REVOLUSI ISLAM IRAN DAN REALISASI VILAYATI FAQIH

Revolusi Islam Iran Dan Realisasi Vilayat-I Faqih 
Revolusi Iran merupakan model paling spektakuler di dunia Islam, bagaimana agama mampu memberi kekuatan bagi gerakan revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan tiranik dan despotik. Bahkan tidak sekedar menumbangkan kekuasaan, namun lebih mendasar berdasarkan itu, mengganti sistem politik usang (monarki) dengan sistem politik baru (wilâyah al-faqîh). Banyak kalangan menyebut revolusi ini sebagai “keliru satu pemberontakan warga terbesar dalam sejarah umat Islam”. Kesuksesannya dapat disejajarkan menggunakan Revolusi Prancis (1789) atau Revolusi Bolshevik Rusia (1917).

Revolusi yg telah berlangsung pada Iran tahun 1978-1979 serta membentuk pemerintahan Islam yg berlangsung hingga hari ini, mengangkat poly berita yg terkait dengan kebangkitan Islam pada masa ini: keyakinan, kebudayaan, kekuasaan, serta politik dengan fokus dalam identitas bangsa, keaslian budaya, partisipasi politik, dan keadilan sosial disertai pula menggunakan penolakan terhadap pembaratan  otoriterisme kekuasaan, serta pembagian kekayaan yang tidak adil. Inilah “the real revolution” yg digerakkan oleh seluruh lapisan rakyat dan dipimpin sang para tokoh kepercayaan .

Keterlibatan para mullah pada gerakan revolusioner menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa pada Iran mulai tahun 1925-1979, adalah fenomena menarik dan unik jika dicermati dari perspektif sejarah sosial-politik Syi’ah. Syi’ah sebagai madzab resmi Iran sejak Dinasti Safavi menekankan artikulasi politik yang lebih akomodatif terhadap kekuasaan. Perilaku para pengikut Syi’ah semenjak usang bersiklus dalam tradisi taqiyeh (dissimulation) serta quietisme. Apa yg telah ditampakkan sang para mullah dan pengikutnya yg terlibat dalam gerakan revolusi adalah pergeseran orientasi sikap keberagamaan menurut pasivisme menanti datangnya Imam Mahdi ke arah gerakan kongkret serta pro-aktif pada melawan kesewenang-wenangan serta ketidakadilan. Di sinilah tampak kiprah para reformer ideologi Syi’ah pada masa ini yang berhasil memperbaharui ajaran Syi’ah.

Syi’ah menjadi madzab resmi Iran menjadi identitas nasional dan asal legitimasi politik semenjak abad keenam belas. Islam Syi’ah sudah terlibat dalam percaturan politik sejak kemunculannya serta karena itu memiliki sejarah serta sistem agama yang dapat ditafsirkan dan dimanfaatkan pada krisis politik. Tetapi semenjak ditetapkan menjadi madzab resmi pada Dinasti Savafi, ajaran Syi’ah Imâmiyah (genre mainstreem pada Syi’ah) mempunyai kecenderungan apolitis dan terlalu kooperatif menggunakan penguasa negara. Wacana keagamaan yg diusung para ulama berkutat pada perkara-kasus ringan dan fiqh oriented dari dalam perkara sosial-politik yang memiliki jangkauan spektrum lebih luas. Julukan buat mereka merupakan para akhund, sebuah kata pejoratif buat menyebut ulama yg berpengetahuan dangkal.

Dalam tradisi Sunni, ulama contoh itu jua sebagai fenomena mayoritas pada konstelasi politik negara-negara berbasis madzab sunni. Ulama-ulama Wahhabi, contohnya, posisi sosio-politik mereka telah terhegemoni oleh sistem politik kerajaan Saudi. Wahabi sebagai madzab resmi Kerajaan Saudi Arabia sehingga beliau adalah sumber legitimasi bagi penguasannya. Wahabi yang pada awal-awal kelahirannya sangat kritis, telah berubah sebagai sekadar forum stempel bagi kekuasaan sang Raja. Agama dalam kondisi misalnya ini seolah meninggal suri karena tidak bisa berbuat apa-apa buat merubah sejarah umat insan. Agama sudah kehilangan elan penting menjadi sumber pandangan baru untuk membela yang lemah dan memerangi kemungkaran (depotisme).

Ali Syari’ati, keliru satu dari sedikit para pemikir Iran yg sangat galau menggunakan kenyataan “kematian agama (syi’ah)”. Apalagi latar historis ketika Syari’ati tumbuh berkembang menjadi intelektual terkemuka merupakan kekuasaan Syah Reza Pahlevi yg mengumbar ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Di ketika para ulama Syi’ah kebanyakan bungkam atau merogoh sikap membisu serta menjaga jeda dengan dengan sosio-politik kala itu, Syari’ati tampil buat melontarkan gagasan-gagasan radikal tentang oposisi serta revolusi yg bersumber menurut ajaran Syi’ah yg telah dicangkokkan menggunakan tradisi revolusioner Dunia Ketiga dan Marxisme. Ali Syari’ati berhasil menciptakan ideologi Islam revolusioner yg lantas ditawarkan sebagai ideologi cara lain atas kesamaan Marxis serta nasinalis-sekular yang poly digemari kalangan belia Iran.

Ali Syari’ati mengecam para ulama yg sudah berakibat Syi’ah semata-mata sebagai agama berkabung dengan membarui arti hakiki peristiwa Karbala. Ulama, dari Syari’ati telah mengkhianati Islam dengan “menjual diri” kepada kelas penguasa, menggunakan begitu ulama telah membarui Syi’ah dari agama revolusioner menjadi ideologi ortodok; sebagai agama negara (dîn-i dewlati), yg paling tinggi hanya sebabatas menekankan sikap kedermawanan (philantropism), paternalisme, pengekangan diri secara sukarela berdasarkan kemewahan.

Syari’ati lebih jauh menilai, hubungan spesifik ulama semacam itu telah berakibat mereka menjadi instrumen kelas-kelas berharta. Lembaga-forum pendidikan Islam yg dikelola ulama dibiayai kaum kelas berharta buat mencegah ulama berbicara mengenai perlunya menyelamatkan kaum miskin serta mereka yang tertindas (mustad’afîn). Sebaliknya, menggunakan menggunakan doktrin tentang fiqh ekonomi, ulama merupaya mengabsahkan eksploitasi yang menurut Syari’ati lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme Amerika. Islam di tangan ulama itu sudah menjadi khordeh-I burzhuazi (borjuasi kecil). 

Masih menurut Syari’ati, banyak ulama berpandangan sangat picik (ulamâ-i qisyri), yg sanggup bisa mengulang-ulang doktrin fiqih secara ndeso. Mereka memberlakukan Kitab Suci sebagai lembaran kemarau, tanpa makna, sementara pada sisi lain asik menggunakan berita-gosip yg nir penting misalnya soal sandang, ritual, panjang pendeknya jenggot dan semacamnya. Akibatnya ulama gagal tahu makna istilah-kata kunci misalnya ummah, imâmah, serta nizâm al-tauhîd. Ulama yang digambarkan Syari’ati itu lebih cenderung fiqh oriented serta senang bergumul dengan ihwal khilâfiyah yang seluruh itu nir terkait menggunakan dilema real rakyat. Kemisminan, kebodohan dan keterbelakangan dan penindasan menjadi isu yg tak tersentuh (untouchtable) pada alam pikiran para ulama sehari-hari, lantaran mereka lebih disibukkan menggunakan polemik ihwal fiqhiyyah yang nir urgen.

Kecenderungan ulama misalnya gambaran di atas akan menguntungkan posisi penguasa, karena aspek-aspek penyelewengan kekuasaan, praktek ketidakadilan dan kebijakan yg hanya menguntungkan diri sendiri menjadi lepas dari kontrol dan kritik ulama. Maka tidak aneh apabila pihak penguasa menyediakan dana yg cukup buat aktifitas ulama model ini, karena semakin ulama nir independen, akan lebih memudahkan para penguasa melakukan kontrol terhadap aktivitas mereka. Kolaborasi semacam ini yang sudah terjadi di Iran sebelum revolusi, dimana rezim Syah banyak memanfaatkan ulama buat melakukan counter pulang terhadap perihal kritis yang dilontarkan para kaum oposisi. Termasuk pada antara kaum oposisi itu, Ali Syari’ati merupakan keliru satu tokoh pentingnya.

Berada dalam pusaran oposisi vis-à-vis kekuasaan rezim Syah serta ulama konservatif, Ali Syari’ati poly menuai kritik bahkan hujatan serta fitnah berdasarkan beberapa ulama. Mereka pada biasanya menuduh Syari’ati menyesatkan dan menipu kaum belia mengenai ajaran Islam sejati versi Syari’ati. Ulama asal panutan (marja’ taqlid) misalnya Ayatullah Khu’i, Milani, Ruhani dan Thabathaba’i, bahkan mengeluarkan fatwa yang melarang membeli, menjual serta membaca goresan pena Syari’ati. Mereka menganggap goresan pena-tulisan Ali Syari’ati, khususnya dalam bukunya Eslamshenasi (diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Islamology), sudah menyimpang dari tradisi Islam Syi’ah lantaran menggunakan asal-asal non-Syi’ah. 

Ali Syari’ati merupakan contoh intelektual sui generis yang berani pada posisi melawan mainstreem politik juga pemikiran Islam. Ia bisa disejajarkan dengan para pembaharu Sunni pendahulunya, misalnya Jamal al-Din al-Afghani (w.1897), Muhammad Abduh (w. 1905) atau Muhammad Iqbal (w.1938). Sama dengan Syari’ati, mereka adalah pembaharu pemikiran Islam serta sekaligus para oposan yang sangat kritis menggunakan fenomena ketidakadilan serta imperialisme Barat. Yang membedakan antara Syari’ati dengan ketiga tokoh Sunni itu merupakan bahwa Syari’ati lebih radikal dalam mengimplementasikan pemikiran-pemikiran pembaharuannya serta ini yang perlu mendapat catatan tebal sejarah pembaharuan Islam, bahwa Syari’ati menggunakan gagasan revolusinya berhasil menarik gerbong oposisi di kalangan masyarakat Iran buat melawan rezim yg berkuasa sampai akhirnya gerakan oposisi itu berhasil melakukan revolusi bersejarah tahun 1979.

Ali Syari’ati serta Revolusi Iran merupakan 2 hal yang sulit buat dipisahkan. Walau dia mangkat dunia beberapa waktu sebelum revolusi itu sahih-benar terwujud, tepatnya tanggal 19 Juni 1977, gema revolusi yang dia kampanyekan di Iran hingga akhir hayatnya, menerima sambutan yang antusias berdasarkan massa pengunjak rasa pada puncak gerakan revolusi 1978-1979. Poster-poster Ali Syari’ati bersanding dengan poster tokoh revolusi lain misalnya Mossadeq serta tentunya Khomeini, diusung sepanjang demonstrasi besar -besaran melawan Rezim Syah. Bahkan beberapa kalangan menyebut Syari’ati lebih mempunyai kiprah dalam Revolusi Iran ketimbang Khomeini, contohnya, yg munculnya dalam waktu-ketika sehabis secara efektif revolusi berakhir. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution: Past, Present, and Future, bahkan menuduh Khomeini menjadi pembajak Revolusi Iran menurut para pejuang pra-revolusi. 

Bertitik tolak berdasarkan latar belakang tadi, peneliti menemukan titik urgensi penelitian tentang pemikiran Ali Syari’ati, khususnya yg terkait menggunakan Islam dan revolusi. Syari’ati merupakan prototype cendekiawan Islam yg melaju diantara pusaran konservatisme pemikiran Islam yang menekankan Islam menjadi kepercayaan yg terpisah menggunakan duduk perkara-persoalan real pada rakyat, serta sekularisme pemikiran yg begitu tergoda menggunakan modernisme Barat serta meninggalkan Tradisi Suci Agama. Syari’ati memperlihatkan model lain (the third way, pada kata Antoni Gidden), yaitu Islam revolusioner, Islam yang mengambil posisi sebagai jalan revolusi menuju pembebasan umat atas segala macam bentuk ketidakadilan dan penindasan. Syari’ati berhasil menggali nilai-nilai revolusioner Islam yg selama ini terkubur sang ortodoksi, yg pada konteks ajaran Syi’ah, Syari’ati telah merevolusi doktrin Syi’ah pada bentuknya yg lebih progresif. Simbol-simbol krusial Syi’ah seperti asy-Syûra, Karbala, Syâhid diposisikan pulang pada ihwal perlawanan seperti semula. 

Penelitian ini pula akan menggali lebih eksploratif tentang efek pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dalam Revolusi Iran 1979. Keberhasilan Revolusi Iran tidak bisa tanggal berdasarkan keberhasilan revolusi doktin Syi’ah. Dan galat satu tokoh krusial yg terlibat dalam proyek revolusi doktrin Syi’ah itu merupakan Ali Syari’ati.

Pemikiran Ali Syari’ati yang revolusioner mengundang perhatian orang buat menyelidiki lebih pada hubungan pemikirannya menggunakan para pemikir revolusioner sebelumnya. Para pengkaji pun lantas mengaitkan Syari’ati dengan Marx dalam satu pola hubungan geneologis pemikiran. Hasilnya pun sanggup ditebak, bahwa Syari’ati sedikit banyak terpengaruh oleh pemikiran Marx, khususnya yang terkait dengan bagaimana menganalisis ketimpangan sosial pada masyarakat. Sehingga beberapa kalangan menyebut proyek pemikiran Syari’ati adalah Islamisasi Marxisme atau Marxisisasi Islam.

Eko Supriyadi merupakan keliru satu menurut peneliti Indonesia yang sudah berusaha mempelajari dampak Marxisme pada pemikiran Ali Syari’ati. Dalam penelitiannya yang sudah diterbitkan menjadi buku yang berjudul Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati, Eko berupaya menelusuri akar-akar geneologis pemikiran sosialisme Ali Syari’ati pada pemikiran Marxisme. Dalam temuannya Supriyadi menyatakan bahwa terdapat pengaruh Marx pada pemikiran Syari’ati, tetapi Syari’ati mendapat pemikiran Marx dengan kritik serta beliau memberikan sintesa antara Marxisme dan Islam. Salah satu yg dikritik Syari’ati pada rancang bangun pemikiran Marx merupakan kecenderungannya yg menafikan segala bentuk spiritualitas, yang menggunakan begitu menafikan agama, sekaligus Tuhan. Penelitian lain yg relatif seperti dengan karya Eko Supriyadi adalah yg dilakukan sang Munawar Anwar Firdausi menggunakan judul Analisis Tipologi Pemikiran Karl Marx pada Pandangan Ali Syari’ati yang beliau ajukan sebagai tesis pada pascasarjaan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004. 

Kedua penelitian pada atas lebih menekankan dalam impak pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati serta kritik Syari'ati terhadap Marxisme. Penelitian itu tidak memotret secara utuh bagaimana wacana Islam serta politik yg diusung Syari'ati apalagi mengaitkannya menggunakan revolusi Iran. Tetapi paling nir berdasarkan penelitian itu dapat dilacak akar geneologis pemikiran revolusioner Syari'ati, sebagai akibatnya lebih memudahkan buat merekonstruksi pemikirannya serta mengaitkannya dengan revolusi Iran 1979.

Adalah terlalu sempit bila memposisikan Syari’ati sebatas tokoh yg mampu mensitesakan antara Islam serta Marxisme. Realitas sosial, politik dan budaya yang melingkupi Syari’ati dalam menelorkan karya-karya intelektualnya begitu komplek. Rezim Syah Pahlevi yg despotik, ajaran-ajaran Islam (Syi’ah) yang dibonsai ulama resmi sebagai sebatas ajaran ritual, serta kondisi generik rakyat Islam yang berada dalam cengkraman intervensi Barat adalah fenomena krusial yg membangun karakter pemikiran Syari’ati, sehingga lumrah bila tampak karakter revolusioner dalam pemikirannya. Ali Syari’ati tergelisahkan sang kondisi umat yang terus-menerus diposisikan sebagai pihak yg teraniaya (mustal’afîn), dan karya-karya Syari’ati seolah mewakili bunyi-suara itu.

Ali Rahmena yg sudah melakukan pembacaan relatif komprehensif atas beberapa karya penting Syari’ati dalam bukunya Pioneer of Islamic Revival yg dalam edisi Indonesia sang penerbit Mizan diberi judul Para Perintis Zaman Baru Islam. Buku Rahmena mereview pemikiran-pemikiran Syari’ati yg tertuang pada beberapa karya krusial, diantaranya adalah Eslamshenasi (Islamologi) dan Kavir (Gurun).

Tulisan Rahnema relatif lengkap sebagai tulisan yg memotret sejarah kehidupan Ali Syari'ati yg sarat menggunakan petualangan khas seseorang revolusioner. Penelitian ia yang bersumber berdasarkan data utama akurat serta berbahasa orisinil (Persia) memungkinkan Rahnema untuk menganalisis secara lebih tajam fenomena kesejarahan pemikiran serta kegiatan politik Syari'ati. Namun lantaran tulisan itu hanya sebuah tulisan biografi, bangunan pemikiran Ali Syari'ati yg kaya serta komplek tidak tertuang menggunakan utuh, dan sebaliknya, poly konteks historis yg terlewatkan begitu saja, sehingga kesan yg timbul adalah fragmentasi serta penyimpangan . Tetapi goresan pena Rahnema akan sebagai liputan awal yg relatif krusial buat memetakan secara historis warisan intelektual dan politik Ali Syari'ati.

Azyumardi Azra pada galat satu bagian dari bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, menulis mengenai filsafat konvoi Ali Syari’ati. Azra menyatakan bahwa pandangan dunia Syari'ati yang paling menonjol merupakan menyangkut hubungan antara kepercayaan serta politik. Sehingga pada konteks ini, Syari'ati bisa diklaim politico–religio thinker (pemikir politik keagamaan), yg butir pikirannya sebagai salah satu akar ideologi Revolusi Islam Iran. Azra jua menyorot bagaimana kritik Syari'ati terhadap ulama serta tawaran Syari'ati mengenai ideologi Syi’ah revolusioner (Syi’ah Alawi) menjadi lawan dari Syi’ah konservatif (Syi’ah Safavi).

Sama dengan goresan pena Rahnema, Azra hanya memotret pemikiran Syari'ati pada segmen tertentu saja. Ketika dia menulis tentang imbas penting pemikiran Ali Syari'ati terhadap Revolusi Islam, Azra nir menjelaskan lebih lanjut bagaimana proses pengaruh-menghipnotis itu berjalan. Tulisan Azra hanya menambah liputan tentang karakter pemikiran Syari'ati serta komentar-komentar para tokoh terhadap pemikiran serta peran Syari'ati dalam gerakan oposisi pada Iran waktu itu.

Senada menggunakan John L. Esposito dan John O. Voll, Abdulaziz Sachedina pada tulisannya, Ali Syari’ati: Ideologue of Iranian Revolution, menyatakan bahwa Syari’ati merupakan keliru satu tokoh yang berhasil merumuskan ideologi usaha bagi Revolusi Iran. Syari’ati, tulis Sachedina, memperlihatkan satu bentuk penafsiran baru pada pemikiran Islam yang mendorong umat Islam buat bersikap progresif dan anti status quo. Progresifitas serta anti status quo inilah yang sebagai ruh dalam ideologi perlawanan yg ditawarkan Syari’ati, serta itu diterima baik oleh khususnya kelompok mahasiswa serta kaum terpelajar lainnya pada Iran saat itu.

John L. Esposito serta John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina sudah menulis tentang dampak pemikiran Ali Syari'ati terhadap revolusi Iran, namun seperti juga tulisan-goresan pena para tokoh terdahulu, apa yang ditulis oleh John L. Esposito serta John O. Voll serta Abdulaziz Sachedina nir lebih hanya sekadar perkiraan atau tesis yg nir dilengkapi menggunakan berita historis secara detail. Apa yg mereka tulis tidak utuh mendeskripsikan berita historis dan sosio-politik disaat pemikiran Syari'ati mengalami pergolakan.

Hamid Dabashi menyebut Syari’ati menjadi “the ideologist of revolt”. Dalam bukunya, Theology of Discontent: The Idelogical Foundation of The Islamic Revolution in Iran, Dabashi menyatakan bahwa Ali Syari’ati merupakan salah satu ideolog terkemuka Iran yang mengusung aliran dan ideologi primer serta penting yg berpengaruh pada Iran sebelum pecahnya revolusi. Dalam kajian beberapa sarjana yang concern dengan Revolusi Iran, ada beberapa genre dan ideologi menonjol yg berpengaruh di Iran sebelum pecahnya revolusi 1978-1979, antara lain adalah ideologi sosialis-sekuler yang diusung antara lain sang Partai Tudeh (Partai Komunis Iran), dan ideologi sosialis-religius (Syi’ah progresif) yg diusung sang Ali Syari’ati.

Partai Tudeh memang disebut-sebut sang Zuyar pada bukunya, Iranian Revolution: Past, Present and Future, sebagai elemen penting pada revolusi Iran, disamping beberapa gerombolan gerakan sosialis lainnya, antara lain adalah Fadaeen (Organisasi Rakyat Iran). Tidak hanya itu, Zuyar bahkan menempatkan Khomeini hanya menjadi tokoh yg datangnya lebih belakangan yg ambil bagian pada gerakan revolusi. Khomeini tidak lebih berdasarkan “pembajak revolusi” tulis Zayar.

Apa yg ditulis sang Dabashi dan Zayar memberi jalan masuk yang lebar atas potret historis revolusi Iran. Namun masing-masing kurang menyinggung, bahkan dalam tulisan Zayar nir disinggung sama sekali peran Ali Syari'ati dalam revolusi itu. Sehingga apa yg ditulis Zayar, lebih menampakkan kiprah penting grup Marxis Iran, serta ini seakan misalnya menafikan warta historis-sosiologis bahwa rakyat Iran adalah dominan Syi’ah. 

Penelitian ini merogoh penekanan pada pemikiran revolusioner Ali Syari’ati dan pengaruhnya terhadap Revolusi Islam Iran. Berbeda dengan apa yang sudah diteliti oleh Eko Supriyadi dan Munawar Anwar Firdausi yang lebih penekanan dalam impak pemikiran Marxisme dalam pemikiran Syari’ati, penelitian ini lebih penekanan dalam efek pemikirannya terhadap gerakan revolusi di Iran yg berhasih menumbangkan rezim Syah. Begitu jua menggunakan apa yg sudah dikaji sang Ali Rahmena yang lebih menyorot karya-karya penting Syari’ati. Tulisan Azyumardi Azra memang memberi inspirasi buat melacak imbas pemikiran Syari’ati terhadap Revolusi Iran, namun apa yang disampaikan Azra lebih sekedar hipotesis awal dari pada sebuah analisa yg mendalam. Karya Hamid Dabashi memang memberi liputan lebih jelasnya mengenai berbagai genre serta ideologi yang berpengaruh dalam Revolusi Iran, namun berdasarkan kesekian aliran itu mana yang paling berpengaruh, dan sejauhmana dampak ideologi yang digagas Syari’ati dalam revolusi sepertinya belum dikupas secara memadai sang para peneliti serta penulis itu. 

KERANGKA TEORITIK
Selama ini revolusi adalah sebuah kata yang digunakan untuk menyebut suatu perubahan mendasar di pemerintahan atau konstitusi politik sebuah negara, terutama yg terjadi lantaran sebab-sebab internal dan lewat suatu pergolakan bersenjata, serta rusuh. Menurut Funk & Wagnalls New Encyclopedia, revolusi merupakan sebuah perubahan sosial atau politik menggunakan memakai kekerasan serta secara paksa, dipengaruhi sang kekejaman dan bentrok senjata; revolusi juga berarti perubahan sistem politik, tetapi secara cepat dan total, melalui cara-cara di luar konstitusi serta pengingkaran atas lembaga pemerintahan. Senada dengan pengertian itu, pada Black’s Law Ditionary, revolusi diartikan “on overthrow of a government usu. Resulting in fundamental political change, a successful rebellion” (meruntuhkan pemerintah yang ada, membuat perubahan politik secara mendasar, dan sebuah pemberontakan yg sukses). 

Eugene Camenka adalah salah satu yg menyatakan bahwa kekerasan pada revolusi merupakan sebuah keniscayaan, namun, dia buru-buru memberi penerangan lanjutan, andai saja revolusi itu tanpa menimbulkan kekerasan, masih tetap dianggap revolusi. Akhirnya Samuel Huntington merumuskan revolusi sebagai “suatu penjungkirbalikan nilai-nilai, mitos, lembaga-forum politik, struktur sosial, kepemimpinan, serta aktifitas maupun kebijaksanaan pemerintah yang sudah mayoritas di warga ”. Dan secara prinsip menurut aneka macam definisi yg diberikan para ahli politik, revolusi terkait menggunakan gagasan perubahan menyeluruh, pembaharuan serta diskontinuitas menyeluruh serta jua menganut perkiraan bahwa revolusi erat hubungannya menggunakan transformasi sosial.

Dari beberapa definisi tentang revolusi di atas dapat diambil beberapa kata kunci (key words) dalam diskursus revolusi diantaranya merupakan; perubahan politik secara mendasar (fundamental change in the political system), kekuatan massa (extra-sah mass actions), pemberontakan (rebellion and revolt), serta oposisi. Dalam banyak perkara oposisi senantiasa menyebabkan kekacauan (chaos) serta kekerasan (violence), tetapi terminologi itu bukan karakter pokok dalam revolusi, namun hanya sebagai akibat samping ketika revolusi itu dijalankan.

Bagaimana revolusi bisa dijelaskan sebagai satu taktik politik pada mencapai suatu tujuan? Tentu terdapat poly perspektif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Salah satu perspektif buat melihat masalah itu adalah tesis Gramsci tentang hegemoni. Pada prinsipnya, pada teori intervensi ala Gramsci disebutkan bahwa para elite membutuhkan cara buat dapat melakukan kontrol efektif terhadap pihak yang dikuasainya. Cara-cara elit ini penting dalam rangka tetap terus menjaga posisi kekuasannya berdasarkan ancaman-ancaman ketidakpatuhan. Hegemoni yg dilakukan para penguasa/elite tidak sebatas hegemoni cara-cara pruduksi, namun pula hegemoni ideologi. Dengan demikian, melalui hegemoni ideologis, kepatuhan mampu dipaksakan dan perlawanan sanggup dipatahkan atau dilenyapkan oleh elite. Pada akhirnya saat hegemoni itu mengalami titik klimaks, demikian istilah Gramsci, pada waktu yg sama, perlawanan bisa mengambil bentuk berupa upaya-upaya kontra hegemoni oleh kelas yang dikuasai untuk melawan perpaduan sosial yg terdapat.

Bagaimana kontra hegemoni bisa dilakukan oleh mereka yg tertindas? Kerkvliet merupakan salah satu ahli politik yg bisa melihat kenyataan kontra- hegemoni sebagai sesuatu yang mungkin terjadi yang berasal-muasalnya adalah dari perilaku kritisisme masyarakat bawah (yg tertindas) terhadap ideologi mayoritas yg dipaksakan oleh elite kekuasaan. Lebih jelas Kerkvliet menulis :

“Masyarakat berdasarkan kelas yg dikuasai tidak wajib selalu tunduk pada ideologi mayoritas, lantaran mereka memiliki gagasan-gagasan dan keyakinan-keyakinan alternatif yg mampu menampilkan tantangan signifikan kepada pandangan gerombolan mayoritas mengenai bagaimana hak milik serta asal-sumber lainnya mampu dipakai sang siapa saja. Mereka memiliki gagasan tentang hak-hak mereka dan apa itu keadilan, yg sekali lagi menentang keyakinan banyak orang yang berkuasa”.

Singkatnya, gagasan bahwa ideologi kelas yg dikuasai bisa menyusup serta melawan ideologi hegemonik adalah mungkin. Banyak model yang membenarkan tesis ini, misalnya yg diperlihatkan sang buruh tambang pada Indian. Mereka mengembangkan ideologi mereka sendiri melalui elaborasi atas kebudayaan tradisional Indian serta mereka menggunakan idiom-idiom budaya buat melakukan perlawanan terhadap pemilik-pemilik tambang serta negara.

Apakah agama sanggup menjadi asal kekuatan dan pandangan baru ideologis buat melakukan oposisi serta revolusi terhadap kekuatan elite yang hegemonik? Bagi Gramsci, fungsi agama keliru satunya merupakan menaruh bentuk-bentuk kesadaran baru yang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan sosial yg baru. Menurut Gramsci, sesuatu yg memiliki nilai krusial spesifik adalah agama atau ideologi yg bisa mewujudkan suatu ‘kehendak kolektif nasional-terkenal’ misalnya yang dia lihat pada protestanisme pada revolusi Perancis.

Oliever Roy dalam bukunya yang sangat populer The Failure of political Islam mengemukakan suatu kabar bahwa keyakinan eksklusif terhadap agama (Islam) ternyata membawa akibat terhadap perilaku politik eksklusif. Kaum Islamisis, begitu Roy menjelaskan, memiliki argumen politik yg berpijak dalam asas bahwa Islam adalah sistem pemikiran dunia dan menyeluruh. Menurut mereka, warga yg terdiri dari orang-orang Islam saja nir relatif, tetapi juga harus Islami pada landasan maupun strukturnya. Konsekwensinya, lanjut Roy, setiap orang punya kewajiban untuk memberontak terhadap negara Muslim yg dinilai korup; bahkan juga keharusan buat mengekskomunikasikan (takfir) penguasa yang ditinjau murtad serta buat melakukan tindakan kekerasan (revolusi) terhadapnya.

Peneliti nir bermaksud memperdebatkan apakah gerakan kelompok Islamisis itu kontra produktif terhadap upaya-upaya gerakan Islam yang ramah serta toleran, namun sekadar mencari bukti kebenaran tesis Gramsci pada atas bahwa kepercayaan bisa, bahkan sebagai faktor penting dalam menumbuhkan kekuatan oposisi serta revolusi. Mungkin ini yang ingin dieksplorasi secara akademis oleh Ali Syari’ati. Ia berupaya buat merumuskan tradisi keberagamaan Islam yang tidak melulu mengurus akherat, seperti yg ditunjukkan sang perilaku secara umum dikuasai Muslim. Akan namun yang lebih berarti dari itu seluruh merupakan bagaimana membuahkan kepercayaan sebagai kekuatan revolusi yang membebaskan umat menurut penindasan, kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.

Sebagaimana telah dikemukakan pada muka, bahwa Ali Syari’ati adalah sosok intelektual Muslim yang revolusioner. Pandangan dunia Syari’ati yg paling menonjol merupakan menyangkut interaksi antara agama dan politik, yang bisa dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Ali Syari’ati adalah pada hal ini, Islam dapat dan harus pada fungsionalisasikan menjadi kekuatan revolusioner buat membebaskan rakyat yg tertindas, baik secara kultural juga politik. Lebih tegas lagi, Islam pada bentuk murninya yg belum dikuasai kekuatan ortodok – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga menurut penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia mencicipi dilema akut yang dimunculkan kolonialisme serta neo-kolonialisme yg mengalienasikan masyarakat berdasarkan akar-akar tradisi mereka.

Hassan Hanafi senafas menggunakan Ali Syari’ati pada memberdayakan Islam sebagai kekuatan revolusi. Untuk mewujudkan idealisme Islam pembebasan itulah, Hassan Hanafi meluncurkan jurnal berkalanya Al-Yasâr al-Islâmi : Kitâbât fi al-Nahdla Al-Islâmiyah (Kiri Islam : Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) dalam tahun 1981. Jurnal ini merupakan kelanjutan menurut Al-Urwa al-Wutsqa dan Al-Manâr, yang sebagai rencana Al-Afghani dalam melawan kolonialisme serta keterbelakangan, menyerukan kebebasan serta keadilan sosial serta mempersatukan kaum muslimin ke pada blok Islam atau blok Timur. Jurnal ini jua terbit setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran, tahun 1979. Sehingga, peristiwa besar itu memang sudah membangkitkan Hassan Hanafi pada meluncurkan “Proyek Kiri Islam”-nya. Tetapi, menganggap insiden itu menjadi satu-satunya penyebab, merupakan nir benar karena kita jua wajib memperhitungkan faktor konvoi Islam modern serta lingkungan Arab-Islam. Demikian pula, istilah Hassan Hanafi, Kiri Islam bukanlah Islam berbaju Marxisme karenanya berarti menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. Kiri Islam lahir berdasarkan kesadaran penuh atas posisi tertindas umat Islam, buat lalu melakukan rekonstruksi terhadap semua bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebasan. Upaya rekonstruksi ini merupakan suatu keniscayaan karena bangunan pemikiran Islam tradisional yg sesungguhnya satu bentuk tafsir justru menjadi pembenaran atas kekuasaan yg menindas.

Tokoh Islam lain yg senafas dengan Ali Syari’ati serta Hassan Hanafi merupakan misalnya Ashar Ali Engineer. Asghar menyatakan bahwa kedatangan Islam merupakan sebuah revolusi yang selama berabad-abad sudah berperan secara signifikan dalam sejarah umat insan. Akan namun, begitu warta selanjutnya dari Asghar, selesainya meninggalnya Nabi Muhammad, terjadi perebutan kekuasaan yg berorientasi kepada kepentingan pribadi. Saat kekuasaan itu menjadi instrumen kepentingan langsung, muncullah pada wilayah kekuasaan Islam, penguasa-penguasa despotik seperti yg dipertontonkan secara nyata oleh Reza Syeh Pahlevi yg menjadi obyek kritik serta oposisi Ali Syari’ati atau para penguasa Mesir yg jua menjadi ladang kritisisme seseorang anak bangsa misalnya Hassan Hanafi yg dikenal sebagai pengusung al-yasar al-islami (kiri Islam). Watak perlawanan Islam terhadap kesewenang-wenangan sekaligus keberpihakan Islam terhadap grup tertindas (mustad’afîn) sudah menjadi tabiat dasar Islam menjadi kepercayaan rahmatan li al-’âlamîn. Maka akan poly dijumpai dalam al-Qur’an, kitab pedoman umat Islam, pelbagai anjuran bahkan perintah tegas buat melakukan pembelaan terhadap mustad’afîn Pembelaan terhadap mustad’afîn ini dilakukan secara simultan dengan larangan secara tegas pula atas segala bentuk ketidakadilan, baik kultural maupun struktural.

Sebagaimana yg sebagai penekanan kajian para pemikir Islam revolusioner, bahwa Islam nir hanya sebatas kepercayaan yang melangit, hanya sekadar deretan doktrin, tetapi lebih menurut itu, Islam merupakan agama yg sarat menggunakan dimensi praksis. Istilah yang tak jarang dipakai buat ini merupakan faith in actions, keyakinan yang diwujudkan dalam aksi-aksi nyata. Berangkat berdasarkan kerangka berfikir ini, para pemikir Islam revolusioner, termasuk pada dalamnya Ali Syari’ati berupaya supaya butir pikirannya bisa diserap sebesar mungkin lapisan warga buat mensugesti pola pikir mereka. Setelah masyarakat mengalami revolusi pemikiran, maka harapan selanjutnya adalah mewujudkan sebuah gerakan sosial-politik yg radikal untuk merevolusi struktur sosial politik yang dominan.

Comments