ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI ILMU ADMINISTRASI

Administrasi Negara Sebagai Ilmu Administrasi 
Paradigma menjadi konsep yang menarik perhatian ilmuwan semenjak Thomas Kuhn menulis buku ”The Structure of Scientific Revolution”. Sungguh pun latar belakang Kuhn adalah bidang ilmu alam, tetapi pandangan paradigmatik Kuhn banyak mempengaruhi pengamat dalam banyak sekali bidang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu administrasi negara. 

Untuk memahami perkembangan kerangka berpikir dalam ilmu administrasi negara, perlu diketahui terlebih dahulu apa makna dari paradigma. Secara etimologis, kata “paradigm” dari berdasarkan bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola (pattern) atau contoh (example). Oxford English Dictionary merumuskan kerangka berpikir menjadi “ a pattern or model, an exemplar”. 

Thomas Kuhn :
• Paradigma merupakan suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan sesuatu masalah , yg dianut sang suatu rakyat ilmiah dalam masa eksklusif.

Menurut Thomas Kuhn , krisis akan ada jika suatu konflik yang dihadapi rakyat nir dapat dijelaskan atau tidak bisa dipecahkan secara memuaskan menggunakan menggunakan pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific revolution” di kalangan masyarakat ilmuwan buat melakukan penilaian atau pemikiran balik kerangka berpikir yg terdapat serta mencoba menemukan kerangka berpikir baru yg bisa memberikan penerangan dan cara lain pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan.

Perkembangan Paradigma Administrasi Negara
Dalam hubungannya dengan perkembangan ilmu administrasi publik, krisis akademis terjadi beberapa kali sebagaimana terlihat menurut pergantian kerangka berpikir yang lama menggunakan yg baru. Nicholas Henry menggunakan mengutip pandangan R.T Golembiewski, Administrasi Publik akan dapat dikaji melihat perubahan kerangka berpikir dilihat menurut pergeseran locus dan focus suatu disiplin ilmu. Lokus Fokus mempersoalkan “what of the field” atau metode dasar yang digunakan atau cara-cara ilmiah apa yg dapay dipakai untuk memecahkan suatu persoalan. Sedang locus mencakup “where of the field” atau medan atau loka dimana metode tadi digunakan atau diterapkan.

Berdasarkan locus serta focus suatu disiplin ilmu, Henry membagi paradigma administrasi negara menjadi lima, yaitu :
  • Paradigma Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926)
  • Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937)
  • Paradigma Administrasi Negara menjadi Ilmu Politik (1950-1970)
  • Paradigma Administrasi Negara sebagai Ilmu Administrasi (1956-1970)
  • Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970an)
Dan galat satu berdasarkan ke lima kerangka berpikir yg telah di kemukakakn Henry yaitu ” Paradigma Administrasi Negara menjadi Ilmu Administrasi ” akan dibahas dibawah ini :

Di tahun 1956 jurnal penting Administrative Selence Quartely diterbitksn oleh seoranh pakar administrasi negara atas premis adanya pemisahan yang keliru antara administrasi negara, niaga dan kelembagaan. Keith M Henderson pada tahun 1960 menyatakan sanggahannya bahwa teori organisasi sudah atau seharusnya menjadi pusat pembahasan administrasi negara. James g March serta Hebert A Simon pada kitab mereka Organizations (1958), Richard Cyert serta March dalam bukunya A Behavioral Theory of the Firm (1963), March pada Handbook of Organizations (1967) sudah memberikan alasan bertenaga buat memilih ilmu administrasi sebagai paradigma administrasi niaga.

Di athun baru 1960 “Penegmbangan Administrasi” makin banyak mendapat perhatian sebagai bidang khusus iklmu administrasi. Sebagai suatu fokus, pengembangan organisasi menawarkan alternatif ilmu politik yg menarik bagi poly ahli administrasi negara. Pengembangan organisasi sebagi sebuah bidang ilmu, berakar pada psikologi sosial dan nilai demokratisasi serta birokrasi. Jika ilmu administrasi itu sendiri dipercaya menjadi sebuah kerangka berpikir maka administrasi negarapun akan berubah. Dalam prakteknya ini bidang ilmu administrasi niaga akan menyerap bidang ilmu administrasi negara. Apakah bidang yg mementingkan unsur keuntungan ini relatif memperhatikan niali kepentingan generik yang penting sebagai aspek ilmu adminisrasi, adalah satu pertanyaan atas arti penting administrasi negara yg sanggup jadi jawabannya tak memuaskan. 

Maka yang terpenting merupakan fokus sedangkan locus bukan suatu persyaratan. Dengan prinsip ini teknik-teknik ilmu manajemen serta teoriorganisasi mulai dikembangkan sebagaibagian menurut ilmu administrasi publik, serta sering memerlukan keahlian danspesialisasi. Namun dimana serta padainstitusi apa teknik-teknik ini harusditerapkan bukanlah menjadi rumusanperhatian paradigma ini. Tokoh-tokohadministrasi publik yg dicatat termasuk dalam kerangka berpikir ini, diantaranya Keith Henderson, James March dan Herbert Simon.

ADMINISTRASI NEGARA SEBAGAI ILMU ADMINISTRASI

Administrasi Negara Sebagai Ilmu Administrasi 
Paradigma sebagai konsep yang menarik perhatian ilmuwan sejak Thomas Kuhn menulis kitab ”The Structure of Scientific Revolution”. Sungguh pun latar belakang Kuhn adalah bidang ilmu alam, tetapi pandangan paradigmatik Kuhn poly mempengaruhi pengamat dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, termasuk ilmu administrasi negara. 

Untuk memahami perkembangan kerangka berpikir dalam ilmu administrasi negara, perlu diketahui terlebih dahulu apa makna berdasarkan paradigma. Secara etimologis, istilah “paradigm” asal berdasarkan bahasa Yunani “paradeigma” yang berarti pola (pattern) atau contoh (example). Oxford English Dictionary merumuskan kerangka berpikir menjadi “ a pattern or model, an exemplar”. 

Thomas Kuhn :
• Paradigma adalah suatu cara pandang , nilai-nilai, metode-metode, prinsip dasar, atau cara memecahkan sesuatu perkara , yg dianut sang suatu masyarakat ilmiah dalam masa eksklusif.

Menurut Thomas Kuhn , krisis akan timbul bila suatu konflik yang dihadapi rakyat tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipecahkan secara memuaskan menggunakan memakai pendekatan suatu paradigma. Krisis ini akan mendorong suatu “scientific revolution” pada kalangan rakyat ilmuwan buat melakukan evaluasi atau pemikiran kembali kerangka berpikir yang ada dan mencoba menemukan kerangka berpikir baru yang dapat menaruh penerangan serta alternatif pemecahan yang dihadapi secara lebih memuaskan.

Perkembangan Paradigma Administrasi Negara
Dalam hubungannya menggunakan perkembangan ilmu administrasi publik, krisis akademis terjadi beberapa kali sebagaimana terlihat berdasarkan pergantian paradigma yg usang menggunakan yang baru. Nicholas Henry menggunakan mengutip pandangan R.T Golembiewski, Administrasi Publik akan dapat dikaji melihat perubahan paradigma dicermati dari pergeseran locus dan focus suatu disiplin ilmu. Lokus Fokus mempersoalkan “what of the field” atau metode dasar yg digunakan atau cara-cara ilmiah apa yang dapay digunakan buat memecahkan suatu persoalan. Sedang locus mencakup “where of the field” atau medan atau loka dimana metode tersebut digunakan atau diterapkan.

Berdasarkan locus serta focus suatu disiplin ilmu, Henry membagi paradigma administrasi negara sebagai 5, yaitu :
  • Paradigma Dikotomi Politik serta Administrasi (1900-1926)
  • Paradigma Prinsip-Prinsip Administrasi (1927-1937)
  • Paradigma Administrasi Negara menjadi Ilmu Politik (1950-1970)
  • Paradigma Administrasi Negara menjadi Ilmu Administrasi (1956-1970)
  • Paradigma Administrasi Negara sebagai Administrasi Negara (1970an)
Dan keliru satu menurut ke lima paradigma yang telah di kemukakakn Henry yaitu ” Paradigma Administrasi Negara menjadi Ilmu Administrasi ” akan dibahas dibawah ini :

Di tahun 1956 jurnal krusial Administrative Selence Quartely diterbitksn oleh seoranh pakar administrasi negara atas premis adanya pemisahan yg galat antara administrasi negara, niaga serta kelembagaan. Keith M Henderson dalam tahun 1960 menyatakan sanggahannya bahwa teori organisasi sudah atau seharusnya sebagai sentra pembahasan administrasi negara. James g March dan Hebert A Simon dalam kitab mereka Organizations (1958), Richard Cyert serta March dalam bukunya A Behavioral Theory of the Firm (1963), March pada Handbook of Organizations (1967) telah memberikan alasan bertenaga buat memilih ilmu administrasi sebagai kerangka berpikir administrasi niaga.

Di awal tahun 1960 “Penegmbangan Administrasi” makin banyak menerima perhatian sebagai bidang spesifik iklmu administrasi. Sebagai suatu penekanan, pengembangan organisasi memberikan alternatif ilmu politik yg menarik bagi banyak pakar administrasi negara. Pengembangan organisasi sebagi sebuah bidang ilmu, berakar pada psikologi sosial dan nilai demokratisasi dan birokrasi. Jika ilmu administrasi itu sendiri dianggap menjadi sebuah paradigma maka administrasi negarapun akan berubah. Dalam prakteknya ini bidang ilmu administrasi niaga akan menyerap bidang ilmu administrasi negara. Apakah bidang yang mementingkan unsur keuntungan ini relatif memperhatikan niali kepentingan generik yg vital menjadi aspek ilmu adminisrasi, adalah satu pertanyaan atas arti krusial administrasi negara yg sanggup jadi jawabannya tidak memuaskan. 

Maka yg terpenting adalah penekanan sedangkan locus bukan suatu persyaratan. Dengan prinsip ini teknik-teknik ilmu manajemen dan teoriorganisasi mulai dikembangkan sebagaibagian dari ilmu administrasi publik, dan seringkali memerlukan keahlian danspesialisasi. Namun dimana dan padainstitusi apa teknik-teknik ini harusditerapkan bukanlah menjadi rumusanperhatian kerangka berpikir ini. Tokoh-tokohadministrasi publik yg dicatat termasuk pada kerangka berpikir ini, antara lain Keith Henderson, James March dan Herbert Simon.

PENGEMBANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DAN ISUISU KONTEMPORER ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA

Pengembangan Ilmu Administrasi Publik Dan Isu-Isu Kontemporer Administrasi Negara Di Indonesia
Administrasi Publik memainkan peranan yang krusial datam penyelenggaraan Pemerintahan. Baik buruknya penyetenggaraan pemerintahan dan pelayanan Publik sangat dipengaruhi oleh kuatitas Administrasi Publik yg diiniliki oleh suatu negara. Dalam konteks Negara Kesatuan RePublik Indonesia, keberadaan Administrasi Publik merupakan instrumen krusial buat mewujudkan tujuan-tujuan negara yang termaktub pada UUD 1945 diantaranya buat memajukan kesejahteraaan urnum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dalam teori serta praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa sampai lahirnya ilmu terkini dan Administrasi Publik yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali pergeseran kerangka berpikir, mulai berdasarkan model klasik yg berkembang daam kurun ketika 1855/1887 hingga akhir 1980an; New Public Management (NPM) yg berkembang dälam kurun waktu akhir 1980an sampai pertengahan 1990an; sampai pada Good Governance yg berkembang semenjak pertengahan 1990an hingga saat ini. 

Pergeseran kerangka berpikir Administrasi Publik tersebut, sudah membawa akibat terhadap penyelenggaraan peran Administrasi Publik khususnya terkait dengan pendekatan yg digunakan dalam pembuatan serta pelaksanaan strategi; pengelolaan organisasi secara internal; dan hubungan antara Administrasi Publik dengan politisi, warga dan aktor Lainnya. Implikasi yang demikian tentu saja pada akhirnya akan sangat memilih corak dan ragam pada penyelengaraan Pemerintahan serta sebuah Negara, termasuk Indonesia. Corak dan ragam tersebut akan sangat dipengaruhi oleh kondisi lokal yang ada pada Negara tersebut, dalam artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tersebut telah beradaptasi dengan perkembangan paradigma yg ada; dan sejauhmana penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan konteks lokal serta konflik yang ada pada Negara tadi. 

Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai dengan bergesernya paradigma dalam Administrasi Publik. Kita mengetahui paling nir ada tiga paradigma yang sudah serta akan sedang berlangsung pada Administrasi Publik; yaltu (1) Classic Public Adininistrastion, (dua) New Public Management, dan (3) Good Governance and the new public services. Perubahan paradigma pada Ilmu Administrasi Publik tadi menuntut perubahan kurikulum dan materi pedagogi pada pendidikan tinggi. 

1. Paradigma Administrasi Publik 
1 .1. Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration) 
a. Konsep yg dipakai 
Dalam pandangan klasik, Administrasi Publik seringkali dipandang sebagai seperangkat Institusi Negara, proses, prosedur, sistem serta struktur organisasi, serta praktek dan periilaku buat mengelola urusan-urusan Publik pada rangka melayani kepentingan Publik (Econoinic and Social Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik dari ESC-UN (2004) bekerja melalui seperangkat aturan menggunakan legitimasi, delegasi, kewenangan rasional sah, keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat serta seksama:, dapat diprediksi, mempunyai standar, integnitas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan kepentingan rakyat generik. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai sebuah instrumen Negara diperlukan buat menyediakan basis fundamental bagi perkembangan manusia dan rasa aman, termasuk pada dalamnya kebebasan individu, proteksi akan kehidupan serta kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi insan, stabilitas, dan resolusi konflik secara damai baik pada mengalokasikan atau mendistribusikan surnberdaya juga dalam hal-hal lalnnya (Econoinic and Social Council UN, 2004). Dengan kata lain, Administrasi Negara yang efektif harus ada untuk menjamin keberlanjutan anggaran aturan (Econoinic and SociaL CounciL UN, 2004). 

Sehigga bisa dikatakan bahwa Administrasi Publik contoh klasik ini cenderung menggunakan pendekatan yang legalistik. 

Studi Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan donasi Woodrow Wilson (1887) pada “A Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan mengungkapkan bahwa harus terdapat pemisahan antara politik serta Administrasi. Politik “who should maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should be administered”. Kajian yang sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) dalam “Politic and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi bebas serta impak politik, meskipun Administrasi membantu dalam hukuman kebijakan/Keputusan politik. 

Paradigma Administrasi Publik model klasik juga dapat dipandang melalui contoh “old chesnuts” menurut Peters (1996 serta 2001), dimana Administrasi Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis serta terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis serta dari peraturan; penugasan yg permanen serta stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan keluaran yg seragam (lihat pada Oluwu, 2002 serta Frederickson, 2004). Dalam hal ini kharakter Old Public Administration dicirikan oleh aktivitas pemèrintah yang terfokus dalam anugerah pelayanan pada rakyat yg dilakukan oleh administrator Publik yg akuntabel serta bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar primer yang diperjuangkan pada Old Public Administration merupakan efisiensi dan rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan menjadi rencana, organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting. 

b. Kritik terhadap contoh kiasik 
Kritik yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut juga dikaitkan dengan ciri serta Administrasi Publik yg dipercaya inter Qua, red tape, lamban, tidak sensltif terhadap kebutuhari warga , penggunaan sumberdaya Publik yg sia-sia akibat hanya berfokus dalam proses serta prosedur dibandingkan kepada hasil, sebagai akibatnya dalam akhirnya mengakibatkan munculnya pandangan negatif serta rakyat yang menganggap Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Econoinic and SociaL Council UN, 2004). 

Kritik terhadap Administrasi Publik contoh kiasik pula bisa ditinjau pada kaitannya dengan eksistensi konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat setidaknya dua (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian tadi (Prasojo, 2003), yakni: pertama, pada interaksi antara warga serta negara, implementasi birokrasi ditandai menggunakan meningkatnya intensitas perundang-undangan dan juga kompleksitas peraturan; kedua, struktur birokrasi dalam hubungannya dengan rakyat sering dikritisi sebagai` penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus sebagai penyebab jauhnya birokrasi serta warga . Peningkatan intensitas dipercaya memiliki resiko dimana pada akhirnya akan mengakibatkan intervensi negara yg akan menyentuh seluruh aspek kehidupan warga serta pada akhirnya menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai sistem yg tertutup dengan pendekatan hirakis yg top down serta berukuran kinerja yang hanya berbasis dalam efisiensi bukan responsiveness. Itu sebabnya birokrasi sebagai lamban dan kurang responsif dengan perubahan dan kebutuhan warga . Kritik-kritik sebagaimana tadi pada atas kemudian mengakibatkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik. 

2. Gelombang Pertama Pembaharuan: 
2.1. Progressive Era Public Administration (PPA) 
Dalam perkembangan kerangka berpikir Administrasi Publik, di negara-negara industri maju, pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama metiputi du.A gelombang reformasi yang radikat. Gelombang pertama datam Administrasi Publik disebut dengan Progressive Era Public Administration (PPA) (Wallis, DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama perbaharuan ini berupaya menaikkan profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan seleksi serta kenaikan pangkat dalam birokrasi yang berbasis merit dan bukan patronase, berdasarkan pada hukum dan peraturan bukan dalam diskresi yg tidak terbatas, aplikasi pelayanan publik yg berbasis impersonalitas, prosedur modernisasi pada sebuah transformasi yang sangat cepat dan merogoh tempat pada produksi ekonomi negara-negara industri maju (Hood, 1994).

2.dua. New public Management (NPM)
a. Konsep yang digunakan
Dari banyak perkara yg terdapat, NPM dipercaya sudah banyak berbuat buat menggoyang organisasi publik yang tidur serta melayani dirinya sendiri melalui penggunaan inspirasi-wangsit menurut sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan banyak pilihan buat mencoba mencapai biaya yg efektif pada penyampaian barang publik misalnya adanya organisasi yang terpisah buat kebijakan serta implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak serta metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yg kuat terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam bahasa penulis, NPM berusaha buat memperbaiki kinerja organisasi sektor publik menggunakan memakai metode yg biasa digunakan sang sektor privat dan melalui prosedur pasar. Pada dasarnya hal yg baru dalam NPM (what is new public management) merupakan mereformasi kerangka berpikir administrasi publik usang yang berbasis traditional ruled based, authority driven process menggunakan pendekatan baru yg berbasis market-based dan compettition driven based.

Terdapat sejumlah prinsip dasar menurut NPM menurut pendapat dari sejumlah ahli sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 serta Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; dan Borins and Warrington 1996 pada Samaratunge and Bennington, 2002).
  • Penanganan oleh manajemen profesonaL. 
  • Keberadaan baku dan ukuran kinerja. 
  • Penekanan pada pengawasan keluaran serta manajenien wirausaha. 
  • Kompetisi pada pelayanan Publik. 
  • Penekanan dalam gaya sektor privat dalam praktek manajemen. 
  • Penekanan yang lebih akbar pada disiplin dan penghematan. 
  • Penekanan terhadap kiprah serta manajer Publik pada menyediakan pelayanan yg berkualitas tinggi 
  • Mengadvokasi otonoini manajerial menggunakan mengurangi pengawasan peran forum pusat 
  • Tuntutan, pengukuran serta penghargaan terhadap kinerja individu serta organinasi.
  • Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya insan dan teknologi yg diperlukan manajer pada memenuhi target kinerjanya. 
  • Menjaga penerimaan terhadap kompetisi serta wawasan yg terbuka menenai bagaimana tujuan Publik wajib dilaksanakan sang aparat pemerintah. 
Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para pakar Administrasi Publik tersebut pada dasarnya bertujuan buat mencapai ` pada poly hal, Publik seringkati nir ditibatkan buat berpartisipasi pada memilih, meencanakan, mengawasi serta mengevaluasi tindakan-tindakan yg diambiL untuk dapat menjarnin bahwa Publik permanen menjadi sentra dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap warga hanya menjadi konsumen semata menyebabkan warga dijauhkan dan haknya buat berpartisipasi. 

Kritik Lain dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt rakyat seharusnya melayani masyarakat masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai masyarakat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity). 

C.tiga. Kritik terhadap NPM
Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yg dianggap sebagai kelemahan berdasarkan NPM, misalnya yang dinyatakan oleh Oluwu (2002).

Menurut OLuwu, ketika Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang ditawarkan oleh pendekatan pasar maka perseteruan yang ada ada1ah terkait dengan pernyataan bahwa nir terdapat perbedaan antara manajemen sektor publik dengan sektor privat pada mengimplementasikan NPM. Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka tentang validitas empirik dan NPM pada hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yg dianggap ideal buat sektor publik. Terdapat sejumlah kontradiksi antara klaim datam NPM terhadap syarat yang terdapat pada sektor publik. Model usahawan acapkali bisa mengurangi esensi dan nilai-nilai demokratis misalnya keaditan, peradilan, keterwakitan serta partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya disparitas akbar antara kekuatan pasar menggunakan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini nir selalu dapat memenuhi apa yg menjadi kepentingan publik. Bahkan pada poly hal, publik acapkali nir dilibatkan buat berpartisipasi dalam menentukan, merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil buat bisa menjamin bahwa publik tetap sebagai pusat serta tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap rakyat hanya menjadi konsumen semata menyebabkan masyarakat dijauhkan dan haknya buat berpartisipasi.

Kritik lain dikemukakan oleh Janet Denhardt serta Robert Denhardt dalam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt serta Denhardt warga seharusnya metayani masyarakat rakyat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai rakyat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata lantaran produktivitasnya (value people, not just productivity). 

3. The New Governance: Membangun Jejaring antara Pemerintah dengan Aktor Iainnya 
Pengertian dan good governance bisa dipandang serta pemahaman yg dimiliki baik sang IMF juga World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara buat memperkuat “kerangka kerja institusional serta pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini berdasarkan mereka berarti bagaimana memperkuat anggaran aturan serta prediktibilitas serta imparsialitas dan penegakannya (Bappenas, 2002). Ini jua berarti mencabut akar dan korupsi serta kegiatan-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melal.ui transparansi din aliran warta dan menjamin bahwa keterangan mengenal kebijakan serta kinerja dan institusi pemerintah dikumpulkan serta diberikan kepada warga secara memadai sebagai akibatnya warga dapat memonitor dan mengawasi manajemen serta dana yang berasal. Serta masyarakat (Bappenas, 2002). Pengertian mililiter sejatan menggunakan endapat Bovaird and Loffler (2003) yang rnengatakán bahwa good governance mengusung sejumlah gosip seerti: ketenlibtan stokeholder; cransparansi; agenda kesetaraan (gender, etnik, usia, kepercayaan , serta Lainnya); etika dan perilaku jujur; akuntabititas; serta keberlanjutan. 

Paradigma The New Governance menitikberatkan dalam nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan dan kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang bisa meningkatkan partisipasi rakyat pada pencapain tujuan nasional serta keadilan sosial. Paradigma the new Governance lahir buat memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat di pada Publik sektor menggunakan kiprah masyarakat pada pembangunan serta pelayanan Publik. Karya terakhir yg memperkuat kerangka berpikir the new governance merupakan The New Public Sevices Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt serta Denhardt mengajukan kritik yg keras terhadap paradigma The New Pubtic Management yang dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.

B. ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER
Berdasarkan pembahasan terhadap kerangka berpikir yg berkembang dalam Administrasi Publik, maka masih ada sejumlah info yg dapat dijelaskan sesual menggunakan perkembangan kekinian (Zeitgeist). Isu-info ini krusial buat segera direspons oleh para akademisi dan praktisi administrasi Publik dalam pendidikan tinggi administrasi Publik.

1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang telah mengalami transformasi ke negara maju, reformasi administrasi negara adalah langkah awal dan prioritas pada pembangunan. Administrasi negara sebagai sektor pembangunan (administrative Development) sekaligus menjadi instrumen krusial pembangunan (Development Ac’ininistration). Reformasi administrasi negara pada negara-negara tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran serta fungsi kelembagaan yg sebagai motor penggerak reformasi Administrasi, serta (2) menata balik sistem administrasi negara baik pada hal struktur, proses, asal daya insan (PNS) serta retasi antara negara serta warga .

Isu reformasi administrasi ini sejalan dengan upaya buat melakukan modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar serta pengataman beberapa negara, maka kunci dari keberhasilan pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara. Sebagai contoh milsalnyaa Korea Selatan yang sudah melakukan reposisi serta revitalisasi peran administrasi negara dari tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan dalam waktu itu merupakan melalui civil servant ethics act dalam tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, dan social purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi serta simplifikasi mekanisme, restrukturisasi pemerintah pusat serta penguatan kiprah komisi reformasi administrasi. Semua bisnis Korea Setatan buat merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional, higienis serta berwibawa, Beberapa gosip dan rencana yg tengah berkembang pada kaitan dengan efonnasi birokrasi adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (dua) Restrukturisasi, downsizing serta iightsizing, perubahan manajemen serta organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi Pemerintahan, (3) Anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, (4) dan interaksi-hubungan baru antara pemerintah dan rakyat datam pembangunn serta pemerintahan. 

Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, berita reformasi birokrasi ini sebagai sangat retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yg belum selesai. Sistem Birokrasi di Indonesia yg menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi perkara yang sangat fundamental. Pertama, menjadi liputan sejarah bangsa sistem administrasi yg kini diterapkan. Merupakan peninggalan pemerintah kotonial. Yang jua memiliki dasar-dasar aturan serta kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yg ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. Masyarakat negara (lihot Thoha: 2003). Tidak mengherankan bila struktur serta proses yang dibangun adalah instrumen buat mengatur serta mengawasi konduite masyarakat, bukan sebaliknya buat mengatur pemerintah pada tugas menaruh pelayanan pada warga . Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tadi adalah buat mempertahankan kekuasaan serta mengontrol perilaku individu. 

Ketidakmampuan pemerintah buat melakukan perubahan struktur, kebiasaan, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tadi sudah menyebabkan gagalnya upaya buat memenuhi aspirasi serta kebutuhan warga . Kualitas dan kinerja birokrasi pada memberikan pelayanan Publik masih jauh dan asa. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik yg berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yg terbentuk adalah obsesi para birokrat serta politisi buat mengakibatkan birokrasi sebagai lahan pemenuhan keinginan dan kekuasaan (power culture). Dalam kultur yang demikian, korups, kolusi serta nepotisme sebagai hal yg umum, sehingga kualitas pelayanan serta pemerintahan. Seringkali terabaikan. 

Dalam kaitan menggunakan reformasi birokrasi pada Indonesia, maka berita-info yang terkait menggunakan menggunakan reformasi birokrasi pada kerangka tecritik serta perbandingan menggunakan negara lain harus sebagai baian yang nir terpisahkan kurikulum. 

Ketiadaan komitmen dan paradigma mengenai kiprah, kedudukan serta fungsi administrasi negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi di Indonesia nir mempunyai visi, kehilangan ruh serta berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, nir adanya kemauan potitik serta pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait serta terintegrasi. 

Ketidakpahaman ini sudah menyebabkan nir saja gagalnya program pembangunan, namun juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan. 

2. Desentralisasi 
Isu lain yg berkembang secara teoritik serta praktek dalam administrasi Publik adalah desentralisasi. Perkembangan informasi desentralisasi ini terkait menggunakan bantuan-donasi negara asing serta lembaga-lembaga donor buat memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang telah .sejak usang bersamaan dengan mengalirnya dana donasi donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada waktu ini informasi tersebut semakin bertenaga serta dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa interaksi antara pemerintah pusat dan pemerintah wilayah adalah sesuatu yg bergerak maju dan tidak berada dalam ruang yang vacum.

Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara pada Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan semenjak kita merdeka, aneka macam gerakan separatis yang ada pada wilayah seperti PRRI serta Pernesta pula sangat terkait menggunakan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tadi merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang hiperbola dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, interaksi antara Pusat dan Daerah mempunyai ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah pada disintegrasi bangsa semakin akbar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan pada MOU Helsinki yg membuat UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut hingga ditemukannya titik ekuilibrium baru antara pusat serta wilayah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto jua memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yg tetah direvisi menggunakan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 bisa dikatakan berhasil. Meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah. 

Desentratisasi yg merupakan refleksi interaksi antara sentra serta daerah terus akan bergulir pada proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan penting buat ikut menentukan konstruksi interaksi sentra dan wilayah pada Indonesia, pula ikut membentuk kapasitas pemerintahan daerah. Lantaran informasi ini bukan berita sesaat tetapi gosip yang terus dan akan berlanjut pada kehidupan berbangsa serta bernegara. Dalam informasi ini terkandung substansi yg sangat luas terutama buat mencipatkan pemerintahan yang efisien serta efektif, jua untuk meriingkatkan proses demokrasi pada taraf lokal.

Hasil penelitian pada lapangan terhadap 14 kabupaten dan kota pula propinsi yg dilakukan penulis menampakan banyaknya ketidaksetaraan politik (political equality) antar banyak sekali stakeholdes dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tadi meliputi rekanan antara ketua wilayah serta DPRD, ketidaksetaraan relasi antara pemerintah daerah serta warga , ketidaksetaraan antara pemerintah wilayah dan pemerintah sentra, antara KPUD, Pemerintah Daerah dan warga pada pelaksanaan pilkada.. Berbagai bentuk ketidaksetaraan tadi telah mengakibatkan sulitnya peningkatan partisipasi warga pada proses-proses pembuatan kebijakan serta keputusan politik serta kontrol atas pengunaan resources pada daerah. Ketidaksetaraan ini mengakibatkan pengaruh berantai berupa sulitnya pencapaian local responsiveness dan local acountability dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini administrasi Publik wajib mengisi kapasitas pemerintahan wilayah buat membangun dan menjalankan pemerintahan. 

3. Kualitas Petayanan Publik 
Isu yg relatif krusial serta menghiasi literatur dalam administrasi Publik merupakan peningkatan kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini menggunakan reformasi birokrasi, tetapi pada pandangan penulis informasi ini mempunyai dimensi aplikasi yang wajib mendapatkan perhatian tersendiri dalam kajian administrasi Publik. Perkembangan paradigma New Public Management sudah memasukkan unsur-unsur serta metode sektor swasta dalam sektor Publik. Hal ini contohnya dapat ditinjau dalam aneka macam literatur yg terkait dengan judul-judul. Buku serta seminar “Performance Management in Public Services, Building Partnership for Public Service, E-government, Public Private Partnership, the New Public Services, Reeinventing Government, Improved Public Service” dan berbagai judul lainnya. 

Berbagai hal yg perlu menerima perhatian dalam peningkatan kualitas pelayanan Publik adalah bagaimana membangun semangat dan jiwa entrepreneurship dalam pemerintahan serta dan perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini dilakukan antara lain melalui rasionalisasi proses dan profesionalisasi kinerja PNS. Metode yang dipergunakan diantaranya melalui Kontrak Kinerja, Privatisasi, Kemitraan Publik serta partikelir, pemanfaatan teknologi fakta serta komunikasi dalam pelayanan Publik. Berbagai strategi pelayanan Publik sudah menjadi alternatif diantaranya dengan apa yg diklaim Market Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual Enabler Authority clan atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control Authority. 

Dalam konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi Covenant Ecosob menjadi jaininan legal pada pemberian pelayanan Publik pada warga . Disamping itu, ketika ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang sebentar lagi akan dibahas pada DPR.

Meskipun demikian, praktek New Public Management yg berupaya untuk mempertinggi kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt and Denhardt, Juga Georger Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan dalam pelayanan Publik. Dimana warga yang berstatus sosial ekonomi rendah acapkali secara mudah terabaikan. Dalam kaitan ini perlu jua kalangan akademisi public administration menaruh formula yang lebih konstektual denqan kondisi Indonesia. 

4. Good Governance 
Sesuai dengan perkembangan kerangka berpikir Good Governance pada Administrasi Publik maka, informasi Governance sebagai kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan upaya buat menciptakan akses partisipasi masyarakat pada pelayanan Publik serta penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan buat menaikkan impak lain berupa akuntabilitas serta transparansi pada pemerintahan, pelayanan dan pembangunan. 

Dalam konteks ini Governance diartikan menjadi suatu hubungan yang interakti. Serta berbasis pertukaran liputan antara banyak sekali pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan juga wajib melibatkan rakyat dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi dilakukan melalui diantaranya apa yang diklaim dengar Citizen’s Charter dan Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi rakyat dalam pelayanan Publik pemerintah wajib memiliki kinerja serta orientasi pemenuhan hak-hal. Sipil warga . Dan melalui mekanisme pengaduan, rakyat bisa mengungkapkan keberatan-keberatan dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menaruh penguatan terhadap kedudukan pemerintah. 

5. Globalisasi serta Iniltenium Development Goals serta ECOSOB 
isu lain yg adalah faktor eksternal adalah menguatnya globalisasi dan regionalisasi. Hal ini diantaranya menyebabkan berkurangnya peran serta otoritas negara dalam pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan-kebijakan yg. Dibuat oleh pemerintah harus memperhatikan covenant, prinsip-prinsip serta kesepakatan internasional lainnya yang sudah diratifikasi. Termasuk dalam hal ini merupakan contohnya perjanjian perdagangan internasional, WTO, perjanjian internasional mengenai pemberantasan korupsi, dan covenant ECOSOB. Perkembangan lainnya merupakan pencanangan millenium Development Goals yg harus dipenuhi sang pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah wajib menaruh penguatan pada masyarakat buat lepas dari kemiskinan struktural yg terjadi. Dengan demikian isi ini jua akan menghipnotis kebijakan-kebijakan yang akan dibuat sang pemerintah. 

6. Kebijakan Publik 
Yang jua sebagai informasi dalam administrasi publik adalah terkait menggunakan proses penyusunan kebijakan Publik yang harus semakin baik serta aman bagi pelayanan, pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal ini terkait menggunakan proses penyusunan kebijakan yg semakin partisipatif dengan banyak sekali pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus sebagai aktor yang aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, informasi ini pula terkait dengan proses potitik yg terjadi di Parlemen pada kaitanya menggunakan Pemerintahan. Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial di Indonesia memberikan tantangan tersendiri dalam kebijakan Publik. Hal ini lantaran sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan politik, proses political merit system yang belum terbangun, dan sistem multi party. Respon administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik pada kebijakan Publik harus semakin rasional dan profesional. 

Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu kirang dikembangkan metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan perangkat lunak-perangkat lunak kebijakan Publik yang dapat merasionalisasi secara kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (misalnya AHP serta System Dynainic) wajib dikuasai pada sang para produsen kebijakan. Termasuk merupakan dominasi metode system thinking serta system dynainic buat memperkuat proses pembuatan keputusan. Perkembangan baru seperti knowledge management wajib menjadi kurikulum pada administrasi Publik. 

7. Hukum Administrasi Negara 
Isu lainnya yang relevan menggunakan kajian administrasi Publik merupakan Hukum Administrasi Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya mempunyai interaksi yang sangat dekat sebagaimana telah sebagai tradisi pada administrasi publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya melakukan reformasi dalam administrasi Publik disebabkan jua oleh lemahnya integrasi antara Administrasi Publik menggunakan Hukum Administrasi Negara. 

Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras Hukum Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi ke 2 dan ketiga di Indonesia kurang memahami konteks hukum administrasi negara. Hal ini berbeda menggunakan ilmuwan administrasi Publik generasi pertama misalnya Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh karena itu, telah saatnya memikirkan pulang perubahan kurikulum administrasi Publik yg berorientasi jua dalam kajian Hukum Administrasi Negara pada kaitannya dengan studi administrasi Publik.

C. NEGARA, PEMERINTAH DA ADMINISTRASI NEGARA 
Administrasi Publik di Indonesia mengalami masalah krusial lantaran sulitnya memisahkan antara negara (Stoat), pemerintah (Regierung) serta Administrasi Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan manunggal sebagai akibatnya sulit rnembedakan secara sahih penggunaan dan fungsi negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara ini kurang mendapatkan perhatian sebagai akibatnya sering pekerjaan administrasi Publik dengan mudah diintervensi sang pemerintah. 

Presiden adalah ketua negara serta kepala pemerintahan, sekaligus ketua administrasi. Tetapi fungsi ini harus dapat dipisahkan dengan baik, lantaran negara adalah bukan hanya pémerintah. Demikian juga pemerintah yg dipilih secara demokratis serta administrasi Publik yg diangkat dan bekerja menurut Undang-undang wajib terdapat pembagian fungsi dan peran yang tegas. Tentu saja pada pengertian yg luas ruang linkup kajian administrasi Publik dapat meliputi negara, pemerintah serta administrasi Publik. Tetapi dalam kehidupan praktek administrasi Publik perlu dipikirkan upaya buat mempertegas garis batas antara negara, pemerintah dan administrasi Publik. Beban berat administrasi Publik buat melaksanakan keputusan-keputusan politik acapkali disebabkan sang tidak tegasnya garis antara negara, pemerintah dan masyarakat. 

PENGEMBANGAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK DAN ISUISU KONTEMPORER ADMINISTRASI NEGARA DI INDONESIA

Pengembangan Ilmu Administrasi Publik Dan Isu-Isu Kontemporer Administrasi Negara Di Indonesia
Administrasi Publik memainkan peranan yg krusial datam penyelenggaraan Pemerintahan. Baik buruknya penyetenggaraan pemerintahan dan pelayanan Publik sangat dipengaruhi oleh kuatitas Administrasi Publik yang diiniliki sang suatu negara. Dalam konteks Negara Kesatuan RePublik Indonesia, eksistensi Administrasi Publik merupakan instrumen krusial buat mewujudkan tujuan-tujuan negara yg termaktub pada UUD 1945 antara lain untuk memajukan kesejahteraaan urnum serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dalam teori serta praktek, Administrasi Publik telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya konsep Negara Bangsa sampai lahirnya ilmu terkini dan Administrasi Publik yang hingga ketika ini telah mengalami beberapa kali pergeseran paradigma, mulai menurut model klasik yang berkembang daam kurun saat 1855/1887 hingga akhir 1980an; New Public Management (NPM) yg berkembang dälam kurun ketika akhir 1980an sampai pertengahan 1990an; hingga kepada Good Governance yang berkembang sejak pertengahan 1990an sampai waktu ini. 

Pergeseran kerangka berpikir Administrasi Publik tersebut, telah membawa akibat terhadap penyelenggaraan kiprah Administrasi Publik khususnya terkait dengan pendekatan yg digunakan dalam pembuatan dan aplikasi strategi; pengelolaan organisasi secara internal; dan hubungan antara Administrasi Publik dengan politisi, rakyat dan aktor Lainnya. Implikasi yang demikian tentu saja dalam akhirnya akan sangat memilih corak dan ragam pada penyelengaraan Pemerintahan dan sebuah Negara, termasuk Indonesia. Corak serta ragam tadi akan sangat ditentukan sang syarat lokal yg terdapat di Negara tadi, dalam artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tadi telah mengikuti keadaan dengan perkembangan paradigma yang terdapat; serta sejauhmana penyesuaian tadi dilakukan menggunakan memperhatikan konteks lokal dan permasalahan yang ada pada Negara tadi. 

Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai menggunakan bergesernya kerangka berpikir pada Administrasi Publik. Kita mengetahui paling nir terdapat 3 paradigma yg sudah serta akan sedang berlangsung dalam Administrasi Publik; yaltu (1) Classic Public Adininistrastion, (dua) New Public Management, serta (3) Good Governance and the new public services. Perubahan paradigma pada Ilmu Administrasi Publik tadi menuntut perubahan kurikulum dan materi pengajaran pada pendidikan tinggi. 

1. Paradigma Administrasi Publik 
1 .1. Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration) 
a. Konsep yang digunakan 
Dalam pandangan klasik, Administrasi Publik sering dicermati menjadi seperangkat Institusi Negara, proses, mekanisme, sistem serta struktur organisasi, dan praktek dan periilaku buat mengelola urusan-urusan Publik dalam rangka melayani kepentingan Publik (Econoinic and Social Council UN, 2004). Sebagai organisasi birokrasi, Administrasi Publik berdasarkan ESC-UN (2004) bekerja melalui seperangkat anggaran dengan legitimasi, delegasi, kewenangan rasional sah, keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat dan akurat:, dapat diprediksi, mempunyai standar, integnitas dan profesionalisme pada rangka memuaskan kepentingan rakyat umum. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai sebuah instrumen Negara diperlukan buat menyediakan basis fundamental bagi perkembangan manusia serta rasa aman, termasuk pada dalamnya kebebasan individu, perlindungan akan kehidupan dan kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap hak asasi manusia, stabilitas, serta resolusi konflik secara hening baik dalam mengalokasikan atau mendistribusikan surnberdaya maupun pada hal-hal lalnnya (Econoinic and Social Council UN, 2004). Dengan istilah lain, Administrasi Negara yang efektif harus ada untuk mengklaim keberlanjutan anggaran aturan (Econoinic and SociaL CounciL UN, 2004). 

Sehigga dapat dikatakan bahwa Administrasi Publik contoh klasik ini cenderung menggunakan pendekatan yg legalistik. 

Studi Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan donasi Woodrow Wilson (1887) pada “A Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan menyampaikan bahwa wajib terdapat pemisahan antara politik serta Administrasi. Politik “who should maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should be administered”. Kajian yg sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) pada “Politic and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi bebas serta efek politik, meskipun Administrasi membantu dalam hukuman kebijakan/Keputusan politik. 

Paradigma Administrasi Publik contoh klasik jua dapat dilihat melalui contoh “old chesnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi Publik dari dalam Pegawai Negeri yg politis serta terinstitusionalisasi; organisasi yang hirarkhis dan dari peraturan; penugasan yg permanen dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta membuat keluaran yang seragam (lihat pada Oluwu, 2002 serta Frederickson, 2004). Dalam hal ini kharakter Old Public Administration dicirikan oleh kegiatan pemèrintah yg terfokus dalam hadiah pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan sang administrator Publik yg akuntabel dan bertanggungjawab secara demokratis kepada elected officiaL. Nilai dasar utama yg diperjuangkan pada Old Public Administration adalah efisiensi serta rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan sebagai rencana, organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting. 

b. Kritik terhadap contoh kiasik 
Kritik yg ditujukan terhadap Administrasi Publik model klasik tersebut jua dikaitkan dengan karakteristik serta Administrasi Publik yang dipercaya inter Qua, red tape, lamban, tidak sensltif terhadap kebutuhari masyarakat, penggunaan sumberdaya Publik yang sia-sia akibat hanya berfokus dalam proses dan mekanisme dibandingkan pada hasil, sehingga pada akhirnya menyebabkan keluarnya pandangan negatif serta warga yg menduga Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Econoinic and SociaL Council UN, 2004). 

Kritik terhadap Administrasi Publik model kiasik pula bisa dilihat pada kaitannya menggunakan eksistensi konsep “Birokrasi Ideal” dan Weber. Terdapat setidaknya 2 (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian tadi (Prasojo, 2003), yakni: pertama, dalam interaksi antara rakyat serta negara, implementasi birokrasi ditandai menggunakan meningkatnya intensitas perundang-undangan dan jua kompleksitas peraturan; ke 2, struktur birokrasi dalam hubungannya menggunakan rakyat tak jarang dikritisi sebagai` penyebab menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus menjadi penyebab jauhnya birokrasi serta masyarakat. Peningkatan intensitas dipercaya mempunyai resiko dimana pada akhirnya akan menyebabkan intervensi negara yang akan menyentuh seluruh aspek kehidupan warga serta dalam akhirnya mengakibatkan biaya penyelenggaraan birokrasi menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik lainnya adatah bahwa Administrasi Publik sebagai sistem yang tertutup menggunakan pendekatan hirakis yg top down dan ukuran kinerja yang hanya berbasis dalam efisiensi bukan responsiveness. Itu sebabnya birokrasi menjadi lamban dan kurang responsif dengan perubahan dan kebutuhan rakyat. Kritik-kritik sebagaimana tersebut pada atas lalu mengakibatkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik. 

2. Gelombang Pertama Pembaharuan: 
2.1. Progressive Era Public Administration (PPA) 
Dalam perkembangan paradigma Administrasi Publik, pada negara-negara industri maju, pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama metiputi du.A gelombang reformasi yg radikat. Gelombang pertama datam Administrasi Publik diklaim menggunakan Progressive Era Public Administration (PPA) (Wallis, DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama perbaharuan ini berupaya menaikkan profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan seleksi dan kenaikan pangkat dalam birokrasi yg berbasis merit dan bukan patronase, menurut pada aturan serta peraturan bukan dalam diskresi yg tidak terbatas, aplikasi pelayanan publik yang berbasis impersonalitas, mekanisme modernisasi dalam sebuah transformasi yg sangat cepat dan merogoh tempat pada produksi ekonomi negara-negara industri maju (Hood, 1994).

2.dua. New public Management (NPM)
a. Konsep yang digunakan
Dari banyak masalah yg ada, NPM dianggap telah poly berbuat untuk menggoyang organisasi publik yang tidur serta melayani dirinya sendiri melalui penggunaan wangsit-pandangan baru dari sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan poly pilihan buat mencoba mencapai biaya yang efektif pada penyampaian barang publik misalnya adanya organisasi yang terpisah buat kebijakan serta implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak dan metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM memiliki fokus yg kuat terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam bahasa penulis, NPM berusaha buat memperbaiki kinerja organisasi sektor publik menggunakan memakai metode yg biasa digunakan oleh sektor privat serta melalui mekanisme pasar. Pada dasarnya hal yang baru pada NPM (what is new public management) merupakan mereformasi kerangka berpikir administrasi publik usang yang berbasis traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang berbasis market-based dan compettition driven based.

Terdapat sejumlah prinsip dasar berdasarkan NPM menurut pendapat menurut sejumlah ahli sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens 1998 dalam Oluwu, 2002; serta Borins and Warrington 1996 pada Samaratunge and Bennington, 2002).
  • Penanganan oleh manajemen profesonaL. 
  • Keberadaan baku dan ukuran kinerja. 
  • Penekanan dalam supervisi keluaran serta manajenien wirausaha. 
  • Kompetisi dalam pelayanan Publik. 
  • Penekanan pada gaya sektor privat pada praktek manajemen. 
  • Penekanan yang lebih akbar pada disiplin serta penghematan. 
  • Penekanan terhadap peran dan manajer Publik dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi 
  • Mengadvokasi otonoini manajerial menggunakan mengurangi supervisi kiprah forum pusat 
  • Tuntutan, pengukuran serta penghargaan terhadap kinerja individu serta organinasi.
  • Menyadari pentingnya penyediaan sumberdaya insan dan teknologi yg diharapkan manajer dalam memenuhi target kinerjanya. 
  • Menjaga penerimaan terhadap kompetisi serta wawasan yg terbuka menenai bagaimana tujuan Publik harus dilaksanakan oleh aparat pemerintah. 
Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para pakar Administrasi Publik tadi dalam dasarnya bertujuan buat mencapai ` pada poly hal, Publik seringkati tidak ditibatkan buat berpartisipasi dalam memilih, meencanakan, mengawasi serta mengevaluasi tindakan-tindakan yg diambiL buat bisa menjarnin bahwa Publik tetap sebagai pusat dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap warga hanya menjadi konsumen semata menyebabkan warga dijauhkan serta haknya untuk berpartisipasi. 

Kritik Lain dikemukakan sang Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt serta Denhardt masyarakat seharusnya melayani rakyat warga bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity). 

C.tiga. Kritik terhadap NPM
Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah hal yang dipercaya menjadi kelemahan dari NPM, seperti yg dinyatakan sang Oluwu (2002).

Menurut OLuwu, saat Administrasi Pubtik berusaha memaharni pesan yang ditawarkan sang pendekatan pasar maka pertarungan yg muncul ada1ah terkait menggunakan pernyataan bahwa nir ada perbedaan antara manajemen sektor publik menggunakan sektor privat pada mengimplementasikan NPM. Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yg mengemuka tentang validitas empirik serta NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yg dianggap ideal buat sektor publik. Terdapat sejumlah pertentangan antara klaim datam NPM terhadap syarat yang ada di sektor publik. Model usahawan sering dapat mengurangi esensi dan nilai-nilai demokratis misalnya keaditan, peradilan, keterwakitan dan partisipasi. Hal ini dari ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya disparitas besar antara kekuatan pasar dengan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini nir selalu dapat memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam banyak hal, publik tak jarang nir dilibatkan buat berpartisipasi dalam memilih, merencanakan, mengawasi serta mengevaluasi tindakan-tindakan yg diambil buat dapat mengklaim bahwa publik permanen sebagai sentra serta tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap warga hanya sebagai konsumen semata menyebabkan warga dijauhkan serta haknya buat berpartisipasi.

Kritik lain dikemukakan sang Janet Denhardt serta Robert Denhardt dalam bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya metayani masyarakat masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan kepentingan publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai rakyat negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), serta menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity). 

3. The New Governance: Membangun Jejaring antara Pemerintah menggunakan Aktor Iainnya 
Pengertian dan good governance dapat ditinjau dan pemahaman yang dimiliki baik sang IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara buat memperkuat “kerangka kerja institusional serta pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini berdasarkan mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas dan imparsialitas dan penegakannya (Bappenas, 2002). Ini pula berarti mencabut akar serta korupsi dan aktivitas-kegiatan rent seeking, yang bisa dilakukan melal.ui transparansi din genre warta dan mengklaim bahwa fakta mengenal kebijakan serta kinerja dan institusi pemerintah dikumpulkan serta diberikan kepada rakyat secara memadai sebagai akibatnya rakyat bisa memonitor dan mengawasi manajemen serta dana yang berasal. Serta rakyat (Bappenas, 2002). Pengertian ml sejatan menggunakan endapat Bovaird and Loffler (2003) yg rnengatakán bahwa good governance mengusung sejumlah gosip seerti: ketenlibtan stokeholder; cransparansi; rencana kesetaraan (gender, etnik, usia, agama, dan Lainnya); etika serta konduite amanah; akuntabititas; dan keberlanjutan. 

Paradigma The New Governance menitikberatkan pada nilai-nilai yg menjunjung tinggi impian serta kehendak rakyat, serta nilai-nilai yang dapat menaikkan partisipasi rakyat pada pencapain tujuan nasional dan keadilan sosial. Paradigma the new Governance lahir buat memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat pada dalam Publik sektor menggunakan peran rakyat dalam pembangunan serta pelayanan Publik. Karya terakhir yg memperkuat paradigma the new governance merupakan The New Public Sevices Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt serta Denhardt mengajukan kritik yang keras terhadap paradigma The New Pubtic Management yang dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan sektor Publik.

B. ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER
Berdasarkan pembahasan terhadap paradigma yang berkembang pada Administrasi Publik, maka terdapat sejumlah informasi yg bisa dijelaskan sesual menggunakan perkembangan kekinian (Zeitgeist). Isu-informasi ini krusial buat segera direspons oleh para akademisi dan praktisi administrasi Publik pada pendidikan tinggi administrasi Publik.

1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami transformasi ke negara maju, reformasi administrasi negara adalah langkah awal serta prioritas pada pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan (administrative Development) sekaligus sebagai instrumen krusial pembangunan (Development Ac’ininistration). Reformasi administrasi negara di negara-negara tersebut dalam umumnya dilakukan melalui 2 strategi yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, kiprah serta fungsi kelembagaan yg menjadi motor penggerak reformasi Administrasi, dan (dua) menata kembali sistem administrasi negara baik pada hal struktur, proses, asal daya insan (PNS) serta retasi antara negara dan warga .

Isu reformasi administrasi ini sejalan menggunakan upaya buat melakukan modernisasi administrasi pemerintahan. Belajar dan pengataman beberapa negara, maka kunci berdasarkan keberhasilan pembangunan bangsa merupakan bagaimana merevitalisasi administrasi negara. Sebagai contoh milsalnyaa Korea Selatan yg sudah melakukan reposisi serta revitalisasi kiprah administrasi negara dari tahun 1980-an. Beberapa reformasi yg dilakukan dalam waktu itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil servant property registration, civil servant gifts control, civil servant consciuosness reform movement, serta social purification movement (Hwang, 2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi administrasi negara diperkuat melalui deregutasi dan simplifikasi mekanisme, restrukturisasi pemerintah pusat dan penguatan kiprah komisi reformasi administrasi. Semua bisnis Korea Setatan buat merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, lantaran hasilnya merupakan efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional, bersih serta berwibawa, Beberapa info dan agenda yg tengah berkembang dalam kaitan dengan efonnasi birokrasi adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen Kepegawaian, (2) Restrukturisasi, downsizing dan iightsizing, perubahan manajemen serta organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi Pemerintahan, (tiga) Anggaran berbasis kinerja serta proses perencanaan yang partisipatif, (4) dan hubungan-interaksi baru antara pemerintah serta masyarakat datam pembangunn serta pemerintahan. 

Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, info reformasi birokrasi ini sebagai sangat retevan utamanya datam meningkatkan kecepatan krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem Birokrasi pada Indonesia yg sebagai pilar pelayanan Publik menghadapi perkara yg sangat mendasar. Pertama, menjadi fakta sejarah bangsa sistem administrasi yg kini diterapkan. Merupakan peninggalan pemerintah kotonial. Yang jua memiliki dasar-dasar aturan dan kepentingan kolonial. Struktur, kebiasaan, nilai dan regulasi yang terdapat masih berorientasi dalam pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. Rakyat negara (lihot Thoha: 2003). Tidak mengherankan apabila struktur dan proses yg dibangun adalah instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan kebalikannya buat mengatur pemerintah pada tugas menaruh pelayanan kepada masyarakat. Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tadi merupakan buat mempertahankan kekuasaan serta mengontrol perilaku individu. 

Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai serta regulasi yg berorientasi kolonial tadi telah mengakibatkan gagalnya upaya buat memenuhi aspirasi serta kebutuhan rakyat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan Publik masih jauh dan asa. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik yang berorientasi kepada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yg terbentuk merupakan obsesi para birokrat dan politisi buat membuahkan birokrasi sebagai lahan pemenuhan keinginan serta kekuasaan (power culture). Dalam kultur yg demikian, korups, kongkalikong serta nepotisme sebagai hal yang umum, sehingga kualitas pelayanan dan pemerintahan. Acapkali terabaikan. 

Dalam kaitan menggunakan reformasi birokrasi di Indonesia, maka gosip-isu yg terkait menggunakan dengan reformasi birokrasi pada kerangka tecritik serta perbandingan menggunakan negara lain harus sebagai baian yang nir terpisahkan kurikulum. 

Ketiadaan komitmen serta kerangka berpikir mengenai kiprah, kedudukan dan fungsi administrasi negara pada pembangunan negara telah menjadi penyebab reformasi birokrasi pada Indonesia tidak mempunyai visi, kehilangan ruh serta berjalan sangat sporadis. Sampai sekarang nir terlihat bentuk atau grand design yg diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, nir adanya kemauan potitik serta pemerintah. Semua bentuk reformasi yg dijalankan pada negara lain diadopsi tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi. 

Ketidakpahaman ini sudah menyebabkan tidak saja gagalnya acara pembangunan, tetapi pula marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi negara sebagai agen pembangunan. 

2. Desentralisasi 
Isu lain yg berkembang secara teoritik serta praktek pada administrasi Publik adalah desentralisasi. Perkembangan berita desentralisasi ini terkait menggunakan donasi-donasi negara asing serta lembaga-lembaga donor buat memperkuat proses demokratisasi. Sejatinya gosip ini berkembang telah .semenjak lama bersamaan menggunakan mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada waktu ini info tadi semakin bertenaga dan dirasakan perlu pada konteks Indonesia. Terlebih bahwa interaksi antara pemerintah pusat serta pemerintah wilayah adalah sesuatu yg dinamis serta tidak berada pada ruang yang vacum.

Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara pada Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan semenjak kita merdeka, aneka macam gerakan separatis yg timbul pada wilayah seperti PRRI serta Pernesta pula sangat terkait menggunakan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tadi adalah reaksi terhadap kekuatan sentripetal yg hiperbola dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat serta Daerah mempunyai ancaman sekaligus asa. Menjadi ancaman lantaran aneka macam tuntutan yang mengarah pada disintegrasi bangsa semakin akbar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan pada MOU Helsinki yg membuat UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini berdasarkan saya nir berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik ekuilibrium baru antara pusat serta daerah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto pula memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti menggunakan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yg tetah direvisi menggunakan UU No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal sudah merubah corak hubungan antara Pusat serta Daerah pada Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 bisa dikatakan berhasil. Meredam gerakan sentrifugal yang terjadi pada wilayah. 

Desentratisasi yg adalah refleksi interaksi antara pusat dan daerah terus akan bergulir pada proses demokratisasi. Administrasi Publik berperan penting buat ikut memilih konstruksi hubungan sentra dan wilayah di Indonesia, juga ikut membentuk kapasitas pemerintahan wilayah. Karena gosip ini bukan gosip sesaat namun gosip yang terus serta akan berlanjut pada kehidupan berbangsa serta bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yg sangat luas terutama untuk mencipatkan pemerintahan yg efisien serta efektif, pula buat meriingkatkan proses demokrasi di taraf lokal.

Hasil penelitian di lapangan terhadap 14 kabupaten serta kota pula propinsi yg dilakukan penulis memperlihatkan banyaknya ketidaksetaraan politik (political equality) antar aneka macam stakeholdes pada penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tadi mencakup rekanan antara kepala wilayah dan DPRD, ketidaksetaraan rekanan antara pemerintah wilayah serta warga , ketidaksetaraan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, antara KPUD, Pemerintah Daerah dan masyarakat pada aplikasi pilkada.. Berbagai bentuk ketidaksetaraan tersebut telah mengakibatkan sulitnya peningkatan partisipasi masyarakat pada proses-proses pembuatan kebijakan serta keputusan politik serta kontrol atas pengunaan resources pada daerah. Ketidaksetaraan ini menyebabkan pengaruh berantai berupa sulitnya pencapaian local responsiveness serta local acountability dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini administrasi Publik wajib mengisi kapasitas pemerintahan wilayah buat menciptakan serta menjalankan pemerintahan. 

3. Kualitas Petayanan Publik 
Isu yang relatif penting serta menghiasi literatur pada administrasi Publik merupakan peningkatan kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini menggunakan reformasi birokrasi, namun pada pandangan penulis berita ini memiliki dimensi software yg wajib menerima perhatian tersendiri dalam kajian administrasi Publik. Perkembangan kerangka berpikir New Public Management telah memasukkan unsur-unsur dan metode sektor partikelir dalam sektor Publik. Hal ini misalnya bisa dicermati pada aneka macam literatur yang terkait menggunakan judul-judul. Kitab serta seminar “Performance Management in Public Services, Building Partnership for Public Service, E-government, Public Private Partnership, the New Public Services, Reeinventing Government, Improved Public Service” dan banyak sekali judul lainnya. 

Berbagai hal yg perlu mendapatkan perhatian pada peningkatan kualitas pelayanan Publik adalah bagaimana menciptakan semangat dan jiwa entrepreneurship dalam pemerintahan dan serta perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini dilakukan antara lain melalui rasionalisasi proses serta profesionalisasi kinerja PNS. Metode yg dipergunakan diantaranya melalui Kontrak Kinerja, Privatisasi, Kemitraan Publik serta partikelir, pemanfaatan teknologi liputan serta komunikasi pada pelayanan Publik. Berbagai taktik pelayanan Publik sudah menjadi cara lain antara lain menggunakan apa yang dianggap Market Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual Enabler Authority clan atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control Authority. 

Dalam konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi Covenant Ecosob sebagai jaininan legal dalam pemberian pelayanan Publik pada masyarakat. Disamping itu, ketika ini Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Pelayanan Publik yang sementara waktu lagi akan dibahas di DPR.

Meskipun demikian, praktek New Public Management yang berupaya buat meningkatkan kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt and Denhardt, Juga Georger Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan pada pelayanan Publik. Dimana rakyat yang berstatus sosial ekonomi rendah sering secara mudah terabaikan. Dalam kaitan ini perlu juga kalangan akademisi public administration menaruh formula yg lebih konstektual denqan syarat Indonesia. 

4. Good Governance 
Sesuai menggunakan perkembangan paradigma Good Governance dalam Administrasi Publik maka, isu Governance sebagai kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan upaya buat menciptakan akses partisipasi warga pada pelayanan Publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Penguatan partisipasi ini bertujuan buat menaikkan imbas lain berupa akuntabilitas dan transparansi pada pemerintahan, pelayanan dan pembangunan. 

Dalam konteks ini Governance diartikan menjadi suatu interaksi yang interakti. Dan berbasis pertukaran berita antara aneka macam pemangku kepentingan pada pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan jua wajib melibatkan rakyat dan gerombolan -gerombolan kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi dilakukan melalui antara lain apa yg disebut dengar Citizen’s Charter dan Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi warga pada pelayanan Publik pemerintah harus mempunyai kinerja dan orientasi pemenuhan hak-hal. Sipil warga . Dan melalui mekanisme pengaduan, warga bisa mengungkapkan keberatan-keberatan dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menaruh penguatan terhadap kedudukan pemerintah. 

5. Globalisasi serta Iniltenium Development Goals serta ECOSOB 
isu lain yg merupakan faktor eksternal merupakan menguatnya globalisasi serta regionalisasi. Hal ini diantaranya mengakibatkan berkurangnya kiprah serta otoritas negara dalam pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan-kebijakan yang. Dibuat sang pemerintah harus memperhatikan covenant, prinsip-prinsip dan kesepakatan internasional lainnya yang sudah diratifikasi. Termasuk pada hal ini adalah contohnya perjanjian perdagangan internasional, WTO, perjanjian internasional tentang pemberantasan korupsi, serta covenant ECOSOB. Perkembangan lainnya adalah pencanangan millenium Development Goals yg wajib dipenuhi oleh pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah harus memberikan penguatan pada warga untuk lepas berdasarkan kemiskinan struktural yg terjadi. Dengan demikian isi ini juga akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yg akan dibuat sang pemerintah. 

6. Kebijakan Publik 
Yang pula menjadi gosip dalam administrasi publik merupakan terkait dengan proses penyusunan kebijakan Publik yang wajib semakin baik serta aman bagi pelayanan, pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal ini terkait dengan proses penyusunan kebijakan yg semakin partisipatif menggunakan banyak sekali pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus menjadi aktor yg aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, info ini juga terkait dengan proses potitik yang terjadi pada Parlemen pada kaitanya menggunakan Pemerintahan. Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial pada Indonesia menaruh tantangan tersendiri pada kebijakan Publik. Hal ini lantaran sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan politik, proses political merit system yang belum terbangun, serta sistem multi party. Respon administrasi Publik terhadap perubahan sistem politik pada kebijakan Publik harus semakin rasional dan profesional. 

Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu kirang dikembangkan metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan aplikasi-perangkat lunak kebijakan Publik yg dapat merasionalisasi secara kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (misalnya AHP dan System Dynainic) harus dikuasai dalam oleh para pembuat kebijakan. Termasuk merupakan penguasaan metode system thinking serta system dynainic buat memperkuat proses pembuatan keputusan. Perkembangan baru misalnya knowledge management wajib sebagai kurikulum dalam administrasi Publik. 

7. Hukum Administrasi Negara 
Isu lainnya yg relevan menggunakan kajian administrasi Publik merupakan Hukum Administrasi Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya memiliki interaksi yang sangat dekat sebagaimana sudah menjadi tradisi dalam administrasi publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya melakukan reformasi dalam administrasi Publik ditimbulkan pula oleh lemahnya integrasi antara Administrasi Publik menggunakan Hukum Administrasi Negara. 

Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan perubahan perangkat keras Hukum Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik generasi kedua dan ketiga pada Indonesia kurang tahu konteks aturan administrasi negara. Hal ini tidak sama menggunakan ilmuwan administrasi Publik generasi pertama seperti Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh karena itu, sudah saatnya memikirkan balik perubahan kurikulum administrasi Publik yg berorientasi jua pada kajian Hukum Administrasi Negara dalam kaitannya dengan studi administrasi Publik.

C. NEGARA, PEMERINTAH DA ADMINISTRASI NEGARA 
Administrasi Publik di Indonesia mengalami persoalan krusial lantaran sulitnya memisahkan antara negara (Stoat), pemerintah (Regierung) dan Administrasi Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan bersatu sehingga sulit rnembedakan secara benar penggunaan dan fungsi negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara ini kurang menerima perhatian sehingga acapkali pekerjaan administrasi Publik menggunakan gampang diintervensi oleh pemerintah. 

Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus kepala administrasi. Tetapi fungsi ini harus dapat dipisahkan dengan baik, lantaran negara adalah bukan hanya pémerintah. Demikian juga pemerintah yang dipilih secara demokratis serta administrasi Publik yang diangkat serta bekerja dari Undang-undang wajib masih ada pembagian fungsi serta peran yang tegas. Tentu saja pada pengertian yang luas ruang linkup kajian administrasi Publik dapat meliputi negara, pemerintah dan administrasi Publik. Tetapi pada kehidupan praktek administrasi Publik perlu dipikirkan upaya buat mempertegas garis batas antara negara, pemerintah dan administrasi Publik. Beban berat administrasi Publik buat melaksanakan keputusan-keputusan politik seringkali ditimbulkan sang tidak tegasnya garis antara negara, pemerintah dan rakyat. 

BEBERAPA CATATAN TENTANG GOOD GOVERNANCE

Beberapa Catatan Tentang “Good Governance”
Sampai waktu ini poly pihak berbicara tentang good public governance/ bureaucracy khususnya bagi negara-negara berkembang yang sedang berupaya keras melaksanakan pembangunan di aneka macam sektor kehidupan masyarakatnya. Berbagai pandangan dan pendapat poly dilontarkan guna membangun good public governance itu. Tentunya, upaya tadi bukanlah hal yg mudah dilaksanakan misalnya halnya membentuk suatu sarana fisik, gedung misalnya, yang mampu diperkirakan secara niscaya bahan-bahannya serta saat selesainya gedung tersebut. Pembangunan administrasi negara (baca: birokrasi pemerintahan atau aparatur pemerintahan) tidak sanggup dibangun semudah serta secepat seperti pembangunan gedung tadi. Hal ini dikarenakan, administrasi negara selain adalah keliru satu sistem sosial menggunakan berbagai kompleksitas elemennya, pula adalah salah satu sub sistem menurut suatu sistem yang lebih akbar yaitu sistem kehidupan bangsa serta negara. Bahkan pada era globalisasi waktu ini, sistem administrasi negara jua terkait dan dipengaruhi oleh perkembangan dunia internasional, contohnya perkembangan perdagangan internasional melalui lembaga Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Semuanya itu, harus sebagai perhatian dan direspon sang sistem administrasi negara pada rangka mengantisipasi aneka macam perkembangan sosial, politik, dan ekonomi baik di dalam negeri juga pada global internasional. Karenanya, pengkajian terhadap pertarungan sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan memerlukan pula perhatian terhadap keadaan dan perkembangan sistem-sistem lainnya di luar sistem birokrasi pemerintahan itu sendiri baik lingkup nasional seperti sistem aturan nasional, sistem politik, serta sistem sosial rakyat, maupun lingkup internasional contohnya ASEAN, APEC, dan WTO. Upaya untuk memperbaiki sistem administrasi negara khususnya pada sebagian akbar negaranegara berkembang nir sanggup diperlukan hanya akan ada serta dilaksanakan oleh sistem itu sendiri, tanpa melibatkan sistem-sistem lainnya yg relevan, khususnya yang berada dalam negara yang bersangkutan. 

Bagaimana relevansi gambaran di atas menggunakan konteks birokrasi atau aparatur pemerintahan Indonesia yang saat ini sedang “kurang dipercaya” (adanya krisis kepercayaan terhadap aparatur pemerintahan) oleh masyarakat generik? Dalam tulisan ini akan dibahas tentang konflik aparatur atau birokrasi pemerintahan Indonesia dan upaya memperbaiki kinerjanya sebagai akibatnya bisa benar-sahih menjalankan tugas dan kegunaannya menjadi abdi negara dan abdi warga bagi kesejahteraan bangsa serta warga pada umumnya. 

Penyakit pada Birokrasi Pemerintahan 
Tuntutan buat membangun sistem administrasi negara (aparatur pemerintahan) tak jarang dianggap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses menciptakan kehidupan berbangsa serta bernegara yg demokratis, dan menjunjung tinggi aturan dalam arti yg sebenarnya. Administrasi negara dapat diartikan menjadi apa yg dilakukan pemerintah atau sang instansi, mulai menurut perencanaan hingga tahap penilaian, demikian seterusnya. Kegiatan administrasi negara ini juga termasuk kegiatan menyerap aspirasi rakyat, mengolah data/liputan, dan menyampaikannya kepada policy makers, dan mengawasi, mengendalikan dan mengevaluasi aplikasi kebijaksanaan publik. Luasnya cakupan administasi negara dapat dipandang dari keterkaitan antara administrasi negara dengan disiplin ilmu lainnya misalnya ilmu ekonomi, politik, sosiologi, aturan, psikologi, pelayanan sosial, enjinering, serta kesehatan. 

Demikian pentingnya administrasi negara, sehingga ada anggapan bahwa baik buruknya kinerja pemerintah atau suatu instansi pemerintah bisa dilihat pertama kali menggunakan melihat bagaimana pemerintah atau instansi pemerintah tersebut mengadministrasikan (dalam arti yang luas seperti mengelola sumber daya, serta bukan arti yang sempit yaitu pekerjaan kesekretariatan) aktivitas pemerintahan umum dan pembangunan yg diembannya. Pentingnya aktivitas administrasi ini mungkin secara mikro dapat digambarkan menggunakan kinerja NASA (National Aeronautic and Space Administration) Amerika Serikat, yg berhasil membawa kejayaan program ruang angkasa Amerika mengungguli acara ruang angkasa Uni Sovyet atau sekarang Russia sejak tahun 1960an. Sebenarnya, kualitas pakar ruang angkasa Uni Sovyet nir kalah dibandingkan dengan yg dimiliki Amerika, tetapi karena NASA melalukan pendayagunaan administrasinya (dalam arti yang luas) buat mengorganisir dan mendayagunakan seluruh potensi ahli ruang angkasa serta asal daya lainnya yg dimilikinya, maka akhirnya program ruang angkasa Amerika sampai saat ini bisa mengungguli program ruang angkasa Russia. “The American won because they had managers - public administrators - who were not necessarily more capable as individuals but decidedly more capable within their political, organizational, and cultural environment”. 

Bagaimana menggunakan sistem administrasi negara di negara-negara berkembang? Nampaknya sulit menemukan administrasi negara yang berkualitas di negara-negara berkembang, dalam arti kualitasnya nir tidak sama jauh dengan negara-negara yang sudah maju (Eropa Barat, Jepang dan Amerika Utara). Singapura, yg kualitas administrasi negaranya dinilai sama dengan negara-negara maju, bisa dipercaya bukan lagi sebagai negara berkembang tetapi bisa mengkategorikan menjadi negara industri baru atau bahkan negara maju. Menurut laporan Transparency International, forum independen Jerman di Berlin, lepas 31 Juli 1997, tingkat korupsi di lingkungan aparatur pemerintah Singapura relatif sangat kecil, sebagai akibatnya sistem administrasi negaranya menduduki peringkat ke-9 terbersih (clean) berdasarkan korupsi. Peringkat lainnya didominasi oleh negara-negara maju, misalnya Denmark (1), Finlandia (2), Swedia (tiga), Belanda (6), Norwegia (7), Austria (8), dan Luxemburg (10). Sebaliknya, peringkat negara-negara yang memiliki tingkat korupsi yang parah didominasi oleh negara-negara berkembang, antara lain Nigeria, Bolivia, Columbia, Rusia, Pakistan, Mexico, serta Indonesia. 

Laporan tersebut bisa saja diperdebatkan kebenarannya. Namun, terlepas setuju atau nir, citra tingkat korupsi tadi dapat dijadikan masukan atau tolok ukur buat mengevaluasi kinerja sistem adminstrasi negara suatu negara, termasuk Indonesia. Hal ini dikarenakan, korupsi sangat terkait erat menggunakan lemahnya sistem administrasi negara, mulai dari tahap perencanaan, aplikasi, sampai termin supervisi, pengendalian, serta evaluasi. Bahkan keterkaitan korupsi nir hanya dengan berbagai elemen yang ada dalam sistem administrasi negara itu sendiri, namun jua terkait erat menggunakan sistem lain diluarnya, misalnya sistem politik, sistem aturan, dan sistem sosial rakyat. Tingkat korupsi yg telah sangat merisaukan mungkin juga bisa mencerminkan taraf sakitnya sistem politik, sistem hukum, dan sistem sosial rakyat. 

Korupsi nir saja pada bentuk materi (finansial), namun pula wewenang, tugas pokok dan fungsi, ketika kerja, serta sebagainya. Kritik yang dilontarkan kepada aparatur pemerintah tentang suatu kebijakan sering kurang diperhatikan, atau kalaupun diperhatikan cenderung tidak/enggan ditindaklanjuti. Anggapan diperhatikan ini sering dijadikan sebagai justifikasi bahwa aparatur pemerintah telah melibatkan partisipasi rakyat dalam pembuatan kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, cepat atau lambat kebijaksanaan tersebut acapkali nir mencapai sasarannya. Berbagai kebijaksanaan yg diputuskan sendiri tanpa atau dengan formalitas melibatkan rakyat bisa dijumpai dalam birokrasi pemerintahan kita. Hal misalnya ini sama saja menggunakan menyimpan bom saat yg dalam suatu ketika akan meledak. Ini terbukti menggunakan munculnya fenomena krisis kepercayaan masyarakat kepada aparatur pemerintah, mulai menurut kelurahan/desa sampai departemen, pada setahun terakhir ini yang ditandai dengan maraknya aneka macam tuntutan masyarakat terhadap para birokrat atau pimpinan birokrasi pemerintahan. Bahkan ketidakpercayaan tersebut pula dimanifestasikan sang masyarakat di aneka macam daerah pada bentuk tindakan main hakim sendiri contohnya terhadap wahana hiburan malam akibat nir jelasnya kebijaksanaan aparatur pemerintah setempat mengenai hal tersebut, terhadap beberapa perampok pada Jakarta yg tertangkap, serta perusakan/pembakaran kapal pukat harimau oleh nelayan tradisional di Sumatra Utara beberapa waktu lalu. 

Penyakit korupsi memang tidak hanya milik dan identik menggunakan negara-negara berkembang saja, namun juga bisa dijumpai pada negara-negara maju. Hanya saja, taraf korupsi di negara-negara maju baik pada kualitas juga kuantitasnya nisbi kecil. Kuatnya sistem kontrol menurut sistem-sistem lainnya (aturan atau yudikatif, legislatif, dan sosial rakyat dengan aneka macam kelembagaannya) terhadap perilaku birokrasi pemerintahan serta pula partai politik yang berkuasa (the ruling party) “memaksa” birokrasi pemerintahan serta partai yang berkuasa buat berupaya memperbaiki kinerjanya. Tidak jarang kesalahan yang tampak kecil yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan, bisa menjadi informasi sosial dan isu politik yg akbar, misalnya kasus ketidakadilan pada alokasi anggaran pendidikan atau masalah pelayanan sosial yg dianggap lambat, serta masalah suap yang dapat membawa ke pengadilan nir saja pegawai yang mendapat suap namun juga rakyat yang menaruh suap tersebut. 

Namun demikian, kelemahan-kelemahan tadi akan menggunakan gampang diperbaiki oleh aparatur pemerintahannya. Kesadaran aparatur pemerintahan tentang peran serta kegunaannya dan kesadaran buat selalu mencari yang terbaik bagi sistem administrasi negaranya merupakan merupakan salah satu faktor utama mengapa reorientasi, revitalisasi, atau reformasi birokrasi pemerintahan tampak demikian mudah dan cepatnya dilakukan sang negara-negara maju. Misalnya, (a) penyempurnaan pelayanan generik di Inggris melalui program First Steps dan Next Steps masa Margareth Thatcher (semenjak 1979) yang dilanjutkan dengan program Citizen’s Charter masa John Major dan Tony Blair; (b) sosialisasi istilah serta isu good governance oleh pemerintahan Mitterand pada Perancis; serta (c) gagasan reinventing government pada Amerika buat memperbaiki peran birokrasi pemerintahan pada tahun 1990-an. Beberapa negara maju lainnya jua melakukan banyak sekali penyempurnaan pada sistem administrasi negaranya. Semua upaya tadi dimaksudkan terutama buat mempertinggi kinerja aparatur pemerintahannya agar lebih bisa memberikan kontribusi yang besar kepada peningkatan kesejahteraan masyarakatnya secara generik, dan juga untuk memenangkan persaingan yang makin tajam pada era globalisasi. Salah satu fenomena menarik menurut birokrasi pemerintahan pada negara-negara maju merupakan keberadaannya yang permanen stabil dan permanen terorganisasikan dengan baik sebagai akibatnya tetap mampu konsisten memberikan pelayanan pada masyarakat walaupun sedang terjadi “perubahan atau permasalahan” politik yang tajam, misalnya kegiatan pemilu, dan turunnya atau pergantian Perdana Menteri (Ball, 1993). Dengan demikian, tampak kemandirian dan sifat profesionalisme dalam birokrasi pemerintah tersebut, dimana ia permanen konsisten melaksanakan kiprahnya sebagai pelayan warga , dan bukan pelayan atau perpanjangan kekuasaan menurut partai yg berkuasa.

Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju tadi, di negara-negara berkembang pada umumnya birokrasi pemerintahannya cenderung sulit buat berubah kearah yg lebih baik. Birokrasi pemerintahannya masih berada posisi yang kurang atau tidak stabil dan belum menemukan pola kerja yang baik. Perubahan pimpinan negara dan bahkan seorang kepala unit kerja dapat merubah sistem administrasi (negara) kearah yang lebih buruk, atau menggunakan kata lain ganti pimpinan ganti gaya administrasi (Gambar 1 mencerminkan posisi sistem administrasi negara pada negara maju dan negara berkembang). Berbagai penyakit birokrasi (bureaupathology) termasuk korupsi cenderung sulit disembuhkan. Salah satu penyebabnya merupakan lantaran birokrasi pemerintahan seringkali dipakai sebagai alat perpanjangan kekuasaan sang para penguasa buat mempertahankan kekuasaan secara nir demokratis dan merugikan rakyat generik. Akibatnya, kiprah aparatur pemerintah yang seharusnya menjadi abdi negara dan abdi warga , yang mengutamakan kepentingan negara dan warga generik, cepat atau lambat berubah sebagai pelayan partai atau kelompok yg berkuasa. Selanjutnya, birokrat cenderung berperan sebagai yg dilayani sedangkan masyarakat sebagai yang melayani (patron-client) menggunakan memberikan imbalan eksklusif atas suatu jasa yg diberikan birokrat tersebut. 

Kondisi tersebut tidak saja terjadi dalam aparatur pemerintah taraf sentra namun juga pada wilayah-daerah. Berbagai kebijaksanaan yg dikeluarkan acapkali menandakan keadaan tadi. Misalnya, kebijakan di bidang perdagangan serta industri serta proses tender proyek fisik disusun buat menguntungkan kelompok eksklusif baik yang ada pada birokrasi pemerintahan maupun yg pada luar namun punya kaitan erat menggunakan para pejabat birokrasi pemerintahan. Pendekatan kekuasaan yang dilakukan oleh grup atau partai yang berkuasa kepada birokrasi pemerintahan telah menularkan serta menciptakan birokrasi pemerintahan untuk menggunakan pendekatan yang sama dalam banyak sekali kegiatannya baik di dalam aktivitas internal birokrasi serta terutama pada aktivitas yang melibatkan warga . Demikian kuasanya birokrasi sebagai akibatnya sikap aparatur pemerintah tak jarang sebagai merasa paling tahu (yg lebih mengetahui diantara yg mengetahui), paling sanggup/mampu, dan paling berkuasa. Ketiga sikap ini bisa dikatakan telah sebagai “stempel atau nilai (values)“ para pegawai birokrasi pemerintahan, dan mencerminkan betapa pendekatan kekuasaan telah digunakan oleh birokrasi. Padahal pendekatan kekuasaan ini cenderung merusak partisipasi masyarakat dan merusak munculnya berbagai inisiatif serta alternatif pemecahan konflik pembangunan pada berbagai sektor kehidupan. Selain itu, pendekatan kekuasaan menciptakan birokrasi pemerintah kebal terhadap kritikan serta aturan hukum. Sebagai model, pada Indonesia cukup poly keputusan peradilan tata usaha negara (PTUN) yang memenangkan tuntutan rakyat, namun pada kenyataannya nir diindahkan atau dilaksanakan oleh para pejabat birokrasi. Hal ini sinkron menggunakan asumsi bahwa kekuasaan yang hiperbola atau absolut cenderung menunjuk dalam korupsi (absolute power tends to corrupt), tentunya bila kekuasaan tadi nir dikontrol atau dikendalikan. 

Menurut Heady dan Wallis, sistem administrasi negara atau birokrasi pemerintahan pada negara-negara berkembang ditandai menggunakan beberapa kelemahan yg pula adalah karakteristik utamanya (Kartasasmita, 1997). Kelemahan atau karakteristik-karakteristik tersebut nampaknya relevan menggunakan kondisi birokrasi pemerintahan kita selama ini. 

Heady menyebutkan ada 5 ciri: 
Pertama, pola dasar (basic pattern) sistem administrasi negaranya merupakan tiruan atau jiplakan berdasarkan sistem administrasi kolonial yg dikembangkan negara penjajah khusus buat negara yg dijajahnya. Biasanya, pola administrasi negara yang diterapkan negara penjajah di negara yang dijajah bersifat elitis, otoriter, cenderung terpisah (menjadi menara gading) menurut rakyat dan lingkungannya. Selain sifat-sifat di atas, dalam birokrasi kita juga dapat dijumpai nilai patron–client yg menempatkan aparatur menjadi pihak yg dilayani serta warga menjadi pihak yang melayani. 

Kedua, birokrasi pemerintahan kekurangan sumberdaya manusia yang berkualitas baik berdasarkan segi kepemimpinan, manajemen, kemampuan dan keterampilan teknis yg sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sebaliknya, syarat yg acapkali dijumpai adalah banyaknya sumber daya insan yg kurang berkualitas dengan pembagian tugas yg tidak kentara. Akibatnya, tidak saja terjadi inefsiensi pada penggunaan sumberdaya manusia, tetapi jua terjadi penumpukkan pegawai pada satu unit kerja atau instansi. 

Ketiga, birokrasi cenderung mengutamakan atau berorientasi dalam kepentingan pribadi atau kelompok berdasarkan dalam kepentingan warga atau pencapaian sasaran yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Kelompok ini selain berada pada lingkungan internal birokrasi pula yang berada di luar birokrasi dan diuntungkan oleh birokrasi. 

Keempat, apa yang dinyatakan baik tertulis juga verbal oleh birokrasi seringkali tidak sinkron menggunakan realitas. Misalnya dalam laporan resmi disebutkan kinerja instansi X dilaporkan secara resmi sudah membaik, namun pada kenyataannya nir demikian. Contoh lain, peraturan tertentu dikeluarkan hanya buat kebutuhan politis (membuat kesan bahwa pemerintah memperhatikan perkara tersebut), dan bukan buat dilaksanakan dikarenakan kesulitan eksklusif atau pula nir/kurang adanya political will untuk melaksanakannya. 

Kelima, birokrasi cenderung bersifat otonom pada arti tanggal menurut proses politik serta supervisi masyarakat. Ciri ini erat kaitannya menggunakan ciri pertama di atas. Dalam hal ini, birokrasi seakan-akan menjadi menara gading yang tidak tersentuh. Ia bisa tetapkan apa saja tanpa merasa perlu memperhatikan dan mengajak pihak lain (stake holders) untuk merumuskannnya. Akibatnya, perilaku peka, responsif serta agresif terhadap pertarungan pembangunan yang seharusnya dimiliki aparatur pemerintahan sebagai tumpul, serta digantikan dengan perilaku mengutamakan diri sendiri atau kelompoknya (selfish), reaktif, dan lamban. Pemanfaatan birokrasi pemerintahan sebagai perpanjangan tangan partai yang berkuasa cenderung membentuk perilaku merasa berkuasa serta kurang peka terhadap aspirasi rakyat di kalangan birokrat. Salah satu akibatnya, warga generik sering menjadi korban berdasarkan “kebijaksanaan” aparatur pemerintah. Kondisi ini cepat atau lambat mengakibatkan rasa nir puas dan bahkan nir mustahil berkembang sebagai “dendam” pada diri rakyat yg suatu waktu mampu saja meledak. Maraknya tuntutan mundur, yang seringkali diwarnai, terhadap para pejabat pemerintah baik pada tingkat sentra, wilayah, dan bahkan desa (Kepala Desa) bisa dijadikan model kenyataan di atas. 

Dua ciri lainnya dibubuhi oleh Wallis
Pertama, administrasi di poly negara berkembang sangat lamban dan menjadi semakin birokratik. Kondisi ini erat kaitannya menggunakan kesejahteraan (gaji) mereka yg relatif kecil, sebagai akibatnya mempengaruhi semangat pegawainya buat bekerja secara baik. Bahkan, pula tanpa sadar mendorong mereka untuk membangun tambahan kesejahteraan diantaranya melalui aplikasi wewenang/tugasnya sebagai pegawai. Sebagai model, “menambah-nambah” persyaratan serta prosedur pelayanan menggunakan harapan mendapat atau meminta “imbalan” dari orang yang dilayaninya. Pola pelayanan menggunakan “imbalan” ini tidak hanya terjadi pada bidang pelayanan generik kepada rakyat umum, tetapi jua pelayanan bagi atau antarsesama aparatur pemerintah, contohnya “imbalan” bagi pengurusan administrasi promosi pegawai instansi vertikal, dan sebagainya, atau urusan lainnya antarinstansi. 

Kedua, aspek-aspek yang non-birokratik (administratif) sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya, hubungan keluarga, interaksi primordial (suku, agama, keturunan, dan sebagainya), golongan atau keterkaitan politik. Keadaan seperti ini cenderung mempersulit birokrasi pemerintahan untuk bertindak serta bekerja secara objektif serta rasional, dan berdasarkan anggaran aturan yg berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yg seharusnya buat kepentingan negara serta rakyat, dapat diganti menjadi buat kepentingan kelompoknya. Kegiatan-aktivitas yang gampang dijumpai pada kaitannya menggunakan aspek-aspek pada atas, antara lain dalam rekrutmen dan kenaikan pangkat pegawai serta kegiatan tender proyek. Birokrasi pemerintahan kita juga mengalami hal ini, baik dalam masa sebelum tahun 1970an dimana kepentingan aneka macam partai politik sudah mengkotakkotakkan orientasi kerja para pejabat birokrasi. Sebaliknya, sesudah tahun 1970an juga terlihat penguasaan satu kelompok politik tertentu dalam birokrasi yg pada akhirnya membawa birokrasi tidak dapat melaksanakan perannya menjadi abdi negara dan abdi rakyat dan menimbulkan krisis agama pada aparatur pemerintahan. Kebiasan membawa “teman” pejabat yg pindah menurut satu instansi ke instansi lain secara nir rasional menggunakan tujuan “mengamankan” kerja pejabat yg bersangkutan juga cermin berdasarkan ciri di atas (mungkin ini lebih sempurna dipercaya sebagai kronisme yang tidak dalam tempatnya). Contoh lain merupakan kondisi birokrasi pemerintahan pada sebagian akbar negaranegara Afrika Sub Sahara yang banyak diwarnai dengan pertentangan kepentingan kelompok suku (ethnic groups)

Aparatur Pemerintah yg Profesional 
Seperti telah diuraikan sebelumnya yg dimaksud menggunakan aparatur pemerintahan atau birokrasi pemerintahan yang profesional dalam tulisan ini nir lain (terjemahan bebas) adalah good public governance. Kata profesional tersebut walaupun terasa sedikit absurd sebagai terjemahan dari kata good, namun agaknya lebih sempurna karena pengertiannya menjadi lebih luas dan kentara dibandingkan bila menterjemahkan istilah good menjadi baik atau berwibawa. Sedangkan governance diartikan menjadi pemerintahan dimana didalamnya terdapat aparatur, sebagai akibatnya dapat dianggap menjadi aparatur pemerintahan (terjemahan bebas). Dengan demikian, yang dimaksud menggunakan good public governance pada sini merupakan aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional. Aparatur atau birokrasi pemerintahan yang profesional diantaranya memiliki kinerja yang efisien pada penggunaan sumberdaya dan efektif pada mencapai target serta target berbagai kebijaksanaan serta programnya, yg kesemuanya itu ditujukan untuk kepentingan, kesejahteraan, serta kemakmuran bangsa serta negara. Kata profesional tadi pula secara pribadi menggiring kita kepada suatu pengertian bahwa birokrasi atau aparatur tersebut bekerja dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kewibawaan aparatur pemerintah (aparatur pemerintah yg berwibawa) akan ada dengan sendirinya apabila beliau sudah dapat bekerja serta membuat kinerjanya yang efisien dan efektif. 

Terminologi governance, good governance atau good public governance atau kata lain yg seperti dengan itu menjadi terkenal pada Indonesia dalam dua-tiga tahun terahir ini karena banyak diperkenalkan oleh forum pemberi bantuan luar negeri (foreign donor agencies) baik yg bersifat multilateral juga bilateral (World Bank, 1994). Terminologi tersebut seringkali dikaitkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan (aid policies), dalam arti (good) governance atau government dijadikan galat satu aspek yg perlu dipertimbangkan pada hadiah donasi baik berupa pinjaman (loan) maupun bantuan gratis (grant). Walaupun beberapa lembaga donor internasional cenderung memakai terminologi yg berbeda mengenai aparatur pemerintahan, tetapi yang dimaksud adalah sama. 

World Bank lebih suka memakai istilah good (public) governance, dan mengartikan governance menjadi the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and social resources for development” (World Bank, 1994). Sedangkan African Development Bank (AfDB) memperkenalkan istilah macrogovernance, mesogovernance (combining forms of governance) serta microgovernance buat membedakan strata pemerintahan. AfDB menganggap bahwa regim pemerintahan otoriter yang mempunyai komitmen yg bertenaga terhadap pembangunan mungkin saja menciptakan good governance walaupun pada tingkatan kualitas yg cukup atau nisbi mini . Kemudian, Inter-American Development Bank lebih menekankan negara-negara peminjam buat melaksanakan modernisasi administrasi negara (modernization of public administration). 

Sementara itu, United Kingdom’s ODA nir membedakan antara good govenance menggunakan good government. Kedua kata tersebut dianggap merujuk pada hal yg sama serta menekankan dalam aspek-aspek normatif pemerintahan yang digunakan buat menyusun aneka macam kriteria menurut yg bersifat politik sampai ekonomi. Kriteria tadi digunakan dalam merumuskan kebijaksanaan hadiah donasi luar negeri khususnya pada negara-negara berkembang. Sedangkan World Bank mengidentifikasi 3 aspek yang terkait menggunakan governance yaitu (a) bentuk rejim politik (the form of political regime); (b) process dimana kekuasaan digunakan di pada manajemen asal daya sosial serta ekonomi bagi aktivitas pembangunan; serta (c) kemampuan pemerintah buat mendisain, memformulasikan, melaksanakan kebijaksanaan, dan melaksanakan fungsi-fungsinya. Mengingat aspek pertama di atas bukan adalah bidangnya, maka World Bank lebih memfokuskan pada 2 aspek terakhir saja. 

Kriteria tentang good governance jua disusun oleh OECD’s Development Assistance Committee, menggunakan memakai definisi governance-nya World Bank, yg mencakup ruang lingkup: (a) participatory development, (b) human rights, dan (c) democratization. Secara lebih khusus, ketiga ruang lingkup tadi dijabarkan pada tolok ukur sebagai berikut: (a) pemerintahan yg menerima legitimasi (legitimacy of government mencerminkan degree of democratization); (b) akuntabilitas politik dan perangkat pejabat pemerintahan (tercermin menurut media freedom, transparent decison making, dan accountability mechanism); (c) kemampuan pemerintah buat menyusun kebijaksanaan dan mendistribusikan pelayanan yang baik; serta (d) komitmen yang konkret terhadap masalah hak asasi insan serta anggaran aturan (baik yg berkaitan dengan hakhak individu serta grup, keamanan, aktivitas sosial serta ekonomi, serta partisipasi rakyat). 

Dari berbagai gambaran di atas, secara singkat bisa disimpulkan bahwa setidaktidaknya terdapat 5 karakteristik atau prinsip utama yg harus dipenuhi sang suatu birokrasi atau aparatur pemerintahan buat bisa diklaim sebagai good public governance atau good public government, yaitu: (1) akuntabilitas (accountability, banyak yang mengartikannya menjadi kewajiban buat mempertanggungjawabkan); (2) keterbukaan dan transparan (openness and transparency); dan (3) ketaatan dalam anggaran hukum (Bhatta, 1996; dan World Bank, 1991). Ciri lainnya adalah, (4) komitmen yang kuat buat bekerja bagi kepentingan bangsa serta negara, serta bukan dalam gerombolan atau langsung; serta (5) komitmen buat mengikutsertakan dan memberi kesempatan pada masyarakat buat berpartisipasi pada pembangunan. Kelima prinsip tersebut saling mengisi. 

Akuntabilitas pada arti aparatur pemerintah harus bisa mempertanggung jawabkan pelaksanaan kewenangan yang diberikan di bidang tugas dan fungsinya. Dalam interaksi ini, dengan prinsip akuntabilitas tersebut aparatur pemerintah harus bisa mempertanggungjawabkan kebijaksanaan, acara dan kegiatannya yang dilaksanakan atau dikeluarkannya termasuk jua yg terkait erat menggunakan pendayagunaan ketiga komponen dalam birokrasi pemerintahan yaitu kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan, dan sumberdaya manusianya. Misalnya, pengembangan atau perubahan organisasi suatu instansi wajib bisa dipertanggungjawabkan menurut segi efisiensi dan efektivitas aplikasi tugas dan fungsi instansi tadi. Sehingga nir terjadi lagi pengembangan atau penambahan struktur organisasi yg berdasarkan pada kepentingan langsung atau gerombolan hanya buat menampung kerabat/sahabat atau menempatkan orang yg nir disukai. 

Seharusnya pengembangan serta perubahan organisasi berdasarkan pada analisis jabatan dan kebutuhan kerja instansi yg sebenarnya. Demikian pula aktivitas penggunaan asal daya diantaranya di bidang keuangan dan asal daya manusia, dan pelaksanaan ketatalaksanaan atau manajemen kerja, harus juga bisa dipertanggung-jawabkan secara logis. 

Prinsip akuntabilitas “mensyaratkan” adanya perhitungan cost and benefit analysis (tidak terbatas dari segi ekonomi, tetapi jua sosial, dan sebagainya tergantung bidang kebijaksanaan atau kegiatannya) dalam berbagai kebijaksanaan serta tindakan aparatur pemerintah. Selain itu, akuntabilitas juga berkaitan erat menggunakan pertanggungjawaban terhadap efektivitas kegiatan dalam pencapaian target atau target kebijaksanaan atau program. Dengan demikian, nir terdapat satu kebijaksanaan, program, serta kegiatan yg dilaksanakan sang aparatur pemerintahan yang bisa lepas berdasarkan prinsip ini. 

Keterbukaan serta transparan (openness and transparency), merupakan warga dan sesama aparatur pemerintah dapat mengetahui dan memperoleh data dan warta menggunakan gampang tentang kebijaksanaan, program, serta kegiatan aparatur pemerintahan baik pada taraf pusat juga daerah, atau data dan berita lainnya yg nir dilarang dari peraturan perundang-undangan yang disepakati bersama. Keterbukaan dan transparan pula dalam arti warga atau sesama aparatur dapat mengetahui atau dilibatkan pada perumusan atau perencanaan, pelaksanaan, dan supervisi menggunakan pengendalian aplikasi kebijaksanaan publik yang terkait menggunakan dirinya. Data dan berita yang berkaitan menggunakan tugas/fungsi aparatur pemerintahan (instansi) yg bersangkutan harus disediakan secara sahih, contohnya data PNS oleh BAKN, data guru sang Depdikbud, data realisasi panen padi oleh Departemen Pertanian, serta sebagainya. Sudah saatnya perlu dihindari adanya data dan berita yg bersifat “menyenangkan” tetapi menutupi yg sebenarnya. Hal ini penting, lantaran keputusan atau kebijakan publik (public policy) yang diambil pimpinan yang tidak didasarkan dalam data serta informasi yang sebenarnya, maka keputusan atau kebijaksanaan tersebut tidak akan merampungkan masalah. Bahkan nir tidak mungkin, keputusan atau kebijaksanaan tadi akan menyebabkan perkara baru yg lebih rumit. Misalnya, kebijaksanaan huma gambut pada Kalimantan yg kurang didasarkan data dan warta yang akurat, akhirnya menyebabkan masalah baru misalnya kasus lingkungan, aturan (pemborosan), dan penderitaan transmigran yang ditempatkan di sana. Contoh lain yang menarik merupakan “kebijaksanaan lisan” Gubernur DKI yang mengizinkan becak beroperasi di Jakarta yg sempat mengakibatkan kasus sebagai akibatnya dalam waktu singkat wajib dibatalkan. 

Sikap pemerintah yang terbuka serta transparan dalam menyediakan data dan warta tadi nir hanya akan mendorong partisipasi warga dalam berbagai kegiatan pemerintahan dan pembangunan, tetapi bisa pula mencedaskan masyarakat, mendorong perkembangan ilmu pengetahuan (riset, penelitian, kajian), mendewasakan rakyat serta mengakibatkan perilaku kritis pada warga , serta turut membangun suasana demokratis pada diri masyarakat. Dengan cara demikian, cepat atau lambat akan tumbuh kepedulian yg tinggi terhadap kinerja birokrasi pemerintahan, dan akan tumbuh sikap dialog serta saling kontrol antara warga serta birokrasi pemerintahan. Tetapi demikian, persoalannya sekarang adalah apakah birokrasi atau aparatur pemerintahan punya cukup kemauan buat terbuka serta transparan atau nir, serta jujur pada menyediakan data dan informasinya. 

Prinsip ketiga, ketaatan pada anggaran aturan merupakan aparatur pemerintahan menjunjung tinggi dan mendasarkan setiap tindakannya pada aturan aturan, baik yg berkaitan menggunakan lingkungan eksternal (warga luas) juga yang berlaku terbatas di lingkungan internalnya, misalnya aturan kepegawaian dan aturan supervisi fungsional. Prinsip ini juga mensyaratkan terbukanya kesempatan pada rakyat luas untuk terlibat serta berpartisipasi pada perumusan peraturan perundang-undangan yang berkaitan menggunakan warga . Prinsip keempat, komitmen yang bertenaga buat bekerja bagi kepentingan bangsa dan negara, serta bukan dalam gerombolan , eksklusif atau partai yg sebagai idolanya, adalah hal yang mutlak dimiliki sang aparatur pemerintahan. Hal ini sinkron dengan tugas serta fungsi pemerintah, sebagai pembina, pengarah, dan penyelenggara pemerintahan generik dan pembangunan (dalam batas-batas tertentu). 

Terakhir, komitmen buat mengikutsertakan dan memberi kesempatan kepada rakyat buat berpartisipasi dalam pembangunan. Hal ini penting, karena tanpa komitmen ini maka yang muncul bukan partisipasi rakyat tetapi antipati dan ketidaksukaan pada diri rakyat terhadap konduite serta kebijaksanaan aparatur pemerintah. Pada waktu yg sama, pada diri aparatur atau birokrasi pemerintahan akan tumbuh secara perlahan tetapi pasti perilaku mendominasi, asumsi atau perasaan paling tahu, paling bisa, serta paling berkuasa, serta cenderung tidak mau tahu kondisi dan pendapat orang lain, yang dalam akhirnya menimbulkan arogansi birokrasi pemerintah

Bagaimana Menciptakan Aparatur Pemerintah yang Profesional?
Mungkin terlalu hiperbola bila menganalogikan upaya menyembuhkan penyakit birokrasi pemerintahan dan sekaligus membentuk birokrasi pemerintahan yang profesional (good public governance/bureaucracy) pada negara-negara berkembang menggunakan upaya mengurai benang kusut. Namun demikian, itulah gambar-an yg sebenarnya. Persoalannya kini merupakan bagaimana memberdayakan seluruh komponen birokrasi pemerintahan (kelembagaan, ketatalaksanaan, serta sumberdaya manusianya) supaya sebagai aparatur pemerintahan yg profesional. 

Dalam hubungan ini yang pertama-tama wajib dipahami merupakan bahwa reformasi terhadap birokrasi pemerintahan kita bukan pada arti mengganti secara total. Misalnya menggunakan segera mengubah seluruh atau sebagian besar pejabat struktural atau pegawai negeri sipil yang ada dengan yang baru. Bisa dibayangkan betapa sulit mengubah sekian puluh ribu pejabat struktural (eselon V sampai eselon I), atau 4,1 juta PNS pada ketika singkat. Mengingat hal tersebut, dan pula nir semua komponen dalam aparatur pemerintah mengidap “penyakit” atau tidak berfungsi dengan baik, maka upaya yang realistis dilakukan merupakan menggunakan mem-perbaiki komponen-komponen yang rusak. 

Kemudian, apakah birokrasi pemerintahan kita dapat mengobati dan menyembuhkan dirinya sendiri tanpa dukungan pihak lainnya? Nampaknya buat waktu ini serta mungkin dalam beberapa tahun mendatang sulit terjadi, mengingat berbagai faktor yang melekat dalam diri birokrasi pemerintahan kita selama lebih dari 3 dekade terakhir ini, diantaranya kecenderungan resistant to change dalam birokrasi atau kecenderungan adanya penyakit entropi yaitu kurang adanya kemauan serta kemampuan untuk memperbaiki diri atas inisiatif sendiri tanpa wajib ditekan oleh sistem lain di luar birokrasi pemerintahan. Karena itu, eksploitasi sistem administrasi negara wajib juga melibatkan sistem-sistem lain di luar dirinya. 

Birokrasi pemerintahan atau sistem administrasi negara bukanlah closed system. Ia merupakan opened system serta merupakan bagian atau sub sistem menurut suatu sistem kehidupan bangsa serta negara sebagai akibatnya eksistensi dan kinerjanya ditentukan serta mempengaruhi sub sistem lainnya. Hal ini sinkron dengan konsep Administrasi Pembangunan yang diartikan menjadi “administrasi negara buat mendukung pembangunan serta pembangunan administrasi negara itu sendiri.” Maksudnya, bagaimana membentuk suatu sistem administrasi negara yang dapat mendukung proses pembangunan secara efisien serta efektif, dan kebalikannya bagaimana proses atau keberhasilan pembangunan tersebut punya efek yang positif untuk turut menciptakan administrasi negara yang baik. Dengan demikian, buat mewujudkan sistem administrasi negara yang profesional nir dilakukan dari pada diri sistem administrasi negara saja, namun juga wajib pada dukung menggunakan pembangunan di bidang lainnya, yaitu pemberdayaan lembaga legislatif, yudikatif, media massa, pendidikan warga , dan organisasi warga (seperti organisasi profesional dan forum swadaya rakyat). Misalnya, pada perkara “suap-menyuap”, pengadilan tidak hanya mengadili aparatur yg menerima suap saja, tetapi juga harus membawa rakyat yg menaruh suap tadi. 

Keberhasilan pembangunan dan pemberdayaan bidang atau sistem lainnya pada luar sistem administrasi negara cepat atau lambat akan memberikan tekanan kepada sistem administrasi negara buat memperbaiki kinerjanya. Demikian pula, kemajuan dalam pembangunan sistem administrasi negara akan menaruh donasi positif kepada kegiatan pembangunan. Dengan demikian akan terdapat sinergi antar elemen-elemen pada sistem kehidupan bangsa dan negara, yang akan mendorong sistem administrasi negara buat memberdayakan dirinya melalui interaksi positif antar elemen-elemennya (thermodinamic). 

Pemberdayaan sistem administrasi negara meliputi tiga elemen atau komponen yang saling terkait, yaitu kelembagaan, ketatalaksanaan, dan sumber daya insan. Pemberdayaan ketiga komponen tersebut wajib berdasarkan dalam prinsip atau tolok ukur efisiensi dan efektivitas kerja. Kedua prinsip ini sine qua non dalam setiap kebijaksanaan buat memberdayakan ketiga komponen tadi. Nampaknya pemasyarakatan prinsip ini bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu dibutuhkan, strategi pemasyarakatan nilai-nilai sosial (social values marketing) yang bersiklus buat mengubah perilaku (Kotler dan Roberto, 1989) dan menghidupkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas dalam diri aparatur pemerintah, serta jua warga luas. “Pandangan atau nilai” yg tidak mendukung dan merusak birokrasi pemerintahan harus dihapus, misalnya asumsi bahwa atasan adalah pemegang kekuasaan mutlak yg selalu sahih dan lebih memahami sebagai akibatnya bawahan harus patuh serta enggan menaruh masukan. 

Di bidang kelembagaan, wajib dilakukan reorganisasi terhadap organisasi atau kelembagaan aneka macam instansi. Pengembangan dan perubahan organisasi (organization development and change) harus diarahkan buat: (1) menghindari terjadinya pembentukan unit-unit kerja yg merusak efisiensi serta efektivitas kerja, termasuk duplikasi tugas serta fungsi, serta yg sekedar menampung pegawai, tanpa tugas dan fungsi yang jelas; (2) menghindari terjadinya penyeragaman bentuk serta unit kerja yang tidak perlu tanpa memperhatikan kebutuhan serta analisis beban kerja yang sebenarnya. 

Di bidang ketatalaksanaan atau manajemen, pemberdayaan perlu dilakukan dengan menyusun banyak sekali sistem manajemen yang realistis serta applicable mulai dari manajemen kebijaksanaan yg bersifat makro hingga panduan kerja yg kentara bahkan sistem penyimpanan arsip. Sistem kearsipan sekilas tampak tidak berarti, padahal tidak saja bisa menyebabkan economic cost tetapi jua social serta political cost yang nir sedikit yang tidak jarang menimbulkan konflik jika lalai memperhati-kannya. Sebagai contoh, banyak sekali perkara pertanahan seringkali muncul karena lemahnya sistem file pertanahan. Demikian jua dengan sistem pendaftaran kependudukan dimana seseorang penduduk DKI Jakarta dapat memiliki jua kartu tanda penduduk DKI, Bekasi, Tanggerang, dan Gunung Kidul. Padahal sistem pendaftaran kependuduk-an ini sangat krusial buat menghasilkan data kependudukan yg akurat. Data tadi sangat bermanfaat menjadi masukan pengambilan kebijaksanaan pada banyak sekali sektor pembangunan, misalnya program keluarga berencana, penanggulangan kemiskinan, pemilihan umum, dan sebagainya. Selanjutnya, sistem kearsipan yang baik akan berdampak positif, contohnya Departemen Luar Negeri dan beberapa instansi terkait dapat menuntaskan masalah pulau Simpadan serta Lingitan dengan Malaysia, lantaran adanya dokumen perjanjian Belanda dan Inggris dalam masa kolonial Belanda mengenai status ke 2 pulau tersebut yang disimpan rapi oleh Arsip Nasional. 

Terakhir merupakan pembangunan sumber daya manusia baik menurut segi kualitas (kemampuan, tingkat pendidikan, sikap, serta kariernya) serta kesejahteraannya. Berbagai diklat perlu ditata rapi serta diadaptasi menggunakan kebutuhan konkret. Demikian juga sistem pembinaan karier, termasuk sistem rekrutmen, promosi, DP3 dan sebagainya. Perilaku aparatur perlu dibenahi supaya berorientasi dalam produktivitas dan kualitas kerja serta mengutamakan kepentingan masyarakat umum serta social equity, bukan kepentingan grup atau golongan termasuk partai-partai yg berkuasa. Untuk itu, aparatur negara harus dibina sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dalam arti yang sebenarnya serta bukan sebagai abdi partai yang berkuasa serta “abdi pengusaha”. 

Tampaknya semua upaya pembangunan sistem administrasi negara akan sulit dicapai tanpa memperhatikan kesejahteraan pegawai negeri (termasuk Tentara Nasional Indonesia serta Polisi). Pegawai negeri merupakan manusia, serta memiliki hak asasi buat hayati layak. Karena itu, adalah nir adil dan nir manusiawi apabila pegawai negeri hanya disuruh bekerja dengan gaji “perjuangan” saja. Selama tiga dasa warsa, sistem gaji “usaha” ini telah menimbulkan social cost, selain economic cost, yang sangat mahal khususnya dalam bentuk “pembenaran dan penyebaran” praktek-praktek korupsi menggunakan segala bentuknya. Praktekpraktek seperti ini secara lambat tapi niscaya seakan-akan telah “membudaya” dalam birokrasi pemerintahan. Penghapusan terhadap social cost tadi bukan adalah hal yang gampang, serta hal inilah yg sedang kita alami sampai waktu ini. Karena itu, sistem pengajian pegawai negeri wajib diperbaiki supaya pegawai negeri dapat hayati layak pada arti bisa menghidupi keluarganya (pakaian, pangan, papan, dan kebutuhan sosialnya). Selain itu, sistem penggajian (honor PNS baku nasional dan tunjangan lain yang belum tentu seluruh instansi men-dapatkannya) tadi juga harus adil dan proporsional serta terbuka buat seluruh pegawai negeri dan instansi pemerintah tanpa pilih kasih. 

Disadari bahwa peningkatan gaji nir berarti akan otomatis memperbaiki kinerja aparatur negara baik pada kualitas produktivitas kerjanya juga sikap atau konduite kerjanya. Namun tanpa pemugaran gaji, maka sangat sulit sekali mengharapkan kinerja aparatur pemerintah akan baik. Mengingat honor bukan satu-satunya faktor buat mendorong peningkatan kinerja, maka peningkatan gaji tadi pula harus dibarengi dengan pendayagunaan bidang lainnya, contohnya pengawasan, pembinaan karier, serta diklat bagi pegawai.