KONTRIBUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MANUSIA

Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia 
Akhir-akhir ini pendidikan Islam poly dipertanyakan orang, baik itu formal juga informal. Lantaran sebagian sudah melahirkan orang-orang yang sakit kejiwaannya, ammoral perilakunya, serta jelek kepribadiaannya, yg menyebabkan kepercayaan Islam menjadi momok bagi pemeluk kepercayaan lain. Seperti; teroris, perekrutan anggota NII, mangkat syahid menggunakan bom bunuh diri, kemudian konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana, mulai berdasarkan perkara bom Bali, bom Hotel JW Marriot, bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah pada Parung, penutupan rumah ibadah Kristiani pada Bandung Jawa Barat, lalu tragedi kekerasan di Monumen Nasional Jakarta yg kesemuanya ini mengatasnamakan usaha Islam. 

Fenomena pada atas melahirkan tentang agama yg paradoksal bahwa ia nir hanya bersifat rahmatan lil‘alamin (rahmat bagi seluruh) akan tetapi jua bencana, karena melahirkan fenomena-fenomena kekerasan, anti kebersaman dan kemajemukan. Meskipun masih ada banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya menurut kalangan agamawan, bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, namun insan saja yang lalu menyalahgunakan agama buat kepentingan langsung atau grup sebagai akibatnya menyulut kekerasan, yang jelas kenyataan aksi kekerasan atas nama kepercayaan secara riil (konkret) terjadi dalam kehidupan moderen ini. Dengan citra diatas, masuk akal jika seseorang non muslim menaruh pernyataan, bahwa pendidikan Islam kini ini adalah pendidikan yang membangun manusia menggunakan kondisi kejiwaan labil, yg menyebakan manusia gampang terprovokasi pada keburukan yang di kemas menggunakan nilia-nilai ke-Tuhanan. Dengan begitu, terjadilah kegoncangan pada diri manusia yang kemudian menumbuhkan penyakit kejiwaan serta krisis kepribadian dan nir berkarakter, hal tadi ditimbulkan pendidikan yg diterimanya sudah menjadi virus yg mematikan pada kepribadiannya, yang jauh menurut kebenaran yang terdapat pada al-Qur‟an, dan berimplikasi, kenyamanan dan kebahagiaan hayati kian sulit didapat.

Hal di atas tidaklah sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yg berfungsi menjadi alat yg digunakan insan buat tetap survive baik sebagai individu juga masyarakat. Maka tujuan akhir berdasarkan pada pendidikan islam nir lepas berdasarkan tujuan hidup muslim, lantaran pendidikan Islam adalah wahana buat mencapai tujuan hayati manusia menurut ajaran Islam. Dengan demikian, tidaklah tepat kalau pendidikan Islam memberikan pengaruh jelek terhadap kepribadian manusia akan tetapi kebalikannya pendidikan Islam memberikan efek yang sangat baik bagi perkembangan kepribadian insan, sebagaimana yg akan diulas dibawah ini.

a. Peran Pendidikan Islam pada Dakwah Islamiyah
Pendidikan Islam mempunyai kiprah yg sangat signifikan dalam menciptakan, menyebarkan serta mengembangkan kepercayaan Islam yg tentunya dalam perkembangan tadi, lumrah jika Islam menemui banyak sekali bentuk persoalan mulai menurut penerapan teks klasik terhadap tataran aplikatif kehidupan modern yg mana Islam dituntut buat bisa menyesuaikannya. Menurut Irsan al-Kailani, umat Islam umumnya masih berada dalam dataran ihsas al-musykilah (menyadari adanya persoalan), namun belum dibarengi dengan tahdid wa tahlil al musykilah (kesanggupan mengidentifikasi dan menuntaskan dilema).

Dari sinilah pendidikan Islam memiliki peran pendidikan sangat terlihat, misalnya pendidikan Islam dalam fungsi psikologis (kejiwaan serta teori kesehatan), bisa memberikan pencerahan akan makna hidup, memberikan rasa damai dan menaruh dukungan psikologis bagi pemeluknya, terlebih bagi mereka yang sedang mendapati dirinya pada menghadapi kegoncangan kejiwaan, pada hal ini pesan agama menumbuhkan pencerahan akan makna hidup dengan nilai ibadah, darma kepada Tuhan baik secara personal juga sosial kemasyarakatan. Kemudian pendidikan Islam pada fungsi sosialnya, memacu adanya perubahan sosial kearah yg lebih baik, memberikan kontrol sosial terhadap tanda-tanda sosial yg destruktif dan perekat sosial tanpa melihat aneka macam latar belakang yg tidak sinkron.

Sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Arif kata yg kerap digunakan buat menyebut hakikat pendidikan Islam merupakan pendidikan menjadi fenomena kultural performatif. Dengan kata ini, setidaknya perbincangan pendidikan Islam amat mungkin ditelaah dari 2 prespektif, yaitu konseptual-teoritis dan pelaksanaan-mudah. Prespektif pertama mengantarkan pada pemaparan tentang pengertian, tujuan pendidikan Islam tentunya dengan dasar yg diambil dari al-Qur‟an dan Hadis, serta asal hukum Islam lainnya. 

Melalui prespektif ini, bisa diketahui bahwa pendidikan Islam memiliki “keluasan” dan “kedalaman” makna, yg penuh cara lain serta menantang kreativitas serta kecerdasan nalar pikir insan untuk merungkannya dan menyiasatinya dalam rangka membarui yang possible (mungkin) menjadi yg plausible (wajar).

Sementara itu dengan prespektif kedua, pendidikan Islam dijabarkan, diterapkan, dan dibumikan pada empiris kehidupan insan. Dari sini, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam ternyata tidak sekedar diartikan secara “normatif-teoritis”, melainkan jua secara “historis-sosiologis”.

Hal ini karena untuk menghindari terjadi pemaknaan yg keliru terhadap ajaran dalam pendidikan Islam, serta menjauhkan berdasarkan budaya yang nir relevan menggunakan kehidupan moderen ini, menggunakan kata lain menggunakan adanya pendidikan Islam mampu membawa peran kepercayaan Islam sholih likulli zaman wa makan, dan menjauhkan manusia berdasarkan penyakit kejiwaan akibat berdasarkan aktivitas kewajibannya sebagai mukmin.

b. Kontribusi Pendidikan Islam pada Membentuk Kepribadian Manusia
Para pakar pendidikan putusan bulat bahwa teori serta amalan pendidikan sangat ditentukan sang cara orang memandang kepada sifat-sifat asal manusia yang terilhat dari kepribadiannya pada menjalani kehidupannya sehari-hari. Jika manusia ditinjau mempunyai sifat-sifat asal yg dursila, maka tujuan pendidikan adalah menahan unsur-unsur dursila ini, begitu juga menggunakan sebaliknya jika sifat asalnya baik maka tujuan pendidikan adalah mengembangkannya sebagai lebih baik.

Istilah pendidikan dalam konteks Islam, pada umumnya mengacu pada terma al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim yg dapat digunakan secara bersamaan, karena memiliki kecenderungan makna. Namun secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Kata al-tarbiyah berasal menurut kata rabb yg bermakna, tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.

Kata rabb sebagaimana yang masih ada pada QS. Al-fatihah 1:2, yaitu (alhamdulilla>hi rabbil-‘alamin) mempunyai kandungan makna yang berkonotasi menggunakan istilah al-tarbiyah. Sebab istilah rabb (Tuhan) serta murabbi (pendidik) asal dari akar istilah yang sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah merupakan pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.

Uraian di atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses Pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia. Dalam pengertian luas, pendidikan Islam yg terkandung pada terma al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: pertama, memelihara serta menjaga fitrah peserta didik menjelang dewasa (baligh); kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; keempat, melaksanakan pendidikan secara sedikit demi sedikit.

Penggunaan terma al-tarbiyah buat menunjuk makna pendidikan Islam dapat difahami menggunakan merujuk firman Allah pada QS. Al-Isra‟ 17: 24;

Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku saat kecil". 

Sedangkan makna al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan menggunakan altarbiyah juga al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi banyak sekali ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.

Argumentasinya didasarkan pada QS. Al-Baqarah dua:151, menjadi berikut:

Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara engkau yang membacakan ayat-ayat kami pada engkau dan mensucikan kamu serta mengajarkan kepadamu Al Kitab serta Al-Hikmah, dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.

Kalimat wa yu‘allimukum al-buku wa al-hikmah, pada ayat tersebut mengungkapkan kegiatan Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur‟an kepada kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar menciptakan umat Islam sanggup membaca, melainkan membawa kaum muslimin pada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian jiwa) berdasarkan segala kotoran, sebagai akibatnya memungkinkannya menerima al-pesan tersirat serta menilik segala yang bermanfaat buat diketahui. Dengan demikian, makna al-ta’lim nir hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan namun mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara verbal, pengetahuan serta keterampilan yg dibutuhkan dalam kehidupan, perintah buat melaksanakan pengetahuan serta pedoman buat berperilaku.

Adapun kata al-ta’dib, berdasarkan Naquid al-Attas merupakan istilah yang paling sempurna buat pendidikan Islam.

Konsep ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam :

ادبنً ربً فاحسن تأدبً )روه العسكري عن علً(

Artinya: Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku. (HR. Al-Askari menurut „Ali>)

Secara terminologi al-ta’dib berarti pengenalan serta pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke pada diri insan (siswa) tentang aneka macam tempat yg sempurna berdasarkan segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan.

Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang sempurna dalam tatanan wujud kepribadiannya.

Dalam konteks ini, Naquid Al-Attas pun mengungkapkan bahwa penggunaan kata al-tarbiyah terlalu luas buat mengungkapkan hakikat serta operasionalisasi pendidikan Islam. 

Sebab kata al-tarbiyah yang memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya dipakai buat manusia, namun digunakan memelihara hewan atau makhluk Allah lainnya. Pendidikan Islam penekanannya nir hanya dalam material saja, akan tetapi juga pada aspek psikis serta immaterial. Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan terma yang paling tepat pada khazanah bahasa Arab karena mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, serta pengasuhan yang baik sebagai akibatnya makna al-tarbiyah dan alta’li>m sudah tercakup pada terma al-ta’dib.

Terlepas menurut pemaknaan diatas, para pakar pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam, pada antara batasan yang sangat variatif, merupakan sebagai berikut:
a) Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan Islam menjadi bimbingan yg diberikan oleh seorang agar ia berkembang secara aporisma sinkron dengan ajaran Islam.

b) Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan proses membarui tingkah laris individu siswa dalam kehidupan pribadi, warga , dan alam sekitarnya. Proses tadi dilakukan dengan cara pendidikan dan pedagogi menjadi suatu kegiatan asasi dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi masyarakat.

c) Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar sang pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siswa menuju terbentuknya kepribadian yg utama (manusia kamil).

d) Muhammad Fadhil Al-Jamali memberikan pengertian pendidikan Islam merupakan upaya menyebarkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk eksklusif yang lebih paripurna, baik yg berkaitan menggunakan akal, perasaan, maupun perbuatan.

Dengan beberapa pemaknaan di atas, terlihat kentara donasi pendidikan Islam terhadap perkembangan kepribadian insan dalam menjalani kegiatan kehidupannya bahwa insan buat menjadi baik bisa diarahkan dengan pendidikan Islam. Jadi pendidikan Islam sejatinya merupakan suatu sistem yang memungkinkan seseorang (siswa) bisa mengarahkan kehidupannya sesuai dengan tujuan hidupnya. Hal pada atas terlihat dari tujuan pendidikan Islam, yg menurut al-Syaibani adalah mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat.

Sedangkan tujuan akhir yg akan dicapai adalah membuatkan fitrah anakdidik, baik ruh, fisik, kemauan, serta akalnya secara bergerak maju, sebagai akibatnya akan terbentuk eksklusif yg utuh dan mendukung bagi pelaksanaan kegunaannya sebagai khalifah fil-ard.

Pendekatan tujuan ini mempunyai makna, bahwa upaya pendidikan Islam merupakan pembinaan pribadi muslim sejati yang mengabdi serta merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai menggunakan syariat Islam, serta mengisi tugas kehidupannya di global dan menjadikan kehidupan akhirat menjadi tujuan utama pendidikannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam merupakan proses membimbing serta membina fitrah peserta didik secara aporisma dan bermuara pada terciptanya pribadi peserta didik sebagai muslim sempurna (manusia kamil). Melalui sosok yang demikian, siswa dibutuhkan bisa memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yang harmonis baik di dunia juga akhirat.

Melalui pendidikan Islam, setiap manusia diharapkan tumbuh berkembang sebagai generasi unggul yang cerdas dalam berfikir, kreatif pada bekerja dan berkepribadian Islami dalam bergaul serta bersosilalisasi terhadap lingkungan atau alam sekitar. 

Bila ditilik dengan apa yg sebagai dasar kesehatan jiwa, sebagai tolak ukur buat mencapai kebahagiaan hakiki di global serta pada akherat, maka terlihat disini adanya kolerasi keduanya, baik itu berkaitan menggunakan aplikasi juga teori mendasarnya. Sebagaimana terlihat pada tugas pendidikan Islam merupakan membimbing serta mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan peserta didik dari tahap ke termin kehidupannya sampai mencapai titikkemampuannya secara optimal.

Sedangkan kesehatan jiwa bertugas untuk membentuk kehidupan insan sejalan dengan fitrah (kudus, bersih, dan beragama) yg telah diberikan Allah kepadanya. Begitupula pada kegunaannya. Fungsi Pendidikan Islam, yaitu menyediakan fasilitas yang dapat memungkin tugas pendidikan berjalan lancar baik itu yang bersifat struktural juga institusional, sedangkan fungsi kesehatan jiwa, sebagaimana diuraikan diatas memberikan konsep kejiwaan dengan beberapa substansi didalamnya supaya insan bisa mengarahkan segenap perilakunya buat menghindari segala bentuk keburukan yang lahir berdasarkan salah satu subtansi kejiwaannya.

Dengan demikian, pendidikan Islam akan membangun manusia menggunakan kejiwaan yang stabil sesuai menggunakan fitrahnya, yang lalu akan membentuk kepribadian atau konduite berlabelkan rahmatan lil ‘a>lami>n. Hal tadi akan membangun nilai positif terhadap manusia sebagai pemeluk serta penganut agama Islam dengan nir gampang terprovokasi terhadap keburukan yg dapat menjauhkan dirinya dari kefitrahannya. Dari sini virus keburukan, kesesatan, menggunakan doktrin menjadi bagian menurut teroris, anggota NII, kemudian melakukan kegiatan kekerasan atas nama kepercayaan terhadap pemeluk kepercayaan lain, akan menjauh 

dengan sendirinya, lantaran pendidikan Islam telah mampu mendewasakan insan buat selalu berfikir positif dalam menjalani kehidupannya menjadi hamba Allah yg bertaqwa.

c. Implikasi Pendidikan Islam Terhadap Perkembangan Kepribadian Manusia 
Salah satu ciri kepribadian yang baik merupakan ditandai menggunakan kematangan emosi serta sosial seseorang yg disertai menggunakan adanya kesesuaian dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan fungsi berdasarkan Pendidikan Islam terhadap kepribadian insan merupakan mewujudkan keserasian antara fungsi-fungsi kemanusiaan dalam diri manusia, supaya tercipta penyesuaian diri antara manusia menggunakan dirinya sendiri dan lingkungannya, yg berlandaskan keimanan dan ketaqwaan untuk mencapai hidup yang bermakna, senang dunia dan akhirat. Pendidikan Islam adalah sebuah ilmu yang berpautan menggunakan kesejahteraan serta kebahagiaan manusia, yang mencakup semua bidang hubungan dengan orang lain, alam, lingkungan, serta Tuhan, yang adalah penentu masa depan dan mutu bagi setiap individu manusia.

Menurut S. Nasution, barang siapa yg menguasai pendidikan memegang nasib bangsa dan negara. Dan izin pendidikan tersebut tidak keliru target, maka kualitas kepribadian manusia merupakan prioritas menjadi syarat awal buat menerima ilmu pengetahuan. Karena kesehatan serta pendidikan, merupakan proses yg memberikan kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas eksklusif seorang secara bebas dan bertanggung jawab.

Kalau digali dan dilihat, indikasi kepribadian yang baik, terkonsep pada pendidikan Islam. Hal tadi terlihat dari beberapa karakteristiknya, yang antara lain: 
1). Mengedepankan tujuan agama serta akhlak. Karakteristik ini mewarnai karakteristik-karakteristik lain, utamanya yg berorientasi pada tauhid serta penanaman nilai-nilai. 
2) selaras menggunakan fitrah manusia termasuk berkenaan menggunakan pembawaan, bakat, jenis kelamin, potensi, dan pengembangan psiko-fisik. 
3) merespon dan mengantisipasi kebutuhan konkret individu dan warga , serta mengusahakan solusi terkait dengan masa depan perubahan sosial yg terjadi secara terus menerus.
4) fleksibel karena didorong dengan kesadaran hati, tanpa paksaan. 
5) realistik, dengan menyebarkan keseimbangan serta proporsionalitas antara pengembangan intelektual, emosional, serta spiritual. 
6) menghindarkan menurut pemahaman dikotomik terhadap ilmu pengetahuan kepercayaan dan ilmu-ilmu yg lain, sekaligus menghindarkan setiap individu dari pemahaman agama parsial yg bisa membuat peserta didik kehilangan dan bersikap ekstrim.

Dengan diterapkannya dan dilaksanakannya kesehatan jiwa dalam pendidikan Islam. Maka implikasinya merupakan menjadi berikut: 

1) Memperkuat keimanan peserta didik menjadi dasar pijakan pada beraktivitas sehari-hari.
Salah satu kapital awal pembentukan karakter kepribadian baik dalam peserta didik merupakan dengan tumbuhnya keimanan yang kokoh, yg membuahkan siswa dijauhkan berdasarkan sifat arogan serta tinggi hati, akan namun selalu rendah diri dan tawaduk menggunakan segala hal yg ada disekitarnya, yg semuanya itu didapat berdasarkan sehatnya jiwa seorang. Dengan istilah lain, eksistensi keimanan akan menciptakan kepribadian peserta didik membumi menggunakan lingkungan sekitarnya, serta bukannya melangit yang mengakibatkan lingkungan sekitar merasa enggan berdampingan atau berdekatan dengannya. Hal tersebut karna potensi keimanan sudah inheren, sehingga melahirkan perbuatan yg ihsan, lantaran segala perbuatannya didasari menggunakan niat ibadah. 

Akan namun lain halnya apabila kejiwaan (psikis) siswa, jauh dari keimanan. Hal tersebut, akan menyebabkan melemahnya keingian-keinginan positif, hilangnya loyalitas ketaatan, menghilangkan semangat (girah), sulit menerima ilmu, menyebabkan perasaan murung , khawatir, galau, gelisah, mini hati, stres dan lain sebagainya.

Dengan hilangnya ketenangan, kebahagiaan, dan lain sebagainya itu telah menyebabkan syarat psikis serta fisik peserta didik terganggu, sebagai akibatnya sejauh apapun pembelajaran yg disampaikan sang pendidik nir akan terserap menggunakan baik oleh peserta didik.

Dalam konsep Islam dalam kajian kesehatan jiwa, keimanan pada Allah adalah modal penting untuk menyembuhkan kejiwaan seseorang menurut aneka macam penyakit psikis yg menjangkitinya, lantaran perasaan Iman dapat mewujudkan perasaan aman serta tentram, mencegah perasaan gelisah, dan dapat berfungsi sebagai motivator peserta didik disetiap aktivitasnya. Dengan kata lain bila keimanan kepada Allah sudah tertanam dalam diri manusia akan membantu menghalangi serta mencegah insan menurut penyakit-penyakit kejiwaan.

Dalam ilmu psikologi, kegelisahan merupakan penyebab primer timbulnya gejala-tanda-tanda penyakit kejiwaan. Maka tidak galat jika keamanan dan perasaan tentram jiwa orang mukmin karena disebabkan sang keimanan. Bagi seseorang mukmin, kenyamanan, keamanan, serta ketentraman jiwa dapat terwujud disebabkan keimanannya kepada Allah, yang memberinya keinginan serta harapan akan pertolongan, perlindungan, dan penjagaan berdasarkan Allah SWT, dengan beribadah dan mengerjakan segala amal demi mengharap keridaan Allah. Oleh lantaran itulah, dia akan merasa bahwa Allah SWT, senantiasa bersamanya dan senantiasa akan menolongnya, hal ini sebagai jaminan bahwa dalam jiwanya tertanam perasaan kondusif dan tentram, karena dijauhkan dari sifat merasa takut terhadap apapun dalam kehidupan ini, yang sudah diatur oleh Allah dan manusia hanya menjalaninya serta memilihnya saja.

Keimanan akan memandu individu dalam kaidah-kaidah dasar kesehatan serta konduite preventif. Keimanan akan menuntunnya buat dapat mewujudkan ekuilibrium fisik dan psikis, yg membuat individu pada menjalankan serta melakukan segala kegiatan dengan proporsional, baik itu pada makan, minum, tidur, menikah, sosial kemasyarakatan, juga dalam merespon seluruh stimulus dalam dirinya dengan jalan yg halal serta baik, serta dijauhkan dari perbuatan dolim yang merugikan orang lain, dan menghindari jalan yang haram serta jelek. 

Buah menurut hal itu, dia akan memiliki keteguhan jiwa serta keluhuran budi. Dengan begitu, dalam tingkat ini beliau sudah mempunyai bekal yang relatif buat mengaplikasikan nilai-nilai Islam atas segala sikap, tindakan, dan keputusannya dalam menjalani kehidupan. Dengan kata lain, eksistensi iman akan membentuk Islam, dan melahirkan perikalu ihsan yang adalah buah daripada iman dan islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimudahkan proses pembelajarannya, lantaran keimanan sudah membentuk pondasi kebaikan bagi setiap siswa dalam belajar Islam.

2) Membentuk akhlaqul karimah siswa 
Para ahli pendidikan muslim sejak awal menyadari, sepenuhnya bahwa pemahaman mengenai kepribadian manusia yg melahirkan perilaku adalah dasar pijakan bagi keberhasilan pendidikan.

Dalam hal tadi, Ibnu Sina berkata pada al-Qanun: “Adalah sebuah keharusan, perhatian diarahkan pada pemeliharaan akhlak anak, yakni dengan menjaganya agar nir mengalami luapan amarah, takut serta sedih. Caranya melalui perhatian seksama yg dilakukan anak atas perihal dirinya serta apa yang dibutuhkannya. Hal ini mempunyai 2 kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak dan kegunaan bagi badannya. Sebab, beliau sejak dini tumbuhkan menggunakan (kebiasaan) akhlak mulia sesuai bahan makanan yang dikonsumsinya serta akhlak ini bisa menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus”.

Dalam terminologi Islam klasik penyakit jiwa ini diklaim sebagai akhlaq tercela (akhlaq mazmumah) kebalikan dari akhlaq yang terpuji (akhlaq mahmudah), atau bisa jua dianggap dengan akhlaq yang tidak baik (akhlaq sayyi’ah) kebalikan berdasarkan akhlaq mulia atau baik.

Imam Ghazali menyebutnya dengan akhlaq khabisah. Akhlaq yang tercela serta buruk itu, akan membangun kepribadian jelek yg merupakan bagian berdasarkan kelainan psikis, serta kesemuanya ini akan mengakibatkan jiwa insan sebagai kotor serta jauh dari hidayah Allah. Akhlaq menjadi barometer penilaian umum, baik serta buruknya kepribadian seseorang, lantaran akhlaq berkaitan dengan hati nurani, maka sifat tersebut hanya bisa terukur dari perilaku, tindakan serta tingkah-lakunya (akhlaqnya). Maka, pada akhlaqul-karimah moralitas yang dipakai, berpijak dalam norma-kebiasaan agama Islam, disamping istiadat-tata cara serta kebiasaan sosial lainnya. Karena secara teoritik norma Islam nir betentangan dengan norma sosial. Bahkan bersifat komplementer, mengarahkan dan mencerahkan pranata sosial. Maka seseorang yang berkepribadian islami akan merasa nyaman serta tentram berada di tengah-tengah lingkungan famili serta warga . Hal ini tentu berdampak positif bagi perkembangan kejiwaan, kreatifitas, daya akal bahkan terhadap prestasi akademik seseorang anak di sekolah. Dengan demikian, kepribadian islami berdampak positif terhadap kejiwaan peserta didik. 

Kesehatan jiwa mempunyai kiprah dalam menciptakan kepribadian siswa, menggunakan menjalani kehidupan insan normal pada umumnya dengan menghiaskan diri dengan akhlaq yang terpuji, yang tidak terlepas menggunakan tiga esensi dasar yaitu; Islam, Iman serta Ihsan, karena anak yg termasuk kepribadian Islami secara otomatis memiliki ketaqwaan yang tinggi.

Semuanya dapat dibentuk dan dikembangkan melalui usaha pendidikan, bimbingan dan latihan-latihan yg sejalan dengan kepercayaan serta kebiasaan-kebiasaan ajaran Islam.

Oleh karenanya, seseorang anak harus mendapatkan pendidikan akhlak secara baik, karena pendidikan akhlaq adalah pendidikan yg berusaha mengenalkan, menanamkan dan menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yang mengatur pola, perilaku serta tindakan manusia atas isi bumi, yang mencakup interaksi insan menggunakan Allah, sesama manusia (termasuk dengan dirinya sendiri) dan menggunakan alam sekitar.

3) Mengembangkan potensi peserta didik
Pada hakikatnya apabila siswa ditilik menurut fitrah-nya, maka dia memiliki 2 atribut, yaitu makhluk jasmani serta rohani. Dalam perkembangannya, setidaknya ada dua faktor yg mempengaruhi apakah dia tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yg bermatabat, atau kebalikannya sebagai pribadi yang kurang bermatabat. Dua faktor tadi, adalah faktor warisan serta faktor lingkungan (bi‘ah). Faktor warisan adalah keadaan yg dibawa insan sejak lahir yg diperoleh menurut orang tuanya. Seperti, warna kulit, bentuk kepala, serta tempramen. 

Sedangkan faktor lingkungan ialah keadaan kurang lebih yang melingkupi insan, baik benda-benda seperti air, udara, bumi, langit, dan matahari, termasuk individu serta grup manusia. Kedua faktor inilah yg nantinya akan mempengaruhi baik buruknya syarat kejiwaan manusia (peserta didik) dalam menjalani aktivitas kehidupannya. Maka, Peranan kesehatan jiwa akan terlihat sangat krusial pada rangka menyebarkan potensi siswa kearah yg lebih baik. Untuk mengantisipasi potensi manusia tersebut, ada beberapa hal yang perlu ditumbuh kembangkan:

a) Akal: pada global pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan nalar manusia (peserta didik) dikenal kata kognitif.
Tujuannya mengarah kepada perkembangan intelegensi yg mengarahkan manusia menjadi individu buat dapat menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya. Dengan bisnis anugerah ilmu dan pemahaman pada rangka memandaikan insan atau siswa, pada hal ini aspek nalar meliputi: rasio, qalb atau hati yang berpotensi buat merasa serta meyakini, serta fu’ad atau hati nurani, yang diidentikkan dengan mendidik kejujuran dalam diri sendiri buat membedakan baik serta buruk. 

b) Fisik: Kekuatan fisik adalah bagian utama menurut tujuan pendidikan, sinkron sabda Rosulullah yg diriwayatkan sang imam muslim;

المؤمن القوي خير واحب الى هللا من المؤمن ضعيف

Artinya; Orang mukmin yang bertenaga lebih baik serta lebih disayangi Allah, daripada orang mukmin yg lemah. (HR. Muslim) Imam nawawi menafsirkan hadits diatas menjadi kekuatan iman yg ditopang sang kekuatan fisik. Seperti panca indera, anggota badan, system saraf serta unsur-unsur biologis lain lebih banyak menempuh cara penguatan serta pembinaan seperti mengkonsumsi gizi secara memadai serta berolah raga, melatih masing-masing aspek sesuai dengan kekhususannya. Dengan demikian sehatnya fisik, merupakan kapital awal buat berbagi potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia.
c) Ruhaniyah dan nafsiyah (ruh dan kejiwaan): merupakan dimensi yg mempunyai dampak pada mengendalikan keadaan manusia agar bisa hidup sehat, tentram dan senang . Bentuk pengembangannya, supaya membuahkan manusia betul-betul menerima ajaran islam menggunakan menerima seluruh hasrat ideal yang terdapat pada al-Qur‟an, peningkatan jiwa serta kesetiaannya yg hanya pada Allah semata dan moralitas islami yang diteladani berdasarkan tingkah laku kehidupan Nabi Muhammad, yg adalah bagian utama pada tujuan pendidikan islami. Biasanya dilakukan menggunakan amalan-amalan mendekatkan diri dalam Allah serta tazkiyatun-nafs,seperti shalat malam, berpuasa sunnah, banyak berdzikir pada-Nya, membangun sikap rido terhadap takdir serta kehendak-Nya. Keduanya ini merupakan daya manusia buat mengenal Tuhannya, dirinya sendiri, dan mencapai ilmu pengetahuan. Sehingga dapat menentukan insan berkepribadian baik.

d) Keberagaman: insan adalah makhluk yang ber-Tuhan atau makhluk yang beragama. Berdasarkan hasil riset dan observasi, hampir semua pakar jiwa sependapat bahwa pada diri insan masih ada harapan dan kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tadi merupakan kodrati, berupa keinginan buat menyayangi dan dicintai Tuhan.

Dalam pandangan Islam, sejak lahir seorang anak sudah memiliki jiwa agama, yaitu jiwa yg mengakui adanya zat yg maha pencipta dan Maha absolut yaitu Allah Swt. Sehingga tinggal bagimana pendidikan, orang tua dan lingkungan-lah yg memilih anak tadi, yaitu beragama atau nir beragamakah?.

e) Sosial: manusia adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial, keserasian antara individu dan rakyat tidak memiliki kontradiksi antara tujuan sosial serta tujuan individual. Maka, tanggung jawab sosial adalah dasar pembentuk rakyat. Oleh karena itu Pendidikan sosial ini setidaknya mampu membimbing tingkah laku manusia dibidang sosial, ekonomi, serta politik menuju eksklusif yg Islami.

4) Memiliki filsafat atau pandangan hidup
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat hayati adalah memiliki pegangan hidup yang dapat senantiasa membimbingnya buat berada pada jalan yg sahih, terutama waktu menghadapi atau berada pada situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hidup ini memiliki dua muatan, yaitu makna hayati serta nilai hayati. Jadi setiap insan akan senantiasa dibimbing oleh makna serta nilai hayati yg menjadi pegangannya buat menciptakan kepribadiannya. Ia tidak terbawa begitu saja sang arus situasi yang berkembang di lingkungannya juga perasaan serta suasana hatinya sendiri yang bersifat sesaat. Implikasinya terhadap pendidikan Islam, peserta didik lebih berani dengan kemauan dan tekadnya pada menjalankan perintah kepercayaan , serta mempunyai rasa percaya diri yang tinggi buat mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Hal tersebut dibutuhkan buat mengatasi setiap duduk perkara yg menimpa dirinya.

5) Membentuk kematangan emosional peserta didik dengan lebih bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan Manusia bijaksana, merupakan manusia yg dapat mengedepankan akhlaqul karimah dalam menyikapi persoalan kehidupannya, tentunya dengan mengoptimalkan kinerja nalar serta hati dalam memberikan keputusan serta menyikapi kehidupan, dengan nir disertai sikap arogansi serta lain sebagainya pada menjalankan kegiatan kehidupannya, inilah yg dimaksud menggunakan kematangan emosional.

Terdapat tiga karakteristik konduite dan pemikiran dalam seorang yang emosinya dianggap matang, yaitu mempunyai disiplin diri, determinasi diri, serta kemandirian. Peserta didik yg mempunyai disiplin diri dapat mengatur diri, hayati teratur, menaati hukum dan peraturan. Peserta didik yg memiliki determinasi diri akan bisa menciptakan keputusan sendiri dalam memecahkan suatu kasus dan melakukan apa yg sudah diputuskan, tidak gampang menyerah serta menganggap perkara baru lebih menjadi tantangan daripada ancaman. Individu berdikari akan berdiri di atas kaki sendiri, Ia nir banyak menggantungkan diri pada bimbingan serta kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan dalam diri pada kemampuan, kemauan dan kekuatannya sendiri.

Kematangan emosional mengakibatkan (siswa) lebih berfikir logis, kritis serta kreatif, serta dapat merogoh keputusan secara cepat serta sempurna. Oleh karenanya, pendidikan Islam akan menghasilkan hasil yang kritis serta kreatif, yang didalalamnya mempunyai tiga karakteristik primer yaitu; 1) mempunyai pemikiran orisinil atau orisinil (originality), 2) memiliki keluwesan (flexibility), dan 3) menunjukkan kelancaran proses berfikir (fluency). Dari sinilah daya fikir seorang ini akan lebih maju.

6) Membentuk pemahaman peserta didik dalam mendapat realitas hidup
Adanya perbedaan antara dorongan, harapan serta ambisi di satu pihak, dan peluang serta kemampuan pada pihak lainnya merupakan hal yang biasa terjadi. Orang yang mempunyai kemampuan untuk mendapat empiris diantaranya menampakan perilaku sanggup memecahkan masalah dengan segera serta menerima tanggungjawab. Bahkan kalau memungkinkan, ia bisa mengendalikan lingkungan, atau paling nir mudah pada beradaptasi dengan lingkungan, terbuka buat pengalaman serta gagasan baru, membuat tujuan-tujuan yg realistis, dan melakukan yg terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tadi. 

Selain itu mereka jua tidak terlalu banyak memakai prosedur pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yang nir tepat saat menghadapi masalah yg mengganggunya atau yg tidak dia kehendaki.

7) Menjauhkan pemahaman peserta didik berdasarkan kehidupan materialisme-hedonisme Dalam teori kesehatan jiwa barat, mengatakan bahwa tingkah laku manusia adalah suatu fungsi berdasarkan faktor-faktor ekonomi dan sosial.

Pandangan hidup yang materialistik, individualistik dan hedonistik ini, membawa akibat menempatkan manusia dalam derajat yg tinggi, causa-prima yang unik, pemilik logika budi yg hebat, serta memiliki kebebasan penuh buat berbuat apa saja yang dianggap baik bagi dirinya. Menggunakan kebebasan serta kedaulatan penuh akan mengakibatkan konsep pribadi yang ekstrim, yg dalam gilirannya akan menyebarkan sifat anarkhis, lantaran meniadakan hubungan trasendal menggunakan Tuhan.

Dalam al-Qur‟an, kesehatan jiwa nir hanya mengutamakan pengembangan dalam potensi insan saja, akan namun aspek ketuhanan yg merupakan potensi dan kebutuhan dasar manusia merupakan prioritas primer yang sangat diperhatikan.

Hal tadi dikarenakan, semua tingkah laris insan yang bisa mengarahkan dalam terwujudnya kenyamanan serta kebahagiaan hayati bukanlah sesuatu yg hanya bisa diamati (observable) dan bersifat materialistik saja, namun juga sesuatu yang transenden yg tidak pada jangkauan insan, yaitu nilai-nilai keruhanian serta hal ini merupakan aspek-aspek pendidikan islam. Dalam teori pendidikan, pembicaraan tentang sifat-sifat berasal manusia adalah satu hal yang masuk akal. Dari segi pandangan al-Qur‟an manusia itu adalah makhluk istimewa karena dia dipercaya khalifah Allah.

Atas dasar inilah sekalipun insan diakui memiliki derajat yang paling tinggi diantara sekian poly mahluk yg Allah ciptakan, tetap ditempatkan secara proporsional dalam relasi Makhluk serta Kholik. Berangkat dari sinilah pendidikan Islam haruslah menyebarkan seluruh sifat-sifat ini, membentuk insan yg beriman yg memelihara berbagai komponen dari sifat-sifat asal tanpa mengorbankan keliru satunya. Dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa Qur‟ani, ada tiga faktor dasar yg harus ditegakkan, yaitu Allah, insan, serta lingkungannya.

Hubungan manusia serta Allah merupakan kondisi utama bagi keberhasilan dalam interaksi antara insan dan lingkungannya. Jika hubungan antara Allah serta insan lebih tersusun, lebih tegas dan berjalan dari kriteria yg ditetapkan Allah maka interaksi antara manusia menggunakan lingkungan menjadi lebih berhasil, begitu pula pada pendidikan Islam

KONTRIBUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MANUSIA

Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia 
Akhir-akhir ini pendidikan Islam banyak dipertanyakan orang, baik itu formal maupun informal. Lantaran sebagian telah melahirkan orang-orang yang sakit kejiwaannya, ammoral perilakunya, dan jelek kepribadiaannya, yg menyebabkan kepercayaan Islam menjadi momok bagi pemeluk agama lain. Seperti; teroris, perekrutan anggota NII, mati syahid dengan bom bunuh diri, kemudian konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana, mulai berdasarkan kasus bom Bali, bom Hotel JW Marriot, bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung, penutupan tempat tinggal ibadah Kristiani pada Bandung Jawa Barat, kemudian peristiwa kekerasan di Monumen Nasional Jakarta yg kesemuanya ini mengatasnamakan perjuangan Islam. 

Fenomena pada atas melahirkan wacana agama yg paradoksal bahwa ia nir hanya bersifat rahmatan lil‘alamin (rahmat bagi seluruh) akan tetapi jua bala, lantaran melahirkan kenyataan-kenyataan kekerasan, anti kebersaman dan kemajemukan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa kepercayaan secara esensial hanya mengajarkan perdamaian serta menentang kekerasan, namun manusia saja yg lalu menyalahgunakan kepercayaan buat kepentingan eksklusif atau grup sehingga menyulut kekerasan, yang kentara kenyataan aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan moderen ini. Dengan citra diatas, wajar jika seorang non muslim memberikan pernyataan, bahwa pendidikan Islam sekarang ini merupakan pendidikan yg menciptakan insan menggunakan kondisi kejiwaan labil, yg menyebakan manusia gampang terprovokasi pada keburukan yang pada kemas dengan nilia-nilai ke-Tuhanan. Dengan begitu, terjadilah kegoncangan dalam diri manusia yang lalu menumbuhkan penyakit kejiwaan serta krisis kepribadian serta tidak berkarakter, hal tadi disebabkan pendidikan yg diterimanya telah sebagai virus yg mematikan dalam kepribadiannya, yg jauh berdasarkan kebenaran yg ada dalam al-Qur‟an, serta berimplikasi, kenyamanan serta kebahagiaan hayati kian sulit didapat.

Hal pada atas tidaklah sinkron menggunakan tujuan pendidikan Islam yg berfungsi menjadi indera yang dipakai manusia untuk tetap survive baik sebagai individu juga rakyat. Maka tujuan akhir dari dalam pendidikan islam tidak lepas menurut tujuan hidup muslim, lantaran pendidikan Islam merupakan sarana untuk mencapai tujuan hayati manusia dari ajaran Islam. Dengan demikian, tidaklah sempurna jikalau pendidikan Islam memberikan pengaruh jelek terhadap kepribadian insan akan tetapi kebalikannya pendidikan Islam menaruh impak yg sangat baik bagi perkembangan kepribadian insan, sebagaimana yang akan diulas dibawah ini.

a. Peran Pendidikan Islam pada Dakwah Islamiyah
Pendidikan Islam memiliki peran yg sangat signifikan dalam menciptakan, berbagi dan membuatkan agama Islam yang tentunya pada perkembangan tersebut, lumrah jika Islam menemui aneka macam bentuk dilema mulai menurut penerapan teks klasik terhadap tataran aplikatif kehidupan terbaru yang mana Islam dituntut buat bisa menyesuaikannya. Menurut Irsan al-Kailani, umat Islam umumnya masih berada pada dataran ihsas al-musykilah (menyadari adanya problem), namun belum dibarengi dengan tahdid wa tahlil al musykilah (kesanggupan mengidentifikasi dan merampungkan duduk perkara).

Dari sinilah pendidikan Islam memiliki kiprah pendidikan sangat terlihat, contohnya pendidikan Islam dalam fungsi psikologis (kejiwaan dan teori kesehatan), dapat memberikan pencerahan akan makna hidup, menaruh rasa hening serta menaruh dukungan psikologis bagi pemeluknya, terlebih bagi mereka yg sedang mendapati dirinya pada menghadapi kegoncangan kejiwaan, pada hal ini pesan kepercayaan menumbuhkan pencerahan akan makna hayati dengan nilai ibadah, pengabdian pada Tuhan baik secara personal juga sosial kemasyarakatan. Kemudian pendidikan Islam dalam fungsi sosialnya, memacu adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik, memberikan kontrol sosial terhadap gejala sosial yg destruktif serta perekat sosial tanpa melihat aneka macam latar belakang yang tidak selaras.

Sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Arif kata yg kerap dipakai buat menyebut hakikat pendidikan Islam adalah pendidikan menjadi fenomena kultural performatif. Dengan istilah ini, setidaknya perbincangan pendidikan Islam amat mungkin ditelaah dari 2 prespektif, yaitu konseptual-teoritis dan pelaksanaan-simpel. Prespektif pertama mengantarkan dalam pemaparan mengenai pengertian, tujuan pendidikan Islam tentunya menggunakan dasar yg diambil berdasarkan al-Qur‟an serta Hadis, dan sumber aturan Islam lainnya. 

Melalui prespektif ini, bisa diketahui bahwa pendidikan Islam mempunyai “keluasan” serta “kedalaman” makna, yang penuh cara lain serta menantang kreativitas serta kecerdasan akal pikir insan buat merungkannya serta menyiasatinya pada rangka membarui yang possible (mungkin) sebagai yang plausible (lumrah).

Sementara itu dengan prespektif kedua, pendidikan Islam dijabarkan, diterapkan, dan dibumikan dalam realitas kehidupan manusia. Dari sini, bisa dipahami bahwa pendidikan Islam ternyata tidak sekedar diartikan secara “normatif-teoritis”, melainkan juga secara “historis-sosiologis”.

Hal ini karena buat menghindari terjadi pemaknaan yang keliru terhadap ajaran pada pendidikan Islam, serta menjauhkan menurut budaya yg tidak relevan dengan kehidupan moderen ini, dengan istilah lain dengan adanya pendidikan Islam sanggup membawa kiprah kepercayaan Islam sholih likulli zaman wa makan, serta menjauhkan manusia menurut penyakit kejiwaan akibat menurut aktivitas kewajibannya menjadi mukmin.

b. Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia
Para ahli pendidikan sepakat bahwa teori dan amalan pendidikan sangat ditentukan sang cara orang memandang pada sifat-sifat berasal manusia yg terilhat berdasarkan kepribadiannya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Apabila insan dipandang mempunyai sifat-sifat asal yg jahat, maka tujuan pendidikan merupakan menunda unsur-unsur dursila ini, begitu juga dengan kebalikannya apabila sifat asalnya baik maka tujuan pendidikan adalah mengembangkannya menjadi lebih baik.

Istilah pendidikan dalam konteks Islam, dalam umumnya mengacu dalam terma al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim yang bisa dipakai secara bersamaan, lantaran memiliki kecenderungan makna. Tetapi secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual juga kontekstual. Kata al-tarbiyah dari menurut istilah rabb yang bermakna, tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.

Kata rabb sebagaimana yang masih ada pada QS. Al-fatihah 1:2, yaitu (alhamdulilla>hi rabbil-‘alamin) memiliki kandungan makna yang berkonotasi menggunakan istilah al-tarbiyah. Sebab istilah rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) dari menurut akar istilah yg sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.

Uraian pada atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses Pendidikan Islam adalah bersumber dalam pendidikan yg diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh kreasi-Nya, termasuk manusia. Dalam pengertian luas, pendidikan Islam yang terkandung dalam terma al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: pertama, memelihara dan menjaga fitrah siswa menjelang dewasa (baligh); ke 2, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; keempat, melaksanakan pendidikan secara sedikit demi sedikit.

Penggunaan terma al-tarbiyah buat menunjuk makna pendidikan Islam bisa difahami menggunakan merujuk firman Allah dalam QS. Al-Isra‟ 17: 24;

Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua menggunakan penuh kesayangan serta ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku saat kecil". 

Sedangkan makna al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan altarbiyah juga al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-ta’lim menjadi proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan eksklusif.

Argumentasinya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah dua:151, menjadi berikut:

Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara engkau yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan engkau dan mengajarkan kepadamu Al Kitab serta Al-Hikmah, dan mengajarkan pada engkau apa yang belum engkau ketahui.

Kalimat wa yu‘allimukum al-buku wa al-hikmah, dalam ayat tadi menjelaskan kegiatan Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur‟an pada kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar membuat umat Islam sanggup membaca, melainkan membawa kaum muslimin pada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian jiwa) menurut segala kotoran, sebagai akibatnya memungkinkannya mendapat al-hikmah serta memeriksa segala yg bermanfaat buat diketahui. Dengan demikian, makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan namun mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara mulut, pengetahuan dan keterampilan yg dibutuhkan pada kehidupan, perintah buat melaksanakan pengetahuan serta pedoman untuk berperilaku.

Adapun istilah al-ta’dib, dari Naquid al-Attas merupakan istilah yg paling tepat buat pendidikan Islam.

Konsep ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam :

ادبنً ربً فاحسن تأدبً )روه العسكري عن علً(

Artinya: Tuhan sudah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku. (HR. Al-Askari berdasarkan „Ali>)

Secara terminologi al-ta’dib berarti sosialisasi dan pengakuan yg secara berangsur-angsur ditanamkan ke pada diri insan (siswa) tentang aneka macam loka yg tepat berdasarkan segala sesuatu di pada tatanan penciptaan.

Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan serta pengakuan tempat Tuhan yang sempurna pada tatanan wujud kepribadiannya.

Dalam konteks ini, Naquid Al-Attas pun membicarakan bahwa penggunaan istilah al-tarbiyah terlalu luas buat mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. 

Sebab kata al-tarbiyah yang mempunyai arti pengasuhan, pemeliharaan, serta afeksi tidak hanya dipakai buat insan, namun dipakai memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Pendidikan Islam penekanannya nir hanya pada material saja, akan tetapi pula dalam aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan terma yg paling sempurna dalam khazanah bahasa Arab lantaran mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pedagogi, serta pengasuhan yang baik sehingga makna al-tarbiyah dan alta’li>m sudah tercakup dalam terma al-ta’dib.

Terlepas menurut pemaknaan diatas, para pakar pendidikan Islam sudah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yg sangat variatif, adalah menjadi berikut:
a) Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan Islam menjadi bimbingan yang diberikan sang seseorang supaya ia berkembang secara aporisma sinkron menggunakan ajaran Islam.

b) Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan proses mengganti tingkah laris individu peserta didik dalam kehidupan eksklusif, masyarakat, serta alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan menggunakan cara pendidikan serta pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi serta profesi pada antara sekian banyak profesi asasi warga .

c) Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar sang pendidik terhadap perkembangan jasmani serta rohani siswa menuju terbentuknya kepribadian yg primer (manusia kamil).

d) Muhammad Fadhil Al-Jamali menaruh pengertian pendidikan Islam adalah upaya menyebarkan, mendorong, dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi serta kehidupan yang mulia, sebagai akibatnya terbentuk langsung yg lebih sempurna, baik yg berkaitan menggunakan akal, perasaan, maupun perbuatan.

Dengan beberapa pemaknaan di atas, terlihat jelas donasi pendidikan Islam terhadap perkembangan kepribadian insan pada menjalani aktivitas kehidupannya bahwa insan buat sebagai baik bisa diarahkan menggunakan pendidikan Islam. Jadi pendidikan Islam sejatinya adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (siswa) dapat mengarahkan kehidupannya sinkron menggunakan tujuan hidupnya. Hal pada atas terlihat dari tujuan pendidikan Islam, yang berdasarkan al-Syaibani adalah mempersiapkan kehidupan dunia serta akhirat.

Sedangkan tujuan akhir yang akan dicapai merupakan berbagi fitrah anakdidik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk langsung yang utuh dan mendukung bagi aplikasi manfaatnya sebagai khalifah fil-ard.

Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan langsung muslim sejati yg mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai menggunakan syariat Islam, dan mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat menjadi tujuan primer pendidikannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah siswa secara aporisma dan bermuara dalam terciptanya langsung peserta didik sebagai muslim sempurna (insan kamil). Melalui sosok yang demikian, peserta didik diperlukan bisa memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yg serasi baik di dunia juga akhirat.

Melalui pendidikan Islam, setiap insan diharapkan tumbuh berkembang sebagai generasi unggul yang cerdas dalam berfikir, kreatif dalam bekerja dan berkepribadian Islami pada bergaul dan bersosilalisasi terhadap lingkungan atau alam sekitar. 

Bila ditilik dengan apa yang sebagai dasar kesehatan jiwa, menjadi tolak ukur buat mencapai kebahagiaan hakiki di dunia serta di akherat, maka terlihat disini adanya kolerasi keduanya, baik itu berkaitan dengan pelaksanaan maupun teori mendasarnya. Sebagaimana terlihat dalam tugas pendidikan Islam adalah membimbing serta mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan peserta didik menurut tahap ke termin kehidupannya hingga mencapai titikkemampuannya secara optimal.

Sedangkan kesehatan jiwa bertugas buat membentuk kehidupan manusia sejalan dengan fitrah (kudus, higienis, dan beragama) yg telah diberikan Allah kepadanya. Begitupula pada manfaatnya. Fungsi Pendidikan Islam, yaitu menyediakan fasilitas yg bisa memungkin tugas pendidikan berjalan lancar baik itu yang bersifat struktural juga institusional, sedangkan fungsi kesehatan jiwa, sebagaimana diuraikan diatas menaruh konsep kejiwaan dengan beberapa substansi didalamnya agar insan bisa mengarahkan segenap perilakunya buat menghindari segala bentuk keburukan yg lahir dari keliru satu subtansi kejiwaannya.

Dengan demikian, pendidikan Islam akan membentuk insan menggunakan kejiwaan yg stabil sesuai dengan fitrahnya, yang lalu akan menciptakan kepribadian atau konduite berlabelkan rahmatan lil ‘a>lami>n. Hal tadi akan menciptakan nilai positif terhadap insan sebagai pemeluk dan penganut agama Islam menggunakan nir gampang terprovokasi terhadap keburukan yg dapat menjauhkan dirinya menurut kefitrahannya. Dari sini virus keburukan, kesesatan, dengan doktrin sebagai bagian dari teroris, anggota NII, lalu melakukan aktivitas kekerasan atas nama agama terhadap pemeluk kepercayaan lain, akan menjauh 

dengan sendirinya, karena pendidikan Islam sudah bisa mendewasakan manusia buat selalu berfikir positif dalam menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah yg bertaqwa.

c. Implikasi Pendidikan Islam Terhadap Perkembangan Kepribadian Manusia 
Salah satu ciri kepribadian yg baik merupakan ditandai dengan kematangan emosi dan sosial seorang yang disertai menggunakan adanya kesesuaian dirinya menggunakan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan fungsi dari Pendidikan Islam terhadap kepribadian manusia adalah mewujudkan keserasian antara fungsi-fungsi humanisme dalam diri manusia, supaya tercipta penyesuaian diri antara insan dengan dirinya sendiri serta lingkungannya, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan buat mencapai hidup yg bermakna, bahagia global dan akhirat. Pendidikan Islam adalah sebuah ilmu yg berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan insan, yg mencakup seluruh bidang interaksi menggunakan orang lain, alam, lingkungan, dan Tuhan, yang adalah penentu masa depan dan mutu bagi setiap individu insan.

Menurut S. Nasution, barang siapa yg menguasai pendidikan memegang nasib bangsa dan negara. Dan biar pendidikan tadi tidak keliru target, maka kualitas kepribadian manusia merupakan prioritas menjadi syarat awal buat mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena kesehatan dan pendidikan, merupakan proses yg menaruh kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas langsung seorang secara bebas dan bertanggung jawab.

Kalau digali serta ditinjau, tanda kepribadian yang baik, terkonsep dalam pendidikan Islam. Hal tadi terlihat berdasarkan beberapa karakteristiknya, yang antara lain: 
1). Mengedepankan tujuan kepercayaan dan akhlak. Karakteristik ini mewarnai ciri-karakteristik lain, utamanya yang berorientasi dalam tauhid serta penanaman nilai-nilai. 
2) selaras menggunakan fitrah manusia termasuk berkenaan menggunakan pembawaan, bakat, jenis kelamin, potensi, serta pengembangan psiko-fisik. 
3) merespon dan mengantisipasi kebutuhan konkret individu dan warga , serta mengusahakan solusi terkait menggunakan masa depan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus.
4) fleksibel lantaran didorong dengan pencerahan hati, tanpa paksaan. 
5) realistik, dengan membuatkan keseimbangan serta proporsionalitas antara pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual. 
6) menghindarkan berdasarkan pemahaman dikotomik terhadap ilmu pengetahuan kepercayaan dan ilmu-ilmu yang lain, sekaligus menghindarkan setiap individu berdasarkan pemahaman agama parsial yg dapat membuat peserta didik kehilangan dan bersikap ekstrim.

Dengan diterapkannya dan dilaksanakannya kesehatan jiwa pada pendidikan Islam. Maka implikasinya adalah menjadi berikut: 

1) Memperkuat keimanan peserta didik menjadi dasar pijakan dalam beraktivitas sehari-hari.
Salah satu kapital awal pembentukan karakter kepribadian baik dalam siswa adalah menggunakan tumbuhnya keimanan yang kokoh, yg membuahkan peserta didik dijauhkan dari sifat arogan dan tinggi hati, akan namun selalu rendah diri serta tawaduk menggunakan segala hal yg ada disekitarnya, yang semuanya itu didapat berdasarkan sehatnya jiwa seseorang. Dengan istilah lain, eksistensi keimanan akan menciptakan kepribadian peserta didik membumi menggunakan lingkungan sekitarnya, dan bukannya melangit yang mengakibatkan lingkungan lebih kurang merasa enggan berdampingan atau berdekatan dengannya. Hal tadi karna potensi keimanan sudah melekat, sehingga melahirkan perbuatan yang ihsan, karena segala perbuatannya didasari dengan niat ibadah. 

Akan namun lain halnya bila kejiwaan (psikis) peserta didik, jauh dari keimanan. Hal tadi, akan mengakibatkan melemahnya keingian-cita-cita positif, hilangnya loyalitas ketaatan, menghilangkan semangat (girah), sulit mendapatkan ilmu, menyebabkan perasaan sedih, risi, resah, gelisah, mini hati, stres dan lain sebagainya.

Dengan hilangnya kenyamanan, kebahagiaan, serta lain sebagainya itu telah menyebabkan kondisi psikis dan fisik peserta didik terganggu, sebagai akibatnya sejauh apapun pembelajaran yg disampaikan oleh pendidik nir akan terserap menggunakan baik oleh siswa.

Dalam konsep Islam pada kajian kesehatan jiwa, keimanan dalam Allah merupakan modal penting buat menyembuhkan kejiwaan seseorang menurut berbagai penyakit psikis yang menjangkitinya, lantaran perasaan Iman bisa mewujudkan perasaan aman dan tentram, mencegah perasaan gelisah, serta bisa berfungsi menjadi motivator siswa disetiap aktivitasnya. Dengan kata lain jika keimanan kepada Allah telah tertanam pada diri insan akan membantu menghalangi dan mencegah manusia menurut penyakit-penyakit kejiwaan.

Dalam ilmu psikologi, kegelisahan adalah penyebab utama timbulnya tanda-tanda-gejala penyakit kejiwaan. Maka tidak galat apabila keamanan dan perasaan tentram jiwa orang mukmin karena disebabkan sang keimanan. Bagi seorang mukmin, kenyamanan, keamanan, dan ketentraman jiwa bisa terwujud ditimbulkan keimanannya kepada Allah, yang memberinya harapan dan asa akan pertolongan, proteksi, serta penjagaan berdasarkan Allah SWT, menggunakan beribadah serta mengerjakan segala amal demi mengharap keridaan Allah. Oleh karena itulah, ia akan merasa bahwa Allah SWT, senantiasa bersamanya serta senantiasa akan menolongnya, hal ini sebagai agunan bahwa dalam jiwanya tertanam perasaan aman serta tentram, karena dijauhkan dari sifat merasa takut terhadap apapun pada kehidupan ini, yg sudah diatur oleh Allah serta insan hanya menjalaninya dan memilihnya saja.

Keimanan akan memandu individu dalam kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntunnya buat bisa mewujudkan ekuilibrium fisik serta psikis, yg membuat individu pada menjalankan dan melakukan segala kegiatan menggunakan proporsional, baik itu dalam makan, minum, tidur, menikah, sosial kemasyarakatan, juga pada merespon semua stimulus pada dirinya dengan jalan yg halal dan baik, serta dijauhkan dari perbuatan dolim yang merugikan orang lain, serta menghindari jalan yg haram serta tidak baik. 

Buah menurut hal itu, dia akan memiliki keteguhan jiwa dan keluhuran budi. Dengan begitu, pada taraf ini beliau sudah mempunyai bekal yg cukup buat mengaplikasikan nilai-nilai Islam atas segala sikap, tindakan, serta keputusannya pada menjalani kehidupan. Dengan kata lain, eksistensi iman akan membentuk Islam, dan melahirkan perikalu ihsan yang merupakan buah daripada iman serta islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimudahkan proses pembelajarannya, lantaran keimanan telah membentuk pondasi kebaikan bagi setiap peserta didik pada belajar Islam.

2) Membentuk akhlaqul karimah peserta didik 
Para ahli pendidikan muslim sejak awal menyadari, sepenuhnya bahwa pemahaman mengenai kepribadian manusia yg melahirkan perilaku adalah dasar pijakan bagi keberhasilan pendidikan.

Dalam hal tersebut, Ibnu Sina mengatakan pada al-Qanun: “Adalah sebuah keharusan, perhatian diarahkan dalam pemeliharaan akhlak anak, yakni dengan menjaganya agar nir mengalami luapan amarah, takut dan sedih. Caranya melalui perhatian akurat yg dilakukan anak atas wacana dirinya dan apa yg dibutuhkannya. Hal ini mempunyai 2 kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak serta kegunaan bagi badannya. Sebab, ia sejak dini tumbuhkan menggunakan (norma) akhlak mulia sinkron bahan kuliner yg dikonsumsinya dan akhlak ini dapat menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus”.

Dalam terminologi Islam klasik penyakit jiwa ini dianggap sebagai akhlaq tercela (akhlaq mazmumah) kebalikan menurut akhlaq yg terpuji (akhlaq mahgampang), atau sanggup jua diklaim menggunakan akhlaq yg tidak baik (akhlaq sayyi’ah) kebalikan menurut akhlaq mulia atau baik.

Imam Ghazali menyebutnya dengan akhlaq khabisah. Akhlaq yang tercela serta buruk itu, akan membentuk kepribadian tidak baik yg adalah bagian berdasarkan kelainan psikis, dan kesemuanya ini akan mengakibatkan jiwa insan sebagai kotor dan jauh berdasarkan hidayah Allah. Akhlaq menjadi barometer evaluasi generik, baik dan buruknya kepribadian seseorang, karena akhlaq berkaitan menggunakan hati nurani, maka sifat tadi hanya dapat terukur berdasarkan sikap, tindakan serta tingkah-lakunya (akhlaqnya). Maka, dalam akhlaqul-karimah moralitas yg digunakan, berpijak dalam kebiasaan-kebiasaan kepercayaan Islam, disamping adat-norma dan norma sosial lainnya. Karena secara teoritik kebiasaan Islam nir betentangan dengan kebiasaan sosial. Bahkan bersifat komplementer, mengarahkan serta mencerahkan pranata sosial. Maka seseorang yg berkepribadian islami akan merasa nyaman dan tentram berada di tengah-tengah lingkungan famili dan warga . Hal ini tentu berdampak positif bagi perkembangan kejiwaan, kreatifitas, daya logika bahkan terhadap prestasi akademik seseorang anak pada sekolah. Dengan demikian, kepribadian islami berdampak positif terhadap kejiwaan peserta didik. 

Kesehatan jiwa memiliki kiprah pada menciptakan kepribadian peserta didik, dengan menjalani kehidupan insan normal pada umumnya menggunakan menghiaskan diri menggunakan akhlaq yg terpuji, yang nir terlepas menggunakan 3 esensi dasar yaitu; Islam, Iman serta Ihsan, karena anak yang termasuk kepribadian Islami secara otomatis memiliki ketaqwaan yg tinggi.

Semuanya dapat dibuat dan dikembangkan melalui usaha pendidikan, bimbingan dan latihan-latihan yang sejalan dengan kepercayaan serta norma-kebiasaan ajaran Islam.

Oleh karena itu, seorang anak wajib mendapatkan pendidikan akhlak secara baik, lantaran pendidikan akhlaq adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yg mengatur pola, perilaku dan tindakan insan atas isi bumi, yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia (termasuk menggunakan dirinya sendiri) serta dengan alam sekitar.

3) Mengembangkan potensi peserta didik
Pada hakikatnya bila siswa ditilik dari fitrah-nya, maka beliau memiliki 2 atribut, yaitu makhluk jasmani dan rohani. Dalam perkembangannya, setidaknya terdapat 2 faktor yang mempengaruhi apakah ia tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yg bermatabat, atau kebalikannya menjadi langsung yang kurang bermatabat. Dua faktor tadi, adalah faktor warisan dan faktor lingkungan (bi‘ah). Faktor warisan adalah keadaan yg dibawa insan sejak lahir yg diperoleh berdasarkan orang tuanya. Seperti, rona kulit, bentuk kepala, dan tempramen. 

Sedangkan faktor lingkungan artinya keadaan kurang lebih yang melingkupi manusia, baik benda-benda misalnya air, udara, bumi, langit, dan mentari , termasuk individu dan gerombolan insan. Kedua faktor inilah yang nantinya akan mempengaruhi baik buruknya kondisi kejiwaan insan (peserta didik) dalam menjalani kegiatan kehidupannya. Maka, Peranan kesehatan jiwa akan terlihat sangat krusial dalam rangka berbagi potensi peserta didik kearah yg lebih baik. Untuk mengantisipasi potensi manusia tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu ditumbuh kembangkan:

a) Akal: dalam global pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia (siswa) dikenal kata kognitif.
Tujuannya mengarah pada perkembangan intelegensi yg mengarahkan manusia menjadi individu buat dapat menemukan kebenaran yg sebenar-benarnya. Dengan usaha hadiah ilmu dan pemahaman dalam rangka memandaikan insan atau peserta didik, pada hal ini aspek nalar meliputi: rasio, qalb atau hati yg berpotensi buat merasa dan meyakini, dan fu’ad atau hati nurani, yang diidentikkan menggunakan mendidik kejujuran pada diri sendiri buat membedakan baik dan jelek. 

b) Fisik: Kekuatan fisik adalah bagian utama menurut tujuan pendidikan, sinkron sabda Rosulullah yang diriwayatkan sang imam muslim;

المؤمن القوي خير واحب الى هللا من المؤمن ضعيف

Artinya; Orang mukmin yg bertenaga lebih baik dan lebih disayangi Allah, daripada orang mukmin yg lemah. (HR. Muslim) Imam nawawi menafsirkan hadits diatas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Seperti panca alat, anggota badan, system saraf dan unsur-unsur biologis lain lebih banyak menempuh cara penguatan dan training seperti mengkonsumsi gizi secara memadai serta berolah raga, melatih masing-masing aspek sinkron menggunakan kekhususannya. Dengan demikian sehatnya fisik, merupakan kapital awal buat mengembangkan potensi kebaikan yang terdapat dalam diri insan.
c) Ruhaniyah dan nafsiyah (ruh dan kejiwaan): adalah dimensi yg memiliki imbas pada mengendalikan keadaan insan supaya bisa hayati sehat, tentram serta bahagia. Bentuk pengembangannya, supaya mengakibatkan manusia betul-benar mendapat ajaran islam dengan menerima seluruh cita-cita ideal yg masih ada dalam al-Qur‟an, peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya pada Allah semata serta moralitas islami yg diteladani berdasarkan tingkah laku kehidupan Nabi Muhammad, yg adalah bagian utama dalam tujuan pendidikan islami. Biasanya dilakukan menggunakan amalan-amalan mendekatkan diri pada Allah dan tazkiyatun-nafs,seperti shalat malam, berpuasa sunnah, poly berdzikir kepada-Nya, membangun perilaku rido terhadap takdir serta kehendak-Nya. Keduanya ini adalah daya manusia buat mengenal Tuhannya, dirinya sendiri, serta mencapai ilmu pengetahuan. Sehingga bisa memilih manusia berkepribadian baik.

d) Keberagaman: manusia merupakan makhluk yang ber-Tuhan atau makhluk yang beragama. Berdasarkan output riset dan observasi, hampir semua pakar jiwa sependapat bahwa dalam diri insan terdapat hasrat serta kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tadi adalah kodrati, berupa hasrat buat mencintai serta dicintai Tuhan.

Dalam pandangan Islam, semenjak lahir seseorang anak sudah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yg maha pencipta dan Maha mutlak yaitu Allah Swt. Sehingga tinggal bagimana pendidikan, orang tua serta lingkungan-lah yg memilih anak tersebut, yaitu beragama atau tidak beragamakah?.

e) Sosial: insan adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial, keserasian antara individu dan warga nir mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial serta tujuan individual. Maka, tanggung jawab sosial merupakan dasar pembentuk warga . Oleh karenanya Pendidikan sosial ini setidaknya mampu membimbing tingkah laku insan dibidang sosial, ekonomi, dan politik menuju langsung yg Islami.

4) Memiliki filsafat atau pandangan hidup
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat hidup adalah mempunyai pegangan hayati yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yg benar, terutama waktu menghadapi atau berada pada situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hayati ini memiliki dua muatan, yaitu makna hidup serta nilai hidup. Jadi setiap insan akan senantiasa dibimbing oleh makna serta nilai hayati yang sebagai pegangannya buat menciptakan kepribadiannya. Ia tidak terbawa begitu saja oleh arus situasi yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana hatinya sendiri yang bersifat sesaat. Implikasinya terhadap pendidikan Islam, peserta didik lebih berani dengan kemauan serta tekadnya dalam menjalankan perintah agama, serta memiliki rasa percaya diri yg tinggi untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Hal tadi diharapkan buat mengatasi setiap duduk perkara yg menimpa dirinya.

5) Membentuk kematangan emosional peserta didik menggunakan lebih bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan Manusia bijaksana, adalah manusia yg bisa mengedepankan akhlaqul karimah pada menyikapi persoalan kehidupannya, tentunya menggunakan mengoptimalkan kinerja logika serta hati pada memberikan keputusan dan menyikapi kehidupan, menggunakan nir disertai sikap arogansi serta lain sebagainya dalam menjalankan kegiatan kehidupannya, inilah yang dimaksud menggunakan kematangan emosional.

Terdapat tiga ciri konduite dan pemikiran pada seseorang yang emosinya dipercaya matang, yaitu mempunyai disiplin diri, determinasi diri, serta kemandirian. Peserta didik yg mempunyai disiplin diri bisa mengatur diri, hidup teratur, menaati aturan dan peraturan. Peserta didik yang mempunyai determinasi diri akan bisa membuat keputusan sendiri pada memecahkan suatu perkara serta melakukan apa yg telah diputuskan, tidak gampang menyerah dan menduga kasus baru lebih sebagai tantangan daripada ancaman. Individu berdikari akan berdiri pada atas kaki sendiri, Ia nir poly menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan pada diri pada kemampuan, kemauan serta kekuatannya sendiri.

Kematangan emosional membuahkan (peserta didik) lebih berfikir logis, kritis serta kreatif, serta bisa merogoh keputusan secara cepat dan tepat. Oleh karena itu, pendidikan Islam akan membentuk output yg kritis dan kreatif, yg didalalamnya mempunyai 3 ciri utama yaitu; 1) memiliki pemikiran asli atau asli (originality), dua) mempunyai keluwesan (flexibility), serta 3) menampakan kelancaran proses berfikir (fluency). Dari sinilah daya fikir seorang ini akan lebih maju.

6) Membentuk pemahaman siswa pada menerima realitas hidup
Adanya disparitas antara dorongan, harapan dan ambisi pada satu pihak, serta peluang serta kemampuan di pihak lainnya adalah hal yang biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan buat mendapat empiris diantaranya menampakan konduite mampu memecahkan masalah dengan segera serta menerima tanggungjawab. Bahkan bila memungkinkan, beliau bisa mengendalikan lingkungan, atau paling nir mudah dalam mengikuti keadaan dengan lingkungan, terbuka buat pengalaman serta gagasan baru, menciptakan tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut. 

Selain itu mereka jua tidak terlalu poly memakai prosedur pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yg tidak tepat saat menghadapi masalah yang mengganggunya atau yg nir beliau kehendaki.

7) Menjauhkan pemahaman siswa menurut kehidupan materialisme-hura-hura Dalam teori kesehatan jiwa barat, mengungkapkan bahwa tingkah laris manusia merupakan suatu fungsi berdasarkan faktor-faktor ekonomi dan sosial.

Pandangan hayati yg materialistik, individualistik dan hedonistik ini, membawa akibat menempatkan manusia pada derajat yg tinggi, causa-prima yg unik, pemilik akal budi yg hebat, dan mempunyai kebebasan penuh buat berbuat apa saja yg dipercaya baik bagi dirinya. Dengan kebebasan serta kedaulatan penuh akan menyebabkan konsep langsung yang ekstrim, yang pada gilirannya akan membuatkan sifat anarkhis, karena meniadakan hubungan trasendal menggunakan Tuhan.

Dalam al-Qur‟an, kesehatan jiwa tidak hanya mengutamakan pengembangan pada potensi manusia saja, akan namun aspek ketuhanan yang merupakan potensi serta kebutuhan dasar insan merupakan prioritas primer yang sangat diperhatikan.

Hal tersebut dikarenakan, semua tingkah laris insan yg bisa mengarahkan dalam terwujudnya ketenangan dan kebahagiaan hayati bukanlah sesuatu yg hanya bisa diamati (observable) serta bersifat materialistik saja, namun jua sesuatu yang transenden yang tidak dalam jangkauan manusia, yaitu nilai-nilai keruhanian serta hal ini merupakan aspek-aspek pendidikan islam. Dalam teori pendidikan, pembicaraan tentang sifat-sifat asal insan adalah satu hal yang wajar. Dari segi pandangan al-Qur‟an insan itu adalah makhluk istimewa sebab ia dianggap khalifah Allah.

Atas dasar inilah sekalipun manusia diakui mempunyai derajat yang paling tinggi diantara sekian poly mahluk yg Allah ciptakan, permanen ditempatkan secara proporsional dalam rekanan Makhluk serta Kholik. Berangkat dari sinilah pendidikan Islam haruslah menyebarkan semua sifat-sifat ini, menciptakan manusia yg beriman yang memelihara berbagai komponen menurut sifat-sifat asal tanpa mengorbankan keliru satunya. Dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa Qur‟ani, ada tiga faktor dasar yang wajib ditegakkan, yaitu Allah, insan, serta lingkungannya.

Hubungan insan dan Allah adalah kondisi utama bagi keberhasilan dalam hubungan antara insan dan lingkungannya. Jika interaksi antara Allah serta manusia lebih tersusun, lebih tegas dan berjalan dari kriteria yang ditetapkan Allah maka interaksi antara insan menggunakan lingkungan sebagai lebih berhasil, begitu pula pada pendidikan Islam

PENGEMBANGAN PEMIKIRAN KEISLAMAN MUHAMMADIYAH PURIFIKASI DAN DINAMISASI

Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah : Purifikasi Dan Dinamisasi
Pembangunan ekonomi pada negara kita masih belum berkecimpung jauh berdasarkan situasi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada bulan November 1997, walaupun Era Reformasi telah dicanangkan sejak Soeharto turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998. Era Reformasi sudah berlangsung lebih dari 8 tahun, tapi belum ada output yang signifikan. Hal ini terjadi lantaran krisis yg terjadi di negara kita bukan hanya sekedar krisis ekonomi namun krisis budaya. Memang terdapat hubungan yg paralel antara aspek ekonomi atau material dan aspek budaya (immaterial) (Rochmat, 2005). 

Dalam bidang immaterial ini, kita belum berhasil merumuskan bentuk bukti diri budaya bangsa. Yang dimaksud dengan negara Pancasila sebenarnya masih berproses mencari bentuk. Negara Pancasila prasangka sebagai negara yang tidak sekuler dan tidak berdasarkan kepercayaan . Bentuk negara Pancasila dijadikan alternatif buat menjaga keutuhan bangsa Indonesia yg pluralis. Ancaman bangsa kita sudah dirumuskan sebagai SARA (Suku, Agama, Ras, serta Antar-golongan). 

Diharapkan umat Islam dapat memainkan peranan yang akbar bagi terciptaya identitas bangsa ini, mengingat mereka adalah secara umum dikuasai penduduk Indonesia. Kenyataannya, umat Islam belum berhasil merumuskan kebudayaan Islam Indonesianis (budaya Pancasila) lantaran berbagai kelompok umat Islam masih mengalami hambatan komunikasi, dan kadang-kadang mereka mengembangkan ideologi yg tidak mudah dicarikan titik temunya. 

Adopsi ideologi tertentu sang suatu grup adalah konsekuensi logis bagi agama yg memiliki hubungan erat serta prasangka untuk mengatur urusan duniawi. Hendaknya tiap-tiap ideologi kepercayaan tidak mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran absolut, walaupun hal itu adalah suatu sikap yang tidak gampang diwujudkan bagi gerakan yg berpretensi menggunakan gerakan revolusioner. Hendaknya, mereka menyadari bahwa kepercayaan bukanlah suatu ideologi, serta karenanya ideologi harus diarahkan buat mewujudkan suatu misi kepercayaan yg ingin menjungjung tinggi harkat dan prestise insan, seperti hak hidup manusia, keadilan, kebebasan, kesejahteraan dan kemakmuran. Jika mereka menyadari rekanan peran ideologi serta kepercayaan maka tidaklah sulit bagi mereka buat mengembangkan suatu obrolan bagi upaya mencari dan merumuskan suatu program beserta yang bermanfaat bagi kemanusiaan. 

Tulisan ini membatasi keterkaitan agama menjadi ancaman kesatuan bangsa, khsusnya menggunakan menganalisis model pembaharuan Muhammadiyah dipandang berdasarkan aspek epistemologisnya supaya menerima citra mengenai proses perumusan kebenaran. Untuk itu berturut-turut akan dibahas Pembaharuan Parsial Muhammadiyah, Pembaharuan Kontekstual, serta diakhiri dengan Penutup.

I. Pembaharuan Parsial, Berdasarkan Rasio
Para tokoh pembaharu Islam cenderung melakukan pembaharuan yang sifatnya normatif (dari rasio) menggunakan melupakan realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam. Mereka hanya mendasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits menjadi pedoman. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan berkaitan menggunakan suatu komunitas yang sebagai sasaran menurut pembaharuan itu, sebagai akibatnya pembaharuan bisa berjalan secara efektif. Komunitas nir berada dalam suatu ruang hampa udara, di dalamnya berkembang suatu tradisi/budaya yang hendaknya diperhitungkan agar pembaharuan dapat berjalan efektif serta bukannya kontra-produktif. 

Pembaharuan menurut rasio memang dicanangkan sebagai paket sekali jadi, ibarat obat yg dapat menyembuhkan segala penyakit. Ini tidak mungkin, karena tantangan suatu zaman bhineka maka obatnya pun tentu tidak sama. Memang secara rasio, suatu obat “A” akan bisa mengobati suatu penyakit “A”, tetapi masing-masing pasien memerlukan takaran yg berbeda-beda, diubahsuaikan dengan umur, syarat kesehatan, dan terdapat tidaknya alergi terhadap unsur obat tertentu.

Pembaharuan Muhammadiyah berangkat dari segi rasio ini. Memang rasionalitas normatif ini dapat diterima umat Islam di daerah perkotaan yg nisbi sudah terlepas berdasarkan tradisi serta karena itu sedang memerlukan ikatan sosial baru. Kenyataanya, secara nir disadari Muhammadiyah berangkat berdasarkan empiris sosiologis-historis rakyat Islam pada kauman Yogyakarta. Boleh dikata mereka adalah penduduk kota, lantaran tinggal pada kurang lebih keraton dan pada umumnya pendatang menurut berbagai daerah. Mereka memerlukan ikatan sosial baru yg dapat digunakan juga buat mengatasi konflik yg melilitnya seperti pekerjaan non-agraris, kesehatan, pendidikan, dan anak yatim piatu.

A. Praksis Muhammadiyah Vs Ideologi 
Apa yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan merupakan suatu terobosan menggunakan membentuk “organisasi” yang bentuknya bukan partai politik. Bentuk organisasi diadopsi berdasarkan cara-cara modern yang diperkenalkan sang penjajah Belanda. Sehingga tidak mengherankan apabila KH Ahmad Dahlan tidak membentuk sejumlah kitab keagamaan lantaran beliau lebih menekankan pada bisnis paksis buat merebut urusan duniawi. Berikut komentar Prof. Dr. M. Amin Abdullah (1995: 27):

…pilihan itu bukan didasarkan pada output cermatan kajian literatur Islam klasik dan jua tidak memperoleh wangsit menurut konsep-konsep “teologis” atau “kalam” klasik yg telah “baku” dan “mapan” dalam literatur-literatur khazanah intelektual usang.

K.H. Dahlan meyakini kepercayaan bersifat manusiawi, kepercayaan yg mampu memberikan sesuatu pada manusia melalui berbagai bentuk amaliyah. Oleh karenanya beliau menghindari problem teologis, lantaran akan menghalangi agama buat melakukan suatu tindakan konkret melalui banyak sekali bentuk amaliyah yang bermanfaat bagi siapa saja tanpa memandang afiliasi teologisnya. Teologi disini bukanlah sebagai suatu ilmu Ketuhanan yg bias nilai, melainkan ada suatu bias kepentingan lantaran dirumuskan sendiri sang insan; dan hal ini seringkali tidak disadari sang umat Islam. 

Ketika terdapat keliru seorang santrinya mengusulkan agar agar K.H. Ahmad Dahlan menulis buku buat menjelaskan pemikirannya yg inovatif itu, maka beliau menjawab: “Apakah saudara ini menduga aku orang gila?” serta jawaban itu diulangi hingga tiga kali. Kyai Dahlan melihat sudah poly kitab yang ditulis, yang mengakibatkan umat terpecah belah; serta beliau tidak ingin menambah satu kitab lagi lantaran dikhawatirkan bisa menambah runyam suasana. Dengan demikian, model dakwah K.H. Dahlan bersifat mudah dan bukan ideologis (teologis) (Fachruddin, 1990: 420). 

Muhammadiyah didirikan dalam tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan (1868-1923). Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan dalam Islam menggunakan menempuh jalan para modernis gerakan Salafiyah menurut abad ke-19 misalnya Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridla (1856-1935). Gerakan Salafiyah ini ditinjau menjadi kelanjutan dari gerakan pembaharuan yg Qoyyim al-Jauziyah (1292-1350), yang berusaha buat membuka pintu ijtihad; serta dilanjutkan sang Gerakan Wahabi pada Saudi Arabia yang dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Wahad (1703-1787) (Kamal, 1994: 6-7).

K.H. Ahmad Dahlan merumuskan gerakan pembaharuannya dalam bentuk “Purifikasi serta Dinamisasi”. Purifikasi berdasarkan dalam asumsi bahwa kemunduran umat Islam terjadi lantaran umat Islam tidak membuatkan aqidah Islam yang benar, sehingga wajib dilakukan purifikasi dalam bidang aqidah-ibadah dengan doktrin “segala sesuatu diyakini dan dilaksanakan bila ada perintah dalam Al-Qur’an dan Hadits”. Sedangkan dinamisasi diterapkan pada bidang muammallah, dengan melakukan gerakan modernisasi sepanjang sesuai dengan doktrin “semuanya boleh dikerjakan selama tidak ada embargo atau nir bertentangan Al-Qur’an serta Hadits.

Dari penelitian modern diketahui ada beberapa disparitas antara pembaharuan Muhammadiyah dengan pembaharuan yg dilakukan Abduh tersebut. Abduh lebih menekankan dalam pembaharuan di bidang muammalah (the social aspect of Islam) atau lebih dikenal dengan progam modernisasi. Sementara Muhammadiyah lebih cenderung menempuh jalan Muhammad Abdul Wahab menggunakan gerakan purifikasinya (the belief aspect of Islam). Artinya Muhammadiyah menekankan ijtihad pada bidang aqidah (ibadah) serta kebalikannya Abduh menyeru ijtihad pada bidang muammallah (duniawi) seperti politik, pendidikan, ilmu pengetahuan serta teknologi. 

Saya melihat ijtihad dalam bidang aqidah yang dilakukan Muhammadiyah merupakan aqidah yg memiliki keterkaitan menggunakan aspek sosial kemasyarakatan (budaya), bukan aqidah mahdlah (ibadah murni). Lantaran ijtihad dalam bidang ibadah murni seperti shalat, puasa, dan haji, pada pandangan Syaikh Muhammad Al-Ghazali (1996: 129) usahakan ditutup buat mengurangi perpecahan pada kalangan umat Islam. Dan kenyataannya Muhammadiyah mendasarkan gerakan purifikasinya pada pemikiran madzhab fiqih yg sudah terdapat, disamping dicari rujukannya pribadi pada Al-Qur’an dan Hadits. 

Ijtihad dalam bidang aqidah yang berkaitan dengan aspek budaya ini memang penuh resiko karena pembicaraan mengenai iman (lebih luas menurut aqidah) merupakan pembicaraan yg sangat luas. Iman menempati segala sesuatu. Iman mempunyai sifat-sifat dan karakter tertentu, namun secara mudah nir berbentuk tertentu. Ia teoritis serta konseptual. Sebagaimana disebutkan pada QS Ali Imran 193 ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yg menyeru pada iman, (yaitu), “Berimanlah engkau kepada Tuhanmu.” Maka kami pun beriman.’ (Ghazali, 1996: 129).

Iman nir sanggup dibatasi dalam perkara aqidah saja maka aplikasi purifikasi pada lapangan mengalami kesulitan lantaran bid’ah yg dianggap pada daerah aqidah bercampur aduk menggunakan bid’ah dalam wilayah budaya. Apabila memang begitu yang terjadi, maka pecoretan tradisi, budaya, tata cara adat perlu dilakukan menggunakan penuh kehati-hatian, lantaran apa yg dianggap budaya dan tradisi sesungguhnya jauh lebih luas daripada aqidah (Abdullah, 2000: 11).

B. Ijtihad Muhammadiyah Vs Tradisi
Pembaharuan Muhammadiyah yg beranjak dari latar belakang sosio-historis masyarakat kota itu, tidak dapat diterima dan menuai reaksi negatif menurut kalangan umat Islam di daerah pedesaan yang masih mempertahankan tradisi. Seperti dijelaskan pada atas, iman itu suatu konseptual, serta konsep yg ditawarkan Muhammadiyah tadi tidak sesuai dengan realitas kontekstual warga desa yg memegang teguh tradisi. Bagi Muslim di pedesaan, tradisi ini sangat krusial lantaran telah memberi makna serta bukti diri bagi kehidupannya. Bahkan kedalam tradisi ini telah diinfuskan nilai-nilai Islam. Lantaran itu tuduhan menjadi penyebar penyakit TBC (Tahayyul, Bid’ah, da Churafat) sangat menyakitkan. 

Kita mampu mengatakan pembaharuan Muhammadiyah itu masih bersifat empiris parsial, lantaran hanya berangkat berdasarkan latarbelakang masyarakat perkotaan; serta karenanya menuai reaksi negatif menurut komunitas Islam pada wilayah pedesaan. Ini sangat disayangkan karena Muhammadiyah pula berkepentingan buat melakukan dinamisasi melalui program modernisasi pada bidang muammallah. Sebenarnya reaksi negatif ini dapat diminimalkan menjadi perilaku saling menghormati satu-sama lain, atau jikalau mungkin dikembangkan sikap kerjasama satu sama lain apabila umat Islam Indonesia telah berhasil menyebarkan aktivitas intelektual yg baik. Tentunya aktivitas intelektual ketika itu masih terbatas, lantaran kita masih di bawah belenggu penjajah Belanda. Situasi sekarang saja belum ada bisnis yang berfokus dari seluruh komponen bangsa, terutama pemerintah dan ormas Islam, buat mengembangkan kajian Islam dari banyak sekali disiplin ilmu, menjadi bahan referensi buat merumuskan pembaharuan Islam dengan daya jangkau yang lebih luas lagi.

Memang perlu disadari semenjak awal jikalau pembaharuan itu masih bersifat parsialis agar terdapat kesadaran buat melakukan pembaharuan yg terus-menerus. Lantaran pembaharuan Islam memang bukan paket sekali jadi. Memang buat merumuskan pembaharuan Islam yang mempunyai kemampuan sinergis dengan managerial dunia membutuhkan waktu pada proses sejarah yg lama dan kadang tidak mulus. Adalah sulit buat semenjak dini merumuskan pembaharuan yg memiliki daya jangkauan global apabila kita belum mempunyai warta yang lengkap tentang empiris sosiologis-historis seluruh komunitas Islam. Lantaran masing-masing komunitas Islam tadi mempunyai keunikan budaya yang harus diperlakukan secara khusus juga. 

Yang perlu diperhatikan, setiap melakukan pembaharuan harus mengakui realitas sosiologis-historis suatu komunitas Islam terlebih dahulu. Kemudian baru dilakukan modifikasi terhadap suatu tradisi supaya dapat menjawab tuntutan zaman. Caranya menggunakan melakukan pemurnian alam pemikiran Islam yg masih terpengaruh sang lapisan tipis tradisi Hindu-Budha maupun nenek moyang, menggunakan nir menghilangkan tradisi tadi yang adalah konvensi atas keberterimaannya terhadap Islam. Pembaharuan diarahkan buat mendekati perintah yang tercantum pada dalam Quran maupun Hadits, menjadi idealisasinya. 

Variasi budaya berimplikasi pada variasi pembaharuan Islam. Memang disadari atau tidak pembaruan selalu berangkat dari empiris sosiologis-historis suatu budaya. Lantaran itu pembaharuan Islam tak jarang dicermati penuh curiga sang komunitas Islam lainnya yg mempunyai empiris sosiologis-historis yg berlainan. Memang ini masuk akal setiap memulai pembaharuan dan kita dituntut bersikap dewasa terhadap mereka yg masih sangsi terhadap komitment pembaharuan ini. Kita hendaknya bisa meyakinkan pembaharuan ini juga sangat diperlukan dan selanjutnya berusaha menjalin kerjasama dengan aneka macam gerombolan lain. Toleransi yang tulus di antara aneka macam organisasi Islam di Indonesia ini merupakan prasyarat bagi terciptanya budaya Islam Indonesianis. 

Perlu diketahui, sepanjang sejarah Islam kita menerima suatu kabar bahwa sesama organisasi Islam sangat sulit mewujudkan suatu sikap toleransi. Permasalahan antara Kekhalifahan Abbasiyah di Bangdad dengan Kekhalifahan Muawiyah pada Spanyol tidaklah lantaran disparitas teologis/ideologis, tetapi mereka berebut klaim sebagai satu-satunya penegak kebenaran yg sah. Demi menghancurkan lawannya, Kekhalifahan Abbasiyah menjalin kerjasama menggunakan kerajaan-kerajaan Kristen misalnya Kerajaan Perancis. Pertentangan sesama umat itu melemahkan umat Islam sendiri, bahkan akhirnya Islam wajib tunduk dalam peradaban Barat. 

Pada sisi lain, sejarah Islam mencatat menggunakan tinta emas sikap toleransi umat Islam terhadap penganut beragama lain. Mereka menghargai keyakinan agama lain, apalagi kepercayaan Kristen, yang tergolong kedalam golongan ahli buku (ahlul kitab ) yang diakui keberadaannya sang al-Qur’an. Dalam situasi misalnya itu umat Kristen belajar berdasarkan kesalahan masa lalunya, serta mereka mengadopsi peradaban Islam yang lebih maju dalam masanya. Pada abad ke-12-14, Barat masih ketinggalan pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun kemudian mereka berhasil membidani kelahiran terbaru science lantaran sudah berhasil menyebarkan suasana free and open discourse. Hal inilah yg sebagai starting point Toby E. Huff buat menulis bukunya The Rise of Early Modern Science. Dia benar waktu menyampaikan ‘The path to terbaru science is the path to free and open discourse….’  

Tidak lahirnya ilmu pengetahuan serta teknologi terbaru berdasarkan global Islam bukan lantaran Islam nir cocok menggunakan wangsit-wangsit modern, namun lantaran umat Islam gagal dalam berbagi free and open discourse. Lantaran hanya dengan toleransi dan kebebasan memungkinkan kita mengadopsi unsur-unsur peradaban lain yang positif bagi upaya berbagi peradaban Islam sendiri dan memang aktivitas budaya serta intelektual bersifat lintas budaya.

Sebenarnya pertarungan umat Islam nir bersifat filosofis lantaran al-Qur’an tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan terbaru. Persoalannya terkait menggunakan pertarungan “sosia-kultural”, berkaitan dengan hasil interpretasi terhadap al-Qur’an, yg seharusnya bersifat nisbi lantaran sebagai output pemikiran insan yg terikat oleh ruang serta ketika; tetapi pemikiran keagamaan itu dipercaya menjadi suatu kebenaran absolut yg nir boleh dikritik lantaran diyakininya menjadi teologi. Dengan demikian suatu masalah sosio-kultural telah diganti kiprah menjadi dilema teologi, sehingga masalah itu menjadi sulit buat diurai benang kusutnya. Contohnya, hingga awal abad ke-19 Kekhalifahan Turki melarang penggunaan mesin print buat menulis huruf Arab yang dianggapnya sebagai bahasa Tuhan, tetapi mampu dipakai buat mencetak alfabet berdasarkan bahasa lainnya. Hal ini menjadikan dalam mandegnya intelektual Islam, dan kebalikannya huruf Latin menjadi berkembang pesat (Huff, 1998: 46). 

C. Tradisi Muhammadiyah?
Selama ini orang selalu menentangkan istilah terkini dengan tradisi, nir terkecuali menggunakan Muhammadiyah yg menjamin dirinya sebagai organisasi Islam terbaru. Konsekuensinya, apakah Muhammadiyah mengembangkan suatu tradisi, karena tradisi selalu berakar menurut masa lalu. Dalam bidang kebudayaan Muhammadiyah meniru ilham-ilham kebudayaan terkini tentang pertumbuhan (growth) dan kemajuan (progress), yg adalah turunan menurut materialisme. Dengan demikian Muhammadiyah mgadopsi struktur warga terkini. 

Dalam melakukan pembaharuan, kaitannya dengan upaya dinamisasi, Muhammadiyah menyebarkan pendekatan strukturalisme transendental di pada pemikiran keagamaannya, yaitu bertujuan ‘menerapkan ajaran-ajaran sosial yang terkandung dalam teks lama pada konteks sosial masa sekarang tanpa mengubah strukturnya’, sebagaimana diyakini oleh cendekiawan Muhammadiyah Prof. Dr. Kuntowijoyo (2001: 9-29). Dengan begitu Muhammadiyah meniru struktur masyarakat terkini buat mengimplementasikan ajaran Islam itu. Memang Muhammadiyah sudah berhasil mengisi struktur warga modern pada Indonesia dalam birokrasi, industri, perdagangan, pendidikan, militer, dll. 

Cendekiawan menurut Muhammadiyah Abdul Munir Mulkhan (2000: v-xiv) menyebut ada 2 konsekuensi menurut arah kebudayaan misalnya itu, yaitu: Pertama adalah sifat elitisme yg sudah menjadikan Muhammadiyah sebagai privilege golongan menengah-ke-atas. Kedua merupakan pergeseran menurut gerakan pembaharu sosial budaya sebagai gerakan yg terjebak pada dilema-persoalan fiqhiah. Hal itu terjadi lantaran orang modernis telah melangkah terlalu jauh menggunakan berakibat materialisme serta rasionalisme bukan lagi sekedar perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi. 

Lebih lanjut Kuntowijoyo mengungkapkan pengaruh negatif lainnya, kalu Muhammadiyah menjadi “gerakan kebudayaan tanpa kebudayaan”, karena kebudayaan yang dikembangkan sang Muhammadiyah bersifat elitis sehingga tidak dapat menjangkau lapisan bawah umat Islam. Hal itu terjadi karena Muhammadiyah nir berusaha merubah tradisi menurut pada, melainkan menggunakan membentuk gerakan baru yg berbasis warga kota. Dan buat ketika yg usang tidak mengakomodasi rakyat di daerah pedesaan yg masih memegang tradisi. 

Kuntowijoyo menganalisa keringnya misi kebudayaan dalam Muhammadiyah pada struktur yang melatar belakangi para pendukung awal Muhammadiyah, yaitu masyarakat kampung-kota, yang perhatiannya lebih tertuju pada pemenuhan tuntutan modernisasi yg bersifat materialistis. Muhammadiyah cenderung bersifat pragmatis, yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesaat pada warga terkini serta belum sempat mengupas hakekat humanisme. Seolah-olah hayati ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal serta organisatoris (Kuntowijoyo, 1991: 269).

Berdasarkan kritik-kritik menurut kalangan intern pada atas kita tahu ada unsur plus minus yang melekat pada hampir setiap tindakan. Dan kita konsisten buat meminimalkan segi minusnya dengan serangkaian aktivitas yang reformatif. Modal telah ada. Eksistensi Muhammadiyah sendiri suatu yang luar biasa. Hal ini tentu akan lain bila Muhammadiyah merogoh bentuk organisasi politik. Bukankah partai politik Islam mengalami pasang surut, timbul dan tenggelam. 

Muhammadiyah relatif sukses dalam menarik jumlah anggota juga simpatisan dan sebagai ormas keagaman terbesar kedua. Secara tidak pribadi Muhammadiyah mendorong lahirnya aneka macam organisasi lain misalnya Nahdlatul Ulama (NU) demi menggairahkan modernisasi pada agama Islam. Selanjutnya warna pembaharuan Islam lebih menonjol ditentukan oleh proses dialektika Muhammadiyah dan NU di pentas sejarah Indonesia. 

II. Pembaharuan Konstektual, Mempertimbangkan Tradisi
Biasanya diterima perkiraan bahwa kepercayaan dipercaya menjadi unsur yg paling sukar serta paling lambat berubah atau terpengaruh sang kebudayaan lain, apabila dibandingkan dengan unsur-unsur lain misalnya: sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, ikatan-ikatan yang ditimbulkan sang sistem mata pencaharian, sistem teknologi serta alat-alat. Tetapi sejarah kehidupan bangsa kita yg panjang tidak sepenuhnya dapat diadaptasi dengan perkiraan tadi. Berbagai agama datang dan berkembang secara bergelombang ke Indonesia, mengubah agama yang usang serta menanamkan ajaran-ajaran agama yg baru secara silih berganti, namun pada kenyataannya sistem mata-pencaharian hayati serta sistem teknologi dan alat-alat yg dikatakan menjadi unsur yg paling gampang, ternyata yang paling sedikit mengalami perubahan semenjak pra-Hindu sampai kepada masa sekarang. Pengalaman sejarah itu justru menunjukkan kepercayaan berubah lebih cepat, ia berubah lebih dahulu sebelum yang lain-lain menglami perubahan. 

Pandangan Snouck Hurgronje juga bertentangan menggunakan fenomena sejarah bangsa kita bahwa tiap-tiap periode sejarah kebudayaan sesuatu bangsa, memaksa kepada orang beragama untuk meninjau pulang isi berdasarkan kekayaan aqidah serta agamanya. Pandangan itu secara tersirat bermakna bahwa proses peninjauan balik isi ajaran-ajaran agama sang para penganutnya sifatnya reaktif lantaran adanya perubahan periode kebudayaan pada mana agama itu hayati. Ini jua bertentangan dengan pengalaman sejarah kebudayaan pada umumnya yang menerangkan bahwa pemahaman baru terhadap ajaran kepercayaan justru menumbuhkan periode baru dalam kebudayaan bangsa-bangsa (Wahid, 1999: 72).

Sejarah menerangkan bahwa pemikiran agama sangat berpengaruh bagi perkembangan aspek material (kehidupan di dunia ini), baik politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Atau menggunakan kata lain, terdapat interaksi yang sangat signifikan antara kemajuan dalam bidang pemikiran (immaterial) serta kemajuan pada bidang material. Hal tersebut sudah menjadi perhatian sosiolog Max Weber (1864-1924) dalam bukunya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam buku tadi dirumuskan pertanyaan: Why capitalist industrialisation became a society-wide system in Europe and not in the other places?. Jawabannya merupakan pemikiran kepercayaan mempunyai pengaruh yang sangat akbar bagi diterimanya sistem industri kapitalis. Dia mengungkapkan industri terkini berkembang di Eropa setelah tersebarnya dan diterimanya teologi Protestan menurut Jean Calvin (1509-1564). Calvin sangat menekankan peranan rasio (nalar) pada pemahaman agama, dan karenanya para pendukungnya bersikap rasional pada kehidupan pada global ini. Max Weber berkesimpulan bahwa penganut Calivinisme bekerja keras, menabung uang, serta hayati ekonomis.

Dalam kasus agama Islam, pemikiran agama juga monoton mengalami pembaharuan untuk memberi makna terhadap perubahan serta perkembangan dalam kehidupan di dunia dalam setiap manifestasinya. Akan namun pembaharuan Islam di era terbaru masih belum berhasil secara optimal serta terasa kurang efektif; menjadi konsekuensinya di bidang materi, umat Islam jua masih tertinggal dari peradaban Barat. Memang beberapa negara Islam sudah dapat mengikuti perkembangan teknologi modern, tapi karena belum didukung sang pemikiran kepercayaan yg mampu menopangnya maka hasilnya masih jauh berdasarkan memuaskan. Tony Barnett (1995: vii) benar bahwa:

the main problems in the Third World are not, by and large, the absence of technical specialists - countries such as …Pakistan have these aplenty; …. The main problems are sociological and political problems, the contexts within which apparently ‘technical’ decisions are taken. 

Dengan istilah lain, kemampuan teknis pada global Islam belum dapat menaruh kontribusi yang positif bagi kemajuan material secara luas lantaran belum ada kondisi yg kondusif dalam aspek immaterial, seperti pemikiran agama.

M. Amin Abdullah (Abdullah, 2000: 13) menilai akar penolakan tradisi yg berbau TBC didasarkan pada keilmuan klasik yang sangat terpengaruh nalar Yunani yang bersifat hitam-putih, sebagai akibatnya nir bisa menyebutkan empiris kehidupan yang terdapat di lapangan. Konfigurasi serta peta rapikan pola pikirnya terlalu skematis, sebagai akibatnya nir dapat mempertimbangkan adanya bentuk konfigurasi yg over lapping (posisi jumbuh), yang melibatkan sebagian berdasarkan 2 sisi sekaligus. Padahal nash-nash al-Qur’an sendiri memungkinkan adanya kategori “middle”, yg perlu ditinjau secara lebih berfokus.

Kuntowijoyo (1995: 86-87) mengkritik TBC masih ditampilkan pada empiris subyektif, dan belum ditampilkan secara realitas-obyektif, dimana kita berada pada stuktur sosial yg berbeda. Konsep klasik mengenai TBC yg disusun dengan cara pikir deduktif yg menekankan segi rasio perlu dilengkapi dengan cara pikir induktif yg bersifat empiris-historis. Dominasi pemahaman keagamaan yang tekstual normatif cenderung mengabaikan kajian keislaman yg kontekstual hisorik. Inilah yg membuahkan pemikiran Muhammadiyah terasa kurang aktual serta irrelevan dengan perubahan sosial yg begitu cepat. Karenanya orang lebih mengenal gerakan Muhammadiyah menjadi gerakan anti-TBC (Tahayul, Bid’ah dan Churafat), dan bukan gerakan pembaharu sosial-budaya (Mulkhan, 2000: ix).

Pendapat Syafii Maarif (2000: xxviii) bisa dijadikan starting point buat menjelaskan hubungan agama dengan peradaban. Beliau mengutip Al-Qur’an surat-surat al-Shaf 9, al-Fath 28, dan al-Taubah 33 dan sampai pada konklusi kalau Islam wajib unggul serta menang berhadapan dengan kepercayaan -kepercayaan manapun di muka bumi ini. Menurutnya keunggulan itu nir saja dalam domain teologis-eskatologis, namun juga dalam perlombaan peradaban. Dia menilai Islam yang unggul pada sistem iman akan tetapi kalah dalam perlombaan peradaban lantaran ketegangan purifikasi dan dinamisasi belum menemukan satu titik yg stabil.

Agar Islam dapat unggul pada masalah peradaban terkini maka Islam perlu menangani dilema peradaban, atau dengan kata lain Islam perlu menangani permasalah kehidupan di global ini yang bersifat duniawi jua. Dalam konteks sekarang ini Islam perlu merumuskan secara kentara partisipasinya pada kehidupan modern, disamping tradisi. Dengan begitu Islam tidak mampu lepas dari problem modernisasi dan globalisasi. 

Sedangkan pada konteks Indonesia, Islam perlu merumuskan budaya Islam pada konteks Indonesia. Gerakan-gerakan Islam harus dikaitkan dengan gerakan nasional bangsa Indonesia yg lebih luas agar mereka tidak teralienasi berdasarkan jaringan koalisi nasional, disamping supaya gerakan nasional itu selalu mendapat bimbingan berdasarkan agama. Bila terisolasi dari koalisi nasional itu, gerakan Islam akan tampak sebagai gerombolan sektarian serta akhirnya akan membangun perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, jika bukan separatisme palsu.

Hendaknya umat Islam membangun budaya yg bisa membangkitkan rasa memiliki pada Islam dan sekaligus berbagi rasa cinta tanah air Indonesia yang mempunyai ciri kebhinekaan, yg dimotivasi sang ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yg lain dan kepribadian dunia (Wahid, 1998: 72). Karena Islam belum berhasil membuatkan suatu budaya Islam Indonesianis maka selama ini yang dikenal menjadi pendukung gerakan nasional merupakan partai-partai nasionalis seperti PNI. Bahkan PKI yang berkeyakinan kemerdekaan sebagai suatu batu loncatan saja dianggap lebih nasionalis. Hal ini terjadi karena gerakan Islam lebih asyik berbicara mengenai masyarakat Islam dalam zaman Nabi Muhammad SAW yang sudah berlangsun 14 abad yg kemudian daripada berbicara bagaimana mengisi kemerdekaan. 

Islam yg dikaitkan dengan persoalan peradaban berarti menempatkan Islam sebagai kepercayaan realitas, kepercayaan yg berpretensi buat menangani kasus humanisme dalam umumnya; dan pada Indonesia, perlu menangani perkara keindonesiaan yang berbeda-beda tunggal ika. Gagasan Islam empiris merupakan konstruksi baru bagi umat Islam dalam menghadapi duduk perkara-masalah kontekstual. Di tengah kebingungannya menghadapi empiris ini, Islam realitas seakan membuka tabir baru paras Islam yg penuh dengan khazanah dan nomenklatur berbagai aura pemikiran keagamaan yg lalu dipadukan menggunakan syarat kontekstual.

Gagasan itu pula nir hendak menanggalkan teks-teks keagamaan, atau apalagi memisahkan agama berdasarkan empiris misalnya gagasan sekularisasi. Tetapi, Islam empiris mempunyai pura-pura, bahwa ajaran agama nir seharusnya dibawa hanya dalam dilema simbolitas serta praktik-praktik 'sakralisasi', sehingga ajaran kepercayaan nir mengena dalam aspek substansinya.

Perhatian terhadap realitas sosiologis-historis aneka macam komunitas Islam sangat penting, mengingat masing-masing mewakili budaya tersendiri menggunakan aneka macam bentuk konvensinya, seperti diyakini sejarawan Thomas L. Haskell (1999: tiga) bahwa: “…Nietzsche, who had no qualms at all about asserting the priority of convention over reason, just so long as he secured recognition that both were subordinate to the “will to power.” Konvensi menjadi kesepakatan berdasarkan suatu komunitas harus dipertimbangkan terlebih dulu, karena hal ini terkait erat menggunakan konteks sejarah berlangsungnya konvensi tersebut. Baru dilakukan obrolan seiring menggunakan berlalunya saat agar dipercaya lebih rasional. 

Karena rasio bukan satu-satunya patokan bagi segala sesuatu. Sebagaimana dikatakan Ibn Taimiyyah “al-Haqiqatu fii al-a’yan laa fii al-adzhan” (Kebenaran adalah pada realita, bukan pada konsepsi-teoritis pada nalar semata) (Abdullah, 2000: dua). Manusia pula punya aspek perasaan, menjadi pemberi makna bagi hidup manusia di dunia. Hal tersebut hanya didapatkan dalam budaya atau tradisi suatu gerombolan . Karena itu tradisi harus diperhitungkan pada pada merumuskan pembaharuan Islam. Hal itu karena tradisi adalah empiris sosiologis-historis suatu komunitas, suatu yang bisa berubah tapi tidak bisa dihilangkan sama sekali. 

Memang harus disadari kalau tradisi bukanlah satu-satunya faktor yg menghipnotis pembangunan. Sebagaimana dikatakan Tony Barnett (1995) that the development process requires an understanding of the economic, cultural and political ways in which people organize their lives. Ahli sosiologi Lithman (1983), jua berkeyakinan that development and underdevelopment relate not only to all aspects of living of its society but also its relations to boarder social system that are to its neighboring societies, to the city network, to the state system, regional system and the global system. 

Namun secara internal, faktor yg paling mempengaruhi pembangunan merupakan tradisi. Memang kita nir dapat mengabaikan faktor lain misalnya politik, ekonomi, sosial, sejarah, geografi, serta agama; tetapi semuanya itu secara substansial terkait dengan tradisi sebagai pemberi makna kehidupan, disamping sebagai pemberi identitas gerombolan pada hubungannya dengan kelompok lain. Hal ini berarti perlu diterapkan taktik pembangunan yg tidak sama sesuai dengan tradisi yang ada (Ross, 1999: 42).

Memang sulit melihat tradisi menjadi faktor secara umum dikuasai dalam revolusi (radical development) karena tradisi itu sendiri multidimensi, tetapi tradisi ini menjadi kerangka bagi perubahan yang radikal (revolusi). Revolusi ini sebenarnya bersifat multidimensional, namun memanifestasi dalam aspek eksklusif misalnya politik atau ekonomi sebagai penyebab langsungnya (casus belly).