PENGERTIAN SEJARAH MENURUT PARA AHLI

Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli
Istilah “sejarah” dari dari bahasa Arab, yakni menurut kata Syajaratun yg memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian pohon kayu disini menunjukan adanya suatu insiden, perkembangan atau pertumbuhan mengenai suatu hal atau insiden pada suatu transedental (kontinuitas) (Dadang Supardan, 2007: 341). Dalam bahasa lain, peristilahan sejarah dianggap juga histore (Perancis), geschite (Jerman), histoire atau geschiedenis (Belanda), dan history (inggris) (Dudung Abdurrahman, 1999: dua). Semuanya sama-sama mengandung pengertian yang sama, yaitu masa lampau umat insan. Sehingga menurut pengertian yang paling umum, istilah sejarah atau history berarti masa lampau umat manusia.

Menurut Abromowitz (Supardan, 2007: 342) bahwa”…history is a chronology of ivents”. Selanjutnya Costa (Supardan, 2007: 342) mendifinisikan sejarah sebagai “…record of the whole human experience”. Jadi menurut Costa bahwa sejarah dalam hakikatnnya adalah catatan semua pengalaman baik secara individu juga secara kolektif bangsa/ nation dimasa kemudian mengenai kehidupan umat insan. Selain itu dalam kamus generik bahasa Indonesia oleh W. J. S Poerwadarminta (Tamburaka, 2002: 32) disebutkan bahwa sejarah mengandung tiga pengertian, yaitu:
(1). Kesustraan usang; silsilah; dari-usul.
(dua). Kejadian dan insiden yang sahih-benar terjadi pada masa lampau.
(3). Ilmu pengetahuan, cerita pelajaran mengenai kejadian serta insiden yg sahih-sahih terjadi dalam masa lampau.

Dari beberapa kabar diatas, kentara pendapat mengenai perhatian terhadap insiden-insiden masa lalu berada dibawah ruang lingkup penulisan sejarah, yg muncul lambat laun selama berabad- abad. Tetapi buat lebih jelasnya perlu dikutif beberapa definisi sejarah menurut beberapa pakar antara lain:
1. Prof. Bernheim (Rustam E. Tamburaka: 2002) mendifinisikan sejarah sebagai “diegerchite ist de wisenchaft von die entwietlung der menrechen bettetiegung als soziele warssen”. Artinya sejarah merupakan pengetahuan yg menyelidiki mengenai perbuatan insan pada perkembangannya menjadi mahluk sosial.

2. James Hervey Robinson (Helius Sjamsuddin: 2007) mengungkapkan bahwa sejarah, pada arti yang luas merupakan seluruh yg kita ketaahui tentang setiap hal yang pernah manusia lakukan , atau pikirkan, atau rasakan. (“history in the brodes sense of the world, is all that we know everything than man ever done, or thought or felt”) 

3. R. G.kolingwood (rustam E. Tamburaka: 2007) damal bukunya yang berjudul “the of history”, menjadi orang dialis beliau menemukan dua dalil tentang sejarah yaitu: 

Pertama; sejarah mempunyai arti yg kokoh buat menilik alam pikiran manusia dan pengalaman-permgalamannya.

Kedua: sejarah bersipat unik, langsung dan dekat. Pengertian sejarah bisa menerobos hakikat yang mendalam menurut peristiwa yang sedang dipelajari serta bisa menghayati peristiwa yg sebenarnya dari alam. Mengerti sejarah berati menyelami untuk melihat menggunakan jelas pikiran pikiran yg didalamnya.

4 Prof. DR. Sartono Katordirdjo (Rusmen E. Tamburaka :2007) membagi sejarah sebagai dua pengertian yaitu: sejarah pada arti bsubjektif serta sejarah arti objektif. Sejarah pada arti subjektif adalah suatu kontrakjsi bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sedangkan sejarah dalam arti yang objektif menujukkan pada kajian atau peristiwa itu sendiri, merupakan proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi dan nir dapat berulang balik .

Dari beberapa definisi sejarah menurut para hali di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sejarah adalah insiden masa lampau umat manusia yg hanya sekali terjadi (objektif) namun sanggup dikonstuksi pada penulisan sejarah sebagai manifestasi dari kehidupan insan baik dalam kehidupannya sekarang juga yang akan tiba.

Sejarah sosial
Sejalan dengan perkembangan ilmu sejarah sampai waktu ini sudah timbul aneka macam cabang ilmu sejarah dari teman-teman yang menaruh sifat atau karaktistik tertentu dalam berbagai ragam historiografi yang dihasilkan, diantara ada yang dikatagorikan sebagai sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah mentalitas, sejarah intelektual, sejarah demografi dan lain sebagainya, (helius sjamsuddin, 2007: 306). Sedangkan dalam goresan pena ini akan dibahas mengenai sejarah menggunakan mengunakan pendekatan sejarah sosial rakyat yang acapkali jugak dianggap sejarah sasyarakat yg terpinggirkan. Sehingga masyarakat pada penulisan sejarah tidak sebagai manusia-manusia tanpa sejarah.

Sebagai mana yg terkandung menurut tema sejarah yang pada usungnya yaitu sejarah sosial, maka sudah barang tentu didalamnya menelaah sejarah mengenai sejarah masyarakat (kemasyarakatan) (sjamsuddin, 2007: 307).

Adapun definisi sejarah sosial serta/atau sosiologi sejarah menjadi sejarah masyarakat, seringkali para sajarawan sendiri membuat definisi masing-masing yang tidak jauh tidak sama, tetapi maksudnya sama yaitu mempelajari masyarakat. Beberapaa definisi yg di makdud mengenai sejarah sosial memenurut beberapa ahli adalah sebabai berikut:
1. G. M. Trevrlan (sjamsuddin: 2007) menyebut sejarah warga menggunakan menghilangkan politiknya(the histoty of a people with the politics left out) 
2 Asa brings (sjamsuddin: 2007) menyebutkan bahwa sejarah sosial mengkaji sejarah berdasarkan orang-orang mikin atau kelas bawah, gerakan-gerakan sosial, menjadi aktivitas manusia misalnya tingkah laku , istiadat-adat, kehidupan sehari-hari , sejarah sosial pada interaksi dengan sejarah ekonomi
3. Desin smith (helius Sjamuddin:2007) mendefinisikan sejarah sosiah sebagai kajiaan tentang masa kemudian buat mengetahui bagaimana masyarakat-rakyat bekerja dan berubah .

Sehubungan menggunakan beberapa definisi sejarah sosial diatas, ada kalanya juga sejarah sosial juga diartikan menjadi sejarah aneka macam gerakan sosial, diantaranya menycakup gerakan petani, buruh, mahasiswa, proses sosial dan lain sebagainya (saartono katordirdjo, 1993: 158).

Dari bebeerapa pendapat pakar diatas bisa disimpulkan bahwasejarah sosial adalah sejarah menurut mayarakat bahwa dalam umumnya baik itu adalah aktivitas sehari-hari, kegiatan ekonomi, tata cara-tata cara, stratifikasi sosial serta lain sebagainya. Sekaligus mengkaji bagaimana warga -masyarakt tersebut pada kehidupan sosialnya, pekerjaannya maupun perubahannya dalam lintas sejarah…

Dengan mengunakan ilmu-ilmu sosial , sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas, sekalipun kadang-kadang wajib terikat pada contoh teoritisnya. Dan pada akhirnya sejarah sosial dapat mengambil paktor sosial sebagai bahan kajiannya (kuntowijoyo, 2003: 41).

Salah satu tema pokok dari bidang sejarah sosial sudah barang tentu yialah perubahan dalam konteks sejarahnya, serta merupakan dalam satu konsep yang sangat luas cakupannya, sesungauhnya proses sejarah dalam keseluruhannya, apa apabila dikaji menurut perspektif sejarah sosialnya, merupakan proses perubahan sosial dalam berbagai dimensi atau aspeknya. 

Dipandang sebagainya proses modernisasi, prubahan sosial, yang kadang-kadang sebagai pertarungan sosial adalah adanya proses akulturasi. Artinya proses yang menycakup bisnis warga menghadapi efek kultur dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian komuditi menurut syarat dari nilai atau itiologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan reprensi cultural, yang kesemuanya adalah factor-faktor cultural yg menentukan sikap terhadap impak baru (Sartono Kartodirdji, 1993: 160).

Sehubungan menggunakan pendapat pada atas maka kehidupan sosial rakyat pada desa Jerowaru jua mengalami proses yang pada sebut menjadi proses perubahan ini, atau lebih tepat dikatakan terjadinya proses adaptasi dengan pengaruh luar dampak adanya hubungan sosial dalam masyarakt dan pada beberapa aspek kehidupan.

Mampat ilmu sejarah
Sejarah selalu dikaitkan dengan insiden atau peristiwa masa lampau umat insan, selaku sebuah cerita, sejarah menberikan suatu keadaan yg sebelumnya terjadi, tidak selaras dengan dongeng yg juga berbentuk cerita, tetapi hanya pelibur lara, sedangkan cerita sejarah, sumbernya adalah insiden masa lampau/ masa dilamberdasarkan peningalan sejarah. Peningalan tadi berupahasil perubahan insan sebagai mahluk sosial (Rustam E. Tamburaka 2007: 7). Dari pengalaman manuaia tersbut kita dapat bercermin dan pemiliki perubahan-perubahan nama yang dapat dijadikan ilham dan perbuatan serta tindakan mana yang seharusnya dihindari.

Dengan demikian, mamfaat yang bisa kita petik dengan mengetahui sejarah merupakan kita dapat lebih berhati-hati supaya kegagalan yg pernah perjadi nir terulang balik . Sehing tetaplah istilah kompuse, seorang filsof cina berkata “ sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana. Selanjutnya Cicero (seorang pakar sejarah yunani) mengungkapkan “ history its magisstra vitae” merupakan sejarah bermamfaat sebagai guru yg baik (bijaksana). Sehingga terciptalah sebuah cerita sejarah yang berdasar pada fenomena, pada bentuk peningalan atau sumber sejarah (Rustam E.tamburaka, 2002: 7).

PENGERTIAN SEJARAH MENURUT PARA AHLI

Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli
Istilah “sejarah” dari dari bahasa Arab, yakni dari istilah Syajaratun yang mempunyai arti “pohon kayu”. Pengertian pohon kayu disini mengambarkan adanya suatu kejadian, perkembangan atau pertumbuhan tentang suatu hal atau insiden pada suatu transedental (kontinuitas) (Dadang Supardan, 2007: 341). Dalam bahasa lain, peristilahan sejarah dianggap jua histore (Perancis), geschite (Jerman), histoire atau geschiedenis (Belanda), serta history (inggris) (Dudung Abdurrahman, 1999: 2). Semuanya sama-sama mengandung pengertian yg sama, yaitu masa lampau umat insan. Sehingga menurut pengertian yg paling generik, kata sejarah atau history berarti masa lampau umat insan.

Menurut Abromowitz (Supardan, 2007: 342) bahwa”…history is a chronology of ivents”. Selanjutnya Costa (Supardan, 2007: 342) mendifinisikan sejarah menjadi “…record of the whole human experience”. Jadi dari Costa bahwa sejarah pada hakikatnnya adalah catatan seluruh pengalaman baik secara individu maupun secara kolektif bangsa/ nation dimasa lalu mengenai kehidupan umat manusia. Selain itu dalam kamus umum bahasa Indonesia oleh W. J. S Poerwadarminta (Tamburaka, 2002: 32) disebutkan bahwa sejarah mengandung 3 pengertian, yaitu:
(1). Kesustraan lama ; silsilah; dari-usul.
(dua). Kejadian serta peristiwa yang sahih-benar terjadi dalam masa lampau.
(tiga). Ilmu pengetahuan, cerita pelajaran tentang insiden serta peristiwa yang benar-sahih terjadi dalam masa lampau.

Dari beberapa keterangan diatas, jelas pendapat mengenai perhatian terhadap insiden-peristiwa masa lalu berada dibawah ruang lingkup penulisan sejarah, yg timbul lambat laun selama berabad- abad. Namun buat lebih jelasnya perlu dikutif beberapa definisi sejarah berdasarkan beberapa pakar diantaranya:
1. Prof. Bernheim (Rustam E. Tamburaka: 2002) mendifinisikan sejarah sebagai “diegerchite ist de wisenchaft von die entwietlung der menrechen bettetiegung als soziele warssen”. Artinya sejarah merupakan pengetahuan yg mengusut tentang perbuatan manusia dalam perkembangannya menjadi mahluk sosial.

2. James Hervey Robinson (Helius Sjamsuddin: 2007) mengungkapkan bahwa sejarah, pada arti yg luas merupakan seluruh yg kita ketaahui mengenai setiap hal yg pernah manusia lakukan , atau pikirkan, atau rasakan. (“history in the brodes sense of the world, is all that we know everything than man ever done, or thought or felt”) 

3. R. G.kolingwood (rustam E. Tamburaka: 2007) damal bukunya yg berjudul “the of history”, sebagai orang dialis beliau menemukan 2 dalil mengenai sejarah yaitu: 

Pertama; sejarah memiliki arti yg kokoh buat mengusut alam pikiran insan dan pengalaman-permgalamannya.

Kedua: sejarah bersipat unik, langsung dan dekat. Pengertian sejarah dapat menerobos hakikat yang mendalam menurut peristiwa yang sedang dipelajari serta dapat menghayati peristiwa yg sebenarnya menurut alam. Mengerti sejarah berati menyelami buat melihat menggunakan jelas pikiran pikiran yg didalamnya.

4 Prof. DR. Sartono Katordirdjo (Rusmen E. Tamburaka :2007) membagi sejarah menjadi dua pengertian yaitu: sejarah pada arti bsubjektif dan sejarah arti objektif. Sejarah pada arti subjektif adalah suatu kontrakjsi bangunan yg disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sedangkan sejarah pada arti yg objektif menujukkan kepada kajian atau peristiwa itu sendiri, merupakan proses sejarah pada aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi dan tidak bisa berulang pulang.

Dari beberapa definisi sejarah dari para hali pada atas, bisa diambil suatu kesimpulan bahwa sejarah merupakan insiden masa lampau umat manusia yg hanya sekali terjadi (objektif) tetapi mampu dikonstuksi pada penulisan sejarah menjadi manifestasi berdasarkan kehidupan manusia baik pada kehidupannya kini juga yang akan datang.

Sejarah sosial
Sejalan menggunakan perkembangan ilmu sejarah sampai ketika ini sudah timbul banyak sekali cabang ilmu sejarah dari sahabat-sahabat yang menaruh sifat atau karaktistik eksklusif dalam aneka macam ragam historiografi yang didapatkan, diantara ada yg dikatagorikan sebagai sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah mentalitas, sejarah intelektual, sejarah demografi dan lain sebagainya, (helius sjamsuddin, 2007: 306). Sedangkan dalam goresan pena ini akan dibahas mengenai sejarah dengan mengunakan pendekatan sejarah sosial masyarakat yg acapkali jugak disebut sejarah sasyarakat yang terpinggirkan. Sehingga warga dalam penulisan sejarah tidak menjadi manusia-manusia tanpa sejarah.

Sebagai mana yang terkandung berdasarkan tema sejarah yg di usungnya yaitu sejarah sosial, maka sudah barang tentu didalamnya menelaah sejarah mengenai sejarah rakyat (kemasyarakatan) (sjamsuddin, 2007: 307).

Adapun definisi sejarah sosial dan/atau sosiologi sejarah menjadi sejarah masyarakat, seringkali para sajarawan sendiri membuat definisi masing-masing yg tidak jauh berbeda, namun maksudnya sama yaitu mengkaji rakyat. Beberapaa definisi yang pada makdud mengenai sejarah sosial memenurut beberapa pakar adalah sebabai berikut:
1. G. M. Trevrlan (sjamsuddin: 2007) menyebut sejarah rakyat dengan menghilangkan politiknya(the histoty of a people with the politics left out) 
2 Asa brings (sjamsuddin: 2007) mengungkapkan bahwa sejarah sosial menyelidiki sejarah berdasarkan orang-orang mikin atau kelas bawah, gerakan-gerakan sosial, sebagai kegiatan manusia misalnya tingkah laris, istiadat-tata cara, kehidupan sehari-hari , sejarah sosial pada interaksi menggunakan sejarah ekonomi
3. Desin smith (helius Sjamuddin:2007) mendefinisikan sejarah sosiah menjadi kajiaan mengenai masa lalu untuk mengetahui bagaimana rakyat-rakyat bekerja dan berubah .

Sehubungan dengan beberapa definisi sejarah sosial diatas, terdapat kalanya jua sejarah sosial pula diartikan sebagai sejarah banyak sekali gerakan sosial, antara lain menycakup gerakan petani, buruh, mahasiswa, proses sosial dan lain sebagainya (saartono katordirdjo, 1993: 158).

Dari bebeerapa pendapat pakar diatas bisa disimpulkan bahwasejarah sosial adalah sejarah menurut mayarakat bahwa pada umumnya baik itu adalah aktivitas sehari-hari, aktivitas ekonomi, istiadat-tata cara, stratifikasi sosial dan lain sebagainya. Sekaligus menelaah bagaimana rakyat-masyarakt tersebut dalam kehidupan sosialnya, pekerjaannya maupun perubahannya pada lintas sejarah…

Dengan mengunakan ilmu-ilmu sosial , sejarawan memiliki kemampuan memperlihatkan yang lebih kentara, sekalipun kadang-kadang harus terikat dalam model teoritisnya. Dan pada akhirnya sejarah sosial dapat merogoh paktor sosial menjadi bahan kajiannya (kuntowijoyo, 2003: 41).

Salah satu tema utama berdasarkan bidang sejarah sosial sudah barang tentu yialah perubahan pada konteks sejarahnya, dan merupakan dalam satu konsep yang sangat luas cakupannya, sesungauhnya proses sejarah dalam keseluruhannya, apa apabila dikaji menurut perspektif sejarah sosialnya, merupakan proses perubahan sosial dalam banyak sekali dimensi atau aspeknya. 

Dipandang sebagainya proses modernisasi, prubahan sosial, yg kadang-kadang sebagai konflik sosial merupakan adanya proses akulturasi. Artinya proses yang menycakup bisnis rakyat menghadapi dampak kultur menurut luar menggunakan mencari bentuk penyesuaian komuditi menurut kondisi menurut nilai atau itiologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan syarat, disposisi, serta reprensi cultural, yg kesemuanya adalah factor-faktor cultural yg memilih sikap terhadap imbas baru (Sartono Kartodirdji, 1993: 160).

Sehubungan menggunakan pendapat pada atas maka kehidupan sosial masyarakat pada desa Jerowaru pula mengalami proses yang di sebut menjadi proses perubahan ini, atau lebih tepat dikatakan terjadinya proses adaptasi dengan efek luar akibat adanya hubungan sosial dalam masyarakt serta pada beberapa aspek kehidupan.

Mampat ilmu sejarah
Sejarah selalu dikaitkan dengan insiden atau insiden masa lampau umat manusia, selaku sebuah cerita, sejarah menberikan suatu keadaan yang sebelumnya terjadi, tidak sinkron dengan dongeng yg pula berbentuk cerita, tetapi hanya pelibur lara, sedangkan cerita sejarah, sumbernya adalah insiden masa lampau/ masa dilamberdasarkan peningalan sejarah. Peningalan tersebut berupahasil perubahan insan menjadi mahluk sosial (Rustam E. Tamburaka 2007: 7). Dari pengalaman manuaia tersbut kita bisa bercermin dan pemiliki perubahan-perubahan nama yg bisa dijadikan ide serta perbuatan serta tindakan mana yg seharusnya dihindari.

Dengan demikian, mamfaat yang bisa kita petik dengan mengetahui sejarah merupakan kita bisa lebih berhati-hati agar kegagalan yg pernah perjadi tidak terulang kembali. Sehing tetaplah kata kompuse, seorang filsof cina berkata “ sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana. Selanjutnya Cicero (seseorang ahli sejarah yunani) menyampaikan “ history its magisstra vitae” merupakan sejarah bermamfaat sebagai guru yg baik (bijaksana). Sehingga terciptalah sebuah cerita sejarah yang berdasar pada kenyataan, pada bentuk peningalan atau sumber sejarah (Rustam E.tamburaka, 2002: 7).

PENGERTIAN HEURISTIK MENURUT PARA AHLI

Pengertian Heuristik Menurut Para Ahli
Heuristik yaitu asal berdasarkan kata yunani heurishein, merupakan memperoleh. Menurut G. J. Reiner seperti yang ditulis Dudung Abdurrahman (1900), heuristik adalah suatu tehnik, suatu seni, serta bukan suatu ilmu. Heuristik seringkali merupakan suatu keterampilan dalam menemukan, mengenali serta memperinci bibliografi atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan. Lebih jelasnya seperti apa yang dikatakan Carrad bahwa heuristik merupakan merupakan langkah awal sebagai sebuah kegiatan mencari asal-asal, mendapatkan data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 86). Dari kedua pendapat pada atas dapat disimpulkan bahwa heuristik merupakan langkah pertama dalam penulisan sejarah yaitu menggunakan pengumpulan data sebanyak mungkin buat dijadikan sumber penelitian sejarah.

Adapun macam-macam warta yang dikumpulkan dalam heuristik ini seperti norma-norma bangsawan, pegaulan sehari-hari, setratifikasi sosial, perubahan adat norma dan bahasa yg digunakan oleh golongan bangsawan di desa Jerowaru serta beberapa liputan yg sinkron menggunakan rumusan masalah misalnya diajukan dalam bagian sebelumnya. 

Karena heuristik adalah kegiatan pengumpulan data-data sejarah, maka terdapat beberapa tehnik pada pengumpulan data tadi yg dipakai pada penelitian ini yaitu: 

1. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah aktivitas manusia dengan memakai pancaindra lainnya seperti indera pendengaran, penciuman, verbal serta kulit. Lantaran itu, observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui output kerja pencarian mata serta dibantu menggunakan pancaindra lainnya (Burhan Bungin, 2008: 115). Sedangkan Sutrisno Hadi mengungkapkan bahwa observasi adalah suatu proses yg komplek, suatu proses yang tersusun menurut banyak sekali proses biologis dan psikologis. Dua diantaranya yg terpenting merupakan proses-proses pengamatan dan ingatan (Sugiono, 2008: 145). 

Dalam penelitian ini proses pelaksanaan pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu observasi nonpartisipan (non participant observasion). Dalam hal ini tidak terlibat secara langsung terlibat sebagai anggota menurut masyarakat tadi, tetapi hanya menjadi pengamat independen. Dengan cara ini walaupun secara nir eksklusif terlibat misalnya masyarakat umumnya, tetapi menggunakan cara ini peneliti jua dapat mengamati bagaimana prilaku rakyat, pergaulan rakyat menggunakan masyarakat lain, serta bagaimana interaksi sosial dalam masyarakat pada desa Jerowaru.

Adapun liputan-berita yg dihasilkan peneliti selama melakukan observasi berkisar pada bagaima proses hubungan antara dua gerombolan sosial yg tidak selaras, mengamati beberapa perbedaan yang menonjol antara golongan bangsawan dengan masyarakat biasa dalam hal bangunan terutama lumbung padi, memperhatikan tata krama pada golongan bangsawan, dan beberapa aspek menurut segi lahiriah yg dapat peneliti dapatkan selama melakukan observasi. 

1. Wawancara
Wawancara adalah dialog menggunakan maksud tertentu, dialog dilakukan oleh dua pihak orang, yaitu pewawancara (interviewer) yg mengajukan pertanyaan terwawancara (interviewee) yg menaruh jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2007: 186). Jadi disini masih ada elemen yang krusial yaitu interviewer serta interviewee. 

Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak terstruktur serta bisa dilakukan melalui tatap muka (face to face) maupun dengan memakai telepon). Dan dalam penelitian ini memakai wawancara terstruktur menjadi tehnik pengumpulan data. Oleh karena itu seperti apa yg dikatakan Sugiyono, seseorang peneliti pada melakukan wawancara, pengumpulan data selesainya penyiapan instrumen penelitian berupa pertanyaan tertulis yg alternatif jawabannya pun sudah disiapkan. Dengan terstruktur ini setiap responden diberi peranyaan yg sama, dan pengumpul data mencatatnya (Sugiyono, 141: 2008). Sedangkan metode wawancara yang peneliti pakai dalam penelitian ini adalah metode wawancara bertahap, karena karakter primer dari wawancara ini adalah dilakukan secara sedikit demi sedikit dan pewawancara tadak wajib terlibat pada kehidupan sosial formal. Sistem datang serta pergi pada wawancara ini mempunyai kelebihan pada menyebarkan objek-objek baru pada wawancara berikutnya lantaran pewawancara memperoleh ketika yang panjang diluar informan buat menganalisis hasil wawancara yg telah dilakukan serta bisa mengoreksinya (Burhan Bungin, 2008: 110).

Untuk menerima data menurut informan melelui wawancara ini mencakup, menemukan informan pada lapangan dilakukan menggunakan memilih orang-orangnya dengan alasan orang yg dipilih menjadi informan benar-benar memahami tentang sejarah mengenai asal-usul, proses interaksi, status sosial dan lain sebagainya. Adapun beberapa keterangan dan serta liputan yg ingin peneliti dapatkan pada wawancara ini berupa berasal-usul bangsawan Jerowaru, perkembangannnya, aplikasi norma-istiadatnya, bagaimana implementasi istiadat-tata cara yang dikembangkan, bgaimana sistem perkawinan, bahasa yg digunakan dengan memakai pengumpulan data melelui wawancara ini. Serta beberapa warta lainnya yang sesuai menggunakan tema pada penelitian ini.

Berbagai pihak yang peneliti minta keterangannya pada penelitian ini antara lain, pejabat pemerintah yang ada di desa Jerowaru, tokoh tata cara, tokoh rakyat, para bangsawan serta rakyat biasa pada umumnya yg tahu tentang kabar yg penulis cari. 

2. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan keliru satu metode pengumpulan data yg digunakan pada metodologi penelitian ilmu sosial. Pada intinya metode dokumenter merupakan metode yg digunakan untuk menelusuri data historis. Dengan demikian, dalam penelitian sejarah, data dokmenter memang berperan sangat penting (Burhan Bungin, 2008: 121).

Metode penelitian ini adalah keliru satu yg wajib digali sang seseorang peneliti sejarah, karena sebenarnya sejumlah akbar berita tentang sejarah tersimpan pada bahan yang berbentuk dokumentasi guna dijadikan istilah-istilah dan kabar historis.

Sebagian akbar data yang tersedia adalah berbentuk surat-sura, catatan-catatan harian, cendramata, surat harian, laporan serta sebagainya. Sifat primer dari data ini tidak terbatas menurut ruang dan saat sehingga memberi peluang pada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi dalam masa silam.perpaduan data dalam bentuk tulisan ini dianggap dokumen dalam arti luas. Adapun barang-barang yg termasuk dokumen diantaranya merupakan artepak, caset tape, mikrofilm, dise, CD, flashdisk serta sebagainya (Burhan Bungin, 2008: 122). Secara detail bahan dokumenter terbagi beberapa macam yaitu: 
a. Otobiografi
b. Surat langsung, buku-buku atau catatan harian, memorial
c. Kliping
d. Dokumen pemerintah juga suasta
e. Cerita roman serta cerita rakyat
f. Data server serta flashdisk
g. Data tersimpan di web site dan lain-lain.

Selain macam-macam bahan dokumenter diatas, bahan dokumenter ini dibagi lagi sebagai 2, yaitu dokumen langsung dan dokumen resmi.

a. Dokumen Pribadi
Dokumen langsung adalah catatan atau karangan seseorang secara tertulis mengenai tindakan, pengalaman, da kepercayaannya. Maksud mengumpulkan dokumentasi pribadi ialah buat memperoleh insiden konkret tentang situasi sosial serta banyak sekali faktor dis ekitar subjek penelitian (Sugiyono, 2008: 217). Dokumen pribadi ini sanggup berupa kitab harian, otobiografi dan sebagainya.

b. Dokumen Resmi
Dokumen resmi terbagi terbagi atas dokumen intern serta dokumen intern. Dokumen intern bisa berupa memo, pengumuman instruksi, ataupun dari forum buat kalangan sendiri misalnya risalah atau laporan kedap,keputusa pemimpin tempat kerja, kesepakatan yaitu kebiasaab-kebiasaan yang berlangsung pada suatu forum dan sebagainya. Sedangkan dokumen ekstern berupa bahan-bahan fakta yang dikeluarkan suatu pemerintahan (Burhan Bungin, 2008: 123).

Dalam penelitian ini dokumen yang akan dikaji sebagai bahan penulisan sejarah yang terkait dengan kebutuhan peneliti nir begitu banyak maka peneliti pada hal ini hanya memakai buku antik yg disebut sebagai Takepan buat menelusuri sejarah tadi, lebih menurut itu ada pula monografi desa dan salinan daftar pemilih permanen pemilihan umum kabupaten Lombok timur tahun 2009/2019. Adapun berdasarkan takepan itu buat mengetahui tentang sejarah awal rakyat desa Jerowaru, kemudian berdasarkan monografi desa yaitu untuk memperoleh data yang jelas tentang desa Jerowaru secara umum dari beberapa aspek pada kekiniannya. Dan yang terakhir adalah daftar pemilih tetap tadi, yaitu digunakan buat memastikan mengenai konsentrasi tempat tinggal bangsawan yg cendrung tinggal pada satu tempat dengan sesama golongannya. Selain bahan dokumen yang berupa kitab -buku diatas tadi, peneliti jua memakai foto-foto sebagai bahan kajian dokumenter ini.

b. Kritik 
Setelah asal sejarah pada berbagai katagorinya itu terkumpul, tahap yg berikutnya merupakan pembuktian atau lazim dianggap juga menggunakan kritik buat memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini yang harus jug adiuji merupakan keabsahan mengenai keaslian asal (otensitas) yang dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan mengenai kesahihan sumber (kredibilitas) yg ditelusuri melalui kritik intern. Berikut ini ke 2 teknik pembuktian tersebut akan dijelaskan satu-persatu:

1. Keaslian Sumber (otensitas)
Otensitas menurut asal ini minimal bisa diuji menurut 5 pertanyaan utama menjadi berikut:
1. Kapan sumber itu dibuat ?
2. Dimana asal itu dibentuk ?
3. Siapa yg menciptakan ?
4. Dari bahan apa asal itu dubuat ?
5. Apakah sumber itu dalam bentuk yg orisinil?

Kelima pertanyaan ini masih minimal buat mengajukan pertanyaan dalam menentukan keabsahan dari dokumen sejarah yg diteliti buat dijadikan asal penulisan sejarah (Abdurrahman, 1999: 26). Lebih menurut itu jika yg kita teliti tersebut merupakan fakta berdasarkan informan dan bukan dokumen maka dalam hal ini Lucet sebagaimana dikutif Helius Sjamsudin (2007) menyampaikan bahwa sebelum smber-sumber sejarah dapat dipakai dengan kondusif, paling nir ada 5 pertanyaan yg harus dijawab dengan memuaskan: 
1. Siapa yang mengungkapkan itu?
2. Apakan satu atau menggunakan cara lain kesaksian itu telah diubah?
3. Apa sebenarnya yg dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya itu?
4. Apakan orang yg menaruh informasi itu seseorang saksi mata (witnes) yg kompeten, apakah dia mengetahui faktor itu?

Oleh karenanya pada dasarnya kritik eksternal wajib menegakkan liputan dari kesaksia bahwa :
a. Kesaksian itu sahih-sahih diberikan oleh orang ini atau dalam saat ini (authenticity)
b. Kesaksian yang telah diberikan itu sudah bertahan tanpa terdapat perunahan (uncorupted), tanpa terdapat suatu tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan yg substansial (itegriti) (Helius Sjamsudin, 2007: 134).

Karena fakta yang peneliti cari berkisar dalam tahun 1970-an, maka tergolong sejarah yg kontemporek, karena orang-orang yg terlibat langsung dalam ketika itu masih hidup jadi sanggup dikatakan kesaksiannya lantaran adalah asal utama sangat sanggup dipercaya, sekaligus menggunakan jalan memadukan diantara beberapa partanyaan yg sama serta diajukan dalam informan yg tidak selaras, kemudian apabila terdapat menurut sebagian mini berdasarkan informan yg pendapatnya berbeda serta penulis kurang meyakini pendapatnya karena sebagian besar bersaksi sama maka pendapat satu orang atau dua orang diantara sepuluh orang tadi gugur dengan sendirinya.

2. Kesahihan Sumber (dapat dipercaya)
Kritik internal sebagaimana yg disarankan oleh istilahnya menekankan aspek kedalaman yaitu isi berdasarkan asal, kesaksian (testimoni). Oleh karenanya misalnya yg ditulis Helius Sjamsudin (2007) dalam kritik intern ini seorang peneliti harus tetapkan apakah kesaksian itu bisa diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini berdasarkan atas penemuan dua penyidikan (inquiry), yaitu:
a. Arti sebenarnya berdasarkan kesaksian itu harus dipahami?
b. Setelah warta kesaksian dibuktikan serta setelah arti sebenarnya menurut isinya telah dibentuk sejelas mungkin, selanjutnya kredibelitas saksi wajib ditegakkan.

Adapun berkenaan dengan asal ekspresi, jika ingin teruji kredibilitasnya menjadi fakta sejarah, maka wajib memenuhi sebagaimana kondisi-kondisi yg diajukan Garraghan sebagaimana dikutif Dudung Abdurrahman (1999) menjadi berikut:
a. Syarat-kondisi umum: sumber ekspresi (tradisi) harus didukung olek saksi berantai dan disampaikan oleh pelopor pertama yang terdekat. Sejumlah saksi itu wajib sejajar dan bebas, dan sanggup membicarakan warta yg teruji kebenarannya.
b. Syarat-syarat khusus: asal lisan mengandung insiden penting yang diketahui generik; telah sebagai kepercayaan generik pada masa tertentu; selama masa tertentu itu tradisi dapat berlanjut tanpa protes atau penolakan perseorangan; lamanya tradisi nisbi terbatas; adalah aflikasi dari penelitian yg kritis; serta tradisi nir pernah ditola sang pemikiran kritis.

Dalam hal dapat dipercaya sumber ini peneliti sebagaimana penjelasan diatas dalam sumber ekspresi menggunakan saksi yang berantai, bahkan saksi tersebut merupakan asal primer yang secara eksklusif mengalami dan mencicipi mengenai warta yg peneliti tanyakan terkait menggunakan sejarah masyarakat desa jerowaru tadi. Dan berdasarkan beberapa saksi yang berantai itu bila seperti yang sudah dijelaskan diatas menyimpang dari pendapat generik maka kesaksiaanya tadi ditolak buat dijadikan sumber sejarah, yang sudah barang tentu dalam hal ini ke kredibelan informan tadi juga peneliti ketahui.

c. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran data sejarah acapkali diklaim jua dengan analisis sejarah. Kata analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yg berarti menyatukan. Tetapi keduanya seperti yg dikatakan Kuntowijoyo pada bukunya Dudung Abdurrahman (1999) bahwa analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode primer dalam interpretasi.

Lebih jelasnya bahwa interpretasi data atau analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh menurut output wawancara, catatan lapangtan, dan dokumentasi menggunakan cara mengorganisasikan dalam katagori,menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, menentukan mana yang krusial serta yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami sang diri sendiri juga orang lain (Sugiyono, 2008: 244). Dengan begitu analisis sejarah itu sendiri, misalnya yang dikatakan Berkhofer (Abdurrahan:1999) bertujuan melakukan buatan atas sejumlah berita yang diperoleh dari sumber-asal sejarah serta beserta-sama menggunakan teori-teori disusunlah informasi itu kedalam suatu interpretasi yg menyeluruh. 

Karena didalam penulisan sejarah acapkali pula terjadi interpretasi nir sinkron atau bahkan terlalu meluas maka soerang peneliti dianjurkan memusatkan perhatiannya pada pos-pos tertentu yg mengungkapkan suatu maslah, misalnya: menggunakan mempelajari tokoh-tokoh, longkungan insiden yang melingkupinya serta sebagainya. Selanjutnya perhatian diarahkan kepada analisis tentang apa yg dipikirkan orang, diucapkan dan diperbuat orang yg menyebabkan perubahan melalui dimensi waku (abdurrahman, 1999: 61-62).

Adapun yg dilakukan peneliti dalam termin iterpretasi data ini merupakan mensintesiskan beberapa liputan agar sesuai menggunakan teori yg dipakai. Misalnya terdapat teori yg mengatakan bahwa relasi ditentukan oleh keturunan yg selektif, dimana pada kekerabatannya memiliki hak atas gelar, lambing, kepemilikan dan lain-lain, begitu juga fakta yang didapatkan mencari titik temu antara teori tersebut menggunakan output penelitian yg akan dijelaskan.

d. Historiografi
Sebagai fase terakhir dalam penulisan sejarah, historiografi ini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan output penelitian sejarah yang telah dilakukan. Layaknya laporan ilmiah, penulisan output penelitian sejarah itu hendaknya dapat memberikan citra yang jelas tentang proses penelitian, semenjak awal (fase perencanaan) hingga dengan tahap terakhir (penarikan kesimpulan). Jadi dengan penulisan sejarah itu akan ditentukan mutu penelitian sejarah itu sendiri (Abdurrahman,1999: 67).

Diantara kondisi generik yang harus diperhatikan peneliti didalam pemaparan sejarah, misalnya yang dikatakan Hasan Usman dalam bukunya Dudung Abdurrahman (1999), merupakan: 
1. Peneliti wajib memiliki kemampuan membicarakan bahasa secara baik.
2. Terpenuhinya kesatuan sejarah, yakni suatu penulisan sejarah itu sendiri sebagai bagian dari sejarah yang lebih umum, karena beliau didahului oleh masa serta diikuti oleh masa juga. Dengan perkataan lain, penulisan itu ditempatkannya sinkron menggunakan perjalanan sejarah. 
3. Menjelaskan apa yg ditemukan oleh peneliti dengan menyajikan bukti-buktinya dan menciptakan garis-garis generik yg akan diikuti secara jelas sang pemikiran pembaca.
4. Keseluruhan pemaparan sejarah haruslah argumentatf, artinya bisnis menyerahkan ide-idenya dalam merekonstruksi masa lampau itu didasarkan atas bukti-bukti tersendiri, buktri yang cukup lengkap, dan kabar-keterangan akuarat.

Penyajian penelitian secara garis akbar terdiri atas tiga bagian: (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (tiga) kesimpulan. Setiap bagian umumnya terjabarkan pada bab-bab atau sub bab yang jumlahnya nir ditantukan swecara singkat. Asalkan antara satu bab dengan bab yang lain sine qua non pertalian yang jelas (Abdurrahman, 1999: 69).

Jenis historiografi yg dipakai sang peneliti adalah histiiriografi kritis, lantaran selain memakai pendekatan sosial yg merupakan bagian menurut tema sejarah kritis yang multi disipliner (multy approach), sekaligus dalam melihat hubungan status sosial di jerowaru menggunakan dua pendekatan baik dari golongan bangsawan juga warga biasa mengenai sejarahnya sebagai akibatnya dalam penulisannya pada tahap historiografi nir terjadi bias atau melihat menggunakan satu kacamata saja. Sekaligus dalam penulisan ini selain bisa menghadirkan perbedaan makna sejarahnya sekaligus perbedaan makna sosial, budaya, ekonomi serta pendididak tercakup di dalamnya.

PENGERTIAN HEURISTIK MENURUT PARA AHLI

Pengertian Heuristik Menurut Para Ahli
Heuristik yaitu dari dari kata yunani heurishein, artinya memperoleh. Menurut G. J. Reiner seperti yg ditulis Dudung Abdurrahman (1900), heuristik merupakan suatu tehnik, suatu seni, serta bukan suatu ilmu. Heuristik tak jarang adalah suatu keterampilan dalam menemukan, mengenali serta memperinci bibliografi atau mengklasifikasi dan merawat catatan-catatan. Lebih jelasnya seperti apa yg dikatakan Carrad bahwa heuristik adalah merupakan langkah awal sebagai sebuah kegiatan mencari sumber-asal, menerima data, atau materi sejarah atau evidensi sejarah (Sjamsuddin, 2007: 86). Dari kedua pendapat di atas bisa disimpulkan bahwa heuristik merupakan langkah pertama pada penulisan sejarah yaitu dengan pengumpulan data sebesar mungkin buat dijadikan sumber penelitian sejarah.

Adapun macam-macam informasi yang dikumpulkan pada heuristik ini misalnya adat-tata cara bangsawan, pegaulan sehari-hari, setratifikasi sosial, perubahan norma norma dan bahasa yang digunakan sang golongan bangsawan di desa Jerowaru dan beberapa kabar yang sinkron dengan rumusan masalah seperti diajukan pada bagian sebelumnya. 

Karena heuristik adalah kegiatan pengumpulan data-data sejarah, maka ada beberapa tehnik dalam pengumpulan data tadi yang digunakan pada penelitian ini yaitu: 

1. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan manusia menggunakan menggunakan pancaindra lainnya seperti indera pendengaran, penciuman, verbal dan kulit. Karena itu, observasi adalah kemampuan seseorang buat memakai pengamatannya melalui output kerja pencarian mata dan dibantu menggunakan pancaindra lainnya (Burhan Bungin, 2008: 115). Sedangkan Sutrisno Hadi mengungkapkan bahwa observasi adalah suatu proses yg komplek, suatu proses yang tersusun menurut banyak sekali proses biologis serta psikologis. Dua diantaranya yg terpenting merupakan proses-proses pengamatan dan ingatan (Sugiono, 2008: 145). 

Dalam penelitian ini proses aplikasi pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yaitu observasi nonpartisipan (non participant observasion). Dalam hal ini tidak terlibat secara pribadi terlibat menjadi anggota menurut masyarakat tadi, tetapi hanya menjadi pengamat independen. Dengan cara ini walaupun secara tidak langsung terlibat misalnya rakyat umumnya, namun menggunakan cara ini peneliti pula dapat mengamati bagaimana prilaku rakyat, pergaulan masyarakat dengan rakyat lain, dan bagaimana hubungan sosial dalam warga pada desa Jerowaru.

Adapun berita-liputan yang didapatkan peneliti selama melakukan observasi berkisar pada bagaima proses interaksi antara dua gerombolan sosial yang tidak selaras, mengamati beberapa disparitas yang menonjol antara golongan bangsawan dengan rakyat biasa dalam hal bangunan terutama lumbung padi, memperhatikan tata krama dalam golongan bangsawan, serta beberapa aspek dari segi lahiriah yg bisa peneliti dapatkan selama melakukan observasi. 

1. Wawancara
Wawancara merupakan dialog menggunakan maksud eksklusif, percakapan dilakukan oleh dua pihak orang, yaitu pewawancara (interviewer) yg mengajukan pertanyaan terwawancara (interviewee) yg memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2007: 186). Jadi disini masih ada elemen yang krusial yaitu interviewer serta interviewee. 

Wawancara bisa dilakukan secara terstruktur juga tidak terstruktur dan dapat dilakukan melalui tatap muka (face to face) juga dengan menggunakan telepon). Dan dalam penelitian ini memakai wawancara terstruktur sebagai tehnik pengumpulan data. Oleh karenanya misalnya apa yang dikatakan Sugiyono, seseorang peneliti pada melakukan wawancara, pengumpulan data selesainya penyiapan instrumen penelitian berupa pertanyaan tertulis yg cara lain jawabannya pun telah disiapkan. Dengan terstruktur ini setiap responden diberi peranyaan yg sama, dan pengumpul data mencatatnya (Sugiyono, 141: 2008). Sedangkan metode wawancara yg peneliti gunakan pada penelitian ini merupakan metode wawancara sedikit demi sedikit, karena karakter primer berdasarkan wawancara ini merupakan dilakukan secara bertahap dan pewawancara tadak harus terlibat dalam kehidupan sosial formal. Sistem datang serta pulang pada wawancara ini mempunyai kelebihan pada berbagi objek-objek baru pada wawancara berikutnya karena pewawancara memperoleh saat yg panjang diluar informan untuk menganalisis output wawancara yg telah dilakukan serta dapat mengoreksinya (Burhan Bungin, 2008: 110).

Untuk mendapatkan data menurut informan melelui wawancara ini mencakup, menemukan informan di lapangan dilakukan menggunakan menentukan orang-orangnya menggunakan alasan orang yang dipilih menjadi informan sahih-sahih tahu mengenai sejarah mengenai asal-usul, proses interaksi, status sosial dan lain sebagainya. Adapun beberapa fakta dan dan keterangan yg ingin peneliti dapatkan pada wawancara ini berupa berasal-usul bangsawan Jerowaru, perkembangannnya, aplikasi adat-istiadatnya, bagaimana implementasi tata cara-istiadat yg dikembangkan, bgaimana sistem perkawinan, bahasa yg dipakai menggunakan menggunakan pengumpulan data melelui wawancara ini. Serta beberapa informasi lainnya yg sesuai menggunakan tema pada penelitian ini.

Berbagai pihak yg peneliti minta keterangannya dalam penelitian ini antara lain, pejabat pemerintah yang ada di desa Jerowaru, tokoh tata cara, tokoh rakyat, para bangsawan serta rakyat biasa dalam umumnya yang tahu tentang keterangan yang penulis cari. 

2. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah salah satu metode pengumpulan data yg dipakai dalam metodologi penelitian ilmu sosial. Pada pada dasarnya metode dokumenter merupakan metode yg dipakai buat menelusuri data historis. Dengan demikian, pada penelitian sejarah, data dokmenter memang berperan sangat penting (Burhan Bungin, 2008: 121).

Metode penelitian ini adalah salah satu yg wajib digali sang seseorang peneliti sejarah, karena sebenarnya sejumlah besar liputan tentang sejarah tersimpan dalam bahan yg berbentuk dokumentasi guna dijadikan istilah-kata serta fakta historis.

Sebagian akbar data yang tersedia merupakan berbentuk surat-sura, catatan-catatan harian, cendramata, surat harian, laporan serta sebagainya. Sifat primer dari data ini nir terbatas berdasarkan ruang dan waktu sehingga memberi peluang pada peneliti buat mengetahui hal-hal yang pernah terjadi pada masa silam.formasi data pada bentuk tulisan ini disebut dokumen pada arti luas. Adapun barang-barang yang termasuk dokumen antara lain adalah artepak, caset tape, mikrofilm, dise, CD, flashdisk serta sebagainya (Burhan Bungin, 2008: 122). Secara lebih jelasnya bahan dokumenter terbagi beberapa macam yaitu: 
a. Otobiografi
b. Surat pribadi, kitab -buku atau catatan harian, memorial
c. Kliping
d. Dokumen pemerintah juga suasta
e. Cerita roman serta cerita rakyat
f. Data server serta flashdisk
g. Data tersimpan pada web site dan lain-lain.

Selain macam-macam bahan dokumenter diatas, bahan dokumenter ini dibagi lagi sebagai 2, yaitu dokumen pribadi serta dokumen resmi.

a. Dokumen Pribadi
Dokumen eksklusif merupakan catatan atau karangan seorang secara tertulis mengenai tindakan, pengalaman, da kepercayaannya. Maksud mengumpulkan dokumentasi langsung ialah buat memperoleh peristiwa nyata mengenai situasi sosial serta aneka macam faktor dis ekitar subjek penelitian (Sugiyono, 2008: 217). Dokumen pribadi ini bisa berupa buku harian, otobiografi serta sebagainya.

b. Dokumen Resmi
Dokumen resmi terbagi terbagi atas dokumen intern serta dokumen intern. Dokumen intern bisa berupa memo, pengumuman instruksi, ataupun dari lembaga untuk kalangan sendiri seperti selebaran atau laporan rapat,keputusa pemimpin tempat kerja, kesepakatan yaitu kebiasaab-norma yg berlangsung di suatu lembaga serta sebagainya. Sedangkan dokumen ekstern berupa bahan-bahan fakta yg dimuntahkan suatu pemerintahan (Burhan Bungin, 2008: 123).

Dalam penelitian ini dokumen yg akan dikaji menjadi bahan penulisan sejarah yg terkait dengan kebutuhan peneliti nir begitu banyak maka peneliti pada hal ini hanya memakai kitab kuno yang disebut menjadi Takepan buat menelusuri sejarah tersebut, lebih berdasarkan itu terdapat pula monografi desa serta salinan daftar pemilih tetap pemilihan umum kabupaten Lombok timur tahun 2009/2019. Adapun dari takepan itu buat mengetahui tentang sejarah awal warga desa Jerowaru, lalu menurut monografi desa yaitu buat memperoleh data yg jelas mengenai desa Jerowaru secara umum dari beberapa aspek dalam kekiniannya. Dan yg terakhir adalah daftar pemilih tetap tadi, yaitu digunakan buat memastikan mengenai konsentrasi loka tinggal bangsawan yg cendrung tinggal di satu tempat menggunakan sesama golongannya. Selain bahan dokumen yg berupa kitab -kitab diatas tersebut, peneliti juga menggunakan foto-foto menjadi bahan kajian dokumenter ini.

b. Kritik 
Setelah sumber sejarah dalam aneka macam katagorinya itu terkumpul, termin yang berikutnya adalah pembuktian atau lazim dianggap pula dengan kritik buat memperoleh keabsahan sumber. Dalam hal ini yang harus jug adiuji adalah keabsahan mengenai keaslian asal (otensitas) yg dilakukan melalui kritik ekstern, dan keabsahan mengenai kesahihan asal (dapat dipercaya) yang ditelusuri melalui kritik intern. Berikut ini ke 2 teknik pembuktian tersebut akan dijelaskan satu-persatu:

1. Keaslian Sumber (otensitas)
Otensitas dari asal ini minimal dapat diuji menurut lima pertanyaan pokok menjadi berikut:
1. Kapan asal itu dibentuk ?
2. Dimana sumber itu dibentuk ?
3. Siapa yg membuat ?
4. Dari bahan apa asal itu dubuat ?
5. Apakah asal itu pada bentuk yang orisinil?

Kelima pertanyaan ini masih minimal buat mengajukan pertanyaan dalam menentukan keabsahan menurut dokumen sejarah yang diteliti buat dijadikan sumber penulisan sejarah (Abdurrahman, 1999: 26). Lebih dari itu jika yang kita teliti tadi merupakan liputan dari informan dan bukan dokumen maka dalam hal ini Lucet sebagaimana dikutif Helius Sjamsudin (2007) berkata bahwa sebelum smber-sumber sejarah dapat digunakan menggunakan aman, paling tidak ada lima pertanyaan yang harus dijawab menggunakan memuaskan: 
1. Siapa yg menyampaikan itu?
2. Apakan satu atau dengan alternatif kesaksian itu sudah diubah?
3. Apa sebenarnya yang dimaksud sang orang itu menggunakan kesaksiannya itu?
4. Apakan orang yg memberikan informasi itu seseorang saksi mata (witnes) yang kompeten, apakah beliau mengetahui faktor itu?

Oleh karenanya dalam dasarnya kritik eksternal wajib menegakkan informasi menurut kesaksia bahwa :
a. Kesaksian itu benar-sahih diberikan sang orang ini atau pada saat ini (authenticity)
b. Kesaksian yang sudah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perunahan (uncorupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (itegriti) (Helius Sjamsudin, 2007: 134).

Karena warta yg peneliti cari berkisar pada tahun 1970-an, maka tergolong sejarah yang kontemporek, sebab orang-orang yang terlibat langsung pada saat itu masih hidup jadi mampu dikatakan kesaksiannya lantaran merupakan asal primer sangat bisa dianggap, sekaligus dengan jalan memadukan diantara beberapa partanyaan yg sama serta diajukan dalam informan yg tidak sinkron, lalu apabila ada berdasarkan sebagian kecil berdasarkan informan yang pendapatnya berbeda dan penulis kurang meyakini pendapatnya karena sebagian akbar bersaksi sama maka pendapat satu orang atau 2 orang diantara sepuluh orang tadi gugur menggunakan sendirinya.

2. Kesahihan Sumber (kredibilitas)
Kritik internal sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya menekankan aspek kedalaman yaitu isi dari sumber, kesaksian (testimoni). Oleh karena itu misalnya yg ditulis Helius Sjamsudin (2007) dalam kritik intern ini seseorang peneliti harus menetapkan apakah kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau nir. Keputusan ini didasarkan atas inovasi 2 penyidikan (inquiry), yaitu:
a. Arti sebenarnya menurut kesaksian itu wajib dipahami?
b. Setelah liputan kesaksian dibuktikan serta selesainya arti sebenarnya berdasarkan isinya sudah dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibelitas saksi wajib ditegakkan.

Adapun berkenaan menggunakan sumber verbal, bila ingin teruji kredibilitasnya sebagai warta sejarah, maka wajib memenuhi sebagaimana syarat-kondisi yang diajukan Garraghan sebagaimana dikutif Dudung Abdurrahman (1999) menjadi berikut:
a. Syarat-kondisi umum: asal verbal (tradisi) harus didukung olek saksi berantai serta disampaikan sang pelopor pertama yg terdekat. Sejumlah saksi itu harus sejajar serta bebas, dan mampu menyampaikan informasi yang teruji kebenarannya.
b. Syarat-syarat khusus: sumber mulut mengandung peristiwa krusial yg diketahui umum; telah sebagai kepercayaan generik dalam masa eksklusif; selama masa eksklusif itu tradisi dapat berlanjut tanpa protes atau penolakan perseorangan; lamanya tradisi nisbi terbatas; adalah aflikasi menurut penelitian yang kritis; dan tradisi nir pernah ditola oleh pemikiran kritis.

Dalam hal dapat dipercaya sumber ini peneliti sebagaimana penjelasan diatas dalam sumber verbal memakai saksi yg berantai, bahkan saksi tadi adalah sumber primer yang secara langsung mengalami dan merasakan tentang keterangan yang peneliti tanyakan terkait dengan sejarah rakyat desa jerowaru tersebut. Dan menurut beberapa saksi yg berantai itu jika seperti yg telah dijelaskan diatas menyimpang menurut pendapat umum maka kesaksiaanya tersebut ditolak buat dijadikan asal sejarah, yg telah barang tentu pada hal ini ke kredibelan informan tadi jua peneliti ketahui.

c. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran data sejarah sering diklaim pula menggunakan analisis sejarah. Kata analisis sendiri berarti menguraikan, serta secara terminologis tidak selaras dengan sintesis yang berarti menyatukan. Tetapi keduanya misalnya yang dikatakan Kuntowijoyo dalam bukunya Dudung Abdurrahman (1999) bahwa analisis dan buatan dicermati sebagai metode-metode utama dalam interpretasi.

Lebih jelasnya bahwa interpretasi data atau analisis data adalah proses mencari serta menyusun secara sistematis data yg diperoleh berdasarkan output wawancara, catatan lapangtan, serta dokumentasi menggunakan cara mengorganisasikan dalam katagori,menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting serta yg akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2008: 244). Dengan begitu analisis sejarah itu sendiri, misalnya yg dikatakan Berkhofer (Abdurrahan:1999) bertujuan melakukan buatan atas sejumlah fakta yang diperoleh dari asal-asal sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah warta itu kedalam suatu interpretasi yg menyeluruh. 

Karena didalam penulisan sejarah sering pula terjadi interpretasi nir sesuai atau bahkan terlalu meluas maka soerang peneliti dianjurkan memusatkan perhatiannya pada pos-pos eksklusif yang mengungkapkan suatu maslah, contohnya: menggunakan menyelidiki tokoh-tokoh, longkungan peristiwa yang melingkupinya dan sebagainya. Selanjutnya perhatian diarahkan pada analisis mengenai apa yg dipikirkan orang, diucapkan dan diperbuat orang yang mengakibatkan perubahan melalui dimensi waku (abdurrahman, 1999: 61-62).

Adapun yg dilakukan peneliti dalam termin iterpretasi data ini merupakan mensintesiskan beberapa liputan supaya sinkron dengan teori yang dipakai. Misalnya ada teori yg mengatakan bahwa hubungan ditentukan sang keturunan yg selektif, dimana dalam kekerabatannya mempunyai hak atas gelar, lambing, kepemilikan dan lain-lain, begitu jua berita yg dihasilkan mencari titik temu antara teori tersebut menggunakan hasil penelitian yang akan dijelaskan.

d. Historiografi
Sebagai fase terakhir dalam penulisan sejarah, historiografi ini adalah cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan. Layaknya laporan ilmiah, penulisan hasil penelitian sejarah itu hendaknya dapat memberikan citra yg kentara tentang proses penelitian, sejak awal (fase perencanaan) hingga dengan termin terakhir (penarikan konklusi). Jadi dengan penulisan sejarah itu akan dipengaruhi mutu penelitian sejarah itu sendiri (Abdurrahman,1999: 67).

Diantara syarat umum yg harus diperhatikan peneliti didalam pemaparan sejarah, seperti yang dikatakan Hasan Usman dalam bukunya Dudung Abdurrahman (1999), adalah: 
1. Peneliti harus mempunyai kemampuan mengungkapkan bahasa secara baik.
2. Terpenuhinya kesatuan sejarah, yakni suatu penulisan sejarah itu sendiri menjadi bagian berdasarkan sejarah yg lebih umum, lantaran dia didahului oleh masa dan diikuti sang masa juga. Dengan perkataan lain, penulisan itu ditempatkannya sesuai menggunakan bepergian sejarah. 
3. Menjelaskan apa yang ditemukan sang peneliti menggunakan menyajikan bukti-buktinya dan membuat garis-garis generik yang akan diikuti secara jelas sang pemikiran pembaca.
4. Keseluruhan pemaparan sejarah haruslah argumentatf, ialah usaha menyerahkan pandangan baru-idenya pada merekonstruksi masa lampau itu didasarkan atas bukti-bukti tersendiri, buktri yang cukup lengkap, dan liputan-liputan akuarat.

Penyajian penelitian secara garis besar terdiri atas tiga bagian: (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (tiga) kesimpulan. Setiap bagian umumnya terjabarkan dalam bab-bab atau sub bab yg jumlahnya nir ditantukan swecara singkat. Asalkan antara satu bab menggunakan bab yg lain harus ada pertalian yg jelas (Abdurrahman, 1999: 69).

Jenis historiografi yg dipakai sang peneliti adalah histiiriografi kritis, karena selain menggunakan pendekatan sosial yg merupakan bagian menurut tema sejarah kritis yg multi disipliner (multy approach), sekaligus dalam melihat interaksi status sosial pada jerowaru menggunakan dua pendekatan baik berdasarkan golongan bangsawan maupun masyarakat biasa tentang sejarahnya sebagai akibatnya pada penulisannya pada termin historiografi nir terjadi bias atau melihat dengan satu kacamata saja. Sekaligus pada penulisan ini selain mampu menghadirkan perbedaan makna sejarahnya sekaligus nuansa sosial, budaya, ekonomi dan pendididak tercakup di dalamnya.

FILSAFAT DAN METODOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Filsafat Dan Metodologi Ilmu Dalam Islam Dan Penerapannya Di Indonesia
Islam sudah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam nir lagi dipahami hanya pada pengertian historis serta doktriner, tetapi sudah sebagai fenomena yg kompleks. Islam nir hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal mengenai bagaimana seseorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam sudah sebagai sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi serta bagian sah dari perkembangan global. Mengkaji dan mendekati Islam, nir lagi mungkin hanya berdasarkan satu aspek, karenanya diperlukan metode dan pendekatan interdisipliner.

Kajian agama, termasuk Islam, misalnya disebutkan pada atas dilakukan sang sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sebagai akibatnya muncul sejarah kepercayaan , psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan rakyat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun jua warga di negara-negara berkembang, yang lalu memunculkan orientalisme.

Sarjana Barat sebenarnya sudah lebih dahulu serta lebih lama melakukan kajian terhadap kenyataan Islam menurut pelbagai aspek: sosiologis, kultural, konduite politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat serta kajian intelektual, serta seterusnya.

Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan pada kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui banyak sekali sudut pandang. Islam khususnya, sebagai kepercayaan yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan poly banyak kasus yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan juga empiris sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yg dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu merupakan pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami pada banyak sekali dimensinya. Betapa banyak dilema umat Islam sampai dalam perkembangannya kini , bisa dipelajari dengan berkaca pada insiden-insiden masa lampau, sebagai akibatnya segala kearifan masa lalu itu memungkinkan buat dijadikan cara lain rujukan di dalam menjawab problem-masalah masa sekarang. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam dalam khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah dia dijadikan pendekatan didalam mempelajari kepercayaan .

Bila sejarah dijadikan menjadi sesuatu pendekatan buat mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan bisa membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah menjadi suatu metodologi menekankan perhatiannya pada pemahaman aneka macam gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas pada pada pendekatan sejarah. Lantaran itu penelitian terhadap tanda-tanda-gejala kepercayaan menurut pendekatan ini haruslah dipandang segi-segi prosesnya serta perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan dan keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan jua mampu memahami tanda-tanda-gejala struktural yg menyertai insiden. Inilah pendekatan sejarah yg sesungguhnya perlu dikembangkan pada pada penelitian masalahmasalah kepercayaan .

Makalah ini berusaha membahas mengenai karakteristik pendekatan sejarah sebagai galat satu pendekatan pada pada Studi Islam menggunakan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.

A. Studi Islam menjadi Disiplin Ilmu
Munculnya istilah Studi Islam, yang di global Barat dikenal menggunakan kata Islamic Studies, pada global Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya telah didahului sang adanya perhatian akbar terhadap disiplin ilmu agama yang terjadi pada abad ke sembilan belas di global Barat. Perhatian ini pada tandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: kitab Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller menurut Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) serta sebagainya. Amirika membuat tokoh misalnya William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) berdasarkan Polandia, Mircea Elaide menurut Rumania. Itulah sebagian nama yg dikenal dalam global ilmu agama, walaupun nir seluruhnya dapat penulis sebutkan di sini.

Tidak hanya pada Barat, pada Asia pun ada beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas serta T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya mengenai Zen Budhisme. India mempunyai S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), serta P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yang diterbitkan pada London pada 1959. Serta filsafat analitis.

Berbeda dengan global Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di global Islam telah lama timbul. Dalam global Islam dikenal beberapa tokoh pada banyak sekali disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, serta Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh misalnya Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, serta sebagainya dalam lebih kurang abad kedua dan keempat hijriyah. Dan akhirnya timbul tokoh-tokoh abad kesembilan belas seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, serta Abad kedua puluh misalnya Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun timbul tokh-tokoh akbar berdasarkan banyak sekali aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah, serta Mu’tazilah. Penulis bidang ini diantaranya; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh misalnya al-qusyairi yang populer dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dan sebagainya.

Walaupun secara realitas studi ilmu kepercayaan (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya tidak terbantahkan, namun dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di kurang lebih permasalahan apakah dia (Studi Islam) dapat dimasukkan ke pada bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat serta karakteristik antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan tidak selaras. Pembahasan di lebih kurang perseteruan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah contohnya menyampaikan apabila penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, kemudian apa bedanya menggunakan kegiatan pengajian dan dakwah yg telah ramai diselenggarakan pada luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tadi menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope daerah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar dalam kesukaran seorang agamawan buat membedakan antara yang bersifat normative serta histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas bila dikatakan menjadi disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.

Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen serta pengajar juga mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang pengajar atau dosen yang tidak mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga poly anak didik atau mahasiswa yang nir tahu apa yg mereka pelajari, benar-benar ironis.

Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani sang misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, serta apologis, sebagai akibatnya kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, realitas, terutama pada mempelajari teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali pada lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

Dengan demikian secara sederhana bisa ditemukan jawabannya bahwa ditinjau menurut segi normatif sebagaimana yg terdapat dalam al-Qur’an serta Hadits, maka Islam lebih merupakan agama yang nir bisa diberlakukan kepadanya paradigma ilmu ilmu pengetahuan yaitu kerangka berpikir analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika dilihat menurut segi historis, yakni Islam pada arti yang dipraktekkan sang insan serta tumbuh serta berkembang dalam kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan menjadi sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah. 

Perbedaan pada melihat Islam yg demikian itu dapat mengakibatkan perbedaan pada mengungkapkan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam adalah kepercayaan yg di dalamnya berisi ajaran Tuhan yg berkaitan menggunakan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dicermati menurut sudut histories atau sebagaimana yang nampak pada rakyat, maka Islam tampil menjadi sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, tidak sama jua menggunakan apa yang diklaim menjadi Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan sang Sayyed Husen Nasr merupakan sains yg dikembangkan sang kaum muslimin semenjak abad kedua hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, serta lain sebagainya.

Dengan demikian sains Islam meliputi aneka macam pengetahuan terbaru yang dibangun atas arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam merupakan pengetahuan yg dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan kepercayaan merupakan pengetahuan yg sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah serta Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi sang sejarah, misalnya ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Qur’an serta akhlak.

Berdasarkan uraian di atas, berkenaan menggunakan Studi Islam menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri sangat terkait erat dengan duduk perkara metode serta pendekatan yang akan dipakai dalam melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yg sebagai topik utama pada kajian makalah ini. 

Metode serta pendekatan pada Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998 serta menjadi mejadi matakuliah baru menggunakan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.

B. Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di Masjid. Pusat-pusat studi Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam pada masa ini, berada di Hijaz berpusat Makkah serta Madinah; Irak berpusat di Basrah dan Kufah dan Damaskus. Masing-masing daerah diwakili sang sahabat ternama.

Pada masa keemasan Islam, dalam masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan pada Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam pada Spanyol pada pusatkan pada Universitas Cordova dalam pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yg didirikan oleh Dinasti Fathimiyah berdasarkan kalangan Syi’ah.

Studi Islam sekarang berkembang hampir pada seluruh negara di dunia, baik Islam maupun yg bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah PTS yg menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) dan Unisba (Bandung).

Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan pada beberapa negara, diantaranya di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam pada bagi mnjadi 2: Islam sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah serta Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam menurut Aspek sejarah di kaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program pada kaji pada Fakultas Humaniora yang membawahi pula Arabic Studies, Persian Studies, serta Political Science.

Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan pada Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada pada bawah Pusat Studi Timur Tengah serta Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian mengenai pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.

Di Amirika, studi Islam dalam umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra serta ilmu-ilmu social. Studi Islam di Amirika berada pada bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.

Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin serta sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, serta sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang mempunyai berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan pada Asia serta Afrika.

Dengan demikian obyek studi Islam bisa dikelompokkan sebagai beberapa bagian, yaitu, asal-sumber Islam, doktrin Islam, ritual serta institusi Islam, Sejarah Islam, aliran serta pemikiran tokoh, studi daerah, dan bahasa.

C. Metode serta Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) sebagai disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu wajib di bedakan antara fenomena, pengetahuan, serta ilmu. 

Setidaknya terdapat dua kenyataan yg dijumpai dalam hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati (agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dipercaya konkret karena kita bersepakat menetapkannya menjadi kenyataan; fenomena yg dialami orang lain dan kita akui menjadi fenomena. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis fenomena itu, pegetahuan pun terbagi menjadi 2 macam; pengetahuan yg diperoleh melalui persetujuan serta pengetahuan yg diperoleh melalui pengalaman langsung atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh menggunakan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena kita tidak belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.

Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, namun terdapat satu hal yg mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) supaya orang membentuk apa yang diketahui menjadi sesuatu yg benar (valid) atau benar (true).

Kesahihan pengetahuan benyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber pengetahuan yg kita peroleh melalui agreement: tradisi dan autoritas. Sumber tradisi merupakan pengetahuan yg diperoleh melalui warisan atau transmisi dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua merupakan autoritas (authority), yaitu pengetahuan yg didapatkan melalui inovasi-penemuan baru sang mereka yang memiliki kewenangan serta keahlian di bidangnya. Penerimaan autoritas menjadi pengetahuan bergantung dalam status orang yang menemukannya atau menyampaikannya.

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dalam arti science menunjukkan 2 bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik agreed reality maupun experienced reality, melalui penalaran personal, yaitu pendekatan khusus buat menemukan kenyataan itu. Ilmu menunjukkan pendekatan khusus yg diklaim metodologi, yaitu ilmu buat mengetahui. 

Metode terbaik buat memperoleh pengetahuan adalah metode ilmiah (scientific method). Untuk tahu metode ini terlebih dahulu wajib dipahami pengertian ilmu. Ilmu pada arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge). Ilmu merupakan pengetahuan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya menurut pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak menilik wacana surga maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman insan. Demikian juga tentang keadaan sebelum dan setelah mangkat , tidak sebagai obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal misalnya ini menjadi kajian agama. Tetapi demikian, pengetahuan agama yg telah tersusun secara sistematik, terstruktur, dan berdisiplin, bisa juga dinyatakan sebagai ilmu kepercayaan .

Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun mempunyai dua macam sifat: tabi’ serta matbu’. Ilmu yang memiliki sifat yang pertama merupakan ilmu yang keberadaan obyeknya nir memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang eksistensi obyek tadi. Sifat ilmu yg kedua, artinya ilmu yg keberadaan obyeknya bergantung dalam pengetahuan serta asa si subyek. 

Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu pada bagi pada dua cabang akbar. Pertama ilmu tentang Tuhan, dan kedua ilmu mengenai makhluk-makhluk kreasi Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, serta ilmu ke 2 melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, serta metodologi dalam arti generik. Ilmu-ilmu kealaman dengan menggunakan metode ilmiah termasuk kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.

Ilmu pada kategori kedua, menurut Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan menggunakan ilmu berdasarkan pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas mekanisme metode ilmiah serta kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode di sini merupakan cara mengetahui sesuatu menggunakan langkah-langkah yg sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam metode tadi disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah tak jarang dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verifikasi yang merupakan adonan menurut metode deduktif serta induktif. Dalam kontek inilah ilmu kepercayaan dalam Studi Islam (Islamic Studies) yg menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari dengan memakai mekanisme ilmiah. Yakni harus menggunakan metode serta pendekatan yg sistematis, terukur berdasarkan kondisi-syarat ilmiah.

Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam tahu Islam. Penguasaan serta ketepatan pemilihan metode tidak dapat dipercaya sepele. Lantaran dominasi metode yang tepat bisa menyebabkan seorang dapat berbagi ilmu yg dimilikinya. Sebaliknya mereka yg tidak menguasai metode hanya akan sebagai konsumen ilmu, dan bukan menjadi pembuat. Oleh karena itu disadari bahwa kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya bisa dikembangkan.

Diantara metode studi Islam yg pernah terdapat pada sejarah, secara garis besar bisa dibagi sebagai dua. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara tahu agama dengan membandingkan semua aspek yg ada dalam agama Islam tadi dengan kepercayaan lainnya. Dengan cara yg demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode buatan, yaitu suatu cara tahu Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan buat memahami Islam yg nampak dalam kenyataan histories, realitas, dan sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan buat tahu Islam yang terkandung pada kitab kudus. Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam menjadi kepercayaan kepercayaan yg mutlak sahih. Hal ini di dasarkan kerena agama berasal menurut Tuhan, serta apa yang asal dari Tuhan absolut benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan banyak sekali aspek kehidupan insan yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.

Metode-metode yg digunakan buat tahu Islam itu suatu saat mungkin dpandang nir relatif lagi, sehingga dibutuhkan adanya pendekatan baru yg harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, serta teknik penelitian. Terdapat poly pendekatan yg digunakan dalam memahami kepercayaan . Diantaranya merupakan pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, serta pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yg dimaksud di sini (bukan pada konteks penelitian), merupakan cara pandang atau paradigma yang masih ada dalam satu bidang ilmu yg selanjutnya digunakan pada tahu kepercayaan . Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti menggunakan memakai berbagai kerangka berpikir. Realitas keagamaan yg diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sinkron menggunakan kerangka paradigmanya. Lantaran itu tidak terdapat persoalan apakah penelitian kepercayaan itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistic.

Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis nir akan menguraikan secara keseluruhan pendekatan yang terdapat, melaikan hanya pendekatan histories sinkron menggunakan judul pada atas, yakni pendekatan histories.

Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yg pada dalamnya dibahas berbagai peristiwa menggunakan memperhatikan unsure loka, waktu, obyek, latar belakang, serta pelaku menurut peristiwa tadi. Menurut ilmu ini segala insiden dapat dilacak menggunakan melihat kapan insiden itu terjadi, pada mana, apa sebabnya, siapa yg terlibat pada insiden tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik menurut alam idealis ke alam yang bersifat emiris serta mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yg masih ada dalam alam idealis menggunakan yang ada pada alam realitas serta histories.

Pendekatan kesejarahan ini amat diperlukan dalam memahami agama, lantaran gama itu sendiri turun pada situasi yg konkret bahkan berkaitan menggunakan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yg mendalam terhadap agama yg pada hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mengusut al-Qur’an dia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi sebagai dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian ke 2 berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.

Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati poly sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yg khusus, doktrin-doktrin etik, anggaran-anggaran legal, serta ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-kata atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat menurut konsep-konsep yang telah dikenal sang warga Arab dalam waktu al-Qur’an, atau bias jadi adalah kata-kata baru yang dibentuk buat mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke pada pandangan global al-Qur’an, dan dengan demikian, lalu sebagai onsep-konsep yg otentik.

Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat tak berbentuk maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, serta sebagainya merupakan termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep mengenai fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.

Selanjutnya, apabila dalam bagian yg berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membangun pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai Islam, maka pada bagian yg ke 2 yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan buat memperoleh nasihat. Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan yg sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar menurut konteks historisnya. Seseorang yang ingin tahu al-Qur’an secara sahih misalnya, yg bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau peristiwa-insiden yg mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya dianggap dengan ilmu asbab al-nuzul yg dalam intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan bisa mengetahui nasihat yg terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan aturan tertentu, serta ditujukan buat memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.

FILSAFAT DAN METODOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Filsafat Dan Metodologi Ilmu Dalam Islam Dan Penerapannya Di Indonesia
Islam sudah menjadi kajian yg menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam tidak lagi dipahami hanya pada pengertian historis serta doktriner, namun sudah sebagai kenyataan yg kompleks. Islam nir hanya terdiri menurut rangkaian petunjuk formal mengenai bagaimana seseorang individu wajib memaknai kehidupannya. Islam sudah sebagai sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi serta bagian sah menurut perkembangan dunia. Mengkaji serta mendekati Islam, tidak lagi mungkin hanya dari satu aspek, karenanya diharapkan metode serta pendekatan interdisipliner.

Kajian kepercayaan , termasuk Islam, seperti disebutkan pada atas dilakukan sang sarjana Barat dengan memakai ilmu-ilmu sosial serta humanities, sebagai akibatnya ada sejarah agama, psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan warga Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun jua masyarakat di negara-negara berkembang, yang kemudian memunculkan orientalisme.

Sarjana Barat sebenarnya telah lebih dahulu dan lebih lama melakukan kajian terhadap kenyataan Islam dari pelbagai aspek: sosiologis, kultural, perilaku politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, agunan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat dan kajian intelektual, serta seterusnya.

Sementara itu, kepercayaan atau keagamaan sebagai sistem agama dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui banyak sekali sudut pandang. Islam khususnya, sebagai kepercayaan yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan poly banyak masalah yg perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yg bisa dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu merupakan pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tadi, Islam bisa dipahami pada aneka macam dimensinya. Betapa banyak dilema umat Islam hingga pada perkembangannya kini , bisa dipelajari menggunakan berkaca kepada insiden-peristiwa masa lampau, sebagai akibatnya segala kearifan masa lalu itu memungkinkan buat dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab problem-problem masa kini . Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam pada khususnya, apakah sejarah menjadi pengetahuan ataukah beliau dijadikan pendekatan didalam menyelidiki agama.

Bila sejarah dijadikan menjadi sesuatu pendekatan buat mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan bisa membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah menjadi suatu metodologi menekankan perhatiannya pada pemahaman banyak sekali tanda-tanda dalam dimensi ketika. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk tanda-tanda kepercayaan atau keagamaan, adalah karakteristik khas pada dalam pendekatan sejarah. Karena itu penelitian terhadap gejala-gejala kepercayaan dari pendekatan ini haruslah ditinjau segi-segi prosesnya serta perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan serta keruntuhan mengenai sesuatu insiden, melainkan pula sanggup tahu tanda-tanda-gejala struktural yg menyertai peristiwa. Inilah pendekatan sejarah yg sesungguhnya perlu dikembangkan di pada penelitian masalahmasalah agama.

Makalah ini berusaha membahas tentang ciri pendekatan sejarah menjadi salah satu pendekatan pada dalam Studi Islam menggunakan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.

A. Studi Islam menjadi Disiplin Ilmu
Munculnya istilah Studi Islam, yang pada dunia Barat dikenal menggunakan istilah Islamic Studies, pada global Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya sudah didahului sang adanya perhatian akbar terhadap disiplin ilmu agama yg terjadi pada abad ke sembilan belas di dunia Barat. Perhatian ini pada tandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: buku Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller dari Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang asal menurut Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis memiliki Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) serta sebagainya. Amirika menghasilkan tokoh misalnya William James (1842-1910) yg dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) berdasarkan Polandia, Mircea Elaide menurut Rumania. Itulah sebagian nama yang dikenal dalam global ilmu kepercayaan , walaupun nir seluruhnya bisa penulis sebutkan pada sini.

Tidak hanya di Barat, di Asia pun timbul beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang ada J. Takakusu yg berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas dan T. Suzuki menggunakan sederaetan karya ilmiahnya tentang Zen Budhisme. India memiliki S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), serta P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yg diterbitkan di London dalam 1959. Dan filsafat analitis.

Berbeda dengan dunia Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di global Islam telah lama ada. Dalam dunia Islam dikenal beberapa tokoh pada aneka macam disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, serta Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh seperti Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, dan sebagainya pada sekitar abad ke 2 dan keempat hijriyah. Dan akhirnya ada tokoh-tokoh abad kesembilan belas misalnya: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, serta Abad ke 2 puluh seperti Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun muncul tokh-tokoh akbar dari berbagai aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah, serta Mu’tazilah. Penulis bidang ini antara lain; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh misalnya al-qusyairi yang terkenal dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, serta sebagainya.

Walaupun secara realitas studi ilmu kepercayaan (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya nir terbantahkan, namun dikalangan para pakar masih masih ada perdebatan di lebih kurang perseteruan apakah beliau (Studi Islam) bisa dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat serta karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama tidak selaras. Pembahasan pada kurang lebih permasalahan ini poly dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah misalnya mengatakan jika penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan pada kelas, kemudian apa bedanya dengan kegiatan pengajian serta dakwah yg sudah ramai diselenggarakan pada luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tadi menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope daerah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar dalam kesukaran seorang agamawan untuk membedakan antara yang bersifat normative serta histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas bila dikatakan sebagai disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.

Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen serta pengajar jua mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang guru atau dosen yang nir mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga poly siswa atau mahasiswa yang tidak memahami apa yg mereka pelajari, sungguh ironis.

Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih poly terbebani sang misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, dan apologis, sebagai akibatnya kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, empiris, terutama pada mempelajari teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti eksklusif yg masih sangat terbatas.

Dengan demikian secara sederhana bisa ditemukan jawabannya bahwa dipandang dari segi normatif sebagaimana yg masih ada dalam al-Qur’an dan Hadits, maka Islam lebih merupakan kepercayaan yang tidak dapat diberlakukan kepadanya kerangka berpikir ilmu ilmu pengetahuan yaitu kerangka berpikir analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai kepercayaan , Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, serta subyektif. Sedangkan apabila dilihat menurut segi historis, yakni Islam pada arti yg dipraktekkan sang insan dan tumbuh serta berkembang dalam kehidupan insan, maka Islam bisa dikatakan sebagai sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah. 

Perbedaan pada melihat Islam yang demikian itu bisa menimbulkan disparitas dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dipandang berdasarkan sudut normatif, maka Islam adalah agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yg berkaitan dengan urusan akidah serta mu’amalah. Sedangkan saat Islam dilihat menurut sudut histories atau sebagaimana yg nampak dalam masyarakat, maka Islam tampil menjadi sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

Selanjutnya studi Islam sebagaimana yg dikemukakan pada atas, tidak sinkron pula dengan apa yang dianggap sebagai Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Sayyed Husen Nasr merupakan sains yang dikembangkan oleh kaum muslimin sejak abad kedua hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, serta lain sebagainya.

Dengan demikian sains Islam mencakup banyak sekali pengetahuan terkini yg dibangun atas arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam adalah pengetahuan yg dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah serta kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan agama merupakan pengetahuan yang sepenuhnya diambil menurut ajaran-ajaran Allah dan Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi oleh sejarah, seperti ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Qur’an serta akhlak.

Berdasarkan uraian di atas, berkenaan menggunakan Studi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri sangat terkait erat dengan persoalan metode dan pendekatan yg akan digunakan pada melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yg menjadi topik utama dalam kajian makalah ini. 

Metode serta pendekatan dalam Studi Islam mulai diperkenalkan sang para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998 serta menjadi mejadi matakuliah baru menggunakan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.

B. Pertumbuhan serta Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi serta teman, dilakukan pada Masjid. Pusat-sentra studi Islam sebagaimana yg dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam pada masa ini, berada di Hijaz berpusat Makkah dan Madinah; Irak berpusat pada Basrah serta Kufah serta Damaskus. Masing-masing wilayah diwakili oleh teman ternama.

Pada masa keemasan Islam, dalam masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan pada Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan dalam pemerintahan Islam pada Spanyol pada pusatkan pada Universitas Cordova pada pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yang didirikan oleh Dinasti Fathimiyah berdasarkan kalangan Syi’ah.

Studi Islam sekarang berkembang hampir di seluruh negara pada global, baik Islam juga yang bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada jua sejumlah Perguruan Tinggi Swasta yg menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) serta Unisba (Bandung).

Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan pada beberapa negara, diantaranya di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam pada bagi mnjadi 2: Islam menjadi doktrin pada kaji di Fakultas Ushuluddin yang memiliki dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah dan Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam berdasarkan Aspek sejarah pada kaji di Fakultas Humaniora pada jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program di kaji pada Fakultas Humaniora yang membawahi jua Arabic Studies, Persian Studies, serta Political Science.

Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan pada Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada pada bawah Pusat Studi Timur Tengah serta Jurusan Bahasa, serta Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian tentang pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.

Di Amirika, studi Islam dalam biasanya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra serta ilmu-ilmu social. Studi Islam pada Amirika berada di bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.

Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin serta sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, serta sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan pada School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran serta Afrika) yg mempunyai banyak sekali jurusan bahasa dan kebudayaan di Asia dan Afrika.

Dengan demikian obyek studi Islam dapat dikelompokkan sebagai beberapa bagian, yaitu, sumber-sumber Islam, doktrin Islam, ritual dan institusi Islam, Sejarah Islam, genre serta pemikiran tokoh, studi tempat, serta bahasa.

C. Metode serta Pendekatan Sejarah pada Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) sebagai disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu harus di bedakan antara fenomena, pengetahuan, dan ilmu. 

Setidaknya ada 2 kenyataan yang dijumpai dalam hidup ini. Pertama, fenomena yg disepakati (agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dipercaya nyata karena kita bersepakat menetapkannya menjadi kenyataan; fenomena yg dialami orang lain serta kita akui menjadi fenomena. Kedua, fenomena yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya 2 jenis kenyataan itu, pegetahuan pun terbagi sebagai dua macam; pengetahuan yang diperoleh melalui persetujuan dan pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman eksklusif atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh dengan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena kita nir belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.

Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, namun ada satu hal yg mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) agar orang membangun apa yang diketahui menjadi sesuatu yg benar (valid) atau sahih (true).

Kesahihan pengetahuan benyak bergantung dalam sumbernya. Ada 2 asal pengetahuan yang kita peroleh melalui agreement: tradisi serta autoritas. Sumber tradisi adalah pengetahuan yang diperoleh melalui warisan atau transmisi menurut generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan ke 2 adalah autoritas (authority), yaitu pengetahuan yang didapatkan melalui penemuan-penemuan baru sang mereka yg mempunyai wewenang serta keahlian pada bidangnya. Penerimaan autoritas menjadi pengetahuan bergantung pada status orang yg menemukannya atau menyampaikannya.

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu pada arti science menunjukkan 2 bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik agreed reality juga experienced reality, melalui penalaran personal, yaitu pendekatan spesifik buat menemukan kenyataan itu. Ilmu memberikan pendekatan khusus yg diklaim metodologi, yaitu ilmu buat mengetahui. 

Metode terbaik buat memperoleh pengetahuan merupakan metode ilmiah (scientific method). Untuk memahami metode ini terlebih dahulu harus dipahami pengertian ilmu. Ilmu pada arti science dapat dibedakan menggunakan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge). Ilmu adalah pengetahuan yg sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya dari pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak menilik ihwal surga maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman insan. Demikian pula tentang keadaan sebelum serta sesudah tewas, tidak menjadi obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal misalnya ini sebagai kajian kepercayaan . Tetapi demikian, pengetahuan kepercayaan yg telah tersusun secara sistematik, terstruktur, serta berdisiplin, bisa jua dinyatakan menjadi ilmu kepercayaan .

Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun memiliki 2 macam sifat: tabi’ serta matbu’. Ilmu yang mempunyai sifat yg pertama merupakan ilmu yang eksistensi obyeknya tidak memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang keberadaan obyek tadi. Sifat ilmu yg kedua, merupakan ilmu yang keberadaan obyeknya bergantung dalam pengetahuan dan asa si subyek. 

Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu di bagi kepada dua cabang akbar. Pertama ilmu mengenai Tuhan, serta kedua ilmu tentang makhluk-makhluk kreasi Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, dan ilmu kedua melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, dan metodologi pada arti generik. Ilmu-ilmu kealaman menggunakan memakai metode ilmiah termasuk kedalam cabang ilmu ke 2 ilmu ini.

Ilmu dalam kategori kedua, berdasarkan Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan dengan ilmu dari pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas mekanisme metode ilmiah dan kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode pada sini merupakan cara mengetahui sesuatu menggunakan langkah-langkah yang sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam metode tersebut disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hipotetico-pembuktian yang merupakan adonan menurut metode deduktif serta induktif. Dalam kontek inilah ilmu agama dalam Studi Islam (Islamic Studies) yang menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari menggunakan memakai mekanisme ilmiah. Yakni harus menggunakan metode dan pendekatan yang sistematis, terukur menurut kondisi-kondisi ilmiah.

Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yg dipergunakan pada memahami Islam. Penguasaan serta ketepatan pemilihan metode tidak dapat dipercaya sepele. Lantaran dominasi metode yg sempurna dapat mengakibatkan seseorang dapat menyebarkan ilmu yg dimilikinya. Sebaliknya mereka yang nir menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, serta bukan menjadi penghasil. Oleh karenanya disadari bahwa kemampuan pada menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya dapat dikembangkan.

Diantara metode studi Islam yg pernah terdapat pada sejarah, secara garis besar dapat dibagi sebagai 2. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara tahu kepercayaan menggunakan membandingkan seluruh aspek yg ada pada agama Islam tadi dengan kepercayaan lainnya. Dengan cara yg demikian akan didapatkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode buatan, yaitu suatu cara memahami Islam yg memadukan antara metode ilmiah menggunakan segala cirinya yg rasional, obyektif, kritis, serta seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah dipakai buat tahu Islam yang nampak pada fenomena histories, realitas, serta sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan buat tahu Islam yang terkandung pada kitab kudus. Melalui metode teologis normative ini seorang memulainya dari meyakini Islam sebagai agama kepercayaan yg absolut sahih. Hal ini di dasarkan kerena agama asal berdasarkan Tuhan, dan apa yg asal menurut Tuhan absolut sahih, maka agamapun absolut sahih. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan banyak sekali aspek kehidupan insan yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.

Metode-metode yang dipakai untuk memahami Islam itu suatu saat mungkin dpandang nir relatif lagi, sehingga diharapkan adanya pendekatan baru yang wajib terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, dan teknik penelitian. Terdapat banyak pendekatan yg dipakai dalam memahami kepercayaan . Diantaranya merupakan pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, dan pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yang dimaksud di sini (bukan pada konteks penelitian), merupakan cara pandang atau paradigma yang masih ada pada satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan pada memahami kepercayaan . Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa kepercayaan bisa diteliti menggunakan menggunakan berbagai kerangka berpikir. Realitas keagamaan yg diungkapkan memiliki nilai kebenaran sinkron menggunakan kerangka paradigmanya. Karena itu tidak ada masalah apakah penelitian agama itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistic.

Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis nir akan menguraikan secara holistik pendekatan yang ada, melaikan hanya pendekatan histories sesuai menggunakan judul pada atas, yakni pendekatan histories.

Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yg pada dalamnya dibahas banyak sekali insiden menggunakan memperhatikan unsure loka, saat, obyek, latar belakang, serta pelaku dari insiden tadi. Menurut ilmu ini segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan insiden itu terjadi, pada mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam insiden tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik berdasarkan alam idealis ke alam yang bersifat emiris serta terkenal diseluruh dunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yg terdapat dalam alam idealis dengan yg ada pada alam realitas dan histories.

Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami kepercayaan , karena gama itu sendiri turun dalam situasi yg konkret bahkan berkaitan dengan syarat social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo sudah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang pada hal ini Islam, dari pendekatan sejarah. Ketika beliau mempelajari al-Qur’an dia sampai dalam satu konklusi bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi sebagai 2 bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, serta bagian ke 2 berisi kisah-kisah sejarah serta perumpamaan.

Dalam bagian pertama yg berisi konsep ini kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yg merujuk pada pengertian-pengertian normative yang khusus, doktrin-doktrin etik, anggaran-anggaran legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada biasanya. Istilah-kata atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat berdasarkan konsep-konsep yg sudah dikenal sang masyarakat Arab dalam waktu al-Qur’an, atau bias jadi adalah istilah-istilah baru yang dibentuk buat mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas kata itu kemudian dintegrasikan ke pada pandangan dunia al-Qur’an, serta dengan demikian, lalu menjadi onsep-konsep yang otentik.

Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yg bersifat abstrak juga nyata. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya merupakan termasuk yg tak berbentuk. Sedangkan konsep mengenai fuqara’, masakin, termasuk yang nyata.

Selanjutnya, apabila pada bagian yang berisi konsep, al-Qur’an bermaksud menciptakan pemahaman yg komprehensif tentang nilai-nilai Islam, maka pada bagian yg ke 2 yg berisi kisah serta perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan buat memperoleh hikmah. Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak buat memasuki keadaan yg sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu insiden. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seseorang yg ingin memahami al-Qur’an secara sahih misalnya, yang bersangkutan harus tahu sejarah turunnya al-Qur’an atau insiden-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya diklaim menggunakan ilmu asbab al-nuzul yg pada pada dasarnya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan bisa mengetahui nasihat yg terkadung pada suatu ayat yang berkenaan menggunakan aturan eksklusif, serta ditujukan buat memelihara syari’at menurut kekeliruan memahaminya.