PENGERTIAN KEBIJAKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Kebijakan Menurut Para Ahli
Kebijakan merupakan panduan-pedoman dan ketentuan-ketentuan yg dianut atau dipilih pada melaksanakan (memanage) suatu acara untuk mencapai tujuan eksklusif.

Perencanaan merupakan semua kegiatan (planning) yg dilakukan sebelum melakukan suatu aktivitas, menurut suatu acara proyek, yakni menentukan tujuan objective, tujuan antara, kebijakan, prosedur serta program. Sukirno (1985) mengemukakan pendapatnya mengenai konsep pembangunan, memiliki tiga sifat penting, yaitu : proses terjadinya perubahan secara terus menerus, adanya usaha buat menaikkan pendapatan perkapita masyarakat serta kenaikan pendapatan rakyat yang terjadi pada jangka ketika yang,panjang.

Menurut Todaro (1998) pembangunan bukan hanya kenyataan semata, tetapi pada akhirnya pembangunan tadi wajib melampaui sisi materi serta keuangan berdasarkan kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan idealnya dipahami menjadi suatu proses yang berdimensi jamak, yang melibatkan kasus pengorganisasian dan peninjauan balik holistik sistem ekonomi dan sosial. Berdimensi jamak pada hal ini adalah membahas komponen-komponen ekonomi juga non ekonomi Todaro (1998) menambahkan bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan balik menggunakan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam kontenks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yang sedang berkembang.

Rostow (1971) jua menyatakan bahwa pengertian pembangunan tidak hanya pada lebih poly hasil yang dihasilkan tetapi juga lebih poly output daripada yg diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan : masyarakat tradisional, pra kondisi tanggal landas, lepas landas, gerakan menuju kematangan serta masa konsumsi akbar-besaran. Kunci diantara tahapan ini merupakan tahap lepas landas yg didorong sang satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor utama ini telah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang bergerak maju.

Menurut Hanafiah (1892) pengertian pembangunan mengalami perubahan lantaran pengalaman dalam tahun 1950-an sampai tahun 1960-an memberitahuakn bahwa pembangunan yg berorientasi pada kenaikan pendapatan nasional tidak bisa memecahkan masalah pembangunan. Hal ini terlihat dari tingkat hidup sebagian akbar masyarakat nir mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan pendapatan nasional per tahun semakin tinggi. Dengan kata lain, terdapat tanda-tanda kesalahan besar pada mengartikan istilah pembangunan secara sempit.

Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana mempertinggi pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu nir bisa diartikan sebagai aktivitas-aktivitas yg dilakukan negara buat berbagi kegiatan ekonomi serta taraf hayati masyarakatnya.

Berbagai sudut pandang dapat dipakai buat mempelajari pembangunan pedesaan. 
Menurut Haeruman ( 1997 ), terdapat dua sisi pandang buat menelaah pedesaan, yaitu: 
1. Pembangunan pedesaan dicermati sebagai suatu proses alamiah yang bertumpu dalam potensi yg dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sebagai akibatnya perubahan yg diperlukan berlangsung dalam rentang saat yg panjang. 
2) Sisi yang lain memandang bahwa pembangunan pedesaan menjadi suatu interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakt desa serta dorongan dari luar buat meningkatkan kecepatan pemabangunan pedesaan.

Pembangunan desa merupakan proses kegiatan pembangunan yg berlangsung didesa yang meliputi seluruh aspek kehidupan serta penghidupan warga . Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia no : 72 tahun 2005 mengenai desa sebagaimana dimaksud pada ayat (dua) bahwa perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sinkron dengan kewenangannya serta menurut ayat (tiga) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa harus melibatkan forum kemasyarakatan desa.

Tujuan Perencanaan Pembangunan menjadi berikut:
1.mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.
2.menjamin sinkronisasi serta sinergi dengan pelaksanaan Pembangunan Daerah.
3.menjamin keterkaitan serta konsistensi antara Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan serta Pengawasan.
4. Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan Sumber Daya Desa secara efisien, efektif, berkeadilan serta berkelanjutan.

Kebijakan perencanaan pembangunan desa adalah suatu panduan-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan pada desa yang meliputi semua aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat sebagai akibatnya dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat
- Produktivitas aktivitas ekonomi, seperti pertanian, peternakan mengalami peningkatan
- Proses produksi sedang mengalami perubahan relatif berat, melalui adopsi teknologi
- Komersialisasi sudah relatif tinggi, pasar dipakai buat menjual output dan membeli input produksi
- Penggunaan energi kerja luar dan adanya pasar upah energi kerja mulai berkembang
- Memanfaatkan teknologi baru
- Produksi berorientasi pasar. Sebagian besar dijual buat pasar sehingga jenis komoditi yang diproduksi selalu diadaptasi dengan keadaan harga pasar. Tujuan produksi merupakan buat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
- Mulai menerapkan sistem Agribisnis Paradigma Pertanian berubah menjadi  Agribisnis dan Agroindustri serta perdagangan berkembang.
- Masyarakat sangat menghargai pedidikan, bersedia melakukan human  investment
- Masyarakat sudah mengadopsi kehidupan di kota. Perbedaannya kegiatan ekonominya adalah berbasis pedesaan seperti pertanian, industri desa. Masalah-Masalah Dalam Pembangunan

Masalah yang dikemukakan oleh Chayanov serta boeke, terutama berdasarkan atas sistem sosial atau kebudayaan yang berakar dalam yang membuat Teori Ekonomi Modern seolah-olah nir bisa diterapkan pada desa-desa atau rakyat seperti ini. Tetapi selain perkara yg berasal menurut sistem sosial atau kebudayaan, sebenarnya banyak perkara lain yg mengakibatkan timbulnya kasus pembangunan desa kasus-masalah tersebut terutama adalah:
1. Masalah pertumbuhan penduduk penduduk yg berat, sehingga pemilikan tanah semakin berkurang, terutama pada wilayah yg terbatas lahannya (Sumber Daya Alam)
2. Tingkat Pendidikan rendah yang mengakibatkan adopsi teknologi rendah dan stagnansi produk juga perkara lain yg sanggup ada menggunakan berfokus misalnya perkara kesehatan, rendahnya produktivitas kerja serta masalah kepemimpinan desa 

Kabupaten Madiun menaruh kemudahan pada pembangunan prasarana seperti irigasi, drainase, dalam pemasaran hasil-output pertanian, pengadaan kapital buat pembaharuan usaha-bisnis pertanian (perkreditan dan akumulasi kapital)

Masalah ini perlu dimengerti keadaannya, supaya kebijakan serta perencanaan pembangunan desa dapat dibuat menggunakan cukup lebih baik.

Pemerintahan Desa dalam menyelenggarakan kewenangannya dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan buat mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat belum bisa optimal lantaran terdapat banyak sekali konflik, misalnya;
1. Terlalu cepatnya perubahan banyak sekali peraturan perundang-undangan sehingga mengakibatkan kebingungan ditingkat pelaksana serta terkadang peraturan perundang-undangan yang diharapkan kurang lengkap dan memadai; 
2. Fasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah masih seringkali terlambat; 
3. Terbatasnya taraf kesejahteraan para penyelenggaran pemerintahan desa; 
4. Sebagian kualitas aparat pemerintahan desa masih terbatas pada menggalang partisipasi warga , menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian dalam membangun, memanfaatkan, memelihara serta berbagi output-output pembangunan;
5. Sangat terbatasnya sarana serta prasarana pemerintahan desa 
6. Belum terdapat kepastian mengenai wewenang dan asal pendapatan 

Kebijakan Pembangunan Desa
Bertolak berdasarkan konflik diatas, Pemerintah tetapkan berbagai kebijakan untuk memberdayakan, memantapkan, menguatkan Pemerintahan Desa. Kebijakan dimaksud antara lain:
(a) Pemantapan kerangka aturan
(b) Penataan kewenangan serta baku pelayanan minimal Desa; 
(c) Pemantapan kelembagaan; 
(d) Pemantapan administrasi dan keuangan Desa;
(e) Peningkatan sumber daya manusia penyelenggara pemerintahan desa serta 
(f) peningkatan kesejahteraan para penyelenggara pemerintahan desa.
Untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana diurai diatas, program prioritas yang akan dilaksanakan sang Pemda meliputi: 

1. Pemantapan kerangka aturan:
Lingkup kegiatannya yaitu; meningkatkan kecepatan penyelesaian Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa serta Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa yg sinkron menggunakan prinsip keanekaragaman, demokratisasi, swatantra, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. 

2. Penataan organisasi dan wewenang: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan organisasi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta Lembaga Kemasyarakatan Desa bersama wewenang yang wajib dimilikinya; 

3. Pemantapan sumber pendapatan serta kekayaan desa: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan manajemen perimbangan keuangan antara Kabupaten/Kota dengan Desa terutama mengenai alokasi dana desa, upaya peningkatan pendapatan orisinil desa, upaya penga-daan bantuan menurut pemerintah dan pemerintah provinsi kepada desa, pembentukan badan usaha milik desa dan peningkatan dayaguna dan output guna aset yang dimiliki juga yg dikelola sang desa.

4. Penataan sistem kabar dan administrasi pemerintahan desa yang mudah, cepat, serta murah terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dasar. 

5. Pemantapan serta pengembangan kapasitas:
Lingkup kegiatannya yaitu; menaikkan kapasitas Kepala Desa, Perangkat Desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa agar lebih bisa menyelenggarakan pelayanan pada warga secara demokratis, transparan serta akuntabel menurut nilai-nilai sosial budaya setempat. 

6. Pengadaan wahana serta prasarana: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penyediaan wahana dan prasarana pemerintahan desa yg memadai pada rangka melaksanakan tugas serta manfaatnya menjadi pelayan warga yg terdepan.

Beberapa acara-acara pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan, contohnya program bidang pangan, acara Inpres Desa Tertinggal, merupakan salah satu upaya pemerintah pada rangka mengembangkan pedesaan dalam mengejar ketertinggalannya menurut perkotaan. Selain itu guna menyokong acara pangan, pemerintah menyediakan bantuan Kredit Usaha Tani ( KUT ) bagi para petani pada menaruh permodalan dalam pengelolaan lahannya. 

Akan tetapi program-program tersebut belum sanggup menaikkan kesejahteraan petani lantaran harga beras lokal masih relative lebih tinggi dibandingkan menggunakan harga beras impor. Sedangkan dana pengembalian KUT hingga ketika ini poly yang menunggak lantaran petani nir mampu membayar cicilan tersebut. Adapun program IDT lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga fokus terhadap pembangunan masyarakat generik kurang tersentuh. Padahal berbagai persoalan yang membutuhkan penanganan pembangunan rakyat desa sesungguhnya sangat mendesak, misalnya ketertinggalaan desa dari kota hampIr di segala bidang, nir terakomodasinya harapan dan kebutuhan rakyat dalam program-program pemerintah, serta kualiatas pendidikan serta kesejahteraan masih rendah. 

Berdasarkan pengalaman tersebut telah seharusnya pendekataan pembangunan pedesaan mulai diarahkan secara integral menggunakan mempertimbangkan kekhasan wilayah baik dilihat menurut sisi syarat, potensi serta prospek berdasarkan masing-masing wilayah. Tetapi pada pada penyusunan kebijakan pembangunan pedesaan secara generik dapat ditinjau pada 3 grup (Haeruman, 1997), yaitu :
  • Kebijakan secara tidak langsung diarahkan dalam penciptaan syarat yg mengklaim kelangsungan setiap upaya pembangunan pedesaan yang mendukung aktivitas sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana dan prasarana pendukung (pasar, pendidikan, kesehatan, jalan, serta lain sebagainya), penguatan kelembagaan, serta proteksi terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat melalui undang- undang. 
  • Kebijakan yg langsung diarahkan pada peningkatan kegiatan ekonomi warga pedesaan. 
  • Kebijakan khusus menjangkau warga melalui upaya spesifik, seperti penjaminan aturan melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap keamanan dan ketenangan masyarakat. 
  • Di samping itu kebijakan pembangunan pedesaan wajib dilaksanakan melalui pendekatan sektoral serta regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dengan pernyataan yg mengkut sektor apa yang perlu dikembangkan buat mencapai tujuan pembangunan. Berbeda menggunakan pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitik beratkan pada wilayah mana yang perlu mendapat prioritas buat dikembangkan, baru kemudian sektor apa yang sinkron untuk dikembangkan di masing-masing daerah. Di dalam fenomena, pendekatan regional seringkali diambil nir pada kerangka totalitas, melainkan hanya buat beberapa daerah tertentu, seperti wilayah kolot, wilayah perbatasan, atau daerah yang dibutuhkan mempunyai posisi trategis pada arti ekonomi-politis. Oleh karena arah yang dituju merupakan campuran antara pendekatan sektoral dan regional, maka pembangunan daerah perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial.

PENGERTIAN KEBIJAKAN MENURUT PARA AHLI

Pengertian Kebijakan Menurut Para Ahli
Kebijakan adalah panduan-panduan serta ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih pada melaksanakan (memanage) suatu acara buat mencapai tujuan eksklusif.

Perencanaan merupakan seluruh aktivitas (planning) yg dilakukan sebelum melakukan suatu kegiatan, menurut suatu program proyek, yakni memilih tujuan objective, tujuan antara, kebijakan, prosedur dan program. Sukirno (1985) mengemukakan pendapatnya tentang konsep pembangunan, mempunyai tiga sifat penting, yaitu : proses terjadinya perubahan secara terus menerus, adanya bisnis buat menaikkan pendapatan perkapita rakyat dan kenaikan pendapatan rakyat yg terjadi dalam jangka ketika yg,panjang.

Menurut Todaro (1998) pembangunan bukan hanya kenyataan semata, tetapi dalam akhirnya pembangunan tadi harus melampaui sisi materi dan keuangan dari kehidupan insan. Dengan demikian pembangunan idealnya dipahami sebagai suatu proses yg berdimensi jamak, yg melibatkan masalah pengorganisasian serta peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi serta sosial. Berdimensi jamak dalam hal ini ialah membahas komponen-komponen ekonomi juga non ekonomi Todaro (1998) menambahkan bahwa pembangunan ekonomi sudah digariskan balik dengan dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan serta pengangguran pada kontenks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yg sedang berkembang.

Rostow (1971) jua menyatakan bahwa pengertian pembangunan tidak hanya dalam lebih banyak hasil yang didapatkan namun juga lebih poly hasil daripada yang diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-tahapan : masyarakat tradisional, pra syarat tanggal landas, tanggal landas, gerakan menuju kematangan dan masa konsumsi besar -besaran. Kunci diantara tahapan ini adalah tahap tanggal landas yang didorong oleh satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor utama ini sudah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang bergerak maju.

Menurut Hanafiah (1892) pengertian pembangunan mengalami perubahan lantaran pengalaman pada tahun 1950-an hingga tahun 1960-an menerangkan bahwa pembangunan yg berorientasi dalam kenaikan pendapatan nasional nir sanggup memecahkan kasus pembangunan. Hal ini terlihat menurut tingkat hayati sebagian besar warga tidak mengalami pemugaran kendatipun sasaran kenaikan pendapatan nasional per tahun semakin tinggi. Dengan istilah lain, ada indikasi-indikasi kesalahan besar pada mengartikan istilah pembangunan secara sempit.

Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu tidak mampu diartikan sebagai kegiatan-aktivitas yg dilakukan negara buat membuatkan aktivitas ekonomi serta tingkat hayati masyarakatnya.

Berbagai sudut pandang bisa digunakan buat menelaah pembangunan pedesaan. 
Menurut Haeruman ( 1997 ), ada dua sisi pandang buat mengkaji pedesaan, yaitu: 
1. Pembangunan pedesaan dicermati menjadi suatu proses alamiah yg bertumpu pada potensi yang dimiliki serta kemampuan masyarakat desa itu sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga perubahan yg diharapkan berlangsung pada rentang ketika yang panjang. 
2) Sisi yg lain memandang bahwa pembangunan pedesaan sebagai suatu hubungan antar potensi yang dimiliki sang masyarakt desa serta dorongan berdasarkan luar buat mempercepat pemabangunan pedesaan.

Pembangunan desa adalah proses kegiatan pembangunan yg berlangsung didesa yg mencakup semua aspek kehidupan dan penghidupan warga . Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia no : 72 tahun 2005 tentang desa sebagaimana dimaksud pada ayat (dua) bahwa perencanaan pembangunan desa disusun secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai menggunakan kewenangannya serta dari ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa wajib melibatkan lembaga kemasyarakatan desa.

Tujuan Perencanaan Pembangunan sebagai berikut:
1.mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.
2.menjamin sinkronisasi dan sinergi menggunakan pelaksanaan Pembangunan Daerah.
3.menjamin keterkaitan dan konsistensi antara Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan dan Pengawasan.
4. Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan Sumber Daya Desa secara efisien, efektif, berkeadilan serta berkelanjutan.

Kebijakan perencanaan pembangunan desa adalah suatu panduan-pedoman dan ketentuan-ketentuan yg dianut atau dipilih pada perencanaan pelaksanakan (memanage) pembangunan di desa yang meliputi seluruh aspek kehidupan serta penghidupan warga sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat
- Produktivitas kegiatan ekonomi, seperti pertanian, peternakan mengalami peningkatan
- Proses produksi sedang mengalami perubahan relatif berat, melalui adopsi teknologi
- Komersialisasi sudah relatif tinggi, pasar digunakan buat menjual output dan membeli input produksi
- Penggunaan tenaga kerja luar dan adanya pasar upah tenaga kerja mulai berkembang
- Memanfaatkan teknologi baru
- Produksi berorientasi pasar. Sebagian besar dijual untuk pasar sebagai akibatnya jenis komoditi yg diproduksi selalu diubahsuaikan dengan keadaan harga pasar. Tujuan produksi adalah buat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
- Mulai menerapkan sistem Agribisnis Paradigma Pertanian berubah sebagai  Agribisnis dan Agroindustri serta perdagangan berkembang.
- Masyarakat sangat menghargai pedidikan, bersedia melakukan human  investment
- Masyarakat sudah mengadopsi kehidupan di kota. Perbedaannya aktivitas ekonominya merupakan berbasis pedesaan seperti pertanian, industri desa. Masalah-Masalah Dalam Pembangunan

Masalah yang dikemukakan oleh Chayanov serta boeke, terutama berdasarkan atas sistem sosial atau kebudayaan yg berakar dalam yg menciptakan Teori Ekonomi Modern seolah-olah tidak dapat diterapkan pada desa-desa atau warga seperti ini. Tetapi selain kasus yang dari dari sistem sosial atau kebudayaan, sebenarnya banyak masalah lain yang menyebabkan timbulnya perkara pembangunan desa kasus-perkara tersebut terutama adalah:
1. Masalah pertumbuhan penduduk penduduk yang berat, sehingga pemilikan tanah semakin berkurang, terutama dalam daerah yang terbatas lahannya (Sumber Daya Alam)
2. Tingkat Pendidikan rendah yang menyebabkan adopsi teknologi rendah dan stagnansi produk juga kasus lain yang bisa ada dengan serius misalnya kasus kesehatan, rendahnya produktivitas kerja dan masalah kepemimpinan desa 

Kabupaten Madiun menaruh kemudahan pada pembangunan prasarana seperti irigasi, drainase, dalam pemasaran output-hasil pertanian, pengadaan kapital buat pembaharuan usaha-bisnis pertanian (perkreditan serta akumulasi kapital)

Masalah ini perlu dimengerti keadaannya, agar kebijakan dan perencanaan pembangunan desa dapat dibuat dengan relatif lebih baik.

Pemerintahan Desa pada menyelenggarakan kewenangannya dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan masyarakat belum dapat optimal lantaran terdapat banyak sekali perseteruan, misalnya;
1. Terlalu cepatnya perubahan banyak sekali peraturan perundang-undangan sebagai akibatnya menimbulkan kebingungan ditingkat pelaksana serta terkadang peraturan perundang-undangan yg diharapkan kurang lengkap dan memadai; 
2. Fasilitasi oleh Pemerintah serta Pemerintah Daerah masih tak jarang terlambat; 
3. Terbatasnya tingkat kesejahteraan para penyelenggaran pemerintahan desa; 
4. Sebagian kualitas aparat pemerintahan desa masih terbatas pada menggalang partisipasi masyarakat, menumbuhkan keswadayaan serta kemandirian pada menciptakan, memanfaatkan, memelihara serta menyebarkan output-hasil pembangunan;
5. Sangat terbatasnya sarana serta prasarana pemerintahan desa 
6. Belum terdapat kepastian mengenai kewenangan dan asal pendapatan 

Kebijakan Pembangunan Desa
Bertolak dari pertarungan diatas, Pemerintah memutuskan banyak sekali kebijakan buat memberdayakan, memantapkan, menguatkan Pemerintahan Desa. Kebijakan dimaksud antara lain:
(a) Pemantapan kerangka aturan
(b) Penataan wewenang dan baku pelayanan minimal Desa; 
(c) Pemantapan kelembagaan; 
(d) Pemantapan administrasi serta keuangan Desa;
(e) Peningkatan asal daya manusia penyelenggara pemerintahan desa dan 
(f) peningkatan kesejahteraan para penyelenggara pemerintahan desa.
Untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana diurai diatas, acara prioritas yang akan dilaksanakan sang Pemerintah Daerah meliputi: 

1. Pemantapan kerangka anggaran:
Lingkup kegiatannya yaitu; meningkatkan kecepatan penyelesaian Peraturan Pemerintah, perda, Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa yg sinkron menggunakan prinsip keanekaragaman, demokratisasi, otonomi, partisipasi dan pemberdayaan warga . 

2. Penataan organisasi dan wewenang: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan organisasi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta Lembaga Kemasyarakatan Desa beserta wewenang yg wajib dimilikinya; 

3. Pemantapan sumber pendapatan dan kekayaan desa: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penataan manajemen perimbangan keuangan antara Kabupaten/Kota menggunakan Desa terutama mengenai alokasi dana desa, upaya peningkatan pendapatan orisinil desa, upaya penga-daan bantuan menurut pemerintah dan pemerintah provinsi kepada desa, pembentukan badan usaha milik desa dan peningkatan dayaguna serta output guna aset yang dimiliki juga yg dikelola sang desa.

4. Penataan sistem informasi dan administrasi pemerintahan desa yg gampang, cepat, dan murah terutama yg berkaitan menggunakan kebutuhan dasar. 

5. Pemantapan serta pengembangan kapasitas:
Lingkup kegiatannya yaitu; menaikkan kapasitas Kepala Desa, Perangkat Desa, anggota Badan Permusyawaratan Desa agar lebih bisa menyelenggarakan pelayanan kepada rakyat secara demokratis, transparan serta akuntabel berdasarkan nilai-nilai sosial budaya setempat. 

6. Pengadaan wahana serta prasarana: 
Lingkup kegiatannya yaitu; penyediaan wahana serta prasarana pemerintahan desa yang memadai pada rangka melaksanakan tugas dan kegunaannya sebagai pelayan rakyat yg terdepan.

Beberapa program-program pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan, misalnya program bidang pangan, acara Inpres Desa Tertinggal, merupakan galat satu upaya pemerintah pada rangka membuatkan pedesaan dalam mengejar ketertinggalannya menurut perkotaan. Selain itu guna menyokong program pangan, pemerintah menyediakan donasi Kredit Usaha Tani ( KUT ) bagi para petani pada menaruh permodalan pada pengelolaan lahannya. 

Akan namun acara-acara tadi belum bisa menaikkan kesejahteraan petani karena harga beras lokal masih relative lebih tinggi dibandingkan dengan harga beras impor. Sedangkan dana pengembalian KUT sampai saat ini poly yang menunggak karena petani nir sanggup membayar cicilan tadi. Adapun program IDT lebih cenderung dalam pembangunan fisik saja sehingga penekanan terhadap pembangunan masyarakat umum kurang tersentuh. Padahal berbagai dilema yang membutuhkan penanganan pembangunan rakyat desa sesungguhnya sangat mendesak, seperti ketertinggalaan desa dari kota hampIr di segala bidang, nir terakomodasinya impian serta kebutuhan masyarakat dalam acara-program pemerintah, serta kualiatas pendidikan serta kesejahteraan masih rendah. 

Berdasarkan pengalaman tadi telah seharusnya pendekataan pembangunan pedesaan mulai diarahkan secara integral dengan mempertimbangkan kekhasan daerah baik dilihat menurut sisi syarat, potensi dan prospek menurut masing-masing wilayah. Tetapi di dalam penyusunan kebijakan pembangunan pedesaan secara generik bisa dicermati pada 3 kelompok (Haeruman, 1997), yaitu :
  • Kebijakan secara nir pribadi diarahkan dalam penciptaan kondisi yg menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan pedesaan yang mendukung aktivitas sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana serta prasarana pendukung (pasar, pendidikan, kesehatan, jalan, serta lain sebagainya), penguatan kelembagaan, dan proteksi terhadap kegiatan sosial ekonomi masyarakat melalui undang- undang. 
  • Kebijakan yang langsung diarahkan dalam peningkatan aktivitas ekonomi rakyat pedesaan. 
  • Kebijakan spesifik menjangkau warga melalui upaya khusus, misalnya penjaminan aturan melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap keamanan serta ketenangan masyarakat. 
  • Di samping itu kebijakan pembangunan pedesaan wajib dilaksanakan melalui pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu dimulai dengan pernyataan yang mengkut sektor apa yg perlu dikembangkan buat mencapai tujuan pembangunan. Berbeda menggunakan pendekatan sektoral, pendekatan regional lebih menitik beratkan dalam daerah mana yg perlu mendapat prioritas buat dikembangkan, baru kemudian sektor apa yang sinkron untuk dikembangkan pada masing-masing daerah. Di dalam kenyataan, pendekatan regional acapkali diambil tidak pada kerangka totalitas, melainkan hanya buat beberapa wilayah eksklusif, seperti daerah kolot, wilayah perbatasan, atau daerah yg diperlukan memiliki posisi trategis dalam arti ekonomi-politis. Oleh lantaran arah yg dituju merupakan adonan antara pendekatan sektoral dan regional, maka pembangunan daerah perlu selalu dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial.

PENGERTIAN PERENCANAAN MUNURUT PARA AHLI

Pengertian Perencanaan Munurut Para Ahli
Pengertian perencanaan memiliki banyak makna sinkron dengan pandangan masing-masing pakar dan belum masih ada batasan yang dapat diterima secara umum. Pengertian atau batasan perencanaan tadi diantaranya menjadi berikut :
  • Perencanaan adalah suatu proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang dilakukan buat mencapai suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu dalam hakekatnya masih ada dalam setiap jenis bisnis manusia (Khairuddin, 1992 : 47). 
  • Perencanaan merupakan merupakan suatu upaya penyusunan program baik acara yg sifatnya umum maupun yang spesifik, baik jangka pendek juga jangka panjang (Sa’id & Intan, 2001 : 44 ). 
  • Perencanaan sebagai Analisis Kebijakan (Planning as Policy Analysis) yaitu, merupakan tradisi yang diilhami sang akal-logika berpikir ilmu manajemen, administrasi publik, kebangkitan balik ekonomi neoklasik, dan teknologi fakta yang dianggap sibernetika (Aristo, 2004). 
Perencanaan, meskipun mengandung pengertian masa depan, bukanlah hipotesis yg dibentuk tanpa perhitungan. Hipotesis dalam perencanaan selalu didasarkan atas data-data dan perkiraan yang sudah tercapai, serta jua memperhitungkan sumber daya yg ada serta akan bisa dihimpun. Dengan demikian, perencanaan berfungsi menjadi panduan sekaligus ukuran untuk menentukan perencanaan berikutnya. Mosher (1965 : 191) menyatakan bahwa, sering perencanaan hanya mencakup kegiatan-aktivitas baru, atau alokasi keuangan buat aktivitas-aktivitas lama , tanpa menilai pulang kualitasnya secara kritis. Acapkali lebih poly sumbangan bisa diberikan kepada pembangunan menggunakan memperbaiki kualitas kegiatan yang sedang dalam pelaksanaan daripada memulai yang baru. 

Perencanaan dalam dasarnya adalah penetapan cara lain , yaitu memilih bidang-bidang dan langkah-langkah perencanaan yg akan diambil dari banyak sekali kemungkinan bidang dan langkah yg terdapat. Bidang dan langkah yang diambil ini tentu saja dilihat sinkron dengan tujuan yang hendak dicapai, asal daya yang tersedia dan memiliki resiko yang sekecil-kecilnya. Oleh sebab itu, dalam penentuannya timbul aneka macam bentuk perencanaan yang merupakan cara lain -cara lain ditinjau menurut banyak sekali sudut, seperti yg dijelaskan sang Westra (1980) pada Khairuddin (1992 : 48), antara lain :
  • Dari segi jangka saat, perencanaan bisa dibedakan : (a) perencanaan jangka pendek (1 tahun), dan (b) perencanaan jangka panjang (lebih dari 1 tahun). 
  • Dari segi luas lingkupnya, perencanaan bisa dibedakan : (a) perencanaan nasional (umumnya untuk mengejar keterbelakangan suatu bangsa dalam berbagai bidang), (b) perencanaan regional (untuk menggali potensi suatu daerah serta menyebarkan kehidupan masyarakat daerah itu), dan (c) perencanaan lokal, contohnya; perencanaan kota (untuk mengatur pertumbuhan kota, menertibkan penggunaan loka serta memperindah corak kota) dan perencanaan desa (buat menggali potensi suatu desa serta membuatkan warga desa tersebut). 
  • Dari segi bidang kerja yang dicakup, dapat dikemukakan antara lain : industrialisasi, agraria (pertanahan), pendidikan, kesehatan, pertanian, pertahanan serta keamanan, serta lain sebagainya. 
  • Dari segi rapikan jenjang organisasi serta taraf kedudukan menejer, perencanaan dapat dibedakan : (a) perencanaan haluan policy planning, (b) perencanaan program (acara rencana) dan (c) perencanaan langkah operational rencana. 
Perencanaan Pembangunan Masyarakat
Soetomo (2006 : 56) mengungkapkan bahwa, pembangunan masyarakat ditinjau berdasarkan mekanisme perubahan pada rangka mencapai tujuannya, kegiatan pembangunan warga ada yg mengutamakan dan memberikan fokus dalam bagaimana prosesnya hingga suatu output pembangunan dapat terwujud, dan adapula yg lebih menekankan pada hasil material, pada pengertian proses dan prosedur perubahan buat mencapai suatu hasil material tidak begitu dipersoalkan, yg krusial dalam waktu relatif singkat bisa ditinjau hasilnya secara fisik. Pendekatan yg pertama acapkali disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan proses dan lebih menekankan pada aspek manusianya, sedangkan pendekatan yg ke 2 diklaim sebagai pendekatan yang mengutamakan output-output material dan lebih menekankan pada sasaran.

Secara umum community development merupakan kegiatan pengembangan warga yg dilakukan secara sistematis, bersiklus dan diarahkan buat memperbesar akses rakyat guna mencapai syarat sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yg lebih baik apabila dibandingkan menggunakan kegiatan pembangunan berikutnya. Dengan dasar itulah maka pembangunan warga secara umum ruang lingkup acara-programnya dapat dibagi menurut kategori sebagai berikut : (1) community service, (2) community empowering, dan (tiga) community relation (Rudito & Budimanta, 2003 : 29, 33).

Solihin (2006), membicarakan tiga tahapan perencanaan pembangunan yaitu : (1) perumusan serta penentuan tujuan, (dua) pengujian atau analisis opsi atau pilihan yg tersedia, serta (tiga) pemilihan rangkaian tindakan atau kegiatan untuk mencapai tujuan yg telah ditentukan serta sudah disepakati bersama. Dari ketiga tahapan perencanaan tersebut dapat didefenisikan perencanaan pembangunan daerah atau dearah sebagai berikut yaitu : suatu usaha yg sistematik berdasarkan berbagai pelaku (aktor) baik umum (publik) atau pemerintah, partikelir, juga gerombolan rakyat stakeholder lainnya dalam strata yg tidak sinkron buat menghadapi saling ketergantungan dan keterkaitan aspek fisik, sosial, ekonomi serta aspek lingkungan lainnya. Selanjutnya Adi (2003 : 81-82), dalam perencanaan sosial tidak ada perkiraan yg pervasif tentang tingkat intraktabilitas ataupun perseteruan kepentingan. Dalam perencanaan sosial klien lebih ditinjau sebagai konsumen dari suatu layanan (service), dan mereka akan mendapat serta memanfaatkan program serta layanan menjadi hasil dari proses perencanaan.

Suzetta (2007) menjelaskan bahwa, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, sudah dijabarkan lebih lanjut ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 39 serta No. 40 Tahun 2006. Sistem perencanaan ini dibutuhkan bisa mengkoordinasikan seluruh upaya pembangunan yg dilaksanakan sang aneka macam pelaku pembangunan sehingga menghasilkan sinergi yang optimal pada mewujudkan tujuan serta harapan bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka Proses perubahan sosial (atau “pembangunan”) tersebut perlu dilakukan secara berkala, terkoordinasi, konsisten, dan berkelanjutan, melalui “kiprah pemerintah beserta masyarakat” dengan memperhatikan syarat ekonomi, perubahan-perubahan sosio-politik, perkembangan sosial-budaya yang terdapat, perkembangan ilmu serta teknologi, serta perkembangan global internasional atau globalisasi.

Perencanaan Pembangunan Partisipasi 
1. Pengertian Partisipasi
Istilah partisipasi sekarang ini menjadi istilah kunci dalam setiap program pengembangan masyarakat dimana-mana, seolah-olah sebagai “lebel baru” yang harus inheren dalam setiap rumusan kebijakan serta proposal proyek. Dalam perkembangannya tak jarang diucapkan dan ditulis berulang-ulang tetapi kurang dipraktekkan, sebagai akibatnya cenderung kehilangan makna. Partisipasi sepadan dengan arti peranserta, ikutserta, keterlibatan, atau proses belajar bersama saling tahu, menganalisis, merencanakan serta melakukan tindakan oleh sejumlah anggota rakyat.

Asngari (2001: 29) menyatakan bahwa, penggalangan partisipasi itu dilandasi adanya pengertian bersama dan adanya pengertian tersebut adalah lantaran diantara orang-orang itu saling berkomunikasi serta berinteraksi sesamanya. Dalam menggalang peran dan semua pihak itu dibutuhkan : (1) terciptanya suasana yang bebas atau demokratis, dan (2) terbinanya kebersamaan. Selanjutnya Slamet (2003: 8) menyatakan bahwa, partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan menjadi ikut sertanya warga pada pembangunan, ikut dalam aktivitas-kegiatan pembangunan, dan ikut dan memanfaatkan serta menikmati output-hasil pembangunan. Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada 3 tradisi konsep partisipasi terutama apabila dikaitkan dengan pembangunan rakyat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, dua) partisipasi sosial Social Participation dan tiga) partisipasi rakyat Citizen Participation/Citizenship, ke 3 hal tersebut bisa dijelaskan menjadi berikut :
  • Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi dalam ”mensugesti” serta ”mendudukan wakil-wakil masyarakat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri. 
  • Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak pada luar proses pembangunan pada konsultasi atau pengambilan keputusan pada seluruh tahapan daur proyek pembangunan berdasarkan evaluasi kebutuhan hingga evaluasi, implementasi, pemantauan serta evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan buat memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan istilah lain, tujuan primer dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam global kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial. 
  • Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan dalam partisipasi pribadi masyarakat pada pengambilan keputusan pada lembaga serta proses kepemerintahan. Partisipasi rakyat sudah mengalihkan konsep partisipasi “menurut sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan aneka macam bentuk keikutsertaan masyarakat pada pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan pada aneka macam gelanggang kunci yg mensugesti kehidupan mereka”. Maka berbeda menggunakan partisipasi sosial, partisipasi rakyat memang lebih berorientasi dalam rencana penentuan kebijakan publik oleh masyarakat ketimbang mengakibatkan arena kebijakan publik sebagai sarana pembelajaran. 
2. Proses Perencanaan Pembangunan Partisipasi
Ndraha (1990 : 104) menyatakan bahwa, dalam menggerakkan pemugaran syarat serta peningkatan tingkat hayati masyarakat, maka perencanaan partisipasi harus dilakukan dengan bisnis : (1) perencanaan wajib disesuaikan menggunakan kebutuhan warga yang konkret (felt need), (2) dijadikan stimulasi terhadap warga , yg berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response), dan (tiga) dijadikan motivasi terhadap warga , yg berfungsi membangkitkan tingkah laku (behavior). Dalam perencanaan yg partisipatif (participatory planning), warga dipercaya sebagai mitra pada perencanaan yang turut berperan serta secara aktif baik dalam hal penyusunan maupun implementasi planning, lantaran walau bagaimanapun rakyat adalah stakeholder terbesar dalam penyusunan sebuah produk rencana.

Suzetta (2007), menjadi cerminan lebih lanjut berdasarkan demokratisasi dan partisipasi menjadi bagian berdasarkan good governance maka proses perencanaan pembangunan juga melalui proses partisipatif. Pemikiran perencanaan partisipatif diawali berdasarkan pencerahan bahwa kinerja sebuah prakarsa pembangunan rakyat sangat dipengaruhi oleh semua pihak yang terkait menggunakan prakarsa tadi. Sejak dikenalkannya model perencanaan partisipatif, istilah “stakeholders” menjadi sangat meluas dan akhirnya dipercaya menjadi idiom model ini.

Slamet (2003 : 11) menegaskan bahwa bisnis pembangunan pedesaan melalui proses perencanaan partisipasi perlu didekati dengan banyak sekali cara yaitu : (1) penggalian potensi-potensi dapat dibagung sang warga setempat, (2) training teknologi sempurna guna yg meliputi penciptaan, pengembangan, penyebaran hingga digunakannya teknologi itu sang masyarakat pedesaan, (tiga) pelatihan organisasi usaha atau unit pelaksana yang melaksanakan penerapan banyak sekali teknologi sempurna guna buat mencapai tujuan pembangunan, (4) training organisasi pembina/pendukung, yg menyambungkan usaha pembangunan yang dilakukan sang individu-individu rakyat masyarakat pedesaan dengan forum lain atau menggunakan taraf yang lebih tinggi (kota, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional), (5) pelatihan kebijakan pendukung, yaitu yang mencakup input, biaya kredit, pasaran, dan lain-lain yg memberi iklim yg harmonis untuk pembangunan.

Cahyono (2006), proses perencanaan pembangunan dari partisipasi masyarakat harus memperhatikan adanya kepentingan warga yg bertujuan untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat, sebagai akibatnya itu dalam proses perencanaan pembangunan partisipasi terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya : (1) perencanaan acara harus berdasarkan kabar serta fenomena dimasyarakat, (2) Program wajib memperhitungkan kemampuan rakyat menurut segi teknik, ekonomi dan sosialnya, (tiga) Program wajib memperhatikan unsur kepentingan grup dalam warga , (4) Partisipasi rakyat dalam pelaksanaan acara (5) Pelibatan sejauh mungkin organisasi-organisasi yang terdapat (6) Program hendaknya memuat program jangka pendek serta jangka panjang, (7) Memberi kemudahan buat evaluasi, (8) Program wajib memperhitungkan syarat, uang, saat, indera serta energi (KUWAT) yang tersedia.

PENGERTIAN DAN TAHAP FORMULASI KEBIJAKAN

Pengertian Dan Tahap Formulasi Kebijakan 
Dalam fase formulasi kebijakan publik, realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik nir boleh dilepaskan dari penekanan kajiannya. Sebab bila kita melepaskan fenomena politik menurut proses pembuatan kebijakan publik, maka kentara kebijakan publik yang dihasilkan itu akan miskin aspek lapangannya. Sebuah produk kebijakan publik yang miskin aspek lapangannya itu jelas akan menemui poly duduk perkara dalam tahap penerapan berikutnya. Dan yg nir boleh dilupakan merupakan penerapannya dilapangan dimana kebijakan publik itu hidup tidaklah pernah steril menurut unsur politik. Formulasi kebijakan publik merupakan langkah yg paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan, sang lantaran apa yang terjadi dalam tahap ini akan sangat memilih berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh karena itu perlu adanya kehati-hatian lebih menurut para produsen kebijakan saat akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang wajib diingat jua merupakan bahwa formulasi kebijakan publik yg baik merupakan formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi serta penilaian. Sebab sering para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu merupakan sebuah uraian konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal serta normatif, namun tidak membumi. Padahal sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu merupakan sebuah uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap empiris tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yg dihasilkan itu nir sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah perkara asalkan uraian atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang terdapat dilapangan (Fadillah, 2001:49-50).

Solichin menyebutkan, bahwa seseorang ahli dari Afrika, Chief J.O. Udoji (1981) merumuskan secara terang pembuatan kebijakan negara dalam hal ini merupakan formulasi kebijakan menjadi :

“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, chenelling those demands into the political system, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)” (Keseluruhan proses yg menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian kasus, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan perkara pada bentuk tuntutan-tuntutan politik, penyaluran tuntutan-tuntutan tersebut kedalam sistem politik, pengupayaan hadiah hukuman-hukuman atau legitimasi dari arah tindakan yg dipilih, pengesahan dan pelaksanaan/implementasi monitoring serta peninjauan kembali (umpan kembali) (Dalam Solichin. 2002:17).

Menurut pendapatnya, siapa yg berpartisipasi dan apa peranannya pada proses tadi buat sebagian besar akan tergantung dalam struktur politik pengambilan keputusan itu sendiri.

Untuk lebih jauh memahami bagaimana formulasi kebijakan publik itu, maka ada empat hal yang dijadikan pendekatan-pendekatan pada formulasi kebijakan publik dimana telah dikenal secara generik sang khalayak kebijakan publik yaitu :
1. Pendekatan Kekuasaan pada pembuatan Kebijakan Publik
2. Pendekatan Rasionalitas dan Pembuatan Kebijakan publik
3. Pendekatan Pilihan Publik pada Pembuatan Kebijakan Publik
4. Pendekatan Pemrosesan Personalitas, Kognisi dan Informasi pada Formulasi Kebijakan Publik
(Fadillah, 2001:50-62).

Oleh sebeb itu pada proses formulasi kebijakan publik ini Fadillah mengutip pendapat menurut Yezhezkhel Dror yg membagi termin-termin proses-proses kebijakan publik dalam 18 langkah yang merupakan uraian berdasarkan tiga tahap besar dalam proses pembuatan kebijakan publik yaitu : 

A. Tahap Meta Pembuatan kebijakan Publik (Metapolicy-making stage):
1. Pemrosesan nilai;
2. Pemrosesan realitas;
3. Pemrosesan kasus;
4. Survei, pemrosesan serta pengembangan asal daya;
5. Desain, evaluasi, dan redesain sistem pembuatan kebijakan publik;
6. Pengalokasian kasus, nilai, dan sumber daya;
7. Penentuan strategi pembuatan kebijakan.

B. Tahap Pembuatan Kebijakan Publik (Policy making)
1. Sub alokasi asal daya;
2. Penetapan tujuan operasional, menggunakan beberapa prioritas;
3. Penetapan nilai-bilai yg signifikan, dengan beberapa prioritas;
4. Penyiapan cara lain -cara lain kebijakan secara generik;
5. Penyiapan prediksi yg realistis atas berbagai alternatif tersebut diatas, berikut laba dan kerugiannya;
6. Membandingkan masing-masing alternatif yg ada itu sekaligus menentukan cara lain mana yg terbaik;
7. Melakukan ex-ante evaluation atas alternatif terbaik yg telah dipilih tersebut diatas.

C. Tahap Pasca Pembuatan Kebijakan Publik (Post policy-making stage)
1. Memotivasi kebijakan yang akan diambil;
2. Mengambil dan menetapkan kebijakan publik;
3. Mengevaluasi proses pembuatan kebijakan publik yg telah dilakukan;
4. Komunikasi dan umpan pulang atas semua fase yg telah dilakukan.
(Dalam Fadillah, 2001:75-76)

Analisis kebijakan dilakukan buat membentuk, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yg relevan menggunakan kebijakan pada satu atau lebih termin proses pembuatan kebijakan. Tahap termin tadi mencerminkan kegiatan yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang ketika. Setiap termin herbi termin yg berikutnya, serta termin terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan menggunakan termin pertama (penyusunan agenda), atau termin ditengah, pada lingkaran aktivitas yang tidak linear. Aplikasi prosedur bisa berakibat pengetahuan yg relevan menggunakan kebijakan yang secara pribadi mempengaruhi perkiraan, keputusan, dan aksi pada satu termin yang lalu secara tidak eksklusif mensugesti kinerja tahap-termin berikutnya. Aktivitas yg termasuk pada aplikasi prosedur analisis kebijakan merupakan tepat buat tahap-tahap tertentu berdasarkan proses pembuatan kebijakan, seperti ditunjukan dalam segi empat (tahap-tahap pembuatan kebijakan) dan oval yg digelapkan (prosedur analisis kebijakan) dalam bagan dua.1. Masih ada sejumlah cara dimana penerapan analisis kebijakan bisa memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya (N. Dunn. 2000:23).

Tabel Tahap-termin dalam Proses Pembuatan Kebijakan
FASE

KARAKTERISTIK

PENYUSUNAN AGENDA

Para pejabat yg dipilih dan diangkat menempatkan kasus dalam rencana publik. Banyak masalah nir disentuh sama sekali ad interim lainnya ditunda buat waktu lama .
FORMULASI KEBIJAKAN

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan buat mengatasi kasus. Alternatif kebijakan melihat perlunya menciptakan perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.
ADOPSI KEBIJAKAN

Alternatif kebijakan yang diadopsi menggunakan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesnsus diantara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan yg telah diambil dilaksanakan sang unit-unit administrasi yg memobilisasikan asal daya finansial dan insan.
PENILAIAN KEBIJAKAN

Unit-unit pemeriksanaan dan akuntansi pada pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif. Legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan undang-undang dalam pembuatan kebijakan serta pencapaian tujuan.
Sumber : William N. Dunn, 2000:24. 

Pengertian Implementasi Kebijakan dan Faktor Keberhasilan dan Kegagalannya pada Implementasi

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar bersangkut paut menggunakan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih berdasarkan itu, beliau menyangkut masalah permasalahan, keputusan dan siapa yang memperoleh apa berdasarkan kebijakan. Oleh karenanya nir terlalu salah apabila dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang krusial menurut keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah kebijakan nir akan ada keuntungannya apabila nir dapat diterapkan sesuai dengan rencana. Penerapan adalah suatu proses yg tidak sederhana (Dalam Solichin, 1997:45). Bahkan Udoji menyampaikan menggunakan tegas bahwa “The execution of policies is a important if not more important than policy-making. Policy will remain dreams or blue prints arsip jackets unless they are implemented” (Pelaksanaan kebijakan merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa virtual atau planning indah yang tersimpan rapih dalam file jika tidak diimplementasikan). Oleh karena itu implementasi kebijakan perlu dilakukan secara arif, bersifat situasional mengacu pada semangat kompetensi serta berwawasan pemberdayaan (Dalam Solichin, 1997:45). Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan dibutuhkan lebih banyak yg terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan kebijakan bersifat interaktif pada proses perumusan kebijakan. Penerapan sebagai sebuah proses hubungan antara suatu tujuan serta tindakan yg sanggup buat meraihnya. Penerapan adalah kemampuan buat membangun hubungan-hubungan lebih lanjut pada rangkaian karena dampak yang menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah perkara yg gampang terutama dalam mencapai tujuan beserta, relatif sulit buat membuat sebuah kebijakan publik yg baik serta adil. Dan lebih sulit lagi buat melaksanakannya pada bantuk dan cara yang memuaskan seluruh orang termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya merupakan kesulitan dalam memenuhi tuntutan aneka macam kelompok yang bisa menyebabkan pertarungan yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik.

Definisi dan konsep implementasi kebijakan publik ini sangat bervariasi. Menurut Van Meter serta Van Horn yg dikutip sang Fadillah menyatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan : 

“Pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijakan hingga tercapainya hasil kebijakan”. Kemudian merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai : “Policy implementation encompasses those actions by public or private individuals (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions” (pernyataan ini menaruh makna bahwa implementasi kebijakan adalah holistik tindakan-tindakan yang dilakukan baik sang individu-individu, dan kelompok-grup pemerintah serta partikelir yang diarahkan dalam tercapainya tujuan dan target, yg menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan) (Dalam Fadillah, 2001:81).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan serta dampak aktualnya.

Didalam artikel yang membahas mengenai Studi Niat Berimigrasi pada Tiga Kota, Determinan dan Intervensi Kebijaksanaan ditulis, bahwa buat mengukur kinerja implementasi kebijakan menurut pendapat Keban yang dikutip berdasarkan pendapat Van Meter dan Van Horn yg menyatakan menyatakan “Suatu kebijakan tentulah menegaskan standar serta target tertentu yg harus dicapai sang para pelaksana kebijakan, kinerja kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian baku dan sasaran tersebut”. Lebih sederhana lagi kinerja (performance) adalah taraf pencapaian hasil atau the degree of accomplishment. Dalam model Van Meter dan Van Horn ini ada enam faktor yg bisa menaikkan kejelasan antara kebijakan serta kinerja implementasi, variabel-variabel tersebut merupakan baku serta sasaran kebijakan, komunikasi antar organisasi serta pengukuran kegiatan, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi serta politik, sumber daya, perilaku pelaksana (Dalam Keban, 1994:1).

Pada dasarnya indikator kinerja buat menilai derajat pencapaian standar dan target kebijakan dapat dijelaskan bahwa aktivitas itu melangkah berdasarkan tingkat kebijakan yang masih berupa dokumen peraturan menuju penentuan baku spesifik dan kongkrit dalam menilai kinerja acara. Dengan baku dan sasaran dapat diketahui seberapa besar keberhasilan program yg sudah dicapai.

Ripley serta Franklin dalam bukunya yang berjudul Birokrasi serta Implementasi Kebijakan (Policy Implementation and Bureaucracy) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan atau program dapat ditujukan berdasarkan 3 faktor yaitu :
1. Perspektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi berdasarkan kepatuhan strect level bereau crats terhadap atasan mereka.
2. Keberhasilan implementasi diukur berdasarkan kelancaran rutinitas dan tiadanya dilema.
3. Implementasi yg berhasil menunjuk pada kinerja yg memuaskan seluruh pihak terutama grup penerima manfaat yg diharapkan”.
(Ripley dan Franklin, 1986:89)

Secara sederhana ketiga faktor diatas adalah suatu kepastian dalam menilai keberhasilan suatu implementasi kebijakan sehingga kurang hilangnya galat satu faktor mensugesti sekali terhadap kinerja kebijakan tersebut.

Kemudian kebalikannya Jam Marse mengemukakan bahwa ada 3 faktor yg bisa mengakibatkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yaitu:
1. Isu kebijakan. Implementasi kebijakan bisa gagal lantaran masih ketidaktetapan atau ketidak tegasan intern juga ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.
2. Informasi. Kekurangan informasi dengan gampang mengakibatkan adanya gambaran yg kurang sempurna baik pada objek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yg akan dilaksanakannya dan hasil-output dari kebijakan itu.
3. Dukungan. Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaanya nir cukup dukungan buat kebijakan tadi.
(Solichin, 1997:19)

Ketiga faktor yg bisa menimbulkan kegagalan pada proses implementasi kebijakan sebelumnya harus sudah difikirkan pada merumuskan kebijakan, karena tidak tertutup kemungkinan kegagalan didalam penerapan kebijakan sebagaian akbar terletak pada awal perumusan kebijakan sang pemerintah sendiri yang tidak bisa bekerja aporisma dan bahkan nir memahami apa yang wajib dilakukan.

Model-contoh Implementasi Kebijakan
Sekalipun pada khasanah ilmu kebijakan negara atau analisis kebijakan negara sudah banyak dikembangkan model-contoh atau teori yg membahas mengenai implementasi kebijakan namun penulis hanya akan membicarakan beberapa model implementasi kebijakan yang relatif baru serta banyak mempengaruhi banyak sekali pemikiran maupun tulisan para pakar.

Pertama, model yg dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn (1978; 1986). Model ini kerap kali disebut sebagai “The top down approach”, menurutnya buat mengimplementasikan kebijakan negara secara paripurna maka diperlukan beberapa persyaratan eksklusif, kondisi-kondisi itu adalah sebagai berikut :
1. Kondisi eksternal yang dihadapi sang Badan/Instansi pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/hambatan yang serius
2. Untuk pelaksanaan acara tersedia ketika dan sumber yg cukup memadai
3. Perpaduan asal-sumber yang diharapkan benar-benar tersedia
4. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari sang suatu hubungan kausalitas yg andal
5. Hubungan kausalitas bersifat eksklusif serta hanya sedikit mata rantai penghubungnya
6. Hubungan saling ketergantungan harus sedikit
7. Pemahaman yg mendalam serta konvensi terhadap tujuan
8. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat
9. Komunikasi serta koordinasi yg sempurna
10. Pihak-pihak yg memiliki wewenang serta kekuasaan bisa menuntut serta menerima kepatuhan yg sempurna.
(Dalam Solichin, 2002:70-78)

Kedua, model yang dikembangkan oleh Van Meter serta Van Horn (1975), yg disebut sebagai A model of the policy implementation process (model proses implementasi kebijakan) dimana pada teorinya beranjak menurut suatu argumen bahwa disparitas-perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi sang sifat kebijaksanaan yang akan dilaksanakan. Selanjutnya mereka memberikan suatu pendekatan yang mencoba buat menghubungkan antara informasi kebijakan menggunakan implementasi dan suatu model konseptual yg mempertalikan kebijakan menggunakan prestasi kerja (performance). Kedua hali ini menegaskan jua pendiriannya bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep-konsep penting pada prosedur-prosedur implementasi. Van Meter dan Van Horn lalu berusaha menciptakan tipologi kebijakan menjadi berikut :
a. Jumlah masing-masing perubahan yg akan didapatkan serta,
b. Jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan terhadap tujuan diantara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi

Alasan yg dikemukakannya ini adalah bahwa proses implementasi itu akan ditentukan oleh dimensi-dimensi kebijaksanaan semacam itu, dalam artian bahwa implementasi kebanyakan akan berhasil bila perubahan yang dikehendaki relatif sedikit, ad interim konvensi terhadap tujuan terutama dari mereka yang mengoperasikan program dilapangan relatif tinggi (Dalam Solichin, 2002:78-79).

Ketiga, model yg dikembangkan oleh Daniel Mazmanian serta Paul A. Sbatier yang disebut A frame work for implementation analisys (kerangka analisis implementation). Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran krusial berdasarkan analisis implementasi kebijaksanaan negara adalah mengidentifikasikan variabel-variabel yang mensugesti tercapainya tujuan-tujuan formal dalam holistik proses implementasi. Variabel-variabel yg dimaksud bisa diklasifikasikan menjadi tiga kategori akbar, yaitu :
1. Praktis tidaknya kasus yg akan digarap dikendalikan
2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya; dan
3. Pengaruh langsung aneka macam variabel politik terhadap ekuilibrium dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut.
(Dalam Solichin, 2002:81).

Dari model-contoh yg disajikan tersebut ada yang relatif tak berbentuk, serta terdapat juga yang relatif operasional. Sekalipun demikian peneliti tidak bermaksud buat menilai mana yang diantara model-model tersebut yang baik atau paling tepat, karena penggunaan contoh ini untuk keperluan penelitian/analisis sedikit banyak akan tergantung pada kompleksitas perseteruan kebijakan yg dikaji dan tujuan serta analisis itu sendiri. Sebagai pedoman awal barangkali terdapat baiknya diingat bahwa semakin kompleks konflik kebijakan dan semakin mendalam analisis yg dilakukan, semakin diperlukan teori atau model yang relatif operasional yang sanggup menyebutkan hubungan kausalitas antar yg menjadi fokus analisis.

Pengertian Kebijakan Keuangan Negara
untuk memahai makna keuangan negara, pertama-tama perlu diketahui apa arti negara dan keuangan yang diperlukan oleh negara dalam menjalankan pemerintahan buat mencapai tujuannya. Keberhasilan negar dalam mencapai tujuan tersebut, tergantung dalam bagaimana negara itu manghimpuan dana rakyat, utamanya pajak guna menyelenggarakan fungsi-manfaatnya. Hal ini bisa dipahami, karena buat menjalankan roda pemerintahan, negara perlu dukungan dana yang sangat akbar yang bersumber berdasarkan pendapatan negara yang potensial. Kebijakan pemerintah sejalan dengan perkembangan kebutuhan negara guna mensejahterakan rakyat masyarakatnya berkembang sebagai lebih luas menjadi kebijakan di bidang keuangan negara. Hal-hal yang dikelola oleh pemerintah disebut menjadi keuangan negara, yg pengertiannya selalu berkembang serta tidak sinkron, baik berdasarkan tempat negara yang mengelolanya juga berdasarkan pendapat para pakar diantaranya berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara merupakan “Semua hak dan kewajiban yang bisa dinilai menggunakan, serta segala sesuatu baik berupa uang juga berupa barang dapat dijadikan milik negara herbi aplikasi hak dan kewajiban tersebut” (Pemerintah RI, 2003:2). Kemudian menurut M. Subagio (1988) merupakan :

“Keuangan negara terdiri atas hak dan kewajiban negara yg bisa dievaluasi menggunakan uang, demikian jua segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yg dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan aplikasi hak dan kewajiban itu. Hak negara mencakup membentuk uang; hak mendatangkan output; hak melakukan pungutan; hak meminjam serta hak memaksa. Kewajiban negara mencakup kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan rakyat; serta kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga” (Didalam BPK, 2000:16).

Dari pendapat M. Subagio tadi nampak unsur-unsur keuangan negara, yaitu uang serta barang yg dijadikan milik negara, kekayaan negara, hak dan kewajiban negara yg bisa dievaluasi dengan uang. Pakar lainnya Bambang Kusmanto menyatakan :

“Public finance (keuangan negara) diinterpretasikan dalam arti sempit, yakni Government Finance (keuangan pemerintah), sedangkan makna “Finance” (keuangan) telah terdapat istilah putusan bulat, hakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) didalam mencari asal-asal dana (Sources of fund) dan kemudian bagaimana dana-dana tadi dipakai (uses of fund) buat mencapai tujuan (pemerintah) eksklusif. Jadi keuangan negara mencerminkan aktivitas-kegiatan pemerintah, sedangkan kegiatan pemerintah itu sendiri berada dalam sektor swasta (private sector)” (Didalam BPK, 2000:19-20).

Apabila dianalisis pendapat yang dikemukakan oleh Bambang Kusmanto, amaka unsur-unsur keuangan negara yg dikemukakan mencakup : kegiatan mencari dana dan aktivitas memakai dana buat mencapai tujuan pemerintah eksklusif.

Pengelolaan Keuangan Negara
1. Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara 
Sistem pemerintahan negara Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara tertinggi dibawah MPR. Presiden mempunyai kekuasaan penyelengaraan pemerintahan negara, mencakup apa yg pada trias politica diklaim kekuasaan eksekutif serta legislatif, menggunakan pengertian bahwa kekuasaan legislatif itu dijalankan sang presiden dengan persetujuan DPR. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintah itu meliputi didalamnya tiga kekuasaan pengelolaan keuangan negara, yaitu kekuasaan otorisasi (kekuasaan buat merogoh tindakan atau keputusan yg dapat menyebabkan kekayaan negara sebagai bertambah atau berkurang) yang dibedakan atas kekuasaan otorisasi generik (berupa peraturan perundang-undangan) dan otorisasi khusus (tetapkan keputusan yang mengikat orang ataupihak eksklusif yang bersifat generik). Kedua kekuasaan ordonansi (kekuasaan buat mendapat, meneliti, mengguji keabsahan serta menertibkan surat perintah menagih atau membayar tagihan yang membebani aturan penerimaan serta pengeluaran negara sebagai dampak tindakan otorisator). Ketiga kekuasaan kebendaharaan (kekuasaan buat mendapat, menyimpan atau membayar/mengeluarkan uang atau barang, dan pertanggungjawaban uang atau barang yg berada pada pengelolaannya.

2. Pendelegasian Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka efisiensi serta efektifitas peleksanaan kekuasaan pengelolaan kekuangan negara sesuai dengan sistem pemerintahan negara menurut Undang-Undang Dasar 1945, presiden mendelegasikan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan itu kepada aparatur pemerintah di pusat dan daerah, BUMN serta BUMD dan pihak lain yg dari peraturan perundang-undangan.
(BPK, 2000:37-40)

Pertanggungjawaban Keuangan Negara
Mengingat bahwa kekuasaan pemyelenggaraan pemerintah tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah presiden, maka konsekuensi tanggung jawab penyelenggaraan seluruh keuangan negara berada juga ditangan presiden. Telah diketahui beserta bahwa dalam tubuh pemerintah, selain presiden, masih ada juga para menteri, gubernur, bupati dan walikota, serta banyak sekali pejabat yang mempunyai fungsi dan kedudukan tertentu dalam keterlibatannya mengelola keuangan negara. Masing-masing pejabat tadi memikul tanggung jawab atas aplikasi keuangan negara pada bidang tugasnya. Dalam pengertian pengelolaan keuangan negara terkandung pengertian pertanggungjawaban yg harus dibuat oleh semua instansi pemerintah maupun pejabat yg melakukan penglolaan keuangan negara yg mencakup pelaksanaan APBN, APBD, aplikasi anggaran BUMN, BUMD, serta aplikasi aturan yayasan yg didirikan sang pemerintah, BUMN dan BUMD atau badan hukum lain dimana terdapat kepentingan negara atau yang menerima bantuan pemerintah. Laporan pertanggungjawaban tersebut disampaikan pada pejabat atau instansi yg berwenang sinkron dengan peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban dibutuhkan buat mengetahui pelaksanaan program pemerintah, baik acara pembangunan maupun aktivitas rutin pelayanan pemerintah, tentang tingkat ketaatannya pada peraturan perundang-undangan, dan mengetahui tingakat kehematan, efisiensi serta efektifitas dari acara atau pelayanan pemerintah. Bentuk tangung jawab keuangan negara dalam umum berupa laporan keuangan yang disajikan secara terencana. Laporan keuangan ini harus tersaji secara lengkap sepadan menggunakan luas lingkup keuangan negara yg dilimpahkan sang MPR kepada presiden yg meliputi keuangan pemerintah pusat, pemerintah wilayah, BUMN dan BUMD, hakekatnya meliputi seluruh kekayaan negara. Bentuk tanggung hawab masing-masing bagian keuangan negara dalam dasarnya berupa : laporan realisasi pelaksanaan anggaran (kinerja keuangan), laporan mutasi kekayaan menurut hasil aplikasi aturan, serta laporan perhitungan aturan secara rinci. (BPK, 2000:43-47)

Kebijakan Pendidikan
Pengertian dan Tujuan Pendidikan
A. Definisi Pendidikan
Bertanya tentang hakikat pendidikan merupakan bertanya tentang apakah pendidikan itu? Walaupun telah sama-sama menunjuk pada suatu tujuan tertentu, para ahli masih belum seragam pada mendefinisikan kata pendidikan. Drikarya (1980) mengatakan bahwa pendidikan itu merupakan memanusiakan manusia muda pengangkatan insan muda ketaraf mendidik atau menjadi pendidik. Dalam Dictionary of Education bahwa pendidikan merupakan :
1. Proses seorang menyebarkan kemampuan, sikap, dan tingkah laris lainnya didalam masyarakat loka mereka hidup.
2. Proses sosial yg terjadi dalam orang yg diperlukan pada imbas lingkungan yg terpilih dan terkontrol (khususnya yg datang berdasarkan sekolah), sehingga mereka bisa memperoleh perkembangan kemampuan sosial serta kemampuan individu yang optimum.
(Dalam Fattah, 1996:4)

Dengan istilah lain pendidikan ditentukan oleh lingkungan atas individu buat menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen (permanen) dalam tingkah laris, fikiran, serta sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh Crow and Crow (1980); “Modern educational theory and practice not only are eimed at preparation for future living but also are operative in determining the patern of present, day-bay-day attitude and behavior”. (Pendidikan tidak hanya dicermati sebagai wahana buat persiapan hidup yg akan datang namun, jua buat kehidupan kini yg dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat kedewasaannya) (Dalam Fattah, 1996:4-5). Berdasarkan pengertian tersebut bisa didefinisikan beberapa karakteristik pendidikan menurut Fattah diantaranya :
a. Pendidikan mengandung tujuan yaitu, kemampuan buat berkembang sehingga bermanfaat buat kepentingan hayati.
b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha bersiklus dalam menentukan isi (materi), strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan pada lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (formal dan non formal).
(Fattah, 1996:lima)

Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakekat kehidupan manusia kemanakah pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentukan kepribadian manusia, yaitu pengembangan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, mahluk susila, dan mahluk beragama (religius). Dengan demikian, maka dalam proses pendidikan pengedepanan faktor manusia yang mana diharapkan mempunyai ilmplikasi bagi pengembangan kehidupan masyarakat secara sosial, kultural, ekonomi, ideologi dan sebagainya (Fattah, 1996:lima).

Pendidikan menurut asal yang masih ada dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 mengenai Sisdiknas merupakan :

“Usaha sadar serta berkala buat mewujudkan suasana belajar supaya peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya buat mempunyai kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak, dan budi mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, warga , bangsa, dan negara” (Sisdiknas, 2003:2).

Berdasarkan pengertian tadi, pendidikan nasional berfungsi menyebarkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa yg bermartabat pada rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan buat berkembangnya potensi peserta didik supaya sebagai insan yg beriman dan bertaqwa pada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (Sisdiknas. 2003:5).

B. Tujuan Pendidikan
Notoarmodjo mengungkapkan, Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk membarui tingkah laris sasaran pendidikan. Tingkah laris baru (hasil perubahan) itu dirumuskan dalam suatu tujuan pendidikan (educational objective). Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah suatu pelukisan dari pengetahuan, perilaku, tindakan, penampilan, serta sebagainya yg diharapkan akan memiliki sasaran pendidikan dalam periode tertentu. Lahirnya tujuan pendidikan disebabkan karena diperlukannya suatu kurikulum yg efisien serta efektif. Maksudnya menetapkan tujuan pendidikan terlebih dahulu, supaya memudahkan dan mengarahkan penyusunan kurikulum. Dalam rangka pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan perlu dibedakan berdasarkan strata tujuan pendidikan sesuai dengan ruang lingkup proses belajar (Notoatmodjo. 2003:41-42). Tujuan pendidikan tersebut menjadi berikut :

1. Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan ini merupakan strata yg tertinggi. Pada tujuan ini digambarkan harapan rakyat atau negara tentang karakteristik-karakteristik seorang manusia yg dihasilkan oleh proses pendidikan atau manusia yg terdidik. Dengan kata lain tujuan pendidikan nasional ini mendeskripsikan harapan tentang karakteristik manusia sebagai warga negara yang harus didapatkan sang setiap usaha pendidikan. Hal ini berarti bahwa seriap forum pendidikan wajib mengarahkan tujuannya dalam tujuan pendidikan nasional.

2. Tujuan Institusional
Tiap taraf dan jenis lembaga pendidikan, berbagi tujuan institusinal. Isi tujuan institusional merupakan tingkah laris yang bagaimanakah yang diharapkan sang forum pendidikan tersebut. Dengan kata lain forum pendidikan itu akan membuat insan-insan yg diinginkan menggunakan pengertian bahwa tujuan institusional ini wajib mendukung tujuan pendidikan nasional. Untuk menyusun tujuan institusional yg baik diperlukan criteria-kriteria yaitu kentara, dapat menggunakan mudah diobservasi, serta realistis.

3. Tujuan Antara (Intermediare Objective)
Tujuan pendidikan ini bersifat mengantari tujuan institusional dan tujuan instruksional. Isinya masih agak luas, akan tetapi telah mengarah dalam tiap-tiap bidang ilmu pengetahuan. Karena tujuan ini sudah mengarah pada kurikulum (dalam arti sempit) berdasarkan institusi itu maka dianggap “tujuan kurikulum” tujuan ini sudah merinci tujuan-tujuan tiap-tiap departemen ilmu, maka sering jua dianggap tujuan departemen (departement objective).

4. Tujuan Instruksional
Tujuan instruksional mempunyai fungsi :
a. Membantu para guru buat menentukan isi/topik pedagogi yg relevan
b. Membantu proses pengintegrasian kurikulum baik secara instruksional maupun kurikulum
c. Membantu para pengajar menunjuk dalam proses pengajarannya
d. Mengarahkan serta memberi citra dalam target tentang apa yang akan mereka peroleh dari pendidikan/pelatihan
e. Merupakan indikator untuk penilaian proses pendidikan
f. Merupakan pasangan target serta pula para guru untuk bekerja secara efektif serta efisien
g. Membantu para pengajar memilih metode pedagogi yang tepat.
(Notoatmodjo, 2003:41-45)

Suatu lembaga pendidikan, terutama pendidikan formal sebenarnya dibentangkan asa mengenai tingkat serta jenis perubahan tingkah laku target pendidikan, antara lain perubahan pengetahuan, sikap serta kemampuan mereka. Sudah tentu bukan sembarang perubahan tingkah laku , sebagai dampak berdasarkan berlengsungnya proses pendidikan. Demikian juga bukan setiap perubahan tingkah laris bisa dipakai sebagai ukuran berhasilnya proses pendidikan. Itulah sebabnya maka asa perubahan tingkah laris tersebut perlu dirumuskan dahulu dalam suatu pendidikan. Dengan istilah lain tujuan pendidikan merupakan rumusan dalam tingkah laris dan jenis tingkah laris: yang lazimnya dirumuskan dalam kategori pengetahuan, kecerdasan perilaku, keterampilan yg diharapkan untuk dimiliki oleh sasaran pendidikan setelah merampungkan acara pendidikan (serangkaian proses belajar).

Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan telah dipertegas melalui pengenalan konsep dasar kebijakan pendidikan yang mencakup latar belakang perlunya kebijakan pendidikan, batasan kebijakan pendidikan, kebijakan pendidikan dan kebijakan negara, sistem politik serta kebijakan pendidikan, tingkat-taraf kebijakan pendidikan, dan studi tentang kebijakan pendidikan (Imron. 1996:1).

Kebijakan pendidikan (educational policy) adalah penggabungan n berdasarkan istilah education dan policy. Kebijakan merupakan seperangkat aturannya, sedangkan pendidikan menunjukan kepada bidangnya. Dengan demikian kebijakan pendidikan nir terlalu berbeda menggunakan kebijakan pemerintah pada bidang pendidikan. Carter V. Good (1959) menaruh pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul Kebijaksanaan Pendidikan pada Indonesia, yakni :

“Educational policy judgement, derived from some system of values and some assesment of situational factors, operating within instituationalized education as a general plan for guiding decision regarding means of attaining desired educational objectives. (Suatu pertimbangan yg berdasarkan atas sistem nilai serta beberapa evaluasi terhadap faktor-faktor yg bersifat situasional; pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar buat mengoperasikan pendidikan yang bersifat melembaga; pertimbangan tadi adalah perencanaan umum yang dijadikan menjadi panduan buat mengambil keputusan, supaya tujuan yg bersifat melembaga bisa tercapai)” (Dalam Imron, 1996:18).

Sebagaimana dijelaskan diatas, melihat kebijakan menjadi suatu proses, tidak terkecuali waktu melihat kebijakan pendidikan. Yaitu sebagai suatu proses dimana pertimbangan-pertimbangan itu mesti diambil pada rangka pelaksanaan pendidikan yang bersifat melembaga.

Dalam melakukan petimbangan, terdapat 2 hal yang harus dipertimbangkan, ialah sistem nilai yang berlaku serta faktor-faktor situasionalnya. Dan, pertimbangan yg mempedomani terhadap sistem nilai serta faktor-faktor situasional tersebut, khususnya dalam melaksanakan pendidikan, akan dapat mengantarkan pemdidikan pada pencapaian tujuannya. Pertimbangan tersebut saat dirumuskan dapat berupa perencanaan generik. Dan, perencanaan yg bersifat umum ini dapat dijadikan menjadi panduan dalam pengambilan-pengambilan keputusan pendidikan (Imron, 1996:18).

Terdapat tingkat-tingkat kebijakan pendidikan yang menunjukan pada level kebijakan tadi dirumuskan dan dilaksanakan, jua menunjuk pada cakupannya, tingkatan pelaksanaan serta mereka yg terlibat didalamnya. Ada empat tingkat kebijakan, yaitu :
1. Tingkatan Kebijakan Nasional (national policy level)
2. Tingkatan Kebijakan Umum (general policy level)
3. Tingkat Kebijakan Khusus (special policy level)
4. Tingkat Kebijakan Teknis (technical policy level)

Sistem Politik yg berlaku pada suatu negara senantiasa terkait dengan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara, termasuk kebijakan pendidikan. Letak kaitan tadi dapat ditinjau dalam, bagaimana kebijakan tersebut dalam ketika dirumuskan, dilegitimasikan, dikhalayakan, dikomunikasikan, dilaksanakan serta dievaluasi. Berbedanya perumusan kebijakan dinegara yg satu dangan yang lain bisa disebabkan berbedanya sistem politik yg dianut. Berbedanya aplikasi serta evaluasi kebijakan negara, kebijakan pendidikan, antara negara yg satu dangan yg lain dapat disebabkan berbedanya sistem politik yg dianut oleh negara-negara tadi (Imron, 1996:20-25).

Perumusan Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan berproses melalui tahapan-tahapan perumusan kebijakan pendidikan, legitimasi pendidikan, komunikasi serta pengenalan kebijakan pendidikan, implementasi kebijakan pendidikan, mengupayakan partisipasi warga pada kebijakan pendidikan dan evaluasi kebijakan pendidikan. Pembahasan dalam perumusan kebijakan pendidikan mencakup; lingkungan kebijakan pendidikan, aktor-aktor perumusan kebijakan pendidikan, masalah serta rencana kebijaksanaan pendidikan, formulasi kebijakan pendidikan dan problema-problemanya (Imron, 1996:31).

Lingkungan serta Aktor Kebijakan Pendidikan
Yang dimaksud dengan lingkungan kebijakan pendidikan berdasarkan Anderson merupakan “segala hal yg berada diluar kebijakan namun mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan, efek tadi mampu besar , kecil, langsung, tidak langsung, laten, serta kentara” (Imron, 1996:31).

Yang termasuk lingkungan kebijakan pendidikan dirumuskan secara berbeda-beda oleh para ahli ilmu kebijakan pendidikan. Supandi (1988) menyebut lingkungan kebijakan meliputi; kondisi asal alam, iklim, topografi, demografi, budaya politik, struktur sosial, dan syarat ekonomik. Sementara yang dipercaya paling berpengaruh terhadap kebijakan tadi adalah budaya politik (Dalam Imron, 1996:32).

Orang-orang yg terlibat dalam perumusan kebijakan pendidikan negara disebut sebagai aktor perumusan kebijakan pendidikan. Sebutan lain dari aktor ini merupakan: partisipan, peserta perumusan kebijakan pendidikan. Oleh karenanya kebijakan pendidikan mempunyai strata-tingkatan (nasional, generik, khusus dan teknis), maka para aktor perumusan kebijakan disetiap tingkatan-strata tersebut tidak selaras. Aktor tadi yakni: Legislatif, Eksekutif, Administrator, Partai politik, Interest Group, Organisasi Massa, Peruruan Tinggi, serta Tokoh Perorangan (Imron, 1996:38-45).

Formulasi Kebijakan Pendidikan
Aktifitas kurang lebih formulasi adalah interaksi peranan antar peserta perumusan kebijakan pendidikan baik formal juga non formal. Kapan suatu perumusan kebijakan pendidikan dianggap terselesaikan? Suatu kebijakan dipercaya final sesudah disahkan sang peserta perumusan kebijakan formal. Pengesahan tersebut dapat berupa penerbitan keputusan serta bisa berupa ketetapan. Dapat pula berupa undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, serta peraturan pemerintah.

Agar rumusan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria; Pertama, rumusan kebijakan pendidikan nir mendiktekan keputusan spesifik atau hanya membangun lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijakan pendidikan bisa digunakan pada menghadapi kasus atau situasi yang ada secara berulang. Hal ini berarti, bahwa saat, biaya serta tenaga yang telah banyak dikeluarkan tidak sekedar digunakan buat memecahkan satu masalah atau satu situasi saja (Imron, 1996:49).

Pengertian, Batasan serta Faktor Implementasi Kebijakan Pendidikan
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dikomunikasikan, kepada khalayak lalu dilaksanakan atau diimplementasikan. Implementasi ini, adalah aktualisasi kebijakan pendidikan yg telah disahkan, bergantung pada bagaimana pelaksanaannya dilapangan. Tolak ukur keberhasilan kebijakan pendidikan merupakan dalam implementasinya. Sebaik apapun rumusan kebijakan, apabila tidak diimplementasikan, nir akan dirasakan gunanya. Sebaliknya sesederhana apapun rumusan kebijakan, bila sudah diimplementasikan, akan lebih bermanfaat, apapun dan seberapa pun gunanya (Imron, 1996:65).

Yang dimaksud dengan implementasi kebijakan pendidikan merupakan pengupayaan supaya rumusan-rumusan kebijakan pendidikan berlaku didalam praktik. Nakamura (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan pendidikan sebagai keberhasilan mengevaluasi kasus dan menerjemahkannya kedalam keputusan-keputusan yg bersifat khusus (Imron, 1996:65). Jones (1977) lebih banyak mengkritik batasan-batasan implementasi kebijakan. Ia sendiri mendasarkan konsepsi implementasi kebijakan dari aktifitas fungsional. 

“Implementasi kebijakan pendidikan, dia katakan menjadi konsep yg bergerak maju, memerlukan usaha-bisnis yg buat mencari apa yang akan serta bisa dilaksanakan. Implementasi akhirnya dipahami sebagai pengaturan aktifitas yang menunjuk pada penempatan program kedalam suatu imbas” (Dalam Imron, 1996:65-66).

Tiga aktifitas primer dalam implementasi kebijakan pendidikan merupakan interpretasi, organisasi, dan aplikasi. Yang dimaksud dengan interpretasi adalah aktifitas menerjemahkan makna program kedalam pengaturan yang bisa diterima serta dijalankan. Organisasi adalah unit atau wadah yang dipergunakan buat menempatkan program. Sementara aplikasi merupakan konsekuensi yg berupa pemenuhan perlengkapan dan porto yg diharapkan (Imron, 1996:65-66).

Supandi (1988) memberikan batasan implementasi kebijakan (implementasi kebijakan pendidikan) sebagai suatu proses menjalankan, menyelenggarakan atau mengupayakan agar altenatif-alternatif yang telah diputuskan didalam praktik. Berarti, rumusan-rumusan kebijakan yg umumnya tak berbentuk tersebut, baru konkret dan kongkrit setelah diimplementasikan secara nyata. Meskipun demikian, Islami (1991) memandang lain mengenai implementasi kebijakan ini. Ia menyatakan bahwa terdapat kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan tersebut secara otomatis terimplementasikan menggunakan sendirinya.

“Meskipun poly jua rumusan-rumusan kebijakan yang implementasinya wajib diupayakan; atau tidak secara otomatis terimplementasikan. Kebijakan-kebijakan yang terealisasi menggunakan sendirinya lazim dikenal dengan self-executing, sedangkan kebijakan-kebijakan yang tidak secara otomatis terlaksana dengan sendirinya lazim dikenal menggunakan non self-executing” (Dalam Imron, 1996:66).

Berhasil tidaknya implementasi kebijakan pendidikan menurut Ali Imron dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor tersebut merupakan :
1. Kompleksitas kebijakan-kebijakan yang sudah dibentuk. Semakin kompleks suatu kebijakan yang dibuat, semakin rumit serta sulit buat diimplementasikannya.
2. Jika rumusan masalah kebijakan serta cara lain pemecahan perkara kebijakan yg diajukan dalam rumusan tidak jelas.
3. Faktor sumber-sumber potensial yg bisa mendukung pelaksanaan kebijakan.
4. Keahlian pelaksana kebijakan.
5. Dukungan dari khalayak target terhadap kebijakan yg diimplementasikan.
6. Faktor-faktor efektifitas dan efisiensi birokrasi.
(Imron, 1996:76-77)

Oleh karena itu analisis faktor yg bisa menentukan keberhasilan pada implementasi kebijakan pendidikan sangat perlu buat dijadikan pertimbangan utama oleh para penentu dan pelaksana kebijakan dilapangan.

Pengertian Pembangunan
Menurut Arief dalam buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga, mengungkapkan bahwa konsep-konsep pembangunan saat ini telah diperluas yang melibatkan aspek-aspek lingkungan serta keadilan sosial yg dalam dasarnya masih bersifat materialistis. Yang dipersoalkan masih terbatas pada dilema materi yg mau didapatkan dan yang mau dibagi. Hal ini disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Kalau kita renungkan, pembangunan sebenarnya meliputi 2 unsur pokok. Pertama kasus materi yang mau dihasilkan dan dibagi. Kedua kasus manusia yg sebagai pengambil inisatif, yang menjadi manusia pembangunan. Bagaimanapun jua, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan dalam pembangunan insan, manusia yg dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk mampu kreatif insan tersebut wajib merasa bahagia, merasa aman dan bebas menurut rasa takut. Hanya manusia misalnya inilah yg sanggup menyelenggarakan pembangunan serta memecahkan perkara yang dijumpainya. Pembangunan pada akhirnya merupakan kasus yang harus didekati secara interdisipliner melalui banyak sekali disiplin ilmu (Arief, 1996:13-15). Menurut Soerjono Soekanto, pembangunan adalah :

“Suatu proses perubahan disegala bidang kehidupan yg dilakukan secara sengaja berdasarkan suatu planning eksklusif. Proses pembangunan terutama bertujuan untuk menaikkan taraf hayati masyarakat, baik secara spritual maupun secara material, yg mencakup seperangkat hasrat mencakup hal-hal menjadi berikut :
1. Pembangunan wajib bersifat rasionalistis, haluan yang diambil harus berdasarkan pada warta, sehingga nantinya adalah suatu kerangka yg singkron.
2. Adanya planning pembangunan dan proses pembangunan merupakan, adanya cita-cita buat selalu membentuk dalam ukuran serta haluan yg terkoordinasi secara rasional dalam satu sistem.
3. Peningkatan produktifitas.
4. Peningkatan standar kehidupan.
5. Kedudukan, peranan, dan kesempatan yang sederajat yg sama dibidang politik, sosial, ekonomi, dan aturan.
6. Pengembangan forum-lembaga sosial serta perilaku-sikap dalam warga meliputi; efisiensi, kerajinan/ketekunan, keteraturan, ketetapan, kesederhanaan dan kecermatan, ketelitian serta kejujuran, bersifat rasional dalam merogoh keputusan, siap menghadapi perubahan, ulet dan memakai kesempatan yg benar, integritas serta bisa berdiri sendiri, bersikap kooperatif”. 
(Soekanto, 2000:454)

Diatas telah dijelaskan secara singkat tujuan yang ingin dicapai sang pembangunan. Disamping itu juga telah uraikan cita-cita yg terkandung pada pembangunan itu. Pembangunan buat mencapai tujuan eksklusif itu, dapat dilakukan melalui cara-cara tertentu.

Pada dasarnya cara melakukan pembangunan merupakan sebagai berikut :
1 Struktural, mencakup perencanaan, pembentukan serta penilaian terhadap forum-lembaga sosial, produsernya serta pembangunan secara materil.
2 Spiritual, yg meliputi tabiat serta pendidikan pada penggunaan cara-cara berfikir secara ilmiah.
(Soekanto, 2000:455)

Cara-cara tadi diatas dapat ditempuh, oleh lantaran secara analitis rakyat terdiri dari struktur sosial yg mencakup ekonomi, teknologi dan sistem kedudukan serta peranan. Kecuali itu, jua masih ada sistem pemerintahan yang mengatur distribusi kekuasaan serta wewenang, serta adanya kebudayaan yg meliputi sistem nilai.

Konsep pembangunan tadi adalah upaya pembangunan berwawasan manusia, dimana berdasarkan The World Commision on Environment and Development (WCED) dimaksudkan menjadi :
1. Koreksi terhadap pembangunan yang berwawasan lebih pada pertumbuhan ekonomi dan kurang dalam keadilan sosial.
2. Jawaban terhadap kepincangan SDM contoh negara berkembang dibandingkan dengan contoh negara maju.
3. Pembangunan yg berorientasi nir hanya pada kepentingan insan saja, malainkan jua dalam interaksi dengan lingkungannya.