CARA MENGETAHUI KEPRIBADIAN SESEORANG DARI WARNA KESUKAAN FAVORIT BAG 2

Membaca Kepribadian berdasarkan Warna Kesukaan

Seperti yang sudah saya tulis kemarin, artikel ini memuatkekurangan penyebutan warna dalam artikel membaca kepribadian berdasarkan rona selera yg pertama. Seperti yang kita tahu,terdapat poly warna yang berkemungkinan buat disukai oleh seseorang, tetapi disinisaya hanya mengungkapkan warna yang umum serta poly disukai banyak orang saja,serta seperti apakah karakter anda yang mungkin belum sempat tertulis di artikelsebelumnya, ayo cari memahami disini!

1. Oranye
jika rona selera anda adalah oranye, anda merupakan orang yg optimis serta semangat. Anda jua orang yang percaya diri, ceria, mandiri serta ramah. Namun dalam masalah asmara, anda termasuk sosok yg flamboyan. Anda pula termasuk orang yang menyukai tantangan, serta suka merogoh resiko, hingga anda sangat suka berpetualangan. Sedang dari sisi negatif, anda sanggup sebagai seorang yg tidak tulus, mudah bangga pada diri sendiri dan terlalu memanjakan diri.

2. Abu-abu

Abu-abu merupakan rona diantara hitam dan putih, rona ini adalah warna kompromi, netral dan nir memihak. Warna ini juga pertanda sikap tenang, pendiam serta stabil. Apabila anda penyuka warna ini, anda juga adalah oarang yg klasik, konservatif, elegan serta bermartabat. Dan disisi negatif, anda merupakan orang yg non-emosional, dingin serta kesepian. Terkadang anda mampu menjadi sangat membosankan dan acuh tidak acuh.

3. Pirus (biru bahari)

Anda menggunakan rona favorit ini merupakan jenis orang ramah dan mudah berkomunikasi, anda mempunyai kepekaan serta kreativitas yang tinggi. Anda merupakan seseorang pemikir yang kentara serta penghasil keputusan yg baik. Anda jua memiliki harga diri yang baik dan berdikari. Disisi negatif, anda sanggup menjadi orang yang sangat tidak memikirkan kepentingan orang dan menjadi egois. Anda jua bisa menjadi narsis serta arogan.
4. Hijau
Anda merupakan tipe orang yang mudah, cinta alam dan membumi. Anda memiliki baku moral yang tinggi, seimbang serta melakukan hal yang benar adalah krusial buat Anda. Anda orang yg berkemauan keras serta paling nir suka buat diberitahu mengenai apa yang harus anda lakukan. Disisi negatif anda sanggup sebagai orang yang cepat cemas serta gelisah. Anda menyukai makanan serta sangat sulit buat berhasil menjalankan diet.
5. Kuning emas
Jika rona emas merupakan warna favorit anda, belas kasih dan kehangatan adalah sifat anda. Anda sangat berkwalitas, menggunakan fase zenit anda, anda sanggup memilki taraf spiritualitas yang tinggi dan jua darma. Anda pula orang yg berkarisma tinggi, berkepribadian dan individualistis. Bijaksana serta sukses, namun praktis dan amanah, Anda berorientasi dengan asa yang tinggi, mimpi dan asa berprestasi. Disisi negatif anda adalah orang yang bisa sebagai sangat superior dan terlalu percaya diri. Anda sulit buat mempercayai orang lain, serta disisi asmara, anda sangat selektif dalam memilih pasangan hayati, bahkan deskriminatif.

6. Perak (silver)
Anda menggunakan warna favorit ini adalah tipe orang yg berwawasan, introspektif, serta senang sibuk menggunakan global anda sendiri. Anda juga termasuk orang dengan intuisi yg bertenaga. Anda orang imajinatif serta kreatif, sangat bergerak maju dan fleksibel. Sedangkan berdasarkan perspektif negatif, anda merupakan orang yg hidup dalam kebohongan serta penipuan, terkadang anda juga hidup pada khayalan dan fantasi anda. Anda jua bisa sebagai arogan dengan sifat dominasi terhadap orang lain.

CARA MENGETAHUI KEPRIBADIAN SESEORANG DARI WARNA KESUKAAN FAVORIT

Membaca Kepribadian berdasarkan Warna Kesukaan

Setiap orang memiliki warna favorit tersendiri menjadi acuan buat memilih hal - hal yg disukainya. Warna baju yang acapkali digunakan, rona cat dinding kamar, serta benda-benda kecil pada keperluan sehari-hari. Sadarkah kamu bahwa pemilihan warna favorit ditentukan oleh keadaan psikologis masing - masing individu. Seseorang mungkin pernah mengubah warna favoritnya, jika engkau pernah mengalaminya, coba kamu jangan lupa-ingat balik , adakah hal akbar yg terjadi terhadap dirimu sehingga membuat kamu mengubah rona favorit tadi. Lebih lengkapnya, berikut makna psikologi dari warna yang paling kamu sukai:
1. Merah
Jika warna favorit kamu merupakan merah, engkau adalah orang yg percaya diri, optimis, berani serta ekstrovert. Memiliki naluri bertahan hayati yg tinggi, sangat haus akan perhatian. Disisi negatif penyuka rona merah sangat menggebu-nggebu, tidak tabah , spontan serta selalu ingin memegang kontrol atas segalanya. Nomor dua bukan sesuatu yg baik bagi penyuka rona merah, karena mereka sangat kompetitif serta selalu ingin sebagai pemenang.
2. Hitam
Untuk  kamu penyuka rona hitam, merupakan individu yg independen, berkemauan keras dan berkeinginan mengendalikan diri yg kuat dan juga situasi disekitar. Engkau akan tampak seram, otoriter serta menuntut bahkan sang sahabat kamu sendiri. Kamu termasuk orang yang non-emosional, tampak begitu bermartabat dan selalu dalam kontrol. Engkau orang yg tertutup, menjauhkan diri menurut poly orang dan membentuk dinding pembatas atas diri engkau . Mungkin kamu merupakan orang yang sedang atau sudah berada dalam keadaan yg sangat murung , kehilangan arah serta berada dalam global yg negatif.
3. Biru tua
Jika ini adalah rona favorit kamu, kamu ortodok, bisa dikamulkan dan bonafide. Engkau cukup percaya orang lain meskipun engkau sangat berhati-hati pada awal sampai engkau yakin berdasarkan orang lain. Kamu adalah orang yg sangat original dan tulus. Engkau sangat membutuhkan harmoni serta perdamaian dalam keseharian kamu, sangat penting bagi kamu buat meluangkan ketika buat memprosesdan membagikan perasaan kamu. Engkau cukup pemarah kecuali kamu mengendalikan emosi hingga sebagai baik bahkan dingin dan acuh. Percaya diri dan menguasai diri adalah sifat engkau , namun sebenarnya engkau mempunyai sisi rentan. Umumnya penyuka warna ini lebih senang berada di belakang layar.
4. Merah muda
Jika pink adalah rona favorit engkau , maka engkau adalah orang yg baik, menyenangkan serta murah hati. Kamu mempunyai sifat keibuan, sangat baik dalm merawat oarang lain hingga kamu lebih mementingkan orang lain daripada diri kamu sendiri. Kamu berhubungan dengan feminitas, sensitif, sensual dan romantis.  kamu halus, pendiam, damai dan non-kekerasan yg bisa memberikan kesan rasa memalukan. Kamu terorganisir serta sangat metodis saat kamu sudah matang. Terkadang kamu sangat kekanak-kanakan dan selalu berpenampilan muda. Yang perlu kamu lakukan merupakan sebagai lebih mandiri.
5. Ungu
kamu merupakan orang dengan semangat lembut dan bebas, sensitif serta lebih mementingkan orang lain, terkadang hal ini membuat engkau menjadi oarang yg dimanfaatkan. Kamu memilii kualitas yang hening dan karismatik, engkau pula orang yang idealis serta kurang bagitu praktis, engkau memiliki iamjinasi yang besar serta orang melihat engkau sebagai orang yang eksentrik. Kamu  visioner, kuarng senang pada kerumunan dan kurang senang dengantangguang jawab. Engkau kadang-kadang mampu sebagai arogan dan jemawa bila beroperasi dari perspektif negatif.

6. Putih
kamu merupakan eksklusif yg rapi, perfeksionis dan sangat menjaga kebersihan. Kamu oarang yang wajar, berpkamungan jauh, bijaksana dan optimis. Engkau berdikari dan penyediri yang terkadang membuat engkau kesepian lantaran sifat itu. Engkau  mampu sebagai sangat adil serta nir memihak, walau terkadang kamu sebagai sangat kritis karena sifat perfeksiaonis kamu. Kamu menyembunyikan kekurangan engkau berdasarkan orang lain buat memberikan efek paripurna dalam diri kamu. Tantangan bagi engkau merupakan buat sebagai lebih terbuka dan fleksibel, buat lebih berkomunikasi mengenai kebutuhan serta harapan engkau .

7. Kuning
kamu penyuka warna kuning merupakan orang yg menganalisis segala sesuatu, sepanjang saat, dan metodis pada pemikiran kamu. Engkau spontan dan merogoh suatu keputusan secara cepat-cepat, serta sering datng dari kecemasan. Kamu sangat selektif pada memilih sahabat, membuat perkumpulan teman kamu menjadi serikat yang tertentu. Kamu spontan serta bisa berpikir cepat pada kaki kamu dan membuat keputusan instan. Kamu berpikiran terkini dan tidak kikuk pada perkembangan teknologi serta berhadapan dengan orang menggunakan pikiran yang tinggi. Tapi terkadang engkau mampu menjadi orang menggunakan pengecap yang sangat tajam dalam suatu perdebatan. Dan dengan orientasi negatif, engkau bisa sebagai orang yang sombong, keras kepala dan penipu.

8. Coklat
Jika kamu adalah penyuka warna ini engkau adalah orang yang jujur, down to earth, stabil dan ramah. Kehidupan keluarga sangat krusial buat engkau , serta engkau sangat suka kesederhanaan serta kualitas. Engkau sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan sensitif terhadap kritik oleh orang lain. Engkau mampu menjadi teman yang sangat setia, dapat dipercaya dan bisa dikamulkan yang membuat seorang sangat mudah buat curhat kepada engkau . Kamu suka kehidupan terstruktur dengan segala sesuatu di tempatnya, meskipun kamu bukan seorang perfeksionis dengan cara apapun.  engkau relatif materialistis serta sering melihat kehidupan menjadi perjuangan percaya bahwa hayati tidak dimaksudkan buat menjadi mudah.
So, warna manakah favorit engkau , engkau mampu mengetahui lebih poly mengenai diri engkau . Warna memang banyak, tidak hanya yang tadi diatas, serta mungkin rona yang kamu sukai belum tercantum dalam  artikel ini. Lantaran terlalu poly rona, yg nir memungkinkan buat tercantum dalam satu artikel sekaligus, kamu sanggup membaca artikel yang selanjutnya ‘Seperti Apa Karakter kamu? Ayo Cari Tahu Lewat Warna Favorit (part.dua)'

MENGENALI KEPRIBADIAN SESEORANG DARI BENTUK PUNGGUNGNYA

Sebelum mengenal seseorang lebih dekat, tentu kita harus tahu terlebih dahulu memahami misalnya apa karakter orang tadi sebenarnya. Hal ini seringkali, beberapa orang nir bisa langsung dinilai hanya dari omongan atau cara bicaranya saja. Secara psikologi, rata-homogen orang akan bertingkah lebih manis jika menginginkan sesuatu berdasarkan kita. Sebaliknya, mereka cenderung akan berpikiran negatif bila ada yang kurang disukai menurut diri kita. Mengenali kepribadian orang yang sesungguhnya sangatlah penting agar kita nir tak jarang galat tingkah serta keliru persepsi dalam menilai orang lain.
Ada poly cara buat mengetahui kepribadian orang yg sesungguhnya, galat satunya merupakan menggunakan melihat seperti apa bentuk tulang punggungnya. Dalam struktur tubuh insan, tulang punggung adalah bagian terpenting, lantaran memiliki fungsi menjadi stabilitas serta penopang anggota tubuh lainnya. Secara khusus, bentuk punggung jua dapat membicarakan seberapa akbar kekuatan yang dimiliki seseorang dan seberapa kerasnya dia bekerja dalam global nyata.
1.bentuk punggung sedikit bengkok
Bentuk punggung yg sedikit bengkok mengungkapkan bahwa orang tadi  mempunyai kepribadian yg sedikit introvert serta suka menahan diri menurut kehidupan bersosial. Orang-orang ini cenderung lebih senang menggunakan lebih banyak otaknya daripada kekuatan otot (fisik). Biasanya mereka akan mulai mengalami masalah kesehatan eksklusif saat mencapai usia 40-an. Mereka jua jarang memiliki sahabat dekat buat curhat atau saling berbagi pengalaman kehidupan. Beberapa antara lain ada yg gampang mengalami depresi dan perkara psikologis lainnya, terlebih apabila mereka nir segera menemukan sahabat hidup yg tepat.
2.punggung terlihat bengkok jelas
Menurut kepercayaan , postur tubuh seperti ini tidak hanya berbahaya bagi kesehatan tetapi pula berkaitan dengan nasib yang kurang baik. Orang dengan bentuk bahu yg membungkuk seperti tampak pada ilustrasi gambar pada atas acapkali menghadapi poly perkara dalam menjaga interaksi. Meski umumnya memiliki otak yang lumayan cerdas, orang-orang misalnya ini banyak mengalami perjuangan yg nir ringan semasa hidupnya.
3.punggung bengkok serta leher tampak mencuat
Orang dengan bentuk punggung misalnya ini umumnya mempunyai kebiasaan menyeret kaki waktu berjalan. Mereka poly menghadapi masa-masa sulit di hampir setiap bidang kehidupan serta batas kesabarannya.
4.bentuk punggung ke atas (lurus)
Orang menggunakan bentuk punggung misalnya ini terlihat berjalan lurus dengan wilayah perut yg tertekan ke dalam. Orang ini umumnya nikahnya usang, mengalami perselisihan dalam pernikahan dan mungkin akan mengalami sulit pekerjaan juga. Perjuangannya menjadi semakin agresif ketika mereka tidak mau belajar buat mengendalikan egonya.
5.bentuk punggung santai
Orang menggunakan bentuk punggung seimbang mempunyai kehidupan yang tersortir atau suka pilah-pilih. Mereka memahami bagaimana serta kapan mengendalikan emosinya. Mereka dikenal senang bekerja keras buat menjaga ekuilibrium antara kehidupan profesional dan pribadinya. Biasanya kesuksesan akan baru dicapainya saat berusia sekitar 36 tahunan.

6.punggung kalem dengan otot yang terbentuk
Orang menggunakan postur seperti ini diyakini akan menghadapi poly perkara kesehatan misalnya mempunyai risiko penyakit tulang belakang, jantung, atau penyakit lain yg terkait dengan darah.
7.bentuk punggung yang meregang keluar
Orang yang punggungnya berbentuk seperti ini dikatakan terlalu emosional dan pengambil keputusan spontan, yang terkadang menghasilkan penyesalan pada akhirnya. Mereka pula tidak mau terlibat terlalu mendalam, baik pada kehidupan profesional juga pribadinya.
Sumber: Boldsky

CARA MENGETAHUI KARAKTER SESEORANG DARI CARANYA BERJALAN

Gerakan tubuh atau bahasa tubuh memang akan mengindikasikan misalnya apa karakter pemiliknya sama halnya dikutip berdasarkan sebuah kitab yg berjudul "Making the Most of First Impressions" yang ditulis sang pakar bahasa tubuh Patti Wood. Menurutnya, "Kepribadian tidak selalu bisa dinilai menurut luar. Ada beberapa hal yang menampakan kepribadian seorang, keliru satunya merupakan gaya berjalan." kata Patti menyebutkan.

Karakter dibuat oleh kebiasaan norma yang dilakukan sebagai akibatnya membangun sebuah karakter kepribadian. Sebagai contoh saja apabila seseorang memiliki norma buat selalu belajar maka dia mempunyai karakter yg lebih pintar dan berwawasan luas, begitu jua sebaliknya jika seseorang yang memiliki norma malas dan enggan buat belajar maka diapun akan sebagai ndeso dan miskin ilmu pengetahuan. Nah dikutip berdasarkan kitab Patti wood tentang Making the Most of First Impressions, berikut merupakan mengenali karakter seorang menurut cara berjalannya:
Mengetahui Kepribadian Seseorang menurut Cara Berjalannya
Berjalan lambat serta terlihat kalem tidak terburu buru
Karakter orang misalnya yang terlihat yaitu orang yg kalem, hening serta nir pernah merogoh resiko pada hidupnya. Dia biasanya bukan pejuang keras, mudah berputus harapan waktu menemui kegagalan. Kadang, perilaku santai ini membuatnya sulit maju pada hal apa pun.
Berjalan tegap dan cepat
Cara berjalan seperti ini dikategorikan seseorang dengan karakter orang yg keras, pekerja keras, nir gampang menyerah, percaya diri, penuh semangat dan berenergi tinggi. Karakter seperti ini umumnya penuh perjuangan dan pantang menyerah. Dia selalu berusaha belajar darikegagalan dan melampaui batas kemampuannya hingga berhasil. Karena itu, dia memiliki peluang besar buat sukses.
Berjalan misalnya menjinjit
Jalan jinjit menandakan dia seorang yg penuh kehati hatian. Penuh kehati-hatian yang dimaksud merupakan sukar buat mempercayai orang lain, nir suka menggunakan perubahan, terlalu penyelidik, ingin mengatahui poly hal berdasarkan orang lain tetapi buat dirinya sendiri beliau seseorang yg tertutup. Karena ia sulit percaya dalam orang lain maka ia juga sulit dipercaya karena beliau akan selalu berhati-hati buat dirinya sendiri, sebagai akibatnya cenderung egois.
Berjalan menunduk melihat tanah
Jika anda mempunyai sahabat yang mempunyai kebiasaan selalu berjalan menggunakan menunduk maka mungkin dia memiliki karakter pendiam. Ia merupakan orang yg lebih acapkali menutup diri, tapi bukan berarti tidak percaya diri atau sulit bergaul. Karakternya cenderung misterius, terkesan cuek serta dingin. Namun jangan salah , beliau sebenarnya cukup dikagumi karena nir hanya kerap menciptakan orang bertanya-tanya, beliau juga sosok yg sangat setia dalam pasangan.
Berjalan sambil tak jarang menoleh ke kiri serta kanan
Ya berjalan dengan acapkali menoleh kekiri serta kekanan menandakan dia seseorang yg peduli menggunakan sekitarnya. Dia peduli dengan sesama atau pengertian menggunakan hal hal lebih kurang maupun orang orang terdekatnya. Karakter orang seperti ini sangat cocok buat dijadikan sahabat atau kekasih. Dia juga bonafide buat menyimpan rahasia dan akan selalu terdapat untuk orang-orang yang dicintainya.
Berjalan lurus
Orang yg berjalan lurus memiliki karakter yg tegas dan berprinsip. Karakter misalnya ini umumnya berpotensi menjadi seseorang pemimpin atau sosok yang hebat. Dia jua sangat bijaksana pada merogoh keputusan serta selalu berpikir panjang sebelum bertindak.
Berjalan nir lurus / acapkali berbelok belok
Sebaliknya, orang yg berjalan tidak lurus memiliki karakter yg tidak tegas atau tidak memiliki prinsip. Biasanya beliau hanya menikmati hayati tanpa memiliki planning untuk masa depan. Orang misalnya ini jua biasanya hanya senang bermain-main dan cenderung tidak serius.
Nah setelah membaca tips diatas kira kira seperti apakah karakter Anda? Sekali lagi ini hanyalah penilaian yang dilakukan sang pakar bahasa tubuh Patti Wood pada bukunya Making the Most of First Impressions, jadi anda boleh percaya boleh nir.

KONSEP FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENDIDIKAN

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan 
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan seutuhnya, berarti proses kependidikan yg harus dikelola oleh para pendidik wajib berjalan, di atas pola dasar berdasarkan fitrah yg sudah dibentuk Allah dalam setiap pribadi insan. 

Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yg kompleks, karena pada dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yg dapat dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu serta mensugesti) buat terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan sempurna melalui arahan kependidikan. 

Makalah ini mencoba menyampaikan konsep fitrah dan bagaimana implikasinya dalam pendidikan Islam. 
1. Konsep Fitrah dalam Perspektif Pendidikan Islam Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir menggunakan seperangkat dosa waris, yakni dosa asal menjadi dampak menurut perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, genre Behaviorisme memandang bahwa insan lahir tidak memiliki kesamaan baik maupun buruk. Teori ini terkenal dengan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).             

Sedangkan Islam memperlihatkan sebuah konsep tentang hakikat manusia yg tercermin pada konsep fitrahnya. 

Para ahli Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, serta tiap-tiap formulasi yg didapatkan melalui kajian serta argumentasi yg kuat. Landasan menurut tiap formulasi tersebut merupakan firman Allah SWT. yang berbunyi : 

ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪﱢﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔﺎً ﻓِﻄْﺮَةَ اﻟﻠﱠﻪِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎ
ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ اﻟﺪﱢﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴﱢﻢُ وَﻟَﻜِﻦﱠ أَآْﺜَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻟَﺎ
ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮنَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepad agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang sudah menciptakan manusia berdasarkan fitrah. Tidak ada perubahan dalam kreasi Allah, (itulah) agama yg lurus, namun kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Dari ayat tersebut timbullah berbagai interpretasi tentang makna fitrah yaitu : 
a. Fitrah berarti suci 
b. Fitrah berarti Islam 
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah 
d. Fitrah berarti murni 
e. Fitrah berarti kondisi penciptaan insan yang mempunyai kecenderungan buat mendapat kebenaran. 
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat buat mengabdi serta ma’rifatullah 
g. Fitrah berarti ketetapan atau insiden asal insan mengenai kebahagiaan serta kesesatannya. 
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature). 

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang mempunyai sifat kebaikan dan kesucian buat mendapat rangsangan dan pengaruh berdasarkan luar menuju dalam kesempurnaan serta kebenaran. 

Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah menjadi kemampuan dasar dan kesamaan yg murni bagi setiap individu. 

Fitrah ini lahir dalam bentuk yg paling sederhana dan terbatas, kemudian saling mempengaruhi menggunakan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh serta berkembang lebih baik, atau bahkan sebaliknya. 

Sebagai mana sudah dijelaskan pada atas bahwa fitrah mengacu kepada potensi yg dimiliki insan. Potensi itu antara lain yaitu, 

a. Potensi beragama 
Perasaan keagamaan adalah insting yang dibawa sejak lahir beserta ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan pada zat tertinggi yg Maha Unggul di luar dirinya serta dan diluar berdasarkan alam benda yg dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh bila manusia dihadapkan dalam dilema dilema yang melingkupinya. 

Akal akan menyadari kekerdilannya serta mengakui akan kudratnya yg terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan sang hamba pada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya menggunakan lapang dada ikhlas tersisih menurut syirik atau sebarang penyekutuannya. 

b. Kecenderungan moral 
Kecenderungan moral erat kaitannya menggunakan potensi beragama. Ia bisa untuk membedakan yang baik dan tidak baik. Atau yg memiliki hati yg bisa mengarahkan kehendak serta logika. 

Apabila dipandang berdasarkan pengertian fitrah misalnya di atas, maka kesamaan moral itu sanggup mengarah pada dua hal sebagaimana masih ada pada surat Asy-Syam ayat 7:

وَﻧَﻔْﺲٍ وَﻣَﺎ ﺳَﻮﱠاهَﺎ ﴿٧﴾
ﻓَﺄَﻟْﻬَﻤَﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮرَهَﺎ وَﺗَﻘْﻮَاهَﺎ ﴿٨﴾
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156) 
Manusia mampu dibuat serta diubah. Ia sanggup menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau genre baru. Atau meninggalkan tata cara, nilai dan genre usang, menggunakan cara hubungan social baik menggunakan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat insan yg mudah lentur, masih ada dalam surat Al Insan ayat tiga : 

إِﻧﱠﺎ هَﺪَﻳْﻨَﺎﻩُ اﻟﺴﱠﺒِﻴﻞَ إِﻣﱠﺎ ﺷَﺎآِﺮاً وَإِﻣﱠﺎ آَﻔُﻮراً ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami sudah menunjukinya jalan yang lurus; terdapat yang bersyukur serta ada pula yg kafir.

d. Kecenderungan bermasyarakat 
Manusia pula mempunyai kecendrungan bersosial dan bermasyarakat. 

Menurut Ibnu Taimiyah, pada diri insan setidaknya masih ada 3 potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu : 

a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql) 
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan jelek. Dengan daya intelektualnya, manusia bisa mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya. 

b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) 
Yaitu potensi dasar yg mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara harmonis dan seimbang. 

c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan insan berdasarkan segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Tetapi demikian, diantara ketiga potensi tadi, pada samping agama – potensi logika menduduki posisi sentral sebagai indera kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya semua potensi yg ada secara aporisma, sebagaimana yg disinyalir oleh Allah pada buku dan ajaranajaranNya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yg dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral. 

Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah insan pada 2 bentuk, yaitu: 

a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi pada diri manusia yang dibawanya sejak lahir. 

Bentuk fitrah ini berupa nafsu, nalar, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan. 

b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar insan. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang diturunkan Allah buat membimbing serta mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sinkron menggunakan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara ke 2 fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi jua kualitas manusia. 

Dari seluruh penjelasan tentang potensi manusia, tampak kentara bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan ikut menghipnotis dinamika serta arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yg dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian jua sebaliknya, penempaan dan pembinaan fitrah yg dimiliki nir dalam fitrahnya maka manusia akan tergelincir menurut tujuan hidupnya. Untuk itu galat satu pembinaan fitrah menggunakan pendidikan. 

Bila pengertian fitrah pada atas dikaitkan dengan tugas serta fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah manusia tersebut masih memerlukan beberapa upaya buat merangsangnya berkembang secara maksimal . Upaya tersebut merupakan pendidikan. 

Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi insan yang dapat mencetak insan sesuai dengan fungsinya, tetapi terdapat juga potensi lain yang menjadi kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan dalam keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah wajib permanen dikembangkan serta dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar apabila mendapat suplay yg dijiwai sang wahyu Allah, tentu saja hal ini wajib didorong menggunakan pemahaman Islam secara kaffah serta universal. Semakin tinggi tingkat hubungan seseorang menggunakan Islam, semakin baik jua perkembangan fitrahnya. 

Konsep fitrah dari Islam tidak sama menggunakan teori Tabularasa John Locke. Sebab pada Islam, insan semenjak lahir sudah memiliki banyak sekali bentuk potensi yg mampu dikembangkan. Konsep fitrah insan berdasarkan Islam pula berbeda jauh menggunakan teori nativisme A, Scopenhour, karena dalam Islam mengakui adanya imbas yang besar pada luar diri insan, baik insani juga non insani, dalam menyebarkan dan memodifikasi potensi yang dimilikinya. 

Konsep fitrah dari Islam juga tidak sama dengan teori konvergensi William Stern, karena dalam pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi sang lingkungan semata serta nir mampu dipengaruhi melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) pada membentuk kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yang lebih lebih banyak didominasi dalam menciptakan kepribandian manusia, akan tetapi ada kalanya lingkungan yang lebih mayoritas, atau kedua-duanya sama-sama mayoritas. Bahkan dalam Islam, di luar ke 2 impak tadi, terdapat imbas lainnya yang pula ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian insan, yaitu faktor hidayah yg diberikan Allah pada hamba-hamba-Nya yg dikehendaki. 

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cakupan berdasarkan pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding menggunakan batasan yang dikembangkan sang para ahli pendidikan pada masa ini pada melihat potensi manusia yg terkesan bersifat parsial serta tanggal dari kerangka bingkai religiusitas manusia yang sakral dan asasi. 

2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan Konvergensi) 
Manusia lahir menggunakan membawa fitrah, yang meliputi fitrah agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. Lima:dua), fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan (kawin), cinta tanah air, dan sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut harus mendapat tempat serta perhatian, serta imbas dari faktor oksigen insan (lingkungan) buat berbagi serta melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal menurut kelestarian an-nafsu ammarah bis suu`, sebagai akibatnya manusia dapat hayati searah menggunakan tujuan Allah yang mencitakannya. 

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah insan. 
Bahkan factor tadi bisa mempengaruhi kepribadian insan. Namun demikian, dia bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa terdapat dukungan menurut faktor-faktor lain. Pernyataan tadi menolak pandangan Skinner yg menyampaikan bahwa lingkungan memilih kehidupan manusia betapapun dia mengganti lingkungannya. Di sini terlihat bahwa manusia nir lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-gerakan yg tiak disengaja), pada samping itu kepercayaan sebagai aspek lain menurut tingkah laku insan dapat dijelaskan berkenaan menggunakan factor-faktor lingkungan.. Pernyatan tadi dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam umumnya menjadi muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen umumnya menjadi Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai keliru satu model buat menyebutkan teorinya (Abdullah, 1982: 60) Pada fase defense, masa kanak-kanak menaruh kemungkinan orang tuanya untuk memberikan dampak-impak pada putra-putrinya. 

Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan menggunakan hadits Nabi saw, yg menampakan cara fitrah itu dipengaruhi oleh lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53) 

“Tidak seseorang pun dilahirkan kecuali dia mempunyai fitah, maka kedua orang tuanya yang mensugesti, menjadikannya Yahudi, Nasrani serta Majusi”. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah) 

Hadits di atas menyebutkan bahwa fitrah yang dibawa semenjak lahir, dapat ditentukan oleh lingkungan. Fitrah ini nir bisa berkembang tanpa adanya imbas positif menurut lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis apabila lingkungan itu nir memungkinkan buat membuahkan fitrah tadi lebih baik. Factor-faktor eksternal yg bergabung menggunakan fitrah dan sifat dasarnya bergantung dalam sejauh mana hubungan internal berperan terhadap fitrah tadi. 

Sebaliknya, berdasarkan pengamat behavioris, fitrah itu nir mengharuskan insan buat berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yg hayati pada syarat yang sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus dengan cara yg berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun menurut Mesir sudah sebagai perempuan yg beriman kepada Allah SWT.sekalipun berada di lingkungan orang musyrik, beliau selalu berdo`a pada Allah SWT yang disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11) 

Di samping itu, hadits Nabi SAW. Tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah adalah suatu pembawaan setiap manusia semenjak lahir, dan mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah adalah akibat berdasarkan factor lingkungan (pendidikan). Di pada fitrah terkandung pengertian baik buruk, sahih galat, indah jelek, lempang sesat, serta seterusnya. 

Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau mengembalikannya dalam kebaikan sesudah dia mengalami penyimpangan (kuratif) (Ahmad: 32). 

Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan buat tumbuh dan berkembang sesuai menggunakan dampak alam sekitarnya. Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan serta pedagogi. Dari sisi ini pula, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT. memberi kemampuan nalar yg bisa membedakan antara yg baik dan tidak baik kepada insan, sehingga pendidikan berperan pada mengarahkan akal insan ke jalan yang baik serta sahih, bukan ke jalan yg buruk serta tersesat. Uraian itu dapat dibuktikan pada al-Qur`an bahwa insan memiliki tabiat orisinil (Q.S. 30:30) yg harus diupayakan menggunakan pendidikan (Q.S. 16:78), dan adanya kemampuan memilih bagi manusia (Q.S. 6:78, 90:8, 76:3) (Al-Jamaly, 1986: 66). 

Ibnu Khaldun jua membicarakan bahwa factor-faktor pada luar diri manusia mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan tindakan manusia. Dengan demikian, insan yg sebenarnya merupakan manusia yg dibentuk sang lingkungannya, baik lingkungan alam fisik maupun lingkungan alam social yg dibentuk oleh tindakan-tindakan nyata manusia (Raharjo, 1987: 7). Interaksi insan dengan lingkungannya itulah menumbuhkan forum, tradisi, system atau structural yg memberikan ciri pada suatu warga atau peradaban eksklusif. 

3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam 
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat dasar insan adalah makhluk yang serba terbatas serta memerlukan upaya yg menciptakan kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu terdapat upaya. Upaya itu adalah lewat pendidikan. Oleh karenanya sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat serta potensi yg dimiliki peserta didiknya secara efektif dan dinamis. Potensi itu mencakup kemampuan mengamati, menganalisa serta mengklasifikasi, berpendapat,serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yg berhubungan pribadi menggunakan insan itu sendiri, alam, sosial, maupun pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213) 

Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya dalam pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang terdapat pada aspek jasmani juga rohani: intelektual, emosional, dan moral etis religius dalam diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok insan paripurna yg sanggup melakukan dialektika aktif dalam semua potensi yang dimilikinya. 

Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sinkron dengan nilai-nilai Ilahiah, maka dalam dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media menstimuli bagi perkembangan serta pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd juga sebagai khalifah fi al-ardh. Adapun model atau bentuk yg ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan sebagai problem. Terserah pada kebijaksanaan serta kepentingan manusia itu sendiri, asal saja pelaksanaan pendidikan tadi tidak bertentangan, akan namun mempunyai keserasian dengan potensi yang dimiliki sang peserta didik dan fitrah religiusnya buat senantiasa mengarah pada fitrah Allah yg hanif. Dengan upaya ini akan membentuk situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel. 

Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat berdasarkan 2 dimensi manusia secara integral, yaitu fitrah jasmaniah serta fitrah rohaniah. Keduanya mempunyai natur serta kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yg lain, karena hakekat esensial keduanya tidak selaras, akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu menggunakan yg lainnya. Apabila galat satu pada antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah insan, buat itu proses pendidikan Islam wajib sanggup menyentuh keduanya secara padu dan serasi, yaitu dengan jalan mengembangkan serta memenuhi kebutuhan kedua dimensi tadi terhadap peserta didik. 

Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan menurut satu generasi pada generasi berikutnya, akan namun jauh dari itu, pendidikan Islam adalah suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, mencakup pengembanagn jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi serta akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemashlahatan seluruh umat (Langgulung, 1995: 13). 

Dengan demikian, berarti pendidikan Islam adalah proses penanaman nilai Ilahiah yg diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yg disesuaikan menggunakan kemampuan dan perkembangan potensi siswa. Artinya, pola pendidikan yang ditawarkan wajib disesuaikan menggunakan kebutuhan fisik serta psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan. 

Jika nir, proses pendidikan yg ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus sanggup menyentuh kesemua aspek insan secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya. 

Apabila kita melihat program pendidikan sebagai bisnis buat menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi serta insani, dan membekali anak didik menggunakan kemampuan yg produktif. 

(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar murid yang bisa menghantarkan pada tumbuhnya daya kreativitas serta produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai yang kuasa dan insani. Hal tadi dapat dilakukan melalui pembekalan banyak sekali kemampuan menurut lingkungan sekolah serta luar sekolah yang terjadwal pada acara pendidikan. 

Seorang pendidik nir dituntut buat mencetak anak didiknya menjadi orang ini serta itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan serta mengembangkan potensi dasarnya dan kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sinkron dengan kemampuan dan talenta yg dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar yang ditinjau menjadi pembawaan dursila, upaya pendidikan diarahkan serta difokuskan buat menghilangkan dan menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tadi. Bagi teori Lorenz yang membentuk pembawaan serangan insan sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan buat mencapai objek-objek pengganti serta mekanisme-mekanisme sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifatsifat serangan ini. Jelasnya seorang pendidik nir perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang sudah dibawa murid semenjak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya buat menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat mengakibatkan kebiasaan-norma yg jelek. Konsep fitrah ini nir terkecuali bagi pendidik muslim buat berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, lantaran fitrah itu tidak dapat berkembang dengan sendirinya. 

Konsep fitrah memiliki tuntutan supaya pendidikan Islam diarahkan buat bertumpu dalam at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat interaksi yg mengikat insan menggunakan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari siswa seharusnya nir bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan insan akan adanya Allah melalui fitrahnya tidak dapat disamakan menggunakan teori yang memandang bahwa monoteisme menjadi suatu tingkat kepercayaan agama yg tertinggi. At-tauhid merupakan inti berdasarkan seluruh ajaran kepercayaan yang dianugrahkan Allah pada insan, munculnya kepercayaan mengenai banyaknyga Tuhan yg mendominasi manusiahanya saat at-tauhid telah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi juga perkara kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yg menekankan keagungan Allah yg wajib dipatuhi dan diperhatikan pada kurikulum pendidikan Islam. 

Di samping fitrah, manusia jua mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah misalnya makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah tidak dapat dikonsumsikan sebagaimana fauna, tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan serasi buat mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep demikian itu nir berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, misalnya tidak kawin; puasa terus menerus, serta sebagainya,. Pernyataan tadi diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30 

ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ

“Tidak ada perubahan dalam kreasi Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30) 

Firman Allah pada atas menerangkan bahwa kebutuhan jasmaniah siswa nir boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan dalam hal-hal yg positif. Seorang pendidik nir boleh mengganti kebutuhan dasar jasmaniah siswa, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa ayat 119 : 

وَﻵﻣُﺮَﻧﱠﻬُﻢْ ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴﱢﺮُنﱠ ﺧَﻠْﻖَ اﻟﻠّﻪِ وَﻣَﻦ ﻳَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟﺸﱠﻴْﻄَﺎنَ
وَﻟِﻴّﺎً ﻣﱢﻦ دُونِ اﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺴِﺮَ ﺧُﺴْﺮَاﻧﺎً ﻣﱡﺒِﻴﻨﺎً ﴿١١٩﴾
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau merubahnya. Barang siapa yg berakibat syetan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya beliau menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141) 

Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati menyampaikan 5 faktor yang secara konstan serta simultan membangun personalitas anak didik, yaitu : 
• Factor mak yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh dengan afeksi dan kelembutan. 
• Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan hahrga diri. 
• Factor sekolah yg membantu terbentuknya sifat. 
• Factor masyarakat dan lingkungan yg memberikan wahana realitas bagi anak. 
• Factor kebudayaan generik rakyat yang memberi pengetahuan serta pengalaman tentang corak kehidupan insan. (Syari`ati, 1982: 64) 

Kelima faktor di atas adalah stimulasi yang bisa menyebarkan fitrah siswa pada aneka macam dimensinya. Lantaran fitrah manusia mempunyai sifat yang kudus dan bersih, orang tua/pendidik dituntut buat tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya dalam kebiasaan yg baik, serta melarang mereka membiasakan diri buat berbuat tidak baik.

KONSEP FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENDIDIKAN

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan 
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan seutuhnya, berarti proses kependidikan yang wajib dikelola sang para pendidik wajib berjalan, pada atas pola dasar berdasarkan fitrah yang sudah dibuat Allah dalam setiap langsung insan. 

Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yg kompleks, lantaran pada dalamnya masih ada aspek-aspek kemampuan dasar yg bisa dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu serta menghipnotis) untuk terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan paripurna melalui arahan kependidikan. 

Makalah ini mencoba mengungkapkan konsep fitrah dan bagaimana implikasinya pada pendidikan Islam. 
1. Konsep Fitrah pada Perspektif Pendidikan Islam Kaum Nashrani menyatakan bahwa insan lahir menggunakan seperangkat dosa waris, yakni dosa berasal sebagai akibat menurut perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, genre Behaviorisme memandang bahwa insan lahir tidak memiliki kesamaan baik juga buruk. Teori ini populer menggunakan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).             

Sedangkan Islam memberikan sebuah konsep mengenai hakikat insan yang tercermin dalam konsep fitrahnya. 

Para pakar Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, serta tiap-tiap formulasi yg didapatkan melalui kajian serta argumentasi yang kuat. Landasan berdasarkan tiap formulasi tadi adalah firman Allah SWT. yg berbunyi : 

ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪﱢﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔﺎً ﻓِﻄْﺮَةَ اﻟﻠﱠﻪِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎ
ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ اﻟﺪﱢﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴﱢﻢُ وَﻟَﻜِﻦﱠ أَآْﺜَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻟَﺎ
ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮنَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu menggunakan lurus kepad kepercayaan Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang sudah menciptakan insan berdasarkan fitrah. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Dari ayat tersebut timbullah banyak sekali interpretasi mengenai makna fitrah yaitu : 
a. Fitrah berarti suci 
b. Fitrah berarti Islam 
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah 
d. Fitrah berarti murni 
e. Fitrah berarti syarat penciptaan insan yg mempunyai kesamaan untuk menerima kebenaran. 
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia menjadi alat untuk mengabdi serta ma’rifatullah 
g. Fitrah berarti ketetapan atau peristiwa asal manusia mengenai kebahagiaan serta kesesatannya. 
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature). 

Dari pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yg mempunyai sifat kebaikan serta kesucian untuk menerima rangsangan dan dampak menurut luar menuju dalam kesempurnaan serta kebenaran. 

Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah menjadi kemampuan dasar serta kesamaan yang murni bagi setiap individu. 

Fitrah ini lahir dalam bentuk yang paling sederhana dan terbatas, kemudian saling menghipnotis menggunakan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh dan berkembang lebih baik, atau bahkan kebalikannya. 

Sebagai mana telah dijelaskan pada atas bahwa fitrah mengacu pada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu antara lain yaitu, 

a. Potensi beragama 
Perasaan keagamaan adalah insting yang dibawa semenjak lahir beserta ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat tertinggi yg Maha Unggul di luar dirinya serta dan diluar menurut alam benda yg dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh apabila insan dihadapkan pada duduk perkara masalah yg melingkupinya. 

Akal akan menyadari kekerdilannya serta mengakui akan kudratnya yg terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan oleh hamba kepada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya dengan lapang dada nrimo tersisih menurut syirik atau sebarang penyekutuannya. 

b. Kecenderungan moral 
Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi beragama. Ia sanggup buat membedakan yang baik serta jelek. Atau yg memiliki hati yang dapat mengarahkan kehendak serta logika. 

Apabila dicermati menurut pengertian fitrah seperti pada atas, maka kecenderungan moral itu mampu menunjuk kepada 2 hal sebagaimana terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7:

وَﻧَﻔْﺲٍ وَﻣَﺎ ﺳَﻮﱠاهَﺎ ﴿٧﴾
ﻓَﺄَﻟْﻬَﻤَﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮرَهَﺎ وَﺗَﻘْﻮَاهَﺎ ﴿٨﴾
Dan jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan serta ketakwaannya,

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156) 
Manusia bisa dibentuk serta diubah. Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai serta genre lama , dengan cara hubungan social baik menggunakan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman mengenai bagaimana sifat insan yg gampang lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3 : 

إِﻧﱠﺎ هَﺪَﻳْﻨَﺎﻩُ اﻟﺴﱠﺒِﻴﻞَ إِﻣﱠﺎ ﺷَﺎآِﺮاً وَإِﻣﱠﺎ آَﻔُﻮراً ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yg lurus; terdapat yang bersyukur serta ada juga yg kafir.

d. Kecenderungan bermasyarakat 
Manusia pula mempunyai kecendrungan bersosial dan bermasyarakat. 

Menurut Ibnu Taimiyah, pada diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu : 

a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql) 
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan insan bisa membedakan nilai baik dan jelek. Dengan daya intelektualnya, insan bisa mengetahui serta meng-Esakan Tuhannya. 

b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) 
Yaitu potensi dasar yg mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan serta berguna bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi serta seimbang. 

c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yg dapat menghindarkan manusia berdasarkan segala perbuatan yg membahayakan dirinya. Tetapi demikian, diantara ketiga potensi tersebut, pada samping kepercayaan – potensi nalar menduduki posisi sentral menjadi alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya semua potensi yg ada secara aporisma, sebagaimana yg disinyalir sang Allah dalam kitab serta ajaranajaranNya. Pengingkaran serta pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yg akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral. 

Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia pada 2 bentuk, yaitu: 

a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi dalam diri insan yang dibawanya semenjak lahir. 

Bentuk fitrah ini berupa nafsu, nalar, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan. 

b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar insan. Adapun fitrah ini adalah wahu tuhan yang diturunkan Allah buat membimbing serta mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai menggunakan fitrahnya yg hanif. Semakin tinggi interaksi antara ke 2 fitrah tersebut, maka akan meningkat jua kualitas insan. 

Dari semua penerangan tentang potensi insan, tampak kentara bahwa lingkungan menjadi faktor eksternal. Lingkungan ikut menghipnotis dinamika serta arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki insan, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula kebalikannya, penempaan dan training fitrah yg dimiliki nir pada fitrahnya maka insan akan tergelincir menurut tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu training fitrah dengan pendidikan. 

Bila pengertian fitrah pada atas dikaitkan dengan tugas dan fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah insan tadi masih memerlukan beberapa upaya untuk merangsangnya berkembang secara maksimal . Upaya tersebut adalah pendidikan. 

Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi insan yang dapat mencetak manusia sesuai dengan manfaatnya, tetapi terdapat juga potensi lain yang sebagai kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang memiliki kecenderungan pada keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah harus permanen dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan masuk akal bila menerima suplay yg dijiwai sang wahyu Allah, tentu saja hal ini harus didorong menggunakan pemahaman Islam secara kaffah serta universal. Semakin tinggi tingkat hubungan seseorang menggunakan Islam, semakin baik jua perkembangan fitrahnya. 

Konsep fitrah dari Islam nir sama dengan teori Tabularasa John Locke. Sebab pada Islam, insan sejak lahir sudah mempunyai banyak sekali bentuk potensi yang mampu dikembangkan. Konsep fitrah insan berdasarkan Islam pula berbeda jauh menggunakan teori nativisme A, Scopenhour, karena dalam Islam mengakui adanya dampak yg akbar di luar diri insan, baik insani maupun non insani, pada membuatkan serta memodifikasi potensi yg dimilikinya. 

Konsep fitrah menurut Islam juga tidak sama menggunakan teori konvergensi William Stern, karena pada pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata ditentukan oleh lingkungan semata dan nir bisa dipengaruhi melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membangun kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yg lebih lebih banyak didominasi dalam membangun kepribandian manusia, akan tetapi ada kalanya lingkungan yang lebih lebih banyak didominasi, atau kedua-duanya sama-sama secara umum dikuasai. Bahkan pada Islam, di luar ke 2 imbas tadi, terdapat imbas lainnya yg juga ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian insan, yaitu faktor hidayah yg diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. 

Dari penerangan di atas, terlihat bahwa cakupan menurut pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding dengan batasan yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan kontemporer pada melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial serta tanggal dari kerangka bingkai religiusitas insan yg sakral dan asasi. 

2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan Konvergensi) 
Manusia lahir menggunakan membawa fitrah, yang meliputi fitrah agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. Lima:2), fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin menyebarkan keturunan (kawin), cinta tanah air, serta sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut wajib menerima loka dan perhatian, serta pengaruh berdasarkan faktor oksigen insan (lingkungan) buat membuatkan serta melestarikan potensinya yang positif serta menjadi penangkal menurut kelestarian an-nafsu ammarah bis suu`, sebagai akibatnya insan dapat hayati searah dengan tujuan Allah yg mencitakannya. 

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah insan. 
Bahkan factor tadi dapat menghipnotis kepribadian manusia. Namun demikian, beliau bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa terdapat dukungan berdasarkan faktor-faktor lain. Pernyataan tadi menolak pandangan Skinner yg berkata bahwa lingkungan memilih kehidupan manusia betapapun dia mengganti lingkungannya. Di sini terlihat bahwa insan tidak lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-gerakan yang tiak disengaja), di samping itu kepercayaan sebagai aspek lain menurut tingkah laku manusia bisa dijelaskan berkenaan menggunakan factor-faktor lingkungan.. Pernyatan tadi dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam umumnya sebagai muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen umumnya sebagai Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai salah satu contoh untuk menjelaskan teorinya (Abdullah, 1982: 60) Pada fase defense, masa kanak-kanak menaruh kemungkinan orang tuanya buat menaruh dampak-impak pada putra-putrinya. 

Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan dengan hadits Nabi saw, yg menerangkan cara fitrah itu dipengaruhi sang lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53) 

“Tidak seseorang pun dilahirkan kecuali dia mempunyai fitah, maka ke 2 orang tuanya yang mempengaruhi, menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (H.R. Muslim menurut Abu Hurairah) 

Hadits pada atas menjelaskan bahwa fitrah yg dibawa semenjak lahir, bisa ditentukan oleh lingkungan. Fitrah ini tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif berdasarkan lingkungannya yang mungkin bisa dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak memungkinkan untuk menjadikan fitrah tadi lebih baik. Factor-faktor eksternal yg bergabung dengan fitrah serta sifat dasarnya bergantung dalam sejauh mana interaksi internal berperan terhadap fitrah tersebut. 

Sebaliknya, dari pengamat behavioris, fitrah itu tidak mengharuskan manusia buat berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yang hayati dalam kondisi yg sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus menggunakan cara yang berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun berdasarkan Mesir sudah menjadi perempuan yang beriman pada Allah SWT.sekalipun berada pada lingkungan orang musyrik, beliau selalu berdo`a pada Allah SWT yg disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11) 

Di samping itu, hadits Nabi SAW. Tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah adalah suatu pembawaan setiap manusia semenjak lahir, serta mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah adalah dampak berdasarkan factor lingkungan (pendidikan). Di pada fitrah terkandung pengertian baik buruk, sahih salah , latif tidak baik, lempang sesat, dan seterusnya. 

Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau mengembalikannya dalam kebaikan sehabis dia mengalami defleksi (kuratif) (Ahmad: 32). 

Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan buat tumbuh dan berkembang sesuai dengan impak alam sekitarnya. Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan serta pedagogi. Dari sisi ini jua, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT. memberi kemampuan logika yg dapat membedakan antara yg baik serta tidak baik kepada insan, sehingga pendidikan berperan dalam mengarahkan logika manusia ke jalan yg baik serta sahih, bukan ke jalan yang tidak baik dan tersesat. Uraian itu bisa dibuktikan pada al-Qur`an bahwa manusia mempunyai tabiat asli (Q.S. 30:30) yg harus diupayakan menggunakan pendidikan (Q.S. 16:78), dan adanya kemampuan memilih bagi insan (Q.S. 6:78, 90:8, 76:tiga) (Al-Jamaly, 1986: 66). 

Ibnu Khaldun pula membicarakan bahwa factor-faktor pada luar diri manusia mensugesti kesamaan-kesamaan tindakan manusia. Dengan demikian, insan yang sebenarnya merupakan manusia yg dibuat oleh lingkungannya, baik lingkungan alam fisik juga lingkungan alam social yang dibuat oleh tindakan-tindakan nyata insan (Raharjo, 1987: 7). Interaksi manusia menggunakan lingkungannya itulah menumbuhkan lembaga, tradisi, system atau structural yang menaruh ciri dalam suatu warga atau peradaban eksklusif. 

3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam 
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa lantaran sifat dasar manusia merupakan makhluk yg serba terbatas serta memerlukan upaya yg menciptakan kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu terdapat upaya. Upaya itu merupakan lewat pendidikan. Oleh karena itu sifat spesial pendidikan Islam merupakan berupaya menyebarkan sifat serta potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan bergerak maju. Potensi itu mencakup kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi, berpendapat,dan kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yg bekerjasama eksklusif menggunakan insan itu sendiri, alam, sosial, juga pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213) 

Untuk itu, pendidikan Islam harus sanggup mengintegrasikan semua potensi yang dimiliki peserta didiknya dalam pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang terdapat pada aspek jasmani juga rohani: intelektual, emosional, serta moral etis religius pada diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok manusia paripurna yg bisa melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya. 

Agar sanggup teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sinkron menggunakan nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi menjadi media menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi insan seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik menjadi abd juga menjadi khalifah fi al-ardh. Adapun model atau bentuk yg ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan menjadi masalah. Terserah pada kebijaksanaan dan kepentingan manusia itu sendiri, asal saja aplikasi pendidikan tadi tidak bertentangan, akan tetapi memiliki keserasian dengan potensi yg dimiliki oleh peserta didik dan fitrah religiusnya buat senantiasa menunjuk pada fitrah Allah yang hanif. Dengan upaya ini akan menciptakan situasi serta contoh pendidikan Islam yg demokratis-fleksibel. 

Fitrah manusia yang dimaksud bisa dilihat dari dua dimensi insan secara integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah. Keduanya mempunyai natur serta kebutuhan yang tidak selaras antara satu dengan yang lain, lantaran hakekat esensial keduanya tidak sama, akan namun keduanya saling melengkapi antara satu menggunakan yg lainnya. Apabila keliru satu pada antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah insan, buat itu proses pendidikan Islam wajib mampu menyentuh keduanya secara padu serta serasi, yaitu dengan jalan membuatkan serta memenuhi kebutuhan ke 2 dimensi tersebut terhadap siswa. 

Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi pada generasi berikutnya, akan tetapi jauh berdasarkan itu, pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, mencakup pengembanagn jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemashlahatan semua umat (Langgulung, 1995: 13). 

Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yg diformulasikan secara sistematis serta adaptik, yang diadaptasi dengan kemampuan serta perkembangan potensi siswa. Artinya, pola pendidikan yg ditawarkan harus diadaptasi menggunakan kebutuhan fisik serta psikis siswa sebagai subjek pendidikan. 

Jika nir, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami kemacetan dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya. 

Apabila kita melihat program pendidikan menjadi bisnis buat menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai yang kuasa serta insani, dan membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif. 

(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah adalah potensi dasar murid yg dapat menghantarkan dalam tumbuhnya daya kreativitas serta produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai yang kuasa dan insani. Hal tadi dapat dilakukan melalui pembekalan banyak sekali kemampuan berdasarkan lingkungan sekolah dan luar sekolah yang bersiklus dalam acara pendidikan. 

Seorang pendidik nir dituntut untuk mencetak anak didiknya sebagai orang ini serta itu, tetapi relatif dengan menumbuhkan dan berbagi potensi dasarnya serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sinkron menggunakan kemampuan dan talenta yang dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dilihat sebagai pembawaan dursila, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan buat menghilangkan serta menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz yang menciptakan pembawaan agresi manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan buat mencapai objek-objek pengganti serta prosedur-prosedur sublimasi yg akan membantu menghilangkan sifatsifat serangan ini. Jelasnya seseorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang sudah dibawa murid sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya buat menjauhkan timbulnya pelajaran yg bisa mengakibatkan norma-kebiasaan yg jelek. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik muslim buat berikhtiar menanamkan tingkah laris yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu tidak dapat berkembang menggunakan sendirinya. 

Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan buat bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan buat memperkuat hubungan yg mengikat insan menggunakan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari murid seharusnya nir bertentangan menggunakan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan insan akan adanya Allah melalui fitrahnya nir dapat disamakan menggunakan teori yg memandang bahwa monoteisme menjadi suatu taraf agama agama yang tertinggi. At-tauhid adalah inti berdasarkan semua ajaran kepercayaan yang dianugrahkan Allah pada manusia, munculnya kepercayaan mengenai banyaknyga Tuhan yang mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid sudah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi pula kasus kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang menekankan keagungan Allah yg wajib dipatuhi dan diperhatikan pada kurikulum pendidikan Islam. 

Di samping fitrah, insan jua mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah misalnya makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah nir dapat dikonsumsikan sebagaimana fauna, tetapi lebih berdasarkan itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan harmonis buat mengaktualisasikan fitrah insan. Konsep demikian itu tidak berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, misalnya tidak kawin; puasa terus menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tadi diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30 

ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ

“Tidak terdapat perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30) 

Firman Allah pada atas memberitahuakn bahwa kebutuhan jasmaniah anak didik tidak boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada hal-hal yg positif. Seorang pendidik tidak boleh membarui kebutuhan dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa ayat 119 : 

وَﻵﻣُﺮَﻧﱠﻬُﻢْ ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴﱢﺮُنﱠ ﺧَﻠْﻖَ اﻟﻠّﻪِ وَﻣَﻦ ﻳَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟﺸﱠﻴْﻄَﺎنَ
وَﻟِﻴّﺎً ﻣﱢﻦ دُونِ اﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺴِﺮَ ﺧُﺴْﺮَاﻧﺎً ﻣﱡﺒِﻴﻨﺎً ﴿١١٩﴾
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau merubahnya. Barang siapa yg mengakibatkan syetan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya dia menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141) 

Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati membicarakan 5 faktor yang secara kontinu dan simultan membentuk personalitas murid, yaitu : 
• Factor bunda yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yg penuh dengan afeksi serta kelembutan. 
• Factor ayah yang menaruh dimensi kekuatan akan hahrga diri. 
• Factor sekolah yg membantu terbentuknya sifat. 
• Factor masyarakat serta lingkungan yg menaruh sarana realitas bagi anak. 
• Factor kebudayaan generik warga yg memberi pengetahuan dan pengalaman mengenai corak kehidupan manusia. (Syari`ati, 1982: 64) 

Kelima faktor pada atas merupakan stimulasi yg bisa mengembangkan fitrah murid dalam berbagai dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yg suci dan bersih, orang tua/pendidik dituntut buat tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya dalam kebiasaan yang baik, dan melarang mereka membiasakan diri buat berbuat jelek.

REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas dalam Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini gugusan pertanyaan yg benar-benar menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, galat satunya. Demi menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yg universal, beliau pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, ia berharap dapat memperdalam keislamannya. Lama beliau menetap di sana sebelum kemudian mudik sehabis menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yg berorientasi ke masa lalu. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hayati.

Intelektual muslim anyaran berasal Amerika itu berupaya meninggalkan tabiat “Amerika-nya” untuk sebagai muslim nan “sejati”. Dan beliau gagal. Tetapi, kegagalannya itu justru menghantarkan beliau dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk sebagai muslim yang baik, seseorang tidak kemudian berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam nir pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir serta hidup tidak pada ruang serta ketika yg kosong budaya; keduanya, agama (Islam) serta budaya, berkelindan dan saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yg lahir dan mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi agama, ada sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : 3). Sebagai sang author, Tuhan telah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur menentukan, tapi memasrahkan nasib Islam pada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya dalam tahu-menyikapi verbalisasi seluruh ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, serta menghayatinya dengan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab sebagai locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa dan budaya (yg kebetulan) Arab tadi pasti. Seluruh agama saat memulai proses menyejarah dalam dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti bahasa serta budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga bisa timbul suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat warga tumbuh dalam bangun kultur yang majemuk, maka aktualisasi diri suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi jua majemuk, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, pada hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama namun simbol bahasanya tidak sama. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan “Gusti”, di Madura Allah diklaim bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim dengan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek kata, Islam serta budaya memang tidak bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis apabila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran standar yg diyakini sama-serupa, namun pada level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam keterangan-berita partikular masa lalu. Kebanyakan mereka lalu bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan sejarah Arab, maka secara holistik performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: nir mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya berfokus, (universalitas nilai) Islam yg sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat sang batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yang Arab itu serta lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sinkron dengan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi serta aktualisasi diri (umat) Islam pada tatanan budaya dan peradaban memberitahuakn karakter yg berbeda-beda tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yang bercorak-ragam. Islam pada masing-masing loka membangun karakter baru sinkron menggunakan sistem tata nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap dianggap sebagai capaian prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya tentu saja diametral berbeda menggunakan aktualisasi diri keislaman di asal kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan namun, proses-proses simbiose yang seyogyanya berlangsung saling memperkaya, sampai taraf eksklusif gagal. Dalam banyak hal, itu lantaran metode pembacaan yang dipakai masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) dan masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu biasanya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim “tradisional” sementara grup Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu dan mengambil contoh tafsir yang lebih kontemporer-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak dalam animo puritanis-fundamentalis. Pendek kata, sementara kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita memakai metode impor yg berdasarkan poly sisi nir cukup compatible serta karenanya inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan niscaya menurut pluralitas budaya lokal pada Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua kegiatan pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada 2 pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yang berlangsung sejauh ini pada dinamika pemikiran Islam pada Indonesia tampaknya lebih dalam yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi pada hadapan konteks, sebagai akibatnya yang lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris semua nilai dan simbol budaya lokal wajib melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah serta bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan mendasar. Problem tadi memilih pada inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu sepertinya berkaitan bertenaga menggunakan isu terkini generik pemikiran Islam, termasuk wacana tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin secara umum dikuasai pada kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu bisa ditangkap dan dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna kata dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yg mandek, final, tanpa alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi masyarakat, pada budaya yang tumbuh berdasarkan loka berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yang memungkinkan keluarnya aneka ekspresi (tidak melulu keagamaan) otentik di tengah warga muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, istilah Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka herbi Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah harapan pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan sanggup mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yg bertujuan menjelaskan teks mulai dari karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku kudus (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir di Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam disiplin ‘ulûm al-Qur’ân akan tetapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (jua modern) pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, animo mistifikasi itu pula melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak pencerahan “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini menjadi tafsir lokal membangun paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan beranjak menggunakan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yang tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) sebagai disembodied serta terdekontekstualisasi karena segera bisa dipisahkan menurut konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi semenjak teks-teks tertulis itu tanggal berdasarkan pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau diklaim juga intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yg jauh lebih menguniversal pada istilah-istilah tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan pada teks tertulis tidak lagi terikat secara bertenaga menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir pada pada teks dalam dasarnya jua merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak terdapat lagi dialektika antara teks serta pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―di mana teks bisa memberi respon sejauh bila, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks serta bukan secara dan-merta ditemukan pada teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa di mana keduanya, teks serta penafsir, saling memilih. Alhasil, semua kegiatan penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif serta saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―seperti digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks sebagai otonom dengan sendirinya. Karena itu, tidak sama menggunakan Dilthey yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru wajib . Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain tidak mungkin pula tidak perlu. Sebab, justru menggunakan dimensi historis yg dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yang sesuai menggunakan syarat kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan benar-benar-sungguh memproduksi makan (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks merupakan suatu kemestian, sebab orang nir dapat menghindar berdasarkan keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia. Di sinilah arti krusial tradisi dan berpretensi dalam proses memahami, menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir, sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia. Proses tahu (understanding) terkondisikan sang tradisi masa lalu serta juga prasangka kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif dan bebas nilai sebagai problematis, karenanya tidak mungkin mengingat prasangka yg asal menurut sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap aktivitas menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang tidak mungkin memahami sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada dunia”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah tidak mungkin pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, serta univokal. Dalam menafsir, seorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, merupakan penafsiran yang membentuk suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yg disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara holistik, peran penting horison (tradisi, prasangka, serta keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat lalu menggumulkannya menggunakan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg disebut Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas di sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak eksistensi penafsir pada mana horison penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya dalam keliru satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden di luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis berdasarkan gagasan tafsir gaya lokal yang coba dipancangkan.

Hal menarik berdasarkan etnohermeneutik adalah karakteristik utamanya, yakni seluruh penerapan metode hermeneutis musti berorientasi dalam receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yang benar-benar universal, yg berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis bergerak maju yg sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yg paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yg paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami menurut pada weltanschauung masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi pada penerima menggunakan latar budaya masing-masing yg berlainan sebagai komitmen primer menurut pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks pada ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yg dituntut etnohermeneutik merupakan apa yg dianggap “kontektualisasi taraf pada” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan membuat suatu pesan kitab suci yg digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi tingkat-pada tidak sekedar berkait menggunakan suatu produk akhir penafsiran yg secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tadi yang secara budaya layak jua. Kontekstualisasi yg baik merupakan sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yg boleh jadi timbul dari kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yg ada menurut gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana pandangan baru tafsir lokal hendak diarahkan memang bisa mengundang problem. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik pada masa ini memberikan tekanan kelewat besar pada kiprah (horison) penafsir pada memahami, menentukan signifikansi dan makna teks sampai kerapkali eksistensi teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun akal epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar (lihat Gambar 2). Seluruh proses diretas menggunakan bertolak dari realitas yg dialami, yang dihadapi yg berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yg baru, kaya, dan mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan empiris dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir menggunakan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yg bertempat pada “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini menggunakan pada ketika yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks menurut keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan empiris yang sudah dirumuskan. Dari situ mobilitas melingkar hermeneutis diteruskan pada termin pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg sudah terpetakan sejalan menggunakan konteks kekinian dari realitas yang dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan menggunakan prosedur hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks kudus itu, melainkan buat menemukan prosedur serta faktor-faktor historis yg melatari lahirnya teks-teks tersebut serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) pada pada konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya dalam konteks masa lalu yg khas dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks realitas yg telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu merupakan bagian integral berdasarkan bukti diri muslim dan aktif pada pada sistem ideologis mereka, maka beliau wajib dibuat bekerja pulang supaya memperoleh balik makna pada masa ini serta kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya dianggap menjadi keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan empiris sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami serta menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini mengindikasikan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yg dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks empiris yg dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit menurut pelangsungan prosedur regresif-progresif. Karena itu ia adalah bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut pencerahan akan teks suci (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian berdasarkan global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis timbal-kembali terputus dalam gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yg terkait langsung menggunakan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lebih kurang semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari serta berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat menciptakan suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya adalah langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg telah terbangun menggunakan teori sosial. Ini adalah awal dari proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta tahu empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, pada rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat lalu berdasar donasi teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, output perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas output pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang sudah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah zenit proses kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (empiris terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), pulang ke teks, untuk lalu dibumikan pulang (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu terdapat bentuk penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, serta mendalam berdasar hasil interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya serta mendalam jua. 

Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu pasti menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri serta menjadi horison penafsir. Lantaran itulah peran penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya merupakan dialektika dinamis manusia menggunakan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian dalam dasarnya tengah berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan serta memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada saat berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks serta penafsir. Keduanya berada pada interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya serta teks sanggup memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya dalam gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yang terikat oleh ruang-ketika historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, supaya realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan perempuan , perbudakan, subordinat non-muslim, serta seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-praktis eksklusif penafsiran teks, namun lebih menjadi sebuah tawaran paradigmatik, sebuah kerangka berpikir pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa contoh apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik dia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks dalam akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tak terdapat kecurigaan dalam akal secara berlebihan, tidak terdapat pendewaan teks, tak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yg terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan manusia (yg otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) menjadi sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Lantaran itu nir boleh ada monopoli kebenaran, lantaran makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli oleh suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya sang satu penafsiran belaka.

Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola tafsir yg melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks kudus Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini kitab -kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, misalnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura dan mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen dapat sebagai muslim yang shâlih tanpa wajib membuang koteka atau rumbai mereka serta merubahnya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, karena Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model busana . 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yg bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam mengambil tempat persemayaman mempunyai potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri pada kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik pada mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke pada kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk hubungan dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi dengan setiap kebudayaan yg tidak sinkron dengan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah sahih-benar buat insan, dan bukan buat Allah. Bukankah tafsir pada Islam, mengutip Machasin, dimaknai dengan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” manusia?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan dalam banyak sekali warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, istiadat-norma para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya merupakan sah, karena nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola istiadat tertentu mengutip Ibn ‘Âsyûr, seseorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya loka dilahirkannya Rasul saw, yakni istiadat Arab, tidaklah dapat dipaksakan pada warga lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat mengembangkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing permanen memiliki kans buat memberi sumbangan kepada Islam serta peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam dengan khazanah lokal sebenarnya pasti, automatically. Namun ide “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan serta permanen krusial buat terus didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yg saling mengkayakan itu dicoba-negasikan sang kaum modernis-puritanis yg beranjak sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, seperti kita memahami, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat kembali menghamba pada teks, yg kuat berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah menciptakan kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya.

Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebesar mungkin kebenaran Allah yang me-latent pada teks-teks suci (Qur’an atau hadits) menggunakan menjadikan global manusia (horison penafsir, the world of the reader) menggunakan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif primer kebenaran tadi. Karena Allah “tidak memakai pakaian tertentu,” maka kitalah yang (wajib ) memberi-Nya “pakaian” berdasarkan cara serta kecenderungan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “busana ” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa waktu Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung adalah proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di aneka macam belahan, halnya pula di Indonesia. Maka muncullah banyak sekali varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter tidak sinkron satu sama lain. Begitu juga, tak cuma Islam-Arab, tapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul menggunakan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yg sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu kalau terma “otentik” dalam “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yg sesungguhnya,” yakni Islam yg dikehendaki Allah atau Islam yg benar-sahih berdasarkan Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis wangsit “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg disebut menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak sinkron dengan yang lain. Otonom pada menentukan, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, serta sosial) secara beserta yg mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai juga kelembagaan wajib sinkron dengan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan masyarakat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya menjadi kekuatan primer dalam membangun insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yang ndilalah nge-Arab itu) ke dalam suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tidak mungkin hanya akan menjerembabkan rakyat ke pada alienasi, keterasingan dalam (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih dalam fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) sampai yg ada adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah rakyat merupakan Islam yang dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yang merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ilham tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun dalam kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama dipengaruhi apakah dia secara verbal-eksklusif dari menurut Tuhan atau nir. Ia bisa timbul dimana saja sebagaimana Allah pula hadir di mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, tapi kitalah yg mau tidak mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” kata Mohsen Makhmalbaf, pengarah adegan film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, jika kemudian ada yg memakai pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.