REFORMASI PENDIDIKAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah 
Telah kita ketahui pada abad milinium ini ciri utamanya adalah terjadinya globalisasi dalam setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara nir lagi sebagai penting. Salah satu yang sebagai animo serta merupakan karakteristik globalisasi merupakan adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak menerima pendidikan yang setinggi-tingginya serta sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh menggunakan persaingan lantaran dunia telah menjadi sangat kompetitif. Lantaran itu, mau nir mau setiap orang mesti berusaha buat menguasai ilmu serta teknologi supaya bisa ikut dalam persaingan, serta bila nir, maka akan ditinggalkan. 

Terkait menggunakan itu, pendidikan mesti bisa menjawab tantangan tadi. Dengan istilah lain, pendidikan wajib menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik buat memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat itu. Di samping kesempatan yg seluas-luasnya disediakan, tetapi yang krusial juga merupakan menaruh pendidikan yg bermakna (meaningful learning). Karena, hanya menggunakan pendidikan yg bermakna siswa bisa dibekali keterampilan hayati, sedangkan pendidikan yang nir bermakna (meaningless learning) hanya akan menjadi beban hidup.

Sehubungan menggunakan itu, beberapa perseteruan penting yang perlu dikaji antara lain : pertama, bagaimana pendidikan yg bisa menjawab tantangan pada atas dapat dibuat?, dan kedua, dengan adanya persamaan hak dalam menerima pendidikan yang terbaik, bagaimanakah upaya-upaya pendidikan yang dapat mengakomodasi aneka macam dimensi pembaharuan, sebagai akibatnya siswa mendapatkan kesempatan pendidikan yg berkualitas pada era global ini?

1. Paradigma Pendidikan Masa Depan
Pendidikan berwawasan masa depan diartikan menjadi pendidikan yg dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yg bisa melahirkan individu-individu yg berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yg diperlukan buat hidup dan berkiprah dalam era globalisasi. 

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibuat sang UNESCO melaporkan bahwa di era dunia ini pendidikan dilaksanakan menggunakan bersandar dalam empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, serta learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know peserta didik belajar pengetahuan yg krusial sinkron menggunakan jenjang pendidikan yang diikuti. Dalam learning to do peserta didik berbagi keterampilan menggunakan memadukan pengetahuan yang dikuasai menggunakan latihan (law of practice), sebagai akibatnya terbentuk suatu keterampilan yang memungkinkan siswa memecahkan masalah dan tantangan kehidupan. Dalam learning to be, siswa belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup serta memahami apa yang terbaik serta sebaiknya dilakukan, agar dapat hayati dengan baik. Dalam learning to live together, peserta didik bisa memahami arti hayati menggunakan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, dan memahami mengenai adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, melalui keempat pilar pendidikan ini diperlukan peserta didik tumbuh sebagai individu yg utuh, yg menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi buat bekal hidupnya.

Dalam Jalal dan Supriadi (2001) disebutkan tiga acuan dasar pengembangan pendidikan di Indonesia dalam era reformasi untuk menjawab tantangan dunia, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan lingkungan strategis.

Acuan filosofis, berdasarkan pada abstraksi acuan hukum dan kajian empiris mengenai kondisi kini dan idealisasi masa depan. Secara filosofis pendidikan perlu mempunyai karakteristik: (a) mampu menyebarkan kreativitas, kebudayaan, serta peradaban; (b) mendukung diseminasi dan nilai keunggulan, (c) membuatkan nilai-nilai demokrasi, humanisme, keadilan serta keagamaan; serta (d) membuatkan secara berkelanjutan kinerja kreatif serta produktif yg koheren menggunakan nilai-nilai moral. Kesemua ini nir terlepas berdasarkan harapan pembentukan masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yg dianggap dengan warga madani.

Pendidikan kita harus pula memiliki acuan nilai kultural dalam penataan aspek sah. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks serta berjenjang mulai menurut jenjang nilai ideal, nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada taraf ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan buat kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai yg penting perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, pencerahan berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat dan kebanggaan. Pada taraf operasional, pendidikan wajib menanamkan pentingnya kerja keras, sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri. 

Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan dunia. Lingkungan nasional ditandai menggunakan 2 hal yg substansial yaitu: masih berlanjutnya krisis dimensional yg menerpa bangsa ini, dan tuntutan reformasi secara total yang belum berjalan secara baik serta optimal. Lingkungan nasional mencakup perubahan demografis termasuk didalamnya penyebaran penduduk yg nir merata serta keberhasilan KB, efek ekonomi yg nir merata sebagai akibatnya penduduk yang berada pada bawah garis kemiskinan semakin tinggi, efek sumber kekayaan alam yang pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan yang baik, efek nilai sosial budaya pada era global ini, dimana munculnya nilai-nilai baru pada warga seperti kerja keras, keunggulan, serta ketepatan saat, impak politik yang semenjak era reformasi terasa sangat labil, serta impak ideologi dimana pendidikan ideologi perlu terkait menggunakan yang universal. Lingkungan nasional yg ketika ini masih pada situasi reformasi, bertujuan untuk menaikkan tingkat hayati rakyat. Secara nasional acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus bisa menjawab tantangan reformasi dan membawa negeri ini keluar dari banyak sekali krisis. 

Lingkungan dunia ditandai antara lain dengan pesatnya perkembangan teknologi warta sebagai akibatnya kita tidak sanggup menjadi warga lokal dan nasional saja, tetapi juga warga global.lingkungan strategis sangat berpengaruh bagaimana pendidikan masa depan tersebut hendaknya didesain.

Sebagai implikasi menurut globalisasi serta reformasi tadi, terjadi perubahan pada kerangka berpikir pendidikan. Perubahan tadi menyangkut, pertama: kerangka berpikir proses pendidikan yang berorientasi pada pedagogi dimana pengajar lebih sebagai sentra fakta, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran dimana peserta didik menjadi asal (student center). Dengan banyaknya asal belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi serta peran pengajar, maka kiprah guru berubah sebagai fasilitator. Kedua, kerangka berpikir proses pendidikan tradisional yg berorientasi dalam pendekatan klasikal dan format pada dalam kelas, bergeser ke model pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti pendidikan menggunakan sistem jeda jauh. Ketiga, mutu pendidikan sebagai prioritas (berarti kualitas menjadi internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hayati serta makin mencairnya batas antara pendidikan pada sekolah dan pada luar sekolah. 

Kondisi ini mengharuskan pendidikan menerapkan aneka macam prinsip yang sangat mendasar seperti penerapan standar mutu sehingga kita mampu bersaing menggunakan global dunia, dan penggunaan banyak sekali cara belajar menggunakan mendayagunakan sumber belajar. Jika kita cermati ketiga acuan pada atas merupakan dasar aturan serta operasional pengembangan pendidikan masa depan. Dalam pembangunan pendidikan ke depan ini, ketiga acuan itu merupakan dasar pada berbagi cetat biru (blueprint) pendidikan nasional.

2. Kajian Konsepsional mengenai Penjaminan mutu pendidikan
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional sudah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tadi merupakan terwujudnya sistem pendidikan menjadi pranata sosial yang kuat serta berwibawa buat memberdayakan seluruh warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yg berkualitas sehingga mampu serta proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tadi telah ditetapkan serangkaian prinsip buat dijadikan landasan pada aplikasi reformasi pendidikan. 

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, pada mana pada proses tersebut sine qua non pendidik yg menaruh keteladanan dan mampu membentuk kemauan, serta berbagi potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi menurut prinsip ini merupakan pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu menurut kerangka berpikir pedagogi ke kerangka berpikir pembelajaran. 

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung semenjak lama lebih menitikberatkan kiprah pendidik pada mentransfer pengetahuan kepada siswa. Seperti telah disebutkan dalam pendahuluan , dewasa ini paradigma tersebut sudah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang menaruh peran lebih banyak pada siswa buat membuatkan keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, warga , bangsa serta negara. Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang berdasarkan kerangka berpikir baru tadi, diharapkan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yg mencakup serangkaian kriteria dan kriteria minimal sebagai panduan, yang waktu ini dikenal menggunakan delapan baku mutu nasional pendidikan. 

Tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan merupakan buat menjamin mutu proses transpormasi, mutu fragmental dan mutu kelulusan, yang mencakup : (1) standar isi, (dua) baku proses, (tiga) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (lima) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) baku pembiayaan, serta (8) standar penilaian pendidikan. (Bab IX UUSPN). Konsep tadi di atas bisa diwujudkan dalam diagram berikut:

Gambar Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Dalam kaitan dengan itu, Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dari tahun 1920an telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan memanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang diharapkan pada global pendidikan merupakan suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, ikut merasakan, cintakasih serta penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, nir terdapat pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik buat berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta sebagai anggota warga yg berguna. Manusia merdeka adalah seorang yang bisa berkembang secara utuh serta selaras menurut segala aspek kemanusiannya serta sanggup menghargai dan menghormati humanisme setiap orang. Metode pendidikan yg paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yg menurut dalam asih, asah serta asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu berdasarkan dalam “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. 

Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan suatu sistem menggunakan komponen-komponen yg saling berkaitan, maka holistik sistem harus sesuai dengan ketentuan yg diharapkan atau standar. Untuk itu masing-masing komponen dalam sistem wajib jua sesuai dengan standar yang ditentukan beserta. Hal ini mesti dilakukan pada kaitan terjadinya penjaminan mutu pendidikan itu sendiri, lantaran; penjaminan mutu adalah proses penetapan serta pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sebagai akibatnya konsumen, pembuat, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. Bila dikaitkan dengan pengelolaan pendidikan, penjaminan mutu yang dimaksud adalah proses penetapan serta pemenuhan baku mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Untuk itu, pada PP 19/2005 delapan baku tersebut pada atas merupakan aspek-aspek yg wajib memenuhi baku mutu dalam kaitan menggunakan penjaminan mutu suatu lembaga. Kualifikasi pendidik merupakan keliru satu Standard yang harus dipenuhi sesuai menggunakan PP 19/2005. Dengan terpenuhinya kualifikasi pendidik dibutuhkan pengelolaan proses pembelajaran bisa berlangsung secara interaktif, inspiratif, menantang, memotivasi dan menyenangkan (I2M3).

3. Implementasi Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan
Terjadinya pergeseran kerangka berpikir pendidikan nasional seperti sudah dikupas pada depan, mengakibatkan adanya berbagai kebijakan pendidikan yang relevan dengan itu. Beberapa kebijakan yg menonjol, antara lain pada bidang menajeman pendidikan yaitu desentralisasi pendidikan (melalui program menajemen pendidikan berbasis sekolah), pada bidang kurikulum yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan yg berbasis kompetensi (KTSP), dalam proses pembelajaran terdapat acara percepatan belajar (learning accelleration). Kebijakan-kebijakan baru ini perlu mendapat perhatian yang serius hingga pada tataran guru menjadi ujung tombak.

a. Menajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Hasil studi yang dilakukan Bank Dunia, yang diberi judul Education in Indonesia: from Crisis to Recovery (1998) antara lain menghasilkan simpulan bahwa ada tiga faktor penyebab ketidakefisienan manajemen sekolah, yaitu: (1) pada umumnya kepala sekolah, terutama sekolah negeri memiliki swatantra yg sangat terbatas pada menajemen sekolah serta pada memutuskan alokasi asal-asal, (dua) banyak kepala sekolah yg mempunyai keterampilan yang terbatas dalam menajemen sekolah, (tiga) partisipasi masyarakat pada menajemen sekolah sangat terbatas, hal ini diantaranya dapat dilihat menurut ketidakmampuan ketua sekolah pada memobilisasi dukungan masyarakat.

Sehubungan menggunakan itu, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS), yg dicanangkan sejak tahun 2000 adalah respon terhadap kebutuhan penyesuaian terhadap konsep demokrasi serta otonomi. Inti dari MPBS adalah pemberdayaan warga menjadi komponen yang penting pada penyelenggaraan pendidikan. Jika sebelumnya sekolah seolah-olah adalah milik pemerintah pada artian bahwa seluruh tanggungjawab penyelenggaraannya menjadi beban pemerintah, sekarang rakyat menjadi komponen krusial dalam tanggung jawab itu. Dengan pelibatan masyarakat, dibutuhkan timbul suatu pencerahan bahwa keberhasilan pendidikan adalah tanggung jawab semua komponen rakyat dan pemerintah. Sharing ini diantaranya telah diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah, dimana didalamnya terlibat penyelenggara sekolah, orangtua anak didik, maupun komponen rakyat lainnya. Dalam perjalanannya hingga saat ini, Komite Sekolah sudah mulai menjalankan kegunaannya namun belum optimal, dan selanjutnya dibutuhkan berkontribusi yg relatif signifikan pada penyelenggaraan pendidikan pada sekolah. MPBS dibutuhkan bukan hanya menyebarkan pada fungís menjadi penyandang dana, tetapi pelibatan orangtua dan rakyat diharapkan juga terjadi. Di negara-negara maju misalnya AS, MPBS telah usang dilakukan, kerjasama sekolah dengan orangtua dan masyarakat pula dilakukan pada proses pembelajaran. Kedatangan orangtua ke sekolah buat membantu pengajar dalam PBM, dokter yang memberi masukan dalam suatu proyek pada pelajaran hayati contohnya, bukanlah pemandangan yg aneh.

b. Kuríkulum Tingkat Satuan Pendidikan
Penggunaan Kuríkulum 1994 pada lapangan mengalami aneka macam lawan asas, antara lain menyangkut universalisasi pendidikan disatu pihak, serta tuntutan akan mutu yang tinggi dipihak lain. Setelah itu, ada upaya pembaharuan kurikulum, dan galat satu upaya merupakan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum yg berbasis kompetensi ini, ukuran terpenting keberhasilan siswa merupakan penguasaan mereka terhadap standar kompetensi. Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi ini (ketika ini populer dengan KTSP), dilakukan melalui identifikasi dan penentuan kemampuan dasar lulusan/ Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yg dijabarkan menjadi Standar Isi (SI) yang memuat, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Berdasarkan SI tadi masing-masing Satuan Pendidikan menyusun kurikulumnya menggunakan menjabarkan sebagai Materi, Pengalaman Belajar, Indikator. Terdapat peluang yg sangat besar sekolah/guru menyebarkan kurikulumnya sendiri (berorientasi dalam SI yg sudah ditetapkan dalam Permen Diknas, juga mengembangkan dan memasukkan keunggulan lokal sinkron dengan kebutuhan masyarakatnya). 

c. Program Anak Berbakat/Percepatan Belajar
Dalam rangka realisasi pendidikan yg berwawasan masa depan, perhatian wajib diprioritaskan dalam pengklasifikasian peserta didik sesuai menggunakan kemampuan, bakat, juga minat mereka. Ini sangat krusial agar pendidikan yg diikuti benar-sahih bermakna. Beberapa progam sudah dilakukan terkait menggunakan syarat siswa yg variatif ini, yaitu melalui sistem akreditasi, sistem sekolah unggulan, maupun acara generik plus misalnya program akselerasi belajar.

Diketahui bahwa lembaga pendidikan yg ada adalah pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada jenjang sekolah menengah atas, pendidikan formal dibedakan antara Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan. Pada hakekatnya di jenjang SMA peserta didik diberikan pengalaman belajar dalam rangka dominasi sains, teknologi, serta pengalaman belajar yang dapat membekali mereka melanjutkan pendidikannya ke PT. Sedangkan dalam jenjang SMK siswa diarahkan pada dominasi keterampilan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga tamatan SMK dibutuhkan langsung bisa masuk ke dunia kerja.

Perkiraan Ward (pada Semiawan, 1997) pada Indonesia terdapat 1,57 % anak yg berbakat tinggi (highly gifted), dan 10 % yang berbakat sedang (moderately gifted). Kedua gerombolan anak ini berbakat akademik (akademic talented) atau keberbakatan intelektual. Anak-anak berbakat ini adalah aset nasional yg sangat penting, lantaran mereka memiliki interes intelektual serta perspektif masa depan yang jauh lebih baik dari anak kebanyakan, baik secara genetis juga dalam kecepatan tindakan. Dengan kelebihan ini, diharapkan energi serta pikiran mereka bisa membawa berbagai pembaharuan pada bidang keilmuan, maupun perubahan kearah perbaikan kehidupan rakyat, seperti apa yg sudah dilakukan Edison (sang penemu listrik) yg sangat krusial bagi kehidupan insan.

Sesuai menggunakan keberadaan kedua gerombolan ini sebagai grup yang ”berbeda” dengan anak normal lainnya, dan sesuai juga dengan misi pendidikan buat menaruh kesempatan pendidikan yg sebaik-baiknya bagi mereka, maka grup ini perlu mendapatkan pendidikan yang dapat mengakomodasi kelebihan mereka. Program buat mereka bisa berupa pendidikan khusus, atau pendidikan umum buat anak berbakat (saat ini dikenal dengan acara kelas akselerasi). Berkaitan dengan itu, beberapa asumsi yg mendasari alasan kenapa anak berbakat perlu menerima pendidikan yang tidak selaras dengan anak-anak lainnya, merupakan : (a) anak berbakat secara kualitatif berbeda dengan anak lainnya, (b) pendidikan khusus bagi mereka sangat menguntungkan, karena sinkron menggunakan kemampuan mereka, (c) suatu acara wajib dilaksanakan berdasarkan model instruksional yg terarah, (d) program anak berbakat wajib lebih menekankan perkembangan kreativitas dan proses berpikir tingkat tinggi, (e) metode pembelajaran bagi anak berbakat lebih berorientasi pada pendekatan induktif.

Pendidikan anak berbakat wajib diwarnai oleh fokus dalam aktivitas intelektual, kecepatan dan taraf kompleksitas sesuai dengan kemampuan yg tinggi. Sehubungan menggunakan itu, apabila anak-anak berbakat ditangani menggunakan acara akselerasi, maka ada dua hal penting yg wajib diperhitungkan, yaitu: (a) pada acara akselerasi, beban belajar yang sang anak-anak biasa bisa diselesaikan dalam 3 tahun, maka oleh anak-anak berbakat ini hanya diharapkan saat 2 tahun. Ini berarti terjadi proses percepatan dalam belajar, (b) percepatan ini juga harus mengandung arti kualitatif, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka ditekankan pada kegiatan intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan fenomena bahwa, dalam konduite intelektual, aspek teoretis dan tingkat abstraksi anak-anak berbakat menampakan karakteristik mental yang baik dalam melihat hubungan yang bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi logis, gampang mengadaptasikan prinsip tak berbentuk kesituasi nyata, dan mampu menggeneralisasikan. 

Metode belajar yg relevan merupakan metode inovasi (discovery learning) misalnya yg dikembangkan oleh Piaget dan Bruner, dan metode induktif. Dalam discovery learning aspek kognitif berkembang melalui penemuan serta pengembangan hipotesis, bukan dengan cara duduk, membisu, dengar, dan catat. Discovery learning memberikan tantangan bagi kepandaian tak berbentuk yg tinggi, serta pelibatan secara aktif dalam menemukan jawaban dan tantangan tersebut. Dengan cara ini, terjadilah penanjakan dinamis dari kehidupan mental yang diklaim eskalasi (Semiawan,1997).


Pembelajaran kognitif induktif dideskripsikan melalui empat kata, yaitu: (a) inquiry, (b) masalah solving, (c) discovery learning, serta (d) scientific method. Pembelajaran induktif memiliki rasional yang kuat buat menaikkan: (a) penggunaan inteligensia secara optimal dengan memanfaatkan fungsi ke 2 belahan otak secara penuh, (b) kemampuan siswa buat mengarahkan diri serta tanggungjawab buat memperoleh kemajuan dalam mencapai sasaran jangka panjang dan jangka pendek, (c) kemampuan buat mensintesiskan informasi, konsep, serta membuat generalisasi, serta (d) kemampuan mentransper belajar pada situasi tidak sama.

d. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa dan Pembelajaran yg Konstruktivis
Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada siswa (buat selanjutnya, disebut juga Student-Centered Learning, disingkat SCL) lahir dalam awal abad ke-20, yaitu pada ketika orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif pada proses inkuiri, yaitu proses memecahkan perkara yang dihadapinya sendiri. Di bawah impak perspektif pendidikan yang dianggap Progressive Education (lahir di Amerika Serikat) yg meyakini bahwa pengalaman langsung merupakan inti berdasarkan belajar, para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yg menduga bahwa peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi apabila diisi oleh pengajar (teori Tabula Rasa). Bagi pendidikan progresif, kiprah pengajar adalah sebagai fasilitator serta pemandu pada proses pemecahan kasus peserta didik.

John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas adalah laboratorium yg memotret kehidupan yg sebenarnya. Dia mengajak pengajar buat memakai masalah riil sehari-hari buat dipecahkan oleh murid, sebagai bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang memuat kasus-masalah konkret yg sedang dihadapi, nir mengenai hal-hal yg abstrak bagi anak didik. Dewey dikenal menggunakan filosofi pendidikan learning by doing. Ciri-karakteristik pembelajaran progresif diantaranya, ruang kelas yg diatur secara fleksibel, keleluasaan bagi siswa buat bekerja kelompok juga individual sinkron dengan kebutuhannya, siswa ikut berperan dalam memilih aturan kelas, serta materi pembelajaran yang kaya serta variatif.

Selain pengaruh pendidikan progresif, pula terdapat dampak perspektif open classroom yg meyakini bahwa siswa mempunyai motivasi intrinsik buat belajar, serta dorongan menurut pada ini hanya sanggup dipuaskan melalui kegiatan eksplorasi serta pemecahan masalah (dilema solving). Pada akhir tahun 70an, di bawah impak psikologi kognitif, berkembang perspektif konstruktivisme pada pembelajaran.

Konstruktivisme berarti bahwa siswa menciptakan (to construct) pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai konstruktivisme bukanlah berbicara mengenai suatu teknik tertentu pada pembelajaran, melainkan kita berfikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua istilah kunci pada konstruktivisme, yaitu murid aktif (active) serta memperoleh makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan menjadi berikut: Peserta didik tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yg unik mengenai materi tadi, tugas yg akan dipentaskan, menentukan fakta yg dianggapnya relevan, serta tahu kabar tersebut berdasarkan pengetahuan yg ada padanya, serta kebutuhannya. Peserta didik menambahkan informasi yang diperlukannya nir selalu dari materi yg disediakan pengajar/pengajar. Ini adalah suatu proses yang aktif lantaran peserta didik wajib melakukan banyak sekali aktivitas kognitif, afektif, serta psikomotorik supaya informasi tersebut bermakna bagi dirinya (Elliott, 2000; p. 15).

Belakangan, berbagai interpretasi muncul mengenai bagaimana konstruksi pengetahuan itu terwujud dalam peserta didik; ada yang berkata bahwa siswa itu sendiri mampu membangunnya, tapi ada jua yg mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi pada hubungan sosial seperti sahabat sebaya, serta keluarga. Yang pertama diwakili sang J. Piaget, yg mengungkapkan bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi serta akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yg sinkron menggunakan yg telah ada sebelumnya; dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum terdapat pada skema (pengetahuan yg tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak, Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses hubungan sosial menggunakan orang lain yg lebih sanggup (pada istilah Vygotsky: skilled individuals). Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi bila proses akuisisi pengetahuan dilakukan pada lingkungan sosial budaya yang sesuai.

Dibawah efek perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap bisa menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yg bermakna, bukan pendidikan yg membebani hayati) merupakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Berdasarkan hakikat SCL tadi pada atas, maka bisa dicermati perbedaan antara SCL dengan pembelajaran yang berpusat dalam guru serta berorientasi pencapaian materi (Teacher-centered, content-oriented/TCCO), sebagai berikut:

Teacher Centered

Student-Centered Learning


Pengetahuan ditransfer dari guru ke siswa
Siswa secara aktif menyebarkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya

Siswa menerima pengetahuan secara pasif
Siswa secara aktif terlibat didalam mengelola pengetahuannya

Lebih menekankan dalam penguasaan materi
Penguasaan materi dan pula menyebarkan karakter siswa (life-long learning)

Biasanya memanfaatkan media tunggal
Multimedia

Fungsi guru sebagai pensuplai kabar utama dan evaluator
Guru menjadi fasilitator, penilaian dilakukan bersama dengan siswa

Proses pembelajaran serta asesmen dilakukan secara terpisah
Terpadu serta berkesinambungan

Menekankan dalam jawaban yang benar saja
Menekankan dalam pengembangan pengetahuan. Kesalahan menampakan proses belajar serta dapat digunakan menjadi salahsatu asal belajar

Cocok untuk pengembangan ilmu pada satu disiplin saja
Untuk pengembangan ilmu interdisipliner

Iklim belajar lebih individual serta kompetitif
Iklim yg tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, serta kooperatif

Proses pembelajaran hanya terjadi dalam siswa
Siswa dan guru belajar bersama dalam menyebarkan, konsep, dan keterampilan

Pelajaran merogoh porsi saat terbanyak
Pelajaran serta aneka macam aktivitas lain pada proses belajar

Penekanan dalam ketuntasan materi
Penekanan dalam pencapaian target kompetensi

Penekanan dalam cara pembelajaran yg dilakukan sang guru
Penekanan pada bagaimana cara anak didik belajar. Penekanan dalam dilema-based learning serta skill competency

REFORMASI PENDIDIKAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah 
Telah kita ketahui pada abad milinium ini karakteristik utamanya adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara nir lagi menjadi krusial. Salah satu yg sebagai isu terkini serta merupakan ciri globalisasi adalah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak mendapat pendidikan yg dengan tinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yg penuh menggunakan persaingan karena dunia telah sebagai sangat kompetitif. Karena itu, mau nir mau setiap orang mesti berusaha buat menguasai ilmu dan teknologi supaya bisa ikut pada persaingan, dan apabila nir, maka akan ditinggalkan. 

Terkait menggunakan itu, pendidikan mesti bisa menjawab tantangan tadi. Dengan istilah lain, pendidikan wajib menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik buat memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, serta nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan global yang kian hari semakin ketat itu. Di samping kesempatan yg seluas-luasnya disediakan, namun yg penting juga adalah menaruh pendidikan yg bermakna (meaningful learning). Lantaran, hanya dengan pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali keterampilan hayati, sedangkan pendidikan yang nir bermakna (meaningless learning) hanya akan sebagai beban hayati.

Sehubungan dengan itu, beberapa perseteruan krusial yang perlu dikaji antara lain : pertama, bagaimana pendidikan yg dapat menjawab tantangan di atas dapat didesain?, dan ke 2, menggunakan adanya persamaan hak pada mendapatkan pendidikan yg terbaik, bagaimanakah upaya-upaya pendidikan yg bisa mengakomodasi aneka macam dimensi pembaharuan, sebagai akibatnya siswa menerima kesempatan pendidikan yg berkualitas dalam era dunia ini?

1. Paradigma Pendidikan Masa Depan
Pendidikan berwawasan masa depan diartikan sebagai pendidikan yang dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yang dapat melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk hidup dan berkiprah dalam era globalisasi. 

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yg dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa pada era dunia ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know siswa belajar pengetahuan yg krusial sesuai dengan jenjang pendidikan yg diikuti. Dalam learning to do peserta didik berbagi keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yg memungkinkan peserta didik memecahkan kasus serta tantangan kehidupan. Dalam learning to be, peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hayati dan memahami apa yg terbaik serta sebaiknya dilakukan, agar bisa hayati menggunakan baik. Dalam learning to live together, peserta didik bisa tahu arti hayati menggunakan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta tahu mengenai adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, melalui keempat pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yg menyadari segala hak serta kewajiban, dan menguasai ilmu serta teknologi untuk bekal hidupnya.

Dalam Jalal dan Supriadi (2001) disebutkan tiga acuan dasar pengembangan pendidikan pada Indonesia pada era reformasi buat menjawab tantangan global, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, serta acuan lingkungan strategis.

Acuan filosofis, berdasarkan pada abstraksi acuan aturan serta kajian realitas mengenai syarat sekarang serta idealisasi masa depan. Secara filosofis pendidikan perlu mempunyai karakteristik: (a) bisa menyebarkan kreativitas, kebudayaan, serta peradaban; (b) mendukung diseminasi serta nilai keunggulan, (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan; serta (d) berbagi secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Kesemua ini nir terlepas dari harapan pembentukan masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yg dianggap dengan warga madani.

Pendidikan kita wajib jua mempunyai acuan nilai kultural dalam penataan aspek sah. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai fragmental, sampai dalam nilai operasional. Pada taraf ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan buat kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat fragmental, nilai-nilai yang penting perlu dikembangkan melalui pendidikan merupakan swatantra, kecakapan, pencerahan berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, prestise serta pujian. Pada tingkat operasional, pendidikan wajib menanamkan pentingnya kerja keras, sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri. 

Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional serta lingkungan global. Lingkungan nasional ditandai dengan 2 hal yg substansial yaitu: masih berlanjutnya krisis dimensional yang menerpa bangsa ini, serta tuntutan reformasi secara total yg belum berjalan secara baik serta optimal. Lingkungan nasional mencakup perubahan demografis termasuk didalamnya penyebaran penduduk yg tidak merata serta keberhasilan KB, efek ekonomi yg tidak merata sehingga penduduk yg berada pada bawah garis kemiskinan meningkat, efek sumber kekayaan alam yg pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan yang baik, pengaruh nilai sosial budaya pada era dunia ini, dimana keluarnya nilai-nilai baru pada warga seperti kerja keras, keunggulan, serta ketepatan saat, pengaruh politik yg sejak era reformasi terasa sangat labil, serta dampak ideologi dimana pendidikan ideologi perlu terkait menggunakan yang universal. Lingkungan nasional yg waktu ini masih pada situasi reformasi, bertujuan untuk mempertinggi tingkat hidup rakyat. Secara nasional acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita wajib dapat menjawab tantangan reformasi serta membawa negeri ini keluar menurut banyak sekali krisis. 

Lingkungan global ditandai diantaranya dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sebagai akibatnya kita nir bisa menjadi warga lokal serta nasional saja, tetapi jua masyarakat global.lingkungan strategis sangat berpengaruh bagaimana pendidikan masa depan tadi hendaknya dibuat.

Sebagai akibat menurut globalisasi dan reformasi tadi, terjadi perubahan dalam paradigma pendidikan. Perubahan tadi menyangkut, pertama: kerangka berpikir proses pendidikan yang berorientasi pada pedagogi dimana guru lebih sebagai pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi dalam pembelajaran dimana peserta didik sebagai sumber (student center). Dengan banyaknya sumber belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi serta peran guru, maka kiprah guru berubah sebagai fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional yg berorientasi pada pendekatan klasikal serta format di dalam kelas, bergeser ke contoh pembelajaran yang lebih fleksibel, misalnya pendidikan dengan sistem jeda jauh. Ketiga, mutu pendidikan sebagai prioritas (berarti kualitas menjadi internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan makin mencairnya batas antara pendidikan di sekolah serta di luar sekolah. 

Kondisi ini mengharuskan pendidikan menerapkan banyak sekali prinsip yg sangat fundamental misalnya penerapan baku mutu sebagai akibatnya kita bisa bersaing menggunakan dunia dunia, dan penggunaan banyak sekali cara belajar menggunakan mendayagunakan sumber belajar. Bila kita cermati ketiga acuan pada atas merupakan dasar hukum dan operasional pengembangan pendidikan masa depan. Dalam pembangunan pendidikan ke depan ini, ketiga acuan itu adalah dasar pada mengembangkan cetat biru (blueprint) pendidikan nasional.

2. Kajian Konsepsional mengenai Penjaminan mutu pendidikan
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional sudah ditetapkan visi, misi dan taktik pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tersebut merupakan terwujudnya sistem pendidikan menjadi pranata sosial yang kuat serta berwibawa untuk memberdayakan semua rakyat negara Indonesia berkembang sebagai manusia yg berkualitas sehingga bisa dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait menggunakan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. 

Salah satu prinsip tersebut merupakan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yg berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tadi harus ada pendidik yang memberikan keteladanan serta mampu membangun kemauan, dan menyebarkan potensi serta kreativitas siswa. Implikasi dari prinsip ini merupakan pergeseran kerangka berpikir proses pendidikan, yaitu menurut paradigma pedagogi ke paradigma pembelajaran. 

Paradigma pengajaran yg telah berlangsung sejak usang lebih menitikberatkan peran pendidik pada mentransfer pengetahuan pada peserta didik. Seperti sudah disebutkan dalam pendahuluan , dewasa ini kerangka berpikir tersebut sudah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang memberikan kiprah lebih banyak pada siswa buat berbagi keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, rakyat, bangsa dan negara. Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang berdasarkan kerangka berpikir baru tersebut, diharapkan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria dan kriteria minimal menjadi panduan, yang saat ini dikenal menggunakan delapan baku mutu nasional pendidikan. 

Tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan adalah buat menjamin mutu proses transpormasi, mutu instrumental dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1) standar isi, (2) baku proses, (tiga) baku kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) baku wahana serta prasarana, (6) baku pengelolaan, (7) standar pembiayaan, serta (8) baku evaluasi pendidikan. (Bab IX UUSPN). Konsep tadi di atas bisa diwujudkan dalam diagram berikut:

Gambar Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Dalam kaitan menggunakan itu, Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, dari tahun 1920an telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan memanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang diharapkan dalam global pendidikan merupakan suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih serta penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, nir terdapat pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota warga yg berguna. Manusia merdeka merupakan seorang yang mampu berkembang secara utuh serta selaras menurut segala aspek kemanusiannya serta mampu menghargai serta menghormati humanisme setiap orang. Metode pendidikan yang paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yg berdasarkan dalam asih, asah dan asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu berdasarkan pada “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”. 

Mengingat bahwa pendidikan itu adalah suatu sistem menggunakan komponen-komponen yang saling berkaitan, maka keseluruhan sistem wajib sinkron dengan ketentuan yg dibutuhkan atau standar. Untuk itu masing-masing komponen pada sistem harus pula sesuai menggunakan baku yang ditentukan beserta. Hal ini mesti dilakukan dalam kaitan terjadinya penjaminan mutu pendidikan itu sendiri, karena; penjaminan mutu merupakan proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sebagai akibatnya konsumen, produsen, serta pihak lain yg berkepentingan memperoleh kepuasan. Jika dikaitkan dengan pengelolaan pendidikan, penjaminan mutu yang dimaksud merupakan proses penetapan serta pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten serta berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam PP 19/2005 delapan baku tadi di atas merupakan aspek-aspek yg wajib memenuhi baku mutu dalam kaitan dengan penjaminan mutu suatu lembaga. Kualifikasi pendidik adalah keliru satu Standard yg wajib dipenuhi sinkron dengan PP 19/2005. Dengan terpenuhinya kualifikasi pendidik diharapkan pengelolaan proses pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menantang, memotivasi serta menyenangkan (I2M3).

3. Implementasi Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan
Terjadinya pergeseran kerangka berpikir pendidikan nasional seperti telah dikupas pada depan, mengakibatkan adanya banyak sekali kebijakan pendidikan yang relevan menggunakan itu. Beberapa kebijakan yg menonjol, diantaranya pada bidang menajeman pendidikan yaitu desentralisasi pendidikan (melalui acara menajemen pendidikan berbasis sekolah), dalam bidang kurikulum yaitu kurikulum taraf satuan pendidikan yg berbasis kompetensi (KTSP), dalam proses pembelajaran terdapat acara akselerasi belajar (learning accelleration). Kebijakan-kebijakan baru ini perlu menerima perhatian yang serius sampai dalam tataran guru menjadi ujung tombak.

a. Menajemen Pendidikan Berbasis Sekolah
Hasil studi yg dilakukan Bank Dunia, yg diberi judul Education in Indonesia: from Crisis to Recovery (1998) diantaranya menghasilkan simpulan bahwa terdapat tiga faktor penyebab ketidakefisienan manajemen sekolah, yaitu: (1) pada umumnya ketua sekolah, terutama sekolah negeri memiliki swatantra yg sangat terbatas dalam menajemen sekolah dan dalam tetapkan alokasi sumber-sumber, (2) poly kepala sekolah yg memiliki keterampilan yang terbatas dalam menajemen sekolah, (3) partisipasi rakyat dalam menajemen sekolah sangat terbatas, hal ini diantaranya dapat dipandang menurut ketidakmampuan kepala sekolah dalam memobilisasi dukungan warga .

Sehubungan dengan itu, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS), yang dicanangkan sejak tahun 2000 adalah respon terhadap kebutuhan penyesuaian terhadap konsep demokrasi serta otonomi. Inti dari MPBS adalah pemberdayaan rakyat sebagai komponen yang penting pada penyelenggaraan pendidikan. Jika sebelumnya sekolah seolah-olah merupakan milik pemerintah dalam artian bahwa semua tanggungjawab penyelenggaraannya menjadi beban pemerintah, kini masyarakat sebagai komponen krusial pada tanggung jawab itu. Dengan pelibatan masyarakat, diharapkan muncul suatu kesadaran bahwa keberhasilan pendidikan adalah tanggung jawab semua komponen rakyat serta pemerintah. Sharing ini diantaranya telah diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah, dimana didalamnya terlibat penyelenggara sekolah, orangtua anak didik, maupun komponen masyarakat lainnya. Dalam perjalanannya hingga saat ini, Komite Sekolah telah mulai menjalankan manfaatnya tetapi belum optimal, dan selanjutnya diperlukan berkontribusi yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. MPBS dibutuhkan bukan hanya membuatkan pada fungís sebagai penyandang dana, tetapi pelibatan orangtua serta masyarakat diharapkan pula terjadi. Di negara-negara maju seperti AS, MPBS sudah lama dilakukan, kerjasama sekolah dengan orangtua serta masyarakat juga dilakukan pada proses pembelajaran. Kedatangan orangtua ke sekolah buat membantu pengajar pada PBM, dokter yang memberi masukan pada suatu proyek dalam pelajaran hayati misalnya, bukanlah pemandangan yg aneh.

b. Kuríkulum Tingkat Satuan Pendidikan
Penggunaan Kuríkulum 1994 pada lapangan mengalami aneka macam paradoks, diantaranya menyangkut universalisasi pendidikan disatu pihak, serta tuntutan akan mutu yang tinggi dipihak lain. Setelah itu, ada upaya pembaharuan kurikulum, serta galat satu upaya merupakan pengembangan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum yg berbasis kompetensi ini, berukuran terpenting keberhasilan siswa merupakan dominasi mereka terhadap standar kompetensi. Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi ini (waktu ini terkenal menggunakan KTSP), dilakukan melalui identifikasi dan penentuan kemampuan dasar lulusan/ Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yg dijabarkan menjadi Standar Isi (SI) yang memuat, Standar Kompetensi (SK) serta Kompetensi Dasar (KD). Berdasarkan SI tadi masing-masing Satuan Pendidikan menyusun kurikulumnya menggunakan menjabarkan menjadi Materi, Pengalaman Belajar, Indikator. Terdapat peluang yang sangat akbar sekolah/guru berbagi kurikulumnya sendiri (berorientasi dalam SI yang sudah ditetapkan dalam Permen Diknas, juga mengembangkan dan memasukkan keunggulan lokal sinkron dengan kebutuhan masyarakatnya). 

c. Program Anak Berbakat/Percepatan Belajar
Dalam rangka realisasi pendidikan yg berwawasan masa depan, perhatian wajib diprioritaskan dalam pengklasifikasian siswa sesuai dengan kemampuan, bakat, juga minat mereka. Ini sangat krusial supaya pendidikan yang diikuti sahih-sahih bermakna. Beberapa progam sudah dilakukan terkait dengan syarat siswa yang variatif ini, yaitu melalui sistem akreditasi, sistem sekolah unggulan, maupun acara generik plus seperti program akselerasi belajar.

Diketahui bahwa forum pendidikan yg terdapat merupakan pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada jenjang sekolah menengah atas, pendidikan formal dibedakan antara SMA serta Sekolah Menengah Kejuruan. Pada hakekatnya pada jenjang SMA peserta didik diberikan pengalaman belajar pada rangka dominasi sains, teknologi, dan pengalaman belajar yang bisa membekali mereka melanjutkan pendidikannya ke PT. Sedangkan dalam jenjang SMK siswa diarahkan dalam penguasaan keterampilan baik yang bersifat jangka pendek juga jangka panjang, sebagai akibatnya tamatan SMK dibutuhkan langsung dapat masuk ke global kerja.

Perkiraan Ward (pada Semiawan, 1997) pada Indonesia masih ada 1,57 % anak yg berbakat tinggi (highly gifted), dan 10 % yang berbakat sedang (moderately gifted). Kedua kelompok anak ini berbakat akademik (akademic talented) atau keberbakatan intelektual. Anak-anak berbakat ini merupakan aset nasional yg sangat penting, karena mereka mempunyai interes intelektual dan perspektif masa depan yg jauh lebih baik dari anak kebanyakan, baik secara genetis maupun pada kecepatan tindakan. Dengan kelebihan ini, diperlukan energi dan pikiran mereka dapat membawa aneka macam pembaharuan pada bidang keilmuan, juga perubahan kearah perbaikan kehidupan masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan Edison (sang penemu listrik) yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Sesuai menggunakan keberadaan ke 2 gerombolan ini sebagai gerombolan yg ”berbeda” dengan anak normal lainnya, dan sesuai pula menggunakan misi pendidikan buat menaruh kesempatan pendidikan yg sebaik-baiknya bagi mereka, maka grup ini perlu mendapatkan pendidikan yg bisa mengakomodasi kelebihan mereka. Program buat mereka dapat berupa pendidikan spesifik, atau pendidikan generik buat anak berbakat (saat ini dikenal dengan acara kelas percepatan). Berkaitan dengan itu, beberapa perkiraan yg mendasari alasan kenapa anak berbakat perlu mendapatkan pendidikan yg tidak selaras dengan anak-anak lainnya, merupakan : (a) anak berbakat secara kualitatif tidak sama menggunakan anak lainnya, (b) pendidikan khusus bagi mereka sangat menguntungkan, karena sinkron menggunakan kemampuan mereka, (c) suatu acara wajib dilaksanakan menurut model instruksional yg terarah, (d) acara anak berbakat harus lebih menekankan perkembangan kreativitas dan proses berpikir tingkat tinggi, (e) metode pembelajaran bagi anak berbakat lebih berorientasi pada pendekatan induktif.

Pendidikan anak berbakat wajib diwarnai sang penekanan dalam aktivitas intelektual, kecepatan dan tingkat kompleksitas sinkron dengan kemampuan yang tinggi. Sehubungan dengan itu, bila anak-anak berbakat ditangani menggunakan acara akselerasi, maka ada 2 hal krusial yg harus diperhitungkan, yaitu: (a) pada acara percepatan, beban belajar yg sang anak-anak biasa dapat diselesaikan pada tiga tahun, maka oleh anak-anak berbakat ini hanya diperlukan waktu dua tahun. Ini berarti terjadi proses akselerasi pada belajar, (b) percepatan ini jua harus mengandung arti kualitatif, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka ditekankan pada kegiatan intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa, pada perilaku intelektual, aspek teoretis dan taraf abstraksi anak-anak berbakat menunjukkan karakteristik mental yg baik pada melihat hubungan yg bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi logis, mudah mengadaptasikan prinsip abstrak kesituasi nyata, serta sanggup menggeneralisasikan. 

Metode belajar yg relevan adalah metode penemuan (discovery learning) seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Bruner, dan metode induktif. Dalam discovery learning aspek kognitif berkembang melalui penemuan dan pengembangan hipotesis, bukan menggunakan cara duduk, membisu, dengar, dan catat. Discovery learning menaruh tantangan bagi kemampuan berpikir abstrak yg tinggi, serta pelibatan secara aktif pada menemukan jawaban dan tantangan tadi. Dengan cara ini, terjadilah penanjakan bergerak maju berdasarkan kehidupan mental yang dianggap eskalasi (Semiawan,1997).


Pembelajaran kognitif induktif dideskripsikan melalui empat istilah, yaitu: (a) inquiry, (b) masalah solving, (c) discovery learning, serta (d) scientific method. Pembelajaran induktif mempunyai rasional yang kuat buat menaikkan: (a) penggunaan inteligensia secara optimal menggunakan memanfaatkan fungsi kedua belahan otak secara penuh, (b) kemampuan murid buat mengarahkan diri dan tanggungjawab buat memperoleh kemajuan pada mencapai target jangka panjang serta jangka pendek, (c) kemampuan buat mensintesiskan keterangan, konsep, dan membuat generalisasi, serta (d) kemampuan mentransper belajar dalam situasi tidak selaras.

d. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa dan Pembelajaran yg Konstruktivis
Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada siswa (untuk selanjutnya, dianggap jua Student-Centered Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada waktu orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan siswa menjadi unsur aktif pada proses inkuiri, yaitu proses memecahkan perkara yang dihadapinya sendiri. Di bawah dampak perspektif pendidikan yg diklaim Progressive Education (lahir pada Amerika Serikat) yg meyakini bahwa pengalaman eksklusif merupakan inti dari belajar, para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menduga bahwa peserta didik sebagai kantong kosong yg baru berisi apabila diisi sang guru (teori Tabula Rasa). Bagi pendidikan progresif, peran pengajar merupakan sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah siswa.

John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas adalah laboratorium yg memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak pengajar untuk menggunakan perkara riil sehari-hari buat dipecahkan oleh murid, sebagai bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yg bermakna adalah pembelajaran yg memuat kasus-masalah nyata yang sedang dihadapi, nir tentang hal-hal yg abstrak bagi siswa. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan learning by doing. Ciri-ciri pembelajaran progresif diantaranya, ruang kelas yg diatur secara fleksibel, keleluasaan bagi peserta didik buat bekerja gerombolan maupun individual sinkron dengan kebutuhannya, siswa ikut berperan pada memilih anggaran kelas, dan materi pembelajaran yg kaya dan variatif.

Selain impak pendidikan progresif, juga ada impak perspektif open classroom yang meyakini bahwa siswa memiliki motivasi intrinsik buat belajar, dan dorongan menurut dalam ini hanya mampu dipuaskan melalui aktivitas eksplorasi dan pemecahan kasus (masalah solving). Pada akhir tahun 70an, di bawah imbas psikologi kognitif, berkembang perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran.

Konstruktivisme berarti bahwa peserta didik membentuk (to construct) pemahamannya mengenai dunia. Berbicara mengenai konstruktivisme bukanlah berbicara mengenai suatu teknik tertentu dalam pembelajaran, melainkan kita berfikir mengenai proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada 2 istilah kunci pada konstruktivisme, yaitu murid aktif (active) serta memperoleh makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000); dimana pembelajaran konstruktivis tadi digambarkan sebagai berikut: Peserta didik nir semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan, menentukan liputan yang dianggapnya relevan, serta tahu informasi tersebut dari pengetahuan yg ada padanya, serta kebutuhannya. Peserta didik menambahkan kabar yg diperlukannya tidak selalu berdasarkan materi yg disediakan pengajar/pengajar. Ini adalah suatu proses yang aktif karena peserta didik harus melakukan banyak sekali aktivitas kognitif, afektif, dan psikomotorik agar kabar tadi bermakna bagi dirinya (Elliott, 2000; p. 15).

Belakangan, aneka macam interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan itu terwujud dalam siswa; terdapat yang berkata bahwa peserta didik itu sendiri bisa membangunnya, akan tetapi ada jua yg menyampaikan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi pada hubungan sosial misalnya teman sebaya, serta famili. Yang pertama diwakili sang J. Piaget, yang berkata bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan akuisisi pengetahuan yg sesuai dengan yang sudah terdapat sebelumnya; dan akomodasi merupakan proses akuisisi terhadap hal-hal baru yg belum terdapat pada skema (pengetahuan yg tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak, Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial dengan orang lain yg lebih mampu (pada istilah Vygotsky: skilled individuals). Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi apabila proses akuisisi pengetahuan dilakukan pada lingkungan sosial budaya yang sesuai.

Dibawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yg dipercaya dapat menjawab tantangan pendidikan dunia kini ini (pendidikan yg bermakna, bukan pendidikan yg membebani hayati) merupakan pembelajaran yg berpusat pada siswa. Berdasarkan hakikat SCL tersebut pada atas, maka bisa dilihat perbedaan antara SCL dengan pembelajaran yg berpusat pada pengajar serta berorientasi pencapaian materi (Teacher-centered, content-oriented/TCCO), menjadi berikut:

Teacher Centered

Student-Centered Learning


Pengetahuan ditransfer menurut guru ke siswa
Siswa secara aktif membuatkan pengetahuan serta keterampilan yg dipelajarinya

Siswa menerima pengetahuan secara pasif
Siswa secara aktif terlibat didalam mengelola pengetahuannya

Lebih menekankan pada penguasaan materi
Penguasaan materi dan jua menyebarkan karakter murid (life-long learning)

Biasanya memanfaatkan media tunggal
Multimedia

Fungsi pengajar menjadi pensuplai liputan utama serta evaluator
Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan beserta dengan siswa

Proses pembelajaran dan asesmen dilakukan secara terpisah
Terpadu serta berkesinambungan

Menekankan dalam jawaban yg sahih saja
Menekankan pada pengembangan pengetahuan. Kesalahan memperlihatkan proses belajar dan bisa digunakan sebagai salahsatu sumber belajar

Cocok buat pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja
Untuk pengembangan ilmu interdisipliner

Iklim belajar lebih individual serta kompetitif
Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif

Proses pembelajaran hanya terjadi pada siswa
Siswa dan guru belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan

Pelajaran mengambil porsi waktu terbanyak
Pelajaran serta aneka macam kegiatan lain pada proses belajar

Penekanan dalam ketuntasan materi
Penekanan pada pencapaian sasaran kompetensi

Penekanan pada cara pembelajaran yg dilakukan oleh guru
Penekanan dalam bagaimana cara murid belajar. Penekanan pada duduk perkara-based learning dan skill competency

PENJELASAN DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Penjelasan Desentralisasi Pendidikan 
Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah dalam hakekatnya memberi kewenangan serta keleluasaan kepada pemerintah wilayah buat mengatur dan mengurus kepentingan warga setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sinkron dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota dari azas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, konkret dan bertanggung jawab.

Berkaitan dengan aspirasi warga , ditegaskan juga bahwa wilayah dibentuk menurut kehendak warga setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas wilayah serta berbagai kondisi lain yang memungkinkan daerah menyelenggarakan swatantra wilayah (Pasal lima ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004).

Dipertegas jua “Bahwa bidang pendidikan adalah bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan daerah otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah sentra yg dikenal menggunakan desentralisasi pendidikan”.

Selanjutnya Burhanuddin (1998 : 117) “Sistem Sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau manajemen pemerintahan mempunyai akibat langsung terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional serta manajemen pendidikan. Bidang-bidang yg terkait pribadi dengan sistem tersebut adalah kebijaksanaan, pengawasan, mutu dan asal dana pendidikan”.

Pendelegasian bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke wilayah, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau menurut unit ke unit dibawahnya, termasuk juga berdasarkan pemerintah ke warga . Salah satu wujud desentralisasi yg dimaksud adalah terlaksananya proses swatantra pada penyelenggaraan pendidikan. Kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, seperti kewenangan merumuskan, memutuskan, melaksanakan sampai dengan melakukan evaluasi terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu nir semua wewenang dapat didesentralisasikan.

Kalster (2000 : 11), menyebutkan bahwa desentralisasi pendidikan dalam bentuk School Base community, diyakini dapat menaikkan efisiensi, relevansi. Pemerataan serta mutu pendidikan dan memenuhi azas keadilan dan demokrasi. Hasil studinya menunjukkan bahwa masih ada potensi yg memungkinkan keberhasilan pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Pemberdayaan sekolah dengan menaruh swatantra lebih besar , di samping memperlihatkan sikap tanggap, pemerintah terhadap tuntutan rakyat pula bisa ditunjukkan menjadi sarana peningkatan efesiensi, mutu serta pemerataan pendidikan. Penekanan tersebut berubah berdasarkan waktu ke waktu sesuai dengan konflik yg dihadapi sang pemerintah Misalnya krisis ekonomi yang nir dapat dihindari dampaknya terhadap pendidikan, terutamanya berkurangnya penyediaan dana yg relatif untuk pendidikan dan menurunnya kemampuan sebagai orang tua buat membiayai pendidikan anaknya. Kondisi tadi secara pribadi mengakibatkan menurunnya mutu pendidikan serta terganggunya proses pemerataan. Dengan melibatkan warga dalam pengelolaan sekolah, pemerintah akan terbantu pada control juga pembiayaan sebagai akibatnya dapat lebih berkonsentrasi pada rakyat kurang sanggup yg semakin bertambah jumlahnya. Di samping itu, berkurangnya lapisan birokrasi dalam prinsip desentralisasi juga mendukung efesiensi tersebut, keterlibatan ketua sekolah, dan guru pada pengambilan keputusan sekolah yang dalam akhirnya mendorong mereka buat memakai asal daya yg terdapat seefesien mungkin buat mencapai output yg optimal.

Pemberian swatantra yg luas pada sekolah adalah kepedulian pemerintah terhadap gejala-tanda-tanda yg ada pada masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian otonomi ini menuntut pendekatan manajemen yg lebih aman di sekolah agar dapat mengakomodasi seluruh keinginan sekaligus memberdayakan aneka macam komponen rakyat secara efektif guna mendukung kemajuan dan sistem yg ada di sekolah. Dengan landasan tadi, pemerintah mencoba buat menerapkan desentralisasi pendidikan menjadi solusi. Selain hal tersebut diatas, ada beberapa faktor yang mendorong penerapan desentralisasi. Pertama, tuntutan orang tua, grup warga , para legislator, pebisnis, serta perhimpunan pengajar buat turut dan mengontrol sekolah serta menilai kualitas pendidikan. Kedua, asumsi bahwa struktur pendidikan yg terpusat tidak bisa bekerja dengan baik pada mempertinggi partisipasi siswa bersekolah. Ketiga, ketidakmampuan birokrasi yang terdapat buat merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan rakyat yg beragam. Keempat, penampilan kinerja sekolah dievaluasi tidak memenuhi tuntutan baru dari rakyat. Kelima, tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan serta pendanaan. (Umiarso dan Imam Gojali,2010:47-48)

Dengan demikian, misi utama desentralisasi pendidikan merupakan menaikkan partisipasi rakyat dalam penyelenggaran pendidikan, menaikkan eksploitasi potensi daerah, serta terciptanya infrastruktur kedaerahan yg menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yg relevan menggunakan tuntutan zaman, seperti terserapnya konsep globalisasi, humanisasi dan demokrasi pada pendidikan. Penerapan demokratisasi pendidikan dilakukan menggunakan mengikut sertakan unsur-unsur pemerintah setempat, warga , dan orang tua pada interaksi kemitraan serta menumbuhkan dukungan positif bagi pendidikan. Kurikulum dikembangkan sinkron kebutuhan lingkungan. Selain itu, pengembangan kurikulum juga wajib bisa membuatkan kebudayaan wilayah dalam rangka memajukan kebudayaan nasional. Pada tataran ini, desentralisasi pendidikan mencakup 3 hal, yaitu manajemen berbasis sekolah, pendelegasian kewenangan, serta inovasi pendidikan.

Hal yang menarik merupakan desentralisasi pendidikan akan berimplikasi dalam tataran dunia baru pendidikan yang lebih humanis. Artinya. Ada ruang-ruang pada pendidikan buat membentuk siswa agar lebih mengerti dan berbakti buat kepentingan dan kesejahteraan bersama dengan landasan kearifan lingkungan. Dengan asas tersebut, tercipta juga kearifan ekologi yang merupakan buah berdasarkan inovasi kurikulum berbasis lingkungan atau warga .

Pertanyaan terpenting mengenai arah desentralisasi pendidikan merupakan sampai seberapa jauh sekolah-sekolah akan diberi wewenang yg lebih akbar menentukan kebijakan-kebijakan tentang organisasi dan proses belajar mengajar, manajemen guru, struktur dan perencanaan pada tingkat sekolah, serta sumber-asal pendanaan sekolah. Desentralisasi pendidikan yg efektif tidak hanya melibatkan proses hadiah kewenagan dan pendanaan yg lebih besar dari sentra ke daerah, tetapi juga mencakup pemberian kewenangan dan pendanaan yang lebih akbar ke sekolah-sekolah, sebagai akibatnya mereka bisa merencanakan proses belajar megajar dan pengembangan sekolah sinkron menggunakan kondisi dan kebutuhan masingt-masing sekolah. Oleh karena itu pada desentralisasi pendidikan ada target utama progaram restrukturisasi sistem serta manajemen pendidikan di indonesia. Restrukturisasi tersebut hendaknya meliputi hal-hal berikut:
(a) Struktur organisasi pendidikan hendaknya terbuka dan dinamis, serta mencerminkan desentralisasi dan pemberdayaan rakyat pada penyelenggaraan pendidikan.
(b) Sarana pendidikan serta fasilitas pembelajaran dibakukan dari prinsif edukatif sebagai akibatnya forum pendidikan adalah loka yg menyenangkan buat belajar, berprestasi, berkreasi, berkomunikasi, berolahraga, serta menjalankan syariat kepercayaan .
(c) Tenaga pendidikan terutama tenaga pengajar wajib melalui proses seleksi sejak memasuki LPTK disertai sistem tunjangan ikatan dinas serta harus mengajar.
(d) Struktur kurikulum pendidikan hendaknya mengacu dalam penerapan sistem pembelajaran tuntas, tidak terikat dalam penyelesaian sasaran kurikulum secara seragam persemester serta tujuan ajaran.
(e) Proses pembelajaran tuntas diterapkan menggunakan aneka macam modus pendekatan pembelajaran, siswa aktif sesuai menggunakan taraf kesulitan konsep-konsep dasar yg dipelajari.
(f) Sistem evaluasi output belajar secara berkelanjutan perlu diterapkan di setiap lembaga pendidikan sebagi konsekuensi dari aplikasi pembelajaran tuntas.
(g) Kegiatan supervisi serta akreditasi. Supervisi serta pelatihan administrasi serta akademis dilakukan oleh unsur manajemen taraf pusat dan provinsi bertujuan untuk pengendalian mutu, sedangkan akreditasi dilakukan buat menjamin mutu pelayanan kelembagaan.
(h) Pendidikan berbasis rakyat, seperti pondok pesantren, kursus-kursus keterampilan serta pemagangan pada tempat kerja dalam rangka pendidikan sistem ganda harus menjadi bagian berdasarkan sistem pendidikan nasional.
i) Formula pembiayaan pendidikan atau unit cost serta subsidi pendidikan wajib berdasarkan pada bobot penyelenggaraan pendidikan yg memperhatikan jumlah siswa, kesulitan komunikasi, taraf kesejahteraan warga , taraf partisipasi pendidikan, serta kontribusi warga terhadap pendidikan pada setiap sekolah. 

Berdasarkan hal tersebut pada atas, maka pergeseran sistem penyelenggaraan pendidikan yg menaruh wewenang lebih poly pada daerah kabupaten dan kota dalam dasarnya mempunyai tujuan supaya pendidikan dapat berjalan lebih efektif serta efisien. Pemangkasan mekanisme sistem birokrasi yang berbelit-belit yang terpusat secara sentralistik sudah banyak membuang porto dan waktu sampai tiba pada termin target pendidikan yang sesungguhnya seperti pemugaran kualitas dan personil pendidikan sekolah dan siswa di daerah. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yg diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah merupakan : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yg memberi wewenang dalam sekolah buat merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara holistik; (dua) Pendidikan yang berbasis dalam partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi hubungan yang positif antara sekolah dengan rakyat, sekolah sebagai community learning centre; serta (3) Dengan memakai paradigma belajar atau learning kerangka berpikir yang akan mengakibatkan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah pula mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yg memberi pembekalan kepada pelajar buat siap bekerja membentuk keluarga sejahtera. 

Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan menerima pembekalan life skills yang berisi pemahaman yg luas serta mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya supaya akrab serta saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru menurut insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hayati yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan global akhirat. Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan warga pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam menaruh perhatian serta kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membangun Komite Sekolah yang keanggotaannya bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tadi, namun mengikutsertakan jua guru, siswa, tokoh warga dan pemerintahan pada sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.

Tujuan acara MBS di antaranya menuntut sekolah agar bisa menaikkan kualitas penyelenggaraan serta layanan pendidikan (quality insurance) yang disusun secara beserta-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut kiprahnya bukan hanya membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tadi, melainkan membantu juga mengawasi serta mengontrol kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya, diperlukan bisa tetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Realisasi menurut ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk berdasarkan orangtua siswa buat membantu operasional sekolah buat menggapai kualitas pendidikan.

Sebetulnya,sejak acara MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun asal-asal pendanaan pendidikan, baik menjadi dukungan terhadap penyediaan wahana dan prasarana pendidikan juga buat peningkatan kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula buat peningkatan kualitas kesejahteraan pengajar pada sekolah itu. Tetapi, kiprah komite di strata pendidikan dasar (Sekolah Dasar/MI serta SMP/MTs) yang telah mulai bagus ini terhapus pulang sang program berikutnya, yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah pada pendidikan, sebagai akibatnya bisa membantu kepedulian warga dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana yg dikembangkan merupakan “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian warga terhadap pendidikan yang sudah mulai terbangun pada MBS. Dari hal pada atas, dalam beberapa sekolah yg pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih kurang, menduga misalnya halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui kiprah stakeholders pendidikan semakin menurun. Maka, nir heran apabila banyak sekolah yg rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan sang komite sekolah, sembari berharap tiba sang penyelamat, yaitu pemerintah. 

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih masih ada beberapa perkara. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan eksklusif (sekolah) sebagai kewenangan ketua sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya harus sebagai wewenang guru. Berdasarkan wewenang profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengukur hasil pembelajaran. Tetapi, pada SMTP serta SMTA sebagian wewenang meluluskan hasil belajar anak didik masih menjadi “proyek pemerintah pusat” menggunakan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian juga pada tingkat SD di kabupaten/kota, ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, menggunakan dalih “ikut-ikutan” pemerintah sentra mengendalikan mutu pendidikan pada wilayah. Padahal, ditinjau berdasarkan hakikat pengajaran dan sejalan menggunakan desentralisasi pendidikan, evaluasi merupakan bagian menurut tugas pengajaran seseorang pengajar, sebagai akibatnya wewenang itu jangan “direbut” oleh birokrasi pendidikan. 

Kenyataan itu memberitahuakn bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yg masih 1/2 hati diserahkan. Sehubungan menggunakan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara kentara maka pada lapangan masih ada beragam metode serta cara dalam melaksanakan acara peningkatan mutu pendidikan. Sampai waktu ini output berdasarkan kebijakan tersebut belum tampak, tetapi berbagai improvisasi pada daerah sudah memberitahuakn rona yg lebih baik. Misalnya, beberapa langkah acara yg sudah dijalankan di beberapa wilayah, berkaitan menggunakan kebijakan pendidikan pada rangka peningkatan mutu berbasis sekolah serta peningkatan mutu pendidikan berbasis rakyat diimplementasikan menjadi berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN menjadi pengganti EBTA /EBTANAS
(dua) Telah dibentuknya Komite Sekolah menjadi pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal serta pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi pada penerimaan murid baru
(5) Pemberian bonus kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta donasi peralatan praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM menjadi model hadiah beasiswa pada pengajar buat mengikuti program Pascasarjana. 

Kebijakan otonomi pendidikan dalam konteks otonomi wilayah sebagai berikut, diantaranya: a) Secara general otonomi pendidikan menuju pada upaya menaikkan mutu pendidikan sebagai jawaban atas “kekeliruan” kita selama lebih menurut 20 tahun bergelut menggunakan problem-masalah kuantitas, b) Pada sisi swatantra wilayah, swatantra pendidikan mengarah dalam menipisnya kewenangan pemerintah sentra serta membengkaknya kewenangan wilayah otonom, atas bidang pemerintahan berlabel pendidikan yg harus disertai dengan tumbuhnya pemberdayaan serta partisipasi rakyat, c) Terdapat potensi tarik menarik antara swatantra pendidikan dalam konteks swatantra wilayah dalam menempatkan kepentingan ekonomik dan finansial menjadi kekuatan tarik menarik antara pemerintahan daerah otonom dan institusi pendidikan. D) Kejelasan tempat bagi institusi-institusi pendidikan perlu diformulasikan agar swatantra pendidikan bisa berjalan pada relny, e) Pada tingkat persekolahan, swatantra pendidikan berjalan atas dasar desentralisasi serta prinsip School Based Management dalam tingkat pedidikan dasar serta menengah; penataan kelembagaan dalam level serta tempat yg menjadi faktor kunci keberhasilan swatantra pendidikan, f) Sudah selayaknya bila otonomi pendidikan harus bergandengan menggunakan kebijakan akuntabiliti terutama yg berkaitan menggunakan prosedur pendanaan atau pembiayaan pendidikan, g)Pada level pendidikan tinggi, kebijakan otonomi masih permanen berada dalam kerangka swatantra keilmuan, h) Dalam konteks otonomi daerah, kebijakan swatantra pendidikan tinggi dapat ditempatkan bukan dalam kepentingan wilayah semata-semata melainkan dalam kenyataan bahwa pendidikan tinggi adalah aset nasional, i) Secara makro, apapun yg terkandung di dalamnya, otonomi pendidikan tinggi haruslah menonjolkan keunggulan-keunggulannya. (Yoyon, 2000:6) 

Menurut Fransisca Kemmerer dalam Ali Muhdi 2007:149, terdapat empat bentuk desentralisasi pendidikan, yakni:
a) Dekonsentrasi, yakni pengalihan wewenang ke pengaturan taraf yang lebih rendah pada jajaran birokrasi pusat.
b) Pendelegasian, yaitu pengalihan wewenang ke badan quasi pemerintah atau badan yg dikelola secara publik
c) Devolusi, yakni pengalihan ke unit pemerintahan daerah
d) Swastanisasi, berupa pendelegasian wewenang ke badan bisnis partikelir atau perorangan.

Dalam masalah Indonesia, sejauh yg telah dilakukan nampaknya cenderung merogoh bentuk yg terakhir, swastanisasi.menguatnya aspirasi otonomi dan desentralisasi khususnya di bidang pendidikan, tidak terlepas menurut kenyataan adanya kelemahan konseptual dan penyelenggaraan pendidikan nasional, khususnya selama orde baru. Sebagaimana diungkapkan Azyumardi Azra bahwa di antara masalah serta kelemahan yg sering diangkat dalam konteks ini adalah:1) Kebijakan pendidikan nasional yg sangat sentralistik serta serba seragam, yg dalam gilirannya mengabaikan keragaman sinkron dengan realita rakyat Indonesia di aneka macam wilayah.dua) Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional lebih berorientasi kepada pencapaian sasaran kurikulum, pada gilirannya mengabaikan proses pembelajaran yang efektif dan bisa menjangkau seluruh ranah dan potensi murid. Proses pembelajaran sangat berorientasi dalam ranah kognitif dengan pendekatan formalisme serta pada saat yg sama, cenderung mengabaikan ranah afektif serta psikomotorik.

Kebijakan Publik Dalam Dimensi Akuntabilitas.
Kebijakan (policy) secar etimologi (dari istilah) diturunkan berdasarkan bahasa Yunani, yaitu “Polis” yg adalah kota (city). Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi serta merupakan pola formal yg sama-sama diterima pemerintah/forum sebagai akibatnya menggunakan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya (Monahan pada Syafaruddin, 2008:75). Abidin (2006:17) mengungkapkan kebijakan merupakan keputusan pemerintah yg bersifat generik dan berlaku buat semua anggota masyarakat.kebijakan merupakan anggaran tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yg bersifat mengikat, yg mengatur prilaku dengan tujuan buat membangun tata nilai baru pada warga . Kebijakan akan menjadi acum utama para anggota organisasi atau anggota rakyat pada berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan agresif. Berbeda menggunakan Hukum (Law) serta Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif serta interpratatif, meskipun kebijakan pula mengatur “apa yang boleh, dan apa yang nir boleh”. Kebijakan pula diperlukan bisa bersifat umum namun tanpa menghilangkan karakteristik lokal yg khusus. Kebijakan wajib memberi peluang diinterpretasikan sesuai syarat khusus yang terdapat.masih banyak kesalahan pemahaman juga kesalahan konsepsi tentang kebijakan. Beberapa orang menyebut policy pada sebutan kebijaksanaan, yg maknanya sangat tidak sama dengan kebijakan. Istilah kebijaksanaan merupakan kearifan yg dimiliki sang seorang, sedangkan kebijakan merupakan aturan tertulis output keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan merupakan : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Peraturan Daerah, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. Setiap kebijakan yg dicontohkan disini merupakan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini pula memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan bisa bersifat makro, meso, serta mikro. Ali Imron pada bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menyebutkan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) menjadi suatu pertimbangan yang berdasarkan atas system nilai dan beberapa evaluasi atas factor-faktor yg bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar buat mengopersikan pendidikan yg bersifat melembaga. Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai panduan buat merogoh keputusan, supaya tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai. 

Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang terdapat pada lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan serta lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia nir mampu berdiri sendiri. Ketika terdapat perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah. Ketika kebijakan politik pada serta luar negeri, kebijakan pendidikan umumnya akan mengikuti alur kebijakan yang lebih luas. Bahkan pergantian menteri dapat pula membarui kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yg aneh,ganti menteri berganti kebijakan. Masih jangan lupa dibenak kita terdapat pelajaran PSPB yg secara prinsipil tidak jauh tidak sinkron menggunakan IPS sejarah serta lucunya materi itu pun di pelajari di PMP (kini PKN/PPKN).

Isu akuntabilitas akhir-akhir ini semakin gencar dibicarakan seturut menggunakan adanya tuntutan warga akan pendidikan yang bermutu. Bahkan resonansinya semakin keras sekeras tuntutan akan reformasi dalam segala bidang. Ini mengambarkan bahwa kecenderungan warga dalam masa kini tidak sinkron dengan masa kemudian. Fasli Jalal serta Dedi Supariadi (2001) menyatakan: Bila di masa kemudian warga cenderung menerima apa pun yg diberikan sang pendidikan, maka sekarang mereka nir dengan gampang menerima apa yang diberikan sang pendidikan.

Masyarakat yg notabene membayar pendidikan merasa berhak untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik bagi dirinya serta anak-anaknya. Bagi forum-lembaga pendidikan hal ini mulai disadari serta disikapi dengan melakukan redesain sistem yang sanggup menjawab tuntutan warga . Caranya merupakan membuatkan model manajemen pendidikan yg akuntabel. Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001) menyatakan: Upaya untuk mencapai akuntabilitas institusi memerlukan kurikulum yg relevan yg memperhitungkan kebutuhan warga , kemampuan manajemen yang tinggi, komitmen yang kuat buat mencapai keunggulan, sarana penunjang yang mamadai, serta perangkat anggaran yang jelas serta dilaksanakan secara konsisten oleh institusi pendidikan yg bersangkutan. Empat hal penting yang dikemukakan pada atas membutuhkan proses dan ketika yang tidak singkat. Sebab nir saja diperlukan kemauan namun jua kemampuan buat melaksanakannya. Dalam teori perubahan, orang bisa berubah, bila dia mempunyai kemauan sekaligus kemampuan. Akuntabilitas pendidikan juga mensyaratkan adanya manajemen yang tinggi. 

Di Indonesia sudah lahir Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yg bertumpu dalam sekolah dan warga . Model manajemen ini menuntut keterlibatan yg tinggi menurut stakeholders sekolah. Susan Mohrman menyatakan, "Untuk mendukung pencapaian MBS sudah muncul manajemen berpartisipasi tinggi yg membutuhkan empat asal daya krusial: 1) warta, dua) pengetahuan, tiga) keterampilan, 4) penghargaan serta sanksi." Empat asal daya ini jika dikelola secara baik akan menaikkan efektivitas manajemen sekolah. Dan efektifitas manajemen sekolah akan ditunjukkan dengan output yang berkualitas. 

Akuntabilitas yang tinggi hanya bisa dicapai menggunakan pengelolaan asal daya sekolah secara efektif dan efisien. Akuntabilitas tidak tiba dengan sendiri setelah lembaga-forum pendidikan melaksanakan usaha-usahanya. Ada 3 hal yang mempunyai kaitan, yaitu kompetensi, akreditasi serta akuntabilitas. Menurut Fasli Jalal dan Dedi Supriadi (2001:88): Tiga aspek yg dapat memberi jaminan mutu suatu lembaga pendidikan, yaitu kompetensi, akreditasi, serta akuntabilitas. Lulusan pendidikan yang dipercaya sudah memenuhi semua persyaratan serta mempunyai kompetensi yg dituntut berhak menerima sertifikat. Lembaga pendidikan beserta perangkat-perangkatnya yang dievaluasi sanggup mengklaim produk yang bermutu disebut sebagai forum terakreditasi (accredited). 

Lembaga pendidikan yg terakreditasi dan dievaluasi bisa buat membentuk lulusan bermutu, selalu berusaha menjaga serta menjamin mutuya sebagai akibatnya dihargai sang masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang akuntable. Institusi pendidikan yang akuntabel merupakan institusi pendidikan yg mampu menjaga mutu keluarannya sehingga dapat diterima sang masyarakat. Jadi, pada hal ini akuntabel tidaknya suatu forum pendidikan bergantung kepada mutu outputnya. Di samping itu, akuntabilitas suatu lembaga jua bergantung pada kemampuan suatu lembaga pendidikan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan kepada publik. Penulis mengelompokkan akuntabiltas yang pertama sebagai akuntabilitas kinerja, sementara yg ke 2 menjadi akuntabilitas keuangan. Manajemen Berbasis Sekolah yang diterapkan pada Indonesia pula mensyaratkan kemampuan akuntabilitas sekolah kepada publik. 

Menurut Slamet (2005:6): MBS wajib dipahami sebagai contoh anugerah wewenang yang lebih besar kepada sekolah, yg meliputi wewenang mengatur serta mengurus sekolah, merogoh keputusan, mengelola, memimpin, serta mengontrol sekolah. Agar penyelenggara sekolah nir sewenang-wenang dalam menyelenggarakan sekolah, maka sekolah harus bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan. Untuk itu sekolah berkewajiban mempertanggungjawabkan pada publik tentang apa yang dikerjakan menjadi konsekuensi dari mandat yang diberikan oleh publik. Itu berarti akuntabilitas publik menyangkut hak publik untuk memperoleh pertanggungjawaban penyelenggara sekolah. Bagaimana sekolah sanggup mempertanggungjawabkan wewenang yang diberikan kepada publik, tentu menjadi tantangan tanggung jawab sekolah. Fasli Jalal serta Dedi Supriadi (2001:88) menyatakan di Indonesia banyak instituasi pendidikan yg lemah serta tidak sedikit institusi pendidikan yang nir akuntabel.

Pada tahun 1976 Prime Minister Callaghan mengusulkan bahwa pendidikan telah seharusnya lebih akuntabel pada warga serta kecenderungan generik bahwa berita-isu pendidikan seharusnya terbuka telah membuka ruang bagi buat menanggapinya, sekalipun itu bersifat non-profesional." (Gipps and Golstein, 1983 dalam Rita Headington, 2000). Di Indonesia akuntabilitas pada penyelenggaraan pendidikan, juga masih menempuh jalan panjang. Ketika terjadi perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, isu akuntabilitas sepertinya memperoleh nafas baru. Sekolah-sekolah menjadi basis penerapan manajemen pendidikan dituntut wajib mampu mewujudkan akuntabilitas bagi publik. Kalau begitu apa sebenarnya akuntabilitas itu? Menurut Slamet (2005:lima), "Akuntabilitas adalah kewajiban buat menaruh pertanggung jawaban atau buat menjawab serta memperlihatkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi pada pihak yg mempunyai hak atau kewajiban buat meminta kabar atau pertanggungjawaban. Sementara Zamroni (2008:12) mendefinsikan akuntabilias dikaitkan menggunakan partisipasi. Ini berarti akuntabilitas hanya bisa terjadi bila terdapat partisipasi menurut stakeholders sekolah. Semakin kecil partisipasi stakeholders dalam penyelenggaraan manajemen sekolah, maka akan semakin rendah pula akuntabilitas sekolah.jadi,jika disimpulkan akuntabilitas adalah kemampuan sekolah mempertanggungjawabkan kepada publik segala sesuatu mengenai kinerja yg diperoleh sebagai output partisipasi menurut stakeholders. 

Rita Headington berpendapat bahwa "Accountability has moral, sah and financial dimensions and operates at all levels of the education system." Ketiga dimensi yang terkandung dalam akuntabilitas, yaitu moral, aturan, dan keuangan menuntut tanggung jawab berdasarkan sekolah buat mewujudkannya, nir saja bagi publik tetapi pertama-tama wajib dimulai bagi rakyat sekolah itu sendiri. Sebagaimana dikatakan Rita Headington (2000:83), "Teacher have a moral and legal responsibility to provide appropriate educational experiences for pupils and to report to parents and other professionals." Headington menekankan akuntabilitas berdasarkan pengajar. Secara moral juga secara formal (aturan) pengajar mempunyai tanggung jawab bagi anak didik maupun orang tua siswa untuk mewujudkan proses pembelajaran yg baik. Pendapat Headington memberi tekanan dalam akuntabilitas kinerja pembelajaran. Di Indonesia, jua pada Negara-negara yang sudah menerapkan MBS, terjadi kekacauan dalam tahu MBS, bahwa acapkali aspek pembelajaran dipahami terpisah menggunakan MBS. Apa yang dikatakan sang David Marsh merupakan sebuah peringatan keras akan bahaya kekacauan dalam penerapan MBS. Bahwa MBS nir dipahami menjadi sebuah inovasi yang terpisah berdasarkan pembelajaran. Jadi, jikalau Rita Headington memberi tekanan akuntabiltas pada aspek pembelajaran yang dimotori oleh guru, maka sebenarnya ini adalah bagian hakiki pada penerapan MBS yang nir boleh diabaikan oleh sekolah. 

Tujuan akuntabilitas adalah agar terciptanya agama publik terhadap sekolah. Kepercayaan publik yg tinggi akan sekolah bisa mendorong partisipasi yg lebih tinggi juga terdapat pengelolaan manajemen sekolah. Sekolah akan dipercaya sebagai agen bahkan asal perubahan masyarakat. Slamet (2005:6) menyatakan: Tujuan primer akuntabilitas merupakan buat mendorong terciptanya akuntabilitas kinerja sekolah sebagai galat satu kondisi untuk terciptanya sekolah yang baik dan terpercaya. Penyelenggara sekolah wajib memahami bahwa mereka harus mempertanggung jawabkan output kerja pada publik. Selain itu, tujuan akuntabilitas adalah menilai kinerja sekolah dan kepuasaan publik terhadap pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, buat mengikutsertakan publik dalam pengawasan pelayanan pendidikan dan untuk mempertanggungjawabkan komitmen pelayanan pendidikan pada publik. Rumusan tujuan akuntabilitas pada atas hendak menegaskan bahwa, akuntabilitas bukanlah akhir berdasarkan sistem penyelenggaran manajemen sekolah, tetapi merupakan faktor pendorong keluarnya agama dan partisipasi yg lebih tinggi lagi. Bahkan, boleh dikatakan bahwa akuntabilitas baru menjadi titik awal menuju keberlangsungan manajemen sekolah yang berkinerja tinggi. 

1. Pelaksanaan Akuntabilitas pada MBS. 
Penerapan prinsip akuntabilitas pada penyelenggaraan manejemen sekolah menerima relevansi ketika pemerintah menerapkan swatantra pendidikan yang ditandai menggunakan pemberian wewenang pada sekolah untuk melaksanakan manajemen sinkron menggunakan kekhasan serta kebolehan sekolah. Dengan pelimpahan wewenang tersebut, maka pengelolan manajemen sekolah semakin dekat menggunakan rakyat yang adalah pemberi mandat pendidikan. Oleh karena manajemen sekolah semakin dekat menggunakan masyarakat, maka penerapan akuntabilitas pada pengelolaan adalah hal yg tidak dapat ditunda-tunda. Pelaksanaan prinsip akuntabilitas pada rangka MBS tiada lain agar para pengelola sekolah atau pihak-pihak yang diberi kewenangan mengelola urusan pendidikan itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan defleksi buat melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Dengan prinsip ini mereka terus memacu produktifitas profesionalnya sebagai akibatnya berperan akbar pada memenuhi berbagai aspek kepentingan masyarakat. Akuntabilitas menyangkut 2 dimensi, yakni akuntabilitas vertikal serta akuntabilitas horisontal. Akuntabilitas vertikal menyangkut hubungan antara pengelola sekolah menggunakan warga . Sekolah dan orang tua anak didik. Antara sekolah serta instansi pada atasnya (Dinas pendidikan). Sedangkan akuntabilitas horisontal menyangkut hubungan antara sesama warga sekolah. Antar kepala sekolah dengan komite, serta antara kepala sekolah menggunakan pengajar. Pengelola sekolah wajib bisa mempertanggungjawabkan seluruh komponen pengelolaan MBS kepada warga . Komponen pertama yang wajib melaksanakan akuntabilitas merupakan guru. Mengapa, karena inti menurut semua pelaksanaan manajemen sekolah merupakan proses belajar mengajar. Dan pihak pertama di mana guru harus bertanggung jawab merupakan siswa. Pengajar harus dapat melaksanakan ini pada tugasnya sebagai pengajar. 

Akuntabilitas dalam pedagogi dipandang menurut tanggung jawab guru pada hal menciptakan persiapan, melaksanakan pedagogi, serta mengevaluasi anak didik. Selain itu pada hal keteladan, misalnya disiplin, kejujuran, hubungan menggunakan anak didik sebagai penting untuk diperhatikan. Sebagaimana dikatakan oleh Headington (2004:88) bahwa, "Teacher are, first and foremost, accountable to their pupils. They are responsible for providing work which is interesting and challenging, maintaining pupils' involvement and helping them make progress in their learning. Akuntabilitas nir saja menyangkut proses pembelajaran, namun juga menyangkut pengelolaan keuangan, dan kualitas hasil. Akuntabilitas keuangan dapat diukur dari semakin kecilnya penyimpangan pada pengelolaan keuangan sekolah. Baik sumber-asal penerimaan, akbar kecilnya penerimaan, juga peruntukkannya dapat dipertanggungjawabkan sang pengelola. 

Pengelola keuangan yg bertanggung jawab akan menerima kepercayaan menurut rakyat sekolah serta masyarakat. Sebaliknya pengelola yang melakukan praktek korupsi nir akan dipercaya. Akuntabilitas nir saja menyangkut sistem namun pula menyangkut moral individu. Jadi, moral individu yang baik dan didukung oleh sistem yang baik akan mengklaim pengelolaan keuangan yang bersih, serta jauh berdasarkan praktek korupsi. 

Fakta menyangkut praktek korupsi pada global pendidikan bukan hal baru. Temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) athun baru 2008 bahwa, korupsi dalam global pendidikan sudah menjamah, mulai berdasarkan Departemen Pendidikan, Dinas Pendidikan, sampai pada sekolah-sekolah. Kenyataan ini sangat ironis, lantaran berbanding terbalik menggunakan apa yg seharusnya diajarkan lembaga pendidikan kepada anak bangsa, nir saja berdasarkan segi intelektual tetapi juga moral. Informasi ini merupakan "tamparan" keras bagi dunia pendidikan. Oleh karenanya dalam rangka penerapan MBS ini, pengelolaan keuangan sekolah wajib jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Akuntabilitas pula semakin mempunyai arti, waktu sekolah bisa mempertanggungjawabkan mutu outputnya terhadap publik. Sekolah yang sanggup mempertanggungjawabkan kualitas outputnya terhadap publik, mencerminkan sekolah yg mempunyai taraf efektivitas hasil tinggi. Dan sekolah yang memiliki tingkat efektivitas outputnya tinggi, akan menaikkan efisiens eksternal. 

2. Faktor-Faktor Penghambat Akuntabilitas dalam MBS. 
Codd (1999), seseorang pakar kebijakan pendidikan pada Marks Olssen, dkk (2004), menyatakan bahwa dalam perspektif dunia, akuntabilitas dipengaruhi oleh kecenderungan manusia yg mengutamakan kebebasan. Kebebasan yang muncul secara baru (neoliberalisme) ikut mempengaruhi ketahanan moral orang dalam melaksanakan akuntabilitas. Menurutnya Terdapat dua tipe akuntabilitas, masing-masing akuntabilitas eksternal dan akuntabilitas internal. Keduanya mempunyai karakteristik yg berbeda, ini ditimbulkan oleh lantaran titik tolak kedunya tidak selaras. Akuntabilitas eksternal berdasarkan manajemen hirarkis, sedangkan akuntabilitas internal berdasarkan dalam tanggung jawab profesional, dengan inheren sebuah konsep agen moral. Oleh lantaran pendasaran kedua jenis akuntabilitas ini berbeda, maka hal-hal yg diperlihatkanpun tidak selaras. Misalnya, akuntabilitas eksternal mempunyai agama yang rendah, sedangkan pada akuntabilitas internal justru kebalikannya memiliki agama yang tinggi. Selanjutnya berdasarkan segi tanggung jawab, pada akuntabilitas eksternal masih ada kontrol yang hirarkis, sedangkan pada akuntabilitas internal tanggung jawab professional didelegasikan. 

Dari segi aplikasi tugas, dalam akuntabilitas eksternal terikat pada kontrak, sedangkan akuntabilitas internal menekankan pada komitmen, loyalitas, rasa memiliki, serta kecakapan. Akuntabilitas eksternal menunjukkan proses formal dalam pelaporan dan perekaman buat manajamen hirarkhis, sedangkan pada akuntabilitas internal akuntabel poly konstituen. Dalam akuntabilitas eksternal kurang mengutamakan peran moral, ketimbang etika kebiasan, serta etika struktur. Sedangkan jenis akuntabilitas internal kiprah moral tinggi sebagai akibatnya pertimbangannya matang serta memiliki kebebasan buat bertindak. Kedua jenis akuntabilitas di atas mempunyai pendasaran yg sangat tidak sinkron. Kalau akuntabilitas eksternal efek faktor luar sangat besar , di sisi lain faktor dalam sangat lemah. Sebaliknya pada akuntabilitas internal faktor berdasarkan dalam diri lebih bertenaga ketimbang faktor luar. Kekuatannya terletak dalam motivasi dan komitmen individu untuk melaksanakan akuntabilitas organisasi. 

Akuntabilitas serta Faktor nilai-budaya Sekolah menjadi tempat penyelenggaran manajemen yang akuntabel merupakan suatu pranata sosial. Dikatakan sebagai pranata sosial lantaran pada tempat tersebut teradapat orang-orang menurut aneka macam latar belakang sosial yang membentuk suatu kesatuan dengan nilai-nilai serta budaya eksklusif. Nilai-nilai serta budaya tersebut potensial buat mendukung penyelenggaraan manajemen sekolah yg akuntabel, namun jua kebalikannya sanggup sebagai penghambat. Dalam sebuah ilustrasi perusahaan, Stephen Robins (2001:14) menyatakan: Workforce diversity has important implication for management practice. Manager will need to shift their philosophy from treating every one alike to recognizing differences and responding to those differences in ways that will ensure employe retention and greater productivity while, at the same time not discriminating. Artinya, keberagaman energi kerja memiliki akibat krusial dalam praktik manajemen. 

Para manejer harus mengubah filosofi mereka berdasarkan memperlakukan setiap orang dengan cara yg sama menjadi mengenali disparitas dan menyikapi mereka yang tidak sama dengan cara-cara yang menjamin kesetiaan karyawan dan peningkatan produktifitas sementara, dalam saat yang sama, tidak melakukan diskriminasi. Apa yg dikemukakan Robins berangkat berdasarkan asumsi akan perbedaan nilai dan budaya berdasarkan setiap anggota organisasi. Ada nilai-nilai yang bisa mendukung nilai-nilai organisasi, namun terdapat jua yang sebaliknya. Dalam konteks ini, diperlukan kiprah pemimpin buat bisa mengelolanya. 

Akuntabel merupakan nilai yang hendak ditegakan organisasi, apakah anggota organisasi bisa mendukungnya? Menjadi tantangan, sang lantaran latar belakang tadi. Jadi, faktor yg mempengaruhi akuntabilitas terletak pada dua hal, yakni faktor sistem serta faktor orang. Sistem menyangkut anggaran-anggaran, tradisi organisasi. Sedangkan faktor orang menyangkut motivasi, persepsi dan nilai-nilai yang dianutnya mempengaruhi kemampuannya akuntabilitas. Kalau ditelisik lebih jauh faktor orang sendiri sebenarnya nir berdiri sendiri, melainkan merupakan produk dari masyarakat menggunakan budaya tertentu. 

3.upaya-Upaya Peningkatan Akuntabilitas pada MBS. 
Bagaimanapun pula pengelolaan MBS mensyaratkan akuntabilitas yg tinggi, oleh karena itu perlu terdapat upaya konkret sekolah buat mewujudkannya. Menurut Slamet (2005:6) terdapat delapan hal yang wajib dikerjakan sang sekolah buat peningkatan akuntabilitas: Pertama, sekolah harus menyusun anggaran main mengenai sistem akuntabilitas termasuk prosedur pertanggungjawaban. Kedua, sekolah perlu menyusun panduan tingkah laris dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dan sistem supervisi menggunakan hukuman yang kentara serta tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah serta membicarakan pada publik/stakeholders di awal setiap tahun aturan. Keempat, menyusun indikator yang jelas mengenai pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan mengungkapkan hasilnya pada publik/stakeholders diakhir tahun. Keenam, menaruh tanggapan terhadap pertanyaan serta pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan kabar aktivitas sekolah pada publik yg akan memperoleh pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja yg baru sebagai kesepakatan komitmen baru. Kedelapan upaya di atas, semuanya bertumpu dalam kemampuan serta kemauan sekolah buat mewujudkannya. Alih-alih sekolah mengetahui sumber dayanya, sebagai akibatnya dapat digerakan untuk mewujudkan dan menaikkan akuntabilitas. 

Sekolah bisa melibatkan stakeholders buat menyusun dan memperbaharui sistem yg dipercaya nir bisa mengklaim terwujudnya akuntabilitas di sekolah. Komite sekolah, orang tua murid, grup profesi, serta pemerintah bisa dilibatkan buat melaksanakannya. Dengan begitu stakeholders sejak awal memahami dan merasa memiliki akan sistem yang terdapat. Untuk mengukur berhasil tidaknya akuntabilitas dalam manajemen berbasis sekolah, bisa dilihat dalam beberapa hal, sebagaimana dinyatakan sang Slamet (2005:7): Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah: 
1. Meningkatnya agama dan kepuasan publik terhadap sekolah. 
2. Tumbuhnya kesadaran publik mengenai hak buat menilai terhadap penyelenggaraanpendidikan di sekolah
3. Meningkatnya kesesuaian kegiatan-aktivitas sekolah menggunakan nilai dan norma yang berkembang di rakyat. 

Ketiga indikator di atas dapat dipakai sang sekolah buat mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai output sebagaiamana yg dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan pada banyak hal sehingga kepercayaan rakyat akan kinerja sekolah sebagai lebih tinggi dan menggunakan sendirinya partsipasi bertambah.