SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI

Sejarah Istilah Sosiologi 

Pada tahun 1842: Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comte tahun 1842 dan kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Sosiologi sebagai ilmu yang mengusut tentang rakyat lahir pada Eropa lantaran ilmuwan Eropa dalam abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara spesifik memeriksa kondisi serta perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membentuk suatu teori sosial menurut ciri-karakteristik hakiki masyarakat pada tiap termin peradaban manusia. Comte membedakan antara sosiologi statis, dimana perhatian dipusatkan pada aturan-hukum statis yang sebagai dasar adanya rakyat serta sosiologi bergerak maju dimana perhatian dipusatkan tentang perkembangan rakyat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka diantaranya Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya dari menurut Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna buat perkembangan Sosiologi.
Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi aneka macam elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.

Pada tahun 1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology serta memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu masyarakat seperti tubuh insan, menjadi suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap pertarungan antar-kelas sosial sebagai intisari perubahan dan perkembangan masyarakat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yg berupaya menelusuri nilai, agama, tujuan, dan sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia.di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. Sumber!!
Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi termasuk ilmu yg paling muda dibandingkan menggunakan ilmu-ilmu sosial yg terdapat. Sosiologi jua bersumber menurut filsafat. Filsafat adalah induk berdasarkan segala ilmu pengetahuan (mater scientarium) semua ilmu pengetahuan yg kita ketahui selama ini . Filsafat dalam masa itu mencakup jua segala bisnis pemikiran tentang warga . Makin berkembangnya zaman serta tumbuhnya peradaban insan, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat mulai memisahkan diri dan berkembang dari tujuan masing-masing.
Astronomi (ilmu tentang bintang-bintang) serta fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama kali memisahkan diri. Kemudian, diikuti sang ilmu kimia, hayati, serta geologi. Pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru ada, yaitu psikologi (ilmu yg memeriksa perilaku serta sifat-sifat manusia) serta sosilogi (ilmu yang memeriksa masyarakat). Dengan demikian, timbullah sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang di pada proses pertumbuhannya dapat dipisahkan menurut ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, misalnya ekonomi serta sejarah.
Pemikiran terhadap warga serta lambat laun menerima bentuk menjadi suatu ilmu pengetahuan yang dinamakan sosiologi, pertama kali terjadi di Benua Eropa. Banyak usaha dilakukan manusia baik bersifat ilmiah juga nonilmiah yg menciptakan sosiologi menjadi ilmu pengetahuan serta berdiri sendiri.
Beberapa faktor pendorong utama keluarnya sosiologi adalah meningkatnya perhatian terhadap kesejahteraan rakyat serta perubahan-perubahan yang terjadi di pada warga .
sosiologi di Amerika Serikat dihubungkan dengan usaha-bisnis untuk mempertinggi keadaan sosial insan dan sebagai pendorong buat merampungkan duduk perkara yg ditimbulkan sang kehahatan pelanggaran, pelacuran, pengangguran, kemiskinan, perseteruan, peperangan, serta masalah sosial lainnya.
Banyak ahli sepakat bahwa faktor yg melatar belakangi kelahiran sosiologi adalah adanya krisis yg terjadi di dalam rakyat. Laeyendecker, misalnya mengaitkan kelahiran sosiologi menggunakan serangkaian perubahan pada bidang sosial politik. Perubahan berkenaan dengna adanya reformasi Marthin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan terkini, berkembangnya agama dalam diri sendiri, terjadinya Revolusi Industri pada abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Prancis.
Pada abad ke-19 seorang filsuf bangsa Prancis bernama Auguste Comte, sudah menulis beberapa buku yang berisi pendekatan-pendekatan generik buat mengusut masyarakat. Dia beropini bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika. Setiap penelitian dilakukan melalui tahap-termin eksklusif buat mencapai tahap akhir, yaitu Ilmiah. Oleh karena itu, Auguste Comte menyarankan supaya seluruh penelitian terhadap rakyat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang warga yang berdiri sendiri. Dari kondisi tersebut, diartikan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang adalah hasil akhir menurut perkembangan ilmu pengetahuan. Sosilogi lahir pada ketika-ketika terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, sosiologi berdasarkan pada kemajuan-kemajuan yg telah dicapai oleh ilmu pengetahuan lainnya.
Lahirnya sosiologi tercatat dalam tahun 1842, tatkala Auguste Comte menerbitkan buku berjudul Positive-philosophy. Beberapa pandangan krusial yang dikemukakan sang Auguste Comte adalah "aturan kemajuan insan" atau "aturan 3 jenjang", Menurut pandangan ini, sejarah akan melewati 3 jenjang yang mendaki.
1. Jenjang Teologi
Pada jenjang ini, insan mencoba menyebutkan gejal disekitarnya menggunakan mengacu dalam hal-hal yg besifat adikodrati
2. Jenjang Metafisika
pada jenjang ini, insan mengacu dalam kekuatan-kekuatan metafisi atau abstrak.
3. Jenjang Positif
pada jenjang ini, penjelasan tanda-tanda alam ataupun sosial dilakukan menggunakan mengacu dalam deskripsi ilmiah.
Setengah abad setelah Herbert Spencer menyebarkan suatu sistematika penelitian rakyat pada bukunya yg berjudul Priciples of Sociology, istilah sosiologi menjadi lebih terkenal. Berkat jasa Herbert Spencer pula, sosiologi akhirnya berkembang menggunakan pesat. Sosiologi berkembang dengan pesat pada abad ke-20, terutama pada Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat walaupun arah perkembangannya di ketiga negara tadi tidak selaras satu sama lain. Sosilogi kemudian menyebar ke banyak sekali benua serta negara-negara lain termasuk Indonesia.


SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan tentang rakyat, sebagai ilmu empiris yg memperoleh pijakan yg kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir karena terlepas berdasarkan efek filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan sang August Comte (1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari warga . Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yang berkembang menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tersebut disambut hangat sang rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar pada bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal berdasarkan Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menilik masyarakat yang amat berguna buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yg berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu warga seperti tubuh insan, sebagai suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menganggap permasalahan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat sebagai Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, membicarakan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial dalam warga Amerika merupakan perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar untuk maju dan mempunyai kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dilihat sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-disparitas tadi beliau mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, serta wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru pada sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki menjadi “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology merupakan penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan perseteruan social serta sekaligus memberikan rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas pada USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yg mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology serta memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education bisa menjadi sumber data serta informasi ilmiah, dan studi akademis yang bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology pada American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan kiprah pendidikan pada pengembangan rakyat, dimulai lebih kurang tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis pada Negeri Belanda waktu itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi buat memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan dalam ketika itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, dan R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hayati berkelompok, sesuatu yg jua terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni fauna. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit menurut pengelompokan fauna. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan ciri-ciri hidup berkelompok dalam hewan dalam kutipan berikut. 

Pada fauna, hayati berkelompok memiliki cirri-ciri: Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, terdapat komunikasi antar anggota, dan ada subordinat antar individu yg hidup dalam suatu gerombolan dengan individu yang hayati pada kelompok lain. 

Ciri-karakteristik hewan tersebut bisa pula ditemukan pada insan. Kehidupan sosial insan tadi dipelajari oleh filsafat, yg berusaha mencari hakekat warga yang sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan menjadi individu dan manusia sebagai anggota rakyat. Pandangan genre-genre filsafat mengenai empiris sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses hubungan antara dua individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi belia memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yg sistematis terjadi di forum sekolah yang dengan sengaja di bentuk sang rakyat. Perhatian sosiologi dalam pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi dalam kegiatan pendidikan tadi maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan merupakan acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang bertolak pada hubungan antar individu menjadi mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta peserta didik) bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi belia mengembangkan diri. Pengembangan diri tadi dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karenanya aktivitas pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta warga . Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan meliputi semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan famili sangat krusial, karena keluarga adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai berbagi diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan perilaku yang dapat menghipnotis perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan famili. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja dibentuk sang rakyat menggunakan perencanaan serta aplikasi yang mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan jua dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan mini pada rakyat. Seperti kelompok keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang sebagai fokus pada aktivitas ini merupakan aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan masyarakat. Dalam aplikasi pada aneka macam negara diupayakan keseimbangan antara pelestarian serta pengembangan budaya dan rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan warga yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita wajib memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif serta antar kelompok dalam masyrakat tadi. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yg rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya sebagai norma-kebiasaan social yang mengikat kehidupan bermasyarakat serta wajib dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam kebiasaan yg dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme mengakibatkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan warga . Dalam warga misalnya ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu menggunakan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan pengaruh yg kuat. 

Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan pada masyarakat serta kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah menjadi indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota rakyat saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah langsung dan juga merupakan relasi. Kepentingan rakyat secara holistik diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan pada Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber menurut kebiasaan kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (2) kesejahteraan bersama sebagai tujuan hayati bermasyarakat, (3) negara melindungi masyarakat negaranya, serta (4) selaras serasi seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia nir hanya menaikkan kualitas insan secara orang per orang melainkan jua kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan sepakat bahwa, sinkron dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yg pengkajiannya dibutuhkan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, serta pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan dibutuhkan bisa menaruh rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan rakyat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial serta pola-pola interaksi sosial pada pada sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan menggunakan aspek masyarakat lain, yang menyelidiki:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan serta proses kontrol sosial serta sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara serta mendorong proses sosial dan perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan menggunakan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal pada hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-gerombolan dalam rakyat 

2. Hubungan humanisme pada sekolah yang mencakup:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sinkron dengan kebudayaan di luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur warga sekolah.

3. Pengaruh sekolah dalam prilaku anggotanya, yang menilik:
a. Peranan sosial pengajar.
b. Sifat kepribadian guru.
c. Pengaruh kepribadian pengajar terhadap tingkah laris siswa.
d. Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola hubungan antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yg meliputi:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak pada pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis tentang komunitas misalnya tampak terjadi dalam sistem sosial komunitas kaum tidak terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah dan komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tadi sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan pada kaitannya menggunakan holistik hayati rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Mempelajari interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan dengan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta pengaruh pendidikan dalam kehidupan peserta didik”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu mengungkapkan atau memberikan pemahaman tentang kenyataan yg termasuk ke pada ruang lingkup pembahasannya. Untuk diharapkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yg bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan aturan-hukum yg mantap, data dan warta mengenai output penelitian lapangan yg actual, baik berdasarkan lingkungan sendiri juga menurut lingkungan lain, dan fakta tentang kasus serta tantangan yang dihadapi. Dengan fakta yg lengkap dan seksama, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik serta akan bisa menafsirkan fenomena-fenomena yg dihadapi secara akurat. Penjelasan-penerangan itu sanggup disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi serta pertarungan pendidikan yang diperkirakan akan timbul dalam masa yang akan tiba. Sejalan menggunakan itu, tuntutan warga akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal serta eksternal yang masuk ke pada warga melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan warga misalnya perkara lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yg memerlukan dukungan pendidikan, serta masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara umum sosiologi pendidikan bertujuan untuk menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan fenomena-fenomena siosial serta pendidikan, pada rangka mencari contoh-model pendidikan yg lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data dan kabar tentang interaksi sosial di antara orang-orang yg terlibat pada institusi pendidikan dan dampaknya bagi siswa, mengenai interaksi antara lembaga pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta kebiasaan yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, serta adakalanya mereka memiliki interaksi darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat bisa merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun pada arti sempit. Masyarakat dalam arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit contohnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hayati memiliki karakteristik utama, diantaranya: (1) terdapat interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laris warganya diatur sang adapt adat, kebiasaan-norma, hukum, serta aturan-anggaran spesial , (3) ada rasa bukti diri kuat yang mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan daerah, kesatuan adat- istiadat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu sampai kini , karakteristik yg menonjol dari rakyat Indonesia adalah sebagai warga beragam yg beredar pada ribuan pulau pada nusantara. Melalui perjalanan panjang, warga yg berbeda-beda tadi akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu rakyat Indonesia sebagaiu rakyat yang bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai sang 2 karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, istiadat tata cara, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai sang adanya disparitas pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, serta lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar warga Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk gerombolan social atau golongan social jajahan yang tak jarang mempunyai sub-kebudayaan sendiri, (dua) memiliki struktur social yg terbagi-bagi, (3) tak jarang anggota warga atau gerombolan tidak membuatkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara kelompok relative acapkali mengalami perseteruan, (lima) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk oleh suatu gerombolan atas grup-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia sesudah kemerdekaan, utamanya dalam zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai rakyat beragam, maka komunitas dengan ciri-karakteristik unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian juga halnya menggunakan sifat-sifat dasar menurut zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang bertenaga menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia dan kemajuan pada aneka macam bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, sudah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yg semakin kokoh.

Berbagai upaya telah dilakukan menggunakan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin menerima perhatian yang semestinya dengan diantaranya dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya menciptakan “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” pada suatu lokal eksklusif. Dengan demikian akan dapat diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan namun yg memahami serta menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan mengenai masyarakat, menjadi ilmu realitas yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir lantaran terlepas berdasarkan dampak filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam tahun 1839, sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang memepelajari rakyat. Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yg berubah menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya empiris social, maka lahirlah aneka macam cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak menurut tampilnya sejumlah ilmuwan akbar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal dari Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menyelidiki masyarakat yg amat bermanfaat buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial menjadi pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yg tahu masyarakat misalnya tubuh insan, menjadi suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menduga pertarungan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yang menjadi penuntun konduite manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association dalam tahun 1883, Lester Frank Ward, yg berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial pada masyarakat Amerika adalah disparitas dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan pada memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar buat maju serta mempunyai kehidupan yg lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang relatif merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-perbedaan tersebut dia mendesak pemerintahnya supaya menyelenggarakan harus belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar pada USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yg baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan konflik social dan sekaligus menaruh rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti menurut adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education menggunakan focus perhatian dalam penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education mampu sebagai sumber data serta liputan ilmiah, serta studi akademis yg bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yg memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology sebagai Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology sebagai Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education semenjak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai kurang lebih tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda ketika itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas serta semakin tinggi ke arah yg makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, serta R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang pula terdapat pada makhluk hayati lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan insan jauh lebih rumit menurut pengelompokan hewan. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan karakteristik-karakteristik hidup berkelompok pada fauna pada kutipan berikut. 

Pada hewan, hayati berkelompok memiliki cirri-karakteristik: Ada pembagian kerja yg permanen dalam anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yg hidup pada suatu kelompok dengan individu yang hayati dalam kelompok lain. 

Ciri-ciri fauna tadi bisa pula ditemukan dalam manusia. Kehidupan sosial insan tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat rakyat yg sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan sebagai individu dan insan sebagai anggota rakyat. Pandangan aliran-aliran filsafat mengenai realitas sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan beragam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja pada bentuk oleh rakyat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada aktivitas pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau perkiraan dalam penerapan pendidikan yang bertolak dalam hubungan antar individu sebagai mahluk sosial pada kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta siswa) bahkan 2 generasi yg memungkinkan generasi belia berbagi diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karena itu kegiatan pendidikan bisa berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta rakyat. Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan mencakup semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan keluarga sangat krusial, lantaran famili adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai membuatkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai serta sikap yang dapat mensugesti perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yg menggunakan sengaja dibentuk sang warga menggunakan perencanaan serta aplikasi yg mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan pula dipengaruhi oleh aneka macam gerombolan kecil pada rakyat. Seperti gerombolan keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang menjadi penekanan dalam aktivitas ini adalah aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan warga . Dalam pelaksanaan pada banyak sekali negara diupayakan ekuilibrium antara pelestarian serta pengembangan budaya serta rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan masyarakat yg dianut sang suatu bangsa. Untuk tahu kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif dan antar gerombolan dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yang rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya menjadi kebiasaan-norma social yg mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa insan itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja berdasarkan keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menyebabkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam rakyat seperti ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota warga satu dengan yang lain saling berkompetisi sebagai akibatnya mengakibatkan dampak yg kuat. 

Paham kolektivisme menaruh kedudukan yang hiperbola pada masyarakat serta kedudukan anggota rakyat secara perseorangan hanyalah sebagai indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota warga saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya insan adalah eksklusif dan jua adalah relasi. Kepentingan rakyat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber dari kebiasaan kehidupan warga : (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (dua) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, serta (4) selaras harmonis seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan setuju bahwa, sinkron menggunakan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (jua Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, dan pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan diharapkan sanggup memberikan rekomendasi tentang bagaimana harapan serta tuntutan warga mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola hubungan sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yg dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yg memeriksa:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara dan mendorong proses sosial serta perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-grup dalam warga  

2. Hubungan kemanusiaan pada sekolah yang meliputi:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sama dengan kebudayaan pada luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya, yang mengusut:
a. Peranan sosial guru.
b. Sifat kepribadian pengajar.
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku murid.
d. Fungsi sekolah pada pengenalan anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola interaksi antara sekolah dengan grup sosial lain pada pada komunitasnya, yang mencakup:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis mengenai komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum nir terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah serta komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan dalam kaitannya menggunakan holistik hidup rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Menjadi cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Menyelidiki interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan menggunakan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta efek pendidikan dalam kehidupan siswa”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman mengenai fenomena yg termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk dibutuhkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai menurut yg bercorak generalisasi empirik hingga dalil dan hukum-hukum yg mantap, data serta kabar tentang hasil penelitian lapangan yg actual, baik dari lingkungan sendiri juga berdasarkan lingkungan lain, dan fakta mengenai kasus serta tantangan yg dihadapi. Dengan kabar yg lengkap serta akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan bisa menafsirkan kenyataan-fenomena yg dihadapi secara seksama. Penjelasan-penerangan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan syarat dan perseteruan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan menggunakan itu, tuntutan rakyat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yg masuk ke pada masyarakat melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diharapkan pada perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi syarat serta tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani konflik-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan rakyat misalnya masalah lapangan kerja serta pengangguran, permasalahan sosial, kerusakan lingkungan, serta lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, serta perkara penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara generik sosiologi pendidikan bertujuan buat menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan kenyataan-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari contoh-contoh pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara spesifik, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data serta liputan tentang hubungan sosial pada antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara forum pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta norma yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai interaksi darah atau memiliki kepentingan beserta. Masyarakat dapat adalah suatu kesatuan hidup pada arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat pada arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang pada arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat menjadi kesatuan hayati memiliki ciri primer, antara lain: (1) ada interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laku warganya diatur sang adapt adat, norma-kebiasaan, hukum, dan aturan-anggaran khas, (tiga) terdapat rasa bukti diri bertenaga yg mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja serta La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan istiadat- adat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal berdasarkan perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, serta kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu hingga kini , ciri yang menonjol berdasarkan warga Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yg berbeda-beda tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik buat mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu warga yg bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai oleh dua karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai sang adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, norma adat, dan kedaerahan, serta (dua) secara vertical ditandai sang adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (dua) mempunyai struktur social yg terbagi-bagi, (3) sering anggota warga atau kelompok tidak berbagi consensus pada antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara gerombolan relative sering mengalami pertarungan, (lima) terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, (6) adanya penguasaan politiuk sang suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, sudah poly mengalami perubahan. Sebagai masyarakat beragam, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih bisa ditemukan, demikian jua halnya menggunakan sifat-sifat dasar berdasarkan zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yg kuat sebagai suatu warga bangsa Indonesia serta kemajuan pada banyak sekali bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan serta kesatuan yang semakin kokoh.

Berbagai upaya sudah dilakukan dengan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan rakyat Indonesia. Hal terakhir tadi sekarang makin menerima perhatian yg semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan menjadi upaya menciptakan “manusia lokal”, akan namun haruslah didesain serta dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan bisa diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara serta berjiwa nasional akan tetapi yg memahami serta menyatu menggunakan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

FILSAFAT DAN METODOLOGI ILMU DALAM ISLAM DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA

Filsafat Dan Metodologi Ilmu Dalam Islam Dan Penerapannya Di Indonesia
Islam sudah menjadi kajian yang menarik minat banyak kalangan. Studi keislaman pun semakin berkembang. Islam nir lagi dipahami hanya pada pengertian historis serta doktriner, tetapi sudah sebagai fenomena yg kompleks. Islam nir hanya terdiri dari rangkaian petunjuk formal mengenai bagaimana seseorang individu harus memaknai kehidupannya. Islam sudah sebagai sebuah sistem budaya, peradaban, komunitas politik, ekonomi serta bagian sah dari perkembangan global. Mengkaji dan mendekati Islam, nir lagi mungkin hanya berdasarkan satu aspek, karenanya diperlukan metode dan pendekatan interdisipliner.

Kajian agama, termasuk Islam, misalnya disebutkan pada atas dilakukan sang sarjana Barat dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial dan humanities, sebagai akibatnya muncul sejarah kepercayaan , psikologi agama, sosiologi agama, antropologi agama, dan lain-lain. Dalam perjalanan dan pengembangannya, sarjana Barat bukan hanya menjadikan rakyat Barat sebagai lapangan penelitiannya, namun jua warga di negara-negara berkembang, yang lalu memunculkan orientalisme.

Sarjana Barat sebenarnya sudah lebih dahulu serta lebih lama melakukan kajian terhadap kenyataan Islam menurut pelbagai aspek: sosiologis, kultural, konduite politik, doktrin, ekonomi, perkembangan tingkat pendidikan, jaminan keamanan, perawatan kesehatan, perkembangan minat serta kajian intelektual, serta seterusnya.

Sementara itu, agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan pada kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui banyak sekali sudut pandang. Islam khususnya, sebagai kepercayaan yang telah berkembang selama empatbelas abad lebih menyimpan poly banyak kasus yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran kegamaan juga empiris sosial, politik, ekonomi dan budaya. Salah satu sudut pandang yg dapat dikembangkankan bagi pengkajian Islam itu merupakan pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, Islam dapat dipahami pada banyak sekali dimensinya. Betapa banyak dilema umat Islam sampai dalam perkembangannya kini , bisa dipelajari dengan berkaca pada insiden-insiden masa lampau, sebagai akibatnya segala kearifan masa lalu itu memungkinkan buat dijadikan cara lain rujukan di dalam menjawab problem-masalah masa sekarang. Di sinilah arti pentingnya sejarah bagi umat Islam dalam khususnya, apakah sejarah sebagai pengetahuan ataukah dia dijadikan pendekatan didalam mempelajari kepercayaan .

Bila sejarah dijadikan menjadi sesuatu pendekatan buat mempelajari agama, maka sudut pandangnya akan bisa membidik aneka-ragam peristiwa masa lampau. Sebab sejarah menjadi suatu metodologi menekankan perhatiannya pada pemahaman aneka macam gejala dalam dimensi waktu. Aspek kronologis sesuatu gejala, termasuk gejala agama atau keagamaan, merupakan ciri khas pada pada pendekatan sejarah. Lantaran itu penelitian terhadap tanda-tanda-gejala kepercayaan menurut pendekatan ini haruslah dipandang segi-segi prosesnya serta perubahan-perubahannya. Bahkan secara kritis, pendekatan sejarah itu bukanlah sebatas melihat segi pertumbuhan, perkembangan dan keruntuhan mengenai sesuatu peristiwa, melainkan jua mampu memahami tanda-tanda-gejala struktural yg menyertai insiden. Inilah pendekatan sejarah yg sesungguhnya perlu dikembangkan pada pada penelitian masalahmasalah kepercayaan .

Makalah ini berusaha membahas mengenai karakteristik pendekatan sejarah sebagai galat satu pendekatan pada pada Studi Islam menggunakan didahului pembahasan seputar aspek Studi Islam.

A. Studi Islam menjadi Disiplin Ilmu
Munculnya istilah Studi Islam, yang di global Barat dikenal menggunakan kata Islamic Studies, pada global Islam dikenal dengan Dirasah Islamiyah, sesungguhnya telah didahului sang adanya perhatian akbar terhadap disiplin ilmu agama yang terjadi pada abad ke sembilan belas di global Barat. Perhatian ini pada tandai dengan munculnya berbagai karya dalam bidang keagamaan, seperti: kitab Intruduction to The Science of Relegion karya F. Max Muller menurut Jerman (1873); Cernelis P. Tiele (1630-1902), P.D. Chantepie de la Saussay (1848-1920) yang berasal dari Belanda. Inggris melahirkan tokoh Ilmu Agama seperti E. B. Taylor (1838-1919). Perancis mempunyai Lucian Levy Bruhl (1857-1939), Louis Massignon (w. 1958) serta sebagainya. Amirika membuat tokoh misalnya William James (1842-1910) yang dikenal melalui karyanya The Varieties of Relegious Experience (1902). Eropa Timur menampilkan Bronislaw Malinowski (1884-1942) berdasarkan Polandia, Mircea Elaide menurut Rumania. Itulah sebagian nama yg dikenal dalam global ilmu agama, walaupun nir seluruhnya dapat penulis sebutkan di sini.

Tidak hanya pada Barat, pada Asia pun ada beberapa tokoh Ilmu Agama. Di Jepang muncul J. Takakusu yang berjasa memperkenalkan Budhisme pada penghujung abad kesembilan belas serta T. Suzuki dengan sederaetan karya ilmiahnya mengenai Zen Budhisme. India mempunyai S Radhakrishnan selaku pundit Ilmu Agama maupun filsafat India, Moses D. Granaprakasam, Religious Truth an relation between Religions (1950), serta P. D. Devanadan, penulis The Gospel and Renascent Hinduism, yang diterbitkan pada London pada 1959. Serta filsafat analitis.

Berbeda dengan global Barat, Ilmu Agama (baca: Studi Islam) di global Islam telah lama timbul. Dalam global Islam dikenal beberapa tokoh pada banyak sekali disiplin ilmu. Dalam bidang yurisprudensi (hukum) dikenal tokoh seperti Abu Hanifah, Al-Syafi’I, Malik, serta Ahmad bin Hanbal. Dalam bidang ilmu Tafsir dikenal tokoh misalnya Al-Thabary, Ibn Katsir, Al-Zamahsyari, serta sebagainya dalam lebih kurang abad kedua dan keempat hijriyah. Dan akhirnya timbul tokoh-tokoh abad kesembilan belas seperti: Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, serta Abad kedua puluh misalnya Musthafa al-Maraghy, penulis Tafsir al-Maraghy. Di bidang kalam pun timbul tokh-tokoh akbar berdasarkan banyak sekali aliran: Khawarij, Murji’ah, Syi’ah, Asy’ariyah, serta Mu’tazilah. Penulis bidang ini diantaranya; al-Qadhi Abdul Jabbar, penulis al-Mughny dan Syarah al-Ushul al-Khamsah (w. 415 H). Di bidang Tasawuf melahirkan tokoh-tokoh misalnya al-qusyairi yang populer dengan Kitabnya Al-Risalah al-Qusyairiyah (w. 456), Abu Nasr al-Sarraj al-Thusy (w. 378 H), penulis al-Luma’, Al-Kalabadzi, penulis al-ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, Abdul Qadir al-Jailany, penulis kitan Sirr al-Asrar, al-Fath al-Rabbaniy, dan sebagainya.

Walaupun secara realitas studi ilmu kepercayaan (baca: studi Islam [agama]) keberadaannya tidak terbantahkan, namun dikalangan para ahli masih terdapat perdebatan di kurang lebih permasalahan apakah dia (Studi Islam) dapat dimasukkan ke pada bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat serta karakteristik antara ilmu pengetahuan dan kepercayaan tidak selaras. Pembahasan di lebih kurang perseteruan ini banyak dikemukakan oleh para pemikir Islam dewasa ini. Amin Abdullah contohnya menyampaikan apabila penyelenggaraan dan penyampaian Islamic Studies, Studi Islam, atau Dirasah Islamiyah hanya mendengarkan dakwah keagamaan di kelas, kemudian apa bedanya menggunakan kegiatan pengajian dan dakwah yg telah ramai diselenggarakan pada luar bangku sekolah? Merespon sinyalemen tadi menurut Amin Abdullah, pangkal tolak kesulitan pengembangan scope daerah kajian studi Islam atau Dirasah Islamiyah berakar dalam kesukaran seorang agamawan buat membedakan antara yang bersifat normative serta histories. Pada tataran normativ kelihatan Islam kurang pas bila dikatakan menjadi disiplin ilmu, sedangkan untiuk dataran histories nampaknya relevan.

Tidak hanya kesukaran yang dihadapi oleh seorang agamawan saja, melainkan dosen serta pengajar juga mengalami hal yang sama. Banyak dijumpai seorang pengajar atau dosen yang tidak mengerti fungsi dan substansi mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan. Sehingga poly anak didik atau mahasiswa yang nir tahu apa yg mereka pelajari, benar-benar ironis.

Pada tataran normativitas studi Islam agaknya masih banyak terbebani sang misi keagamaan yang bersifat memihak, romantis, serta apologis, sebagai akibatnya kadar muatan analisis, kritis, metodologis, historis, realitas, terutama pada mempelajari teks-teks atau naskah-naskah produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali pada lingkungan para peneliti tertentu yang masih sangat terbatas.

Dengan demikian secara sederhana bisa ditemukan jawabannya bahwa ditinjau menurut segi normatif sebagaimana yg terdapat dalam al-Qur’an serta Hadits, maka Islam lebih merupakan agama yang nir bisa diberlakukan kepadanya paradigma ilmu ilmu pengetahuan yaitu kerangka berpikir analitis, kiritis, metodologis, historis, dan empiris. Sebagai agama, Islam lebih bersifat memihak, romantis, apologis, dan subyektif. Sedangkan jika dilihat menurut segi historis, yakni Islam pada arti yang dipraktekkan sang insan serta tumbuh serta berkembang dalam kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan menjadi sebuah disiplin ilmu, yakni Ilmu Ke-Islaman, Islamic Studies, atau Dirasah Islamiyah. 

Perbedaan pada melihat Islam yg demikian itu dapat mengakibatkan perbedaan pada mengungkapkan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka Islam adalah kepercayaan yg di dalamnya berisi ajaran Tuhan yg berkaitan menggunakan urusan akidah dan mu’amalah. Sedangkan ketika Islam dicermati menurut sudut histories atau sebagaimana yang nampak pada rakyat, maka Islam tampil menjadi sebuah disiplin ilmu (Islamic Studies).

Selanjutnya studi Islam sebagaimana yang dikemukakan di atas, tidak sama jua menggunakan apa yang diklaim menjadi Sains Islam. Sains Islam sebagaimana yang dikemukakan sang Sayyed Husen Nasr merupakan sains yg dikembangkan sang kaum muslimin semenjak abad kedua hijriyah, seperti kedokteran, astronomi, serta lain sebagainya.

Dengan demikian sains Islam meliputi aneka macam pengetahuan terbaru yang dibangun atas arahan nilai-nilai Islami. Sementara studi Islam merupakan pengetahuan yg dirumuskan dari ajaran Islam yang dipraktekkan dalam sejarah dan kehidupan manusia. Sedangkan pengetahuan kepercayaan merupakan pengetahuan yg sepenuhnya diambil dari ajaran-ajaran Allah serta Rasulnya secara murni tanpa dipengaruhi sang sejarah, misalnya ajaran tentang akidah, ibadah, membaca al-Qur’an serta akhlak.

Berdasarkan uraian di atas, berkenaan menggunakan Studi Islam menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri sangat terkait erat dengan duduk perkara metode serta pendekatan yang akan dipakai dalam melakukan pengkajian terhadapnya. Inilah yg sebagai topik utama pada kajian makalah ini. 

Metode serta pendekatan pada Studi Islam mulai diperkenalkan oleh para pemikir Muslim Indonesia sekita tahun 1998 serta menjadi mejadi matakuliah baru menggunakan nama Metodologi Studi Islam (MSI) yang diajarkan di lingkup Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia.

B. Pertumbuhan dan Obyek Studi Islam
Studi Islam, pada masa-masa awal, terutama masa Nabi dan sahabat, dilakukan di Masjid. Pusat-pusat studi Islam sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Sejarawan Islam pada masa ini, berada di Hijaz berpusat Makkah serta Madinah; Irak berpusat di Basrah dan Kufah dan Damaskus. Masing-masing daerah diwakili sang sahabat ternama.

Pada masa keemasan Islam, dalam masa pemerintahan Abbasiyah, studi Islam di pusatkan pada Baghdad, Bait al-Hikmah. Sedangkan pada pemerintahan Islam pada Spanyol pada pusatkan pada Universitas Cordova dalam pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar Al-Dahil. Di Mesir berpusat di Universitas al-Azhar yg didirikan oleh Dinasti Fathimiyah berdasarkan kalangan Syi’ah.

Studi Islam sekarang berkembang hampir pada seluruh negara di dunia, baik Islam maupun yg bukan Islam. Di Indonesia studi Islam dilaksanakan di UIN, IAIN, STAIN. Ada juga sejumlah PTS yg menyelengggarakan Studi Islam seperti Unissula (Semarang) dan Unisba (Bandung).

Studi Islam di negara-negara non Islam diselenggarakan pada beberapa negara, diantaranya di India, Chicago, Los Angeles, London, dan Kanada. Di Aligarch University India, Studi Islam pada bagi mnjadi 2: Islam sebagai doktrin di kaji di Fakultas Ushuluddin yang mempunyai dua jurusan, yaitu Jurusan Madzhab Ahli Sunnah serta Jurusan Madzhab Syi’ah. Sedangkan Islam menurut Aspek sejarah di kaji di Fakultas Humaniora dalam jurusan Islamic Studies. Di Jami’ah Millia Islamia, New Delhi, Islamic Studies Program pada kaji pada Fakultas Humaniora yang membawahi pula Arabic Studies, Persian Studies, serta Political Science.

Di Chicago, Kajian Islam diselenggarakan pada Chicago University. Secara organisatoris, studi Islam berada pada bawah Pusat Studi Timur Tengah serta Jurusan Bahasa, dan Kebudayaan Timur Dekat. Dilembaga ini, kajian Islam lebih mengutamakan kajian mengenai pemikiran Islam, Bahasa Arab, naskah-naskah klasik, dan bahasa-bahasa non-Arab.

Di Amirika, studi Islam dalam umumnya mengutamakan studi sejarah Islam, bahasa-bahasa Islam selain bahasa Arab, sastra serta ilmu-ilmu social. Studi Islam di Amirika berada pada bawah naungan Pusat Studi Timur Tengah dan Timur Dekat.

Di UCLA, studi Islam dibagi menjadi empat komponen. Pertama, doktrin serta sejarah Islam; kedua, bahasa Arab; ketiga, ilmu-ilmu social, sejarah, serta sosiologi. Di London, studi Islam digabungkan dalam School of Oriental and African Studies (Fakultas Studi Ketimuran dan Afrika) yang mempunyai berbagai jurusan bahasa dan kebudayaan pada Asia serta Afrika.

Dengan demikian obyek studi Islam bisa dikelompokkan sebagai beberapa bagian, yaitu, asal-sumber Islam, doktrin Islam, ritual serta institusi Islam, Sejarah Islam, aliran serta pemikiran tokoh, studi daerah, dan bahasa.

C. Metode serta Pendekatan Sejarah dalam Studi Islam
Jika disepakati bahwa Studi Islam (Islamic Studies) sebagai disiplin ilmu tersendiri. Maka telebih dahulu wajib di bedakan antara fenomena, pengetahuan, serta ilmu. 

Setidaknya terdapat dua kenyataan yg dijumpai dalam hidup ini. Pertama, kenyataan yang disepakati (agreed reality), yaitu segala sesuatu yang dipercaya konkret karena kita bersepakat menetapkannya menjadi kenyataan; fenomena yg dialami orang lain dan kita akui menjadi fenomena. Kedua, kenyataan yang didasarkan atas pengalaman kita sendiri (experienced reality). Berdasarkan adanya dua jenis fenomena itu, pegetahuan pun terbagi menjadi 2 macam; pengetahuan yg diperoleh melalui persetujuan serta pengetahuan yg diperoleh melalui pengalaman langsung atau observasi. Pengetahuan pertama diperoleh menggunakan cara mempercayai apa yang dikatakan orang lain karena kita tidak belajar segala sesuatu melalui pengalaman kita sendiri.

Bagaimanapun beragamnya pengetahuan, namun terdapat satu hal yg mesti diingat, bahwa setiap tipe pengetahuan mengajukan tuntutan (claim) supaya orang membentuk apa yang diketahui menjadi sesuatu yg benar (valid) atau benar (true).

Kesahihan pengetahuan benyak bergantung pada sumbernya. Ada dua sumber pengetahuan yg kita peroleh melalui agreement: tradisi dan autoritas. Sumber tradisi merupakan pengetahuan yg diperoleh melalui warisan atau transmisi dari generasi ke generasi (al-tawatur). Sumber pengetahuan kedua merupakan autoritas (authority), yaitu pengetahuan yg didapatkan melalui inovasi-penemuan baru sang mereka yang memiliki kewenangan serta keahlian di bidangnya. Penerimaan autoritas menjadi pengetahuan bergantung dalam status orang yang menemukannya atau menyampaikannya.

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu dalam arti science menunjukkan 2 bentuk pendekatan terhadap kenyataan (reality), baik agreed reality maupun experienced reality, melalui penalaran personal, yaitu pendekatan khusus buat menemukan kenyataan itu. Ilmu menunjukkan pendekatan khusus yg diklaim metodologi, yaitu ilmu buat mengetahui. 

Metode terbaik buat memperoleh pengetahuan adalah metode ilmiah (scientific method). Untuk tahu metode ini terlebih dahulu wajib dipahami pengertian ilmu. Ilmu pada arti science dapat dibedakan dengan ilmu dalam arti pengetahuan (knowledge). Ilmu merupakan pengetahuan yang sistematik. Ilmu mengawali penjelajahannya menurut pengalaman manusia dan berhenti pada batas penglaman itu. Ilmu dalam pengertian ini tidak menilik wacana surga maupun neraka karena keduanya berada diluar jangkauan pengalaman insan. Demikian juga tentang keadaan sebelum dan setelah mangkat , tidak sebagai obyek penjelajahan ilmu. Hal-hal misalnya ini menjadi kajian agama. Tetapi demikian, pengetahuan agama yg telah tersusun secara sistematik, terstruktur, dan berdisiplin, bisa juga dinyatakan sebagai ilmu kepercayaan .

Menurut Ibnu Taimiyyah ilmu apapun mempunyai dua macam sifat: tabi’ serta matbu’. Ilmu yang memiliki sifat yang pertama merupakan ilmu yang keberadaan obyeknya nir memerlukan pengetahuan si subyeknya tentang eksistensi obyek tadi. Sifat ilmu yg kedua, artinya ilmu yg keberadaan obyeknya bergantung dalam pengetahuan serta asa si subyek. 

Berdasarkan teori ilmu di atas, ilmu pada bagi pada dua cabang akbar. Pertama ilmu tentang Tuhan, dan kedua ilmu mengenai makhluk-makhluk kreasi Tuhan. Ilmu pertama melahirkan ilmu kalam atau teology, serta ilmu ke 2 melahirkan ilmu-ilmu tafsir, hadits, fiqh, serta metodologi dalam arti generik. Ilmu-ilmu kealaman dengan menggunakan metode ilmiah termasuk kedalam cabang ilmu kedua ilmu ini.

Ilmu pada kategori kedua, menurut Ibnu Taimiyyah dapat dipersamakan menggunakan ilmu berdasarkan pengertian para pakar ilmu modern, yakni ilmu yang didasarkan atas mekanisme metode ilmiah serta kaidah-kaidahnya. Yang dimaksud metode di sini merupakan cara mengetahui sesuatu menggunakan langkah-langkah yg sistematik. Sedangkan kajian mengenai kaidah-kaidah dalam metode tadi disebut metodologi. Dengan demikian metode ilmiah tak jarang dikenal sebagai proses logico-hipotetico-verifikasi yang merupakan adonan menurut metode deduktif serta induktif. Dalam kontek inilah ilmu kepercayaan dalam Studi Islam (Islamic Studies) yg menjadi disiplin ilmu tersendiri, harus dipelajari dengan memakai mekanisme ilmiah. Yakni harus menggunakan metode serta pendekatan yg sistematis, terukur berdasarkan kondisi-syarat ilmiah.

Dalam studi Islam dikenal adanya beberapa metode yang dipergunakan dalam tahu Islam. Penguasaan serta ketepatan pemilihan metode tidak dapat dipercaya sepele. Lantaran dominasi metode yang tepat bisa menyebabkan seorang dapat berbagi ilmu yg dimilikinya. Sebaliknya mereka yg tidak menguasai metode hanya akan sebagai konsumen ilmu, dan bukan menjadi pembuat. Oleh karena itu disadari bahwa kemampuan dalam menguasai materi keilmuan tertentu perlu diimbangi dengan kemampuan di bidang metodologi sehingga pengetahuan yang dimilikinya bisa dikembangkan.

Diantara metode studi Islam yg pernah terdapat pada sejarah, secara garis besar bisa dibagi sebagai dua. Pertama, metode komparasi, yaitu suatu cara tahu agama dengan membandingkan semua aspek yg ada dalam agama Islam tadi dengan kepercayaan lainnya. Dengan cara yg demikian akan dihasilkan pemahaman Islam yang obyektif dan utuh. Kedua metode buatan, yaitu suatu cara tahu Islam yang memadukan antara metode ilmiah dengan segala cirinya yang rasional, obyektif, kritis, dan seterusnya dengan metode teologis normative. Metode ilmiah digunakan buat memahami Islam yg nampak dalam kenyataan histories, realitas, dan sosiologis. Sedangkan metode teologis normative digunakan buat tahu Islam yang terkandung pada kitab kudus. Melalui metode teologis normative ini seseorang memulainya dari meyakini Islam menjadi kepercayaan kepercayaan yg mutlak sahih. Hal ini di dasarkan kerena agama berasal menurut Tuhan, serta apa yang asal dari Tuhan absolut benar, maka agamapun mutlak benar. Setelah itu dilanjutkan dengan melihat agama sebagaimana norma ajaran yang berkaitan dengan banyak sekali aspek kehidupan insan yang secara keseluruhan diyakini amat ideal.

Metode-metode yg digunakan buat tahu Islam itu suatu saat mungkin dpandang nir relatif lagi, sehingga dibutuhkan adanya pendekatan baru yg harus terus digali oleh para pembaharu. Dalam konteks penelitian, pendekatan-pendekatan (approaches) ini tentu saja mengandung arti satuan dari teori, metode, serta teknik penelitian. Terdapat poly pendekatan yg digunakan dalam memahami kepercayaan . Diantaranya merupakan pendekatan teologis normative, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan, serta pendekatan filodofis. Adapun pendekatan yg dimaksud di sini (bukan pada konteks penelitian), merupakan cara pandang atau paradigma yang masih ada dalam satu bidang ilmu yg selanjutnya digunakan pada tahu kepercayaan . Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rahmat, menandasakan bahwa agama dapat diteliti menggunakan memakai berbagai kerangka berpikir. Realitas keagamaan yg diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sinkron menggunakan kerangka paradigmanya. Lantaran itu tidak terdapat persoalan apakah penelitian kepercayaan itu penelitian ilmu social, penelitian filosofis, atau penelitian legalistic.

Mengenai banyaknya pendekatan ini, penulis nir akan menguraikan secara keseluruhan pendekatan yang terdapat, melaikan hanya pendekatan histories sinkron menggunakan judul pada atas, yakni pendekatan histories.

Sejarah atau histories adalah suatu ilmu yg pada dalamnya dibahas berbagai peristiwa menggunakan memperhatikan unsure loka, waktu, obyek, latar belakang, serta pelaku menurut peristiwa tadi. Menurut ilmu ini segala insiden dapat dilacak menggunakan melihat kapan insiden itu terjadi, pada mana, apa sebabnya, siapa yg terlibat pada insiden tersebut.

Melalui pendekatan sejarah seorang diajak menukik menurut alam idealis ke alam yang bersifat emiris serta mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yg masih ada dalam alam idealis menggunakan yang ada pada alam realitas serta histories.

Pendekatan kesejarahan ini amat diperlukan dalam memahami agama, lantaran gama itu sendiri turun pada situasi yg konkret bahkan berkaitan menggunakan kondisi social kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yg mendalam terhadap agama yg pada hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mengusut al-Qur’an dia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi sebagai dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian ke 2 berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.

Dalam bagian pertama yang berisi konsep ini kita mendapati poly sekali istilah al-Qur’an yang merujuk kepada pengertian-pengertian normative yg khusus, doktrin-doktrin etik, anggaran-anggaran legal, serta ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-kata atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat menurut konsep-konsep yang telah dikenal sang warga Arab dalam waktu al-Qur’an, atau bias jadi adalah kata-kata baru yang dibentuk buat mendukung adanya konsep-konsep relegius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas istilah itu kemudian dintegrasikan ke pada pandangan global al-Qur’an, dan dengan demikian, lalu sebagai onsep-konsep yg otentik.

Dalam bagian pertama ini, kita mengenal banyak sekali konsep baik yang bersifat tak berbentuk maupun konkret. Konsep tentang Allah, Malaikat, Akherat, ma’ruf, munkar, serta sebagainya merupakan termasuk yang abstrak. Sedangkan konsep mengenai fuqara’, masakin, termasuk yang konkret.

Selanjutnya, apabila dalam bagian yg berisi konsep, al-Qur’an bermaksud membangun pemahaman yang komprehensif tentang nilai-nilai Islam, maka pada bagian yg ke 2 yang berisi kisah dan perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan buat memperoleh nasihat. Melalui pendekatan sejarah ini seorang diajak untuk memasuki keadaan yg sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini maka seseorag tidak akan memahami agama keluar menurut konteks historisnya. Seseorang yang ingin tahu al-Qur’an secara sahih misalnya, yg bersangkutan harus memahami sejarah turunnya al-Qur’an atau peristiwa-insiden yg mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya dianggap dengan ilmu asbab al-nuzul yg dalam intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini seseorang akan bisa mengetahui nasihat yg terkadung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan aturan tertentu, serta ditujukan buat memelihara syari’at dari kekeliruan memahaminya.

ILMU DAN TEORI PENGETAHUAN

Ilmu Dan Teori Pengetahuan
1. Tentang Ilmu
Pada prinsipnya ilmu adalah usaha buat mengorganisir serta mensitematisasikan sesuatu. Sesuatu tadi bisa diperoleh dari pengalaman serta pengamatan pada kehidupan sehari-hari. Tetapi sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat serta teliti menggunakan menggunakan aneka macam metode.

Ilmu dapat adalah suatu metode berfikir secara objektif (objective thinking) yg bertujuan buat mendeskripsikan atau memberi makna terhadap global faktual. Hal ini diperoleh melalui proses observasi, eksperimen, dan penjabaran. Sementara analisisnya adalah hal yg objektif dengan menyampingkan unsur pribadi, mengedepankan pemikiran nalar, serta bersikap netral (nir dipengaruhi sang kedirian atau subjektif). 

Pada hakekatnya, ilmu merupakan milik insan secara komprehensif sebagai lukisan atau warta yang lengkap dan konsisten tentang hal-hal yang dipelajarinya dalam ruang dan ketika sejauh jangkauan nalar dan yg dapat diamati pribadi sang panca indera insan. 

Perlu dipahami bahwa ilmu adalah deretan pengetahuan, tetapi bukan kebalikannya, kumpulan ilmu merupakan pengetahuan. Kumpulan pengetahuan supaya bisa dikatakan ilmu harus memenuhi kondisi-kondisi tertentu. Syarat-kondisi yg dimaksudkan merupakan objek material serta objek formal. Setiap bidang ilmu, baik itu khusus maupun filsafat wajib memenuhi kedua objek itu.

Ilmu merupakan suatu bentuk aktiva yg dengan melakukannya umat manusia memperoleh sesuatu yg lebih lengkap serta lebih cermat tentang alam di masa lampau, kini dan kemudian, serta suatu kemampuan yang semakin tinggi buat menyesuaikan dirinya dengan kehidupan. 

Ø Pengertian Ilmu
Dalam upaya memperoleh pemahaman mengenai ilmu serta teori komunikasi, maka pada awal pembahasan yg perlu dipahami bersama merupakan pemahaman tentang apa itu ilmu secara umum. Pasalnya, banyak sekali pengertian yang mampu dikemukakan mengenai ilmu. 

Menurut Mulyadhi Kartanegara, ilmu adalah any organized knowledge atau sekumpulan pengetahuan. Ilmu dan sains menurutnya tidak berbeda, terutama sebelum abad ke-19. Namun, setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi, sedangkan ilmu melampauinya pada bidang-bidang non fisik, seperti metafisika. 

Adapun arti atau definisi ilmu yg terdapat dalam kamus Bahasa Indonesia merupakan : “Suatu pengetahuan tentang suatu bidang yg disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan buat memperlihatkan gejala-tanda-tanda tertentu,” (Admojo, 1998).

Sementara itu, buat lebih jelasnya tentang pengertian dan definisi dari ilmu tersebut, berikut adalah sejumlah definisi ilmu dari para pakar pada antaranya :

”Ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu sistem yg dari dari pengamatan, studi serta percobaan buat menentukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji,” 

Ashley Montagu,
“Ilmu merupakan pengetahuan yg teratur tentang pekerjaan aturan kausal dalam suatu golongan masalah yg sama tabiatnya, maupun berdasarkan kedudukannya tampak menurut luar, juga menurut bangunannya berdasarkan dalam,”

Mohammad Hatta,
”Ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang disistemasikan serta suatu pendekatan atau metode pendekatan terhadap semua global empiris yaitu global yg terikat oleh faktor ruang dan saat, global yang dalam prinsipnya bisa diamati sang panca indera insan,

Harsojo, 
”Ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif serta konsisten tentang liputan pengalaman dengan kata yang sederhana,”

Karl Pearson,
”Ilmu adalah pengetahuan insan tentang alam, masyarakat dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, katagori serta aturan-hukum, yang ketetapannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis,”

Afanasyef,
“Ilmu merupakan sesuatu yang empiris, rasional, generik dan sistematik, serta ke empatnya serentak,”

Ralph Ross dan Ernest Van Den Haag,
Dari sejumlah pengertian pada atas bisa disimpulkan bahwa ilmu pada dasarnya, pengetahuan tentang sesuatu hal atau kenyataan, baik yg menyangkut alam atau sosial yg diperoleh insan melalui proses berfikir. 

Itu adalah bahwa setiap ilmu merupakan pengetahun mengenai sesuatu yang menjadi objek kajian menurut ilmu terkait. Selain itu, pengertian ilmu jua identik menggunakan global ilmiah, karena itu ilmu menandakan 3 karakteristik, di antaranya :
1. Ilmu harus merupakan suatu pengetahuan yg didasarkan pada akal.
2. Ilmu harus terorganisasikan secara sistematis.
3. Ilmu harus berlaku umum.

Ø Dasar Ilmu 
Rasa ingin tahu tentang insiden-insiden yg terjadi di alam sekitarnya dapat bersifat sederhana dan juga dapat bersifat kompleks. Rasa ingin memahami yg bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin tahu mengenai apa (ontologi), sedangkan rasa ingin memahami yg bersifat kompleks mencakup bagaimana peristiwa tersebut bisa terjadi serta mengapa peristiwa itu terjadi (epistemologi), serta buat apa peristiwa tersebut dipelajari (aksiologi). 

Ke tiga landasan tadi yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi merupakan karakteristik khusus pada penyusunan suatu ilmu. Ketiga landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak sanggup dipisahkan antara satu menggunakan lainnya. Berbagai usaha untuk dapat mencapai atau memecahkan peristiwa yg terjadi di alam atau lingkungan sekitarnya.

Adapun dasar ontologi ilmu meliputi seluruh aspek kehidupan yg bisa diuji oleh panca indera manusia. Jadi, masih dalam jangkauan pengalaman insan atau bersifat realitas. Adapun objek empiris bisa berupa objek material misalnya wangsit-ide, nilai-nilai, tumbuhan, hewan, batu-batuan dan insan itu sendiri. 

Ontologi adalah salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno. Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu, Supriyanto (2003) mengemukakan terdapat dua (2) perkiraan yang perlu diperhatikan, yakni :
  • Asumsi pertama, adalah suatu objek mampu dikelompokkan dari kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi dan kuantitatif perkiraan. 
  • Asumsi kedua, merupakan kelestarian nisbi ialah ilmu nir mengalami perubahan pada periode tertentu (dalam waktu singkat). Asumsi ketiga yaitu determinasi merupakan ilmu menganut pola eksklusif atau nir terjadi secara kebetulan. 
Sementara epistemologi atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas sejumlah besar pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. 

Sebagian ciri yg patut menerima perhatian dalam epistemologi perkembangan ilmu pada masa terkini merupakan munculnya pandangan baru tentang ilmu pengetahuan. Pandangan itu adalah kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan paripurna tidak boleh mencari laba , tetapi harus bersikap kontemplatif, diganti dengan pandangan bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari laba , adalah digunakan buat memperkuat kemampuan insan di bumi ini (Bakhtiar, 2005).

Sedangkan dasar aksiologi berarti sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yg diperoleh, seberapa akbar sumbangan ilmu bagi kebutuhan umat insan. Dasar aksiologi ini merupakan sesuatu yang paling krusial bagi insan karena dengan ilmu segala keperluan dan kebutuhan insan menjadi terpenuhi secara lebih cepat serta lebih gampang. 

Berdasarkan aksiologi, ilmu terlihat kentara bahwa pertarungan yg utama merupakan mengenai nilai. Nilai yg dimaksud merupakan sesuatu yang dimiliki insan buat melakukan aneka macam pertimbangan mengenai apa yang dievaluasi.

Teori tentang nilai ini dalam filsafat mengacu pada konflik etika dan estetika. Etika mengandung 2 arti yaitu formasi pengetahuan tentang evaluasi terhadap perbuatan insan dan adalah suatu predikat yg dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai mengenai pengalaman keindahan yang dimiliki sang insan terhadap lingkungan dan fenomena disekelilingnya.

Ø Prosedur Pencarian Ilmu
Salah satu ciri khas ilmu pengetahuan adalah sebagai suatu aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yg dilakukan secara sadar oleh insan. Ilmu menganut pola tertentu serta nir terjadi secara kebetulan. Ilmu nir saja melibatkan kegiatan tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga dengan demikian adalah suatu proses. 

Proses pada rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual, serta mengarah dalam tujuan-tujuan eksklusif. Disamping ilmu menjadi kegiatan, pula menjadi suatu produk. Dalam hal ini ilmu dapat diartikan sebagai formasi pengetahuan yang merupakan hasil berpikir manusia. 

Kedua ciri dasar ilmu yaitu wujud aktivitas insan serta output aktivitas tadi, adalah sisi yang nir terpisahkan menurut karakteristik ketiga yang dimiliki ilmu yaitu menjadi suatu metode. Metode ilmiah merupakan suatu mekanisme yang mencakup banyak sekali tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah buat memperoleh pengetahuan baru atau menyebarkan pengetahuan yg sudah terdapat. 

Perkembangan ilmu sekarang ini dilakukan pada wujud eksperimen. Menurut Tjahyadi (2005) eksperimentasi ilmu kealaman bisa menjangkau objek potensi-potensi alam yang semula sulit diamati. Pada umumnya metodologi yg digunakan pada ilmu kealaman dianggap daur-empirik. Hal ini menerangkan pada 2 hal yang utama, yaitu daur yang mengandaikan adanya suatu kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang, serta empirik memberitahuakn dalam sifat bahan yg diselidiki, yaitu hal-hal yg dalam tingkatan pertama dapat diregistrasi secara indrawi. 

Dikemukakan Soeprapto (2003) metode siklus-empirik mencakup 5 (lima) tahapan yg dianggap observasi, induksi, konklusi, eksperimen, dan evaluasi. Sifat ilmiahnya terletak pada kelangsungan proses yang runut menurut segenap tahapan mekanisme ilmiah tersebut, meskipun dalam prakteknya tahap-termin kerja tadi sering kali dilakukan secara bersamaan. 

Ø Dimensi Ilmu
Ilmu pada usahanya buat menyingkap rahasia-misteri alam haruslah mengetahui asumsi-anggapan kefilsafatan mengenai alam tadi. Penegasan ilmu diletakkan dalam tolok ukur berdasarkan sisi atau dimensi fenomenal dan dimensi struktural. 

§ Dimensi Fenomenal
Dalam dimensi fenomenal, ilmu menampakkan diri dalam hal-hal berikut :
1. Masyarakat yaitu suatu rakyat yang elit yg pada hidup kesehariannya sangat konsern dalam kaidah-kaidah universaI, komunalisme, disinterestedness, serta skeptisme yg terarah serta teratur.
2. Proses yaitu olah krida aktivitas masyarakat elit yang dilakukan melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimentasi, komparasi, dan sebagainya tidak pernah mengenal titik henti buat mencari dan menemukan kebenaran ilmiah.
3. Produk yaitu output berdasarkan aktivitas tadi berupa dalil-dalil, teori, dan kerangka berpikir-paradigma bersama output penerapannya, baik yang bersifat fisik, juga non fisik. 

§ Dimensi Struktural
Dalam dimensi struktural, ilmu tersusun atas komponen-komponen menjadi berikut :
1. Objek target yang ingin diketahui.
2. Objek target terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti.
3. Ada alasan serta dengan sarana serta cara eksklusif objek target tadi terus menerus dipertanyakan.
4. Temuan-temuan yg diperoleh selangkah demi selangkah disusun pulang dalam satu kesatuan sistem.

Sementara itu, ilmu bisa dikelompokkan menjadi tiga yaitu Ilmu Pengetahuan Abstrak, Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Humanis. Secara rinci misalnya skema di bawah ini :

Berdasarkan skema pada atas terlihat bahwa ilmu melingkupi tiga bidang pokok yaitu ilmu pengetahuan tak berbentuk, ilmu pengetahuan alam serta ilmu pengetahuan humanis. 

Ilmu pengetahuan tak berbentuk meliputi metafisika, akal, dan matematika. Ilmu pengetahuan alam mencakup Fisika, kimia, biologi, kedokteran, geografi, dan lain sebagainya. Ilmu pengetahuan humanis mencakup psikologi, sosiologi, antropologi, hukum serta lain sebagainya.

2.  Tentang Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan dari dari istilah pada bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa difinisi pengetahuan merupakan kepercayaan yg sahih (knowledge is justified true belief). 

Sedangkan secara terminologi, pengetahuan terdiri atas sejumlah definisi, pada antaranya :
1. Pengetahuan merupakan apa yang diketahui atau output pekerjaan tahu. Pekerjaan memahami tersebut merupakan hasil berdasarkan kenal, sadar, insaf, mengerti dan pintar. Pengetahuan itu merupakan semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan adalah output proses berdasarkan usaha manusia buat tahu. 

2. Pengetahuan merupakan proses kehidupan yg diketahui manusia secara eksklusif berdasarkan kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) pada dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sebagai akibatnya yang mengetahui itu menyusun yg diketahui pada dirinya sendiri pada kesatuan aktif.

3. Pengetahuan merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk didalamnya ilmu, seni dan kepercayaan . Pengetahuan ini adalah khasanah kekayaan mental yang secara pribadi dan tidak eksklusif memperkaya kehidupan manusia. 

Pada dasarnya pengetahuan adalah output tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia buat memahami suatu objek eksklusif. Pengetahuan bisa berwujud barang-barang, baik lewat alat maupun lewat logika, dapat juga objek yg dipahami berbentuk ideal, atau yang bersangkutan dengan kasus kejiwaan.

Pengetahuan merupakan holistik pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik juga fisik, juga merupakan berita berupa common sense, tanpa metode dan mekanisme tertentu, tetapi berakar dalam istiadat serta tradisi yg sebagai kebiasaan serta dilakukan secara pengulangan-pengulangan. 

Dengan demikian, maka landasan berdasarkan pengetahuan tersebut sebagai kurang bertenaga sebagai akibatnya cenderung kabur serta samar-samar. Menurut Supriyanto (2003) pengetahuan tidak teruji karena konklusi ditarik dari asumsi yg nir teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error dan dari pengalaman belaka. 

Adapun ruang Lingkup pengetahuan secara ontologi, epistomologi serta aksiologi tadi ada tiga (3) jenis, yaitu Ilmu, Agama serta Seni, misalnya yang tergambar pada skema di bawah ini :


Ø Jenis Pengetahuan
Menurut Crose (pada Paryati Sudarman, 2008) pengetahuan setidaknya dapat dibagi ke dalam 2 jenis utama, yaitu, 1) Pengetahuan logis; dan 2) Pengetahuan intuitif. 

1. Pengetahuan Logis
Merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu hal yg secara logis dapat diulang (scientific object). Contohnya, secara logis bola itu bundar , maka dimana pun bola itu dibentuk, akan tetap diulang-ulang dalam bentuk bulat. Asumsinya, bila nir bulat, maka itu bukan bola.

2. Pengetahuan intuitif 
Merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan sesuatu hal yang unik dan bersifat individual (aesthetic object). Pada bidang-bidang seni termasuk menulis, pengetahuan intuitif sangat berperan. Pengetahuan intuitif sulit buat dijelaskan secara akal, lantaran memang sifatnya yang personal. Sebagai akibat dari pengetahuan intuitif terutama dalam bidang seni, berkaitan erat menggunakan estetika (estetis) yang tidak bisa dikonseptualkan, melainkan bersifat segera dan pribadi dapat dirasakan. Pengetahuan yang berkaitan dengan intuitif, biasanya berkaitan menggunakan pengalaman dan refleksi diri. Sedangkan estetis umumnya berkaitan menggunakan pengalaman. Dengan demikian, masing-masing menurut individu memiliki pengetahuan intuitif yang bhineka, sebagai akibatnya akan menghasilkan karya yg bhineka pula.

3. Tentang Ilmu Pengetahuan
Pada awalnya yg pertama muncul merupakan filsafat serta ilmu-ilmu khusus merupakan bagian dari filsafat. Sehingga dikatakan bahwa filsafat merupakan induk atau ibu menurut seluruh ilmu (mater scientiarum). Lantaran objek material filsafat bersifat generik yaitu seluruh kenyataan, ad interim ilmu-ilmu membutuhkan objek spesifik, maka hal ini menyebabkan berpisahnya ilmu berdasarkan filsafat. 

Meskipun dalam perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri menurut filsafat, ini tidak berarti hubungan filsafat dengan ilmu-ilmu spesifik sebagai terputus. Dengan karakteristik kekhususan yg dimiliki setiap ilmu, hal ini mengakibatkan batas-batas yang tegas di antara masing-masing ilmu. 

Dengan kata lain, tidak ada bidang pengetahuan yang menjadi penghubung ilmu-ilmu yang terpisah. Di sinilah filsafat berusaha buat menyatu padukan masing-masing ilmu. Dengan demikian, maka filsafat merupakan mengatasi spesialisasi serta merumuskan suatu pandangan hidup yang didasarkan atas pengalaman kemanusian yang luas. 

Lagipula, terdapat hubungan timbal pulang antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah bila pembahasannya nir ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu dewasa ini dapat menyediakan bagi filsafat sejumlah besar bahan yang berupa liputan-fakta yg sangat krusial bagi perkembangan ilham-inspirasi filsafati yang tepat sehingga sejalan menggunakan pengetahuan ilmiah (Siswomihardjo, 2003).

Dalam perkembangan selanjutnya, filsafat nir saja dilihat sebagai induk atau asal menurut segala sumber ilmu, tetapi telah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang jua mengalami proses spesialisasi. 

Dalam taraf peralihan inilah maka filsafat nir meliputi keseluruhan, namun sudah menjadi sektoral. Contohnya filsafat agama, filsafat hukum, serta filsafat ilmu, merupakan bagian berdasarkan perkembangan filsafat yang telah menjadi sektoral dan terkotak pada satu bidang eksklusif. 

Dalam konteks inilah maka kemudian ilmu menjadi kajian filsafat sangat relevan buat dikaji serta didalami secara lebih komprehensif (Bakhtiar, 2005).

Ø Pengertian Ilmu Pengetahuan
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan bersama definisinya ternyata nir semudah menggunakan yang diperkirakan. Adanya banyak sekali definisi mengenai ilmu pengetahuan ternyata belum bisa menolong buat tahu hakikat ilmu pengetahuan itu. Sekarang orang lebih berkepentingan menggunakan mengadakan penggolongan (klasifikasi) sehingga garis demarkasi antara (cabang) ilmu yang satu menggunakan yang lainnya menjadi lebih diperhatikan. 

Berdasarkan definisi pada atas terlihat jelas ada hal prinsip yg berbeda antara ilmu dengan pengetahuan. Seperti yg dikemukakan sebelumnya, pengetahuan merupakan holistik pengetahuan yg belum tersusun, baik mengenai matafisik juga fisik. Adapun pembuktian kebenarannya dari penalaran nalar atau rasional atau memakai akal deduktif. Premis dan proposisi sebelumnya sebagai acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan logika deduktif ini seringkali pengetahuan yg diperoleh tidak sesuai dengan warta. 

Jika dianalogikan, ilmu misalnya sapu lidi, yakni sebagian lidi yg sudah diraut dan dipotong ujung dan pangkalnya kemudian diikat, sehingga sebagai sapu lidi. Sedangkan pengetahuan adalah lidi-lidi yg masih berserakan di pohon kelapa, pada pasar, dan tempat lainnya yg belum tersusun menggunakan baik. 

Ø Objek Ilmu Pengetahuan 
Kumpulan pengetahuan supaya bisa dikatakan ilmu wajib memenuhi kondisi-kondisi tertentu. Syarat-syarat yg dimaksudkan merupakan objek material dan formal. Setiap bidang ilmu, baik itu khusus atau filsafat wajib memenuhi kedua objek itu.

Objek material merupakan sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran (Gegenstand), sesuatu hal yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material meliputi hal konkrit contohnya manusia, tanaman , bebatuan, tanah, ataupun hal-hal yg tak berbentuk seperti ide-wangsit, nilai-nilai, dan kerohanian. 

Objek formal merupakan cara memandang, meninjau yang dilakukan peneliti terhadap objek materialnya dan prinsip yang digunakannya. Objek formal dari suatu ilmu nir hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tapi dalam saat yang sama membedakannya berdasarkan bidang lain. Satu objek material mampu ditinjau menurut berbagai sudut pandang sebagai akibatnya mengakibatkan ilmu yang tidak sama (Mudhofir, 2005). 

Ø Sumber Ilmu Pengetahuan
Dikemukakan Paryati Sudarman (2008) dalam bukunya ”Menulis di Media Massa”, pada ajaran Islam, ilmu pengetahuan bisa diperoleh dari berbagai asal, pada antaranya :

1. Lnsting (Gharizah)
Ilmu pengetahuan yg dimiliki insan sejak lahir. Ilmu pengetahuan ini adalah bekal kehidupan yang diberikan eksklusif menurut Allah. Menurut Prof. Haidar Putra, pengetahuan jenis ini nir perlu diajarkan, setiap orang secara instinktif sudah memilikinya (Haidar Putra, 2007:187). Seperti menyukai versus jenis/cinta kasih, rasa haus, serta lain-lain.

2. Indra
Ilmu pengetahuan yang kita peroleh menurut panca indra kita. Seperti berdasarkan penglihatan, penciuman, perabaan, dan indra lainnya, merupakan bagian berdasarkan asal pengetahuan. AI-Qur'an menyuruh insan buat mempergunakan indranya.

3. Akal
Bagian terpenting dalam proses berpikir. Para inovator menemukan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat insan karena berpikir, memakai akalnya. Menurut Haidar Putra, para filosof memakai nalar dengan tinggi-tingginya, sehingga sampai ke taraf akal mustafad. Akal mustafad adalah tingkatan nalar tertinggi yang dimiliki oleh seorang setelah tingkatan akal potensial serta aktual.

4. Pengalaman
Setiap orang memiliki pengalaman yg bhineka, serta setiap orang mempunyai pengalaman yang unik dan menarik. Semua itu bisa diungkapkan serta ditulis buat memenuhi kebutuhan media massa.

5. Intuitif
Pengetahuan yang kita peroleh tanpa penalaran. Jujun Suriasumantri mendeskripsikan seseorang yg sedang terpusat pemikirannya pada suatu perkara tiba-tiba saja menemukanjawaban atas perseteruan tadi tanpa melalui proses berpikir yg berliku-liku, datang-tiba saja dia hingga pada situ (Suriasumantri, 1982:53).

6. Qalbu
Pangkal dari segala rasa. Para pemikir Islam dan para Sufi, banyak mempergunakan qolbunya buat mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga menerima ilmu. Metodenya umumnya dengan membersihkan hati dari berbagai macam rasa yang tercela, sebagai akibatnya hati peka, dan mudah tahu serta memecahkan banyak sekali masalah.

7. Wahyu
Merupakan ajaran nabi yg bersumber berdasarkan Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dalam Wahyu tadi, tersimpan banyak sekali liputan, baik berupa perintah, embargo/ tamsil, serta lain lain, yang berguna bagi kehidupan umat insan.

8. Mimpi 
Sebagian rasul mendapatkan wahyu menurut mimpi. Seperti Nabi Ibrahim waktu mendapat perintah buat mengorbankan anaknya. Para Rasul dan orang sadiqin, mempunyai mimpi yang sahih (Ar-Rii'ya Ash-Shadiqah), yang bisa dijadikan sebagai asal ilmu pengetahuan.

Ø Syarat Ilmu Pengetahuan
Pada umumnya ilmu pengetahuan mempunyai 4 (empat) syarat yang absolut, pada antaranya, 1) objektif; dua) sistematis; 3) universal; dan 4) metodologis. 

1. Objektif
Syarat yg pertama ini mengandung arti bahwa ilmu pengetahuan memiliki objek tertentu. Misalnya objek ilmu komunikasi, secara formal objek ilmu komunikasi merupakan pernyataan antarmanusia, sedangkan objek materialnya merupakan insan serta kehidupannya.

2. Sistematis
Artinya bahwa pengetahuan adalah sesuatu yg dapat kita sistemkan sehingga menjadi satu kesatuan yg tak terpisahkan. Misalnya pengetahuan tentang insan, insan terdiri atas jiwa dan raga. Raga insan terdiri atas tulang, daging, otot, darah serta organ-organ lainnya, yang mana masing-masing organ tersebut satu sama lain tak mampu terpisahkan. Jika keliru satu terpisahkan dari sistem yg dimaksud maka pengetahuan kita pun berubah. Misalnya jika seorang telah tidak bernyawa lagi atau mangkat , maka pengetahuan menyebutnya bukan lagi sebagai insan namun berubah sebagai mayat.

3. Universal
Artinya ilmu pengetahuan bersifat umum, diterima secara universal. Misalnya semua orang setuju bahwa garam cita rasanya asin, gula cita rasanya cantik, matahari terbit menurut arah timur dan karam di arah barat. Apabila garam cita rasanya cantik, gula cita rasanya asin, tentu secara umum hal ini ditolak dan ini bukanlah suatu pengetahuan yang sahih, melainkan kesalahan berpikir lantaran bertentangan dengan kesepakatan umum.

4. Metodologis
Artinya bahwa ilmu pengetahuan diperoleh menggunakan menggunakan metode atau cara-cara eksklusif. Misalnya untuk memperoleh pengetahuan mengenai komunikasi, secara bahasa, komunikasi asal menurut bahasa Inggris, communication, yang bersumber dari bahasa Latin "communis", yg artinya sama. Sama di sini adalah sama makna. Jadi, sesuatu dapat dikatakan komunikasi bila di antara pelaku komunikasi (baik penyampai pesan maupun penerima pesan) terjadi persamaan makna tentang sesuatu hal yg disampaikannya.

Ø Cara Memeroleh Ilmu Pengetahuan
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan biasanya terdapat beberapa cara yg sanggup kita lakukan. Pada umumnya ilmu pengetahuan kita peroleh melalui pendidikan. Baik pendidikan formal, informal juga pendidikan nonformal. 

Pendidikan formal yaitu pendidikan yg diselenggarakan oleh forum pendidikan secara formal. Seperti pendidikan yg pernah kita lalui dari bangku taman kanak-kanak, sekolah dasar bahkan hingga perguruan tinggi. Pendidikan nonformal yaitu pendidikan yg kita peroleh di luar pendidikan formal. Seperti pendidikan yg diperoleh menurut lingkungan famili, menurut pergaulan di rakyat, dan yang krusial merupakan dari membaca atau iqra’. 

Kata Iqra' (bacalah) nir akan diletakkan pada awal kalimat perintah-Nya bila makna yg dikandungnya nir sedemikian krusial. Ada 2 jenis membaca pada hal ini, yakni membaca secara tekstual dan membaca secara kontekstual. 

Membaca tekstual merupakan membaca menurut buku-buku atau referensi-referensi lain yg sudah ditulis oleh orang lain. Leo Fay (1980), seseorang peneliti dan pakar pendidikan yang pula mantan Presiden Internasional Reading Association, berkata "read is prossess a power for transcending whatever physical power human can master". 

Sedangkan yg dimaksud dengan membaca kontekstual adalah membaca yg berkaitan dengan membaca situasi, syarat, keadaan atau kenyataan-fenomena apa saja yg terjadi pada lebih kurang lingkungan atau kehidupan. 

Ø Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan
Perbedaan yang paling signifikan antara ilmu menggunakan pengetahuan adalah pengetahuan diartikan hanyalah sekadar “tahu”, yaitu hasil memahami berdasarkan bisnis insan buat menjawab pertanyaan “what”, contohnya apa tanah, apa bahari, apa air, dan sebagainya. Sedangkan ilmu bukan hanya sekadar dapat menjawab “apa” tetapi akan dapat menjawab “mengapa” dan “bagaimana” (why serta how). Misalnya mengapa laut lebih luas berdasarkan daratan, atau mengapa gunung bisa meletus, serta sebagainya.

Berdasarkan warta di atas terlihat kentara terdapat hal prinsip yg tidak selaras antara ilmu menggunakan pengetahuan. Pengetahuan adalah holistik pengetahuan yg belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Pengetahuan juga dapat dikatakan, kabar yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme eksklusif. Pengetahuan berakar dalam adat serta tradisi yg sebagai norma serta pengulangan-pengulangan. 

Hal ini menerangkan, landasan pengetahuan kurang bertenaga cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji karena kesimpulan ditarik menurut perkiraan yang nir teruji lebih dahulu. Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error serta berdasarkan pengalaman belaka (Supriyanto, 2003). 

Pembuktian kebenaran pengetahuan berdasarkan penalaran logika atau rasional atau menggunakan akal deduktif. Premis serta proposisi sebelumnya menjadi acuan berpikir rasionalisme. Kelemahan akal deduktif ini di antaranya, seringkali sekali pengetahuan yang diperoleh nir sinkron dengan fakta. 

Ø Komunikasi Sebagai Ilmu Pengetahuan
Dalam kaitannya menggunakan pemahaman ilmu pengetahuan pada atas, ilmu komunikasi sering menerima keraguan dalam eksistensi serta keeksistensiannya menjadi ilmu pada tengah kemajuan teknologi berita ketika ini. Hal ini mungkin salah satunya disebabkan perkembangan historis komunikasi menjadi sebuah ilmu melalui tahapan dimensi ketika yang terlalu jauh bila merujuk dalam pemahaman catatan sejarah perkembangan ilmu komunikasi pada daratan Amerika. 

Perkembangan komunikasi sebagai ilmu selalu dikaitkan dengan aktifitas retorika yg terjadi di zaman Yunani antik, sehingga menimbulkan pemahaman bagi pemikir-pemikir barat bahwa perkembangan komunikasi pada zaman itu mengalami masa kegelapan (dark ages) karena tidak berkembang di zaman Romawi antik. Dan baru mulai dicatat perkembangannya pada masa ditemukannya mesin cetak sang Guttenberg (1457). 

Sehingga masalah yg timbul adalah, rentang saat antara perkembangan ilmu komunikasi yg awalnya dikenal retorika dalam masa Yunani kuno, hingga dalam pencatatan sejarah komunikasi pada masa pemikiran tokoh-tokoh pada abad 19, sangat jauh. Sehingga mengakibatkan sejarah perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri terputus kira-kira 1400 tahun. 

Padahal menurut catatan lain, sebenarnya aktifitas retorika yg dilakukan dalam jaman Yunani antik jua dilanjutkan perkembangan aktifitasnya dalam jaman pertengahan (masa persebaran kepercayaan ). Sehingga menyebabkan asumsi bahwa perkembangan komunikasi itu menjadi sebuah ilmu tidak pernah terputus, ialah tidak terdapat mata rantai sejarah yg hilang pada perkembangan komunikasi. 

Dengan demikian, jaman persebaran agama yg berlangsung antara rentang waktu tersebut (zaman pertengahan) menjadi bagian dari perkembangan ilmu komunikasi. Sehingga jaman pertengahan menjadi jembatan alur perkembangan komunikasi menurut zaman yunani kuno ke zaman renaissance, terbaru, serta kontemporer.

Pada awalnya, perkembangan komunikasi yg terjadi di jaman Romawi (sebagai perkembangan berdasarkan Yunani kuno sekitar tahun 500 SM-5 M) mengalami kendala, karena dalam masa itu Romawi mengalami masa kegelapan (dark ages). Padahal, masa kegelapan yg terjadi pada Eropa tadi merupakan sisi lain dari masa keemasan peradaban Islam, dimana pada masa itu perkembangan ilmu pengetahuan (termasuk aktifitas komunikasi) cukup signifikan. 

Selain itu, perkembangan komunikasi pula sangat maju pesat pada Cina yg sudah dimulai dalam tahun 550 SM. Memang, aktifitas komunkasi dalam bentuk retorika yg berlangsung pada Cina dan Islam ini lebih menekankan pada penyebaran ajaran dan keyakinan. Berbeda di Yunani dan Romawi yg lebih bersifat politis. 

Salah satu ajaran yg berkembang yaitu ajaran konfusiunisme di Cina. Kong hu Cu (bagian berdasarkan konfusianisme) lahir dalam sekitar 550 SM yg ajarannya telah berusia 2000 tahun. Konfusius mulai mengajarkan filsafat hidupnya waktu Cina masih terpecah-pecah. 

Dalam penyebarannya, komunikasi yang dilakukan sudah sangat maju sehabis ditemukannya kertas sang Ts’ai Lun (105 M). Namun, ketika dinasti Qin (215 SM-206 SM), kaisar Qin Shi Hung melarang ajaran Konfusianisme, sehingga banyak kitab -kitab yang dibakar. Tetapi, saat masa dinasti Han (206 SM-220 M), konfusianisme mulai mencapai masa emasnya kembali. 

Misalnya dengan didirikannya semacam Imperial University yg meninggalkan sejumlah buku ajaran konfusianisme, misalnya kitab Shi Ching (formasi lagu-lagu), Shu Ching (dokumen-dokumen), I Ching (kitab ahli ramalan), Ch’un Ch’iu (peristiwa krusial), dan Li Chi (upacara-upacara).

Konfusianisme ini berlangsung cukup lama sampai dalam masa jatuhnya dinasti Ching (1644-1911). Hal ini mengidentifikasikan bahwa adanya proses perkembangan komunikasi yg lebih condong pada penyebaran ajaran-ajaran konfusianisme pada Cina.

Aktifitas komunikasi dalam bentuk propaganda juga sudah ada pada jaman Isa Al-Masih. Isa yang dalam waktu itu ingin mengajarkan ajaran Allah Swt, menerima tantangan berdasarkan kaum Yahudi. Ia dipercaya figur yg sangat berbahaya serta membahayakan eksistensi bangsa Yahudi, sebagai akibatnya orang-orang Yahudi tersebut berusaha memancing kemarahan pihak penguasa Romawi yg waktu itu menguasai Palestina.

Akhirnya, usaha tersebut berhasil memengaruhi sikap politik penguasa Romawi yg dalam awalnya nir ikut campur pada keagamaan, sekarang berubah haluan menggunakan memerintahkan tentaranya untuk menangkap Isa As dan menghukumnya. 

Namun, catatan sejarah menampakan bahwa sebenarnya Isa As tidak mati terkutuk pada tiang salib, dia berhasil diselamatkan oleh Pilatus yang sudah berafiliasi dengan yusuf Aritmatea (Injil Yahya, 19:38). Setelah menerangkan bukti-bukti kepada muridnya bahwa beliau nir meninggal pada kayu salib (Injil Markus, 16:19-20), maka Al Masih tetapkan atas perintah Allah buat meninggalkan Palestina dan menjelajahi aneka macam negeri dimana berdiam suku-suku Israil yg hilang buat melanjutkan menyampaikan risalah-Nya (berdakwah) (buku Ester 3:6, 1:1, dua:6, dan II Raja-raja 15:29). 

Negeri terakhir dimana loka peristirahatan dia adalah Srinagar, India. Komunikasi pada bentuk ajaran dakwah yang dilakukan di jaman Isa ini terbukti menggunakan adanya penjelasan Dalai Lama (rahib Budhah Tibet) bahwa Isa merupakan salah satu orang kudus yg dihormati dalam ajaran Budha. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan Budha yang mengungkapkan bahwa Baghawa Metteya (pengembara kulit bening; Isa Al Masih) pernah datang mengajarkan ajarannya di India. 

Selain itu, jua dengan diketemukannya scroll (gulungan yg jumlahnya 84.000 gulungan) yg isinya menceritakan aktifitas penyebaran ajaran Isa pada India. Bukti lain jua dengan ditemukannya kuburan Yus Asaf di Srinagar, Kashmir sang tim Jerman Barat yg merupakan kuburan nabi Isa yg mangkat dalam usia 120 tahun (Thre Tribune, Chandigarh, 11 Mei 1984).

Komunikasi pada dunia Islam pun sebenarnya sudah mengalami perkembangan yg cukup signifikan. Sama seperti fenomena komunikasi yang terjadi di jaman Isa Al Masih, komunikasi Islam pun lebih berorientasi dalam sistem dakwah yang berusaha membarui atau mempengaruhi alam pikiran seorang buat mengikuti syariat Islam.

Peradaban umat Islam dalam kaitannya menggunakan perkembangan komunikasi sudah mencatatkan sejarah yang cukup menakjubkan. Pada masa bani Umayah contohnya, sudah ditemukan suatu cara pengamatan astronomi pada abad 7 M, tepatnya 8 abad sebelum Galileo Galilei dan Copernicus menekuni ilmu mengenai perbintangan tersebut. 

Korelasi antara Timur dan Barat selama perang Salib (1100-1300 M) sangat penting bagi perkembangan komunikasi ilmu pengetahuan di daratan eropa, lantaran dalam saat ekspansi, jazirah Arab pada bawah kendali Islam sudah mengambil alih kebudayaan Byzantium, Persia, dan Spanyol, sehingga taraf kebudayaan Islam jauh lebih tinggi daripada kebudayaan Eropa (Brower, 1982). 

Universitas Bagdad, Damsyik, Beirut, serta Kairo misalnya menyimpan serta memberikan warisan ilmiah dari India, Persia, Yunani, serta Byzantium, sehingga eropa mendapat warisan filsafat Yunani melalui orang Arab yg terlebih dahulu mempelajarinya, lantaran bangsa Arab sudah menterjemahkan karya-karya fisuf termasyur misalnya Plato, Hipokrates dan Aristoteles. 

Bahkan sekitar abad ke-14 dalam zaman kekuasaan dinasti Yuan (1260-1368), efek Islam ditandai menggunakan lahirnya seorang peneliti pada bidang astronomi pertama yg mendirikan observatorium, yaitu Jamal Al-Din.

Perkembangan komunikasi dalam Islam yg lebih bersifat dakwah tersebut tidak tanggal dari kaitannya menjadi bagian menurut bentuk komunikasi, lantaran pada bahasa arab, dakwah berarti seruan, panggilan, dan atau ajakan. Dikemukakan Salahuddin Sanusi, yang didefinisikan oleh Al Ustadz Bahiyul Khuli pada bukunya yang berjudul “Tadzkiratud Du’at” dakwah ialah suatu komunikasi yg ditimbulkan menurut hubungan antar individu maupun grup manusia yg bertujuan memindahkan umat menurut suatu situasi yg negatif (zaman jahiliyah) ke situasi yg positif. 

Pada jaman Nabi Muhammad Saw (570 M-632 M), penyebaran Islam berlangsung pada saat yg relatif singkat (8-9 M). Muhammad melakukan dakwahnya ke Mekah dalam tahun 610 M. Hanya pada tempo 25 tahun, Nabi Muhammad Saw bersama pengikutnya dapat mengambil alih kekuasaan di daerah Arab menurut tangan kaum Quraisy, serta Islam pun kemudian berkembang dengan sangat pesatnya. 

Sekitar tahun 650 M, jazirah Arab, seluruh wilayah timur tengah, dan Mesir dikendalikan oleh orang-orang Islam, sebagai akibatnya pada tahun 700 M, Islam pun akhirnya mendominasi area akbar mulai dari daratan China dan India di timur sampai Afrika Utara dan Spanyol di barat. 

Cepatnya perkembangan Islam mampu jadi merupakan dampak berdasarkan penggunaan dakwah-dakwah yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam, seperti dakwah yg berisi mengenai jihad fisabilillah, yaitu jaminan untuk masuk surga bagi mereka yg mangkat dalam usahanya buat memperjuangkan Islam. 

Dalam berdakwah, Rasulullah selalu melakukan komunikasi menjadi dakwah menggunakan metode yang sempurna dan bila dicermati akan sangat relevan dengan metode diskusi saat ini. Dalam dakwahnya, diskusi yang dilakukan pasti didasari hal-hal berikut, yakni karena bertenaga (hujjah), celoteh kata yang arif serta bijak (uslub), dan adab sopan santun yg baik. 

Artinya, masih ada bentuk komunikasi yang efektif sebagai akibatnya dapat menghipnotis keyakinan jutaan umat pada saat yang sangat singkat. Komunikasi diawali menggunakan adanya perintah dari Allah pada Nabi Muhammad Saw buat memberikan peringatan pada ummat insan buat percaya pada Allah. 

Awalnya komunikasi itu dilakukan secara diam-diam lalu dilanjutkan secara terbuka seiring dari wahyu berikutnya yg memerintahkan Nabi buat berdakwah secara jelas-terangan (Q.S Al-Hijr;94-95).

Begitupun halnya komunikasi pada media tulisan, sebenarnya telah dirintis oleh Rasulullah, yaitu ketika dia mengirimkan surat yang isinya ajakan buat memeluk Islam kepada para raja di Eropa. Sebagai contoh, nabi pernah mengirimkan surat dakwah pada raja Hiraqla (raja di Roma Timur) yg bernama, raja Habsyi yang bernama Najsyi, serta lain-lain. Dalam setiap suratnya, nabi selalu membubuhi stempel yang terbuat menurut perak yg berukirkan goresan pena “muhammadurrasulullah”. 

Kembali hubungannya menggunakan pers menjadi bagian berdasarkan komunikasi, Islam telah merintis perkembangan komunikasi itu sendiri, sekali lagi dalam bentuk dakwah. Misalnya turun temurunnya hadits-hadits nabi dan sunnah Rasul. Sejarah telah menyampaikan bahwa perkembangan dan kecemerlangan ajaran Islam telah menerobos cakrawala abad dan jaman dan melewati negara-negara dan benua.

Hal ini tentu saja berkat para jurnalis-jurnalis Islam seperti Syafi’i, Malik Ahmad Hambali, Hanafi, Abu Dawud, serta sebagainya yang tulisannya pada bidang hukum fiqih. Sementara pada bidang filsafat ada Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Imam Ghazali, Jamaludin Al afgani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridla, dan lain-lain. Di bidang kedokteran, Ibnu Sina sudah menulis buku yg berisi anggaran-aturan pada ilmu kedokteran yg banyak disesuaikan oleh ilmuwan-ilmuwan pada bidang kedokteran dewasa ini. 

Dari uraian tersebut, dapatlah dikatakan bahwa sebenarnya peradaban Islam (pada kaitannya sebagai jembatan penghubung sejarah komunikasi) telah melanjutkan atau mewariskan komunikasi berdasarkan ajaran-ajaran Yunani yg sudah disinggung pada atas, buat kemudian baru disesuaikan sang bangsa Eropa dan seterusnya Amerika (menjadi imbas menurut intellectual migration dari daratan Eropa ke utara benua Amerika dalam masa kekuasaan Adolf Hitler di daratan eropa).

Melihat uraian sejarah perkembangan komunikasi di jaman pertengahan di atas, timbullah satu pertanyaan, mengapa aktifitas retorika dalam kaitannya dakwah yang terjadi pada jaman pertengahan nir dijadikan bagian dari mata rantai sejarah perkembangan komunikasi oleh para pemikir-pemikir barat? 

Untuk menjawab pertanyaan ini, bisa melihat fase-fase perkembangan ilmu itu sendiri menurut jaman ke jaman. Ilmu berkembang pertama kali pada masa Yunani antik. Lalu dilanjutkan pada jaman pertengahan (yang sebenarnya adalah masa-masa persebaran agama). Telah disinggung di atas, model persebaran kepercayaan yg diambil adalah Islam yang memang berlangsung dalam zaman pertengahan. 

Setelah itu, ilmu berkembang lagi dalam jaman renaissance (14-17 M), dimana kebanyakan pemikiran tokoh-tokoh dalam abad ini telah bebas dan nir terikat lagi sang dogma-dogma agama, sebut saja seperti Isaac Newton serta Charles Darwin. 

Jaman tadi merupakan jaman peralihan berdasarkan jaman pertengahan menuju jaman modernitas. Ketika pada jaman terkini, ilmu-ilmu yg berkembang itu lebih didasari sang pemikiran-pemikiran yang ilmiah dan empiris. Seperti Darwin yang sangat fanatik dengan teori evolusinya. Inilah mungkin yg menyebabkan poly teori-teori komunikasi yang tidak pernah mencantumkan nama-nama besar menurut cendikiawan-cendikiawan Islam (misalnya Al Kindi, Al Farabi, dll) menjadi tokoh yang berjasa dalam menyebarkan komunikasi itu sendiri dalam jaman pertengahan. 

Hal ini mungkin ini terdapat korelasinya menggunakan masa kegelapan (dark ages) yang terjadi di Eropa yang kala itu merupakan jaman keemasan peradaban Islam. Contoh peristiwa penting yaitu perang Salib yang terulang sebesar enam kali. 

Hal ini nir hanya menjadi ajang peperangan fisik, namun pula menyadarkan serdadu-serdadu eropa akan kemajuan negara-negara Islam yg sedemikian pesatnya. Sehingga mereka membuatkan pengalaman-pengalaman mereka itu sekembalinya pada negara masing-masing. 

Pada tahun 1453 M, Istambul jatuh ke tangan Turki, sehingga para pendeta atau sarjana mengungsi ke Italia atau negara-negara lain. Mereka inilah yang sebagai pionir-pionir perkembangan ilmu di Eropa. Padahal sebenarnya mereka ini menerima pengetahuannya menurut peradaban Islam yg sudah maju lebih dulu. 

Mengenai perkembangan komunikasi yang lebih cenderung dianggap menjadi bagian menurut perkembangan ilmu pengetahuan di Amerika serta Eropa, sebenarnya kembali dalam pola pemikiran dari manfaat ilmu pengetahuan yg ditemukan. 

Pada dasarnya, orang Amerika dan Eropa cenderung buat mematenkan suatu kreasi, sedangkan pemikir-pemikir pada Asia serta peradaban Timur tengah lebih cenderung pada manfaat berdasarkan hasil temuannya itu. Padahal kentara, sejarah menceritakan secara gamblang bahwa peradaban yang sangat maju telah berlangsung lebih dulu di Cina serta Timur Tengah.

Penjelasan sejarah pada atas sudah cukup pertanda bahwa sebenarnya sejarah perkembangan komunikasi sebenarnya nir pernah terputus. Lantaran dalam dasarnya hubungan antara komunikasi sebagai bagian dari perkembangan peradaban manusia begitu erat. Hal ini semata dikarenakan aktifitas retorika sudah ada pada jaman pertengahan, tetapi memang belum berbentuk ilmu. 

Fenomena yang lebih banyak bersifat dakwah (persebaran agama) ini baru berupa tanda-tanda-gejala sosial, dan dalam masa itu belum ada suatu ilmu yg mengkhususkan penekanan serta lokus kajiannya mengenai komunikasi. 

Tetapi setidaknya hal di atas cukup menaruh argumen bahwa komunikasi merupakan fenomena yg sudah sangat usang terjadi serta baru dikaji secara utuh menjadi suatu ilmu dalam abad ke-19 di daratan Amerika melalui gerombolan Chicago dan terutama nanti dengan kemunculan apa yg dianggap menjadi administrative research. 

Melalui kelompok yg berpusat di Universitas Colombia ini masih ada beberapa figur atau tokoh krusial yang memiliki kontrobusi besar dalam pengembangan ilmu komunikasi, terutama dengan figur sentral, Paul F. Lazarfeld. 

Sekalipun krusial juga buat dipahami bahwa kemunculan kajian ilmu komunikasi pada periode ini tidak dapat dilepaskan pada era dominannya era propaganda, sebagai akibatnya figur Wilbur Schramm sebagai krusial dalam proses pelembagaan ilmu komunikasi. 

Komunikasi selain menjadi ketrampilan atau seni jua adalah fenomena ilmu pengetahuan. Karena ilmu komunikasi memiliki metode seperti content analysis, uses & gratification, rencana setting, cultivation analysist, experiments, serta sebagainya.

Pendekatan eksperimen telah dilakukan sang Carl Hovland yg meneliti tentang komunikasi persuasif. Penelitian content analysist sudah dilakukan Harold D. Lasswell dan Bernard Berelson buat menyelidiki propaganda pada dasa warsa 40-an pada Amerika.

Sementara penelitian survey oleh Paul F. Lazarfeld, Elihu Katz, sudah berakibat temuan two steps flow of communication. Bahkan pada perkembangan lain, jika merujuk dalam mashab interpretatif, maka akan banyak dijumpai ragam penelitian yg memakai pendekatan semiotic, ethnografi, serta sebagainya menurut kerangka berpikir interpretatif. 

Dalam tradisi Amerika, retorika atau yg dikenal menjadi speech, telah sebagai kajian yang krusial sebelum dikenal tradisi kajian komunikasi massa atau ilmu komunikasi sebagaimana dewasa ini. Dengan karyanya yg populer “Watching Dallas". Sedangkan James Lull menggunakan pendekatan etnografi komunikasi dikalangan penonton televisi. Robert E. Park, menurut generasi Chicago School juga menggunakan penelitian lapangan.

Berdasarkan gambaran di atas dapatlah dikenali ciri-ciri komunikasi menjadi ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan menggunakan metode penelitiannya. Dari situ tampak bahwa komunikasi sebagai fenomena ilmu pengetahuan dapat diterima sebagaimana bisa dibuktikan menggunakan keluarnya jurnal komunikasi, hasil penelitian komunikasi, serta buku-buku komunikasi