CARA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

Warga belajar-- sekalian, Pada goresan pena ini dia kita akan membahas tentang bagaimana pemberantasan Korupsi di Indonesia, sejarah dan peranan forum-forum yg dibuat buat menangani perkara pemberantasan korupsi ini. Hingga rakyat belajar sekalian bisa tahu dan mengerti bagaimana cara pemberantasan korupsi tersebut, sesuai menggunakan tata aturan yg berlaku di negera kita Indonesia.

Pengertian Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio menurut istilah kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yg terlibat pada tindakan itu yg secara rancu serta nir legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.(Sumber:id.wikipedia.org)

Dalam UU RI No.30 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi ditegaskan bahwa  pemberantasan nir pidana korupsi adalah serangkaian tindakan buat mencegah serta memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntunan, dan inspeksi pada sidang pengadilan, dengan kiprah dan masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.   
Pemerintah negara kita sejak jaman orde lama sampai kini sudah berupaya melakukan pemberantasan korupsi menggunakan menciptakan berbagai lembaga atau komisi untuk memberantas korupsi pada Indonesia tetapi hasilnya masih belum optimal. Berbagai perkara yang melibatkan banyak sekali orang dan golongan, adalah bukti serta fenomena yg menggambarkan dengan jelas bagaimana praktik korupsi di Indonesia masih merajalela.

Nah rakyat belajar--sekalian, menurut kalian bagaimana sebaiknya cara pemberantasan korupsi itu?, berikan model keliru satu kasus pelanggaran korupsi terbesar di Indonesia!. Untuk bahan analisa dan pembanding silakan kalian baca Modul belajar Pada Materi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia,. Yg sudah di bagikan mulai dalam page 29. 

PENGERTIAN KORUPSI DAN AKIBAT DARI PERILAKU KORUPSI

Cara flexi---Wargabelajar serta murid sekalian, hampir setiap orang bisa mengungkapkan kata korupsi dan memberikan batasan mengenai korupsi menurut pengetahuannya masing-msing. Sebagian akbar orang beropini bahwa korupsi itu menyelewengkan uang negara atau milik pihak lain buat dipakai nir sesuai menggunakan ketentuan yang terdapat dan digunakan untuk laba diri sendiri. Menurut pungkasnya; pengertian Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari istilah kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi juga pegawai negeri, serta pihak lain yg terlibat pada tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak sah menyalahgunakan agama publik yang dikuasakan pada mereka buat menerima keuntungan sepihak.

Untuk detail tentang pengertian korupsi ini kita bisa melihat hal tersebut dalam pengertian korupsi dari pengertian yang terdapat pada dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia.

Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih serta Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjelaskan pada pada pasal-pasalnya menjadi berikut:
  1. penyelenggara negara adalah pejabat negara yg melaksanakan fungsi eksektuf, legislatif dan yudikatif serta pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan menggunakan penyelenggaraan negara sinkron dengan menggunakan ketentuan peraturan perundang-undangan yg berlaku;
  2. penyelenggara negara yang higienis adalah penyelenggara negara yg menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas menurut praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dan perbuatan tercela lainnya;
  3. asas generik pemerintahan negara yg baik merupakan asas yg menjunjung tinggi kebiasaan kesusilaan, kepatuhan dan kebiasaan aturan, buat mewujudkan penyelenggaraan negara yang higienis serta bebas dari kongkalikong , korupsi serta nepotisme;
  4. korupsi adalah tindak pidana yang dilakukan orang secara sengaja melawan aturan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain suatu korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Definisi korupsi yg dipahami umum adalah merugikan negara atau institusi baik secara eksklusif atau tidak pribadi sekaligus memperkaya diri sendiri.
Korupsi dalam dasarnya sangat membahayakan kehidupan suatu bangsa karena menggunakan adanya korupsi yg membawa dampak negati bagi negara dan rakyat pada berbagai bidang kehidupan. Mengapa demikian? Apakah yang dimaksud membawa impak negatif itu? Adapaun akibat-akibat yg terjadi bila para pemimpin negara poly melakukan korupsi dapat digambarkan menjadi berikut :
  1. menghabiskan atau memakan harta kekayaan negara hanya buat kepentingan langsung pemimpin
  2. menjadikan negara miskin
  3. menjadikan negara memiliki banyak hutang luar negeri buat menutupi kekurangan anggaran
  4. hanya akan memperkaya sekelompok orang yg dekat menggunakan pimpinan tersebut
  5. menimbulkan ketidakadilan pada hal pendapatan dan kekayaan.
  6. menimbulkan ketidakpercayaan warga terhadap pemimpin negara
  7. menciptakan rasa putus harapan, kekesalan, kemarahan serta dendam dalam kalangan rakyat yang tidak memperoleh pendapatan yang adil
  8. menciptakan aksi penentangan, permusuhan, kerusuhan serta tindak perusakan terhadap fasilitas negara.
Pejabat negara yg melakukan korupsi bisa diberhentikan, juga dieksekusi oleh pengadilan negara, poly yg terjadi penjabat negara dijatuhi hukuman berat lantaran terbukti terlibat korupsi.

Demikian tentang pengertian korupsi dan akibatnya bila terjadi perilaku korupsi tersebut. Semoga berguna. Terimakasih.

Selanjutnya buat menambah pengetahuan kita mengenai korupsi di Indonesia silakan warga dan anak didik belajar buat membaca tentang pemberatasan korupsi ini pada aneka macam media serta literatur yg terdapat.

PENGEMBANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DAN ISUISU KONTEMPORER ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA

Pengembangan Ilmu Administrasi Publik Dan Isu-Isu Kontemporer Administrasi Negara Di Indonesia
Administrasi Publik memainkan peranan yang krusial datam penyelenggaraan Pemerintahan. Baik buruknya penyetenggaraan pemerintahan dan pelayanan Publik sangat dipengaruhi oleh kuatitas Administrasi Publik yg diiniliki oleh suatu negara. Dalam konteks Negara Kesatuan RePublik Indonesia, keberadaan Administrasi Publik merupakan instrumen krusial buat mewujudkan tujuan-tujuan negara yang termaktub pada UUD 1945 diantaranya buat memajukan kesejahteraaan urnum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dalam teori serta praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa sampai lahirnya ilmu terkini dan Administrasi Publik yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali pergeseran kerangka berpikir, mulai berdasarkan model klasik yg berkembang daam kurun ketika 1855/1887 hingga akhir 1980an; New Public Management (NPM) yg berkembang dälam kurun waktu akhir 1980an sampai pertengahan 1990an; sampai pada Good Governance yg berkembang semenjak pertengahan 1990an hingga saat ini. 

Pergeseran kerangka berpikir Administrasi Publik tersebut, sudah membawa akibat terhadap penyelenggaraan peran Administrasi Publik khususnya terkait dengan pendekatan yg digunakan dalam pembuatan serta pelaksanaan strategi; pengelolaan organisasi secara internal; dan hubungan antara Administrasi Publik dengan politisi, warga dan aktor Lainnya. Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat memilih corak dan ragam pada penyelengaraan Pemerintahan serta sebuah Negara, termasuk Indonesia. Corak dan ragam tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal yang ada pada Negara tersebut, dalam artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tersebut telah beradaptasi dengan perkembangan paradigma yg ada; dan sejauhmana penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan konteks lokal serta konflik yang ada pada Negara tadi. 

Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai dengan bergesernya paradigma dalam Administrasi Publik. Kita mengetahui paling nir ada tiga paradigma yang sudah serta akan sedang berlangsung pada Administrasi Publik; yaltu (1) Classic Public Adininistrastion, (dua) New Public Management, dan (3) Good Governance and the new public services. Perubahan paradigma pada Ilmu Administrasi Publik tadi menuntut perubahan kurikulum dan materi pedagogi pada pendidikan tinggi. 

1. Paradigma Administrasi Publik 
1 .1. Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration) 
a. Konsep yg dipakai 
Dalam pandangan klasik, Administrasi Publik seringkali dipandang sebagai seperangkat Institusi Negara, proses, prosedur, sistem serta struktur organisasi, serta praktek dan periilaku buat mengelola urusan-urusan Publik pada rangka melayani kepentingan Publik (Econoinic and Social Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik dari ESC-UN (2004) bekerja melalui seperangkat aturan menggunakan legitimasi, delegasi, kewenangan rasional sah, keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat serta seksama:, dapat diprediksi, mempunyai standar, integnitas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan kepentingan rakyat generik. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai sebuah instrumen Negara diperlukan buat menyediakan basis fundamental bagi perkembangan manusia dan rasa aman, termasuk pada dalamnya kebebasan individu, proteksi akan kehidupan serta kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi insan, stabilitas, dan resolusi konflik secara damai baik pada mengalokasikan atau mendistribusikan surnberdaya juga dalam hal-hal lalnnya (Econoinic and Social Council UN, 2004). Dengan kata lain, Administrasi Negara yang efektif harus ada untuk menjamin keberlanjutan anggaran aturan (Econoinic and SociaL CounciL UN, 2004). 

Sehigga bisa dikatakan bahwa Administrasi Publik contoh klasik ini cenderung menggunakan pendekatan yang legalistik. 

Studi Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan donasi Woodrow Wilson (1887) pada “A Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan mengungkapkan bahwa harus terdapat pemisahan antara politik serta Administrasi. Politik “who should maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should be administered”. Kajian yang sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) dalam “Politic and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi bebas serta impak politik, meskipun Administrasi membantu dalam hukuman kebijakan/Keputusan politik. 

Paradigma Administrasi Publik model klasik juga dapat dipandang melalui contoh “old chesnuts” menurut Peters (1996 serta 2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis serta terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis serta dari peraturan; penugasan yg permanen serta stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan keluaran yg seragam (lihat pada Oluwu, 2002 serta Frederickson, 2004). Dalam hal ini kharakter Old Public Administration dicirikan oleh aktivitas pemèrintah yang terfokus dalam anugerah pelayanan pada rakyat yg dilakukan oleh administrator Publik yg akuntabel serta bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar primer yang diperjuangkan pada Old Public Administration merupakan efisiensi dan rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan menjadi rencana, organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting. 

b. Kritik terhadap contoh kiasik 
Kritik yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga dikaitkan dengan ciri serta Administrasi Publik yg dipercaya inter Qua, red tape, lamban, tidak sensltif terhadap kebutuhari warga , penggunaan sumberdaya Publik yg sia-sia akibat hanya berfokus dalam proses serta prosedur dibandingkan kepada hasil, sebagai akibatnya dalam akhirnya mengakibatkan munculnya pandangan negatif serta rakyat yang menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Econoinic and SociaL Council UN, 2004). 

Kritik terhadap Administrasi Publik contoh kiasik pula bisa ditinjau pada kaitannya dengan eksistensi konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat setidaknya dua (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian tadi (Prasojo, 2003), yakni: pertama, pada interaksi antara warga serta negara, implementasi birokrasi ditandai menggunakan meningkatnya intensitas perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan; kedua, struktur birokrasi dalam hubungannya dengan rakyat sering dikritisi sebagai` penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus sebagai penyebab jauhnya birokrasi serta warga . Peningkatan intensitas dipercaya memiliki resiko dimana pada akhirnya akan mengakibatkan intervensi negara yg akan menyentuh seluruh aspek kehidupan warga serta pada akhirnya menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai sistem yg tertutup dengan pendekatan hirakis yg top down serta berukuran kinerja yang hanya berbasis dalam efisiensi bukan responsiveness. Itu sebabnya birokrasi sebagai lamban dan kurang responsif dengan perubahan dan kebutuhan warga . Kritik-kritik sebagaimana tadi pada atas kemudian mengakibatkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik. 

2. Gelombang Pertama Pembaharuan: 
2.1. Progressive Era Public Administration (PPA) 
Dalam perkembangan kerangka berpikir Administrasi Publik, di negara-negara industri maju, pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama metiputi du.A gelombang reformasi yang radikat. Gelombang pertama datam Administrasi Publik disebut dengan Progressive Era Public Administration (PPA) (Wallis, DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama perbaharuan ini berupaya menaikkan profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan seleksi serta kenaikan pangkat dalam birokrasi yang berbasis merit dan bukan patronase, berdasarkan pada hukum dan peraturan bukan dalam diskresi yg tidak terbatas, aplikasi pelayanan publik yg berbasis impersonalitas, prosedur modernisasi pada sebuah transformasi yang sangat cepat dan merogoh tempat pada produksi ekonomi negara-negara industri maju (Hood, 1994).

2.dua. New public Management (NPM)
a. Konsep yang digunakan
Dari banyak perkara yg terdapat, NPM dipercaya sudah banyak berbuat buat menggoyang organisasi publik yang tidur serta melayani dirinya sendiri melalui penggunaan inspirasi-wangsit menurut sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan banyak pilihan buat mencoba mencapai biaya yg efektif pada penyampaian barang publik misalnya adanya organisasi yang terpisah buat kebijakan serta implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak serta metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yg kuat terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam bahasa penulis, NPM berusaha buat memperbaiki kinerja organisasi sektor publik menggunakan memakai metode yg biasa digunakan sang sektor privat dan melalui prosedur pasar. Pada dasarnya hal yg baru dalam NPM (what is new public management) merupakan mereformasi kerangka berpikir administrasi publik usang yang berbasis traditional ruled based, authority driven process menggunakan pendekatan baru yg berbasis market-based dan compettition driven based.

Terdapat sejumlah prinsip dasar menurut NPM menurut pendapat dari sejumlah ahli sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 serta Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; dan Borins and Warrington 1996 pada Samaratunge and Bennington, 2002).
  • Penanganan oleh manajemen profesonaL. 
  • Keberadaan baku dan ukuran kinerja. 
  • Penekanan pada pengawasan keluaran serta manajenien wirausaha. 
  • Kompetisi pada pelayanan Publik. 
  • Penekanan dalam gaya sektor privat dalam praktek manajemen. 
  • Penekanan yang lebih akbar pada disiplin dan penghematan. 
  • Penekanan terhadap kiprah serta manajer Publik pada menyediakan pelayanan yg berkualitas tinggi 
  • Mengadvokasi otonoini manajerial menggunakan mengurangi pengawasan peran forum pusat 
  • Tuntutan, pengukuran serta penghargaan terhadap kinerja individu serta organinasi.
  • Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya insan dan teknologi yg diperlukan manajer pada memenuhi target kinerjanya. 
  • Menjaga penerimaan terhadap kompetisi serta wawasan yg terbuka menenai bagaimana tujuan Publik wajib dilaksanakan sang aparat pemerintah. 
Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para pakar Administrasi Publik tersebut pada dasarnya bertujuan buat mencapai ` pada poly hal, Publik seringkati nir ditibatkan buat berpartisipasi pada memilih, meencanakan, mengawasi serta mengevaluasi tindakan-tindakan yg diambiL untuk dapat menjarnin bahwa Publik permanen menjadi sentra dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap warga hanya menjadi konsumen semata menyebabkan warga dijauhkan dan haknya buat berpartisipasi. 

Kritik Lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt rakyat seharusnya melayani masyarakat masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai masyarakat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity). 

C.tiga. Kritik terhadap NPM
Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yg dianggap sebagai kelemahan berdasarkan NPM, misalnya yang dinyatakan oleh Oluwu (2002).

Menurut OLuwu, ketika Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang ditawarkan oleh pendekatan pasar maka perseteruan yang ada ada1ah terkait dengan pernyataan bahwa nir terdapat perbedaan antara manajemen sektor publik dengan sektor privat pada mengimplementasikan NPM. Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka tentang validitas empirik dan NPM pada hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yg dianggap ideal buat sektor publik. Terdapat sejumlah kontradiksi antara klaim datam NPM terhadap syarat yang terdapat pada sektor publik. Model usahawan acapkali bisa mengurangi esensi dan nilai-nilai demokratis misalnya keaditan, peradilan, keterwakitan serta partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya disparitas akbar antara kekuatan pasar menggunakan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini nir selalu dapat memenuhi apa yg menjadi kepentingan publik. Bahkan pada poly hal, publik acapkali nir dilibatkan buat berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil buat bisa menjamin bahwa publik tetap sebagai pusat serta tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap rakyat hanya menjadi konsumen semata menyebabkan masyarakat dijauhkan dan haknya buat berpartisipasi.

Kritik lain dikemukakan oleh Janet Denhardt serta Robert Denhardt dalam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt serta Denhardt warga seharusnya metayani masyarakat rakyat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai rakyat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata lantaran produktivitasnya (value people, not just productivity). 

3. The New Governance: Membangun Jejaring antara Pemerintah dengan Aktor Iainnya 
Pengertian dan good governance bisa dipandang serta pemahaman yg dimiliki baik sang IMF juga World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara buat memperkuat “kerangka kerja institusional serta pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini berdasarkan mereka berarti bagaimana memperkuat anggaran aturan serta prediktibilitas serta imparsialitas dan penegakannya (Bappenas, 2002). Ini jua berarti mencabut akar dan korupsi serta kegiatan-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melal.ui transparansi din aliran warta dan menjamin bahwa keterangan mengenal kebijakan serta kinerja dan institusi pemerintah dikumpulkan serta diberikan kepada warga secara memadai sebagai akibatnya warga dapat memonitor dan mengawasi manajemen serta dana yang berasal. Serta masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian mililiter sejatan menggunakan endapat Bovaird and Loffler (2003) yang rnengatakán bahwa good governance mengusung sejumlah gosip seerti: ketenlibtan stokeholder; cransparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, kepercayaan , serta Lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabititas; serta keberlanjutan. 

Paradigma The New Governance menitikberatkan dalam nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan dan kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang bisa meningkatkan partisipasi rakyat pada pencapain tujuan nasional serta keadilan sosial. Paradigma the new Governance lahir buat memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat di pada Publik sektor menggunakan kiprah masyarakat pada pembangunan serta pelayanan Publik. Karya terakhir yg memperkuat kerangka berpikir the new governance merupakan The New Public Sevices Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt serta Denhardt mengajukan kritik yg keras terhadap paradigma The New Pubtic Management yang dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.

B. ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER
Berdasarkan pembahasan terhadap kerangka berpikir yg berkembang dalam Administrasi Publik, maka masih ada sejumlah info yg dapat dijelaskan sesual menggunakan perkembangan kekinian (Zeitgeist). Isu-info ini krusial buat segera direspons oleh para akademisi dan praktisi administrasi Publik dalam pendidikan tinggi administrasi Publik.

1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang telah mengalami transformasi ke negara maju, reformasi administrasi negara adalah langkah awal dan prioritas pada pembangunan. Administrasi negara sebagai sektor pembangunan (administrative Development) sekaligus menjadi instrumen krusial pembangunan (Development Ac’ininistration). Reformasi administrasi negara pada negara-negara tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran serta fungsi kelembagaan yg sebagai motor penggerak reformasi Administrasi, serta (2) menata balik sistem administrasi negara baik pada hal struktur, proses, asal daya insan (PNS) serta retasi antara negara serta warga .

Isu reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya buat melakukan modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar serta pengataman beberapa negara, maka kunci dari keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara. Sebagai contoh milsalnyaa Korea Selatan yang sudah melakukan reposisi serta revitalisasi peran administrasi negara dari tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan dalam waktu itu merupakan melalui civil servant ethics act dalam tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, dan social purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi serta simplifikasi mekanisme, restrukturisasi pemerintah pusat serta penguatan kiprah komisi reformasi administrasi. Semua bisnis Korea Setatan buat merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional, higienis serta berwibawa, Beberapa gosip dan rencana yg tengah berkembang pada kaitan dengan efonnasi birokrasi adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (dua) Restrukturisasi, downsizing serta iightsizing, perubahan manajemen serta organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi Pemerintahan, (3) Anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, (4) dan interaksi-hubungan baru antara pemerintah dan rakyat datam pembangunn serta pemerintahan. 

Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, berita reformasi birokrasi ini sebagai sangat retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yg belum selesai. Sistem Birokrasi di Indonesia yg menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi perkara yang sangat fundamental. Pertama, menjadi liputan sejarah bangsa sistem administrasi yg kini diterapkan. Merupakan peninggalan pemerintah kotonial. Yang jua memiliki dasar-dasar aturan serta kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yg ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. Masyarakat negara (lihot Thoha: 2003). Tidak mengherankan bila struktur serta proses yang dibangun adalah instrumen buat mengatur serta mengawasi konduite masyarakat, bukan sebaliknya buat mengatur pemerintah pada tugas menaruh pelayanan pada warga . Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tadi adalah buat mempertahankan kekuasaan serta mengontrol perilaku individu. 

Ketidakmampuan pemerintah buat melakukan perubahan struktur, kebiasaan, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tadi sudah menyebabkan gagalnya upaya buat memenuhi aspirasi serta kebutuhan warga . Kualitas dan kinerja birokrasi pada memberikan pelayanan Publik masih jauh dan asa. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik yg berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yg terbentuk adalah obsesi para birokrat serta politisi buat mengakibatkan birokrasi sebagai lahan pemenuhan keinginan dan kekuasaan (power culture). Dalam kultur yang demikian, korups, kolusi serta nepotisme sebagai hal yg umum, sehingga kualitas pelayanan serta pemerintahan. Seringkali terabaikan. 

Dalam kaitan menggunakan reformasi birokrasi pada Indonesia, maka berita-info yang terkait menggunakan menggunakan reformasi birokrasi pada kerangka tecritik serta perbandingan menggunakan negara lain harus sebagai baian yang nir terpisahkan kurikulum. 

Ketiadaan komitmen dan paradigma mengenai kiprah, kedudukan serta fungsi administrasi negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia nir mempunyai visi, kehilangan ruh serta berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, nir adanya kemauan potitik serta pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait serta terintegrasi. 

Ketidakpahaman ini sudah menyebabkan nir saja gagalnya program pembangunan, namun juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan. 

2. Desentralisasi 
Isu lain yg berkembang secara teoritik serta praktek dalam administrasi Publik adalah desentralisasi. Perkembangan informasi desentralisasi ini terkait menggunakan bantuan-donasi negara asing serta lembaga-lembaga donor buat memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang telah .sejak usang bersamaan dengan mengalirnya dana donasi donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada waktu ini informasi tersebut semakin bertenaga serta dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa interaksi antara pemerintah pusat dan pemerintah wilayah adalah sesuatu yg bergerak maju dan tidak berada dalam ruang yang vacum.

Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara pada Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan semenjak kita merdeka, aneka macam gerakan separatis yang ada pada wilayah seperti PRRI serta Pernesta pula sangat terkait menggunakan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tadi merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang hiperbola dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, interaksi antara Pusat dan Daerah mempunyai ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah pada disintegrasi bangsa semakin akbar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan pada MOU Helsinki yg membuat UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut hingga ditemukannya titik ekuilibrium baru antara pusat serta wilayah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto jua memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yg tetah direvisi menggunakan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 bisa dikatakan berhasil. Meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah. 

Desentratisasi yg merupakan refleksi interaksi antara sentra serta daerah terus akan bergulir pada proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan penting buat ikut menentukan konstruksi interaksi sentra dan wilayah pada Indonesia, pula ikut membentuk kapasitas pemerintahan daerah. Lantaran informasi ini bukan berita sesaat tetapi gosip yang terus dan akan berlanjut pada kehidupan berbangsa serta bernegara. Dalam informasi ini terkandung substansi yg sangat luas terutama buat mencipatkan pemerintahan yang efisien serta efektif, jua untuk meriingkatkan proses demokrasi pada taraf lokal.

Hasil penelitian pada lapangan terhadap 14 kabupaten dan kota pula propinsi yg dilakukan penulis menampakan banyaknya ketidaksetaraan politik (political equality) antar banyak sekali stakeholdes dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tadi meliputi rekanan antara ketua wilayah serta DPRD, ketidaksetaraan relasi antara pemerintah daerah serta warga , ketidaksetaraan antara pemerintah wilayah dan pemerintah sentra, antara KPUD, Pemerintah Daerah dan warga pada pelaksanaan pilkada.. Berbagai bentuk ketidaksetaraan tadi telah mengakibatkan sulitnya peningkatan partisipasi warga pada proses-proses pembuatan kebijakan serta keputusan politik serta kontrol atas pengunaan resources pada daerah. Ketidaksetaraan ini mengakibatkan pengaruh berantai berupa sulitnya pencapaian local responsiveness dan local acountability dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini administrasi Publik wajib mengisi kapasitas pemerintahan wilayah buat membangun dan menjalankan pemerintahan. 

3. Kualitas Petayanan Publik 
Isu yg relatif krusial serta menghiasi literatur dalam administrasi Publik merupakan peningkatan kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini menggunakan reformasi birokrasi, tetapi pada pandangan penulis informasi ini mempunyai dimensi aplikasi yang wajib mendapatkan perhatian tersendiri dalam kajian administrasi Publik. Perkembangan paradigma New Public Management sudah memasukkan unsur-unsur serta metode sektor swasta dalam sektor Publik. Hal ini contohnya dapat ditinjau dalam aneka macam literatur yg terkait dengan judul-judul. Buku serta seminar “Performance Management in Public Services, Building Partnership for Public Service, E-government, Public Private Partnership, the New Public Services, Reeinventing Government, Improved Public Service” dan berbagai judul lainnya. 

Berbagai hal yg perlu menerima perhatian dalam peningkatan kualitas pelayanan Publik adalah bagaimana membangun semangat dan jiwa entrepreneurship dalam pemerintahan serta dan perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini dilakukan antara lain melalui rasionalisasi proses dan profesionalisasi kinerja PNS. Metode yang dipergunakan diantaranya melalui Kontrak Kinerja, Privatisasi, Kemitraan Publik serta partikelir, pemanfaatan teknologi fakta serta komunikasi dalam pelayanan Publik. Berbagai strategi pelayanan Publik sudah menjadi alternatif diantaranya dengan apa yg diklaim Market Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual Enabler Authority clan atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control Authority. 

Dalam konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi Covenant Ecosob menjadi jaininan legal pada pemberian pelayanan Publik pada warga . Disamping itu, ketika ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang sebentar lagi akan dibahas pada DPR.

Meskipun demikian, praktek New Public Management yg berupaya untuk mempertinggi kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt and Denhardt, Juga Georger Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan dalam pelayanan Publik. Dimana warga yang berstatus sosial ekonomi rendah acapkali secara mudah terabaikan. Dalam kaitan ini perlu jua kalangan akademisi public administration menaruh formula yang lebih konstektual denqan kondisi Indonesia. 

4. Good Governance 
Sesuai dengan perkembangan kerangka berpikir Good Governance pada Administrasi Publik maka, informasi Governance sebagai kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan upaya buat menciptakan akses partisipasi masyarakat pada pelayanan Publik serta penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan buat menaikkan impak lain berupa akuntabilitas serta transparansi pada pemerintahan, pelayanan dan pembangunan. 

Dalam konteks ini Governance diartikan menjadi suatu hubungan yang interakti. Serta berbasis pertukaran liputan antara banyak sekali pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan juga wajib melibatkan rakyat dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi dilakukan melalui diantaranya apa yang diklaim dengar Citizen’s Charter dan Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi rakyat dalam pelayanan Publik pemerintah wajib memiliki kinerja serta orientasi pemenuhan hak-hal. Sipil warga . Dan melalui mekanisme pengaduan, rakyat bisa mengungkapkan keberatan-keberatan dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menaruh penguatan terhadap kedudukan pemerintah. 

5. Globalisasi serta Iniltenium Development Goals serta ECOSOB 
isu lain yg adalah faktor eksternal adalah menguatnya globalisasi dan regionalisasi. Hal ini diantaranya menyebabkan berkurangnya peran serta otoritas negara dalam pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan-kebijakan yg. Dibuat oleh pemerintah harus memperhatikan covenant, prinsip-prinsip serta kesepakatan internasional lainnya yang sudah diratifikasi. Termasuk dalam hal ini merupakan contohnya perjanjian perdagangan internasional, WTO, perjanjian internasional mengenai pemberantasan korupsi, dan covenant ECOSOB. Perkembangan lainnya merupakan pencanangan millenium Development Goals yg harus dipenuhi sang pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah wajib menaruh penguatan pada masyarakat buat lepas dari kemiskinan struktural yg terjadi. Dengan demikian isi ini jua akan menghipnotis kebijakan-kebijakan yang akan dibuat sang pemerintah. 

6. Kebijakan Publik 
Yang jua sebagai informasi dalam administrasi publik adalah terkait menggunakan proses penyusunan kebijakan Publik yang harus semakin baik serta aman bagi pelayanan, pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal ini terkait menggunakan proses penyusunan kebijakan yg semakin partisipatif dengan banyak sekali pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus sebagai aktor yang aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, informasi ini pula terkait dengan proses potitik yg terjadi di Parlemen pada kaitanya menggunakan Pemerintahan. Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial di Indonesia memberikan tantangan tersendiri dalam kebijakan Publik. Hal ini lantaran sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan politik, proses political merit system yang belum terbangun, dan sistem multi party. Respon administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik pada kebijakan Publik harus semakin rasional dan profesional. 

Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu kirang dikembangkan metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan perangkat lunak-perangkat lunak kebijakan Publik yang dapat merasionalisasi secara kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (misalnya AHP serta System Dynainic) wajib dikuasai pada sang para produsen kebijakan. Termasuk merupakan dominasi metode system thinking serta system dynainic buat memperkuat proses pembuatan keputusan. Perkembangan baru seperti knowledge management wajib menjadi kurikulum pada administrasi Publik. 

7. Hukum Administrasi Negara 
Isu lainnya yang relevan menggunakan kajian administrasi Publik merupakan Hukum Administrasi Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya mempunyai interaksi yang sangat dekat sebagaimana telah sebagai tradisi pada administrasi publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya melakukan reformasi dalam administrasi Publik disebabkan jua oleh lemahnya integrasi antara Administrasi Publik menggunakan Hukum Administrasi Negara. 

Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras Hukum Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi ke 2 dan ketiga di Indonesia kurang memahami konteks hukum administrasi negara. Hal ini berbeda menggunakan ilmuwan administrasi Publik generasi pertama misalnya Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh karena itu, telah saatnya memikirkan pulang perubahan kurikulum administrasi Publik yg berorientasi jua dalam kajian Hukum Administrasi Negara pada kaitannya dengan studi administrasi Publik.

C. NEGARA, PEMERINTAH DA ADMINISTRASI NEGARA 
Administrasi Publik di Indonesia mengalami masalah krusial lantaran sulitnya memisahkan antara negara (Stoat), pemerintah (Regierung) serta Administrasi Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan manunggal sebagai akibatnya sulit rnembedakan secara sahih penggunaan dan fungsi negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara ini kurang mendapatkan perhatian sebagai akibatnya sering pekerjaan administrasi Publik dengan mudah diintervensi sang pemerintah. 

Presiden adalah ketua negara serta kepala pemerintahan, sekaligus ketua administrasi. Tetapi fungsi ini harus dapat dipisahkan dengan baik, lantaran negara adalah bukan hanya pémerintah. Demikian juga pemerintah yg dipilih secara demokratis serta administrasi Publik yg diangkat dan bekerja menurut Undang-undang wajib terdapat pembagian fungsi dan peran yang tegas. Tentu saja pada pengertian yg luas ruang linkup kajian administrasi Publik dapat meliputi negara, pemerintah serta administrasi Publik. Tetapi dalam kehidupan praktek administrasi Publik perlu dipikirkan upaya buat mempertegas garis batas antara negara, pemerintah dan administrasi Publik. Beban berat administrasi Publik buat melaksanakan keputusan-keputusan politik acapkali disebabkan sang tidak tegasnya garis antara negara, pemerintah dan masyarakat. 

TIGA PILAR PENGEMBANGAN WILAYAH SUMBERDAYA ALAM SUMBERDAYA MANUSIA DAN TEKNOLOGI

Tiga Pilar Pengembangan Wilayah : Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi
Tiga tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi peristiwa akbar pada Indonesia mengawali abad yg ditunggu sang semua rakyat global. Gerakan Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian dasyat sebagai akibatnya sanggup menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap telah nir terkenal buat memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan dengan terjadinya gerakan Reformasi marak jua informasi-informasi heroik yg berkaitan menggunakan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih, kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kongkalikong serta nepotisme), pemberdayaan warga , pembangunan berkelanjutan, pembentukan swatantra daerah , serta masih poly gosip-isu lainnya. 

Gerakan Reformasi yang gencar serta luas merupakan akumulasi dari carut-marut pemerintahan yang telah nir sesuai dengan harapan rakyat, ditambah dengan krisis ekonomi yg parah. Akar kekacauan tersebut di atas adalah pemerintah Orde Baru yang dipercaya melaksanakan pemerintahan sentralistik, otoriter serta korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru semakin gencar juga tuntutan rakyat, baik pada tingkat elite sentra juga daerah untuk memberlakukan otonomi daerah secara lebih luas .

Otonomi daerah menjadi suatu sistim pemerintahan di Indonesia yg desentralistis bukan merupakan hal yg baru. Penyelenggaraan otonomi wilayah sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun demikian pada perkembangannya selama ini aplikasi otonomi wilayah belum menampakkan hasil yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung dan pemerintahan Suharto jatuh, ihwal buat mengoptimalkan aplikasi otonomi wilayah terdengar balik gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak buat segera dilaksanakan. Tuntutan rakyat buat mengoptimalkan pelaksanaan swatantra daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga lalu ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan disahkannya ke 2 undang-undang tadi, maka terjadi perubahan paradigma, yaitu menurut pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi wilayah tadi, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif dilaksanakan sesudah 2 tahun semenjak ditetapkannya. Pada masa pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi Daerah mulai diterapkan dalam tanggal 1 Januari 2001 (Riyadi serta Bratakusumah, 2003 : 343). 

I. Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi yg berasal berdasarkan istilah autonomos (bahasa Yunani) mempunyai pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya swatantra wilayah adalah upaya buat mensejahterakan masayarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna swatantra wilayah adalah daerah mempunyai hak , wewenang serta kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sinkron menggunakan peraturan peundang-undangan yg berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 menyebutkan bahwa kewenangan wilayah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dari prakarsa sendiri menurut aspirasi warga sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam swatantra daerah memberikan “roh” pada penyelenggaraan pembangunan wilayah yg lebih participatory. Tanpa upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, swatantra wilayah yang dibutuhkan bisa menaruh perbedaan makna demokratisasi pembangunan wilayah, akan kehilangan makna terpentingnya. 

Otonomi yg luas sebenarnya adalah pembagian terstruktur mengenai menurut desentralisasi secara utuh. Idealnya aplikasi swatantra yang luas harus disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan serta partisipasi rakyat, penggalian potensi serta keanekaragaman wilayah yg difokuskan pada peningkatan ekonomi pada tingkat kabupaten serta kotamadia. 

Implementasi swatantra daerah dapat dilihat berdasarkan bebagai segi yaitu pertama, dipandang menurut segi daerah (teritorial) wajib berorientasi dalam pemberdayaan serta penggalian potensi daerah. Kedua, menurut segi struktur tata pemerintahan berorientasi dalam pemberdayaan pemerintah wilayah dalam mengelola sumber-asal daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab serta memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, menurut segi kemasyarakatan berorientasi dalam pemberdayaan dan pelibatan rakyat pada pembangunan di berbagai daerah sinkron menggunakan kemampuan masing-masing.

Undang-undang dan peraturan mengenai otonomi daerah telah disusun sejak Indonesia merdeka .hal ini menampakan bahwa para pemimpin negara berdasarkan jaman Orde Lama, Orde Baru hingga pemimpin negara ketika ini sudah memikirkan betapa krusial swatantra wilayah mengingat wilayah Indonesia yg demikian luas yg sebagai tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi pada wilayah dalam dasarnya merupakan upaya pemberdayaan pada rangka mengelola pembangunan di wilayahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat menggunakan cara menaikkan kreativitas, mempertinggi inovasi dan menaikkan kemandiriannya. Jika pelaksaan otonomi wilayah sesuai menggunakan peraturan dan perundang-undangan yg sudah disusun, maka harapan indah buat mewujudkan “daerah membentuk“ (bukan “membentuk wilayah”), bisa segera tercapai. Otonomi wilayah memberikan harapan cerah kepada wilayah untuk lebih menaikkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka menaruh efektifitas pelayanan pada masyarakat .hal lain yg tidak kalah krusial adalah wilayah dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta menyebarkan prakarsa masyarakat secara demokratis , sebagai akibatnya sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan syarat serta permasalahan yg terdapat di daerah.

Pada kenyataannya sangat ironis apabila pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru dan hingga ketika ini tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan swatantra wilayah yg tidak mulus adalah karena penyimpangan kepentngan-kepentingan politik penguasa yg menyertai penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung permanen melaksanakan pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara buat memerintah dan berkuasa secara absolut dengan mempolitisir swatantra wilayah menyebabkan otonomi wilayah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu dalam masa pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan buat menerapkan swatantra wilayah pada 26 daerah taraf II menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi nir ada hasilnya.

Penerapan swatantra wilayah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 saat ini masih mencari bentuk, lantaran perilaku pemerintah yg masih “ mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi daerah telah sangat mendesak buat segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi pada lain pihak pemerintah jua berusaha permanen mengendalikan wilayah secara kuat pula. Hal ini terlihat dalam wewenang-kewenangan yang relatif luas yg masih ditangani pemerintah terutama yang sangat potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu wewenang pemerintah yg lain , yg pula dapat mengancam aplikasi swatantra daerah merupakan otoritas pemerintah buat mencabut swatantra yg sudah diberikan kepada wilayah. Selama sekitar empat tahun semenjak dicanangkannya swatantra wilayah pada Indonesia, pemberdayaan daerah yg gencar diperjuangkan dalam kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan pada wilayah kurang memperhatikan kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah dan program-program pembangunan tidak menyertakan rakyat, sebagai akibatnya acara-acara pembangunan di wilayah cenderung masih bersifat top down daripada bottom up planning . 

Ada beberapa hal yg perlu diperhatikan agar swatantra wilayah dapat terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi wilayah harus selalu diletakkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi wilayah adalah suatu subsistem dalam satu sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political will) dari semua pihak misalnya pemerintah sentra, pemerintah daerah serta warga . Kemauan politik menurut semua pihak bisa memperkuat tujuan buat membentuk masyarakat Indonesia secara holistik melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan dapat membendung pemikiran primordial, parsial, etnosentris serta sebagainya. Ketiga, komitmen yg tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat diperlukan supaya aplikasi otonomi daerah bisa tercapai tujuannya .

II. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi wilayah turut mengiringi pula bepergian bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama swatantra wilayah belum sepenuhnya dilaksanakan, lantaran pimpinan negara yang menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap otoriter dan sentralistis dalam melaksanakan pemerintahannya. Demikian juga pada masa pemerintahan Orde Baru menggunakan demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis serta otoriter . Selain itu dalam kedua masa tersebut poly terjadi distorsi kebijakan yg terkait dengan otonomi wilayah. Tentu saja kita belum dapat melihat impak dan imbas dari pelaksanaan otonomi wilayah dalam kedua masa itu, karena dalam kenyataannya swatantra wilayah belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun telah poly Undang-undang serta peraturan yg dibuat untuk melaksanakan otonomi wilayah tadi.

Pada masa Reformasi tuntutan buat melaksanakan swatantra daerah sangat gencar sebagai akibatnya pemerintah secara serius juga menyusun kembali Undang-undang yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui masa transisi dan pengenalan buat melaksanakan kebijakan otonomi wilayah tersebut,maka swatantra wilayah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001, dalam masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4 tahun swatantra daerah diberlakukan, efek yang terlihat adalah muncul dua kelompok rakyat yang tidak selaras pandangan tentang swatantra daerah. Di satu sisi terdapat masyarakat yg pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan swatantra wilayah, mengingat pengalaman-pengalaman aplikasi otonomi daerah pada masa lalu. Kelompok masyarakat ini nir terlalu antusias menaruh dukungan ataupun menuntut program-acara yg telah ditetapkan pada otonomi daerah. Di sisi yg lain terdapat gerombolan rakyat yg sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena kebijakan ini relatif aspiratif dan didukung sang hampir semua wilayah serta semua komponen.

Antusiasme serta tuntutan buat segera melaksanakan swatantra daerah pula berdatangan menurut gerombolan -grup yang secara ekonomis dan politis mempunyai kepentingan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu masyarakat yg masih ditentukan sang euforia reformasi menduga swatantra wilayah merupakan kebebasan tanpa batas buat melaksanakan pemerintahan sinkron dengan asa serta dambaan mereka. Masyarakat dari daerah yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi tidak menikmati hasil-output pembangunan selama ini, menganggap swatantra wilayah memberikan asa cerah buat menaikkan kehidupan mereka. Harapan yg besar pada melaksanakan otonomi daerah telah mengakibatkan wilayah-wilayah saling berlomba untuk menaikan pendapatan asli wilayah (PAD). Berbagai model upaya gencar wilayah-wilayah buat menaikkan PAD menggunakan cara yg paling mudah yaitu dengan penarikan pajak serta retrebusi secara intensif. Contoh lain, tidak sporadis terjadi konkurensi antar daerah yang memperebutkan batas daerah yg mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah tak jarang jua terjadi antara pemerintah sentra dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat regional, parsial, etnosentris, primordial , sering mewarnai aplikasi otonomi wilayah sehingga dikhawatirkan dapat sebagai benih disintegrasi bangsa.

Selain imbas negatif berdasarkan aplikasi otonomi wilayah seperti tersebut pada atas, juga ada impak positif yg memberikaan asa keberhasilan otonomi wilayah. Suasana pada daerah-daerah dewasa ini cenderung saling berpacu buat menaikkan potensi wilayah menggunakan banyak sekali macam cara. Seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah daerah serta anggota warga umumnya diperlukan bisa menyebarkan kreativitasnya serta dapat melakukan penemuan diberbagai bidang . Pengembangan serta inovsi bidang-bidang serta sumberdaya yg dahulu kurang menarik perhatian buat dikembangkan, kini dapat sebagai potensi andalan dari wilayah. Selain itu swatantra wilayah memacu menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat, memacu kompetisi yang sehat, pendstribusian kekuasaan sinkron dengan kompetensi .

III. Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Pelaksanaan swatantra daerah pada berbagai wilayah di Indonesia telah menimbulkan efek, baik pengaruh positif maupun impak negatif misalnya beberapa contoh yang telah penulis sebutkan pada atas. Selain itu otonomi wilayah juga telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat Indonesia.

Pengertian budaya atau kebudayaan dalam arti luas menurut E.B.tylor adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, agama, moral, hukum, adat-tata cara serta kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yg didapatkan insan sebagai anggota rakyat melalui proses belajar (Tylor dalam Soekanto , 1969 : 55). Dalam pengertian sempit, kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, karya serta karsa insan buat membicarakan hasratnya akan keindahan . Jadi pengertian kebudayaan pada arti sempit merupakan berupa hasil-hasil kesenian.

Perubahan kebudayaan yg akan dibahas pada tulisan ini difokuskan dalam bahasan kebudayaan dalam arti luas, pada arti perubahan konduite pemerintah serta rakyat yang terkait dengan bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan sebagainya, walaupun bahasannya secara generik dan tidak mengupas seluruh aspek menurut bidang-bidang tadi.

Sejalan menggunakan tekat pemerintah untuk melaksanakan otonomi wilayah, maka sudah terjadi perubahan-perubahan kerangka berpikir (Warseno pada Ambardi serta Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu diantaranya :
  • Paradigma berdasarkan sentralisasi ke desentralisasi
  • Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
  • Paradigma yang membuahkan rakyat sebagai obyek pembangunan ke warga yang sebagai subyek pembangunan.
  • Paradigma berdasarkan swatantra yang nyata serta bertanggungjawab ke swatantra yg luas, konkret serta bertanggung jawab.
  • Paradikma berdasarkan organisasi yang nir efisien ke organisasi yang efisien .
  • Paradigma berdasarkan perencanaan serta pelaksanaan acara yg bersifat top down ke kerangka berpikir sistem perencanaan campuran top down serta bottom- up 
Perubahan kerangka berpikir ini pula merubah budaya masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan paradigma pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi sudah mengakibatkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang telah terbiasa mendapat acara-acara yang sudah didesain oleh pemerintah pusat. Sekarang mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi dalam kualitas pelayanan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah Daerah dituntut buat secara mandiri melaksanakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai dalam supervisi program pembanguan yg dilaksanakan pada wilayahnya. Selain itu wilayah dituntut kemampuannya buat membiayai sebagian besar kegiatan pembangunannya sebagai akibatnya dibutuhkan sumberdaya insan yang berkualitas, kreatif, inovatif , yang dibutuhkan bisa menghasilkan pemikiran , konsep dan kebijakan pada rangka mencari asal pembiayaan pembangunan tadi. Perubahan paradigma dalam waktu yang nisbi singkat, tentu saja belum membuat para aparat pemerintah daerah dan warga memahami sepenuhnya hakekat serta aturan-anggaran aplikasi swatantra daerah. Walaupun demikian sedikit demi sedikit aparat pemerintah wilayah serta warga mulai belajar mengikuti keadaan menggunakan iklim swatantra wilayah. Aktivitas yg menunjuk pada efisiensi serta upaya peningkatan kualitas pelayanan, inovasi serta kreativitas pada ekskavasi potensi wilayah mulai digiatkan. Beberapa model bisa disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi pemerintah pada daerah giat mendorong para pegawainya untuk menaikkan serta membuatkan ketrampilan serta keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal maupun non formal. Contoh yang lain merupakan pemangkasan mekanisme birokrasi yang bertele-tele, menggunakan tujuan buat efisiensi . 

Iklim keterbukaan yg mewarnai otonomi daerah telah membawa perubahan pada perilaku rakyat yg semula tidak diberi kesempatan buat mengetahui dan berperan dalam perencanaan, aplikasi serta supervisi pembangunan lalu diberi kesempatan buat terlibat pada acara-acara pembangunan. Keadaan ini lalu melahirkan sikap-perilaku yg kadang-kadang sangat berlebihan. Masyarakat yang masih awam menggunakan penerapan sistim demokrasi menganggap bahwa semua masalah pemerintahan jua harus dipertanggungjawabkan secara langsung kepada mereka. Pada awal masa reformasi kita bisa melihat maraknya demonstrasi masyarakat yg kadang-kadang sangat brutal serta kasar menuntut agar pejabat-pejabat pemerintahan yg dipercaya telah menyimpang pada melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya diadili atau mengundurkan diri. Masyarakat seolah-olah sudah tidak memiliki agama pada lembaga yang dapat menyalurkan aspirasi mereka, sebagai akibatnya tindakan main hakim sendiiri menjadi pemandangan yg sangat umum. Sebagai contoh kita dapat melihat pada peristiwa yg menimpa Bupati Temanggung yang baru-baru ini diminta sang hampir seluruh rakyat Temanggung buat mengundurkan diri, karena dianggap telah melakukan korupsi. Bahkan para pegawai negeri pada Temanggung melakukan demonstrasi dan mogok kerja menjadi protes terhadap Bupati. Tentu saja jika kita melihat secara proporsional dalam tindakan rakyat terutama para pegawai negeri, tindakan mogok kerja tadi adalah tindakan yang menyalahi aturan serta bisa dikenakan hukuman lantaran para pegawai negeri tersebut mengemban tugas pelayanan pada warga .

Otonomi daerah yang bertujuan buat pengelola daerah atas prakarsa sendiri pada beberpa bidang mulai menampakkan perubahan. Satu contoh pada beberapa daerah sudah disusun aturan serta peraturan yg diubahsuaikan menggunakan kultur (budaya) masyarakat dan bepergian sejarah wilayah tersebut. Ada beberapa contoh daerah yg telah menyusun peraturan serta aturan dari syariat atau hukum Islam. Baru-baru ini di Kabupaten Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sudah diberlakukan hukum cambuk kepada 15 orang terpidana yang melakukan judi. Hukum cambuk yg mengundang pro-kontra ini dilaksanakan dalam lepas 24 Juni 2005 . Pijakan hukum yg melandasi aturan cambuk adalah Undang-undang Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Undang-undang Nomor 18/2001 Tentang Otonomi Khusus, serta perda (Peraturan Daerah) Nomor lima/2000 Tentang aplikasi Syariat Islam. Petunjuk teknis pelaksanaan aturan cambuk bagi yg melanggar syariat Islam dituangkan dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10/2005 menjadi pengganti Peraturan Daerah (Qanun). Dalam Peraturan Gubernur ini setidaknya ditetapkan empat masalah yang pelakunya mampu dikenai hukum cambuk, yaitu judi, berpasangan pada loka gelap menggunakan orang yang bukan muhrimnya, minum minuman keras/mabuk dan berzina (Gatra, Nomor 33, dua Juli 2005). Hukum Cambuk yg dilaksanakan di Nangroe Aceh Darussalam ini sebenarnya bukan bertujuan buat mempertontonkan kesadisan serta kekejaman dari penegak aturan pada sana, melainkan untuk menciptakan jera para pelaku tindak kraiminal serta agar masyarakat lebih berhati-hati dan melaksanakan syariat Islam menggunakan baik dan sahih.

Daerah lain yang jua mulai menerapkan anggaran dari syariat Islam adalah Cianjur. Di sana telah disusun anggaran yang menghimbau perempuan muslim mengenakan jilbab serta himbauan kepada suluruh muslim meninggalkan pekerjaannya buat segera menunaikan sholat waktu adhan berkumandang. Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa sanksi moral dan hukuman sosial.

Perilaku masyarakat yang terkait dengan ekskavasi serta pengembangan potensi ekonomi jua melahirkan sikap dan kultur berkreasi serta berinovasi untuk menciptakan hal-hal baru. Dalam upaya menaikkan daya saing ini beberapa wilayah wajib memperhatikan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kultur serta pimpinan/pemegang kebijakan. Kalau nir, maka akan terjadi persaingan yang nir sehat antara gerombolan warga di daerah tadi, persaingan antar wilayah serta lain sebagainya. Bahkan tidak sporadis antar wilayah saling berebut lahan atau sumber daya alam yg sebagai asal ekonomi . Kadang-kadang ambisi buat mempertinggi PAD melahirkan perilaku “ rakus “ pada daerah-wilayah. Daerah-wilayah yg sangat minim sumberdaya alamnya dipacu buat melihat lebih jeli peluang-peluang pada sektor ekonomi berskala kecil atau yang seringkali dianggap menjadi ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah). Dari pengalaman krisis ekonomi yg dialami Indonesia pada tahun 1997, ekonomi warga dan sektor informal mampu bertahan dan bahkan sanggup sebagai penyangga (buffer) perekonomian wilayah , sebagai akibatnya bisa menyelamatkan kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196). Beberapa model wilayah yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sesudah krisis ekonomi serta permanen bisa bertahan serta bisa mempertinggi pertumbuhan ekonominya merupakan Kabupaten Sukoharjo serta Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Kabupaten Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena dampak yang berarti lantaran industri kecil dan sektor informal yg dikembangkan pada wilayah tadi nir tergantung pada bahan standar import serta melayani pasar lokal yg relatif luas. Berbeda dengan Kabupaten Sukoharjo, Desa Banyuraden Kabupaten Sleman berhasil memberdayakan ekonomi warga melalui pengelolaan dan pengolahan sampah, yg semula sebagai sumber kasus lingkungan di desa tersebut. Desa Banyuraden berhasil memanfaatkan sampah menjadi sumber ekonomi masyarakat dengan cara memasak sampah menjadi kompos atau pupuk organik serta dan barang kerajinan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa nir seluruh daerah berhasil mengatasi krisis ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi warga . Banyak wilayah terutama di luar Jawa yang nir memiliki sumberdaya ekonomi serta sumberdaya insan yang memadai patut mendapatkan perhatian yg lebih akbar menurut Pemerintah Pusat juga Pemda buat meningkatkan kesejahteraan mereka.

TIGA PILAR PENGEMBANGAN WILAYAH SUMBERDAYA ALAM SUMBERDAYA MANUSIA DAN TEKNOLOGI

Tiga Pilar Pengembangan Wilayah : Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi
Tiga tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi insiden akbar di Indonesia mengawali abad yg dinantikan oleh seluruh warga dunia. Gerakan Reformasi yg terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian dasyat sebagai akibatnya sanggup menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yg dipercaya telah tidak populer buat memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan menggunakan terjadinya gerakan Reformasi marak juga informasi-berita heroik yg berkaitan menggunakan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yg baik dan higienis, dapat dipercaya pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi serta nepotisme), pemberdayaan warga , pembangunan berkelanjutan, pembentukan swatantra wilayah , dan masih banyak isu-berita lainnya. 

Gerakan Reformasi yang gencar serta luas merupakan akumulasi dari carut-marut pemerintahan yg telah tidak sinkron menggunakan harapan rakyat, ditambah dengan krisis ekonomi yg parah. Akar kekacauan tadi pada atas merupakan pemerintah Orde Baru yg dipercaya melaksanakan pemerintahan sentralistik, otoriter dan korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru semakin gencar juga tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat maupun wilayah buat memberlakukan swatantra wilayah secara lebih luas .

Otonomi wilayah sebagai suatu sistim pemerintahan pada Indonesia yg desentralistis bukan merupakan hal yg baru. Penyelenggaraan swatantra wilayah sebenarnya sudah diatur pada UUD 1945. Walaupun demikian dalam perkembangannya selama ini pelaksanaan swatantra daerah belum menampakkan output yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung serta pemerintahan Suharto jatuh, ihwal buat mengoptimalkan aplikasi swatantra daerah terdengar kembali gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak buat segera dilaksanakan. Tuntutan warga buat mengoptimalkan aplikasi swatantra wilayah disambut oleh presiden Habibie sehingga lalu ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat serta Daerah. Dengan disahkannya kedua undang-undang tadi, maka terjadi perubahan paradigma, yaitu menurut pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang swatantra wilayah tersebut, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif dilaksanakan selesainya 2 tahun sejak ditetapkannya. Pada masa pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi Daerah mulai diterapkan dalam lepas 1 Januari 2001 (Riyadi serta Bratakusumah, 2003 : 343). 

I. Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi yg berasal berdasarkan istilah autonomos (bahasa Yunani) mempunyai pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya swatantra daerah merupakan upaya untuk mensejahterakan masayarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna otonomi wilayah adalah wilayah memiliki hak , wewenang serta kewajiban untuk mengurus tempat tinggal tangganya sendiri sinkron menggunakan peraturan peundang-undangan yg berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 mengungkapkan bahwa wewenang daerah otonom buat mengatur dan mengurus kepentingan warga setempat menurut prakarsa sendiri dari aspirasi rakyat sinkron menggunakan peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam swatantra wilayah memberikan “roh” dalam penyelenggaraan pembangunan wilayah yg lebih participatory. Tanpa upaya buat menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi wilayah yang diperlukan dapat menaruh nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan kehilangan makna terpentingnya. 

Otonomi yg luas sebenarnya merupakan penjabaran berdasarkan desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan swatantra yg luas harus disertai juga dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, ekskavasi potensi serta keanekaragaman wilayah yg difokuskan pada peningkatan ekonomi pada taraf kabupaten dan kotamadia. 

Implementasi otonomi wilayah dapat dicermati dari bebagai segi yaitu pertama, dicermati dari segi daerah (teritorial) wajib berorientasi dalam pemberdayaan dan ekskavasi potensi wilayah. Kedua, menurut segi struktur rapikan pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah wilayah dalam mengelola sumber-asal daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab serta memegang prinsip-prinsip kesatuan negara serta bangsa. Ketiga, berdasarkan segi kemasyarakatan berorientasi dalam pemberdayaan dan pelibatan warga dalam pembangunan pada aneka macam daerah sesuai menggunakan kemampuan masing-masing.

Undang-undang serta peraturan mengenai swatantra wilayah telah disusun semenjak Indonesia merdeka .hal ini memperlihatkan bahwa para pemimpin negara berdasarkan jaman Orde Lama, Orde Baru hingga pemimpin negara ketika ini telah memikirkan betapa penting swatantra daerah mengingat wilayah Indonesia yg demikian luas yg menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian swatantra kepada wilayah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan di wilayahnya. Daerah diharapkan sedikit-sedikit bisa melepaskan ketergantungannya terhadap donasi pemerintah sentra menggunakan cara menaikkan kreativitas, menaikkan penemuan dan menaikkan kemandiriannya. Bila pelaksaan otonomi daerah sesuai menggunakan peraturan serta perundang-undangan yang sudah disusun, maka harapan latif buat mewujudkan “wilayah membentuk“ (bukan “membangun daerah”), bisa segera tercapai. Otonomi daerah menaruh harapan cerah pada daerah buat lebih menaikkan dayaguna serta hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka menaruh efektifitas pelayanan kepada masyarakat .hal lain yang tidak kalah krusial merupakan wilayah dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta membuatkan prakarsa rakyat secara demokratis , sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan menggunakan syarat serta konflik yg ada pada daerah.

Pada kenyataannya sangat ironis apabila pelaksanaan serta penerapan swatantra daerah semenjak Orde Lama, Orde Baru dan hingga saat ini nir pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi daerah yang nir mulus merupakan lantaran penyimpangan kepentngan-kepentingan politik penguasa yang menyertai penerapan otonomi daerah sebagai akibatnya penguasa cenderung permanen melaksanakan pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara untuk memerintah serta berkuasa secara absolut menggunakan mempolitisir otonomi daerah mengakibatkan otonomi daerah semakin tidak kentara tujuannya. Suatu model yaitu pada masa pemerintahan presiden Suharto sudah ditetapkan proyek percontohan untuk menerapkan swatantra daerah pada 26 wilayah taraf II dari Undang-undang Nomor lima Tahun 1974, tetapi nir terdapat hasilnya.

Penerapan swatantra wilayah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ketika ini masih mencari bentuk, lantaran perilaku pemerintah yang masih “ mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa swatantra wilayah sudah sangat mendesak buat segera dilaksanakan secara tuntas, namun di lain pihak pemerintah juga berusaha permanen mengendalikan daerah secara kuat jua. Hal ini terlihat dalam wewenang-kewenangan yang relatif luas yg masih ditangani pemerintah terutama yang sangat potensial sebagai asal keuangan. Selain itu kewenangan pemerintah yang lain , yg jua bisa mengancam aplikasi otonomi daerah merupakan otoritas pemerintah buat mencabut otonomi yang telah diberikan kepada wilayah. Selama kurang lebih empat tahun sejak dicanangkannya otonomi wilayah pada Indonesia, pemberdayaan wilayah yg gencar diperjuangkan pada kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan kepentingan rakyat. Keputusan-keputusan pemerintah dan program-acara pembangunan tidak menyertakan rakyat, sehingga program-program pembangunan pada wilayah cenderung masih bersifat top down daripada bottom up planning . 

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar swatantra wilayah bisa terwujud. Pertama, harus disadari bahwa swatantra daerah harus selalu diletakkan pada kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi wilayah merupakan suatu subsistem pada satu sistem pemerintahan yg utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political will) menurut seluruh pihak misalnya pemerintah sentra, pemerintah daerah dan rakyat. Kemauan politik dari seluruh pihak dapat memperkuat tujuan buat membentuk rakyat Indonesia secara keseluruhan melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diperlukan dapat membendung pemikiran primordial, parsial, etnosentris dan sebagainya. Ketiga, komitmen yang tinggi menurut aneka macam pihak yg berkepentingan sangat diperlukan supaya pelaksanaan swatantra daerah bisa tercapai tujuannya .

II. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama sekitar 60 tahun Indonesia medeka, otonomi wilayah turut mengiringi pula perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama swatantra wilayah belum sepenuhnya dilaksanakan, lantaran pimpinan negara yg menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap otoriter serta sentralistis pada melaksanakan pemerintahannya. Demikian pula dalam masa pemerintahan Orde Baru dengan demokrasi Pancasilanya, aplikasi pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis dan otoriter . Selain itu pada kedua masa tersebut poly terjadi distorsi kebijakan yg terkait dengan swatantra wilayah. Tentu saja kita belum dapat melihat imbas dan efek menurut aplikasi swatantra wilayah dalam ke 2 masa itu, lantaran dalam kenyataannya otonomi daerah belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun sudah poly Undang-undang serta peraturan yg dibuat buat melaksanakan swatantra wilayah tadi.

Pada masa Reformasi tuntutan buat melaksanakan swatantra wilayah sangat gencar sebagai akibatnya pemerintah secara berfokus jua menyusun balik Undang-undang yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui masa transisi dan sosialisasi untuk melaksanakan kebijakan swatantra wilayah tadi,maka otonomi daerah secara resmi berlaku semenjak tanggal 1 Januari 2001, dalam masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah sekitar 4 tahun otonomi wilayah diberlakukan, pengaruh yg terlihat adalah timbul 2 gerombolan masyarakat yang tidak selaras pandangan mengenai swatantra wilayah. Di satu sisi ada masyarakat yang pasif serta pesimis terhadap keberhasilan kebijakan swatantra wilayah, mengingat pengalaman-pengalaman aplikasi swatantra daerah pada masa lalu. Kelompok masyarakat ini nir terlalu antusias memberikan dukungan ataupun menuntut program-acara yang telah ditetapkan pada otonomi wilayah. Di sisi yg lain ada gerombolan warga yang sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi wilayah lantaran kebijakan ini cukup aspiratif dan didukung sang hampir seluruh wilayah dan seluruh komponen.

Antusiasme serta tuntutan buat segera melaksanakan swatantra wilayah jua berdatangan menurut kelompok-kelompok yg secara hemat dan politis mempunyai kepentingan menggunakan aplikasi otonomi wilayah. Selain itu masyarakat yg masih ditentukan oleh euforia reformasi menduga swatantra wilayah adalah kebebasan tanpa batas buat melaksanakan pemerintahan sesuai dengan asa dan dambaan mereka. Masyarakat menurut daerah yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi nir menikmati output-output pembangunan selama ini, menganggap swatantra daerah menaruh harapan cerah buat mempertinggi kehidupan mereka. Harapan yang besar dalam melaksanakan swatantra wilayah telah menyebabkan wilayah-daerah saling berlomba buat menaikan pendapatan asli daerah (PAD). Berbagai model upaya gencar daerah-wilayah buat menaikkan PAD menggunakan cara yg paling gampang yaitu dengan penarikan pajak dan retrebusi secara intensif. Contoh lain, nir sporadis terjadi konkurensi antar wilayah yg memperebutkan batas daerah yang mempunyai potensi ekonomi yg tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah tak jarang jua terjadi antara pemerintah pusat serta pemerintah wilayah. Pemikiran yg bersifat regional, parsial, etnosentris, primordial , sering mewarnai pelaksanaan swatantra wilayah sehingga dikhawatirkan dapat sebagai benih disintegrasi bangsa.

Selain efek negatif menurut pelaksanaan swatantra daerah misalnya tersebut pada atas, pula terdapat pengaruh positif yg memberikaan harapan keberhasilan otonomi wilayah. Suasana pada wilayah-daerah dewasa ini cenderung saling berpacu buat menaikkan potensi daerah dengan berbagai macam cara. Seluruh komponen masyarakat mulai menurut pemerintah wilayah dan anggota rakyat umumnya dibutuhkan dapat membuatkan kreativitasnya dan bisa melakukan inovasi diberbagai bidang . Pengembangan serta inovsi bidang-bidang serta sumberdaya yg dahulu kurang menarik perhatian buat dikembangkan, kini bisa menjadi potensi andalan menurut wilayah. Selain itu otonomi wilayah memacu menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan warga , memacu kompetisi yg sehat, pendstribusian kekuasaan sesuai dengan kompetensi .

III. Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Pelaksanaan otonomi wilayah pada berbagai daerah di Indonesia sudah menyebabkan imbas, baik pengaruh positif juga pengaruh negatif seperti beberapa model yg sudah penulis sebutkan di atas. Selain itu otonomi daerah pula telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat Indonesia.

Pengertian budaya atau kebudayaan dalam arti luas menurut E.B.tylor merupakan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan , moral, aturan, istiadat-istiadat dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang dihasilkan insan sebagai anggota warga melalui proses belajar (Tylor dalam Soekanto , 1969 : 55). Dalam pengertian sempit, kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, karya serta karsa manusia buat mengungkapkan hasratnya akan keindahan . Jadi pengertian kebudayaan dalam arti sempit merupakan berupa output-output kesenian.

Perubahan kebudayaan yg akan dibahas dalam goresan pena ini difokuskan dalam bahasan kebudayaan dalam arti luas, dalam arti perubahan konduite pemerintah dan rakyat yang terkait menggunakan bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan sebagainya, walaupun bahasannya secara umum dan tidak mengupas semua aspek menurut bidang-bidang tersebut.

Sejalan menggunakan tekat pemerintah buat melaksanakan swatantra daerah, maka telah terjadi perubahan-perubahan kerangka berpikir (Warseno dalam Ambardi serta Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu diantaranya :
  • Paradigma berdasarkan sentralisasi ke desentralisasi
  • Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
  • Paradigma yg menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan ke rakyat yang sebagai subyek pembangunan.
  • Paradigma menurut swatantra yang konkret serta bertanggungjawab ke swatantra yang luas, nyata serta bertanggung jawab.
  • Paradikma dari organisasi yang nir efisien ke organisasi yang efisien .
  • Paradigma dari perencanaan serta pelaksanaan acara yg bersifat top down ke kerangka berpikir sistem perencanaan adonan top down dan bottom- up 
Perubahan kerangka berpikir ini jua merubah budaya warga dalam melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan swatantra wilayah. Perubahan kerangka berpikir pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi sudah menyebabkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang telah terbiasa menerima acara-acara yg sudah didesain sang pemerintah sentra. Sekarang mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi pada kualitas pelayanan serta melibatkan partisipasi warga . Pemerintah Daerah dituntut buat secara berdikari melaksanakan aktivitas perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan program pembanguan yang dilaksanakan di daerahnya. Selain itu wilayah dituntut kemampuannya buat membiayai sebagian besar kegiatan pembangunannya sehingga diperlukan sumberdaya insan yg berkualitas, kreatif, inovatif , yang diharapkan bisa membuat pemikiran , konsep serta kebijakan dalam rangka mencari asal pembiayaan pembangunan tadi. Perubahan kerangka berpikir dalam ketika yg relatif singkat, tentu saja belum membuat para aparat pemerintah daerah dan masyarakat tahu sepenuhnya hakekat serta aturan-anggaran aplikasi swatantra daerah. Walaupun demikian sedikit-sedikit aparat pemerintah wilayah serta warga mulai belajar menyesuaikan diri dengan iklim otonomi daerah. Aktivitas yg mengarah pada efisiensi serta upaya peningkatan kualitas pelayanan, penemuan dan kreativitas dalam penggalian potensi daerah mulai digiatkan. Beberapa model bisa disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi pemerintah di wilayah giat mendorong para pegawainya buat menaikkan dan menyebarkan ketrampilan dan keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal juga non formal. Contoh yg lain merupakan pemangkasan prosedur birokrasi yang bertele-tele, dengan tujuan untuk efisiensi . 

Iklim keterbukaan yg mewarnai swatantra wilayah sudah membawa perubahan pada konduite masyarakat yg semula nir diberi kesempatan untuk mengetahui serta berperan dalam perencanaan, pelaksanaan dan supervisi pembangunan kemudian diberi kesempatan buat terlibat pada acara-program pembangunan. Keadaan ini kemudian melahirkan perilaku-perilaku yang kadang-kadang sangat berlebihan. Masyarakat yang masih awam dengan penerapan sistim demokrasi menganggap bahwa seluruh perkara pemerintahan jua harus dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada mereka. Pada awal masa reformasi kita bisa melihat maraknya demonstrasi rakyat yg kadang-kadang sangat brutal serta kasar menuntut agar pejabat-pejabat pemerintahan yg dianggap telah menyimpang pada melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya diadili atau mengundurkan diri. Masyarakat seolah-olah telah tidak memiliki agama kepada forum yang dapat menyalurkan aspirasi mereka, sebagai akibatnya tindakan main hakim sendiiri menjadi pemandangan yg sangat umum. Sebagai contoh kita dapat melihat pada peristiwa yang menimpa Bupati Temanggung yang yang terbaru diminta sang hampir seluruh rakyat Temanggung untuk mengundurkan diri, lantaran dianggap telah melakukan korupsi. Bahkan para pegawai negeri pada Temanggung melakukan demonstrasi serta mogok kerja menjadi protes terhadap Bupati. Tentu saja jikalau kita melihat secara proporsional dalam tindakan rakyat terutama para pegawai negeri, tindakan mogok kerja tersebut adalah tindakan yang menyalahi aturan dan dapat dikenakan hukuman lantaran para pegawai negeri tersebut mengemban tugas pelayanan kepada rakyat.

Otonomi daerah yang bertujuan buat pengelola daerah atas prakarsa sendiri pada beberpa bidang mulai menampakkan perubahan. Satu contoh pada beberapa wilayah telah disusun aturan dan peraturan yang diadaptasi menggunakan kultur (budaya) rakyat dan bepergian sejarah wilayah tadi. Ada beberapa model daerah yg sudah menyusun peraturan serta aturan dari syariat atau hukum Islam. Baru-baru ini pada Kabupaten Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) telah diberlakukan aturan cambuk pada 15 orang terpidana yang melakukan judi. Hukum cambuk yg mengundang pro-kontra ini dilaksanakan dalam lepas 24 Juni 2005 . Pijakan aturan yang melandasi hukum cambuk merupakan Undang-undang Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Undang-undang Nomor 18/2001 Tentang Otonomi Khusus, dan perda (Perda) Nomor lima/2000 Tentang aplikasi Syariat Islam. Petunjuk teknis pelaksanaan hukum cambuk bagi yg melanggar syariat Islam dituangkan dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10/2005 sebagai pengganti perda (Qanun). Dalam Peraturan Gubernur ini setidaknya ditetapkan empat perkara yang pelakunya sanggup dikenai hukum cambuk, yaitu judi, berpasangan di loka gelap dengan orang yg bukan muhrimnya, minum minuman keras/mabuk serta berzina (Gatra, Nomor 33, 2 Juli 2005). Hukum Cambuk yg dilaksanakan di Nangroe Aceh Darussalam ini sebenarnya bukan bertujuan buat mempertontonkan kesadisan serta kekejaman menurut penegak hukum pada sana, melainkan buat menciptakan jera para pelaku tindak kraiminal serta agar rakyat lebih berhati-hati dan melaksanakan syariat Islam dengan baik serta benar.

Daerah lain yang pula mulai menerapkan aturan menurut syariat Islam merupakan Cianjur. Di sana telah disusun aturan yg menghimbau perempuan muslim mengenakan jilbab dan himbauan pada suluruh muslim meninggalkan pekerjaannya buat segera menunaikan sholat ketika adhan berkumandang. Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa hukuman moral dan hukuman sosial.

Perilaku rakyat yang terkait dengan ekskavasi dan pengembangan potensi ekonomi jua melahirkan sikap dan kultur berkreasi dan berinovasi buat menciptakan hal-hal baru. Dalam upaya mempertinggi daya saing ini beberapa wilayah wajib memperhatikan potensi sumberdaya alam, sumberdaya insan, kultur serta pimpinan/pemegang kebijakan. Kalau tidak, maka akan terjadi persaingan yang nir sehat antara grup warga pada daerah tersebut, persaingan antar wilayah dan lain sebagainya. Bahkan nir sporadis antar wilayah saling berebut lahan atau asal daya alam yang sebagai sumber ekonomi . Kadang-kadang ambisi buat menaikkan PAD melahirkan perilaku “ rakus “ dalam daerah-daerah. Daerah-wilayah yang sangat minim sumberdaya alamnya dipacu buat melihat lebih jeli peluang-peluang di sektor ekonomi berskala kecil atau yg acapkali diklaim sebagai ekonomi kerakyatan (bisnis kecil dan menengah). Dari pengalaman krisis ekonomi yg dialami Indonesia dalam tahun 1997, ekonomi rakyat dan sektor informal sanggup bertahan dan bahkan mampu menjadi penyangga (buffer) perekonomian daerah , sebagai akibatnya mampu menyelamatkan kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196). Beberapa model wilayah yg bisa beradaptasi dengan keadaan setelah krisis ekonomi dan permanen dapat bertahan dan dapat mempertinggi pertumbuhan ekonominya merupakan Kabupaten Sukoharjo dan Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Kabupaten Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena impak yg berarti karena industri mini dan sektor informal yg dikembangkan di daerah tersebut nir tergantung pada bahan baku import dan melayani pasar lokal yang relatif luas. Berbeda menggunakan Kabupaten Sukoharjo, Desa Banyuraden Kabupaten Sleman berhasil memberdayakan ekonomi warga melalui pengelolaan serta pengolahan sampah, yang semula sebagai asal perkara lingkungan di desa tersebut. Desa Banyuraden berhasil memanfaatkan sampah menjadi asal ekonomi warga dengan cara memasak sampah sebagai kompos atau pupuk organik dan serta barang kerajinan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa tidak seluruh daerah berhasil mengatasi krisis ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi warga . Banyak daerah terutama di luar Jawa yg nir memiliki sumberdaya ekonomi dan sumberdaya insan yg memadai patut mendapatkan perhatian yang lebih besar berdasarkan Pemerintah Pusat juga Pemerintah Daerah buat menaikkan kesejahteraan mereka.