CARA MENGETAHUI KARAKTER SESEORANG DARI CARANYA BERJALAN

Gerakan tubuh atau bahasa tubuh memang akan mengindikasikan misalnya apa karakter pemiliknya sama halnya dikutip berdasarkan sebuah kitab yg berjudul "Making the Most of First Impressions" yang ditulis sang pakar bahasa tubuh Patti Wood. Menurutnya, "Kepribadian tidak selalu bisa dinilai menurut luar. Ada beberapa hal yang menampakan kepribadian seorang, keliru satunya merupakan gaya berjalan." kata Patti menyebutkan.

Karakter dibuat oleh kebiasaan norma yang dilakukan sebagai akibatnya membangun sebuah karakter kepribadian. Sebagai contoh saja apabila seseorang memiliki norma buat selalu belajar maka dia mempunyai karakter yg lebih pintar dan berwawasan luas, begitu jua sebaliknya jika seseorang yang memiliki norma malas dan enggan buat belajar maka diapun akan sebagai ndeso dan miskin ilmu pengetahuan. Nah dikutip berdasarkan kitab Patti wood tentang Making the Most of First Impressions, berikut merupakan mengenali karakter seorang menurut cara berjalannya:
Mengetahui Kepribadian Seseorang menurut Cara Berjalannya
Berjalan lambat serta terlihat kalem tidak terburu buru
Karakter orang misalnya yang terlihat yaitu orang yg kalem, hening serta nir pernah merogoh resiko pada hidupnya. Dia biasanya bukan pejuang keras, mudah berputus harapan waktu menemui kegagalan. Kadang, perilaku santai ini membuatnya sulit maju pada hal apa pun.
Berjalan tegap dan cepat
Cara berjalan seperti ini dikategorikan seseorang dengan karakter orang yg keras, pekerja keras, nir gampang menyerah, percaya diri, penuh semangat dan berenergi tinggi. Karakter seperti ini umumnya penuh perjuangan dan pantang menyerah. Dia selalu berusaha belajar darikegagalan dan melampaui batas kemampuannya hingga berhasil. Karena itu, dia memiliki peluang besar buat sukses.
Berjalan misalnya menjinjit
Jalan jinjit menandakan dia seorang yg penuh kehati hatian. Penuh kehati-hatian yang dimaksud merupakan sukar buat mempercayai orang lain, nir suka menggunakan perubahan, terlalu penyelidik, ingin mengatahui poly hal berdasarkan orang lain tetapi buat dirinya sendiri beliau seseorang yg tertutup. Karena ia sulit percaya dalam orang lain maka ia juga sulit dipercaya karena beliau akan selalu berhati-hati buat dirinya sendiri, sebagai akibatnya cenderung egois.
Berjalan menunduk melihat tanah
Jika anda mempunyai sahabat yang mempunyai kebiasaan selalu berjalan menggunakan menunduk maka mungkin dia memiliki karakter pendiam. Ia merupakan orang yg lebih acapkali menutup diri, tapi bukan berarti tidak percaya diri atau sulit bergaul. Karakternya cenderung misterius, terkesan cuek serta dingin. Namun jangan salah , beliau sebenarnya cukup dikagumi karena nir hanya kerap menciptakan orang bertanya-tanya, beliau juga sosok yg sangat setia dalam pasangan.
Berjalan sambil tak jarang menoleh ke kiri serta kanan
Ya berjalan dengan acapkali menoleh kekiri serta kekanan menandakan dia seseorang yg peduli menggunakan sekitarnya. Dia peduli dengan sesama atau pengertian menggunakan hal hal lebih kurang maupun orang orang terdekatnya. Karakter orang seperti ini sangat cocok buat dijadikan sahabat atau kekasih. Dia juga bonafide buat menyimpan rahasia dan akan selalu terdapat untuk orang-orang yang dicintainya.
Berjalan lurus
Orang yg berjalan lurus memiliki karakter yg tegas dan berprinsip. Karakter misalnya ini umumnya berpotensi menjadi seseorang pemimpin atau sosok yang hebat. Dia jua sangat bijaksana pada merogoh keputusan serta selalu berpikir panjang sebelum bertindak.
Berjalan nir lurus / acapkali berbelok belok
Sebaliknya, orang yg berjalan tidak lurus memiliki karakter yg tidak tegas atau tidak memiliki prinsip. Biasanya beliau hanya menikmati hayati tanpa memiliki planning untuk masa depan. Orang misalnya ini jua biasanya hanya senang bermain-main dan cenderung tidak serius.
Nah setelah membaca tips diatas kira kira seperti apakah karakter Anda? Sekali lagi ini hanyalah penilaian yang dilakukan sang pakar bahasa tubuh Patti Wood pada bukunya Making the Most of First Impressions, jadi anda boleh percaya boleh nir.

REAKTUALISASI PENDEKATAN SOSIOLOGIS TIDAK SELALU RELEVAN

Reaktualisasi, Pendekatan Sosiologis Tidak Selalu Relevan 
Adakah otentisitas dalam Islam? Di manakah ruang eksistensial Islam, dalam universalitas atau lokalitas? Ini gugusan pertanyaan yg benar-benar menggelisahkan banyak orang. Jeffrey Lang, seseorang muallaf Amerika, galat satunya. Demi menggapai otentisitas dan apa yang disebut Islam yg universal, beliau pun pulang ke “sentra” Islam, Makkah. Dengan mengenal lebih dekat komunitas muslim serta baytullah, ia berharap dapat memperdalam keislamannya. Lama beliau menetap di sana sebelum kemudian mudik sehabis menyadari betapa pemikiran Islam di negeri asalnya, Amerika, lebih cocok dan menantang tinimbang paham Islam yang ditumbuh-kembangkan di Saudi Arabia yg berorientasi ke masa lalu. Di Arab Saudi, akunya, Islam berhenti sebagai kekuatan pendorong buat berbagi kepribadian dan itu segera menciptakan imannya kehilangan daya hayati.

Intelektual muslim anyaran berasal Amerika itu berupaya meninggalkan tabiat “Amerika-nya” untuk sebagai muslim nan “sejati”. Dan beliau gagal. Tetapi, kegagalannya itu justru menghantarkan beliau dalam suatu pencerahan baru: no escape from being an American! Untuk sebagai muslim yang baik, seseorang tidak kemudian berarti musti meninggalkan semua latar budayanya. Islam nir pernah tiba dalam suatu situasi vakum kultural. Ia hadir serta hidup tidak pada ruang serta ketika yg kosong budaya; keduanya, agama (Islam) serta budaya, berkelindan dan saling memperkaya.

Lang pun menentukan berislam secara realistis, yakni jalan penghayatan religius yg menenggang variabilitas khazanah tradisi. Dalam konteks itu Islam lebih dipahami menjadi entitas ajaran yg lahir dan mengikat diri dalam sejarah. Ia beranjak menyejarah, menjadi agama, ada sebagai sebuah kategori sosial yg karena itu profane. Kehadirannya secara demikian merupakan konsekuensi logis menurut keputusan Tuhan buat menyudahi risalahnya, “menyempurnakannya” (Qs. Al-Mâ’idah : 3). Sebagai sang author, Tuhan telah berikan Islam sebagai hal final. Ia tak lagi turut-campur menentukan, tapi memasrahkan nasib Islam pada manusia. Kini tinggallah Ia menunggu kreativitas hamba-Nya dalam tahu-menyikapi verbalisasi seluruh ajaran-Nya yg nge-teks dan mengeras sebagai “corpus resmi tertutup” (mushhaf; official closed corpus). Dan insan pun menghampiri, tahu, serta menghayatinya dengan horison budaya masing-masing.

Terlepas mengapa Allah menentukan Arab sebagai locus ajaran-Nya, pengambilan locus bahasa dan budaya (yg kebetulan) Arab tadi pasti. Seluruh agama saat memulai proses menyejarah dalam dasarnya memerlukan wadah kultural (seperti bahasa serta budaya). Dalam prosesnya sangat mungkin saling mengkayakan (atau kebalikannya, memiskinkan?) sehingga bisa timbul suatu kultur berciri keagamaan atau simbol-simbol kultural tertentu dipakai guna mengekspresikan nilai-nilai keagamaan. Mengingat warga tumbuh dalam bangun kultur yang majemuk, maka aktualisasi diri suatu agama secara kultural dan simbolik sangat boleh jadi jua majemuk, sekalipun pesannya sama. Taruhlah, pada hal keragaman bahasa: substansi suatu pesan tauhid dapat saja sama namun simbol bahasanya tidak sama. Misalnya, sebutan buat Allah swt. Di Jawa, Ia sering disapa dengan sebutan “Gusti”, di Madura Allah diklaim bergantian dengan nama “Pangeran” atau “Se Kobhasah,” ad interim pada etnis Sasak Lombok Ia digauli akrab dengan nama “Ninik Kaji,” dan di suku Mbojo Bima Ia dianggap ta’dzim dengan nama “Ruma” atau “Tala”. 

Pendek kata, Islam serta budaya memang tidak bisa dipisahkan sebagai akibatnya sangat logis apabila artikulasi dan ekspresi keislaman tidak pernah berwajah tunggal. Kendati masih ada ajaran standar yg diyakini sama-serupa, namun pada level penafsiran, tradisi serta keyakinan akan selalu dijumpai keanekaragaman. Sayangnya, kenyataan itu umumnya terabaikan dalam kesadaran berislam umat. Yang berlangsung justru keterikatan umat Islam secara sangat ta’dzim dalam keterangan-berita partikular masa lalu. Kebanyakan mereka lalu bangga menyebut diri kaum salafiy (al-salaf al-shâlih).” Lantaran Islam lahir di tanah Arab, ber-locus bahasa dan budaya Arab, dan ratusan tahun pertama perkembangannya dalam kemulan sejarah Arab, maka secara holistik performa keberagamaan mereka nir sanggup (baca: nir mau) memisahkan antara mana yang budi-daya Arab serta mana yang ajaran Islam. Akibatnya berfokus, (universalitas nilai) Islam yg sesungguhnya mengatasi dimensi ruang dan ketika sebagai terbekap erat sang batasan-batasan ruang Arab serta saat Arab kala itu. Simbol-simbol Islam lokal-Arab, semisal jilbab bercadar, jenggot, atau celana cingkrang, akhirnya dipercaya sebagai Islam itu sendiri!

Lalu, bagaimana mendamaikan ketegangan antara Islam yang Arab itu serta lokalitas yang ketempatan Islam? Bagaimana mengejawantahkan pesan substantif Islam pada tengah aneka partikularitas lokal yg tidak sinkron dengan situasi partikular Arab tempo doeloe? 

Problem Pembacaan
Artikulasi serta aktualisasi diri (umat) Islam pada tatanan budaya dan peradaban memberitahuakn karakter yg berbeda-beda tatkala bersentuhan menggunakan setiap khazanah peradaban yang bercorak-ragam. Islam pada masing-masing loka membangun karakter baru sinkron menggunakan sistem tata nilai wilayah bersangkutan. Apa yang acap dianggap sebagai capaian prestisius peradaban Islam adalah sebuah kebudayaan hibrida yang dilambari oleh spirit tauhid sehingga watak peradaban Islam bersifat toleran, inklusif, dan terbuka bagi berbagai inovasi dan pengembangan intelektual keislaman yang coraknya tentu saja diametral berbeda menggunakan aktualisasi diri keislaman di asal kelahirannya, Hijaz. Demikian juga ketika menyentuh masuk ke Indonesia. Islam pun menjumpai aneka varian kultur lokal. 

Akan namun, proses-proses simbiose yang seyogyanya berlangsung saling memperkaya, sampai taraf eksklusif gagal. Dalam banyak hal, itu lantaran metode pembacaan yang dipakai masih cenderung “medieval” yang, tentu saja, sangat berorientasi ke teks (text-oriented approach) dan masa lalu ke konteks historis Arab (baca: Timur Tengah) Abad Pertengahan sampai terus ke belakang ke masa Nabi saw. Model tafsir ala Abad Tengah itu biasanya dipegangi secara amat tawadlu’ oleh kaum muslim “tradisional” sementara grup Islam “modernis” yang mencoba menanggalkan khazanah tafsir klasik itu dan mengambil contoh tafsir yang lebih kontemporer-“terkini”, tragisnya justru kian terjebak dalam animo puritanis-fundamentalis. Pendek kata, sementara kita telah terlanjur mengimpor ajaran Islam yg Arab itu, buat memahaminya pun kita memakai metode impor yg berdasarkan poly sisi nir cukup compatible serta karenanya inadequate menggunakan tuntutan-tuntutan niscaya menurut pluralitas budaya lokal pada Indonesia. 

Untuk konteks Indonesia, semua kegiatan pembacaan-penghayatan atas ajaran Islam (yg “Arab” itu) sebagaimana terketengahkan via teks-teks kudus menghadapkan seluruh muslim Indonesia pada 2 pilihan: “mengarabkan Indonesia” atau, kebalikannya, “mengindonesikan Arab”. Trend apa yang berlangsung sejauh ini pada dinamika pemikiran Islam pada Indonesia tampaknya lebih dalam yang pertama, “mengarabkan Indonesia” tepatnya ialah pengaraban tradisi lokal atas nama Islam. Konstruk pembacaan semacam itu, secara hermeneutis, mendudukkan teks-teks begitu lebih banyak didominasi pada hadapan konteks, sebagai akibatnya yang lalu menjadi diskriminasi semata-mata. Akibatnya nyaris semua nilai dan simbol budaya lokal wajib melalui proses “screening” dengan pola pikir Islam-Arab sebagai parameter bagi diterima-tidaknya sebagai simbol Islam. Pola baca sedemikian jelas bukan jawaban solutif bagi variabilitas budaya-tradisi lokal. Dalam konteks itulah Islam perlu mereformulasi performa hadirnya di tengah ragam budaya yg saling menegaskan diri. Dan itu hanya melalui penafsiran Islam yang berikhtiar “mengindonesiakan Arab,” yang memandang ramah serta bersikap arif terhadap lokalitas.

Sayangnya, kehendak “mengindonesiakan Arab,” melokalkan simbo-simbol partikular-lokal Islam-Arab, itu menghadapi persoalan mendasar. Problem tadi memilih pada inadekuasi pola tyafsir yang lazim dilangsungkan di kita. Itu sepertinya berkaitan bertenaga menggunakan isu terkini generik pemikiran Islam, termasuk wacana tafsir, terkini. Dalam identifikasinya terhadap kesamaan yg semakin secara umum dikuasai pada kalangan ulama negeri-negeri muslim kini itu, Arkoun menyebutnya sebagai logosentrisme pemikiran keislaman. Kecenderungan berpikir sedemikian menganggap bahwa kebenaran wahyu bisa ditangkap dan dikuasai menggunakan cara analisis gramatikal dan makna kata dalam teks belaka. Wahyu dipandang sebagai sesuatu yg mandek, final, tanpa alternatif. Dalam pada itu, sisi imaginaire pada kehidupan kaum muslim nyaris punah. Sisi ini menampak dalam tradisi masyarakat, pada budaya yang tumbuh berdasarkan loka berasal, imajinasi sosial yg dalam sejarah berlangsung impulsif, yang memungkinkan keluarnya aneka ekspresi (tidak melulu keagamaan) otentik di tengah warga muslim. Oleh ekspresi dominan logosentrisme, semua itu sekarang terancam. “Gerakan modernis” dan kian formalistisnya ibadah (selain fenomena urbanisasi) telah mengikis sisi yang kaya itu. Dan umat Islam pun, istilah Arkoun, kian terdorong ke arah uniformitas pada cara serta isi mereka herbi Allah Swt. 

Di sini, kepentingan kita ialah mengembalikan kekayaan sisi imaginaere itu. Dalam konteks revitalisasi khazanah tradisi di tengah harapan pembumian Islam di Indonesia melalui proses pembacaan-penafsiran (ulang) risalah Muhammad saw itu menarik bila menengok hermeneutik dalam arti menjadi sebuah metode epistemologis sekaligus sebagai suatu pencarian ontologis penafsir. Penggunaannya diharapkan sanggup mengantar umat Islam yg berlatar budaya-tradisi beda menemukan “otentisitas” Islamnya masing-masing.

Melalui Etnohermeneutik
Hermeneutik dalam prinsipnya merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yg bertujuan menjelaskan teks mulai dari karakteristik-cirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata serta bermacam variasi historisnya) juga subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks buku kudus (sacred scripture). Pengenaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud menggunakan exegesis atau tafsîr dalam khazanah Islam. 

Membawa hermeneutik ke pada perihal tafsir di Islam pada banyak hal boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tak hanya dalam disiplin ‘ulûm al-Qur’ân akan tetapi juga ‘ulûm al-Hadîts. Mengusik, karena karena tradisi pemikiran Islam klasik (jua modern) pada umumnya menggeliat dalam bayang-bayang hegemonik teks. Ini merupakan konsekuensi logis menurut penekanan aspek sakralitas yang berlebihan terhadap teks-teks ajaran Islam (al-Qur’an, hadits). Bahkan, animo mistifikasi itu pula melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-kentara sekedar pemahaman atas ajaran (taqdîs al-afkâr al-dîniyyah) dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsir yg ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak pencerahan “membaca Islam” yg terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Adapun gagasan apa yang disebut di sini menjadi tafsir lokal membangun paradigmanya berdasar tawaran hermeneutik itu dan beranjak menggunakan kerangka etnohermeneutik menjadi basis tolaknya.

Sandaran Ontologis. Dalam kerangka hermeneutik, teks-teks kudus yang tercetak (mushhaf al-Qur’an, misalnya) sebagai disembodied serta terdekontekstualisasi karena segera bisa dipisahkan menurut konteks aslinya. Teks-teks tertulis menggunakan sendirinya menunjukkan tingginya dekontekstualisasi semenjak teks-teks tertulis itu tanggal berdasarkan pengarangnya. Terdekontekstualisasinya teks, atau diklaim juga intertekstualitas, secara signifikan memberi kekuasaan yg jauh lebih menguniversal pada istilah-istilah tertulis. Gagasan atau pesan-pesan yg diungkapkan pada teks tertulis tidak lagi terikat secara bertenaga menggunakan konteks pengarangnya, karena makna yg ditemukan pembaca/penafsir pada pada teks dalam dasarnya jua merupakan produk atau tafsiran dari penafsir teks itu sendiri. 

Teks, dalam pada itu, otonom (lihat, Gambar ). Tidak terdapat lagi dialektika antara teks serta pengarang atau antara pengarang dan penafsir via teks, kecuali antara teks dan penafsir. Dialog yang memperkaya hanya mungkin terjadi antara teks dan penafsir―di mana teks bisa memberi respon sejauh bila, secara hermeneutis, penafsir bersikap terbuka terhadap respons teks. Maka, makna yang muncul merupakan hasil negosiasi antara penafsir dan teks serta bukan secara dan-merta ditemukan pada teks itu sendiri. Dus, tahu merupakan suatu peristiwa di mana keduanya, teks serta penafsir, saling memilih. Alhasil, semua kegiatan penafsiran atas teks bersifat kreatif.

Gambar Pola Kaitan Pengarang-Teks-Penafsir

Dengan demikian, anggapan yang memungkinkan terjadinya dialog aktif serta saling memperkaya “pengarang-teks-penafsir” sungguhlah melecehkan akal sehat. Tuntutan rekonstruksi makna teks―seperti digagas Dilthey merupakan mustahil, karena tatkala teks itu dilepas, maka seketika itu pula teks sebagai otonom dengan sendirinya. Karena itu, tidak sama menggunakan Dilthey yang menghendaki penafsir menanggalkan konteks (kekinian) historisnya ketika menafsir, pelibatan dimensi historis kekinian penafsir justru wajib . Meninggalkan dimensi historis saat menafsiri teks selain tidak mungkin pula tidak perlu. Sebab, justru menggunakan dimensi historis yg dimiliki, penafsir akan memperkaya penafsirannya. Interpretasi tidak lalu berarti mengambil makna asli yang diletakkan pengarang ke pada teks bikinannya, namun menampilkan makna baru yang sesuai menggunakan syarat kekinian penafsir. Itulah sebabnya tindak interpretatif, mengutip Gadamer, bukanlah proses mereproduksi makna teks sesuai kehendak pengarang, melainkan benar-benar-sungguh memproduksi makan (baru) yang relevan dengan konteks kekinian penafsir. 

Memproduksi makna baru pada proses menafsirkan teks merupakan suatu kemestian, sebab orang nir dapat menghindar berdasarkan keterkondisian historisnya (historical situatedness), yakni faktisitas ke-ada-annya di dunia. Di sinilah arti krusial tradisi dan berpretensi dalam proses memahami, menafsir teks. Keduanya merupakan hal yang niscaya dalam tindakan menafsir, sebab keduanya merefleksikan keterkondisian historis dan kultural manusia. Proses tahu (understanding) terkondisikan sang tradisi masa lalu serta juga prasangka kekinian oleh penafsir. Kekhususan situasi ini menciptakan konsep penafsiran yang objektif dan bebas nilai sebagai problematis, karenanya tidak mungkin mengingat prasangka yg asal menurut sejarah afektif penafsir menyediakan kerangka pikir yg memfasilitasi pemahaman. Dalam setiap aktivitas menafsir, berpretensi itu pasti hadir. Orang tidak mungkin memahami sesuatu tanpa menghubungkannya menggunakan “ke-ada-an dirinya sendiri pada dunia”. Tak ada kemungkinan meta-narasi terhadap empiris yang bisa diterapkan secara universal. 

Pendek kata, adalah tidak mungkin pembacaan-penafsiran teks membuat tafsiran (baca: “kebenaran”) yg definitif, objektif, serta univokal. Dalam menafsir, seorang pasti melibatkan proyeksi nilai, agenda, dan kepentingannya ke dalam teks. Penafsiran yang baik, merujuk Gadamer, merupakan penafsiran yang membentuk suatu “fusi dari horison-horison”; penafsiran yg berlangsung secara dialogis menuju suatu tingkat persetujuan-kesepakatan antara horison makna yg disediakan teks (misalnya yang disediakan oleh keadaan pada mana teks itu diproduksi) dan yang disediakan sang penafsir.

Secara holistik, peran penting horison (tradisi, prasangka, serta keterkondisian historis) penafsir dalam setiap proses penafsiran memungkinkan gagasan tafsir lokal ini absah secara ontologis. Ia, pada level pertama, memungkinkan terlukarnya Islam menurut aroma partikular-Arabnya (juz’iyât) sampai yg tinggal dimensi universal (kulliyât; spirit moral)-nya buat lalu menggumulkannya menggunakan realitas kultural non-Arab demi terbangunnya apa yg disebut Islam citarasa lokal.

Apa yang hendak digagas di sini menjadi pola tafsir bergaya lokal dimulai menggunakan pencerahan terhadap watak eksistensi penafsir pada mana horison penafsir bersifat niscaya keterlibatannya dalam setiap tindak penafsiran. Betapa pentingnya keterlibatan horison dalam menafsir itu semakin menemui kebermaknaannya dan bentuk aktualnya dalam keliru satu varian hermeneutik terkini, ethnohermeneutics. Tanpa prasangka mencari preseden di luar tradisi tafsir global Islam, penyinggungan etnohermeneutik di sini dipentingkan sebagai titik tolak pencarian dan peneguhan awal basis epistemologis berdasarkan gagasan tafsir gaya lokal yang coba dipancangkan.

Hal menarik berdasarkan etnohermeneutik adalah karakteristik utamanya, yakni seluruh penerapan metode hermeneutis musti berorientasi dalam receptor, penerima. Pengalihan orientasi ini berangkat dari satu postulate bahwa tak ada satu pun metode tafsir yang benar-benar universal, yg berlaku sama cocok pada semua konteks budaya pada mana pesan-pesan teks ajaran hendak dibumikan. Maka, penafsiran teks yg dilakukan dalam konteks lintas-budaya, pada kerangka etnohermeneutik, sejauh mungkin wajib menerapkan metode-metode hermeneutis bergerak maju yg sudah berfungsi pada kebudayaan dimaksud. Tujuannya untuk menafsirkan teks-teks ajaran dengan cara-cara yg paling dipahami sehingga melahirkan produk-produk tafsiran yg paling adaptable dengan budaya receptor. 

Ethnohermeneutics bermaksud menafsirkan firman Tuhan dengan cara-cara yang paling dipahami menurut pada weltanschauung masyarakat penerimanya. Tersebab itu pencarian pola metodis penafsiran yg berorientasi pada penerima menggunakan latar budaya masing-masing yg berlainan sebagai komitmen primer menurut pengetengahan etnohermeneutik. Di sini tampak implisit perlunya dilakukan kontekstualisasi teks pada ruang dan ketika receptor.

Kontekstualisai yg dituntut etnohermeneutik merupakan apa yg dianggap “kontektualisasi taraf pada” (deep level contextualization), yang dengannya dibutuhkan membuat suatu pesan kitab suci yg digali menggunakan orientasi kebudayaan penafsir atau penerima pesan. Kontekstualisasi tingkat-pada tidak sekedar berkait menggunakan suatu produk akhir penafsiran yg secara budaya layak, tteapi jua dengan cara-cara pencapaian produk final tadi yang secara budaya layak jua. Kontekstualisasi yg baik merupakan sebuah paket menyeluruh; ia bersikap peka terhadap segenap aspek suatu kebudayaan, termasuk metode-metode hermeneutis yg boleh jadi timbul dari kebudayaan tersebut. Bertolak dari status ontologis, pola orientasi, dan kontekstualisasi yang ditawarkan etnohermeneutik sebagai basis awal inilah gagasan tafsir lokal menyusun kerangka epistemologisnya.

Rangka Epistemologis. Dari penyandaran ontologis pada hermeneutik Gadamer dan penitik-tolakan pada etnohermeneutik, kesan awal yg ada menurut gagasan tafsir lokal boleh jadi “merisaukan.” Jujur, pilihan sedemikian―kemana pandangan baru tafsir lokal hendak diarahkan memang bisa mengundang problem. Dalam hubungan ini “kerisauan hermeneutis” Nasr Hamid Abu-Zayd bisa dipahami. Menurutnya, filsafat hermeneutik pada masa ini memberikan tekanan kelewat besar pada kiprah (horison) penafsir pada memahami, menentukan signifikansi dan makna teks sampai kerapkali eksistensi teks dikorbankan demi kepentingan efektivitas interpretasi. Anggapan yang lalu mengedepan, sambungnya, artinya bahwa kegiatan penafsiran hanya menarik teks ke horison penafsir.

Tanpa mengurangi spirit ontologis hermeneutik Gadamer sembari tetap memperhatikan wanti-wanti Abu-Zayd, gagasan tafsir lokal membangun akal epistemologisnya dalam suatu gerak hermeneutik melingkar (lihat Gambar 2). Seluruh proses diretas menggunakan bertolak dari realitas yg dialami, yang dihadapi yg berada di “alas struktur” (mendasar structure?). Melalui cara mengalami yg baru, kaya, dan mendalam, proses termin pertama dilakukan dengan merumuskan empiris dimaksud. Bagaimana wujud output perumusan empiris akan sangat tergantung pada kaya-mendalam tidaknya cara mengalami. Gerak melingkar ini sekurangnya menegaskan keterlibatan atau kedekatan penafsir menggunakan konteks empiris sebagai kondisi mesti.

Gambar Lingkar Hermeneutik Tafsir Lokal

Selanjutnya realitas yang telah terumuskan dihadapkan, tepatnya didialogkan, menggunakan teks-teks suci (Qur’an, hadits) yg bertempat pada “puncak struktur” (superstruktur). Tentu pendialogan ini menggunakan pada ketika yg sama menghiraukan the world of the text, global teks (konteks menurut keberadaan teks). Pendialogan ini secara eksklusif ataupun nir akan menjalankan suatu proses pemetaan kategoris atas teks-teks (tafsir mawdlû‘i?) dalam hubungannya dengan empiris yang sudah dirumuskan. Dari situ mobilitas melingkar hermeneutis diteruskan pada termin pelangsungan interpretasi (tafsîr, ta’wîl) atas teks-teks yg sudah terpetakan sejalan menggunakan konteks kekinian dari realitas yang dirumuskan.

Pada tahap kedua tadi, interpretasi terhadap teks-teks terkait dilakukan menggunakan prosedur hermeneutis regresif-progresif. Gerak regresif menegaskan suatu pembalikan terus-menerus ke masa kemudian. Bukan buat memproyeksikan kebutuhan dan tuntutan kekinian atas dasar teks-teks kudus itu, melainkan buat menemukan prosedur serta faktor-faktor historis yg melatari lahirnya teks-teks tersebut serta memberinya fungsi-fungsi. Dalam hal ini proses pemunculan teks (pewahyuan Qur’an) pada pada konteks kemasyarakatan dikaji serta maknanya dalam konteks masa lalu yg khas dipahami. Namun, proses pemahaman itu dijalankan di dalam sebuah konteks personal serta sosial kekinian, yakni konteks realitas yg telah dirumuskan tadi. Inilah proses mobilitas progresif. 

Jadi lantaran teks-teks kudus itu merupakan bagian integral berdasarkan bukti diri muslim dan aktif pada pada sistem ideologis mereka, maka beliau wajib dibuat bekerja pulang supaya memperoleh balik makna pada masa ini serta kontekstualnya. Proses ganda regresif-progresif antara teks dengan konteks sosio-historisnya serta konteks umat Islam dengan konteks realitas kekiniannya dianggap menjadi keperluan buat memperoleh suatu pengertian dan makna yg sejalan menggunakan tuntutan-tuntutan empiris sosial kekinian penafsir (umat) itu sendiri. Dengan memproyeksikan interpretasi teks terhadap realitas akan otomatis melahirkan cara baru memahami serta menyikapi empiris teralami secara kreatif-responsif. Ini mengindikasikan gerak melingkarnya tidak mengenal finalitas, terus berlangsung menuju pengayaan yang tiada henti dalam setiap proses hermeneutisnya. Alhasil, gerak hermeneutik yg dilangsungkan secara holistik memiliki dua dimensi, yakni objektif (teks) serta subjektif (konteks empiris yg dirumuskan).

Prosedur regresif-progresif pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis tekstual-kontekstual (textual and contextual analysis) terhadap teks dan konteks sekaligus (lihat, Gambar tiga). Penerapan model analisis ini merupakan wujud konkrit menurut pelangsungan prosedur regresif-progresif. Karena itu ia adalah bagian tak terberai menurut proses hermeneutis melingkar pada atas.

Gambar Analisis Tekstual-Kontekstual

Proses analisis dimaksud bertolak menurut pencerahan akan teks suci (wahyu: al-Qur’an atau hadits) dan keterikatannya dalam konteks (sejarah, bagian berdasarkan global teks). Hubungan antarkeduanya―sebagaimana ditunjukkan dengan garis timbal-kembali terputus dalam gambar―mengindikasikan terdapat-tidaknya interaksi dialektis dalam keduanya (yakni sejarah yg terkait langsung menggunakan kehadiran teks, yg terakomodir; dalam tradisi ‘ulûm al-Qur’ân lebih kurang semau menggunakan asbâb al-nuzûl). Kemudian dilakukan teoretisasi dari serta berdasar teks maupun konteks sejarah tersebut buat menciptakan suatu kerangka teori (theoretical framework) yang umum (general theory). Penderivasian teoretis menurut keduanya adalah langkah pertama analisis. Di termin inilah analisis tekstual secara kritis dilakukan.

Selanjutnya, langkah ke 2, menghadapkan kerangka teori yg telah terbangun menggunakan teori sosial. Ini adalah awal dari proses analisis kontekstual. Teori-teori sosial yang ada dipilah serta dipilih buat digunakan melihat serta tahu empiris sosial (kekinian) kemana proses kontekstualisasi nanti hendak dilakukan. Setelah itu, langkah ketiga, pada rangka tahu secara kritis empiris sosial, penggunaan teori sosial diarahkan pada penyodoran suatu hipotesis. Bertolak menurut ajuan hipotesis, selanjutnya penafsir mengamati, melibatkan diri dalam realitas sosial (kekinian) buat lalu berdasar donasi teori-teori sosial terpilih merumuskan empiris kekinian dimaksud secara baru, kaya, dan mendalam. Di sini, output perumusan mampu saja meneguhkan hipotesis (dan suatu teori sosial) atau meruntuhkannya.

Atas output pembacaan kritis terhadap empiris yg dihadapi-alami itu seterusnya dilakukan upaya confirm kepada kerangka teoretis yang sudah disusun berdasar afiksasi teks dan konteks sejarahnya. Berdasar itu kemudian dilakukan teoretisasi baru berdasar konteks kekinian. Di sinilah zenit proses kontekstualisasi teks dan konteks sejarahnya ke konteks hari ini (empiris terhadapi). Dalam kerangka lingkar hermeneutik, proses analisis tekstual-kontekstual ini terus berlangsung tanpa batas finalitas. Dari teks menuju konteks (kekinian), pulang ke teks, untuk lalu dibumikan pulang (dikontekstualisasi) ke konteks. Dengan ini diharapkan akan selalu terdapat bentuk penyikapan realitas yang lebih baru, kaya, serta mendalam berdasar hasil interpretasi kontekstual atas teks yang baru, kaya serta mendalam jua. 

Secara keseluruhan, proses tekstual-kontekstual itu pasti menenggang segenap anasir budaya yang bersemayam pada diri serta menjadi horison penafsir. Lantaran itulah peran penafsir menggunakan horisonnya sangatlah menentukan. Melalui cara ini maka yang berlangsung sesungguhnya merupakan dialektika dinamis manusia menggunakan empiris di satu pihak, dan dialognya dengan teks di pihak lain suatu proses kreatif kemana peradaban dan kebudayaan menumpukan bangunannya. 

Di sisi lain, pola analisis sedemikian dalam dasarnya tengah berupaya menjadikan teks-teks ajaran relevan dan menuai signifikansinya buat masa kini , sebagaimana teks-teks tersebut pernah relevan serta memberi arti pada konteks kesejarahan aslinya dulu, Makkah serta Madinah. Dengan begitu, eksistensi teks tidaklah terkorbankan sebagaimana dicemaskan Abu-Zayd tetapi pada saat berbarengan penafsir juga tidak berada di bawah bayang-bayang hegemonik teks. Dialektika yang berlangsung tidak saling menegasikan, namun saling memperkaya antara teks serta penafsir. Keduanya berada pada interaksi dialektik yg seimbang: penafsir memberi makna atas teks lewat tindak interpretatifnya serta teks sanggup memberi respons sepanjang secara hermeneutis penafsir membuka diri. 

Melalui pola paradigmatik tafsir semacam itu, gagasan tafsir lokal tidak hanya memfokuskan komitmennya dalam gairah melokalkan ajaran-ajaran Islam simbolik yang terikat oleh ruang-ketika historis Arab kala itu, misalnya bacaan al-Qur’an, jilbab, atau simbol-simbol superfisial lain sejenisnya. Lebih jauh dari itu menera ulang jargon “congkak”, shâlih li kulli zamân wa makân, supaya realistis dan manusiawi menggunakan jalan memetakan sekaligus melakukan redefinisi, reformulasi, reformasi, rekonstruksi, atau bahkan dekonstruksi beberapa ajaran partikular Islam yg karena konteks jaman yg berubah tidak lagi berlaku, seperti soal waris yg diskriminatif, persaksian serta kepemimpinan perempuan , perbudakan, subordinat non-muslim, serta seterusnya. 

Gagasan tafsir lokal ini dalam dasarnya nir sedang bermaksud mengusung sebuah metode tertentu. Ia bukan terutama dimaksudkan sebagai pedoman metodis-teknis-praktis eksklusif penafsiran teks, namun lebih menjadi sebuah tawaran paradigmatik, sebuah kerangka berpikir pembacaan-penafsiran yang dalam banyak hal berupaya menggeser kerangka berpikir (shifting paradigm) tafsîr klasik yg umumnya berorientasi ke teks. Artinya, teknis penafsiran bisa contoh apa saja; mawdlu‘î, tahlîlî atau tajzi’î, atau gaya ensiklopedis, atau apalah― asalkan secara paradigmatik dia meniscayakan kontekstualisasi di mana teks dalam akhirnya harus diabdikan pada konteks realitas melalui gerak regresif-progresif, sehingga output tafsiran mesti diproyeksikan dalam kepentingan sosial-budaya receptor.

Sebegitu, tak terdapat kecurigaan dalam akal secara berlebihan, tidak terdapat pendewaan teks, tak terdapat penafian atau apalagi penegasian horison intelektual yg terbangun berdasarkan kearifan lokal. Paradigma yang dikembangkan mendudukkan manusia (yg otonom dengan keunikan horison budaya masing-masing) menjadi sentra. Sebagai penafsir atau pembaca, mereka adalah pemakna otonom terhadap konteks, sementara teks mengabdi pada konteks terumuskan itu. Lantaran itu nir boleh ada monopoli kebenaran, lantaran makna teks terlalu kaya buat direduksi sebagai satu kebenaran serta dimonopoli oleh suatu budaya lebih banyak didominasi (Arab); Allah swt terlalu besar buat diwakili hanya sang satu penafsiran belaka.

Simpulnya, sebagai sebuah paradigma, tafsir lokal adalah sebuah pola tafsir yg melibatkan secara terutama seluruh anasir tradisi-lokal dalam penafsiran teks-teks kudus Islam (Qur’an atau hadits), termasuk dalam hal ini kitab -kitab klasik. Tafsir ini mencoba menafsir Islam dengan melibatkan, misalnya, khazanah tradisi Madura buat melahirkan Islam yg cocok bagi orang Madura dan mereka permanen sebagai oreng Madura. Orang-orang suku Asmat atau Dani pada pedalaman Papua permanen dapat sebagai muslim yang shâlih tanpa wajib membuang koteka atau rumbai mereka serta merubahnya dengan kafiyeh atau jilbab bercadar, karena Islam mengurus aurat dan bukan tetek-bengek model busana . 

Dengan pola paradigmatik sedemikian gagasan Tuhan yg bernama Islam itu akan terbumikan dalam arti sesungguhya. Masing-masing lokalitas budaya pada mana Islam mengambil tempat persemayaman mempunyai potensi sendiri-sendiri buat mewakili kebenaran Tuhan melalui tradisi mereka masing-masing sebagai titik berangkat. Tawaran tafsir lokal akan membantu kaum muslim menerapkan kebenaran-kebenaran Islam yang mereka rumuskan sendiri berdasar khazanah budaya lokal mereka sendiri pada kehidupan sehari-hari tanpa wajib terikat oleh tuntutan penerapan yang menundukkan diri dalam partikularitas Islam masa kemudian; tanpa bersandar dalam sekian dogma-dogma keagamaan interpretasional membatu bikinan para ulama klasik pada mana mereka sendiri terikat sang konteks Abad pertengahan Hijriyah. Dengan memahami suatu kebudayaan tertentu dan bertolaka darinya, penerapam paradigma tafsir lokal memberi kemungkinan orang-orang muslim lokal buat mengembangkan kontekstualisasi ajaran Islam secara mendalam ke pada kebudayaan mereka sendiri.

Setiap muslim mestilah membentuk hubungan dialogisnya sendiri dengan teks-teks ajaran agamanya berdasar horison budayanya masing-masing. Dengan cara begitu Islam akan selalu mempunyai relevansi dengan setiap kebudayaan yg tidak sinkron dengan kebudayaan Arab loka asalnya. Dan yg lebih penting lagi itu menegaskan suatu penghayatan keberagamaan baru bahwa beragama memang haruslah sahih-benar buat insan, dan bukan buat Allah. Bukankah tafsir pada Islam, mengutip Machasin, dimaknai dengan usaha buat mengetahui apa yang dikehendaki Allah sebatas “kemampuan” manusia?

Islam Citarasa Lokal?
Demikianlah kebenaran Islam sudah terekspresikan dalam banyak sekali warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, istiadat-norma para pemeluknya. Segala ekspresi menggunakan mengikuti kenisbian budaya merupakan sah, karena nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola istiadat tertentu mengutip Ibn ‘Âsyûr, seseorang ulama terkemuka Maghrib sekalipun itu adat budaya loka dilahirkannya Rasul saw, yakni istiadat Arab, tidaklah dapat dipaksakan pada warga lain menurut wilayah lain. Masing-masing lingkungan budaya mempunyai hak buat mengembangkan inti kebenaran Islam dari bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing permanen memiliki kans buat memberi sumbangan kepada Islam serta peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar buat secara kreatif dan produktif memberi kontribusi dalam pengembangan budaya Islam. 

Pergumulan Islam dengan khazanah lokal sebenarnya pasti, automatically. Namun ide “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur sebagai relevan serta permanen krusial buat terus didesakkan karena hubungan simbiosis Islam dan budaya yg saling mengkayakan itu dicoba-negasikan sang kaum modernis-puritanis yg beranjak sistematis dengan slogan “al-ruju‘ ilâ al-Qur’ân wa al-hadîts”. Akibatnya, seperti kita memahami, sungguh menggiriskan. Betapa gerakan buat kembali menghamba pada teks, yg kuat berorientasi ke masa kemudian, itu dalam banyak hal telah menciptakan kajian Islam sebagai sangat tekstual, hitam-putih, mandul, tidak produktif, kering, tidak kaya.

Akan tetapi, gagasan tafsir berorientasi lokal ini nir terutama dimaksudkan sebagai counter-paradigm terhadap gerakan kaum “Islamis” itu. Sekedar berikhtiar menggali sebesar mungkin kebenaran Allah yang me-latent pada teks-teks suci (Qur’an atau hadits) menggunakan menjadikan global manusia (horison penafsir, the world of the reader) menggunakan latar budaya masing-masing sebagai orientasi-proyektif primer kebenaran tadi. Karena Allah “tidak memakai pakaian tertentu,” maka kitalah yang (wajib ) memberi-Nya “pakaian” berdasarkan cara serta kecenderungan kita masing-masing mempersepsi hasrat atau “busana ” kesukaan-Nya. 

Kearifan itu akan membuat kita welcomed dengan kenyataan betapa Islam multiwajah. Betapa waktu Islam menjumpai varian-varian kultur lokal, maka yang segera berlangsung adalah proses-proses simbiose yang kurang-lebih sama saling memperkaya. Demikian di aneka macam belahan, halnya pula di Indonesia. Maka muncullah banyak sekali varian Islam. Ada Islam-Jawa, Islam-Madura, Islam-Melayu, Islam-Sasak, Islam-Bima, dan seterusnya yang masing-masing mengetengahkan karakter tidak sinkron satu sama lain. Begitu juga, tak cuma Islam-Arab, tapi pula Islam-Iran, Islam-Cina, Islam-Amerika, Islam-Afrika, Islam-India, dan Islam-Indonesia yang muncul menggunakan bangunan kebenarannya sendiri-sendiri.

Bila begitu, dimanakah lalu “Islam yang otentik” itu? Masih adakah (bila ini perlu) Islam yg sungguh-sungguh ala Allah swt kini ? Tidak ada. Itu kalau terma “otentik” dalam “Islam” dimaknai sebagai penunjukan pada “Islam yg sesungguhnya,” yakni Islam yg dikehendaki Allah atau Islam yg benar-sahih berdasarkan Rasulillah Muhammad saw. Namun bila kata otentik atau otentisitas dimaknai sebagai “keunikan” dan “swatantra,” maka dengan segera secara ontologis-epistemologis wangsit “Islam otentik” tersebut justru memilih pada apa yg disebut menjadi Islam-lokal. Dalam pengertian umum, otentik atau otentisitas bermakna sebagai diri sendiri. Unique, tidak sama tidak sinkron dengan yang lain. Otonom pada menentukan, memilah, dan menentukan bentuk-bentuk pemaknaan-penghayatan terhadap kehidupan. Dalam konteks warga , otentisitas itu memestikan mereka merumuskan agendanya (politik, ekonomi, serta sosial) secara beserta yg mencerminkan kekayaan budaya mereka sendiri. Seluruh konstruksi nilai juga kelembagaan wajib sinkron dengan dan karena itu mesti arus dibangun berdasar kebudayaan masyarakat bersangkutan. Ide keotentikan menghendaki pengunggulan budaya menjadi kekuatan primer dalam membangun insan sekaligus inovasi landasan bagi kemencukupan otonomi dalam menjustifikasi keyakinan akan kemampuan mereka dalam memaknai kehidupan.

‘Alâ kulli hâl, menghadirkan Islam (yang ndilalah nge-Arab itu) ke dalam suatu warga lokal bukan dalam pengertian menjadikannya menjadi kebenaran tunggal yang menjajah atau menepikan semua kebenaran lokal yang selama ini “menafasi” mereka. “Pemaksaan” Islam yang Arab ke dalam warga lokal bukan tidak mungkin hanya akan menjerembabkan rakyat ke pada alienasi, keterasingan dalam (ber) agama. Maka satu-satunya jalan sepertinya merupakan menghadirkannya lebih dalam fungsi komplementer, saling melengkapi antara kebenaran bawaan Islam sono dan kebenaran lokal sini. Tanpa proses saling menegasikan, tapi saling mengafirmasi kebenaran (aktual maupun potensial) sampai yg ada adalah kearifan atas kebenaran itu sendiri. Pada gilirannya, yg terhayati di tengah rakyat merupakan Islam yang dekat, yg tidak senjang, yg ramah, yang merangkul... Rasanya kok itu yg dikhidmati jargon bahwa Islam senantiasa “shâlih li kulli zamân wa makân.”

Dalam konteks itulah ilham tafsir berwajah lokal merebahkan niat baiknya: menuntun dalam kearifan memahami aneka kebenaran. Kebenaran tidaklah terutama dipengaruhi apakah dia secara verbal-eksklusif dari menurut Tuhan atau nir. Ia bisa timbul dimana saja sebagaimana Allah pula hadir di mana saja. Allah tidak pernah melempar dadu, tapi kitalah yg mau tidak mau terus bertaruh seputar persepsi-persepsi kita mengenai kebenaran-Nya. “Kebenaran itu,” kata Mohsen Makhmalbaf, pengarah adegan film Iran terkemuka, “laksana cermin yg diberikan Tuhan dan kini telah pecah.” Manusia memungut pecahannya dan tiap orang melihat pantulan pada dalamnya, dan menyangka telah melihat kebenaran. Maka benar-benar repot, jika kemudian ada yg memakai pecahan kaca itu untuk atas nama kebenaran menusuk orang lain yang memegangi pecahan yang lain.

PENDIDIKAN ISLAM DEMOKRATISASI DAN MASYARAKAT MADANI

Pendidikan Islam, Demokratisasi Dan Masyarakat Madani
Masyarakat Madani: Dialog Islam Dan Modernitas Di Indonesia
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan serta Timbalan Perdana Menteri Malaysia) pada ceramah pada Simposium Nasional pada rangka Forum Ilmiah dalam Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan berdasarkan bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang pakar sejarah dan peradaban Islam menurut Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (mudun). Madani berarti pula peradaban, sebagaimana istilah Arab lainnya misalnya hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu dalam hal-hal yg ideal dalam kehidupan.

Konsep warga madani itu lahir sebagai output berdasarkan Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yg selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu menurut Presiden Soeharto dan diketuai sang BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yg menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas menurut peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto buat mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana buat menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut lantaran Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya sebagai presiden pada tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto buat mengurangi tekanan pengaruh menurut mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yg mendirikan berbagai LSM serta gerombolan Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri. 

Mereka berbagi gerakan prodemokrasi menggunakan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan menjadi kaunter terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan buat mengkaunter penguasaan ABRI menjadi penyangga primer keberadaan Orde Baru. ABRI nir hanya memerankan sebagai unsur pertahanan serta keamanan saja namun pula mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya dalam doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik pada forum eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat memilih. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru berubah menjadi menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52).

Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang pula kepala generik ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep warga madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan kerangka berpikir lama yang menekankan dalam stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah nir cocok lagi. 

Munculnya konsep warga madani memperlihatkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan terkini, persisnya mengawinkan ajaran Islam menggunakan konsep civil society yg lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep warga madani nir langsung terbentuk dalam format seperti yg dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani mempunyai rentang saat pembentukan yang sangat panjang menjadi output dari akumulasi pemikiran yg akhirnya membangun profile konsep normatif misalnya yang dikenal kini ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai dampak menurut proses pengaktualisasian yg dinamis menurut konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1).

Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yg mengungkapkan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan berukuran baik atau buruknya perilaku wajib menggunakan merujuk pada insiden yang terdapat pada khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yg lahir di Barat menggunakan warga madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil model menurut data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan menggunakan warga ideal dalam konsep civil society. 

Mereka melakukan penyetaraan itu buat memberitahuakn di satu sisi, Islam memiliki kemampuan buat diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, serta di sisi lain, rakyat kota Madinah adalah proto-type warga idel produk Islam yang bisa dipersandingkan menggunakan rakyat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan sesudah teruji validitasnya dari landasan normatif (nass) berdasarkan asal utama Islam (al-Qur’an serta Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence).

Nabi Muhammad SAW serta Masyarakat Madani 
Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahan civil society menggunakan rakyat madani, lantaran kehidupan warga Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip pada civil society yg lahir pada Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel menggunakan wangsit civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own sah code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: dua). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good. 

Islam yg diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dalam QS dua: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh pada para malaikat bersujud kepada Adam (insan pertama) yang telah diberi kelebihan logika pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut berdasarkan paham humanisme ini, lalu di Barat sebagaimana yg dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat menurut perkiraan bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga wajib diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan kudus”. 

Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seorang pakar sejarah global, melihat bahwa andai saja sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil berdasarkan sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian merupakan umat terbaik yang dilahirkan buat insan, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini sungguh sangat sukses dan mempunyai akibat yg sangat signifikan bagi peradaban, pada antaranya pada bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam datang, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-buat tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India serta ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling sahih serta mereka nir mau menyelidiki ilmu-ilmu lain. Namun nir demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada pada negeri Cina.” Dalam keliru satu ayatnya, Al-Kur’an pula memerintahkan kita buat bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-dzikr dalam ayat itu menjadi al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).

Islam menjadi agama universal tidak mengatur bentuk negara yg terkait oleh konteks ruang dan saat, serta Nabi Muhammad SAW sendiri nir menamakan dirinya sebagai ketua negara Islam, disamping nir melontarkan ise suksesi yg tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam warga Arab, tetapi dia sangat menghormati tradisi serta memperbaharuinya secara bertahap sesuai menggunakan psikologi insan lantaran tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new sah order) tapi buat mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).

Nabi Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep ummat yg menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya serta heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai dalam masa Nabi Muhammad lantaran tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga warga (termasuk mereka yg non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya buat mensistematiskan dan mempermudah pengajaran kepercayaan , akhirnya dapat sebagai pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif pribadi dituduh sebagai bid’ah.

Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yg beredar dalam literatur aturan agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah membuatkan ada 5 agunan dasar (Wahid (1999: 1) menjadi berikut:
(1) keselamatan fisik rakyat rakyat berdasarkan tindakan badani di luar ketentuan aturan, (dua) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan buat berpindah kepercayaan , (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur aturan, dan (5) keselamatan profesi.

Bahkan konsep civil society itu menerima efek menurut pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan kitab karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) serta M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka mengenai kedaulatan (sovereignty), mendapatkan impak berdasarkan pemikiran Islam. Locke ketika sebagai mahasiswa Oxford sangat putus harapan menggunakan disiplinnya, serta lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi mengenai Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke tentang persoalan-dilema mengenai pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu. 

Rousseau dalam Social Contract-nya juga nir tanggal menurut imbas Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yg lalu diteruskan pada buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak tanggal menurut imbas Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94).

Masyarakat Madani pada Indonesia
a. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh serta berkembang dalam rezim Orde Baru yg didirikan dengan perkiraan yang bertolak belakang dengan perkiraan Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas buat mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi terkini yang didukung IMF (International Monetary Fund) serta World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi menjadi wahana bagi warga buat memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yg bersifat sentralistis itu akan memilik impak positif jua dalam lapisan rakyat bawah.

Sejak diangkat menjadi pejabat presiden dalam tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang tidak baik pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membangun Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yg tidak bersifat ideologis dan lebih mementingkan dalam program. Kalau dilihat manfaatnya maka Golkar adalah partai politik karena ikut kompetisi pada pemilu 1971 serta nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 nir tanggal dari peranan militer yang mempunyai jalur komando teritorial dari pusat sampai ke taraf kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama menggunakan aparat birokrasi serta para teknokrat. 

Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik menggunakan melakukan intervensi dalam pemilihan kepala sebagai akibatnya gambaran parpol menjadi menurun di mata warga . Intervensi adalah suatu yang sangat lumrah lantaran kedua partai politik PPP serta PDI mengalami kesulitan pada melakukan konsolidasi aneka macam unsur yang membentuknya. Partai sebagai tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat serta warga sebagai apatis terhadap politik. 

Meskipun pembangunanisme sudah membuat nomor pertumbuhan ekeonomi sebesar homogen-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% dalam periode 1971-1980, tetapi angka kemiskinan masih relatif tinggi, nomor pengangguran semakin tinggi, serta yang tidak kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi serta pelanggaran HAM terus semakin tinggi. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan keuntungannya bahkan merugikan masyarakat. Hal ini ditimbulkan ideologi developmentalisme yg sudah dielaborasi menjadi program-acara pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan masyarakat buat kepentingan kaum borjuis. 

b. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yang mempunyai basis sosial besar yg nisbi mempunyai kemandirian dan kekuatan pada mempresentasikan diri menjadi unsur dari rakyat madani, misalnya Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah menggunakan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit buat melakukan hegemoni pada pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut lantaran mereka memiliki otoritas pada pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh serta organisasi keagamaan ini bahkan lebih akbar daripada partai-partai politik yang ada.

UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi impak ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme serta birokratisasi pada hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakat dan profesi pada wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak mempunyai kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka nir mempunyai kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan.

c. Kelahiran Civil Society
Munculnya wacana civil society pada Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena dalam masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan perihal civil society yang dipahami menjadi warga non-negara serta selalu tampil berhadapan dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan menggunakan perihal civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, tetapi disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.

Kebangkitan perihal civil society dalam NU diawali dengan momentum pulang ke khittah 1926 dalam tahun 1984 yg mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam herbi negara sebagai akibatnya beliau dikenal menjadi grup Islam budaya, yg dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-negara, menjadi dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan menggunakan konsep rakyat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal humanisme, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yg didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (dua) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam menetapkan perkara baik politik maupun agama; serta (tiga) kabar historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seseorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).

Hubungan Masyarakat Madani dan Negara 
Dalam pengembangan konsep rakyat madani para intelektual Muslim membuahkan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak mampu mengintervensi hak-hak individu (biasa dianggap dengan small stateness), namun sangat bertenaga pada bidang aplikasi hukum (Azizi, 2000: 87). 

Kalau kita melihat secara jeli rakyat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga nir sepenuhnya sahih jika kita ingin mewujudkan rakyat madani berati berakibat kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah misalnya yang terjadi pada Amerika. Kesan tersebut timbul karena konsep civil society lahir bersamaan menggunakan konsep negara terkini, yg bertujuan: Pertama, buat menghindari lahirnya negara mutlak yang timbul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, buat mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar menjadi berikut (Gamble, 1988: 47-48): 

…the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. 

Dari penerangan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara terkini mencakup 2 tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait menggunakan tema kedua itu, yaitu;

…how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in terbaru liberalism.

Hegel serta Rousseau memandang negara terbaru lebih menurut sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, karena negara terkini didirikan atas dasar persamaan seluruh warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu beserta, misalnya penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya; melainkan adalah zenit berdasarkan sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56).

Adam Seligman mengemukakan 2 penggunaan istilah civil society menurut sudut konsep sosiologi, yaitu pada strata kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik serta membuat civil society sebagai suatu kenyataan pada global nilai dan agama. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan slogan untuk memperkuat ilham demokrasi yang memiliki delapan ciri (Azizi, 2000: 88-89), yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (lima) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. 

Dari delapan ciri demokrasi yg merupakan tugas negara terkini, maka kita memahami bahwa negara mempunyai tugas buat berbagi masyarakat madani. 

Penggunaan istilah yang kedua berkaitan menggunakan tinjauan filsafat yang menekankan dalam nilai dan kepercayaan , menjadi imbas moralitas Kristen dalam peradaban terbaru. Moral diyakini sangat penting buat mengatur kehidupan berbangsa serta bernegara, walaupun aspek moral itu nir ditransendenkan pada Tuhan, menggunakan alasan misalnya yang diyakini Montesquieu serta Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yg dicermati telah tidak cocok lagi buat dunia terbaru. Mereka yakin kepercayaan hanya berperan menjadi masa transisi antara global mitos serta global modern.

Era Reformasi yg melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, sudah mempopulerkan konsep Masyarakat madanikarena Presiden bersama kabinetnya selalu melontarkan diskursus mengenai konsep itu pada aneka macam kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 lepas 27 Februari 1999 buat menciptakan suatu dengan tugas untuk merumuskan serta mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan buat menggantikan paradigma usang yg menekankan dalam stabilitas dan keamanan yg terbukti telah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 sang tekanan berdasarkan gerakan Reformasi yg sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yg otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society menggunakan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). 

Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure class dari kalangan Islam, dimana beliau duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi lantaran terdapat perantara Habibie yg sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani merupakan keliru satu cara menurut gerombolan ICMI buat merebut pengaruh pada Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani menerima dukungan luas berdasarkan para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka seluruh merasa berkepentingan buat menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi aturan, serta HAM.

Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, tiga Maret 1999) konfiden bahwa pengembangan masyarakat madani memang sanggup membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi rakyat yang belum berpengalaman pada berdemokrasi, pengembangan rakyat madani justru mampu menjadi kendala terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi merupakan distribusi kekuasaan politik menggunakan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan dalam anggaran main. Untuk menghindari hal itu, dibutuhkan pengembangan forum-lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yg efektif, yg menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yg terbuka dan partisipatoris.

Keteganggan pada Indonesia nir hanya dalam tentang politik saja, namun diperparah menggunakan gejala desintegrasi bangsa terutama perkara Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, serta Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong sang dosa rezim Orde Baru yg telah mengabaikan ciri-ciri warga madani seperti pelanggaran HAM, nir tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/mutlak. Sedangkan kerusuhan sosial yg acapkali membawa problem SARA memperlihatkan bahwa masih poly warga yang buta aturan dan politik (menjadi prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.

Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya beliau berusaha membangun kebersamaan pada kehidupan umat beragama, yang nir hanya berdasarkan dalam toleransi model kerukunan (ko-eksistensi) pada Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi berdasarkan dalam aspek saling mengerti (Hidayat serta Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar kepercayaan /antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yg bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yg dibuat dengan tujuan buat memupuk saling pengertian antar kepercayaan . Gus Dur, misalnya gerombolan Tradisionalis lainnya, nir memandang orang berdasarkan kepercayaan akan tetapi lebih pada eksklusif, visi, kesederhanaan serta ketulusannya buat darma pada sesama (Effendi, 1999).

Terpilihnya Gus Dur menjadi presiden sebenarnya menyiratkan sebuah persoalan tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yg dulu sebagai komunitas non-negara serta selalu menjadi kekuatan penyeimbang, sekarang telah menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yg telah dijelaskan dalam bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU wajib memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang nir didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur wajib mendukung terciptanya negara yg demokratis agar memungkinkan berkembangnya rakyat madani, dimana negara hanya berperan menjadi ‘polisi’ yg menjaga kemudian lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).

KEBERHASILAN PENDIDIKAN ISLAM

Keberhasilan Pendidikan Islam 
Pendidikan Islam adalah suatu aktivitas buat menyebarkan semua aspek kepribadian subjek didik yang berjalan seumur hayati. Maka pada hal ini pendidikan harus dilaksanakan secara trylogi pendidikan yaitu pendidikan informal (tempat tinggal tangga), pendidikan formal (disekolah) serta pendidikan non formal (pada warga ). 

H. M. Arifin bahwa pendidikan Islam adalah sebagai bisnis membina serta mengembangkanpribadai manusia berdasarkan aspek-aspek rohaniah serta jasmaniah juga wajib berlangsung secara bertahap oleh lantaran suatu kematangan yg bertitik akhir dalam optimalisasi perkembangan/pertumbuhan.

Omar Muhammad At-Toumy al-Syaebani mengemukakan bahwa pendidikan Islam diartikan menjadi usaha mengganti tingkah laris individu dalam kehidupan pada alam sekitarnya melalui proses kependidikan.

Mohd. Fadil Al-Djamaly menyampaikan bahwa pendidikan Islam merupakan proses yang mengarahkan insan kepada kehidupan yg baik serta mengangkat derajat kemanusiaannya, sinkron menggunakan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya (dampak dari luar). 

Pendapat Mohd. Fadil Al-Djamaly di atas bahwa manusia ketika lahir ke dunia memiliki potensi (fitrah), maka potensi dasar tersebut perlu dikembangkan melalui pendidikan sehingga subjek didik bisa mengaktualisasikan ilmu pada kehidupannya. 

Sebagaimana Allah berfirman dalam surat ar-Rum Ayat 30, yg ialah: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yg sudah menciptakan manusia dari fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yg lurus, namun kebanyakan insan nir mengetahui” (QS. Ar-Ruum: 30).

Islam menegaskan bahwa anak pada dasarnya baik, ketiak dilahirkan dalam fitrah yang suci. Sehingga seseorang bayi, hayati pada alam paradise (kalau meninggal dalam keadaan Islam dianggap eksklusif masuk ke surga ). Dalam perkembangan selanjutnya, dalam kata keagamaan, lantaran kelemahannya sendiri, sang bayi yang tumbuh pelanpelan menjadi dewasa ini kemudian tergoda, lantaran taraikan kehidupan dunia, sehingga sedikit-sedikit ia masuk ke dalam inferno “neraka global” (metafor buat mereka yeng menjauhi diri berdasarkan suara hatinya yg kudus).

Karena dosanya hatinya pun jadi kotor. Kemudian pada suatu keadaan yg disebut penyucian, seorang insan dilatih kembali buat tanggal dari infernonya dari neraka dirinya. Inilah proses kealam purgatorio, alam pembersihan diri, dimana akan dirinya. Inilah proses ke alam purgatorio, alam pembersihan diri, dimana akan terbuka kembali alam kefitrahannya, yg pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dalam kefitrahan ini. Keadaan hati yang ada pada kecermelangannya. Sebenarnya fitrah ini bukanlah sesuatu yg dihasilkan atau diusahakan, namun sesuatu yg ditemukan balik . Itu sebabnya istilah yang dipakai (misalnya misalnya dalam Idul Fitri kita minggu depan) adalah “pulang ke fitrah” yang secara simbolik artinya adalah merayakan kembalinya diri kita kembali kea lam paradise (surge diri) alam kefitrahan manasia (kembali pada kecemerlangan suara hati) asal menurut penciptaannya. 

Dengan kemampuan dasar pada atas Abdul ‘Ala al-Maududi menyatakan insan sudah dibentuk sang Tuhan pada 2 aspek kehidupan pada dua suasana kegiatan yg tidak sinkron. Pertama dia berada pada dalam suasana di mana dirinya secara menyeluruh diatur oleh hukum Tuhannya. Dia sedikitpun tidak dapat beringsut serta tidak dapat menghindari sama sekali dari anggaran Tuhannya. Juga ia tak bisa mengganti dan melangkahinya. 

Dengan istilah lain ia sahih-benar terperangkap pada genggaman hukum alam dan terikat buat mematuhinya. Kedua, manusia telah dianugerahi kemampuan logika serta kecerdasan. Ia bisa berpikir dan menciptakan pertimbangan dangan akalnya buat memilih serta menolak serta merogoh atau membuangnya. Ia juga dapat memeluk agama apa saja, mengikuti cara hayati apa saja, dan membangun kehidupannya sinkron menggunakan ideology yang dipilih. Diapun dapat menciptakan kode tingkah lakunya sendiri atau menerima saja kode-kode yang di buat oleh orang lain. Dia sudah diberi kemampuan “free will” (bebas berkehendak) serta dapat memutuskan arah perbuatannya sendiri.

Herman H. Horne berpendapat pendidikan harus dilihat suatu proses penyesuaian diri insan secara timbale kembali dengan alam sekitar, menggunakan sesama manusia serta dengan watak yg tertinggi dari kosmos.

Brubacher bahwa pendidikan adalah proses timbal kembali menurut tiap eksklusif insan pada rangka penyesuaian dirinya denganalam semesta serta temannya. 

Pendidikan adalah perkembangan yang terorganisasi serta kelengkapan dari semua potensi-potensi insan, moral, intelektual dan jasmani (fisik), sang dan buat kepribadian individunya dan kegunaan yg diperlukan demi menghimpun seluruh aktivitas tersebut bagi tujuan akhir hidupnya. Pendidikan adalah proses dimana potensi-potensi ini (kemampuan kapasitas) manusia yg gampang dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan supaya disempurnakan sang norma yg baik, sang indera atau media yang disusun sedemikian rupa dan dikelola sang manusia buat menolong orang lain atau dirinya untuk mencapai tujuan yg ditetapkan.

Dari pendapat pada atas dapat dijelaskan bahwa setiap jenis pendidikan baik informal, formal dan non informal agar subjek didik terjadi perkembangan kecerdasan baik kecerdasan intelektual, spiritual juga emosional serta jua dapat diaktualisasi sang subjek didik dalam kehidupannya, maka pendidikan serta pengajaran harus diarahkan sinkron dengan tujuan pendidikan Islam. 

Dalam hal ini secara empiris kebanyakan subjek didik belum mengaktualisasikan ilmu-ilmu pengetahuan atau meteri-bahan ajar yang sudah dipelajari secara formal atau non formal. Justru itu pembelajaran tadi belum tercapai tujuan operasional yaitu tujuan mudah yg dicapai malalui sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Dalam pendidikan formal, disebut jua tujuan instruksional yang dikembangkan menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Tujuan Instruksional tadi adalah tujuan pengajaran yang direncanakan pada unit kegiatan pengajaran tertentu. Maka pada hal ini, jika Tujuan Instruksional Umum serta Tujuan Instruksional Khusus belum tercapai, sehingga belum tercapai pula Tujuan Pendidikan Islam. Oleh karenanya tujuan pendidikan Islam yg merupakan kemampuan dan keterampilan yang menuju kepada manusia kamil (manusia paripurna). 

Dari pada atas Burhan Somad bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menciptakan individu bercorak serta berderajat tertinggi dari berukuran Allah yang merupakan tujuan hidup manusia.

Dalam hal ini Allah sudah berfirman dalam surat at-Tin ayat 4-6 yaitu: “Sesungguhnya Kami sudah membentuk manusia dalam bentuk yg sebaikbaiknya, kemudian Kami kembalikan beliau ke derajat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman serta yg mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yg nir putus-putusnya”. 

Dengan demikian pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yg dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu juga sosial buat mengarahkan potensi baik yang sinkron menggunakan fitrahnya melalui proses intelektual serta spiritual berlandasan nilai Islam untuk mencapai kehidupan pada global serta akhirat. Dari pandangan ini, bisa dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar “transfer of knowledge” ataupun “transfer of training”, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata pada atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung menggunakan Tuhan. Dengan demikian, bisa dikatakan pendidikan Islam merupakan suatu kegiatan yang mengarahkan menggunakan sengaja perkembangan seorang sesuai atau sejalan menggunakan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam bisa digambarkan menjadi suatu sistem yang membawa insan kearah kebahagian dunia serta akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia serta akhirat, maka yang harus diperhatikan merupakan “nilai-nilai Islam mengenai insan, hakikat serta sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya pada global ini serta akhirat nanti, hak serta kewajibanny menjadi individu serta anggota rakyat. Semua ini dapat kita jumpai pada Al-Quran serta Hadits. Jadi, bisa dikatakan bahwa konsepsi pendidikan contoh Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya “mencerdaskan” semata (pendidikan intelek, kecerdasan), melainkan sejalan menggunakan konsep Islam mengenai insan dan hakikat eksistensinya. Maka pendidikan Islam menjadi suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam mengenai hakikat eksistensi (eksistensi) insan. Oleh karena itu, pendidikan Islam pula berupaya buat menumbuhkan pemahaman serta kesadaran bahwa insan itu sama di depan Allah dan perbedaannya adalah terletak pada kadar ketakwaan masing-masing insan, menjadi bentuk perbedaan secara kualitiatif. 

1. Hakikat Subjek Didik
Dalam proses pembelajaran subjek didik unsur yg sangat penting di samping pengajar serta fasilitas lainnya, sehingga perlu dibahas terlebih dahulu hakikat daripada subjek didik tersebut. Manusia diciptakan Allah selain sebagai hamba-Nya, pula menjadi penguasa (khalifa) di atas bumi. Selaku hamba serta khalifah manusia telah diberikan kelengkapan kemampuan jasmaniah (fisiologis) serta rohaniah (mental psikologis) yang bisa pada kembang tumbuhkan seoptimal mungkin, sebagai akibatnya sebagai alat yang berdaya guna pada ikhtiar kemanusiaannya buat melaksanakan tugas utama kehidupan di global. 

Manusia diberi hayati sang Allah nir secara outomatis serta langsung, akan tetapi melalui proses panjang yg melibatkan berbagai faktor serta aspek. Ini tidak berarti Allah nir bisa atau tidak kuasa menciptakannya sekaligus. Akan namun justru lantaran terdapat proses itulah maka tercipta dan muncul apa yg diklaim “kehidupan” baik bagi manusia itu sendiri juga bagi makhluk lain yang pula diberi hidup sang Allah, yakni flora serta hewan.

Kehidupan yg demikian merupakan proses hubungan interaktif secara harmonis dan seimbang yang saling menunjang antara insan, alam dan segala isinya utamanya flora dan hewan, pada suatu “tata nilai” juga “tatanan” yang dianggap ekosistem. Tata nilai serta tatanan itulah yang diklaim pula “moral dan etika kehidupan alam” yang acapkali ditentukan oleh paradigm sinamis yg berkembang dalam komunitas warga pada samping imbas ajaran agama yg menjadi sumber wangsit moral serta etika itu. 

Oleh karena itu buat mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar jasmaniah serta rohaniah tadi, pendidikan adalah sarana atau indera yang memilih sampai pada mana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut bisa dicapai.

Berdasarkan pernyataan pada pada usaha pengembangan subjek didik, maka perlu diarahkan materi yang relevan pada pembelajaran, sebagai akibatnya subjek didik bisa menguasai, baik kemampuan kognitif, efektif maupun psychomotorik. Apabila kemampuan terdapat dalam subjek didik, maka tercapailah tujuan intruksional. Dengan tercapai tujuan instruksional maka tercapai pula tujuan pendidikan Islam. 

Demikian jua hakikat subjek didik merupakan menjadi makhluk yg pada perkembangannya selalu dipengaruhi sang unsur heredity (keturunan) dan lingkungan. 

Sebagaimana Nabi SAW bersabda: Artinya: “tiap anak yang dilahirkan membawa fitrah, maka ke 2 orang tuanyalah yang berakibat Yahudi atau Nasrani atau majusi.

Hadits di atas sejak insan lahir telah membawa kemampuankemampuan atau dari hadits tersebut fitrah (potensi). Sedangkan orang tua pada hadits tersebut adalah lingkungan, sebagaimana dimaksud sang para ahli pendidikan, sang karena demikian ke 2 faktor tersebut di atas sangat memilih perkembangan subjek didik pada proses pendidikan.

Pengaruh ini bisa terjadi pada aspek jasmani, logika maupun dalam aspek rohani. Menurut al-Syaibani dampak ini dimulai sejak bayi berupa embrio serta baru berakhir setelaj kematian orang tadi. Justru itu begitu bertenaga dan bercampur aduk rata peranan dari faktor-faktor ini maka sukar sekali buat bisa memilih faktor lebih banyak didominasi yeng berpengaruh yg dalam perkembangan subjek didik dalam pendidikan, akan tetapi pada beberapa hala kita dapat melihat pertumbuhan serta perkembangan yg muncul dalam subjek didik dalam faktor keturunan, misalnya roman muka, mata, rona rambut serta sebagainya. Demikian pula dalam faktor lingkungan depat ditinjau pada pertumbuhan kepribadian serta sosial subjek didik.

Islam sebagai agama yg paripurna telah memberikan pijakan yang kentara tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yg condong pada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar dia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba yg siap menjalankan selebaran yang dibebankan kepadanya sebagai khalifah pada muka bumi, sebagaimana yg tertuang pada firman-Nya yg ialah: “ingatlah saat Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “sesungguhnya Aku hendak membuahkan seseorang khalifah dimuka bumi” mereka menyampaikan “mengapa Engkau hendak menjaikan seseorang (khalifah) di muka bumi, itu orang yang akan menciptakan kerusakan padanya serta menumpahkan darah, padahal Kami Senantiasa bertasbih menggunakan memuji Engkau dan mensucikan Engkau”? Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yg tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Bagarah: 30). 

Selanjutnya Allah berfirman yg artinya: “sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat pada langit, bumi serta gunung-gunung, maka semuanya enggan buat memikul amanat itu serta mereka risi akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya insan itu amat zalim serta amat terbelakang”. (QS. Al-Ahzab: 72). 

Oleh karena itu pendidikan berarti adalah suatu proses membina semua potensi insan menjadi makhluk yg beriman dan bertakwa, berpikir dan berkarya, sehat, kuat serta berketerampilan tinggi buat kemaslahatan diri serta lingkungannya. 

Pendidikan diperlukan tidak hanya focus pada perkara intelektual namun juga emosional serta spiritual. Walaupun kecerdasan intelektual (IQ) mempunyai kedudukan dan posisi yg sangat penting, akan namun tanpa kehadiran kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yg merupakan kecerdasan yg herbi perasaan yang bersumber dalam hati, nir akan optimal serta bermakna. Banyak orang berusaha untuk merubah global, namun sedikit sekali orang terlebih dahulu berusaha merubah dirinya sebagai langsung yang lebih baik dan shaleh. Orang sukses sejati merupakan orang yg terus menerus berusaha membersihakan hati. 

John Locke (1623-1704) filosof Inggris yg terkenal dengan teorinya tabula rasa mengungkapkan bahwa jiwa manusia waktu dilahirkan laksana kertas bersih (istilahnya meja lilin) lalu diisi dengan pengalaman-pengalaman yg diperoleh pada hidupnya, maka pendidikan sangat berpengaruh pada seorang. 

Dalam hal ini, keharusan mendapatkan pendidikan masih ada beberapa aspek antara lain menjadi berikut: 

a. Aspek paedagogis 
Dalam aspek ini para pakar didik memandang insan menjadi animal educandum, yaitu makhluk yang memerlukan pendidikan, sehingga insan menggunakan potensi yang dimilikinya dapat dididik dan dikembangkannya, akan sebagai manusia yang memadai secara fisik, psikis serta mental. 

b. Aspek sosiologis dan cultural 
Menurut ahli sosiologi, pada prinsipnya insan adalah moscius yaitu makhluk yg berwatak atau berkemampuan dasar atau yang mempunyai garizah (naluri) buat hayati bermasyarakat, sebagai makhluk sosial, manusia wajib mempunyai rasa tanggung jawab sosial (social responability) yg diharapkan pada membuatkan interaksi timbal pulang (interelasi) dan saling impak menghipnotis antara sesame anggota warga pada kesatuan hidup mereka, oleh karena demikian insan sosial berkembang, hal ini adalah makhluk yg berkebudayaan, baik moral juga mental. 

c. Aspek Tauhid 
Aspek Tauhid adalah aspek pandangan yang mengakui bahwa insan adalah makhluk yang berketuhanan, karena ketika insan dilahirkan telah mempunyai kemampuan dasar (potensi) yaitu percaya kepada Tuhan. Itulah sebabnya manusia sebagai makhluk yang berketuhanan atau beragama, maka pada dalam jiwa insan terdapat naluri religious atau garizah diniyah (naluri percaya dalam agama). Oleh lantaran demikian untuk mengembangkan insting religious atau garizah diniyah, yaitu melalui proses pendidikan, sebagai akibatnya insan atau subjek didik bisa mengaktualisasi dalam kehidupannya, sebagai inti menurut ajaran Islam yaitu “rahmatal lil ‘alamin” Dalam hal ini Islam menyetujui juga pengaruh lingkungan dalam perkembangan fitrah sebagaimana hadits yg diriwayatkan sang Bukhari di atas, tetapi bukan berarti Islam sebagai perhambaan pada lingkungan. Memang dalam realitasnya lingkungan memegang peranan yang relatif penting dalam pembentukan tingkah laris subjek didik, akan namun bulan satu-satunya faktor yang menentukan, kecuali berat sebelah dalam hakikat manusia, juga tidak menghargai harkat manusia yang pada hakikatnya berpusat pada proses individualitas san sosialitas secara naluriah yg tak mungkin dihindarkan dalam perkembangan hidupnya. Individualitas dan sosialitas insan sebagai makhluk Tuhan, baru terbentuk dengan Integrited bila dilandasi dengan faktor moralitas.

Menurut Immanuel (1724-1804) filosof akbar global (Jerman), mengungkapkan insan nir akan mampu mengendalikan diri sendiri. Manusia mengenali dirinya menurut apa yang tampak (baik secara realitas juga secara bathin). Yang krusial bagi dunia pendidikan menurut Kant adalah bahwa manusia makhluk rasional, insan bebas bertindak menurut alasan moral manusia bertindak bukan buat dirinya sendiri. Jadi tatkala insan akan bertindak beliau meski mempunyai alasan melakukan tindakan itu. Menurut Kant, hal ini dalam fauna tidak. 

Dengan demikian, pemahaman terhadap subjek hakikat subjek didik pada pendidikan Islam adalah sebagai acuan dalam proses pembalajara, supaya tujuan yang sudah ditetapkan dapat tercapai. Hakikat subjek didik ini mencakup ketrampilan unsur jasmani, kecerdasan intelektual yang mutlak diharapkan insan menjadi langkah buat menyebarkan dirinya ke arah kemajuan yang teguh pada Allah, sebagai akibatnya manusia secara langsung bisa mengakui eksistensi Tuhan menjadi zat yg paling mulia. Hal ini sudah termaktub pada surah Al-Ambiya ayat 80 yg berbunyi menjadi berikut: 

Artinya: “Dan sudah kami ajarkan kepada Daud menciptakan baju besi untuk kamu, guna memlihara kamu dalam peperanganmu, maka hendaklah kamu bersyukur (pada Allah).

Demikian pula dalam surat al-Angkabut ayat 43 yang berbunyi menjadi berikut: 
Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat buat manusia dan tiada yg memahaminya kecuali orang-orang yg berilmu Berdasarkan ayat yang pada atas bahwa hakikat subjek manusia sebagai didik memiliki potensi-potensi yang perlu dikembang baik unsur jasmaniyah juga unsur rohaniah. 

2. Tujuan Pendidikan Islam 
Dalam rangka buat mencapai suatu tujuan menurut filsafat pendidikan Islam harus mempunyai suatu proses pendidikan, maka proses tersebut akan berakhir pada tercapainya tujuan akhir pendidikan. Suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan dalam hakikatnya adalah suatu perwujudan berdasarkan nilai-nilai ideal yg terbentuk pada pribadi manusia yang diinginkan. Nilai-nilai ideal itu mensugesti serta mewarnai pola kepribadian insan sehingga membentuk pada prilaku lahiriyah. Oleh lantaran demikian prilaku lahiriyah merupakan cerminan yang memproyeksi nilai-nilai yang telah mengacu di pada jiwa insan menjadi produk berdasarkan proses kependidikan. 

Tujuan pendidikan Islam adalah idealisme (hasrat) yg mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai oleh proses kependidikan yang menurut ajaran Islam secara bertahap. Oleh karenanya tujuan pendidikan Islam adalah merupakan penggambaran nilai-nilai Islam yang hendak diwujukan pada eksklusif manusia menjadi subjek didik yang pada akhirnya proses pendidikan yang disadari atau dijiwai oleh iman dan takwa kepada Allah menjadi sumber kekuasaan mutlak.

Tujuan pendidikan Islam merupakan buat mencapai ekuilibrium pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, nalar pikiran (intelektual), diri manusia yang rasional, perasaan indra. Karena itu, pendidikan hendaknya meliputi pengembangan semua aspek fitrah peserta didik, aspek spiritual, intelektual, khayalan, fisik, ilmiah serta bahasa, baik secara individual juga kolektif serta mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan serta kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan insan terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat insan. Pendidikan, bila dipahami dari pengertiannya maka kita mampu menggolongkan sebagai satu disiplin keilmuan yang berdikari, yaitu ilmu pendidikan. 

Ilmu pendidikan adalah sebuah sistem pengetahuan tentang pendidikan yg diperoleh melalui riset. Riset disajikan dalam bentuk konsep-konsep, maka ilmu pendidikan bisa dibataskan sebagai sistem konsep pendidikan yg dihasilkan melalui riset. Disini kita akan menentukan objek formal ilmu pendidikan yg maha luas, luas terbatas namun jua diartikan sempit. Dalam pengertian maha luas, pendidikan adalah segala situasi dalam hayati yg mensugesti pada pertumbuhan seorang, sanggup berupa pengalaman belajar sepanjang hayati, tidak terbatas pada waktu, loka, bentuk sekolah, jenis lingkungan dan tidak terbatas dalam bentuk kegiatannya. 

Pengertian kemaha-luasna implisit pada tujuan pendidikannya. Dalam pengertian sempit, pendidikan merupakan sekolah atau persekolahan. Pendidikan mampu diartikan impak yg diupayakan dan direkayasa sekolah terhadap siswa agar mempunyai kemampuan sempurna serta kesadaran penuh terhadap hubungan dan tusas-tugas sosial mereka. Dengan istilah lain pendidikan memperliahatkan keterbatasan pada waktu, tempat, bentuk kegiatana serta tujuan dalam proses berlangsungnya pendidikan. Dalam pengertian luas terbatas menaruh alternatif definisi pendidikan, yaitu menggunakan melihat kelemahan berdasarkan definisi pendidikan maha luas yang tidak tegas menggambarkan batas-batas dampak pendidikan serta bukan pendidikan terhadap pertumbuhan individu. Sedangkan kekuatannya terletak dalam menempatkan aktivitas atau pengalaman-pengalaman belajar menjadi inti dalam proses pendisikan yg berlangsung dimanapun dalam lingkungan hidup, baik sekolah juga pada luar sekolah. Selanjutnya kelemahan pada definisi sempit pendidikan, diantaranya terletak pada sangat kuatnya campur tangan pendidikan pada proses pendidikan sebagai akibatnya proses pendidikan lebih adalah kegiatan mengajar daripada kegiatan belajar yg mengandung makna pendidikan terasing menurut kehidupan sehingga lulusannya ditolak oleh masyarakat. Adapun kekuatannya, anatara lain terletak pada bentuk kegiatan pendidikannya yg dilaksanakan secara terprogram serta sistematis. Al-Attas bahwa tujuan pendidikan Islam merupakan insan yang baik terlalu generik.

Sedangkan berdasarkan Marimba menyampaikan bahwa tujuan pendidikan Islam berbentuk orang yg berkepribadian Muslim Al-Abrasyi mengungkapkan tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang berakhlak baik.

Sedang Abdul Fattah tujuan umum pendidikan Islam serta juga merupakan tujuan spesifik pendidikan Islam merupakan mewujud manusia sebagai hamba Allah yaitu beribadah pada Allah tujuan tadi yg dimaksud adalah buat sesame insan atau subjek didik buat dapat beribadah kepada Allah. 

Oleh lantaran demikian, Islam menghendaki agar subjek didik diajarkan agar mampu merealisasikan tujuan hidupnya, sebagaimana Allah telah mencantumkan dalam Al-Quran nur Karim. Tujuan hayati subjek didik (manusia), agar dapat mengabdi kepada Allah, hal ini Allah sudah berfirman dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56, yaitu: 

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin serta insan melainkan agar mereka mengabdi pada-Ku.

Ayat di atas, subjek didik wajib menjalankan perintah AllahSWT menggunakan mengabdi kepada-Nya, yg meliputi semua aspek dan segala yg dilakukan subjek didik baik perkataan, perbuatan, perasaan dan zikir atau fikirnya kepada Allah. 

Maka hal ini subjek didik harus memeriksa aspek-aspek tersebut terlebih dahulu buat tercapai tujuan pendidikan Islam. Maka pada hal ini tujuan pendidikan Islam merupakan cerminan dan realisasi dari perilaku penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik seorang subjek didik ataupun gerombolan juga manusia secara holistik, sebagai hamba Allah yg berserah diri pada Khalidnya, ini merupakan hamba-Nya yg beriman, berilmu pengetahuan serta beramal shaleh.

Sesuai menggunakan firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122, yang berbunyi: 
Artinya: “Dan tidak sepatutnya bagi mukminin itu pulang semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan buat member peringatan kapada kaumnya apabila mereka telah balik kepadanya, agar mereka itu bisa menjaga dirinya”.

Ayat di atas bisa bahwa, maka subjek didik wajib menuntut ilmu pengetahuan, kemudian merealisasikan dalam kehidupan, yg merupakan tujuan hidupnya. Dalam hal ini sinkron dalam konsep filsafat Islam, bahwa tujuan hayati insan atau subjek didik merupakan mencapai perjumpaan pulang dengan Tuhan, dalam hal ini tidak bersifat materi, seperti pulang air hujan ke laut serta secara materi manusia tidak pulang pada Tuhannya, tetapi balik ke dari materi yg menciptakan jasadnya. Maka pertemuaan itu terjadi pada tahapan nafs, yang sepenuhnya bersifat spiritual, lantaran hakikat nafs adalah spiritual, kemudian Allah SWT memanggil balik kepada-Nya dengan sangat latif.

Manusia atau subjek didik dalam hakikatnya adalah mengandung nilai-nilai prilaku insan yg didasari atau dijiwai sang iman serta takwa pada Allah menjadi sumber kekuasaan absolut yang harus ditaati, menjadi perwujudan penyerahan diri secara total kepada Allah. Penyerahan diri tadi adalah perhambaan diri manusia hanya kepada Allah semata-mata. Oleh karena demikian, jika subjek didik sudah bersikap menghambakan diri dalam Allah, berarti subjek didik tadi berada dalam dimensi kehidupan mendapat kebahagian di dunia serta kebahagian akhirat, yang adalah tujuan pendidikan Islam secara Insan Kamil (insan sempurna). Sehingga menggambarkan kepribadian subjek didik yg baik atau kepribadian rabbani. 

Adapun demensi kehidupan yg mengandung nilai ideal islami dapat dikatagorikan ked ala tiga macam yaitu sebgai berikut : 
a. Dimensi yg mengandung nilai yabg menaikkan kesejahteraan hidup manusia di dunia. Dimensi kehidupan ini mendorong kegiatan manusia buat mengelola dan memanfaatkan dunia ini supaya sebagai bakal/sarana bagi kehidupan di akhirat. 
b. Dimensi yang mengandung nilai yg mendorongkan manusia berusaha keras buat meraih kehidupan pada akhirat yang membahagiakan. Dimensi ini menuntut manusia buat tidak terbelenggu oleh rantai kekayaan duniawi atau materi yg dimiliki, tetapi kemelaratan atau kemiskinan dunia harus diberantas, sebab kemelaratan duniawi sanggup sebagai ancaman yg menjerumuskan manusia kepada kukurufan. 
c. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan ( mengintegrasikan ) antara kepentingan hidup duniwi dan ukhrawi. Keseimbangan dan keserasian antara kedua kepentingan hayati ini sebagai daya lepas terhadap impak-dampak negative dari aneka macam gejolak kehidupan yang menarik hati ketenangan hidup insan, baik yg bersiap sepritual , sosial, cultural, ekonomi, maupun ideologis dalam hayati pribadi manusia

Oleh lantaran demikian subjek didik wajib di berikan pembeljaran yang dapat sistimatis serta termotivasi buat merealisasikan idealitas Islami, sebagai akibatnya bisa memadukan atau mengintegrasikan antara kepentingan global serta akhirat, yang mengandung nilai-nilai Islami pada kehidupannya. Maka pada hal ini subjek didik sebagai manusia”rahmatal lil ‘alamin ( insan yang menerima rahamat selurh ala mini ). 

a. Pendidik Dalam Pendidikan Islam 
Pendidik adalah :Guru, guru dalam bahasa arab mu’allim, mu’allimah, ustaz ustazah, sedangkan pada bahasa inggris merupakan teacher”. Jadi pengajar atau pendidik siapa yg bertanggung jawab terhadap perkembangan subjek didik, seperti orang tua (ayah serta mak ), Lantaran orang tua adalah pendidik yg paling pertama serta utama, sebagaiman Allah berfirman dalam Al-Quran at-Tahrim ayat 6 yg berbunyi: 

Artinya: “Hai orang-orang yg beriman peliharalah dirimu dan keluargamu menurut ancaman neraka…” 

Berdasarkan ayat pada atas “dirimu” adalah orang tua (ayah serta mak ), sebagai anggota keluarga yang mempunyai kewajiban tanggung jawab terhadap anak-anaknya yaitu dalam mendidik dan memberikan pengetahuan secara murni serta konsukuen, sebagai akibatnya tercapai tujuan yg pada harapkan. Maka dalam hal ini orang tua merupakan menjadi tugas yang paling pertama dan utama pada tempat tinggal tngga ( Al baitu madrasatul ula ). Akan namun oaring tua nir mampu mendidik anak-anak pada sebakan lantaran perkembangan ilmu pengetahuan, keterampilan, perilaku dan kebutuhan pendidikan lainnya, maka pada antarkan ke sekolah formal atau non formal lainnya. Oleh karena demikian pendidik pada pandangan Islam merupakan mengupayakan perkembangan seluruh potensi subjek didik, baik potensi kognitif, efektifmaupun psykomotorik, yg harus di kembangkan secara seimbang sampai ke tingkat tinggi Mengajarkan subjek didikdari ketidak tahuan menjadi manusia yg berilmu dan berpengatuahuan, berakhlak dan berperadaban dalah tanggung jawab pendidik bisa memilih pendidik-pendidik dalam masa lamapau serta jua pendidik-pendidik dalam mas awal islam bagaiman keikhlasan serta rasa tanggung jawab moral mareka umt sehingga menghabiskan saat bertahun-tahun buat mencerdaskan umat tanpa mengharap pembalasandari manusia. 

Pendidik merupakan orang yang mempunyai komitmen terhadap tuntutan agamanya. Berbicara benar serta jujur, mempunyai semangat belajar ( mencari ilmu ) yang tinggi bagi mencapai ilmu yg poly dan memperluas cakrawala pemikiran sebagai akibatnya menjadi loka bertana insan lain selama hidupnya. Pendidik merupakan orang dewasa yang bertanggung jawab member bimbingandan bantuan pada anak didik ( subjek didik ) pada perkembangan jasmani dan rohaninya supaya mencapai kedewasaannya, bisa melaksakan tugasnya sebagai makhluk allah yaitu khalifah di bagian atas bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang bisa berdiri sendiri. 

Pendidikan Islam adalah individuyang melaksanakan tindakan mendidik dan berdasarkan tugas-tugas pendidik secara islam dalam satu situasi pandidikan Islam buat mencapai tujuan yg di harapkan. 

Seorang pendidik menjalankan proses belajar mengajar sangat pada perlukan komitmen, karena, pendidik adalah pembangkit motivasi serta penentu arah subjek didik buat mencapai tujuan pendidikan. Keikhlasan, kesetiaan dan tanggung jawab, kesabaran, bersikap adil, mampu menggunakan metode yang bervariasi bertingkah laris rabbani (berakhlak yg baik adalah sifat-sifat seorang pendidik dalam mentranfer ilmu kepada subjek, sehingga member corak serta model subjek didik yang mapu mengembangkan ilmu pengetahuannya pada kehidupannya. Pendidik itu menjadi pemimpin, pendidik, serta instruktur bagi subjek-subjek pada dalam kelas, serta pula sebagai rujukan vagi subjek-subjek serta warga sekitarnya. Dia harus menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak, nilai ilmu, dan bisa mengakibatkan sebagai model teladan bagi subjek dan masyarakat pada mana dia hidup.

Pendidik itu menjadi pemegang jujur mak bapak orang tua atau rakyat, sang karenanya harus cepat serta tanggap terhadap kebutuhan dan cita-cita masyarakat dan bunda bapak subjek. Ia wajib menyadari serta penuh komitmen bahwa tugasnya mendidik, mengajar, serta harus dapat mengikuti perkembangan zaman dan mengembangkan metode mengajar agar tidak membosankan subjek. 

Namun demikian kalau kita telah memiliki komitmen dalam mengajar serta membimbing siswa atau subjek supaya sebagai insan yang berguna dunia serta akhirat. 

Kita pula harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap manhaj kehidupan kita sesuai menggunakan tuntutan Allah serta Rasul-nya. Pendidik perlu menaruh pelajaran kepada subjek didik mengenai komitmententang manhaj Allah pada aqidah, ibadah, etika, kehidupan sosial, yang tinggi pada kehidupan sehari-hari yang bersumber dari Al-Quran serta Sunnah Rasul SAW dan harus selalu dalam manhaj Allah pada berakidah yang sahih, beribadah dan berakhlak seperti akhlak Rasulullah SAW, dalam kehidupan sosial antara seorang muslim menggunakan muslim yang lain adalah bersaudara serta penuhilah hak-hak mareka sebagai saudara kandung. 

Oleh lantaran demikian pendidik harus mempunyai kompetensi baik pengetahuan yang di perlukan buat di berikan kepada subjek didik. Pengetahuan tidak sekedardi ketahui sang pendidik, tetapi jua pada amalkan dan pada yakininya. Juga mempunyai ketrampilan serta nilai-nilai keagamaan yang harus pada berikan kepada subjek didik dalam suatu pembelajaran eksklusif, sebagai akibatnya subjek didik mampu serta memiliki pengetahuan yg cukup, ketrampilan yang memadai dan nilai-nilai keaagamaan yang harus dimiliki, sehingga tercapailah tujuan pembelajarannya. 

Di samping itu pula tugas pendidik merupakan : 
a. Membimbing subjek didik yaitu dengan cara mencari sosialisasi terhadapnya tentang kebutuhan, kesnggupan, bakat, minat dan sebagainya. 
b. Membentuk situasi buat pendidikan yaitu suatu keadaan dimana tindakan pendidikan bisa berlangsung dengan baik serta output yg memuaskan. 
c. Mempunyai pengetahuan yg cukup, supaya pembelajaran dapat di pahami oleh subjek didik, sehingga tercapai tujuan yg di inginkan menggunakan demikian pendidik harus melaksakan tugas-tugasnya dalm proses pembelajaran baik membimbing, menolong, mengevaluasi, kreativitas dan juga memiliki pengetahuan yg tinggi, juga memiliki sifat-sifat pendidik, sebagai akibatnya subjek didik bisa memahami dan mengerti apa yang sudah di jelaskannya dan bisa mengaplikasi dalam kehidupannya. 

b. Metode dlam proses proses pendidikan Islam 
Dalam proses pendidikan Islam, metode memiliki kedudukan yg sangat krusial dalam upaya pencapaian tujuan. Tanpa metode pada suatu pembelajaran terhadap suatu materi nir akan berjalan pembelajaran secara efektif dan efisien. 

Justru itu pada penggunaan metode wajib tepat guna , shingga mengandung nilai-nilai intrinsik ekstrinsik yg relevan dengan materi pembelajaran, maka secara fungsional bisa pada gunakan buat merealisasikan nilai-nilai ideal yg terkandung pada tujuan pendidikan Islam. Antara penggunaan metode dengan materi pembelajaran wajib relevasi ( keterkaitan, karena proses pendidikan Islam mengandung makna internalisasi dan transformasi nilai-nilai islam ke pada langsung subjek didik pada upaya membentuk langsung muslim yang beriman, bertaqwa dan berilmu pengetahuan yang amaliah mengacu pada tuntutan kepercayaan dan tuntutan hidup bermasyarakat jadi metode-metode pembelajaran, contohnya metode ceramah, tnya jawab, demontrasi, diskusi drama, metode karya wisata, metode nasehat, metode ‘iqab, metode karja grup, metode drill, metode Imlak, metode hafalan dan lain-lain. 

Penggunaan metode mengajar sperti yang tadi pada atas relatif poly, hal ini terbukti dalam zaman keemasan Islam perkembangan ilmu pengetahuan yaitu filosoffilosof Islam terkenal seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Maskaweh. Al- Mawardi, ibnu Saina, Al- Ghazali. Ibnu Rusydi, Ibnu Thufail, Ibnu Khaldun dan lain-lain, metodemetode pembelajaran yang dipakai yaitu: metode Halaqah (bulat), metode mendengar, metode mambaca, metode Imla’, metode hafalan, metode pemahaman, metode tandang serta lain-lain. Maka hal ini bisa terlihat bahwa, missal dalam penggunaan metode Halaqah (lingkaran) sangat efektif serta efesien, misalnya dalam membahas suatu topic, seminar dan lain-lain, sebagai akibatnya subjek termotivasi pada proses pembelajaran, sehingga tercapai tujuan yg dibutuhkan. 

Oleh lantaran demikian menjadi galat satu komponen operasional ilmu pendidikan Islam, metode harus mengandung potensi yang bersifat mengarahkan meteri pelajaran pada tujuan pendidikan yang ingin dicapai, melalui proses, baik kelembagaan formal, non formal juga informal, sebagai akibatnya memiliki interaksi serta relevansi yg senada menggunakan tujuan pendidika Islam. 

Dalam hal ini masih ada tiga aspek nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam yg hendak direalisasikan melalui metode yg memiliki interaksi dan relavansi, yaitu: pertama, membangun subjek didik menjadi hamba Allah yang mengabdi pada-Nya. Kedua, bernilai edukatif yg mengacu kepada petunjuk Al-Quran. Ketiga, adalah berkaitan menggunakan motivasi dan kedisiplinan sesuai menggunakan ajaran Al-Quran yg dianggap pahala serta siksa.

Sedangkan berdasarkan ilmu Hasan Langgulung, penggunaan metode pembelajaran merupakan cara buat mencapai tujuan pendidikan Islam, melalui 3 aspek, yaitu: pertama, training karakter subjek didik, yaitu manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, sebagai akibatnya pendidik menggunkan metode-metode yang bervariasi pada pendidikan serta pengajaran dakan perubahan serta perkembangan potensi subjek didik kearah yang lebih baik. Kedua, penggunaan metode yang relevan dengan kondisi dan bahan ajar. Ketiga, yaitu konvoi (motivasi) dan disiplin yaitu ganjaran (Thawab) serta sanksi (‘Iqab).

c. Pendidikan dalam perspektif Pendidikan Islam 
Dalam pendidikan Islam, pendidikan memiliki arti serta yg sangat penting, kerena memiliki tanggung jawab serta menentukan arah pendidikan. Diantara kiprah pendidikan yaitu, sebagai guru, pendamping, fasilitator, motivator, pembimbing, pengarah, sebagai uswah bhasanah (model teladan yg baik) dan lain-lainnya. Oleh lantaran demikian kiprah pendidik sangat penting dalam pendidikan Islam serta menggunakan aneka macam macam cara mentrasfer ilmu pengetahuan kepada subjek didik. Justru itu Islam sangat menghargai orang-orang yg berilmu pengetahuan serta mengangkat derajat mereka dan memuliakan mereka melebihi orang Islam lainnya, yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan serta bukan pendidik. Sebagaimana Allah sudah berfirman pada surat al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi: 

Artinya: “hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan padamu “belapanglapanglah pada majlis”, maka lapangkanlah pasti Allah akan member kelapangan untukmu serta apabila dikatakan “berdirilah kamu” maka berdirilah, pasti Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yg diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat serta Allah Maha Mangetahui apa yg kamu kerjakan”.

Dari ayat di atas bisa dijelaskan bahwa sangatlah keberuntungan yang dimiliki oleh orang yg berilmu pengetahuan atau pendidik yang mengajar ilmunya pada orang lain. Agar pendidik berhasil melaksanakan tugasnya dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini Al-Ghazali manyarankan pendidik wajib memiliki adab yang baik, sehingga subjek didik akan selalu melihat kepadanya sebagai contoh yang wajib selalu diikutinya, Al-Ghazali menyampaikan: “mata siswa selalu tertuju kepadanya, telinganya selalu menganggap baik, berarti baik juga pada sisi mereka serta bila menganggap jelek, berarti buruk pula pada sisi mereka.

Maka dalam hal ini pendidik wajib mempunyai sifat uswatun hasanah dalam kehidupannya sehari-hari baik pada sekolah, pada rumah tangga jua pada masyarkat, sebagai akibatnya subjek didik dapat mencontohkannya. Justru itu materi yg disampaikan bisa diterima oleh subjek didik, lantaran sinkron antara perkataan menggunakan perbuatan. 

Lembaga pendidikan islam 
Dalam proses perkembangan potensi subjek didik, maka lembaga pendidikan merupakan kondisi mutlak menggunakan tugas dan tanggung jawabnya yang cultural edukatif terhadap subjek didik dan pula warga dalam pengembangan pendidikan secara continuo (terus menerus). Dengan demikian forum pendidikan mempunyai tanggung jawab pada bisnis buat pengembangan subjek didik untuk mencapai tujuan hayati, yaitu: 

1. Pembebasan manusia atau subjek didik dari semacam barah neraka sinkron menggunakan perintah Allah, sebagaimana telah berfirman pada surat at-Tahrim ayat 6, yg merupakan “jagalah dirimu dan keluargamu berdasarkan ancaman barah neraka”. 

2. Pembinaan umat insan sebagai hamba Allah yg memiliki keselarasan dan ekuilibrium hidup senang di global serta di akhirat sebagai realisasi dambaan seseorang yang beriman buat mencapai tujuan hayati insan 

3. Membentuk eksklusif subjek didik yang dapat mengembangkan potensi-potensi atau kemampuan yg telah dimiliki, baik kemampuan pengetahuan, kemampuan nilai dan pula kemapuan skill (keterampilan), sebagai akibatnya subjek didik bisa memperhambakan dirinya dalam Allah. 

Dengan demikian bahwa forum-lembaga pendidikan merupakan cerminan dari idealitas umat Islam yang sekaligus dalam taraf eksklusif beliau bisa menjadi perubahan terhadap ketinggalan atau kemunduran idealitas umat Islam. Dalam hal ini forum-lembaga pendidikan Islam menjadi dimisiator (pembangkit) atau mativator terhadap umat Islam, sebagai akibatnya terpancar asal idealitas ajaran Islam yg dianalisa serta dikembangkan oelh lembaga tersebut.

Justru lembaga pendidikan tersebut dapat menyiapkan subjek didik yang unggul, menggunakan kriteria sekurang-kurangnya sebagai berikut: pertama, harus berdedikasi serta berdisiplin yg tinggi, yaitu memiliki rasa darma terhadap tugas serta pekerjaannya. Kedua, manusia unggul harus mempunyai sifat jujur, yaitu dapat bekerja sama (dalam suatu networking) menggunakan orang lain. Ketiga, manusia atau subjek didik yang unggul haruslah inovatif, yaitu ia selalu mengadakan kompetisi, sebagai akibatnya selalu mencari yang lain. Keempat, manusia atau subjek didik unggul wajib tekun, yaitu melaksanakan dan memfokuskan aktivitas yg sedang dihadapi. Kelima, subjek didik yg unggul haruslah ulet , yaitu perilaku tekun yang suatu dedikasi terhadap pekerjaannya dalam mencari yg lebih baik. Keenam, subjek didik ungguk wajib bisa mengendalikan dirinya.

Justru ini buat mencapai keunggulan dan kemajuaan subjek didik secara baik dan sempurna, maka wajib dilaksanakan dan diusahakan, yaitu kedisiplinan yg tinggi, kejujuran, giat, inovatif, dan kreati pada mencari berbagai ilmu pengetahuan yang lebih maju karena akan mengalami perubahan dan tantangan dalam hayati. Dengan demikian lembaga-lembaga pendidikan Islam mengalami tantangan serta hambatannya pada melaksanakan fungsi dan tugasnya.