MEMBANGUN MEKANISME PEMBUATAN KEBIJAKAN DAERAH YANG PARTISIPATIF
Membangun Mekanisme Pembuatan Kebijakan Daerah Yang Partisipatif
Tidaklah gampang, secara akademik, kita menghakimi apakah suatu sistem pemerintahan daerah sudah mengelola proses kebijakan secara partisipatif atau nir. Betapapun hebatnya seorang pengamat, gampang sekali beliau terpeleset pada menaruh evaluasi mengenai kualitas partisipasi pada proses kebijakan jikalau beliau tidak memiliki perangkat buat mengukur serta memahami proses kebijakan itu sendiri menggunakan baik. Tulisan ini disajikan menjadi ikhtiar buat mengeliminir galat ukur serta keliru faham tentang kualitas partisipasi dalam proses kebijakan.
Sebelum masuk dalam pembicaraan utama tadi di atas, ada 2 hal sepele yg berimplikasi fatal kalau nir penulis kemukakan terlebih dahulu. Hal sepele itu yg pertama adalah makna partisipasi. Yang kedya, pembedaan secara kritis ‘mekanisme kebijakan’ menggunakan ‘proses kebijakan’. Keduanya dikemukakan secara berurutan berikut adalah.
Kita seluruh memahami, ‘partisipasi’ selama ini diterjemahkan menjadi ‘kiprah serta’ atau ‘keikutsertaan’. Konotasinya paling terkenal, partisipasi merupakan keikutsertaan buat mengungkapkan rencana yg telah dipatok oleh pemerintah. Secara politis, partisipasi perlu dimaknai sebagai keikutsertaan untuk ikut ambil bagian, pada kapasitasnya menjadi warga negara. Jelasnya, keikutsertaan yg dilakukan bukan hanya dalam mengiyakan ataupun menolak proposak lebijakan pemerintah, namun juga mengusulkan adanya kebijakan eksklusif jikalau hal itu memang dibutuhkan, sekalipun belum disiapkan sang pemerintah. Sehubungan dengan hal itu, perlu ditegaskan bahwa dalam tulisan ini, kata partisipasi tidak harus dikaitkan menggunakan keikutsertaan tehadap agenda pemerintah. Sebagaimana diperlihatkan pada masalah dua justru eksponen masyarakatlah yang justru perlu pro-aktif dalam berpartisipasi. Partisipasi merupakan hak politik yang sebetulnya sudah dijamin pada aneka macam ketentuan perundang-undangan, namun agunan itu nir pernah dirumuskan secara operasional. Sehubungan menggunakan hal itu, maka partisipasi justru harus dituntut, serta komunitas yang terlibat pada gerakan pembaruan politik di negeri ini menuntutnya dalam bentuk jaminan pada format yang lebih operasional (tepat guna).
Dalam tulisan ini penulis membicarakan ‘prosedur kebijakan’ menjadi sebagian dari problem pengembangan kualitas proses kebijakan. Yang perlu dikembangkan agar kualitias partisipasinya lebih baik bukan hanya mekanismenya, melainkan juga prosesnya secara holistik. Adanya mekanisme yg partisipatif tidak menggunakan sendirinya membuat proses yg partisipatif jika etos atau elan kerja yg partisipatif. Mekanisme kebijakan memungkinkan adanya keteraturan proses kebijakan, tetapi kalau terlalu fanatik menggunakan mekanisme, greget partisipasi yg ingin dikembangkan justru bisa sirna.
‘Mekanisme’ dan ‘Proses’ Kebijakan
Dalam rangka mengelaborasi disparitas serta kaitan antara ‘prosedur’ serta ‘proses’ kebijakan publik ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Mereka itu adalah sebagai berikut.
Pertama, penulis membedakan penggunaan istilah ‘prosedur’ pembuatan kebijakan menggunakan ‘proses’ pembuatan kebijakan. Dalam pemahaman penulis, kata ‘proses’ kebijakan memiliki cakupan lebih dari sekedar ‘mekanisme’. Proses kebijakan mempunyai poly perbedaan makna/dimensi, serta keliru satu dimensinya adalah dimensi mekanis. Mekanisme kebijakan dibuat sedemikian rupa proses kebijakan sedikit poly mempunyai standar prosesdural yang jelas. Adanya mekanisme kebijakan memungkinkan proses kebijakan sanggup diterka, dan fihak-fihak yang berpartisipasi bisa merumuskan kiprah yg sempurna pada proses tadi. Adanya prosedur kebijakan memungkinkan proses kebijakan mempunyai keteraturan, serta menggunakan demikian proses kebijakan sanggup dikelola (manageable). Artinya, siapa saja yang terlibat, tata urutan pada proses, serta berada akbar serta menurut mana sumber pendanaan buat kelangsungan proses kebijakan mampu dirumuskan. Dari kejelasan prosedur ini pada administrator mampu berhitung, berapa dana yg diharapkan buat meng-goal-kan suatu Undang-undang atau Peraturan Daerah.
Kedua, tanpa bermaksud sedikitpun buat mengurangi arti penting mekanisme kebijakan, penulis ingin tekankan betapa pentingnya kita nir mereduksi proses kebijakan sekedar menjadi problem mekanisme. Proses kebijakan nir semestinya direduksi sekedar menjadi problem merumusan mekanisme, meskipun sejak jaman dulu kita mempunyai masalah prosedur kebijakan ini. Point yg sebetulnya lebih penting berdasarkan itu merupakan bahwa pemikiran dan pemahaman kita mengenai kebijakan publik selama ini terlampau mekanistis, dan dengan demikian justru menutup peluang untuk membuka kesempatan buat mengembangkan proses kebijakan yg partisipatif. Sebagai contoh, proses kebijakan secara mekanistis dipilahkan kedalam serangkaian tahapan: ‘rencana setting’, ‘formulasi kebijakan’ yang diikuti menggunakan ‘penentuan opsi kebijakan’, ‘pengesahan statemen kebijakan’ dan seterusnya ‘implementasi’ berikut monitoring dan penilaian. Kesekuruhan rangkaian ini dibayangkan adalah suatu siklus yg utuh. Artinya, jikalau suatu prosedur sudah berlangsung, maka keseluruhan siklus tadi harus ditempuh. Dalam kerangka fikir mekanistis ini, suatu keputusan kebijakan wajib diimplementasikan, betapapun jahatnya isi kebijakan itu dimata masyarakat. Ketika para pejabat diharuskan buat memastikan supaya kebijakan yg dievaluasi dursila oleh rakyat ini, mereka menciptakan istilah buat memperhalus perannya: ‘mengamankan kebijakan’ bukan ‘memaksakan kebijakan’. Bayangkan apa yang terjadi bila para pengelola proses kebijakan merupakan juga orang-orang yang lantaran dibekali pemahaman yg mekanistik, dalam dasarnya pengaman kebijakan. Singkat kata, kegagalan kita berbagi proses kebijakan yg partisipatif dimasa kemudian, sedikit banyak dikondisikan oleh oversimplifikasi proses kebijakan sebagai prosedur kebijakan. Pejabat publik justru menolak pendapat masyarakat, bahkan membungkus kepentingan busuknya, menggunakan cara melebih-lebihkan arti krusial prosedur yang telah dibakukan.
Ketiga, kalaupun pada lembaga ini kita memfokuskan pembicaraan dalam dilema prosedur kebijakan, perlu didasari betul bahwa suatu mekanisme mempunyai relevansi hanya bila terdapat aktor yang menjalankannya. Artinya, analisis dalam level prosedur harus dibarengi menggunakan analisis dalam level aktor. Mekanisme nir akan berjalan bila aktor yang terkait nir punya komitmen serta kompetensi. Untuk jelasnya, mari kita cermati Matik 1. Mekanisme hanya ada gunanya dikembangkan bila aktor-aktor yang terkait pada proses kebijakan, baik menurut jajaran penyelenggara kekuasaan negara (eksekutif & legislatif) juga eksponen-eksponen rakyat nir memeiliki kompetensi dan komitmen (sel I). Tantangan bagi jalannya suatu mekanisme agak sedikit longgar jika situasi yang kita hadapi merupakan situasi di sel II serta II: Ada kemauan namun nir sanggup, atau kebalikannya, orang-orangnya bisa tetapi nir mau. Untuk Kalau kita berada pada sel II (mampu tapi tidak mau) maka proses kebijakan terseret pada proses politis: menuntut atau memaksa supaya mereka bersedia bekerja secara partisipatif dan membuatkan mekanisme yg partisipatif. Kalau yg kita hadapi adalah situasi pada sel III (mau tetapi nir bisa) maka langkah yg diperlukan adalah menyebarkan kompetensinya. Prospek bagi pengembangan mekanisme kebijakan yg partisipatif akan sangat suram jikalau situasinya merupakan seperti yang pada sel IV: sudahlah tidak memahami beliau nir mau lagi ! Dalam mendefinisikan tantangan pengembangan mekanisme kebijakan publik yang partisipatif, kita perlu tahu situasi para aktor.
Keempat, kita bisa memakai cara pandang yang berseberangan menggunakan yg disampaikan di atas. Pengembangan partisipasi tidak jarang dikondisikan oleh situasi politik setempat. Struktur politik di Kabupaten/Kota yang bersangkutan ikut mengkondisikan apakah partispasi perlu atau tidak perlu dikembangkan. Untuk mampu menangkap argumentasi ini, ayo kita cermati catatan lapangan berikut adalah:
Sebagaimana layaknya pemerintahan Kota/Kabupaten pada negeri ini, yg menjabat menjadi kepala daerah merupakan eksponen partai politik. Begitu pula yang kita temui di sebuah Kota di Jawa Tengah ini. Jabatan Walikota dipegang oleh tokoh yang asal berdasarkan PDI-P, wakilnya adalah seseorang tentara. Entah lantaran apa, oleh Wakil Walikota yg dulunya direkrut berdasarkan Fraksi Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia di DPRD, tidak mempunyai kiprah pada penyelenggaraan pemerintahan. Dia wajib putar otak agar eksistensinya diketahui publik, meskipun beliau toh nir terlalu ambisius buat berebut kiprah publik menggunakan sang Walikota.
Yang menarik buat diceritakan adalah peran Sekretaris Daerah (Sekda). Kita memahami, siapapun orangnya yang berhasil menduduki jabatan ini adalah birokrat senior, yg telah poly makan asam garamnya pemerintahan. Dia tahu betul bahwa LSM adalah wadah partisipasi publik yang terkenal serta gampang diekspose serta memiliki saluran prosedural pada proses pembuatan berbagai kebijakan publik. Dia pula memahami bahwa seorang pejabat birokrasi bisa saja memiliki “sayap organisasi” ekstra-birokrasi buat memciptakan image partisipatif. Cara buat membentuk image partisipatif merupakan dengan memberi dukungan, jikalau bukan “membentuk” LSM. Orang biasa menyebut yg organisasi ini menjadi LSM plat merah. Setidaknya, sang Sekda menyadari betul pentingnya membangun aliansi menggunakan komunitas LSM buat menyediakan saluran partisipasi publik, dan berdasarkan kedekatannya dengan LSM tadi dia sanggup menangkap aspirasi serta merespon aspirasi secara akurat.
Ketika diamati lebih jauh, siasat oleh Sekda buat “membangun LSM plat merah” atau menjalin aliansi menggunakan komunitas LSM ini, sebetulnya tidak seratus persen demi pengembangan partisipasi itu sendiri. Dia melakukan itu demi memudahkan beliau bekerja. Apa persoalannya ? Dukungan politik oleh Walikota berdasarkan DPRD ternyata sangat lemah. Apapun langkah yang ditempuh sang Walokota, sanggup saja dipersoalkan atau dimentahkan oleh DPRD. Hal ini gampang kita fahami. Kewenangan DPRD dihadapan Walikota, sebagaimana digariskan UU 22 tahun 1999, memang sangat akbar. Ketika kewenangan yang sangat besar ini dipegang oleh orang-orang yang menyembunyikan kepentingan-kepentingan terselubung yg nir terkontrol sang siapapun, maka penyalahgunaan kewenangan ini kentara merajalela. Hal ini tentunya menyulitkan jajaran eksekutif (Walikota menggunakan dibantu Sekda) buat bekerja menggunakan baik, meski hal ini berada dalam lingkup kewenanangannya. Dalam situasi seperti ini, LSM sebagai tunggangan politik strategis buat memotong intervensi DPRD yg nir proporsional. Eksekutif berusaha menjadikan LSM menjadi semacam forum tandingan yg menjalankan fungsi penyerapan aspirasi rakyat.
Dalam rangka mendiskreditkan DPRD, fihak eksekutif menghusung jargon perencanaan pembangunan yang partisipatif. Proses perencanaan pembangunan, yang nantinya dimuat dalam Perda APBD (dus ditetapkan melalui sidang DPRD), dilakukan menggunakan menghidupkan pulang mekanisme perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up rencana). Secara bertingkat, publik dilibatkan pada proses perencanaan tahunan. Untuk mengelola proses perencanaan menurut bawah ini, komunitas LSM yang mempunyai kedekatan menggunakan Sekda ini memegang peranan penting.
Apa implikasi menurut dijalankannya skenario tadi pada atas. DPRD kehilangan legitimasi buat mempersoalkan usulan-usulan yang sudah dirumuskan melalui prosedur bottom up yg jelas melelahkan itu. Lembaga perwakilan warga justru ketiggalan satu langkah dalam mengelola partisipasi warga pada perencanaan pembangunan. Persoalannya bukan hanya eksekutiflah yang menerima kredit, melainkan pula peluang DPRD buat neko-neko semakin sempit. Butir pelajaran penting yg relevan buat disampaikan disini adalah bahwa pengembangan partisipasi publik nir harus didekati secara teknokratik, dimana para pakar dan aktivis merancang sejumlah rumusan normatif buat diberlakukan. Tidak sporadis, para pakar serta aktivis hanya mampu gigit jari saat yg sebetulnya berlangsung menggerakkan perubahan kearah yg partisipatif bukanlah jerih payah aktor belaka, tetapi juga konstelasi politik setempat.
Kelima, prosedur kebijakan partisipatif bisa sia-sia dirumuskan serta disediakan kalau aktor-aktor yg berada dalam domain rakyat nir peduli. Percuma prosedur kebijakan publik yang partisipatif di-perda-kan jika rakyat tidak percaya bahwa para aktor yang duduk di kursi pengambilan keputusan akan bekerja sesuai menggunakan prosedur tersebut. Percuma mekanisme kebijakan dikutak-katik kalau masyarkat masih melihat meyakini bahwa prosedur tadi hanyalah kedok buat mengesahkan kepentingan busuk para pejabat negara. Perlu disadari bahwa mampu mengambil peran (berpartisipasi) dalam prosedur yg dirancang, masyarakat perlu mengacu dalam kapital sosial mereka sendiri. Mekanisme yang baik adalah prosedur yg bisa menampung dan memberi ruang bagi eksploitasi modal sosial tersebut. Dengan kata lain, mekanisme resmi yang diciptakan dituntut buat klop benar dengan caranya rakyat mengelola aksi kolektif mereka. Ilustrasi mengenai hal ini mampu kita petik dari pengamatan di Kalibawang Kulonprogo yang disajikan pada Lampiran 1. Keberhasilan pengembangan partisipasi dalam penyelenggaraan acara pada sana sangat dipengaruhi sang keberhasilan mendayagunakan prinsip tanggung renteng yang mereka rancang sinkron menggunakan kesepakatan pada komunitasnya. Dalam hal ini, tanggung renteng merupakan modal sosial yang wajib diperhitungkan serta diberi ruang gerak pada mekanisme penyelenggaraan acara. Justru dengan cara itu program sanggup sukses dan partisipasi masyarakat sanggup menguat.
Keenam, pertanyaan utama yang wajib dijawab pada pembahasan ini adalah mekanisme misalnya apa yang diharapkan agar proses penyelenggaraan kebijakan publik di pada pemerintahan lokal (Kabupaten/Kota) memenuhi salah satu baku good governance: partisipatif. Dalam rangka menunjuk kesana, yuk kita cermati fragmen yang diambil dari suatu pelatihan mengenai partisipasi.
Dihadapan sebuah lembaga pembinaan yang diikuti oleh para ketua BPD (Badan Perwakilan Desa) serta Kepala Desa, seseorang instruktur mengajukan pertanyaan kepada pada peserta training:
“Milik Siapakah dana APBD ?”
Sejumlah peserta menjawab seru: “masyarakat !”.
Kemudian sang instruktur bertanya lebih lanjut: “Apakah anda merupakan rakyat di wilayah ini ?”.
Jawaban audiens lebih kali ini lebih serempak kali ini: “Ya ...!”.
Mendengar sambutan yang lebih antusias sang pelatih bertanya lebih bersemangat: “Apakah anda pernah ditanya, buat membiayai apa dana tersebut?”
Para peserta menjawab dengan lantang: “Tidak !”
Kalau anda mengikuti pembinaan tersebut, anda tentu bisa menebak ke arah mana sang pelatih menggiring pembicaraan. Sang pelatih ingin menyebarkan kesadaran bahwa rakyatlah yang secara formal memiliki uang dana APBD, memiliki uang yang tersimpan pada Kas Daerah. Dalam realitanya tidak mereka tidak pernah ditanya buat apa uang yg ada di Kas Daerah dialokasikan. Para peserta pembinaan merasa tercerahkan sang pancingan oleh instruktur, tetapi ada poly problem berjejal dalam benak mereka mencari-cari jawaban. Dalam training tadi, ketika yang disediakan panitia poly terserap buat membicarakan tentang bagaimana caranya eksponen kunci pemerintahan desa (BPD dan Kepala Desa). Ada poly tuntutan yg mereka ajukan, serta itu ada sekian banyak mekanisme secara normatif perlu diubah. Untuk betul-benar membentuk prosedur yg memungkinkan partisipasi publik teraktualisasikan, para penentu format kebijakan publik berhadapan dengan poly persoalan. Untuk itu perlu ditinjau beberapa hal berikut ini:
- Bagaimana prosedur yang terdapat. Kita perlu melakukan telaah kritis terhadap apa yg telah terbakukan selama ini.
- Bagaimana seharusnya prosedur tadi agar bersifat partisipatif. Dalam rangka ini perlu dilihat model-contoh yg tersedia dalam literatur buat membimbing pencarian/perumusan prosedur yg kita kehendaki.
- Bagaimana caranya agar mekanisme yang ada sinkron dengan. Kita perlu berpegang dalam sejumlah prinsip buat mengembangkan prosedur pembuatan kebijakan publik yang partisipatif.
Ketiga hal ini akan dibahas secara berurutan berikut adalah.
Mekanisme Kebijakan Yang Sedang Berlaku:
Mekanisme pembuatan kebijakan publik yg berlaku di pada penyelenggaraan pemerintahan wilayah ketika ini, menurut irit penulis, tidak jauh tidak sama dengan yang telah dibakukan oleh pemerintah Orde Baru. Tidak bisa diingkari bahwa, semenjak diberlakukannya UU 22 tahun 1999 mengenai pemerintahan daerah di sana sini sudah terjadi pencairan pola standar Orde Baru. Munculnya aktor-aktor baru penentu kebijakan publik tingkat lokal pada saat mana dirinya mempunyai kewenangan sangat luas, sudah membuka peluang buat mencairkan pola baku mekanisme pembuatan kebijakan publik. Masing-masing wilayah memiliki caranya sendiri pada memodifikasi pola tadi, serta diantara mereka sebetulnya saling belajar bagaimana menyebarkan proses kebijakan yg lebih partisipatif. Sungguhpun demikian, terdapat beberapa catatan penting.
Pertama, perubahan-perubahan tersebut di atas ebih terlihat dalam bentuk penemuan atau terobosan dalam level perorangan. Artinya, bila nantinya yang posisi penentu kebijakan ini pindah ke tangan pejabat lain (baik pada eksekutif juga legislatif) nir terdapat jaminan inovasi ini akan dilanjutkan akan terbakukan menjadi kesepakatan yg terlembaga. Mengapa demikian ! Acuan dasar (yuridis formal) yang terdapat juga acum teoritisnya nir poly bergeser. Hal ini akan dielaborasi dalam point-point berikut ini.
Kedua, secara teoritis maupun empiris kebijakan publik selama ini dibayangkan menjadi proses internal organisasi pemerintahan (pada lingkup eksekutif serta legislatif). Masih bercokolnya bayangan ini sebetulnya adalah tanda masih hidupnya mekanisme pada masa lalu. Lebih berdasarkan itu, penentuan kebijakan tidak jarang difahami menjadi penggunaan hak spesifik berdasarkan seorang pejabat penyelenggara kekuasaan negara, bukan amanat masyarakat yg harus ditunaikan. Di sana-sini ada pula tanda-tanda para pejabat memberitahuakn inisiatifnya buat melibatkan eksponen LSM, sebagai pertanda terbukanya pintu partisipasi. Tetapi kalau kita lacak lebih dalam, pelibatan itu nir jarang disertai menggunakan kalkulasi taktis tersendiri. Partisipasi diberikan tidak demi partisipasi itu sendiri, tetapi demi kesuksesan rencana-rencana pejabat. Menyadari bahwa LSM merupakan potensi produsen keributan prosedur kebijakan, mereka dilibatkan supaya tidak ribut. Jelasnya, partisipasi diberikan menjadi bentuk penjinakan gerakan.
Ketiga, ketentuan perundang-undangan yg terkait dengan pembuatan kebijakan publik memang sudah mengalami perubahan mendasar. Namun perlu diingat perubahan ini lebih pada bentuk perpindahan locus pembuatan kebijakan publik menurut model yang executive heavy ke legislative heavy. Pergeseran terjadi pada domain negara, bukan ke domain masyarakat. Pertanyaannya sekarang, bagaimana keleluasaan badan legislatif yang begitu besar pada penentuan kebijakan publik ini bisa kondusif bagi pengembangan partisipasi. Dari segi aktor yg duduk pada dalam forum legislatif ini, tidak relatif bukti buat mengungkapkan bahwa dominan berdasarkan mereka adalah orang-orang yang kompeten dan memiliki komitmen besar dalam pengembangan partisipasi publik. Partai-parti politik, yang secara resmi adalah pemasok aktor pembuat kebijakan publik, nir secara khusus disiapkan buat menjadi orang yang mempunyai kompetensi serta komitmen buat itu. Parti lebih terlihat wajahnya sebagai kepanjangan tangan elit-elit politik yg berebut dukungan berdasarkan dalam menjadi mesin penyerap, penampung, dan pengelola aspirasi publik. Di era berlakunya model executive heavy Golkar memposisikan diri sebagai kaki tangan eksekutif pada badan legislatif. Di era legislative heavy ini nir cukup bukti buat mengungkapkan bahwa partai-partai politik adalah kaki tangan warga dalam mewadahi partisipasinya pada penentuan kebijakan publik. Jelasnya, pada mekanisme yang lama maupun yang baru sama-sama tidak memberi jaminan bagi masyarakat buat secara riel berpartisipasi.
Keempat, karena gelisah dengan sempitnya agunan riel bahwa masyarakat mampu berpartisipasi dalam penentuan isi kebijakan publik, sejumlah LSM lokal mengagendakan pembuatan Peraturan Daerah yang di dalamnya memberikan agunan serta saluran bagi partisipasi warga . Mereka memotoring proses agenda setting pada wilayah masing-masing, agar mulai berlangsung proses legislasi buat menelorkan Peraturan Daerah tersebut. Dalam rangka kondisioning serta sekaligus rencana setting ini mereka melakukan pendekatan terhadap figur-figur kunci yang nantinya memilih proses legislasi. Terhadap jajaran eksekutif, mereka mendekati Kepala Bagian Pemerintahan Desa. Mereka juga mendekati tokoh-tokoh strategis di DPRD. Dalam kalkulasi mereka, rakyat desalah yg selama ini mempunyai akses terbatas dalam pengambilan keputusan pada taraf kabupaten. Untuk mengedepankan kuatnya tuntutan agunan partisipasi para eksponen tingkat desa ini mereka memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga komunikasi BPD, baik pada level kecamatan maupun Kabupaten. (Di beberapa wilayah bahkan sudah berkembang forum komunikasi BPD dalam level propinsi). Di Yogyakarta, gagasan untuk membuat Peraturan Daerah agunan partisipasi digagas sebagai bagian menurut rencana pembaruan desa, yang diusung oleh sejumlah LSM. Pemikiran mengenai jaminan partisipasi ini kentara berkait menggunakan keperluan akan adanya kejelasan mengenai wewenang desa dan perimbangan keuangan pemerintah kabupaten menggunakan pemerintah desa. Sejauh ini belum terdapat perda yang berhasil ditelorkan pada rangka itu. Sejumlah pejabat kunci di taraf lokal yang sempat didekati kalangan LSM dalam prinsipnya nir menyatakan keberatan bagi pengembangan partisipasi. Hanya saja mereka tetap wanti-wanti bahwa dirinya (DPRD-lah) yang memegang otoritas akhir pada perumusan kebijakan.
Karena hal-hal tersebut di atas, Pelembagaan proses kebijakan publik yang partisipatif, saat ini masing saja bercokol dalam statusnya menjadi agenda kebijakan itu sendiri, meskipun aspirasi ke arah itu sudah lama disuarakan. Sebagaimana yg terjadi di masa lalu, mereka yang berada diliur lingkaran penentu kebijakanlah yang mendorong diagendakan pembakuan proses kebijakan yg partisipatif. Meskipun tidak sepenuhnya sempurna, penyelenggaraan acara workshop yang dimotori eksponen-eksponen non-penentu kebijakan merupakan konfirmasi terhadap sinyalemen tersebut pada atas.
Model Kebijakan Partisipatif
Dalam bab ini ingin dikemukakan kerangka teoritik yg tersedia pada literatur kebijakan publik, yg nantinya dibutuhkan bisa memberi ilham dalam perumusan prosedur kebijakan publik yg partisipatif. Sebelum hingga disitu perlu disampaikan secara lebih eksplisit bahwa selama ini kebijakan publik pada wilayah (juga di tingkat nasional) mengacu dalam model, yang penulis juluki dengan sebutan model ‘kebijakan menjadi keputusan otoritatif negara’. Pokok gagasan ini telah tersampaikan secara tersirat pada assessment kritis yang disampaikan pada atas, dan nir terdapat gunanya dielaborasi lagi.
Dalam literatur kebijakan publik penulis mengidentifikasi adanya dua contoh kebijakan yg kiranya konstruktif buat mengkerangkai pemikiran tentang mekanisme pembuatan kebijakan publik: yakni contoh ‘kebijakan sebagai usaha kepentingan masyrakat’ dan contoh ‘kebijakan sebagai proses social marketing’. Keduanya akan dipaparkan menjadi berikut.
Kebijakan sebagai perjuangan kepentingan masyrakat.
Kalau kita nir berfikir birokratis-yuridis semata, maka proses kebijakan publik nir wajib mengandalkan kiprah aktif pejabat negara. Ini nir berarti bahwa negara dikesampingkan dalam proses kebijakan. Bahwa dalam negara terdapat aktor-aktor yg telibat pada proses penentuan isi kebijakan, itu tidak dibantah. Hanya saja, titik strategis yang diutamakan pada memahami proses kebijakan adalah proses politik, bukan proses birokratis. Proses politik yg dimaksudkan merupakan proses politik yang digerakkan oleh partisipasi politik rakyat dalam pengambilan kebijakan publik.
Proses kebijakan, menurut kacamata promotor gagasan ini (misalnya teori sistem), dicermati sebagai proses tuntut-menutut serta dukung-mendukung gagasan kebijakan yg harus difikirkan oleh pejabat pemerintah. Dalam konteks ini, kiprah pengambil kebijakan keputusan dibayangkan hanya sebatas merespon tuntutan dan dukungan yg disampaikan sang rakyat. Dalam proses ini institusi-institusi politik yg terdapat sudah menyediakan arena buat mengagregasikan aneka macam kepentingan yang terdapat pada warga . Penentuan daftar skala prioritas, tawar-menawar antara aneka macam fihak yg terkait mampu dilakukan secara berdikari sang rakyat dengan mengacu dalam aturan main serta mekanisme yang ada.
Adanya kapasitas kelembagaan inilah yang memungkinkan aneka macam benturan berbagai kepentingan warga bisa diatasi. Masyarakat sendiri menyadari betapa pentingnya menghormati mekanisme-mekanisme yang sudah ada buat memungkinkan proses kebijakan publik sanggup berlangsung dan tentang target. Dalam situasi yang demikian ini maka mereka yang nir sepakat dengan isi kebijakan akan bersedia mematuhi keputusan kebijakan. Ini berarti berjalannya kebijakan nir lagi wajib mengandalkan legalitas keputusan pemerintah, melainkan justru legitimasi proses pengambilan kebijakan. Kalau dalam contoh yang disebutkan dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa pengambilan kebijakan bersifat pro-aktif yg didominasi pejabat negara ujung-ujungnya mengandalkan legalitas perundang-undangan, dalam contoh ini diasumsikan bahwa peran pro-aktif warga dan tegaknya lembaga-forum kemasyarakatan (termasuk hukum) berakibat pengambil kebijakan tidak haus legalitas. Dalam nuansa ini, kebijakan disadari betul nir identik menggunakan produk legislasi. Kebijakan tidak wajib dituangkan pada peraturan perundang-undangan.
Bahwa kebijakan akan merugikan fihak-fihak eksklusif serta menguntungkan fihak-fihak lain, dari kacamata society centric ini dipercaya nir bermasalah. Keputusan pemerintah yang tidak memuaskan akan menggerakkan fihak yg nir puas ini buat memperjuangkan kepentingannya. Dengan demikian maka proses kebijakan akan terus-memerus mengalir dalam bentuk tuntutan/dukungan warga yg senantiasa direspon secara mekanistik poleh pejabat para negara.
Kebijakan sebagai proses social marketing.
Kedua cara penyederhanaan tentang proses kebijakan tadi pada atas sama-sama wajar. Penyederhanaan cara memahami proses kebijakan ini sanggup dianggap sebagai contoh proses kebijakan. Jelasnya, menurut pembahasan tersebut di atas implisit adanya dua model dasar (menyederhanaan cara memahami) proses kebijakan.
Model yg pertama mengandaikan ekspresi keputusan otoritatif para pejabat negara bisa dilakukan menggunakan mengandalkan kekuatan negara (dalam hal ini kapasitas fragmental birokrasi pemerintah), sedangkan contoh yang satunya lagi justru mengandaikan kuatnya basis institusional masyarakat untuk mewadahi partisipasi politiknya. Model yg pertama menggunakan gampang dipraktekkan di negara yg pemerintahnya lebih banyak didominasi atau kapasitas kelembagaan politik masyarakatnya lemah. Mengingat model ini sangat rentan terhadap penyalahgunaan wewenang sang para pejabat negara maka advokasi kebijakan sebagai suatu keniscayaan.
Model yang ke 2 sebetulnya disarikan menurut pengalaman negara-negara industri maju yang sudah usang mengembangkan liberalisme menjadi pilar pemerintahannya. Kesadaran akan hak-hak politik masyarakat sudah menjadi sandaran bagi tegaknya hukum, dan proses kebijakan memang sanggup disederhanakan menjadi proses merespon tuntutan dan dukungan rakyat. Kalau model ini mau dijadikan basis (acuan simpel) buat pengelolaan proses kebijakan, maka prasyarat-prasyarat bagiberjalannya model ini harus dipenuhi. Prasyarat tadi merupakan bahwa proses kebijakan berlangsung menggunakan dukungan kapasitas kelembagaan yang memadai. Proses artikulasi serta agregasi kepentingan, misalnya, dijalankan oleh partai-partai politik. Artinya, contoh kedua mensyaratkan kuatnya basis politik kepartaian. Prasyarat semacam ini sepertinya tidak dengan gampang mampu dipenuhi sang masyarakat Indonesia waktu ini. Ini jua berarti bahwa, kiprah aktif serta pro-aktif pemerintah, memang nir sanggup dihindarkan. Sehubungan menggunakan hal itu, maka contoh pertama bisa dijadikan acuan dengan sejumlah modofikasi.
Alternatif model yang mengkombinasikan ke 2 contoh tadi di atas ditawarkan oleh J.A. Altman. Dia menyebutnya sebagai contoh social marketing, dimana pejabat negara dituntut untuk aktif dalam proses kebijakan, namun keaktifan tadi nir menghilangkan mereduksi arti penting kesepakatan (consent) dari masyarakat. Gagasan Altman ini tersaji pada grafik di bawah ini. Ada sejumlah butir gagasan yg penting buat dicatat berdasarkan tawaran Altman ini.
Pertama, berlangsungnya proses kebijakan yg memenuhi kedua tuntutan tadi di atas, mensyaratkan agar, baik pejabat negara juga warga , menjalani pendidikan kebijakan. Tentu saja materi pendidikan bagi pejabat negara berbeda dengan materi pendidikan bagi rakyat. Point tersembunyi yang perlu diungkapkan adalah bahwa adanya kesediaan bagi pejabat negara mapun warga buat saling belajar (membuka mata serta indera pendengaran) merupakan kunci bagi kelancaran proses kebijakan.
Kedua, kebijakan dalam dasarnya bukan proses birokratik ataupun proses politik belaka, tetapi jua proses belajar. Poin ini penting buat kedepankan lantaran metatapun tenaga pakar sudah bekerja sekuat tenaga untuk kesuksesan kebijakan, nuansa trial and error dalam proses kebijakan tidak akan hilang. Kebijakan publik merupakan proses eksperimentasi nasib sejumlah orang, kalau bukan nasib komunitas secara holistik. Oleh karena itu, redisain kebijakan adalah elemen krusial. Sejalan menggunakan kerangka berfikir tadi pada atas, public hearing adalah proses kunci bagi kelangsungan proses kebijakan. Ketiga, setiap fase pengelolaan kebijakan, partisipasi warga senantisas terbuka.
Model cara lain tadi pada atas sangat mengedepankan arti penting belajar dan mufakat. Dalam realitas, kebijakan justru tidak bisa mengatasi kasus yg diagendakan karena perseteruan yg berkecamuk. Sehubungan menggunakan hal itu, kebijakan bisa disederhakan sebagai proses pengelolaan perseteruan antara banyak sekali fihak yg saling menggalang kekuatan buat memperjuangkan kepentingannya. Paul A. Sabatier memperlihatkan model koalisi-advokasi buat memahami proses kebijakan.
Dalam contoh ini dibayangkan proses kebijakan melibatkan komunitas kebijakan yg heterogen yang tergalang pada sejumlah koalisi buat memenangkan gagasan kebijakan. Koalisi ini sifatnya lintas batas negara-masyarakat. Yang mempersatukan para stake-holders dalam suatu koalisi merupakan kecenderungan kepentingan atau keberpihakan terhadapan suatu gagasan kebijakan. Ini adalah, sangat boleh jadi terdapat pejabat negara yang justru ambil bagian adalam advokasi kebijakan yg dimotori sang kekuatan-kekuatan masyarakat. Sebaliknya, pada ranah masyarakat kita menemukan adanya “kaki-tangan” negara yg melangsungkan proses buat mengamankan kebijakan pemerintah. Sehubungan menggunakan hal ini, Sabatier sefaham menggunakan Altman bahwa proses learning (membuka mata serta indera pendengaran) merupakan proses penting untuk mensukseskan kebijakan.
Prinsip-prinsip Pengembangan Mekanisme Kebijakan Partisipatif
Sebagai epilog, perlu kiranya disarikan sejumlah prinsip yg perlu disefahami oleh para fihak yang berkehendak buat ikut ambil bagian pada pengembangan prosedur pembuatan kebijakan publik. Sejauh mungkin penulis akan mencoba merumuskan prinsip-prinsip tersebut seoperasional mungkin sebagai akibatnya sanggup menjadi acum mudah dalam workshop ini.
Pertama, prinsip mekanisasi. Perumusan (tepatnya perumusan ulang) mekanisme kebijakan partisipatif merupakan duduk perkara merumuskan hubungan mekanis antar berbagai fihak dalam proses kebijakan. Hubungan mekanis ini memungkinkan proses kebijakan bergulir mengingat aksi seorang aktor atau suatu agensi/forum/organisasi akan direaksi sang fihak yang lain. Ini berarti bahwa:
- Yang perlu dirumuskan dalam mekanisme bukan hanya kausalitas normatif (entah mengikuti kebiasaan demokrasi, norma rakyat lokal atau norma apa) namun juga kausalitas aksi-reaksi. Sebagaimana dicontohkan pada atas, proses kebijakan partisipatif tidak bergulir manaka prosedur baru yang dirumuskan dalam UU/Peraturan Daerah tidak diyakini rakyat akan sanggup diterapkan. Kalau mereka tetap saja apatis terhadap mekanisme yang ada maka penguasaan pejabat pada proses kebijakan tetap berlangsung, dan agenda pengembangan partisipasi akan kandas.
- Mekanisme tidak cukup difahami secara tatanan prosedural, tetapi juga perangkat antisipasi dinamika sosial. Tidak adanya mekanisme yg jelas menyebabkan proses kebijakan sarat dengan konflik dan kekerasan. Dengan adanya prosedur yg standar serta disefahami para pelaku, maka masing-masing yang terlibat pada proses kebijakan sanggup mengadu siasat, tetapi pada akhirnya dia harus tunduk dalam apapun yg dicapai pada mekanisme tadi. Sebaliknya, kesalahan masa lalu yang melebih-lebihkan asti penting mekanisme sampai-sampai prosedur tadi berubah sekedar sebagai formalitas, perlu dihindari.
- Pengembangan partisipasi wajib menjangkau aspek supply (peluang buat berpartisipasi) juga aspek demand (gerakan sosial-politik buat ikut menghipnotis keputusan kebijakan pemerintah). Hal ini hanya bisa ditegakkan kalau: (1) pemerintah maupun rakyat mampu menegakkan anggaran main. Mekanisme itu sendiri dalam dasarnya adalah anggaran main (2) modal sosial yg ada selama ini ikut didayagunakan
Kedua, prinsip pengelolaan perubahan sosial. Dalam hal ini ada dua duduk perkara:
- Apakah kita mulai dari level mikro (aktor) buat mengubagh prosedur, ataukan kebalikannya, sejumlah perubahan makro ditempuh duluan buat memungkinkan peran dalam level mikro bisa berlangsung mulus. Sebagai mana telah dikemukakan, pengembangan prosedur pada goresan pena ini didudukkan sekedar menjadi salah satu pilar pengembangan proses kebijakan yang partisipatif. Mekanisme ini mampu dilahirkan oleh perjuangan aktor-aktor multi fihak yang kemudian putusan bulat buat membakukan rumusan dan membiasakan diri buat mematuhinya. Hal yg sebaliknya pula bisa terjadi. Berbagai perombakan makro struktural dilakukan yg pada gilirannya berbuntut memfasilitasi perubahan-perubahan mikro. Sehubungan menggunakan persoalan ini maka: (1) pengembangan mekanisme tidak relatif diserahkan pada perumusan ketentuan yuridis, (dua) jaminan yuridis/administratif yang diperoleh wajib dikawal dengan aksi-aksi dan sejumlah “rekayasa” dalam rangka pembiasaan terhadap prosedur baru, (tiga) Aktor-aktor yg menduduki posisi struktural dalam tubuh negara juga dalam rakyat perlu didorong buat mendayagunakan posisi struktural tersebut buat pembudayaan mekanisme baru.
- Persoalan yg ke 2 adalah bagaimana inovasi awal mampu menggelinding laksana bola salju. Untuk itu advokasi lintas fihak yg telah tergalang perlu bentuk dan kemudia didayagunakan. Komunikasi lintas fihak, katakanlah antara aktor pada tubuh negara menggunakan aktor dalam masyarakat, sanggup membuat sinergi yg, kalau dikelola dengan baik, bisa menjamin sustainabilitas.
Comments
Post a Comment