SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan mengenai masyarakat, menjadi ilmu realitas yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir lantaran terlepas berdasarkan dampak filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam tahun 1839, sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang memepelajari rakyat. Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yg berubah menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya empiris social, maka lahirlah aneka macam cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak menurut tampilnya sejumlah ilmuwan akbar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal dari Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menyelidiki masyarakat yg amat bermanfaat buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial menjadi pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yg tahu masyarakat misalnya tubuh insan, menjadi suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menduga pertarungan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yang menjadi penuntun konduite manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association dalam tahun 1883, Lester Frank Ward, yg berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial pada masyarakat Amerika adalah disparitas dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan pada memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar buat maju serta mempunyai kehidupan yg lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang relatif merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-perbedaan tersebut dia mendesak pemerintahnya supaya menyelenggarakan harus belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar pada USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yg baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan konflik social dan sekaligus menaruh rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti menurut adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education menggunakan focus perhatian dalam penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education mampu sebagai sumber data serta liputan ilmiah, serta studi akademis yg bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yg memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology sebagai Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology sebagai Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education semenjak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai kurang lebih tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda ketika itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas serta semakin tinggi ke arah yg makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, serta R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang pula terdapat pada makhluk hayati lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan insan jauh lebih rumit menurut pengelompokan hewan. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan karakteristik-karakteristik hidup berkelompok pada fauna pada kutipan berikut. 

Pada hewan, hayati berkelompok memiliki cirri-karakteristik: Ada pembagian kerja yg permanen dalam anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yg hidup pada suatu kelompok dengan individu yang hayati dalam kelompok lain. 

Ciri-ciri fauna tadi bisa pula ditemukan dalam manusia. Kehidupan sosial insan tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat rakyat yg sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan sebagai individu dan insan sebagai anggota rakyat. Pandangan aliran-aliran filsafat mengenai realitas sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan beragam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja pada bentuk oleh rakyat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada aktivitas pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau perkiraan dalam penerapan pendidikan yang bertolak dalam hubungan antar individu sebagai mahluk sosial pada kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta siswa) bahkan 2 generasi yg memungkinkan generasi belia berbagi diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karena itu kegiatan pendidikan bisa berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta rakyat. Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan mencakup semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan keluarga sangat krusial, lantaran famili adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai membuatkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai serta sikap yang dapat mensugesti perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yg menggunakan sengaja dibentuk sang warga menggunakan perencanaan serta aplikasi yg mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan pula dipengaruhi oleh aneka macam gerombolan kecil pada rakyat. Seperti gerombolan keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang menjadi penekanan dalam aktivitas ini adalah aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan warga . Dalam pelaksanaan pada banyak sekali negara diupayakan ekuilibrium antara pelestarian serta pengembangan budaya serta rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan masyarakat yg dianut sang suatu bangsa. Untuk tahu kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif dan antar gerombolan dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yang rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya menjadi kebiasaan-norma social yg mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa insan itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja berdasarkan keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menyebabkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam rakyat seperti ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota warga satu dengan yang lain saling berkompetisi sebagai akibatnya mengakibatkan dampak yg kuat. 

Paham kolektivisme menaruh kedudukan yang hiperbola pada masyarakat serta kedudukan anggota rakyat secara perseorangan hanyalah sebagai indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota warga saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya insan adalah eksklusif dan jua adalah relasi. Kepentingan rakyat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber dari kebiasaan kehidupan warga : (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (dua) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, serta (4) selaras harmonis seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan setuju bahwa, sinkron menggunakan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (jua Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, dan pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan diharapkan sanggup memberikan rekomendasi tentang bagaimana harapan serta tuntutan warga mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola hubungan sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yg dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yg memeriksa:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara dan mendorong proses sosial serta perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-grup dalam warga  

2. Hubungan kemanusiaan pada sekolah yang meliputi:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sama dengan kebudayaan pada luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya, yang mengusut:
a. Peranan sosial guru.
b. Sifat kepribadian pengajar.
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku murid.
d. Fungsi sekolah pada pengenalan anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola interaksi antara sekolah dengan grup sosial lain pada pada komunitasnya, yang mencakup:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis mengenai komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum nir terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah serta komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan dalam kaitannya menggunakan holistik hidup rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Menjadi cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Menyelidiki interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan menggunakan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta efek pendidikan dalam kehidupan siswa”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman mengenai fenomena yg termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk dibutuhkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai menurut yg bercorak generalisasi empirik hingga dalil dan hukum-hukum yg mantap, data serta kabar tentang hasil penelitian lapangan yg actual, baik dari lingkungan sendiri juga berdasarkan lingkungan lain, dan fakta mengenai kasus serta tantangan yg dihadapi. Dengan kabar yg lengkap serta akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan bisa menafsirkan kenyataan-fenomena yg dihadapi secara seksama. Penjelasan-penerangan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan syarat dan perseteruan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan menggunakan itu, tuntutan rakyat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yg masuk ke pada masyarakat melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diharapkan pada perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi syarat serta tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani konflik-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan rakyat misalnya masalah lapangan kerja serta pengangguran, permasalahan sosial, kerusakan lingkungan, serta lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, serta perkara penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara generik sosiologi pendidikan bertujuan buat menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan kenyataan-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari contoh-contoh pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara spesifik, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data serta liputan tentang hubungan sosial pada antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara forum pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta norma yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai interaksi darah atau memiliki kepentingan beserta. Masyarakat dapat adalah suatu kesatuan hidup pada arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat pada arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang pada arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat menjadi kesatuan hayati memiliki ciri primer, antara lain: (1) ada interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laku warganya diatur sang adapt adat, norma-kebiasaan, hukum, dan aturan-anggaran khas, (tiga) terdapat rasa bukti diri bertenaga yg mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja serta La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan istiadat- adat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal berdasarkan perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, serta kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu hingga kini , ciri yang menonjol berdasarkan warga Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yg berbeda-beda tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik buat mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu warga yg bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai oleh dua karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai sang adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, norma adat, dan kedaerahan, serta (dua) secara vertical ditandai sang adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (dua) mempunyai struktur social yg terbagi-bagi, (3) sering anggota warga atau kelompok tidak berbagi consensus pada antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara gerombolan relative sering mengalami pertarungan, (lima) terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, (6) adanya penguasaan politiuk sang suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, sudah poly mengalami perubahan. Sebagai masyarakat beragam, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih bisa ditemukan, demikian jua halnya menggunakan sifat-sifat dasar berdasarkan zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yg kuat sebagai suatu warga bangsa Indonesia serta kemajuan pada banyak sekali bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan serta kesatuan yang semakin kokoh.

Berbagai upaya sudah dilakukan dengan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan rakyat Indonesia. Hal terakhir tadi sekarang makin menerima perhatian yg semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan menjadi upaya menciptakan “manusia lokal”, akan namun haruslah didesain serta dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan bisa diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara serta berjiwa nasional akan tetapi yg memahami serta menyatu menggunakan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan tentang rakyat, sebagai ilmu empiris yg memperoleh pijakan yg kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir karena terlepas berdasarkan efek filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan sang August Comte (1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari warga . Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yang berkembang menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tersebut disambut hangat sang rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar pada bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal berdasarkan Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menilik masyarakat yang amat berguna buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yg berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu warga seperti tubuh insan, sebagai suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menganggap permasalahan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat sebagai Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, membicarakan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial dalam warga Amerika merupakan perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar untuk maju dan mempunyai kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dilihat sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-disparitas tadi beliau mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, serta wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru pada sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki menjadi “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology merupakan penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan perseteruan social serta sekaligus memberikan rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas pada USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yg mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology serta memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education bisa menjadi sumber data serta informasi ilmiah, dan studi akademis yang bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology pada American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan kiprah pendidikan pada pengembangan rakyat, dimulai lebih kurang tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis pada Negeri Belanda waktu itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi buat memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan dalam ketika itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, dan R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hayati berkelompok, sesuatu yg jua terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni fauna. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit menurut pengelompokan fauna. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan ciri-ciri hidup berkelompok dalam hewan dalam kutipan berikut. 

Pada fauna, hayati berkelompok memiliki cirri-ciri: Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, terdapat komunikasi antar anggota, dan ada subordinat antar individu yg hidup dalam suatu gerombolan dengan individu yang hayati pada kelompok lain. 

Ciri-karakteristik hewan tersebut bisa pula ditemukan pada insan. Kehidupan sosial insan tadi dipelajari oleh filsafat, yg berusaha mencari hakekat warga yang sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan menjadi individu dan manusia sebagai anggota rakyat. Pandangan genre-genre filsafat mengenai empiris sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses hubungan antara dua individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi belia memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yg sistematis terjadi di forum sekolah yang dengan sengaja di bentuk sang rakyat. Perhatian sosiologi dalam pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi dalam kegiatan pendidikan tadi maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan merupakan acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang bertolak pada hubungan antar individu menjadi mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta peserta didik) bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi belia mengembangkan diri. Pengembangan diri tadi dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karenanya aktivitas pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta warga . Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan meliputi semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan famili sangat krusial, karena keluarga adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai berbagi diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan perilaku yang dapat menghipnotis perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan famili. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja dibentuk sang rakyat menggunakan perencanaan serta aplikasi yang mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan jua dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan mini pada rakyat. Seperti kelompok keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang sebagai fokus pada aktivitas ini merupakan aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan masyarakat. Dalam aplikasi pada aneka macam negara diupayakan keseimbangan antara pelestarian serta pengembangan budaya dan rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan warga yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita wajib memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif serta antar kelompok dalam masyrakat tadi. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yg rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya sebagai norma-kebiasaan social yang mengikat kehidupan bermasyarakat serta wajib dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam kebiasaan yg dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme mengakibatkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan warga . Dalam warga misalnya ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu menggunakan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan pengaruh yg kuat. 

Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan pada masyarakat serta kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah menjadi indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota rakyat saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah langsung dan juga merupakan relasi. Kepentingan rakyat secara holistik diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan pada Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber menurut kebiasaan kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (2) kesejahteraan bersama sebagai tujuan hayati bermasyarakat, (3) negara melindungi masyarakat negaranya, serta (4) selaras serasi seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia nir hanya menaikkan kualitas insan secara orang per orang melainkan jua kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan sepakat bahwa, sinkron dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yg pengkajiannya dibutuhkan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, serta pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan dibutuhkan bisa menaruh rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan rakyat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial serta pola-pola interaksi sosial pada pada sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan menggunakan aspek masyarakat lain, yang menyelidiki:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan serta proses kontrol sosial serta sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara serta mendorong proses sosial dan perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan menggunakan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal pada hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-gerombolan dalam rakyat 

2. Hubungan humanisme pada sekolah yang mencakup:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sinkron dengan kebudayaan di luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur warga sekolah.

3. Pengaruh sekolah dalam prilaku anggotanya, yang menilik:
a. Peranan sosial pengajar.
b. Sifat kepribadian guru.
c. Pengaruh kepribadian pengajar terhadap tingkah laris siswa.
d. Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola hubungan antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yg meliputi:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak pada pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis tentang komunitas misalnya tampak terjadi dalam sistem sosial komunitas kaum tidak terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah dan komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tadi sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan pada kaitannya menggunakan holistik hayati rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Mempelajari interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan dengan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta pengaruh pendidikan dalam kehidupan peserta didik”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu mengungkapkan atau memberikan pemahaman tentang kenyataan yg termasuk ke pada ruang lingkup pembahasannya. Untuk diharapkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yg bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan aturan-hukum yg mantap, data dan warta mengenai output penelitian lapangan yg actual, baik berdasarkan lingkungan sendiri juga menurut lingkungan lain, dan fakta tentang kasus serta tantangan yang dihadapi. Dengan fakta yg lengkap dan seksama, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik serta akan bisa menafsirkan fenomena-fenomena yg dihadapi secara akurat. Penjelasan-penerangan itu sanggup disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi serta pertarungan pendidikan yang diperkirakan akan timbul dalam masa yang akan tiba. Sejalan menggunakan itu, tuntutan warga akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal serta eksternal yang masuk ke pada warga melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan warga misalnya perkara lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yg memerlukan dukungan pendidikan, serta masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara umum sosiologi pendidikan bertujuan untuk menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan fenomena-fenomena siosial serta pendidikan, pada rangka mencari contoh-model pendidikan yg lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data dan kabar tentang interaksi sosial di antara orang-orang yg terlibat pada institusi pendidikan dan dampaknya bagi siswa, mengenai interaksi antara lembaga pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta kebiasaan yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, serta adakalanya mereka memiliki interaksi darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat bisa merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun pada arti sempit. Masyarakat dalam arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit contohnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hayati memiliki karakteristik utama, diantaranya: (1) terdapat interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laris warganya diatur sang adapt adat, kebiasaan-norma, hukum, serta aturan-anggaran spesial , (3) ada rasa bukti diri kuat yang mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan daerah, kesatuan adat- istiadat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu sampai kini , karakteristik yg menonjol dari rakyat Indonesia adalah sebagai warga beragam yg beredar pada ribuan pulau pada nusantara. Melalui perjalanan panjang, warga yg berbeda-beda tadi akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu rakyat Indonesia sebagaiu rakyat yang bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai sang 2 karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, istiadat tata cara, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai sang adanya disparitas pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, serta lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar warga Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk gerombolan social atau golongan social jajahan yang tak jarang mempunyai sub-kebudayaan sendiri, (dua) memiliki struktur social yg terbagi-bagi, (3) tak jarang anggota warga atau gerombolan tidak membuatkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara kelompok relative acapkali mengalami perseteruan, (lima) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk oleh suatu gerombolan atas grup-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia sesudah kemerdekaan, utamanya dalam zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai rakyat beragam, maka komunitas dengan ciri-karakteristik unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian juga halnya menggunakan sifat-sifat dasar menurut zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang bertenaga menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia dan kemajuan pada aneka macam bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, sudah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yg semakin kokoh.

Berbagai upaya telah dilakukan menggunakan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin menerima perhatian yang semestinya dengan diantaranya dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya menciptakan “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” pada suatu lokal eksklusif. Dengan demikian akan dapat diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan namun yg memahami serta menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI

Sejarah Istilah Sosiologi 

Pada tahun 1842: Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comte tahun 1842 dan kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Sosiologi sebagai ilmu yang mengusut tentang rakyat lahir pada Eropa lantaran ilmuwan Eropa dalam abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara spesifik memeriksa kondisi serta perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membentuk suatu teori sosial menurut ciri-karakteristik hakiki masyarakat pada tiap termin peradaban manusia. Comte membedakan antara sosiologi statis, dimana perhatian dipusatkan pada aturan-hukum statis yang sebagai dasar adanya rakyat serta sosiologi bergerak maju dimana perhatian dipusatkan tentang perkembangan rakyat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka diantaranya Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya dari menurut Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna buat perkembangan Sosiologi.
Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi aneka macam elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.

Pada tahun 1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology serta memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu masyarakat seperti tubuh insan, menjadi suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap pertarungan antar-kelas sosial sebagai intisari perubahan dan perkembangan masyarakat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yg berupaya menelusuri nilai, agama, tujuan, dan sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia.di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. Sumber!!
Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi termasuk ilmu yg paling muda dibandingkan menggunakan ilmu-ilmu sosial yg terdapat. Sosiologi jua bersumber menurut filsafat. Filsafat adalah induk berdasarkan segala ilmu pengetahuan (mater scientarium) semua ilmu pengetahuan yg kita ketahui selama ini . Filsafat dalam masa itu mencakup jua segala bisnis pemikiran tentang warga . Makin berkembangnya zaman serta tumbuhnya peradaban insan, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat mulai memisahkan diri dan berkembang dari tujuan masing-masing.
Astronomi (ilmu tentang bintang-bintang) serta fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama kali memisahkan diri. Kemudian, diikuti sang ilmu kimia, hayati, serta geologi. Pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru ada, yaitu psikologi (ilmu yg memeriksa perilaku serta sifat-sifat manusia) serta sosilogi (ilmu yang memeriksa masyarakat). Dengan demikian, timbullah sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang di pada proses pertumbuhannya dapat dipisahkan menurut ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, misalnya ekonomi serta sejarah.
Pemikiran terhadap warga serta lambat laun menerima bentuk menjadi suatu ilmu pengetahuan yang dinamakan sosiologi, pertama kali terjadi di Benua Eropa. Banyak usaha dilakukan manusia baik bersifat ilmiah juga nonilmiah yg menciptakan sosiologi menjadi ilmu pengetahuan serta berdiri sendiri.
Beberapa faktor pendorong utama keluarnya sosiologi adalah meningkatnya perhatian terhadap kesejahteraan rakyat serta perubahan-perubahan yang terjadi di pada warga .
sosiologi di Amerika Serikat dihubungkan dengan usaha-bisnis untuk mempertinggi keadaan sosial insan dan sebagai pendorong buat merampungkan duduk perkara yg ditimbulkan sang kehahatan pelanggaran, pelacuran, pengangguran, kemiskinan, perseteruan, peperangan, serta masalah sosial lainnya.
Banyak ahli sepakat bahwa faktor yg melatar belakangi kelahiran sosiologi adalah adanya krisis yg terjadi di dalam rakyat. Laeyendecker, misalnya mengaitkan kelahiran sosiologi menggunakan serangkaian perubahan pada bidang sosial politik. Perubahan berkenaan dengna adanya reformasi Marthin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan terkini, berkembangnya agama dalam diri sendiri, terjadinya Revolusi Industri pada abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Prancis.
Pada abad ke-19 seorang filsuf bangsa Prancis bernama Auguste Comte, sudah menulis beberapa buku yang berisi pendekatan-pendekatan generik buat mengusut masyarakat. Dia beropini bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika. Setiap penelitian dilakukan melalui tahap-termin eksklusif buat mencapai tahap akhir, yaitu Ilmiah. Oleh karena itu, Auguste Comte menyarankan supaya seluruh penelitian terhadap rakyat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang warga yang berdiri sendiri. Dari kondisi tersebut, diartikan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang adalah hasil akhir menurut perkembangan ilmu pengetahuan. Sosilogi lahir pada ketika-ketika terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, sosiologi berdasarkan pada kemajuan-kemajuan yg telah dicapai oleh ilmu pengetahuan lainnya.
Lahirnya sosiologi tercatat dalam tahun 1842, tatkala Auguste Comte menerbitkan buku berjudul Positive-philosophy. Beberapa pandangan krusial yang dikemukakan sang Auguste Comte adalah "aturan kemajuan insan" atau "aturan 3 jenjang", Menurut pandangan ini, sejarah akan melewati 3 jenjang yang mendaki.
1. Jenjang Teologi
Pada jenjang ini, insan mencoba menyebutkan gejal disekitarnya menggunakan mengacu dalam hal-hal yg besifat adikodrati
2. Jenjang Metafisika
pada jenjang ini, insan mengacu dalam kekuatan-kekuatan metafisi atau abstrak.
3. Jenjang Positif
pada jenjang ini, penjelasan tanda-tanda alam ataupun sosial dilakukan menggunakan mengacu dalam deskripsi ilmiah.
Setengah abad setelah Herbert Spencer menyebarkan suatu sistematika penelitian rakyat pada bukunya yg berjudul Priciples of Sociology, istilah sosiologi menjadi lebih terkenal. Berkat jasa Herbert Spencer pula, sosiologi akhirnya berkembang menggunakan pesat. Sosiologi berkembang dengan pesat pada abad ke-20, terutama pada Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat walaupun arah perkembangannya di ketiga negara tadi tidak selaras satu sama lain. Sosilogi kemudian menyebar ke banyak sekali benua serta negara-negara lain termasuk Indonesia.


MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami poly kendala. Tiga faktor yg potensial menghadang aktivitas rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara dalam sulitnya memilih kebijakan pendidikan yg cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya membarui mental pemimpin Indonesia dari norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat serta mengunggulkan model pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok dengan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas masyarakat pada pendidikan menjadi dampak pengalaman historis yang mengakibatkan kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan dan budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yang sudah maju, sebagai akibatnya pada praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yang mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing juga terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa bunda dan pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg dari pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi hubungan komplementer berdasarkan (1) kapitalisme, (dua) industrialisme, (3) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis dalam praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat dalam pengajar, menjejalkan isi kurikulum yg nir sinkron menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara guru dan anak didik, anak didik dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita tentang pelajaran serta murid mendengarkan. Pengajar menguraikan suatu topik yang sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para murid. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, tetapi guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yang diterima, dihafal, diulangi dengan patuh sang para murid. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank membuat insan-manusia yg jati dirinya tersimpan serta miskin daya cipta, daya ubah, serta pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh dampak kurang menguntungkan rakyat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai kini . Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara dan stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu merupakan operasionalisasi konkretnya di lapangan sebagai kurang relevan menggunakan tuntutan serta kebutuhan rakyat lokal yg beragam, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi dan modernisasi pendidikan menggunakan fokus pada pemberian materi pedagogi yang lebih banyak bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan asa ekonomis serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, cita-cita emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di dalam utopi, dan kurang berpijak pada empiris bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-inspirasi utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membentuk contoh-contoh pendidikan yg bernafaskan kepribumian yang justru berfaedah bagi warga dan sinkron menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah buat disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menampakan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yg belum memenuhi asa warga tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia sebagai bahan refleksi buat memikirkan taktik pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan pada upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk saat ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia dari kerangka berpikir usang, sesungguhnya telah poly mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan mendasar terjadi di pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yg lalu. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi dari pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah sebagai sistem pendidikan yang populis yang poly membuka kesempatan buat seluruh anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yg digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Tetapi, hal ini belum menampakkan hasil serta layu sebelum berkembang.

Dalam perjalanan pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya masih ada empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (2) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan asal daya manusia yang sebagai prioritas primer, pada samping asal-asal alamiah. Paradigma ini dilandasi sang fenomena bahwa Indonesia telah unggul dalam bidang sumber daya alam, tetapi lemah pada asal keterangan iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, serta asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, menggunakan didorong sang gerakan education for all, timbul jua kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yg bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang kemudian menjadi 9 tahun. Krisis yang dirasakan sebagai akibat kerangka berpikir tersebut merupakan terpuruknya asal daya manusia Indonesia yg tercermin dari taraf keterampilan tenaga kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang impian untuk mempertinggi mutu dan standar pendidikan nasional, maka muncullah paradigma keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta berbagai peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-norma EBTANAS, serta banyak sekali tes standar. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan serta kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan mengklaim mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, paradigma keseragaman pendidikan telah membentuk akselerasi pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, paradigma yang kaku tadi ternyata mematikan inisiatif dan akal budi kritis siswa dan masyarakat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial serta pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek alfabet . Atas dasar kenyataan ini, maka sehabis kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit mengenai pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yang terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi dampak desakan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin sophisticated yg memperkenalkan pendidikan maya yg bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas menggunakan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan energi kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tadi sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih dalam kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya aneka macam jenis program pendidikan serta pelatihan yang lebih berorientasi pada aspek supply, mengakibatkan kebutuhan real akan energi kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara dunia pendidikan serta dunia kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan dan global kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg nir berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dipercaya sebagai state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi pada aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yang sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hidup manusia dan warga , menginginkan kehidupan yg berbahagia, diarahkan buat membangun kehidupan beserta. Indonesia yang tengah berkembang merupakan pencerminan dari kekuatan sosial politik kaum elit yg berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa pada wangsit-inspirasi politiknya. Sekolah adalah sarana penyuapan anak didik dengan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dipercaya paling berguna oleh para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara absolut kepada penguasa. Semuanya ini yang lalu melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan sebagai alat penguasa serta wahana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini menggunakan sendirinya dapat memecahkan perkara sosial budaya, (dua) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi agar tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) mistifikasi ideologi nasional sehingga terjadi penjinakan terhadap critical dan creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator kerangka berpikir lama pendidikan Indonesia tersebut, dapat diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yang dialami oleh pendidikan Indonesia saat ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yang melanda seluruh segi kehidupan, dia akan menampakkan wujud semakin hebat dan beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata dunia. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri dari krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan semua anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tersebut pasti akan sanggup dilalui. Atas dasar keyakinan tadi, seluruh anak bangsa bersama pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yg bisa dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus mempertinggi harkat dan prestise dan peradaban manusia ke arah yang lebih baik, serta bisa bergerak dalam percaturan global.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi pada empat indikator yg dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir lama , pula berorientasi dalam nilai-nilai asli yang bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber dari landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, serta universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar buat memformulasikan kerangka berpikir baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yg sistematik-sistemik selalu bertumpu pada sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan adalah pilar primer pengembangan insan dan masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan warga , bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yg sangat memegang peranan penting pada menentukan tujuan pendidikan adalah landasan filosofis, sosiologis, serta kultural. Landasan pendidikan yang mendorong pendidikan pada rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, masih ada landasan psikologis, yang membekali energi kependidikan dengan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat membangun wawasan pendidikan yang utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yg sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang insan serta rakyat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan mengenai harkat dan prestise manusia serta masyarakatnya ikut menentukan tujuan serta cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan berkaitan dengan kajian-kajian: (1) keberadaan dan kedudukan manusia menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (2) rakyat dan kebudayaannya, (3) keterbatasan manusia sebagai makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan primer pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning serta becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah tidak mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hidup. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu adalah pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu menurut interaksinya menggunakan lingkungan alamiah, sahabat sebaya, dan masyarakat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yang menciptakan pengetahuannya, sedangkan guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan penting dalam proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan adalah membina langsung-langsung yang bebas merumuskan pendapat dan menyatakan pendapatnya sendiri dalam banyak sekali perspektif. Individu yg diinginkan merupakan individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang menjadi suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi masalah-perkara yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-perkara tadi seperti identitas bangsa, benturan kebudayan, preservasi serta pengembangan budaya. Fungsi pendidikan merupakan menata masyarakat menurut fungsi-fungsi budaya yg universal menurut budaya lokal yang berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, dan kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan dalam prinsipnya meliputi semua jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yg termasuk keliru satu pendidikan luar sekolah merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses sosialisasi akan dimulai menurut keluarga, di mana anak mulai berkembang. Pendidikan famili dapat memberikan keyakinan kepercayaan , nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.2/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam famili bisa ditanamkan nilai dan sikap yg dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola interaksi orang tua menggunakan anak pada famili, komposisi keanggotaan dalam keluarga, keberadaan orang tua, dan disparitas kelas sosial keluarga berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan pula sangat dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan sosial dalam rakyat, seperti gerombolan keagamaan, organisasi pemuda, dan organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yg datangnya bukan dari orang dewasa, tetapi berdasarkan anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yang memiliki pengaruh bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai lembaga sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yang jelas serta nir tetap. Tetapi gerombolan sebaya bisa membangun solidaritas yg sangat kuat pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yg bisa disumbangkan oleh gerombolan sebaya pada proses sosialisasi anak, diantaranya, bahwa grup sebaya bisa menaruh model, menaruh identitas, memberikan dukungan, menaruh jalan buat lebih independen, menumbuhkan sikap kerja sama, serta membuka horizon anak menjadi lebih luas.

Di sisi lain, yang nir kalah pentingnya, adalah impak pendidikan terhadap masyarakat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak buat hayati di dalam masyarakatnya, sedangkan penekanan pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan adalah mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak menentukan galat satu kutub penekanan tadi, namun diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian serta pengembangan.

Pendidikan pada rangka mengembangkan ilmu pengetahuan, harus didukung oleh sistem komunikasi sosial yg terbuka, sehingga beliau bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial adalah implementasi dari prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul sang pengembang dan pengelola pendidikan tadi harus dikembalikan pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, wajib konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional kepada masyarakat, sehingga bisa dimanfaatkan secara obyektif pada memecahkan konflik sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki oleh seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka mendapat kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi warga . Walaupun pemikiran sosial yg dianutnya nir selalu terbaik serta pula tidak terburuk bagi warga , tetapi gagasannya harus siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Ketika gagasan tadi gagal memberitahuakn keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan serta sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial menjadi pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap insan selalu sebagai anggota masyarakat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan serta pendidikan memiliki interaksi timbal pulang, karena kebudayaan dapat dikembangkan dan dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan berdasarkan generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal maupun formal. Sebaliknya, bentuk, karakteristik-karakteristik, dan pelaksanaan pendidikan itu ikut ditentukan sang kebudayaan rakyat pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan merupakan hasil cipta dan karya insan berupa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, dan teknologi yg dipelajari dan dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas bisa berwujud (1) pandangan baru, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (3) benda output karya insan. Kebudayaan baik pada wujud inspirasi, prilaku, dan teknologi tadi dapat dibentuk, dilestarikan, dan dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laris kepada generasi baru, berbeda menurut warga ke masyarakat. Ada 3 cara generik yang dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi dalam keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku murid. Masyarakat memegang peranan dalam mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat pula berusaha melakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan menggunakan kondisi baru, sebagai akibatnya terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan rakyat. Usaha-bisnis menuju pola tingkah laku , nilai-nilai, dan kebiasaan-kebiasaan tadi adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim dipakai sebagai alat transmisi dan transformasi kebudayaan merupakan forum pendidikan, utamanya sekolah serta famili. Sekolah menjadi forum sosial mempunyai peranan yg sangat penting, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi jua mentransformasikannya agar sesuai menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sebagai akibatnya landasan psikologis merupakan galat satu landasan yg penting pada bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya tentang proses perkembangan dan proses belajar. Terdapat tiga pandangan mengenai hakikat manusia, yaitu strategi disposisional yg menaruh tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang manusia sebagai makhluk pasif yang bergantung kepada lingkungan, taktik fenomenologis memandang manusia menjadi makhluk aktif yang sanggup bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan tentang pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan galat satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu memiliki talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang tidak sama satu sama lain. Implikasinya, pendidik tidak mungkin memperlakukan sama pada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi lantaran adanya disparitas aneka macam aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan dengan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, disparitas aspirasi dan cita-cita, bahkan perbedaan kepribadian secara holistik. Kajian psikologi pendidikan yg erat kaitannya menggunakan pendidikan merupakan yg berkaitan menggunakan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual jika dikembangkan pada situasi yg aman. Peserta didik selalu berada pada proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan maupun karena perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal sebagai dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran pengaruh lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, famili, rakyat, pramuka, dan media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah dan Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, serta teknologi memiliki kaitan yang sangat erat. Iptek menjadi bagian utama isi pengajaran, adalah, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan serta pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi oleh pendidikan, yakni menggunakan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan oleh cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek pada biasanya, ilmu pendidikan jua mengalami kemajuan yang pesat; demikian pula dengan cabang-cabang khusus menurut ilmu-ilmu prilaku yang mengkaji pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya liputan realitas yg cepat serta sempurna, serta pada gilirannya, diterjemahkan sebagai program, alat, dan/atau mekanisme kerja yg akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yang makin kompleks, maka pendidikan pada segala aspeknya wajib mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas serta kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi serta prosedur kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh karena kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi menurut banyak sekali bidang ilmu harus segera diadopsi ke dalam penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan oleh penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi pada Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yg menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan maupun aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa insan itu bisa dididik dan mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya dan sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan pada Indonesia bersumber baik berdasarkan kesamaan generik pendidikan pada dunia juga yg bersumber berdasarkan pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan di Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini juga masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, serta asas kemandirian dalam belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani merupakan inti menurut asas pertama berdasarkan tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir dalam lepas 3 Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak untuk mengatur dirinya dengan mengingat tertibnya persatuan pada perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yang hendak dicapai sang Taman Siswa merupakan kehidupan yang tertib dan hening. Kehidupan tertib serta damai hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, serta sanksi dengan sistem spesial Taman Siswa, yang didasarkan dalam sistem kodrati. Dari asas itu juga lahir “sistem among”, di mana pengajar memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yg berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu permanen menghipnotis dengan memberi kesempatan pada anak didik buat berjalan sendiri, serta tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif serta mencampuri tingkah laris atau perbuatan anak bila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau mobilitas majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang dipakai pada sistem Taman Siswa menggunakan maksud mewajibkan dalam guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para murid dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari Tut Wuri Handayani, dalam hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, nir terdapat campur tangan yang bisa mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri menggunakan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diperlukan sang anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan pengajar. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut menjadi satu kesatuan asas sudah sebagai asas krusial pada pendidikan pada Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang berdasarkan sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Pendidikan seumur hayati adalah suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut pandangan baru usang, namun secara universal definisi yg bisa diterima adalah sulit. Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hayati adalah pendidikan yg (1) mencakup semua hidup setiap individu, (2) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta perilaku yang dapat menaikkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan berbagi penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar berdikari, (5) mengakui donasi berdasarkan seluruh imbas pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hayati” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini nir bisa dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” merupakan perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan istilah “pendidikan” menekankan pada bisnis sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien serta efektif, atau lingkungan yang membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar mengajar di sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif; dan menaikkan kemauan serta kemampuan belajar mandiri menjadi basis berdasarkan belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan menggunakan memperhatikan dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah meliputi tidak saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi jua terkait dengan kehidupan peserta didik pada masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, serta dalam upaya mengantisipasi siswa buat bisa bersaing pada era global, maka dimensi tersebut hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hidup (life skills). Indikator-indikator life skills merupakan integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, problem-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan serta implementasi kurikulum yg memperhatikan ke 2 dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai asal belajar yang terdapat di sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-asal belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yang memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society), yg akan bermuara dalam terwujudnya pendidikan seumur hidup seperti yg tercermin pada sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian pada Belajar. Asas kemandirian pada belajar mempunyai kaitan yang sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul menurut pada diri sendiri sehingga cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian pada belajar akan menempatkan guru dalam peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru dibutuhkan menyediakan serta mengatur banyak sekali asal belajar sedemikian rupa sehingga memudahkan siswa berinteraksi menggunakan sumber-sumber tadi. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa taktik belajar mengajar yg dapat menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar anak didik aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut dapat terlaksana bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai serta pusat asal belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan tiba, dapat diajukan gagasan bahwa untuk mencapai rakyat yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar pada pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan bisa memenuhi asa serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat permanen survive dalam kehidupan global dan untuk mempertahankan serta menyebarkan bukti diri kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa masih ada nilai-nilai demokrasi spesial rakyat Indonesia yg perlu dikembangkan dalam kerangka buat menetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yg ada dan diakui oleh sebagian akbar penduduk dunia dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi dan trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan kerangka berpikir pendidikan progresif futuristik. Terdapat 3 pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat pada anak. Pendidikan ini akan mengembangkan kemampuan individu kreatif mandiri, dan mengembangkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, kiprah pendidikan buat rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan warga demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju masyarakat industri. Ketiga, konsep eksperimentasi dalam pendidikan. Konsep ini akan menyebarkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi berdasarkan pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, problem solving, duduk perkara based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut dalam prinsip seleksi asimilasi dengan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tersebut, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada termin akhir, proses dialektika tadi akan membentuk sintesis berupa konvergensi nilai asing dan nilai kepribadian dasar. Secara simpel, nilai-nilai progresif yang bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian pula konsep progresif mengenai fungsi pendidikan sebagai agen pembaharuan sosial seharusnya diubahsuaikan menggunakan syarat sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan dengan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, masyarakat, dan dua pusat pendidikan lainnya: forum pramuka dan media massa.

Untuk mengantisipasi tidak terjadinya pertarungan dunia antarbudaya, maka diperlukan paradigma pendidikan antarbudaya taraf internasional. Pendidikan ini akan membentuk generasi-generasi baru yg nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, serta teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai dengan realitas-empiris dan tuntutan internasional sekaligus global. Pendidikan antar budaya dapat berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yang relatif penting diajarkan pada sekolah dan pada perguruan tinggi. Di samping itu, program pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga merupakan sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui warta, ulasan, feature, pandangan mata, dan sebagainya. Demikian juga, buku-kitab khususnya yang memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup tata cara adat, kebiasaan-kebiasaan, dan prilaku komunikasi mereka sangat penting dijadikan kurikulum.

Untuk membangun insan-insan antarbudaya taraf nasional, paradigma pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-lembaga resmi: lembaga pendidikan, kantor pemerintahan, tempat kerja partikelir. Juga pada lembaga-lembaga nir resmi yang melibatkan lebih berdasarkan satu suku bangsa, usaha yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu merupakan tanda-tanda etnosentrisme yg nir akan menyenangkan orang-orang menurut daerah lain. Kedua, sajian kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektro, khususnya televisi, dan lembaga-lembaga internasional. Ketiga, sosialisasi yg merata di lembaga-forum pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan partikelir, menggunakan menerima murid atau mahasiswa serta pegawai yang cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, kontak antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, guru, serta dosen antar propinsi paling nir buat satu periode tertentu. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yang tidak sinkron suku tersebut mempunyai kecocokan dalam segi-segi krusial, misalnya pada agama. Keenam, pembangunan daerah yang merata oleh pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya merupakan (1) menyesuaikan contoh pendidikan dan training menggunakan kebutuhan rakyat banyak seraya menaikkan mutunya, (2) meningkatkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, dan penilaian pendidikan, (tiga) menaikkan investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi kerangka berpikir ini merupakan melalui program-program (1) berbagi serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu, (tiga) membentuk SDM pendidikan yg profesional dengan penghargaan yg masuk akal, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui pemugaran organisasi pelaksanaan penyaluran bantuan, dan (lima) menaikkan kesejahteraan pengajar dan energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja guru dan tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat pada serta luar negeri.

Pendidikan Indonesia dibutuhkan jua memusatkan perhatian dalam upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan menggunakan memberi swatantra yang luas, (2) mengembangkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg terdapat di Indonesia, (3) restriksi acara-acara pendidikan nasional difokuskan dalam pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi paradigma tadi bisa dilakukan melalui acara-acara (1) menyiapkan lembaga-forum pendidikan dan pembinaan di daerah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan serta secara berangsur-angsur memberikan swatantra seluas-luasnya dalam forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yg memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka sekarang ini. Untuk meningkatkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan dan implementasi acara pembinaan, media massa, serta media elektronik, (2) menjembatani dunia pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-energi kerja yang sinkron dengan kebutuhan daerah serta pasar kerja. Impelementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) optimalisasi pemanfaatan serta koordinasi forum-lembaga pembinaan di wilayah dengan pelibatan pemimpin-pemimpin masyarakat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) menaikkan kuantitas dan kualitas lembaga-forum pendidkan pada wilayah pada rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yang berkualitas, (3) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga training menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik memiliki hubungan yang sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sebagai akibatnya baik pendidikan juga politik secara bersinergi dapat mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan pada mendidik manusia Indonesia menjadi insan politik yg demokratis, sadar akan hak-hak serta kewajibannya menjadi rakyat negara yg bertanggung jawab, (dua) masyarakat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, paradigma ini dapat diimplementasikan melalui acara-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen berdasarkan kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan dari dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga acara-program pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka diperlukan paradigma pemberdayaan masyarakat lokal, universitas-universitas pada daerah, forum pemerintah pada wilayah, dan forum pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan rakyat pada dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta Pemerintah Daerah ke 2-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (masyarakat) yang mempunyai pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu rakyat agar penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada wilayah memiliki interaksi konsultatif dengan rakyat lokal dan pemda kabupaten. Hubungan tadi akan membangun peluang bagi universitas di daerah buat menjadi agen pembaharuan pada rangka peningkatan mutu pendidikan, baik di kabupaten, pada provinsi, maupun pada tingkat sentra.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi serta misi pendidikan tinggi yg berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal serta dimensi global. Paradigma pengembangan kedua dimensi tersebut sangat krusial pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, swatantra kelembagaan, serta jaringan kolaborasi. Dimensi dunia visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, serta jaringan kolaborasi. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti jua berbagi dimensi globalnya karena unsur kompetitif dalam dimensi dunia sangat bergantung pada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.