SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan tentang rakyat, sebagai ilmu empiris yg memperoleh pijakan yg kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir karena terlepas berdasarkan efek filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan sang August Comte (1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari warga . Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yang berkembang menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tersebut disambut hangat sang rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar pada bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal berdasarkan Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menilik masyarakat yang amat berguna buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yg berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu warga seperti tubuh insan, sebagai suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menganggap permasalahan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat sebagai Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, membicarakan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial dalam warga Amerika merupakan perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar untuk maju dan mempunyai kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dilihat sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-disparitas tadi beliau mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, serta wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru pada sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki menjadi “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology merupakan penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan perseteruan social serta sekaligus memberikan rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas pada USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yg mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology serta memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education bisa menjadi sumber data serta informasi ilmiah, dan studi akademis yang bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology pada American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan kiprah pendidikan pada pengembangan rakyat, dimulai lebih kurang tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis pada Negeri Belanda waktu itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi buat memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan dalam ketika itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, dan R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hayati berkelompok, sesuatu yg jua terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni fauna. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit menurut pengelompokan fauna. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan ciri-ciri hidup berkelompok dalam hewan dalam kutipan berikut. 

Pada fauna, hayati berkelompok memiliki cirri-ciri: Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, terdapat komunikasi antar anggota, dan ada subordinat antar individu yg hidup dalam suatu gerombolan dengan individu yang hayati pada kelompok lain. 

Ciri-karakteristik hewan tersebut bisa pula ditemukan pada insan. Kehidupan sosial insan tadi dipelajari oleh filsafat, yg berusaha mencari hakekat warga yang sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan menjadi individu dan manusia sebagai anggota rakyat. Pandangan genre-genre filsafat mengenai empiris sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses hubungan antara dua individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi belia memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yg sistematis terjadi di forum sekolah yang dengan sengaja di bentuk sang rakyat. Perhatian sosiologi dalam pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi dalam kegiatan pendidikan tadi maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan merupakan acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang bertolak pada hubungan antar individu menjadi mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta peserta didik) bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi belia mengembangkan diri. Pengembangan diri tadi dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karenanya aktivitas pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta warga . Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan meliputi semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan famili sangat krusial, karena keluarga adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai berbagi diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan perilaku yang dapat menghipnotis perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan famili. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja dibentuk sang rakyat menggunakan perencanaan serta aplikasi yang mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan jua dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan mini pada rakyat. Seperti kelompok keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang sebagai fokus pada aktivitas ini merupakan aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan masyarakat. Dalam aplikasi pada aneka macam negara diupayakan keseimbangan antara pelestarian serta pengembangan budaya dan rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan warga yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita wajib memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif serta antar kelompok dalam masyrakat tadi. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yg rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya sebagai norma-kebiasaan social yang mengikat kehidupan bermasyarakat serta wajib dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam kebiasaan yg dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme mengakibatkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan warga . Dalam warga misalnya ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu menggunakan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan pengaruh yg kuat. 

Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan pada masyarakat serta kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah menjadi indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota rakyat saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah langsung dan juga merupakan relasi. Kepentingan rakyat secara holistik diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan pada Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber menurut kebiasaan kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (2) kesejahteraan bersama sebagai tujuan hayati bermasyarakat, (3) negara melindungi masyarakat negaranya, serta (4) selaras serasi seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia nir hanya menaikkan kualitas insan secara orang per orang melainkan jua kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan sepakat bahwa, sinkron dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yg pengkajiannya dibutuhkan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, serta pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan dibutuhkan bisa menaruh rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan rakyat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial serta pola-pola interaksi sosial pada pada sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan menggunakan aspek masyarakat lain, yang menyelidiki:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan serta proses kontrol sosial serta sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara serta mendorong proses sosial dan perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan menggunakan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal pada hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-gerombolan dalam rakyat 

2. Hubungan humanisme pada sekolah yang mencakup:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sinkron dengan kebudayaan di luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur warga sekolah.

3. Pengaruh sekolah dalam prilaku anggotanya, yang menilik:
a. Peranan sosial pengajar.
b. Sifat kepribadian guru.
c. Pengaruh kepribadian pengajar terhadap tingkah laris siswa.
d. Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola hubungan antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yg meliputi:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak pada pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis tentang komunitas misalnya tampak terjadi dalam sistem sosial komunitas kaum tidak terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah dan komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tadi sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan pada kaitannya menggunakan holistik hayati rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Mempelajari interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan dengan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta pengaruh pendidikan dalam kehidupan peserta didik”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu mengungkapkan atau memberikan pemahaman tentang kenyataan yg termasuk ke pada ruang lingkup pembahasannya. Untuk diharapkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yg bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan aturan-hukum yg mantap, data dan warta mengenai output penelitian lapangan yg actual, baik berdasarkan lingkungan sendiri juga menurut lingkungan lain, dan fakta tentang kasus serta tantangan yang dihadapi. Dengan fakta yg lengkap dan seksama, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik serta akan bisa menafsirkan fenomena-fenomena yg dihadapi secara akurat. Penjelasan-penerangan itu sanggup disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi serta pertarungan pendidikan yang diperkirakan akan timbul dalam masa yang akan tiba. Sejalan menggunakan itu, tuntutan warga akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal serta eksternal yang masuk ke pada warga melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan warga misalnya perkara lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yg memerlukan dukungan pendidikan, serta masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara umum sosiologi pendidikan bertujuan untuk menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan fenomena-fenomena siosial serta pendidikan, pada rangka mencari contoh-model pendidikan yg lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data dan kabar tentang interaksi sosial di antara orang-orang yg terlibat pada institusi pendidikan dan dampaknya bagi siswa, mengenai interaksi antara lembaga pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta kebiasaan yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, serta adakalanya mereka memiliki interaksi darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat bisa merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun pada arti sempit. Masyarakat dalam arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit contohnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hayati memiliki karakteristik utama, diantaranya: (1) terdapat interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laris warganya diatur sang adapt adat, kebiasaan-norma, hukum, serta aturan-anggaran spesial , (3) ada rasa bukti diri kuat yang mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan daerah, kesatuan adat- istiadat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu sampai kini , karakteristik yg menonjol dari rakyat Indonesia adalah sebagai warga beragam yg beredar pada ribuan pulau pada nusantara. Melalui perjalanan panjang, warga yg berbeda-beda tadi akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu rakyat Indonesia sebagaiu rakyat yang bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai sang 2 karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, istiadat tata cara, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai sang adanya disparitas pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, serta lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar warga Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk gerombolan social atau golongan social jajahan yang tak jarang mempunyai sub-kebudayaan sendiri, (dua) memiliki struktur social yg terbagi-bagi, (3) tak jarang anggota warga atau gerombolan tidak membuatkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara kelompok relative acapkali mengalami perseteruan, (lima) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk oleh suatu gerombolan atas grup-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia sesudah kemerdekaan, utamanya dalam zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai rakyat beragam, maka komunitas dengan ciri-karakteristik unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian juga halnya menggunakan sifat-sifat dasar menurut zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang bertenaga menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia dan kemajuan pada aneka macam bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, sudah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yg semakin kokoh.

Berbagai upaya telah dilakukan menggunakan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin menerima perhatian yang semestinya dengan diantaranya dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya menciptakan “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” pada suatu lokal eksklusif. Dengan demikian akan dapat diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan namun yg memahami serta menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas pada Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini formasi pertanyaan yang sungguh menggelisahkan poly orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, salah satunya. Demi menggapai otentisitas serta apa yg dianggap Islam yg universal, ia pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, dia berharap bisa memperdalam keislamannya. Lama ia menetap di sana sebelum kemudian mudik selesainya menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan pada Saudi Arabia yg berorientasi ke masa kemudian. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hidup.

Intelektual muslim anyaran asal Amerika itu berupaya meninggalkan watak “Amerika-nya” buat menjadi muslim nan “sejati”. Dan ia gagal. Namun, kegagalannya itu justru menghantarkan ia dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk menjadi muslim yang baik, seorang nir lalu berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam tidak pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir dan hayati tidak dalam ruang serta saat yang kosong budaya; keduanya, agama (Islam) dan budaya, berkelindan serta saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yang lahir serta mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi kepercayaan , timbul sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : tiga). Sebagai oleh author, Tuhan sudah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur memilih, tapi memasrahkan nasib Islam kepada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya pada tahu-menyikapi verbalisasi semua ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, dan menghayatinya menggunakan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab menjadi locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa serta budaya (yang kebetulan) Arab tadi niscaya. Seluruh agama waktu memulai proses menyejarah pada dasarnya memerlukan wadah kultural (misalnya bahasa dan budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga dapat ada suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu digunakan guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat rakyat tumbuh pada bangun kultur yang beragam, maka ekspresi suatu kepercayaan secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi juga beragam, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, dalam hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid bisa saja sama namun simbol bahasanya berbeda. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia seringkali disapa dengan sebutan “Gusti”, pada Madura Allah disebut bergantian menggunakan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab menggunakan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim menggunakan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek istilah, Islam dan budaya memang nir bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis bila artikulasi dan aktualisasi diri keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran baku yg diyakini sama-serupa, tetapi di level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, fenomena itu umumnya terabaikan dalam pencerahan berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam fakta-fakta partikular masa lalu. Kebanyakan mereka kemudian bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir pada tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, serta ratusan tahun pertama perkembangannya pada kemulan sejarah Arab, maka secara keseluruhan performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: tidak mau) memisahkan antara mana yg budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya serius, (universalitas nilai) Islam yang sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat oleh batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yg Arab itu dan lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sama menggunakan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi dan ekspresi (umat) Islam dalam tatanan budaya dan peradaban menampakan karakter yg bhineka tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yg bercorak-ragam. Islam dalam masing-masing tempat membangun karakter baru sesuai dengan sistem rapikan nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap disebut menjadi capaian prestisius peradaban Islam merupakan sebuah kebudayaan bibit unggul yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga tabiat peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi serta pengembangan intelektual keislaman yg coraknya tentu saja diametral tidak sama menggunakan aktualisasi diri keislaman pada berasal kelahirannya, Hijaz. Demikian pula saat menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan tetapi, proses-proses simbiose yg seyogyanya berlangsung saling memperkaya, hingga tingkat eksklusif gagal. Dalam poly hal, itu lantaran metode pembacaan yang digunakan masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) serta masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu umumnya dipegangi secara amat tawadlu’ sang kaum muslim “tradisional” ad interim gerombolan Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu serta merogoh contoh tafsir yang lebih pada masa ini-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak pada trend puritanis-fundamentalis. Pendek kata, ad interim kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita menggunakan metode impor yg menurut poly sisi nir relatif compatible dan karena itu inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan pasti dari pluralitas budaya lokal di Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua aktivitas pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan semua muslim Indonesia pada dua pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yg berlangsung sejauh ini dalam dinamika pemikiran Islam di Indonesia sepertinya lebih pada yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya merupakan pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi di hadapan konteks, sebagai akibatnya yg lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris seluruh nilai dan simbol budaya lokal harus melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya menjadi simbol Islam. Pola baca sedemikian kentara bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah dan bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan fundamental. Problem tadi menunjuk dalam inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu tampaknya berkaitan kuat dengan isu terkini umum pemikiran Islam, termasuk tentang tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin mayoritas di kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya menjadi logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menduga bahwa kebenaran wahyu dapat ditangkap serta dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna istilah pada teks belaka. Wahyu dilihat menjadi sesuatu yg mandek, final, tanpa cara lain . Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak pada tradisi rakyat, pada budaya yg tumbuh berdasarkan tempat berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yg memungkinkan keluarnya aneka aktualisasi diri (tidak melulu keagamaan) otentik pada tengah rakyat muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, kata Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka berhubungan dengan Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita artinya mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi pada tengah impian pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) selebaran Muhammad saw itu menarik apabila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus menjadi suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diperlukan mampu mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis mengenai penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai berdasarkan karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal istilah-istilah serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku suci (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir pada Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tidak hanya pada disiplin ‘ulûm al-Qur’ân tapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, lantaran lantaran tradisi pemikiran Islam klasik (juga modern) pada umumnya menggeliat pada bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, ekspresi dominan sakralisasi itu pula melebar dalam produk pemikiran keagamaan yang kentara-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak kesadaran “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut pada sini sebagai tafsir lokal membentuk paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu serta bergerak dengan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yg tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) menjadi disembodied dan terdekontekstualisasi karena segera dapat dipisahkan berdasarkan konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya memperlihatkan tingginya dekontekstualisasi sejak teks-teks tertulis itu lepas menurut pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau disebut pula intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yang jauh lebih menguniversal pada istilah-kata tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan dalam teks tertulis nir lagi terikat secara kuat menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir di dalam teks pada dasarnya jua adalah produk atau tafsiran berdasarkan penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam dalam itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak ada lagi dialektika antara teks dan pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks serta penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―pada mana teks dapat memberi respon sejauh jika, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yg ada adalah output perundingan antara penafsir serta teks serta bukan secara dan-merta ditemukan dalam teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa pada mana keduanya, teks dan penafsir, saling memilih. Alhasil, seluruh aktivitas penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yg memungkinkan terjadinya dialog aktif dan saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―misalnya digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks menjadi otonom menggunakan sendirinya. Karena itu, berbeda menggunakan Dilthey yg menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru harus. Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain mustahil jua tidak perlu. Sebab, justru dengan dimensi historis yang dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak kemudian berarti mengambil makna orisinil yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yg sinkron dengan kondisi kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sinkron kehendak pengarang, melainkan benar-benar-benar-benar memproduksi makan (baru) yang relevan menggunakan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks adalah suatu kemestian, sebab orang nir bisa menghindar menurut keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-terdapat-annya pada dunia. Di sinilah arti penting tradisi dan berpretensi dalam proses tahu, menafsir teks. Keduanya adalah hal yang niscaya pada tindakan menafsir, karena keduanya merefleksikan keterkondisian historis serta kultural manusia. Proses memahami (understanding) terkondisikan sang tradisi masa kemudian dan juga berpretensi kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif serta bebas nilai sebagai problematis, karenanya mustahil mengingat prasangka yang berasal berdasarkan sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap kegiatan menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang mustahil tahu sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada global”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah mustahil pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, dan univokal. Dalam menafsir, seseorang niscaya melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, adalah penafsiran yg membangun suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu taraf persetujuan-konvensi antara horison makna yang disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara keseluruhan, peran krusial horison (tradisi, prasangka, dan keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini sah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat kemudian menggumulkannya menggunakan empiris kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg diklaim Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas pada sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak keberadaan penafsir pada mana horison penafsir bersifat pasti keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison pada menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya pada salah satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden pada luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik pada sini dipentingkan menjadi titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis dari gagasan tafsir gaya lokal yg coba dipancangkan.

Hal menarik menurut etnohermeneutik merupakan karakteristik utamanya, yakni semua penerapan metode hermeneutis musti berorientasi pada receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat berdasarkan satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yg benar-benar universal, yang berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis dinamis yang sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya buat menafsirkan teks-teks ajaran menggunakan cara-cara yang paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yang paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yg paling dipahami dari dalam weltanschauung rakyat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi dalam penerima dengan latar budaya masing-masing yang berlainan sebagai komitmen primer dari pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks dalam ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yang dituntut etnohermeneutik adalah apa yang disebut “kontektualisasi taraf dalam” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan menghasilkan suatu pesan kitab suci yang digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi taraf-pada tidak sekedar berkait dengan suatu produk akhir penafsiran yang secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tersebut yang secara budaya layak juga. Kontekstualisasi yang baik adalah sebuah paket menyeluruh; beliau bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yang boleh jadi muncul berdasarkan kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan dalam etnohermeneutik, kesan awal yang ada berdasarkan gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana wangsit tafsir lokal hendak diarahkan memang dapat mengundang persoalan. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik kontemporer memberikan tekanan kelewat akbar pada kiprah (horison) penafsir dalam tahu, memilih signifikansi dan makna teks sampai kerapkali keberadaan teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang kemudian mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membentuk akal epistemologisnya dalam suatu mobilitas hermeneutik melingkar (lihat Gambar dua). Seluruh proses diretas dengan bertolak menurut realitas yg dialami, yang dihadapi yang berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yang baru, kaya, serta mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan realitas dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir dengan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang sudah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yang bertempat di “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini dengan pada waktu yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks berdasarkan keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) pada hubungannya dengan realitas yang sudah dirumuskan. Dari situ gerak melingkar hermeneutis diteruskan dalam tahap pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg telah terpetakan sejalan dengan konteks kekinian berdasarkan realitas yg dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan dengan mekanisme hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks suci itu, melainkan untuk menemukan mekanisme serta faktor-faktor historis yang melatari lahirnya teks-teks tadi serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) di dalam konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya pada konteks masa kemudian yang spesial dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan pada dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks empiris yang telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu adalah bagian integral menurut bukti diri muslim dan aktif di pada sistem ideologis mereka, maka ia wajib dibentuk bekerja balik supaya memperoleh balik makna pada masa ini dan kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks empiris kekiniannya dianggap sebagai keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan realitas sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami dan menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini menandakan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yg tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yang dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks realitas yang dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif dalam dasarnya adalah penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini adalah wujud konkrit berdasarkan pelangsungan mekanisme regresif-progresif. Lantaran itu ia merupakan bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut kesadaran akan teks kudus (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian dari global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan menggunakan garis timbal-balik terputus pada gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yang terkait eksklusif dengan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân sekitar semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi menurut dan berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat membentuk suatu kerangka teori (theoretical framework) yg umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya merupakan langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg sudah terbangun menggunakan teori sosial. Ini merupakan awal berdasarkan proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yg terdapat dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta memahami empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, dalam rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan dalam penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat kemudian berdasar bantuan teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, serta mendalam. Di sini, hasil perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas hasil pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm pada kerangka teoretis yang telah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah puncak proses kontekstualisasi teks serta konteks sejarahnya ke konteks hari ini (realitas terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), kembali ke teks, buat kemudian dibumikan balik (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diperlukan akan selalu ada bentuk penyikapan empiris yang lebih baru, kaya, dan mendalam berdasar output interpretasi kontekstual atas teks yg baru, kaya dan mendalam jua. 

Secara holistik, proses tekstual-kontekstual itu niscaya menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri dan menjadi horison penafsir. Karena itulah kiprah penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yg berlangsung sesungguhnya adalah dialektika bergerak maju manusia dengan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian pada dasarnya tengah berupaya berakibat teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tadi pernah relevan dan memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada ketika berbarengan penafsir pula nir berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks dan penafsir. Keduanya berada dalam interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya dan teks bisa memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya pada gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yg terikat oleh ruang-waktu historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, agar realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah nir lagi berlaku, misalnya soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan wanita, perbudakan, diskriminasi non-muslim, dan seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode eksklusif. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-simpel eksklusif penafsiran teks, tetapi lebih sebagai sebuah tawaran paradigmatik, sebuah paradigma pembacaan-penafsiran yg dalam poly hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran sanggup model apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik ia meniscayakan kontekstualisasi pada mana teks pada akhirnya wajib diabdikan dalam konteks realitas melalui mobilitas regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tidak ada kecurigaan dalam nalar secara hiperbola, tidak ada pendewaan teks, tidak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yang terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yg dikembangkan mendudukkan insan (yang otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) sebagai sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi dalam konteks terumuskan itu. Lantaran itu tidak boleh terdapat monopoli kebenaran, karena makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli sang suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya oleh satu penafsiran belaka.

Simpulnya, menjadi sebuah paradigma, tafsir lokal merupakan sebuah pola tafsir yang melibatkan secara terutama semua anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks suci Islam (Qur’an atau hadits), termasuk pada hal ini kitab -buku klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, contohnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura serta mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen bisa menjadi muslim yang shâlih tanpa harus membuang koteka atau rumbai mereka dan menggantinya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, sebab Islam mengurus aurat serta bukan tetek-bengek model pakaian. 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yang bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam merogoh tempat persemayaman memiliki potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing menjadi titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri dalam kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik di mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan tahu suatu kebudayaan eksklusif dan bertolaka darinya, penerapam kerangka berpikir tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat menyebarkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke dalam kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk interaksi dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi menggunakan setiap kebudayaan yg tidak selaras menggunakan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih krusial lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah benar-benar untuk manusia, serta bukan buat Allah. Bukankah tafsir dalam Islam, mengutip Machasin, dimaknai menggunakan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” insan?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan pada berbagai warna serta corak ungkapan sejalan menggunakan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, norma-kebiasaan para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya adalah sah, karena nyaris tidak terdapat jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola norma eksklusif mengutip Ibn ‘Âsyûr, seorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya tempat dilahirkannya Rasul saw, yakni norma Arab, tidaklah bisa dipaksakan pada rakyat lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat membuatkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing tetap mempunyai kans untuk memberi sumbangan kepada Islam dan peradabannya. Demikian halnya menggunakan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam menggunakan khazanah lokal sebenarnya niscaya, automatically. Namun wangsit “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan dan tetap krusial buat terus didesakkan karena interaksi simbiosis Islam serta budaya yang saling mengkayakan itu dicoba-negasikan oleh kaum modernis-puritanis yg berkecimpung sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, misalnya kita tahu, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat pulang menghamba dalam teks, yang bertenaga berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah membuat kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, nir produktif, kemarau, nir kaya.

Akan namun, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan menjadi counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebanyak mungkin kebenaran Allah yg me-latent di teks-teks suci (Qur’an atau hadits) dengan menjadikan global insan (horison penafsir, the world of the reader) dengan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif utama kebenaran tersebut. Lantaran Allah “nir menggunakan pakaian eksklusif,” maka kitalah yg (harus) memberi-Nya “busana ” menurut cara dan kesamaan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “pakaian” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan menciptakan kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa ketika Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yg segera berlangsung merupakan proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian pada aneka macam belahan, halnya juga pada Indonesia. Maka muncullah berbagai varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yg masing-masing mengetengahkan karakter tidak sama satu sama lain. Begitu jua, tidak cuma Islam-Arab, akan tetapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yg muncul dengan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah kemudian “Islam yg otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yang sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu jikalau terma “otentik” pada “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yang sesungguhnya,” yakni Islam yang dikehendaki Allah atau Islam yang sahih-benar menurut Rasulillah Muhammad saw. Tetapi bila istilah otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis pandangan baru “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg dianggap menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian generik, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak selaras dengan yg lain. Otonom pada memilih, memilah, dan memilih bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, dan sosial) secara bersama yang mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai maupun kelembagaan harus sinkron menggunakan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan rakyat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya sebagai kekuatan utama pada membentuk insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan swatantra pada menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yg ndilalah nge-Arab itu) ke pada suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yg selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tak mungkin hanya akan menjerembabkan warga ke dalam alienasi, keterasingan pada (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih pada fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, akan tetapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual juga potensial) sampai yg muncul adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah masyarakat merupakan Islam yg dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yg merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati slogan bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ide tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun pada kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama ditentukan apakah ia secara mulut-eksklusif dari berdasarkan Tuhan atau nir. Ia bisa ada dimana saja sebagaimana Allah jua hadir pada mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, akan tetapi kitalah yg mau nir mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” istilah Mohsen Makhmalbaf, sutradara film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan sekarang sudah pecah.” Manusia memungut pecahannya serta tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, apabila lalu terdapat yang memakai pecahan kaca itu buat atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.

SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan mengenai masyarakat, menjadi ilmu realitas yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir lantaran terlepas berdasarkan dampak filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam tahun 1839, sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang memepelajari rakyat. Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yg berubah menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya empiris social, maka lahirlah aneka macam cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak menurut tampilnya sejumlah ilmuwan akbar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal dari Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menyelidiki masyarakat yg amat bermanfaat buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial menjadi pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yg tahu masyarakat misalnya tubuh insan, menjadi suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menduga pertarungan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yang menjadi penuntun konduite manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association dalam tahun 1883, Lester Frank Ward, yg berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial pada masyarakat Amerika adalah disparitas dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan pada memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar buat maju serta mempunyai kehidupan yg lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang relatif merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-perbedaan tersebut dia mendesak pemerintahnya supaya menyelenggarakan harus belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar pada USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yg baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan konflik social dan sekaligus menaruh rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti menurut adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education menggunakan focus perhatian dalam penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education mampu sebagai sumber data serta liputan ilmiah, serta studi akademis yg bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yg memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology sebagai Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology sebagai Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education semenjak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai kurang lebih tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda ketika itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas serta semakin tinggi ke arah yg makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, serta R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang pula terdapat pada makhluk hayati lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan insan jauh lebih rumit menurut pengelompokan hewan. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan karakteristik-karakteristik hidup berkelompok pada fauna pada kutipan berikut. 

Pada hewan, hayati berkelompok memiliki cirri-karakteristik: Ada pembagian kerja yg permanen dalam anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yg hidup pada suatu kelompok dengan individu yang hayati dalam kelompok lain. 

Ciri-ciri fauna tadi bisa pula ditemukan dalam manusia. Kehidupan sosial insan tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat rakyat yg sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan sebagai individu dan insan sebagai anggota rakyat. Pandangan aliran-aliran filsafat mengenai realitas sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan beragam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja pada bentuk oleh rakyat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada aktivitas pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau perkiraan dalam penerapan pendidikan yang bertolak dalam hubungan antar individu sebagai mahluk sosial pada kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta siswa) bahkan 2 generasi yg memungkinkan generasi belia berbagi diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karena itu kegiatan pendidikan bisa berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta rakyat. Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan mencakup semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan keluarga sangat krusial, lantaran famili adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai membuatkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai serta sikap yang dapat mensugesti perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yg menggunakan sengaja dibentuk sang warga menggunakan perencanaan serta aplikasi yg mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan pula dipengaruhi oleh aneka macam gerombolan kecil pada rakyat. Seperti gerombolan keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang menjadi penekanan dalam aktivitas ini adalah aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan warga . Dalam pelaksanaan pada banyak sekali negara diupayakan ekuilibrium antara pelestarian serta pengembangan budaya serta rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan masyarakat yg dianut sang suatu bangsa. Untuk tahu kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif dan antar gerombolan dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yang rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya menjadi kebiasaan-norma social yg mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa insan itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja berdasarkan keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menyebabkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam rakyat seperti ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota warga satu dengan yang lain saling berkompetisi sebagai akibatnya mengakibatkan dampak yg kuat. 

Paham kolektivisme menaruh kedudukan yang hiperbola pada masyarakat serta kedudukan anggota rakyat secara perseorangan hanyalah sebagai indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota warga saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya insan adalah eksklusif dan jua adalah relasi. Kepentingan rakyat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber dari kebiasaan kehidupan warga : (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (dua) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, serta (4) selaras harmonis seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan setuju bahwa, sinkron menggunakan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (jua Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, dan pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan diharapkan sanggup memberikan rekomendasi tentang bagaimana harapan serta tuntutan warga mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola hubungan sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yg dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yg memeriksa:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara dan mendorong proses sosial serta perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-grup dalam warga  

2. Hubungan kemanusiaan pada sekolah yang meliputi:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sama dengan kebudayaan pada luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya, yang mengusut:
a. Peranan sosial guru.
b. Sifat kepribadian pengajar.
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku murid.
d. Fungsi sekolah pada pengenalan anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola interaksi antara sekolah dengan grup sosial lain pada pada komunitasnya, yang mencakup:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis mengenai komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum nir terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah serta komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan dalam kaitannya menggunakan holistik hidup rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Menjadi cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Menyelidiki interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan menggunakan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta efek pendidikan dalam kehidupan siswa”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman mengenai fenomena yg termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk dibutuhkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai menurut yg bercorak generalisasi empirik hingga dalil dan hukum-hukum yg mantap, data serta kabar tentang hasil penelitian lapangan yg actual, baik dari lingkungan sendiri juga berdasarkan lingkungan lain, dan fakta mengenai kasus serta tantangan yg dihadapi. Dengan kabar yg lengkap serta akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan bisa menafsirkan kenyataan-fenomena yg dihadapi secara seksama. Penjelasan-penerangan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan syarat dan perseteruan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan menggunakan itu, tuntutan rakyat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yg masuk ke pada masyarakat melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diharapkan pada perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi syarat serta tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani konflik-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan rakyat misalnya masalah lapangan kerja serta pengangguran, permasalahan sosial, kerusakan lingkungan, serta lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, serta perkara penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara generik sosiologi pendidikan bertujuan buat menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan kenyataan-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari contoh-contoh pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara spesifik, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data serta liputan tentang hubungan sosial pada antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara forum pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta norma yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai interaksi darah atau memiliki kepentingan beserta. Masyarakat dapat adalah suatu kesatuan hidup pada arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat pada arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang pada arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat menjadi kesatuan hayati memiliki ciri primer, antara lain: (1) ada interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laku warganya diatur sang adapt adat, norma-kebiasaan, hukum, dan aturan-anggaran khas, (tiga) terdapat rasa bukti diri bertenaga yg mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja serta La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan istiadat- adat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal berdasarkan perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, serta kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu hingga kini , ciri yang menonjol berdasarkan warga Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yg berbeda-beda tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik buat mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu warga yg bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai oleh dua karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai sang adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, norma adat, dan kedaerahan, serta (dua) secara vertical ditandai sang adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (dua) mempunyai struktur social yg terbagi-bagi, (3) sering anggota warga atau kelompok tidak berbagi consensus pada antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara gerombolan relative sering mengalami pertarungan, (lima) terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, (6) adanya penguasaan politiuk sang suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, sudah poly mengalami perubahan. Sebagai masyarakat beragam, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih bisa ditemukan, demikian jua halnya menggunakan sifat-sifat dasar berdasarkan zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yg kuat sebagai suatu warga bangsa Indonesia serta kemajuan pada banyak sekali bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan serta kesatuan yang semakin kokoh.

Berbagai upaya sudah dilakukan dengan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan rakyat Indonesia. Hal terakhir tadi sekarang makin menerima perhatian yg semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan menjadi upaya menciptakan “manusia lokal”, akan namun haruslah didesain serta dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan bisa diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara serta berjiwa nasional akan tetapi yg memahami serta menyatu menggunakan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas dalam Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini gugusan pertanyaan yg benar-benar menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, galat satunya. Demi menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yg universal, beliau pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, ia berharap dapat memperdalam keislamannya. Lama beliau menetap di sana sebelum kemudian mudik sehabis menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yg berorientasi ke masa lalu. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hayati.

Intelektual muslim anyaran berasal Amerika itu berupaya meninggalkan tabiat “Amerika-nya” untuk sebagai muslim nan “sejati”. Dan beliau gagal. Tetapi, kegagalannya itu justru menghantarkan beliau dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk sebagai muslim yang baik, seseorang tidak kemudian berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam nir pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir serta hidup tidak pada ruang serta ketika yg kosong budaya; keduanya, agama (Islam) serta budaya, berkelindan dan saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yg lahir dan mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi agama, ada sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : 3). Sebagai sang author, Tuhan telah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur menentukan, tapi memasrahkan nasib Islam pada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya dalam tahu-menyikapi verbalisasi seluruh ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, serta menghayatinya dengan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab sebagai locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa dan budaya (yg kebetulan) Arab tadi pasti. Seluruh agama saat memulai proses menyejarah dalam dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti bahasa serta budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga bisa timbul suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat warga tumbuh dalam bangun kultur yang majemuk, maka aktualisasi diri suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi jua majemuk, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, pada hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama namun simbol bahasanya tidak sama. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan “Gusti”, di Madura Allah diklaim bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim dengan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek kata, Islam serta budaya memang tidak bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis apabila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran standar yg diyakini sama-serupa, namun pada level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam keterangan-berita partikular masa lalu. Kebanyakan mereka lalu bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan sejarah Arab, maka secara holistik performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: nir mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya berfokus, (universalitas nilai) Islam yg sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat sang batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yang Arab itu serta lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sinkron dengan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi serta aktualisasi diri (umat) Islam pada tatanan budaya dan peradaban memberitahuakn karakter yg berbeda-beda tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yang bercorak-ragam. Islam pada masing-masing loka membangun karakter baru sinkron menggunakan sistem tata nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap dianggap sebagai capaian prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya tentu saja diametral berbeda menggunakan aktualisasi diri keislaman di asal kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan namun, proses-proses simbiose yang seyogyanya berlangsung saling memperkaya, sampai taraf eksklusif gagal. Dalam banyak hal, itu lantaran metode pembacaan yang dipakai masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) dan masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu biasanya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim “tradisional” sementara grup Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu dan mengambil contoh tafsir yang lebih kontemporer-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak dalam animo puritanis-fundamentalis. Pendek kata, sementara kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita memakai metode impor yg berdasarkan poly sisi nir cukup compatible serta karenanya inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan niscaya menurut pluralitas budaya lokal pada Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua kegiatan pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada 2 pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yang berlangsung sejauh ini pada dinamika pemikiran Islam pada Indonesia tampaknya lebih dalam yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi pada hadapan konteks, sebagai akibatnya yang lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris semua nilai dan simbol budaya lokal wajib melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah serta bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan mendasar. Problem tadi memilih pada inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu sepertinya berkaitan bertenaga menggunakan isu terkini generik pemikiran Islam, termasuk wacana tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin secara umum dikuasai pada kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu bisa ditangkap dan dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna kata dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yg mandek, final, tanpa alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi masyarakat, pada budaya yang tumbuh berdasarkan loka berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yang memungkinkan keluarnya aneka ekspresi (tidak melulu keagamaan) otentik di tengah warga muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, istilah Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka herbi Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah harapan pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan sanggup mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yg bertujuan menjelaskan teks mulai dari karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku kudus (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir di Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam disiplin ‘ulûm al-Qur’ân akan tetapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (jua modern) pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, animo mistifikasi itu pula melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak pencerahan “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini menjadi tafsir lokal membangun paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan beranjak menggunakan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yang tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) sebagai disembodied serta terdekontekstualisasi karena segera bisa dipisahkan menurut konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi semenjak teks-teks tertulis itu tanggal berdasarkan pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau diklaim juga intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yg jauh lebih menguniversal pada istilah-istilah tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan pada teks tertulis tidak lagi terikat secara bertenaga menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir pada pada teks dalam dasarnya jua merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak terdapat lagi dialektika antara teks serta pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―di mana teks bisa memberi respon sejauh bila, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks serta bukan secara dan-merta ditemukan pada teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa di mana keduanya, teks serta penafsir, saling memilih. Alhasil, semua kegiatan penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif serta saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―seperti digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks sebagai otonom dengan sendirinya. Karena itu, tidak sama menggunakan Dilthey yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru wajib . Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain tidak mungkin pula tidak perlu. Sebab, justru menggunakan dimensi historis yg dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yang sesuai menggunakan syarat kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan benar-benar-sungguh memproduksi makan (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks merupakan suatu kemestian, sebab orang nir dapat menghindar berdasarkan keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia. Di sinilah arti krusial tradisi dan berpretensi dalam proses memahami, menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir, sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia. Proses tahu (understanding) terkondisikan sang tradisi masa lalu serta juga prasangka kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif dan bebas nilai sebagai problematis, karenanya tidak mungkin mengingat prasangka yg asal menurut sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap aktivitas menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang tidak mungkin memahami sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada dunia”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah tidak mungkin pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, serta univokal. Dalam menafsir, seorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, merupakan penafsiran yang membentuk suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yg disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara holistik, peran penting horison (tradisi, prasangka, serta keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat lalu menggumulkannya menggunakan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg disebut Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas di sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak eksistensi penafsir pada mana horison penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya dalam keliru satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden di luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis berdasarkan gagasan tafsir gaya lokal yang coba dipancangkan.

Hal menarik berdasarkan etnohermeneutik adalah karakteristik utamanya, yakni seluruh penerapan metode hermeneutis musti berorientasi dalam receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yang benar-benar universal, yg berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis bergerak maju yg sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yg paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yg paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami menurut pada weltanschauung masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi pada penerima menggunakan latar budaya masing-masing yg berlainan sebagai komitmen primer menurut pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks pada ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yg dituntut etnohermeneutik merupakan apa yg dianggap “kontektualisasi taraf pada” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan membuat suatu pesan kitab suci yg digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi tingkat-pada tidak sekedar berkait menggunakan suatu produk akhir penafsiran yg secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tadi yang secara budaya layak jua. Kontekstualisasi yg baik merupakan sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yg boleh jadi timbul dari kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yg ada menurut gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana pandangan baru tafsir lokal hendak diarahkan memang bisa mengundang problem. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik pada masa ini memberikan tekanan kelewat besar pada kiprah (horison) penafsir pada memahami, menentukan signifikansi dan makna teks sampai kerapkali eksistensi teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun akal epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar (lihat Gambar 2). Seluruh proses diretas menggunakan bertolak dari realitas yg dialami, yang dihadapi yg berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yg baru, kaya, dan mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan empiris dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir menggunakan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yg bertempat pada “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini menggunakan pada ketika yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks menurut keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan empiris yang sudah dirumuskan. Dari situ mobilitas melingkar hermeneutis diteruskan pada termin pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg sudah terpetakan sejalan menggunakan konteks kekinian dari realitas yang dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan menggunakan prosedur hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks kudus itu, melainkan buat menemukan prosedur serta faktor-faktor historis yg melatari lahirnya teks-teks tersebut serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) pada pada konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya dalam konteks masa lalu yg khas dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks realitas yg telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu merupakan bagian integral berdasarkan bukti diri muslim dan aktif pada pada sistem ideologis mereka, maka beliau wajib dibuat bekerja pulang supaya memperoleh balik makna pada masa ini serta kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya dianggap menjadi keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan empiris sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami serta menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini mengindikasikan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yg dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks empiris yg dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit menurut pelangsungan prosedur regresif-progresif. Karena itu ia adalah bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut pencerahan akan teks suci (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian berdasarkan global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis timbal-kembali terputus dalam gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yg terkait langsung menggunakan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lebih kurang semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari serta berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat menciptakan suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya adalah langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg telah terbangun menggunakan teori sosial. Ini adalah awal dari proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta tahu empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, pada rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat lalu berdasar donasi teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, output perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas output pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang sudah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah zenit proses kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (empiris terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), pulang ke teks, untuk lalu dibumikan pulang (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu terdapat bentuk penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, serta mendalam berdasar hasil interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya serta mendalam jua. 

Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu pasti menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri serta menjadi horison penafsir. Lantaran itulah peran penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya merupakan dialektika dinamis manusia menggunakan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian dalam dasarnya tengah berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan serta memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada saat berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks serta penafsir. Keduanya berada pada interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya serta teks sanggup memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya dalam gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yang terikat oleh ruang-ketika historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, supaya realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan perempuan , perbudakan, subordinat non-muslim, serta seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-praktis eksklusif penafsiran teks, namun lebih menjadi sebuah tawaran paradigmatik, sebuah kerangka berpikir pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa contoh apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik dia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks dalam akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tak terdapat kecurigaan dalam akal secara berlebihan, tidak terdapat pendewaan teks, tak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yg terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan manusia (yg otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) menjadi sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Lantaran itu nir boleh ada monopoli kebenaran, lantaran makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli oleh suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya sang satu penafsiran belaka.

Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola tafsir yg melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks kudus Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini kitab -kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, misalnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura dan mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen dapat sebagai muslim yang shâlih tanpa wajib membuang koteka atau rumbai mereka serta merubahnya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, karena Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model busana . 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yg bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam mengambil tempat persemayaman mempunyai potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri pada kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik pada mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke pada kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk hubungan dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi dengan setiap kebudayaan yg tidak sinkron dengan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah sahih-benar buat insan, dan bukan buat Allah. Bukankah tafsir pada Islam, mengutip Machasin, dimaknai dengan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” manusia?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan dalam banyak sekali warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, istiadat-norma para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya merupakan sah, karena nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola istiadat tertentu mengutip Ibn ‘Âsyûr, seseorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya loka dilahirkannya Rasul saw, yakni istiadat Arab, tidaklah dapat dipaksakan pada warga lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat mengembangkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing permanen memiliki kans buat memberi sumbangan kepada Islam serta peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam dengan khazanah lokal sebenarnya pasti, automatically. Namun ide “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan serta permanen krusial buat terus didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yg saling mengkayakan itu dicoba-negasikan sang kaum modernis-puritanis yg beranjak sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, seperti kita memahami, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat kembali menghamba pada teks, yg kuat berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah menciptakan kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya.

Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebesar mungkin kebenaran Allah yang me-latent pada teks-teks suci (Qur’an atau hadits) menggunakan menjadikan global manusia (horison penafsir, the world of the reader) menggunakan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif primer kebenaran tadi. Karena Allah “tidak memakai pakaian tertentu,” maka kitalah yang (wajib ) memberi-Nya “pakaian” berdasarkan cara serta kecenderungan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “busana ” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa waktu Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung adalah proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di aneka macam belahan, halnya pula di Indonesia. Maka muncullah banyak sekali varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter tidak sinkron satu sama lain. Begitu juga, tak cuma Islam-Arab, tapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul menggunakan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yg sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu kalau terma “otentik” dalam “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yg sesungguhnya,” yakni Islam yg dikehendaki Allah atau Islam yg benar-sahih berdasarkan Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis wangsit “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg disebut menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak sinkron dengan yang lain. Otonom pada menentukan, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, serta sosial) secara beserta yg mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai juga kelembagaan wajib sinkron dengan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan masyarakat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya menjadi kekuatan primer dalam membangun insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yang ndilalah nge-Arab itu) ke dalam suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tidak mungkin hanya akan menjerembabkan rakyat ke pada alienasi, keterasingan dalam (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih dalam fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) sampai yg ada adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah rakyat merupakan Islam yang dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yang merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ilham tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun dalam kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama dipengaruhi apakah dia secara verbal-eksklusif dari menurut Tuhan atau nir. Ia bisa timbul dimana saja sebagaimana Allah pula hadir di mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, tapi kitalah yg mau tidak mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” kata Mohsen Makhmalbaf, pengarah adegan film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, jika kemudian ada yg memakai pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.