KONSEP FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENDIDIKAN

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan 
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan seutuhnya, berarti proses kependidikan yg harus dikelola oleh para pendidik wajib berjalan, di atas pola dasar berdasarkan fitrah yg sudah dibentuk Allah dalam setiap pribadi insan. 

Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yg kompleks, karena pada dalamnya terdapat aspek-aspek kemampuan dasar yg dapat dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu serta mensugesti) buat terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan sempurna melalui arahan kependidikan. 

Makalah ini mencoba menyampaikan konsep fitrah dan bagaimana implikasinya dalam pendidikan Islam. 
1. Konsep Fitrah dalam Perspektif Pendidikan Islam Kaum Nashrani menyatakan bahwa manusia lahir menggunakan seperangkat dosa waris, yakni dosa asal menjadi dampak menurut perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, genre Behaviorisme memandang bahwa insan lahir tidak memiliki kesamaan baik maupun buruk. Teori ini terkenal dengan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).             

Sedangkan Islam memperlihatkan sebuah konsep tentang hakikat manusia yg tercermin pada konsep fitrahnya. 

Para ahli Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, serta tiap-tiap formulasi yg didapatkan melalui kajian serta argumentasi yg kuat. Landasan menurut tiap formulasi tersebut merupakan firman Allah SWT. yang berbunyi : 

ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪﱢﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔﺎً ﻓِﻄْﺮَةَ اﻟﻠﱠﻪِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎ
ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ اﻟﺪﱢﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴﱢﻢُ وَﻟَﻜِﻦﱠ أَآْﺜَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻟَﺎ
ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮنَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepad agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang sudah menciptakan manusia berdasarkan fitrah. Tidak ada perubahan dalam kreasi Allah, (itulah) agama yg lurus, namun kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Dari ayat tersebut timbullah berbagai interpretasi tentang makna fitrah yaitu : 
a. Fitrah berarti suci 
b. Fitrah berarti Islam 
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah 
d. Fitrah berarti murni 
e. Fitrah berarti kondisi penciptaan insan yang mempunyai kecenderungan buat mendapat kebenaran. 
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat buat mengabdi serta ma’rifatullah 
g. Fitrah berarti ketetapan atau insiden asal insan mengenai kebahagiaan serta kesesatannya. 
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature). 

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yang mempunyai sifat kebaikan dan kesucian buat mendapat rangsangan dan pengaruh berdasarkan luar menuju dalam kesempurnaan serta kebenaran. 

Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah menjadi kemampuan dasar dan kesamaan yg murni bagi setiap individu. 

Fitrah ini lahir dalam bentuk yg paling sederhana dan terbatas, kemudian saling mempengaruhi menggunakan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh serta berkembang lebih baik, atau bahkan sebaliknya. 

Sebagai mana sudah dijelaskan pada atas bahwa fitrah mengacu kepada potensi yg dimiliki insan. Potensi itu antara lain yaitu, 

a. Potensi beragama 
Perasaan keagamaan adalah insting yang dibawa sejak lahir beserta ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan pada zat tertinggi yg Maha Unggul di luar dirinya serta dan diluar berdasarkan alam benda yg dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh bila manusia dihadapkan dalam dilema dilema yang melingkupinya. 

Akal akan menyadari kekerdilannya serta mengakui akan kudratnya yg terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan sang hamba pada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya menggunakan lapang dada ikhlas tersisih menurut syirik atau sebarang penyekutuannya. 

b. Kecenderungan moral 
Kecenderungan moral erat kaitannya menggunakan potensi beragama. Ia bisa untuk membedakan yang baik dan tidak baik. Atau yg memiliki hati yg bisa mengarahkan kehendak serta logika. 

Apabila dipandang berdasarkan pengertian fitrah misalnya di atas, maka kesamaan moral itu sanggup mengarah pada dua hal sebagaimana masih ada pada surat Asy-Syam ayat 7:

وَﻧَﻔْﺲٍ وَﻣَﺎ ﺳَﻮﱠاهَﺎ ﴿٧﴾
ﻓَﺄَﻟْﻬَﻤَﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮرَهَﺎ وَﺗَﻘْﻮَاهَﺎ ﴿٨﴾
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156) 
Manusia mampu dibuat serta diubah. Ia sanggup menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau genre baru. Atau meninggalkan tata cara, nilai dan genre usang, menggunakan cara hubungan social baik menggunakan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman tentang bagaimana sifat insan yg mudah lentur, masih ada dalam surat Al Insan ayat tiga : 

إِﻧﱠﺎ هَﺪَﻳْﻨَﺎﻩُ اﻟﺴﱠﺒِﻴﻞَ إِﻣﱠﺎ ﺷَﺎآِﺮاً وَإِﻣﱠﺎ آَﻔُﻮراً ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami sudah menunjukinya jalan yang lurus; terdapat yang bersyukur serta ada pula yg kafir.

d. Kecenderungan bermasyarakat 
Manusia pula mempunyai kecendrungan bersosial dan bermasyarakat. 

Menurut Ibnu Taimiyah, pada diri insan setidaknya masih ada 3 potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu : 

a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql) 
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan jelek. Dengan daya intelektualnya, manusia bisa mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya. 

b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) 
Yaitu potensi dasar yg mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara harmonis dan seimbang. 

c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan insan berdasarkan segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Tetapi demikian, diantara ketiga potensi tadi, pada samping agama – potensi logika menduduki posisi sentral sebagai indera kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya semua potensi yg ada secara aporisma, sebagaimana yg disinyalir oleh Allah pada buku dan ajaranajaranNya. Pengingkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yg dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral. 

Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah insan pada 2 bentuk, yaitu: 

a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi pada diri manusia yang dibawanya sejak lahir. 

Bentuk fitrah ini berupa nafsu, nalar, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan. 

b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar insan. Adapun fitrah ini adalah wahu ilahi yang diturunkan Allah buat membimbing serta mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sinkron menggunakan fitrahnya yang hanif. Semakin tinggi interaksi antara ke 2 fitrah tersebut, maka akan semakin tinggi jua kualitas manusia. 

Dari seluruh penjelasan tentang potensi manusia, tampak kentara bahwa lingkungan sebagai faktor eksternal. Lingkungan ikut menghipnotis dinamika serta arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yg dimiliki manusia, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian jua sebaliknya, penempaan dan pembinaan fitrah yg dimiliki nir dalam fitrahnya maka manusia akan tergelincir menurut tujuan hidupnya. Untuk itu galat satu pembinaan fitrah menggunakan pendidikan. 

Bila pengertian fitrah pada atas dikaitkan dengan tugas serta fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah manusia tersebut masih memerlukan beberapa upaya buat merangsangnya berkembang secara maksimal . Upaya tersebut merupakan pendidikan. 

Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi insan yang dapat mencetak insan sesuai dengan fungsinya, tetapi terdapat juga potensi lain yang menjadi kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang mempunyai kecenderungan dalam keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah wajib permanen dikembangkan serta dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan wajar apabila mendapat suplay yg dijiwai sang wahyu Allah, tentu saja hal ini wajib didorong menggunakan pemahaman Islam secara kaffah serta universal. Semakin tinggi tingkat hubungan seseorang menggunakan Islam, semakin baik jua perkembangan fitrahnya. 

Konsep fitrah dari Islam tidak sama menggunakan teori Tabularasa John Locke. Sebab pada Islam, insan semenjak lahir sudah memiliki banyak sekali bentuk potensi yg mampu dikembangkan. Konsep fitrah insan berdasarkan Islam pula berbeda jauh menggunakan teori nativisme A, Scopenhour, karena dalam Islam mengakui adanya imbas yang besar pada luar diri insan, baik insani juga non insani, dalam menyebarkan dan memodifikasi potensi yang dimilikinya. 

Konsep fitrah dari Islam juga tidak sama dengan teori konvergensi William Stern, karena dalam pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata dipengaruhi sang lingkungan semata serta nir mampu dipengaruhi melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) pada membentuk kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yang lebih lebih banyak didominasi dalam menciptakan kepribandian manusia, akan tetapi ada kalanya lingkungan yang lebih mayoritas, atau kedua-duanya sama-sama mayoritas. Bahkan dalam Islam, di luar ke 2 impak tadi, terdapat imbas lainnya yang pula ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian insan, yaitu faktor hidayah yg diberikan Allah pada hamba-hamba-Nya yg dikehendaki. 

Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa cakupan berdasarkan pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding menggunakan batasan yang dikembangkan sang para ahli pendidikan pada masa ini pada melihat potensi manusia yg terkesan bersifat parsial serta tanggal dari kerangka bingkai religiusitas manusia yang sakral dan asasi. 

2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan Konvergensi) 
Manusia lahir menggunakan membawa fitrah, yang meliputi fitrah agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. Lima:dua), fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin mengembangkan keturunan (kawin), cinta tanah air, dan sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut harus mendapat tempat serta perhatian, serta imbas dari faktor oksigen insan (lingkungan) buat berbagi serta melestarikan potensinya yang positif dan sebagai penangkal menurut kelestarian an-nafsu ammarah bis suu`, sebagai akibatnya manusia dapat hayati searah menggunakan tujuan Allah yang mencitakannya. 

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah insan. 
Bahkan factor tadi bisa mempengaruhi kepribadian insan. Namun demikian, dia bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa terdapat dukungan menurut faktor-faktor lain. Pernyataan tadi menolak pandangan Skinner yg menyampaikan bahwa lingkungan memilih kehidupan manusia betapapun dia mengganti lingkungannya. Di sini terlihat bahwa manusia nir lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-gerakan yg tiak disengaja), pada samping itu kepercayaan sebagai aspek lain menurut tingkah laku insan dapat dijelaskan berkenaan menggunakan factor-faktor lingkungan.. Pernyatan tadi dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam umumnya menjadi muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen umumnya menjadi Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai keliru satu model buat menyebutkan teorinya (Abdullah, 1982: 60) Pada fase defense, masa kanak-kanak menaruh kemungkinan orang tuanya untuk memberikan dampak-impak pada putra-putrinya. 

Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan menggunakan hadits Nabi saw, yg menampakan cara fitrah itu dipengaruhi oleh lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53) 

“Tidak seseorang pun dilahirkan kecuali dia mempunyai fitah, maka kedua orang tuanya yang mensugesti, menjadikannya Yahudi, Nasrani serta Majusi”. (H.R. Muslim dari Abu Hurairah) 

Hadits di atas menyebutkan bahwa fitrah yang dibawa semenjak lahir, dapat ditentukan oleh lingkungan. Fitrah ini nir bisa berkembang tanpa adanya imbas positif menurut lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis apabila lingkungan itu nir memungkinkan buat membuahkan fitrah tadi lebih baik. Factor-faktor eksternal yg bergabung menggunakan fitrah dan sifat dasarnya bergantung dalam sejauh mana hubungan internal berperan terhadap fitrah tadi. 

Sebaliknya, berdasarkan pengamat behavioris, fitrah itu nir mengharuskan insan buat berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yg hayati pada syarat yang sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus dengan cara yg berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun menurut Mesir sudah sebagai perempuan yg beriman kepada Allah SWT.sekalipun berada di lingkungan orang musyrik, beliau selalu berdo`a pada Allah SWT yang disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11) 

Di samping itu, hadits Nabi SAW. Tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah adalah suatu pembawaan setiap manusia semenjak lahir, dan mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah adalah akibat berdasarkan factor lingkungan (pendidikan). Di pada fitrah terkandung pengertian baik buruk, sahih galat, indah jelek, lempang sesat, serta seterusnya. 

Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau mengembalikannya dalam kebaikan sesudah dia mengalami penyimpangan (kuratif) (Ahmad: 32). 

Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan buat tumbuh dan berkembang sesuai menggunakan dampak alam sekitarnya. Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan serta pedagogi. Dari sisi ini pula, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT. memberi kemampuan nalar yg bisa membedakan antara yg baik dan tidak baik kepada insan, sehingga pendidikan berperan pada mengarahkan akal insan ke jalan yang baik serta sahih, bukan ke jalan yg buruk serta tersesat. Uraian itu dapat dibuktikan pada al-Qur`an bahwa insan memiliki tabiat orisinil (Q.S. 30:30) yg harus diupayakan menggunakan pendidikan (Q.S. 16:78), dan adanya kemampuan memilih bagi manusia (Q.S. 6:78, 90:8, 76:3) (Al-Jamaly, 1986: 66). 

Ibnu Khaldun jua membicarakan bahwa factor-faktor pada luar diri manusia mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan tindakan manusia. Dengan demikian, insan yg sebenarnya merupakan manusia yg dibentuk sang lingkungannya, baik lingkungan alam fisik maupun lingkungan alam social yg dibentuk oleh tindakan-tindakan nyata manusia (Raharjo, 1987: 7). Interaksi insan dengan lingkungannya itulah menumbuhkan forum, tradisi, system atau structural yg memberikan ciri pada suatu warga atau peradaban eksklusif. 

3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam 
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa karena sifat dasar insan adalah makhluk yang serba terbatas serta memerlukan upaya yg menciptakan kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu terdapat upaya. Upaya itu adalah lewat pendidikan. Oleh karenanya sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat serta potensi yg dimiliki peserta didiknya secara efektif dan dinamis. Potensi itu mencakup kemampuan mengamati, menganalisa serta mengklasifikasi, berpendapat,serta kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yg berhubungan pribadi menggunakan insan itu sendiri, alam, sosial, maupun pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213) 

Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan seluruh potensi yang dimiliki peserta didiknya dalam pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang terdapat pada aspek jasmani juga rohani: intelektual, emosional, dan moral etis religius dalam diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok insan paripurna yg sanggup melakukan dialektika aktif dalam semua potensi yang dimilikinya. 

Agar mampu teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sinkron dengan nilai-nilai Ilahiah, maka dalam dasarnya pendidikan berfungsi sebagai media menstimuli bagi perkembangan serta pertumbuhan potensi manusia seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik sebagai abd juga sebagai khalifah fi al-ardh. Adapun model atau bentuk yg ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan sebagai problem. Terserah pada kebijaksanaan serta kepentingan manusia itu sendiri, asal saja pelaksanaan pendidikan tadi tidak bertentangan, akan namun mempunyai keserasian dengan potensi yang dimiliki sang peserta didik dan fitrah religiusnya buat senantiasa mengarah pada fitrah Allah yg hanif. Dengan upaya ini akan membentuk situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel. 

Fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat berdasarkan 2 dimensi manusia secara integral, yaitu fitrah jasmaniah serta fitrah rohaniah. Keduanya mempunyai natur serta kebutuhan yang berbeda antara satu dengan yg lain, karena hakekat esensial keduanya tidak selaras, akan tetapi keduanya saling melengkapi antara satu menggunakan yg lainnya. Apabila galat satu pada antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah insan, buat itu proses pendidikan Islam wajib sanggup menyentuh keduanya secara padu dan serasi, yaitu dengan jalan mengembangkan serta memenuhi kebutuhan kedua dimensi tadi terhadap peserta didik. 

Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan menurut satu generasi pada generasi berikutnya, akan namun jauh dari itu, pendidikan Islam adalah suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, mencakup pengembanagn jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi serta akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemashlahatan seluruh umat (Langgulung, 1995: 13). 

Dengan demikian, berarti pendidikan Islam adalah proses penanaman nilai Ilahiah yg diformulasikan secara sistematis dan adaptik, yg disesuaikan menggunakan kemampuan dan perkembangan potensi siswa. Artinya, pola pendidikan yang ditawarkan wajib disesuaikan menggunakan kebutuhan fisik serta psikis peserta didik sebagai subjek pendidikan. 

Jika nir, proses pendidikan yg ditawarkan akan mengalami stagnasi dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus sanggup menyentuh kesemua aspek insan secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya. 

Apabila kita melihat program pendidikan sebagai bisnis buat menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi serta insani, dan membekali anak didik menggunakan kemampuan yg produktif. 

(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah merupakan potensi dasar murid yang bisa menghantarkan pada tumbuhnya daya kreativitas serta produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai yang kuasa dan insani. Hal tadi dapat dilakukan melalui pembekalan banyak sekali kemampuan menurut lingkungan sekolah serta luar sekolah yang terjadwal pada acara pendidikan. 

Seorang pendidik nir dituntut buat mencetak anak didiknya menjadi orang ini serta itu, tetapi cukup dengan menumbuhkan serta mengembangkan potensi dasarnya dan kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sinkron dengan kemampuan dan talenta yg dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar yang ditinjau menjadi pembawaan dursila, upaya pendidikan diarahkan serta difokuskan buat menghilangkan dan menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tadi. Bagi teori Lorenz yang membentuk pembawaan serangan insan sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan buat mencapai objek-objek pengganti serta mekanisme-mekanisme sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifatsifat serangan ini. Jelasnya seorang pendidik nir perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang sudah dibawa murid semenjak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya buat menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat mengakibatkan kebiasaan-norma yg jelek. Konsep fitrah ini nir terkecuali bagi pendidik muslim buat berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, lantaran fitrah itu tidak dapat berkembang dengan sendirinya. 

Konsep fitrah memiliki tuntutan supaya pendidikan Islam diarahkan buat bertumpu dalam at-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat interaksi yg mengikat insan menggunakan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari siswa seharusnya nir bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan insan akan adanya Allah melalui fitrahnya tidak dapat disamakan menggunakan teori yang memandang bahwa monoteisme menjadi suatu tingkat kepercayaan agama yg tertinggi. At-tauhid merupakan inti berdasarkan seluruh ajaran kepercayaan yang dianugrahkan Allah pada insan, munculnya kepercayaan mengenai banyaknyga Tuhan yg mendominasi manusiahanya saat at-tauhid telah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi juga perkara kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yg menekankan keagungan Allah yg wajib dipatuhi dan diperhatikan pada kurikulum pendidikan Islam. 

Di samping fitrah, manusia jua mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah misalnya makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah tidak dapat dikonsumsikan sebagaimana fauna, tetapi lebih dari itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan serasi buat mengaktualisasikan fitrah manusia. Konsep demikian itu nir berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, misalnya tidak kawin; puasa terus menerus, serta sebagainya,. Pernyataan tadi diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30 

ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ

“Tidak ada perubahan dalam kreasi Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30) 

Firman Allah pada atas menerangkan bahwa kebutuhan jasmaniah siswa nir boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan dalam hal-hal yg positif. Seorang pendidik nir boleh mengganti kebutuhan dasar jasmaniah siswa, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa ayat 119 : 

وَﻵﻣُﺮَﻧﱠﻬُﻢْ ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴﱢﺮُنﱠ ﺧَﻠْﻖَ اﻟﻠّﻪِ وَﻣَﻦ ﻳَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟﺸﱠﻴْﻄَﺎنَ
وَﻟِﻴّﺎً ﻣﱢﻦ دُونِ اﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺴِﺮَ ﺧُﺴْﺮَاﻧﺎً ﻣﱡﺒِﻴﻨﺎً ﴿١١٩﴾
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau merubahnya. Barang siapa yg berakibat syetan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya beliau menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141) 

Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati menyampaikan 5 faktor yang secara konstan serta simultan membangun personalitas anak didik, yaitu : 
• Factor mak yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yang penuh dengan afeksi dan kelembutan. 
• Factor ayah yang memberikan dimensi kekuatan akan hahrga diri. 
• Factor sekolah yg membantu terbentuknya sifat. 
• Factor masyarakat dan lingkungan yg memberikan wahana realitas bagi anak. 
• Factor kebudayaan generik rakyat yang memberi pengetahuan serta pengalaman tentang corak kehidupan insan. (Syari`ati, 1982: 64) 

Kelima faktor di atas adalah stimulasi yang bisa menyebarkan fitrah siswa pada aneka macam dimensinya. Lantaran fitrah manusia mempunyai sifat yang kudus dan bersih, orang tua/pendidik dituntut buat tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya dalam kebiasaan yg baik, serta melarang mereka membiasakan diri buat berbuat tidak baik.

KONSEP FITRAH DAN IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENDIDIKAN

Konsep Fitrah Dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan 
Bilamana tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan insan seutuhnya, berarti proses kependidikan yang wajib dikelola sang para pendidik wajib berjalan, pada atas pola dasar berdasarkan fitrah yang sudah dibuat Allah dalam setiap langsung insan. 

Pola dasar ini mengandung potensi psikologis yg kompleks, lantaran pada dalamnya masih ada aspek-aspek kemampuan dasar yg bisa dikembangkan secara dialektis-interaksional (saling mengacu serta menghipnotis) untuk terbentuknya kepribadian yang serba utuh dan paripurna melalui arahan kependidikan. 

Makalah ini mencoba mengungkapkan konsep fitrah dan bagaimana implikasinya pada pendidikan Islam. 
1. Konsep Fitrah pada Perspektif Pendidikan Islam Kaum Nashrani menyatakan bahwa insan lahir menggunakan seperangkat dosa waris, yakni dosa berasal sebagai akibat menurut perbuatan durhaka Adam. Di lain pihak, genre Behaviorisme memandang bahwa insan lahir tidak memiliki kesamaan baik juga buruk. Teori ini populer menggunakan teori tabularasa (Abdullah, 1982: 59).             

Sedangkan Islam memberikan sebuah konsep mengenai hakikat insan yang tercermin dalam konsep fitrahnya. 

Para pakar Islam mencoba memformulasikan makna fitrah, serta tiap-tiap formulasi yg didapatkan melalui kajian serta argumentasi yang kuat. Landasan berdasarkan tiap formulasi tadi adalah firman Allah SWT. yg berbunyi : 

ﻓَﺄَﻗِﻢْ وَﺟْﻬَﻚَ ﻟِﻠﺪﱢﻳﻦِ ﺣَﻨِﻴﻔﺎً ﻓِﻄْﺮَةَ اﻟﻠﱠﻪِ اﻟﱠﺘِﻲ ﻓَﻄَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسَ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﻟَﺎ
ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ ذَﻟِﻚَ اﻟﺪﱢﻳﻦُ اﻟْﻘَﻴﱢﻢُ وَﻟَﻜِﻦﱠ أَآْﺜَﺮَ اﻟﻨﱠﺎسِ ﻟَﺎ
ﻳَﻌْﻠَﻤُﻮنَ ﴿٣٠﴾
“Maka hadapkanlah wajahmu menggunakan lurus kepad kepercayaan Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang sudah menciptakan insan berdasarkan fitrah. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan insan tidak mengetahui. (Q.S. Ar-Rum: 30) Dari ayat tersebut timbullah banyak sekali interpretasi mengenai makna fitrah yaitu : 
a. Fitrah berarti suci 
b. Fitrah berarti Islam 
c. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah 
d. Fitrah berarti murni 
e. Fitrah berarti syarat penciptaan insan yg mempunyai kesamaan untuk menerima kebenaran. 
f. Fitrah berarti potensi dasar manusia menjadi alat untuk mengabdi serta ma’rifatullah 
g. Fitrah berarti ketetapan atau peristiwa asal manusia mengenai kebahagiaan serta kesesatannya. 
h. Fitrah berarti tabi’at alami yang dimiliki manusia (human nature). 

Dari pendapat di atas, bisa disimpulkan bahwa fitrah merupakan potensi-potensi dasar manusia yg mempunyai sifat kebaikan serta kesucian untuk menerima rangsangan dan dampak menurut luar menuju dalam kesempurnaan serta kebenaran. 

Muhammad Fadhil al-Jamaly memandang fitrah menjadi kemampuan dasar serta kesamaan yang murni bagi setiap individu. 

Fitrah ini lahir dalam bentuk yang paling sederhana dan terbatas, kemudian saling menghipnotis menggunakan lingkungan sekitarnya, sehingga tumbuh dan berkembang lebih baik, atau bahkan kebalikannya. 

Sebagai mana telah dijelaskan pada atas bahwa fitrah mengacu pada potensi yang dimiliki manusia. Potensi itu antara lain yaitu, 

a. Potensi beragama 
Perasaan keagamaan adalah insting yang dibawa semenjak lahir beserta ketika manusia dilahirkan. Manusia memerlukan keimanan kepada zat tertinggi yg Maha Unggul di luar dirinya serta dan diluar menurut alam benda yg dihayati olehnya. Naluri beragama mulai tumbuh apabila insan dihadapkan pada duduk perkara masalah yg melingkupinya. 

Akal akan menyadari kekerdilannya serta mengakui akan kudratnya yg terbatas.(Omar, 1979 :122) Akal akan insaf bahwa kesempurnaan ilmu hanyalah bagi pencipta alam jagat raya ini, yaitu Allah. Islam bertujuan merealisasikn penghambaan oleh hamba kepada Tuhannya saja. Memberantas perhambaan sesame hamba Tuhan. Insan dibawa menyembah kehadirat Allah penciptanya dengan lapang dada nrimo tersisih menurut syirik atau sebarang penyekutuannya. 

b. Kecenderungan moral 
Kecenderungan moral erat kaitannya dengan potensi beragama. Ia sanggup buat membedakan yang baik serta jelek. Atau yg memiliki hati yang dapat mengarahkan kehendak serta logika. 

Apabila dicermati menurut pengertian fitrah seperti pada atas, maka kecenderungan moral itu mampu menunjuk kepada 2 hal sebagaimana terdapat dalam surat Asy-Syam ayat 7:

وَﻧَﻔْﺲٍ وَﻣَﺎ ﺳَﻮﱠاهَﺎ ﴿٧﴾
ﻓَﺄَﻟْﻬَﻤَﻬَﺎ ﻓُﺠُﻮرَهَﺎ وَﺗَﻘْﻮَاهَﺎ ﴿٨﴾
Dan jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan serta ketakwaannya,

c. Manusia bersifat luwes, lentur (fleksible). (Omar, 1979 : 156) 
Manusia bisa dibentuk serta diubah. Ia mampu menguasai ilmu pengetahuan, menghayati adatadat, nilai, tendeni atau aliran baru. Atau meninggalkan adat, nilai serta genre lama , dengan cara hubungan social baik menggunakan lingkungan yang bersifat alam atau kebudayaan. Allah berfirman mengenai bagaimana sifat insan yg gampang lentur, terdapat dalam surat Al Insan ayat 3 : 

إِﻧﱠﺎ هَﺪَﻳْﻨَﺎﻩُ اﻟﺴﱠﺒِﻴﻞَ إِﻣﱠﺎ ﺷَﺎآِﺮاً وَإِﻣﱠﺎ آَﻔُﻮراً ﴿٣﴾

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yg lurus; terdapat yang bersyukur serta ada juga yg kafir.

d. Kecenderungan bermasyarakat 
Manusia pula mempunyai kecendrungan bersosial dan bermasyarakat. 

Menurut Ibnu Taimiyah, pada diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), (Nizar, 2001 : 76) yaitu : 

a. Daya intelektual (quwwat al-‘aql) 
Yaitu potensi dasar yang memungkinkan insan bisa membedakan nilai baik dan jelek. Dengan daya intelektualnya, insan bisa mengetahui serta meng-Esakan Tuhannya. 

b. Daya ofensif (quwwat al-syahwat) 
Yaitu potensi dasar yg mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan serta berguna bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi serta seimbang. 

c. Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yg dapat menghindarkan manusia berdasarkan segala perbuatan yg membahayakan dirinya. Tetapi demikian, diantara ketiga potensi tersebut, pada samping kepercayaan – potensi nalar menduduki posisi sentral menjadi alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya semua potensi yg ada secara aporisma, sebagaimana yg disinyalir sang Allah dalam kitab serta ajaranajaranNya. Pengingkaran serta pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yg akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral. 

Menurut Ibnu Taimiyah membagi fitrah manusia pada 2 bentuk, yaitu: 

a. Fitrah al gharizat
Merupakan potensi dalam diri insan yang dibawanya semenjak lahir. 

Bentuk fitrah ini berupa nafsu, nalar, dan hati nurani. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan melalui jalan pendidikan. 

b. Fitrah al munazalat
Merupakan potensi luar insan. Adapun fitrah ini adalah wahu tuhan yang diturunkan Allah buat membimbing serta mengarahkan fitrah al gharizat berkembang sesuai menggunakan fitrahnya yg hanif. Semakin tinggi interaksi antara ke 2 fitrah tersebut, maka akan meningkat jua kualitas insan. 

Dari semua penerangan tentang potensi insan, tampak kentara bahwa lingkungan menjadi faktor eksternal. Lingkungan ikut menghipnotis dinamika serta arah pertumbuhan fitrah manusia. Semakin baik penempaan fitrah yang dimiliki insan, maka akan semakin baiklah kepribadiannya. Demikian pula kebalikannya, penempaan dan training fitrah yg dimiliki nir pada fitrahnya maka insan akan tergelincir menurut tujuan hidupnya. Untuk itu salah satu training fitrah dengan pendidikan. 

Bila pengertian fitrah pada atas dikaitkan dengan tugas dan fungsi manusia lebih lanjut dianalisa, maka akan terlihat bahwa fitrah insan tadi masih memerlukan beberapa upaya untuk merangsangnya berkembang secara maksimal . Upaya tersebut adalah pendidikan. 

Fitrah manusia bukan satu-satunya fotensi insan yang dapat mencetak manusia sesuai dengan manfaatnya, tetapi terdapat juga potensi lain yang sebagai kebalikan dari fitrah ini, yaitu nafsu yang memiliki kecenderungan pada keburukan dan kejahatan (Q.S. 12:53). Untuk itulah fitrah harus permanen dikembangkan dan dilestarikan. Fitrah dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan masuk akal bila menerima suplay yg dijiwai sang wahyu Allah, tentu saja hal ini harus didorong menggunakan pemahaman Islam secara kaffah serta universal. Semakin tinggi tingkat hubungan seseorang menggunakan Islam, semakin baik jua perkembangan fitrahnya. 

Konsep fitrah dari Islam nir sama dengan teori Tabularasa John Locke. Sebab pada Islam, insan sejak lahir sudah mempunyai banyak sekali bentuk potensi yang mampu dikembangkan. Konsep fitrah insan berdasarkan Islam pula berbeda jauh menggunakan teori nativisme A, Scopenhour, karena dalam Islam mengakui adanya dampak yg akbar di luar diri insan, baik insani maupun non insani, pada membuatkan serta memodifikasi potensi yg dimilikinya. 

Konsep fitrah menurut Islam juga tidak sama menggunakan teori konvergensi William Stern, karena pada pandangan Islam, perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata ditentukan oleh lingkungan semata dan nir bisa dipengaruhi melalui pendekatan kuantitas, sejauh mana peranan keduanya (potensi dan lingkungan) dalam membangun kepribadian manusia. Ada kalanya potensi yg lebih lebih banyak didominasi dalam membangun kepribandian manusia, akan tetapi ada kalanya lingkungan yang lebih lebih banyak didominasi, atau kedua-duanya sama-sama secara umum dikuasai. Bahkan pada Islam, di luar ke 2 imbas tadi, terdapat imbas lainnya yg juga ikut memberikan warna tersendiri bagi pembentukan kepribadian insan, yaitu faktor hidayah yg diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. 

Dari penerangan di atas, terlihat bahwa cakupan menurut pengertian fitrah manusia dalam perspektif pendidikan Islam sangat luas dibanding dengan batasan yang dikembangkan oleh para pakar pendidikan kontemporer pada melihat potensi manusia yang terkesan bersifat parsial serta tanggal dari kerangka bingkai religiusitas insan yg sakral dan asasi. 

2. Fitrah Manusia dan Pengaruh Lingkungan (suatu pendekatan Konvergensi) 
Manusia lahir menggunakan membawa fitrah, yang meliputi fitrah agama (Q.S.30:30), fitrah intelek (Q.S.7:179), fitrah sosial (Q.S. Lima:2), fitrah ekonomi (Q.S. 62:10),fitrah seni, kemajuan, keadilan, kemerdekaan, persamaan, ingin tahu, ingin dihargai, ingin menyebarkan keturunan (kawin), cinta tanah air, serta sebagainya. Fitrah-fitrah tersebut wajib menerima loka dan perhatian, serta pengaruh berdasarkan faktor oksigen insan (lingkungan) buat membuatkan serta melestarikan potensinya yang positif serta menjadi penangkal menurut kelestarian an-nafsu ammarah bis suu`, sebagai akibatnya insan dapat hayati searah dengan tujuan Allah yg mencitakannya. 

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap fitrah insan. 
Bahkan factor tadi dapat menghipnotis kepribadian manusia. Namun demikian, beliau bukan satu-satunya factor yang berpengaruh tanpa terdapat dukungan berdasarkan faktor-faktor lain. Pernyataan tadi menolak pandangan Skinner yg berkata bahwa lingkungan memilih kehidupan manusia betapapun dia mengganti lingkungannya. Di sini terlihat bahwa insan tidak lebih hanya mewarisi sejumlah gerak refleks (gerakan-gerakan yang tiak disengaja), di samping itu kepercayaan sebagai aspek lain menurut tingkah laku manusia bisa dijelaskan berkenaan menggunakan factor-faktor lingkungan.. Pernyatan tadi dibuktikan bahwa anak-anak orang Islam umumnya sebagai muslim, sedangkan anak-anak orang Kristen umumnya sebagai Kristen. Hal tersebut disebutkan Skinner sebagai salah satu contoh untuk menjelaskan teorinya (Abdullah, 1982: 60) Pada fase defense, masa kanak-kanak menaruh kemungkinan orang tuanya buat menaruh dampak-impak pada putra-putrinya. 

Fakta ini tampaknya menarik perhatian Skinner berkenaan dengan hadits Nabi saw, yg menerangkan cara fitrah itu dipengaruhi sang lingkungannya. Sabda Nabi SAW. (Imam Muslim: 53) 

“Tidak seseorang pun dilahirkan kecuali dia mempunyai fitah, maka ke 2 orang tuanya yang mempengaruhi, menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (H.R. Muslim menurut Abu Hurairah) 

Hadits pada atas menjelaskan bahwa fitrah yg dibawa semenjak lahir, bisa ditentukan oleh lingkungan. Fitrah ini tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif berdasarkan lingkungannya yang mungkin bisa dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungan itu tidak memungkinkan untuk menjadikan fitrah tadi lebih baik. Factor-faktor eksternal yg bergabung dengan fitrah serta sifat dasarnya bergantung dalam sejauh mana interaksi internal berperan terhadap fitrah tersebut. 

Sebaliknya, dari pengamat behavioris, fitrah itu tidak mengharuskan manusia buat berusaha keras terhadap lingkungannya. Dua anak yang hayati dalam kondisi yg sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus menggunakan cara yang berbeda-beda. Permaisuri Fir’aun berdasarkan Mesir sudah menjadi perempuan yang beriman pada Allah SWT.sekalipun berada pada lingkungan orang musyrik, beliau selalu berdo`a pada Allah SWT yg disebutkan dalam Firman Allah (Q.S At-Tahrim : 11) 

Di samping itu, hadits Nabi SAW. Tersebut mengandung implikasi bahwa fitrah adalah suatu pembawaan setiap manusia semenjak lahir, serta mengandung nilai-nilai religi. Penyimpangan fitrah adalah dampak berdasarkan factor lingkungan (pendidikan). Di pada fitrah terkandung pengertian baik buruk, sahih salah , latif tidak baik, lempang sesat, dan seterusnya. 

Pelestarian fitrah ini dapat ditempuh lewat pemeliharaan sejak awal, atau mengembalikannya dalam kebaikan sehabis dia mengalami defleksi (kuratif) (Ahmad: 32). 

Setiap yang dilahirkan mempunyai kemungkinan dan kemampuan buat tumbuh dan berkembang sesuai dengan impak alam sekitarnya. Dari sisi ini, Al-Qur`an sangat menekankan pentingnya pendidikan serta pedagogi. Dari sisi ini jua, al-Qur`an menekankan bahwa Allah SWT. memberi kemampuan logika yg dapat membedakan antara yg baik serta tidak baik kepada insan, sehingga pendidikan berperan dalam mengarahkan logika manusia ke jalan yg baik serta sahih, bukan ke jalan yang tidak baik dan tersesat. Uraian itu bisa dibuktikan pada al-Qur`an bahwa manusia mempunyai tabiat asli (Q.S. 30:30) yg harus diupayakan menggunakan pendidikan (Q.S. 16:78), dan adanya kemampuan memilih bagi insan (Q.S. 6:78, 90:8, 76:tiga) (Al-Jamaly, 1986: 66). 

Ibnu Khaldun pula membicarakan bahwa factor-faktor pada luar diri manusia mensugesti kesamaan-kesamaan tindakan manusia. Dengan demikian, insan yang sebenarnya merupakan manusia yg dibuat oleh lingkungannya, baik lingkungan alam fisik juga lingkungan alam social yang dibuat oleh tindakan-tindakan nyata insan (Raharjo, 1987: 7). Interaksi manusia menggunakan lingkungannya itulah menumbuhkan lembaga, tradisi, system atau structural yang menaruh ciri dalam suatu warga atau peradaban eksklusif. 

3. Implikasi Fitrah dalam Pendidikan Islam 
Dalam perspektif Pendidikan Islam terlihat bahwa lantaran sifat dasar manusia merupakan makhluk yg serba terbatas serta memerlukan upaya yg menciptakan kehadirannya di muka bumi ini lebihsempurna, maka perlu terdapat upaya. Upaya itu merupakan lewat pendidikan. Oleh karena itu sifat spesial pendidikan Islam merupakan berupaya menyebarkan sifat serta potensi yang dimiliki peserta didiknya secara efektif dan bergerak maju. Potensi itu mencakup kemampuan mengamati, menganalisa dan mengklasifikasi, berpendapat,dan kecakapan-kecakapan lainnya secara sistematis, baik yg bekerjasama eksklusif menggunakan insan itu sendiri, alam, sosial, juga pada Tuhannya. (Faure dkk, 1980: 213) 

Untuk itu, pendidikan Islam harus sanggup mengintegrasikan semua potensi yang dimiliki peserta didiknya dalam pola pendidikan yang ditawarkan, baik potensi yang terdapat pada aspek jasmani juga rohani: intelektual, emosional, serta moral etis religius pada diri peserta didiknya unutk mewujudkan sosok manusia paripurna yg bisa melakukan dialektika aktif pada semua potensi yang dimilikinya. 

Agar sanggup teraktualisasikannya potensi yang dimiliki manusia sinkron menggunakan nilai-nilai Ilahiah, maka pada dasarnya pendidikan berfungsi menjadi media menstimuli bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi insan seoptimal mungkin ke arah penyempurnaan dirinya, baik menjadi abd juga menjadi khalifah fi al-ardh. Adapun model atau bentuk yg ditawarkan oleh sistem pendidikan, bukan menjadi masalah. Terserah pada kebijaksanaan dan kepentingan manusia itu sendiri, asal saja aplikasi pendidikan tadi tidak bertentangan, akan tetapi memiliki keserasian dengan potensi yg dimiliki oleh peserta didik dan fitrah religiusnya buat senantiasa menunjuk pada fitrah Allah yang hanif. Dengan upaya ini akan menciptakan situasi serta contoh pendidikan Islam yg demokratis-fleksibel. 

Fitrah manusia yang dimaksud bisa dilihat dari dua dimensi insan secara integral, yaitu fitrah jasmaniah dan fitrah rohaniah. Keduanya mempunyai natur serta kebutuhan yang tidak selaras antara satu dengan yang lain, lantaran hakekat esensial keduanya tidak sama, akan namun keduanya saling melengkapi antara satu menggunakan yg lainnya. Apabila keliru satu pada antara keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas fitrah insan, buat itu proses pendidikan Islam wajib mampu menyentuh keduanya secara padu serta serasi, yaitu dengan jalan membuatkan serta memenuhi kebutuhan ke 2 dimensi tersebut terhadap siswa. 

Untuk tujuan tersebut, maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar proses pentransferan ilmu pengetahuan atau kebudayaan dari satu generasi pada generasi berikutnya, akan tetapi jauh berdasarkan itu, pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktualan sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya, mencakup pengembanagn jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim yang memiliki kepribadian sempurna bagi kemashlahatan semua umat (Langgulung, 1995: 13). 

Dengan demikian, berarti pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai Ilahiah yg diformulasikan secara sistematis serta adaptik, yang diadaptasi dengan kemampuan serta perkembangan potensi siswa. Artinya, pola pendidikan yg ditawarkan harus diadaptasi menggunakan kebutuhan fisik serta psikis siswa sebagai subjek pendidikan. 

Jika nir, proses pendidikan yang ditawarkan akan mengalami kemacetan dan hambatan. Untuk itu, pendidikan yang dilaksanakan harus mampu menyentuh kesemua aspek manusia secara utuh, yaitu aspek jasmaniah dan rohaniahnya. 

Apabila kita melihat program pendidikan menjadi bisnis buat menumbuhkan daya kreativitas anak, melestarikan nilai-nilai yang kuasa serta insani, dan membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif. 

(Muhadjir, 1987: 176). Dapat kita katakan bahwa fitrah adalah potensi dasar murid yg dapat menghantarkan dalam tumbuhnya daya kreativitas serta produktivitas serta komitmen terhadap nilai-nilai yang kuasa dan insani. Hal tadi dapat dilakukan melalui pembekalan banyak sekali kemampuan berdasarkan lingkungan sekolah dan luar sekolah yang bersiklus dalam acara pendidikan. 

Seorang pendidik nir dituntut untuk mencetak anak didiknya sebagai orang ini serta itu, tetapi relatif dengan menumbuhkan dan berbagi potensi dasarnya serta kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sinkron menggunakan kemampuan dan talenta yang dimiliki anak. (Mujib, 1993: 28). Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dilihat sebagai pembawaan dursila, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan buat menghilangkan serta menggantikan atau setidaktidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz yang menciptakan pembawaan agresi manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan buat mencapai objek-objek pengganti serta prosedur-prosedur sublimasi yg akan membantu menghilangkan sifatsifat serangan ini. Jelasnya seseorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang sudah dibawa murid sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya buat menjauhkan timbulnya pelajaran yg bisa mengakibatkan norma-kebiasaan yg jelek. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik muslim buat berikhtiar menanamkan tingkah laris yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu tidak dapat berkembang menggunakan sendirinya. 

Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan buat bertumpu pada at-tauhid. Hal ini dimaksudkan buat memperkuat hubungan yg mengikat insan menggunakan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari murid seharusnya nir bertentangan menggunakan prinsip-prinsip tauhid ini. Kepercayaan insan akan adanya Allah melalui fitrahnya nir dapat disamakan menggunakan teori yg memandang bahwa monoteisme menjadi suatu taraf agama agama yang tertinggi. At-tauhid adalah inti berdasarkan semua ajaran kepercayaan yang dianugrahkan Allah pada manusia, munculnya kepercayaan mengenai banyaknyga Tuhan yang mendominasi manusiahanya ketika at-tauhid sudah dilupakan. Konsep attauhid bukan hanya sekedar bahwa Allah itu Esa, tetapi pula kasus kekuasaan (otoritas). Konsep at-tauhid inilah yang menekankan keagungan Allah yg wajib dipatuhi dan diperhatikan pada kurikulum pendidikan Islam. 

Di samping fitrah, insan jua mempunyai beberapa kebutuhan jasmaniah misalnya makan, minum, seks dan sebagainya. Pemenuhan kebutuhan jasmaniah nir dapat dikonsumsikan sebagaimana fauna, tetapi lebih berdasarkan itu, pemenuhan tersebut harus dikonsumsikan harmonis buat mengaktualisasikan fitrah insan. Konsep demikian itu tidak berarti bahwa kebutuhan jasmaniah perlu diakhiri, misalnya tidak kawin; puasa terus menerus, dan sebagainya,. Pernyataan tadi diisyaratkan oleh Allah dalam surat Ar-Rum : 30 

ﻟَﺎ ﺗَﺒْﺪِﻳﻞَ ﻟِﺨَﻠْﻖِ اﻟﻠﱠﻪِ

“Tidak terdapat perubahan dalam ciptaan Allah tersebut.” (QS. Ar-Rum: 30) 

Firman Allah pada atas memberitahuakn bahwa kebutuhan jasmaniah anak didik tidak boleh dibuang atau dibunuh, melainkan diarahkan pada hal-hal yg positif. Seorang pendidik tidak boleh membarui kebutuhan dasar jasmaniah anak didik, sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surah An-Nisa ayat 119 : 

وَﻵﻣُﺮَﻧﱠﻬُﻢْ ﻓَﻠَﻴُﻐَﻴﱢﺮُنﱠ ﺧَﻠْﻖَ اﻟﻠّﻪِ وَﻣَﻦ ﻳَﺘﱠﺨِﺬِ اﻟﺸﱠﻴْﻄَﺎنَ
وَﻟِﻴّﺎً ﻣﱢﻦ دُونِ اﻟﻠّﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺴِﺮَ ﺧُﺴْﺮَاﻧﺎً ﻣﱡﺒِﻴﻨﺎً ﴿١١٩﴾
…dan akan aku suruh mereka (merobah ciptaan Allah), sehingga mereka mau merubahnya. Barang siapa yg mengakibatkan syetan sebagai pelindung selain Allah, maka sesungguhnya dia menderita kerugian yang nyata. (Depag, 1979: 141) 

Berkaitan dengan hal tersebut Ali Syari’ati membicarakan 5 faktor yang secara kontinu dan simultan membentuk personalitas murid, yaitu : 
• Factor bunda yang memberi struktur dan dimensi kerohanian yg penuh dengan afeksi serta kelembutan. 
• Factor ayah yang menaruh dimensi kekuatan akan hahrga diri. 
• Factor sekolah yg membantu terbentuknya sifat. 
• Factor masyarakat serta lingkungan yg menaruh sarana realitas bagi anak. 
• Factor kebudayaan generik warga yg memberi pengetahuan dan pengalaman mengenai corak kehidupan manusia. (Syari`ati, 1982: 64) 

Kelima faktor pada atas merupakan stimulasi yg bisa mengembangkan fitrah murid dalam berbagai dimensinya. Karena fitrah manusia memiliki sifat yg suci dan bersih, orang tua/pendidik dituntut buat tetap menjaganya dengan cara membiasakan hidup anak didiknya dalam kebiasaan yang baik, dan melarang mereka membiasakan diri buat berbuat jelek.

KONTRIBUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MANUSIA

Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia 
Akhir-akhir ini pendidikan Islam banyak dipertanyakan orang, baik itu formal maupun informal. Lantaran sebagian telah melahirkan orang-orang yang sakit kejiwaannya, ammoral perilakunya, dan jelek kepribadiaannya, yg menyebabkan kepercayaan Islam menjadi momok bagi pemeluk agama lain. Seperti; teroris, perekrutan anggota NII, mati syahid dengan bom bunuh diri, kemudian konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana, mulai berdasarkan kasus bom Bali, bom Hotel JW Marriot, bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung, penutupan tempat tinggal ibadah Kristiani pada Bandung Jawa Barat, kemudian peristiwa kekerasan di Monumen Nasional Jakarta yg kesemuanya ini mengatasnamakan perjuangan Islam. 

Fenomena pada atas melahirkan wacana agama yg paradoksal bahwa ia nir hanya bersifat rahmatan lil‘alamin (rahmat bagi seluruh) akan tetapi jua bala, lantaran melahirkan kenyataan-kenyataan kekerasan, anti kebersaman dan kemajemukan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa kepercayaan secara esensial hanya mengajarkan perdamaian serta menentang kekerasan, namun manusia saja yg lalu menyalahgunakan kepercayaan buat kepentingan eksklusif atau grup sehingga menyulut kekerasan, yang kentara kenyataan aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan moderen ini. Dengan citra diatas, wajar jika seorang non muslim memberikan pernyataan, bahwa pendidikan Islam sekarang ini merupakan pendidikan yg menciptakan insan menggunakan kondisi kejiwaan labil, yg menyebakan manusia gampang terprovokasi pada keburukan yang pada kemas dengan nilia-nilai ke-Tuhanan. Dengan begitu, terjadilah kegoncangan dalam diri manusia yang lalu menumbuhkan penyakit kejiwaan serta krisis kepribadian serta tidak berkarakter, hal tadi disebabkan pendidikan yg diterimanya telah sebagai virus yg mematikan dalam kepribadiannya, yg jauh berdasarkan kebenaran yg ada dalam al-Qur‟an, serta berimplikasi, kenyamanan serta kebahagiaan hayati kian sulit didapat.

Hal pada atas tidaklah sinkron menggunakan tujuan pendidikan Islam yg berfungsi menjadi indera yang dipakai manusia untuk tetap survive baik sebagai individu juga rakyat. Maka tujuan akhir dari dalam pendidikan islam tidak lepas menurut tujuan hidup muslim, lantaran pendidikan Islam merupakan sarana untuk mencapai tujuan hayati manusia dari ajaran Islam. Dengan demikian, tidaklah sempurna jikalau pendidikan Islam memberikan pengaruh jelek terhadap kepribadian insan akan tetapi kebalikannya pendidikan Islam menaruh impak yg sangat baik bagi perkembangan kepribadian insan, sebagaimana yang akan diulas dibawah ini.

a. Peran Pendidikan Islam pada Dakwah Islamiyah
Pendidikan Islam memiliki peran yg sangat signifikan dalam menciptakan, berbagi dan membuatkan agama Islam yang tentunya pada perkembangan tersebut, lumrah jika Islam menemui aneka macam bentuk dilema mulai menurut penerapan teks klasik terhadap tataran aplikatif kehidupan terbaru yang mana Islam dituntut buat bisa menyesuaikannya. Menurut Irsan al-Kailani, umat Islam umumnya masih berada pada dataran ihsas al-musykilah (menyadari adanya problem), namun belum dibarengi dengan tahdid wa tahlil al musykilah (kesanggupan mengidentifikasi dan merampungkan duduk perkara).

Dari sinilah pendidikan Islam memiliki kiprah pendidikan sangat terlihat, contohnya pendidikan Islam dalam fungsi psikologis (kejiwaan dan teori kesehatan), dapat memberikan pencerahan akan makna hidup, menaruh rasa hening serta menaruh dukungan psikologis bagi pemeluknya, terlebih bagi mereka yg sedang mendapati dirinya pada menghadapi kegoncangan kejiwaan, pada hal ini pesan kepercayaan menumbuhkan pencerahan akan makna hayati dengan nilai ibadah, pengabdian pada Tuhan baik secara personal juga sosial kemasyarakatan. Kemudian pendidikan Islam dalam fungsi sosialnya, memacu adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik, memberikan kontrol sosial terhadap gejala sosial yg destruktif serta perekat sosial tanpa melihat aneka macam latar belakang yang tidak selaras.

Sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Arif kata yg kerap dipakai buat menyebut hakikat pendidikan Islam adalah pendidikan menjadi fenomena kultural performatif. Dengan istilah ini, setidaknya perbincangan pendidikan Islam amat mungkin ditelaah dari 2 prespektif, yaitu konseptual-teoritis dan pelaksanaan-simpel. Prespektif pertama mengantarkan dalam pemaparan mengenai pengertian, tujuan pendidikan Islam tentunya menggunakan dasar yg diambil berdasarkan al-Qur‟an serta Hadis, dan sumber aturan Islam lainnya. 

Melalui prespektif ini, bisa diketahui bahwa pendidikan Islam mempunyai “keluasan” serta “kedalaman” makna, yang penuh cara lain serta menantang kreativitas serta kecerdasan akal pikir insan buat merungkannya serta menyiasatinya pada rangka membarui yang possible (mungkin) sebagai yang plausible (lumrah).

Sementara itu dengan prespektif kedua, pendidikan Islam dijabarkan, diterapkan, dan dibumikan dalam realitas kehidupan manusia. Dari sini, bisa dipahami bahwa pendidikan Islam ternyata tidak sekedar diartikan secara “normatif-teoritis”, melainkan juga secara “historis-sosiologis”.

Hal ini karena buat menghindari terjadi pemaknaan yang keliru terhadap ajaran pada pendidikan Islam, serta menjauhkan menurut budaya yg tidak relevan dengan kehidupan moderen ini, dengan istilah lain dengan adanya pendidikan Islam sanggup membawa kiprah kepercayaan Islam sholih likulli zaman wa makan, serta menjauhkan manusia menurut penyakit kejiwaan akibat menurut aktivitas kewajibannya menjadi mukmin.

b. Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia
Para ahli pendidikan sepakat bahwa teori dan amalan pendidikan sangat ditentukan sang cara orang memandang pada sifat-sifat berasal manusia yg terilhat berdasarkan kepribadiannya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Apabila insan dipandang mempunyai sifat-sifat asal yg jahat, maka tujuan pendidikan merupakan menunda unsur-unsur dursila ini, begitu juga dengan kebalikannya apabila sifat asalnya baik maka tujuan pendidikan adalah mengembangkannya menjadi lebih baik.

Istilah pendidikan dalam konteks Islam, dalam umumnya mengacu dalam terma al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim yang bisa dipakai secara bersamaan, lantaran memiliki kecenderungan makna. Tetapi secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual juga kontekstual. Kata al-tarbiyah dari menurut istilah rabb yang bermakna, tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.

Kata rabb sebagaimana yang masih ada pada QS. Al-fatihah 1:2, yaitu (alhamdulilla>hi rabbil-‘alamin) memiliki kandungan makna yang berkonotasi menggunakan istilah al-tarbiyah. Sebab istilah rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) dari menurut akar istilah yg sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.

Uraian pada atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses Pendidikan Islam adalah bersumber dalam pendidikan yg diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh kreasi-Nya, termasuk manusia. Dalam pengertian luas, pendidikan Islam yang terkandung dalam terma al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: pertama, memelihara dan menjaga fitrah siswa menjelang dewasa (baligh); ke 2, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; keempat, melaksanakan pendidikan secara sedikit demi sedikit.

Penggunaan terma al-tarbiyah buat menunjuk makna pendidikan Islam bisa difahami menggunakan merujuk firman Allah dalam QS. Al-Isra‟ 17: 24;

Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua menggunakan penuh kesayangan serta ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku saat kecil". 

Sedangkan makna al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan altarbiyah juga al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-ta’lim menjadi proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan eksklusif.

Argumentasinya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah dua:151, menjadi berikut:

Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara engkau yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan engkau dan mengajarkan kepadamu Al Kitab serta Al-Hikmah, dan mengajarkan pada engkau apa yang belum engkau ketahui.

Kalimat wa yu‘allimukum al-buku wa al-hikmah, dalam ayat tadi menjelaskan kegiatan Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur‟an pada kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar membuat umat Islam sanggup membaca, melainkan membawa kaum muslimin pada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian jiwa) menurut segala kotoran, sebagai akibatnya memungkinkannya mendapat al-hikmah serta memeriksa segala yg bermanfaat buat diketahui. Dengan demikian, makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan namun mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara mulut, pengetahuan dan keterampilan yg dibutuhkan pada kehidupan, perintah buat melaksanakan pengetahuan serta pedoman untuk berperilaku.

Adapun istilah al-ta’dib, dari Naquid al-Attas merupakan istilah yg paling tepat buat pendidikan Islam.

Konsep ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam :

ادبنً ربً فاحسن تأدبً )روه العسكري عن علً(

Artinya: Tuhan sudah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku. (HR. Al-Askari berdasarkan „Ali>)

Secara terminologi al-ta’dib berarti sosialisasi dan pengakuan yg secara berangsur-angsur ditanamkan ke pada diri insan (siswa) tentang aneka macam loka yg tepat berdasarkan segala sesuatu di pada tatanan penciptaan.

Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan serta pengakuan tempat Tuhan yang sempurna pada tatanan wujud kepribadiannya.

Dalam konteks ini, Naquid Al-Attas pun membicarakan bahwa penggunaan istilah al-tarbiyah terlalu luas buat mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. 

Sebab kata al-tarbiyah yang mempunyai arti pengasuhan, pemeliharaan, serta afeksi tidak hanya dipakai buat insan, namun dipakai memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Pendidikan Islam penekanannya nir hanya pada material saja, akan tetapi pula dalam aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan terma yg paling sempurna dalam khazanah bahasa Arab lantaran mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pedagogi, serta pengasuhan yang baik sehingga makna al-tarbiyah dan alta’li>m sudah tercakup dalam terma al-ta’dib.

Terlepas menurut pemaknaan diatas, para pakar pendidikan Islam sudah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yg sangat variatif, adalah menjadi berikut:
a) Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan Islam menjadi bimbingan yang diberikan sang seseorang supaya ia berkembang secara aporisma sinkron menggunakan ajaran Islam.

b) Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan proses mengganti tingkah laris individu peserta didik dalam kehidupan eksklusif, masyarakat, serta alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan menggunakan cara pendidikan serta pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi serta profesi pada antara sekian banyak profesi asasi warga .

c) Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar sang pendidik terhadap perkembangan jasmani serta rohani siswa menuju terbentuknya kepribadian yg primer (manusia kamil).

d) Muhammad Fadhil Al-Jamali menaruh pengertian pendidikan Islam adalah upaya menyebarkan, mendorong, dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi serta kehidupan yang mulia, sebagai akibatnya terbentuk langsung yg lebih sempurna, baik yg berkaitan menggunakan akal, perasaan, maupun perbuatan.

Dengan beberapa pemaknaan di atas, terlihat jelas donasi pendidikan Islam terhadap perkembangan kepribadian insan pada menjalani aktivitas kehidupannya bahwa insan buat sebagai baik bisa diarahkan menggunakan pendidikan Islam. Jadi pendidikan Islam sejatinya adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (siswa) dapat mengarahkan kehidupannya sinkron menggunakan tujuan hidupnya. Hal pada atas terlihat dari tujuan pendidikan Islam, yang berdasarkan al-Syaibani adalah mempersiapkan kehidupan dunia serta akhirat.

Sedangkan tujuan akhir yang akan dicapai merupakan berbagi fitrah anakdidik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk langsung yang utuh dan mendukung bagi aplikasi manfaatnya sebagai khalifah fil-ard.

Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan langsung muslim sejati yg mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai menggunakan syariat Islam, dan mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat menjadi tujuan primer pendidikannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah siswa secara aporisma dan bermuara dalam terciptanya langsung peserta didik sebagai muslim sempurna (insan kamil). Melalui sosok yang demikian, peserta didik diperlukan bisa memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yg serasi baik di dunia juga akhirat.

Melalui pendidikan Islam, setiap insan diharapkan tumbuh berkembang sebagai generasi unggul yang cerdas dalam berfikir, kreatif dalam bekerja dan berkepribadian Islami pada bergaul dan bersosilalisasi terhadap lingkungan atau alam sekitar. 

Bila ditilik dengan apa yang sebagai dasar kesehatan jiwa, menjadi tolak ukur buat mencapai kebahagiaan hakiki di dunia serta di akherat, maka terlihat disini adanya kolerasi keduanya, baik itu berkaitan dengan pelaksanaan maupun teori mendasarnya. Sebagaimana terlihat dalam tugas pendidikan Islam adalah membimbing serta mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan peserta didik menurut tahap ke termin kehidupannya hingga mencapai titikkemampuannya secara optimal.

Sedangkan kesehatan jiwa bertugas buat membentuk kehidupan manusia sejalan dengan fitrah (kudus, higienis, dan beragama) yg telah diberikan Allah kepadanya. Begitupula pada manfaatnya. Fungsi Pendidikan Islam, yaitu menyediakan fasilitas yg bisa memungkin tugas pendidikan berjalan lancar baik itu yang bersifat struktural juga institusional, sedangkan fungsi kesehatan jiwa, sebagaimana diuraikan diatas menaruh konsep kejiwaan dengan beberapa substansi didalamnya agar insan bisa mengarahkan segenap perilakunya buat menghindari segala bentuk keburukan yg lahir dari keliru satu subtansi kejiwaannya.

Dengan demikian, pendidikan Islam akan membentuk insan menggunakan kejiwaan yg stabil sesuai dengan fitrahnya, yang lalu akan menciptakan kepribadian atau konduite berlabelkan rahmatan lil ‘a>lami>n. Hal tadi akan menciptakan nilai positif terhadap insan sebagai pemeluk dan penganut agama Islam menggunakan nir gampang terprovokasi terhadap keburukan yg dapat menjauhkan dirinya menurut kefitrahannya. Dari sini virus keburukan, kesesatan, dengan doktrin sebagai bagian dari teroris, anggota NII, lalu melakukan aktivitas kekerasan atas nama agama terhadap pemeluk kepercayaan lain, akan menjauh 

dengan sendirinya, karena pendidikan Islam sudah bisa mendewasakan manusia buat selalu berfikir positif dalam menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah yg bertaqwa.

c. Implikasi Pendidikan Islam Terhadap Perkembangan Kepribadian Manusia 
Salah satu ciri kepribadian yg baik merupakan ditandai dengan kematangan emosi dan sosial seorang yang disertai menggunakan adanya kesesuaian dirinya menggunakan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan fungsi dari Pendidikan Islam terhadap kepribadian manusia adalah mewujudkan keserasian antara fungsi-fungsi humanisme dalam diri manusia, supaya tercipta penyesuaian diri antara insan dengan dirinya sendiri serta lingkungannya, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan buat mencapai hidup yg bermakna, bahagia global dan akhirat. Pendidikan Islam adalah sebuah ilmu yg berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan insan, yg mencakup seluruh bidang interaksi menggunakan orang lain, alam, lingkungan, dan Tuhan, yang adalah penentu masa depan dan mutu bagi setiap individu insan.

Menurut S. Nasution, barang siapa yg menguasai pendidikan memegang nasib bangsa dan negara. Dan biar pendidikan tadi tidak keliru target, maka kualitas kepribadian manusia merupakan prioritas menjadi syarat awal buat mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena kesehatan dan pendidikan, merupakan proses yg menaruh kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas langsung seorang secara bebas dan bertanggung jawab.

Kalau digali serta ditinjau, tanda kepribadian yang baik, terkonsep dalam pendidikan Islam. Hal tadi terlihat berdasarkan beberapa karakteristiknya, yang antara lain: 
1). Mengedepankan tujuan kepercayaan dan akhlak. Karakteristik ini mewarnai ciri-karakteristik lain, utamanya yang berorientasi dalam tauhid serta penanaman nilai-nilai. 
2) selaras menggunakan fitrah manusia termasuk berkenaan menggunakan pembawaan, bakat, jenis kelamin, potensi, serta pengembangan psiko-fisik. 
3) merespon dan mengantisipasi kebutuhan konkret individu dan warga , serta mengusahakan solusi terkait menggunakan masa depan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus.
4) fleksibel lantaran didorong dengan pencerahan hati, tanpa paksaan. 
5) realistik, dengan membuatkan keseimbangan serta proporsionalitas antara pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual. 
6) menghindarkan berdasarkan pemahaman dikotomik terhadap ilmu pengetahuan kepercayaan dan ilmu-ilmu yang lain, sekaligus menghindarkan setiap individu berdasarkan pemahaman agama parsial yg dapat membuat peserta didik kehilangan dan bersikap ekstrim.

Dengan diterapkannya dan dilaksanakannya kesehatan jiwa pada pendidikan Islam. Maka implikasinya adalah menjadi berikut: 

1) Memperkuat keimanan peserta didik menjadi dasar pijakan dalam beraktivitas sehari-hari.
Salah satu kapital awal pembentukan karakter kepribadian baik dalam siswa adalah menggunakan tumbuhnya keimanan yang kokoh, yg membuahkan peserta didik dijauhkan dari sifat arogan dan tinggi hati, akan namun selalu rendah diri serta tawaduk menggunakan segala hal yg ada disekitarnya, yang semuanya itu didapat berdasarkan sehatnya jiwa seseorang. Dengan istilah lain, eksistensi keimanan akan menciptakan kepribadian peserta didik membumi menggunakan lingkungan sekitarnya, dan bukannya melangit yang mengakibatkan lingkungan lebih kurang merasa enggan berdampingan atau berdekatan dengannya. Hal tadi karna potensi keimanan sudah melekat, sehingga melahirkan perbuatan yang ihsan, karena segala perbuatannya didasari dengan niat ibadah. 

Akan namun lain halnya bila kejiwaan (psikis) peserta didik, jauh dari keimanan. Hal tadi, akan mengakibatkan melemahnya keingian-cita-cita positif, hilangnya loyalitas ketaatan, menghilangkan semangat (girah), sulit mendapatkan ilmu, menyebabkan perasaan sedih, risi, resah, gelisah, mini hati, stres dan lain sebagainya.

Dengan hilangnya kenyamanan, kebahagiaan, serta lain sebagainya itu telah menyebabkan kondisi psikis dan fisik peserta didik terganggu, sebagai akibatnya sejauh apapun pembelajaran yg disampaikan oleh pendidik nir akan terserap menggunakan baik oleh siswa.

Dalam konsep Islam pada kajian kesehatan jiwa, keimanan dalam Allah merupakan modal penting buat menyembuhkan kejiwaan seseorang menurut berbagai penyakit psikis yang menjangkitinya, lantaran perasaan Iman bisa mewujudkan perasaan aman dan tentram, mencegah perasaan gelisah, serta bisa berfungsi menjadi motivator siswa disetiap aktivitasnya. Dengan kata lain jika keimanan kepada Allah telah tertanam pada diri insan akan membantu menghalangi dan mencegah manusia menurut penyakit-penyakit kejiwaan.

Dalam ilmu psikologi, kegelisahan adalah penyebab utama timbulnya tanda-tanda-gejala penyakit kejiwaan. Maka tidak galat apabila keamanan dan perasaan tentram jiwa orang mukmin karena disebabkan sang keimanan. Bagi seorang mukmin, kenyamanan, keamanan, dan ketentraman jiwa bisa terwujud ditimbulkan keimanannya kepada Allah, yang memberinya harapan dan asa akan pertolongan, proteksi, serta penjagaan berdasarkan Allah SWT, menggunakan beribadah serta mengerjakan segala amal demi mengharap keridaan Allah. Oleh karena itulah, ia akan merasa bahwa Allah SWT, senantiasa bersamanya serta senantiasa akan menolongnya, hal ini sebagai agunan bahwa dalam jiwanya tertanam perasaan aman serta tentram, karena dijauhkan dari sifat merasa takut terhadap apapun pada kehidupan ini, yg sudah diatur oleh Allah serta insan hanya menjalaninya dan memilihnya saja.

Keimanan akan memandu individu dalam kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntunnya buat bisa mewujudkan ekuilibrium fisik serta psikis, yg membuat individu pada menjalankan dan melakukan segala kegiatan menggunakan proporsional, baik itu dalam makan, minum, tidur, menikah, sosial kemasyarakatan, juga pada merespon semua stimulus pada dirinya dengan jalan yg halal dan baik, serta dijauhkan dari perbuatan dolim yang merugikan orang lain, serta menghindari jalan yg haram serta tidak baik. 

Buah menurut hal itu, dia akan memiliki keteguhan jiwa dan keluhuran budi. Dengan begitu, pada taraf ini beliau sudah mempunyai bekal yg cukup buat mengaplikasikan nilai-nilai Islam atas segala sikap, tindakan, serta keputusannya pada menjalani kehidupan. Dengan kata lain, eksistensi iman akan membentuk Islam, dan melahirkan perikalu ihsan yang merupakan buah daripada iman serta islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimudahkan proses pembelajarannya, lantaran keimanan telah membentuk pondasi kebaikan bagi setiap peserta didik pada belajar Islam.

2) Membentuk akhlaqul karimah peserta didik 
Para ahli pendidikan muslim sejak awal menyadari, sepenuhnya bahwa pemahaman mengenai kepribadian manusia yg melahirkan perilaku adalah dasar pijakan bagi keberhasilan pendidikan.

Dalam hal tersebut, Ibnu Sina mengatakan pada al-Qanun: “Adalah sebuah keharusan, perhatian diarahkan dalam pemeliharaan akhlak anak, yakni dengan menjaganya agar nir mengalami luapan amarah, takut dan sedih. Caranya melalui perhatian akurat yg dilakukan anak atas wacana dirinya dan apa yg dibutuhkannya. Hal ini mempunyai 2 kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak serta kegunaan bagi badannya. Sebab, ia sejak dini tumbuhkan menggunakan (norma) akhlak mulia sinkron bahan kuliner yg dikonsumsinya dan akhlak ini dapat menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus”.

Dalam terminologi Islam klasik penyakit jiwa ini dianggap sebagai akhlaq tercela (akhlaq mazmumah) kebalikan menurut akhlaq yg terpuji (akhlaq mahgampang), atau sanggup jua diklaim menggunakan akhlaq yg tidak baik (akhlaq sayyi’ah) kebalikan menurut akhlaq mulia atau baik.

Imam Ghazali menyebutnya dengan akhlaq khabisah. Akhlaq yang tercela serta buruk itu, akan membentuk kepribadian tidak baik yg adalah bagian berdasarkan kelainan psikis, dan kesemuanya ini akan mengakibatkan jiwa insan sebagai kotor dan jauh berdasarkan hidayah Allah. Akhlaq menjadi barometer evaluasi generik, baik dan buruknya kepribadian seseorang, karena akhlaq berkaitan menggunakan hati nurani, maka sifat tadi hanya dapat terukur berdasarkan sikap, tindakan serta tingkah-lakunya (akhlaqnya). Maka, dalam akhlaqul-karimah moralitas yg digunakan, berpijak dalam kebiasaan-kebiasaan kepercayaan Islam, disamping adat-norma dan norma sosial lainnya. Karena secara teoritik kebiasaan Islam nir betentangan dengan kebiasaan sosial. Bahkan bersifat komplementer, mengarahkan serta mencerahkan pranata sosial. Maka seseorang yg berkepribadian islami akan merasa nyaman dan tentram berada di tengah-tengah lingkungan famili dan warga . Hal ini tentu berdampak positif bagi perkembangan kejiwaan, kreatifitas, daya logika bahkan terhadap prestasi akademik seseorang anak pada sekolah. Dengan demikian, kepribadian islami berdampak positif terhadap kejiwaan peserta didik. 

Kesehatan jiwa memiliki kiprah pada menciptakan kepribadian peserta didik, dengan menjalani kehidupan insan normal pada umumnya menggunakan menghiaskan diri menggunakan akhlaq yg terpuji, yang nir terlepas menggunakan 3 esensi dasar yaitu; Islam, Iman serta Ihsan, karena anak yang termasuk kepribadian Islami secara otomatis memiliki ketaqwaan yg tinggi.

Semuanya dapat dibuat dan dikembangkan melalui usaha pendidikan, bimbingan dan latihan-latihan yang sejalan dengan kepercayaan serta norma-kebiasaan ajaran Islam.

Oleh karena itu, seorang anak wajib mendapatkan pendidikan akhlak secara baik, lantaran pendidikan akhlaq adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yg mengatur pola, perilaku dan tindakan insan atas isi bumi, yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia (termasuk menggunakan dirinya sendiri) serta dengan alam sekitar.

3) Mengembangkan potensi peserta didik
Pada hakikatnya bila siswa ditilik dari fitrah-nya, maka beliau memiliki 2 atribut, yaitu makhluk jasmani dan rohani. Dalam perkembangannya, setidaknya terdapat 2 faktor yang mempengaruhi apakah ia tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yg bermatabat, atau kebalikannya menjadi langsung yang kurang bermatabat. Dua faktor tadi, adalah faktor warisan dan faktor lingkungan (bi‘ah). Faktor warisan adalah keadaan yg dibawa insan sejak lahir yg diperoleh berdasarkan orang tuanya. Seperti, rona kulit, bentuk kepala, dan tempramen. 

Sedangkan faktor lingkungan artinya keadaan kurang lebih yang melingkupi manusia, baik benda-benda misalnya air, udara, bumi, langit, dan mentari , termasuk individu dan gerombolan insan. Kedua faktor inilah yang nantinya akan mempengaruhi baik buruknya kondisi kejiwaan insan (peserta didik) dalam menjalani kegiatan kehidupannya. Maka, Peranan kesehatan jiwa akan terlihat sangat krusial dalam rangka berbagi potensi peserta didik kearah yg lebih baik. Untuk mengantisipasi potensi manusia tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu ditumbuh kembangkan:

a) Akal: dalam global pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia (siswa) dikenal kata kognitif.
Tujuannya mengarah pada perkembangan intelegensi yg mengarahkan manusia menjadi individu buat dapat menemukan kebenaran yg sebenar-benarnya. Dengan usaha hadiah ilmu dan pemahaman dalam rangka memandaikan insan atau peserta didik, pada hal ini aspek nalar meliputi: rasio, qalb atau hati yg berpotensi buat merasa dan meyakini, dan fu’ad atau hati nurani, yang diidentikkan menggunakan mendidik kejujuran pada diri sendiri buat membedakan baik dan jelek. 

b) Fisik: Kekuatan fisik adalah bagian utama menurut tujuan pendidikan, sinkron sabda Rosulullah yang diriwayatkan sang imam muslim;

المؤمن القوي خير واحب الى هللا من المؤمن ضعيف

Artinya; Orang mukmin yg bertenaga lebih baik dan lebih disayangi Allah, daripada orang mukmin yg lemah. (HR. Muslim) Imam nawawi menafsirkan hadits diatas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Seperti panca alat, anggota badan, system saraf dan unsur-unsur biologis lain lebih banyak menempuh cara penguatan dan training seperti mengkonsumsi gizi secara memadai serta berolah raga, melatih masing-masing aspek sinkron menggunakan kekhususannya. Dengan demikian sehatnya fisik, merupakan kapital awal buat mengembangkan potensi kebaikan yang terdapat dalam diri insan.
c) Ruhaniyah dan nafsiyah (ruh dan kejiwaan): adalah dimensi yg memiliki imbas pada mengendalikan keadaan insan supaya bisa hayati sehat, tentram serta bahagia. Bentuk pengembangannya, supaya mengakibatkan manusia betul-benar mendapat ajaran islam dengan menerima seluruh cita-cita ideal yg masih ada dalam al-Qur‟an, peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya pada Allah semata serta moralitas islami yg diteladani berdasarkan tingkah laku kehidupan Nabi Muhammad, yg adalah bagian utama dalam tujuan pendidikan islami. Biasanya dilakukan menggunakan amalan-amalan mendekatkan diri pada Allah dan tazkiyatun-nafs,seperti shalat malam, berpuasa sunnah, poly berdzikir kepada-Nya, membangun perilaku rido terhadap takdir serta kehendak-Nya. Keduanya ini adalah daya manusia buat mengenal Tuhannya, dirinya sendiri, serta mencapai ilmu pengetahuan. Sehingga bisa memilih manusia berkepribadian baik.

d) Keberagaman: manusia merupakan makhluk yang ber-Tuhan atau makhluk yang beragama. Berdasarkan output riset dan observasi, hampir semua pakar jiwa sependapat bahwa dalam diri insan terdapat hasrat serta kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tadi adalah kodrati, berupa hasrat buat mencintai serta dicintai Tuhan.

Dalam pandangan Islam, semenjak lahir seseorang anak sudah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yg maha pencipta dan Maha mutlak yaitu Allah Swt. Sehingga tinggal bagimana pendidikan, orang tua serta lingkungan-lah yg memilih anak tersebut, yaitu beragama atau tidak beragamakah?.

e) Sosial: insan adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial, keserasian antara individu dan warga nir mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial serta tujuan individual. Maka, tanggung jawab sosial merupakan dasar pembentuk warga . Oleh karenanya Pendidikan sosial ini setidaknya mampu membimbing tingkah laku insan dibidang sosial, ekonomi, dan politik menuju langsung yg Islami.

4) Memiliki filsafat atau pandangan hidup
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat hidup adalah mempunyai pegangan hayati yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yg benar, terutama waktu menghadapi atau berada pada situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hayati ini memiliki dua muatan, yaitu makna hidup serta nilai hidup. Jadi setiap insan akan senantiasa dibimbing oleh makna serta nilai hayati yang sebagai pegangannya buat menciptakan kepribadiannya. Ia tidak terbawa begitu saja oleh arus situasi yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana hatinya sendiri yang bersifat sesaat. Implikasinya terhadap pendidikan Islam, peserta didik lebih berani dengan kemauan serta tekadnya dalam menjalankan perintah agama, serta memiliki rasa percaya diri yg tinggi untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Hal tadi diharapkan buat mengatasi setiap duduk perkara yg menimpa dirinya.

5) Membentuk kematangan emosional peserta didik menggunakan lebih bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan Manusia bijaksana, adalah manusia yg bisa mengedepankan akhlaqul karimah pada menyikapi persoalan kehidupannya, tentunya menggunakan mengoptimalkan kinerja logika serta hati pada memberikan keputusan dan menyikapi kehidupan, menggunakan nir disertai sikap arogansi serta lain sebagainya dalam menjalankan kegiatan kehidupannya, inilah yang dimaksud menggunakan kematangan emosional.

Terdapat tiga ciri konduite dan pemikiran pada seseorang yang emosinya dipercaya matang, yaitu mempunyai disiplin diri, determinasi diri, serta kemandirian. Peserta didik yg mempunyai disiplin diri bisa mengatur diri, hidup teratur, menaati aturan dan peraturan. Peserta didik yang mempunyai determinasi diri akan bisa membuat keputusan sendiri pada memecahkan suatu perkara serta melakukan apa yg telah diputuskan, tidak gampang menyerah dan menduga kasus baru lebih sebagai tantangan daripada ancaman. Individu berdikari akan berdiri pada atas kaki sendiri, Ia nir poly menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan pada diri pada kemampuan, kemauan serta kekuatannya sendiri.

Kematangan emosional membuahkan (peserta didik) lebih berfikir logis, kritis serta kreatif, serta bisa merogoh keputusan secara cepat dan tepat. Oleh karena itu, pendidikan Islam akan membentuk output yg kritis dan kreatif, yg didalalamnya mempunyai 3 ciri utama yaitu; 1) memiliki pemikiran asli atau asli (originality), dua) mempunyai keluwesan (flexibility), serta 3) menampakan kelancaran proses berfikir (fluency). Dari sinilah daya fikir seorang ini akan lebih maju.

6) Membentuk pemahaman siswa pada menerima realitas hidup
Adanya disparitas antara dorongan, harapan dan ambisi pada satu pihak, serta peluang serta kemampuan di pihak lainnya adalah hal yang biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan buat mendapat empiris diantaranya menampakan konduite mampu memecahkan masalah dengan segera serta menerima tanggungjawab. Bahkan bila memungkinkan, beliau bisa mengendalikan lingkungan, atau paling nir mudah dalam mengikuti keadaan dengan lingkungan, terbuka buat pengalaman serta gagasan baru, menciptakan tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut. 

Selain itu mereka jua tidak terlalu poly memakai prosedur pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yg tidak tepat saat menghadapi masalah yang mengganggunya atau yg nir beliau kehendaki.

7) Menjauhkan pemahaman siswa menurut kehidupan materialisme-hura-hura Dalam teori kesehatan jiwa barat, mengungkapkan bahwa tingkah laris manusia merupakan suatu fungsi berdasarkan faktor-faktor ekonomi dan sosial.

Pandangan hayati yg materialistik, individualistik dan hedonistik ini, membawa akibat menempatkan manusia pada derajat yg tinggi, causa-prima yg unik, pemilik akal budi yg hebat, dan mempunyai kebebasan penuh buat berbuat apa saja yg dipercaya baik bagi dirinya. Dengan kebebasan serta kedaulatan penuh akan menyebabkan konsep langsung yang ekstrim, yang pada gilirannya akan membuatkan sifat anarkhis, karena meniadakan hubungan trasendal menggunakan Tuhan.

Dalam al-Qur‟an, kesehatan jiwa tidak hanya mengutamakan pengembangan pada potensi manusia saja, akan namun aspek ketuhanan yang merupakan potensi serta kebutuhan dasar insan merupakan prioritas primer yang sangat diperhatikan.

Hal tersebut dikarenakan, semua tingkah laris insan yg bisa mengarahkan dalam terwujudnya ketenangan dan kebahagiaan hayati bukanlah sesuatu yg hanya bisa diamati (observable) serta bersifat materialistik saja, namun jua sesuatu yang transenden yang tidak dalam jangkauan manusia, yaitu nilai-nilai keruhanian serta hal ini merupakan aspek-aspek pendidikan islam. Dalam teori pendidikan, pembicaraan tentang sifat-sifat asal insan adalah satu hal yang wajar. Dari segi pandangan al-Qur‟an insan itu adalah makhluk istimewa sebab ia dianggap khalifah Allah.

Atas dasar inilah sekalipun manusia diakui mempunyai derajat yang paling tinggi diantara sekian poly mahluk yg Allah ciptakan, permanen ditempatkan secara proporsional dalam rekanan Makhluk serta Kholik. Berangkat dari sinilah pendidikan Islam haruslah menyebarkan semua sifat-sifat ini, menciptakan manusia yg beriman yang memelihara berbagai komponen menurut sifat-sifat asal tanpa mengorbankan keliru satunya. Dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa Qur‟ani, ada tiga faktor dasar yang wajib ditegakkan, yaitu Allah, insan, serta lingkungannya.

Hubungan insan dan Allah adalah kondisi utama bagi keberhasilan dalam hubungan antara insan dan lingkungannya. Jika interaksi antara Allah serta manusia lebih tersusun, lebih tegas dan berjalan dari kriteria yang ditetapkan Allah maka interaksi antara insan menggunakan lingkungan sebagai lebih berhasil, begitu pula pada pendidikan Islam