SEJARAH LAHIRNYA SOSIOLOGI

Sejarah Lahirnya Sosiologi 
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, lantaran pergeseran pandangan mengenai masyarakat, menjadi ilmu realitas yang memperoleh pijakan yang kokoh. Sosiologi sebagai ilmu yg otonom dapat lahir lantaran terlepas berdasarkan dampak filsafat. Nama sosiologi buat pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-1857) dalam tahun 1839, sosiologi adalah ilmu pengetahuan positif yang memepelajari rakyat. Sosiologi mempelajari aneka macam tindakan sosial yg berubah menjadi dalam empiris sosial. Mengingat banyaknya empiris social, maka lahirlah aneka macam cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi, sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain. Rintisan Comte tadi disambut hangat oleh rakyat luas, tampak menurut tampilnya sejumlah ilmuwan akbar di bidang sosiologi. Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya asal dari Eropa. Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan menyelidiki masyarakat yg amat bermanfaat buat perkembangan sosiologi. Émile Durkheim ilmuwan sosial Perancis berhasil melembagakan Sosiologi menjadi disiplin akademis. Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial menjadi pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yg tahu masyarakat misalnya tubuh insan, menjadi suatu organisasi yg terdiri atas bagian-bagian yg tergantung satu sama lain. Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yg menduga pertarungan antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan rakyat. Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan , tujuan, serta sikap yang menjadi penuntun konduite manusia. Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology. 

A. Latar Belakang Historis Sosiologi Pendidikan
Ketika diangkat menjadi Presiden American Sosiological Association dalam tahun 1883, Lester Frank Ward, yg berpandangan demokratis, menyampaikan pidato pengukuhan dengan menekankan bahwa asal utama disparitas kelas sosial pada masyarakat Amerika adalah disparitas dalam memiliki kesempatan, khususnya kesempatan pada memperoleh pendidikan. Orang berpendidikan lebih tinggi mempunyai peluang lebih akbar buat maju serta mempunyai kehidupan yg lebih bermutu. Pendidikan dipandang sebagai faktor pembeda antara kelas-kelas sosial yang relatif merisaukan. Untuk menghilangkan disparitas-perbedaan tersebut dia mendesak pemerintahnya supaya menyelenggarakan harus belajar. Usulan itu dikabulkan, dan wajib belajar pada USA berlangsung 11 tahun, hingga tamat Senior High School (Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 78).

Buah pikiran Ward dijadikan landasan buat lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yg baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Ia seringkali dijuluki sebagai “Bapak Sosiologi Pendidikan”(Rochman Natawidjaja, et. Al., 2007: 79). Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan pendidikan sebagai alat buat memecahkan konflik social dan sekaligus menaruh rekomendasi buat mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri. Kelahiran cabang ilmu baru ini mendapat sambutan luas dikalangan universitas di USA. Hal itu terbukti menurut adanya 14 universitas yg menyelenggarakan perkuliahan Educational Sociology, pada tahun 1914. Selanjutnya, dalam tahun 1923 dibentuk organisasi professional bernama National Society for the Study of Educational Sociology serta menerbitkan Journal of educational Sociology. Pada tahun 1928, organisasi progesional yang mandiri itu bergabung ke dalam seksi pendidikan menurut American Sociological Society.

Pada tahun 1928 Robert Angel mengkeritik Educational Sociology dan memperkenalkan nama baru yaitu Sociology of Education menggunakan focus perhatian dalam penelitian dan publikasi hasilnya, sebagai akibatnya Sociology of Education mampu sebagai sumber data serta liputan ilmiah, serta studi akademis yg bertujuan berbagi teori serta ilmu sendiri. Dengan dukungan dana penelitian yg memadai, berhembuslah angin segar dan menarik para sosiolog buat melakukan penelitian dalam bidang pendidikan. Maka diubahlah nama Educational Sociology sebagai Sociology of Education serta Journal of Educational Sociology sebagai Journal of the Sociology of Education (1963). Serta seksi Educational Sociology dalam American Sociological Society pun berubah menjadi seksi Sociology of Education yg berlaku sampai sekarang. Penelitian serta publikasi hasilnya menandai kehidupan Sociology of Education semenjak pasca Perang Dunia II.

Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai kurang lebih tahun 1900, waktu Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda ketika itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, serta emigrasi. Meskipun pada mulanya acara pendidkan itu amat elitis, lama kelamaan meluas serta semakin tinggi ke arah yg makin populis sampai penyelenggaraan harus belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.kartini, serta R.dewi Sartika.

B. Pengertian Landasan Sosiologi
Manusia selalu hidup berkelompok, sesuatu yang pula terdapat pada makhluk hayati lainnya yakni hewan. Meskipun demikian, pengelompokan insan jauh lebih rumit menurut pengelompokan hewan. 

Wayan Ardhana (1968) menyatakan karakteristik-karakteristik hidup berkelompok pada fauna pada kutipan berikut. 

Pada hewan, hayati berkelompok memiliki cirri-karakteristik: Ada pembagian kerja yg permanen dalam anggotanya, ada ketergantungan antar anggota, ada kerjasama antar anggota, ada komunikasi antar anggota, dan ada diskriminasi antar individu yg hidup pada suatu kelompok dengan individu yang hayati dalam kelompok lain. 

Ciri-ciri fauna tadi bisa pula ditemukan dalam manusia. Kehidupan sosial insan tersebut dipelajari oleh filsafat, yang berusaha mencari hakekat rakyat yg sebenarnya. Filsafat sosial acapkali membedakan insan sebagai individu dan insan sebagai anggota rakyat. Pandangan aliran-aliran filsafat mengenai realitas sosial itu berbeda-beda, sebagai akibatnya dapat ditemukan beragam aliran filsafat sosial.

Kegiatan pendidikan adalah suatu proses interaksi antara 2 individu, bahkan 2 generasi, yg memungkinkan generasi muda memperkembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi pada forum sekolah yg dengan sengaja pada bentuk oleh rakyat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada aktivitas pendidikan tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.

Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau perkiraan dalam penerapan pendidikan yang bertolak dalam hubungan antar individu sebagai mahluk sosial pada kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara 2 individu (pendidik serta siswa) bahkan 2 generasi yg memungkinkan generasi belia berbagi diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam aktivitas pendidikan. Oleh karena itu kegiatan pendidikan bisa berlangsung baik di lingkungan famili, sekolah serta rakyat. Oleh karenanya kajian sosiologis mengenai pendidikan mencakup semua jalur pendidikan tersebut.
Pendidikan keluarga sangat krusial, lantaran famili adalah lembaga sosial yg pertama bagi setiap insan. Oleh karenanya proses sosialisasi dimulai berdasarkan famili dimana anak mulai membuatkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai serta sikap yang dapat mensugesti perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya serta ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yg menggunakan sengaja dibentuk sang warga menggunakan perencanaan serta aplikasi yg mantap. Selanjutnya disamping sekolah, proses pendidikan pula dipengaruhi oleh aneka macam gerombolan kecil pada rakyat. Seperti gerombolan keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dll. Yang menjadi penekanan dalam aktivitas ini adalah aspek sosiologis, dan dalam aspek pembaharuan warga . Dalam pelaksanaan pada banyak sekali negara diupayakan ekuilibrium antara pelestarian serta pengembangan budaya serta rakyat.

C. Norma-Norma Yang Terkandung Dalam Landasan Sosiologi Pendidikan
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber menurut norma kehidupan masyarakat yg dianut sang suatu bangsa. Untuk tahu kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian dalam pola interaksi antar eksklusif dan antar gerombolan dalam masyrakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan rakyat yang rukun serta damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang pada perkembangannya menjadi kebiasaan-norma social yg mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: paham individualisme, paham kolektivisme, paham integralistik.

Paham individualisme dilandasi teori bahwa insan itu lahir merdeka serta hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja berdasarkan keinginannya, asalkan nir mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menyebabkan cara pandang yg lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam rakyat seperti ini, usaha buat mencapai pengembangan diri, antara anggota warga satu dengan yang lain saling berkompetisi sebagai akibatnya mengakibatkan dampak yg kuat. 

Paham kolektivisme menaruh kedudukan yang hiperbola pada masyarakat serta kedudukan anggota rakyat secara perseorangan hanyalah sebagai indera bagi masyarakatnya. 

Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota warga saling berafiliasi erat satu sama lain secara organis adalah rakyat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia nir secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya insan adalah eksklusif dan jua adalah relasi. Kepentingan rakyat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yg bersumber dari kebiasaan kehidupan warga : (1) kekeluargaan serta gotong royong, kebersamaan, musyawarah buat konsensus, (dua) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, serta (4) selaras harmonis seimbang antara hak serta kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

D. Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan
Para ahli sosiologi dan ahli pendidikan setuju bahwa, sinkron menggunakan namanya, Sosiologi Pendidikan atau Sociology of Education (jua Educational Sociology) merupakan cabang ilmu Sosiologi, yang pengkajiannya diperlukan oleh professional dibidang pendidikan (calon guru, para pengajar, dan pemikir pendidikan) serta para mahasisiwa dan professional sosiologi.

Sosiologi Pendidikan diharapkan sanggup memberikan rekomendasi tentang bagaimana harapan serta tuntutan warga mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana usahakan pendidikan itu berlangsung dari kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional juga lokal.

Sosiologi pendidikan adalah analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola hubungan sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yg dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang.

1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain, yg memeriksa:
a. Fungsi pendidikan pada kebudayaan.
b. Hubungan sisitem pendidikan dan proses kontrol sosial dan sistem kekuasaan.
c. Fungsi sistem pendidikan pada memelihara dan mendorong proses sosial serta perubahn kebudayaan.
d. Hubungan Pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status.
e. Fungsionalisasi sistem pendidikan formal dalam hubungannya menggunakan ras, kebudayaan, atau grup-grup dalam warga  

2. Hubungan kemanusiaan pada sekolah yang meliputi:
a. Sifat kebudayaan sekolah khususnya yang tidak sama dengan kebudayaan pada luar sekolah.
b. Pola Interaksi sosial atau struktur masyarakat sekolah.

3. Pengaruh sekolah pada prilaku anggotanya, yang mengusut:
a. Peranan sosial guru.
b. Sifat kepribadian pengajar.
c. Pengaruh kepribadian guru terhadap tingkah laku murid.
d. Fungsi sekolah pada pengenalan anak-anak.

4. Sekolah dalam komunitas, yg menilik pola interaksi antara sekolah dengan grup sosial lain pada pada komunitasnya, yang mencakup:
a. Pelukisan mengenai komunitas misalnya tampak dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah.
b. Analisis mengenai komunitas seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum nir terpelajar.
c. Hubungan antara sekolah serta komunitas pada fungsi kependidikannya.
d. Faktor-faktor demografi dan ekologi pada hubungannya dengan organisasi sekolah.

Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial menjadi wahana buat memahami sistem pendidikan dalam kaitannya menggunakan holistik hidup rakyat (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/67).

Rochman Natawidjaja (et. Al., 2007: 82) menyatakan bahwa “sosiologi pendidikan secara operasional ... ... Menjadi cabang sosiologi yang memusatkan perhatian ... Menyelidiki interaksi antara pranata pendidikan dengan pranata kehidupan lain, ... Unit pendidikan menggunakan komunitas sekitar, hubungan social ... Orang-orang pada satu unit pendidikan, serta efek pendidikan dalam kehidupan siswa”.

E. Fungsi Kajian Sosiologi Pendidikan
1. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman mengenai fenomena yg termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk dibutuhkan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai menurut yg bercorak generalisasi empirik hingga dalil dan hukum-hukum yg mantap, data serta kabar tentang hasil penelitian lapangan yg actual, baik dari lingkungan sendiri juga berdasarkan lingkungan lain, dan fakta mengenai kasus serta tantangan yg dihadapi. Dengan kabar yg lengkap serta akurat, komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan bisa menafsirkan kenyataan-fenomena yg dihadapi secara seksama. Penjelasan-penerangan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.

2. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan syarat dan perseteruan pendidikan yang diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan menggunakan itu, tuntutan rakyat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-faktor internal dan eksternal yg masuk ke pada masyarakat melalui aneka macam media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diharapkan pada perencanaan pengembangan pendidikan guna mengantisipasi syarat serta tantangan baru.

3. Fungsi utilisasi, yaitu menangani konflik-permasalahan yg dihadapi dalam kehidupan rakyat misalnya masalah lapangan kerja serta pengangguran, permasalahan sosial, kerusakan lingkungan, serta lain-lain yang memerlukan dukungan pendidikan, serta perkara penyelenggaraan pendidikan sendiri.

Jadi, secara generik sosiologi pendidikan bertujuan buat menyebarkan fungsi-kegunaannya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, serta utilisasi) melalui pengkajian mengenai keterkaitan kenyataan-fenomena siosial dan pendidikan, dalam rangka mencari contoh-contoh pendidikan yang lebih fungsional dalam kehidupan warga . Secara spesifik, Sosiologi Pendidikan berusaha buat menghimpun data serta liputan tentang hubungan sosial pada antara orang-orang yang terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang hubungan antara forum pendidikan serta komunitas sekitarnya, serta mengenai hubungan antara pendidikan menggunakan pranata kehidupan lain.

F. Masyarakat Indonesia Sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional
Masyarakat selalu mencakup sekelompok orang yang berinteraksi antar sesamanya, saling tergantung serta terikat sang nilai serta norma yang dipatuhi bersama, dalam umumnya berdomisili pada daerah tertentu, dan adakalanya mereka mempunyai interaksi darah atau memiliki kepentingan beserta. Masyarakat dapat adalah suatu kesatuan hidup pada arti luas ataupun dalam arti sempit. Masyarakat pada arti luas dalam umumnya lebih abstrak misalnya rakyat bangsa, sedang pada arti sempit lebih konkrit misalnya marga atau suku. Masyarakat menjadi kesatuan hayati memiliki ciri primer, antara lain: (1) ada interaksi antara warga -warganya, (dua) pola tingkah laku warganya diatur sang adapt adat, norma-kebiasaan, hukum, dan aturan-anggaran khas, (tiga) terdapat rasa bukti diri bertenaga yg mengikat para warganya.

Umar Tirtarahardja serta La Sulo (1994: 100) menyatakan bahwa “kesatuan wilayah, kesatuan istiadat- adat, rasa bukti diri, serta rasa loyalitas terhadap kelompoknya merupakan pangkal berdasarkan perasaan bangga menjadi patriotisme, nasionalisme, jiwa korps, serta kesetiakawanan sosial warga Indonesia mempnyai bepergian sejarah yg panjang”

Dari dulu hingga kini , ciri yang menonjol berdasarkan warga Indonesia adalah sebagai masyarakat majemuk yang tersebar di ribuan pulau di nusantara. Melalui perjalanan panjang, masyarakat yg berbeda-beda tersebut akhirnya mencapai satu kesatuan politik buat mendirikan satu negara dan berusaha mewujudkan satu masyarakat Indonesia sebagaiu warga yg bhinneka tunggal ika. Sampai ketika ini, rakyat Indonesia masih ditandai oleh dua karakteristik yang unik, yakni (1) secara horizontal ditandai sang adanya kesatuan-kesatuan social atau komunitas menurut perbedaan suku, agama, norma adat, dan kedaerahan, serta (dua) secara vertical ditandai sang adanya perbedaan pola kehidupan antara lapisan atas, menengah, dan lapisan bawah.

Pada zaman penjajahan, sifat dasar masyarakat Indonesia yang menonjol adalah (1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok social atau golongan social jajahan yang seringkali memiliki sub-kebudayaan sendiri, (dua) mempunyai struktur social yg terbagi-bagi, (3) sering anggota warga atau kelompok tidak berbagi consensus pada antara mereka terhadap nilai-nilai yang bersifat mendasar, (4) diantara gerombolan relative sering mengalami pertarungan, (lima) terdapat saling ketergantungan pada bidang ekonomi, (6) adanya penguasaan politiuk sang suatu kelompok atas kelompok-kelompok social yang lain, dan (7) secara relative integrasi social sukar dapat tumbuh (Wayan Ardhana, 1986: Modul 1/70).

Masyarakat Indonesia setelah kemerdekaan, utamanya pada zaman pemerintahan Orde Baru, sudah poly mengalami perubahan. Sebagai masyarakat beragam, maka komunitas dengan ciri-ciri unik, baik secara horizontal juga secara vertical, masih bisa ditemukan, demikian jua halnya menggunakan sifat-sifat dasar berdasarkan zaman penjajahan belum terhapus seluruhnya. Namun niat politik yg kuat sebagai suatu warga bangsa Indonesia serta kemajuan pada banyak sekali bidang pembangunan, maka sisi ketunggalan menurut “bhinneka tunggal ika” makin mencuat. Berbagai upaya dilakukan, baik melalui aktivitas jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, telah menumbuhkan benih-benih persatuan serta kesatuan yang semakin kokoh.

Berbagai upaya sudah dilakukan dengan nir mengabaikan fenomena tentang kemajemukan rakyat Indonesia. Hal terakhir tadi sekarang makin menerima perhatian yg semestinya dengan antara lain dimasukkannya muatan lokal (mulok) di pada kurikulum sekolah. Perlu ditegaskan bahwa muatan local pada dalam kurikulum tidak dimaksudkan menjadi upaya menciptakan “manusia lokal”, akan namun haruslah didesain serta dilaksanakan pada rangka mewujudkan “insan Indonesia” di suatu lokal tertentu. Dengan demikian akan bisa diwujudkan insan Indonesia menggunakan wawasan nusantara serta berjiwa nasional akan tetapi yg memahami serta menyatu menggunakan lingkungan (alam, sosial, serta budaya) disekitarnya.

Comments