REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas dalam Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini gugusan pertanyaan yg benar-benar menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, galat satunya. Demi menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yg universal, beliau pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, ia berharap dapat memperdalam keislamannya. Lama beliau menetap di sana sebelum kemudian mudik sehabis menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yg berorientasi ke masa lalu. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hayati.

Intelektual muslim anyaran berasal Amerika itu berupaya meninggalkan tabiat “Amerika-nya” untuk sebagai muslim nan “sejati”. Dan beliau gagal. Tetapi, kegagalannya itu justru menghantarkan beliau dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk sebagai muslim yang baik, seseorang tidak kemudian berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam nir pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir serta hidup tidak pada ruang serta ketika yg kosong budaya; keduanya, agama (Islam) serta budaya, berkelindan dan saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yg lahir dan mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi agama, ada sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : 3). Sebagai sang author, Tuhan telah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur menentukan, tapi memasrahkan nasib Islam pada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya dalam tahu-menyikapi verbalisasi seluruh ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, serta menghayatinya dengan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab sebagai locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa dan budaya (yg kebetulan) Arab tadi pasti. Seluruh agama saat memulai proses menyejarah dalam dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti bahasa serta budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga bisa timbul suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat warga tumbuh dalam bangun kultur yang majemuk, maka aktualisasi diri suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi jua majemuk, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, pada hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama namun simbol bahasanya tidak sama. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan “Gusti”, di Madura Allah diklaim bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim dengan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek kata, Islam serta budaya memang tidak bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis apabila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran standar yg diyakini sama-serupa, namun pada level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam keterangan-berita partikular masa lalu. Kebanyakan mereka lalu bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan sejarah Arab, maka secara holistik performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: nir mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya berfokus, (universalitas nilai) Islam yg sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat sang batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yang Arab itu serta lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sinkron dengan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi serta aktualisasi diri (umat) Islam pada tatanan budaya dan peradaban memberitahuakn karakter yg berbeda-beda tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yang bercorak-ragam. Islam pada masing-masing loka membangun karakter baru sinkron menggunakan sistem tata nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap dianggap sebagai capaian prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya tentu saja diametral berbeda menggunakan aktualisasi diri keislaman di asal kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan namun, proses-proses simbiose yang seyogyanya berlangsung saling memperkaya, sampai taraf eksklusif gagal. Dalam banyak hal, itu lantaran metode pembacaan yang dipakai masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) dan masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu biasanya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim “tradisional” sementara grup Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu dan mengambil contoh tafsir yang lebih kontemporer-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak dalam animo puritanis-fundamentalis. Pendek kata, sementara kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita memakai metode impor yg berdasarkan poly sisi nir cukup compatible serta karenanya inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan niscaya menurut pluralitas budaya lokal pada Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua kegiatan pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada 2 pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yang berlangsung sejauh ini pada dinamika pemikiran Islam pada Indonesia tampaknya lebih dalam yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi pada hadapan konteks, sebagai akibatnya yang lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris semua nilai dan simbol budaya lokal wajib melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah serta bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan mendasar. Problem tadi memilih pada inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu sepertinya berkaitan bertenaga menggunakan isu terkini generik pemikiran Islam, termasuk wacana tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin secara umum dikuasai pada kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu bisa ditangkap dan dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna kata dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yg mandek, final, tanpa alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi masyarakat, pada budaya yang tumbuh berdasarkan loka berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yang memungkinkan keluarnya aneka ekspresi (tidak melulu keagamaan) otentik di tengah warga muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, istilah Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka herbi Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah harapan pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan sanggup mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yg bertujuan menjelaskan teks mulai dari karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku kudus (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir di Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam disiplin ‘ulûm al-Qur’ân akan tetapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (jua modern) pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, animo mistifikasi itu pula melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak pencerahan “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini menjadi tafsir lokal membangun paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan beranjak menggunakan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yang tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) sebagai disembodied serta terdekontekstualisasi karena segera bisa dipisahkan menurut konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi semenjak teks-teks tertulis itu tanggal berdasarkan pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau diklaim juga intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yg jauh lebih menguniversal pada istilah-istilah tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan pada teks tertulis tidak lagi terikat secara bertenaga menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir pada pada teks dalam dasarnya jua merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak terdapat lagi dialektika antara teks serta pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―di mana teks bisa memberi respon sejauh bila, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks serta bukan secara dan-merta ditemukan pada teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa di mana keduanya, teks serta penafsir, saling memilih. Alhasil, semua kegiatan penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif serta saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―seperti digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks sebagai otonom dengan sendirinya. Karena itu, tidak sama menggunakan Dilthey yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru wajib . Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain tidak mungkin pula tidak perlu. Sebab, justru menggunakan dimensi historis yg dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yang sesuai menggunakan syarat kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan benar-benar-sungguh memproduksi makan (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks merupakan suatu kemestian, sebab orang nir dapat menghindar berdasarkan keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia. Di sinilah arti krusial tradisi dan berpretensi dalam proses memahami, menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir, sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia. Proses tahu (understanding) terkondisikan sang tradisi masa lalu serta juga prasangka kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif dan bebas nilai sebagai problematis, karenanya tidak mungkin mengingat prasangka yg asal menurut sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap aktivitas menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang tidak mungkin memahami sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada dunia”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah tidak mungkin pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, serta univokal. Dalam menafsir, seorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, merupakan penafsiran yang membentuk suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yg disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara holistik, peran penting horison (tradisi, prasangka, serta keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat lalu menggumulkannya menggunakan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg disebut Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas di sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak eksistensi penafsir pada mana horison penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya dalam keliru satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden di luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis berdasarkan gagasan tafsir gaya lokal yang coba dipancangkan.

Hal menarik berdasarkan etnohermeneutik adalah karakteristik utamanya, yakni seluruh penerapan metode hermeneutis musti berorientasi dalam receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yang benar-benar universal, yg berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis bergerak maju yg sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yg paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yg paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami menurut pada weltanschauung masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi pada penerima menggunakan latar budaya masing-masing yg berlainan sebagai komitmen primer menurut pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks pada ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yg dituntut etnohermeneutik merupakan apa yg dianggap “kontektualisasi taraf pada” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan membuat suatu pesan kitab suci yg digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi tingkat-pada tidak sekedar berkait menggunakan suatu produk akhir penafsiran yg secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tadi yang secara budaya layak jua. Kontekstualisasi yg baik merupakan sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yg boleh jadi timbul dari kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yg ada menurut gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana pandangan baru tafsir lokal hendak diarahkan memang bisa mengundang problem. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik pada masa ini memberikan tekanan kelewat besar pada kiprah (horison) penafsir pada memahami, menentukan signifikansi dan makna teks sampai kerapkali eksistensi teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun akal epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar (lihat Gambar 2). Seluruh proses diretas menggunakan bertolak dari realitas yg dialami, yang dihadapi yg berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yg baru, kaya, dan mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan empiris dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir menggunakan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yg bertempat pada “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini menggunakan pada ketika yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks menurut keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan empiris yang sudah dirumuskan. Dari situ mobilitas melingkar hermeneutis diteruskan pada termin pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg sudah terpetakan sejalan menggunakan konteks kekinian dari realitas yang dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan menggunakan prosedur hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks kudus itu, melainkan buat menemukan prosedur serta faktor-faktor historis yg melatari lahirnya teks-teks tersebut serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) pada pada konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya dalam konteks masa lalu yg khas dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks realitas yg telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu merupakan bagian integral berdasarkan bukti diri muslim dan aktif pada pada sistem ideologis mereka, maka beliau wajib dibuat bekerja pulang supaya memperoleh balik makna pada masa ini serta kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya dianggap menjadi keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan empiris sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami serta menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini mengindikasikan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yg dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks empiris yg dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit menurut pelangsungan prosedur regresif-progresif. Karena itu ia adalah bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut pencerahan akan teks suci (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian berdasarkan global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis timbal-kembali terputus dalam gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yg terkait langsung menggunakan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lebih kurang semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari serta berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat menciptakan suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya adalah langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg telah terbangun menggunakan teori sosial. Ini adalah awal dari proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta tahu empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, pada rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat lalu berdasar donasi teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, output perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas output pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang sudah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah zenit proses kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (empiris terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), pulang ke teks, untuk lalu dibumikan pulang (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu terdapat bentuk penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, serta mendalam berdasar hasil interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya serta mendalam jua. 

Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu pasti menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri serta menjadi horison penafsir. Lantaran itulah peran penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya merupakan dialektika dinamis manusia menggunakan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian dalam dasarnya tengah berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan serta memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada saat berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks serta penafsir. Keduanya berada pada interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya serta teks sanggup memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya dalam gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yang terikat oleh ruang-ketika historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, supaya realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan perempuan , perbudakan, subordinat non-muslim, serta seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-praktis eksklusif penafsiran teks, namun lebih menjadi sebuah tawaran paradigmatik, sebuah kerangka berpikir pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa contoh apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik dia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks dalam akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tak terdapat kecurigaan dalam akal secara berlebihan, tidak terdapat pendewaan teks, tak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yg terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan manusia (yg otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) menjadi sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Lantaran itu nir boleh ada monopoli kebenaran, lantaran makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli oleh suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya sang satu penafsiran belaka.

Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola tafsir yg melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks kudus Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini kitab -kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, misalnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura dan mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen dapat sebagai muslim yang shâlih tanpa wajib membuang koteka atau rumbai mereka serta merubahnya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, karena Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model busana . 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yg bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam mengambil tempat persemayaman mempunyai potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri pada kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik pada mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke pada kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk hubungan dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi dengan setiap kebudayaan yg tidak sinkron dengan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah sahih-benar buat insan, dan bukan buat Allah. Bukankah tafsir pada Islam, mengutip Machasin, dimaknai dengan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” manusia?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan dalam banyak sekali warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, istiadat-norma para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya merupakan sah, karena nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola istiadat tertentu mengutip Ibn ‘Âsyûr, seseorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya loka dilahirkannya Rasul saw, yakni istiadat Arab, tidaklah dapat dipaksakan pada warga lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat mengembangkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing permanen memiliki kans buat memberi sumbangan kepada Islam serta peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam dengan khazanah lokal sebenarnya pasti, automatically. Namun ide “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan serta permanen krusial buat terus didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yg saling mengkayakan itu dicoba-negasikan sang kaum modernis-puritanis yg beranjak sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, seperti kita memahami, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat kembali menghamba pada teks, yg kuat berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah menciptakan kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya.

Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebesar mungkin kebenaran Allah yang me-latent pada teks-teks suci (Qur’an atau hadits) menggunakan menjadikan global manusia (horison penafsir, the world of the reader) menggunakan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif primer kebenaran tadi. Karena Allah “tidak memakai pakaian tertentu,” maka kitalah yang (wajib ) memberi-Nya “pakaian” berdasarkan cara serta kecenderungan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “busana ” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa waktu Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung adalah proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di aneka macam belahan, halnya pula di Indonesia. Maka muncullah banyak sekali varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter tidak sinkron satu sama lain. Begitu juga, tak cuma Islam-Arab, tapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul menggunakan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yg sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu kalau terma “otentik” dalam “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yg sesungguhnya,” yakni Islam yg dikehendaki Allah atau Islam yg benar-sahih berdasarkan Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis wangsit “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg disebut menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak sinkron dengan yang lain. Otonom pada menentukan, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, serta sosial) secara beserta yg mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai juga kelembagaan wajib sinkron dengan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan masyarakat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya menjadi kekuatan primer dalam membangun insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yang ndilalah nge-Arab itu) ke dalam suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tidak mungkin hanya akan menjerembabkan rakyat ke pada alienasi, keterasingan dalam (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih dalam fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) sampai yg ada adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah rakyat merupakan Islam yang dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yang merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ilham tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun dalam kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama dipengaruhi apakah dia secara verbal-eksklusif dari menurut Tuhan atau nir. Ia bisa timbul dimana saja sebagaimana Allah pula hadir di mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, tapi kitalah yg mau tidak mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” kata Mohsen Makhmalbaf, pengarah adegan film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, jika kemudian ada yg memakai pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.

Comments