PRODUK NASIONAL DAN PENDAPATAN NASIONAL

Warga belajar serta siswa--sekalian, kita tak jarang mendengar atau membaca di aneka macam media, bahwa kemajuan ekonomi negara dapat diukur menurut pendapatan nasionalnya. Semakin besar jumlah pendapatan nasional berarti negara itu ekonominya semakin maju. Apa yang dimaksud dengan pendapatan nasional? Agar lebih gampang memahami mengenai pendapatan nasional terlebih dahulu kita pelajari mengenai produksi perseorangan serta pendapatan perseorangan. Jika seorang petani selama satu 1 tahun penghasilan beras 2 ton, kelapa 0,5 ton, ubi tiga ton, maka semua output berupa beras, kelapa serta ubi ini dinamakan produk perseorangan.

Selanjutnya apabila barang-barang tadi dievaluasi dengna uang, misalnya beras Rp. 1.000.000,-. Kelapa, Rp. 250.000,-, ubi Rp. 600.000,- maka jumlah nilai barang sebesar Rp. 1.850.000,- Nilai barang merupakan Rp.1.850.000,- ini dinamakan pendapatan perseorangan.
Jadi produk perseorangan yaitu jumlah barang yg didapatkan seseorang selama satu tahun. Sedangkan pendapatan perseorangan yaitu jumlah nilai barang yg didapatkan seseorang selama satu tahun. Jika barang-barang yg didapatkan semua seseorang dalam suatu negara selama satu tahun dijumlahkan, maka akan diperoleh produk nasional. Jadi yg dianggap produk nasional, merupakan semua barang yg didapatkan oleh warga pada suatu negara selama 1 tahun.
Namun demikian buat menjumlahkan barang-barang yg berbeda jenisnya, akan poly mengalami kesulitan. Misalnya lima ton beras, 5000 barel minyak, 100.000 pasang sepatu serta sebagainya. Untuk memudahkan dalam menjumlahkan barang-barang tadi, maka diukurlah dengan nilai uang. Jika semua jumlah barang yg dihasilkan warga pada suatu negara selama satu tahun, dinyatakan pada nilai uang maka disebut pendapatan nasional. Jadi yang dianggap pendapatan nasional yaitu jumlah semua barang/jasa yg didapatkan warga satu negara selama satu tahun. Yang dinyatakan dalam nilai uang.
Jadi pendapata nasional adalah nilai barang/jasa yang didapatkan oleh masyarakat selama 1 tahun. Pendapatan nasional bisa pula dipandang menurut penerimaan para pemilik faktor produksi, misalnya pemilik tenaga kerja, pemilik tanah, pemilik modal serta pengusaha. Jika selama 1 thaun penerimaan para pemilik faktor produksi ini dijumlahkan, maka akan diproleh pendapatan nasional. Jadi pendapatan nasional juga dapat dikatakan jumlah penerimaan masyarakat berupa upah sewa, bunga modal serta keuntungan pengusaha dalam suatu negara selama 1 tahun.
Pendapatan nasional acapkali pula diklaim dengan produk nasional bruto atau produk domestik bruto atau dalam bahasa Inggris pada sebut Gross Domestik Brutto yg berarti Pendapatan Nasional Kotor. Barang/jasa yg dihasilkan sang masyarakat suatu negara selama satu tahun ini, berasal menurut berbagai lapangan usaha. Khusus di Indonesia pendapatan nasional pada himpun menurut 11 sektor atau lapangan bisnis, yaitu :
1. Sektor Pertanian
2. Sektor Pertambangan dan Penggalian
3. Sektor Perusahaan Industri
4. Sektor Listrik, Gas serta Air Minum
5. Sektor Bangunan
6. Sektor Perdagangan Besar serta Eceran
7. Sektor Pengangkutan dan Komunikasi
8. Sektor Perbankkan dan Lembaga-lembaga keuangan lainnya
9. Sektor Sewa rumah
10.sektor Pemerintahan serta Pertahanan
11.jasa-jasa lain.

PENGERTIAN KEBIJAKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Kebijakan Menurut Para Ahli
Kebijakan adalah panduan-panduan serta ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih pada melaksanakan (memanage) suatu acara buat mencapai tujuan eksklusif.

Perencanaan merupakan seluruh aktivitas (planning) yg dilakukan sebelum melakukan suatu kegiatan, menurut suatu program proyek, yakni memilih tujuan objective, tujuan antara, kebijakan, prosedur dan program. Sukirno (1985) mengemukakan pendapatnya tentang konsep pembangunan, mempunyai tiga sifat penting, yaitu : proses terjadinya perubahan secara terus menerus, adanya bisnis buat menaikkan pendapatan perkapita rakyat dan kenaikan pendapatan rakyat yg terjadi dalam jangka ketika yg,panjang.

Menurut Todaro (1998) pembangunan bukan hanya kenyataan semata, tetapi dalam akhirnya pembangunan tadi harus melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan insan. Dengan demikian pembangunan idealnya dipahami sebagai suatu proses yg berdimensi jamak, yg melibatkan masalah pengorganisasian serta peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi serta sosial. Berdimensi jamak dalam hal ini ialah membahas komponen-komponen ekonomi juga non ekonomi Todaro (1998) menambahkan bahwa pembangunan ekonomi sudah digariskan balik dengan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan serta pengangguran pada kontenks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yg sedang berkembang.

Rostow (1971) jua menyatakan bahwa pengertian pembangunan tidak hanya dalam lebih banyak hasil yang didapatkan namun juga lebih poly hasil daripada yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan : masyarakat tradisional, pra syarat tanggal landas, tanggal landas, gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar -besaran. Kunci diantara tahapan ini adalah tahap tanggal landas yang didorong oleh satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor utama ini sudah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang bergerak maju.

Menurut Hanafiah (1892) pengertian pembangunan mengalami perubahan lantaran pengalaman pada tahun 1950-an hingga tahun 1960-an menerangkan bahwa pembangunan yg berorientasi dalam kenaikan pendapatan nasional nir sanggup memecahkan kasus pembangunan. Hal ini terlihat menurut tingkat hayati sebagian besar warga tidak mengalami pemugaran kendatipun sasaran kenaikan pendapatan nasional per tahun semakin tinggi. Dengan istilah lain, ada indikasi-indikasi kesalahan besar pada mengartikan istilah pembangunan secara sempit.

Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu tidak mampu diartikan sebagai kegiatan-aktivitas yg dilakukan negara buat membuatkan aktivitas ekonomi serta tingkat hayati masyarakatnya.

Berbagai sudut pandang bisa digunakan buat menelaah pembangunan pedesaan. 
Menurut Haeruman ( 1997 ), ada dua sisi pandang buat mengkaji pedesaan, yaitu: 
1. Pembangunan pedesaan dicermati menjadi suatu proses alamiah yg bertumpu pada potensi yang dimiliki serta kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga perubahan yg diharapkan berlangsung pada rentang ketika yang panjang. 
2) Sisi yg lain memandang bahwa pembangunan pedesaan sebagai suatu hubungan antar potensi yang dimiliki sang masyarakt desa serta dorongan berdasarkan luar buat mempercepat pemabangunan pedesaan.

Pembangunan desa adalah proses kegiatan pembangunan yg berlangsung didesa yg mencakup semua aspek kehidupan dan penghidupan warga . Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia no : 72 tahun 2005 tentang desa sebagaimana dimaksud pada ayat (dua) bahwa perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai menggunakan kewenangannya serta dari ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa.

Tujuan Perencanaan Pembangunan sebagai berikut:
1.mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.
2.menjamin sinkronisasi dan sinergi menggunakan pelaksanaan Pembangunan Daerah.
3.menjamin keterkaitan dan konsistensi antara Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan dan Pengawasan.
4. Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan Sumber Daya Desa secara efisien, efektif, berkeadilan serta berkelanjutan.

Kebijakan perencanaan pembangunan desa adalah suatu panduan-pedoman dan ketentuan-ketentuan yg dianut atau dipilih pada perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan di desa yang meliputi seluruh aspek kehidupan serta penghidupan warga sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat
- Produktivitas kegiatan ekonomi, seperti pertanian, peternakan mengalami peningkatan
- Proses produksi sedang mengalami perubahan relatif berat, melalui adopsi teknologi
- Komersialisasi sudah relatif tinggi, pasar digunakan buat menjual output dan membeli input produksi
- Penggunaan tenaga kerja luar dan adanya pasar upah tenaga kerja mulai berkembang
- Memanfaatkan teknologi baru
- Produksi berorientasi pasar. Sebagian besar dijual untuk pasar sebagai akibatnya jenis komoditi yg diproduksi selalu diubahsuaikan dengan keadaan harga pasar. Tujuan produksi adalah buat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
- Mulai menerapkan sistem Agribisnis Paradigma Pertanian berubah sebagai  Agribisnis dan Agroindustri serta perdagangan berkembang.
- Masyarakat sangat menghargai pedidikan, bersedia melakukan human  investment
- Masyarakat sudah mengadopsi kehidupan di kota. Perbedaannya aktivitas ekonominya merupakan berbasis pedesaan seperti pertanian, industri desa. Masalah-Masalah Dalam Pembangunan

Masalah yang dikemukakan oleh Chayanov serta boeke, terutama berdasarkan atas sistem sosial atau kebudayaan yg berakar dalam yg menciptakan Teori Ekonomi Modern seolah-olah tidak dapat diterapkan pada desa-desa atau warga seperti ini. Tetapi selain kasus yang dari dari sistem sosial atau kebudayaan, sebenarnya banyak masalah lain yang menyebabkan timbulnya perkara pembangunan desa kasus-perkara tersebut terutama adalah:
1. Masalah pertumbuhan penduduk penduduk yang berat, sehingga pemilikan tanah semakin berkurang, terutama dalam daerah yang terbatas lahannya (Sumber Daya Alam)
2. Tingkat Pendidikan rendah yang menyebabkan adopsi teknologi rendah dan stagnansi produk juga kasus lain yang bisa ada dengan serius misalnya kasus kesehatan, rendahnya produktivitas kerja dan masalah kepemimpinan desa 

Kabupaten Madiun menaruh kemudahan pada pembangunan prasarana seperti irigasi, drainase, dalam pemasaran output-hasil pertanian, pengadaan kapital buat pembaharuan usaha-bisnis pertanian (perkreditan serta akumulasi kapital)

Masalah ini perlu dimengerti keadaannya, agar kebijakan dan perencanaan pembangunan desa dapat dibuat dengan relatif lebih baik.

Pemerintahan Desa pada menyelenggarakan kewenangannya dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat belum dapat optimal lantaran terdapat banyak sekali perseteruan, misalnya;
1. Terlalu cepatnya perubahan banyak sekali peraturan perundang-undangan sebagai akibatnya menimbulkan kebingungan ditingkat pelaksana serta terkadang peraturan perundang-undangan yg diharapkan kurang lengkap dan memadai; 
2. Fasilitasi oleh Pemerintah serta Pemerintah Daerah masih tak jarang terlambat; 
3. Terbatasnya tingkat kesejahteraan para penyelenggaran pemerintahan desa; 
4. Sebagian kualitas aparat pemerintahan desa masih terbatas pada menggalang partisipasi masyarakat, menumbuhkan keswadayaan serta kemandirian pada menciptakan, memanfaatkan, memelihara serta menyebarkan output-hasil pembangunan;
5. Sangat terbatasnya sarana serta prasarana pemerintahan desa 
6. Belum terdapat kepastian mengenai kewenangan dan asal pendapatan 

Kebijakan Pembangunan Desa
Bertolak dari pertarungan diatas, Pemerintah memutuskan banyak sekali kebijakan buat memberdayakan, memantapkan, menguatkan Pemerintahan Desa. Kebijakan dimaksud antara lain:
(a) Pemantapan kerangka aturan
(b) Penataan wewenang dan baku pelayanan minimal Desa; 
(c) Pemantapan kelembagaan; 
(d) Pemantapan administrasi serta keuangan Desa;
(e) Peningkatan asal daya manusia penyelenggara pemerintahan desa dan 
(f) peningkatan kesejahteraan para penyelenggara pemerintahan desa.
Untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana diurai diatas, acara prioritas yang akan dilaksanakan sang Pemerintah Daerah meliputi: 

1. Pemantapan kerangka anggaran:
Lingkup kegiatannya yaitu; meningkatkan kecepatan penyelesaian Peraturan Pemerintah, perda, Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa yg sinkron menggunakan prinsip keanekaragaman, demokratisasi, otonomi, partisipasi dan pemberdayaan warga . 

2. Penataan organisasi dan wewenang: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan organisasi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta Lembaga Kemasyarakatan Desa beserta wewenang yg wajib dimilikinya; 

3. Pemantapan sumber pendapatan dan kekayaan desa: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan manajemen perimbangan keuangan antara Kabupaten/Kota menggunakan Desa terutama mengenai alokasi dana desa, upaya peningkatan pendapatan orisinil desa, upaya penga-daan bantuan menurut pemerintah dan pemerintah provinsi kepada desa, pembentukan badan usaha milik desa dan peningkatan dayaguna serta output guna aset yang dimiliki juga yg dikelola sang desa.

4. Penataan sistem informasi dan administrasi pemerintahan desa yg gampang, cepat, dan murah terutama yg berkaitan menggunakan kebutuhan dasar. 

5. Pemantapan serta pengembangan kapasitas:
Lingkup kegiatannya yaitu; menaikkan kapasitas Kepala Desa, Perangkat Desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa agar lebih bisa menyelenggarakan pelayanan kepada rakyat secara demokratis, transparan serta akuntabel berdasarkan nilai-nilai sosial budaya setempat. 

6. Pengadaan wahana serta prasarana: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penyediaan wahana serta prasarana pemerintahan desa yang memadai pada rangka melaksanakan tugas dan kegunaannya sebagai pelayan rakyat yg terdepan.

Beberapa program-program pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan, misalnya program bidang pangan, acara Inpres Desa Tertinggal, merupakan galat satu upaya pemerintah pada rangka membuatkan pedesaan dalam mengejar ketertinggalannya menurut perkotaan. Selain itu guna menyokong program pangan, pemerintah menyediakan donasi Kredit Usaha Tani ( KUT ) bagi para petani pada menaruh permodalan pada pengelolaan lahannya. 

Akan namun acara-acara tadi belum bisa menaikkan kesejahteraan petani karena harga beras lokal masih relative lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras impor. Sedangkan dana pengembalian KUT sampai saat ini poly yang menunggak karena petani nir sanggup membayar cicilan tadi. Adapun program IDT lebih cenderung dalam pembangunan fisik saja sehingga penekanan terhadap pembangunan masyarakat umum kurang tersentuh. Padahal berbagai dilema yang membutuhkan penanganan pembangunan rakyat desa sesungguhnya sangat mendesak, seperti ketertinggalaan desa dari kota hampIr di segala bidang, nir terakomodasinya impian serta kebutuhan masyarakat dalam acara-program pemerintah, serta kualiatas pendidikan serta kesejahteraan masih rendah. 

Berdasarkan pengalaman tadi telah seharusnya pendekataan pembangunan pedesaan mulai diarahkan secara integral dengan mempertimbangkan kekhasan daerah baik dilihat menurut sisi syarat, potensi dan prospek menurut masing-masing wilayah. Tetapi di dalam penyusunan kebijakan pembangunan pedesaan secara generik bisa dicermati pada 3 kelompok (Haeruman, 1997), yaitu :
  • Kebijakan secara nir pribadi diarahkan dalam penciptaan kondisi yg menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan pedesaan yang mendukung aktivitas sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana serta prasarana pendukung (pasar, pendidikan, kesehatan, jalan, serta lain sebagainya), penguatan kelembagaan, dan proteksi terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat melalui undang- undang. 
  • Kebijakan yang langsung diarahkan dalam peningkatan aktivitas ekonomi rakyat pedesaan. 
  • Kebijakan spesifik menjangkau warga melalui upaya khusus, misalnya penjaminan aturan melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap keamanan serta ketenangan masyarakat. 
  • Di samping itu kebijakan pembangunan pedesaan wajib dilaksanakan melalui pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dengan pernyataan yang mengkut sektor apa yg perlu dikembangkan buat mencapai tujuan pembangunan. Berbeda menggunakan pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitik beratkan dalam daerah mana yg perlu mendapat prioritas buat dikembangkan, baru kemudian sektor apa yang sinkron untuk dikembangkan pada masing-masing daerah. Di dalam kenyataan, pendekatan regional acapkali diambil tidak pada kerangka totalitas, melainkan hanya buat beberapa wilayah eksklusif, seperti daerah kolot, wilayah perbatasan, atau daerah yg diperlukan memiliki posisi trategis dalam arti ekonomi-politis. Oleh lantaran arah yg dituju merupakan adonan antara pendekatan sektoral dan regional, maka pembangunan daerah perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial.

PENGERTIAN KEBIJAKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Kebijakan Menurut Para Ahli
Kebijakan merupakan panduan-pedoman dan ketentuan-ketentuan yg dianut atau dipilih pada melaksanakan (memanage) suatu acara untuk mencapai tujuan eksklusif.

Perencanaan merupakan semua kegiatan (planning) yg dilakukan sebelum melakukan suatu aktivitas, menurut suatu acara proyek, yakni menentukan tujuan objective, tujuan antara, kebijakan, prosedur serta program. Sukirno (1985) mengemukakan pendapatnya mengenai konsep pembangunan, memiliki tiga sifat penting, yaitu : proses terjadinya perubahan secara terus menerus, adanya usaha buat menaikkan pendapatan perkapita masyarakat serta kenaikan pendapatan rakyat yang terjadi pada jangka ketika yang,panjang.

Menurut Todaro (1998) pembangunan bukan hanya kenyataan semata, tetapi pada akhirnya pembangunan tadi wajib melampaui sisi materi serta keuangan berdasarkan kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan idealnya dipahami menjadi suatu proses yang berdimensi jamak, yang melibatkan kasus pengorganisasian dan peninjauan balik holistik sistem ekonomi dan sosial. Berdimensi jamak pada hal ini adalah membahas komponen-komponen ekonomi juga non ekonomi Todaro (1998) menambahkan bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan balik menggunakan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam kontenks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yang sedang berkembang.

Rostow (1971) jua menyatakan bahwa pengertian pembangunan tidak hanya pada lebih poly hasil yang dihasilkan tetapi juga lebih poly output daripada yg diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan : masyarakat tradisional, pra kondisi tanggal landas, lepas landas, gerakan menuju kematangan serta masa konsumsi akbar-besaran. Kunci diantara tahapan ini merupakan tahap lepas landas yg didorong sang satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor utama ini telah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang bergerak maju.

Menurut Hanafiah (1892) pengertian pembangunan mengalami perubahan lantaran pengalaman dalam tahun 1950-an sampai tahun 1960-an memberitahuakn bahwa pembangunan yg berorientasi pada kenaikan pendapatan nasional tidak bisa memecahkan masalah pembangunan. Hal ini terlihat dari tingkat hidup sebagian akbar masyarakat nir mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan pendapatan nasional per tahun semakin tinggi. Dengan kata lain, terdapat tanda-tanda kesalahan besar pada mengartikan istilah pembangunan secara sempit.

Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana mempertinggi pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu nir bisa diartikan sebagai aktivitas-aktivitas yg dilakukan negara buat berbagi kegiatan ekonomi serta taraf hayati masyarakatnya.

Berbagai sudut pandang dapat dipakai buat mempelajari pembangunan pedesaan. 
Menurut Haeruman ( 1997 ), terdapat dua sisi pandang buat menelaah pedesaan, yaitu: 
1. Pembangunan pedesaan dicermati sebagai suatu proses alamiah yang bertumpu dalam potensi yg dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sebagai akibatnya perubahan yg diperlukan berlangsung dalam rentang saat yg panjang. 
2) Sisi yang lain memandang bahwa pembangunan pedesaan menjadi suatu interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakt desa serta dorongan dari luar buat meningkatkan kecepatan pemabangunan pedesaan.

Pembangunan desa merupakan proses kegiatan pembangunan yg berlangsung didesa yang meliputi seluruh aspek kehidupan serta penghidupan warga . Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia no : 72 tahun 2005 mengenai desa sebagaimana dimaksud pada ayat (dua) bahwa perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sinkron dengan kewenangannya serta menurut ayat (tiga) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa harus melibatkan forum kemasyarakatan desa.

Tujuan Perencanaan Pembangunan menjadi berikut:
1.mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.
2.menjamin sinkronisasi serta sinergi dengan pelaksanaan Pembangunan Daerah.
3.menjamin keterkaitan serta konsistensi antara Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan serta Pengawasan.
4. Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan Sumber Daya Desa secara efisien, efektif, berkeadilan serta berkelanjutan.

Kebijakan perencanaan pembangunan desa adalah suatu panduan-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan pada desa yang meliputi semua aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat sebagai akibatnya dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat
- Produktivitas aktivitas ekonomi, seperti pertanian, peternakan mengalami peningkatan
- Proses produksi sedang mengalami perubahan relatif berat, melalui adopsi teknologi
- Komersialisasi sudah relatif tinggi, pasar dipakai buat menjual output dan membeli input produksi
- Penggunaan energi kerja luar dan adanya pasar upah energi kerja mulai berkembang
- Memanfaatkan teknologi baru
- Produksi berorientasi pasar. Sebagian besar dijual buat pasar sehingga jenis komoditi yang diproduksi selalu diadaptasi dengan keadaan harga pasar. Tujuan produksi merupakan buat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
- Mulai menerapkan sistem Agribisnis Paradigma Pertanian berubah menjadi  Agribisnis dan Agroindustri serta perdagangan berkembang.
- Masyarakat sangat menghargai pedidikan, bersedia melakukan human  investment
- Masyarakat sudah mengadopsi kehidupan di kota. Perbedaannya kegiatan ekonominya adalah berbasis pedesaan seperti pertanian, industri desa. Masalah-Masalah Dalam Pembangunan

Masalah yang dikemukakan oleh Chayanov serta boeke, terutama berdasarkan atas sistem sosial atau kebudayaan yang berakar dalam yang membuat Teori Ekonomi Modern seolah-olah nir bisa diterapkan pada desa-desa atau rakyat seperti ini. Tetapi selain perkara yg berasal menurut sistem sosial atau kebudayaan, sebenarnya banyak perkara lain yg mengakibatkan timbulnya kasus pembangunan desa kasus-masalah tersebut terutama adalah:
1. Masalah pertumbuhan penduduk penduduk yg berat, sehingga pemilikan tanah semakin berkurang, terutama pada wilayah yg terbatas lahannya (Sumber Daya Alam)
2. Tingkat Pendidikan rendah yang mengakibatkan adopsi teknologi rendah dan stagnansi produk juga perkara lain yg sanggup ada menggunakan berfokus misalnya perkara kesehatan, rendahnya produktivitas kerja serta masalah kepemimpinan desa 

Kabupaten Madiun menaruh kemudahan pada pembangunan prasarana seperti irigasi, drainase, dalam pemasaran hasil-output pertanian, pengadaan kapital buat pembaharuan usaha-bisnis pertanian (perkreditan dan akumulasi kapital)

Masalah ini perlu dimengerti keadaannya, supaya kebijakan serta perencanaan pembangunan desa dapat dibuat menggunakan cukup lebih baik.

Pemerintahan Desa dalam menyelenggarakan kewenangannya dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan buat mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat belum bisa optimal lantaran terdapat banyak sekali konflik, misalnya;
1. Terlalu cepatnya perubahan banyak sekali peraturan perundang-undangan sehingga mengakibatkan kebingungan ditingkat pelaksana serta terkadang peraturan perundang-undangan yang diharapkan kurang lengkap dan memadai; 
2. Fasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah masih seringkali terlambat; 
3. Terbatasnya taraf kesejahteraan para penyelenggaran pemerintahan desa; 
4. Sebagian kualitas aparat pemerintahan desa masih terbatas pada menggalang partisipasi warga , menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian dalam membangun, memanfaatkan, memelihara serta berbagi output-output pembangunan;
5. Sangat terbatasnya sarana serta prasarana pemerintahan desa 
6. Belum terdapat kepastian mengenai wewenang dan asal pendapatan 

Kebijakan Pembangunan Desa
Bertolak berdasarkan konflik diatas, Pemerintah tetapkan berbagai kebijakan untuk memberdayakan, memantapkan, menguatkan Pemerintahan Desa. Kebijakan dimaksud antara lain:
(a) Pemantapan kerangka aturan
(b) Penataan kewenangan serta baku pelayanan minimal Desa; 
(c) Pemantapan kelembagaan; 
(d) Pemantapan administrasi dan keuangan Desa;
(e) Peningkatan sumber daya manusia penyelenggara pemerintahan desa serta 
(f) peningkatan kesejahteraan para penyelenggara pemerintahan desa.
Untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana diurai diatas, program prioritas yang akan dilaksanakan sang Pemda meliputi: 

1. Pemantapan kerangka aturan:
Lingkup kegiatannya yaitu; meningkatkan kecepatan penyelesaian Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa serta Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa yg sinkron menggunakan prinsip keanekaragaman, demokratisasi, swatantra, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. 

2. Penataan organisasi dan wewenang: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan organisasi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta Lembaga Kemasyarakatan Desa bersama wewenang yang wajib dimilikinya; 

3. Pemantapan sumber pendapatan serta kekayaan desa: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan manajemen perimbangan keuangan antara Kabupaten/Kota dengan Desa terutama mengenai alokasi dana desa, upaya peningkatan pendapatan orisinil desa, upaya penga-daan bantuan menurut pemerintah dan pemerintah provinsi kepada desa, pembentukan badan usaha milik desa dan peningkatan dayaguna dan output guna aset yang dimiliki juga yg dikelola sang desa.

4. Penataan sistem kabar dan administrasi pemerintahan desa yang mudah, cepat, serta murah terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dasar. 

5. Pemantapan serta pengembangan kapasitas:
Lingkup kegiatannya yaitu; menaikkan kapasitas Kepala Desa, Perangkat Desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa agar lebih bisa menyelenggarakan pelayanan pada warga secara demokratis, transparan serta akuntabel menurut nilai-nilai sosial budaya setempat. 

6. Pengadaan wahana serta prasarana: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penyediaan wahana dan prasarana pemerintahan desa yg memadai pada rangka melaksanakan tugas serta manfaatnya menjadi pelayan warga yg terdepan.

Beberapa acara-acara pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan, contohnya program bidang pangan, acara Inpres Desa Tertinggal, merupakan salah satu upaya pemerintah pada rangka mengembangkan pedesaan dalam mengejar ketertinggalannya menurut perkotaan. Selain itu guna menyokong acara pangan, pemerintah menyediakan bantuan Kredit Usaha Tani ( KUT ) bagi para petani pada menaruh permodalan dalam pengelolaan lahannya. 

Akan tetapi program-program tersebut belum sanggup menaikkan kesejahteraan petani lantaran harga beras lokal masih relative lebih tinggi dibandingkan menggunakan harga beras impor. Sedangkan dana pengembalian KUT hingga ketika ini poly yang menunggak lantaran petani nir mampu membayar cicilan tersebut. Adapun program IDT lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga fokus terhadap pembangunan masyarakat generik kurang tersentuh. Padahal berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan pembangunan rakyat desa sesungguhnya sangat mendesak, misalnya ketertinggalaan desa dari kota hampIr di segala bidang, nir terakomodasinya harapan dan kebutuhan rakyat dalam program-program pemerintah, serta kualiatas pendidikan serta kesejahteraan masih rendah. 

Berdasarkan pengalaman tersebut telah seharusnya pendekataan pembangunan pedesaan mulai diarahkan secara integral menggunakan mempertimbangkan kekhasan wilayah baik dilihat menurut sisi syarat, potensi serta prospek berdasarkan masing-masing wilayah. Tetapi pada pada penyusunan kebijakan pembangunan pedesaan secara generik dapat ditinjau pada 3 grup (Haeruman, 1997), yaitu :
  • Kebijakan secara tidak langsung diarahkan dalam penciptaan syarat yg mengklaim kelangsungan setiap upaya pembangunan pedesaan yang mendukung aktivitas sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana dan prasarana pendukung (pasar, pendidikan, kesehatan, jalan, serta lain sebagainya), penguatan kelembagaan, serta proteksi terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat melalui undang- undang. 
  • Kebijakan yg langsung diarahkan pada peningkatan kegiatan ekonomi warga pedesaan. 
  • Kebijakan khusus menjangkau warga melalui upaya spesifik, seperti penjaminan aturan melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap keamanan dan ketenangan masyarakat. 
  • Di samping itu kebijakan pembangunan pedesaan wajib dilaksanakan melalui pendekatan sektoral serta regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dengan pernyataan yg mengkut sektor apa yang perlu dikembangkan buat mencapai tujuan pembangunan. Berbeda menggunakan pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitik beratkan pada wilayah mana yang perlu mendapat prioritas buat dikembangkan, baru kemudian sektor apa yang sinkron untuk dikembangkan di masing-masing daerah. Di dalam fenomena, pendekatan regional seringkali diambil nir pada kerangka totalitas, melainkan hanya buat beberapa daerah tertentu, seperti wilayah kolot, wilayah perbatasan, atau daerah yang dibutuhkan mempunyai posisi trategis pada arti ekonomi-politis. Oleh karena arah yang dituju merupakan campuran antara pendekatan sektoral dan regional, maka pembangunan daerah perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial.

PENJELASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Penjelasan Desentralisasi Pendidikan 
Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dalam hakekatnya memberi wewenang dan keleluasaan kepada pemerintah daerah buat mengatur dan mengurus kepentingan warga setempat menurut prakarsa sendiri dari aspirasi warga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan pada daerah kabupaten dan kota dari azas desentralisasi pada wujud swatantra luas, konkret serta bertanggung jawab.

Berkaitan dengan aspirasi warga , ditegaskan juga bahwa wilayah dibuat menurut kehendak masyarakat setempat menggunakan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah dan berbagai kondisi lain yang memungkinkan wilayah menyelenggarakan otonomi daerah (Pasal lima ayat 1 serta Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).

Dipertegas juga “Bahwa bidang pendidikan adalah bidang yg termasuk pada garapan kewenangan wilayah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah sentra yang dikenal menggunakan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi pada penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan memiliki implikasi eksklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional dan manajemen pendidikan. Bidang-bidang yang terkait eksklusif dengan sistem tadi merupakan kebijaksanaan, supervisi, mutu serta asal dana pendidikan”.

Pendelegasian mampu berarti penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, atau berdasarkan pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau menurut unit ke unit dibawahnya, termasuk pula berdasarkan pemerintah ke rakyat. Salah satu wujud desentralisasi yg dimaksud merupakan terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, tetapkan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yg jangkauannya bersifat nasional. Lantaran itu tidak semua wewenang dapat didesentralisasikan.

Kalster (2000 : 11), mengungkapkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat menaikkan efisiensi, relevansi. Pemerataan dan mutu pendidikan serta memenuhi azas keadilan serta demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa terdapat potensi yg memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Pemberdayaan sekolah dengan menaruh otonomi lebih besar , pada samping memperlihatkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan warga jua dapat ditunjukkan menjadi wahana peningkatan efesiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Penekanan tersebut berubah dari ketika ke ketika sesuai menggunakan konflik yang dihadapi oleh pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang tidak dapat dihindari dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yg relatif buat pendidikan serta menurunnya kemampuan menjadi orang tua buat membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tersebut secara pribadi menyebabkan menurunnya mutu pendidikan dan terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu dalam control juga pembiayaan sebagai akibatnya bisa lebih berkonsentrasi dalam masyarakat kurang sanggup yg semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam prinsip desentralisasi pula mendukung efesiensi tadi, keterlibatan ketua sekolah, serta guru pada pengambilan keputusan sekolah yang dalam akhirnya mendorong mereka untuk memakai sumber daya yang ada seefesien mungkin buat mencapai output yg optimal.

Pemberian swatantra yg luas kepada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap tanda-tanda-tanda-tanda yg timbul di rakyat dan upaya peningkatan mutu pendidikan secara generik. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah supaya dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan aneka macam komponen rakyat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada pada sekolah. Dengan landasan tadi, pemerintah mencoba buat menerapkan desentralisasi pendidikan menjadi solusi. Selain hal tersebut diatas, terdapat beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, grup rakyat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru buat turut dan mengontrol sekolah serta menilai kualitas pendidikan. Kedua, asumsi bahwa struktur pendidikan yang terpusat nir dapat bekerja dengan baik dalam menaikkan partisipasi murid bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yg terdapat buat merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat serta rakyat yang majemuk. Keempat, penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh donasi dan pendanaan. (Umiarso serta Imam Gojali,2010:47-48)

Dengan demikian, misi primer desentralisasi pendidikan merupakan menaikkan partisipasi masyarakat pada penyelenggaran pendidikan, menaikkan eksploitasi potensi wilayah, dan terciptanya infrastruktur kedaerahan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yg relevan dengan tuntutan zaman, seperti terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan menggunakan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, rakyat, dan orang tua pada interaksi kemitraan serta menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum pula wajib sanggup berbagi kebudayaan daerah pada rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian wewenang, serta inovasi pendidikan.

Hal yang menarik adalah desentralisasi pendidikan akan berimplikasi dalam tataran global baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang dalam pendidikan buat menciptakan peserta didik supaya lebih mengerti dan berbakti buat kepentingan serta kesejahteraan beserta menggunakan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tadi, tercipta juga kearifan ekologi yg merupakan butir berdasarkan inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau warga .

Pertanyaan terpenting mengenai arah desentralisasi pendidikan adalah sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi wewenang yg lebih akbar memilih kebijakan-kebijakan mengenai organisasi serta proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur serta perencanaan pada taraf sekolah, serta sumber-asal pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yg efektif nir hanya melibatkan proses hadiah kewenagan serta pendanaan yang lebih akbar dari pusat ke wilayah, namun jua meliputi pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih besar ke sekolah-sekolah, sebagai akibatnya mereka dapat merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sesuai dengan kondisi serta kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu pada desentralisasi pendidikan ada target primer progaram restrukturisasi sistem serta manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya meliputi hal-hal berikut:
(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan bergerak maju, serta mencerminkan desentralisasi serta pemberdayaan warga pada penyelenggaraan pendidikan.
(b) Sarana pendidikan serta fasilitas pembelajaran dibakukan menurut prinsif edukatif sehingga forum pendidikan merupakan tempat yang menyenangkan buat belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat agama.
(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar wajib melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas serta harus mengajar.
(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu dalam penerapan sistem pembelajaran tuntas, nir terikat dalam penyelesaian sasaran kurikulum secara seragam persemester dan tujuan ajaran.
(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan menggunakan aneka macam modus pendekatan pembelajaran, peserta didik aktif sinkron dengan taraf kesulitan konsep-konsep dasar yg dipelajari.
(f) Sistem penilaian hasil belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap forum pendidikan sebagi konsekuensi menurut aplikasi pembelajaran tuntas.
(g) Kegiatan supervisi dan akreditasi. Supervisi dan pelatihan administrasi dan akademis dilakukan oleh unsur manajemen taraf sentra serta provinsi bertujuan buat pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan buat menjamin mutu pelayanan kelembagaan.
(h) Pendidikan berbasis masyarakat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan serta pemagangan di tempat kerja pada rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional.
i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost serta subsidi pendidikan wajib berdasarkan dalam bobot penyelenggaraan pendidikan yg memperhatikan jumlah siswa, kesulitan komunikasi, taraf kesejahteraan rakyat, tingkat partisipasi pendidikan, serta kontribusi rakyat terhadap pendidikan pada setiap sekolah. 

Berdasarkan hal tadi pada atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan pendidikan yg menaruh kewenangan lebih poly kepada daerah kabupaten serta kota pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan bisa berjalan lebih efektif serta efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yg terpusat secara sentralistik telah poly membuang biaya serta saat sampai datang pada tahap target pendidikan yang sesungguhnya misalnya perbaikan kualitas serta personil pendidikan sekolah serta peserta didik di daerah. Maka Di era swatantra wilayah kebijakan strategis yg diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar serta Menengah merupakan : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang memberi kewenangan dalam sekolah buat merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara holistik; (dua) Pendidikan yg berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) supaya terjadi hubungan yg positif antara sekolah dengan warga , sekolah sebagai community learning centre; serta (tiga) Dengan memakai paradigma belajar atau learning paradigma yg akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner sebagai insan yg diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yg memberi pembekalan kepada pelajar buat siap bekerja menciptakan keluarga sejahtera. 

Dengan pendekatan itu setiap anak didik diperlukan akan menerima pembekalan life skills yg berisi pemahaman yg luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya supaya akrab serta saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya bisa memperoleh masukan baru berdasarkan manusia yg mencintainya, serta lingkungannya dapat menaruh topangan hayati yg mengantarkan insan yg mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) pada menaruh perhatian serta kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yg keanggotaannya bukan hanya orangtua murid yg belajar di sekolah tadi, namun mengikutsertakan pula guru, anak didik, tokoh warga serta pemerintahan di kurang lebih sekolah, serta bahkan pengusaha.

Tujuan program MBS pada antaranya menuntut sekolah agar bisa menaikkan kualitas penyelenggaraan serta layanan pendidikan (quality insurance) yg disusun secara beserta-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan pada sekolah tadi, melainkan membantu jua mengawasi serta mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu pada antaranya, diharapkan bisa memutuskan Rencana Anggaran Pendapatan serta Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi berdasarkan ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua anak didik buat membantu operasional sekolah untuk menggapai kualitas pendidikan.

Sebetulnya,semenjak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-asal pendanaan pendidikan, baik menjadi dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun buat peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk juga buat peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite di tingkatan pendidikan dasar (Sekolah Dasar/MI serta Sekolah Menengah pertama/MTs) yang telah mulai mengagumkan ini terhapus pulang sang program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai keliru satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sebagai akibatnya bisa membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Tetapi, wacana yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian warga terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun pada MBS. Dari hal pada atas, dalam beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menduga misalnya halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, tidak heran bila poly sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan sang komite sekolah, sembari berharap tiba oleh penyelamat, yaitu pemerintah. 

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa kasus. Pengelolaan pendidikan dalam satuan pendidikan tertentu (sekolah) menjadi wewenang kepala sekolah. Demikian juga, penyelenggaraan pendidikan pada kelas memang seluruhnya wajib sebagai wewenang pengajar. Berdasarkan wewenang profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Namun, dalam SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan output belajar murid masih menjadi “proyek pemerintah sentra” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian jua pada taraf SD pada kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi wewenang dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah sentra mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau menurut hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian berdasarkan tugas pedagogi seseorang pengajar, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” sang birokrasi pendidikan. 

Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yg masih 1/2 hati diserahkan. Sehubungan menggunakan penilaian kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih muncul bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan acara peningkatan mutu pendidikan. Sampai waktu ini hasil menurut kebijakan tadi belum tampak, namun berbagai improvisasi di daerah telah menerangkan rona yg lebih baik. Misalnya, beberapa langkah program yang sudah dijalankan pada beberapa daerah, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah menjadi pengganti BP3.
(tiga) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan pada sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi pada penerimaan siswa baru
(lima) Pemberian bonus pada pengajar-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta donasi alat-alat praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM menjadi contoh pemberian beasiswa pada pengajar buat mengikuti program Pascasarjana. 

Kebijakan swatantra pendidikan dalam konteks swatantra wilayah menjadi berikut, diantaranya: a) Secara general swatantra pendidikan menuju pada upaya mempertinggi mutu pendidikan menjadi jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih menurut 20 tahun bergelut dengan dilema-dilema kuantitas, b) Pada sisi otonomi wilayah, otonomi pendidikan menunjuk dalam menipisnya wewenang pemerintah pusat dan membengkaknya wewenang wilayah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yang harus disertai menggunakan tumbuhnya pemberdayaan dan partisipasi warga , c) Terdapat potensi tarik menarik antara otonomi pendidikan pada konteks swatantra wilayah pada menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial sebagai kekuatan tarik menarik antara pemerintahan wilayah otonom serta institusi pendidikan. D) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar swatantra pendidikan dapat berjalan pada relny, e) Pada taraf persekolahan, otonomi pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi dan prinsip School Based Management pada taraf pedidikan dasar serta menengah; penataan kelembagaan dalam level serta loka yg sebagai faktor kunci keberhasilan otonomi pendidikan, f) Sudah selayaknya jika swatantra pendidikan wajib bergandengan menggunakan kebijakan akuntabiliti terutama yg berkaitan dengan mekanisme pendanaan atau pembiayaan pendidikan, g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan swatantra masih permanen berada dalam kerangka otonomi keilmuan, h) Dalam konteks otonomi wilayah, kebijakan swatantra pendidikan tinggi bisa ditempatkan bukan dalam kepentingan daerah semata-semata melainkan pada fenomena bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yang terkandung di dalamnya, swatantra pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6) 

Menurut Fransisca Kemmerer pada Ali Muhdi 2007:149, ada empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan kewenangan ke pengaturan taraf yang lebih rendah pada jajaran birokrasi sentra.
b) Pendelegasian, yaitu pengalihan wewenang ke badan quasi pemerintah atau badan yang dikelola secara publik
c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d) Swastanisasi, berupa pendelegasian wewenang ke badan bisnis swasta atau perorangan.

Dalam kasus Indonesia, sejauh yang sudah dilakukan nampaknya cenderung mengambil bentuk yg terakhir, swastanisasi.menguatnya aspirasi swatantra serta desentralisasi khususnya pada bidang pendidikan, nir terlepas menurut fenomena adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa pada antara masalah dan kelemahan yg seringkali diangkat dalam konteks ini merupakan:1) Kebijakan pendidikan nasional yang sangat sentralistik serta serba seragam, yg dalam gilirannya mengabaikan keragaman sesuai dengan realita warga Indonesia pada berbagai wilayah.2) Kebijakan serta penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi pada pencapaian sasaran kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yg efektif serta mampu menjangkau seluruh ranah dan potensi murid. Proses pembelajaran sangat berorientasi dalam ranah kognitif dengan pendekatan formalisme serta dalam waktu yang sama, cenderung mengabaikan ranah afektif serta psikomotorik.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.
Kebijakan (policy) secar etimologi (asal kata) diturunkan menurut bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang merupakan kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan menggunakan gagasan pengaturan organisasi serta merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah/lembaga sebagai akibatnya dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan dalam Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) menjelaskan kebijakan adalah keputusan pemerintah yg bersifat generik serta berlaku buat semua anggota warga .kebijakan adalah aturan tertulis yg adalah keputusan formal organisasi, yg bersifat mengikat, yang mengatur prilaku menggunakan tujuan untuk menciptakan rapikan nilai baru pada rakyat. Kebijakan akan menjadi acum utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat pada berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan Hukum (Law) serta Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan pula mengatur “apa yg boleh, dan apa yang nir boleh”. Kebijakan pula diharapkan bisa bersifat generik tetapi tanpa menghilangkan karakteristik lokal yg khusus. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sinkron kondisi khusus yang terdapat.masih banyak kesalahan pemahaman juga kesalahan konsepsi mengenai kebijakan. Beberapa orang menyebut policy dalam sebutan kebijaksanaan, yang maknanya sangat tidak sama dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yg dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah anggaran tertulis output keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (dua) Peraturan Pemerintah, (tiga) Keppres, (4) Kepmen, (lima) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yg dicontohkan disini merupakan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan dalam kita bahwa ruang lingkup kebijakan bisa bersifat makro, meso, dan mikro. Ali Imron pada bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan mengungkapkan bahwa kebijakan pendidikan adalah keliru satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) menaruh pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) menjadi suatu pertimbangan yang berdasarkan atas system nilai dan beberapa evaluasi atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tadi dijadikan menjadi dasar buat mengopersikan pendidikan yg bersifat melembaga. Pertimbangan tadi merupakan perencanaan yg dijadikan menjadi panduan buat merogoh keputusan, supaya tujuan yg bersifat melembaga sanggup tercapai. 

Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yg ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia nir mampu berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan mampu berubah. Ketika kebijakan politik pada serta luar negeri, kebijakan pendidikan umumnya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri bisa jua mengganti kebijakan yg sudah mapan dalam jamannya. Bukan hal yg aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih jangan lupa dibenak kita terdapat pelajaran PSPB yg secara prinsipil tidak jauh berbeda menggunakan IPS sejarah dan lucunya materi itu pun pada pelajari pada PMP (kini PKN/PPKN).

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut menggunakan adanya tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini mengambarkan bahwa kesamaan warga dalam masa sekarang tidak selaras dengan masa kemudian. Fasli Jalal dan Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa kemudian warga cenderung mendapat apa pun yang diberikan oleh pendidikan, maka sekarang mereka tidak menggunakan gampang mendapat apa yg diberikan sang pendidikan.

Masyarakat yang notabene membayar pendidikan merasa berhak buat memperoleh pendidikan yg lebih baik bagi dirinya serta anak-anaknya. Bagi lembaga-forum pendidikan hal ini mulai disadari dan disikapi dengan melakukan redesain sistem yang mampu menjawab tuntutan rakyat. Caranya merupakan berbagi contoh manajemen pendidikan yg akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya buat mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yang relevan yang memperhitungkan kebutuhan rakyat, kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yg kuat untuk mencapai keunggulan, sarana penunjang yg mamadai, serta perangkat aturan yang kentara dan dilaksanakan secara konsisten sang institusi pendidikan yg bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan pada atas membutuhkan proses dan waktu yg tidak singkat. Sebab nir saja diperlukan kemauan namun pula kemampuan buat melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang bisa berubah, jika beliau memiliki kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan jua mensyaratkan adanya manajemen yg tinggi. 

Di Indonesia telah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yg bertumpu pada sekolah serta warga . Model manajemen ini menuntut keterlibatan yang tinggi menurut stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS telah timbul manajemen berpartisipasi tinggi yang membutuhkan empat sumber daya krusial: 1) informasi, 2) pengetahuan, 3) keterampilan, 4) penghargaan serta hukuman." Empat asal daya ini jika dikelola secara baik akan menaikkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan hasil yang berkualitas. 

Akuntabilitas yang tinggi hanya bisa dicapai menggunakan pengelolaan sumber daya sekolah secara efektif serta efisien. Akuntabilitas nir datang dengan sendiri setelah forum-forum pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada tiga hal yang mempunyai kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi serta akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yang bisa memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, serta akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dipercaya telah memenuhi seluruh persyaratan dan mempunyai kompetensi yg dituntut berhak menerima sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yg dinilai bisa menjamin produk yang bermutu disebut menjadi forum terakreditasi (accredited). 

Lembaga pendidikan yg terakreditasi serta dievaluasi bisa untuk membentuk lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga serta mengklaim mutuya sebagai akibatnya dihargai sang masyarakat merupakan lembaga pendidikan yg akuntable. Institusi pendidikan yg akuntabel merupakan institusi pendidikan yang bisa menjaga mutu keluarannya sehingga bisa diterima oleh rakyat. Jadi, dalam hal ini akuntabel tidaknya suatu lembaga pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu forum pula bergantung kepada kemampuan suatu forum pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yg pertama menjadi akuntabilitas kinerja, sementara yang ke 2 sebagai akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yg diterapkan di Indonesia pula mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. 

Menurut Slamet (2005:6): MBS wajib dipahami sebagai model hadiah wewenang yg lebih akbar pada sekolah, yang meliputi kewenangan mengatur dan mengurus sekolah, merogoh keputusan, mengelola, memimpin, dan mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah tidak sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah wajib bertanggung jawab terhadap apa yg dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan kepada publik tentang apa yang dikerjakan menjadi konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah mampu mempertanggungjawabkan wewenang yg diberikan pada publik, tentu sebagai tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal serta Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan pada Indonesia poly instituasi pendidikan yang lemah serta nir sedikit institusi pendidikan yg nir akuntabel.

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan sudah seharusnya lebih akuntabel kepada rakyat dan kecenderungan umum bahwa berita-berita pendidikan seharusnya terbuka sudah membuka ruang bagi buat menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas dalam penyelenggaraan pendidikan, pula masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan fundamental pada sistem pendidikan, berita akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah sebagai basis penerapan manajemen pendidikan dituntut harus bisa mewujudkan akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:5), "Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk menaruh pertanggung jawaban atau buat menjawab dan menunjukkan kinerja serta tindakan penyelenggara organisasi pada pihak yg mempunyai hak atau kewajiban buat meminta fakta atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias dikaitkan menggunakan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya bisa terjadi apabila ada partisipasi berdasarkan stakeholders sekolah. Semakin mini partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah juga akuntabilitas sekolah.jadi,kalau disimpulkan akuntabilitas merupakan kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yang diperoleh menjadi hasil partisipasi dari stakeholders. 

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, legal and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yg terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, hukum, dan keuangan menuntut tanggung jawab berdasarkan sekolah buat mewujudkannya, tidak saja bagi publik namun pertama-tama wajib dimulai bagi warga sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas dari guru. Secara moral maupun secara formal (anggaran) pengajar mempunyai tanggung jawab bagi murid juga orang tua murid buat mewujudkan proses pembelajaran yg baik. Pendapat Headington memberi tekanan dalam akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, pula pada Negara-negara yg sudah menerapkan MBS, terjadi kekacauan pada memahami MBS, bahwa acapkali aspek pembelajaran dipahami terpisah menggunakan MBS. Apa yg dikatakan sang David Marsh adalah sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS nir dipahami sebagai sebuah inovasi yg terpisah menurut pembelajaran. Jadi, jika Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yg dimotori oleh pengajar, maka sebenarnya ini merupakan bagian hakiki pada penerapan MBS yang tidak boleh diabaikan sang sekolah. 

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya agama publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yang tinggi akan sekolah dapat mendorong partisipasi yang lebih tinggi jua terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dipercaya menjadi agen bahkan asal perubahan rakyat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan primer akuntabilitas adalah buat mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah menjadi galat satu syarat buat terciptanya sekolah yang baik serta terpercaya. Penyelenggara sekolah harus tahu bahwa mereka wajib mempertanggung jawabkan output kerja pada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan sang sekolah, untuk mengikutsertakan publik dalam supervisi pelayanan pendidikan dan buat mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan pada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas pada atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir menurut sistem penyelenggaran manajemen sekolah, namun adalah faktor pendorong munculnya kepercayaan dan partisipasi yang lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru menjadi titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yg berkinerja tinggi. 

1. Pelaksanaan Akuntabilitas dalam MBS. 
Penerapan prinsip akuntabilitas pada penyelenggaraan manejemen sekolah mendapat relevansi ketika pemerintah menerapkan swatantra pendidikan yang ditandai dengan anugerah wewenang pada sekolah buat melaksanakan manajemen sinkron menggunakan kekhasan dan kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan kewenangan tadi, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat dengan masyarakat yang merupakan pemberi mandat pendidikan. Oleh lantaran manajemen sekolah semakin dekat menggunakan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas pada pengelolaan merupakan hal yang nir bisa ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dalam rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi wewenang mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak mempunyai peluang melakukan defleksi untuk melakukan korupsi, kongkalikong , serta nepotisme. 

Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sehingga berperan akbar pada memenuhi aneka macam aspek kepentingan rakyat. Akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal serta akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut interaksi antara pengelola sekolah menggunakan warga . Sekolah serta orang tua murid. Antara sekolah dan instansi di atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut interaksi antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah menggunakan komite, dan antara ketua sekolah dengan pengajar. Pengelola sekolah harus mampu mempertanggungjawabkan semua komponen pengelolaan MBS kepada masyarakat. Komponen pertama yg wajib melaksanakan akuntabilitas adalah guru. Mengapa, lantaran inti berdasarkan seluruh aplikasi manajemen sekolah merupakan proses belajar mengajar. Dan pihak pertama pada mana pengajar harus bertanggung jawab merupakan anak didik. Pengajar wajib bisa melaksanakan ini dalam tugasnya sebagai pengajar. 

Akuntabilitas pada pedagogi dicermati dari tanggung jawab guru dalam hal menciptakan persiapan, melaksanakan pedagogi, serta mengevaluasi anak didik. Selain itu pada hal keteladan, seperti disiplin, kejujuran, hubungan menggunakan murid sebagai penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning. Akuntabilitas tidak saja menyangkut proses pembelajaran, namun pula menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas hasil. Akuntabilitas keuangan bisa diukur dari semakin kecilnya penyimpangan pada pengelolaan keuangan sekolah. Baik asal-sumber penerimaan, besar kecilnya penerimaan, juga peruntukkannya bisa dipertanggungjawabkan sang pengelola. 

Pengelola keuangan yang bertanggung jawab akan mendapat kepercayaan dari masyarakat sekolah dan rakyat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi tidak akan dianggap. Akuntabilitas tidak saja menyangkut sistem namun juga menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yg baik dan didukung oleh sistem yg baik akan mengklaim pengelolaan keuangan yg higienis, serta jauh berdasarkan praktek korupsi. 

Fakta menyangkut praktek korupsi pada dunia pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) awal tahun 2008 bahwa, korupsi dalam dunia pendidikan telah menjamah, mulai dari Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, sampai di sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, karena berbanding terbalik dengan apa yang seharusnya diajarkan forum pendidikan kepada anak bangsa, nir saja dari segi intelektual tetapi pula moral. Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi global pendidikan. Oleh karenanya dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah wajib jauh dari praktik korupsi, kongkalikong serta nepotisme. Akuntabilitas juga semakin memiliki arti, saat sekolah mampu mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang sanggup mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yg memiliki taraf efektivitas output tinggi. Dan sekolah yang memiliki taraf efektivitas outputnya tinggi, akan meningkatkan efisiens eksternal. 

2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS. 
Codd (1999), seseorang ahli kebijakan pendidikan pada Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif global, akuntabilitas ditentukan oleh kesamaan manusia yang mengutamakan kebebasan. Kebebasan yg timbul secara baru (neoliberalisme) ikut menghipnotis ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya memiliki ciri yg tidak sinkron, ini disebabkan sang karena titik tolak kedunya tidak sinkron. Akuntabilitas eksternal didasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal berdasarkan pada tanggung jawab profesional, dengan melekat sebuah konsep agen moral. Oleh karena pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini tidak sinkron, maka hal-hal yang diperlihatkanpun tidak sinkron. Misalnya, akuntabilitas eksternal mempunyai agama yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru kebalikannya memiliki kepercayaan yang tinggi. Selanjutnya berdasarkan segi tanggung jawab, dalam akuntabilitas eksternal terdapat kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan. 

Dari segi pelaksanaan tugas, pada akuntabilitas eksternal terikat dalam kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan dalam komitmen, loyalitas, rasa mempunyai, serta kecakapan. Akuntabilitas eksternal memperlihatkan proses formal pada pelaporan serta perekaman buat manajamen hirarkhis, sedangkan dalam akuntabilitas internal akuntabel banyak konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, dan etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal kiprah moral tinggi sehingga pertimbangannya matang serta mempunyai kebebasan untuk bertindak. Kedua jenis akuntabilitas pada atas mempunyai pendasaran yg sangat tidak sinkron. Kalau akuntabilitas eksternal impak faktor luar sangat besar , di sisi lain faktor pada sangat lemah. Sebaliknya dalam akuntabilitas internal faktor dari dalam diri lebih bertenaga ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak dalam motivasi dan komitmen individu buat melaksanakan akuntabilitas organisasi. 

Akuntabilitas dan Faktor nilai-budaya Sekolah menjadi tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan menjadi pranata sosial karena di tempat tersebut teradapat orang-orang berdasarkan aneka macam latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai serta budaya eksklusif. Nilai-nilai serta budaya tadi potensial buat mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yg akuntabel, tetapi jua sebaliknya sanggup menjadi penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman energi kerja memiliki akibat penting dalam praktik manajemen. 

Para manejer wajib mengganti filosofi mereka menurut memperlakukan setiap orang dengan cara yg sama menjadi mengenali perbedaan dan menyikapi mereka yg tidak selaras menggunakan cara-cara yang menjamin kesetiaan karyawan serta peningkatan produktifitas sementara, dalam ketika yg sama, tidak melakukan subordinat. Apa yg dikemukakan Robins berangkat berdasarkan asumsi akan perbedaan nilai dan budaya berdasarkan setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yg bisa mendukung nilai-nilai organisasi, namun terdapat jua yang sebaliknya. Dalam konteks ini, diperlukan kiprah pemimpin buat dapat mengelolanya. 

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi bisa mendukungnya? Menjadi tantangan, sang karena latar belakang tadi. Jadi, faktor yg mempengaruhi akuntabilitas terletak pada 2 hal, yakni faktor sistem dan faktor orang. Sistem menyangkut aturan-aturan, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yg dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan adalah produk dari masyarakat dengan budaya eksklusif. 

3.upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas pada MBS. 
Bagaimanapun juga pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yg tinggi, sang karenanya perlu ada upaya konkret sekolah buat mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) ada delapan hal yang harus dikerjakan oleh sekolah buat peningkatan akuntabilitas: Pertama, sekolah harus menyusun anggaran main tentang sistem akuntabilitas termasuk prosedur pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun panduan tingkah laris serta sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah serta sistem pengawasan dengan hukuman yang jelas serta tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah serta mengungkapkan pada publik/stakeholders pada awal setiap tahun aturan. Keempat, menyusun indikator yg kentara mengenai pengukuran kinerja sekolah serta disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan mengungkapkan hasilnya kepada publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, menaruh tanggapan terhadap pertanyaan serta pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan warta kegiatan sekolah kepada publik yg akan memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yang baru sebagai konvensi komitmen baru. Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu pada kemampuan serta kemauan sekolah buat mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sehingga bisa digerakan buat mewujudkan serta menaikkan akuntabilitas. 

Sekolah dapat melibatkan stakeholders buat menyusun serta memperbaharui sistem yg dianggap nir dapat menjamin terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua anak didik, grup profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan buat melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders semenjak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang terdapat. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas pada manajemen berbasis sekolah, bisa ditinjau pada beberapa hal, sebagaimana dinyatakan oleh Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas merupakan: 
1. Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah. 
2. Tumbuhnya pencerahan publik tentang hak buat menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di sekolah
3. Meningkatnya kesesuaian aktivitas-aktivitas sekolah menggunakan nilai dan kebiasaan yg berkembang pada warga . 

Ketiga indikator di atas bisa dipakai sang sekolah buat mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah sudah mencapai hasil sebagaiamana yg dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, namun sekolah akan mengalami peningkatan pada poly hal sebagai akibatnya agama masyarakat akan kinerja sekolah sebagai lebih tinggi dan dengan sendirinya partsipasi bertambah.

PENJELASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Penjelasan Desentralisasi Pendidikan 
Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dalam hakekatnya memberi kewenangan serta keleluasaan kepada pemerintah wilayah buat mengatur dan mengurus kepentingan warga setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sinkron dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dari azas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, konkret dan bertanggung jawab.

Berkaitan dengan aspirasi warga , ditegaskan juga bahwa wilayah dibentuk menurut kehendak warga setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas wilayah serta berbagai kondisi lain yang memungkinkan daerah menyelenggarakan swatantra wilayah (Pasal lima ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).

Dipertegas jua “Bahwa bidang pendidikan adalah bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah sentra yg dikenal menggunakan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan mempunyai akibat langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional serta manajemen pendidikan. Bidang-bidang yg terkait pribadi dengan sistem tersebut adalah kebijaksanaan, pengawasan, mutu dan asal dana pendidikan”.

Pendelegasian bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke wilayah, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau menurut unit ke unit dibawahnya, termasuk juga berdasarkan pemerintah ke warga . Salah satu wujud desentralisasi yg dimaksud adalah terlaksananya proses swatantra pada penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, memutuskan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu nir semua wewenang dapat didesentralisasikan.

Kalster (2000 : 11), menyebutkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat menaikkan efisiensi, relevansi. Pemerataan serta mutu pendidikan dan memenuhi azas keadilan dan demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa masih ada potensi yg memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Pemberdayaan sekolah dengan menaruh swatantra lebih besar , di samping memperlihatkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan rakyat pula bisa ditunjukkan menjadi sarana peningkatan efesiensi, mutu serta pemerataan pendidikan. Penekanan tersebut berubah berdasarkan waktu ke waktu sesuai dengan konflik yg dihadapi sang pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang nir dapat dihindari dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yg relatif untuk pendidikan dan menurunnya kemampuan sebagai orang tua buat membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tadi secara pribadi mengakibatkan menurunnya mutu pendidikan serta terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan warga dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu pada control juga pembiayaan sebagai akibatnya dapat lebih berkonsentrasi pada rakyat kurang sanggup yg semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam prinsip desentralisasi juga mendukung efesiensi tersebut, keterlibatan ketua sekolah, dan guru pada pengambilan keputusan sekolah yang dalam akhirnya mendorong mereka buat memakai asal daya yg terdapat seefesien mungkin buat mencapai output yg optimal.

Pemberian swatantra yg luas pada sekolah adalah kepedulian pemerintah terhadap gejala-tanda-tanda yg ada pada masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yg lebih aman di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan aneka macam komponen rakyat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yg ada di sekolah. Dengan landasan tadi, pemerintah mencoba buat menerapkan desentralisasi pendidikan menjadi solusi. Selain hal tersebut diatas, ada beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, grup warga , para legislator, pebisnis, serta perhimpunan pengajar buat turut dan mengontrol sekolah serta menilai kualitas pendidikan. Kedua, asumsi bahwa struktur pendidikan yg terpusat tidak bisa bekerja dengan baik pada mempertinggi partisipasi siswa bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yang terdapat buat merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan rakyat yg beragam. Keempat, penampilan kinerja sekolah dievaluasi tidak memenuhi tuntutan baru dari rakyat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan serta pendanaan. (Umiarso dan Imam Gojali,2010:47-48)

Dengan demikian, misi utama desentralisasi pendidikan merupakan menaikkan partisipasi rakyat dalam penyelenggaran pendidikan, menaikkan eksploitasi potensi daerah, serta terciptanya infrastruktur kedaerahan yg menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yg relevan menggunakan tuntutan zaman, seperti terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi pada pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan menggunakan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, warga , dan orang tua pada interaksi kemitraan serta menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sinkron kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum juga wajib bisa membuatkan kebudayaan wilayah dalam rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup 3 hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian kewenangan, serta inovasi pendidikan.

Hal yang menarik merupakan desentralisasi pendidikan akan berimplikasi dalam tataran dunia baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang pada pendidikan buat membentuk siswa agar lebih mengerti dan berbakti buat kepentingan dan kesejahteraan bersama dengan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tersebut, tercipta juga kearifan ekologi yang merupakan buah berdasarkan inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau warga .

Pertanyaan terpenting mengenai arah desentralisasi pendidikan merupakan sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi wewenang yg lebih akbar menentukan kebijakan-kebijakan tentang organisasi dan proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan pada tingkat sekolah, serta sumber-asal pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yg efektif tidak hanya melibatkan proses hadiah kewenagan dan pendanaan yg lebih besar dari sentra ke daerah, tetapi juga mencakup pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih akbar ke sekolah-sekolah, sebagai akibatnya mereka bisa merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sinkron menggunakan kondisi dan kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu pada desentralisasi pendidikan ada target utama progaram restrukturisasi sistem serta manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya meliputi hal-hal berikut:
(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, serta mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan.
(b) Sarana pendidikan serta fasilitas pembelajaran dibakukan dari prinsif edukatif sebagai akibatnya forum pendidikan adalah loka yg menyenangkan buat belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat kepercayaan .
(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar wajib melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas serta harus mengajar.
(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu dalam penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat dalam penyelesaian sasaran kurikulum secara seragam persemester serta tujuan ajaran.
(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan menggunakan aneka macam modus pendekatan pembelajaran, siswa aktif sesuai menggunakan taraf kesulitan konsep-konsep dasar yg dipelajari.
(f) Sistem evaluasi output belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagi konsekuensi dari aplikasi pembelajaran tuntas.
(g) Kegiatan supervisi serta akreditasi. Supervisi serta pelatihan administrasi serta akademis dilakukan oleh unsur manajemen taraf pusat dan provinsi bertujuan untuk pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan buat menjamin mutu pelayanan kelembagaan.
(h) Pendidikan berbasis rakyat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan serta pemagangan pada tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional.
i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost serta subsidi pendidikan wajib berdasarkan pada bobot penyelenggaraan pendidikan yg memperhatikan jumlah siswa, kesulitan komunikasi, taraf kesejahteraan warga , taraf partisipasi pendidikan, serta kontribusi warga terhadap pendidikan pada setiap sekolah. 

Berdasarkan hal tersebut pada atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan pendidikan yg menaruh wewenang lebih poly pada daerah kabupaten dan kota dalam dasarnya mempunyai tujuan supaya pendidikan dapat berjalan lebih efektif serta efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yang terpusat secara sentralistik sudah banyak membuang porto dan waktu sampai tiba pada termin target pendidikan yang sesungguhnya seperti pemugaran kualitas dan personil pendidikan sekolah dan siswa di daerah. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yg diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah merupakan : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yg memberi wewenang dalam sekolah buat merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara holistik; (dua) Pendidikan yang berbasis dalam partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi hubungan yang positif antara sekolah dengan rakyat, sekolah sebagai community learning centre; serta (3) Dengan memakai paradigma belajar atau learning kerangka berpikir yang akan mengakibatkan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah pula mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yg memberi pembekalan kepada pelajar buat siap bekerja membentuk keluarga sejahtera. 

Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan menerima pembekalan life skills yang berisi pemahaman yg luas serta mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya supaya akrab serta saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru menurut insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hayati yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan global akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan warga pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam menaruh perhatian serta kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membangun Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tadi, namun mengikutsertakan jua guru, siswa, tokoh warga dan pemerintahan pada sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.

Tujuan acara MBS di antaranya menuntut sekolah agar bisa menaikkan kualitas penyelenggaraan serta layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara beserta-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut kiprahnya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tadi, melainkan membantu juga mengawasi serta mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diperlukan bisa tetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi menurut ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk berdasarkan orangtua siswa buat membantu operasional sekolah buat menggapai kualitas pendidikan.

Sebetulnya,sejak acara MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun asal-asal pendanaan pendidikan, baik menjadi dukungan terhadap penyediaan wahana dan prasarana pendidikan juga buat peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula buat peningkatan kualitas kesejahteraan pengajar pada sekolah itu. Tetapi, kiprah komite di strata pendidikan dasar (Sekolah Dasar/MI serta SMP/MTs) yang telah mulai bagus ini terhapus pulang sang program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sebagai akibatnya bisa membantu kepedulian warga dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yg dikembangkan merupakan “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian warga terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun pada MBS. Dari hal pada atas, dalam beberapa sekolah yg pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menduga misalnya halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui kiprah stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, nir heran apabila banyak sekolah yg rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan sang komite sekolah, sembari berharap tiba sang penyelamat, yaitu pemerintah. 

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih masih ada beberapa perkara. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan eksklusif (sekolah) sebagai kewenangan ketua sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus sebagai wewenang guru. Berdasarkan wewenang profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Tetapi, pada SMTP serta SMTA sebagian wewenang meluluskan hasil belajar anak didik masih menjadi “proyek pemerintah pusat” menggunakan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian juga pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, menggunakan dalih “ikut-ikutan” pemerintah sentra mengendalikan mutu pendidikan pada wilayah. Padahal, ditinjau berdasarkan hakikat pengajaran dan sejalan menggunakan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian menurut tugas pengajaran seseorang pengajar, sebagai akibatnya wewenang itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. 

Kenyataan itu memberitahuakn bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yg masih 1/2 hati diserahkan. Sehubungan menggunakan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara kentara maka pada lapangan masih ada beragam metode serta cara dalam melaksanakan acara peningkatan mutu pendidikan. Sampai waktu ini output berdasarkan kebijakan tersebut belum tampak, tetapi berbagai improvisasi pada daerah sudah memberitahuakn rona yg lebih baik. Misalnya, beberapa langkah acara yg sudah dijalankan di beberapa wilayah, berkaitan menggunakan kebijakan pendidikan pada rangka peningkatan mutu berbasis sekolah serta peningkatan mutu pendidikan berbasis rakyat diimplementasikan menjadi berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN menjadi pengganti EBTA /EBTANAS
(dua) Telah dibentuknya Komite Sekolah menjadi pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal serta pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi pada penerimaan murid baru
(5) Pemberian bonus kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta donasi peralatan praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM menjadi model hadiah beasiswa pada pengajar buat mengikuti program Pascasarjana. 

Kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi wilayah sebagai berikut, diantaranya: a) Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya menaikkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih menurut 20 tahun bergelut menggunakan problem-masalah kuantitas, b) Pada sisi swatantra wilayah, swatantra pendidikan mengarah dalam menipisnya kewenangan pemerintah sentra serta membengkaknya kewenangan wilayah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yg harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan serta partisipasi rakyat, c) Terdapat potensi tarik menarik antara swatantra pendidikan dalam konteks swatantra wilayah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial menjadi kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan. D) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar swatantra pendidikan bisa berjalan pada relny, e) Pada tingkat persekolahan, swatantra pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi serta prinsip School Based Management dalam tingkat pedidikan dasar serta menengah; penataan kelembagaan dalam level serta tempat yg menjadi faktor kunci keberhasilan swatantra pendidikan, f) Sudah selayaknya bila otonomi pendidikan harus bergandengan menggunakan kebijakan akuntabiliti terutama yg berkaitan menggunakan prosedur pendanaan atau pembiayaan pendidikan, g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih permanen berada dalam kerangka swatantra keilmuan, h) Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan swatantra pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan dalam kepentingan wilayah semata-semata melainkan dalam kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yg terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6) 

Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi 2007:149, terdapat empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan wewenang ke pengaturan taraf yang lebih rendah pada jajaran birokrasi pusat.
b) Pendelegasian, yaitu pengalihan wewenang ke badan quasi pemerintah atau badan yg dikelola secara publik
c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d) Swastanisasi, berupa pendelegasian wewenang ke badan bisnis partikelir atau perorangan.

Dalam masalah Indonesia, sejauh yg telah dilakukan nampaknya cenderung merogoh bentuk yg terakhir, swastanisasi.menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas menurut kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah serta kelemahan yg sering diangkat dalam konteks ini adalah:1) Kebijakan pendidikan nasional yg sangat sentralistik serta serba seragam, yg dalam gilirannya mengabaikan keragaman sinkron dengan realita rakyat Indonesia di aneka macam wilayah.dua) Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian sasaran kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan bisa menjangkau seluruh ranah dan potensi murid. Proses pembelajaran sangat berorientasi dalam ranah kognitif dengan pendekatan formalisme serta pada saat yg sama, cenderung mengabaikan ranah afektif serta psikomotorik.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.
Kebijakan (policy) secar etimologi (dari istilah) diturunkan berdasarkan bahasa Yunani, yaitu “Polis” yg adalah kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi serta merupakan pola formal yg sama-sama diterima pemerintah/forum sebagai akibatnya menggunakan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan pada Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) mengungkapkan kebijakan merupakan keputusan pemerintah yg bersifat generik dan berlaku buat semua anggota masyarakat.kebijakan merupakan anggaran tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yg bersifat mengikat, yg mengatur prilaku dengan tujuan buat membangun tata nilai baru pada warga . Kebijakan akan menjadi acum utama para anggota organisasi atau anggota rakyat pada berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan agresif. Berbeda menggunakan Hukum (Law) serta Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif serta interpratatif, meskipun kebijakan pula mengatur “apa yang boleh, dan apa yang nir boleh”. Kebijakan pula diperlukan bisa bersifat umum namun tanpa menghilangkan karakteristik lokal yg khusus. Kebijakan wajib memberi peluang diinterpretasikan sesuai syarat khusus yang terdapat.masih banyak kesalahan pemahaman juga kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy pada sebutan kebijaksanaan, yg maknanya sangat tidak sama dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan merupakan kearifan yg dimiliki sang seorang, sedangkan kebijakan merupakan aturan tertulis output keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan merupakan : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Peraturan Daerah, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yg dicontohkan disini merupakan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini pula memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan bisa bersifat makro, meso, serta mikro. Ali Imron pada bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) menjadi suatu pertimbangan yang berdasarkan atas system nilai dan beberapa evaluasi atas factor-faktor yg bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar buat mengopersikan pendidikan yg bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai panduan buat merogoh keputusan, supaya tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai. 

Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang terdapat pada lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan serta lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia nir mampu berdiri sendiri. Ketika terdapat perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik pada serta luar negeri, kebijakan pendidikan umumnya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula membarui kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yg aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih jangan lupa dibenak kita terdapat pelajaran PSPB yg secara prinsipil tidak jauh tidak sinkron menggunakan IPS sejarah serta lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (kini PKN/PPKN).

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut menggunakan adanya tuntutan warga akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini mengambarkan bahwa kecenderungan warga dalam masa kini tidak sinkron dengan masa kemudian. Fasli Jalal serta Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa kemudian warga cenderung menerima apa pun yg diberikan sang pendidikan, maka sekarang mereka nir dengan gampang menerima apa yang diberikan sang pendidikan.

Masyarakat yg notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya serta anak-anaknya. Bagi forum-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari serta disikapi dengan melakukan redesain sistem yang sanggup menjawab tuntutan warga . Caranya merupakan membuatkan model manajemen pendidikan yg akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yg relevan yg memperhitungkan kebutuhan warga , kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yang kuat buat mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, serta perangkat anggaran yang jelas serta dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yg bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan pada atas membutuhkan proses dan ketika yang tidak singkat. Sebab nir saja diperlukan kemauan namun jua kemampuan buat melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang bisa berubah, bila dia mempunyai kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. 

Di Indonesia sudah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yg bertumpu dalam sekolah dan warga . Model manajemen ini menuntut keterlibatan yg tinggi menurut stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS sudah muncul manajemen berpartisipasi tinggi yg membutuhkan empat asal daya krusial: 1) warta, dua) pengetahuan, tiga) keterampilan, 4) penghargaan serta sanksi." Empat asal daya ini jika dikelola secara baik akan menaikkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas. 

Akuntabilitas yang tinggi hanya bisa dicapai menggunakan pengelolaan asal daya sekolah secara efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak tiba dengan sendiri setelah lembaga-forum pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada 3 hal yang mempunyai kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi serta akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yg dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, serta akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dipercaya sudah memenuhi semua persyaratan serta mempunyai kompetensi yg dituntut berhak menerima sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dievaluasi sanggup mengklaim produk yang bermutu disebut sebagai forum terakreditasi (accredited). 

Lembaga pendidikan yg terakreditasi dan dievaluasi bisa buat membentuk lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga serta menjamin mutuya sebagai akibatnya dihargai sang masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang akuntable. Institusi pendidikan yang akuntabel merupakan institusi pendidikan yg mampu menjaga mutu keluarannya sehingga dapat diterima sang masyarakat. Jadi, pada hal ini akuntabel tidaknya suatu forum pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu lembaga jua bergantung pada kemampuan suatu lembaga pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yg ke 2 menjadi akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan pada Indonesia pula mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. 

Menurut Slamet (2005:6): MBS wajib dipahami sebagai contoh anugerah wewenang yang lebih besar kepada sekolah, yg meliputi wewenang mengatur serta mengurus sekolah, merogoh keputusan, mengelola, memimpin, serta mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah nir sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan pada publik tentang apa yang dikerjakan menjadi konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah sanggup mempertanggungjawabkan wewenang yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal serta Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yg lemah serta tidak sedikit institusi pendidikan yang nir akuntabel.

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan telah seharusnya lebih akuntabel pada warga serta kecenderungan generik bahwa berita-isu pendidikan seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi buat menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas pada penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah menjadi basis penerapan manajemen pendidikan dituntut wajib mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:lima), "Akuntabilitas adalah kewajiban buat menaruh pertanggung jawaban atau buat menjawab serta memperlihatkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi pada pihak yg mempunyai hak atau kewajiban buat meminta kabar atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias dikaitkan menggunakan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya bisa terjadi bila terdapat partisipasi menurut stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.jadi,jika disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yg diperoleh sebagai output partisipasi menurut stakeholders. 

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, sah and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, aturan, dan keuangan menuntut tanggung jawab berdasarkan sekolah buat mewujudkannya, nir saja bagi publik tetapi pertama-tama wajib dimulai bagi rakyat sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas berdasarkan pengajar. Secara moral juga secara formal (aturan) pengajar mempunyai tanggung jawab bagi anak didik maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yg baik. Pendapat Headington memberi tekanan dalam akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, jua pada Negara-negara yang sudah menerapkan MBS, terjadi kekacauan dalam tahu MBS, bahwa acapkali aspek pembelajaran dipahami terpisah menggunakan MBS. Apa yang dikatakan sang David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS nir dipahami menjadi sebuah inovasi yang terpisah berdasarkan pembelajaran. Jadi, jikalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yang dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki pada penerapan MBS yang nir boleh diabaikan oleh sekolah. 

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya agama publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yg tinggi akan sekolah bisa mendorong partisipasi yg lebih tinggi juga terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dipercaya sebagai agen bahkan asal perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan primer akuntabilitas merupakan buat mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai galat satu kondisi untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah wajib memahami bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan output kerja pada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, buat mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan pada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas pada atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir berdasarkan sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong keluarnya agama dan partisipasi yg lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru menjadi titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi. 

1. Pelaksanaan Akuntabilitas pada MBS. 
Penerapan prinsip akuntabilitas pada penyelenggaraan manejemen sekolah menerima relevansi ketika pemerintah menerapkan swatantra pendidikan yang ditandai menggunakan pemberian wewenang pada sekolah untuk melaksanakan manajemen sinkron menggunakan kekhasan serta kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan wewenang tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat menggunakan rakyat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat menggunakan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas pada pengelolaan adalah hal yg tidak dapat ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas pada rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan defleksi buat melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sebagai akibatnya berperan akbar pada memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat. Akuntabilitas menyangkut 2 dimensi, yakni akuntabilitas vertikal serta akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah menggunakan warga . Sekolah dan orang tua anak didik. Antara sekolah serta instansi pada atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah dengan komite, serta antara kepala sekolah menggunakan pengajar. Pengelola sekolah wajib bisa mempertanggungjawabkan seluruh komponen pengelolaan MBS kepada warga . Komponen pertama yang wajib melaksanakan akuntabilitas merupakan guru. Mengapa, karena inti menurut semua pelaksanaan manajemen sekolah merupakan proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab merupakan siswa. Pengajar harus dapat melaksanakan ini pada tugasnya sebagai pengajar. 

Akuntabilitas dalam pedagogi dipandang menurut tanggung jawab guru pada hal menciptakan persiapan, melaksanakan pedagogi, serta mengevaluasi anak didik. Selain itu pada hal keteladan, misalnya disiplin, kejujuran, hubungan menggunakan anak didik sebagai penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning. Akuntabilitas nir saja menyangkut proses pembelajaran, namun juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas hasil. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan pada pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-asal penerimaan, akbar kecilnya penerimaan, juga peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan sang pengelola. 

Pengelola keuangan yg bertanggung jawab akan menerima kepercayaan menurut rakyat sekolah serta masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi nir akan dipercaya. Akuntabilitas nir saja menyangkut sistem namun pula menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan mengklaim pengelolaan keuangan yang bersih, serta jauh berdasarkan praktek korupsi. 

Fakta menyangkut praktek korupsi pada global pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) athun baru 2008 bahwa, korupsi dalam global pendidikan sudah menjamah, mulai berdasarkan Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, sampai pada sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, lantaran berbanding terbalik menggunakan apa yg seharusnya diajarkan lembaga pendidikan kepada anak bangsa, nir saja berdasarkan segi intelektual tetapi juga moral. Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi dunia pendidikan. Oleh karenanya dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah wajib jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Akuntabilitas pula semakin mempunyai arti, waktu sekolah bisa mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang sanggup mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yg mempunyai taraf efektivitas hasil tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan menaikkan efisiens eksternal. 

2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS. 
Codd (1999), seseorang pakar kebijakan pendidikan pada Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif dunia, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yg mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut mempengaruhi ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya mempunyai karakteristik yg berbeda, ini ditimbulkan oleh lantaran titik tolak kedunya tidak selaras. Akuntabilitas eksternal berdasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal berdasarkan dalam tanggung jawab profesional, dengan inheren sebuah konsep agen moral. Oleh lantaran pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yg diperlihatkanpun tidak selaras. Misalnya, akuntabilitas eksternal mempunyai agama yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru kebalikannya memiliki agama yang tinggi. Selanjutnya berdasarkan segi tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal masih ada kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan. 

Dari segi aplikasi tugas, dalam akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, serta kecakapan. Akuntabilitas eksternal menunjukkan proses formal dalam pelaporan dan perekaman buat manajamen hirarkhis, sedangkan pada akuntabilitas internal akuntabel poly konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, serta etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal kiprah moral tinggi sebagai akibatnya pertimbangannya matang serta memiliki kebebasan buat bertindak. Kedua jenis akuntabilitas di atas mempunyai pendasaran yg sangat tidak sinkron. Kalau akuntabilitas eksternal efek faktor luar sangat besar , di sisi lain faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya pada akuntabilitas internal faktor berdasarkan dalam diri lebih bertenaga ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak dalam motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan akuntabilitas organisasi. 

Akuntabilitas serta Faktor nilai-budaya Sekolah menjadi tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial lantaran pada tempat tersebut teradapat orang-orang menurut aneka macam latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai serta budaya eksklusif. Nilai-nilai serta budaya tersebut potensial buat mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yg akuntabel, namun jua kebalikannya sanggup sebagai penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman energi kerja memiliki akibat krusial dalam praktik manajemen. 

Para manejer harus mengubah filosofi mereka berdasarkan memperlakukan setiap orang dengan cara yg sama menjadi mengenali disparitas dan menyikapi mereka yang tidak sama dengan cara-cara yang menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, dalam saat yang sama, tidak melakukan diskriminasi. Apa yg dikemukakan Robins berangkat berdasarkan asumsi akan perbedaan nilai dan budaya berdasarkan setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yang bisa mendukung nilai-nilai organisasi, namun terdapat jua yang sebaliknya. Dalam konteks ini, diperlukan kiprah pemimpin buat bisa mengelolanya. 

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi bisa mendukungnya? Menjadi tantangan, sang lantaran latar belakang tadi. Jadi, faktor yg mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem serta faktor orang. Sistem menyangkut anggaran-anggaran, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya nir berdiri sendiri, melainkan merupakan produk dari masyarakat menggunakan budaya tertentu. 

3.upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas pada MBS. 
Bagaimanapun pula pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yg tinggi, oleh karena itu perlu terdapat upaya konkret sekolah buat mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) terdapat delapan hal yang wajib dikerjakan sang sekolah buat peningkatan akuntabilitas: Pertama, sekolah harus menyusun anggaran main mengenai sistem akuntabilitas termasuk prosedur pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun panduan tingkah laris dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem supervisi menggunakan hukuman yang kentara serta tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah serta membicarakan pada publik/stakeholders di awal setiap tahun aturan. Keempat, menyusun indikator yang jelas mengenai pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan mengungkapkan hasilnya pada publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, menaruh tanggapan terhadap pertanyaan serta pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan kabar aktivitas sekolah pada publik yg akan memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yg baru sebagai kesepakatan komitmen baru. Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu dalam kemampuan serta kemauan sekolah buat mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sebagai akibatnya dapat digerakan untuk mewujudkan dan menaikkan akuntabilitas. 

Sekolah bisa melibatkan stakeholders buat menyusun dan memperbaharui sistem yg dipercaya nir bisa mengklaim terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua murid, grup profesi, serta pemerintah bisa dilibatkan buat melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal memahami dan merasa memiliki akan sistem yang terdapat. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, bisa dilihat dalam beberapa hal, sebagaimana dinyatakan sang Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah: 
1. Meningkatnya agama dan kepuasan publik terhadap sekolah. 
2. Tumbuhnya kesadaran publik mengenai hak buat menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di sekolah
3. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-aktivitas sekolah menggunakan nilai dan norma yang berkembang di rakyat. 

Ketiga indikator di atas dapat dipakai sang sekolah buat mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai output sebagaiamana yg dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan pada banyak hal sehingga kepercayaan rakyat akan kinerja sekolah sebagai lebih tinggi dan menggunakan sendirinya partsipasi bertambah.