TIGA PILAR PENGEMBANGAN WILAYAH SUMBERDAYA ALAM SUMBERDAYA MANUSIA DAN TEKNOLOGI
Tiga Pilar Pengembangan Wilayah : Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi
Tiga tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi peristiwa akbar pada Indonesia mengawali abad yg ditunggu sang semua rakyat global. Gerakan Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian dasyat sebagai akibatnya sanggup menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap telah nir terkenal buat memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan dengan terjadinya gerakan Reformasi marak jua informasi-informasi heroik yg berkaitan menggunakan penegakan demokrasi, upaya menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih, kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kongkalikong serta nepotisme), pemberdayaan warga , pembangunan berkelanjutan, pembentukan swatantra daerah , serta masih poly gosip-isu lainnya.
Gerakan Reformasi yang gencar serta luas merupakan akumulasi dari carut-marut pemerintahan yang telah nir sesuai dengan harapan rakyat, ditambah dengan krisis ekonomi yg parah. Akar kekacauan tersebut di atas adalah pemerintah Orde Baru yang dipercaya melaksanakan pemerintahan sentralistik, otoriter serta korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru semakin gencar juga tuntutan rakyat, baik pada tingkat elite sentra juga daerah untuk memberlakukan otonomi daerah secara lebih luas .
Otonomi daerah menjadi suatu sistim pemerintahan di Indonesia yg desentralistis bukan merupakan hal yg baru. Penyelenggaraan otonomi wilayah sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Walaupun demikian pada perkembangannya selama ini aplikasi otonomi wilayah belum menampakkan hasil yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung dan pemerintahan Suharto jatuh, ihwal buat mengoptimalkan aplikasi otonomi wilayah terdengar balik gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak buat segera dilaksanakan. Tuntutan rakyat buat mengoptimalkan pelaksanaan swatantra daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga lalu ditetapkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan disahkannya ke 2 undang-undang tadi, maka terjadi perubahan paradigma, yaitu menurut pemerintahan sentralistis ke pemerintahan desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi wilayah tadi, pemberlakuan undang-undang tersebut efektif dilaksanakan sesudah 2 tahun semenjak ditetapkannya. Pada masa pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi Daerah mulai diterapkan dalam tanggal 1 Januari 2001 (Riyadi serta Bratakusumah, 2003 : 343).
I. Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia
Otonomi yg berasal berdasarkan istilah autonomos (bahasa Yunani) mempunyai pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya swatantra wilayah adalah upaya buat mensejahterakan masayarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Makna swatantra wilayah adalah daerah mempunyai hak , wewenang serta kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sinkron menggunakan peraturan peundang-undangan yg berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 menyebutkan bahwa kewenangan wilayah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dari prakarsa sendiri menurut aspirasi warga sesuai dengan peraturan perundang-undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam swatantra daerah memberikan “roh” pada penyelenggaraan pembangunan wilayah yg lebih participatory. Tanpa upaya untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, swatantra wilayah yang dibutuhkan bisa menaruh perbedaan makna demokratisasi pembangunan wilayah, akan kehilangan makna terpentingnya.
Otonomi yg luas sebenarnya adalah pembagian terstruktur mengenai menurut desentralisasi secara utuh. Idealnya aplikasi swatantra yang luas harus disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan serta partisipasi rakyat, penggalian potensi serta keanekaragaman wilayah yg difokuskan pada peningkatan ekonomi pada tingkat kabupaten serta kotamadia.
Implementasi swatantra daerah dapat dilihat berdasarkan bebagai segi yaitu pertama, dipandang menurut segi daerah (teritorial) wajib berorientasi dalam pemberdayaan serta penggalian potensi daerah. Kedua, menurut segi struktur tata pemerintahan berorientasi dalam pemberdayaan pemerintah wilayah dalam mengelola sumber-asal daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab serta memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, menurut segi kemasyarakatan berorientasi dalam pemberdayaan dan pelibatan rakyat pada pembangunan di berbagai daerah sinkron menggunakan kemampuan masing-masing.
Undang-undang dan peraturan mengenai otonomi daerah telah disusun sejak Indonesia merdeka .hal ini menampakan bahwa para pemimpin negara berdasarkan jaman Orde Lama, Orde Baru hingga pemimpin negara ketika ini sudah memikirkan betapa krusial swatantra wilayah mengingat wilayah Indonesia yg demikian luas yg sebagai tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi pada wilayah dalam dasarnya merupakan upaya pemberdayaan pada rangka mengelola pembangunan di wilayahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat menggunakan cara menaikkan kreativitas, mempertinggi inovasi dan menaikkan kemandiriannya. Jika pelaksaan otonomi wilayah sesuai menggunakan peraturan dan perundang-undangan yg sudah disusun, maka harapan indah buat mewujudkan “daerah membentuk“ (bukan “membentuk wilayah”), bisa segera tercapai. Otonomi wilayah memberikan harapan cerah kepada wilayah untuk lebih menaikkan dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka menaruh efektifitas pelayanan pada masyarakat .hal lain yg tidak kalah krusial adalah wilayah dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta menyebarkan prakarsa masyarakat secara demokratis , sebagai akibatnya sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan syarat serta permasalahan yg terdapat di daerah.
Pada kenyataannya sangat ironis apabila pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru dan hingga ketika ini tidak pernah tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan swatantra wilayah yg tidak mulus adalah karena penyimpangan kepentngan-kepentingan politik penguasa yg menyertai penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung permanen melaksanakan pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu kepentingan-kepentingan politik para pemimpin negara buat memerintah dan berkuasa secara absolut dengan mempolitisir swatantra wilayah menyebabkan otonomi wilayah semakin tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu dalam masa pemerintahan presiden Suharto telah ditetapkan proyek percontohan buat menerapkan swatantra wilayah pada 26 daerah taraf II menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi nir ada hasilnya.
Penerapan swatantra wilayah melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 saat ini masih mencari bentuk, lantaran perilaku pemerintah yg masih “ mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi daerah telah sangat mendesak buat segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi pada lain pihak pemerintah jua berusaha permanen mengendalikan wilayah secara kuat pula. Hal ini terlihat dalam wewenang-kewenangan yang relatif luas yg masih ditangani pemerintah terutama yang sangat potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu wewenang pemerintah yg lain , yg pula dapat mengancam aplikasi swatantra daerah merupakan otoritas pemerintah buat mencabut swatantra yg sudah diberikan kepada wilayah. Selama sekitar empat tahun semenjak dicanangkannya swatantra wilayah pada Indonesia, pemberdayaan daerah yg gencar diperjuangkan dalam kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan pada wilayah kurang memperhatikan kebutuhan serta kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah dan program-program pembangunan tidak menyertakan rakyat, sebagai akibatnya acara-acara pembangunan di wilayah cenderung masih bersifat top down daripada bottom up planning .
Ada beberapa hal yg perlu diperhatikan agar swatantra wilayah dapat terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi wilayah harus selalu diletakkan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi wilayah adalah suatu subsistem dalam satu sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political will) dari semua pihak misalnya pemerintah sentra, pemerintah daerah serta warga . Kemauan politik menurut semua pihak bisa memperkuat tujuan buat membentuk masyarakat Indonesia secara holistik melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan dapat membendung pemikiran primordial, parsial, etnosentris serta sebagainya. Ketiga, komitmen yg tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat diperlukan supaya aplikasi otonomi daerah bisa tercapai tujuannya .
II. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi wilayah turut mengiringi pula bepergian bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama swatantra wilayah belum sepenuhnya dilaksanakan, lantaran pimpinan negara yang menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap otoriter dan sentralistis dalam melaksanakan pemerintahannya. Demikian juga pada masa pemerintahan Orde Baru menggunakan demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih cenderung bersifat sentralistis serta otoriter . Selain itu dalam kedua masa tersebut poly terjadi distorsi kebijakan yg terkait dengan otonomi wilayah. Tentu saja kita belum dapat melihat impak dan imbas dari pelaksanaan otonomi wilayah dalam kedua masa itu, karena dalam kenyataannya swatantra wilayah belum dilaksanakan sepenuhnya, walaupun telah poly Undang-undang serta peraturan yg dibuat untuk melaksanakan otonomi wilayah tadi.
Pada masa Reformasi tuntutan buat melaksanakan swatantra daerah sangat gencar sebagai akibatnya pemerintah secara serius juga menyusun kembali Undang-undang yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui masa transisi dan pengenalan buat melaksanakan kebijakan otonomi wilayah tersebut,maka swatantra wilayah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001, dalam masa pemerintahan presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4 tahun swatantra daerah diberlakukan, efek yang terlihat adalah muncul dua kelompok rakyat yang tidak selaras pandangan tentang swatantra daerah. Di satu sisi terdapat masyarakat yg pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan swatantra wilayah, mengingat pengalaman-pengalaman aplikasi otonomi daerah pada masa lalu. Kelompok masyarakat ini nir terlalu antusias menaruh dukungan ataupun menuntut program-acara yg telah ditetapkan pada otonomi daerah. Di sisi yg lain terdapat gerombolan rakyat yg sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah karena kebijakan ini relatif aspiratif dan didukung sang hampir semua wilayah serta semua komponen.
Antusiasme serta tuntutan buat segera melaksanakan swatantra daerah pula berdatangan menurut gerombolan -grup yang secara ekonomis dan politis mempunyai kepentingan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu masyarakat yg masih ditentukan sang euforia reformasi menduga swatantra wilayah merupakan kebebasan tanpa batas buat melaksanakan pemerintahan sinkron dengan asa serta dambaan mereka. Masyarakat dari daerah yang kaya sumberdaya alamnya, tetapi tidak menikmati hasil-output pembangunan selama ini, menganggap swatantra wilayah memberikan asa cerah buat menaikkan kehidupan mereka. Harapan yg besar pada melaksanakan otonomi daerah telah mengakibatkan wilayah-wilayah saling berlomba untuk menaikan pendapatan asli wilayah (PAD). Berbagai model upaya gencar wilayah-wilayah buat menaikkan PAD menggunakan cara yg paling mudah yaitu dengan penarikan pajak serta retrebusi secara intensif. Contoh lain, tidak sporadis terjadi konkurensi antar daerah yang memperebutkan batas daerah yg mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Perebutan sumber pendapatan daerah tak jarang jua terjadi antara pemerintah sentra dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat regional, parsial, etnosentris, primordial , sering mewarnai aplikasi otonomi wilayah sehingga dikhawatirkan dapat sebagai benih disintegrasi bangsa.
Selain imbas negatif berdasarkan aplikasi otonomi wilayah seperti tersebut pada atas, juga ada impak positif yg memberikaan asa keberhasilan otonomi wilayah. Suasana pada daerah-daerah dewasa ini cenderung saling berpacu buat menaikkan potensi wilayah menggunakan banyak sekali macam cara. Seluruh komponen masyarakat mulai dari pemerintah daerah serta anggota warga umumnya diperlukan bisa menyebarkan kreativitasnya serta dapat melakukan penemuan diberbagai bidang . Pengembangan serta inovsi bidang-bidang serta sumberdaya yg dahulu kurang menarik perhatian buat dikembangkan, kini dapat sebagai potensi andalan dari wilayah. Selain itu swatantra wilayah memacu menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat, memacu kompetisi yang sehat, pendstribusian kekuasaan sinkron dengan kompetensi .
III. Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Pelaksanaan swatantra daerah pada berbagai wilayah di Indonesia telah menimbulkan efek, baik pengaruh positif maupun impak negatif misalnya beberapa contoh yang telah penulis sebutkan pada atas. Selain itu otonomi wilayah juga telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat Indonesia.
Pengertian budaya atau kebudayaan dalam arti luas menurut E.B.tylor adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, agama, moral, hukum, adat-tata cara serta kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yg didapatkan insan sebagai anggota rakyat melalui proses belajar (Tylor dalam Soekanto , 1969 : 55). Dalam pengertian sempit, kebudayaan diartikan sebagai hasil cipta, karya serta karsa insan buat membicarakan hasratnya akan keindahan . Jadi pengertian kebudayaan pada arti sempit merupakan berupa hasil-hasil kesenian.
Perubahan kebudayaan yg akan dibahas pada tulisan ini difokuskan dalam bahasan kebudayaan dalam arti luas, pada arti perubahan konduite pemerintah serta rakyat yang terkait dengan bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan sebagainya, walaupun bahasannya secara generik dan tidak mengupas seluruh aspek menurut bidang-bidang tadi.
Sejalan menggunakan tekat pemerintah untuk melaksanakan otonomi wilayah, maka sudah terjadi perubahan-perubahan kerangka berpikir (Warseno pada Ambardi serta Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu diantaranya :
- Paradigma berdasarkan sentralisasi ke desentralisasi
- Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
- Paradigma yang membuahkan rakyat sebagai obyek pembangunan ke warga yang sebagai subyek pembangunan.
- Paradigma berdasarkan swatantra yang nyata serta bertanggungjawab ke swatantra yg luas, konkret serta bertanggung jawab.
- Paradikma berdasarkan organisasi yang nir efisien ke organisasi yang efisien .
- Paradigma berdasarkan perencanaan serta pelaksanaan acara yg bersifat top down ke kerangka berpikir sistem perencanaan campuran top down serta bottom- up
Perubahan kerangka berpikir ini pula merubah budaya masyarakat dalam melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan paradigma pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi sudah mengakibatkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang telah terbiasa mendapat acara-acara yang sudah didesain oleh pemerintah pusat. Sekarang mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi dalam kualitas pelayanan dan melibatkan partisipasi masyarakat. Pemerintah Daerah dituntut buat secara mandiri melaksanakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan sampai dalam supervisi program pembanguan yg dilaksanakan pada wilayahnya. Selain itu wilayah dituntut kemampuannya buat membiayai sebagian besar kegiatan pembangunannya sebagai akibatnya dibutuhkan sumberdaya insan yang berkualitas, kreatif, inovatif , yang dibutuhkan bisa menghasilkan pemikiran , konsep dan kebijakan pada rangka mencari asal pembiayaan pembangunan tadi. Perubahan paradigma dalam waktu yang nisbi singkat, tentu saja belum membuat para aparat pemerintah daerah dan warga memahami sepenuhnya hakekat serta aturan-anggaran aplikasi swatantra daerah. Walaupun demikian sedikit demi sedikit aparat pemerintah wilayah serta warga mulai belajar mengikuti keadaan menggunakan iklim swatantra wilayah. Aktivitas yg menunjuk pada efisiensi serta upaya peningkatan kualitas pelayanan, inovasi serta kreativitas pada ekskavasi potensi wilayah mulai digiatkan. Beberapa model bisa disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi pemerintah pada daerah giat mendorong para pegawainya untuk menaikkan serta membuatkan ketrampilan serta keahliannya melalui peningkatan pendidikan, baik formal maupun non formal. Contoh yang lain merupakan pemangkasan mekanisme birokrasi yang bertele-tele, menggunakan tujuan buat efisiensi .
Iklim keterbukaan yg mewarnai otonomi daerah telah membawa perubahan pada perilaku rakyat yg semula tidak diberi kesempatan buat mengetahui dan berperan dalam perencanaan, aplikasi serta supervisi pembangunan lalu diberi kesempatan buat terlibat pada acara-acara pembangunan. Keadaan ini lalu melahirkan sikap-perilaku yg kadang-kadang sangat berlebihan. Masyarakat yang masih awam menggunakan penerapan sistim demokrasi menganggap bahwa semua masalah pemerintahan jua harus dipertanggungjawabkan secara langsung kepada mereka. Pada awal masa reformasi kita bisa melihat maraknya demonstrasi masyarakat yg kadang-kadang sangat brutal serta kasar menuntut agar pejabat-pejabat pemerintahan yg dipercaya telah menyimpang pada melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan kepadanya diadili atau mengundurkan diri. Masyarakat seolah-olah sudah tidak memiliki agama pada lembaga yang dapat menyalurkan aspirasi mereka, sebagai akibatnya tindakan main hakim sendiiri menjadi pemandangan yg sangat umum. Sebagai contoh kita dapat melihat pada peristiwa yg menimpa Bupati Temanggung yang baru-baru ini diminta sang hampir seluruh rakyat Temanggung buat mengundurkan diri, karena dianggap telah melakukan korupsi. Bahkan para pegawai negeri pada Temanggung melakukan demonstrasi dan mogok kerja menjadi protes terhadap Bupati. Tentu saja jika kita melihat secara proporsional dalam tindakan rakyat terutama para pegawai negeri, tindakan mogok kerja tadi adalah tindakan yang menyalahi aturan serta bisa dikenakan hukuman lantaran para pegawai negeri tersebut mengemban tugas pelayanan pada warga .
Otonomi daerah yang bertujuan buat pengelola daerah atas prakarsa sendiri pada beberpa bidang mulai menampakkan perubahan. Satu contoh pada beberapa daerah sudah disusun aturan serta peraturan yg diubahsuaikan menggunakan kultur (budaya) masyarakat dan bepergian sejarah wilayah tersebut. Ada beberapa contoh daerah yg telah menyusun peraturan serta aturan dari syariat atau hukum Islam. Baru-baru ini di Kabupaten Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sudah diberlakukan hukum cambuk kepada 15 orang terpidana yang melakukan judi. Hukum cambuk yg mengundang pro-kontra ini dilaksanakan dalam lepas 24 Juni 2005 . Pijakan hukum yg melandasi aturan cambuk adalah Undang-undang Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Undang-undang Nomor 18/2001 Tentang Otonomi Khusus, serta perda (Peraturan Daerah) Nomor lima/2000 Tentang aplikasi Syariat Islam. Petunjuk teknis pelaksanaan aturan cambuk bagi yg melanggar syariat Islam dituangkan dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10/2005 menjadi pengganti Peraturan Daerah (Qanun). Dalam Peraturan Gubernur ini setidaknya ditetapkan empat masalah yang pelakunya mampu dikenai hukum cambuk, yaitu judi, berpasangan pada loka gelap menggunakan orang yang bukan muhrimnya, minum minuman keras/mabuk dan berzina (Gatra, Nomor 33, dua Juli 2005). Hukum Cambuk yg dilaksanakan di Nangroe Aceh Darussalam ini sebenarnya bukan bertujuan buat mempertontonkan kesadisan serta kekejaman dari penegak aturan pada sana, melainkan untuk menciptakan jera para pelaku tindak kraiminal serta agar masyarakat lebih berhati-hati dan melaksanakan syariat Islam menggunakan baik dan sahih.
Daerah lain yang jua mulai menerapkan anggaran dari syariat Islam adalah Cianjur. Di sana telah disusun anggaran yang menghimbau perempuan muslim mengenakan jilbab serta himbauan kepada suluruh muslim meninggalkan pekerjaannya buat segera menunaikan sholat waktu adhan berkumandang. Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa sanksi moral dan hukuman sosial.
Perilaku masyarakat yang terkait dengan ekskavasi serta pengembangan potensi ekonomi jua melahirkan sikap dan kultur berkreasi serta berinovasi untuk menciptakan hal-hal baru. Dalam upaya menaikkan daya saing ini beberapa wilayah wajib memperhatikan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kultur serta pimpinan/pemegang kebijakan. Kalau nir, maka akan terjadi persaingan yang nir sehat antara gerombolan warga di daerah tadi, persaingan antar wilayah serta lain sebagainya. Bahkan tidak sporadis antar wilayah saling berebut lahan atau sumber daya alam yg sebagai asal ekonomi . Kadang-kadang ambisi buat mempertinggi PAD melahirkan perilaku “ rakus “ pada daerah-wilayah. Daerah-wilayah yg sangat minim sumberdaya alamnya dipacu buat melihat lebih jeli peluang-peluang pada sektor ekonomi berskala kecil atau yang seringkali dianggap menjadi ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah). Dari pengalaman krisis ekonomi yg dialami Indonesia pada tahun 1997, ekonomi warga dan sektor informal mampu bertahan dan bahkan sanggup sebagai penyangga (buffer) perekonomian wilayah , sebagai akibatnya bisa menyelamatkan kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196). Beberapa model wilayah yang bisa menyesuaikan diri dengan keadaan sesudah krisis ekonomi serta permanen bisa bertahan serta bisa mempertinggi pertumbuhan ekonominya merupakan Kabupaten Sukoharjo serta Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Kabupaten Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena dampak yang berarti lantaran industri kecil dan sektor informal yg dikembangkan pada wilayah tadi nir tergantung pada bahan standar import serta melayani pasar lokal yg relatif luas. Berbeda dengan Kabupaten Sukoharjo, Desa Banyuraden Kabupaten Sleman berhasil memberdayakan ekonomi warga melalui pengelolaan dan pengolahan sampah, yg semula sebagai sumber kasus lingkungan di desa tersebut. Desa Banyuraden berhasil memanfaatkan sampah menjadi sumber ekonomi masyarakat dengan cara memasak sampah menjadi kompos atau pupuk organik serta dan barang kerajinan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa nir seluruh daerah berhasil mengatasi krisis ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi warga . Banyak wilayah terutama di luar Jawa yang nir memiliki sumberdaya ekonomi serta sumberdaya insan yang memadai patut mendapatkan perhatian yg lebih akbar menurut Pemerintah Pusat juga Pemda buat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Comments
Post a Comment