CONTOH PROGRAM KERJA KEPALA LABORATORIUM IPA


Seorang pimpinan wajib bisa memilih program kerja yg menjadi prioritas primer pada sebuah organisasi yang menguntungkan buat organisasi, memilih sebuah kepanitiaan dan menentukan bidang-bidang yg diperlukan, memilih garis-garis besar dan tata cara aplikasi acara kerja dari tiap-tiap bidang, mengalokasikan sumberdaya serta mengotrol jalannya pelaksanaan.
Berikut Contoh Program Kerja Kepala Laboratorium IPA

KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI

Kepemimpinan Dan Motivasi
Dalam masyarakat Jawa Tengah serta warga Indonesia biasanya, diperlukan kehadiran seseorang pemimpin yang selaras baik menggunakan kesukaan rakyat pendukungnya maupun syarat rakyat yang majemuk. Berkaitan dengan hal itu, dalam artikel aku akan membahas tentang tipologi kepemimpinan dan sifat pemimpin yg sesuai menggunakan cita rasa warga Jawa Tengah. Harapan terhadap keluarnya tipe serta sifat-sifat pemimpin yg ideal dalam dasarnya adalah cerminan menurut kerinduan warga terhadap pemimpin mereka.

Dalam artikel ini jua akan dibicarakan mengenai sifat pemimpin berdasarkan contoh kepemimpinan tradisonal Jawa dan Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa, khususnya Jawa Tengah, seseorang pemimpin ditekankan buat mengutamakan kerukunan serta hormat kepada pencipta, leluhur, serta orang tua. Sementara itu dalam contoh kepemimpinan Islam diterangkan tentang pentingnya sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke pada kelompok-gerombolan , di antaranya yg terbesar adalah Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini mempunyai pemahaman tentang kepemimpinan yg jauh berbeda walaupun keduanya memakai asal yang sama. Hal itu belum termasuk gerombolan -grup kecil yang lain, contohnya kelompok Islam sekular. 

Perbedaan pemahaman tentang kepemimpinan Islam terasa juga di Indonesia. Sebagian tokoh Islam, galat satunya merupakan Abdurrahman Wahid, berusaha meredam disparitas pemahaman itu menggunakan menyodorkan solusi mengenai bagaimana cara mengatasi rakyat Indonesia yg plural terutama menyangkut perkara kepemimpinan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat juga bernegara. Namun dalam perkembangan patut disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik di taraf desa, kota juga sentra telah dinodai dan dikotori menggunakan penyelewengan, janji-janji cantik pada kampanye yg tidak ditepati setelah seorang terpilih menjadi pemimpin, dan praktik politik uang. Kondisi ini terus berjalan seolah-olah tanpa tersentuh oleh hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan rakyat kepada pemimpinnya yg notabene selalu diidolakan serta didambakan terutama mengenai tipe serta sifat-sifat ideal yg inheren dalam seseorang pemimpin?

1. Hipotesis tentang Kepemimpinan
Ketika membahas kepemimpinan kita akan berbicara antara lain mengenai ihwal pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum menyampaikan lebih jauh soal kepemimpinan, terdapat baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini dapat membantu kita buat tahu serta melakukan pembahasan menurut alur yg sistematis. 

Banyak definisi mengenai pemimpin baik itu menurut ahli politik, ekonomi, sosial, antropologi (budaya) maupun kepercayaan . Saya hanya akan membicarakan definisi yg relevan menggunakan pokok pembahasan. Seorang pakar sosiologi, Soerjono Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership) menggunakan kemampuan seorang menjadi pemimpin (leader) buat mensugesti orang lain (anggotanya), sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendaki sang pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli sosiologi yg lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan menjadi suatu proses dalam mensugesti aktivitas-kegiatan seseorang atau sekelompok orang pada usahanya mencapai tujuan yg sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).

Di pihak lain, dalam antropologi budaya, muncul pandangan yg membedakan antara kepemimpinan menjadi suatu kedudukan sosial serta menjadi suatu proses sosial (Koentjaraningrat, 1969: 181). Kepemimpinan menjadi kedudukan sosial merupakan kompleks menurut hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki sang seseorang atau suatu badan. Sementara sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan mencakup segala tindakan yang dilakukan sang seseorang atau suatu badan yang mendorong gerak warga rakyat.

Apabila kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seorang untuk mensugesti orang lain sehingga mereka mengikuti kehendaknya, maka seorang itu dapat disebut memiliki impak terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau kewenangan. Istilah kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seorang buat mensugesti orang atau pihak lain, sedangkan wewenang adalah kekuasaan seorang atau sekelompok orang yg menerima dukungan atau pengakuan menurut rakyat. Dalam hubungan dengan kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengatakan bahwa kepemimpinan harus dikaitkan dengan 3 hal krusial yaitu kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. 

Sementara itu ditinjau berdasarkan sudut pandang agama (Islam), kata kepemimpinan dari berdasarkan istilah ‘pemimpin’, adalah orang yang berada pada depan serta memiliki pengikut, terlepas menurut problem apakah orang yang menjadi pemimpin itu menyesatkan atau tidak. Dalam konteks Islam, setidaknya ada 2 konsep krusial yang berkaitan menggunakan kepemimpinan, yaitu imamah dan khilafah. Masing-masing grup Islam mempunyai pendefinisian tidak sinkron tentang kedua konsep itu, meskipun terdapat juga yg menyamakannya. 

Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah serta imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut juga sebagai khilafah. Bagi kaum Sunni, orang yang sebagai khilafah merupakan penguasa tertinggi yg menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karenanya khilafah pula diklaim sebagai imam (pemimpin) yg harus ditaati (As-Salus, 1997: 16). 

Sebaliknya, kaum Syiah membedakan pengertian khilafah dan imamah. Hal ini dapat dilihat pada sejarah kepemimpinan Islam selesainya Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam serta khilafah itu sama saat Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Tetapi sebelum Ali bin Abu Thalib menjadi pemimpin, mereka membedakan pengertian antara imam serta khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, serta Ustman adalah khalifah tetapi mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam pandangan kaum Syiah, perilaku seorang imam haruslah mulia sebagai akibatnya menjadi panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan rakyat umum, yakni seorang yang mengurus persoalan agama serta global sebagai wakil dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW yg menjaga kepercayaan dan kemuliaan umat harus dipatuhi dan diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral daripada khalifah. Secara implisit kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya mencakup ranah jabatan politik, tidak melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah meliputi semua ranah kehidupan insan baik itu kepercayaan maupun politik. 

Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular mempunyai pandangan sendiri tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan grup Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu dalam kepemimpinan model Barat. 

Meskipun kelompok Sunni, Syiah, dan Islam sekular memiliki sudut pandang yang tidak selaras tentang kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu warga haruslah memiliki seorang pemimpin. Setiap rakyat dengan demikian tidak mungkin dapat dipisahkan berdasarkan kasus kepemimpinan.

2. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
a. Cara Pemilihan Pemimpin
Derap pembangunan pada Indonesia baik pada tempat pedesaan maupun perkotaan sangat bergantung dalam kepemimpinan para ketua wilayah. Menurut Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan ketua-kepala wilayah, terutama di Jawa Tengah, sebagian besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-kepala wilayah yg memerintah dalam masa belakangan masih keturunan berdasarkan ketua daerah yang berkuasa dalam masa sebelumnya. Hal itu bisa dilihat menurut dari silsilahnya. 

Berdasarkan laporan tentang struktur pemerintahan desa yang disusun sang DPRD Jawa Tengah dapat ditarik simpulan bahwa proses pemilihan kepala desa dilakukan sang suatu panitia di bawah pimpinan camat. Sebagai calon ketua desa atau pimpinan desa, maka realitanya dapat disimak pada kutipan di bawah ini.

Dalam praktiknya, para calon yg dipilih umumnya bukan orang–orang yg memiliki kemampuan tapi orang-orang kaya. Ini ditimbulkan norma rakyat desa menentukan seorang calon bukan menurut kemampuan calon itu, melainkan berdasarkan banyaknya pemberian kepada mereka. Ini malahan nampak lebih jelas pada desa–desa yg makmur, sebagai akibatnya pemilihan lurah menjadi suatu sasana pertikaian yang ramai sekali. Alasan utama berdasarkan konflik itu berpangkal dalam tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan dalam calon yg sukses (Koentjaraningrat, 1984: 201).

Dengan melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih nir hanya berdasarkan dalam keturunan, tetapi jua pada hadiah yang umumnya berupa uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan pada para pemilih terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan bila para calon kepala desa dalam masa kampanye melakukan berbagai cara dalam rangka menerima dukungan dari warga rakyat yang sudah mempunyai hak pilih. Mereka bahkan nir segan-segan buat melakukan praktik politik uang sambil menebar janji-janji manis pada rakyat warga agar mau memilihnya. Sudah barang tentu hal ini nir dibenarkan baik sang negara maupun kepercayaan . Namun demikian praktik semacam itu permanen berjalan dengan lancar serta seolah-olah tidak tersentuh sang aturan.

Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226) menyatakan bahwa latar belakang kepemimpinan pada warga tradisional ataupun pedesaan dipengaruhi sang kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana dikatakan sang Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik serta kepercayaan jua memiliki imbas yang penting dalam kepemimpinan pada pedesaan.

b. Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yang terpilih harus mendapatkan legitimasi berdasarkan anggotanya atau rakyat warga yang dipimpinnya. Seorang pemimpin bisa mempunyai wewenang buat memimpin secara resmi selesainya mendapat legitimasi dari dalam prosedur yang telah ditetapkan pada norma-norma atau hukum yg berlaku dalam warga yang bersangkutan. Prosedur itu tentu saja bisa berbeda baik antara masyarakat yang satu serta yang lain maupun berdasarkan saat ke waktu.

Dalam rakyat tradisional, contohnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada umumnya dilakukan melalui rangkaian upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau ilahi-yang kuasa. Pada zaman kerajaan, mekanisme buat melegitimasi kepemimpinan seorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan bertingkat atau pemilihan oleh sebagian rakyat. Wahyu, nurbuat, pulung, ngalamat, dan mimpi pula adalah unsur-unsur yang berperan penting baik dalam pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8). 

Oleh karena itu, buat menerima kekuasaan pada kepemimpinan, seorang harus menempuh banyak sekali jalan (laku ) yg panjang. Kekuasaan bisa pula diperoleh melalui keturunan atau lewat kekuatan fisik. Pada zaman modern ini, kepemimpinan bisa pula diperoleh melalui pendidikan dan pemilihan dari keahlian atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan pada aneka macam level tidak lagi berdasarkan terutama dalam keturunan, melainkan pada taraf pendidikan formal (Sutherland, 1983: passim).

Calon pemimpin yg berhasil terpilih wajib mendapatkan pengakuan dari warga . Masyarakat Indonesia, terutama yg berada di wilayah pedesaan, masih mempercayai bahwa seseorang pemimpin mempunyai wibawa, kewenangan, kharisma, serta kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin pada taraf kota atau pedesaan, sebab mereka pada masa sekarang atau zaman demokrasi dipilih secara pribadi oleh masyarakat.

3. Model Kepemimpinan
a. Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan dan perilaku hormat pada alam, pencipta, leluhur, guru, orang tua, bangsa, negara, serta agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang Jawa biasanya pula mengutamakan keselarasan dalam hayati bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hayati dan pola pikir yg demikian sudah barang tentu sangat mempengaruhi warga Jawa pada meletakkan dasar-dasar kemasyarakatan dan kebudayaan. Apabila hal ini dihubungkan dengan kasus kepemimpinan, maka seseorang pemimpin sedapat mungkin harus mampu memperlihatkan sikap hayati yg sederhana, amanah, adil, bertenggang rasa (tepa selira), ekonomis, disiplin, dan taat pada hukum (Koentjaraningrat, 1981: 64).

Berbagai piwulang serta pitutur sudah mengajarkan tentang sifat-sifat seorang pemimpin. Dalam ajaran Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan, contohnya, dinyatakan bahwa seseorang pemimpin wajib mempunyai 3 pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Demikian jua dalam kakawin Ramayana serta Mahabarata, dinyatakan bahwa seseorang pemimpin harus memberitahuakn perilaku yang merujuk dalam ajaran tentang Hasta Bhrata, yaitu mencontoh perilaku delapan dewa, pada antaranya Dewa Surya, Candra, Bayu, serta Baruna Dewa Air yg antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun terdapat banyak kata mengenai sifat-sifat pemimpin yang yg dikenal dengan “empat t”, yaitu teteg–sebagai pengayom, tatag–berani, tangguh–kuat, serta tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang karya (gawe).

b. Model Islam serta Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yg mengagungkan multikulturalisme menjadi pandangan hidup, etika kedaifan identik dengan menghargai orang lain (liyan) atau menganggap diri menjadi sosok yang lemah serta membutuhkan eksistensi orang lain dalam menjalani kehidupan bersama yang semakin berat. Kehidupan dalam etika kedaifan, berdasarkan Goenawan Muhammad sebagaimana disitir sang Triyanto Tiwikromo, sama halnya menggunakan nir menganggap orang lain misalnya yg dikatakan oleh Sartre yaitu menjadi neraka. Semangat multikulturalisme serta demokrasi menempatkan masyarakat menjadi teman, kanca, buat mencapai warga yang kondusif dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin wajib mempunyai kualitas spiritual, terbebas menurut segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan empiris, nir terjebak dalam dan menjauhi kenikmatan dunia, serta wajib memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini dapat dipahami menjadi cara menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak. Penerapan sifat keadilan sang seseorang pemimpin dapat ditinjau dari bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada rakyatnya.

Melihat kemajemukan rakyat Indonesia, maka tantangannya adalah bagaimana cara membuatkan pluralisme dalam konteks menciptakan kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai ulil amri serta khadimul ummah, ialah amanah jabatan serta kekuasaan harus digunakan sesuai menggunakan tuntutan Allah dan Rasul–Nya, berlaku adil, dan melindungi kepentingan rakyat.

Dengan demikian, meskipun Islam adalah kepercayaan mayoritas, jangan sampai kepentingan umat Islam menyebabkan negara lebih poly melayani kepentingan segelintir orang yg mengusai aparatur negara. Sementara mereka yg berusaha menyuarakan ide-pandangan baru demokrasi, pluralisme, dan proteksi hak-hak asasi manusia cenderung dituding nir mempunyai nasionalisme.

Menurut Abdurrahaman Wahid (1988), masih ada 5 jaminan dasar pada menampilkan universalisme Islam, baik pada perorangan atau grup. Kelima jaminan dasar yg dimaksud meliputi keselamatan fisik masyarakat serta tindakan badani pada luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga serta keturunan, keselamatan mal serta milik langsung di luar prosedur hukum, serta keselamatan profesi. 

Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima agunan dasar umat insan akan sulit diwujudkan tanpa adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme peradaban Islam harus menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, dan heterogenitas politik. Hal ini akan tercapai jika terjadi ekuilibrium antara kesamaan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir seluruh warga termasuk kalangan nonmuslim. Oleh karenanya, rahmatan lil alamin wajib dibuktikan pada wujud kehidupan bermasyarakat serta berbangsa dan bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme Islam mengacu dalam modernisasi religiusitas, adalah harus berlandaskan dalam keagamaan serta pembebasan warga untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi dan hak asasi insan mutlak diperlukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada universalisme Islam masih ada beberapa hal yaitu toleransi, keterbukaan perilaku, kepedulian terhadap unsur-unsur primer humanisme, dan perhatian dengan kearifan akan keterbelakangan dan kebodohan serta kemiskinan (Wahid, 1988).

Universalisme Islam jua berarti kesalehan sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yg demikian bukan berarti bahwa negara Islam maupun kepemimpinan Islam adalah yg ideal. Universalisme Islam serta pluralisme lebih sempurna dipahami sebagai ruh dalam konteks menciptakan kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia, syariat nir wajib menjadi fondamen dan jiwa dari kepercayaan dan negara.

Perlu diperhatikan jua bahwa multikulturalitas bangsa Indonesia bisa ambiguitas, ibarat 2 sisi mata pedang. Di situ sisi multikulturalitas itu merupakan kapital sosial yang dapat membuat energi positif dan memperkaya kultur bangsa, tetapi di sisi sebaliknya juga bisa menjadi tenaga negatif berupa ledakan destruktif yang setiap ketika bisa menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yg krusial merupakan bagaimana cara mengatasi serta mencari solusi atas perpecahan yang terjadi dampak keanekaragaman itu tidak bisa dikelola menggunakan kebijakan politik yg demokratis serta egaliter termasuk di dalamnya pola-pola kepemimpinan. Jika ditangani menggunakan baik, keanekaragaman itu justru adalah aset serta kekayaan bangsa.

Oleh karenanya, penting dibangun interaksi intersubjektif yg sanggup melahirkan keikhlasan yg berdasarkan dalam nilai-nilai kebenaran serta kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan ambisi pribadi ke pada pelayaran kepentingan seluruh bangsa. Harus ada konsensus antarpemimpin serta ketundukan pada keputusan yang dirumuskan oleh pemimpin. Untuk mencapai hal itu ada 2 prasyarat yang harus dipenuhi, yaitu kejujuran perilaku dan ucapan yg disertai dengan perilaku mengalah buat kepentingan beserta (Wahid, 2006).

c. Pengembangan Sifat Pemimpin
Sifat pemimpin harus dikembangkan sendiri lantaran sifat seorang tidak sinkron satu sama lain. Kepribadian ikut mensugesti sifat serta konduite kepemimpinan seorang. Pemimpin wajib senantiasa menaikkan kemampuan, mempraktikkan keterampilan, mencari peluang, dan mengembangkan potensi anak butir. Sebagai panduan bagi pemimpin merupakan “perlakukan orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seseorang pemimpin berusaha memandang suatu keadaan berdasarkan sudut pandang orang lain atau tenggang rasa. 

Merujuk dalam pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur menggunakan memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan bahwa dirinya seseorang pemimpin, (2) poly orang yg mencari bapak buat minta dipimpin atau bertanya, (tiga) kembangkan dan terapkan wangsit-wangsit baru, (4) mainkan peranan aktif pada kehidupan warga , (lima) tingkatkan kekuasaan serta hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan program serta planning tentang kepemimpinan, (7) belajarlah berdasarkan kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah pada output serta selesaikan sesuatu yang telah dimulai, (9) gunakan kekuatan menjadi pemimpin buat membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang kemampuan, (11) dengarkan masukan, saran, dan nasihat atau kritik sekalipun, serta (12) lakukan perubahan ke arah kemajuan (Meredith, t.T.: 18-21).

4. Hubungan Pemimpin serta Rakyat pada Pembangunan
Dalam menyampaikan hubungan antara pemimpin dan masyarakat pada pembangunan, perlu dilihat aneka macam variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam independent variable serta dependent variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin seharusnya memiliki dasar antara lain mengabdi pada kepentingan umum, memperhatikan masyarakat baik pada pada juga pada luar pekerjaan, serta membangun komunikasi yg lancar dengan bawahan (warga ). Dependent variable atau variabel yang ditentukan mencakup antara lain semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, serta interaksi yg harmonis menggunakan bawahan. Kedua variabel ini akan mensugesti keberhasilan kepemimpinan seseorang dalam sebuah lembaga, baik itu pada taraf desa, kota ataupun sentra. Hubungan antara sejumlah variable yang telah disebutkan pada atas dengan keberhasilan kepemimpinan bisa ditinjau secara geometrik menjadi berikut.

Gambar Variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan

Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yg menyatakan bahwa keberhasilan pemimpinan herbi pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, serta kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin pula bisa ditentukan berdasarkan bentuk kolaborasi pada pembangunan yang nir hanya untuk anggotanya, tetapi menurut masyarakat buat rakyat (Syawani, 1978: iii). Pembangunan pada sini dapat diartikan menjadi usaha atau rangkaian bisnis pertumbuhan serta perubahan terencana yang dilakukan secara sadar sang suatu bangsa, negara, serta pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin wajib memiliki kekuasaan yg bersumber dalam hak milik kebendaan, kedudukan, kekuasaan, birokrasi, dan pula kemampuan spesifik (supranatural) yang lain daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung dalam kekuasaan yg kharismatik. Selain itu, seseorang pemimpin umumnya jua mempunyai legitimasi berupa benda-benda pusaka dan sebagainya.

Masyarakat tidak dapat beranjak tanpa adanya pemimipin menjadi perantara dan motivator dan komunikator dalam pembangunan pada berbagai bidang. Pemimpin harus dapat menjalankan ketiga fungsi itu pada kelompoknya. Dalam struktur organisasi, peran seorang pemimpin tidak terdapat merupakan tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin serta rakyat adalah hal yg mutlak karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yg demikian itu bisa digambarkan menggunakan memakai sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan kurebe yen disawang beda rupane, yen dimamah gineget padha rasane.

Hubungan antara pemimpin dan rakyat dapat pula digambarkan menjadi interaksi patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak wajib patuh pada bapaknya sebagai pemimpin (Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan antara pemimpin dan anggotanya sering kali bertolak dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).

Dalam kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol dan mengawasi dan menggerakkan segala kegiatan pada masyarakatnya. Pemimpin yang baik akan dianggap sang anggotanya menjadi cermin, guru, dan tokoh kunci (key person) pada pembangunan.

MEMBANGUN MEKANISME PEMBUATAN KEBIJAKAN DAERAH YANG PARTISIPATIF

Membangun Mekanisme Pembuatan Kebijakan Daerah Yang Partisipatif 
Tidaklah mudah, secara akademik, kita menghakimi apakah suatu sistem pemerintahan daerah telah mengelola proses kebijakan secara partisipatif atau nir. Betapapun hebatnya seorang pengamat, mudah sekali beliau terpeleset dalam memberikan evaluasi mengenai kualitas partisipasi dalam proses kebijakan kalau beliau tidak mempunyai perangkat untuk mengukur serta memahami proses kebijakan itu sendiri dengan baik. Tulisan ini disajikan menjadi ikhtiar buat mengeliminir salah ukur dan salah faham mengenai kualitas partisipasi dalam proses kebijakan.

Sebelum masuk dalam pembicaraan pokok tersebut di atas, terdapat 2 hal sepele yg berimplikasi fatal bila tidak penulis kemukakan terlebih dahulu. Hal sepele itu yg pertama adalah makna partisipasi. Yang kedya, pembedaan secara kritis ‘prosedur kebijakan’ menggunakan ‘proses kebijakan’. Keduanya dikemukakan secara berurutan berikut ini.

Kita semua memahami, ‘partisipasi’ selama ini diterjemahkan sebagai ‘peran dan’ atau ‘keikutsertaan’. Konotasinya paling populer, partisipasi merupakan keikutsertaan untuk mengungkapkan rencana yang sudah dipatok sang pemerintah. Secara politis, partisipasi perlu dimaknai menjadi keikutsertaan buat ikut ambil bagian, dalam kapasitasnya menjadi rakyat negara. Jelasnya, keikutsertaan yg dilakukan bukan hanya dalam mengiyakan ataupun menolak proposak lebijakan pemerintah, tetapi jua mengusulkan adanya kebijakan tertentu jika hal itu memang dibutuhkan, sekalipun belum disiapkan sang pemerintah. Sehubungan menggunakan hal itu, perlu ditegaskan bahwa pada goresan pena ini, kata partisipasi tidak harus dikaitkan dengan keikutsertaan tehadap rencana pemerintah. Sebagaimana diperlihatkan dalam perkara 2 justru eksponen masyarakatlah yg justru perlu pro-aktif dalam berpartisipasi. Partisipasi merupakan hak politik yg sebetulnya telah dijamin pada aneka macam ketentuan perundang-undangan, tetapi agunan itu nir pernah dirumuskan secara operasional. Sehubungan menggunakan hal itu, maka partisipasi justru wajib dituntut, serta komunitas yg terlibat pada gerakan pembaruan politik di negeri ini menuntutnya dalam bentuk agunan pada format yg lebih operasional (tepat guna).

Dalam tulisan ini penulis mengungkapkan ‘mekanisme kebijakan’ sebagai sebagian menurut persoalan pengembangan kualitas proses kebijakan. Yang perlu dikembangkan agar kualitias partisipasinya lebih baik bukan hanya mekanismenya, melainkan jua prosesnya secara holistik. Adanya mekanisme yang partisipatif nir dengan sendirinya menghasilkan proses yang partisipatif jika pandangan hidup atau elan kerja yang partisipatif. Mekanisme kebijakan memungkinkan adanya keteraturan proses kebijakan, namun jika terlalu fanatik dengan mekanisme, greget partisipasi yang ingin dikembangkan justru bisa sirna.

‘Mekanisme’ serta ‘Proses’ Kebijakan
Dalam rangka mengelaborasi disparitas serta kaitan antara ‘prosedur’ dan ‘proses’ kebijakan publik terdapat beberapa hal yg perlu dikemukakan. Mereka itu adalah menjadi berikut. 
Pertama, penulis membedakan penggunaan kata ‘mekanisme’ pembuatan kebijakan menggunakan ‘proses’ pembuatan kebijakan. Dalam pemahaman penulis, kata ‘proses’ kebijakan mempunyai cakupan lebih menurut sekedar ‘mekanisme’. Proses kebijakan mempunyai banyak perbedaan makna/dimensi, dan salah satu dimensinya adalah dimensi mekanis. Mekanisme kebijakan didesain sedemikian rupa proses kebijakan sedikit banyak memiliki standar prosesdural yang jelas. Adanya prosedur kebijakan memungkinkan proses kebijakan bisa diterka, serta fihak-fihak yg berpartisipasi bisa merumuskan kiprah yang sempurna pada proses tadi. Adanya prosedur kebijakan memungkinkan proses kebijakan memiliki keteraturan, serta menggunakan demikian proses kebijakan sanggup dikelola (manageable). Artinya, siapa saja yg terlibat, tata urutan pada proses, dan berada besar dan menurut mana sumber pendanaan buat kelangsungan proses kebijakan bisa dirumuskan. Dari kejelasan mekanisme ini pada administrator mampu berhitung, berapa dana yg dibutuhkan buat meng-goal-kan suatu Undang-undang atau perda.

Kedua, tanpa bermaksud sedikitpun buat mengurangi arti krusial mekanisme kebijakan, penulis ingin tekankan betapa pentingnya kita tidak mereduksi proses kebijakan sekedar menjadi masalah prosedur. Proses kebijakan nir semestinya direduksi sekedar sebagai duduk perkara merumusan prosedur, meskipun semenjak jaman dulu kita mempunyai dilema prosedur kebijakan ini. Point yang sebetulnya lebih krusial menurut itu merupakan bahwa pemikiran serta pemahaman kita tentang kebijakan publik selama ini terlampau mekanistis, dan menggunakan demikian justru menutup peluang buat membuka kesempatan buat berbagi proses kebijakan yang partisipatif. Sebagai model, proses kebijakan secara mekanistis dipilahkan kedalam serangkaian tahapan: ‘agenda setting’, ‘formulasi kebijakan’ yg diikuti dengan ‘penentuan opsi kebijakan’, ‘pengesahan statemen kebijakan’ dan seterusnya ‘implementasi’ berikut monitoring dan evaluasi. Kesekuruhan rangkaian ini dibayangkan merupakan suatu daur yang utuh. Artinya, kalau suatu prosedur telah berlangsung, maka keseluruhan daur tadi wajib ditempuh. Dalam kerangka fikir mekanistis ini, suatu keputusan kebijakan harus diimplementasikan, betapapun jahatnya isi kebijakan itu dimata rakyat. Ketika para pejabat diharuskan buat memastikan supaya kebijakan yang dinilai jahat oleh rakyat ini, mereka menciptakan istilah buat memperhalus perannya: ‘mengamankan kebijakan’ bukan ‘memaksakan kebijakan’. Bayangkan apa yg terjadi bila para pengelola proses kebijakan adalah juga orang-orang yang lantaran dibekali pemahaman yang mekanistik, dalam dasarnya pengaman kebijakan. Singkat istilah, kegagalan kita berbagi proses kebijakan yang partisipatif dimasa kemudian, sedikit poly dikondisikan oleh oversimplifikasi proses kebijakan menjadi prosedur kebijakan. Pejabat publik justru menolak pendapat masyarakat, bahkan membungkus kepentingan busuknya, menggunakan cara melebih-lebihkan arti krusial mekanisme yang telah dibakukan.

Ketiga, kalaupun pada forum ini kita memfokuskan pembicaraan pada masalah mekanisme kebijakan, perlu didasari betul bahwa suatu prosedur memiliki relevansi hanya jika terdapat aktor yg menjalankannya. Artinya, analisis pada level prosedur wajib dibarengi menggunakan analisis dalam level aktor. Mekanisme tidak akan berjalan bila aktor yang terkait nir punya komitmen serta kompetensi. Untuk jelasnya, yuk kita cermati Matik 1. Mekanisme hanya terdapat gunanya dikembangkan jika aktor-aktor yang terkait dalam proses kebijakan, baik menurut jajaran penyelenggara kekuasaan negara (eksekutif & legislatif) maupun eksponen-eksponen rakyat nir memeiliki kompetensi serta komitmen (sel I). Tantangan bagi jalannya suatu mekanisme relatif sedikit longgar kalau situasi yg kita hadapi merupakan situasi pada sel II serta II: Ada kemauan tetapi tidak mampu, atau kebalikannya, orang-orangnya mampu namun tidak mau. Untuk Kalau kita berada pada sel II (mampu tapi nir mau) maka proses kebijakan terseret dalam proses politis: menuntut atau memaksa agar mereka bersedia bekerja secara partisipatif serta berbagi prosedur yang partisipatif. Kalau yang kita hadapi merupakan situasi di sel III (mau tetapi tidak mampu) maka langkah yang diharapkan adalah berbagi kompetensinya. Prospek bagi pengembangan mekanisme kebijakan yang partisipatif akan sangat suram bila situasinya merupakan seperti yang di sel IV: sudahlah nir memahami beliau tidak mau lagi ! Dalam mendefinisikan tantangan pengembangan prosedur kebijakan publik yang partisipatif, kita perlu tahu situasi para aktor. 

Keempat, kita sanggup menggunakan cara pandang yang berseberangan menggunakan yang disampaikan di atas. Pengembangan partisipasi nir jarang dikondisikan sang situasi politik setempat. Struktur politik pada Kabupaten/Kota yg bersangkutan ikut mengkondisikan apakah partispasi perlu atau tidak perlu dikembangkan. Untuk bisa menangkap argumentasi ini, yuk kita cermati catatan lapangan ini dia:

Sebagaimana layaknya pemerintahan Kota/Kabupaten di negeri ini, yg menjabat sebagai kepala wilayah merupakan eksponen partai politik. Begitu juga yang kita temui pada sebuah Kota pada Jawa Tengah ini. Jabatan Walikota dipegang sang tokoh yg berasal menurut PDI-P, wakilnya adalah seseorang tentara. Entah karena apa, oleh Wakil Walikota yg dulunya direkrut menurut Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia di DPRD, nir mempunyai kiprah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dia harus putar otak agar eksistensinya diketahui publik, meskipun dia toh nir terlalu ambisius buat berebut peran publik menggunakan oleh Walikota. 

Yang menarik buat diceritakan adalah peran Sekretaris Daerah (Sekda). Kita memahami, siapapun orangnya yg berhasil menduduki jabatan ini merupakan birokrat senior, yang telah banyak makan asam garamnya pemerintahan. Dia memahami betul bahwa LSM merupakan wadah partisipasi publik yg terkenal serta mudah diekspose serta mempunyai saluran prosedural pada proses pembuatan berbagai kebijakan publik. Dia pula tahu bahwa seorang pejabat birokrasi mampu saja mempunyai “sayap organisasi” ekstra-birokrasi buat memciptakan image partisipatif. Cara buat membentuk image partisipatif merupakan dengan memberi dukungan, kalau bukan “menciptakan” LSM. Orang biasa menyebut yang organisasi ini sebagai LSM plat merah. Setidaknya, sang Sekda menyadari betul pentingnya membangun aliansi menggunakan komunitas LSM buat menyediakan saluran partisipasi publik, dan dari kedekatannya menggunakan LSM tadi dia mampu menangkap aspirasi serta merespon aspirasi secara akurat.

Ketika diamati lebih jauh, siasat sang Sekda buat “membentuk LSM plat merah” atau menjalin aliansi menggunakan komunitas LSM ini, sebetulnya tidak seratus persen demi pengembangan partisipasi itu sendiri. Dia melakukan itu demi memudahkan dia bekerja. Apa persoalannya ? Dukungan politik sang Walikota dari DPRD ternyata sangat lemah. Apapun langkah yang ditempuh oleh Walokota, mampu saja dipersoalkan atau dimentahkan sang DPRD. Hal ini gampang kita fahami. Kewenangan DPRD dihadapan Walikota, sebagaimana digariskan UU 22 tahun 1999, memang sangat besar . Ketika kewenangan yang sangat besar ini dipegang oleh orang-orang yg menyembunyikan kepentingan-kepentingan terselubung yg nir terkontrol sang siapapun, maka penyalahgunaan kewenangan ini jelas merajalela. Hal ini tentunya menyulitkan jajaran eksekutif (Walikota dengan dibantu Sekda) buat bekerja dengan baik, meski hal ini berada dalam lingkup kewenanangannya. Dalam situasi seperti ini, LSM menjadi kendaraan politik strategis buat memotong intervensi DPRD yang nir proporsional. Eksekutif berusaha mengakibatkan LSM sebagai semacam forum tandingan yg menjalankan fungsi penyerapan aspirasi warga .

Dalam rangka mendiskreditkan DPRD, fihak eksekutif menghusung jargon perencanaan pembangunan yg partisipatif. Proses perencanaan pembangunan, yang nantinya dimuat dalam Peraturan Daerah APBD (dus ditetapkan melalui sidang DPRD), dilakukan menggunakan menghidupkan kembali prosedur perencanaan pembangunan berdasarkan bawah (bottom up rencana). Secara bertingkat, publik dilibatkan dalam proses perencanaan tahunan. Untuk mengelola proses perencanaan menurut bawah ini, komunitas LSM yg memiliki kedekatan dengan Sekda ini memegang peranan krusial.

Apa implikasi berdasarkan dijalankannya skenario tersebut di atas. DPRD kehilangan legitimasi buat mempersoalkan usulan-usulan yg sudah dirumuskan melalui prosedur bottom up yang jelas melelahkan itu. Lembaga perwakilan rakyat justru ketiggalan satu langkah dalam mengelola partisipasi rakyat pada perencanaan pembangunan. Persoalannya bukan hanya eksekutiflah yang mendapat kredit, melainkan juga peluang DPRD buat neko-neko semakin sempit. Butir pelajaran krusial yg relevan buat disampaikan disini merupakan bahwa pengembangan partisipasi publik tidak harus didekati secara teknokratik, dimana para pakar dan aktivis merancang sejumlah rumusan normatif buat diberlakukan. Tidak jarang, para pakar serta aktivis hanya mampu gigit jari waktu yg sebetulnya berlangsung menggerakkan perubahan kearah yang partisipatif bukanlah jerih payah aktor belaka, namun jua konstelasi politik setempat.

Kelima, mekanisme kebijakan partisipatif sanggup sia-sia dirumuskan dan disediakan kalau aktor-aktor yang berada dalam domain rakyat nir peduli. Percuma prosedur kebijakan publik yg partisipatif pada-Peraturan Daerah-kan jikalau masyarakat tidak percaya bahwa para aktor yang duduk di kursi pengambilan keputusan akan bekerja sinkron dengan mekanisme tadi. Percuma prosedur kebijakan dikutak-katik bila masyarkat masih melihat meyakini bahwa prosedur tersebut hanyalah kedok untuk mengesahkan kepentingan busuk para pejabat negara. Perlu disadari bahwa mampu mengambil peran (berpartisipasi) pada prosedur yg didesain, warga perlu mengacu dalam kapital sosial mereka sendiri. Mekanisme yg baik merupakan prosedur yang sanggup menampung dan memberi ruang bagi eksploitasi kapital sosial tadi. Dengan istilah lain, mekanisme resmi yang diciptakan dituntut buat klop betul dengan caranya masyarakat mengelola aksi kolektif mereka. Ilustrasi mengenai hal ini sanggup kita petik berdasarkan pengamatan pada Kalibawang Kulonprogo yang disajikan pada Lampiran 1. Keberhasilan pengembangan partisipasi pada penyelenggaraan acara pada sana sangat dipengaruhi sang keberhasilan mendayagunakan prinsip tanggung renteng yang mereka rancang sinkron dengan konvensi pada komunitasnya. Dalam hal ini, tanggung renteng merupakan modal sosial yang wajib diperhitungkan dan diberi ruang gerak pada prosedur penyelenggaraan program. Justru dengan cara itu program bisa sukses serta partisipasi masyarakat sanggup menguat.

Keenam, pertanyaan utama yang harus dijawab dalam pembahasan ini adalah mekanisme seperti apa yang diharapkan agar proses penyelenggaraan kebijakan publik di pada pemerintahan lokal (Kabupaten/Kota) memenuhi salah satu baku good governance: partisipatif. Dalam rangka mengarah kesana, yuk kita cermati fragmen yg diambil menurut suatu pembinaan tentang partisipasi.

Dihadapan sebuah forum training yg diikuti sang para ketua BPD (Badan Perwakilan Desa) dan Kepala Desa, seseorang pelatih mengajukan pertanyaan kepada pada peserta pelatihan: 
“Milik Siapakah dana APBD ?” 
Sejumlah peserta menjawab seru: “masyarakat !”. 
Kemudian sang instruktur bertanya lebih lanjut: “Apakah anda adalah rakyat di wilayah ini ?”. 
Jawaban audiens lebih kali ini lebih serempak kali ini: “Ya ...!”.
Mendengar sambutan yg lebih antusias sang pelatih bertanya lebih bersemangat: “Apakah anda pernah ditanya, buat membiayai apa dana tersebut?”
Para peserta menjawab dengan lantang: “Tidak !” 

Kalau anda mengikuti pelatihan tadi, anda tentu mampu menebak ke arah mana sang pelatih menggiring pembicaraan. Sang instruktur ingin mengembangkan pencerahan bahwa rakyatlah yang secara formal memiliki uang dana APBD, mempunyai uang yang tersimpan di Kas Daerah. Dalam realitanya nir mereka nir pernah ditanya buat apa uang yg ada di Kas Daerah dialokasikan. Para peserta training merasa tercerahkan sang provokasi sang pelatih, namun terdapat banyak masalah berjejal pada benak mereka mencari-cari jawaban. Dalam training tersebut, ketika yg disediakan panitia poly terserap buat membicarakan mengenai bagaimana caranya eksponen kunci pemerintahan desa (BPD dan Kepala Desa). Ada banyak tuntutan yg mereka ajukan, dan itu terdapat sekian banyak mekanisme secara normatif perlu diubah. Untuk betul-betul membuat prosedur yg memungkinkan partisipasi publik teraktualisasikan, para penentu format kebijakan publik berhadapan dengan banyak persoalan. Untuk itu perlu dicermati beberapa hal berikut adalah:
  • Bagaimana mekanisme yg terdapat. Kita perlu melakukan jajak kritis terhadap apa yang telah terbakukan selama ini.
  • Bagaimana seharusnya prosedur tersebut agar bersifat partisipatif. Dalam rangka ini perlu ditinjau model-contoh yang tersedia dalam literatur buat membimbing pencarian/perumusan mekanisme yg kita kehendaki.
  • Bagaimana caranya supaya prosedur yang ada sesuai menggunakan. Kita perlu berpegang pada sejumlah prinsip untuk membuatkan mekanisme pembuatan kebijakan publik yang partisipatif. 
Ketiga hal ini akan dibahas secara berurutan berikut adalah.
Mekanisme Kebijakan Yang Sedang Berlaku: 
Mekanisme pembuatan kebijakan publik yang berlaku pada dalam penyelenggaraan pemerintahan wilayah ketika ini, menurut ekonomis penulis, nir jauh tidak selaras menggunakan yang sudah dibakukan sang pemerintah Orde Baru. Tidak bisa diingkari bahwa, sejak diberlakukannya UU 22 tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah di sana sini telah terjadi pencairan pola baku Orde Baru. Munculnya aktor-aktor baru penentu kebijakan publik tingkat lokal dalam saat mana dirinya memiliki kewenangan sangat luas, telah membuka peluang untuk mencairkan pola baku mekanisme pembuatan kebijakan publik. Masing-masing daerah mempunyai caranya sendiri dalam memodifikasi pola tadi, serta diantara mereka sebetulnya saling belajar bagaimana mengembangkan proses kebijakan yg lebih partisipatif. Sungguhpun demikian, terdapat beberapa catatan krusial.

Pertama, perubahan-perubahan tersebut pada atas ebih terlihat pada bentuk inovasi atau terobosan pada level perorangan. Artinya, jikalau nantinya yg posisi penentu kebijakan ini pindah ke tangan pejabat lain (baik di eksekutif maupun legislatif) tidak ada agunan inovasi ini akan dilanjutkan akan terbakukan menjadi kesepakatan yg terlembaga. Mengapa demikian ! Acuan dasar (yuridis formal) yang terdapat maupun rujukan teoritisnya tidak banyak bergeser. Hal ini akan dielaborasi dalam point-point berikut adalah.

Kedua, secara teoritis maupun empiris kebijakan publik selama ini dibayangkan menjadi proses internal organisasi pemerintahan (pada lingkup eksekutif dan legislatif). Masih bercokolnya bayangan ini sebetulnya merupakan pertanda masih hidupnya mekanisme di masa lalu. Lebih menurut itu, penentuan kebijakan nir sporadis difahami sebagai penggunaan hak spesifik berdasarkan seorang pejabat penyelenggara kekuasaan negara, bukan amanat rakyat yang harus ditunaikan. Di sana-sini ada juga tanda-tanda para pejabat menunjukkan inisiatifnya untuk melibatkan eksponen LSM, menjadi indikasi terbukanya pintu partisipasi. Namun kalau kita lacak lebih dalam, pelibatan itu tidak jarang disertai dengan kalkulasi taktis tersendiri. Partisipasi diberikan tidak demi partisipasi itu sendiri, namun demi kesuksesan agenda-rencana pejabat. Menyadari bahwa LSM merupakan potensi produsen keributan mekanisme kebijakan, mereka dilibatkan agar nir ribut. Jelasnya, partisipasi diberikan menjadi bentuk penjinakan gerakan.

Ketiga, ketentuan perundang-undangan yg terkait menggunakan pembuatan kebijakan publik memang sudah mengalami perubahan mendasar. Tetapi perlu diingat perubahan ini lebih dalam bentuk perpindahan locus pembuatan kebijakan publik menurut contoh yg executive heavy ke legislative heavy. Pergeseran terjadi dalam domain negara, bukan ke domain masyarakat. Pertanyaannya sekarang, bagaimana keleluasaan badan legislatif yang begitu besar pada penentuan kebijakan publik ini bisa kondusif bagi pengembangan partisipasi. Dari segi aktor yang duduk pada dalam lembaga legislatif ini, nir cukup bukti buat mengatakan bahwa mayoritas menurut mereka adalah orang-orang yg kompeten dan mempunyai komitmen akbar dalam pengembangan partisipasi publik. Partai-parti politik, yg secara resmi adalah pemasok aktor penghasil kebijakan publik, tidak secara spesifik disiapkan buat menjadi orang yg mempunyai kompetensi dan komitmen buat itu. Parti lebih terlihat wajahnya sebagai kepanjangan tangan elit-elit politik yg berebut dukungan dari dalam sebagai mesin penyerap, penampung, serta pengelola aspirasi publik. Di era berlakunya contoh executive heavy Golkar memposisikan diri sebagai kaki tangan eksekutif pada badan legislatif. Di era legislative heavy ini tidak relatif bukti untuk mengatakan bahwa partai-partai politik adalah kaki tangan masyarakat pada mewadahi partisipasinya pada penentuan kebijakan publik. Jelasnya, dalam mekanisme yg usang juga yang baru sama-sama tidak memberi jaminan bagi warga buat secara riel berpartisipasi.

Keempat, lantaran gelisah dengan sempitnya agunan riel bahwa warga bisa berpartisipasi dalam penentuan isi kebijakan publik, sejumlah LSM lokal mengagendakan pembuatan Peraturan Daerah yang di dalamnya menaruh agunan dan saluran bagi partisipasi masyarakat. Mereka memotoring proses rencana setting di wilayah masing-masing, agar mulai berlangsung proses legislasi buat menelorkan perda tersebut. Dalam rangka kondisioning dan sekaligus agenda setting ini mereka melakukan pendekatan terhadap figur-figur kunci yang nantinya memilih proses legislasi. Terhadap jajaran eksekutif, mereka mendekati Kepala Bagian Pemerintahan Desa. Mereka pula mendekati tokoh-tokoh strategis pada DPRD. Dalam kalkulasi mereka, masyarakat desalah yg selama ini mempunyai akses terbatas pada pengambilan keputusan pada tingkat kabupaten. Untuk mengedepankan kuatnya tuntutan jaminan partisipasi para eksponen taraf desa ini mereka memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga komunikasi BPD, baik pada level kecamatan maupun Kabupaten. (Di beberapa daerah bahkan sudah berkembang lembaga komunikasi BPD pada level propinsi). Di Yogyakarta, gagasan buat menciptakan perda jaminan partisipasi digagas sebagai bagian menurut rencana pembaruan desa, yang diusung oleh sejumlah LSM. Pemikiran mengenai jaminan partisipasi ini kentara berkait menggunakan keperluan akan adanya kejelasan tentang wewenang desa dan perimbangan keuangan pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa. Sejauh ini belum ada perda yg berhasil ditelorkan dalam rangka itu. Sejumlah pejabat kunci di tingkat lokal yang sempat didekati kalangan LSM dalam prinsipnya nir menyatakan keberatan bagi pengembangan partisipasi. Hanya saja mereka tetap wanti-wanti bahwa dirinya (DPRD-lah) yang memegang otoritas akhir pada perumusan kebijakan.

Karena hal-hal tersebut pada atas, Pelembagaan proses kebijakan publik yang partisipatif, waktu ini masing saja bercokol dalam statusnya sebagai agenda kebijakan itu sendiri, meskipun aspirasi ke arah itu telah usang disuarakan. Sebagaimana yang terjadi di masa lalu, mereka yg berada diliur lingkaran penentu kebijakanlah yg mendorong diagendakan pembakuan proses kebijakan yang partisipatif. Meskipun nir sepenuhnya tepat, penyelenggaraan acara workshop yg dimotori eksponen-eksponen non-penentu kebijakan adalah konfirmasi terhadap sinyalemen tadi di atas.

Model Kebijakan Partisipatif
Dalam bab ini ingin dikemukakan kerangka teoritik yg tersedia dalam literatur kebijakan publik, yang nantinya diperlukan mampu memberi ide dalam perumusan prosedur kebijakan publik yang partisipatif. Sebelum sampai disitu perlu disampaikan secara lebih eksplisit bahwa selama ini kebijakan publik di daerah (maupun pada tingkat nasional) mengacu pada contoh, yang penulis juluki menggunakan sebutan contoh ‘kebijakan sebagai keputusan otoritatif negara’. Pokok gagasan ini sudah tersampaikan secara implisit dalam assessment kritis yg disampaikan pada atas, dan nir terdapat gunanya dielaborasi lagi.

Dalam literatur kebijakan publik penulis mengidentifikasi adanya dua contoh kebijakan yang kiranya konstruktif buat mengkerangkai pemikiran tentang mekanisme pembuatan kebijakan publik: yakni model ‘kebijakan menjadi usaha kepentingan masyrakat’ serta contoh ‘kebijakan menjadi proses social marketing’. Keduanya akan dipaparkan menjadi berikut. 

Kebijakan menjadi perjuangan kepentingan masyrakat.
Kalau kita nir berfikir birokratis-yuridis semata, maka proses kebijakan publik nir harus mengandalkan kiprah aktif pejabat negara. Ini nir berarti bahwa negara dikesampingkan pada proses kebijakan. Bahwa pada negara ada aktor-aktor yang telibat pada proses penentuan isi kebijakan, itu nir dibantah. Hanya saja, titik strategis yang diutamakan pada tahu proses kebijakan merupakan proses politik, bukan proses birokratis. Proses politik yang dimaksudkan adalah proses politik yang digerakkan sang partisipasi politik warga pada pengambilan kebijakan publik. 

Proses kebijakan, berdasarkan kacamata promotor gagasan ini (contohnya teori sistem), ditinjau menjadi proses tuntut-menutut serta dukung-mendukung gagasan kebijakan yg wajib difikirkan oleh pejabat pemerintah. Dalam konteks ini, kiprah pengambil kebijakan keputusan dibayangkan hanya sebatas merespon tuntutan dan dukungan yang disampaikan oleh rakyat. Dalam proses ini institusi-institusi politik yang terdapat sudah menyediakan arena buat mengagregasikan berbagai kepentingan yang ada pada warga . Penentuan daftar skala prioritas, tawar-menawar antara banyak sekali fihak yg terkait sanggup dilakukan secara berdikari oleh masyarakat menggunakan mengacu pada anggaran main dan mekanisme yang terdapat. 

Adanya kapasitas kelembagaan inilah yang memungkinkan banyak sekali benturan aneka macam kepentingan warga bisa diatasi. Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya menghormati mekanisme-mekanisme yg sudah terdapat buat memungkinkan proses kebijakan publik sanggup berlangsung serta tentang target. Dalam situasi yg demikian ini maka mereka yg tidak putusan bulat menggunakan isi kebijakan akan bersedia mematuhi keputusan kebijakan. Ini berarti berjalannya kebijakan nir lagi wajib mengandalkan legalitas keputusan pemerintah, melainkan justru legitimasi proses pengambilan kebijakan. Kalau dalam model yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa pengambilan kebijakan bersifat pro-aktif yang didominasi pejabat negara ujung-ujungnya mengandalkan legalitas perundang-undangan, pada contoh ini diasumsikan bahwa kiprah pro-aktif warga dan tegaknya lembaga-lembaga kemasyarakatan (termasuk hukum) membuahkan pengambil kebijakan tidak haus legalitas. Dalam perbedaan makna ini, kebijakan disadari benar tidak identik menggunakan produk legislasi. Kebijakan tidak harus dituangkan pada peraturan perundang-undangan.

Bahwa kebijakan akan merugikan fihak-fihak tertentu serta menguntungkan fihak-fihak lain, berdasarkan kacamata society centric ini dipercaya tidak bermasalah. Keputusan pemerintah yg nir memuaskan akan menggerakkan fihak yg nir puas ini buat memperjuangkan kepentingannya. Dengan demikian maka proses kebijakan akan terus-memerus mengalir pada bentuk tuntutan/dukungan masyarakat yang senantiasa direspon secara mekanistik poleh pejabat para negara.

Kebijakan sebagai proses social marketing.
Kedua cara penyederhanaan tentang proses kebijakan tersebut pada atas sama-sama wajar. Penyederhanaan cara tahu proses kebijakan ini bisa dianggap sebagai model proses kebijakan. Jelasnya, menurut pembahasan tersebut di atas tersirat adanya 2 contoh dasar (menyederhanaan cara tahu) proses kebijakan. 

Model yang pertama mengandaikan aktualisasi diri keputusan otoritatif para pejabat negara bisa dilakukan menggunakan mengandalkan kekuatan negara (pada hal ini kapasitas fragmental birokrasi pemerintah), sedangkan model yang satunya lagi justru mengandaikan kuatnya basis institusional rakyat buat mewadahi partisipasi politiknya. Model yang pertama dengan mudah dipraktekkan di negara yg pemerintahnya lebih banyak didominasi atau kapasitas kelembagaan politik masyarakatnya lemah. Mengingat model ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang sang para pejabat negara maka advokasi kebijakan menjadi suatu keniscayaan. 

Model yang ke 2 sebetulnya disarikan menurut pengalaman negara-negara industri maju yg sudah usang membuatkan liberalisme sebagai pilar pemerintahannya. Kesadaran akan hak-hak politik warga sudah menjadi sandaran bagi tegaknya aturan, dan proses kebijakan memang sanggup disederhanakan sebagai proses merespon tuntutan serta dukungan masyarakat. Kalau contoh ini mau dijadikan basis (acuan mudah) buat pengelolaan proses kebijakan, maka prasyarat-prasyarat bagiberjalannya model ini harus dipenuhi. Prasyarat tadi adalah bahwa proses kebijakan berlangsung menggunakan dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai. Proses artikulasi dan agregasi kepentingan, contohnya, dijalankan sang partai-partai politik. Artinya, contoh kedua mensyaratkan kuatnya basis politik kepartaian. Prasyarat semacam ini sepertinya tidak dengan gampang sanggup dipenuhi sang warga Indonesia waktu ini. Ini jua berarti bahwa, kiprah aktif dan pro-aktif pemerintah, memang tidak mampu dihindarkan. Sehubungan dengan hal itu, maka contoh pertama bisa dijadikan acuan dengan sejumlah modofikasi.

Alternatif model yg mengkombinasikan ke 2 model tersebut pada atas ditawarkan sang J.A. Altman. Dia menyebutnya menjadi contoh social marketing, dimana pejabat negara dituntut buat aktif dalam proses kebijakan, tetapi keaktifan tadi nir menghilangkan mereduksi arti krusial kesepakatan (consent) dari rakyat. Gagasan Altman ini disajikan dalam grafik di bawah ini. Ada sejumlah buah gagasan yg krusial buat dicatat dari tawaran Altman ini.

Pertama, berlangsungnya proses kebijakan yg memenuhi kedua tuntutan tersebut di atas, mensyaratkan supaya, baik pejabat negara juga masyarakat, menjalani pendidikan kebijakan. Tentu saja materi pendidikan bagi pejabat negara berbeda dengan materi pendidikan bagi rakyat. Point tersembunyi yang perlu diungkapkan merupakan bahwa adanya kesediaan bagi pejabat negara mapun masyarakat buat saling belajar (membuka mata dan pendengaran) merupakan kunci bagi kelancaran proses kebijakan. 

Kedua, kebijakan dalam dasarnya bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka, tetapi juga proses belajar. Poin ini krusial buat kedepankan karena metatapun energi ahli telah bekerja sekuat tenaga buat kesuksesan kebijakan, nuansa trial and error dalam proses kebijakan nir akan hilang. Kebijakan publik adalah proses eksperimentasi nasib sejumlah orang, kalau bukan nasib komunitas secara keseluruhan. Oleh karenanya, redisain kebijakan adalah elemen krusial. Sejalan dengan kerangka berfikir tadi pada atas, public hearing merupakan proses kunci bagi kelangsungan proses kebijakan. Ketiga, setiap fase pengelolaan kebijakan, partisipasi rakyat senantisas terbuka.

Model alternatif tersebut di atas sangat mengedepankan arti krusial belajar dan konsensus. Dalam empiris, kebijakan justru nir sanggup mengatasi perkara yang diagendakan lantaran perseteruan yang berkecamuk. Sehubungan menggunakan hal itu, kebijakan bisa disederhakan sebagai proses pengelolaan pertarungan antara aneka macam fihak yg saling menggalang kekuatan buat memperjuangkan kepentingannya. Paul A. Sabatier menawarkan model koalisi-advokasi buat tahu proses kebijakan. 

Dalam model ini dibayangkan proses kebijakan melibatkan komunitas kebijakan yg tidak sejenis yang tergalang dalam sejumlah koalisi buat memenangkan gagasan kebijakan. Koalisi ini sifatnya lintas batas negara-masyarakat. Yang mempersatukan para stake-holders pada suatu koalisi adalah kesamaan kepentingan atau keberpihakan terhadapan suatu gagasan kebijakan. Ini ialah, sangat boleh jadi terdapat pejabat negara yang justru ambil bagian adalam advokasi kebijakan yg dimotori sang kekuatan-kekuatan rakyat. Sebaliknya, pada ranah warga kita menemukan adanya “kaki-tangan” negara yang melangsungkan proses buat mengamankan kebijakan pemerintah. Sehubungan menggunakan hal ini, Sabatier sefaham menggunakan Altman bahwa proses learning (membuka mata dan indera pendengaran) merupakan proses penting buat mensukseskan kebijakan.

Prinsip-prinsip Pengembangan Mekanisme Kebijakan Partisipatif
Sebagai epilog, perlu kiranya disarikan sejumlah prinsip yang perlu disefahami sang para fihak yg berkehendak buat ikut ambil bagian pada pengembangan prosedur pembuatan kebijakan publik. Sejauh mungkin penulis akan mencoba merumuskan prinsip-prinsip tadi seoperasional mungkin sebagai akibatnya bisa menjadi acum mudah pada workshop ini.

Pertama, prinsip mekanisasi. Perumusan (tepatnya perumusan ulang) prosedur kebijakan partisipatif merupakan masalah merumuskan hubungan mekanis antar aneka macam fihak dalam proses kebijakan. Hubungan mekanis ini memungkinkan proses kebijakan bergulir mengingat aksi seseorang aktor atau suatu agensi/lembaga/organisasi akan direaksi oleh fihak yang lain. Ini berarti bahwa:
  • Yang perlu dirumuskan dalam mekanisme bukan hanya kausalitas normatif (entah mengikuti kebiasaan demokrasi, kebiasaan warga lokal atau kebiasaan apa) namun pula kausalitas aksi-reaksi. Sebagaimana dicontohkan di atas, proses kebijakan partisipatif tidak bergulir manaka mekanisme baru yg dirumuskan pada UU/Peraturan Daerah nir diyakini masyarakat akan bisa diterapkan. Kalau mereka tetap saja apatis terhadap prosedur yg ada maka penguasaan pejabat dalam proses kebijakan tetap berlangsung, dan agenda pengembangan partisipasi akan kandas.
  • Mekanisme nir cukup difahami secara tatanan prosedural, namun jua perangkat antisipasi dinamika sosial. Tidak adanya mekanisme yg jelas menyebabkan proses kebijakan sarat dengan pertarungan dan kekerasan. Dengan adanya mekanisme yang standar serta disefahami para pelaku, maka masing-masing yg terlibat pada proses kebijakan mampu mengadu siasat, namun pada akhirnya dia wajib tunduk pada apapun yang dicapai dalam prosedur tersebut. Sebaliknya, kesalahan masa lalu yang melebih-lebihkan asti penting mekanisme sampai-hingga prosedur tadi berubah sekedar menjadi formalitas, perlu dihindari.
  • Pengembangan partisipasi harus menjangkau aspek supply (peluang buat berpartisipasi) maupun aspek demand (gerakan sosial-politik buat ikut mempengaruhi keputusan kebijakan pemerintah). Hal ini hanya bisa ditegakkan bila: (1) pemerintah maupun rakyat sanggup menegakkan aturan main. Mekanisme itu sendiri dalam dasarnya adalah aturan main (2) kapital sosial yang terdapat selama ini ikut didayagunakan
Kedua, prinsip pengelolaan perubahan sosial. Dalam hal ini terdapat 2 persoalan:
  • Apakah kita mulai dari level mikro (aktor) buat mengubagh prosedur, ataukan kebalikannya, sejumlah perubahan makro ditempuh duluan buat memungkinkan kiprah pada level mikro bisa berlangsung mulus. Sebagai mana sudah dikemukakan, pengembangan mekanisme pada goresan pena ini didudukkan sekedar sebagai keliru satu pilar pengembangan proses kebijakan yg partisipatif. Mekanisme ini bisa dilahirkan sang usaha aktor-aktor multi fihak yang lalu sepakat buat membakukan rumusan dan membiasakan diri buat mematuhinya. Hal yg sebaliknya jua bisa terjadi. Berbagai perombakan makro struktural dilakukan yang pada gilirannya berbuntut memfasilitasi perubahan-perubahan mikro. Sehubungan menggunakan problem ini maka: (1) pengembangan prosedur nir cukup diserahkan pada perumusan ketentuan yuridis, (dua) jaminan yuridis/administratif yg diperoleh wajib dikawal dengan aksi-aksi dan sejumlah “rekayasa” pada rangka pembiasaan terhadap mekanisme baru, (3) Aktor-aktor yang menduduki posisi struktural dalam tubuh negara maupun dalam masyarakat perlu didorong buat mendayagunakan posisi struktural tersebut buat pembudayaan mekanisme baru.
  • Persoalan yang kedua merupakan bagaimana penemuan awal sanggup menggelinding laksana bola salju. Untuk itu advokasi lintas fihak yang sudah tergalang perlu bentuk serta kemudia didayagunakan. Komunikasi lintas fihak, katakanlah antara aktor dalam tubuh negara dengan aktor dalam warga , bisa membuat sinergi yang, jika dikelola dengan baik, mampu menjamin sustainabilitas.

MEMBANGUN MEKANISME PEMBUATAN KEBIJAKAN DAERAH YANG PARTISIPATIF

Membangun Mekanisme Pembuatan Kebijakan Daerah Yang Partisipatif 
Tidaklah gampang, secara akademik, kita menghakimi apakah suatu sistem pemerintahan daerah sudah mengelola proses kebijakan secara partisipatif atau nir. Betapapun hebatnya seorang pengamat, gampang sekali beliau terpeleset pada menaruh evaluasi mengenai kualitas partisipasi pada proses kebijakan jikalau beliau tidak memiliki perangkat buat mengukur serta memahami proses kebijakan itu sendiri menggunakan baik. Tulisan ini disajikan menjadi ikhtiar buat mengeliminir galat ukur serta keliru faham tentang kualitas partisipasi dalam proses kebijakan.

Sebelum masuk dalam pembicaraan utama tadi di atas, ada 2 hal sepele yg berimplikasi fatal kalau nir penulis kemukakan terlebih dahulu. Hal sepele itu yg pertama adalah makna partisipasi. Yang kedya, pembedaan secara kritis ‘mekanisme kebijakan’ menggunakan ‘proses kebijakan’. Keduanya dikemukakan secara berurutan berikut adalah.

Kita seluruh memahami, ‘partisipasi’ selama ini diterjemahkan menjadi ‘kiprah serta’ atau ‘keikutsertaan’. Konotasinya paling terkenal, partisipasi merupakan keikutsertaan buat mengungkapkan rencana yg telah dipatok oleh pemerintah. Secara politis, partisipasi perlu dimaknai sebagai keikutsertaan untuk ikut ambil bagian, pada kapasitasnya menjadi warga negara. Jelasnya, keikutsertaan yg dilakukan bukan hanya dalam mengiyakan ataupun menolak proposak lebijakan pemerintah, namun juga mengusulkan adanya kebijakan eksklusif jikalau hal itu memang dibutuhkan, sekalipun belum disiapkan sang pemerintah. Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan bahwa dalam tulisan ini, kata partisipasi tidak harus dikaitkan menggunakan keikutsertaan tehadap agenda pemerintah. Sebagaimana diperlihatkan pada masalah dua justru eksponen masyarakatlah yang justru perlu pro-aktif dalam berpartisipasi. Partisipasi merupakan hak politik yang sebetulnya sudah dijamin pada aneka macam ketentuan perundang-undangan, namun agunan itu nir pernah dirumuskan secara operasional. Sehubungan menggunakan hal itu, maka partisipasi justru harus dituntut, serta komunitas yang terlibat pada gerakan pembaruan politik di negeri ini menuntutnya dalam bentuk jaminan pada format yang lebih operasional (tepat guna).

Dalam tulisan ini penulis membicarakan ‘prosedur kebijakan’ menjadi sebagian dari problem pengembangan kualitas proses kebijakan. Yang perlu dikembangkan agar kualitias partisipasinya lebih baik bukan hanya mekanismenya, melainkan juga prosesnya secara holistik. Adanya mekanisme yg partisipatif tidak menggunakan sendirinya membuat proses yg partisipatif jika etos atau elan kerja yg partisipatif. Mekanisme kebijakan memungkinkan adanya keteraturan proses kebijakan, tetapi kalau terlalu fanatik menggunakan mekanisme, greget partisipasi yg ingin dikembangkan justru bisa sirna.

‘Mekanisme’ dan ‘Proses’ Kebijakan
Dalam rangka mengelaborasi disparitas serta kaitan antara ‘prosedur’ serta ‘proses’ kebijakan publik ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Mereka itu adalah sebagai berikut. 
Pertama, penulis membedakan penggunaan istilah ‘prosedur’ pembuatan kebijakan menggunakan ‘proses’ pembuatan kebijakan. Dalam pemahaman penulis, kata ‘proses’ kebijakan memiliki cakupan lebih dari sekedar ‘mekanisme’. Proses kebijakan mempunyai poly perbedaan makna/dimensi, serta keliru satu dimensinya adalah dimensi mekanis. Mekanisme kebijakan dibuat sedemikian rupa proses kebijakan sedikit poly mempunyai standar prosesdural yang jelas. Adanya mekanisme kebijakan memungkinkan proses kebijakan sanggup diterka, dan fihak-fihak yang berpartisipasi bisa merumuskan kiprah yg sempurna pada proses tadi. Adanya prosedur kebijakan memungkinkan proses kebijakan mempunyai keteraturan, serta menggunakan demikian proses kebijakan sanggup dikelola (manageable). Artinya, siapa saja yang terlibat, tata urutan pada proses, serta berada akbar serta menurut mana sumber pendanaan buat kelangsungan proses kebijakan mampu dirumuskan. Dari kejelasan prosedur ini pada administrator mampu berhitung, berapa dana yg diharapkan buat meng-goal-kan suatu Undang-undang atau Peraturan Daerah.

Kedua, tanpa bermaksud sedikitpun buat mengurangi arti penting mekanisme kebijakan, penulis ingin tekankan betapa pentingnya kita nir mereduksi proses kebijakan sekedar menjadi problem mekanisme. Proses kebijakan nir semestinya direduksi sekedar menjadi problem merumusan mekanisme, meskipun sejak jaman dulu kita mempunyai masalah prosedur kebijakan ini. Point yg sebetulnya lebih penting berdasarkan itu merupakan bahwa pemikiran dan pemahaman kita mengenai kebijakan publik selama ini terlampau mekanistis, dan dengan demikian justru menutup peluang untuk membuka kesempatan buat mengembangkan proses kebijakan yg partisipatif. Sebagai contoh, proses kebijakan secara mekanistis dipilahkan kedalam serangkaian tahapan: ‘rencana setting’, ‘formulasi kebijakan’ yang diikuti menggunakan ‘penentuan opsi kebijakan’, ‘pengesahan statemen kebijakan’ dan seterusnya ‘implementasi’ berikut monitoring dan penilaian. Kesekuruhan rangkaian ini dibayangkan adalah suatu siklus yg utuh. Artinya, jikalau suatu prosedur sudah berlangsung, maka keseluruhan siklus tadi harus ditempuh. Dalam kerangka fikir mekanistis ini, suatu keputusan kebijakan wajib diimplementasikan, betapapun jahatnya isi kebijakan itu dimata masyarakat. Ketika para pejabat diharuskan buat memastikan supaya kebijakan yg dievaluasi dursila oleh rakyat ini, mereka menciptakan istilah buat memperhalus perannya: ‘mengamankan kebijakan’ bukan ‘memaksakan kebijakan’. Bayangkan apa yang terjadi bila para pengelola proses kebijakan merupakan juga orang-orang yang lantaran dibekali pemahaman yg mekanistik, dalam dasarnya pengaman kebijakan. Singkat kata, kegagalan kita berbagi proses kebijakan yg partisipatif dimasa kemudian, sedikit banyak dikondisikan oleh oversimplifikasi proses kebijakan sebagai prosedur kebijakan. Pejabat publik justru menolak pendapat masyarakat, bahkan membungkus kepentingan busuknya, menggunakan cara melebih-lebihkan arti krusial prosedur yang telah dibakukan.

Ketiga, kalaupun pada lembaga ini kita memfokuskan pembicaraan dalam dilema prosedur kebijakan, perlu didasari betul bahwa suatu mekanisme mempunyai relevansi hanya bila terdapat aktor yang menjalankannya. Artinya, analisis dalam level prosedur harus dibarengi menggunakan analisis dalam level aktor. Mekanisme nir akan berjalan bila aktor yang terkait nir punya komitmen serta kompetensi. Untuk jelasnya, mari kita cermati Matik 1. Mekanisme hanya ada gunanya dikembangkan bila aktor-aktor yang terkait pada proses kebijakan, baik menurut jajaran penyelenggara kekuasaan negara (eksekutif & legislatif) juga eksponen-eksponen rakyat nir memeiliki kompetensi dan komitmen (sel I). Tantangan bagi jalannya suatu mekanisme agak sedikit longgar jika situasi yang kita hadapi merupakan situasi di sel II serta II: Ada kemauan namun nir sanggup, atau kebalikannya, orang-orangnya bisa tetapi nir mau. Untuk Kalau kita berada pada sel II (mampu tapi tidak mau) maka proses kebijakan terseret pada proses politis: menuntut atau memaksa supaya mereka bersedia bekerja secara partisipatif dan membuatkan mekanisme yg partisipatif. Kalau yg kita hadapi adalah situasi pada sel III (mau tetapi nir bisa) maka langkah yg diperlukan adalah menyebarkan kompetensinya. Prospek bagi pengembangan mekanisme kebijakan yg partisipatif akan sangat suram jikalau situasinya merupakan seperti yang pada sel IV: sudahlah tidak memahami beliau nir mau lagi ! Dalam mendefinisikan tantangan pengembangan mekanisme kebijakan publik yang partisipatif, kita perlu tahu situasi para aktor. 

Keempat, kita bisa memakai cara pandang yang berseberangan menggunakan yg disampaikan di atas. Pengembangan partisipasi tidak jarang dikondisikan oleh situasi politik setempat. Struktur politik di Kabupaten/Kota yang bersangkutan ikut mengkondisikan apakah partispasi perlu atau tidak perlu dikembangkan. Untuk mampu menangkap argumentasi ini, ayo kita cermati catatan lapangan berikut adalah:

Sebagaimana layaknya pemerintahan Kota/Kabupaten pada negeri ini, yg menjabat menjadi kepala daerah merupakan eksponen partai politik. Begitu pula yang kita temui di sebuah Kota di Jawa Tengah ini. Jabatan Walikota dipegang oleh tokoh yang asal berdasarkan PDI-P, wakilnya adalah seseorang tentara. Entah lantaran apa, oleh Wakil Walikota yg dulunya direkrut berdasarkan Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia di DPRD, tidak mempunyai kiprah pada penyelenggaraan pemerintahan. Dia wajib putar otak agar eksistensinya diketahui publik, meskipun beliau toh nir terlalu ambisius buat berebut kiprah publik menggunakan sang Walikota. 

Yang menarik buat diceritakan adalah peran Sekretaris Daerah (Sekda). Kita memahami, siapapun orangnya yang berhasil menduduki jabatan ini adalah birokrat senior, yg telah poly makan asam garamnya pemerintahan. Dia tahu betul bahwa LSM adalah wadah partisipasi publik yang terkenal serta gampang diekspose serta memiliki saluran prosedural pada proses pembuatan berbagai kebijakan publik. Dia pula memahami bahwa seorang pejabat birokrasi bisa saja memiliki “sayap organisasi” ekstra-birokrasi buat memciptakan image partisipatif. Cara buat membentuk image partisipatif merupakan dengan memberi dukungan, jikalau bukan “membentuk” LSM. Orang biasa menyebut yg organisasi ini menjadi LSM plat merah. Setidaknya, sang Sekda menyadari betul pentingnya membangun aliansi menggunakan komunitas LSM buat menyediakan saluran partisipasi publik, dan berdasarkan kedekatannya dengan LSM tadi dia sanggup menangkap aspirasi serta merespon aspirasi secara akurat.

Ketika diamati lebih jauh, siasat oleh Sekda buat “membangun LSM plat merah” atau menjalin aliansi menggunakan komunitas LSM ini, sebetulnya tidak seratus persen demi pengembangan partisipasi itu sendiri. Dia melakukan itu demi memudahkan beliau bekerja. Apa persoalannya ? Dukungan politik oleh Walikota berdasarkan DPRD ternyata sangat lemah. Apapun langkah yang ditempuh sang Walokota, sanggup saja dipersoalkan atau dimentahkan oleh DPRD. Hal ini gampang kita fahami. Kewenangan DPRD dihadapan Walikota, sebagaimana digariskan UU 22 tahun 1999, memang sangat akbar. Ketika kewenangan yang sangat besar ini dipegang oleh orang-orang yang menyembunyikan kepentingan-kepentingan terselubung yg nir terkontrol sang siapapun, maka penyalahgunaan kewenangan ini kentara merajalela. Hal ini tentunya menyulitkan jajaran eksekutif (Walikota menggunakan dibantu Sekda) buat bekerja menggunakan baik, meski hal ini berada dalam lingkup kewenanangannya. Dalam situasi seperti ini, LSM sebagai tunggangan politik strategis buat memotong intervensi DPRD yg nir proporsional. Eksekutif berusaha menjadikan LSM menjadi semacam forum tandingan yg menjalankan fungsi penyerapan aspirasi rakyat.

Dalam rangka mendiskreditkan DPRD, fihak eksekutif menghusung jargon perencanaan pembangunan yang partisipatif. Proses perencanaan pembangunan, yang nantinya dimuat dalam Perda APBD (dus ditetapkan melalui sidang DPRD), dilakukan menggunakan menghidupkan pulang mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up rencana). Secara bertingkat, publik dilibatkan pada proses perencanaan tahunan. Untuk mengelola proses perencanaan menurut bawah ini, komunitas LSM yang mempunyai kedekatan menggunakan Sekda ini memegang peranan penting.

Apa implikasi menurut dijalankannya skenario tadi pada atas. DPRD kehilangan legitimasi buat mempersoalkan usulan-usulan yang sudah dirumuskan melalui prosedur bottom up yg jelas melelahkan itu. Lembaga perwakilan warga justru ketiggalan satu langkah dalam mengelola partisipasi warga pada perencanaan pembangunan. Persoalannya bukan hanya eksekutiflah yang menerima kredit, melainkan pula peluang DPRD buat neko-neko semakin sempit. Butir pelajaran penting yg relevan buat disampaikan disini adalah bahwa pengembangan partisipasi publik nir harus didekati secara teknokratik, dimana para pakar dan aktivis merancang sejumlah rumusan normatif buat diberlakukan. Tidak sporadis, para pakar serta aktivis hanya mampu gigit jari saat yg sebetulnya berlangsung menggerakkan perubahan kearah yg partisipatif bukanlah jerih payah aktor belaka, tetapi juga konstelasi politik setempat.

Kelima, prosedur kebijakan partisipatif bisa sia-sia dirumuskan serta disediakan kalau aktor-aktor yg berada dalam domain rakyat nir peduli. Percuma prosedur kebijakan publik yang partisipatif di-perda-kan jika rakyat tidak percaya bahwa para aktor yang duduk di kursi pengambilan keputusan akan bekerja sesuai menggunakan prosedur tersebut. Percuma mekanisme kebijakan dikutak-katik kalau masyarkat masih melihat meyakini bahwa prosedur tadi hanyalah kedok buat mengesahkan kepentingan busuk para pejabat negara. Perlu disadari bahwa mampu mengambil peran (berpartisipasi) dalam prosedur yg dirancang, masyarakat perlu mengacu dalam kapital sosial mereka sendiri. Mekanisme yang baik adalah prosedur yg bisa menampung dan memberi ruang bagi eksploitasi modal sosial tersebut. Dengan kata lain, mekanisme resmi yang diciptakan dituntut buat klop benar dengan caranya rakyat mengelola aksi kolektif mereka. Ilustrasi mengenai hal ini mampu kita petik dari pengamatan di Kalibawang Kulonprogo yang disajikan pada Lampiran 1. Keberhasilan pengembangan partisipasi dalam penyelenggaraan acara pada sana sangat dipengaruhi sang keberhasilan mendayagunakan prinsip tanggung renteng yang mereka rancang sinkron menggunakan kesepakatan pada komunitasnya. Dalam hal ini, tanggung renteng merupakan modal sosial yang wajib diperhitungkan serta diberi ruang gerak pada mekanisme penyelenggaraan acara. Justru dengan cara itu program sanggup sukses dan partisipasi masyarakat sanggup menguat.

Keenam, pertanyaan utama yang wajib dijawab pada pembahasan ini adalah mekanisme misalnya apa yang diharapkan agar proses penyelenggaraan kebijakan publik di pada pemerintahan lokal (Kabupaten/Kota) memenuhi salah satu baku good governance: partisipatif. Dalam rangka menunjuk kesana, yuk kita cermati fragmen yang diambil dari suatu pelatihan mengenai partisipasi.

Dihadapan sebuah lembaga pembinaan yang diikuti oleh para ketua BPD (Badan Perwakilan Desa) serta Kepala Desa, seseorang instruktur mengajukan pertanyaan kepada pada peserta training: 
“Milik Siapakah dana APBD ?” 
Sejumlah peserta menjawab seru: “masyarakat !”. 
Kemudian sang instruktur bertanya lebih lanjut: “Apakah anda merupakan rakyat di wilayah ini ?”. 
Jawaban audiens lebih kali ini lebih serempak kali ini: “Ya ...!”.
Mendengar sambutan yang lebih antusias sang pelatih bertanya lebih bersemangat: “Apakah anda pernah ditanya, buat membiayai apa dana tersebut?”
Para peserta menjawab dengan lantang: “Tidak !” 

Kalau anda mengikuti pembinaan tersebut, anda tentu bisa menebak ke arah mana sang pelatih menggiring pembicaraan. Sang pelatih ingin menyebarkan kesadaran bahwa rakyatlah yang secara formal memiliki uang dana APBD, memiliki uang yang tersimpan pada Kas Daerah. Dalam realitanya tidak mereka tidak pernah ditanya buat apa uang yg ada di Kas Daerah dialokasikan. Para peserta pembinaan merasa tercerahkan sang pancingan oleh instruktur, tetapi ada poly problem berjejal dalam benak mereka mencari-cari jawaban. Dalam training tadi, ketika yang disediakan panitia poly terserap buat membicarakan tentang bagaimana caranya eksponen kunci pemerintahan desa (BPD dan Kepala Desa). Ada poly tuntutan yg mereka ajukan, serta itu ada sekian banyak mekanisme secara normatif perlu diubah. Untuk betul-benar membentuk prosedur yg memungkinkan partisipasi publik teraktualisasikan, para penentu format kebijakan publik berhadapan dengan poly persoalan. Untuk itu perlu ditinjau beberapa hal berikut ini:
  • Bagaimana prosedur yang terdapat. Kita perlu melakukan telaah kritis terhadap apa yg telah terbakukan selama ini.
  • Bagaimana seharusnya prosedur tadi agar bersifat partisipatif. Dalam rangka ini perlu dilihat model-contoh yg tersedia dalam literatur buat membimbing pencarian/perumusan prosedur yg kita kehendaki.
  • Bagaimana caranya agar mekanisme yang ada sinkron dengan. Kita perlu berpegang dalam sejumlah prinsip buat mengembangkan prosedur pembuatan kebijakan publik yang partisipatif. 
Ketiga hal ini akan dibahas secara berurutan berikut adalah.
Mekanisme Kebijakan Yang Sedang Berlaku: 
Mekanisme pembuatan kebijakan publik yg berlaku di pada penyelenggaraan pemerintahan wilayah ketika ini, menurut irit penulis, tidak jauh tidak sama dengan yang telah dibakukan oleh pemerintah Orde Baru. Tidak bisa diingkari bahwa, semenjak diberlakukannya UU 22 tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah di sana sini sudah terjadi pencairan pola standar Orde Baru. Munculnya aktor-aktor baru penentu kebijakan publik tingkat lokal pada saat mana dirinya mempunyai kewenangan sangat luas, sudah membuka peluang buat mencairkan pola baku mekanisme pembuatan kebijakan publik. Masing-masing wilayah memiliki caranya sendiri pada memodifikasi pola tadi, serta diantara mereka sebetulnya saling belajar bagaimana menyebarkan proses kebijakan yg lebih partisipatif. Sungguhpun demikian, terdapat beberapa catatan penting.

Pertama, perubahan-perubahan tersebut di atas ebih terlihat dalam bentuk penemuan atau terobosan dalam level perorangan. Artinya, bila nantinya yang posisi penentu kebijakan ini pindah ke tangan pejabat lain (baik pada eksekutif juga legislatif) nir terdapat jaminan inovasi ini akan dilanjutkan akan terbakukan menjadi kesepakatan yg terlembaga. Mengapa demikian ! Acuan dasar (yuridis formal) yang terdapat juga acum teoritisnya nir poly bergeser. Hal ini akan dielaborasi dalam point-point berikut ini.

Kedua, secara teoritis maupun empiris kebijakan publik selama ini dibayangkan menjadi proses internal organisasi pemerintahan (pada lingkup eksekutif serta legislatif). Masih bercokolnya bayangan ini sebetulnya adalah tanda masih hidupnya mekanisme pada masa lalu. Lebih berdasarkan itu, penentuan kebijakan tidak jarang difahami menjadi penggunaan hak spesifik berdasarkan seorang pejabat penyelenggara kekuasaan negara, bukan amanat masyarakat yg harus ditunaikan. Di sana-sini ada pula tanda-tanda para pejabat memberitahuakn inisiatifnya buat melibatkan eksponen LSM, sebagai pertanda terbukanya pintu partisipasi. Tetapi kalau kita lacak lebih dalam, pelibatan itu nir jarang disertai menggunakan kalkulasi taktis tersendiri. Partisipasi diberikan tidak demi partisipasi itu sendiri, tetapi demi kesuksesan rencana-rencana pejabat. Menyadari bahwa LSM merupakan potensi produsen keributan prosedur kebijakan, mereka dilibatkan supaya tidak ribut. Jelasnya, partisipasi diberikan menjadi bentuk penjinakan gerakan.

Ketiga, ketentuan perundang-undangan yg terkait dengan pembuatan kebijakan publik memang sudah mengalami perubahan mendasar. Namun perlu diingat perubahan ini lebih pada bentuk perpindahan locus pembuatan kebijakan publik menurut model yang executive heavy ke legislative heavy. Pergeseran terjadi pada domain negara, bukan ke domain masyarakat. Pertanyaannya sekarang, bagaimana keleluasaan badan legislatif yang begitu besar pada penentuan kebijakan publik ini bisa kondusif bagi pengembangan partisipasi. Dari segi aktor yg duduk pada dalam forum legislatif ini, tidak relatif bukti buat mengungkapkan bahwa dominan berdasarkan mereka adalah orang-orang yang kompeten dan memiliki komitmen besar dalam pengembangan partisipasi publik. Partai-parti politik, yang secara resmi adalah pemasok aktor pembuat kebijakan publik, nir secara khusus disiapkan buat menjadi orang yang mempunyai kompetensi serta komitmen buat itu. Parti lebih terlihat wajahnya sebagai kepanjangan tangan elit-elit politik yg berebut dukungan berdasarkan dalam menjadi mesin penyerap, penampung, dan pengelola aspirasi publik. Di era berlakunya model executive heavy Golkar memposisikan diri sebagai kaki tangan eksekutif pada badan legislatif. Di era legislative heavy ini nir cukup bukti buat mengungkapkan bahwa partai-partai politik adalah kaki tangan warga dalam mewadahi partisipasinya pada penentuan kebijakan publik. Jelasnya, pada mekanisme yang lama maupun yang baru sama-sama tidak memberi jaminan bagi masyarakat buat secara riel berpartisipasi.

Keempat, karena gelisah dengan sempitnya agunan riel bahwa masyarakat mampu berpartisipasi dalam penentuan isi kebijakan publik, sejumlah LSM lokal mengagendakan pembuatan Peraturan Daerah yang di dalamnya memberikan agunan serta saluran bagi partisipasi warga . Mereka memotoring proses agenda setting pada wilayah masing-masing, agar mulai berlangsung proses legislasi buat menelorkan Peraturan Daerah tersebut. Dalam rangka kondisioning serta sekaligus rencana setting ini mereka melakukan pendekatan terhadap figur-figur kunci yang nantinya memilih proses legislasi. Terhadap jajaran eksekutif, mereka mendekati Kepala Bagian Pemerintahan Desa. Mereka juga mendekati tokoh-tokoh strategis di DPRD. Dalam kalkulasi mereka, rakyat desalah yg selama ini mempunyai akses terbatas dalam pengambilan keputusan pada taraf kabupaten. Untuk mengedepankan kuatnya tuntutan agunan partisipasi para eksponen tingkat desa ini mereka memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga komunikasi BPD, baik pada level kecamatan maupun Kabupaten. (Di beberapa wilayah bahkan sudah berkembang forum komunikasi BPD dalam level propinsi). Di Yogyakarta, gagasan untuk membuat Peraturan Daerah agunan partisipasi digagas sebagai bagian menurut rencana pembaruan desa, yang diusung oleh sejumlah LSM. Pemikiran mengenai jaminan partisipasi ini kentara berkait menggunakan keperluan akan adanya kejelasan mengenai wewenang desa dan perimbangan keuangan pemerintah kabupaten menggunakan pemerintah desa. Sejauh ini belum terdapat perda yang berhasil ditelorkan pada rangka itu. Sejumlah pejabat kunci di taraf lokal yang sempat didekati kalangan LSM dalam prinsipnya nir menyatakan keberatan bagi pengembangan partisipasi. Hanya saja mereka tetap wanti-wanti bahwa dirinya (DPRD-lah) yang memegang otoritas akhir pada perumusan kebijakan.

Karena hal-hal tersebut di atas, Pelembagaan proses kebijakan publik yang partisipatif, saat ini masing saja bercokol dalam statusnya menjadi agenda kebijakan itu sendiri, meskipun aspirasi ke arah itu sudah lama disuarakan. Sebagaimana yg terjadi di masa lalu, mereka yang berada diliur lingkaran penentu kebijakanlah yang mendorong diagendakan pembakuan proses kebijakan yg partisipatif. Meskipun tidak sepenuhnya sempurna, penyelenggaraan acara workshop yang dimotori eksponen-eksponen non-penentu kebijakan merupakan konfirmasi terhadap sinyalemen tersebut pada atas.

Model Kebijakan Partisipatif
Dalam bab ini ingin dikemukakan kerangka teoritik yg tersedia pada literatur kebijakan publik, yg nantinya dibutuhkan bisa memberi ilham dalam perumusan prosedur kebijakan publik yg partisipatif. Sebelum hingga disitu perlu disampaikan secara lebih eksplisit bahwa selama ini kebijakan publik pada wilayah (juga di tingkat nasional) mengacu dalam model, yang penulis juluki dengan sebutan model ‘kebijakan menjadi keputusan otoritatif negara’. Pokok gagasan ini telah tersampaikan secara tersirat pada assessment kritis yang disampaikan pada atas, dan nir terdapat gunanya dielaborasi lagi.

Dalam literatur kebijakan publik penulis mengidentifikasi adanya dua contoh kebijakan yg kiranya konstruktif buat mengkerangkai pemikiran tentang mekanisme pembuatan kebijakan publik: yakni contoh ‘kebijakan sebagai usaha kepentingan masyrakat’ dan contoh ‘kebijakan sebagai proses social marketing’. Keduanya akan dipaparkan menjadi berikut. 

Kebijakan sebagai perjuangan kepentingan masyrakat.
Kalau kita nir berfikir birokratis-yuridis semata, maka proses kebijakan publik nir wajib mengandalkan kiprah aktif pejabat negara. Ini nir berarti bahwa negara dikesampingkan dalam proses kebijakan. Bahwa dalam negara terdapat aktor-aktor yg telibat pada proses penentuan isi kebijakan, itu tidak dibantah. Hanya saja, titik strategis yang diutamakan pada memahami proses kebijakan adalah proses politik, bukan proses birokratis. Proses politik yg dimaksudkan merupakan proses politik yang digerakkan oleh partisipasi politik rakyat dalam pengambilan kebijakan publik. 

Proses kebijakan, menurut kacamata promotor gagasan ini (misalnya teori sistem), dicermati sebagai proses tuntut-menutut serta dukung-mendukung gagasan kebijakan yg harus difikirkan oleh pejabat pemerintah. Dalam konteks ini, kiprah pengambil kebijakan keputusan dibayangkan hanya sebatas merespon tuntutan dan dukungan yg disampaikan sang rakyat. Dalam proses ini institusi-institusi politik yg terdapat sudah menyediakan arena buat mengagregasikan aneka macam kepentingan yang terdapat pada warga . Penentuan daftar skala prioritas, tawar-menawar antara aneka macam fihak yg terkait mampu dilakukan secara berdikari sang rakyat dengan mengacu dalam aturan main serta mekanisme yang ada. 

Adanya kapasitas kelembagaan inilah yang memungkinkan aneka macam benturan berbagai kepentingan warga bisa diatasi. Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya menghormati mekanisme-mekanisme yang sudah ada buat memungkinkan proses kebijakan publik sanggup berlangsung dan tentang target. Dalam situasi yang demikian ini maka mereka yang nir sepakat dengan isi kebijakan akan bersedia mematuhi keputusan kebijakan. Ini berarti berjalannya kebijakan nir lagi wajib mengandalkan legalitas keputusan pemerintah, melainkan justru legitimasi proses pengambilan kebijakan. Kalau dalam contoh yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa pengambilan kebijakan bersifat pro-aktif yg didominasi pejabat negara ujung-ujungnya mengandalkan legalitas perundang-undangan, dalam contoh ini diasumsikan bahwa peran pro-aktif warga dan tegaknya lembaga-forum kemasyarakatan (termasuk hukum) berakibat pengambil kebijakan tidak haus legalitas. Dalam nuansa ini, kebijakan disadari betul nir identik menggunakan produk legislasi. Kebijakan tidak wajib dituangkan pada peraturan perundang-undangan.

Bahwa kebijakan akan merugikan fihak-fihak eksklusif serta menguntungkan fihak-fihak lain, dari kacamata society centric ini dipercaya nir bermasalah. Keputusan pemerintah yang tidak memuaskan akan menggerakkan fihak yg nir puas ini buat memperjuangkan kepentingannya. Dengan demikian maka proses kebijakan akan terus-memerus mengalir dalam bentuk tuntutan/dukungan warga yg senantiasa direspon secara mekanistik poleh pejabat para negara.

Kebijakan sebagai proses social marketing.
Kedua cara penyederhanaan tentang proses kebijakan tadi pada atas sama-sama wajar. Penyederhanaan cara memahami proses kebijakan ini sanggup dianggap sebagai contoh proses kebijakan. Jelasnya, menurut pembahasan tersebut di atas implisit adanya dua model dasar (menyederhanaan cara memahami) proses kebijakan. 

Model yg pertama mengandaikan ekspresi keputusan otoritatif para pejabat negara bisa dilakukan menggunakan mengandalkan kekuatan negara (dalam hal ini kapasitas fragmental birokrasi pemerintah), sedangkan contoh yang satunya lagi justru mengandaikan kuatnya basis institusional masyarakat untuk mewadahi partisipasi politiknya. Model yg pertama menggunakan gampang dipraktekkan di negara yg pemerintahnya lebih banyak didominasi atau kapasitas kelembagaan politik masyarakatnya lemah. Mengingat model ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang sang para pejabat negara maka advokasi kebijakan sebagai suatu keniscayaan. 

Model yang ke 2 sebetulnya disarikan menurut pengalaman negara-negara industri maju yang sudah usang mengembangkan liberalisme menjadi pilar pemerintahannya. Kesadaran akan hak-hak politik masyarakat sudah menjadi sandaran bagi tegaknya hukum, dan proses kebijakan memang sanggup disederhanakan menjadi proses merespon tuntutan dan dukungan rakyat. Kalau model ini mau dijadikan basis (acuan simpel) buat pengelolaan proses kebijakan, maka prasyarat-prasyarat bagiberjalannya model ini harus dipenuhi. Prasyarat tadi merupakan bahwa proses kebijakan berlangsung menggunakan dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai. Proses artikulasi serta agregasi kepentingan, misalnya, dijalankan oleh partai-partai politik. Artinya, contoh kedua mensyaratkan kuatnya basis politik kepartaian. Prasyarat semacam ini sepertinya tidak dengan gampang mampu dipenuhi sang masyarakat Indonesia waktu ini. Ini jua berarti bahwa, kiprah aktif serta pro-aktif pemerintah, memang nir sanggup dihindarkan. Sehubungan menggunakan hal itu, maka contoh pertama bisa dijadikan acuan dengan sejumlah modofikasi.

Alternatif model yang mengkombinasikan ke 2 contoh tadi di atas ditawarkan oleh J.A. Altman. Dia menyebutnya sebagai contoh social marketing, dimana pejabat negara dituntut untuk aktif dalam proses kebijakan, namun keaktifan tadi nir menghilangkan mereduksi arti penting kesepakatan (consent) dari masyarakat. Gagasan Altman ini tersaji pada grafik di bawah ini. Ada sejumlah butir gagasan yg penting buat dicatat berdasarkan tawaran Altman ini.

Pertama, berlangsungnya proses kebijakan yg memenuhi kedua tuntutan tadi di atas, mensyaratkan agar, baik pejabat negara juga warga , menjalani pendidikan kebijakan. Tentu saja materi pendidikan bagi pejabat negara berbeda dengan materi pendidikan bagi rakyat. Point tersembunyi yang perlu diungkapkan adalah bahwa adanya kesediaan bagi pejabat negara mapun warga buat saling belajar (membuka mata serta indera pendengaran) merupakan kunci bagi kelancaran proses kebijakan. 

Kedua, kebijakan dalam dasarnya bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka, tetapi jua proses belajar. Poin ini penting buat kedepankan lantaran metatapun tenaga pakar sudah bekerja sekuat tenaga untuk kesuksesan kebijakan, nuansa trial and error dalam proses kebijakan tidak akan hilang. Kebijakan publik merupakan proses eksperimentasi nasib sejumlah orang, kalau bukan nasib komunitas secara holistik. Oleh karena itu, redisain kebijakan adalah elemen krusial. Sejalan menggunakan kerangka berfikir tadi pada atas, public hearing adalah proses kunci bagi kelangsungan proses kebijakan. Ketiga, setiap fase pengelolaan kebijakan, partisipasi warga senantisas terbuka.

Model cara lain tadi pada atas sangat mengedepankan arti penting belajar dan mufakat. Dalam realitas, kebijakan justru tidak bisa mengatasi kasus yg diagendakan karena perseteruan yg berkecamuk. Sehubungan menggunakan hal itu, kebijakan bisa disederhakan sebagai proses pengelolaan perseteruan antara banyak sekali fihak yg saling menggalang kekuatan buat memperjuangkan kepentingannya. Paul A. Sabatier memperlihatkan model koalisi-advokasi buat memahami proses kebijakan. 

Dalam contoh ini dibayangkan proses kebijakan melibatkan komunitas kebijakan yg heterogen yang tergalang pada sejumlah koalisi buat memenangkan gagasan kebijakan. Koalisi ini sifatnya lintas batas negara-masyarakat. Yang mempersatukan para stake-holders dalam suatu koalisi merupakan kecenderungan kepentingan atau keberpihakan terhadapan suatu gagasan kebijakan. Ini adalah, sangat boleh jadi terdapat pejabat negara yang justru ambil bagian adalam advokasi kebijakan yg dimotori sang kekuatan-kekuatan masyarakat. Sebaliknya, pada ranah masyarakat kita menemukan adanya “kaki-tangan” negara yg melangsungkan proses buat mengamankan kebijakan pemerintah. Sehubungan menggunakan hal ini, Sabatier sefaham menggunakan Altman bahwa proses learning (membuka mata serta indera pendengaran) merupakan proses penting untuk mensukseskan kebijakan.

Prinsip-prinsip Pengembangan Mekanisme Kebijakan Partisipatif
Sebagai epilog, perlu kiranya disarikan sejumlah prinsip yg perlu disefahami oleh para fihak yang berkehendak buat ikut ambil bagian pada pengembangan prosedur pembuatan kebijakan publik. Sejauh mungkin penulis akan mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut seoperasional mungkin sebagai akibatnya sanggup menjadi acum mudah dalam workshop ini.

Pertama, prinsip mekanisasi. Perumusan (tepatnya perumusan ulang) mekanisme kebijakan partisipatif merupakan duduk perkara merumuskan hubungan mekanis antar berbagai fihak dalam proses kebijakan. Hubungan mekanis ini memungkinkan proses kebijakan bergulir mengingat aksi seorang aktor atau suatu agensi/forum/organisasi akan direaksi sang fihak yang lain. Ini berarti bahwa:
  • Yang perlu dirumuskan dalam mekanisme bukan hanya kausalitas normatif (entah mengikuti kebiasaan demokrasi, norma rakyat lokal atau norma apa) namun juga kausalitas aksi-reaksi. Sebagaimana dicontohkan pada atas, proses kebijakan partisipatif tidak bergulir manaka prosedur baru yang dirumuskan dalam UU/Peraturan Daerah tidak diyakini rakyat akan sanggup diterapkan. Kalau mereka tetap saja apatis terhadap mekanisme yang ada maka penguasaan pejabat pada proses kebijakan tetap berlangsung, dan agenda pengembangan partisipasi akan kandas.
  • Mekanisme tidak cukup difahami secara tatanan prosedural, tetapi juga perangkat antisipasi dinamika sosial. Tidak adanya mekanisme yg jelas menyebabkan proses kebijakan sarat dengan konflik dan kekerasan. Dengan adanya prosedur yg standar serta disefahami para pelaku, maka masing-masing yang terlibat pada proses kebijakan sanggup mengadu siasat, tetapi pada akhirnya dia harus tunduk dalam apapun yg dicapai pada mekanisme tadi. Sebaliknya, kesalahan masa lalu yang melebih-lebihkan asti penting mekanisme sampai-sampai prosedur tadi berubah sekedar sebagai formalitas, perlu dihindari.
  • Pengembangan partisipasi wajib menjangkau aspek supply (peluang buat berpartisipasi) juga aspek demand (gerakan sosial-politik buat ikut menghipnotis keputusan kebijakan pemerintah). Hal ini hanya bisa ditegakkan kalau: (1) pemerintah maupun rakyat mampu menegakkan anggaran main. Mekanisme itu sendiri dalam dasarnya adalah anggaran main (2) modal sosial yg ada selama ini ikut didayagunakan
Kedua, prinsip pengelolaan perubahan sosial. Dalam hal ini ada dua duduk perkara:
  • Apakah kita mulai dari level mikro (aktor) buat mengubagh prosedur, ataukan kebalikannya, sejumlah perubahan makro ditempuh duluan buat memungkinkan peran dalam level mikro bisa berlangsung mulus. Sebagai mana telah dikemukakan, pengembangan prosedur pada goresan pena ini didudukkan sekedar menjadi salah satu pilar pengembangan proses kebijakan yang partisipatif. Mekanisme ini mampu dilahirkan oleh perjuangan aktor-aktor multi fihak yang kemudian putusan bulat buat membakukan rumusan dan membiasakan diri buat mematuhinya. Hal yg sebaliknya pula bisa terjadi. Berbagai perombakan makro struktural dilakukan yg pada gilirannya berbuntut memfasilitasi perubahan-perubahan mikro. Sehubungan menggunakan persoalan ini maka: (1) pengembangan mekanisme tidak relatif diserahkan pada perumusan ketentuan yuridis, (dua) jaminan yuridis/administratif yang diperoleh wajib dikawal dengan aksi-aksi dan sejumlah “rekayasa” dalam rangka pembiasaan terhadap prosedur baru, (tiga) Aktor-aktor yg menduduki posisi struktural dalam tubuh negara juga dalam rakyat perlu didorong buat mendayagunakan posisi struktural tersebut buat pembudayaan mekanisme baru.
  • Persoalan yg ke 2 adalah bagaimana inovasi awal mampu menggelinding laksana bola salju. Untuk itu advokasi lintas fihak yg telah tergalang perlu bentuk dan kemudia didayagunakan. Komunikasi lintas fihak, katakanlah antara aktor pada tubuh negara menggunakan aktor dalam masyarakat, sanggup membuat sinergi yg, kalau dikelola dengan baik, bisa menjamin sustainabilitas.