CARA MENGETAHUI KEPRIBADIAN SESEORANG DARI WARNA KESUKAAN FAVORIT BAG 2

Membaca Kepribadian berdasarkan Warna Kesukaan

Seperti yang sudah saya tulis kemarin, artikel ini memuatkekurangan penyebutan warna dalam artikel membaca kepribadian berdasarkan rona selera yg pertama. Seperti yang kita tahu,terdapat poly warna yang berkemungkinan buat disukai oleh seseorang, tetapi disinisaya hanya mengungkapkan warna yang umum serta poly disukai banyak orang saja,serta seperti apakah karakter anda yang mungkin belum sempat tertulis di artikelsebelumnya, ayo cari memahami disini!

1. Oranye
jika rona selera anda adalah oranye, anda merupakan orang yg optimis serta semangat. Anda jua orang yang percaya diri, ceria, mandiri serta ramah. Namun dalam masalah asmara, anda termasuk sosok yg flamboyan. Anda pula termasuk orang yang menyukai tantangan, serta suka merogoh resiko, hingga anda sangat suka berpetualangan. Sedang dari sisi negatif, anda sanggup sebagai seorang yg tidak tulus, mudah bangga pada diri sendiri dan terlalu memanjakan diri.

2. Abu-abu

Abu-abu merupakan rona diantara hitam dan putih, rona ini adalah warna kompromi, netral dan nir memihak. Warna ini juga pertanda sikap tenang, pendiam serta stabil. Apabila anda penyuka warna ini, anda juga adalah oarang yg klasik, konservatif, elegan serta bermartabat. Dan disisi negatif, anda merupakan orang yg non-emosional, dingin serta kesepian. Terkadang anda mampu menjadi sangat membosankan dan acuh tidak acuh.

3. Pirus (biru bahari)

Anda menggunakan rona favorit ini merupakan jenis orang ramah dan mudah berkomunikasi, anda mempunyai kepekaan serta kreativitas yang tinggi. Anda merupakan seseorang pemikir yang kentara serta penghasil keputusan yg baik. Anda jua memiliki harga diri yang baik dan berdikari. Disisi negatif, anda sanggup menjadi orang yang sangat tidak memikirkan kepentingan orang dan menjadi egois. Anda jua bisa menjadi narsis serta arogan.
4. Hijau
Anda merupakan tipe orang yang mudah, cinta alam dan membumi. Anda memiliki baku moral yang tinggi, seimbang serta melakukan hal yang benar adalah krusial buat Anda. Anda orang yg berkemauan keras serta paling nir suka buat diberitahu mengenai apa yang harus anda lakukan. Disisi negatif anda sanggup sebagai orang yang cepat cemas serta gelisah. Anda menyukai makanan serta sangat sulit buat berhasil menjalankan diet.
5. Kuning emas
Jika rona emas merupakan warna favorit anda, belas kasih dan kehangatan adalah sifat anda. Anda sangat berkwalitas, menggunakan fase zenit anda, anda sanggup memilki taraf spiritualitas yang tinggi dan jua darma. Anda pula orang yg berkarisma tinggi, berkepribadian dan individualistis. Bijaksana serta sukses, namun praktis dan amanah, Anda berorientasi dengan asa yang tinggi, mimpi dan asa berprestasi. Disisi negatif anda adalah orang yang bisa sebagai sangat superior dan terlalu percaya diri. Anda sulit buat mempercayai orang lain, serta disisi asmara, anda sangat selektif dalam memilih pasangan hayati, bahkan deskriminatif.

6. Perak (silver)
Anda menggunakan warna favorit ini adalah tipe orang yg berwawasan, introspektif, serta senang sibuk menggunakan global anda sendiri. Anda juga termasuk orang dengan intuisi yg bertenaga. Anda orang imajinatif serta kreatif, sangat bergerak maju dan fleksibel. Sedangkan berdasarkan perspektif negatif, anda merupakan orang yg hidup dalam kebohongan serta penipuan, terkadang anda juga hidup pada khayalan dan fantasi anda. Anda jua bisa sebagai arogan dengan sifat dominasi terhadap orang lain.

CARA MENGETAHUI KEPRIBADIAN SESEORANG DARI WARNA KESUKAAN FAVORIT

Membaca Kepribadian berdasarkan Warna Kesukaan

Setiap orang memiliki warna favorit tersendiri menjadi acuan buat memilih hal - hal yg disukainya. Warna baju yang acapkali digunakan, rona cat dinding kamar, serta benda-benda kecil pada keperluan sehari-hari. Sadarkah kamu bahwa pemilihan warna favorit ditentukan oleh keadaan psikologis masing - masing individu. Seseorang mungkin pernah mengubah warna favoritnya, jika engkau pernah mengalaminya, coba kamu jangan lupa-ingat balik , adakah hal akbar yg terjadi terhadap dirimu sehingga membuat kamu mengubah rona favorit tadi. Lebih lengkapnya, berikut makna psikologi dari warna yang paling kamu sukai:
1. Merah
Jika warna favorit kamu merupakan merah, engkau adalah orang yg percaya diri, optimis, berani serta ekstrovert. Memiliki naluri bertahan hayati yg tinggi, sangat haus akan perhatian. Disisi negatif penyuka rona merah sangat menggebu-nggebu, tidak tabah , spontan serta selalu ingin memegang kontrol atas segalanya. Nomor dua bukan sesuatu yg baik bagi penyuka rona merah, karena mereka sangat kompetitif serta selalu ingin sebagai pemenang.
2. Hitam
Untuk  kamu penyuka rona hitam, merupakan individu yg independen, berkemauan keras dan berkeinginan mengendalikan diri yg kuat dan juga situasi disekitar. Engkau akan tampak seram, otoriter serta menuntut bahkan sang sahabat kamu sendiri. Kamu termasuk orang yang non-emosional, tampak begitu bermartabat dan selalu dalam kontrol. Engkau orang yg tertutup, menjauhkan diri menurut poly orang dan membentuk dinding pembatas atas diri engkau . Mungkin kamu merupakan orang yang sedang atau sudah berada dalam keadaan yg sangat murung , kehilangan arah serta berada dalam global yg negatif.
3. Biru tua
Jika ini adalah rona favorit kamu, kamu ortodok, bisa dikamulkan dan bonafide. Engkau cukup percaya orang lain meskipun engkau sangat berhati-hati pada awal sampai engkau yakin berdasarkan orang lain. Kamu adalah orang yg sangat original dan tulus. Engkau sangat membutuhkan harmoni serta perdamaian dalam keseharian kamu, sangat penting bagi kamu buat meluangkan ketika buat memprosesdan membagikan perasaan kamu. Engkau cukup pemarah kecuali kamu mengendalikan emosi hingga sebagai baik bahkan dingin dan acuh. Percaya diri dan menguasai diri adalah sifat engkau , namun sebenarnya engkau mempunyai sisi rentan. Umumnya penyuka warna ini lebih senang berada di belakang layar.
4. Merah muda
Jika pink adalah rona favorit engkau , maka engkau adalah orang yg baik, menyenangkan serta murah hati. Kamu mempunyai sifat keibuan, sangat baik dalm merawat oarang lain hingga kamu lebih mementingkan orang lain daripada diri kamu sendiri. Kamu berhubungan dengan feminitas, sensitif, sensual dan romantis.  kamu halus, pendiam, damai dan non-kekerasan yg bisa memberikan kesan rasa memalukan. Kamu terorganisir serta sangat metodis saat kamu sudah matang. Terkadang kamu sangat kekanak-kanakan dan selalu berpenampilan muda. Yang perlu kamu lakukan merupakan sebagai lebih mandiri.
5. Ungu
kamu merupakan orang dengan semangat lembut dan bebas, sensitif serta lebih mementingkan orang lain, terkadang hal ini membuat engkau menjadi oarang yg dimanfaatkan. Kamu memilii kualitas yang hening dan karismatik, engkau pula orang yang idealis serta kurang bagitu praktis, engkau memiliki iamjinasi yang besar serta orang melihat engkau sebagai orang yang eksentrik. Kamu  visioner, kuarng senang pada kerumunan dan kurang senang dengantangguang jawab. Engkau kadang-kadang mampu sebagai arogan dan jemawa bila beroperasi dari perspektif negatif.

6. Putih
kamu merupakan eksklusif yg rapi, perfeksionis dan sangat menjaga kebersihan. Kamu oarang yang wajar, berpkamungan jauh, bijaksana dan optimis. Engkau berdikari dan penyediri yang terkadang membuat engkau kesepian lantaran sifat itu. Engkau  mampu sebagai sangat adil serta nir memihak, walau terkadang kamu sebagai sangat kritis karena sifat perfeksiaonis kamu. Kamu menyembunyikan kekurangan engkau berdasarkan orang lain buat memberikan efek paripurna dalam diri kamu. Tantangan bagi engkau merupakan buat sebagai lebih terbuka dan fleksibel, buat lebih berkomunikasi mengenai kebutuhan serta harapan engkau .

7. Kuning
kamu penyuka warna kuning merupakan orang yg menganalisis segala sesuatu, sepanjang saat, dan metodis pada pemikiran kamu. Engkau spontan dan merogoh suatu keputusan secara cepat-cepat, serta sering datng dari kecemasan. Kamu sangat selektif pada memilih sahabat, membuat perkumpulan teman kamu menjadi serikat yang tertentu. Kamu spontan serta bisa berpikir cepat pada kaki kamu dan membuat keputusan instan. Kamu berpikiran terkini dan tidak kikuk pada perkembangan teknologi serta berhadapan dengan orang menggunakan pikiran yang tinggi. Tapi terkadang engkau mampu menjadi orang menggunakan pengecap yang sangat tajam dalam suatu perdebatan. Dan dengan orientasi negatif, engkau bisa sebagai orang yang sombong, keras kepala dan penipu.

8. Coklat
Jika kamu adalah penyuka warna ini engkau adalah orang yang jujur, down to earth, stabil dan ramah. Kehidupan keluarga sangat krusial buat engkau , serta engkau sangat suka kesederhanaan serta kualitas. Engkau sensitif terhadap kebutuhan orang lain dan sensitif terhadap kritik oleh orang lain. Engkau mampu menjadi teman yang sangat setia, dapat dipercaya dan bisa dikamulkan yang membuat seorang sangat mudah buat curhat kepada engkau . Kamu suka kehidupan terstruktur dengan segala sesuatu di tempatnya, meskipun kamu bukan seorang perfeksionis dengan cara apapun.  engkau relatif materialistis serta sering melihat kehidupan menjadi perjuangan percaya bahwa hayati tidak dimaksudkan buat menjadi mudah.
So, warna manakah favorit engkau , engkau mampu mengetahui lebih poly mengenai diri engkau . Warna memang banyak, tidak hanya yang tadi diatas, serta mungkin rona yang kamu sukai belum tercantum dalam  artikel ini. Lantaran terlalu poly rona, yg nir memungkinkan buat tercantum dalam satu artikel sekaligus, kamu sanggup membaca artikel yang selanjutnya ‘Seperti Apa Karakter kamu? Ayo Cari Tahu Lewat Warna Favorit (part.dua)'

MENGENALI KEPRIBADIAN SESEORANG DARI BENTUK PUNGGUNGNYA

Sebelum mengenal seseorang lebih dekat, tentu kita harus tahu terlebih dahulu memahami misalnya apa karakter orang tadi sebenarnya. Hal ini seringkali, beberapa orang nir bisa langsung dinilai hanya dari omongan atau cara bicaranya saja. Secara psikologi, rata-homogen orang akan bertingkah lebih manis jika menginginkan sesuatu berdasarkan kita. Sebaliknya, mereka cenderung akan berpikiran negatif bila ada yang kurang disukai menurut diri kita. Mengenali kepribadian orang yang sesungguhnya sangatlah penting agar kita nir tak jarang galat tingkah serta keliru persepsi dalam menilai orang lain.
Ada poly cara buat mengetahui kepribadian orang yg sesungguhnya, galat satunya merupakan menggunakan melihat seperti apa bentuk tulang punggungnya. Dalam struktur tubuh insan, tulang punggung adalah bagian terpenting, lantaran memiliki fungsi menjadi stabilitas serta penopang anggota tubuh lainnya. Secara khusus, bentuk punggung jua dapat membicarakan seberapa akbar kekuatan yang dimiliki seseorang dan seberapa kerasnya dia bekerja dalam global nyata.
1.bentuk punggung sedikit bengkok
Bentuk punggung yg sedikit bengkok mengungkapkan bahwa orang tadi  mempunyai kepribadian yg sedikit introvert serta suka menahan diri menurut kehidupan bersosial. Orang-orang ini cenderung lebih senang menggunakan lebih banyak otaknya daripada kekuatan otot (fisik). Biasanya mereka akan mulai mengalami masalah kesehatan eksklusif saat mencapai usia 40-an. Mereka jua jarang memiliki sahabat dekat buat curhat atau saling berbagi pengalaman kehidupan. Beberapa antara lain ada yg gampang mengalami depresi dan perkara psikologis lainnya, terlebih apabila mereka nir segera menemukan sahabat hidup yg tepat.
2.punggung terlihat bengkok jelas
Menurut kepercayaan , postur tubuh seperti ini tidak hanya berbahaya bagi kesehatan tetapi pula berkaitan dengan nasib yang kurang baik. Orang dengan bentuk bahu yg membungkuk seperti tampak pada ilustrasi gambar pada atas acapkali menghadapi poly perkara dalam menjaga interaksi. Meski umumnya memiliki otak yang lumayan cerdas, orang-orang misalnya ini banyak mengalami perjuangan yg nir ringan semasa hidupnya.
3.punggung bengkok serta leher tampak mencuat
Orang dengan bentuk punggung misalnya ini umumnya mempunyai kebiasaan menyeret kaki waktu berjalan. Mereka poly menghadapi masa-masa sulit di hampir setiap bidang kehidupan serta batas kesabarannya.
4.bentuk punggung ke atas (lurus)
Orang menggunakan bentuk punggung misalnya ini terlihat berjalan lurus dengan wilayah perut yg tertekan ke dalam. Orang ini umumnya nikahnya usang, mengalami perselisihan dalam pernikahan dan mungkin akan mengalami sulit pekerjaan juga. Perjuangannya menjadi semakin agresif ketika mereka tidak mau belajar buat mengendalikan egonya.
5.bentuk punggung santai
Orang menggunakan bentuk punggung seimbang mempunyai kehidupan yang tersortir atau suka pilah-pilih. Mereka memahami bagaimana serta kapan mengendalikan emosinya. Mereka dikenal senang bekerja keras buat menjaga ekuilibrium antara kehidupan profesional dan pribadinya. Biasanya kesuksesan akan baru dicapainya saat berusia sekitar 36 tahunan.

6.punggung kalem dengan otot yang terbentuk
Orang menggunakan postur seperti ini diyakini akan menghadapi poly perkara kesehatan misalnya mempunyai risiko penyakit tulang belakang, jantung, atau penyakit lain yg terkait dengan darah.
7.bentuk punggung yang meregang keluar
Orang yang punggungnya berbentuk seperti ini dikatakan terlalu emosional dan pengambil keputusan spontan, yang terkadang menghasilkan penyesalan pada akhirnya. Mereka pula tidak mau terlibat terlalu mendalam, baik pada kehidupan profesional juga pribadinya.
Sumber: Boldsky

REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas dalam Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini gugusan pertanyaan yg benar-benar menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, galat satunya. Demi menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yg universal, beliau pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, ia berharap dapat memperdalam keislamannya. Lama beliau menetap di sana sebelum kemudian mudik sehabis menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yg berorientasi ke masa lalu. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hayati.

Intelektual muslim anyaran berasal Amerika itu berupaya meninggalkan tabiat “Amerika-nya” untuk sebagai muslim nan “sejati”. Dan beliau gagal. Tetapi, kegagalannya itu justru menghantarkan beliau dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk sebagai muslim yang baik, seseorang tidak kemudian berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam nir pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir serta hidup tidak pada ruang serta ketika yg kosong budaya; keduanya, agama (Islam) serta budaya, berkelindan dan saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yg lahir dan mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi agama, ada sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : 3). Sebagai sang author, Tuhan telah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur menentukan, tapi memasrahkan nasib Islam pada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya dalam tahu-menyikapi verbalisasi seluruh ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, serta menghayatinya dengan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab sebagai locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa dan budaya (yg kebetulan) Arab tadi pasti. Seluruh agama saat memulai proses menyejarah dalam dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti bahasa serta budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga bisa timbul suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat warga tumbuh dalam bangun kultur yang majemuk, maka aktualisasi diri suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi jua majemuk, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, pada hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama namun simbol bahasanya tidak sama. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan “Gusti”, di Madura Allah diklaim bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim dengan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek kata, Islam serta budaya memang tidak bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis apabila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran standar yg diyakini sama-serupa, namun pada level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam keterangan-berita partikular masa lalu. Kebanyakan mereka lalu bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan sejarah Arab, maka secara holistik performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: nir mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya berfokus, (universalitas nilai) Islam yg sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat sang batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yang Arab itu serta lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sinkron dengan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi serta aktualisasi diri (umat) Islam pada tatanan budaya dan peradaban memberitahuakn karakter yg berbeda-beda tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yang bercorak-ragam. Islam pada masing-masing loka membangun karakter baru sinkron menggunakan sistem tata nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap dianggap sebagai capaian prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya tentu saja diametral berbeda menggunakan aktualisasi diri keislaman di asal kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan namun, proses-proses simbiose yang seyogyanya berlangsung saling memperkaya, sampai taraf eksklusif gagal. Dalam banyak hal, itu lantaran metode pembacaan yang dipakai masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) dan masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu biasanya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim “tradisional” sementara grup Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu dan mengambil contoh tafsir yang lebih kontemporer-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak dalam animo puritanis-fundamentalis. Pendek kata, sementara kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita memakai metode impor yg berdasarkan poly sisi nir cukup compatible serta karenanya inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan niscaya menurut pluralitas budaya lokal pada Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua kegiatan pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada 2 pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yang berlangsung sejauh ini pada dinamika pemikiran Islam pada Indonesia tampaknya lebih dalam yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi pada hadapan konteks, sebagai akibatnya yang lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris semua nilai dan simbol budaya lokal wajib melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah serta bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan mendasar. Problem tadi memilih pada inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu sepertinya berkaitan bertenaga menggunakan isu terkini generik pemikiran Islam, termasuk wacana tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin secara umum dikuasai pada kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu bisa ditangkap dan dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna kata dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yg mandek, final, tanpa alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi masyarakat, pada budaya yang tumbuh berdasarkan loka berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yang memungkinkan keluarnya aneka ekspresi (tidak melulu keagamaan) otentik di tengah warga muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, istilah Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka herbi Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah harapan pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan sanggup mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yg bertujuan menjelaskan teks mulai dari karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku kudus (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir di Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam disiplin ‘ulûm al-Qur’ân akan tetapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (jua modern) pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, animo mistifikasi itu pula melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak pencerahan “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini menjadi tafsir lokal membangun paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan beranjak menggunakan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yang tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) sebagai disembodied serta terdekontekstualisasi karena segera bisa dipisahkan menurut konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi semenjak teks-teks tertulis itu tanggal berdasarkan pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau diklaim juga intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yg jauh lebih menguniversal pada istilah-istilah tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan pada teks tertulis tidak lagi terikat secara bertenaga menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir pada pada teks dalam dasarnya jua merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak terdapat lagi dialektika antara teks serta pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―di mana teks bisa memberi respon sejauh bila, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks serta bukan secara dan-merta ditemukan pada teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa di mana keduanya, teks serta penafsir, saling memilih. Alhasil, semua kegiatan penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif serta saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―seperti digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks sebagai otonom dengan sendirinya. Karena itu, tidak sama menggunakan Dilthey yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru wajib . Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain tidak mungkin pula tidak perlu. Sebab, justru menggunakan dimensi historis yg dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yang sesuai menggunakan syarat kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan benar-benar-sungguh memproduksi makan (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks merupakan suatu kemestian, sebab orang nir dapat menghindar berdasarkan keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia. Di sinilah arti krusial tradisi dan berpretensi dalam proses memahami, menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir, sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia. Proses tahu (understanding) terkondisikan sang tradisi masa lalu serta juga prasangka kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif dan bebas nilai sebagai problematis, karenanya tidak mungkin mengingat prasangka yg asal menurut sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap aktivitas menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang tidak mungkin memahami sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada dunia”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah tidak mungkin pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, serta univokal. Dalam menafsir, seorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, merupakan penafsiran yang membentuk suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yg disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara holistik, peran penting horison (tradisi, prasangka, serta keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat lalu menggumulkannya menggunakan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg disebut Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas di sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak eksistensi penafsir pada mana horison penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya dalam keliru satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden di luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis berdasarkan gagasan tafsir gaya lokal yang coba dipancangkan.

Hal menarik berdasarkan etnohermeneutik adalah karakteristik utamanya, yakni seluruh penerapan metode hermeneutis musti berorientasi dalam receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yang benar-benar universal, yg berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis bergerak maju yg sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yg paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yg paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami menurut pada weltanschauung masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi pada penerima menggunakan latar budaya masing-masing yg berlainan sebagai komitmen primer menurut pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks pada ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yg dituntut etnohermeneutik merupakan apa yg dianggap “kontektualisasi taraf pada” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan membuat suatu pesan kitab suci yg digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi tingkat-pada tidak sekedar berkait menggunakan suatu produk akhir penafsiran yg secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tadi yang secara budaya layak jua. Kontekstualisasi yg baik merupakan sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yg boleh jadi timbul dari kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yg ada menurut gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana pandangan baru tafsir lokal hendak diarahkan memang bisa mengundang problem. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik pada masa ini memberikan tekanan kelewat besar pada kiprah (horison) penafsir pada memahami, menentukan signifikansi dan makna teks sampai kerapkali eksistensi teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun akal epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar (lihat Gambar 2). Seluruh proses diretas menggunakan bertolak dari realitas yg dialami, yang dihadapi yg berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yg baru, kaya, dan mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan empiris dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir menggunakan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yg bertempat pada “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini menggunakan pada ketika yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks menurut keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan empiris yang sudah dirumuskan. Dari situ mobilitas melingkar hermeneutis diteruskan pada termin pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg sudah terpetakan sejalan menggunakan konteks kekinian dari realitas yang dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan menggunakan prosedur hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks kudus itu, melainkan buat menemukan prosedur serta faktor-faktor historis yg melatari lahirnya teks-teks tersebut serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) pada pada konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya dalam konteks masa lalu yg khas dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks realitas yg telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu merupakan bagian integral berdasarkan bukti diri muslim dan aktif pada pada sistem ideologis mereka, maka beliau wajib dibuat bekerja pulang supaya memperoleh balik makna pada masa ini serta kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya dianggap menjadi keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan empiris sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami serta menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini mengindikasikan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yg dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks empiris yg dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit menurut pelangsungan prosedur regresif-progresif. Karena itu ia adalah bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut pencerahan akan teks suci (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian berdasarkan global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis timbal-kembali terputus dalam gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yg terkait langsung menggunakan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lebih kurang semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari serta berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat menciptakan suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya adalah langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg telah terbangun menggunakan teori sosial. Ini adalah awal dari proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta tahu empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, pada rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat lalu berdasar donasi teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, output perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas output pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang sudah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah zenit proses kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (empiris terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), pulang ke teks, untuk lalu dibumikan pulang (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu terdapat bentuk penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, serta mendalam berdasar hasil interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya serta mendalam jua. 

Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu pasti menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri serta menjadi horison penafsir. Lantaran itulah peran penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya merupakan dialektika dinamis manusia menggunakan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian dalam dasarnya tengah berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan serta memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada saat berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks serta penafsir. Keduanya berada pada interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya serta teks sanggup memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya dalam gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yang terikat oleh ruang-ketika historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, supaya realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan perempuan , perbudakan, subordinat non-muslim, serta seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-praktis eksklusif penafsiran teks, namun lebih menjadi sebuah tawaran paradigmatik, sebuah kerangka berpikir pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa contoh apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik dia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks dalam akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tak terdapat kecurigaan dalam akal secara berlebihan, tidak terdapat pendewaan teks, tak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yg terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan manusia (yg otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) menjadi sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Lantaran itu nir boleh ada monopoli kebenaran, lantaran makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli oleh suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya sang satu penafsiran belaka.

Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola tafsir yg melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks kudus Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini kitab -kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, misalnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura dan mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen dapat sebagai muslim yang shâlih tanpa wajib membuang koteka atau rumbai mereka serta merubahnya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, karena Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model busana . 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yg bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam mengambil tempat persemayaman mempunyai potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri pada kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik pada mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke pada kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk hubungan dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi dengan setiap kebudayaan yg tidak sinkron dengan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah sahih-benar buat insan, dan bukan buat Allah. Bukankah tafsir pada Islam, mengutip Machasin, dimaknai dengan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” manusia?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan dalam banyak sekali warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, istiadat-norma para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya merupakan sah, karena nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola istiadat tertentu mengutip Ibn ‘Âsyûr, seseorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya loka dilahirkannya Rasul saw, yakni istiadat Arab, tidaklah dapat dipaksakan pada warga lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat mengembangkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing permanen memiliki kans buat memberi sumbangan kepada Islam serta peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam dengan khazanah lokal sebenarnya pasti, automatically. Namun ide “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan serta permanen krusial buat terus didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yg saling mengkayakan itu dicoba-negasikan sang kaum modernis-puritanis yg beranjak sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, seperti kita memahami, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat kembali menghamba pada teks, yg kuat berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah menciptakan kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya.

Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebesar mungkin kebenaran Allah yang me-latent pada teks-teks suci (Qur’an atau hadits) menggunakan menjadikan global manusia (horison penafsir, the world of the reader) menggunakan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif primer kebenaran tadi. Karena Allah “tidak memakai pakaian tertentu,” maka kitalah yang (wajib ) memberi-Nya “pakaian” berdasarkan cara serta kecenderungan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “busana ” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa waktu Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung adalah proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di aneka macam belahan, halnya pula di Indonesia. Maka muncullah banyak sekali varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter tidak sinkron satu sama lain. Begitu juga, tak cuma Islam-Arab, tapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul menggunakan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yg sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu kalau terma “otentik” dalam “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yg sesungguhnya,” yakni Islam yg dikehendaki Allah atau Islam yg benar-sahih berdasarkan Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis wangsit “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg disebut menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak sinkron dengan yang lain. Otonom pada menentukan, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, serta sosial) secara beserta yg mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai juga kelembagaan wajib sinkron dengan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan masyarakat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya menjadi kekuatan primer dalam membangun insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yang ndilalah nge-Arab itu) ke dalam suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tidak mungkin hanya akan menjerembabkan rakyat ke pada alienasi, keterasingan dalam (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih dalam fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) sampai yg ada adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah rakyat merupakan Islam yang dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yang merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ilham tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun dalam kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama dipengaruhi apakah dia secara verbal-eksklusif dari menurut Tuhan atau nir. Ia bisa timbul dimana saja sebagaimana Allah pula hadir di mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, tapi kitalah yg mau tidak mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” kata Mohsen Makhmalbaf, pengarah adegan film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, jika kemudian ada yg memakai pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.

REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas pada Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini formasi pertanyaan yang sungguh menggelisahkan poly orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, salah satunya. Demi menggapai otentisitas serta apa yg dianggap Islam yg universal, ia pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, dia berharap bisa memperdalam keislamannya. Lama ia menetap di sana sebelum kemudian mudik selesainya menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan pada Saudi Arabia yg berorientasi ke masa kemudian. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hidup.

Intelektual muslim anyaran asal Amerika itu berupaya meninggalkan watak “Amerika-nya” buat menjadi muslim nan “sejati”. Dan ia gagal. Namun, kegagalannya itu justru menghantarkan ia dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk menjadi muslim yang baik, seorang nir lalu berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam tidak pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir dan hayati tidak dalam ruang serta saat yang kosong budaya; keduanya, agama (Islam) dan budaya, berkelindan serta saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yang lahir serta mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi kepercayaan , timbul sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : tiga). Sebagai oleh author, Tuhan sudah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur memilih, tapi memasrahkan nasib Islam kepada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya pada tahu-menyikapi verbalisasi semua ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, dan menghayatinya menggunakan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab menjadi locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa serta budaya (yang kebetulan) Arab tadi niscaya. Seluruh agama waktu memulai proses menyejarah pada dasarnya memerlukan wadah kultural (misalnya bahasa dan budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga dapat ada suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu digunakan guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat rakyat tumbuh pada bangun kultur yang beragam, maka ekspresi suatu kepercayaan secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi juga beragam, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, dalam hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid bisa saja sama namun simbol bahasanya berbeda. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia seringkali disapa dengan sebutan “Gusti”, pada Madura Allah disebut bergantian menggunakan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab menggunakan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim menggunakan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek istilah, Islam dan budaya memang nir bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis bila artikulasi dan aktualisasi diri keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran baku yg diyakini sama-serupa, tetapi di level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, fenomena itu umumnya terabaikan dalam pencerahan berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam fakta-fakta partikular masa lalu. Kebanyakan mereka kemudian bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir pada tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, serta ratusan tahun pertama perkembangannya pada kemulan sejarah Arab, maka secara keseluruhan performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: tidak mau) memisahkan antara mana yg budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya serius, (universalitas nilai) Islam yang sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat oleh batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yg Arab itu dan lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sama menggunakan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi dan ekspresi (umat) Islam dalam tatanan budaya dan peradaban menampakan karakter yg bhineka tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yg bercorak-ragam. Islam dalam masing-masing tempat membangun karakter baru sesuai dengan sistem rapikan nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap disebut menjadi capaian prestisius peradaban Islam merupakan sebuah kebudayaan bibit unggul yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga tabiat peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi serta pengembangan intelektual keislaman yg coraknya tentu saja diametral tidak sama menggunakan aktualisasi diri keislaman pada berasal kelahirannya, Hijaz. Demikian pula saat menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan tetapi, proses-proses simbiose yg seyogyanya berlangsung saling memperkaya, hingga tingkat eksklusif gagal. Dalam poly hal, itu lantaran metode pembacaan yang digunakan masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) serta masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu umumnya dipegangi secara amat tawadlu’ sang kaum muslim “tradisional” ad interim gerombolan Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu serta merogoh contoh tafsir yang lebih pada masa ini-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak pada trend puritanis-fundamentalis. Pendek kata, ad interim kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita menggunakan metode impor yg menurut poly sisi nir relatif compatible dan karena itu inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan pasti dari pluralitas budaya lokal di Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua aktivitas pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan semua muslim Indonesia pada dua pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yg berlangsung sejauh ini dalam dinamika pemikiran Islam di Indonesia sepertinya lebih pada yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya merupakan pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi di hadapan konteks, sebagai akibatnya yg lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris seluruh nilai dan simbol budaya lokal harus melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya menjadi simbol Islam. Pola baca sedemikian kentara bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah dan bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan fundamental. Problem tadi menunjuk dalam inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu tampaknya berkaitan kuat dengan isu terkini umum pemikiran Islam, termasuk tentang tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin mayoritas di kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya menjadi logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menduga bahwa kebenaran wahyu dapat ditangkap serta dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna istilah pada teks belaka. Wahyu dilihat menjadi sesuatu yg mandek, final, tanpa cara lain . Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak pada tradisi rakyat, pada budaya yg tumbuh berdasarkan tempat berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yg memungkinkan keluarnya aneka aktualisasi diri (tidak melulu keagamaan) otentik pada tengah rakyat muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, kata Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka berhubungan dengan Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita artinya mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi pada tengah impian pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) selebaran Muhammad saw itu menarik apabila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus menjadi suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diperlukan mampu mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis mengenai penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai berdasarkan karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal istilah-istilah serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku suci (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir pada Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tidak hanya pada disiplin ‘ulûm al-Qur’ân tapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, lantaran lantaran tradisi pemikiran Islam klasik (juga modern) pada umumnya menggeliat pada bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, ekspresi dominan sakralisasi itu pula melebar dalam produk pemikiran keagamaan yang kentara-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak kesadaran “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut pada sini sebagai tafsir lokal membentuk paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu serta bergerak dengan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yg tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) menjadi disembodied dan terdekontekstualisasi karena segera dapat dipisahkan berdasarkan konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya memperlihatkan tingginya dekontekstualisasi sejak teks-teks tertulis itu lepas menurut pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau disebut pula intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yang jauh lebih menguniversal pada istilah-kata tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan dalam teks tertulis nir lagi terikat secara kuat menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir di dalam teks pada dasarnya jua adalah produk atau tafsiran berdasarkan penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam dalam itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak ada lagi dialektika antara teks dan pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks serta penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―pada mana teks dapat memberi respon sejauh jika, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yg ada adalah output perundingan antara penafsir serta teks serta bukan secara dan-merta ditemukan dalam teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa pada mana keduanya, teks dan penafsir, saling memilih. Alhasil, seluruh aktivitas penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yg memungkinkan terjadinya dialog aktif dan saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―misalnya digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks menjadi otonom menggunakan sendirinya. Karena itu, berbeda menggunakan Dilthey yg menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru harus. Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain mustahil jua tidak perlu. Sebab, justru dengan dimensi historis yang dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak kemudian berarti mengambil makna orisinil yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yg sinkron dengan kondisi kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sinkron kehendak pengarang, melainkan benar-benar-benar-benar memproduksi makan (baru) yang relevan menggunakan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks adalah suatu kemestian, sebab orang nir bisa menghindar menurut keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-terdapat-annya pada dunia. Di sinilah arti penting tradisi dan berpretensi dalam proses tahu, menafsir teks. Keduanya adalah hal yang niscaya pada tindakan menafsir, karena keduanya merefleksikan keterkondisian historis serta kultural manusia. Proses memahami (understanding) terkondisikan sang tradisi masa kemudian dan juga berpretensi kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif serta bebas nilai sebagai problematis, karenanya mustahil mengingat prasangka yang berasal berdasarkan sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap kegiatan menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang mustahil tahu sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada global”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah mustahil pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, dan univokal. Dalam menafsir, seseorang niscaya melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, adalah penafsiran yg membangun suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu taraf persetujuan-konvensi antara horison makna yang disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara keseluruhan, peran krusial horison (tradisi, prasangka, dan keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini sah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat kemudian menggumulkannya menggunakan empiris kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg diklaim Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas pada sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak keberadaan penafsir pada mana horison penafsir bersifat pasti keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison pada menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya pada salah satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden pada luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik pada sini dipentingkan menjadi titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis dari gagasan tafsir gaya lokal yg coba dipancangkan.

Hal menarik menurut etnohermeneutik merupakan karakteristik utamanya, yakni semua penerapan metode hermeneutis musti berorientasi pada receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat berdasarkan satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yg benar-benar universal, yang berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis dinamis yang sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya buat menafsirkan teks-teks ajaran menggunakan cara-cara yang paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yang paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yg paling dipahami dari dalam weltanschauung rakyat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi dalam penerima dengan latar budaya masing-masing yang berlainan sebagai komitmen primer dari pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks dalam ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yang dituntut etnohermeneutik adalah apa yang disebut “kontektualisasi taraf dalam” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan menghasilkan suatu pesan kitab suci yang digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi taraf-pada tidak sekedar berkait dengan suatu produk akhir penafsiran yang secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tersebut yang secara budaya layak juga. Kontekstualisasi yang baik adalah sebuah paket menyeluruh; beliau bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yang boleh jadi muncul berdasarkan kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan dalam etnohermeneutik, kesan awal yang ada berdasarkan gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana wangsit tafsir lokal hendak diarahkan memang dapat mengundang persoalan. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik kontemporer memberikan tekanan kelewat akbar pada kiprah (horison) penafsir dalam tahu, memilih signifikansi dan makna teks sampai kerapkali keberadaan teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang kemudian mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membentuk akal epistemologisnya dalam suatu mobilitas hermeneutik melingkar (lihat Gambar dua). Seluruh proses diretas dengan bertolak menurut realitas yg dialami, yang dihadapi yang berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yang baru, kaya, serta mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan realitas dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir dengan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang sudah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yang bertempat di “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini dengan pada waktu yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks berdasarkan keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) pada hubungannya dengan realitas yang sudah dirumuskan. Dari situ gerak melingkar hermeneutis diteruskan dalam tahap pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg telah terpetakan sejalan dengan konteks kekinian berdasarkan realitas yg dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan dengan mekanisme hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks suci itu, melainkan untuk menemukan mekanisme serta faktor-faktor historis yang melatari lahirnya teks-teks tadi serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) di dalam konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya pada konteks masa kemudian yang spesial dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan pada dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks empiris yang telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu adalah bagian integral menurut bukti diri muslim dan aktif di pada sistem ideologis mereka, maka ia wajib dibentuk bekerja balik supaya memperoleh balik makna pada masa ini dan kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks empiris kekiniannya dianggap sebagai keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan realitas sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami dan menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini menandakan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yg tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yang dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks realitas yang dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif dalam dasarnya adalah penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini adalah wujud konkrit berdasarkan pelangsungan mekanisme regresif-progresif. Lantaran itu ia merupakan bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut kesadaran akan teks kudus (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian dari global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan menggunakan garis timbal-balik terputus pada gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yang terkait eksklusif dengan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân sekitar semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi menurut dan berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat membentuk suatu kerangka teori (theoretical framework) yg umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya merupakan langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg sudah terbangun menggunakan teori sosial. Ini merupakan awal berdasarkan proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yg terdapat dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta memahami empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, dalam rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan dalam penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat kemudian berdasar bantuan teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, serta mendalam. Di sini, hasil perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas hasil pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm pada kerangka teoretis yang telah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah puncak proses kontekstualisasi teks serta konteks sejarahnya ke konteks hari ini (realitas terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), kembali ke teks, buat kemudian dibumikan balik (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diperlukan akan selalu ada bentuk penyikapan empiris yang lebih baru, kaya, dan mendalam berdasar output interpretasi kontekstual atas teks yg baru, kaya dan mendalam jua. 

Secara holistik, proses tekstual-kontekstual itu niscaya menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri dan menjadi horison penafsir. Karena itulah kiprah penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yg berlangsung sesungguhnya adalah dialektika bergerak maju manusia dengan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian pada dasarnya tengah berupaya berakibat teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tadi pernah relevan dan memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada ketika berbarengan penafsir pula nir berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks dan penafsir. Keduanya berada dalam interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya dan teks bisa memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya pada gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yg terikat oleh ruang-waktu historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, agar realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah nir lagi berlaku, misalnya soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan wanita, perbudakan, diskriminasi non-muslim, dan seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode eksklusif. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-simpel eksklusif penafsiran teks, tetapi lebih sebagai sebuah tawaran paradigmatik, sebuah paradigma pembacaan-penafsiran yg dalam poly hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran sanggup model apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik ia meniscayakan kontekstualisasi pada mana teks pada akhirnya wajib diabdikan dalam konteks realitas melalui mobilitas regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tidak ada kecurigaan dalam nalar secara hiperbola, tidak ada pendewaan teks, tidak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yang terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yg dikembangkan mendudukkan insan (yang otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) sebagai sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi dalam konteks terumuskan itu. Lantaran itu tidak boleh terdapat monopoli kebenaran, karena makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli sang suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya oleh satu penafsiran belaka.

Simpulnya, menjadi sebuah paradigma, tafsir lokal merupakan sebuah pola tafsir yang melibatkan secara terutama semua anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks suci Islam (Qur’an atau hadits), termasuk pada hal ini kitab -buku klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, contohnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura serta mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen bisa menjadi muslim yang shâlih tanpa harus membuang koteka atau rumbai mereka dan menggantinya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, sebab Islam mengurus aurat serta bukan tetek-bengek model pakaian. 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yang bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam merogoh tempat persemayaman memiliki potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing menjadi titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik di mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan tahu suatu kebudayaan eksklusif dan bertolaka darinya, penerapam kerangka berpikir tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat menyebarkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke dalam kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk interaksi dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi menggunakan setiap kebudayaan yg tidak selaras menggunakan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih krusial lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah benar-benar untuk manusia, serta bukan buat Allah. Bukankah tafsir dalam Islam, mengutip Machasin, dimaknai menggunakan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” insan?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan pada berbagai warna serta corak ungkapan sejalan menggunakan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, norma-kebiasaan para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya adalah sah, karena nyaris tidak terdapat jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola norma eksklusif mengutip Ibn ‘Âsyûr, seorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya tempat dilahirkannya Rasul saw, yakni norma Arab, tidaklah bisa dipaksakan pada rakyat lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat membuatkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing tetap mempunyai kans untuk memberi sumbangan kepada Islam dan peradabannya. Demikian halnya menggunakan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam menggunakan khazanah lokal sebenarnya niscaya, automatically. Namun wangsit “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan dan tetap krusial buat terus didesakkan karena interaksi simbiosis Islam serta budaya yang saling mengkayakan itu dicoba-negasikan oleh kaum modernis-puritanis yg berkecimpung sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, misalnya kita tahu, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat pulang menghamba dalam teks, yang bertenaga berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah membuat kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, nir produktif, kemarau, nir kaya.

Akan namun, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan menjadi counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebanyak mungkin kebenaran Allah yg me-latent di teks-teks suci (Qur’an atau hadits) dengan menjadikan global insan (horison penafsir, the world of the reader) dengan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif utama kebenaran tersebut. Lantaran Allah “nir menggunakan pakaian eksklusif,” maka kitalah yg (harus) memberi-Nya “busana ” menurut cara dan kesamaan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “pakaian” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan menciptakan kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa ketika Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yg segera berlangsung merupakan proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian pada aneka macam belahan, halnya juga pada Indonesia. Maka muncullah berbagai varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yg masing-masing mengetengahkan karakter tidak sama satu sama lain. Begitu jua, tidak cuma Islam-Arab, akan tetapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yg muncul dengan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah kemudian “Islam yg otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yang sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu jikalau terma “otentik” pada “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yang sesungguhnya,” yakni Islam yang dikehendaki Allah atau Islam yang sahih-benar menurut Rasulillah Muhammad saw. Tetapi bila istilah otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis pandangan baru “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg dianggap menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian generik, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak selaras dengan yg lain. Otonom pada memilih, memilah, dan memilih bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, dan sosial) secara bersama yang mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai maupun kelembagaan harus sinkron menggunakan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan rakyat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya sebagai kekuatan utama pada membentuk insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan swatantra pada menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yg ndilalah nge-Arab itu) ke pada suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yg selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tak mungkin hanya akan menjerembabkan warga ke dalam alienasi, keterasingan pada (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih pada fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, akan tetapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual juga potensial) sampai yg muncul adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah masyarakat merupakan Islam yg dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yg merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati slogan bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ide tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun pada kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama ditentukan apakah ia secara mulut-eksklusif dari berdasarkan Tuhan atau nir. Ia bisa ada dimana saja sebagaimana Allah jua hadir pada mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, akan tetapi kitalah yg mau nir mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” istilah Mohsen Makhmalbaf, sutradara film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan sekarang sudah pecah.” Manusia memungut pecahannya serta tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, apabila lalu terdapat yang memakai pecahan kaca itu buat atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.