SEJARAH DAN PERKEMBANGAN SOSIOLOGI

Sejarah Istilah Sosiologi 

Pada tahun 1842: Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comte tahun 1842 dan kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi. Sosiologi sebagai ilmu yang mengusut tentang rakyat lahir pada Eropa lantaran ilmuwan Eropa dalam abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara spesifik memeriksa kondisi serta perubahan sosial. Para ilmuwan itu kemudian berupaya membentuk suatu teori sosial menurut ciri-karakteristik hakiki masyarakat pada tiap termin peradaban manusia. Comte membedakan antara sosiologi statis, dimana perhatian dipusatkan pada aturan-hukum statis yang sebagai dasar adanya rakyat serta sosiologi bergerak maju dimana perhatian dipusatkan tentang perkembangan rakyat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi. Mereka diantaranya Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya dari menurut Eropa). Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna buat perkembangan Sosiologi.
Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi aneka macam elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.

Pada tahun 1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology serta memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu masyarakat seperti tubuh insan, menjadi suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap pertarungan antar-kelas sosial sebagai intisari perubahan dan perkembangan masyarakat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yg berupaya menelusuri nilai, agama, tujuan, dan sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia.di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. Sumber!!
Sejarah Perkembangan Sosiologi
Sosiologi termasuk ilmu yg paling muda dibandingkan menggunakan ilmu-ilmu sosial yg terdapat. Sosiologi jua bersumber menurut filsafat. Filsafat adalah induk berdasarkan segala ilmu pengetahuan (mater scientarium) semua ilmu pengetahuan yg kita ketahui selama ini . Filsafat dalam masa itu mencakup jua segala bisnis pemikiran tentang warga . Makin berkembangnya zaman serta tumbuhnya peradaban insan, berbagai ilmu pengetahuan yang semula tergabung dalam filsafat mulai memisahkan diri dan berkembang dari tujuan masing-masing.
Astronomi (ilmu tentang bintang-bintang) serta fisika (ilmu alam) merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama kali memisahkan diri. Kemudian, diikuti sang ilmu kimia, hayati, serta geologi. Pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru ada, yaitu psikologi (ilmu yg memeriksa perilaku serta sifat-sifat manusia) serta sosilogi (ilmu yang memeriksa masyarakat). Dengan demikian, timbullah sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang di pada proses pertumbuhannya dapat dipisahkan menurut ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, misalnya ekonomi serta sejarah.
Pemikiran terhadap warga serta lambat laun menerima bentuk menjadi suatu ilmu pengetahuan yang dinamakan sosiologi, pertama kali terjadi di Benua Eropa. Banyak usaha dilakukan manusia baik bersifat ilmiah juga nonilmiah yg menciptakan sosiologi menjadi ilmu pengetahuan serta berdiri sendiri.
Beberapa faktor pendorong utama keluarnya sosiologi adalah meningkatnya perhatian terhadap kesejahteraan rakyat serta perubahan-perubahan yang terjadi di pada warga .
sosiologi di Amerika Serikat dihubungkan dengan usaha-bisnis untuk mempertinggi keadaan sosial insan dan sebagai pendorong buat merampungkan duduk perkara yg ditimbulkan sang kehahatan pelanggaran, pelacuran, pengangguran, kemiskinan, perseteruan, peperangan, serta masalah sosial lainnya.
Banyak ahli sepakat bahwa faktor yg melatar belakangi kelahiran sosiologi adalah adanya krisis yg terjadi di dalam rakyat. Laeyendecker, misalnya mengaitkan kelahiran sosiologi menggunakan serangkaian perubahan pada bidang sosial politik. Perubahan berkenaan dengna adanya reformasi Marthin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan terkini, berkembangnya agama dalam diri sendiri, terjadinya Revolusi Industri pada abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Prancis.
Pada abad ke-19 seorang filsuf bangsa Prancis bernama Auguste Comte, sudah menulis beberapa buku yang berisi pendekatan-pendekatan generik buat mengusut masyarakat. Dia beropini bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan-urutan tertentu berdasarkan logika. Setiap penelitian dilakukan melalui tahap-termin eksklusif buat mencapai tahap akhir, yaitu Ilmiah. Oleh karena itu, Auguste Comte menyarankan supaya seluruh penelitian terhadap rakyat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang warga yang berdiri sendiri. Dari kondisi tersebut, diartikan bahwa sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang adalah hasil akhir menurut perkembangan ilmu pengetahuan. Sosilogi lahir pada ketika-ketika terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, sosiologi berdasarkan pada kemajuan-kemajuan yg telah dicapai oleh ilmu pengetahuan lainnya.
Lahirnya sosiologi tercatat dalam tahun 1842, tatkala Auguste Comte menerbitkan buku berjudul Positive-philosophy. Beberapa pandangan krusial yang dikemukakan sang Auguste Comte adalah "aturan kemajuan insan" atau "aturan 3 jenjang", Menurut pandangan ini, sejarah akan melewati 3 jenjang yang mendaki.
1. Jenjang Teologi
Pada jenjang ini, insan mencoba menyebutkan gejal disekitarnya menggunakan mengacu dalam hal-hal yg besifat adikodrati
2. Jenjang Metafisika
pada jenjang ini, insan mengacu dalam kekuatan-kekuatan metafisi atau abstrak.
3. Jenjang Positif
pada jenjang ini, penjelasan tanda-tanda alam ataupun sosial dilakukan menggunakan mengacu dalam deskripsi ilmiah.
Setengah abad setelah Herbert Spencer menyebarkan suatu sistematika penelitian rakyat pada bukunya yg berjudul Priciples of Sociology, istilah sosiologi menjadi lebih terkenal. Berkat jasa Herbert Spencer pula, sosiologi akhirnya berkembang menggunakan pesat. Sosiologi berkembang dengan pesat pada abad ke-20, terutama pada Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat walaupun arah perkembangannya di ketiga negara tadi tidak selaras satu sama lain. Sosilogi kemudian menyebar ke banyak sekali benua serta negara-negara lain termasuk Indonesia.


SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan tentang rakyat, sebagai ilmu empiris yg memperoleh pijakan yg kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir karena terlepas berdasarkan efek filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan sang August Comte (1798-1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang memepelajari warga . Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yang berkembang menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya realitas social, maka lahirlah berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tersebut disambut hangat sang rakyat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar pada bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal berdasarkan Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menilik masyarakat yang amat berguna buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yg berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang tahu warga seperti tubuh insan, sebagai suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menganggap permasalahan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yg sebagai penuntun perilaku manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat sebagai Presiden American Sosiological Association pada tahun 1883, Lester Frank Ward, yang berpandangan demokratis, membicarakan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial dalam warga Amerika merupakan perbedaan dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan dalam memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar untuk maju dan mempunyai kehidupan yang lebih bermutu. Pendidikan dilihat sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang cukup merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-disparitas tadi beliau mendesak pemerintahnya agar menyelenggarakan wajib belajar. Usulan itu dikabulkan, serta wajib belajar di USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru pada sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki menjadi “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology merupakan penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan perseteruan social serta sekaligus memberikan rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas pada USA. Hal itu terbukti dari adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yg mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology serta memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education dengan focus perhatian pada penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education bisa menjadi sumber data serta informasi ilmiah, dan studi akademis yang bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yang memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology menjadi Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology menjadi Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology pada American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education sejak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan kiprah pendidikan pada pengembangan rakyat, dimulai lebih kurang tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis pada Negeri Belanda waktu itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi buat memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan dalam ketika itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, dan R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hayati berkelompok, sesuatu yg jua terdapat pada makhluk hidup lainnya yakni fauna. Meskipun demikian, pengelompokan manusia jauh lebih rumit menurut pengelompokan fauna. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan ciri-ciri hidup berkelompok dalam hewan dalam kutipan berikut. 

Pada fauna, hayati berkelompok memiliki cirri-ciri: Ada pembagian kerja yang tetap pada anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, terdapat komunikasi antar anggota, dan ada subordinat antar individu yg hidup dalam suatu gerombolan dengan individu yang hayati pada kelompok lain. 

Ciri-karakteristik hewan tersebut bisa pula ditemukan pada insan. Kehidupan sosial insan tadi dipelajari oleh filsafat, yg berusaha mencari hakekat warga yang sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan menjadi individu dan manusia sebagai anggota rakyat. Pandangan genre-genre filsafat mengenai empiris sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses hubungan antara dua individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi belia memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yg sistematis terjadi di forum sekolah yang dengan sengaja di bentuk sang rakyat. Perhatian sosiologi dalam pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi dalam kegiatan pendidikan tadi maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan merupakan acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang bertolak pada hubungan antar individu menjadi mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta peserta didik) bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi belia mengembangkan diri. Pengembangan diri tadi dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karenanya aktivitas pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta warga . Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan meliputi semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan famili sangat krusial, karena keluarga adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai berbagi diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan perilaku yang dapat menghipnotis perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan famili. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja dibentuk sang rakyat menggunakan perencanaan serta aplikasi yang mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan jua dipengaruhi sang banyak sekali gerombolan mini pada rakyat. Seperti kelompok keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang sebagai fokus pada aktivitas ini merupakan aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan masyarakat. Dalam aplikasi pada aneka macam negara diupayakan keseimbangan antara pelestarian serta pengembangan budaya dan rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan warga yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita wajib memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif serta antar kelompok dalam masyrakat tadi. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yg rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya sebagai norma-kebiasaan social yang mengikat kehidupan bermasyarakat serta wajib dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam kebiasaan yg dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme mengakibatkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan warga . Dalam warga misalnya ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu menggunakan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan pengaruh yg kuat. 

Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan pada masyarakat serta kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah menjadi indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota rakyat saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah langsung dan juga merupakan relasi. Kepentingan rakyat secara holistik diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan pada Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber menurut kebiasaan kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (2) kesejahteraan bersama sebagai tujuan hayati bermasyarakat, (3) negara melindungi masyarakat negaranya, serta (4) selaras serasi seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karenanya, pendidikan di Indonesia nir hanya menaikkan kualitas insan secara orang per orang melainkan jua kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan sepakat bahwa, sinkron dengan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (juga Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yg pengkajiannya dibutuhkan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, serta pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan dibutuhkan bisa menaruh rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan rakyat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial serta pola-pola interaksi sosial pada pada sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan menggunakan aspek masyarakat lain, yang menyelidiki:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan serta proses kontrol sosial serta sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara serta mendorong proses sosial dan perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan menggunakan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal pada hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-gerombolan dalam rakyat 

2. Hubungan humanisme pada sekolah yang mencakup:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sinkron dengan kebudayaan di luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur warga sekolah.

3. Pengaruh sekolah dalam prilaku anggotanya, yang menilik:
a. Peranan sosial pengajar.
b. Sifat kepribadian guru.
c. Pengaruh kepribadian pengajar terhadap tingkah laris siswa.
d. Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola hubungan antara sekolah dengan kelompok sosial lain di dalam komunitasnya, yg meliputi:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak pada pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis tentang komunitas misalnya tampak terjadi dalam sistem sosial komunitas kaum tidak terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah dan komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tadi sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan pada kaitannya menggunakan holistik hayati rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Sebagai cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Mempelajari interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan dengan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta pengaruh pendidikan dalam kehidupan peserta didik”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu mengungkapkan atau memberikan pemahaman tentang kenyataan yg termasuk ke pada ruang lingkup pembahasannya. Untuk diharapkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yg bercorak generalisasi empirik sampai dalil dan aturan-hukum yg mantap, data dan warta mengenai output penelitian lapangan yg actual, baik berdasarkan lingkungan sendiri juga menurut lingkungan lain, dan fakta tentang kasus serta tantangan yang dihadapi. Dengan fakta yg lengkap dan seksama, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik serta akan bisa menafsirkan fenomena-fenomena yg dihadapi secara akurat. Penjelasan-penerangan itu sanggup disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi serta pertarungan pendidikan yang diperkirakan akan timbul dalam masa yang akan tiba. Sejalan menggunakan itu, tuntutan warga akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal serta eksternal yang masuk ke pada warga melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan warga misalnya perkara lapangan kerja dan pengangguran, konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yg memerlukan dukungan pendidikan, serta masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara umum sosiologi pendidikan bertujuan untuk menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan fenomena-fenomena siosial serta pendidikan, pada rangka mencari contoh-model pendidikan yg lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data dan kabar tentang interaksi sosial di antara orang-orang yg terlibat pada institusi pendidikan dan dampaknya bagi siswa, mengenai interaksi antara lembaga pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta kebiasaan yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, serta adakalanya mereka memiliki interaksi darah atau memiliki kepentingan bersama. Masyarakat bisa merupakan suatu kesatuan hidup dalam arti luas ataupun pada arti sempit. Masyarakat dalam arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang dalam arti sempit lebih konkrit contohnya marga atau suku. Masyarakat sebagai kesatuan hayati memiliki karakteristik utama, diantaranya: (1) terdapat interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laris warganya diatur sang adapt adat, kebiasaan-norma, hukum, serta aturan-anggaran spesial , (3) ada rasa bukti diri kuat yang mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja dan La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan daerah, kesatuan adat- istiadat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal dari perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, dan kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu sampai kini , karakteristik yg menonjol dari rakyat Indonesia adalah sebagai warga beragam yg beredar pada ribuan pulau pada nusantara. Melalui perjalanan panjang, warga yg berbeda-beda tadi akhirnya mencapai satu kesatuan politik untuk mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu rakyat Indonesia sebagaiu rakyat yang bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai sang 2 karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai oleh adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, istiadat tata cara, dan kedaerahan, dan (2) secara vertical ditandai sang adanya disparitas pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, serta lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar warga Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk gerombolan social atau golongan social jajahan yang tak jarang mempunyai sub-kebudayaan sendiri, (dua) memiliki struktur social yg terbagi-bagi, (3) tak jarang anggota warga atau gerombolan tidak membuatkan consensus di antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara kelompok relative acapkali mengalami perseteruan, (lima) terdapat saling ketergantungan di bidang ekonomi, (6) adanya dominasi politiuk oleh suatu gerombolan atas grup-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia sesudah kemerdekaan, utamanya dalam zaman pemerintahan Orde Baru, telah banyak mengalami perubahan. Sebagai rakyat beragam, maka komunitas dengan ciri-karakteristik unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih dapat ditemukan, demikian juga halnya menggunakan sifat-sifat dasar menurut zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yang bertenaga menjadi suatu masyarakat bangsa Indonesia dan kemajuan pada aneka macam bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, sudah menumbuhkan benih-benih persatuan dan kesatuan yg semakin kokoh.

Berbagai upaya telah dilakukan menggunakan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal terakhir tersebut kini makin menerima perhatian yang semestinya dengan diantaranya dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan sebagai upaya menciptakan “manusia lokal”, akan tetapi haruslah dirancang dan dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” pada suatu lokal eksklusif. Dengan demikian akan dapat diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara dan berjiwa nasional akan namun yg memahami serta menyatu dengan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan mengenai masyarakat, menjadi ilmu realitas yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir lantaran terlepas berdasarkan dampak filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam tahun 1839, sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang memepelajari rakyat. Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yg berubah menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya empiris social, maka lahirlah aneka macam cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak menurut tampilnya sejumlah ilmuwan akbar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal dari Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menyelidiki masyarakat yg amat bermanfaat buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial menjadi pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yg tahu masyarakat misalnya tubuh insan, menjadi suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menduga pertarungan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yang menjadi penuntun konduite manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association dalam tahun 1883, Lester Frank Ward, yg berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial pada masyarakat Amerika adalah disparitas dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan pada memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar buat maju serta mempunyai kehidupan yg lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang relatif merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-perbedaan tersebut dia mendesak pemerintahnya supaya menyelenggarakan harus belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar pada USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yg baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan konflik social dan sekaligus menaruh rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti menurut adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education menggunakan focus perhatian dalam penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education mampu sebagai sumber data serta liputan ilmiah, serta studi akademis yg bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yg memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology sebagai Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology sebagai Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education semenjak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai kurang lebih tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda ketika itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas serta semakin tinggi ke arah yg makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, serta R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang pula terdapat pada makhluk hayati lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan insan jauh lebih rumit menurut pengelompokan hewan. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan karakteristik-karakteristik hidup berkelompok pada fauna pada kutipan berikut. 

Pada hewan, hayati berkelompok memiliki cirri-karakteristik: Ada pembagian kerja yg permanen dalam anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yg hidup pada suatu kelompok dengan individu yang hayati dalam kelompok lain. 

Ciri-ciri fauna tadi bisa pula ditemukan dalam manusia. Kehidupan sosial insan tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat rakyat yg sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan sebagai individu dan insan sebagai anggota rakyat. Pandangan aliran-aliran filsafat mengenai realitas sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan beragam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja pada bentuk oleh rakyat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada aktivitas pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau perkiraan dalam penerapan pendidikan yang bertolak dalam hubungan antar individu sebagai mahluk sosial pada kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta siswa) bahkan 2 generasi yg memungkinkan generasi belia berbagi diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karena itu kegiatan pendidikan bisa berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta rakyat. Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan mencakup semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan keluarga sangat krusial, lantaran famili adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai membuatkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai serta sikap yang dapat mensugesti perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yg menggunakan sengaja dibentuk sang warga menggunakan perencanaan serta aplikasi yg mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan pula dipengaruhi oleh aneka macam gerombolan kecil pada rakyat. Seperti gerombolan keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang menjadi penekanan dalam aktivitas ini adalah aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan warga . Dalam pelaksanaan pada banyak sekali negara diupayakan ekuilibrium antara pelestarian serta pengembangan budaya serta rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan masyarakat yg dianut sang suatu bangsa. Untuk tahu kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif dan antar gerombolan dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yang rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya menjadi kebiasaan-norma social yg mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa insan itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja berdasarkan keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menyebabkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam rakyat seperti ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota warga satu dengan yang lain saling berkompetisi sebagai akibatnya mengakibatkan dampak yg kuat. 

Paham kolektivisme menaruh kedudukan yang hiperbola pada masyarakat serta kedudukan anggota rakyat secara perseorangan hanyalah sebagai indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota warga saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya insan adalah eksklusif dan jua adalah relasi. Kepentingan rakyat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber dari kebiasaan kehidupan warga : (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (dua) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, serta (4) selaras harmonis seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan setuju bahwa, sinkron menggunakan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (jua Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, dan pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan diharapkan sanggup memberikan rekomendasi tentang bagaimana harapan serta tuntutan warga mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola hubungan sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yg dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yg memeriksa:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara dan mendorong proses sosial serta perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-grup dalam warga  

2. Hubungan kemanusiaan pada sekolah yang meliputi:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sama dengan kebudayaan pada luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya, yang mengusut:
a. Peranan sosial guru.
b. Sifat kepribadian pengajar.
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku murid.
d. Fungsi sekolah pada pengenalan anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola interaksi antara sekolah dengan grup sosial lain pada pada komunitasnya, yang mencakup:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis mengenai komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum nir terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah serta komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan dalam kaitannya menggunakan holistik hidup rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Menjadi cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Menyelidiki interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan menggunakan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta efek pendidikan dalam kehidupan siswa”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman mengenai fenomena yg termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk dibutuhkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai menurut yg bercorak generalisasi empirik hingga dalil dan hukum-hukum yg mantap, data serta kabar tentang hasil penelitian lapangan yg actual, baik dari lingkungan sendiri juga berdasarkan lingkungan lain, dan fakta mengenai kasus serta tantangan yg dihadapi. Dengan kabar yg lengkap serta akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan bisa menafsirkan kenyataan-fenomena yg dihadapi secara seksama. Penjelasan-penerangan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan syarat dan perseteruan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan menggunakan itu, tuntutan rakyat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yg masuk ke pada masyarakat melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diharapkan pada perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi syarat serta tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani konflik-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan rakyat misalnya masalah lapangan kerja serta pengangguran, permasalahan sosial, kerusakan lingkungan, serta lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, serta perkara penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara generik sosiologi pendidikan bertujuan buat menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan kenyataan-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari contoh-contoh pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara spesifik, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data serta liputan tentang hubungan sosial pada antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara forum pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta norma yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai interaksi darah atau memiliki kepentingan beserta. Masyarakat dapat adalah suatu kesatuan hidup pada arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat pada arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang pada arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat menjadi kesatuan hayati memiliki ciri primer, antara lain: (1) ada interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laku warganya diatur sang adapt adat, norma-kebiasaan, hukum, dan aturan-anggaran khas, (tiga) terdapat rasa bukti diri bertenaga yg mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja serta La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan istiadat- adat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal berdasarkan perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, serta kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu hingga kini , ciri yang menonjol berdasarkan warga Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yg berbeda-beda tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik buat mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu warga yg bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai oleh dua karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai sang adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, norma adat, dan kedaerahan, serta (dua) secara vertical ditandai sang adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (dua) mempunyai struktur social yg terbagi-bagi, (3) sering anggota warga atau kelompok tidak berbagi consensus pada antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara gerombolan relative sering mengalami pertarungan, (lima) terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, (6) adanya penguasaan politiuk sang suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, sudah poly mengalami perubahan. Sebagai masyarakat beragam, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih bisa ditemukan, demikian jua halnya menggunakan sifat-sifat dasar berdasarkan zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yg kuat sebagai suatu warga bangsa Indonesia serta kemajuan pada banyak sekali bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan serta kesatuan yang semakin kokoh.

Berbagai upaya sudah dilakukan dengan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan rakyat Indonesia. Hal terakhir tadi sekarang makin menerima perhatian yg semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan menjadi upaya menciptakan “manusia lokal”, akan namun haruslah didesain serta dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan bisa diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara serta berjiwa nasional akan tetapi yg memahami serta menyatu menggunakan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

PENGERTIAN SEJARAH MENURUT PARA AHLI

Pengertian Sejarah Menurut Para Ahli
Istilah “sejarah” dari dari bahasa Arab, yakni menurut kata Syajaratun yg memiliki arti “pohon kayu”. Pengertian pohon kayu disini menunjukan adanya suatu insiden, perkembangan atau pertumbuhan mengenai suatu hal atau insiden pada suatu transedental (kontinuitas) (Dadang Supardan, 2007: 341). Dalam bahasa lain, peristilahan sejarah dianggap juga histore (Perancis), geschite (Jerman), histoire atau geschiedenis (Belanda), dan history (inggris) (Dudung Abdurrahman, 1999: dua). Semuanya sama-sama mengandung pengertian yang sama, yaitu masa lampau umat insan. Sehingga menurut pengertian yang paling umum, istilah sejarah atau history berarti masa lampau umat manusia.

Menurut Abromowitz (Supardan, 2007: 342) bahwa”…history is a chronology of ivents”. Selanjutnya Costa (Supardan, 2007: 342) mendifinisikan sejarah sebagai “…record of the whole human experience”. Jadi menurut Costa bahwa sejarah dalam hakikatnnya adalah catatan semua pengalaman baik secara individu juga secara kolektif bangsa/ nation dimasa kemudian mengenai kehidupan umat insan. Selain itu dalam kamus generik bahasa Indonesia oleh W. J. S Poerwadarminta (Tamburaka, 2002: 32) disebutkan bahwa sejarah mengandung tiga pengertian, yaitu:
(1). Kesustraan usang; silsilah; dari-usul.
(dua). Kejadian dan insiden yang sahih-benar terjadi pada masa lampau.
(3). Ilmu pengetahuan, cerita pelajaran mengenai kejadian serta insiden yg sahih-sahih terjadi dalam masa lampau.

Dari beberapa kabar diatas, kentara pendapat mengenai perhatian terhadap insiden-insiden masa lalu berada dibawah ruang lingkup penulisan sejarah, yg muncul lambat laun selama berabad- abad. Tetapi buat lebih jelasnya perlu dikutif beberapa definisi sejarah menurut beberapa pakar antara lain:
1. Prof. Bernheim (Rustam E. Tamburaka: 2002) mendifinisikan sejarah sebagai “diegerchite ist de wisenchaft von die entwietlung der menrechen bettetiegung als soziele warssen”. Artinya sejarah merupakan pengetahuan yg menyelidiki mengenai perbuatan insan pada perkembangannya menjadi mahluk sosial.

2. James Hervey Robinson (Helius Sjamsuddin: 2007) mengungkapkan bahwa sejarah, pada arti yang luas merupakan seluruh yg kita ketaahui tentang setiap hal yang pernah manusia lakukan , atau pikirkan, atau rasakan. (“history in the brodes sense of the world, is all that we know everything than man ever done, or thought or felt”) 

3. R. G.kolingwood (rustam E. Tamburaka: 2007) damal bukunya yang berjudul “the of history”, menjadi orang dialis beliau menemukan dua dalil tentang sejarah yaitu: 

Pertama; sejarah mempunyai arti yg kokoh buat menilik alam pikiran manusia dan pengalaman-permgalamannya.

Kedua: sejarah bersipat unik, langsung dan dekat. Pengertian sejarah bisa menerobos hakikat yang mendalam menurut peristiwa yang sedang dipelajari serta bisa menghayati peristiwa yg sebenarnya dari alam. Mengerti sejarah berati menyelami untuk melihat menggunakan jelas pikiran pikiran yg didalamnya.

4 Prof. DR. Sartono Katordirdjo (Rusmen E. Tamburaka :2007) membagi sejarah sebagai dua pengertian yaitu: sejarah pada arti bsubjektif serta sejarah arti objektif. Sejarah pada arti subjektif adalah suatu kontrakjsi bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita. Sedangkan sejarah dalam arti yang objektif menujukkan pada kajian atau peristiwa itu sendiri, merupakan proses sejarah dalam aktualitasnya. Kejadian itu sekali terjadi dan nir dapat berulang balik .

Dari beberapa definisi sejarah menurut para hali di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa sejarah adalah insiden masa lampau umat manusia yg hanya sekali terjadi (objektif) namun sanggup dikonstuksi pada penulisan sejarah sebagai manifestasi dari kehidupan insan baik dalam kehidupannya sekarang juga yang akan tiba.

Sejarah sosial
Sejalan dengan perkembangan ilmu sejarah sampai waktu ini sudah timbul aneka macam cabang ilmu sejarah dari teman-teman yang menaruh sifat atau karaktistik tertentu dalam berbagai ragam historiografi yang dihasilkan, diantara ada yang dikatagorikan sebagai sejarah sosial, sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah kebudayaan, sejarah mentalitas, sejarah intelektual, sejarah demografi dan lain sebagainya, (helius sjamsuddin, 2007: 306). Sedangkan dalam goresan pena ini akan dibahas mengenai sejarah menggunakan mengunakan pendekatan sejarah sosial rakyat yang acapkali jugak dianggap sejarah sasyarakat yg terpinggirkan. Sehingga masyarakat pada penulisan sejarah tidak sebagai manusia-manusia tanpa sejarah.

Sebagai mana yg terkandung menurut tema sejarah yang pada usungnya yaitu sejarah sosial, maka sudah barang tentu didalamnya menelaah sejarah mengenai sejarah masyarakat (kemasyarakatan) (sjamsuddin, 2007: 307).

Adapun definisi sejarah sosial serta/atau sosiologi sejarah menjadi sejarah masyarakat, seringkali para sajarawan sendiri membuat definisi masing-masing yang tidak jauh tidak sama, tetapi maksudnya sama yaitu mempelajari masyarakat. Beberapaa definisi yg di makdud mengenai sejarah sosial memenurut beberapa ahli adalah sebabai berikut:
1. G. M. Trevrlan (sjamsuddin: 2007) menyebut sejarah warga menggunakan menghilangkan politiknya(the histoty of a people with the politics left out) 
2 Asa brings (sjamsuddin: 2007) menyebutkan bahwa sejarah sosial mengkaji sejarah berdasarkan orang-orang mikin atau kelas bawah, gerakan-gerakan sosial, menjadi aktivitas manusia misalnya tingkah laku , istiadat-adat, kehidupan sehari-hari , sejarah sosial pada interaksi dengan sejarah ekonomi
3. Desin smith (helius Sjamuddin:2007) mendefinisikan sejarah sosiah sebagai kajiaan tentang masa kemudian buat mengetahui bagaimana masyarakat-rakyat bekerja dan berubah .

Sehubungan menggunakan beberapa definisi sejarah sosial diatas, ada kalanya juga sejarah sosial juga diartikan menjadi sejarah aneka macam gerakan sosial, diantaranya menycakup gerakan petani, buruh, mahasiswa, proses sosial dan lain sebagainya (saartono katordirdjo, 1993: 158).

Dari bebeerapa pendapat pakar diatas bisa disimpulkan bahwasejarah sosial adalah sejarah menurut mayarakat bahwa dalam umumnya baik itu adalah aktivitas sehari-hari, kegiatan ekonomi, tata cara-tata cara, stratifikasi sosial serta lain sebagainya. Sekaligus mengkaji bagaimana warga -masyarakt tersebut pada kehidupan sosialnya, pekerjaannya maupun perubahannya dalam lintas sejarah…

Dengan mengunakan ilmu-ilmu sosial , sejarawan mempunyai kemampuan menerangkan yang lebih jelas, sekalipun kadang-kadang wajib terikat pada contoh teoritisnya. Dan pada akhirnya sejarah sosial dapat mengambil paktor sosial sebagai bahan kajiannya (kuntowijoyo, 2003: 41).

Salah satu tema pokok dari bidang sejarah sosial sudah barang tentu yialah perubahan dalam konteks sejarahnya, serta merupakan dalam satu konsep yang sangat luas cakupannya, sesungauhnya proses sejarah dalam keseluruhannya, apa apabila dikaji menurut perspektif sejarah sosialnya, merupakan proses perubahan sosial dalam berbagai dimensi atau aspeknya. 

Dipandang sebagainya proses modernisasi, prubahan sosial, yang kadang-kadang sebagai pertarungan sosial adalah adanya proses akulturasi. Artinya proses yang menycakup bisnis warga menghadapi efek kultur dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian komuditi menurut syarat dari nilai atau itiologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan reprensi cultural, yang kesemuanya adalah factor-faktor cultural yg menentukan sikap terhadap impak baru (Sartono Kartodirdji, 1993: 160).

Sehubungan menggunakan pendapat pada atas maka kehidupan sosial rakyat pada desa Jerowaru jua mengalami proses yang pada sebut menjadi proses perubahan ini, atau lebih tepat dikatakan terjadinya proses adaptasi dengan pengaruh luar dampak adanya hubungan sosial dalam masyarakt dan pada beberapa aspek kehidupan.

Mampat ilmu sejarah
Sejarah selalu dikaitkan dengan insiden atau peristiwa masa lampau umat insan, selaku sebuah cerita, sejarah menberikan suatu keadaan yg sebelumnya terjadi, tidak selaras dengan dongeng yg juga berbentuk cerita, tetapi hanya pelibur lara, sedangkan cerita sejarah, sumbernya adalah insiden masa lampau/ masa dilamberdasarkan peningalan sejarah. Peningalan tadi berupahasil perubahan insan sebagai mahluk sosial (Rustam E. Tamburaka 2007: 7). Dari pengalaman manuaia tersbut kita dapat bercermin dan pemiliki perubahan-perubahan nama yang dapat dijadikan ilham dan perbuatan serta tindakan mana yang seharusnya dihindari.

Dengan demikian, mamfaat yang bisa kita petik dengan mengetahui sejarah merupakan kita dapat lebih berhati-hati supaya kegagalan yg pernah perjadi nir terulang balik . Sehing tetaplah istilah kompuse, seorang filsof cina berkata “ sejarah mendidik kita supaya bertindak bijaksana. Selanjutnya Cicero (seorang pakar sejarah yunani) mengungkapkan “ history its magisstra vitae” merupakan sejarah bermamfaat sebagai guru yg baik (bijaksana). Sehingga terciptalah sebuah cerita sejarah yang berdasar pada fenomena, pada bentuk peningalan atau sumber sejarah (Rustam E.tamburaka, 2002: 7).

GARIS BESAR PERKEMBANGAN ELIT INDONESIA

Garis Besar Perkembangan Elit Indonesia 
Garis besar perkembangan elit Indonesia merupakan menurut yg bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, serta dari keturunan kepada elit terkini yg berorientasi pada negara kemakmuran, menurut pendidikan. Elit terkini ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. 

Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, serta para intelektual, tetapi dalam akhirnya perbedaan primer yang bisa dibuat merupakan antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri buat kelangsungan berfungsinya suatu negara serta warga yang terbaru, sedangkan elit politik merupakan orang-orang (Indonesia) yg terlibat pada aktivitas politik untuk aneka macam tujuan tapi umumnya bertalian menggunakan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih akbar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke 2 lebih mempunyai arti simbolis daripada mudah. 

Elit politik yg dimaksud adalah individu atau gerombolan elit yg mempunyai efek pada proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang mempelajari elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, pakar yg beranggapan bahwa golongan elite itu merupakan tunggal yg biasa diklaim elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca serta Pareto). Kedua, ahli yg beranggapan bahwa terdapat sejumlah kaum elit yg berkoeksistensi, membuatkan kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, serta Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit merupakan sejumlah kecil individu yg memikul seluruh atau hampir seluruh tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan sang Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa pada setiap masyarakat, suatu minoritas menciptakan keputusan-keputusan akbar. Konsep teoritis yg dikemukakan oleh Plato serta Aristoteles lalu diperluas kajiannya oleh 2 sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca. 

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok mini orang yg memiliki kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial serta politik. Kelompok kessil itu diklaim dengan elit, yang mampu menjangkau sentra kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan warga . Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit dari dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pintar yg memiliki kelebihan pada matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi warga dalam 2 kelas, yaitu pertama elit yg memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua warga , mulai adri yg paling ulet menyebarkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan bertenaga selalu ada dua kelas, yakni kelas yang memerintah serta kelas yg diperintah. Kelas yang memerintah, umumnya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-laba yang didapatnya menurut kekuasaan. Kelas yg diperintah jumlahnya lebih besar , diatur dan dikontrol oleh kelas yg memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci pada rakyat. Definisi ini kemduain didukung sang Robert Michel yg berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tidak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu terdapat kelompok mini yang bertenaga, secara umum dikuasai dan bisa mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya beredar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti dalam setiap tahapan fungsional pada proses pembuatan keputusan, serta perannya pun mampu naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yg lebih krusial, dalam situasi kiprah elit tidak terlalu menonjol dan status elit sanggup inheren pada siapa saja yang kebetuan punya peran penting. 

Pandangan yg lebih luwes dikemukakan sang Dwaine Marvick. Menurutnya ada 2 tradisi akademik tentang elit. Pertama, pada tradisi yg lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan talenta-bakat unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang menjadi kelompok pencipta tatanan yg lalu dianut oleh seluruh pihak. Ke 2, pada tradisi yang lebih baru, elit ditinjau menjadi grup, baik kelompok yang menghimpun yg menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa pada banyak sekali sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, produsen keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu sebagai figur sentral. 

Lipset serta Solari memberitahuakn bahwa elit merupakan mereka yg menempati posisi pada pada masyarakat di zenit struktur-struktur sosial yg terpenting,, yaitu posisi tinggi pada dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, kepercayaan , pedagogi dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit merupakan mereka yg mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran primer yang fungsional serta terstruktur pada berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi serta sebagainya. 

Field serta Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit merupakan orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awamdipandang menjadi sebuah grup. Merekalah yg menciptakan kebijakan umum, yg satu sama lain melakukan koordinasi buat menonjolkan kiprahnya. Menurut Marvick, meskipun elit sering ditinjau menjadi satu grup yg terpadu, tetapi sesungguhnya pada antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yg lain sering bersaing dan tidak sinkron kepentingan. Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit. 

Berdasarkan pandangan aneka macam pakar, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi pada 3 sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan memegang peranan krusial dalam kegiatan warga . Kedudukan tadi dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yg inheren, misalnya keturunan atau kasta. 

Schrool menyatakan bahwa elit sebagai golongan primer dalam warga yg didasarkan pada posisi mereka yg tinggi pada struktur warga . Posisi yang tinggi tadi masih ada dalam zenit struktur warga , yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran serta pekerjaan bebas. 

Ke 2 sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini berdasarkan dalam suatu forum yang dapat sebagai pendukung bagi elit terhadap peranannya pada masyarakat. C. Wright Mills menyatakan bahwa buat sanggup memiliki kemasyhuran, kekayaan, serta kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga akbar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya buat memilki dan menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu. 

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Jika kekuasaan politik didefinisikan dalam arti efek atas aktivitas pemerintah, sanggup diketahui elit mana yang mempunyai kekuasaan dengan memeriksa proses pembuatan keputusan eksklusif, terutama menggunakan memperhatikan siapa yg berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

Pandangan ilmuwan sosial di atas menampakan bahwa elit memiliki dampak dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber berdasarkan penghargaan warga terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai asal kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu mampu berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan , kepercayaan , relasi, kemampuan berpikir serta keterampilan. Pendapat senda pula diungkapkan oleh Charles F. Andrain yang meneybutnya menjadi asal daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. 

Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal bisa ditinjau dalam tiga kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional, ketiga, elit dari kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas tiga kellompok sosial, pertama, raja dan kerabat raja yang dikenal dengan gerombolan bangsawan atau aristokrat. Ke 2 kelompok insan merdeka serta ketiga, kelompok hamba. 

Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yang penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari gerombolan -kelompok teori di atas terdapat kecocokan, tetapi yag terjadi dalam politik Sulawesi Selatan kini , adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor asal daya kuasa sebagaimana disebutkan di atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih menggunakan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh dari kualifikasi pengakderan partai politik akan namun juga tidak menerangkan perilaku elit yang loyal serta ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi tak jarang menjadi faktor yang diasumsikan menjadi sumber kekuasaan, dalam warga Bugis Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yg bertenaga, dimana sirkulasi elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar adalah berdagang. Namun kondisi ini saling bertumpang tindih dengan patrimonialisme, kekeluargaan, serta bahkan memungkinkan buat terjadinya dinastitokrasi. 

Dalam kenyataan keluarga Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu sebagai konteks fenomenal yang menyulitkan buat memutuskan satu bingkai paradigmatik dan teoritik sebagaimana dijelaskan di atas. Karenanya, perkiraan teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus, kapital, ranah serta praktek mungkin relevan menjadi indera analisis primer disamping kekuatan teoritik berdasarkan menurut teori elit di atas. Perspektif Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab berikutnya di bawah ini.

A. Menganalisis Politik serta Demokratisasi Lokal 
Pendekatan kami terhadap analisis politik dan demokratisasi lokal mengombinasikan analisis keseimbangan kekuasaan dengan cara di mana para pemain mencoba menguasai dan mengubah kondisi tadi dengan mencoba mempekerjakan serta membentuk atau menghindari serta mengurangi instrumen demokrasi dalam ruang politik lokal serta non lokal. Cara ilustratif pertama pada mengkonseptualisasikan hubungan kekuasaan diambil dari karya Pierre Bourdieu. Bourideu mengkonseptualisasikan ekuilibrium struktural antara kekuasaan serta praktek para pemain. Ada 3 konsep yang dikemukakan oleh Bourdieu, pertama ’Habitus’, ke 2 konsepsi khususnya mengenai ’modal’ serta yg ketiga ’lapangan sosial atau ranah’. 

Istilah kunci dalam pemikiran Bourdieu adalah habitus dan ranah (field). Bourdieu memperluas memperluas tentang kapital ke pada beberapa kategori, seperti kapital sosial serta kapital budaya. Bagi Bourdieu, posisi individu terletak di ruang sosial (social space) yg tidak didefinisikan sang kelas, tetapi sang jumlah modal menggunakan aneka macam jenisnya serta oleh jumlah nisbi modal sosial, ekonomi, serta budaya yang dipertanggung jawabkan. 

Sedangkan habitus diadopsi melalui pengasuhan dan pendidikan. Konsep tersebut digunakan dalam tingkatan individu, ’a system of acquired dispositiions functioning on the practical level as categories of perception and assessment...as well as beig the organizing priciples of action’. Bourdieu beropini bahwa usaha demi distingsi sosial adalah dimensi fundamental menurut semua kehidupan sosial. Istilah ini merujuk kepada ruang sosial dan terjalin menggunakan sistem disposisi (habitus). Bagus Takwim menyebutkan dalam pengantarnya , bahwa bordieu mengartikan habitus sebagai ”...suatu sistem disposisi yg berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, trnasponsible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yg terrstruktur dan terpadu secara objektif”. Sedangkan ranah sang Bourdieu diartikan sebagai jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah berdasarkan kesadaran dan kehendak individual

Dengan kata lain, habitus merupakan struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Individu memakai habitus pada berurusan menggunakan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada pada ruang sosial. Secara gampang, habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konspetual dari benda-benda pada empiris sosial. Berbagai macam skema tercakup pada habitus misalnya konsep ruang, saat, baik-tidak baik, sakit-sehat, laba -rugi, bermanfaat-nir berguna, benar-salah , atas-bawah, depan-belakang, indah-tidak baik, serta terhormat-terhina.

Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial yg adalah arena bagi usaha sumber daya. Individu, isntitusi, dan agen lainnya mencoba untuk membedakan dirinya dari yg lain dan mendapatkan modal yg berguna atau berharga dia arena tersebut. Dalam rakyat terkini, terdapat dua sistem hierarkisasi yg tidak sinkron. Pertama adalah sistem ekonomi, dimana posisi serta harta ditentukan sang harta modal yag dimiliki sesorang . Sistem ke dua merupakan budaya atau simbolik Dalam sistem ini, status seorang ditentukan oleh seberapa poly ’modal simbolik’ atau modal budaya yg dimiliki. Budaya jua adalah sumber dominasi, dimana para intelektual memegang peranan kunci sebagai seorang ahli produksi budaya serta pencipta kuasa simbolik. 

Habitus mendasari ranah yg merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif pada suatu tatanan sosial yang hadir terpisah berdasarkan pencerahan individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif anatar individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan gerombolan dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara impulsif. Ranah mengisi ruang sosial. Istilah ini megnacu pada keselurahan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini menganlogikan empiris sosial menjadi sebuah ruang dan pemahamannya memakai pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial dapat dikonsepsi sebagai terdiri menurut beragam ranah yg emiliki sejumlah interaksi terhadap satu sama lainnya dan sejumlah raung hubungan. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah loka orang-orang berebut banyak sekali kapital. Dalam ruang sosial ini, individu menggunakan habitusnya berhubungan dengan individu lain serta aneka macam realitas sosial yg menhasilkan tindakan-tindakan sesuai menggunakan ranah dan kapital yang dimilikinya. 

Praktik adalah suatu produk berdasarkan relasi antara habitus sebagai produk sejarah, dan ranah yg jua merupakan produk sejarah. Pada waktu bersamaan, habitus dan ranah jua merupakan produk berdasarkan medan daya – daya yg terdapat di warga . Dalam suatu ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang mempunyai poly modal. Modal adalah sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan khusus yg beroperasi di pada ranah. Setiap ranah menuntut individu buat mempunyai kapital – kapital spesifik supaya bisa hayati secara baik serta bertahan di dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menampakan praktik sosial tersebut menggunakan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.

Ide Bourdieu mengenai Habitus sanggup dimengerti dalam konsep yang lebih dikenal mengenai ’institusi’ dan ’kultur’. Ketika Bourdieu berbicara mengenai ’disposisi’, misalnya yg telah kami jelaskan, beliau mengacu dalam pola kelakuan yg terstruktur serta kebiasaan-noram serta pengertian yg diasosiasikan dengannya. Dia mengimplikasikan eksistensi ’institusi’, atau peraturan formal dan informal yg menghambat serta memfasilitasi tindakan manusia dan interaksi sosial, serta ’kultur’ atau kebiasaan berfikir serta berkelakuan, dan arti yang menadasarinya yang digolongkan sekelompok orang eksklusif. Dengan cara ini ke dua istilah mempunyai arti saling berafiliasi atau sebagian tumpang tinfih. Formal, khususnya perturan sah, dan kontrak selalu perlu ditanamkan dalam tingkatan sosial yang dalam dan informal, acapkali melibatkan faktor-faktor seperti agama, tugas serta kewajiban (sehingga) suatu kontrak formal selalu merogoh corak spesifik berdasarkan kultur sosial informal yang ditanamkan. 

B. Deliberasi Politik Lokal dalam Pemilu serta Pilkada
Perubahan tatanan politik di Indonesia yang secara legalitas aturan tertuang dalam ketetapan MPR RI No.xi/MPR/ 1998 tentang Pemilihan Umum, yg didalamnya terkandung dua aspek mendasar terhadap perubahan tatanan politik pada Indonesia yaitu adanya kebebasan mendirikan partai politik menggunakan kembalinya menggunakan system multi partai sehabis dan upaya memaksimalkan potensi demokrasi yang mungkin dilakukan menggunakan mengadakan dua putaran pemilu; pemilu pertama buat menentukan anggota DPR/MPR serta pemilu kedua menentukan presiden dan wakil presiden secara eksklusif juga. Kemudian diikuti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, serta Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, serta Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya secara eksplisit Indonesia menganut system pemerintahan negara presidensil, yakni adanya legitimasi terpisah antara presiden sebagai eksekutif serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislatif dipilih secara terpisah oleh masyarakat. Perubahan aturan ketatanegaraan lewat reformasi serta amandemen konstistusi (pasal 22E mengatur tentang pemilu legislatif yg kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2003, dan pemilu presiden serta wakil presiden di atur dalam pasal 6A yang selanjutnya dijabarkan pada Undang-Undang No.23 Tahun 2003) mengembalikan kedaulatan rakyat menggunakan memberi peluang kepada masyarakat buat memakai hak pilihnya secara langsung3.

Dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara pribadi pula membatasi fungsi Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menentukan presiden serta wakil presiden selanjutnya, serta turut menghipnotis sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Dimana sebelumnya melalui prosedur pemilihan sang MPR yg nir jarang melalui lobi politik yang memenangkan kontenstan yg tidak sesuai harapan warga .

Pembaharuan sistem politik Indonesia output reformasi politik serta reformasi hukum ketatanegaraan diantaranya adalah perubahan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yg terdiri berdasarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sistem pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), serta pemilihan pribadi presiden serta wakil presiden, dan aplikasi pilkada eksklusif.

C. Pilkada Langsung 
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia sudah tiga kali melaksanakan pemilihan umum yaitu 1999, 2004 serta 2009 menggunakan sistem multi partai. Dengan sistem multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan metode pendekatan pada memperoleh suara terbanyak buat memenangkan pemilu. Pemilihan generik presiden serta wakil presiden yg diatur pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 telah membuka ruang kontestasi pada memperebutkan kekuasaan serta legitimasi kekuasaan politik. Telah 3 kali terjadi pergantian presiden sebagai bagian berdasarkan proses demokrasi pada tingkat nasional serta wilayah. Pemilihan Presiden dan wapres Langsung Tahun 2004 adalah pengalaman baru serta telah berlangsung ke dua kalinya bagi Bangsa Indonesia, sebagai keliru satu kajian demokrasi presidensil. UU No. 23 Tahun 2003. Di tingkat wilayah, pada beberapa Provinsi serta Kabupaten telah hampir memasuki kali ke 2 dalam pemilihan Kepala Daeraha secara eksklusif. Tingginya bias pertarungan dalam Pilkada, mengakibatkan ihwal tentang Pilkada Gubernur belakangan akan dikembalikan dalam system pemilihan melalui DPRD Provinsi. 

Adanya jarak antara pemilu dengan sirkulasi elit di masa orde baru disebabkan ketertutupan politik menggunakan adanya pemusatan kekuasaan pada tangan Suharto, yg sehabis reformasi terjadi sirkulasi elit yg terbuka dan kompetitif dimulai Pemilihan Umum 1999 yang disusul aplikasi Pemilihan Presiden serta Wakil Presiden Langsung 2004. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah wilayah sangat bercorak sentralistik, dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan dan penentuan pejabat ketua daerah yg wajib memperoleh persetujuan presiden. Namun sejak runtuhnya otoriter orde baru, bermunculan tuntutan berbagai daerah supaya mereka dapat memilih sendiri kepala daerah masing-masing. Sehingga ada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagai output reformasi politik. Pergeseran tadi bertujuan membentuk pemberdayaan politik rakyat lokal yang dalam pelaksanaannya masih terbatas pada legislative wilayah.

Dalam sejarah Indonesia sampai dalam masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli oleh elite politik pusat serta wilayah dengan tidak memberi kesempatan masyarakat menentukan secara eksklusif ketua wilayah dan wakil kepala wilayahnya. Adanya perbedaan tata cara dan prosedur pemilihan yang selama ini dikonstruksi buat menentukan anggota legislative serta presiden serta wakil presiden yang melibatkan partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya. Namun kebalikannya pilkada dilakukan menggunakan sistem pemilihan perwakilan sang anggota dewan atau diangkat/ditunjuk sang pejabat pusat. 

Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya serta keliru satu produk era reformasi merupakan UU No.22 tahun 1999 tentang desentralisasi, yg pada praktik pilkada mengakibatkan keprihatinan dan kekecewaan dengan keluarnya gosip maraknya politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik pada taraf lokal maupun sentra. Kemudian direvisi menggunakan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (swatantra daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 serta Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang membuka peluang pada warga buat mewujudkan aspirasi wilayah menggunakan memiliki pemimpin lokal yg dipilih sang rakyat melalui pilkada pribadi. Perubahan ini sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah.

Alasan mengapa wajib diselenggarakan pilkada langsung lantaran: Pertama, meningkatnya partisipasi politik rakyat wilayah; Kedua, legitimasi politik yang dapat menaruh efek legitimasi yg lebih bertenaga terhadap kepemimpinan wilayah terpilih; Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; serta Keempat, akuntabilitas yg merupakan dilema fundamental dalam memillih seorang pemimpin. Dalam artian pilkada pribadi wajib bisa mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif wilayah yang bertenaga. Selain itu, aplikasi pilkada eksklusif harus berkualitas, sederhana, efisien, serta gampang dilakukan. Pilkada pribadi pula wajib membuka ruang selebar-lebarnya terjadinya kompetisi yang adil antara para calon yg bersaing dengan melibatkan partisipasi rakyat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yang berlangsung sampai dengan pemilihan, dan proses-proses politik pasca pemilihan.

Dengan demikian ketua wilayah terpilih akan lebih akuntabel pada warga dan bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan berorientasi pada masyarakat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) serta potensi korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) bisa berkurang dalam golongan eksklusif. Perubahan politik nasional dengan mengadakan pemilihan langsung terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan wapres diikuti menggunakan pemilihan langsung gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

Dalam kaitannya menggunakan perubahan sistem pilkada adalah adalah mata rantai reformasi politik buat mewujudkan politik yang demokratis di Indonesia. Dalam suatu rakyat demokratis, rakyat berperan nir buat memerintah atau menjalankan keputusan–keputusan politik. Tetapi terdapat pemilihan umum yg berperan buat membentuk suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yg pada gilirannya membentuk suatu eksekutif nasional dan pemerintah.

D. Teori Klan Politik
Secara garis besar klan adalah sekelompok orang yang manunggal dengan kekerabatan yang nyata atau dirasakan dan keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan sebenarnya tidak diketahui, anggota klan permanen bisa anggota pendiri atau leluhur di puncak . Obligasi korelasi berbasis mungkin hanya simbolis pada alam, di mana saham marga yg pada memutuskan nenek moyang yg adalah simbol persatuan marga. Klan paling mudah di gambarkan menjadi suku atau Sub kelompok suku. Kata marga berasal dari ’clann’ berarti ’anak’ dalam bahasa Gaelic Skotlandia serta Irlandia. Pada tahun 1425 kata itu di bawa ke Inggris sebagai nama untuk sifat suku Gaelic masyarkat skotlandia serta Irlandia. Klan terletak disetiap negara, anggota mampu mengidentifikasi dengan lambang buat pertanda bahwa mereka adalah kaum independen.

Dalam budaya yg tidak sama dan situasi, klan bisa berarti hal yg sama misalnya kelompok kerabat berbasis lainnya, seperti suku dan band. Sering kali, faktor yg membedakan adalah bahwa marga merupakan bagian kecil berdasarkan suatu rakyat yang lebih besar seperti suku, chiefdom, atau negara. Contohnya termasuk Skotlandia, Irlandia, Cina, Jepang serta klan klan Rajput di India serta Pakistan, yg terdapat sebagai grup kerabat pada negara masing-masing. Namun, perlu diketahui bahwa suku-suku dan band pula bisa komponen masyarakat yang lebih besar . Mungkin yg paling populer suku, 12 suku Israel Alkitab, terdiri satu orang. Suku-suku Arab adalah kelompok mini dalam masyarakat Arab, serta Ojibwa band adalah bagian kecil menurut suku Ojibwa di Amerika Utara. Dalam beberapa masalah diakui beberapa suku marga-marga yang sama, misalnya beruang serta klan rubah berdasarkan Chickasaw dan suku Choctaw.

Selain berdasarkan tradisi yang berbeda menurut hubungan, kebingungan konseptual lebih lanjut timbul berdasarkan penggunaan sehari-hari istilah tadi. Di negara-negara pasca-Soviet, contohnya, sangat generik buat berbicara mengenai klan pada surat keterangan ke jaringan informal dalam bidang ekonomi serta politik. Penggunaan ini mencerminkan perkiraan bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain dalam sangat dekat serta saling mendukung dengan cara yg sekitar sama solidaritas antara sanak saudara. Tetapi, marga-marga Norse, yang ätter, tidak dapat diterjemahkan dengan suku atau band, dan akibatnya mereka seringkali diterjemahkan dengan tempat tinggal atau baris.

Sesudah bergulirnya reformasi sejak tahun 1998,dinamika politik diaerah memasuki era baru jua. Aktor, institusi, serta budaya lokal bermunculan dan mulai memainkan kiprah di dalam politik lokal. Aktor aktor lokal yg terorganisir, dan memiliki simbol kultural lokal berada dipanggung politik. Kemunculan aktor aktor lokal tidak terlepas menurut adanya jaringan atau klan yang terjadi antara kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan memperlihatkan adanya integrasi social, kelompok korelasi yang akbar, grup relasi yang menurut asas unilinear. Klan gerombolan korelasi yg terdiri atas seluruh keturunan seseorang nenek moyang yang di perhitungkan berdasarkan garis keturunan pria atau perempuan .

Bangunan klan tidak terlepas dari siapa patron awal yang membentuk pondasi yg kuat yg membawanya sehingga klan tersebut atau jaringan bisa berada dalam level kekuatan kekuatan yg bertenaga untuk lalu dikonsolidasikan dalam tataran elit yg kemudian menjadi kekuatan yang kuat ditingkatan lokal serta nantinya dalam strata skala nasional. Klan atau jaringan pada ranah pangung politik sangat berperan besar dimana membentuk klan atau jaringan itu sendiri yg nantinya bisa menghipnotis proses politik atau sebuah kebijakan serta dampak sosial politik menurut opini politik klan yang dibangun. 

Pola komunkasi yang kuat yang dibangun sebuah kelompok hubungan jaringan keluaraga atau adalah salah satu faktor menguatnya fenomena klan atau jaringan keluarga pada strata elit poltik lokal yang memungkinkan terjadinya dominasi kekuasaan pada arah proses kebijakan nantinya, semua itu nir terlepas menurut bisnis yang dibangun patron awal sebagai akibatnya klan atau jaringan keluaraga tadi menjadi suatu kesatuan yg kuat pada tataran politik lokal bahkan akan memunculkan regenerasi baru berdasarkan klan yg sama, yang kuat, dan yang nantinya akan meneruskan proses politik yg sedang berlangsung.

Klan pada politik ada pada satu famili dimana mereka pada hal ini keluarga bisa menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik, klan dalam politik ini adalah sesuatu yg diturunkan atas faktor keturunan dan ada yang menyebut gejala ini sebagai kebangkitan dinasti dikancah politik. Penulis menyebutnya sebagai klan atau famili politik, fanatisme pada keluarga terinspirasi berdasarkan peribahasa Jerman “Blut ist dicker als wasser” yg secara harfiah berarti interaksi darah (famili) lebih bertenaga dibandingkan ikatan lain ( berdasarkan aspek loyalitasnya ).

E. Konsep Pengaruh
Pada bagian ini akan disajikan konsep efek impak yg dimaksudkan dalam hal ini merupakan bila tekanan yang diberikan kepada pengaurh eksperimental dan pengaruh lingkungan itu ternyata benar,maka lumrah untuk beranggapan bahwa impak tersebut akan terus berkelanjutan sebagai penting selama usia dewasa,dan bahwa proses pengenalan itu berlanjut terus melampaui masa kanak kanak dan remaja. Bagan utama berdasarkan tingkah laris politik dimasa depan dapat ditentukan dimasa masa yang lebih muda,akan tetapi merupakan lebih mungkin membentuk suatu situasi dalam mana terdapat hubungan diantara pengenalan politik dini menggunakan dampak - imbas eksperimental dan lingkungan dari masa kehidupan selanjutnya,daripada menghindarkan pengenalan orang dewasa. 

Satu model terbatas akan menggambarkan maksud kita, ada bukti yang menyatakan bahwa anggota badan legislatif mengalami proses sosialisasi segera sesudah pemilihan mereka: dan bahwa tingkah aku legislatif berikutnya sebagian dipengaruhi sang pengetahuan,nilai nilai, dan sikap perilaku mereka seperti yg terdapat terdapat sebelum pemilihan, dan sebagian lagi oleh pengalaman pengalaman mereka semasa sebagai anggota badan legislatif, ditambah lagi menggunakan reaksi reaksi mereka terhadap lingkungan baru didalam forum legislatif.dalam keadaan misalnya itu suatu strata sosialisasi nir bisa dihindarkan berdasarkan pengalaman sehari hari laki-laki serta wanita pada umumnya.

Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum banyak diteliti orang, sekalipun terdapat beberapa verifikasi yg ada berdasarkan studi studi tentang tingkah laris pemilihan/elektoral, pencerahan kelas, pengaruh dari situasi situasi kerja serta perkembangan ideologi. Wlaupun demikian, setidak tidaknya mungkin buat mengsugestikan, bahwa bidang bidang tentang sosialisasi orang dewasa itu adalah penting. Justru seperti halnya anak yg diantarkan secara bertahap pada kontak menggunakan dunia disekitar dirinya setahap demi setahap, demikian juga halnya para remaja serta perubahan menurut masa remaja sebagai dewasa, menerangkan adanya suatu termin lainnya yang penting dalam sosialisasi politik.

Beberapa kontak yang dijalin selama masa kanak kanak dan masa remaja ada yg berkelanjutan dalam bentuk yang agak seperti melalui persahabatan dan ta’aruf: sedang yang lainnya bisa diteruskan atau diperbaharui lewat medium medium lainnya misalnya pekerjaan, kesenggangan ( kesibukan diwaktu senggang ), agama atau media massa, namun beberapa daripadanya serta pengalaman pengalaman yang mereka yang meraka peroleh adalah baru sifatnya. Bagi beberapa orang, pengalaman pengalaman baru sedemikian ini akan memperkokoh sosialisasi sebelumnya, akan namun bagi orang lain akan menyebabkan kemunculan banyak sekali tingkatan permasalahan yang mungkin mengakibatkan timbulnya perubahan perubahan krusial dalam tingkah laris politik. 

Kepindahan berdasarkan wilayah pedesaan ke kota, pengalaman menganggur, keanggotaan dari organisasi sukarela, perkembangan minat minat diwaktu senggang, ganti agama, penerapan berita serta opini melalui media massa seluruh ini menyebabkan pengaruh yang berarti pada tingkah laku politik kini . 

F. Konsep Jaringan
Menurut pandangan pakar teori jaringan, pendekatan normatif memusatkan perhatian terhadap kultur serta proses sosialisai yg menanamkan (internalization) kebiasaan dan nilai kedalam diri aktor. Menurut pendekatan normatif, yang mempersatukan orang secara bersama dalah sekumpulan gagasan bersama. Pakar teori jaringan menolak pandangan demikian dan menyatakan bahwa orang harus memusatkan perhatian pada pola ikatan objektif yang menghubungkan anggota rakyat. William membicarakan pandangan ini:

“Analisis jaringan lebih ingin mengusut keteraturan individu serta kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu pakar analisis jaringan mencoba menghindarkan penerangan normatif serta perilaku sosial. Mereka menolak setiap penerangan nonstruktural yg memperlakukan proses sosial sama menggunakan penjumlahan ciri langsung aktor individual serta kebiasaan yg tertanam. 

Setelah menjelaskan apa yang sebagai bukan sasaran perhatiannya, teori jaringan lalu mengungkapkan sasaran perhatian utamanya, yakni pola objektif ikatan yg menghubungkan anggota masyarakat (individual serta kolektifitas).wellman mengungkapkan target perhatian utama teori jaringan menjadi brikut:

Analisis jaringan memulai menggunakan gagasan sederhana namun sangat bertenaga, bahwa usaha utama sosiolog merupakan mengusut sturktur sosial…cara paling langsung menilik stuktur sosial adalah menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggotanya. Pakar analisis jaringan menulusuri struktur bagian yang berada dibawah pola jaringan biasa yang seringkali ada kepermukaan sebagai system social yang kompleks…Aktor dan perilakunya dicermati menjadi dipaksa oleh struktur social ini. Jadi, target perhatian analisis jarigan bukan pada aktor sukarela, tetapi pada paksaan structural.

Satu ciri spesial teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (Wellman dan Wortley, 1990), namun mungkin pula kelompok, perusahaan(Baker,1990;Clawson, Neustadtl, dan Bearden, 1986; Mizruchi dan Koening, 1986) dan rakyat. Hubungan dapat terjadi ditingkat struktur social skala luas juga ditingkat yg lebih mikroskopik. Granoveter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu misalnya tindakan yang”melekat”pada interaksi langsung nyata dan pada strktur(jaringan) interaksi itu”(1985:490).hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektifitas) mempunyai akses tidak sama terhadap asal daya yg bernilai (kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen eksklusif tergantung dalam komponen yang lain.

Satu aspek penting analisis jaringan adalah bahwa analisis ini menjauhkan sosiolog dari studi mengenai gerombolan dan kategori sosial dan mengarahkannya buat memeriksa ikatan dikalangan dan antar aktor yang “tidak terikat secara kuat serta tak sepenuhnya memenuhi persyaratan grup” (Wellman, 1983:169). Contoh yg baik menurut ikatan misalnya ini adalah diungkap pada karya Granoveter(1973:1983) tentang “ikatan yg kuat serta lemah” Granoveter membedakan antara ikatan yg bertenaga, misalnya interaksi antara seseorang dan sahabat karibnya, dan ikatan yg lemah, contohnya interaksi antara seorang serta kenalannya. 

Sosiolog cenderung memusatkan perhatian orang yang memiliki ikatan yang bertenaga atau kelompok sosial. Mereka cenderung menganggap ikatan yang kuat itu penting, sedangkan ikatan yg lemah dianggap tak penting buat dijadikan sasaran studi sosiologi. Granoveter menjelaskan ikatan yang lemah bisa menjadi sangat penting. Contoh, ikatan lemah antara 2 aktor bisa membantu sebagai jembatan antara da gerombolan yg bertenaga ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yg lemah misalnya itu, ke 2 grup mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya dapat menyebabkan system soisial semakin terfragmentasi. Seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah grup yang ikatannya sangat kuat serta akan kekurangan berita mengenai apa yang terjadi di gerombolan lain juga dalam rakyat lebih luas. Karena itu ikatan yang lemah mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengitegrasikan dirinya menggunakan lebih baik ke dalam warga lebih luas. Meski granoveter menekankan pentingnya ikatan yg lemah, dia segera menyebutkan bahwa, “Ikatan yg kuat pun mempunyai nilai” (1983: 209; Lihat Bian, 1997). Misalnya, orang yg memiliki ikatan bertenaga mempunyai motivasi lebih besar buat saling membantu serta lebih cepat buat saling menaruh bantuan.