CONTOH PROGRAM KERJA KEPALA LABORATORIUM IPA


Seorang pimpinan wajib bisa memilih program kerja yg menjadi prioritas primer pada sebuah organisasi yang menguntungkan buat organisasi, memilih sebuah kepanitiaan dan menentukan bidang-bidang yg diperlukan, memilih garis-garis besar dan tata cara aplikasi acara kerja dari tiap-tiap bidang, mengalokasikan sumberdaya serta mengotrol jalannya pelaksanaan.
Berikut Contoh Program Kerja Kepala Laboratorium IPA

PROGRAM KERJA KEPALA SEKOLAH SD/MI TAHUN 2018


Contoh Program Kerja Kepala Sekolah SD/MI Tahun 2017

Program Kerja Kepala Sekolah SD/MI Tahun 2017 - Selamat datang di situs blog kami berkasgurugaleri.blogspot.com semoga blog kami mampu menyebarkan ilmu serta pengetahuan pada bapak/ibu guru serta para mengunjung blog saya semua indonesia. Semoga para bapak/bunda pengajar dan para pengunjung blog aku pada beri kesehatan, keselamatan dan rejeki yg lancar oleh Allah SWT amin. Pada intinya blog ini akan membuatkan pengetahuan serta warta seputar pendidikan sekolah PAUT/Taman Kanak-kanak, SD/MI, SMP, SMA/SMK.

Sesuai dengan tujuan penyusunan “Program Kerja Tahunan” yaitu menaikkan mutu pendidikan, sehingga terciptanya sumber daya insan yang berkualitas, yang mempunyai derajat keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang tinggi, dan mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi yg bisa digunakan menjadi bekal hidup bermasyarakat serta bernegara, maka acara kerja yang akan dilaksanakan setiap tahun sekali ini dapat pada gunakan menjadi laporan Kepala Sekolah.

Kepala sekolah adalah guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin suatu sekolah yg diselenggarakan proses belajar-mengajar atau tempat terjadi hubungan antara guru yg memberi pelajaran dan siswa yg mendapat pelajaran. Program kepala sekolah merupakan galat satu program penting penunjang tingkat keberhasilan proses pembelajaran disekolah. Untuk itu dengan adanya contoh acara kepala sekolah tadi semua aktivitas yang herbi program pendidikan akan berjalan lancar sinkron dengan tujuan pendidikan. Berikut ini merupakan model acara kepala sekolah SD/MI format lengkap gratis buat bapak serta mak pengajar. 

Jika bapak/mak ingin mengunduh arsip penting ini silahkan download dibawah gambar ini dan semoga file tersebut poly memberikan manfaat serta kegunaan bagi bapak/mak pengajar dan kawan - kawan pengunjung blog saya semuanya. Semoga arsip yg aku share tersebut berguna buat bapak/ibu guru dan berguna buat sekolah masing - masing. Apabila bapak/ibu pengajar kesulitan pada mendownload silahkan tinggalkan pesan pada blog ini agar nanti saya sanggup memberi memahami cara download yg sahih.

Link Download: Program Kerja Kepala Sekolah Sekolah Dasar/MI Tahun 2017

DOWNLOAD FILE

Itulah Program Kerja Kepala Sekolah SD/MI Tahun 2017, yg dapat kami bagikan, kurang lebihnya mohon maaf. Silahkan diunduh dan dibagikan.

PENGERTIAN TENAGA KEPENDIDIKAN PROFESIONAL

Pengertian Tenaga Kependidikan Profesional 
Tenaga kependidikan dalam beberapa kepustakaan diklaim dengan nama atau kata yg berbeda-beda. Sutisna (1983) menyebut dengan kata personil, Engkoswara (1987) menyebut dengan istilah sumber daya insani, Wijono (1989) menyebut menggunakan kata ketenagaan sekolah, Harris, dkk (1979) menyebut menggunakan kata personel, lalu Makmun (1996) menyebut dengan istilah energi kependidikan, sedangkan kalau melihat Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1992 yg mengatur mengenai energi kependidikan di Indonesia, serta Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyebutnya dengan kata tenaga kependidikan. 

Dari banyak sekali kata yg berkaitan menggunakan tenaga kependidikan tersebut secara konseptual dan teoritik semuanya memang benar pada arti bisa diterima, lebih-lebih istilah energi kependidikan yang memiliki landasan hukum, yaitu Undang-undang RI. No. 20 Tahun 2003 sepertinya akan lebih sempurna. Namun perlu diketahui bahwa pada manajemen pula dikenal serta digunakan istilah secara lebih generik, yaitu kata sumber daya manusia. Kemudian dalam kaitannya dengan goresan pena di kitab ini, maka kata yang digunakan barangkali serta bisa jadi istilah-kata tadi akan digunakan secara silih berganti, karena pada dasarnya merupakan sama saja.

Persoalannya yg timbul serta perlu dibahas merupakan siapakah yang dimaksud menggunakan tenaga kependidikan. Menurut ketentuan generik Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional khususnya pasal 1 (lima) tenaga kependidikan yang dimaksud merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelengaraan pendidikan. Dalam pasal 1 (6) tadi jua dijelaskan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi menjadi pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, fasilitator, dan sebutan yang lainnya yg sinkron dengan kekhususannya, serta partisipasi pada menyelenggarakan pendidikan.

Berdasarkan pada bunyi pasal 1 (lima) dan (6) Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tadi dapatlah diketahui bahwa energi kependidikan tersebut adalah memiliki makna dan cakupan yg jauh lebih luas berdasarkan pendidik. Bisa jadi yg dimaksud termasuk dengan tenaga kependidikan tersebut pada samping pendidik, misalnya pengajar, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, dan fasilitator, adalah pula termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi asal belajar, penguji serta yang lainnya.

Semua jenis sumberdaya insan atau energi kependidikan tersebut krusial buat dibahas pada kajian ini lantaran sangat bermanfaat tidak saja buat kepentingan pada pengembangan keilmuan atau dalam bidang teoritik akademik, tetapi yg lebih penting merupakan untuk kepentingan mudah pada rangka dapat mengkontribusi aplikasi pengembangan energi kependidikan khususnya kepala sekolah yang dipercaya ideal. Memang demikianlah kenyataannya sumber daya insan tersebut dalam segala fungsi serta kiprahnya sangat penting bagi pencapaian tujuan suatu organisasi termasuk dalam bidang pendidikan. Sebab kebijakan dalam pengelolaan sumbedaya insan yang dilandasi sang suatu persepsi, kajian teori yang galat, dan galat, yg dijadikan dasar pada mengelola seluruh faktor sistem pendidikan lainnya yang berupa uang, material yang melimpah ruah, serta fasilitas yang lengkap tersebut tidak akan sebagai signifikan dan determinan pada mencapai tujuan pendidikan (Weber.1954., Harris, dkk. 1979). Sumberdaya insan akan sangat menentukan keberhasilanya, serta memang agak tidak selaras menggunakan mengelola material yang berupa mesin-mesin atau teknologi yang sophisticated dimana mesin-mesin tersebut walaupun pula menentukan keberhasilan suatu organisasi, tetapi mesin-mesin tadi tidak akan bisa mengeluh, nir mampu melawan perintah, nir akan mangkir pada melaksanakan tugas, nir akan melaksanakan pemogokan, tidak akan terlibat dalam permasalahan-pertarungan seperti insan, nir akan bisa mengajukan tuntutan pemugaran nasib, serta perbuatan-perbuatan negatif yg lainnya (Siagian.1999). Menyadari begitu pentingnya sumberdaya manusia tadi, maka pada penjelasan Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 1992 dijelaskan bahwa tenaga kependidikan merupakan komponen yang determinan serta menempati posisi kunci pada sistem pendidikan nasional. Pengembangan sumberdaya manusia atau tenaga kependidikan yg memiliki kualitas kemampuan yang profesional serta kinerja yg baik, tidak saja akan mengkontribusi terhadap kualitas lulusan yg dihasilkan, melainkan jua berlanjut pada kualitas kinerja dan jasa para lulusan pada pembangunan, yang dalam gilirannya lalu akan berpengaruh pada kualitas peradaban serta martabat hidup masyarakat, bangsa, serta umat manusia pada umumnya. Demikian pula buat lebih bisa memahami kajian mengenai profesi kependidikan ini secara konseptual serta teoritik, lebih empirik serta simpel, maka kajiannya akan difokuskan dalam energi kependidikan tetentu saja, khususnya ketua sekolah saja, lantaran jabatan ketua sekolah tersebut adalah adalah pengembangan jabatan menurut guru. Kepala sekolah menjadi jabatan atau tugas tambahan dari guru cukup menarik buat dibahas karena pada dalam diri ketua sekolah tadi pada samping berfungsi sebagai pendidik pula disebutkan berfungsi menjadi manajer, administrator, supervisor, pemimpin, inovator serta mativator, sehingga jabatan ketua sekolah tersebut acapkali diakronimkan sebagai Emaslim. Dengan mengkhu-suskan penekanan kajiannya dalam kepala sekolah pula akan lebih gampang pada menaruh berbagai gambaran, model-model, pendalaman juga pada pengayaannya. 

Jenis-jenis dan Kualifikasi Tenaga Kependidikan
Dalam uraian serta penjelasan tentang pengertian tenaga kependidikan telah bisa dimengerti secara jelas yang dimaksud menggunakan energi kependidikan tadi adalah anggota rakyat yg mengabdikan diri dan diangkat buat menunjang penyelenggaraan pendidikan misalnya guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, pelatih, serta fasilitator, termasuk kepala sekolah, direktur, ketua, rektor, pimpinan PLS, penilik, pengawas, peneliti, pengembang bidang pendidikan, pustakawan, laboran, teknisi sumber belajar, serta yang lainnya. Bahkan bisa jadi pula termasuk semua pengelola yayasan pada forum-forum pendidikan partikelir, serta seluruh pengambil kebijakan pada birokrasi dan stafnya pada tingkat sentra, wilayah provinsi, kabupaten/kota, taraf keca-matan, serta di tingkat desa.

Kalau dilema jenis-jenis energi kependidikan dan energi pendidikan telah tampak dalam pembahasan teruraikan menggunakan sedikit lebih jelas, yang sebagai dilema lebih lanjut adalah kasus bagaimana kualifikasi tenaga kependidikan, khususnya kualifikasi jabatan ketua sekolah tersebut. Secara teoritik dan mengacu sebagaimana lazimnya pada negara-negara maju, maka kualifikasi tenaga kependidikan tadi dapat dibedakan sebagai energi pendidik, energi manajemen kependidikan, energi penunjang teknis kependidikan, energi penunjang administratif kependidikan, tenaga peneliti, pengembang dan konsultan kependidikan (Makmun. 1996., Sanusi. 1990). Dalam tulisan ini akan dicoba dibahas secara ringkas berdasarkan masing-masing kualifikasi energi kependidikan tadi, menggunakan penjelasannya yg lebih difokuskan pada kualifikasi tenaga kependidikan khususnya kepala sekolah. 

Kualifikasi tenaga pendidik merupakan energi kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya secara eksklusif memberikan pelayanan teknis kependidikan pada peserta didik. Sesungguhnya pada hubungan ini alam sudah melibatkan semua orang yang melaksanakan tugas pelayanan tersebut termasuk para orang tua pada tempat tinggal , para guru/dosen, pembimbing dan instruktur pada sekolah atau satuan-satuan pendidikan yang lainnya, para pelatih atau fasilitator, pamong belajar dalam pusat-pusat atau balai pembinaan serta kursus-kursus, para pembina dan pembimbing pada banyak sekali serikat atau sanggar atau pedepokan dan organisasi yang melatih serta membimbing keterampilan seni dan budaya, para ustadz serta pembina di pondok pesantren serta majelis-majelis taklim atau pengajian pada surau serta langgar, para penyiar TV serta Radio yg mengasuh acara dan mimbar kependidikan, para penulis artikel dimedia cetak seperti majalah, koran, jurnal, kitab bacaan, kitab pelajaran yang mengandung muatan atau nuansa kependidikan, para penyuluh lapangan di bidang kesehatan/KB, hukum, pertanian dan sebagainya yang diselengarakan oleh pemerintah juga oleh masyarakat. Pelaksanaan tugas pelayanan kependidikan tersebut bisa secara tatap muka secara langsung di kelas atau melalui TV, sistem belajar jarak jauh, secara korespondensi, serta aneka macam bentuk komunikasi lainnya. Namun demikian perlu disadari bahwa perkara kualifikasi akademik energi pendidik tadi adalah diatur oleh undang-undang atau peraturan-peraturan. Oleh karena itu, kalau diperhatikan pasal 9 undang-undang guru bisa diketahui bahwa kualifikasi akademik seorang guru diperoleh melalui pendidikan tinggi acara sarjana, atau diploma empat (D4). Sementara itu kalau diperhatikan pasal 42 (dua) undang-undang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan formal pada jenjang usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, kualifikasi akademik seseorang guru haruslah berlatar belakang pendidikan tinggi dan didapatkan sang perguruan tinggi. Demikian pula pada PP No. 19 tahun 2005 dalam pasal 29 (2) disebutkan bahwa pengajar SD/MI/SDLB wajib berpendidikan S1 atau D4 bidang PGSD, psikologi, atau pendidikan lainnya. Kemudian dalam pasal yang sama ayat tiganya disebutkan bahwa guru Sekolah Menengah pertama/MTs/ SMPLB wajib berpendidikan S1 atau D4 dengan progam studi yang sinkron menggunakan mata pelajaran yang diajarkan. Dari bunyi ketentuan-ketentuan yg diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tadi, sepertinya kualifikasi pengajar misalnya menuntut suatu persyaratan kualifikasi pendidikan seseorang guru tersebut merupakan sama, yaitu lulusan pendidikan tinggi S1 atau D4. Namun demikian bila makna suara pasal-pasal yang diatur serta terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan nasional, undang-undang pengajar, serta PP No. 19 tahun 2005 dirunut dan disenergikan dapat disimpulkan bahwa buat sebagai guru pada Indonesia haruslah minimum berpendidikan S1 atau D4 berdasarkan program studi yang relevan, misalnya untuk sebagai guru taman kanak-kanak dipersyaratkan harus lulusan pergruan tinggi S1 atau D4 PAUD/ PGTK/Psikologi/kependidikan lainnya. Seseorang buat dapat diangkat menjadi pengajar Sekolah Dasar/MI/SDLB dipersyaratkan wajib lulusan perguruan tinggi acara S1 atau D4 PGSD/ Psikologi/Kependidikan lainnya. Untuk menjadi guru Matematika Sekolah Menengah pertama/MTS/ SMPLB atau Sekolah Menengah Atas/MA/SMK/SMALB dipersyaratkan lulusan perguruan tinggi program S1 atau D4 Matematika atau Pendidikan Matematika. Persyaratan kualifikasi pendidikan minimum bagi pengajar ini adalah suatu lompatan yg cukup signifikan dalam upaya menaikkan kualitas pendidikan di negara kita (Samani, dkk. 2006). 

Kualifikasi tenaga manajemen kependidikan, adalah tenaga kependidikan yang secara fungsional melakukan layanan secara nir pribadi kepada energi teknis kepen-didikan, tetapi melakukan merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan mem-berikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor serta mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua kegiatan penyelenggaraan pengelolaan acara aktivitas kependidikan pada semua jenjang tataran sistem pendidikan mulai tingkat struktural pusat, regional atau daerah, hingga pada tingkat operasional. Sehubungan fungsi energi manajemen tersebut, maka yg sanggup dimasukkan sebagai tenaga manajemen kependidikan merupakan: para perencana pendidikan, para pimpinan struktural dari tingkat sentra hingga taraf operasional kependidikan, para pimpinan atau pengelola, para ketua sekolah, penilik dan pengawas, penilai dan penguji pendidikan, para penghasil kebijakan atau keputusan. 

Kualifikasi energi penunjang teknis kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yg secara fungsional tugas utamanya menyiapkan kelengkapan wahana dan fasilitas teknis kependidikan berikut menaruh pelayanan teknis pemanfaatannya dalam menjamin kelangsungan dan kelancaran proses pendidikan. Sehubungan menggunakan fungsi tenaga penunjang teknis yg dimaksudkan adalah mencakup seperti teknisi sumber belajar di bengkel atau workshop, laboran pada laboratorium, pustakawan di perpustakaan, instalator di instalasi, teknisi sumber belajar pada studio, teknisi sumber belajar pada PSB, dan sebagainya.

Kualifikasi energi penunjang administrasi kependidikan, energi kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya mengadakan serta menyiapkan sarana serta prasarana kependidikan dan menaruh layanan jasa administratif pada pihak tenaga manajemen, atau kepemimpinan pendidikan, serta tenaga teknis fungsional, dan penunjang teknis kependidikan sesuai dengan kepentingannya. Siapa yang dimaksudkan menggunakan tenaga penunjang admistratif kependidikan ini, diantaranya bisa disebut seperti tenaga admi-nistratif birokrasi, ketatausahaan perkantoran kependidikan.

Kualifikasi energi peneliti, pengembang, serta konsultan kependidikan, merupakan tenaga kependidikan yang secara fungsional tugas utamanya nir terlibat secara eksklusif pada teknis layanan kependidikan, manajemen kependidikan, layanan penunjang teknis pendidikan, dan kepada energi penunjang administratif kependidikan, namun hanya menyiapkan banyak sekali perangkat informasi dan data yang relevan dan dapat dipertanggung jawabkan serta memberikan jasa pelayanan informal serta konsultansi pada seluruh pihak yang berkepentingan dengan kependidikan, khususnya mereka yang bertugas dan bertang-gunjawab serta terlibat dengan penyelengaraan, pengelolaan serta pembuatan keputusan mengenai kependidikan. Keberadaan jenis ketenagaan kependidikan ini idealnya tersedia pada semua jenjang tataran sistem kependidikan khususnya pada perguruan tinggi. Dengan demikian selayaknya dalam suatu perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi yang menangani bidang kependidikan memiliki aneka macam sentra penelitian, banyak sekali sentra pengembangan, maupun banyak sekali pusat atau unit konsultansi.

Berdasarkan pada uraian mengenai aneka macam jenis kualifikasi tenaga kependidikan tersebut kentara kepala sekolah merupakan termasuk energi kependidikan yg memiliki kualifikasi menjadi tenaga manajemen pendidik, lantaran secara fungsional melakukan layanan secara tidak langsung kepada energi teknis kependidikan, merancang serta merencanakan, mengorganisasikan dan menaruh pimpinan, mengkoordinasikan dan mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan pada taraf persekolahan. Sehingga pada pada Peraturan Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah diatur sebagai berikut, buat dapat seseorang guru diberikan tugas tambahan sebagai ketua sekolah merupakan seseorang guru apabila sudah memenuhi persyaratan kualifikasi secara umum, dan kualifikasi khusus ketua sekolah. Persyaratan kualifikasi generik yang dimaksudkan adalah menjadi berikut: (a) memiliki kualifikasi akdemik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kepen-didikan atau nonkependidikan dalam perguruan tinggi yang terakreditasi, (b) dalam ketika diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun, (c) mempunyai penga-halaman mengajar sekuarang-kurangnya 5 tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali di TK/Raudhatul Athfal (Taman Kanak-kanak/RA) memiliki pengalaman mengajar sekuang-kurangnya tiga tahun pada Taman Kanak-kanak/RA, dan (d) mempunyai pangkat serendah-rendahnya III/C bagi pegawai negeri sipil bagi non-pegwai negeri sipil disetarakan menggunakan kepangkatan yg dimuntahkan oleh yayasan atau forum yang berwewenang. Kemudian persyaratan kualifikasi khusus yang harus dipenuhi oleh seseorang guru untuk dapat diangkat menjadi kepala sekolah tersebut sangan tergantung dalam jenis dan jenjang persekolahan tadi, maka barangkali sebagai contoh dapat dikutifkan persyaratan kualifikasi khusus Kepala SMA/Madrsah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut: (1) bersetatus menjadi pengajar SMA/MA, (2) memiliki sertifikat pendidik menjadi guru SMA/MA, dan (3) memiliki sertifikat kepla sekolah Sekolah Menengah Atas/MA yg diterbitkan oleh forum yg ditetapkan pemerintah. Dengan adanya jabatan ketua sekolah merupakan tugas tambahan dari guru, maka secara fungsional tugas kepala sekolah masih permanen menjadi energi kependidikan kualifikasi pendidik, dalam arti secara langsung jua menaruh pelayanan teknis kependidikan kepada siswa, dan sebagai tenaga manajemen pendidikan melakukan layanan secara nir eksklusif pada energi teknis kependidikan, merancang dan merencanakan, mengorganisasikan dan memberikan pimpinan, mengkoordinasikan serta mengendalikan, memonitor dan mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti, dan menggariskan kebijaksanaan semua aktivitas penyelenggaraan pengelolaan acara kegiatan kependidikan dalam tingkat persekolahan. Jadi pada jabatan kepala sekolah tadi termasuk dua kualifikasi yaitu sebagai kualifikasi tenaga manajemen pendidikan dan energi pendidik. Untuk ketua sekolah sebagai kualifikasi energi manajemen pendi-dikan dalam tugas tambahan kepala sekolah akan dibahas secara lebih teoritikal, lebih pada, dan lebih luas pada pembahasan bab-bab berikutnya. Sedangkan kepala sekolah sebagai kualifikasi energi pendidik akan dibahas pada uraian selanjutnya.

Kepala Sekolah Sebagai Pendidik
Di dalam uraian tentang jenis serta kualifikasi energi kependidikan telah dijelaskan bahwa kepala sekolah merupakan jabatan tugas tambahan, dan di sisi lain secara teoritik juga fungsional kepala sekolah jua disebutkan termasuk tenaga pendidik. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 yang mengatur mengenai Sistem pendidikan Nasional pada pasal 39 (dua) berbunyi pendidik merupakan tenaga profesional yg bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembim-bingan serta pembinaan, dan melakukan penelitian dan darma pada rakyat, terutama bagi pendidik dalam perguruan tinggi. Kemudian pada Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam pasal 1 (1) berbunyi pengajar merupakan pendidik professional dengan tugas primer mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai serta mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, serta pendidikan menengah. Dengan demikian melihat posisi kualifikasi ketua sekolah sebagai tenaga manajemen pendidikan dan tenaga pendidik, maka ketua sekolah jua melaksanakan tugas menjadi pendidik, yaitu mendidik. Mendidik berdasarkan Wahjosumidjo (2008) diartikan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecer-dasan pikiran sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan perilaku dan tata laku seseorang atau sekelompok orang pada usaha mendewasakan manusia melalui upaya pedagogi dan latihan. Demikian jua dalam perkembangan selanjutnya istilah pendidikan dipersamakan dengan istilah-kata pengajaran. 

Berdasarkan pada pengertian pendidikan tersebut memberikan indikasi bahwa proses pendidikan di samping secara khusus dilaksanakan melalui sekolah, dapat juga diselenggarakan pada luar sekolah, yaitu keluarga serta rakyat. Lebih jauh bisa pula dipahami bahwa seseorang pendidik tersebut harus sahih-benar mengetahui teori-teori dan metode pada pendidikan tersebut. Kepala sekolah menjadi seorang pendidik harus mampu menanamkan, memajukan serta menaikkan paling nir empat macam nilai, yaitu: (1) nilai mental, nilai yg berkaitan menggunakan sikap bathin serta tabiat insan, (2) nilai moral yang berkaitan menggunakan hal-hal ajaran baik dan buruk tentang perbuatan, perilaku serta kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, serta kesusilaan, (3) nilai fisik hal-hal yang berkaitan menggunakan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan manusia secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan dengan kepekaan insan terhadap seni serta estetika. 

Kepala sekolah sebagai pendidik juga harus memperhatikan 2 konflik utama, yaitu pertama merupakan sasarannya, serta yang ke 2 adalah cara dalam melaksanakan perannya menjadi pendidik. 

Ada tiga gerombolan yang menjadi target berdasarkan ketua sekolah dalam melaksanakan tugas mendidiknya, yaitu pertama merupakan peserta didik atau anak didik, yang ke 2 adalah pegawai administrasi, serta yg ketiga adalah guru-pengajar. Ketiga kelompok ini menjadi sasaran pada pendidikan yg dilakukan sang ketua sekolah. Ketiga kelompok tersebut antara grup yang satu menggunakan gerombolan yang lainnya mempunyai perbedaan-disparitas yg sangat prinsip, yang secara generik dapat ditinjau pada banyak sekali gejala serta konduite yg ditunjukannya misalnya misalnya dalam tingkat kematangannya, latar belakang sosial yang tidak sinkron, motivasi yang berbeda, taraf kesadaran pada bertanggungjawab, dan lain sebagainya. Konsekwensi menggunakan adanya disparitas-disparitas tersebut adalah kepala sekolah di pada melaksanakan tugas mendidikanya dalam rangka menanamkan (1) nilai mental, nilai yang berkaitan menggunakan perilaku bathin serta tabiat insan, (dua) nilai moral yang brkaitan dengan hal-hal ajaran baik serta jelek mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban atu moral yang diartikan sebagai ahklak, budipekerti, dan kesusilaan, (tiga) nilai fisik hal-hal yg berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan atau penampilan insan secara lahiriah, dan (4) nilai artistik yang berkaitan menggunakan kepekaan insan terhadap seni serta estetika, pula seharusnya dengan menggunakan cara atau pendekatan yang berbeda-beda terhadap setiap target didiknya, tidak mampu dilakukan dengan pendekatan dan strategi yang sama.

Berbagai pendekatan yang sanggup dipakai oleh ketua sekolah terhadap kelompok sasaran dalam melaksanakan pendidikan atau mendidik muridnya, staf pegawai adminis-trasi, dan pengajar-gurunya. Pertama dengan memakai pendekatan atau taktik persuasi. Persuasi yg dimaksudkan pada sini adalah mampu meyakinkan secara halus sehingga para siswa, staf pegawai administrasi dan pengajar-guru konfiden akan kebenaran, merasa perlu serta menduga krusial nilai-nilai yang terkandung pada nilai-nilai aspek mental, moral, fisik, serta estetika ke pada kehidupan mereka. Persuasi bisa dilakukan secara individu juga secara grup.

Kedua dengan pendekatan dan setrategi keteladanan, adalah hal yg patut, baik dan perlu untuk dicontoh yg disampaikan oleh kepala sekolah melalui perilaku, perbuatan, perilaku termasuk penampilan kerja serta penampilan fisik. 

Sudah tentunya ketua sekolah pada memakai pendekatan dan strategi persuasi serta keteladanan terhadap muridnya, staf pegawai, dan pengajar-pengajar tadi harus tetap berpijak dan menghormati kebiasaan-kebiasaan dan etika-etika yg berlaku dimasyarakat khususnya di global pendidikan. Secara lebih khusus bagaimana ketua sekolah seharusnya memperlakukan muridnya atau anak didiknya. Kepala sekolah sebaiknya harus memahami bahwa pengertian pendidikan tadi tidak hanya semata-mata diberikan pengertian sebagai proses mengajar saja, tetapi jua adalah menjadi bimbingan, serta yang lebih penting juga merupakan bagaimana pada mengaplikasikannya proses bimbingan tadi. Tampaknya pada interaksi dengan pemaknaan terhadap bimbingan tadi tidak bisa dilepaskan berdasarkan pengertian pembimbingan yg dikemukakan sang Ki Hajar Dewantara dalam sistem amongnya. Tiga kalimat padat yang terkenal dalam sistem among tersebut merupakan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga kalimat tersebut memiliki arti bahwa pendidikan wajib bisa memberi model, wajib bisa memberikan pengaruh, dan harus dapat mengendalikan peserta anak didiknya (Soetjipto dan Raplis Kosasi, 1999). Sebagai ketua sekolah wajib bisa membentuk dan menum-buhkan kodisi yg aman yang dapat memberi dan membiarkan anak didiknya menuruti talenta dan kondratnya ad interim ketua sekolah memperhatikannya, dan mem-pengaruhinya pada arti mendidiknya dan mengajarnya. Dengan demikian membimbing mengandung arti pada bersikap memilih ke arah pembentukan kemana murid mau dibawa atau ke arah tujuan pendidikan.

Kepala sekolah menjadi seorang pemimpin pada sekolah harus bersikap positif terha-dap guru-pengajar dan pegawai administrasi lainnya pada melaksanakan tugasnya untuk pencapai tujuan sekolahnya. Kepala sekolah dituntut mampu buat bisa kerjasama, mam-pu buat memberi arahan, serta memberi petunjuk, kepala sekolah diperlukan jua bisa mendapat banyak sekali tambahkan, serta kritik dari guru-pengajar. Kepala sekolah jua bisa membina, mendidik, melatih seluruh pengajar dan pesonil sinkron dengan bidang tugasnya masing-masing dalam bisnis tambahan pengetahuan keterampilan dan pengalaman juga perubahan sikap yang lebih positif terhadap pelakasanaan tugas.

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN SISTEM GANDA

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda 
Berbagai pertarungan yang timbul dalam sistem pendidikan kita. Antara lain merupakan: pertama, rendahnya kualitas atau mutu pendidikan. Kedua, merupakan belum adanya pemerataan pada memperoleh akses pada bidang pendidikan. Ketiga, merupakan tidak adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pendidikan. 

Disamping itu persoalan yg keempat adalah belum adanya demokratisasi pendidikan. Peran dan warga pada dunia pendidikan masih sangat terbatas. Khusus buat sekolah kejuruan, duduk perkara yg dirasakan sangat penting berkaitan dengan ketidakmampuan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Hal itu ditimbulkan lantaran kualitas lulusan yang memang jauh menurut kehendak pasar. Disamping itu juga adanya ketidaksesuaian antara ”supply” lulusan menggunakan kecilnya “demand”. 

Salah satu bentuk kebijakan yang dikeluarkan sang Pemerintah buat mengantisipasi hal itu merupakan Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda (dual system). Sistem ini berusaha mengintegrasikan kepentingan dunia pendidikan menggunakan dunia industri. Tujuannya adalah buat meningkatkan kualitas pendidikan, khususnya SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), baik pengetahuan, ketrampilan juga etos kerja yg sinkron menggunakan tuntutan lapangan kerja, sebagai akibatnya siap masuk ke pasaran kerja Melalui PSG diperlukan terdapat kesesuaian antara mutu serta kemampuan yang dimiliki lulusan, dengan tuntutan dunia kerja. 

Pendidikan Sistem Ganda yang diselenggarakan dalam sekolah menengah kejuruan merupakan salah satu bentuk implementasi kebijakan “link and match” antara global pendidikan dengan dunia kerja. Bentuk penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda menekankan pada pendidikan keahlian profesional yg memadukan secara sitematik serta sinkron antara program pendidikan di sekolah dengan program keahlian yg diperoleh eksklusif pada perusahaan. 

Hasil kajian yang dilakukan sang Mardi Rasyid (dalam Ruchiat, 2002: lima), menemukan adanya perkara pokok yang dialami pada melaksanakan PSG merupakan: 1) Industri yang menjadi kawan sekolah belum sanggup ikut merencanakan kegiatan belajar anak didik pada membangun profesionalisme anak didik, 2) Sekolah harus bisa mempersiapkan siswa untuk memperoleh ketrampilan yang sesuai menggunakan bidang yang ditekuni, 3) Visi dan misi acara PSG dalam pelaksanaannya masih sangat bervariasi, termasuk didalamnya persepsi menurut para guru, instruktur dan kepala sekolahnya. 

Erwin Kurniadi (1995) berhasil mengidentifikasi empat hambatan utama aplikasi PSG antara lain: 1) Umumnya peserta belum mempunyai kemampuan dasar yg memadai, 2) Mentalitas peserta masih belum siap buat memasuki dunia kerja, khususnya pada hal budaya kerja dan disiplin kerja, tiga) Terlalu banyaknya energi dan pikiran yg dimuntahkan buat tahu padatnya modul yg disediakan oleh sekolah, 4) Sarana yang disediakan pihak sekolah belum mampu mengikuti perkembangan IPTEK di global usaha. 

Jaringan Penelitian Depdikbud Jawa tengah tahun 1995, menemukan beberapa permasalahan pada aplikasi acara PSG diantaranya adalah: 1) Ketidaksiapan instansi atau perusahaan yg sebagai partner kerjasama pada menyediakan peralatan, jenis pekerjaan serta teknologi yg sesuai menggunakan sekolah menengah kejuruan, 2) Ketidaksiapan sekolah pada merencanakan kurikulum, guru, pelaralatan, waktu serta dana yg tersedia, tiga) Kurang tersosialisasikannya program PSG dalam pemerintah wilayah serta masyarakat. 

Badan Litbang Depdikbud (Kompas, 20 Nopember 1995) dalam penelitiannya jua mengidentifikasi sejumlah kendala yaitu: 1) Tidak seragamnya kualitas anak didik sebagai akibatnya sering mengakibatkan perusahaan tak bisa menggali potensi maksimal siswa serta menciptakan pekerjaan yg dihadapi siswa kurang memberikan nilai tambah, dua) Keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia di perusahaan pada memantau jumlah siswa, sehingga penilaiannya menjadi kurang seksama, 3) Muatan kurikulum SMK yg cenderung sarat menggunakan aneka macam materi yg dianggap bagus dan krusial menurut pertimbangan disiplin keilmuan akan tetapi tidak kentara kaitannya menggunakan pembentukan keahlian yg harus dikuasai anak didik, 4) Sistem pembelajaran yg terjadi masih sangat berorientasi kepada pemenuhan tuntutan formal acara kurikulum sekolah, 5) Orientasi acara Pendidikan Sistem Ganda (PSG) lebih berat dalam perusahaan besar dibanding dalam perusahaan mini serta menengah. 

Namun apakah semua sekolah mempunyai kesamaan yg sama? 
Pertanyaan diatas mendorong perlunya dilakukan penilaian atas pelaksanaan PSG tadi. Penelitian dilakukan di Sekolah Tehnik Menengah/ SMK Negeri 2 di Kabupaten Klaten, lantaran adalah galat satu SMK negeri yang dianggap berhasil di Kabupaten Klaten, sebagai akibatnya seringkali dijadikan barometer bagi sekolah kejuruan yg lainnya. Untuk itu maka evaluasi dilakukan.

Evaluasi Implementasi kebijakan 
Evaluasi kebijakan pada dasarnya merupakan suatu proses buat menilai seberapa jauh suatu kebijakan mengakibatkan output yaitu menggunakan membandingkan antara hasil yang diperoleh menggunakan tujuan atau target kebijakan yg ditentukan (Darwin, 1994: 34). Evaluasi merupakan evaluasi terhadap suatu dilema yang umumnya memilih baik buruknya duduk perkara tadi. Dalam kaitannya menggunakan suatu program umumnya evaluasi dilakukan dalam rangka mengukur efek suatu program dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. (Hanafi & Guntur, 1984: 16). 

Evaluasi kebijakan dilakukan buat mengetahui 4 aspek yaitu: 1) Proses pembuatan kebijakan, dua) Proses implementasi kebijakan, 3) Konsekuensi kebijakan, 4) Efektivitas impak kebijakan (Wibowo, 1994: 9). Sementara itu Pall (1987: 52) membagi penilaian kebijakan kedalam empat kategori, yaitu: 1) Planning and need evaluations, 2) Process evaluations, 3) Impact evaluations, 4) Efficiency evaluations, Menurut Ripley (Riyanto, 1997: 35), evaluasi implementasi kebijakan adalah penilaian yg dirumuskan sebagai berikut : 
1. Ditujukan untuk melakukan penilaian terhadap proses 
2. Dilaksanakan dengan menambah pada perspektif apa yg terjadi selain kepatuhan 
3. Dilakukan buat mengevaluasi impak jangka pendek. 

Mengenai konsep implementasi sendiri, Presman dan Wildavsky (pada Wahab (2002: 60) mengartikannya, sebagai “to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Sedangkan Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan menjadi ”Those action by public an private individual (or groups) that are directed at the achiefment of objectives set fort in prior policy decisions”.

Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah sesuatu yang krusial, bahkan jauh lebih krusial daripada pembuatan kebijakan Udoji (pada Abdul Wahab, 1991: 45). Implementasi kebijakan merupakan jembatan yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Menurut Anderson (1979: 68), ada 4 aspek yang perlu dikaji pada implementasi kebijakan yaitu: 1) siapa yg mengimplementasikan, 2) hakekat dari proses administrasi, 3) kepatuhan, serta 4) dampak berdasarkan pelaksanaan kebijakan. 

Sementara itu menurut Ripley & Franklin(1986,54) terdapat dua hal yang sebagai fokus perhatian pada implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) dan What”s happening ? (Apa yg terjadi ). Kepatuhan memilih pada apakah para implementor patuh terhadap mekanisme atau standard anggaran yg telah ditetapkan. Sementara buat “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yg timbul, apa yg berhasil dicapai, mengapa dan sebagainya. 

Guna melihat keberhasilan implementasi, dikenal beberapa model implementasi, diantaranya contoh yang dikembangkan Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan bahwa Implementasi kebijakan adalah fungsi dari 3 variabel, yaitu 1) Karakteristik masalah, dua) Struktur manajemen acara yang tercermin dalam aneka macam macam peraturan yg mengoperasionalkan kebijakan, tiga) Faktor-faktor di luar peraturan.(Wibowo dkk, 1994: 25) Karakterisitik perkara berkaitan menggunakan gampang tidaknya masalah yg akan digarap dikendalikan. Semakin gampang suatu kasus digarap serta dikendalikan maka akan diperlukan menggunakan mudah tercapai efektivitas pada implementasinya. Struktur manajemen acara tercermin dalam kemampuan keputusan kebijakan buat menstrukturkan secara tepat proses implementasinya. 

Sementara itu sejumlah variabel diluar peraturan yang mensugesti proses implementasi, diantaranya: 1) Kondisi sosial, ekonomi dan teknologi, 2) Dukungan publik, 3) Sikap serta asal-asal yg dimiliki grup-grup, 4) Dukungan dari pejabat atasan, 5) Komitmen serta kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana. 

Pemikiran Sabatier serta Mazmanian ini menduga bahwa suatu Implementasi akan efektif jika birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk aplikasi, petunjuk teknis). Oleh karenanya contoh ini diklaim top down. 

Sementara itu Van Horn dan Van Meter (1975: 447), dengan modelnya merumuskan sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan adalah; 1) baku serta target eksklusif yang wajib dicapai oleh para pelaksana kebijakan, 2) tersedianya sumber daya, baik yang berupa dana, tehnologi, wahana juga prasarana lainnya, tiga) komunikasi antara organisasi yang baik ,4) karakteristik birokrasi pelaksana, lima) kondisi sosial, ekonomi, serta politik Sementara itu dari Grindle (1980), implementasi dipengaruhi oleh isi (content) kebijakan dan konteks implementasinya. Dalam hal ini, Isi kebijakan meliputi: 1) Kepentingan yg termakan sang kebijakan, dua) Jenis manfaat yang akan didapatkan, tiga) Derajat perubahan yang diinginkan, 4) Kedudukan produsen kebijakan, lima) Siapa pelaksana acara, 6) Sumber daya yg dikerahkan. Sementara itu Konteks kebijakan meliputi: 1)Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yg terlibat, 2) Karakteristik forum dan penguasa, 3) Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana. 

Dalam penelitian ini nir mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yang menghipnotis keberhasilan implementasi akan namun lebih mengacu bagaimana proses itu berlangsung, apakah telah sinkron dengan anggaran pelaksanaannya, hasil apa yg sudah diperoleh selama proses implementasi, bagaimana perilaku pelaksananya, bagaimana sejumlah asal dipakai buat proses implementasi. Dengan demikian evaluasi implementasi dititikberatkan dalam evalusi kinerja proses implementasi kebijakannya. Konsep yang dipilih merupakan menurut Ripley (1985).

Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda 
Kebijakan pendidikan sistem ganda dikembangkan berdasarkan konsep dual system pada Jerman, yaitu suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yg memadukan secara sitematik dan sinkron program pendidikan pada sekolah dan penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, menggunakan tujuan untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional eksklusif. Tujuan penyelenggaran Pendidikan Sistem Ganda merupakan: 1) menghasilkan tenaga kerja yg memiliki keahlian profesional, 2) Memperkokoh link and match antara sekolah dengan dunia usaha, tiga) Meningkatkan efisiensi proses pendidikan serta pembinaan energi kerja, 4) Memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja menjadi bagian berdasarkan proses pendidikan. 

Dalam aplikasi PSG dalam sekolah menengah kejuruan, isi pendidikan serta pelatihan meliputi : 
a. Komponen pendidikan umum (normatif), meliputi : Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Agama, Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, Sejarah Nasional serta Sejarah Umum.
b. Komponen pendidikan dasar meliputi : Matematika, Bahasa Inggris, Biologi, Fisika dan Kimia. 
c. Komponen kejuruan, yaitu mencakup pelajaran teori-teori kejuruan dalam lingkup suatu program studi eksklusif buat membekali pengetahuan mengenai tehnis dasar keahlian. 
d. Komponen Praktek Dasar Profesi, berupa latihan kerja buat menguasai teknik bekerja secara benar sinkron tuntutan profesi. 
e. Komponen Praktik Keahlian profesi yaitu berupa kegiatan bekerja secara terprogram dalam situasi sebenarnya uanutk mencapai taraf keahlian serta perilaku profesional. 

Untuk pengelolaan aktivitas belajar mengajar dalam pendidikan system ganda ini ada beberapa prinsip dasar yaitu : 
a. Ada keterkaitan antara apa yg dilakukan di sekolah serta apa yg dilakukan di institusi pasangan sebagai suatu rangkaian yg utuh 
b. Praktek keahlian di institusi pasangan merupakan proses belajar yg utuh, bermakna dan sarat nilai untuk mencapai kompetesi lulusan. 
c. Ada transedental proses belajar menggunakan saat yg sesuai pada mencapai taraf kompetensi yg dibutuhkan. 
d. Berorientasi pada proses disamping berorientasi kepada produk dalam mencapai kompetensi lulusan secara optimal.

EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN SISTEM GANDA

Evaluasi Implementasi Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda 
Berbagai perseteruan yang ada pada sistem pendidikan kita. Diantaranya adalah: pertama, rendahnya kualitas atau mutu pendidikan. Kedua, merupakan belum adanya pemerataan dalam memperoleh akses pada bidang pendidikan. Ketiga, merupakan nir adanya efisiensi pada penyelenggaraan pendidikan. 

Disamping itu duduk perkara yang keempat adalah belum adanya demokratisasi pendidikan. Peran dan rakyat pada global pendidikan masih sangat terbatas. Khusus buat sekolah kejuruan, persoalan yg dirasakan sangat penting berkaitan menggunakan ketidakmampuan lulusan dalam memasuki lapangan kerja. Hal itu disebabkan lantaran kualitas lulusan yang memang jauh menurut kehendak pasar. Disamping itu pula adanya ketidaksesuaian antara ”supply” lulusan dengan kecilnya “demand”. 

Salah satu bentuk kebijakan yg dimuntahkan oleh Pemerintah buat mengantisipasi hal itu merupakan Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda (dual system). Sistem ini berusaha mengintegrasikan kepentingan global pendidikan dengan global industri. Tujuannya adalah buat mempertinggi kualitas pendidikan, khususnya SMK (SMK), baik pengetahuan, ketrampilan juga pandangan hidup kerja yang sinkron menggunakan tuntutan lapangan kerja, sehingga siap masuk ke pasaran kerja Melalui PSG diperlukan ada kesesuaian antara mutu dan kemampuan yang dimiliki lulusan, dengan tuntutan dunia kerja. 

Pendidikan Sistem Ganda yg diselenggarakan dalam sekolah menengah kejuruan adalah keliru satu bentuk implementasi kebijakan “link and match” antara global pendidikan menggunakan global kerja. Bentuk penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda menekankan dalam pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sitematik serta sesuai antara acara pendidikan pada sekolah dengan acara keahlian yang diperoleh eksklusif di perusahaan. 

Hasil kajian yg dilakukan oleh Mardi Rasyid (pada Ruchiat, 2002: lima), menemukan adanya masalah utama yang dialami dalam melaksanakan PSG merupakan: 1) Industri yg sebagai mitra sekolah belum bisa ikut merencanakan kegiatan belajar anak didik dalam membangun profesionalisme siswa, 2) Sekolah harus dapat mempersiapkan murid untuk memperoleh ketrampilan yang sinkron dengan bidang yg ditekuni, tiga) Visi dan misi acara PSG pada pelaksanaannya masih sangat bervariasi, termasuk didalamnya persepsi menurut para pengajar, instruktur serta kepala sekolahnya. 

Erwin Kurniadi (1995) berhasil mengidentifikasi empat kendala utama pelaksanaan PSG antara lain: 1) Umumnya peserta belum mempunyai kemampuan dasar yang memadai, 2) Mentalitas peserta masih belum siap buat memasuki global kerja, khususnya dalam hal budaya kerja dan disiplin kerja, tiga) Terlalu banyaknya tenaga serta pikiran yg dimuntahkan buat tahu padatnya modul yg disediakan sang sekolah, 4) Sarana yang disediakan pihak sekolah belum bisa mengikuti perkembangan IPTEK pada global bisnis. 

Jaringan Penelitian Depdikbud Jawa tengah tahun 1995, menemukan beberapa konflik pada aplikasi program PSG diantaranya merupakan: 1) Ketidaksiapan instansi atau perusahaan yang menjadi partner kerjasama dalam menyediakan peralatan, jenis pekerjaan serta teknologi yang sinkron menggunakan sekolah menengah kejuruan, dua) Ketidaksiapan sekolah pada merencanakan kurikulum, pengajar, pelaralatan, saat dan dana yang tersedia, tiga) Kurang tersosialisasikannya acara PSG dalam pemerintah wilayah dan rakyat. 

Badan Litbang Depdikbud (Kompas, 20 Nopember 1995) pada penelitiannya jua mengidentifikasi sejumlah kendala yaitu: 1) Tidak seragamnya kualitas siswa sehingga acapkali membuahkan perusahaan tak bisa menggali potensi maksimal murid serta membuat pekerjaan yg dihadapi siswa kurang memberikan nilai tambah, dua) Keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia di perusahaan pada memantau jumlah siswa, sebagai akibatnya penilaiannya menjadi kurang akurat, 3) Muatan kurikulum SMK yang cenderung sarat dengan berbagai materi yg dipercaya mengagumkan serta penting dari pertimbangan disiplin keilmuan akan tetapi tak kentara kaitannya dengan pembentukan keahlian yg harus dikuasai murid, 4) Sistem pembelajaran yg terjadi masih sangat berorientasi kepada pemenuhan tuntutan formal program kurikulum sekolah, 5) Orientasi program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) lebih berat dalam perusahaan besar dibanding pada perusahaan kecil serta menengah. 

Namun apakah semua sekolah mempunyai kecenderungan yg sama? 
Pertanyaan diatas mendorong perlunya dilakukan penilaian atas aplikasi PSG tadi. Penelitian dilakukan pada Sekolah Tehnik Menengah/ Sekolah Menengah Kejuruan Negeri dua di Kabupaten Klaten, lantaran merupakan keliru satu SMK negeri yg dianggap berhasil pada Kabupaten Klaten, sebagai akibatnya seringkali dijadikan barometer bagi sekolah kejuruan yg lainnya. Untuk itu maka penilaian dilakukan.

Evaluasi Implementasi kebijakan 
Evaluasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses buat menilai seberapa jauh suatu kebijakan mengakibatkan output yaitu dengan membandingkan antara output yang diperoleh dengan tujuan atau sasaran kebijakan yg ditentukan (Darwin, 1994: 34). Evaluasi adalah penilaian terhadap suatu duduk perkara yang umumnya memilih baik buruknya persoalan tersebut. Dalam kaitannya menggunakan suatu program umumnya evaluasi dilakukan dalam rangka mengukur impak suatu program pada mencapai tujuan yang ditetapkan. (Hanafi & Guntur, 1984: 16). 

Evaluasi kebijakan dilakukan buat mengetahui 4 aspek yaitu: 1) Proses pembuatan kebijakan, dua) Proses implementasi kebijakan, tiga) Konsekuensi kebijakan, 4) Efektivitas dampak kebijakan (Wibowo, 1994: 9). Sementara itu Pall (1987: 52) membagi penilaian kebijakan kedalam empat kategori, yaitu: 1) Planning and need evaluations, dua) Process evaluations, tiga) Impact evaluations, 4) Efficiency evaluations, Menurut Ripley (Riyanto, 1997: 35), penilaian implementasi kebijakan adalah penilaian yg dirumuskan menjadi berikut : 
1. Ditujukan untuk melakukan penilaian terhadap proses 
2. Dilaksanakan dengan menambah pada perspektif apa yg terjadi selain kepatuhan 
3. Dilakukan buat mengevaluasi dampak jangka pendek. 

Mengenai konsep implementasi sendiri, Presman dan Wildavsky (pada Wahab (2002: 60) mengartikannya, sebagai “to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Sedangkan Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan sebagai ”Those action by public an private individual (or groups) that are directed at the achiefment of objectives set fort in prior policy decisions”.

Dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan adalah sesuatu yang krusial, bahkan jauh lebih krusial daripada pembuatan kebijakan Udoji (dalam Abdul Wahab, 1991: 45). Implementasi kebijakan merupakan jembatan yg menghubungkan formulasi kebijakan dengan output (outcome) kebijakan yang dibutuhkan. Menurut Anderson (1979: 68), ada 4 aspek yang perlu dikaji pada implementasi kebijakan yaitu: 1) siapa yg mengimplementasikan, 2) hakekat menurut proses administrasi, tiga) kepatuhan, serta 4) efek menurut aplikasi kebijakan. 

Sementara itu menurut Ripley & Franklin(1986,54) ada dua hal yg sebagai fokus perhatian pada implementasi, yaitu compliance (kepatuhan) serta What”s happening ? (Apa yg terjadi ). Kepatuhan menunjuk pada apakah para implementor patuh terhadap prosedur atau standard aturan yang telah ditetapkan. Sementara untuk “what’s happening” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu dilakukan, hambatan apa yg ada, apa yg berhasil dicapai, mengapa serta sebagainya. 

Guna melihat keberhasilan implementasi, dikenal beberapa contoh implementasi, diantaranya contoh yg dikembangkan Mazmanian serta Sabatier yg menyatakan bahwa Implementasi kebijakan adalah fungsi dari tiga variabel, yaitu 1) Karakteristik kasus, dua) Struktur manajemen acara yang tercermin pada aneka macam macam peraturan yg mengoperasionalkan kebijakan, 3) Faktor-faktor di luar peraturan.(Wibowo dkk, 1994: 25) Karakterisitik masalah berkaitan menggunakan gampang tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan. Semakin gampang suatu kasus digarap serta dikendalikan maka akan diharapkan menggunakan mudah tercapai efektivitas dalam implementasinya. Struktur manajemen acara tercermin pada kemampuan keputusan kebijakan buat menstrukturkan secara tepat proses implementasinya. 

Sementara itu sejumlah variabel diluar peraturan yang menghipnotis proses implementasi, antara lain: 1) Kondisi sosial, ekonomi serta teknologi, 2) Dukungan publik, tiga) Sikap serta asal-asal yg dimiliki kelompok-grup, 4) Dukungan dari pejabat atasan, 5) Komitmen serta kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana. 

Pemikiran Sabatier dan Mazmanian ini menganggap bahwa suatu Implementasi akan efektif apabila birokrasi pelaksananya mematuhi apa yang telah digariskan oleh peraturan (petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis). Oleh karenanya model ini diklaim top down. 

Sementara itu Van Horn serta Van Meter (1975: 447), menggunakan modelnya merumuskan sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan adalah; 1) standar serta sasaran eksklusif yg harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, dua) tersedianya sumber daya, baik yg berupa dana, tehnologi, sarana maupun prasarana lainnya, 3) komunikasi antara organisasi yg baik ,4) ciri birokrasi pelaksana, lima) syarat sosial, ekonomi, serta politik Sementara itu dari Grindle (1980), implementasi dipengaruhi sang isi (content) kebijakan dan konteks implementasinya. Dalam hal ini, Isi kebijakan meliputi: 1) Kepentingan yang tergoda oleh kebijakan, dua) Jenis manfaat yang akan didapatkan, tiga) Derajat perubahan yg diinginkan, 4) Kedudukan pembuat kebijakan, lima) Siapa pelaksana acara, 6) Sumber daya yg dikerahkan. Sementara itu Konteks kebijakan mencakup: 1)Kekuasaan, kepentingan dan taktik aktor yg terlibat, dua) Karakteristik lembaga serta penguasa, 3) Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana. 

Dalam penelitian ini nir mencoba mengidentifikasi faktor-faktor yg mempengaruhi keberhasilan implementasi akan namun lebih mengacu bagaimana proses itu berlangsung, apakah telah sesuai menggunakan aturan pelaksanaannya, hasil apa yang sudah diperoleh selama proses implementasi, bagaimana sikap pelaksananya, bagaimana sejumlah sumber digunakan buat proses implementasi. Dengan demikian penilaian implementasi dititikberatkan dalam evalusi kinerja proses implementasi kebijakannya. Konsep yg dipilih adalah dari Ripley (1985).

Kebijakan Pendidikan Sistem Ganda 
Kebijakan pendidikan sistem ganda dikembangkan menurut konsep dual system pada Jerman, yaitu suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sitematik dan sinkron program pendidikan pada sekolah serta penguasaan keahlian yg diperoleh melalui aktivitas bekerja pribadi pada dunia kerja, menggunakan tujuan buat mencapai suatu taraf keahlian profesional tertentu. Tujuan penyelenggaran Pendidikan Sistem Ganda merupakan: 1) membuat energi kerja yang mempunyai keahlian profesional, 2) Memperkokoh link and match antara sekolah menggunakan global usaha, tiga) Meningkatkan efisiensi proses pendidikan serta pelatihan energi kerja, 4) Memberi pengakuan serta penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian menurut proses pendidikan. 

Dalam aplikasi PSG pada sekolah menengah kejuruan, isi pendidikan dan pembinaan mencakup : 
a. Komponen pendidikan generik (normatif), mencakup : Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Agama, Bahasa dan Sastra Indonesia, Pendidikan Jasmani serta Kesehatan, Sejarah Nasional serta Sejarah Umum.
b. Komponen pendidikan dasar mencakup : Matematika, Bahasa Inggris, Biologi, Fisika dan Kimia. 
c. Komponen kejuruan, yaitu meliputi pelajaran teori-teori kejuruan pada lingkup suatu acara studi eksklusif buat membekali pengetahuan tentang tehnis dasar keahlian. 
d. Komponen Praktek Dasar Profesi, berupa latihan kerja untuk menguasai teknik bekerja secara sahih sesuai tuntutan profesi. 
e. Komponen Praktik Keahlian profesi yaitu berupa kegiatan bekerja secara terprogram dalam situasi sebenarnya uanutk mencapai taraf keahlian serta perilaku profesional. 

Untuk pengelolaan kegiatan belajar mengajar dalam pendidikan system ganda ini ada beberapa prinsip dasar yaitu : 
a. Ada keterkaitan antara apa yang dilakukan pada sekolah serta apa yang dilakukan di institusi pasangan menjadi suatu rangkaian yang utuh 
b. Praktek keahlian pada institusi pasangan adalah proses belajar yg utuh, bermakna dan sarat nilai buat mencapai kompetesi lulusan. 
c. Ada transedental proses belajar dengan ketika yang sesuai dalam mencapai taraf kompetensi yg diperlukan. 
d. Berorientasi pada proses disamping berorientasi pada produk pada mencapai kompetensi lulusan secara optimal.

PENGERTIAN DAN BIDANGBIDANG ADMINISTRASI SEKOLAH MENURUT PARA AHLI

Pengertian Dan Bidang-Bidang Administrasi Sekolah Menurut Para Ahli
Administrasi sekolah menurut Knezevicch yang dikutif oleh Sahertian (1985) merupakan suatu proses yg terdiri menurut bisnis mengkreasi, memelihara, menstimulir, dan mempersatukan semua daya yang ada pada suatu forum pendidikan agar bisa mencapai tujuan yg telah dipengaruhi dulu. Selanjutnaya Knezevicch menjelaskan bahwa cakupan menurut administrasi sekolah merupakan meliputi: (1) pengembangan pengajaran dan kurikulum, (dua) pengelolaan kesiswaan, (tiga) mengelola personalia sekolah, (4) mengelola gedung dan perlengkapan sekolah, (lima) mengelola angkutan sekolah, (5) mengatur struktur sekolah, (6) mengelola usaha serta keuangan sekolah, (7) mengelola interaksi dengan masyarakat. Oleh karenanya maka semestinya para calon ketua sekolah, dan para kepala sekolah diberikan pengertian, pemahaman secara teoretik serta empirik lebih luas serta dalam tentang administrasi pendidikan, sebagai akibatnya kelak dikemudian hari bila telah menjadi kepala sekolah akan dapat melakukan serta menerapkan pada melakasanakan tugas menjadi ketua sekolah menggunakan baik, pada arti mampu mendayagunakan sumberdaya manusia serta sumberdaya wahana dan prasarana lainnya.

A. Administrasi Kurikulum 
Berdasarkan PP 19 Tahun 2005 serta Peratuan Menteri No. 22 Tahun 2006 ruang lingkup administrasi kurikulum dan program pedagogi maka standar isi mencakup: (a) kerangka dasar dan struktur kurikulum yang adalah pedoman dalam penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan, (b) beban belajar bagi siswa pada satuan pendidikan dasar serta menengah, (c) kurikulum tingkat satuan pendidikan yg akan dikembangkan dan disusun oleh pengajar menurut pedoman penyusunan kurikulum menjadi bagian nir terpisahkan berdasarkan standar isi, (d) kalender pendidikan buat penyelenggaraan pendidikan pada satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah. Standar isi dikembangkan oleh BSNP.

Struktur kurikulum di SMA/MA misalnya mencakup substansi mata pelajaran yg ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama 3 tahun mulai kelas X hingga dengan kelas XII. Struktur kurikulum disusun dari baku kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran.

Pengorganisaian kurikulum SMA/MA Kelas X terdiri atas 16 mata pelajaran, muatan lokal, serta pengembangan diri. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler buat menyebarkan kompetensi yg disesuaikan dengan ciri khas serta potensi wilayah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Pengembangan diri bukan mata pelajaran yg harus diasuh sang guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa buat berbagi serta mengekspresikan diri sesuai menggunakan kebutuhan, bakat, dan minat setiap siswa sinkron dengan syarat sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan dibimbing sang konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan pada bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kemudian hal lainnya yang jua pada dalam kurikulum adalah: (1) jam pelajaran sesuai dengan yg tertera pada struktur kurikulum. (2) satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran perminggu secara holistik, (3) alokasi waktu satu jam pelajaran merupakan 45 mnt, dan (4) minggu efektif dalam satu tahun pelajaran (2 semester) merupakan 34-38 minggu.

Standar kompetensi lulusan. Berdasarkan peraturan Menteri No. 23 tahun 2006, baku kompetensi lulusan dipakai sebagai panduan evaluasi dalam penentuan kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Standar Kompetensi lulusan ini mencakup kompetensi seluruh mata pelajaran atau gerombolan mata pelajaran. Kompetensi lulusan ini meliputi aspek perilaku, pengetahuan serta keterampilan.

Standar penilaian pendidikan. Standar evaluasi merupakan standar yg mengatur mekanisme, mekanisme, serta instrumen penilaian prestasi belajar siswa. Penilaian pendidikan dalam jenjang pendidikan dasar dan menengah seperti tertuang dalam PP 19 tahun 2005 terdiri atas: (a) penilaian hasil belajar oleh pendidik, (b) penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; serta (c) penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Panduan evaluasi setiap gerombolan mata pelajaran yg diterbitkan oleh BSNP. Panduan penilaian tersebut meliputi: (a) kelompok mata pelajaran kepercayaan dan akhlak mulia, (b) gerombolan mata pelajaran kewarganegaraan serta kepribadian, (c) gerombolan mata pelajaran ilmu pengeta-huan serta teknologi, (d) grup mata pelajaran keindahan; dan (e) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, serta kesehatan.

Dengan diberlakukannya kurikulum tingkat satuan pendidikan dari Permen No. 22 tentang Standar Isi serta Permen 23 mengenai Standar Kompetensi Lulusan, maka perangkat pembelajaran yg dapat disusun oleh sekolah meliputi: (1) pemetaan kompe-tensi dasar setiap mata pelajaran (analisis konteks), dan (2) baku ketuntasan belajar minimal (SKBM). SKBM adalah pencapaian kompetensi dasar mata pelajaran oleh murid per mata pelajaran. Penetapan SKBM ini dilakukan sang lembaga pengajar yang berada di lingkungan sekolah yg bersangkutan juga menggunakan sekolah yg terdekat (MGMP). 

B. Adminstrasi Kesiswaan
Administrasi kesiswaan adalah adalah pengaturan terhadap aktivitas-aktivitas peserta didik berdasarkan mulai masuk sekolah sampai lulus sekolah. Tujuan berdasarkan pengaturan kegiatan-aktivitas peserta didik berdasarkan mulai masuk sekolah sampai lulus sekolah tadi diarahkan dalam peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar baik intra maupun ekstra kurikuler, sehingga menaruh kontribusi bagi pencapaian visi, misi, serta tujuan sekolah dan tujuan pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian administrasi kesiswaan di sekolah menengah (Sekolah Menengah Atas-SMK) disusun buat memberi petunjuk bagi penyelenggara dan pengelola administrasi pada sekolah agar dalam pelaksanaan administrasi kesiswaan dapat tertib dan teratur sehingga mendukung tercapainya tujuan sekolah.

Ruang lingkup administrasi kesiswaan meliputi: (1) perencanaan siswa yg diawali menggunakan penerimaan siswa baru, dan masa orientasi murid (MOS), (2) penerimaan siswa baru (PSB) mencakup: penentuan kebijaksanaan PSB, sistem PSB, kriteria PSB, prosedur PSB, dan pemecahan problema-problema PSB, (3) orientasi murid baru, meliputi pengaturan hari-hari pertama sekolah. Masa orientasi siswa (MOS), pendekatan dan teknik-teknik yang digunakan dalam orientasi anak didik adalah (1) mengatur kehadiran, dan ketidak hadiran peserta didik pada sekolah, (dua) mengatur pengelompokan siswa, (tiga) mengatur penilaian siswa, baik dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar, bimbingan penyuluhan juga kepentingan kenaikan pangkat siswa, (4) mengatur kenaikan taraf/ kenaikan kelas siswa, (5) mengatur siswa yang drop out, (6) mengatur kode etik, dan peningkatan disiplin peserta didik, (7) mengatur organisasi siswa yang meliputi seperi OSIS, Organisasi pramuka, PMR, KIR, grup studi, club pencinta alam, peringatan hari besar keagamaan, (8) mengatur layanan siswa meliputi: layanan BP/BK, layanan perpustakaan, layanan laboratorium, layanan penasihat akademik (wali kelas), layanan koperasi murid, mengatur aktivitas aplikasi wawasan wyatamandala.

C. Administrasi Kepegawaian
Dalam pasal 1 Undang-undang angka 43 tahun 1999 mengenai perubahan atas Undang-undang nomor 8 tahun 1974 mengenai utama-pokok kepegawaian, bahwa yg dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah setiap masyarakat negara RI yg sudah memenuhi kondisi yg ditentukan, diangkat sang penjabat yg berwenang serta diberikan tugas pada suatu jabatan negara atau diserahi tugas negara lain serta digaji dari peraturan perundang-undangan yg berlaku. Sedangkan penjabat yang berwenang merupakan penjabat yang memiliki wewenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan PNS menurut peraturan yang berlaku. Kedudukan PNS dari UU nomor 8 tahun 1974 merupakan unsur aparatur negara, abdi negara, abdi masyarakat, namun dengan adanya perubahan dengan UU nomor 43 tahun 1999, PNS berkedudukan menjadi unsur aparatur negara yg bertugas memberikan pelayanan kepada rakyat secara profesional, amanah, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintah, serta pembangunan.

Melihat kedudukan PNS sebagai pelayan rakyat, maka bagi PNS yg bertugas di sekolah merupakan melayani rakyat sekolah atau steakholder yaitu guru, tenaga kepen-didikan, siswa, orangtua murid, warga lingkungan sekolah atau rakyat peduli pendidikan. Untuk memenuhi pelayanan, Mendiknas dengan keputusannya nomor 053/U/ 2001 menetapkan pedoman penyusunan standar pelayanan minimal penyelenggaraan perse-kolahan bidang pendidikan dasar serta menengah.

Dilihat berdasarkan struktur organisasi Sekolah Menengah Atas, Kepala Sekolah bertanggung jawab penuh atas pelayanan kepada semua masyarakat sekolah dan pelatihan keberhasilan serta peningkatan mutu pendidikan pada SMA tadi. Dalam memenuhi pelayanan yg optimal, maka ketua sekolah dibantu oleh wakil ketua sekolah, kepala urusan rapikan bisnis, ketua atau penangungjawab unit laboratorium, perpustakaan, atau unit lainnya.. Berbagai hal yang termasuk dalam Administarsi Kepegawaian tadi merupakan meliputi rangkaian kegiatan penyelenggaraan serta pelayanan administrasi kepegawaian, diantaranya: (1) penyusunan perpaduan kebutuhan pegawai, (2) penerimaan pegawai, (3) pencatatan pegawai pada buku induk pegawai, (4) perlengkapan arsip kepegawaian, (lima) prajabatan dan pendidikan jabatan, (6) kenaikan pangkat , (7) kenaikan gaji terpola, (8) penyusunan DUK, (9) DP3, (10) Cuti, (11) disiplin pegawai, serta (12) pemberhentian serta pension.

D. Administrasi Keuangan Sekolah.
Pengelolaan keuangan secara sederhana dapat dikemukakan menjadi suatu bisnis/proses merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi dan melaporkan aktivitas bidang keuangan supaya tujuan sekolah dapat tercapai secara efektif serta efisien.

a. Perencanaan
Beberapa hal yg perlu menerima perhatian pada menyusun planning keuangan sekolah adalah:
1) Perencanaan harus realistis. Perencanaan wajib mampu menilai bahwa alternatif yang dipilih sesuai menggunakan kemampuan sarana/fasilitas, daya/energi, dana, maupun ketika.
2) Perlunya koordinasi pada perencanaan. Perencanaan wajib mampu memperhatikan cakupan dan target/volume aktivitas sekolah yang relatif kompleks.
3) Perencanaan wajib menurut pengalaman, pengetahuan dan bisikan hati. Pengalaman, pengetahuan, dan intuisi mampu menganalisa banyak sekali kemungkinan yg terbaik pada menyusun perencanaan
4) Perencanaan wajib fleksibel (luwes). Perencanaan bisa menyesuaikan dengan segala kemungkinan yang tidak diperhitungkan sebelumnya tanpa wajib menciptakan revisi.
5) Perencanaan yang didasarkan penelitian. Perencanaan yg berkualitas perlu didukung suatu data yang lengkap serta seksama melalui suatu penelitian.
6) Perencanaan akan menghindari under dan over planning. Perencanaan yg baik akan menentukan mutu aktivitas-kegiatan yg diselengga-rakan.
(Langkah-langkah penyusunan RAPBS diuraikan dalam pembahasan RAPBS)

b. Organisasi serta Koordinasi
Agar perencanaan tersebut bisa dilaksanakan sinkron dengan yg diinginkan, Kepala Sekolah dituntut buat bisa mengorganisasikan menggunakan memutuskan orang-orang yang akan melaksanakan tugas pekerjaan, membagi tugas, dan menetapkan kedudukan, dan interaksi kerja satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi benturan, kesimpangsiuran, dobel pekerjaan antara satu menggunakan lainnya. Dalam memutuskan orang-orang buat menempati kedudukan, Kepala Sekolah perlu mempertimbangkan kemampuan dari masing-masing orang yg ditunjuk antara lain adalah sanggup melaksanakan sebagai:
1) Bendahara
2) Pemegang Buku Kas Umum
3) Pemegang Buku Pembantu Mata Anggaran, Buku Bank, Buku Pajak, Registrasi SPM, dan lain-lain
4) Pembuat laporan serta produsen arsip pertanggung jawaban keuangan (Jumlah energi/staf yg dibutuhkan buat mengelola aktivitas dana perlu diadaptasi dengan bobot pekerjaan)

c. Pelaksanaan
Staf yg dipilih diberi kepercayaan buat membantu pengelolaan keuangan di sekolah dituntut buat memahami tugasnya menjadi berikut:
1) Paham pembukuan
2) Memahami peraturan-peraturan yg berlaku dalam penyelenggaraan administrasi keuangan
3) Layak serta mempunyai pengabdian tinggi terhadap pimpinan serta tugas.
4) Memahami bahwa bekerja dibidang keuangan adalah pelayanan
5) Kurang tanggapnya bagian keuangan akan dapat mempengaruhi kelancaran pencapaian tujuan

d. Pengawasan
Pengawasan merupakan suatu bisnis buat mencegah kemungkinan-kemungiinan penyimpangan berdasarkan planning instruksi, arahan/saran menurut pimpinan. Dengan adanya supervisi (controlling) diharapkan penyimpangan yang mungkin terjadi bisa ditekan sehingga kerugian bisa dihindari. Untuk melakukan pengawasan yang sempurna Kepala Sekolah dituntut buat memahami secara garis besar pekerjaan yg dilakukan oleh pelaksana administrasi keuangan, serta paham peraturan-peraturan pemerintah yg mengatur tentang penggunaan dan pertanggung jawaban serta pengadministrasian uang negara.

E. Administrasi Sarana Prasarana Pendidikan
Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot yang secara pribadi digunakan pada proses pendidikan di sekolah, sedangkan prasarana pen-didikan adalah seluruh perangkat kelengkapan dasar yg secara nir eksklusif menunjang aplikasi proses pendidikan pada sekolah.

Dalam hubungannya menggunakan wahana pendidikan, Nawawi (1987) mengklasifika-sikannya menjadi 3 macam grup: (1) habis tidaknya dipakai; (2) bergerak tidaknya dalam ketika digunakan; serta (tiga) hubungannya menggunakan proses belajar mengajar.

Sarana pendidikan yg habis dipakai merupakan segala bahan atau alat yang bila dipakai mampu habis pada ketika yg relatif singkat. Sebagai contoh adalah kapur tulis yang biasa dipakai oleh guru serta anak didik pada pembelajaran, beberapa bahan kimia yg digunakan oleh seorang guru serta siswa pada pembelajaran IPA. Semua model di atas merupakan wahana pendidikan yg benar-benar habis dipakai. Selain itu, ada beberapa sarana pendidikan yang berubah bentuk, contohnya kayu, besi, dan kertas karton yg seringkali kali digunakan oleh pengajar pada mengajar bahan ajar keterampilan. Sementara, sebagai contoh wahana pendidikan yg berubah bentuk adalah pita mesin tulis, bola lampu, serta kertas. Semua contoh tersebut merupakan saran pendidikan yang jika dipakai satu kali atau beberapa kali mampu habis digunakan atau berubah sifatnya. Sarana pendidikan yang tahan lama . Sarana pendidikan yg tahan usang adalah keseluruhan bahan atau indera yg bisa digunakan secara terus menerus dalam waktu yg nisbi lama . Beberapa misalnya merupakan bangku sekolah, mesin tulis, atlas, globe, serta beberapa peralatan olahraga.

Sarana pendidikan yang bergerak adalah wahana pendidikan yg bisa digerakkan atau dipindah sesuai dengan kebutuhan pemakaiannya. Lemari arsip sekolah misalnya, merupakan galat satu sarana pendidikan yang mampu digerakkan atau dipindahkan ke mana-mana jika diinginkan. Demikian juga bangku sekolah termasuk sarana pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindahkan ke mana saja. Sarana pendidikan yg nir bisa bergerak merupakan semua sarana pendidikan yang tidak mampu atau relatif sangat sulit buat dipindahkan. Misalnya saluran berdasarkan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Semua alat-alat yang berkaitan dengan itu, seperti pipanya relatif nir gampang buat dipindahkan ke tempat-tempat tertentu.

Ditinjau menurut fungsi atau peranannya dalam aplikasi proses belajar mengajar, maka sarana pendidikan dibedakan menjadi 3 macam, yaitu alat pelajaran, alat peraga, serta media pedagogi, kadang-kadang ketiga macam sarana tersebut sukar dibedakan, tetapi dibawah ini dicoba dijelaskan sebagai berikut: (1) indera pelajaran merupakan alat yg digunakan secara eksklusif dalam proses belajar mengajar. Alat ini mungkin berwujud kitab , alat peraga, indera tulis, dan indera praktek, (2) indera peraga adalah indera bantu pendidikan dan pedagogi, bisa berupa perbuatan-perbuatan atau benda-benda yg mudah memberi pengertian pada siswa berturut-turut menurut yg abstrak hingga kepada yang kongkrit, dan (tiga) media pengajaran adalah wahana pendidikan yang dipakai sebagai mediator dalam proses belajar mengajar, buat lebih menaikkan efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan pendidikan. Ada 3 jenis media yaitu media audio, media visual, dan media audio visual.

Prasarana pendidikan di sekolah sanggup diklasifikasikan menjadi 2 macam. Pertama, prasarana pendidikan yang secara pribadi dipakai untuk proses belajar mengajar, seperti ruang teori, ruang perpustakaan, ruang praktik keterampilan, dan ruang laboratorium. Kedua, prasarana sekolah yg keberadaannya nir digunakan untuk proses belajar mengajar, tetapi secara eksklusif sangat menunjang terjadinya proses belajar mengajar, contohnya ruang tempat kerja, kantin sekolah, tanah serta jalan menuju sekolah, kamar mini , ruang bisnis kesehatan sekolah, ruang guru, ruang kepala sekolah, serta loka parkir tunggangan.

Secara generik, tujuan administrasi wahana prasarana sekolah merupakan menaruh layanan secara profesional pada bidang sarana serta prasarana pendidikan pada rangka terselenggaranya proses pendidikan secara efektif dan efisien. Secara rinci, tujuannya adalah sebagai berikut: (1) untuk mengupayakan pengadaan sarana serta prasarana pendidikan melalui sistem perencanaan dan pengadaan yang hati-hati serta akurat. Melalui administrasi sarana prasarana sekolah dibutuhkan seluruh perlengkapan yg dihasilkan oleh sekolah merupakan wahana serta prasarana pendidikan yg berkualitas tinggi, sesuai dengan kebutuhan sekolah, serta dengan dana yg efisien, serta (dua) buat mengupayakan pemakaian wahana prasarana sekolah secara tepat dan efisien, sehingga keberadaannya selalu pada kondisi siap gunakan dalam setiap dipelukan oleh seluruh personel sekolah.

F. Administrasi Kehumasan
Menurut The British Institute of Public Relation humas adalah kegiatan mengelola komunikasi antara organisasi dan publiknya (Ruslan: 2006). Kemudian Harlow dalam menyebutkan bahwa Public Relations adalah fungsi manajemen yg spesial dan mendukung pelatihan, pemeliharaan jalur bersama antara organisasi dengan publiknya, menyangkut kegiatan komunikasi, pengertian, penerimaan dan kolaborasi; melibatkan manajemen dalam menghadapi masalah/pertarungan, membantu manajemen buat menanggapi opini publik; mendukung manajemen pada mengikuti dan memanfaatkan perubahan secara efektif; bertindak menjadi system peringatan dini pada mengantisipasi kecenderungan penggunaan penelitian serta teknik komunikasi yg sehat serta etis menjadi wahana utama (Ruslan: 2006). Dari 2 definisi di atas bisa disimpulkan bahwa humas adalah aktivitas yg menghubungkan antara organisasi dengan warga (public) demi tercapainya tujuan organisasi serta harapan warga tentang produk yg didapatkan.

Humas dalam sistem pendidikan khususnya di sekolah memiliki tujuan: 1) Meningkatkan partisipasi, dukungan, dan bantuan secara konkrit dari warga baik berupa tenaga, wahana prasarana juga dana demi kelancaran dan tercapainya tujuan pendidikan. 2). Menimbulkan dan membangkitkan rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam warga terhadap kelangsungan acara pendidikan pada sekolah secara efektif serta efisien. 3). Mengikutsertakan masyarakat dalam memecahkan perseteruan yang dihadapi sekolah. 4). Menegakkan serta membuatkan suatu gambaran yg menguntungkan (favorable image) bagi sekolah terhadap para stakeholdersnya dengan target yg terkait yaitu publik internal dan publik eksternal. 5) Membuka kesempatan yg lebih luas kepada para pemakai produk/lulusan serta pihak-pihak yg terkait buat berpartisipasi pada meningkatkan mutu pendidikan.

Hasil yang diperlukan dan indikator keberhasilan pelaksanaan humas sebagai berikut. (1) Perhatian warga meningkat. (2) Organisasi/instansi mempunyai program-acara yang sinkron dengan asa warga . (tiga)Terjalinnya kemitraan antara organisasi/instansi serta masyarakat. (4) Akses fakta semakin tinggi. (5) Provesionalisme sivitas akademika, para pemimpin, serta para pengelola meningkat.

Humas/PR adalah perantara yg menghubungkan antara organisasi/ instansi dengan mayarakat memiliki sifat-sifat sebagai berikut. 1) Timbal balik . Hubungan yang bersifat dua arah pada rangka mendukung fungsi serta tujuan manajemen dengan mempertinggi pembinaan kerja sama serta menaruh manfaat bagi sekolah maupun rakyat. Dua) Sukarela. Hubungan yang dilaksanakan secara iklas. Tiga) Berkesinambungan. Hubungan yg berlangsung secara terus-menerus

Menurut Bernay (Ruslan, 2006) ada 3 fungsi utama humas yaitu: (1) memberikan penerangan kepada masyarakat, (2) melakukan persuasi buat membarui sikap serta perbuatan warga secara pribadi, dan (3) berupaya buat mengintegrasikan sikap dan perbuatan suatu badan/forum sesuai menggunakan sikap serta perbuatan warga atau kebalikannya. Selanjutnya, fungsi humas menurut Cutlip & Centre, and Canfield ( 1982) merupakan: (1) menunjang aktivitas utama manajemen dalam mencapai tujuan beserta, (dua) membina interaksi yang harmonis antara badan/organisasi menggunakan publiknya yang adalah halayak sasaran, (3) mengidentifikasi segala sesuatu yang berkaitan menggunakan opini, persepsi dan tanggapan rakyat terhadap badan/organisasi yang diwakilinya, atau sebaliknya, (4) melayani hasrat publiknya serta memberikan sumbang saran pada pimpinan demi tujuan dan manfaat bersama, (5) membentuk komunikasi 2 arah timbal kembali, dan mengatur kabar, publikasi serta pesan dari badan/ organisasi ke publiknya atau kebalikannya, demi tercapainya citra positif bagi ke 2 belah pihak.

Berdasarkan pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa fungsi humas merupakan sebagai berikut. 1) Agen pembaharuan, dua) Wadah kolaborasi, 3) Penyalur aspirasi, 4) Pemberi warta.

Posisi humas/PR berada pada antara organisasi/instansi dan masyarakat sehingga kedudukan humas/PR merupakan menilai perilaku warga (publik) supaya tercipta keserasian antara rakyat menggunakan kebijaksanaan organisasi /instansi. Oleh karena itu, kegiatan, acara, humas, tujuan (goal) dan sampai target yang hendak dicapai sang organisasi/instansi tadi nir terlepas menurut dukungan, dan gambaran positf berdasarkan pihak publiknya. Fungsi humas/PR dalam menyelenggarakan komunikasi timbal balik 2 arah (reciprocal two way traffic communication) antara organisasi/instansi yang diwakilinya dengan publik sebagai sasaran (target audience) pada akhirnya dapat memilih sukses atau tidaknya tujuan serta citra yang hendak dicapai sang organisasi bersangkutan.

REFORMASI PENDIDIKAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah 
Telah kita ketahui pada abad milinium ini karakteristik utamanya adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara nir lagi menjadi krusial. Salah satu yg sebagai isu terkini serta merupakan ciri globalisasi adalah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak mendapat pendidikan yg dengan tinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yg penuh menggunakan persaingan karena dunia telah sebagai sangat kompetitif. Karena itu, mau nir mau setiap orang mesti berusaha buat menguasai ilmu dan teknologi supaya bisa ikut pada persaingan, dan apabila nir, maka akan ditinggalkan. 

Terkait menggunakan itu, pendidikan mesti bisa menjawab tantangan tadi. Dengan istilah lain, pendidikan wajib menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik buat memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan global yang kian hari semakin ketat itu. Di samping kesempatan yg seluas-luasnya disediakan, namun yg penting juga adalah menaruh pendidikan yg bermakna (meaningful learning). Lantaran, hanya dengan pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali keterampilan hayati, sedangkan pendidikan yang nir bermakna (meaningless learning) hanya akan sebagai beban hayati.

Sehubungan dengan itu, beberapa perseteruan krusial yang perlu dikaji antara lain : pertama, bagaimana pendidikan yg dapat menjawab tantangan di atas dapat didesain?, dan ke 2, menggunakan adanya persamaan hak pada mendapatkan pendidikan yg terbaik, bagaimanakah upaya-upaya pendidikan yg bisa mengakomodasi aneka macam dimensi pembaharuan, sebagai akibatnya siswa menerima kesempatan pendidikan yg berkualitas dalam era dunia ini?

1. Paradigma Pendidikan Masa Depan
Pendidikan berwawasan masa depan diartikan sebagai pendidikan yang dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yang dapat melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk hidup dan berkiprah dalam era globalisasi. 

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yg dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa pada era dunia ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know siswa belajar pengetahuan yg krusial sesuai dengan jenjang pendidikan yg diikuti. Dalam learning to do peserta didik berbagi keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yg memungkinkan peserta didik memecahkan kasus serta tantangan kehidupan. Dalam learning to be, peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hayati dan memahami apa yg terbaik serta sebaiknya dilakukan, agar bisa hayati menggunakan baik. Dalam learning to live together, peserta didik bisa tahu arti hayati menggunakan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta tahu mengenai adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, melalui keempat pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yg menyadari segala hak serta kewajiban, dan menguasai ilmu serta teknologi untuk bekal hidupnya.

Dalam Jalal dan Supriadi (2001) disebutkan tiga acuan dasar pengembangan pendidikan pada Indonesia pada era reformasi buat menjawab tantangan global, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, serta acuan lingkungan strategis.

Acuan filosofis, berdasarkan pada abstraksi acuan aturan serta kajian realitas mengenai syarat sekarang serta idealisasi masa depan. Secara filosofis pendidikan perlu mempunyai karakteristik: (a) bisa menyebarkan kreativitas, kebudayaan, serta peradaban; (b) mendukung diseminasi serta nilai keunggulan, (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan; serta (d) berbagi secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Kesemua ini nir terlepas dari harapan pembentukan masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yg dianggap dengan warga madani.

Pendidikan kita wajib jua mempunyai acuan nilai kultural dalam penataan aspek sah. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai fragmental, sampai dalam nilai operasional. Pada taraf ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan buat kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat fragmental, nilai-nilai yang penting perlu dikembangkan melalui pendidikan merupakan swatantra, kecakapan, pencerahan berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, prestise serta pujian. Pada tingkat operasional, pendidikan wajib menanamkan pentingnya kerja keras, sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri. 

Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional serta lingkungan global. Lingkungan nasional ditandai dengan 2 hal yg substansial yaitu: masih berlanjutnya krisis dimensional yang menerpa bangsa ini, serta tuntutan reformasi secara total yg belum berjalan secara baik serta optimal. Lingkungan nasional mencakup perubahan demografis termasuk didalamnya penyebaran penduduk yg tidak merata serta keberhasilan KB, efek ekonomi yg tidak merata sehingga penduduk yg berada pada bawah garis kemiskinan meningkat, efek sumber kekayaan alam yg pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan yang baik, pengaruh nilai sosial budaya pada era dunia ini, dimana keluarnya nilai-nilai baru pada warga seperti kerja keras, keunggulan, serta ketepatan saat, pengaruh politik yg sejak era reformasi terasa sangat labil, serta dampak ideologi dimana pendidikan ideologi perlu terkait menggunakan yang universal. Lingkungan nasional yg waktu ini masih pada situasi reformasi, bertujuan untuk mempertinggi tingkat hidup rakyat. Secara nasional acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita wajib dapat menjawab tantangan reformasi serta membawa negeri ini keluar menurut banyak sekali krisis. 

Lingkungan global ditandai diantaranya dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sebagai akibatnya kita nir bisa menjadi warga lokal serta nasional saja, tetapi jua masyarakat global.lingkungan strategis sangat berpengaruh bagaimana pendidikan masa depan tadi hendaknya dibuat.

Sebagai akibat menurut globalisasi dan reformasi tadi, terjadi perubahan dalam paradigma pendidikan. Perubahan tadi menyangkut, pertama: kerangka berpikir proses pendidikan yang berorientasi pada pedagogi dimana guru lebih sebagai pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi dalam pembelajaran dimana peserta didik sebagai sumber (student center). Dengan banyaknya sumber belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi serta peran guru, maka kiprah guru berubah sebagai fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional yg berorientasi pada pendekatan klasikal serta format di dalam kelas, bergeser ke contoh pembelajaran yang lebih fleksibel, misalnya pendidikan dengan sistem jeda jauh. Ketiga, mutu pendidikan sebagai prioritas (berarti kualitas menjadi internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan makin mencairnya batas antara pendidikan di sekolah serta di luar sekolah. 

Kondisi ini mengharuskan pendidikan menerapkan banyak sekali prinsip yg sangat fundamental misalnya penerapan baku mutu sebagai akibatnya kita bisa bersaing menggunakan dunia dunia, dan penggunaan banyak sekali cara belajar menggunakan mendayagunakan sumber belajar. Bila kita cermati ketiga acuan pada atas merupakan dasar hukum dan operasional pengembangan pendidikan masa depan. Dalam pembangunan pendidikan ke depan ini, ketiga acuan itu adalah dasar pada mengembangkan cetat biru (blueprint) pendidikan nasional.

2. Kajian Konsepsional mengenai Penjaminan mutu pendidikan
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional sudah ditetapkan visi, misi dan taktik pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tersebut merupakan terwujudnya sistem pendidikan menjadi pranata sosial yang kuat serta berwibawa untuk memberdayakan semua rakyat negara Indonesia berkembang sebagai manusia yg berkualitas sehingga bisa dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait menggunakan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. 

Salah satu prinsip tersebut merupakan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yg berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tadi harus ada pendidik yang memberikan keteladanan serta mampu membangun kemauan, dan menyebarkan potensi serta kreativitas siswa. Implikasi dari prinsip ini merupakan pergeseran kerangka berpikir proses pendidikan, yaitu menurut paradigma pedagogi ke paradigma pembelajaran. 

Paradigma pengajaran yg telah berlangsung sejak usang lebih menitikberatkan peran pendidik pada mentransfer pengetahuan pada peserta didik. Seperti sudah disebutkan dalam pendahuluan , dewasa ini kerangka berpikir tersebut sudah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang memberikan kiprah lebih banyak pada siswa buat berbagi keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, rakyat, bangsa dan negara. Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang berdasarkan kerangka berpikir baru tersebut, diharapkan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria dan kriteria minimal menjadi panduan, yang saat ini dikenal menggunakan delapan baku mutu nasional pendidikan. 

Tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan adalah buat menjamin mutu proses transpormasi, mutu instrumental dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1) standar isi, (2) baku proses, (tiga) baku kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) baku wahana serta prasarana, (6) baku pengelolaan, (7) standar pembiayaan, serta (8) baku evaluasi pendidikan. (Bab IX UUSPN). Konsep tadi di atas bisa diwujudkan dalam diagram berikut:

Gambar Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Dalam kaitan menggunakan itu, Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dari tahun 1920an telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan memanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang diharapkan dalam global pendidikan merupakan suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih serta penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, nir terdapat pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota warga yg berguna. Manusia merdeka merupakan seorang yang mampu berkembang secara utuh serta selaras menurut segala aspek kemanusiannya serta mampu menghargai serta menghormati humanisme setiap orang. Metode pendidikan yang paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yg berdasarkan dalam asih, asah dan asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu berdasarkan pada “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. 

Mengingat bahwa pendidikan itu adalah suatu sistem menggunakan komponen-komponen yang saling berkaitan, maka keseluruhan sistem wajib sinkron dengan ketentuan yg dibutuhkan atau standar. Untuk itu masing-masing komponen pada sistem harus pula sesuai menggunakan baku yang ditentukan beserta. Hal ini mesti dilakukan dalam kaitan terjadinya penjaminan mutu pendidikan itu sendiri, karena; penjaminan mutu merupakan proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sebagai akibatnya konsumen, produsen, serta pihak lain yg berkepentingan memperoleh kepuasan. Jika dikaitkan dengan pengelolaan pendidikan, penjaminan mutu yang dimaksud merupakan proses penetapan serta pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten serta berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam PP 19/2005 delapan baku tadi di atas merupakan aspek-aspek yg wajib memenuhi baku mutu dalam kaitan dengan penjaminan mutu suatu lembaga. Kualifikasi pendidik adalah keliru satu Standard yg wajib dipenuhi sinkron dengan PP 19/2005. Dengan terpenuhinya kualifikasi pendidik diharapkan pengelolaan proses pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menantang, memotivasi serta menyenangkan (I2M3).

3. Implementasi Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan
Terjadinya pergeseran kerangka berpikir pendidikan nasional seperti telah dikupas pada depan, mengakibatkan adanya banyak sekali kebijakan pendidikan yang relevan menggunakan itu. Beberapa kebijakan yg menonjol, diantaranya pada bidang menajeman pendidikan yaitu desentralisasi pendidikan (melalui acara menajemen pendidikan berbasis sekolah), dalam bidang kurikulum yaitu kurikulum taraf satuan pendidikan yg berbasis kompetensi (KTSP), dalam proses pembelajaran terdapat acara akselerasi belajar (learning accelleration). Kebijakan-kebijakan baru ini perlu menerima perhatian yang serius sampai dalam tataran guru menjadi ujung tombak.

a. Menajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Hasil studi yg dilakukan Bank Dunia, yg diberi judul Education in Indonesia: from Crisis to Recovery (1998) diantaranya menghasilkan simpulan bahwa terdapat tiga faktor penyebab ketidakefisienan manajemen sekolah, yaitu: (1) pada umumnya ketua sekolah, terutama sekolah negeri memiliki swatantra yg sangat terbatas dalam menajemen sekolah dan dalam tetapkan alokasi sumber-sumber, (2) poly kepala sekolah yg memiliki keterampilan yang terbatas dalam menajemen sekolah, (3) partisipasi rakyat dalam menajemen sekolah sangat terbatas, hal ini diantaranya dapat dipandang menurut ketidakmampuan kepala sekolah dalam memobilisasi dukungan warga .

Sehubungan dengan itu, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS), yang dicanangkan sejak tahun 2000 adalah respon terhadap kebutuhan penyesuaian terhadap konsep demokrasi serta otonomi. Inti dari MPBS adalah pemberdayaan rakyat sebagai komponen yang penting pada penyelenggaraan pendidikan. Jika sebelumnya sekolah seolah-olah merupakan milik pemerintah dalam artian bahwa semua tanggungjawab penyelenggaraannya menjadi beban pemerintah, kini masyarakat sebagai komponen krusial pada tanggung jawab itu. Dengan pelibatan masyarakat, diharapkan muncul suatu kesadaran bahwa keberhasilan pendidikan adalah tanggung jawab semua komponen rakyat serta pemerintah. Sharing ini diantaranya telah diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah, dimana didalamnya terlibat penyelenggara sekolah, orangtua anak didik, maupun komponen masyarakat lainnya. Dalam perjalanannya hingga saat ini, Komite Sekolah telah mulai menjalankan manfaatnya tetapi belum optimal, dan selanjutnya diperlukan berkontribusi yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. MPBS dibutuhkan bukan hanya membuatkan pada fungís sebagai penyandang dana, tetapi pelibatan orangtua serta masyarakat diharapkan pula terjadi. Di negara-negara maju seperti AS, MPBS sudah lama dilakukan, kerjasama sekolah dengan orangtua serta masyarakat juga dilakukan pada proses pembelajaran. Kedatangan orangtua ke sekolah buat membantu pengajar pada PBM, dokter yang memberi masukan pada suatu proyek dalam pelajaran hayati misalnya, bukanlah pemandangan yg aneh.

b. Kuríkulum Tingkat Satuan Pendidikan
Penggunaan Kuríkulum 1994 pada lapangan mengalami aneka macam paradoks, diantaranya menyangkut universalisasi pendidikan disatu pihak, serta tuntutan akan mutu yang tinggi dipihak lain. Setelah itu, ada upaya pembaharuan kurikulum, serta galat satu upaya merupakan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum yg berbasis kompetensi ini, berukuran terpenting keberhasilan siswa merupakan dominasi mereka terhadap standar kompetensi. Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi ini (waktu ini terkenal menggunakan KTSP), dilakukan melalui identifikasi dan penentuan kemampuan dasar lulusan/ Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yg dijabarkan menjadi Standar Isi (SI) yang memuat, Standar Kompetensi (SK) serta Kompetensi Dasar (KD). Berdasarkan SI tadi masing-masing Satuan Pendidikan menyusun kurikulumnya menggunakan menjabarkan menjadi Materi, Pengalaman Belajar, Indikator. Terdapat peluang yang sangat akbar sekolah/guru berbagi kurikulumnya sendiri (berorientasi dalam SI yang sudah ditetapkan dalam Permen Diknas, juga mengembangkan dan memasukkan keunggulan lokal sinkron dengan kebutuhan masyarakatnya). 

c. Program Anak Berbakat/Percepatan Belajar
Dalam rangka realisasi pendidikan yg berwawasan masa depan, perhatian wajib diprioritaskan dalam pengklasifikasian siswa sesuai dengan kemampuan, bakat, juga minat mereka. Ini sangat krusial supaya pendidikan yang diikuti sahih-sahih bermakna. Beberapa progam sudah dilakukan terkait dengan syarat siswa yang variatif ini, yaitu melalui sistem akreditasi, sistem sekolah unggulan, maupun acara generik plus seperti program akselerasi belajar.

Diketahui bahwa forum pendidikan yg terdapat merupakan pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada jenjang sekolah menengah atas, pendidikan formal dibedakan antara SMA serta Sekolah Menengah Kejuruan. Pada hakekatnya pada jenjang SMA peserta didik diberikan pengalaman belajar pada rangka dominasi sains, teknologi, dan pengalaman belajar yang bisa membekali mereka melanjutkan pendidikannya ke PT. Sedangkan dalam jenjang SMK siswa diarahkan dalam penguasaan keterampilan baik yang bersifat jangka pendek juga jangka panjang, sebagai akibatnya tamatan SMK dibutuhkan langsung dapat masuk ke global kerja.

Perkiraan Ward (pada Semiawan, 1997) pada Indonesia masih ada 1,57 % anak yg berbakat tinggi (highly gifted), dan 10 % yang berbakat sedang (moderately gifted). Kedua kelompok anak ini berbakat akademik (akademic talented) atau keberbakatan intelektual. Anak-anak berbakat ini merupakan aset nasional yg sangat penting, karena mereka mempunyai interes intelektual dan perspektif masa depan yg jauh lebih baik dari anak kebanyakan, baik secara genetis maupun pada kecepatan tindakan. Dengan kelebihan ini, diperlukan energi dan pikiran mereka dapat membawa aneka macam pembaharuan pada bidang keilmuan, juga perubahan kearah perbaikan kehidupan masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan Edison (sang penemu listrik) yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Sesuai menggunakan keberadaan ke 2 gerombolan ini sebagai gerombolan yg ”berbeda” dengan anak normal lainnya, dan sesuai pula menggunakan misi pendidikan buat menaruh kesempatan pendidikan yg sebaik-baiknya bagi mereka, maka grup ini perlu mendapatkan pendidikan yg bisa mengakomodasi kelebihan mereka. Program buat mereka dapat berupa pendidikan spesifik, atau pendidikan generik buat anak berbakat (saat ini dikenal dengan acara kelas percepatan). Berkaitan dengan itu, beberapa perkiraan yg mendasari alasan kenapa anak berbakat perlu mendapatkan pendidikan yg tidak selaras dengan anak-anak lainnya, merupakan : (a) anak berbakat secara kualitatif tidak sama menggunakan anak lainnya, (b) pendidikan khusus bagi mereka sangat menguntungkan, karena sinkron menggunakan kemampuan mereka, (c) suatu acara wajib dilaksanakan menurut model instruksional yg terarah, (d) acara anak berbakat harus lebih menekankan perkembangan kreativitas dan proses berpikir tingkat tinggi, (e) metode pembelajaran bagi anak berbakat lebih berorientasi pada pendekatan induktif.

Pendidikan anak berbakat wajib diwarnai sang penekanan dalam aktivitas intelektual, kecepatan dan tingkat kompleksitas sinkron dengan kemampuan yang tinggi. Sehubungan dengan itu, bila anak-anak berbakat ditangani menggunakan acara akselerasi, maka ada 2 hal krusial yg harus diperhitungkan, yaitu: (a) pada acara percepatan, beban belajar yg sang anak-anak biasa dapat diselesaikan pada tiga tahun, maka oleh anak-anak berbakat ini hanya diperlukan waktu dua tahun. Ini berarti terjadi proses akselerasi pada belajar, (b) percepatan ini jua harus mengandung arti kualitatif, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka ditekankan pada kegiatan intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa, pada perilaku intelektual, aspek teoretis dan taraf abstraksi anak-anak berbakat menunjukkan karakteristik mental yg baik pada melihat hubungan yg bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi logis, mudah mengadaptasikan prinsip abstrak kesituasi nyata, serta sanggup menggeneralisasikan. 

Metode belajar yg relevan adalah metode penemuan (discovery learning) seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Bruner, dan metode induktif. Dalam discovery learning aspek kognitif berkembang melalui penemuan dan pengembangan hipotesis, bukan menggunakan cara duduk, membisu, dengar, dan catat. Discovery learning menaruh tantangan bagi kemampuan berpikir abstrak yg tinggi, serta pelibatan secara aktif pada menemukan jawaban dan tantangan tadi. Dengan cara ini, terjadilah penanjakan bergerak maju berdasarkan kehidupan mental yang dianggap eskalasi (Semiawan,1997).


Pembelajaran kognitif induktif dideskripsikan melalui empat istilah, yaitu: (a) inquiry, (b) masalah solving, (c) discovery learning, serta (d) scientific method. Pembelajaran induktif mempunyai rasional yang kuat buat menaikkan: (a) penggunaan inteligensia secara optimal menggunakan memanfaatkan fungsi kedua belahan otak secara penuh, (b) kemampuan murid buat mengarahkan diri dan tanggungjawab buat memperoleh kemajuan pada mencapai target jangka panjang serta jangka pendek, (c) kemampuan buat mensintesiskan keterangan, konsep, dan membuat generalisasi, serta (d) kemampuan mentransper belajar dalam situasi tidak selaras.

d. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa dan Pembelajaran yg Konstruktivis
Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada siswa (untuk selanjutnya, dianggap jua Student-Centered Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada waktu orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan siswa menjadi unsur aktif pada proses inkuiri, yaitu proses memecahkan perkara yang dihadapinya sendiri. Di bawah dampak perspektif pendidikan yg diklaim Progressive Education (lahir pada Amerika Serikat) yg meyakini bahwa pengalaman eksklusif merupakan inti dari belajar, para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menduga bahwa peserta didik sebagai kantong kosong yg baru berisi apabila diisi sang guru (teori Tabula Rasa). Bagi pendidikan progresif, peran pengajar merupakan sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah siswa.

John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas adalah laboratorium yg memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak pengajar untuk menggunakan perkara riil sehari-hari buat dipecahkan oleh murid, sebagai bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yg bermakna adalah pembelajaran yg memuat kasus-masalah nyata yang sedang dihadapi, nir tentang hal-hal yg abstrak bagi siswa. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan learning by doing. Ciri-ciri pembelajaran progresif diantaranya, ruang kelas yg diatur secara fleksibel, keleluasaan bagi peserta didik buat bekerja gerombolan maupun individual sinkron dengan kebutuhannya, siswa ikut berperan pada memilih anggaran kelas, dan materi pembelajaran yg kaya dan variatif.

Selain impak pendidikan progresif, juga ada impak perspektif open classroom yang meyakini bahwa siswa memiliki motivasi intrinsik buat belajar, dan dorongan menurut dalam ini hanya mampu dipuaskan melalui aktivitas eksplorasi dan pemecahan kasus (masalah solving). Pada akhir tahun 70an, di bawah imbas psikologi kognitif, berkembang perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran.

Konstruktivisme berarti bahwa peserta didik membentuk (to construct) pemahamannya mengenai dunia. Berbicara mengenai konstruktivisme bukanlah berbicara mengenai suatu teknik tertentu dalam pembelajaran, melainkan kita berfikir mengenai proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada 2 istilah kunci pada konstruktivisme, yaitu murid aktif (active) serta memperoleh makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000); dimana pembelajaran konstruktivis tadi digambarkan sebagai berikut: Peserta didik nir semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan, menentukan liputan yang dianggapnya relevan, serta tahu informasi tersebut dari pengetahuan yg ada padanya, serta kebutuhannya. Peserta didik menambahkan kabar yg diperlukannya tidak selalu berdasarkan materi yg disediakan pengajar/pengajar. Ini adalah suatu proses yang aktif karena peserta didik harus melakukan banyak sekali aktivitas kognitif, afektif, dan psikomotorik agar kabar tadi bermakna bagi dirinya (Elliott, 2000; p. 15).

Belakangan, aneka macam interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan itu terwujud dalam siswa; terdapat yang berkata bahwa peserta didik itu sendiri bisa membangunnya, akan tetapi ada jua yg menyampaikan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi pada hubungan sosial misalnya teman sebaya, serta famili. Yang pertama diwakili sang J. Piaget, yang berkata bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan akuisisi pengetahuan yg sesuai dengan yang sudah terdapat sebelumnya; dan akomodasi merupakan proses akuisisi terhadap hal-hal baru yg belum terdapat pada skema (pengetahuan yg tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak, Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial dengan orang lain yg lebih mampu (pada istilah Vygotsky: skilled individuals). Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi apabila proses akuisisi pengetahuan dilakukan pada lingkungan sosial budaya yang sesuai.

Dibawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yg dipercaya dapat menjawab tantangan pendidikan dunia kini ini (pendidikan yg bermakna, bukan pendidikan yg membebani hayati) merupakan pembelajaran yg berpusat pada siswa. Berdasarkan hakikat SCL tersebut pada atas, maka bisa dilihat perbedaan antara SCL dengan pembelajaran yg berpusat pada pengajar serta berorientasi pencapaian materi (Teacher-centered, content-oriented/TCCO), menjadi berikut:

Teacher Centered

Student-Centered Learning


Pengetahuan ditransfer menurut guru ke siswa
Siswa secara aktif membuatkan pengetahuan serta keterampilan yg dipelajarinya

Siswa menerima pengetahuan secara pasif
Siswa secara aktif terlibat didalam mengelola pengetahuannya

Lebih menekankan pada penguasaan materi
Penguasaan materi dan jua menyebarkan karakter murid (life-long learning)

Biasanya memanfaatkan media tunggal
Multimedia

Fungsi pengajar menjadi pensuplai liputan utama serta evaluator
Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan beserta dengan siswa

Proses pembelajaran dan asesmen dilakukan secara terpisah
Terpadu serta berkesinambungan

Menekankan dalam jawaban yg sahih saja
Menekankan pada pengembangan pengetahuan. Kesalahan memperlihatkan proses belajar dan bisa digunakan sebagai salahsatu sumber belajar

Cocok buat pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja
Untuk pengembangan ilmu interdisipliner

Iklim belajar lebih individual serta kompetitif
Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif

Proses pembelajaran hanya terjadi pada siswa
Siswa dan guru belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan

Pelajaran mengambil porsi waktu terbanyak
Pelajaran serta aneka macam kegiatan lain pada proses belajar

Penekanan dalam ketuntasan materi
Penekanan pada pencapaian sasaran kompetensi

Penekanan pada cara pembelajaran yg dilakukan oleh guru
Penekanan dalam bagaimana cara murid belajar. Penekanan pada duduk perkara-based learning dan skill competency