KONTRIBUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK KEPRIBADIAN MANUSIA
Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia
Akhir-akhir ini pendidikan Islam banyak dipertanyakan orang, baik itu formal maupun informal. Lantaran sebagian telah melahirkan orang-orang yang sakit kejiwaannya, ammoral perilakunya, dan jelek kepribadiaannya, yg menyebabkan kepercayaan Islam menjadi momok bagi pemeluk agama lain. Seperti; teroris, perekrutan anggota NII, mati syahid dengan bom bunuh diri, kemudian konflik dan aksi-aksi kekerasan atas nama agama semakin marak dimana-mana, mulai berdasarkan kasus bom Bali, bom Hotel JW Marriot, bom Kuningan, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung, penutupan tempat tinggal ibadah Kristiani pada Bandung Jawa Barat, kemudian peristiwa kekerasan di Monumen Nasional Jakarta yg kesemuanya ini mengatasnamakan perjuangan Islam.
Fenomena pada atas melahirkan wacana agama yg paradoksal bahwa ia nir hanya bersifat rahmatan lil‘alamin (rahmat bagi seluruh) akan tetapi jua bala, lantaran melahirkan kenyataan-kenyataan kekerasan, anti kebersaman dan kemajemukan. Meskipun terdapat banyak pernyataan apologetis (pembelaan diri), khususnya dari kalangan agamawan, bahwa kepercayaan secara esensial hanya mengajarkan perdamaian serta menentang kekerasan, namun manusia saja yg lalu menyalahgunakan kepercayaan buat kepentingan eksklusif atau grup sehingga menyulut kekerasan, yang kentara kenyataan aksi kekerasan atas nama agama secara riil (nyata) terjadi dalam kehidupan moderen ini. Dengan citra diatas, wajar jika seorang non muslim memberikan pernyataan, bahwa pendidikan Islam sekarang ini merupakan pendidikan yg menciptakan insan menggunakan kondisi kejiwaan labil, yg menyebakan manusia gampang terprovokasi pada keburukan yang pada kemas dengan nilia-nilai ke-Tuhanan. Dengan begitu, terjadilah kegoncangan dalam diri manusia yang lalu menumbuhkan penyakit kejiwaan serta krisis kepribadian serta tidak berkarakter, hal tadi disebabkan pendidikan yg diterimanya telah sebagai virus yg mematikan dalam kepribadiannya, yg jauh berdasarkan kebenaran yg ada dalam al-Qur‟an, serta berimplikasi, kenyamanan serta kebahagiaan hayati kian sulit didapat.
Hal pada atas tidaklah sinkron menggunakan tujuan pendidikan Islam yg berfungsi menjadi indera yang dipakai manusia untuk tetap survive baik sebagai individu juga rakyat. Maka tujuan akhir dari dalam pendidikan islam tidak lepas menurut tujuan hidup muslim, lantaran pendidikan Islam merupakan sarana untuk mencapai tujuan hayati manusia dari ajaran Islam. Dengan demikian, tidaklah sempurna jikalau pendidikan Islam memberikan pengaruh jelek terhadap kepribadian insan akan tetapi kebalikannya pendidikan Islam menaruh impak yg sangat baik bagi perkembangan kepribadian insan, sebagaimana yang akan diulas dibawah ini.
a. Peran Pendidikan Islam pada Dakwah Islamiyah
Pendidikan Islam memiliki peran yg sangat signifikan dalam menciptakan, berbagi dan membuatkan agama Islam yang tentunya pada perkembangan tersebut, lumrah jika Islam menemui aneka macam bentuk dilema mulai menurut penerapan teks klasik terhadap tataran aplikatif kehidupan terbaru yang mana Islam dituntut buat bisa menyesuaikannya. Menurut Irsan al-Kailani, umat Islam umumnya masih berada pada dataran ihsas al-musykilah (menyadari adanya problem), namun belum dibarengi dengan tahdid wa tahlil al musykilah (kesanggupan mengidentifikasi dan merampungkan duduk perkara).
Dari sinilah pendidikan Islam memiliki kiprah pendidikan sangat terlihat, contohnya pendidikan Islam dalam fungsi psikologis (kejiwaan dan teori kesehatan), dapat memberikan pencerahan akan makna hidup, menaruh rasa hening serta menaruh dukungan psikologis bagi pemeluknya, terlebih bagi mereka yg sedang mendapati dirinya pada menghadapi kegoncangan kejiwaan, pada hal ini pesan kepercayaan menumbuhkan pencerahan akan makna hayati dengan nilai ibadah, pengabdian pada Tuhan baik secara personal juga sosial kemasyarakatan. Kemudian pendidikan Islam dalam fungsi sosialnya, memacu adanya perubahan sosial kearah yang lebih baik, memberikan kontrol sosial terhadap gejala sosial yg destruktif serta perekat sosial tanpa melihat aneka macam latar belakang yang tidak selaras.
Sebagaimana disampaikan oleh Mahmud Arif kata yg kerap dipakai buat menyebut hakikat pendidikan Islam adalah pendidikan menjadi fenomena kultural performatif. Dengan istilah ini, setidaknya perbincangan pendidikan Islam amat mungkin ditelaah dari 2 prespektif, yaitu konseptual-teoritis dan pelaksanaan-simpel. Prespektif pertama mengantarkan dalam pemaparan mengenai pengertian, tujuan pendidikan Islam tentunya menggunakan dasar yg diambil berdasarkan al-Qur‟an serta Hadis, dan sumber aturan Islam lainnya.
Melalui prespektif ini, bisa diketahui bahwa pendidikan Islam mempunyai “keluasan” serta “kedalaman” makna, yang penuh cara lain serta menantang kreativitas serta kecerdasan akal pikir insan buat merungkannya serta menyiasatinya pada rangka membarui yang possible (mungkin) sebagai yang plausible (lumrah).
Sementara itu dengan prespektif kedua, pendidikan Islam dijabarkan, diterapkan, dan dibumikan dalam realitas kehidupan manusia. Dari sini, bisa dipahami bahwa pendidikan Islam ternyata tidak sekedar diartikan secara “normatif-teoritis”, melainkan juga secara “historis-sosiologis”.
Hal ini karena buat menghindari terjadi pemaknaan yang keliru terhadap ajaran pada pendidikan Islam, serta menjauhkan menurut budaya yg tidak relevan dengan kehidupan moderen ini, dengan istilah lain dengan adanya pendidikan Islam sanggup membawa kiprah kepercayaan Islam sholih likulli zaman wa makan, serta menjauhkan manusia menurut penyakit kejiwaan akibat menurut aktivitas kewajibannya menjadi mukmin.
b. Kontribusi Pendidikan Islam dalam Membentuk Kepribadian Manusia
Para ahli pendidikan sepakat bahwa teori dan amalan pendidikan sangat ditentukan sang cara orang memandang pada sifat-sifat berasal manusia yg terilhat berdasarkan kepribadiannya dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Apabila insan dipandang mempunyai sifat-sifat asal yg jahat, maka tujuan pendidikan merupakan menunda unsur-unsur dursila ini, begitu juga dengan kebalikannya apabila sifat asalnya baik maka tujuan pendidikan adalah mengembangkannya menjadi lebih baik.
Istilah pendidikan dalam konteks Islam, dalam umumnya mengacu dalam terma al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim yang bisa dipakai secara bersamaan, lantaran memiliki kecenderungan makna. Tetapi secara esensial, setiap terma memiliki perbedaan, baik secara tekstual juga kontekstual. Kata al-tarbiyah dari menurut istilah rabb yang bermakna, tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian atau eksistensinya.
Kata rabb sebagaimana yang masih ada pada QS. Al-fatihah 1:2, yaitu (alhamdulilla>hi rabbil-‘alamin) memiliki kandungan makna yang berkonotasi menggunakan istilah al-tarbiyah. Sebab istilah rabb (Tuhan) dan murabbi (pendidik) dari menurut akar istilah yg sama. Berdasarkan hal ini, maka Allah adalah pendidik Yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta.
Uraian pada atas, secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses Pendidikan Islam adalah bersumber dalam pendidikan yg diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh kreasi-Nya, termasuk manusia. Dalam pengertian luas, pendidikan Islam yang terkandung dalam terma al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu: pertama, memelihara dan menjaga fitrah siswa menjelang dewasa (baligh); ke 2, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan; ketiga, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; keempat, melaksanakan pendidikan secara sedikit demi sedikit.
Penggunaan terma al-tarbiyah buat menunjuk makna pendidikan Islam bisa difahami menggunakan merujuk firman Allah dalam QS. Al-Isra‟ 17: 24;
Artinya: Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua menggunakan penuh kesayangan serta ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku saat kecil".
Sedangkan makna al-ta’lim lebih bersifat universal dibandingkan dengan altarbiyah juga al-ta’dib. Rasyid Ridha, misalnya mengartikan al-ta’lim menjadi proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan eksklusif.
Argumentasinya berdasarkan pada QS. Al-Baqarah dua:151, menjadi berikut:
Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara engkau yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan engkau dan mengajarkan kepadamu Al Kitab serta Al-Hikmah, dan mengajarkan pada engkau apa yang belum engkau ketahui.
Kalimat wa yu‘allimukum al-buku wa al-hikmah, dalam ayat tadi menjelaskan kegiatan Rosulullah mengajarkan tilawat al-Qur‟an pada kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal, apa yang dilakukan Rosul bukan hanya sekedar membuat umat Islam sanggup membaca, melainkan membawa kaum muslimin pada nilai pendidikan tazkiyah an-nafs (pensucian jiwa) menurut segala kotoran, sebagai akibatnya memungkinkannya mendapat al-hikmah serta memeriksa segala yg bermanfaat buat diketahui. Dengan demikian, makna al-ta’lim tidak hanya terbatas pada pengetahuan lahiriyah, akan namun mencakup pengetahuan teoritis, mengulang secara mulut, pengetahuan dan keterampilan yg dibutuhkan pada kehidupan, perintah buat melaksanakan pengetahuan serta pedoman untuk berperilaku.
Adapun istilah al-ta’dib, dari Naquid al-Attas merupakan istilah yg paling tepat buat pendidikan Islam.
Konsep ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam :
ادبنً ربً فاحسن تأدبً )روه العسكري عن علً(
Artinya: Tuhan sudah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku. (HR. Al-Askari berdasarkan „Ali>)
Secara terminologi al-ta’dib berarti sosialisasi dan pengakuan yg secara berangsur-angsur ditanamkan ke pada diri insan (siswa) tentang aneka macam loka yg tepat berdasarkan segala sesuatu di pada tatanan penciptaan.
Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan serta pengakuan tempat Tuhan yang sempurna pada tatanan wujud kepribadiannya.
Dalam konteks ini, Naquid Al-Attas pun membicarakan bahwa penggunaan istilah al-tarbiyah terlalu luas buat mengungkapkan hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam.
Sebab kata al-tarbiyah yang mempunyai arti pengasuhan, pemeliharaan, serta afeksi tidak hanya dipakai buat insan, namun dipakai memelihara binatang atau makhluk Allah lainnya. Pendidikan Islam penekanannya nir hanya pada material saja, akan tetapi pula dalam aspek psikis dan immaterial. Dengan demikian, istilah ta’dib merupakan terma yg paling sempurna dalam khazanah bahasa Arab lantaran mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan, kebijaksanaan, pedagogi, serta pengasuhan yang baik sehingga makna al-tarbiyah dan alta’li>m sudah tercakup dalam terma al-ta’dib.
Terlepas menurut pemaknaan diatas, para pakar pendidikan Islam sudah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam, di antara batasan yg sangat variatif, adalah menjadi berikut:
a) Ahmad Tafsir mendifinisikan pendidikan Islam menjadi bimbingan yang diberikan sang seseorang supaya ia berkembang secara aporisma sinkron menggunakan ajaran Islam.
b) Al-Syaibany mengemukakan bahwa pendidikan Islam merupakan proses mengganti tingkah laris individu peserta didik dalam kehidupan eksklusif, masyarakat, serta alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan menggunakan cara pendidikan serta pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi serta profesi pada antara sekian banyak profesi asasi warga .
c) Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar sang pendidik terhadap perkembangan jasmani serta rohani siswa menuju terbentuknya kepribadian yg primer (manusia kamil).
d) Muhammad Fadhil Al-Jamali menaruh pengertian pendidikan Islam adalah upaya menyebarkan, mendorong, dan mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi serta kehidupan yang mulia, sebagai akibatnya terbentuk langsung yg lebih sempurna, baik yg berkaitan menggunakan akal, perasaan, maupun perbuatan.
Dengan beberapa pemaknaan di atas, terlihat jelas donasi pendidikan Islam terhadap perkembangan kepribadian insan pada menjalani aktivitas kehidupannya bahwa insan buat sebagai baik bisa diarahkan menggunakan pendidikan Islam. Jadi pendidikan Islam sejatinya adalah suatu sistem yang memungkinkan seseorang (siswa) dapat mengarahkan kehidupannya sinkron menggunakan tujuan hidupnya. Hal pada atas terlihat dari tujuan pendidikan Islam, yang berdasarkan al-Syaibani adalah mempersiapkan kehidupan dunia serta akhirat.
Sedangkan tujuan akhir yang akan dicapai merupakan berbagi fitrah anakdidik, baik ruh, fisik, kemauan, dan akalnya secara dinamis, sehingga akan terbentuk langsung yang utuh dan mendukung bagi aplikasi manfaatnya sebagai khalifah fil-ard.
Pendekatan tujuan ini memiliki makna, bahwa upaya pendidikan Islam adalah pembinaan langsung muslim sejati yg mengabdi dan merealisasikan “kehendak” Tuhan sesuai menggunakan syariat Islam, dan mengisi tugas kehidupannya di dunia dan menjadikan kehidupan akhirat menjadi tujuan primer pendidikannya. Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan membina fitrah siswa secara aporisma dan bermuara dalam terciptanya langsung peserta didik sebagai muslim sempurna (insan kamil). Melalui sosok yang demikian, peserta didik diperlukan bisa memadukan fungsi iman, ilmu, dan amal secara integral bagi terbinanya kehidupan yg serasi baik di dunia juga akhirat.
Melalui pendidikan Islam, setiap insan diharapkan tumbuh berkembang sebagai generasi unggul yang cerdas dalam berfikir, kreatif dalam bekerja dan berkepribadian Islami pada bergaul dan bersosilalisasi terhadap lingkungan atau alam sekitar.
Bila ditilik dengan apa yang sebagai dasar kesehatan jiwa, menjadi tolak ukur buat mencapai kebahagiaan hakiki di dunia serta di akherat, maka terlihat disini adanya kolerasi keduanya, baik itu berkaitan dengan pelaksanaan maupun teori mendasarnya. Sebagaimana terlihat dalam tugas pendidikan Islam adalah membimbing serta mengarahkan pertumbuhan serta perkembangan peserta didik menurut tahap ke termin kehidupannya hingga mencapai titikkemampuannya secara optimal.
Sedangkan kesehatan jiwa bertugas buat membentuk kehidupan manusia sejalan dengan fitrah (kudus, higienis, dan beragama) yg telah diberikan Allah kepadanya. Begitupula pada manfaatnya. Fungsi Pendidikan Islam, yaitu menyediakan fasilitas yg bisa memungkin tugas pendidikan berjalan lancar baik itu yang bersifat struktural juga institusional, sedangkan fungsi kesehatan jiwa, sebagaimana diuraikan diatas menaruh konsep kejiwaan dengan beberapa substansi didalamnya agar insan bisa mengarahkan segenap perilakunya buat menghindari segala bentuk keburukan yg lahir dari keliru satu subtansi kejiwaannya.
Dengan demikian, pendidikan Islam akan membentuk insan menggunakan kejiwaan yg stabil sesuai dengan fitrahnya, yang lalu akan menciptakan kepribadian atau konduite berlabelkan rahmatan lil ‘a>lami>n. Hal tadi akan menciptakan nilai positif terhadap insan sebagai pemeluk dan penganut agama Islam menggunakan nir gampang terprovokasi terhadap keburukan yg dapat menjauhkan dirinya menurut kefitrahannya. Dari sini virus keburukan, kesesatan, dengan doktrin sebagai bagian dari teroris, anggota NII, lalu melakukan aktivitas kekerasan atas nama agama terhadap pemeluk kepercayaan lain, akan menjauh
dengan sendirinya, karena pendidikan Islam sudah bisa mendewasakan manusia buat selalu berfikir positif dalam menjalani kehidupannya sebagai hamba Allah yg bertaqwa.
c. Implikasi Pendidikan Islam Terhadap Perkembangan Kepribadian Manusia
Salah satu ciri kepribadian yg baik merupakan ditandai dengan kematangan emosi dan sosial seorang yang disertai menggunakan adanya kesesuaian dirinya menggunakan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan fungsi dari Pendidikan Islam terhadap kepribadian manusia adalah mewujudkan keserasian antara fungsi-fungsi humanisme dalam diri manusia, supaya tercipta penyesuaian diri antara insan dengan dirinya sendiri serta lingkungannya, yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan buat mencapai hidup yg bermakna, bahagia global dan akhirat. Pendidikan Islam adalah sebuah ilmu yg berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan insan, yg mencakup seluruh bidang interaksi menggunakan orang lain, alam, lingkungan, dan Tuhan, yang adalah penentu masa depan dan mutu bagi setiap individu insan.
Menurut S. Nasution, barang siapa yg menguasai pendidikan memegang nasib bangsa dan negara. Dan biar pendidikan tadi tidak keliru target, maka kualitas kepribadian manusia merupakan prioritas menjadi syarat awal buat mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena kesehatan dan pendidikan, merupakan proses yg menaruh kebutuhan bagi pertumbuhan dan integritas langsung seorang secara bebas dan bertanggung jawab.
Kalau digali serta ditinjau, tanda kepribadian yang baik, terkonsep dalam pendidikan Islam. Hal tadi terlihat berdasarkan beberapa karakteristiknya, yang antara lain:
1). Mengedepankan tujuan kepercayaan dan akhlak. Karakteristik ini mewarnai ciri-karakteristik lain, utamanya yang berorientasi dalam tauhid serta penanaman nilai-nilai.
2) selaras menggunakan fitrah manusia termasuk berkenaan menggunakan pembawaan, bakat, jenis kelamin, potensi, serta pengembangan psiko-fisik.
3) merespon dan mengantisipasi kebutuhan konkret individu dan warga , serta mengusahakan solusi terkait menggunakan masa depan perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus.
4) fleksibel lantaran didorong dengan pencerahan hati, tanpa paksaan.
5) realistik, dengan membuatkan keseimbangan serta proporsionalitas antara pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual.
6) menghindarkan berdasarkan pemahaman dikotomik terhadap ilmu pengetahuan kepercayaan dan ilmu-ilmu yang lain, sekaligus menghindarkan setiap individu berdasarkan pemahaman agama parsial yg dapat membuat peserta didik kehilangan dan bersikap ekstrim.
Dengan diterapkannya dan dilaksanakannya kesehatan jiwa pada pendidikan Islam. Maka implikasinya adalah menjadi berikut:
1) Memperkuat keimanan peserta didik menjadi dasar pijakan dalam beraktivitas sehari-hari.
Salah satu kapital awal pembentukan karakter kepribadian baik dalam siswa adalah menggunakan tumbuhnya keimanan yang kokoh, yg membuahkan peserta didik dijauhkan dari sifat arogan dan tinggi hati, akan namun selalu rendah diri serta tawaduk menggunakan segala hal yg ada disekitarnya, yang semuanya itu didapat berdasarkan sehatnya jiwa seseorang. Dengan istilah lain, eksistensi keimanan akan menciptakan kepribadian peserta didik membumi menggunakan lingkungan sekitarnya, dan bukannya melangit yang mengakibatkan lingkungan lebih kurang merasa enggan berdampingan atau berdekatan dengannya. Hal tadi karna potensi keimanan sudah melekat, sehingga melahirkan perbuatan yang ihsan, karena segala perbuatannya didasari dengan niat ibadah.
Akan namun lain halnya bila kejiwaan (psikis) peserta didik, jauh dari keimanan. Hal tadi, akan mengakibatkan melemahnya keingian-cita-cita positif, hilangnya loyalitas ketaatan, menghilangkan semangat (girah), sulit mendapatkan ilmu, menyebabkan perasaan sedih, risi, resah, gelisah, mini hati, stres dan lain sebagainya.
Dengan hilangnya kenyamanan, kebahagiaan, serta lain sebagainya itu telah menyebabkan kondisi psikis dan fisik peserta didik terganggu, sebagai akibatnya sejauh apapun pembelajaran yg disampaikan oleh pendidik nir akan terserap menggunakan baik oleh siswa.
Dalam konsep Islam pada kajian kesehatan jiwa, keimanan dalam Allah merupakan modal penting buat menyembuhkan kejiwaan seseorang menurut berbagai penyakit psikis yang menjangkitinya, lantaran perasaan Iman bisa mewujudkan perasaan aman dan tentram, mencegah perasaan gelisah, serta bisa berfungsi menjadi motivator siswa disetiap aktivitasnya. Dengan kata lain jika keimanan kepada Allah telah tertanam pada diri insan akan membantu menghalangi dan mencegah manusia menurut penyakit-penyakit kejiwaan.
Dalam ilmu psikologi, kegelisahan adalah penyebab utama timbulnya tanda-tanda-gejala penyakit kejiwaan. Maka tidak galat apabila keamanan dan perasaan tentram jiwa orang mukmin karena disebabkan sang keimanan. Bagi seorang mukmin, kenyamanan, keamanan, dan ketentraman jiwa bisa terwujud ditimbulkan keimanannya kepada Allah, yang memberinya harapan dan asa akan pertolongan, proteksi, serta penjagaan berdasarkan Allah SWT, menggunakan beribadah serta mengerjakan segala amal demi mengharap keridaan Allah. Oleh karena itulah, ia akan merasa bahwa Allah SWT, senantiasa bersamanya serta senantiasa akan menolongnya, hal ini sebagai agunan bahwa dalam jiwanya tertanam perasaan aman serta tentram, karena dijauhkan dari sifat merasa takut terhadap apapun pada kehidupan ini, yg sudah diatur oleh Allah serta insan hanya menjalaninya dan memilihnya saja.
Keimanan akan memandu individu dalam kaidah-kaidah dasar kesehatan dan perilaku preventif. Keimanan akan menuntunnya buat bisa mewujudkan ekuilibrium fisik serta psikis, yg membuat individu pada menjalankan dan melakukan segala kegiatan menggunakan proporsional, baik itu dalam makan, minum, tidur, menikah, sosial kemasyarakatan, juga pada merespon semua stimulus pada dirinya dengan jalan yg halal dan baik, serta dijauhkan dari perbuatan dolim yang merugikan orang lain, serta menghindari jalan yg haram serta tidak baik.
Buah menurut hal itu, dia akan memiliki keteguhan jiwa dan keluhuran budi. Dengan begitu, pada taraf ini beliau sudah mempunyai bekal yg cukup buat mengaplikasikan nilai-nilai Islam atas segala sikap, tindakan, serta keputusannya pada menjalani kehidupan. Dengan kata lain, eksistensi iman akan membentuk Islam, dan melahirkan perikalu ihsan yang merupakan buah daripada iman serta islam. Oleh karena itu, pendidikan Islam dimudahkan proses pembelajarannya, lantaran keimanan telah membentuk pondasi kebaikan bagi setiap peserta didik pada belajar Islam.
2) Membentuk akhlaqul karimah peserta didik
Para ahli pendidikan muslim sejak awal menyadari, sepenuhnya bahwa pemahaman mengenai kepribadian manusia yg melahirkan perilaku adalah dasar pijakan bagi keberhasilan pendidikan.
Dalam hal tersebut, Ibnu Sina mengatakan pada al-Qanun: “Adalah sebuah keharusan, perhatian diarahkan dalam pemeliharaan akhlak anak, yakni dengan menjaganya agar nir mengalami luapan amarah, takut dan sedih. Caranya melalui perhatian akurat yg dilakukan anak atas wacana dirinya dan apa yg dibutuhkannya. Hal ini mempunyai 2 kegunaan: kegunaan bagi jiwa anak serta kegunaan bagi badannya. Sebab, ia sejak dini tumbuhkan menggunakan (norma) akhlak mulia sinkron bahan kuliner yg dikonsumsinya dan akhlak ini dapat menjaga kesehatan jiwa dan badannya sekaligus”.
Dalam terminologi Islam klasik penyakit jiwa ini dianggap sebagai akhlaq tercela (akhlaq mazmumah) kebalikan menurut akhlaq yg terpuji (akhlaq mahgampang), atau sanggup jua diklaim menggunakan akhlaq yg tidak baik (akhlaq sayyi’ah) kebalikan menurut akhlaq mulia atau baik.
Imam Ghazali menyebutnya dengan akhlaq khabisah. Akhlaq yang tercela serta buruk itu, akan membentuk kepribadian tidak baik yg adalah bagian berdasarkan kelainan psikis, dan kesemuanya ini akan mengakibatkan jiwa insan sebagai kotor dan jauh berdasarkan hidayah Allah. Akhlaq menjadi barometer evaluasi generik, baik dan buruknya kepribadian seseorang, karena akhlaq berkaitan menggunakan hati nurani, maka sifat tadi hanya dapat terukur berdasarkan sikap, tindakan serta tingkah-lakunya (akhlaqnya). Maka, dalam akhlaqul-karimah moralitas yg digunakan, berpijak dalam kebiasaan-kebiasaan kepercayaan Islam, disamping adat-norma dan norma sosial lainnya. Karena secara teoritik kebiasaan Islam nir betentangan dengan kebiasaan sosial. Bahkan bersifat komplementer, mengarahkan serta mencerahkan pranata sosial. Maka seseorang yg berkepribadian islami akan merasa nyaman dan tentram berada di tengah-tengah lingkungan famili dan warga . Hal ini tentu berdampak positif bagi perkembangan kejiwaan, kreatifitas, daya logika bahkan terhadap prestasi akademik seseorang anak pada sekolah. Dengan demikian, kepribadian islami berdampak positif terhadap kejiwaan peserta didik.
Kesehatan jiwa memiliki kiprah pada menciptakan kepribadian peserta didik, dengan menjalani kehidupan insan normal pada umumnya menggunakan menghiaskan diri menggunakan akhlaq yg terpuji, yang nir terlepas menggunakan 3 esensi dasar yaitu; Islam, Iman serta Ihsan, karena anak yang termasuk kepribadian Islami secara otomatis memiliki ketaqwaan yg tinggi.
Semuanya dapat dibuat dan dikembangkan melalui usaha pendidikan, bimbingan dan latihan-latihan yang sejalan dengan kepercayaan serta norma-kebiasaan ajaran Islam.
Oleh karena itu, seorang anak wajib mendapatkan pendidikan akhlak secara baik, lantaran pendidikan akhlaq adalah pendidikan yang berusaha mengenalkan, menanamkan serta menghayatkan anak akan adanya sistem nilai yg mengatur pola, perilaku dan tindakan insan atas isi bumi, yang mencakup hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia (termasuk menggunakan dirinya sendiri) serta dengan alam sekitar.
3) Mengembangkan potensi peserta didik
Pada hakikatnya bila siswa ditilik dari fitrah-nya, maka beliau memiliki 2 atribut, yaitu makhluk jasmani dan rohani. Dalam perkembangannya, setidaknya terdapat 2 faktor yang mempengaruhi apakah ia tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yg bermatabat, atau kebalikannya menjadi langsung yang kurang bermatabat. Dua faktor tadi, adalah faktor warisan dan faktor lingkungan (bi‘ah). Faktor warisan adalah keadaan yg dibawa insan sejak lahir yg diperoleh berdasarkan orang tuanya. Seperti, rona kulit, bentuk kepala, dan tempramen.
Sedangkan faktor lingkungan artinya keadaan kurang lebih yang melingkupi manusia, baik benda-benda misalnya air, udara, bumi, langit, dan mentari , termasuk individu dan gerombolan insan. Kedua faktor inilah yang nantinya akan mempengaruhi baik buruknya kondisi kejiwaan insan (peserta didik) dalam menjalani kegiatan kehidupannya. Maka, Peranan kesehatan jiwa akan terlihat sangat krusial dalam rangka berbagi potensi peserta didik kearah yg lebih baik. Untuk mengantisipasi potensi manusia tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu ditumbuh kembangkan:
a) Akal: dalam global pendidikan, fungsi intelektual atau kemampuan akal manusia (siswa) dikenal kata kognitif.
Tujuannya mengarah pada perkembangan intelegensi yg mengarahkan manusia menjadi individu buat dapat menemukan kebenaran yg sebenar-benarnya. Dengan usaha hadiah ilmu dan pemahaman dalam rangka memandaikan insan atau peserta didik, pada hal ini aspek nalar meliputi: rasio, qalb atau hati yg berpotensi buat merasa dan meyakini, dan fu’ad atau hati nurani, yang diidentikkan menggunakan mendidik kejujuran pada diri sendiri buat membedakan baik dan jelek.
b) Fisik: Kekuatan fisik adalah bagian utama menurut tujuan pendidikan, sinkron sabda Rosulullah yang diriwayatkan sang imam muslim;
المؤمن القوي خير واحب الى هللا من المؤمن ضعيف
Artinya; Orang mukmin yg bertenaga lebih baik dan lebih disayangi Allah, daripada orang mukmin yg lemah. (HR. Muslim) Imam nawawi menafsirkan hadits diatas sebagai kekuatan iman yang ditopang oleh kekuatan fisik. Seperti panca alat, anggota badan, system saraf dan unsur-unsur biologis lain lebih banyak menempuh cara penguatan dan training seperti mengkonsumsi gizi secara memadai serta berolah raga, melatih masing-masing aspek sinkron menggunakan kekhususannya. Dengan demikian sehatnya fisik, merupakan kapital awal buat mengembangkan potensi kebaikan yang terdapat dalam diri insan.
c) Ruhaniyah dan nafsiyah (ruh dan kejiwaan): adalah dimensi yg memiliki imbas pada mengendalikan keadaan insan supaya bisa hayati sehat, tentram serta bahagia. Bentuk pengembangannya, supaya mengakibatkan manusia betul-benar mendapat ajaran islam dengan menerima seluruh cita-cita ideal yg masih ada dalam al-Qur‟an, peningkatan jiwa dan kesetiaannya yang hanya pada Allah semata serta moralitas islami yg diteladani berdasarkan tingkah laku kehidupan Nabi Muhammad, yg adalah bagian utama dalam tujuan pendidikan islami. Biasanya dilakukan menggunakan amalan-amalan mendekatkan diri pada Allah dan tazkiyatun-nafs,seperti shalat malam, berpuasa sunnah, poly berdzikir kepada-Nya, membangun perilaku rido terhadap takdir serta kehendak-Nya. Keduanya ini adalah daya manusia buat mengenal Tuhannya, dirinya sendiri, serta mencapai ilmu pengetahuan. Sehingga bisa memilih manusia berkepribadian baik.
d) Keberagaman: manusia merupakan makhluk yang ber-Tuhan atau makhluk yang beragama. Berdasarkan output riset dan observasi, hampir semua pakar jiwa sependapat bahwa dalam diri insan terdapat hasrat serta kebutuhan yang bersifat universal. Keinginan akan kebutuhan tadi adalah kodrati, berupa hasrat buat mencintai serta dicintai Tuhan.
Dalam pandangan Islam, semenjak lahir seseorang anak sudah mempunyai jiwa agama, yaitu jiwa yang mengakui adanya zat yg maha pencipta dan Maha mutlak yaitu Allah Swt. Sehingga tinggal bagimana pendidikan, orang tua serta lingkungan-lah yg memilih anak tersebut, yaitu beragama atau tidak beragamakah?.
e) Sosial: insan adalah makhluk individual sekaligus makhluk sosial, keserasian antara individu dan warga nir mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial serta tujuan individual. Maka, tanggung jawab sosial merupakan dasar pembentuk warga . Oleh karenanya Pendidikan sosial ini setidaknya mampu membimbing tingkah laku insan dibidang sosial, ekonomi, dan politik menuju langsung yg Islami.
4) Memiliki filsafat atau pandangan hidup
Yang dimaksud dengan memiliki filsafat hidup adalah mempunyai pegangan hayati yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yg benar, terutama waktu menghadapi atau berada pada situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hayati ini memiliki dua muatan, yaitu makna hidup serta nilai hidup. Jadi setiap insan akan senantiasa dibimbing oleh makna serta nilai hayati yang sebagai pegangannya buat menciptakan kepribadiannya. Ia tidak terbawa begitu saja oleh arus situasi yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan dan suasana hatinya sendiri yang bersifat sesaat. Implikasinya terhadap pendidikan Islam, peserta didik lebih berani dengan kemauan serta tekadnya dalam menjalankan perintah agama, serta memiliki rasa percaya diri yg tinggi untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Hal tadi diharapkan buat mengatasi setiap duduk perkara yg menimpa dirinya.
5) Membentuk kematangan emosional peserta didik menggunakan lebih bijaksana dalam menyikapi problematika kehidupan Manusia bijaksana, adalah manusia yg bisa mengedepankan akhlaqul karimah pada menyikapi persoalan kehidupannya, tentunya menggunakan mengoptimalkan kinerja logika serta hati pada memberikan keputusan dan menyikapi kehidupan, menggunakan nir disertai sikap arogansi serta lain sebagainya dalam menjalankan kegiatan kehidupannya, inilah yang dimaksud menggunakan kematangan emosional.
Terdapat tiga ciri konduite dan pemikiran pada seseorang yang emosinya dipercaya matang, yaitu mempunyai disiplin diri, determinasi diri, serta kemandirian. Peserta didik yg mempunyai disiplin diri bisa mengatur diri, hidup teratur, menaati aturan dan peraturan. Peserta didik yang mempunyai determinasi diri akan bisa membuat keputusan sendiri pada memecahkan suatu perkara serta melakukan apa yg telah diputuskan, tidak gampang menyerah dan menduga kasus baru lebih sebagai tantangan daripada ancaman. Individu berdikari akan berdiri pada atas kaki sendiri, Ia nir poly menggantungkan diri pada bimbingan dan kendali orang lain, melainkan lebih mendasarkan pada diri pada kemampuan, kemauan serta kekuatannya sendiri.
Kematangan emosional membuahkan (peserta didik) lebih berfikir logis, kritis serta kreatif, serta bisa merogoh keputusan secara cepat dan tepat. Oleh karena itu, pendidikan Islam akan membentuk output yg kritis dan kreatif, yg didalalamnya mempunyai 3 ciri utama yaitu; 1) memiliki pemikiran asli atau asli (originality), dua) mempunyai keluwesan (flexibility), serta 3) menampakan kelancaran proses berfikir (fluency). Dari sinilah daya fikir seorang ini akan lebih maju.
6) Membentuk pemahaman siswa pada menerima realitas hidup
Adanya disparitas antara dorongan, harapan dan ambisi pada satu pihak, serta peluang serta kemampuan di pihak lainnya adalah hal yang biasa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan buat mendapat empiris diantaranya menampakan konduite mampu memecahkan masalah dengan segera serta menerima tanggungjawab. Bahkan bila memungkinkan, beliau bisa mengendalikan lingkungan, atau paling nir mudah dalam mengikuti keadaan dengan lingkungan, terbuka buat pengalaman serta gagasan baru, menciptakan tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut.
Selain itu mereka jua tidak terlalu poly memakai prosedur pertahanan diri, yaitu perilaku emosional yg tidak tepat saat menghadapi masalah yang mengganggunya atau yg nir beliau kehendaki.
7) Menjauhkan pemahaman siswa menurut kehidupan materialisme-hura-hura Dalam teori kesehatan jiwa barat, mengungkapkan bahwa tingkah laris manusia merupakan suatu fungsi berdasarkan faktor-faktor ekonomi dan sosial.
Pandangan hayati yg materialistik, individualistik dan hedonistik ini, membawa akibat menempatkan manusia pada derajat yg tinggi, causa-prima yg unik, pemilik akal budi yg hebat, dan mempunyai kebebasan penuh buat berbuat apa saja yg dipercaya baik bagi dirinya. Dengan kebebasan serta kedaulatan penuh akan menyebabkan konsep langsung yang ekstrim, yang pada gilirannya akan membuatkan sifat anarkhis, karena meniadakan hubungan trasendal menggunakan Tuhan.
Dalam al-Qur‟an, kesehatan jiwa tidak hanya mengutamakan pengembangan pada potensi manusia saja, akan namun aspek ketuhanan yang merupakan potensi serta kebutuhan dasar insan merupakan prioritas primer yang sangat diperhatikan.
Hal tersebut dikarenakan, semua tingkah laris insan yg bisa mengarahkan dalam terwujudnya ketenangan dan kebahagiaan hayati bukanlah sesuatu yg hanya bisa diamati (observable) serta bersifat materialistik saja, namun jua sesuatu yang transenden yang tidak dalam jangkauan manusia, yaitu nilai-nilai keruhanian serta hal ini merupakan aspek-aspek pendidikan islam. Dalam teori pendidikan, pembicaraan tentang sifat-sifat asal insan adalah satu hal yang wajar. Dari segi pandangan al-Qur‟an insan itu adalah makhluk istimewa sebab ia dianggap khalifah Allah.
Atas dasar inilah sekalipun manusia diakui mempunyai derajat yang paling tinggi diantara sekian poly mahluk yg Allah ciptakan, permanen ditempatkan secara proporsional dalam rekanan Makhluk serta Kholik. Berangkat dari sinilah pendidikan Islam haruslah menyebarkan semua sifat-sifat ini, menciptakan manusia yg beriman yang memelihara berbagai komponen menurut sifat-sifat asal tanpa mengorbankan keliru satunya. Dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa Qur‟ani, ada tiga faktor dasar yang wajib ditegakkan, yaitu Allah, insan, serta lingkungannya.
Hubungan insan dan Allah adalah kondisi utama bagi keberhasilan dalam hubungan antara insan dan lingkungannya. Jika interaksi antara Allah serta manusia lebih tersusun, lebih tegas dan berjalan dari kriteria yang ditetapkan Allah maka interaksi antara insan menggunakan lingkungan sebagai lebih berhasil, begitu pula pada pendidikan Islam