau berdasarkan istilah yg populer disebut fase bayi serta kanak-kanak. 

Pandangan dia berdasarkan pada dua ayat sebagaimana firman Allah:

ﻮﻗﻞ ﺭﺐ ﺍ ﺮﺣﻣﻬﻣﺎ ﻛﻣﺎ ﺭﺑﻳﻧﻰ ﺼﻐﻳﺭﺍ

“…Dan ucapkanlah: Ya Rabbi, kasihanilah mereka berdua sebagaimana (kasihnya) mereka berdua mendidik aku saat mini ” (QS. Al-Isra’: 24).[16]

Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mendidikmu pada pada famili kami waktu kamu masih kanak-kanak, dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu” (QS. Asy-Syu’ara: 18).[17] 

Kalimat ta’lim berdasarkan Abdul Fattah Jalal adalah proses yang terus menerus diusahakan insan sejak lahir, sehingga satu segi sudah meliputi aspek kognisi dan pada segi lain nir mengabaikan aspek affeksi serta psikomotorik. Beliau juga mendasarkan pandangan tadi pada argumentasi, bahwa Rasulullah SAW. Diutus menjadi mu’allim, sebagai pendidik, hal ini ditegaskan oleh Allah SWT. Dalam firman-Nya, QS. Al-Baqarah: 151 yg ialah sebagai berikut:

”Sebagaimana Kami sudah mengutus pada kalian yg membacakan ayat-ayat Kami pada kalian, mensucikan kalian serta mengajarkan kalian al-Kitab serta al-Hikmah, dan mengajarkan kepada kalian apa yg belum diketahui” (QS. Al-Baqarah: 151).[18]

Ayat di atas didukung juga oleh ayat yang lain yg masih ada dalam QS. Al-Jumu’ah: dua, yaitu:
”Dialah yg mengutus pada kaum yang buta alfabet seseorang Rosul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka serta mengajarkan kepada mereka Akitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya sahih-sahih pada kesesatan yg nyata” (QS. Al-Jumu’ah: 2).[19]

Kata menyucikan pada ayat pada atas bisa diidentikan dengan mendidik, sedang mengajar tidak lain kecuali mengisi benak murid dengan pengetahuan berkaitan menggunakan alam metafísika serta físika.[20] 

Menurut Fattah Jalal, Islam dicerminkan oleh ayat 151 surat Al-Baqarah tersebut memandang proses ta’lim sebagai lebih berdasarkan universal dari tarbiyah. Sebab, ketika mengajarkan tilawah Qur’an kepada kaum muslimin, Rasulullah SAW. Tidak sekedar terbatas pada mengajar mereka membaca, melainkan membaca disertai perenungan tentang pengertian, pemahaman, tanggung jawab serta penanaman amanah. Dari membaca semacam itu Rasulullah SAW. Membawa mereka kepada tazkiyah, yakni penyucian dan pembersihan diri insan berdasarkan segala kotoran serta berakibat diri itu berada dalam suasana yg memungkinkannya dapat menerima pesan tersirat, mengusut segala yg tidak diketahui serta yang berguna. Al-Hikmah nir bisa dipelajari secara parsial serta sederhana, namun wajib mencakup holistik ilmu secara integral. Kata Al-Hikmah berasal dari Al-Ihkam, yg dari Fattah Jalal berarti “keunggulan di pada ilmu, amal, perbuatan serta atau pada dalam semuanya itu”.[21] 

Kata nasihat pula memiliki arti mampu menangkap tanda-tanda dan hakikat pada balik sebuah peristiwa. Mereka nir hanya melihat apa yg tampak, tetapi menggunakan mata bathinnya (bashirah), mereka bisa mengenal apa yg berada di balik yang tampak tadi. “Inilah yang dimaksudkan dengan nasihat yg tidak lain diartikan sebagai kearifan (the man of wisdom)”.[22] 

C. At-Tarbiyah
Jika diamati lebih intens, tampak istilah tarbiyah yg sudah sekian abad dipergunakan memperoleh porsi sorotan lebih tajam dibandingkan sorotan pada kata ta’lim serta ta’dib. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena istilah tarbiyah itulah yang dikembangkan lebih banyak didominasi para ahli disepanjang sejarah.[23]

Tetapi yg lebih menarik buat disimak ádalah bagaimana argumentasi utama yang mengklaim istilah tarbiyah sebagai yg lebih relevan pada mendeskripsikan konsep dan aktifitas pendidikan Islam.

Athiyyah Al-Abrasyi serta Mahmud Yunus menyatakan bahwa kata tarbiyah serta ta’lim dari segi makna kata maupun aplikasinya mempunyai perbedaan fundamental, mengingat dari segi makna, istilah tarbiyah berarti “mendidik, sedangkan ta’lim berarti mengajar, dua kata yg secara substansial nir mampu disamakan”.[24]

Perbedaan mendidik serta mengajar dari kedua ahli di atas sangat mendasar sekali. Mendidik berarti mempersiapkan peserta didik menggunakan segala macam cara, supaya dapat mempergunakan energi serta bakatnya dengan baik, sehingga mencapai kehidupan yang sempurna di dalam rakyat. Oleh sebab itu, tarbiyah meliputi pendidikan jasmani, pendidikan ‘aql, perasaan, keindahan serta kemasyarakatan. Sementara ta’lim merupakan galat satu dari pendidikan yg bermacam-macam itu.

Dalam ta’lim, guru mentransfer ilmu, pandangan atau pikiran kepada peserta didik dari metode yang disukai, sedangkan pada tarbiyah peserta didik turut terlihat membahas, menilik, mengupas, serta memikirkan soal-soal yg sulit serta mencari solusi untuk mengatasi kesulitan itu menggunakan energi serta pikirannya sendiri. Oleh karena itu, ta’lim sebenarnya merupakan tarbiyah ‘aql, bagian berdasarkan tarbiyah menggunakan tujuan supaya peserta didik mendapat ilmu pengetahuan atau akal budi. Sedangkan tarbiyah mengarahkan peserta didik supaya hidup berilmu, beramal, bekerja, bertubuh sehat, ber’aql cerdas, berakhlak mulia dan pandai pada tengah-tengah warga .

Para pakar pendidikan nampaknya menemui kesulitan dalam memberikan rumusan definisi pendidikan, kesulitan itu antara lain ditimbulkan oleh banyaknya jenis aktivitas serta aspek kepribadian yg akan dibina. Bahkan konferensi internasional pertama mengenai pendidikan Islam ternyata nir berhasil menyusun suatu definisi pendidikan Islam yg disepakati seluruh pihak. Jadi sangat tidak mungkin menciptakan suatu definisi pendidikan Islam yang singkat tetapi meliputi wilayah binaan yg luas. Karena, pendidikan merupakan usaha berbagi diri dalam segala aspeknya. 

Demikian pula kerancuan pemakaian serta pemahaman ketiga istilah itu, sebenarnya tidak perlu terjadi apabila konsep yg dikandung oleh ketiga istilah tadi kita aplikasikan pada lingkup lembaga pendidikan jalur sekolah. Namun demikian, kita dituntut bersikap selektif tanpa melakukan deskreditasi dalam kata-istilah yang dipercaya kurang relevan dikembangkan, apalagi apabila ketiganya ditampilkan secara konfrontatif, karena pada ketiganya terdapat kelebihan disamping kekurangannya.

Kelebihan masing-masing istilah itulah yg perlu dirumuskan dan diantisipasi lebih mencerminkan konsep dan aktifitas pendidikan Islam, sehingga pada terapannya menjadi:
a. Istilah tarbiyah kiranya bisa dipakai buat dikembangkan, mengingat kandungan istilah tersebut lebih meliputi serta lebih luas dibanding dengan kedua istilah lain (ta’lim serta ta’dib).
b. Dalam proses belajar mengajar, konsep ta’lim bagaimanapun nir mampu diabaikan, mengingat galat satu cara atau metode mencapai tujuan tarbiyah adalah menggunakan melalui proses ta’lim tadi.
c. Ta’lim dan tarbiyah dalam konsep ta’dib dalam perumusan arah serta tujuan aktifitas, tetapi dengan modifikasi, sehingga tujuannya tidak sekedar dirumuskan menggunakan kata singkat Al-Fadlilah, namun rumusan tujuan pendidikan Islam yg lebih menaruh porsi primer pengembangan pada pertumbuhan dan training keimanan, keIslaman dan keihsanan disamping tidak mengabaikan pertumbuhan dan pengembangan kemampuan intelektual peserta didik.[25]

Dengan demikian istilah pendidikan yang relevan menggunakan rekanan konsep bahasa Arabnya ádalah istilah At-tarbiyah, sehingga istilah pendidikan Islam akan menjadi At-tarbiyah Al-Islamiyah, bukan At-ta’lim al-Islamiy atau At-ta’dib Al-Islamy.[26]

Selain pendapat-pendapat mengenai definisi pendidikan Islam di atas, berikut adalah definisi pendidikan Islam berdasarkan beberapa pakar:
1. Menurut Burhan Somad, pendidikan Islam merupakan pendidikan yg bertujuan buat menciptakan individu sebagai makhluk yang bercorak diri berderajat tinggi dari ukuran Allah. Secara rinci dia mengemukakan pendidikan itu baru dapat dianggap pendidikan Islam apabila memiliki dua ciri spesial , yaitu:
a. Tujuannya untuk membentuk individu sebagai bercorak diri tertinggi dari hukum Al-Qur’an.
b Isi pendidikannya ajaran Allah yang tercantum dengan lengkap pada pada Al-Qur’an dan pelaksanaannya pada praktek kehidupan sehari-hari, sebagaimana yg dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.[27]

2. Menurut Abuddin Nata, pendidikan Islam (Tarbiyah al-Islamiyah) diartikan menjadi proses pemeliharaan, pengembangan dan pembinaan, pula merupakan upaya sadar akan pemeliharaan, pengembangan seluruh potensi diri manusia, sesuai fitrahnya dan proteksi menyeluruh terhadap hak-hak kemanusiaannya.[28]

3. Menurut Abdur Rahman Nahlawi:

أَلتـــَّرْبــِيَّة ُاْلإ ِسْلا َمِيَّة ُهِيَ التـــَّنْظِــيْمُ الْمُنْفَسِيُّ وَاْلإِجْتِمَاعِيُّ الَّذِيْ يــُؤْدِيْ إِلىَ اعْتِنَاقِ اْلإ ِسْلا َمِ وَتــَطْبِيْقَةٍ كُلِّــيًّافِى حَيَاةِ الْفَرْدِوَالْجَمَاعَةِ

”Pendidikan Islam adalah pengaturan eksklusif dan warga yg karena itu dapatlah memeluk Islam secara logis serta sinkron secara holistik baik dalam kehidupan individu maupun kolektif”.[29]

Dari uraian tersebut dapat diambil konklusi bahwa pendidikan Islam artinya bimbingan dilakukan sang seorang dewasa pada terdidik dalam masa pertumbuhan agar beliau mempunyai kepribadian muslim. Dan lantaran ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi di masyarakat, menuju kesejahteraan hayati perseorangan dan beserta, maka pendidikan Islam merupakan pendidikan individu serta pendidikan warga . [30]


Sumber-Sumber Artikel Di Atas :

[1]. Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. VI, h.10 
[2]. M. Quraish Shihab, Lentera Hati, Bandung: Mizan, 1994, Cet. XXIX, h. 272
[3] Baihaqi A.K. Mendidik Anak Dalam Kandungan, Jakata: Darul Ulum Press, 2003, Cet. Ke-tiga, h. 1
[4] UU RI No. 20, Th 2003 mengenai sistem pendidikan nasional serta UU RI No.14 Th. 2005 mengenai guru dan dosen, Jakarta: Visimedia, 2007, Cet. I, h. 2.
[5]. //dewilenys.wordpress.com/2008/04/15/pendidikan-anak-berdasarkan-Islam
[6].ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan pada Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Ke IV, h. 24.
[7].M. Athoullah Ahmad, Pendidikan Agama Islam, Serang: Yayasan Rihlah Al-Qudsiyah, 1997, Cet, ke-1, h.4
[8]. Muhammad Thalib, 20 Kerangka Pokok Pendidikan Islami, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2001, Cet. I, h. 10. 
[9]. Syamsu Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam, Jakarta: Penebar Salam, 2001, Cet. X, h. 2.
[10]. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Vol. Dua, Jakarta: Lentera Hati, 2002, Cet. VI, hal.41 
[11] Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia 2002, h. 2 
[12]. Ibid. H. 3
[13]. Ibid., h. 4
[14]. Ibid., h. 3
[15]. Ibid. H. 4
[16] Hasbi Ash-Shiddieqy, dkk., Al-Qur’an serta Terjemahnya, h. 284 
[17] Ibid, h. 367
[18] Ibid, h. 23
[19]. Ibid, h. 553
[20]. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992 Cet. Ke-I, h. 172
[21].abdul Halim Soebahar,Op. Cit., h. 6.
[22].toto Tasmara, Kecerdasan Ruhaniah ( Transcendental Intelligence), Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet. Ke II, 
[23]. Abdul Halim Soebahar, Loc. Cit. H. 6
[24]. Ibid, h. 7
[25]. Ibid, h. 8 
[26] Ibid, h. 12
[27]. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, h. 10
[28]. M. Irsjad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam, Jakarta: Yayasan Karsa Utama serta PB Mathla’ul Anwar, 1998, Cet. Ke 1, h. 3
[29]. Nur Uhbiyati, Op. Cit., h. 9
[30] . Ibid, h. 12

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ANTARA CITA DAN FAKTA

Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta
Pendidikan di era globalisasi ketika ini sedang menghadapi tantangan akbar, terutama jika dikaitkan dengan konstribusinya terhadap terbentuknya peradaban serta budaya modern yang relevan menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pada dimensi ini, pendidikan (pendidikan Islam khususnya) mengalami kemunduran fungsi (degradasi fungsional) lantaran pendidikan Islam lebih berorientasi pada aspek batiniah daripada aspek lahiriah. Dengan demikian, pendidikan Islam menyebabkan terjadinya kemandulan pada berpikir.

Banyak pendapat yang berkata bahwa pendidikan Islam hanya bisa menyesuaikan diri menggunakan pendidikan yg berorientasi dalam materialistik (simpel dan pragmatis) sehingga tidak bisa menentukan langkahnya menggunakan independen. Hal ini terjadi menjadi dampak pendidikan Islam kalah bersaing pada kebudayaan di tingkat global.

Dengan demikian, secara makro syarat pendidikan Islam ketika ini sudah ketinggalan jaman (out of dead) lantaran kalah berpacu menggunakan perkembangan serta perubahan sosial budaya. Konservatisme pendidikan adalah galat satu sebab yg dirasakan menjadi “kendala” sehingga komoditi yang diproduksi pendidikan Islam selalu kalah bersaing menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, misalnya, yg mendorong pertumbuhan industry komunikasi dan berita yang sedikit poly sudah membarui pergeseran nilai dan budaya yang ada pada masyarakat. Lebih “celaka” lagi, pendidikan menjadi galat satu sistem sosial telah terbelenggu sang aneka macam aturan serta kebijakan pemegang kekuasaan yg mengakibatkan pendidikan menjadi “mandul”, tidak efektif, serta nir fleksibel dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi di tengah kehidupan rakyat.

Pendidikan formal (sekolah) tidak lagi adaptif, bahkan berada pada status-quo, pada mana hasil pendidikan formal nir bisa memenuhi tuntutan masyarakat, yang dalam akhirnya pendidikan hanya mampu membuat “pengangguran terdidik” karena nir tersedianya lapangan kerja yang sinkron. Hal tadi merupakan empiris sosial (social reality)yg kita hadapi waktu ini.untuk memecahkan aneka macam permasalahan pada atas, dalam makalah ini penulis memberikan solusi buat ikut mengurai benang kusut yang menimpa global pendidikan kita. Penulis memberi wacana baru mengenai taktik pendidikan Islam pada menghadapi kemajuan Iptek dengan cakupan kajian yang meliputi; problematika pendidikan Islam pada menghadapi kemajuan Iptek; efek apa saja yang ada dari kemajuan Iptek; dan bagaimana strategi pendidikan Islam menghadapi kemajuan Iptek.

Pengertian Pendidikan Islam 
Pendidikan adalah suatu proses pada rangka mendewasakan insan. Oleh karena itu, pendidikan tidak terbatas dalam ruang serta saat. Pendidikan dapat terjadi kapan saja serta pada mana saja, bahkan dari pandangan Islam pendidikan dimulai sejak manusia berada dalam ayunan hingga insan itu masuk ke liang lahat.

Namun demikian, apabila kita berbicara tentang pendidikan Islam, tidak dapat terlepas dari pembicaraan tentang pengertian pendidikan secara generik. Hal ini lantaran ada faktor keterkaitan (relation factor) antara pengertian pendidikan Islam menggunakan pendidikan secara generik. Dengan demikian, penulis memaparkan definisi pendidikan secara generik terlebih dahulu.

Dalam menaruh definisi tentang pendidikan, para ahli tidak sama pendapat sesuai menggunakan paradigma masing-masing, pada antaranya adalah menjadi berikut.
1. Ahmad D. Marimba berkata bahwa pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar sang si pendidik terhadap perkembangan jasmani serta ruhani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yg utama.
2. Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pendidikan adalah usaha yang dilakukan menggunakan penuh keinsyafan yg ditujukan buat keselamatan dan kebahagiaan manusia. Menurutnya, pendidikan berarti usaha berkebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hayati agar menaikkan derajat humanisme.
3. Soegarda Poerbakawatja menjelaskan pendidikan meliputi segala bisnis serta perbuatan berdasarkan generasi tua buat mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, dan keterampilannya kepada generasi belia buat melakukan fungsi hidupnya pada pergaulan beserta sebaik-baiknya. Definisi ini sejalan menggunakan definisi yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara.

Dari beberapa definisi pada atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan yg dilakukan dengan sengaja, akurat, berkala, dan bertujuan, yang dilaksanakan oleh orang dewasa pada arti mempunyai bekal ilmu pengetahuan serta keterampilan (profesional) mengungkapkan kepada murid secara sedikit demi sedikit. Begitu pula apa yg diberikan pada murid itu sedapat mungkin dapat menolong tugas dan perannya di masyarakat, pada mana kelak beliau hayati (termasuk buat meningkatkan derajat kemanusiaan).

Pendidikan Islam sebagaimana dikatakan oleh Sayid Sabiq adalah suatu aktivitas yg memiliki tujuan mempersiapkan anak didik berdasarkan segi jasmani, logika, dan ruhaninya sebagai akibatnya nantinya mereka sebagai anggota masyarakat yang bermanfaat, baik bagi dirinya juga umatnya (masyarakatnya).

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany mendefinisikan pendidikan Islam menjadi proses membarui tingkah-laris yg terjadi pada diri individu juga masyarakat.9 Dengan demikian, pendidikan merupakan sebuah proses, bukan kegiatan yg bersifat instant. 

Dalam definisi lain, dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah upaya menyeimbangkan, mendorong, serta mengajak manusia buat lebih maju dengan menurut nilai-nilai yang luhur serta kehidupan yang mulia sebagai akibatnya terbentuk langsung yang lebih paripurna, baik yg berkaitan menggunakan akal, perasaan, maupun perbuatan.

Uraian tentang pengertian pendidikan serta pendidikan Islam di atas memberikan citra bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi belia buat menjalankan kehidupan serta memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif serta efisien. Di samping itu, keduanya sama-sama bertujuan membangun insan yg dalam akhirnya, pada samping mempunyai kualitas yg tinggi secara individual atau personal (kesalehan individual), jua mempunyai kualitas yg tinggi secara impersonal atau sosial (kesalehan sosial).

Pengertian Iptek
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Memberi pengertian mengenai ilmu bukanlah hal yg gampang lantaran kata ilmu (science) adalah suatu perkataan yang ambiguitas, yaitu mengandung lebih dari satu arti. Oleh karenanya, di pada pemakaian istilah ilmu seseorang seharusnya menjelaskan makna yg dimaksud.

Secara etimologi, kata “ilmu” merupakan menjadi arti berdasarkan kata science (bahasa Inggris), yg berarti pengetahuan. Kata ini berasal dari bahasa latin, scientia yg diturunkan menurut kata scire yg berarti mengetahui (to know) serta belajar (to learn).

Secara terminologi, pengertian ilmu sekurang-kurangnya meliputi 3 hal, yaitu pengetahuan, kegiatan, serta metode buat mendapatkan pemahaman terhadap pengertian ilmu.

Sementara itu, pengetahuan, dari Jujun Surya Sumantri digolongkan menjadi 3 macam, yaitu etika (pengetahuan mengenai baik serta buruk), estetika (pengetahuan mengenai latif serta jelek), serta akal (pengetahuan mengenai benar serta galat).

Ilmu serta pengetahuan merupakan 2 istilah yg nir dapat dipisahkan, tetapi tidak selamanya bahwa pengetahuan itu sebagai ilmu, melainkan pengetahuan yg diperoleh dengan cara-cara eksklusif menurut kesepakatan para ilmuwan.

Ilmu menjadi pengetahuan (knowledge) adalah pengertian ilmu pada umumnya. Ilmu dikatakan sebagai aktivitas (activity) adalah serangkaian aktivitas atau aktivitas yg dilaksanakan insan sebagaimana dikatakan sang Charles Singer, ilmu adalah proses yg menciptakan pengetahuan. Istilah ilmu juga merupakan suatu metode buat memperoleh pengetahuan yg objektif dan bisa diperiksa kebenarannya.

Tiga aspek tadi adalah satu kesatuan yg menampakan satu pemahaman bahwa ilmu terbentuk oleh aktivitas (activity) manusia yg dilakukan dengan cara atau metode tertentu sebagai akibatnya dalam akhirnya membentuk suatu pengetahuan yg sistematis. Untuk mendapatkan pengetahuan yg sistematis, maka wajib dilakukan sang insan yg memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif (berkaitan menggunakan pengetahuan) dan mempunyai tujuan keilmuan.

Ilmu adalah serangkaian aktivitas manusia yang rasional serta kognitif, dilakukan menggunakan beberapa metode berupa prosedur sebagai akibatnya membentuk pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala alam, masyarakat, atau manusia menggunakan tujuan buat menerima kebenaran, pemahaman, menaruh penerangan atau melakukan penerapan. Singkatnya, ilmu adalah rangkaian aktivitas berpikir yang bersifat sistematis, objektif, bermetode agar membentuk pengetahuan yang objektif jua.

Pengertian Teknologi Secara etimologis, kata teknologi dari menurut kata techne serta logos. Techne berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan dengan pembuatan suatu objek atau kecakapan eksklusif, sedangkan logosmengacu pada istilah logi yang mengacu pada makna rapikan pikir.

Secara terminologi, teknologi memiliki arti kemampuan insan (masyarakat) buat memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam guna kepentingan hidupnya. Dalam memanfaatkan kekuatan alam tersebut dilakukan menggunakan membangun alat-indera.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi merupakan pelaksanaan berdasarkan kreativitas insan berkaitan menggunakan indera serta bahan, dan diwujudkan dalam bentuk materi yang digunakan buat membantu tercapainya kebutuhan manusia.

Dampak Kemajuan Iptek terhadap Pendidikan Islam
Dampak berdasarkan perkembangan serta kemajuan Iptek telah mulai bermunculan, yang dalam prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental spiritual. Permasalahan baru yang sepertinya wajib segera dipecahkan sang pendidikan Islam pada khususnya adalah dehumanisasi pendidikan serta netralisasi nilai-nilai agama. Terjadinya benturan antara nilai-nilai sekuler menggunakan absolutisme menurut Tuhan. Akibat rentannya pola pikir manusia teknologis yg bersifat pragmatis-relativistismenuntut pendidikan Islam harus menerangkan kemampuannya dalam mengendalikan dan menangkal dampak negatif dari Iptek terhadap nilai-nilai etika keagamaan Islam serta nilai-nilai moral pada kehidupan individual serta sosial.

Perubahan serta perkembangan Iptek dengan majemuk kemajuan yang dibawanya bersifat fasilitatif terhadap kehidupan manusia lantaran Iptek akan membawa pengaruh positif (positive) dan negative (negative).

Apabila kita sanggup memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya, maka kita tidak akan terbawa arus dan hanyut ke pada perkembangan Iptek. Namun, bila kita nir bisa memanfaatkan kecanggihan Iptek, maka kita akan terjerumus ke pada imbas yang negatif.

Pendidikan Islam Berwawasan Iptek 
Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah output karya menurut potensi nalar manusia.
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi waktu ini berlangsung sangat cepat dan mencakup seluruh sektor kehidupan insan. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, pendidikan sebagai bagian pada kebudayaan insan tidak akan lepas berdasarkan banyak sekali tantangan. Adapun yg menjadi titik sentral dilema modernisasi adalah standar kehidupan yang berpijak pada materialisme serta sekularisme. Hal ini mendorong manusia buat memusatkan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan serta informasinya menjadi sumber strategis pada pembaharuan. Oleh karena itu nir terpenuhinya kebutuhan ini akan mengakibatkan depersonalisasi dan keterasingan oleh dunia terbaru.

Untuk menghadapi berbagai tantangan dan efek pada atas, maka pendidikan Islam harus bisa buat meminimalisir imbas negatif berdasarkan kemajuan Iptek, pada antaranya menggunakan cara pemugaran kembali konsep dan sistem pendidikan yg terdapat. Konsep tersebut perlu disesuaikan dengan kehidupan terkini; merumuskan kembali konsep sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam; menyusun kembali kurikulum; serta para pendidik perlu dilatih kembali sebagai akibatnya mereka sanggup menanamkan nilai-nilai serta menyebarkan kemampuan intelektual menggunakan metode pengajaran yang efektif. Dengan demikian, pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yg sejati.

Chabib Thoha berpendapat, terdapat dua taktik pendidikan Islam pada menghadapi kemajuan Iptek, yaitu strategi global serta taktik sektoral. Pertama, strategi global mempunyai 2 pendekatan, yakni pendekatan sistemik dan proses. Pendekatan sistemik pada bidang pendidikan, yaitu diperlukannya keputusan politik, karena karena negara Indonesia sebagai negara kesatuan sebagai akibatnya perlu disusun sistem nasional pada aneka macam bidang, misalnya sistem politik nasional, sistem ekonomi nasional, sistem demokrasi nasional, termasuk juga sistem pendidikan nasional. Di antara keputusan politik dalam pendekatan ini adalah masuknya pendidikan Islam dalam subsistem pendidikan nasional. Apabila seluruh kegiatan dan kelembagaan pendidikan Islam menempatkan dirinya pada luar sistem pendidikan nasional, maka pendidikan akan termarjinalisasi berdasarkan peraturan politik nasional. Hal ini berarti pendidikan Islam akan kehilangan peluangnya buat berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional.

Pendekatan proses, ialah menaikkan makna sistem pendidikan nasional melalui pendidikan yg berwawasan nilai. Adapun tujuan pendidikan yang berwawasan nilai adalah pendidikan yang hingga pada hakikat ilmu serta teknologi. Praktik pendidikan pada Indonesia belum hingga pendidikan yang berwawasan nilai. Penekanannya sampai ketika ini hanyalah berkisar dalam pengenalan teori buat masukan-masukan aspek kognitif tingkat rendah. Dengan demikian, peserta didik belum bisa menempatkan diri menjadi subjek belajar. Kedua, strategi sektoral. Strategi ini bersifat temporal serta kondisional, maksudnya pendekatan-pendekatan yg ditawarkan tidak bisa diterapkan dalam setiap syarat serta saat. Adapun pendekatan yg ditawarkan merupakan islamisasi ilmuwan, islamisasi Iptek, dan dominasi teknologi informasi serta komunikasi.

Berdasarkan beberapa pendekatan di atas, maka yang menjadi titik tolak yang baik bagi pembaharuan sistem pendidikan Islam dan merupakan solusi supaya pendidikan Islam dapat mengikuti modernisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dengan permanen berpegang teguh pada kendali normative, yaitu al-Qur’an serta al-Hadis. Oleh karena dalam pendidikan Islam terdapat dua tujuan yg harus dicapai, yaitu tujuan jangka panjang (kebahagiaan ukhrawiah) dan tujuan jangka pendek (kebahagiaan duniawiah).

Pendekatan ini jua sebagai reaksi terhadap maraknya suatu pendapat yg menyatakan bahwa kurang lebih abad ke-13 M sampai abad ke-19 M menurut segi keagamaan. Pada ketika itu Islam sudah membeku (semi mati), dalam arti permanen berada dalam bentuk-bentuk yang telah diciptakan oleh para ulama, qadi (hakim agama), mujtahid, dan tokoh sufi pada masa-masa pembentukannya serta seandainya terdapat perubahan hanya menjurus pada kemunduran bukan pada kemajuan.

Demikian gambaran singkat mengenai Pendidikan Islam serta kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi. Menurut penulis, semua ini terjadi karena prinsip-prinsip serta nilai-nilai yg terdapat dalam agama Islam itu bukan hanya berlaku buat satu masa eksklusif serta buat satu golongan tertentu jua, namun berlaku buat sepanjang jaman serta buat seluruh umat manusia (rahmatan lil ‘alamiin).

PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA ANTARA CITA DAN FAKTA

Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita Dan Fakta
Pendidikan pada era globalisasi ketika ini sedang menghadapi tantangan besar , terutama bila dikaitkan menggunakan konstribusinya terhadap terbentuknya peradaban serta budaya modern yang relevan menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pada dimensi ini, pendidikan (pendidikan Islam khususnya) mengalami kemunduran fungsi (degradasi fungsional) lantaran pendidikan Islam lebih berorientasi pada aspek batiniah daripada aspek lahiriah. Dengan demikian, pendidikan Islam menyebabkan terjadinya kemandulan dalam berpikir.

Banyak pendapat yg mengatakan bahwa pendidikan Islam hanya mampu menyesuaikan diri dengan pendidikan yg berorientasi dalam materialistik (praktis serta pragmatis) sebagai akibatnya tidak mampu memilih langkahnya menggunakan independen. Hal ini terjadi menjadi akibat pendidikan Islam kalah bersaing pada kebudayaan di taraf dunia.

Dengan demikian, secara makro syarat pendidikan Islam ketika ini telah ketinggalan jaman (out of dead) lantaran kalah berpacu menggunakan perkembangan serta perubahan sosial budaya. Konservatisme pendidikan merupakan keliru satu karena yang dirasakan menjadi “kendala” sehingga komoditi yg diproduksi pendidikan Islam selalu kalah bersaing dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, misalnya, yang mendorong pertumbuhan industry komunikasi dan liputan yang sedikit banyak telah mengganti pergeseran nilai dan budaya yang terdapat pada warga . Lebih “celaka” lagi, pendidikan menjadi galat satu sistem sosial sudah terbelenggu oleh banyak sekali aturan dan kebijakan pemegang kekuasaan yang mengakibatkan pendidikan sebagai “mandul”, tidak efektif, serta nir fleksibel dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada tengah kehidupan rakyat.

Pendidikan formal (sekolah) tidak lagi adaptif, bahkan berada pada status-quo, di mana hasil pendidikan formal nir bisa memenuhi tuntutan rakyat, yang pada akhirnya pendidikan hanya bisa membentuk “pengangguran terdidik” lantaran nir tersedianya lapangan kerja yg sinkron. Hal tadi adalah realitas sosial (social reality)yg kita hadapi ketika ini.untuk memecahkan aneka macam perseteruan di atas, pada makalah ini penulis memperlihatkan solusi buat ikut mengurai benang kusut yg menimpa dunia pendidikan kita. Penulis memberi wacana baru tentang taktik pendidikan Islam pada menghadapi kemajuan Iptek dengan cakupan kajian yg mencakup; problematika pendidikan Islam dalam menghadapi kemajuan Iptek; pengaruh apa saja yg timbul berdasarkan kemajuan Iptek; serta bagaimana taktik pendidikan Islam menghadapi kemajuan Iptek.

Pengertian Pendidikan Islam 
Pendidikan adalah suatu proses dalam rangka mendewasakan manusia. Oleh karena itu, pendidikan tidak terbatas dalam ruang dan waktu. Pendidikan bisa terjadi kapan saja dan pada mana saja, bahkan berdasarkan pandangan Islam pendidikan dimulai sejak insan berada dalam ayunan hingga manusia itu masuk ke liang lahat.

Namun demikian, apabila kita berbicara tentang pendidikan Islam, nir dapat terlepas dari pembicaraan tentang pengertian pendidikan secara generik. Hal ini lantaran ada faktor keterkaitan (relation factor) antara pengertian pendidikan Islam menggunakan pendidikan secara umum. Dengan demikian, penulis memaparkan definisi pendidikan secara generik terlebih dahulu.

Dalam menaruh definisi mengenai pendidikan, para ahli tidak selaras pendapat sesuai menggunakan kerangka berpikir masing-masing, pada antaranya merupakan sebagai berikut.
1. Ahmad D. Marimba berkata bahwa pendidikan merupakan bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
2. Ki Hajar Dewantara menyebutkan pendidikan merupakan usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan buat keselamatan dan kebahagiaan manusia. Menurutnya, pendidikan berarti usaha berkebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar menaikkan derajat kemanusiaan.
3. Soegarda Poerbakawatja menjelaskan pendidikan meliputi segala bisnis serta perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, dan keterampilannya pada generasi muda buat melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama sebaik-baiknya. Definisi ini sejalan dengan definisi yg dikemukakan Ki Hajar Dewantara.

Dari beberapa definisi pada atas dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan dengan sengaja, seksama, terpola, serta bertujuan, yg dilaksanakan sang orang dewasa dalam arti mempunyai bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan (profesional) membicarakan pada siswa secara sedikit demi sedikit. Begitu juga apa yang diberikan pada murid itu sedapat mungkin dapat menolong tugas serta kiprahnya di rakyat, pada mana kelak ia hayati (termasuk buat menaikkan derajat humanisme).

Pendidikan Islam sebagaimana dikatakan sang Sayid Sabiq merupakan suatu aktivitas yang mempunyai tujuan mempersiapkan siswa berdasarkan segi jasmani, akal, serta ruhaninya sehingga nantinya mereka menjadi anggota masyarakat yg berguna, baik bagi dirinya maupun umatnya (masyarakatnya).

Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany mendefinisikan pendidikan Islam menjadi proses membarui tingkah-laris yang terjadi pada diri individu maupun rakyat.9 Dengan demikian, pendidikan adalah sebuah proses, bukan aktivitas yang bersifat instant. 

Dalam definisi lain, dikatakan bahwa pendidikan Islam adalah upaya menyeimbangkan, mendorong, serta mengajak manusia buat lebih maju dengan berdasarkan nilai-nilai yg luhur serta kehidupan yg mulia sehingga terbentuk langsung yg lebih sempurna, baik yg berkaitan menggunakan akal, perasaan, maupun perbuatan.

Uraian tentang pengertian pendidikan dan pendidikan Islam di atas memberikan gambaran bahwa pendidikan merupakan suatu proses penyiapan generasi muda buat menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Di samping itu, keduanya sama-sama bertujuan membentuk manusia yang dalam akhirnya, pada samping memiliki kualitas yg tinggi secara individual atau personal (kesalehan individual), jua memiliki kualitas yg tinggi secara impersonal atau sosial (kesalehan sosial).

Pengertian Iptek
Pengertian Ilmu Pengetahuan
Memberi pengertian tentang ilmu bukanlah hal yang mudah lantaran istilah ilmu (science) adalah suatu perkataan yg bermakna ganda, yaitu mengandung lebih menurut satu arti. Oleh karena itu, di pada pemakaian istilah ilmu seorang seharusnya menyebutkan makna yg dimaksud.

Secara etimologi, istilah “ilmu” merupakan menjadi arti dari istilah science (bahasa Inggris), yang berarti pengetahuan. Kata ini asal dari bahasa latin, scientia yang diturunkan dari istilah scire yang berarti mengetahui (to know) serta belajar (to learn).

Secara terminologi, pengertian ilmu sekurang-kurangnya meliputi tiga hal, yaitu pengetahuan, aktivitas, serta metode buat menerima pemahaman terhadap pengertian ilmu.

Sementara itu, pengetahuan, menurut Jujun Surya Sumantri digolongkan menjadi 3 macam, yaitu etika (pengetahuan mengenai baik serta tidak baik), keindahan (pengetahuan mengenai latif dan buruk), dan logika (pengetahuan tentang sahih serta galat).

Ilmu serta pengetahuan adalah 2 kata yang tidak bisa dipisahkan, namun tidak selamanya bahwa pengetahuan itu menjadi ilmu, melainkan pengetahuan yg diperoleh menggunakan cara-cara eksklusif dari konvensi para ilmuwan.

Ilmu menjadi pengetahuan (knowledge) merupakan pengertian ilmu pada umumnya. Ilmu dikatakan sebagai aktivitas (activity) adalah serangkaian kegiatan atau kegiatan yang dilaksanakan insan sebagaimana dikatakan sang Charles Singer, ilmu merupakan proses yang menciptakan pengetahuan. Istilah ilmu jua adalah suatu metode untuk memperoleh pengetahuan yg objektif dan dapat diperiksa kebenarannya.

Tiga aspek tersebut adalah satu kesatuan yang menerangkan satu pemahaman bahwa ilmu terbentuk oleh kegiatan (activity) insan yang dilakukan dengan cara atau metode tertentu sebagai akibatnya pada akhirnya menghasilkan suatu pengetahuan yg sistematis. Untuk menerima pengetahuan yang sistematis, maka harus dilakukan oleh manusia yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif (berkaitan dengan pengetahuan) serta memiliki tujuan keilmuan.

Ilmu adalah serangkaian kegiatan manusia yang rasional serta kognitif, dilakukan dengan beberapa metode berupa mekanisme sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala alam, warga , atau insan menggunakan tujuan buat menerima kebenaran, pemahaman, menaruh penjelasan atau melakukan penerapan. Singkatnya, ilmu merupakan rangkaian kegiatan berpikir yg bersifat sistematis, objektif, bermetode agar membuat pengetahuan yang objektif jua.

Pengertian Teknologi Secara etimologis, kata teknologi berasal berdasarkan istilah techne dan logos. Techne berarti serangkaian prinsip atau metode rasional yang berkaitan menggunakan pembuatan suatu objek atau kecakapan tertentu, sedangkan logosmengacu pada istilah logi yang mengacu kepada makna tata pikir.

Secara terminologi, teknologi memiliki arti kemampuan insan (masyarakat) buat memanfaatkan kekuatan-kekuatan alam guna kepentingan hidupnya. Dalam memanfaatkan kekuatan alam tersebut dilakukan menggunakan membentuk alat-indera.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa teknologi adalah pelaksanaan dari kreativitas insan berkaitan dengan alat serta bahan, serta diwujudkan pada bentuk materi yg digunakan buat membantu tercapainya kebutuhan manusia.

Dampak Kemajuan Iptek terhadap Pendidikan Islam
Dampak berdasarkan perkembangan serta kemajuan Iptek telah mulai bermunculan, yang pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental spiritual. Pertarunga baru yg sepertinya wajib segera dipecahkan oleh pendidikan Islam dalam khususnya merupakan dehumanisasi pendidikan serta netralisasi nilai-nilai kepercayaan . Terjadinya benturan antara nilai-nilai sekuler dengan absolutisme dari Tuhan. Akibat rentannya pola pikir manusia teknologis yang bersifat pragmatis-relativistismenuntut pendidikan Islam wajib membuktikan kemampuannya dalam mengendalikan serta menangkal imbas negatif berdasarkan Iptek terhadap nilai-nilai etika keagamaan Islam dan nilai-nilai moral pada kehidupan individual dan sosial.

Perubahan serta perkembangan Iptek menggunakan beragam kemajuan yang dibawanya bersifat fasilitatif terhadap kehidupan manusia lantaran Iptek akan membawa efek positif (positive) dan negative (negative).

Apabila kita sanggup memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya, maka kita nir akan terbawa arus dan hanyut ke dalam perkembangan Iptek. Tetapi, bila kita tidak bisa memanfaatkan kecanggihan Iptek, maka kita akan terjerumus ke dalam imbas yg negatif.

Pendidikan Islam Berwawasan Iptek 
Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan serta teknologi merupakan output karya berdasarkan potensi nalar manusia.
Perkembangan Ilmu pengetahuan serta teknologi waktu ini berlangsung sangat cepat serta meliputi seluruh sektor kehidupan manusia. Sejalan dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan sebagai bagian pada kebudayaan insan tidak akan lepas menurut berbagai tantangan. Adapun yg sebagai titik sentral dilema modernisasi adalah baku kehidupan yg berpijak dalam materialisme serta sekularisme. Hal ini mendorong manusia buat memusatkan diri pada perkembangan ilmu pengetahuan dan informasinya menjadi asal strategis dalam pembaharuan. Oleh karena itu nir terpenuhinya kebutuhan ini akan menyebabkan depersonalisasi serta keterasingan oleh global modern.

Untuk menghadapi berbagai tantangan serta impak pada atas, maka pendidikan Islam wajib mampu buat meminimalisir imbas negatif berdasarkan kemajuan Iptek, pada antaranya dengan cara pemugaran pulang konsep serta sistem pendidikan yang terdapat. Konsep tersebut perlu diubahsuaikan dengan kehidupan terbaru; merumuskan pulang konsep sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam; menyusun pulang kurikulum; dan para pendidik perlu dilatih kembali sebagai akibatnya mereka sanggup menanamkan nilai-nilai dan berbagi kemampuan intelektual menggunakan metode pengajaran yg efektif. Dengan demikian, pendidikan Islam akan sebagai pendidikan yg sejati.

Chabib Thoha berpendapat, terdapat dua taktik pendidikan Islam pada menghadapi kemajuan Iptek, yaitu strategi global serta strategi sektoral. Pertama, strategi dunia memiliki dua pendekatan, yakni pendekatan sistemik dan proses. Pendekatan sistemik pada bidang pendidikan, yaitu diperlukannya keputusan politik, alasannya karena negara Indonesia menjadi negara kesatuan sehingga perlu disusun sistem nasional pada banyak sekali bidang, contohnya sistem politik nasional, sistem ekonomi nasional, sistem demokrasi nasional, termasuk jua sistem pendidikan nasional. Di antara keputusan politik pada pendekatan ini adalah masuknya pendidikan Islam dalam subsistem pendidikan nasional. Jika semua kegiatan dan kelembagaan pendidikan Islam menempatkan dirinya pada luar sistem pendidikan nasional, maka pendidikan akan termarjinalisasi menurut peraturan politik nasional. Hal ini berarti pendidikan Islam akan kehilangan peluangnya buat berpartisipasi aktif pada pembangunan nasional.

Pendekatan proses, artinya menaikkan makna sistem pendidikan nasional melalui pendidikan yg berwawasan nilai. Adapun tujuan pendidikan yang berwawasan nilai adalah pendidikan yang sampai pada hakikat ilmu dan teknologi. Praktik pendidikan pada Indonesia belum sampai pendidikan yg berwawasan nilai. Penekanannya sampai saat ini hanyalah berkisar dalam pengenalan teori buat masukan-masukan aspek kognitif taraf rendah. Dengan demikian, peserta didik belum bisa menempatkan diri menjadi subjek belajar. Kedua, taktik sektoral. Strategi ini bersifat temporal serta kondisional, maksudnya pendekatan-pendekatan yang ditawarkan nir dapat diterapkan pada setiap kondisi dan waktu. Adapun pendekatan yg ditawarkan merupakan islamisasi ilmuwan, islamisasi Iptek, serta dominasi teknologi informasi dan komunikasi.

Berdasarkan beberapa pendekatan pada atas, maka yg menjadi titik tolak yang baik bagi pembaharuan sistem pendidikan Islam serta merupakan solusi supaya pendidikan Islam bisa mengikuti modernisasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dengan permanen berpegang teguh dalam kendali normative, yaitu al-Qur’an serta al-Hadis. Oleh lantaran dalam pendidikan Islam terdapat 2 tujuan yg wajib dicapai, yaitu tujuan jangka panjang (kebahagiaan ukhrawiah) serta tujuan jangka pendek (kebahagiaan duniawiah).

Pendekatan ini pula menjadi reaksi terhadap maraknya suatu pendapat yang menyatakan bahwa kurang lebih abad ke-13 M hingga abad ke-19 M berdasarkan segi keagamaan. Pada ketika itu Islam telah membeku (semi mati), pada arti permanen berada dalam bentuk-bentuk yg sudah diciptakan oleh para ulama, qadi (hakim kepercayaan ), mujtahid, dan tokoh sufi dalam masa-masa pembentukannya serta andai saja terdapat perubahan hanya menjurus pada kemunduran bukan kepada kemajuan.

Demikian citra singkat tentang Pendidikan Islam serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut penulis, semua ini terjadi karena prinsip-prinsip serta nilai-nilai yg terdapat dalam kepercayaan Islam itu bukan hanya berlaku untuk satu masa tertentu serta buat satu golongan tertentu jua, namun berlaku buat sepanjang jaman serta buat semua umat insan (rahmatan lil ‘alamiin).

KONTRIBUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MANUSIA

Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia 
Akhir-akhir ini pendidikan Islam banyak dipertanyakan orang, baik itu formal maupun informal. Lantaran sebagian telah melahirkan orang-orang yang sakit kejiwaannya, ammoral perilakunya, dan jelek kepribadiaannya, yg menyebabkan kepercayaan Islam menjadi momok bagi pemeluk agama lain. Seperti; teroris, perekrutan anggota NII, mati syahid dengan bom bunuh diri, kemudian konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana, mulai berdasarkan kasus bom Bali, bom Hotel JW Marriot, bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung, penutupan tempat tinggal ibadah Kristiani pada Bandung Jawa Barat, kemudian peristiwa kekerasan di Monumen Nasional Jakarta yg kesemuanya ini mengatasnamakan perjuangan Islam. 

Fenomena pada atas melahirkan wacana agama yg paradoksal bahwa ia nir hanya bersifat rahmatan lil‘alamin (rahmat bagi seluruh) akan tetapi jua bala, lantaran melahirkan kenyataan-kenyataan kekerasan, anti kebersaman dan kemajemukan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa kepercayaan secara esensial hanya mengajarkan perdamaian serta menentang kekerasan, namun manusia saja yg lalu menyalahgunakan kepercayaan buat kepentingan eksklusif atau grup sehingga menyulut kekerasan, yang kentara kenyataan aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan moderen ini. Dengan citra diatas, wajar jika seorang non muslim memberikan pernyataan, bahwa pendidikan Islam sekarang ini merupakan pendidikan yg menciptakan insan menggunakan kondisi kejiwaan labil, yg menyebakan manusia gampang terprovokasi pada keburukan yang pada kemas dengan nilia-nilai ke-Tuhanan. Dengan begitu, terjadilah kegoncangan dalam diri manusia yang lalu menumbuhkan penyakit kejiwaan serta krisis kepribadian serta tidak berkarakter, hal tadi disebabkan pendidikan yg diterimanya telah sebagai virus yg mematikan dalam kepribadiannya, yg jauh berdasarkan kebenaran yg ada dalam al-Qur‟an, serta berimplikasi, kenyamanan serta kebahagiaan hayati kian sulit didapat.

Hal pada atas tidaklah sinkron menggunakan tujuan pendidikan Islam yg berfungsi menjadi indera yang dipakai manusia untuk tetap survive baik sebagai individu juga rakyat. Maka tujuan akhir dari dalam pendidikan islam tidak lepas menurut tujuan hidup muslim, lantaran pendidikan Islam merupakan sarana untuk mencapai tujuan hayati manusia dari ajaran Islam. Dengan demikian, tidaklah sempurna jikalau pendidikan Islam memberikan pengaruh jelek terhadap kepribadian insan akan tetapi kebalikannya pendidikan Islam menaruh impak yg sangat baik bagi perkembangan kepribadian insan, sebagaimana yang akan diulas dibawah ini.

a. Peran Pendidikan Islam pada Dakwah Islamiyah
Pendidikan Islam memiliki peran yg sangat signifikan dalam menciptakan, berbagi dan membuatkan agama Islam yang tentunya pada perkembangan tersebut, lumrah jika Islam menemui aneka macam bentuk dilema mulai menurut penerapan teks klasik terhadap tataran aplikatif kehidupan terbaru yang mana Islam dituntut buat bisa menyesuaikannya. Menurut Irsan al-Kailani, umat Islam umumnya masih berada pada dataran ihsas al-musykilah (menyadari adanya problem), namun belum dibarengi dengan tahdid wa tahlil al musykilah (kesanggupan mengidentifikasi dan merampungkan duduk perkara).

Dari sinilah pendidikan Islam memiliki kiprah pendidikan sangat terlihat, contohnya pendidikan Islam dalam fungsi psikologis (kejiwaan dan teori kesehatan), dapat memberikan pencerahan akan makna hidup, menaruh rasa hening serta menaruh dukungan psikologis bagi pemeluknya, terlebih bagi mereka yg sedang mendapati dirinya pada menghadapi kegoncangan kejiwaan, pada hal ini pesan kepercayaan menumbuhkan pencerahan akan makna hayati dengan nilai ibadah, pengabdian pada Tuhan baik secara personal juga sosial kemasyarakatan. Kemudian pendidikan Islam dalam fungsi sosialnya, memacu adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik, memberikan kontrol sosial terhadap gejala sosial yg destruktif serta perekat sosial tanpa melihat aneka macam latar belakang yang tidak selaras.

Sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Arif kata yg kerap dipakai buat menyebut hakikat pendidikan Islam adalah pendidikan menjadi fenomena kultural performatif. Dengan istilah ini, setidaknya perbincangan pendidikan Islam amat mungkin ditelaah dari 2 prespektif, yaitu konseptual-teoritis dan pelaksanaan-simpel. Prespektif pertama mengantarkan dalam pemaparan mengenai pengertian, tujuan pendidikan Islam tentunya menggunakan dasar yg diambil berdasarkan al-Qur‟an serta Hadis, dan sumber aturan Islam lainnya. 

Melalui prespektif ini, bisa diketahui bahwa pendidikan Islam mempunyai “keluasan” serta “kedalaman” makna, yang penuh cara lain serta menantang kreativitas serta kecerdasan akal pikir insan buat merungkannya serta menyiasatinya pada rangka membarui yang possible (mungkin) sebagai yang plausible (lumrah).

Sementara itu dengan prespektif kedua, pendidikan Islam dijabarkan, diterapkan, dan dibumikan dalam realitas kehidupan manusia. Dari sini, bisa dipahami bahwa pendidikan Islam ternyata tidak sekedar diartikan secara “normatif-teoritis”, melainkan juga secara “historis-sosiologis”.

Hal ini karena buat menghindari terjadi pemaknaan yang keliru terhadap ajaran pada pendidikan Islam, serta menjauhkan menurut budaya yg tidak relevan dengan kehidupan moderen ini, dengan istilah lain dengan adanya pendidikan Islam sanggup membawa kiprah kepercayaan Islam sholih likulli zaman wa makan, serta menjauhkan manusia menurut penyakit kejiwaan akibat menurut aktivitas kewajibannya menjadi mukmin.

b. Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia
Para ahli pendidikan sepakat bahwa teori dan amalan pendidikan sangat ditentukan sang cara orang memandang pada sifat-sifat berasal manusia yg terilhat berdasarkan kepribadiannya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Apabila insan dipandang mempunyai sifat-sifat asal yg jahat, maka tujuan pendidikan merupakan menunda unsur-unsur dursila ini, begitu juga dengan kebalikannya apabila sifat asalnya baik maka tujuan pendidikan adalah mengembangkannya menjadi lebih baik.

Istilah pendidikan dalam konteks Islam, dalam umumnya mengacu dalam terma al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim yang bisa dipakai secara bersamaan, lantaran memiliki kecenderungan makna. Tetapi secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual juga kontekstual. Kata al-tarbiyah dari menurut istilah rabb yang bermakna, tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.

Kata rabb sebagaimana yang masih ada pada QS. Al-fatihah 1:2, yaitu (alhamdulilla>hi rabbil-‘alamin) memiliki kandungan makna yang berkonotasi menggunakan istilah al-tarbiyah. Sebab istilah rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) dari menurut akar istilah yg sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.

Uraian pada atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses Pendidikan Islam adalah bersumber dalam pendidikan yg diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh kreasi-Nya, termasuk manusia. Dalam pengertian luas, pendidikan Islam yang terkandung dalam terma al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: pertama, memelihara dan menjaga fitrah siswa menjelang dewasa (baligh); ke 2, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; keempat, melaksanakan pendidikan secara sedikit demi sedikit.

Penggunaan terma al-tarbiyah buat menunjuk makna pendidikan Islam bisa difahami menggunakan merujuk firman Allah dalam QS. Al-Isra‟ 17: 24;

Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua menggunakan penuh kesayangan serta ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku saat kecil". 

Sedangkan makna al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan altarbiyah juga al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-ta’lim menjadi proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan eksklusif.

Argumentasinya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah dua:151, menjadi berikut:

Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara engkau yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan engkau dan mengajarkan kepadamu Al Kitab serta Al-Hikmah, dan mengajarkan pada engkau apa yang belum engkau ketahui.

Kalimat wa yu‘allimukum al-buku wa al-hikmah, dalam ayat tadi menjelaskan kegiatan Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur‟an pada kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar membuat umat Islam sanggup membaca, melainkan membawa kaum muslimin pada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian jiwa) menurut segala kotoran, sebagai akibatnya memungkinkannya mendapat al-hikmah serta memeriksa segala yg bermanfaat buat diketahui. Dengan demikian, makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan namun mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara mulut, pengetahuan dan keterampilan yg dibutuhkan pada kehidupan, perintah buat melaksanakan pengetahuan serta pedoman untuk berperilaku.

Adapun istilah al-ta’dib, dari Naquid al-Attas merupakan istilah yg paling tepat buat pendidikan Islam.

Konsep ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam :

ادبنً ربً فاحسن تأدبً )روه العسكري عن علً(

Artinya: Tuhan sudah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku. (HR. Al-Askari berdasarkan „Ali>)

Secara terminologi al-ta’dib berarti sosialisasi dan pengakuan yg secara berangsur-angsur ditanamkan ke pada diri insan (siswa) tentang aneka macam loka yg tepat berdasarkan segala sesuatu di pada tatanan penciptaan.

Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan serta pengakuan tempat Tuhan yang sempurna pada tatanan wujud kepribadiannya.

Dalam konteks ini, Naquid Al-Attas pun membicarakan bahwa penggunaan istilah al-tarbiyah terlalu luas buat mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. 

Sebab kata al-tarbiyah yang mempunyai arti pengasuhan, pemeliharaan, serta afeksi tidak hanya dipakai buat insan, namun dipakai memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Pendidikan Islam penekanannya nir hanya pada material saja, akan tetapi pula dalam aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan terma yg paling sempurna dalam khazanah bahasa Arab lantaran mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pedagogi, serta pengasuhan yang baik sehingga makna al-tarbiyah dan alta’li>m sudah tercakup dalam terma al-ta’dib.

Terlepas menurut pemaknaan diatas, para pakar pendidikan Islam sudah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yg sangat variatif, adalah menjadi berikut:
a) Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan Islam menjadi bimbingan yang diberikan sang seseorang supaya ia berkembang secara aporisma sinkron menggunakan ajaran Islam.

b) Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan proses mengganti tingkah laris individu peserta didik dalam kehidupan eksklusif, masyarakat, serta alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan menggunakan cara pendidikan serta pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi serta profesi pada antara sekian banyak profesi asasi warga .

c) Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar sang pendidik terhadap perkembangan jasmani serta rohani siswa menuju terbentuknya kepribadian yg primer (manusia kamil).

d) Muhammad Fadhil Al-Jamali menaruh pengertian pendidikan Islam adalah upaya menyebarkan, mendorong, dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi serta kehidupan yang mulia, sebagai akibatnya terbentuk langsung yg lebih sempurna, baik yg berkaitan menggunakan akal, perasaan, maupun perbuatan.

Dengan beberapa pemaknaan di atas, terlihat jelas donasi pendidikan Islam terhadap perkembangan kepribadian insan pada menjalani aktivitas kehidupannya bahwa insan buat sebagai baik bisa diarahkan menggunakan pendidikan Islam. Jadi pendidikan Islam sejatinya adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (siswa) dapat mengarahkan kehidupannya sinkron menggunakan tujuan hidupnya. Hal pada atas terlihat dari tujuan pendidikan Islam, yang berdasarkan al-Syaibani adalah mempersiapkan kehidupan dunia serta akhirat.

Sedangkan tujuan akhir yang akan dicapai merupakan berbagi fitrah anakdidik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk langsung yang utuh dan mendukung bagi aplikasi manfaatnya sebagai khalifah fil-ard.

Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan langsung muslim sejati yg mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai menggunakan syariat Islam, dan mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat menjadi tujuan primer pendidikannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah siswa secara aporisma dan bermuara dalam terciptanya langsung peserta didik sebagai muslim sempurna (insan kamil). Melalui sosok yang demikian, peserta didik diperlukan bisa memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yg serasi baik di dunia juga akhirat.

Melalui pendidikan Islam, setiap insan diharapkan tumbuh berkembang sebagai generasi unggul yang cerdas dalam berfikir, kreatif dalam bekerja dan berkepribadian Islami pada bergaul dan bersosilalisasi terhadap lingkungan atau alam sekitar. 

Bila ditilik dengan apa yang sebagai dasar kesehatan jiwa, menjadi tolak ukur buat mencapai kebahagiaan hakiki di dunia serta di akherat, maka terlihat disini adanya kolerasi keduanya, baik itu berkaitan dengan pelaksanaan maupun teori mendasarnya. Sebagaimana terlihat dalam tugas pendidikan Islam adalah membimbing serta mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan peserta didik menurut tahap ke termin kehidupannya hingga mencapai titikkemampuannya secara optimal.

Sedangkan kesehatan jiwa bertugas buat membentuk kehidupan manusia sejalan dengan fitrah (kudus, higienis, dan beragama) yg telah diberikan Allah kepadanya. Begitupula pada manfaatnya. Fungsi Pendidikan Islam, yaitu menyediakan fasilitas yg bisa memungkin tugas pendidikan berjalan lancar baik itu yang bersifat struktural juga institusional, sedangkan fungsi kesehatan jiwa, sebagaimana diuraikan diatas menaruh konsep kejiwaan dengan beberapa substansi didalamnya agar insan bisa mengarahkan segenap perilakunya buat menghindari segala bentuk keburukan yg lahir dari keliru satu subtansi kejiwaannya.

Dengan demikian, pendidikan Islam akan membentuk insan menggunakan kejiwaan yg stabil sesuai dengan fitrahnya, yang lalu akan menciptakan kepribadian atau konduite berlabelkan rahmatan lil ‘a>lami>n. Hal tadi akan menciptakan nilai positif terhadap insan sebagai pemeluk dan penganut agama Islam menggunakan nir gampang terprovokasi terhadap keburukan yg dapat menjauhkan dirinya menurut kefitrahannya. Dari sini virus keburukan, kesesatan, dengan doktrin sebagai bagian dari teroris, anggota NII, lalu melakukan aktivitas kekerasan atas nama agama terhadap pemeluk kepercayaan lain, akan menjauh 

dengan sendirinya, karena pendidikan Islam sudah bisa mendewasakan manusia buat selalu berfikir positif dalam menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah yg bertaqwa.

c. Implikasi Pendidikan Islam Terhadap Perkembangan Kepribadian Manusia 
Salah satu ciri kepribadian yg baik merupakan ditandai dengan kematangan emosi dan sosial seorang yang disertai menggunakan adanya kesesuaian dirinya menggunakan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan fungsi dari Pendidikan Islam terhadap kepribadian manusia adalah mewujudkan keserasian antara fungsi-fungsi humanisme dalam diri manusia, supaya tercipta penyesuaian diri antara insan dengan dirinya sendiri serta lingkungannya, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan buat mencapai hidup yg bermakna, bahagia global dan akhirat. Pendidikan Islam adalah sebuah ilmu yg berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan insan, yg mencakup seluruh bidang interaksi menggunakan orang lain, alam, lingkungan, dan Tuhan, yang adalah penentu masa depan dan mutu bagi setiap individu insan.

Menurut S. Nasution, barang siapa yg menguasai pendidikan memegang nasib bangsa dan negara. Dan biar pendidikan tadi tidak keliru target, maka kualitas kepribadian manusia merupakan prioritas menjadi syarat awal buat mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena kesehatan dan pendidikan, merupakan proses yg menaruh kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas langsung seorang secara bebas dan bertanggung jawab.

Kalau digali serta ditinjau, tanda kepribadian yang baik, terkonsep dalam pendidikan Islam. Hal tadi terlihat berdasarkan beberapa karakteristiknya, yang antara lain: 
1). Mengedepankan tujuan kepercayaan dan akhlak. Karakteristik ini mewarnai ciri-karakteristik lain, utamanya yang berorientasi dalam tauhid serta penanaman nilai-nilai. 
2) selaras menggunakan fitrah manusia termasuk berkenaan menggunakan pembawaan, bakat, jenis kelamin, potensi, serta pengembangan psiko-fisik. 
3) merespon dan mengantisipasi kebutuhan konkret individu dan warga , serta mengusahakan solusi terkait menggunakan masa depan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus.
4) fleksibel lantaran didorong dengan pencerahan hati, tanpa paksaan. 
5) realistik, dengan membuatkan keseimbangan serta proporsionalitas antara pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual. 
6) menghindarkan berdasarkan pemahaman dikotomik terhadap ilmu pengetahuan kepercayaan dan ilmu-ilmu yang lain, sekaligus menghindarkan setiap individu berdasarkan pemahaman agama parsial yg dapat membuat peserta didik kehilangan dan bersikap ekstrim.

Dengan diterapkannya dan dilaksanakannya kesehatan jiwa pada pendidikan Islam. Maka implikasinya adalah menjadi berikut: 

1) Memperkuat keimanan peserta didik menjadi dasar pijakan dalam beraktivitas sehari-hari.
Salah satu kapital awal pembentukan karakter kepribadian baik dalam siswa adalah menggunakan tumbuhnya keimanan yang kokoh, yg membuahkan peserta didik dijauhkan dari sifat arogan dan tinggi hati, akan namun selalu rendah diri serta tawaduk menggunakan segala hal yg ada disekitarnya, yang semuanya itu didapat berdasarkan sehatnya jiwa seseorang. Dengan istilah lain, eksistensi keimanan akan menciptakan kepribadian peserta didik membumi menggunakan lingkungan sekitarnya, dan bukannya melangit yang mengakibatkan lingkungan lebih kurang merasa enggan berdampingan atau berdekatan dengannya. Hal tadi karna potensi keimanan sudah melekat, sehingga melahirkan perbuatan yang ihsan, karena segala perbuatannya didasari dengan niat ibadah. 

Akan namun lain halnya bila kejiwaan (psikis) peserta didik, jauh dari keimanan. Hal tadi, akan mengakibatkan melemahnya keingian-cita-cita positif, hilangnya loyalitas ketaatan, menghilangkan semangat (girah), sulit mendapatkan ilmu, menyebabkan perasaan sedih, risi, resah, gelisah, mini hati, stres dan lain sebagainya.

Dengan hilangnya kenyamanan, kebahagiaan, serta lain sebagainya itu telah menyebabkan kondisi psikis dan fisik peserta didik terganggu, sebagai akibatnya sejauh apapun pembelajaran yg disampaikan oleh pendidik nir akan terserap menggunakan baik oleh siswa.

Dalam konsep Islam pada kajian kesehatan jiwa, keimanan dalam Allah merupakan modal penting buat menyembuhkan kejiwaan seseorang menurut berbagai penyakit psikis yang menjangkitinya, lantaran perasaan Iman bisa mewujudkan perasaan aman dan tentram, mencegah perasaan gelisah, serta bisa berfungsi menjadi motivator siswa disetiap aktivitasnya. Dengan kata lain jika keimanan kepada Allah telah tertanam pada diri insan akan membantu menghalangi dan mencegah manusia menurut penyakit-penyakit kejiwaan.

Dalam ilmu psikologi, kegelisahan adalah penyebab utama timbulnya tanda-tanda-gejala penyakit kejiwaan. Maka tidak galat apabila keamanan dan perasaan tentram jiwa orang mukmin karena disebabkan sang keimanan. Bagi seorang mukmin, kenyamanan, keamanan, dan ketentraman jiwa bisa terwujud ditimbulkan keimanannya kepada Allah, yang memberinya harapan dan asa akan pertolongan, proteksi, serta penjagaan berdasarkan Allah SWT, menggunakan beribadah serta mengerjakan segala amal demi mengharap keridaan Allah. Oleh karena itulah, ia akan merasa bahwa Allah SWT, senantiasa bersamanya serta senantiasa akan menolongnya, hal ini sebagai agunan bahwa dalam jiwanya tertanam perasaan aman serta tentram, karena dijauhkan dari sifat merasa takut terhadap apapun pada kehidupan ini, yg sudah diatur oleh Allah serta insan hanya menjalaninya dan memilihnya saja.

Keimanan akan memandu individu dalam kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntunnya buat bisa mewujudkan ekuilibrium fisik serta psikis, yg membuat individu pada menjalankan dan melakukan segala kegiatan menggunakan proporsional, baik itu dalam makan, minum, tidur, menikah, sosial kemasyarakatan, juga pada merespon semua stimulus pada dirinya dengan jalan yg halal dan baik, serta dijauhkan dari perbuatan dolim yang merugikan orang lain, serta menghindari jalan yg haram serta tidak baik. 

Buah menurut hal itu, dia akan memiliki keteguhan jiwa dan keluhuran budi. Dengan begitu, pada taraf ini beliau sudah mempunyai bekal yg cukup buat mengaplikasikan nilai-nilai Islam atas segala sikap, tindakan, serta keputusannya pada menjalani kehidupan. Dengan kata lain, eksistensi iman akan membentuk Islam, dan melahirkan perikalu ihsan yang merupakan buah daripada iman serta islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimudahkan proses pembelajarannya, lantaran keimanan telah membentuk pondasi kebaikan bagi setiap peserta didik pada belajar Islam.

2) Membentuk akhlaqul karimah peserta didik 
Para ahli pendidikan muslim sejak awal menyadari, sepenuhnya bahwa pemahaman mengenai kepribadian manusia yg melahirkan perilaku adalah dasar pijakan bagi keberhasilan pendidikan.

Dalam hal tersebut, Ibnu Sina mengatakan pada al-Qanun: “Adalah sebuah keharusan, perhatian diarahkan dalam pemeliharaan akhlak anak, yakni dengan menjaganya agar nir mengalami luapan amarah, takut dan sedih. Caranya melalui perhatian akurat yg dilakukan anak atas wacana dirinya dan apa yg dibutuhkannya. Hal ini mempunyai 2 kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak serta kegunaan bagi badannya. Sebab, ia sejak dini tumbuhkan menggunakan (norma) akhlak mulia sinkron bahan kuliner yg dikonsumsinya dan akhlak ini dapat menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus”.

Dalam terminologi Islam klasik penyakit jiwa ini dianggap sebagai akhlaq tercela (akhlaq mazmumah) kebalikan menurut akhlaq yg terpuji (akhlaq mahgampang), atau sanggup jua diklaim menggunakan akhlaq yg tidak baik (akhlaq sayyi’ah) kebalikan menurut akhlaq mulia atau baik.

Imam Ghazali menyebutnya dengan akhlaq khabisah. Akhlaq yang tercela serta buruk itu, akan membentuk kepribadian tidak baik yg adalah bagian berdasarkan kelainan psikis, dan kesemuanya ini akan mengakibatkan jiwa insan sebagai kotor dan jauh berdasarkan hidayah Allah. Akhlaq menjadi barometer evaluasi generik, baik dan buruknya kepribadian seseorang, karena akhlaq berkaitan menggunakan hati nurani, maka sifat tadi hanya dapat terukur berdasarkan sikap, tindakan serta tingkah-lakunya (akhlaqnya). Maka, dalam akhlaqul-karimah moralitas yg digunakan, berpijak dalam kebiasaan-kebiasaan kepercayaan Islam, disamping adat-norma dan norma sosial lainnya. Karena secara teoritik kebiasaan Islam nir betentangan dengan kebiasaan sosial. Bahkan bersifat komplementer, mengarahkan serta mencerahkan pranata sosial. Maka seseorang yg berkepribadian islami akan merasa nyaman dan tentram berada di tengah-tengah lingkungan famili dan warga . Hal ini tentu berdampak positif bagi perkembangan kejiwaan, kreatifitas, daya logika bahkan terhadap prestasi akademik seseorang anak pada sekolah. Dengan demikian, kepribadian islami berdampak positif terhadap kejiwaan peserta didik. 

Kesehatan jiwa memiliki kiprah pada menciptakan kepribadian peserta didik, dengan menjalani kehidupan insan normal pada umumnya menggunakan menghiaskan diri menggunakan akhlaq yg terpuji, yang nir terlepas menggunakan 3 esensi dasar yaitu; Islam, Iman serta Ihsan, karena anak yang termasuk kepribadian Islami secara otomatis memiliki ketaqwaan yg tinggi.

Semuanya dapat dibuat dan dikembangkan melalui usaha pendidikan, bimbingan dan latihan-latihan yang sejalan dengan kepercayaan serta norma-kebiasaan ajaran Islam.

Oleh karena itu, seorang anak wajib mendapatkan pendidikan akhlak secara baik, lantaran pendidikan akhlaq adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yg mengatur pola, perilaku dan tindakan insan atas isi bumi, yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia (termasuk menggunakan dirinya sendiri) serta dengan alam sekitar.

3) Mengembangkan potensi peserta didik
Pada hakikatnya bila siswa ditilik dari fitrah-nya, maka beliau memiliki 2 atribut, yaitu makhluk jasmani dan rohani. Dalam perkembangannya, setidaknya terdapat 2 faktor yang mempengaruhi apakah ia tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yg bermatabat, atau kebalikannya menjadi langsung yang kurang bermatabat. Dua faktor tadi, adalah faktor warisan dan faktor lingkungan (bi‘ah). Faktor warisan adalah keadaan yg dibawa insan sejak lahir yg diperoleh berdasarkan orang tuanya. Seperti, rona kulit, bentuk kepala, dan tempramen. 

Sedangkan faktor lingkungan artinya keadaan kurang lebih yang melingkupi manusia, baik benda-benda misalnya air, udara, bumi, langit, dan mentari , termasuk individu dan gerombolan insan. Kedua faktor inilah yang nantinya akan mempengaruhi baik buruknya kondisi kejiwaan insan (peserta didik) dalam menjalani kegiatan kehidupannya. Maka, Peranan kesehatan jiwa akan terlihat sangat krusial dalam rangka berbagi potensi peserta didik kearah yg lebih baik. Untuk mengantisipasi potensi manusia tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu ditumbuh kembangkan:

a) Akal: dalam global pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia (siswa) dikenal kata kognitif.
Tujuannya mengarah pada perkembangan intelegensi yg mengarahkan manusia menjadi individu buat dapat menemukan kebenaran yg sebenar-benarnya. Dengan usaha hadiah ilmu dan pemahaman dalam rangka memandaikan insan atau peserta didik, pada hal ini aspek nalar meliputi: rasio, qalb atau hati yg berpotensi buat merasa dan meyakini, dan fu’ad atau hati nurani, yang diidentikkan menggunakan mendidik kejujuran pada diri sendiri buat membedakan baik dan jelek. 

b) Fisik: Kekuatan fisik adalah bagian utama menurut tujuan pendidikan, sinkron sabda Rosulullah yang diriwayatkan sang imam muslim;

المؤمن القوي خير واحب الى هللا من المؤمن ضعيف

Artinya; Orang mukmin yg bertenaga lebih baik dan lebih disayangi Allah, daripada orang mukmin yg lemah. (HR. Muslim) Imam nawawi menafsirkan hadits diatas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Seperti panca alat, anggota badan, system saraf dan unsur-unsur biologis lain lebih banyak menempuh cara penguatan dan training seperti mengkonsumsi gizi secara memadai serta berolah raga, melatih masing-masing aspek sinkron menggunakan kekhususannya. Dengan demikian sehatnya fisik, merupakan kapital awal buat mengembangkan potensi kebaikan yang terdapat dalam diri insan.
c) Ruhaniyah dan nafsiyah (ruh dan kejiwaan): adalah dimensi yg memiliki imbas pada mengendalikan keadaan insan supaya bisa hayati sehat, tentram serta bahagia. Bentuk pengembangannya, supaya mengakibatkan manusia betul-benar mendapat ajaran islam dengan menerima seluruh cita-cita ideal yg masih ada dalam al-Qur‟an, peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya pada Allah semata serta moralitas islami yg diteladani berdasarkan tingkah laku kehidupan Nabi Muhammad, yg adalah bagian utama dalam tujuan pendidikan islami. Biasanya dilakukan menggunakan amalan-amalan mendekatkan diri pada Allah dan tazkiyatun-nafs,seperti shalat malam, berpuasa sunnah, poly berdzikir kepada-Nya, membangun perilaku rido terhadap takdir serta kehendak-Nya. Keduanya ini adalah daya manusia buat mengenal Tuhannya, dirinya sendiri, serta mencapai ilmu pengetahuan. Sehingga bisa memilih manusia berkepribadian baik.

d) Keberagaman: manusia merupakan makhluk yang ber-Tuhan atau makhluk yang beragama. Berdasarkan output riset dan observasi, hampir semua pakar jiwa sependapat bahwa dalam diri insan terdapat hasrat serta kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tadi adalah kodrati, berupa hasrat buat mencintai serta dicintai Tuhan.

Dalam pandangan Islam, semenjak lahir seseorang anak sudah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yg maha pencipta dan Maha mutlak yaitu Allah Swt. Sehingga tinggal bagimana pendidikan, orang tua serta lingkungan-lah yg memilih anak tersebut, yaitu beragama atau tidak beragamakah?.

e) Sosial: insan adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial, keserasian antara individu dan warga nir mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial serta tujuan individual. Maka, tanggung jawab sosial merupakan dasar pembentuk warga . Oleh karenanya Pendidikan sosial ini setidaknya mampu membimbing tingkah laku insan dibidang sosial, ekonomi, dan politik menuju langsung yg Islami.

4) Memiliki filsafat atau pandangan hidup
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat hidup adalah mempunyai pegangan hayati yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yg benar, terutama waktu menghadapi atau berada pada situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hayati ini memiliki dua muatan, yaitu makna hidup serta nilai hidup. Jadi setiap insan akan senantiasa dibimbing oleh makna serta nilai hayati yang sebagai pegangannya buat menciptakan kepribadiannya. Ia tidak terbawa begitu saja oleh arus situasi yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana hatinya sendiri yang bersifat sesaat. Implikasinya terhadap pendidikan Islam, peserta didik lebih berani dengan kemauan serta tekadnya dalam menjalankan perintah agama, serta memiliki rasa percaya diri yg tinggi untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Hal tadi diharapkan buat mengatasi setiap duduk perkara yg menimpa dirinya.

5) Membentuk kematangan emosional peserta didik menggunakan lebih bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan Manusia bijaksana, adalah manusia yg bisa mengedepankan akhlaqul karimah pada menyikapi persoalan kehidupannya, tentunya menggunakan mengoptimalkan kinerja logika serta hati pada memberikan keputusan dan menyikapi kehidupan, menggunakan nir disertai sikap arogansi serta lain sebagainya dalam menjalankan kegiatan kehidupannya, inilah yang dimaksud menggunakan kematangan emosional.

Terdapat tiga ciri konduite dan pemikiran pada seseorang yang emosinya dipercaya matang, yaitu mempunyai disiplin diri, determinasi diri, serta kemandirian. Peserta didik yg mempunyai disiplin diri bisa mengatur diri, hidup teratur, menaati aturan dan peraturan. Peserta didik yang mempunyai determinasi diri akan bisa membuat keputusan sendiri pada memecahkan suatu perkara serta melakukan apa yg telah diputuskan, tidak gampang menyerah dan menduga kasus baru lebih sebagai tantangan daripada ancaman. Individu berdikari akan berdiri pada atas kaki sendiri, Ia nir poly menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan pada diri pada kemampuan, kemauan serta kekuatannya sendiri.

Kematangan emosional membuahkan (peserta didik) lebih berfikir logis, kritis serta kreatif, serta bisa merogoh keputusan secara cepat dan tepat. Oleh karena itu, pendidikan Islam akan membentuk output yg kritis dan kreatif, yg didalalamnya mempunyai 3 ciri utama yaitu; 1) memiliki pemikiran asli atau asli (originality), dua) mempunyai keluwesan (flexibility), serta 3) menampakan kelancaran proses berfikir (fluency). Dari sinilah daya fikir seorang ini akan lebih maju.

6) Membentuk pemahaman siswa pada menerima realitas hidup
Adanya disparitas antara dorongan, harapan dan ambisi pada satu pihak, serta peluang serta kemampuan di pihak lainnya adalah hal yang biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan buat mendapat empiris diantaranya menampakan konduite mampu memecahkan masalah dengan segera serta menerima tanggungjawab. Bahkan bila memungkinkan, beliau bisa mengendalikan lingkungan, atau paling nir mudah dalam mengikuti keadaan dengan lingkungan, terbuka buat pengalaman serta gagasan baru, menciptakan tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut. 

Selain itu mereka jua tidak terlalu poly memakai prosedur pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yg tidak tepat saat menghadapi masalah yang mengganggunya atau yg nir beliau kehendaki.

7) Menjauhkan pemahaman siswa menurut kehidupan materialisme-hura-hura Dalam teori kesehatan jiwa barat, mengungkapkan bahwa tingkah laris manusia merupakan suatu fungsi berdasarkan faktor-faktor ekonomi dan sosial.

Pandangan hayati yg materialistik, individualistik dan hedonistik ini, membawa akibat menempatkan manusia pada derajat yg tinggi, causa-prima yg unik, pemilik akal budi yg hebat, dan mempunyai kebebasan penuh buat berbuat apa saja yg dipercaya baik bagi dirinya. Dengan kebebasan serta kedaulatan penuh akan menyebabkan konsep langsung yang ekstrim, yang pada gilirannya akan membuatkan sifat anarkhis, karena meniadakan hubungan trasendal menggunakan Tuhan.

Dalam al-Qur‟an, kesehatan jiwa tidak hanya mengutamakan pengembangan pada potensi manusia saja, akan namun aspek ketuhanan yang merupakan potensi serta kebutuhan dasar insan merupakan prioritas primer yang sangat diperhatikan.

Hal tersebut dikarenakan, semua tingkah laris insan yg bisa mengarahkan dalam terwujudnya ketenangan dan kebahagiaan hayati bukanlah sesuatu yg hanya bisa diamati (observable) serta bersifat materialistik saja, namun jua sesuatu yang transenden yang tidak dalam jangkauan manusia, yaitu nilai-nilai keruhanian serta hal ini merupakan aspek-aspek pendidikan islam. Dalam teori pendidikan, pembicaraan tentang sifat-sifat asal insan adalah satu hal yang wajar. Dari segi pandangan al-Qur‟an insan itu adalah makhluk istimewa sebab ia dianggap khalifah Allah.

Atas dasar inilah sekalipun manusia diakui mempunyai derajat yang paling tinggi diantara sekian poly mahluk yg Allah ciptakan, permanen ditempatkan secara proporsional dalam rekanan Makhluk serta Kholik. Berangkat dari sinilah pendidikan Islam haruslah menyebarkan semua sifat-sifat ini, menciptakan manusia yg beriman yang memelihara berbagai komponen menurut sifat-sifat asal tanpa mengorbankan keliru satunya. Dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa Qur‟ani, ada tiga faktor dasar yang wajib ditegakkan, yaitu Allah, insan, serta lingkungannya.

Hubungan insan dan Allah adalah kondisi utama bagi keberhasilan dalam hubungan antara insan dan lingkungannya. Jika interaksi antara Allah serta manusia lebih tersusun, lebih tegas dan berjalan dari kriteria yang ditetapkan Allah maka interaksi antara insan menggunakan lingkungan sebagai lebih berhasil, begitu pula pada pendidikan Islam