PENGERTIAN PUASA DALAM BAHASA INDONESIA PUASA BUKAN MILIK ISLAM SAJA

Berikut ini adalah penjelasan tentang Pengertian Puasa dalam Bahasa Indonesia dan beberapa istilah yang menjadi sinonim kata Puasa.



Tulisan ini akan membahas puasa dari segi bahasa. Bukan bermaksudmendiskreditkan ajaran kepercayaan tertentu namun sekadar ingin membuatkan informasimengenai pembahasan kebahasaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa yang terbit dalam tahun2008,  kata puasa ada pada halaman1110. Pada page tadi terdapat dua pengertian puasa yaitu 1.meniadakan makan, minum, serta sebagainya dengan sengaja (terutama bertaliandengan keagamaan). Dua. Isl. Keliru satu rukun Islam berupa ibadah menahan diriatau berpantang makan, minum, dan segala yg membatalkannya mulai terbit fajarsampai terbenam  surya.



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tadi, pengertian pertama diberi kodev singkatan menurut verba atau istilah kerja. Sedangkan pengertian puasa yangkedua diberi kode n singkatan menurut nomina atau istilah benda.berarti puasa adalah pekerjaan yang dilakukan sang seorang sinkron denganketentuan agamanya. Jika orang tersebut beragama Islam, maka upaya meniadakanmakan tersebut berwujud puasa menjadi rukun Islam (kata benda tak berbentuk).


Sementara itu frasa yang dibuat menggunakan istilah puasa diantaranya merupakan puasaapit, puasa fardu, puasa pati geni, puasa sunah, dan puasa harus. Berikutini penjelasan tentang masing-masing frasa yang terbentuk dari kata puasa.

Puasa Apit yaitu puasa dalam hari kelahiran ditambah sehari sebelum dansehari sehabis.

Puasa Fardu yaitu puasa wajib .

Puasa Pati Geni yaitu puasa dengan jalan menghindari  melihat sinar (cahaya), tidak makan, minum,dan tidak tidur.

Puasa Sunah yaitu puasa yg nir diwajibkan , namun dianjurkan.

Puasa Wajib yaitu puasa yg diwajibkan.

Dilihat berdasarkan segi bahasa, puasa nir hanya dilakukan oleh orang Islam.misalnya puasa pati geni, merupakan bentuk puasa yang nir terdapat ajarannya dalamajaran Islam. Selain itu puasa juga bukan adalah serapan dari bahasa Arab.hal ini memberitahuakn bahwa dalam kebudayaan bangsa Indonesia sudah ada istilahpuasa sebelum masuknya Islam yang identik dengan bahasa Arab. Meskipun dalamkamus besar bahasa Indonesia salah satu pengertian puasa adalah saum yangmerupakan serapan menurut bahasa  Arab (صوم).

Selain bersinonim dengan istilah saum, pada bahasa Indonesia istilah puasa jugabersinonim dengan kata ifah dan pertarakan (Tesaurus AlfabetisBahasa Indonesia Pusat Bahasa laman 456). Ifah adalah serapan berdasarkan bahasaArab yg ada pada Kamus Besar Bahasa Indonesia halama 518 yang berarti pengekaganhawa nafsu.

Pertarakan berasal menurut kata tarak yang semakna serarti dengankata ifah.Dalam KBBI halaman 1404 tarak jua bersinonim menggunakan tapa, yaitu prosesmengasingkan diri menurut kehidupan keduniawian.

Dari berapa penerangan di atas, jelas bahwa puasa nir hanya dimiliki olehumat Islam saja. Pada dasarnya setiap ajaran agama memiliki ajaran keagamaanyang dekat menggunakan puasa, yaitu menahan buat nir memuaskan diri dengankesenangan-kesenangan duniawi.  Mengeanitata cara dan ketentuan-ketentuannya masing-masing agama memiliki batasan yangberbeda-beda.


Demikian penjelasan mengenai pengertian puasa dari segi bahasa. Semogamemberikan kesadaran bagi pembaca.

ARTI KATA TADARUS MADRASAH DAN DARAS

Berikut ini merupakan penerangan tentang pengertian dan arti kata Tadarus,Madrasah, serta Daras sekaligus asal-usul istilah tadi.

Tadarus, Madrasah, serta Daras merupakan kata yang sudah diserap ke dalambahasa Indonesia dari bahasa Arab. Dalam bahasa Arab kata dasarnya adalahdarasa (درس). Dalam bahasa Arab kata darasa(درس) sebagai istilah dasar memilikibeberapa makna antara lain hapus, berakibat usah, melatih, dan ajar.Yang diserap ke dalam bahasa Indonesia adalah yg bermakna dasar ajar. (Al-Munawwir,1997:397)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata daras dihubungkan dengankata mendaras merupakan kata kerja (verba) yg mempunyai 3 artiyaitu: 1. Membaca Alquran dengan lantang buat berlatih melancarkan bacaan;dua. Belajar membaca Alquran; tiga. Belajar (memeriksa, mengusut) dengansungguh-sungguh. (KBBI, 2008:294).


Bentuk serapan pada bahasa Indonesia selanjutnya adalah madrasah.dalam KBBI kata tadi bermakna sekolah atau perguruan (umumnya yangberdasarkan kepercayaan Islam) (KBBI, 2008: 853). Pada dasarnya kata tersebutmerupakan serapan menurut bahasa Arab (مدرسة baca: madrasatun). Makna asalnya merupakan tempatbelajar.

Kata madrasah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki bentukgabung lain yaitu Madrasah Ibtidaiah atau sekolah dasar, MadrasahAliah atau sekolah menengah atas, serta Madrasah Sanawiyah atausekolah menengah pertama. Jika diamati, bentuk penulisan yg terdapat pada dalamkamus sebagai bentuk acum penulisan istilah baku, berbeda menggunakan penulisan yangsering dipakai dalam dunia pendidikan di bawah naungan Kemenag. Bentukpenulisan yg dipakai di sekolah-sekolah adalah Maradrasah Ibtidaiyah (MI),Madrasah Aliyah (MA), serta Madrasah Tsanawiyah (MTs).

Lalu, di mana letak kesalahan penulisannya? Bisa dibandingkan antarapenggunaan pada sekolah-sekolah dan penulisan di kamus. Ibtidaiah (kamus) tanpahuruf /y/ sedangkan penggunaan pada sekolah sebagai ibtidaiyah. Aliah(kamus) tanpa /y/ penulisan pada sekolah sebagai aliyah. Sanawiah (kamus)tanpa alfabet /t/ di awal dan tanpa alfabet /y/. Dalam hal ini Kamus BesarBahasa Indonesia berusaha menerapkan prinsip serta kaidah penulisan yang berasaldari kata asing. Sementara penulisan menggunakan alfabet /t/ dan huruf /y/sudah menjadi konvensi generik bahkan pula menjadi dokumen negara khususnya dibawah Kementerian Pendidikan serta Kebudayaan serta Kementerian Agama. Buktisederhana, dalam naskah soal UN tertulis ‘SOAL UN Sekolah Menengah pertama/MTs’.

Selanjutnya istilah tadarus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halaman1373 bermakan pembacaan Alquran secara beserta-sama (dalam bulanpuasa). Sementara itu pada Kamus Arab Indonesia Al-Munawwir, dalam bahasaArab istilah tadaarus (تدارس)bermakna mempelajari beserta-sama. Ada sedikit disparitas makna, dalambahasa Indonesia dimaknai menjadi pembacaan sedangkan dalam bahasa Arabbermakna mempelajari. Memang kedua istilah tersebut saling bersinggungan maknanya,namun pada kata mempelajari berarti terdapat upaya sebagai lebih baikbacaannya, mejadi lebih mengerti kandungan isi Alquran. Sementara dalam kata membaca‘hanya’ sekedar menyuarakan bunyi bahasa yg tertulis pada kita suciAlquran.

Dalam bahasa Jawa juga ada istilah nderes yang juga dari darikata darasa. Kata nderes juga mempunyai dua makna, pertamabermakna belajar dan ke 2 bermakna membaca. Ketika setelahdiajari sang guru ngaji maka seorang santri diminta untuk nderes kitabnya yaitumengulangi bacaan dan pengertian yang sudah dijelaskan. Berarti istilah nderes inibermakna belajar. Sementara itu pada konteks lain setelah salat seorangsantri pribadi nderes Alquran, berarti kata nderes tersebutmemiliki makna membaca.


Penggunaan istilah tadarus tidak hanya untuk Alquran. Cak Nun dalambukunya Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai menggunakan istilah Tadarus Puisi.dalam hal ini istilah tadarus sama dengan istilah nderes dalam bahasaJawa yaitu membaca dan mempelajari (tahu).

Demikian artikel singkat mengenai penerangan arti istilah Madrasah, Tadarus,serta Madrasah. Semoga berguna. Menjadi selingan bertadarus Alquran selamaRamadan ini.


Buku acum:
Munawwir, A.W.,1997. Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap EdisiKedua. Cetakan Keempat: Surabaya: Pustaka Progresif.
Sugono, Dendi [et.al].2008. Kamus Besar Bahasa Indonesa Pusat BahasaEdisi Keempat. Jakarta: Gramedia.

ARTI DAN ASALUSUL KATA LEBARAN DALAM BAHASA INDONESIA JAWA DAN MADURA

Arti dan Asal-Usul Kata Lebaran pada Bahasa Indonesia, Jawa, dan Madura

Jika dilihat pada pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, lebaran merupakannomina atau istilah benda yang memiliki arti hari raya umat Islam yangjatuh pada lepas 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selamasebulan. Arti dalam kamus yang menjadi acum bahasa Indonesia ini jugabersinonim dengan Idulfitri.

Jadi, arti kata lebaran adalah Idulfitri. Bukan hari raya. Hari Rayaberarti merupakan Hari Besar. Biasanya juga dipakai buat menyebut hari rayakeagamaan. Tidak hanya idulfitri. Tidak hanya hari akbar umat muslim saja.sehingga ada istilah Hari Raya Natal, dan Hari Raya Waisak, misalnya.

Arti kata lebaran tidak dapat dirunut eksklusif dari-usulnya
. Tetapi terdapat beberapapendapat yang menyampaikan bahwa lebaran asal berdasarkan istilah lebar yangberlawanan arti menggunakan sempit atau bersinonim pula menggunakan luas. Kata lebaranberarti lebih lebar. Dalam kata Lebaran, terkandung makna lebihlebar dan lebih luas segala-galanya. Lebih lebar hatinya untukmeminta maaf atas segala kesalahan yang mungkin pernah dibentuk, lebih lebarhatinya juga untuk memberikan maaf kepada orang lain yg sudah menyakiti.

Secara fisik atau hal yg tampak mata, memang segalanya jadi lebih lebar.jadi lebaran. Selain hati yg lebih lebar buat saling meminta dan memberimaaf pada orang lain. Yang jua lebaran atau menjadi lebih lebar merupakan pinturumah. Pintu rumah dibuka lebar-lebar buat menyambut kunjungan berdasarkan sanakfamili. Saling berkunjung ini dianggap jua sang masyarakat Indonesia denganistilah silaturahmi (bentuk lainnya: silaturahim). Ada juga yangmenyebutnya menggunakan anjangsana, jua terdapat yg mengemasnya pada bentuk halalbihalal.



Baca Juga: Pengertian Halalbihalal, Reuni, serta Silaturahmi

Karena biasanya yang berkunjung poly orang, maka diharapkan tempat yanglebih lebar alias lebaran. Pintu yang lebih lebar alias lebaran. Dan mungkinkendaraan yang lebih lebar atau lebaran.

Penjabaran di atas merupakan penerangan mengenai istilah lebaran yangdilihat adalah secara sintaksis maupun menurut dari-usulnya menurut kata lebar dalambahasa Indonesia.  Namun tidak hanya itusaja. Kata lebaran juga bertalian erat dengan istilah liburan, laburan, danleburan.


Jika dalam bahasa Indonesia istilah lebaran berarti menjadi lebih luas,dalam beberapa dialek bahasa Jawa jua dikenal istilah lebaran. Arti kata lebarandalam dialek bahasa Jawa jua berarti usai berasal berdasarkan istilah lebaratau biasa diucapkan bar saja. Misalnya bar magrib berartisetelah magrib. Lebaran yang merupakan adalah telah selesai inidalam bahasa Indonesia dapat dijelaskan sebagai telah usai atau telahselesai puasanya. Telah terselesaikan pula proses meminta maaf kepada sesamasehingga menjadi insan yg nir memunyai dosa dengan sesama manusia.

Masih menurut bahasa Jawa, istilah lebaran identik dengan istilah leburan.Dalam bahasa Jawa kata leburan berasal berdasarkan istilah lebur yangberarti hancur atau musnah. Jadi, pada bahasa Indonesia kata leburandapat diartikan menggunakan proses menghancurkan atau proses menghilangkan. Yangdihilangkan dan dihancurkan adalah kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan.dengan cara saling memberi serta meminta maaf sebagai akibatnya lebur sudah dosadan kesalahannya.

Sementara itu, kata lebur juga terdapat pada bahasa Madura. Caramembacanya merupakan alfabet ‘e’ dibaca ‘e’ misalnya dalam kata ‘edan’. Lebur.dalam bahasa Madura istilah tadi berarti indah, menarik, bagus, dan sedapdipandang. Otomatis membuat orang senang apabila melihat atau mengetahuinya. Makatidak menutup kemungkinan jua bahwa, kata lebaran juga berkaitan dengankata leburan yang dikenal pada bahasa Madura.

Dalam bahasa Madura leburan berarti lebih baik atau lebihmenarik. Saat hari raya idulfitri datang, atau ketika lebaran tiba. MasyarakatIndonesia, termasuk di dalamnya adalah warga Madura, berlomba untukmemper-lebur  (membuat menjadilebih rupawan) tampilannya. Mulai berdasarkan tampilan lingkungan (rumah serta laman)pula memper-lebur tampilan badan serta dirinya.

Rumah yg catnya telah mulai memudar diperbarui catnya supaya lebih indah.bagian rumah yg kotor dibersihkan. Jika ada kaca tempat tinggal yg kotor makaakan dilap sampai kinclong. Halaman yg kotor disapu, bila terdapat rumput liarmaka akan dicabut atau dirapikan. Jika lantai tempat tinggal disapu saja masih kurangbersih maka waktu menyambut lebaran lantai tersebut akan dipel. Semuadilakukan supaya tempat tinggal kelihatan lebih lebur, lebih indah.

Pakaian pula disiapkan benar oleh masyarakat. Baju yg hendak dipakai padahari raya lebaran telah dipersiapkan jauh-jauh hari. Mulai menurut songkok, baju,celana, sarung, sampai sandal diperhatikan benar . Baju yang biasanya tidakdisetrika maka akan disetrika sampai mulus. Bagi yang tidak sanggup atau tidaksempat membeli bukan berarti nir mau memperindah. Sendal yang biasanya kotorkarena menyambut hari raya maka akan dicuci higienis. Ini termasuk upayamemper-lebur tampilan menyambut lebaran.

Arti istilah lebaran yg sama dengan arti istilah idulfitri (jangan tulis idulfitri), juga seperti menggunakan kata dalam bahasa Jawa laburan. Labur adalahkata kerja yang bermakna menutup permukaan dengan cat atau gamping. Istilahyang mirip dengan kata labur dan bisa saling sulih adalah kata mengecat.Dalam rangka menciptakan lebur (menciptakan mengagumkan) tampilan tempat tinggal , makapemilik rumah akan ngelabur (mengecat) tempat tinggal . Pada mulanya kata laburbermakna menutup bagian dinding dengan kapur gamping yg telah diberi airmenggunakan kuas. Jadi, lebaran sangat dekat dengan laburan. Artikata laburan adalah bersama-sama mengecat rumah.

Setelah membahas istilah yg dekat secara morfologi (wujud kata) dekat dengankata lebaran dalam bahasa Jawa dan bahasa Madura. Dalam tulisan ini jugaditunjukkan bahwa istilah lebaran juga berkaitan erat dengan istilah liburan.Hanya beda satu vokal ‘i’ serta vokal ‘e’ pada suku istilah pertamamasing-masing istilah tadi.

Setiap kali peringatan lebaran pasti adamomen liburan. Jikakata libur hanya berasosiasi dalam libur sehari maka kata liburan dapatdipahami sebagai libur yang banyak. Maksudnya beberapa hari libur, maka disebutliburan.

Setiap hari raya idulfitri atau lebaran pasti ada perlop beserta. Tidak hanyasekolah yang libur. Semua aktivitas jua diliburkan. Kegiatan produksi dipabrik-pabrik libur. Buruh serta karyawannya liburan. Sekolah-sekolah dankantor-tempat kerja pemerintahan jua libur lantaran murid, guru, dan para pegawainyasedang liburan. Tidak tanggung-tanggung. Libur yg diberikan hingga seminggu.bahkan terdapat yang lebih. Lebaran-sahih sahih liburan.

Baca Juga: Ucapan Idulfitri Minal Aidin Walfaizin


Oleh lantaran lebaran selalu diiringi menggunakan liburan yg cukup panjang, makatak heran apabila banyak orang yg memanfaatkannya buat pulang ke kampunghalaman. Yang umumnya bekerja pada luar kota, maka akan balik menyapa kampunghalaman dan keluarga yang ada pada sana.

Entah mana yang lebih dulu, liburan sebagai akibatnya orang pulang ke kampunghalaman waktu hari raya lebaran. Ataukah memang lantaran ada tradisi pergi kekampung page buat saling bermaafan dengan sanak saudara sehingga diIndonesia terdapat cuti beserta libur sekitar lebaran.

Itulah sedikit banyak ulasan mengenai arti istilah Lebaran dan istilah-istilah yg identik dengannya.

Oh iya... Selamat Lebaran ya.....
Semoga Sejahtera.

ABSEN ABSENSI VS PRESENSI

 Caraflexi.blogspot.com - disparitas absen, absensi, serta presensi. Mana yang benar. Inilah penjelasannya secara lengkap.

Saat kita sekolah tak jarang kita dengar guru menyampaikan: “Saya absen dulu”. Ketika saya menulis artikel ini pada depan televisi, salah satu televisi sedang menyiarkan warta mengenai pilkada. Dalam visual fakta tampak kertas dengan judul “Absensi Relawan”. Kedua kalimat tersebut: saya absen dulu; dan absensi relawan, sama-sama galat. 

Dua kalimat pada atas galat karena kesalahpahaman terhadap arti istilah ‘absen’ dan istilah ‘absensi’. Yang dimaksud pada kalimat pertama merupakan ‘mendaftar yg hadir serta yg nir hadir’. Sedangkan yg dimaksud dalam kalimat yang kedua adalah Daftar Hadir Relawan.

Agar lebih jelas, di sini saya tuliskan makna serta penjelasan kata ‘absen’, dan ‘absensi’ yang terdapat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.

absen (verba/istilah kerja) nir masuk sekolah, nir masuk kerja, serta sebagainya; tidak hadir.

absensi (nomina/kata benda) bermakna ketidak hadiran.

Meskipun pada perkembangannya, makna absen juga bisa berkembang sebagai ‘panggil’ ketika menerima imbuhan meng-. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada lema (istilah) mengabsen di bawah lema absen dan merupakan verba/ kata kerja menggunakan penjelasan: memanggil (mengungkapkan; membacakan) nama orang pada dartar nama buat memeriksa hadir tidaknya orang tersebut.

Selain kedua kata di atas, terdapat pula istilah absente. Ada 2 kata absente dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Absente yang pertama bermakna seseorang yang nir hadir; dan ketidakhadiran seseorang. Absente yang kedua bermanka perkebunan, tanah, perusahaan, serta sebagainya yang jauh dari pemiliknya. 


Ada jua istilah abstain dan abstensi. Kata tadi secara morfologi (bentuk istilah) mirip dengan absen dan absensi. Begitu jua menggunakan maknanya, memiliki kemiripan.

Coba kita lihat makna yg ada pada pada kamus:

abstain merupakan verba yang memiliki dua makna pada bidang yg tidak sama. Makna yg pertama dalam bidang politik, adalah: tidak memberikan suara pada sebuah pemungutan suara atau nir bersikap. Makna yg ke 2 dalam  bidan kedokteran, artinya: berpantang buat tidak memakan makanan eksklusif contohnya lemak serta kopi.

Secara harfiah, abstain pula bermakna ‘nir ada’, mirip dengan makna absen. Dalam bidang politik, maknanya tidak ada pada kubu putusan bulat, ataupun tidak sepakat, lantaran nir ada di pihak manapun. Begitu juga menggunakan bidang kedokteran, abstein bermakna ‘tidak ada’, yang ditiadakan adalah jenis makanan tertentu.

Abstinensi adalah nomina pada bidang politik yg bermakna tindakan atau praktik nir menaruh suara. Tetapi, tindakan dari abstensi pada bidang kedokteran bukan kata ini, melainkan abstinensi. Abstinensi adalah pemantangan terhadap makanan, minuman, atau konduite seksual secara suka rela. Mungkin mirip puasa atau tirakat.


Lalau, kata apa yang tepat buat mengganti kata absen serta absensi seperti model di awal artikel ini. Saya absen dulu dan absensi relawan. Untuk absensi relawan yang sempurna adalah daftar hadir relawan. Kemudian ada juga istilah yang lebih tepat yaitu: presensi, artinya kehadiran.

Ada jua kesalahan pemahaman serta penggunaan istilah yang berkitan dengan absen dan presensi yaitu penyebutan yg nir hadir. Ketika kita pada sekolah ada tiga jenis ketidakhadiran yaitu S, I, dan A. Sakit; Izin; serta Alpa. 

Ternyata makna alpa (terdapat jua yg melafalkan: alfa), buka tidak hadir. Berarti kode S I A, alfabet A bukan alpa, alfa, apalagi alpha. Kondisi ketidakhadiran berarti Absen, nir hadir tanpa keterangan. 

Alpa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa adalah lalai pada kewajiban, kurang mengindahkan, kurang memperhatikan, atau lengah. Kalau nir percaya lihat sendiri pada KBBI Pusat Bahasa halaman 44. Alpa adalah kelas istilah adverbia.

Bukan pula alfa, karena alfa itu pesaing ketatnya indo bila sama-sama diakhiri denga mar(e)t. 

Alfa dalam bahasa Indonesia (kali ini sanggup ditengok di halaman 39) ada dia pengertian. Kata alfa yang pertama merupakan nomina yg mempunyai tiga makna yaitu 1) nama huruf pertama abjad Yunani; 2) yg pertama atau permulaan; tiga) (pada bidang ilmu astronomi) bintang utama atau yg paing terperinci pada suatu gugus bintang.

Kata alfa yang ke 2 memiliki satu makna, merupakan istilah pada bidang ekamatra. Artinya: nisbah antara perubahan arus kolektor arus emiter pada transistor. Nah, bila masih gundah adalah nisbah silahkan klik pada sini. Kalau nir ya sudah nir apa-apa. Kalau tautannya masih belum sanggup ya maaf lagi. Hehehe.

Salam Pustamun!

TUNTUTAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

Tuntutan Pembangunan Masyarakat Madani 
Pembicaraan mengenai rakyat madani terkait erat menggunakan ilham besar mengenai bagaimana mewujudkan masyrakat Indonesia Baru. Berkenaan menggunakan hal itu, barangkali benar bahwa pada hari-hari ini tidak terdapat sesuatu yg lebih menyebukkan banyak kalangan warga kita daripada pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya rakyat Indonesia baru.

Sudah tentu perkataan “Indonesia baru” sendiri sarat dengan makna, sehingga tidak bisa dihindari adanya banyak disparitas dan pemahaman. Lantaran itu telah sepatutnya kita seluruh secara beserta-sama merembuk masalah itu serta saling mengisi kekurangan masing-masing pada pemahamannya sejalan dengan makna sebenarnya prinsip musyawarah (“saling memberi isyarat”, yakni, isyarat tentang hal yang sekiranya sahih serta baik buat seluruh).

Sebenarnya “baru” ataupun “lama ” sebagai kualifikasi tentang apapun dapat sangat nisbi. Misalnya, tidak selalu kita harus tahu sesuatu menjadi “baru” pada artian sama sekali tidak tanggal dari masa lampau, yakni, dari keadaan “usang”-nya. Sebab, keliru satu fenomena tentang sesuatu yang berkategorikan kedinamisan, yg selalu begerak dan berkembang, adalah kesinambungan. Lebih-lebih mengenai agregat budaya, politik dan kemasyarakatan seperti “Indonesia” kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya pada rangkaian keutuhan kontenuitas yg panjang.

Dalam hal budaya, politik serta kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu persoalan nir berdiri sendiri secara terpisah berdasarkan masa kemudian dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat serta tempat tertentu semata. Kita harus melihatnya dalam kaitannya dengan masa-masa sebelumnya, menggunakan dugaan tentang pengaruhnya pada masa depan, semuanya itu pada makna positif maupun negatifnya.(....subjek ... :” Maka demikian juga tentang ide “Indonesia Baru” dan masyarakat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan membuat perkiraan mengenai implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “. ( subjek, 2010: 24)

Maka demikian pula mengenai ilham “Indonesia Baru” dan warga madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih tepat menggunakan melihat linkage nya dengan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “rakyat madani” sendiri merupakan suatu istilah, (Arab: Ishthilah, yaitu “ungkapan kesepakatan ”), suatu ungkapan output kesepakan warga , sebagian atau seluruhnya, dengan makna eksklusif. Lantaran konvensi itu tidak pernah dilakukan secara konkret dan formal, maka suatu ungkapan istilah permanen mengandung kemungkinan perbedaan pengertian dan kontroversi. Jika suatu istilah sudah benar-benar memasyarakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi oleh adanya kesepakatan pasif secara generik.

Selanjtunya, berdasarkan hal tadi kita masih memerlukan kejelasan mengenai apa yg dimaksud, mungkin disepakati, menggunakan istilah “warga madani.” Istilah itu dimaksudkan sebagai padanan kata Inggris civil society”, suatu kata yang pula mengalami perkembangan pemaknaan. Istilah dan pengertian khusus civil society mula-mula timbul pada Inggris dalam masa-masa awal perkembangan kapitalisme terbaru, yg konon merupakan inplikasi pertama penerapan teori ekonomi Adam Smith dengan karyanya The Wealth of Nation. Pandangan ekonomi Smith itu mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris, yang pada prosesnya terbentur pada pembatasan-pembatasan sang pemerintah lantaran adanya merkantilisme negara. Para wirausahawan lalu menuntut adanya “ruang” di mana mereka dapat berkecimpung dengan bebas dan leluasa membuatkan usaha mereka. Ruang kebebasan itu merupakan tempat terwujudnya civil society yg adalah ruang penegasan antara kekuasaan (pemerintah) serta warga umum. Jadi relatif jelas bahwa civil society senantiasa bercirikan kebesan serta keterlepasan menurut restriksi-restriksi sang kekuasaan. 

TIDAK bisa dibantah lagi bahwa itu seluruh adalah ciri warga kelas menengah, yang memang tak jarang dicermati sebagai unsur paling bergerak maju pada rakyat. Namun, dengan begitu juga sulit terhindarkan kesan bahwa hal itu semua adalah bagaian berdasarkan wawasan burjuasi. Karena itu saat Marxisme dan ede-ide keadilan social ada menggunakan kuat pada Eropa, kata civil society ditinggalkan orang, dampak kesan negatif apasaja yang terkaitkan menggunakan burjuasi.

Istilah dan pengertian civil society menggunakan modifikasi positif tertentu muncul kembali dengan kuat sebagai akibat atau kelanjutan ide-inspirasi Gorbachev mengenai keterbukaan serta restrukturisasi social politik Uni Suviet. Mungkin pada luar dugaan penggagasan glasnost dan peristorik itu sendiri, ide serta gerakan menggunakan lebel civil society segera melanda Eropa Timur dan dunia komunis pada umumnya, buat akhirnya membawa semuanya kepada kehancuran total. Disebabkan oleh semakin menguatnya dimensi global kehidupan insan kini ini, gagasan serta gerakan civil society yang merubuhkan global komunis sebenarnya merupakan suatu gagasan serta gerakan berdimensi dunia. Menyambut inspirasi-ide Gurbachev yg bagi “Dunia Bebas” …== Kebebasan dan ketaatan pada aturan terdengar seperti bertentangan. Akan namun, hakikat rakyat madani justru terdapat di dalam kesatuan serta nilai itu pada warga . Sangat positif itu,suatu konfrensi dengan tema-tema kurang lebih hak asasi dan kebebasan diselenggarakan pada Hesinki. Salah satu hasilnya merupakan ekskavasi pulang pandangan baru awal tentang civil society pada Inggris tadi serta pemadatan makna serta pemusatan arah gerakannya kepada usaha perebutan kembali kebebasan-kebebasan asasi menggunakan menghancurkan tirani pemerintahan komunis. Mungkin belum semua kebebasan asasi itu terwujud di negeri-negeri Eropa Timur, manum komunisme serta totalitarianismenya sahih-sahih telah runtuh sang gelombang gerakan pembebasan dengan label civil society itu.

Melihat keberhasilannya pada Eropa Timur, ilham serta gerakan civil society menjalar ke semua muka bumi. Kedua, paling kuat sehabis Eropa Timur, dalam membuatkan wangsit mengenai civil society dengan gerakan pembebasannya merupakan Amirika latin. Negeri-negeri yang secara budaya didominasi sang budaya Ibiria (Spanyol serta Portugal) itu sejak lama dikenal menjadi keliru satu konsentrasi negara-negara dengan pemerintahan otoriter. Hasil gerakan civil society di Amirika latin tidak sama spektakulernya dengan hasilnya pada Eropa Timur, namun jelas gerakan itu punya kiprah krusial pada pertumbuhan kebebasan dan demokrasi pada sana.

Dari rentetan sejarah penggunaan kata civil society di atas itu, jelas sekali bahwa ia mengandung pengertian yang berkembang. Berbeda dengan pengertian awal civil society pada Inggris yg berkonotasi kuat sebagai masyarakat burjuis (sehingga dihindari oleh kaum Marxis), di Eropa Timur serta Amirikan Latin, begitu juga kecenderungannya pada semua dunia kini ini, pengertian terkini society sangat bertenaga berkonotasi “forum luar pemerintahan”(non-governmental organization-NGO) atau, dalam kata yang lebih sempurna lagi, “lembaga swadaya warga ” (LSM).

Masyarakat madani dimaksudkan sebagai pengindonesiaan kata Inggris civil society, tetapi juga menggunakan beberapa bentuk pengembangan pemaknaannya. Seluruh pengertian mengenai civil society seperti yang terdapat kini merupakan relevan dan penting sekali pada bisnis mewujudkan warga Indonesia baru, kecuali isyarat negatif pengertiannya sebagai masyarakat burjuis masa awal perkembngan kapitalisme Inggris dahulu.

Oleh karenanya kita dapat mengasumsikan kesediaan buat menerima hampir in toto pengertian mengenai civil society itu buat dikembangkan pada Indonesia. Menonjol sekali kepentingan rakyat Indonesia pada ide mengenai civil society sebagai gerakan pembebasa. Dengan latar belakang pengalaman berpemerintahan tanpa kebebasan memadai selama berpuluh-puluh tahun, gerakan pembebasan rakyat itu merupakan agenda primer gerakan reformasi. Maka dipandang menurut sudut ini, perolehan terpenting gerakan reformasi adalah adanya pengakuan serta pengukuhan terhadap kebebasan-kebebasan asasi, yaitu adanya kebebasa menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, serta kebebasan berserikat. Kebebasan merupakan hak primordial manuisa, menjadi anugrah Ilahi yg pertama-tama pada manusia primordial (dalam cerita kitab kudus dilambangkan dalam kedirian Adam serta Hawa). Tidak ada yg lebih berharga dalam manusia, dan yg lebih menentukan senang -sengsaranya, daripada kebebasan. Tembok Berlin yang telah runtuh itu sebagai saksi bisu, bagaimana manusia bersedia mengorbankan apasaja demi kebebasan. Dalam cerita kitab kudus agama-agama Smitik, lambang tindakan merampas kebebasan manusia itu ialah pemerintahan Fir’aun yg diberi kualifikasi sebagai demagog (Arab: Thaghut). Dan lambag pembebasan insan berdasarkan penindasan tirani itu ialah Eksodus, perpindahan besar -besaran kaum Israel dari Mesir menuju Tanah Suci (al-ardl al-muqaddasah) di bawah pimpinan nabi Musa. Kaum Israel meperingati hari pembebasan itu dengan berpuasa, yg dalam kalender Arab jatuh dalam tanggal sepuluh (‘asyura) bulan Muharram (bulan pertama tahun hijr). Nabi Muhammadpun, menurut sebuah hadis, pula menjalani puasa itu buat suatu masa eksklusif, yang hingga saat ini masih diteruskanoleh sebagian umat islam.

Selanjutnya krusial sekali direnungkan lebih mendalam bahwa nabi Musa mengukuhkan kebebasan yg dikukuhkan sang kaumnya itu menggunakan mentaati perjanjian (mitsaq) mereka menggunakan Tuhan yg diwujudkan dalam bentuk rumusan perintah serta embargo, suatu ajaran tentang hukum Tuhan (Torat), yg intinya merupakan “Sepuluh Perintah” (Decalogne, The Ten Commandments).

Nabi Musa mendidik kaumnya mentaati Hukum Tuhan (Torat) dengan mengajari mereka sembahyang menghadap Tabut menjadi kiblat, agar mereka selalu ingat buah-butir perintah serta larang yang adalah perjanjian mereka menggunakan Tuhan itu. Dalam jangka waktu empat puluh tahun, dengan disiplin yang keras, yg kadang-kadang wajib mengorbankan mereka yang tidak taat aturan, nabi Musa berhasil mengubah mentalitas budak Israel manjadi masyarakat orang-orang yg merdeka penuh, dengan karakteristik taat pada hukum serta anggaran. Agregat rakyat serupa itu diklaim dalam bahasa Ibrani Medinat, yg mengandung pengertian “warga beradab” karena taat kepada aturan dan aturan. (Dalam perkembangannya, perkataan Ibrani medinat berarti negara, sehingga nama resmi negara Israel kini ini, dalam bahasa Ibrani, merupakan Medinat Yishrael).

Bahasa Arab serta bahasa Ibrani adalah sama-sama rumpun bahasa Smith, karenanya poly perkataan kognat. Perkataan Ibrani medinat dalam arti (sekarang) “negara” merupakan kognat perkataan Arab “madinah” dalam arti mota. Tetapi kedua-duanya mengacu kepada semangat pengertian yang sama misalnya pengertian “negara kota” pada rakyat Yunani kuno, menjadi mana ide mengenai kenegaraan pada konsep republiknya Plato. Dasar-dasar pengertian itu pada pengembangan dan perluasannya lebih lanjut bersambung dengan dasar pengertian “negara kebangsaan” (nation state), yaitu suatu negara yang terbentuk demi kepentingan seluruh bangsa yg sebagai warganya, bukan buat penguasa atau raja (maka pada kontek ini, krusial sekali diingatkan serta ditegaskan bahwa pengertian “negara kebangsaan’ merupakan lawan pengertian “negara kerajaan”, khususnya negara kerajaan kuno dengan kekuasaan absolut oleh raja, yang biasa dianggap “monarki absolut”).

Adalah berdasarkan sudut pengertian mendasar itu kita wajib menafsirkan tindakan Nabi Muhammad membarui nama kota hijrah Yatsrib sebagai Madinah. Dengan tindakan itu, nabi mendeklarasikan terbentuknya suatu warga yang bebas berdasarkan kedzaliman tirani serta taat hanya kepada aturan serta anggaran, yang aturan dan anggaran itu tidak tergantung atau dibentuk secara sewenang-wenang oleh seorang penguasa. Salah satu sumber aturan itu artinya perjanjian (nustaq), konvensi mengikat, (mu’ahadah), kontrak (contract, aqd) serta janji setia (bay’at). Semua ikatan itu mengandung nilai kesucian, sehingga ketaatan kepadanya adalah sejajar menggunakan ketaatan kepada perjanjian kepada Tuhan seperti yg berbentuk dalam Torat-nya Nabi Musa. Dan karena jiwa semuanya itu terletak pada pengertian ‘perjanjian’, maka pada proses pembuatan seluruh itu mengantarkan adanya semangat saling rela, tanpa paksaan. Oleh karenanya semuanya harus melalui musyawarah, bukan lantaran “dekte” seoarng penguasa pendekte alias “tiran”. Hal ini bisa dipahami lebih kentara dari pandangan baru tentang “bay’at” suatu kata yang berakar sama menggunakan perkataan yg bermakna “jual-beli” (bay’at), jadi bersifat transaksi. Suatu trsansaksi tidak absah kecuali bila terdapat sikap saling rela berdasarkan pihak-pihak yang bersangkutan, dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Maka pada warga madani pola ketaatan yg berkembang wajib berupa pola ketaatan terbuka, rasional, kontraktual, dan transaksioanl, bukan pola ketaatan tertutup, nir rasional, tidak kritis, serta bersifat hanya satu arah. Semuanya wajib berdasarkan sikap suka rela, tanpa paksaan, dan tanpa tirani.

Ketaatan kepa aturan dan anggaran itu dibenarkan hanya bila aturan serta anggaran itu mengacu kepada maslahat generik (al-maslahat al-‘ammah, general welfare) masyarakat negara, tanpa diskriminasi atau bentuk-bentuk dispensasi lain yang nir adil. Oleh karenanya, sesudah kebebasan, sendi masyarakat madani, merupakan persamaan antar manusia (egalitariansime). Persamaan itu wajib diwujudkan dengan nyata secara absolut pada depan aturan dan aturan, betapun tingginya ‘gengsi” dan kedudukan orang tadi.

Pandangan-pertarungan ini mengahasilkan pola partisipasi generik dari seluruh rakyat negara, tanpa keceulai ataupun pembedaan diskriminatif. Lantaran itu pada rakyat madani dengan sendirinya harus berkembang faham kemajemukan (pluralisme), pada di mana warga bisa bergaul dengan nrimo dalam perebedaan-perbedaan yg tetap dibingkai sang keadaban (pluralism is engagement of diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan adanya pandangan mantap buat mendapat disparitas nir semata-mata sebagai fenomena belaka, melainkan menjadi kelebihan (asset), bahkan rahamat Tuhan, bukan beban (liability), apa lagi azab. Sebab perbedaan dapat memper kaya dan memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang misalnya dalam proses biologis cross breeding.

Pengalaman umat manusia pada sejarah pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradabannya memberitahuakn bahwa semakin banyak terjadi pertukaran silang semakin bertenaga serta kaya budaya dan peradaban yg terbentuk, serta semakin kurang pertukaran silang itu dampak isolasi atau pengucilan maka semakin miskin jua budaya dan peradabannya. Oleh karenanya, dalam warga madani persatuan tidak dipahami menjadi monolitisme yg tidak aktif serta stiril, namun menjadi persatuan dalam keanekaan yg dinamis serta produktif. Kiranya inilah yg menggunakan penuh kearifan dipahami oleh para pendiri negara., sebagaimana terungkap pada moto “ Bhinika Tunggal Ika”.

Kebebasan serta ketaatan pada aturan terdengan misalnya kontradiksi. Akan namun, hakekat masyarakat madani justru masih ada dalam kesatuan serta nilai itu dalam warga . Kebebasan terwujud dengan baik hanya dalam tertip aturan. Sebab tanpa tertip aturan itu maka yg akan terjadi adalah hubungan antar pribadi serta kelompok yang ditandai sang dominasi yg kuat terhadap yang lemah, dengan kemungkinan penindasan serta perampasan haknya tanpa tertip hukum, rakyat akan terjerembab ke pada jurang tatanan masyarakat hukum rimba, suatu warga tanpa keadaban atau civility, pada mana disparitas gampang tumbuh manjadi kontradiksi serta pertentangan mudah mengundang kekerasan serta penyelesaian-penyelesaiaanya. Suatu rakyat madani manyelesaikan masalah yang tibmbul karena padan pertentangan dan perbedaan dengan tetap berpegang kepada ukuran-ukuran keadaban. Oleh karenanya wacana umum tukar fikiran dan pendapat menjadi suatu kemestian.

Masyarakat akan selamanya dirundung kontradiksi, kecuali bila terdapat interaksi saling menghargai dansaling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, warga madani tidak mungkin tanpa sikap sssikap saling menghargai serta mempercaya itu. Inilah yg dimaksud dengan Ide toleransi kita wajib bersedia belajar dan mengambil pelajaran menurut mana saja, atas dasar pandangan kesucian insan universal pada pengertiannya yang lebih positif. Yatitu pengertian toleransi yg tidak semata-mata terbatas kepada sikap membiarkan orang lain misalnya orang itu mau dan kehendaki, namun berkembang kepada sikap kesediaan memandang orang itu menjadi langsung yg punya potensi kebaikan sesuai dengan fitrahnya menjadi manusia. Oleh karena itu, toleransi yang berkembang pada masyarakat madani adalah perilaku interaksi antar langsung serta grup yg disemangati oleh berpretensi baik, bebas dari sikap-sikap curiga tanpa alas an. Secara falsafah keagamaan, toleransi itu adalah hubungan, bahkan konsekuensi berdasarkan keyakinan bahwa yg mutlak hanyalah Tuhan, sedang segala yang terdapat selain Tuhan adalah relatif belaka.

Sebetulnya pandangan itulah yg menjadi pangkal semua agama ajaran para nabi, suatu kredo yang terjemahan generiknya akan berbunyi, “tiada sesuatu yang absolut kecuali Yang Mutlak itu sendiri”, yg kita sebut Tuhan. Konsekuensi paling pribadi menurut ungkapan keyakinan itu adalah kenisbian diri insan sendiri, serta kemustahilan insan yang nisbi itu mengetahui yg mutlak (lantaran akan pertentangan dalam peristilahan). Yng Mutlak menggunakan sendirinya tidak mungkin diketahui, karena tidak semisal apapun, serta nir sebanding menggunakan apapun, sebagai akibatnya tidak dapat diasosiasikan menggunakan suatu apapun pada bentuk insan. Tehadap Yang Mutlak itu, yg bisa dilakukan seorang ialah “berjalan” menapak garis lurus sesuai menggunakan bisikan lembut hati nurani yang paling lapang dada serta higienis,buat mendekat, tanpa berarti hingga, kepada yang benar. Yang dituntut menurut setiap peri badi merupakan berpegang pada “kebenaran” hasil bisikan lembut nurani yg nrimo serta higienis itu, tetapi tanpa memutlakan “temuan’ atau”pendapat” pribadi, yang senantiasa akan kemungkinan bahwa “temuan”, atau “pendapat” itu nir lain hanyalah “asa diri sendiri” (hawa al-nafs, hawa nafsu).

Oleh karenanya, dalam rakyat madani setiap orang wajib relatif rendah hati buat melihat dirinya sebagai insan yang berkemungkinan melakukan kesalahan, bak sengaja ataupun nir. Ia tanpil dan berjalan pada bumu dengan rendah hati, tanpa perilaku-perilaku penuh pujian diri. Alternatif dari kerendahan hati itu, adalah kesombongan Iblis, saat orang memandang segala perbuatannya sebagai niscaya baik padahal penuh menggunakan kejahatan, serta waktu seorang memandang kejahatan dirinya itu misalnya keindahan lantaran telah sebagai hiasan kalbunya yang telah . Lantaran kebiasaan tak jarang tumbuh menajdi alamiah ke 2, (hibit is second nature), yang selalu mengancam insan untuk sebagai tidak bisa lagi menyadari kekurangan dirinya, maka rakyat madi menuntut adanya kesediaan setiap anggotanya untuk hayati dalam suasana saling mengingatkan serta menegor.

Dalam tegor-menegor itu, setiap anggota harus bersedia meliahat orang lain menjadi makhluk kesucian yg berkecenderungan kebaikan, sebagai akibatnya setiap orang berhak menyatakan pendapat dan melakukan tegoran, dan berhak buat didengar. Demikian juga kebalikannya, lantaran setiap orang adalah langsung makhluk yang lemah, yang selalu rawan untuk menciptakan kesalahan (erare humanum est),maka ia wajib cukup rendah hati buat m,endengarkan pendapat, saran serta teguran yang dating berdasarkan sekelilingnya, kemudian memilih secara kritis mana yg terbaik dan melaksanakannya. Kearifan dalam pandangan hidup serta keluasan wawasan itu menjadi tonggak bagi kukuhnya bangunan masyarakat madani.

Dari uraian pada atas itu, tampak jelas bahwa masyarakat madani menuntut adanya hubungan saling cinta antara sesama manusia. Yang dimaksud pada sini bukan sekedar cinta biologis (erotis, cinta syahwat) yg memang sudah merupakan hakekat alamiah makhluk hayati, tetapi cinta kearah yang lebih tinggi, yaitu cinta kearifan (mawaddah, philos) karena memandang sesama insan, menggunakan keutuhan harkat dan martabanya. Itu pun masih wajib ditingkatkan pada cinta Ilahi (marhamah, agape), suatu cinta pada sesma manusia seperti cinta kepa diri sendiri, disertai menggunakan ikatan batin yang ikhlas buat berbuat baik kepada sesama insan itu.

Dalam formasi perkembangan kepercayaan Semitik, cinta agape itu inti dari ajaran Allah melalui Nabi Isa Almasih, sebagaimana terungkap dalam khutbah menurut atas Bukit Zaitun. Demikian jua segi ketaatan kepada hukum serta anggaran adalah ajaran Allah melalui Nabi Musa, sebagaimana terungkap melalui pertemuannya dengan Tuhan di atas Gunung Sinai. Semaunya itu membimbing kita kepada pengertian warga madani yg lengkap serta sempurna, menggunakan perlindungan absolut kepada kesucian hayati, harta, dan kehormatan insan (al-dima, alamwal, al-a’radl), sebagaimana diungkapkan oleh Nabi Muhammad pada Pidato Persiapan pada Arafah. Nialai-nilai kemanusiaan universal yang dikukuhkan semenjak dari Bukit Sinai, terus ke Bukit Zaitun dan kemudian padang Arafah ituu kini telah sebagai milik manusia terbaru nir akan melupan Thomas Jefferson yg mengungkapkan pulang nila-nilai kesucian insan itu pada frasa Inggris, live, liberty, pursuit, of happiness di bagian awal deklarasi kemerdekaan Amirika, atau frasa lives, fortunes, sacred honor dalam bagian paling ujung dekalrasi itu. Dan sejalan dengan prinsip-prinsip sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas, kita harus bersedia belajar serta mengambil pelajarandari mana saja, atas dasar pandangan kesucian kemanusia universal.

Dan, itulah semua impian kita membangun mnusia Indonesia Baru yang adil, terbuka dan demokratis. Karena nir ada yang instan pada usaha akbar misalnya itu, maka kita dituntut buat sabar, konsisten, serta nir terkena perilaku negatif tergesa-gesa yg nir pada tempatnya (unduly haste).

Dalam masyarakat Indonesia baru nir boleh lagi ada kelompok warga yg terpinggirkan. Semuanya harus ikut dan serta diikutsertakan, dengan hak serta kewajiban yg sama. Penderitaan harus dipikul beserta, dan keberhasilan wajib dibagi homogen. Kita harus bertekad menyelesaikan kasus kita sebagai bangsa sekali ini serta buat selamanya, insya Allah. Hal itu, bisa dicapai apabila kita menjunjung tinggi nilsai-nilai kemanusiaan universal, menghormati kesepakan-kesepakatan nasional misalnya konstitusi, undang-undang , aturan, serta aturan, bahkan kesepakatan -konvensi. Kita harus setia kepada raison d’etre kita rendiri sebagai bangsa, terutama sebagaimana tercantum sebagai nilai-nilai kebangsaan dallam mukadimah UUD 1945, dan pula moto kita Bhinika Tunggal Ika, Insya Allah.

TUNTUTAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

Tuntutan Pembangunan Masyarakat Madani 
Pembicaraan tentang masyarakat madani terkait erat menggunakan pandangan baru besar tentang bagaimana mewujudkan masyrakat Indonesia Baru. Berkenaan menggunakan hal itu, barangkali benar bahwa pada hari-hari ini nir terdapat sesuatu yang lebih menyebukkan banyak kalangan warga kita daripada pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya masyarakat Indonesia baru.

Sudah tentu perkataan “Indonesia baru” sendiri sarat dengan makna, sebagai akibatnya nir bisa dihindari adanya banyak disparitas dan pemahaman. Karena itu telah sepatutnya kita seluruh secara bersama-sama merembuk problem itu dan saling mengisi kekurangan masing-masing dalam pemahamannya sejalan menggunakan makna sebenarnya prinsip musyawarah (“saling memberi isyarat”, yakni, isyarat tentang hal yang sekiranya benar dan baik buat seluruh).

Sebenarnya “baru” ataupun “usang” sebagai kualifikasi mengenai apapun dapat sangat nisbi. Misalnya, tidak selalu kita wajib tahu sesuatu sebagai “baru” dalam artian sama sekali tidak tanggal dari masa lampau, yakni, berdasarkan keadaan “lama ”-nya. Sebab, keliru satu kenyataan mengenai sesuatu yang berkategorikan kedinamisan, yg selalu begerak dan berkembang, merupakan transedental. Lebih-lebih tentang agregat budaya, politik serta kemasyarakatan misalnya “Indonesia” kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya pada rangkaian keutuhan kontenuitas yg panjang.

Dalam hal budaya, politik dan kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu duduk perkara nir berdiri sendiri secara terpisah berdasarkan masa kemudian dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat serta loka tertentu semata. Kita wajib melihatnya pada kaitannya menggunakan masa-masa sebelumnya, menggunakan dugaan mengenai pengaruhnya pada masa depan, semuanya itu dalam makna positif juga negatifnya.(....subjek ... :” Maka demikian juga tentang ilham “Indonesia Baru” dan rakyat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan menciptakan asumsi mengenai implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “. ( subjek, 2010: 24)

Maka demikian juga mengenai ide “Indonesia Baru” serta rakyat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “masyarakat madani” sendiri merupakan suatu istilah, (Arab: Ishthilah, yaitu “ungkapan konvensi”), suatu ungkapan output kesepakan warga , sebagian atau seluruhnya, dengan makna eksklusif. Karena kesepakatan itu nir pernah dilakukan secara konkret serta formal, maka suatu ungkapan istilah permanen mengandung kemungkinan perbedaan pengertian dan kontroversi. Apabila suatu kata telah benar-benar memasyarakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi sang adanya konvensi pasif secara generik.

Selanjtunya, menurut hal tersebut kita masih memerlukan kejelasan tentang apa yg dimaksud, mungkin disepakati, menggunakan istilah “masyarakat madani.” Istilah itu dimaksudkan menjadi padanan kata Inggris civil society”, suatu istilah yg juga mengalami perkembangan pemaknaan. Istilah serta pengertian khusus civil society mula-mula timbul di Inggris dalam masa-masa awal perkembangan kapitalisme terbaru, yang syahdan merupakan inplikasi pertama penerapan teori ekonomi Adam Smith dengan karyanya The Wealth of Nation. Pandangan ekonomi Smith itu mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris, yg pada prosesnya terbentur pada pembatasan-restriksi oleh pemerintah lantaran adanya merkantilisme negara. Para wirausahawan lalu menuntut adanya “ruang” di mana mereka bisa berkecimpung dengan bebas dan leluasa mengembangkan bisnis mereka. Ruang kebebasan itu adalah tempat terwujudnya civil society yg adalah ruang penegasan antara kekuasaan (pemerintah) dan rakyat generik. Jadi relatif jelas bahwa civil society senantiasa bercirikan kebesan serta keterlepasan dari pembatasan-restriksi sang kekuasaan. 

TIDAK dapat dibantah lagi bahwa itu semua merupakan ciri rakyat kelas menengah, yang memang sering dicermati menjadi unsur paling bergerak maju pada masyarakat. Namun, menggunakan begitu jua sulit terhindarkan kesan bahwa hal itu semua merupakan bagaian menurut wawasan burjuasi. Karena itu ketika Marxisme serta ede-ilham keadilan social muncul menggunakan bertenaga di Eropa, kata civil society ditinggalkan orang, akibat kesan negatif apasaja yang terkaitkan menggunakan burjuasi.

Istilah dan pengertian civil society menggunakan modifikasi positif tertentu ada balik menggunakan bertenaga sebagai dampak atau kelanjutan ide-ilham Gorbachev tentang keterbukaan serta restrukturisasi social politik Uni Suviet. Mungkin di luar dugaan penggagasan glasnost dan peristorik itu sendiri, ide serta gerakan dengan lebel civil society segera melanda Eropa Timur serta dunia komunis pada umumnya, buat akhirnya membawa semuanya pada kehancuran total. Disebabkan oleh semakin menguatnya dimensi global kehidupan insan kini ini, gagasan dan gerakan civil society yg merubuhkan global komunis sebenarnya adalah suatu gagasan dan gerakan berdimensi dunia. Menyambut ide-ilham Gurbachev yg bagi “Dunia Bebas” …== Kebebasan dan ketaatan pada hukum terdengar misalnya bertentangan. Akan tetapi, hakikat rakyat madani justru masih ada pada dalam kesatuan dan nilai itu dalam rakyat. Sangat positif itu,suatu konfrensi dengan tema-tema kurang lebih hak asasi serta kebebasan diselenggarakan pada Hesinki. Salah satu hasilnya adalah ekskavasi balik inspirasi awal mengenai civil society pada Inggris tersebut dan pemadatan makna dan pemusatan arah gerakannya kepada usaha perebutan balik kebebasan-kebebasan asasi menggunakan menghancurkan tirani pemerintahan komunis. Mungkin belum seluruh kebebasan asasi itu terwujud di negeri-negeri Eropa Timur, manum komunisme dan totalitarianismenya sahih-sahih sudah runtuh sang gelombang gerakan pembebasan dengan label civil society itu.

Melihat keberhasilannya di Eropa Timur, ide serta gerakan civil society menjalar ke semua muka bumi. Kedua, paling kuat setelah Eropa Timur, pada berbagi pandangan baru tentang civil society dengan gerakan pembebasannya adalah Amirika latin. Negeri-negeri yang secara budaya didominasi oleh budaya Ibiria (Spanyol dan Portugal) itu semenjak lama dikenal sebagai galat satu konsentrasi negara-negara dengan pemerintahan otoriter. Hasil gerakan civil society pada Amirika latin tidak sama spektakulernya dengan hasilnya di Eropa Timur, tetapi jelas gerakan itu punya peran krusial pada pertumbuhan kebebasan dan demokrasi pada sana.

Dari rentetan sejarah penggunaan kata civil society pada atas itu, kentara sekali bahwa beliau mengandung pengertian yang berkembang. Berbeda dengan pengertian awal civil society pada Inggris yang berkonotasi bertenaga menjadi rakyat burjuis (sebagai akibatnya dihindari sang kaum Marxis), pada Eropa Timur serta Amirikan Latin, begitu pula kecenderungannya di semua dunia kini ini, pengertian terkini society sangat bertenaga berkonotasi “lembaga luar pemerintahan”(non-governmental organization-NGO) atau, pada istilah yg lebih tepat lagi, “forum swadaya rakyat” (LSM).

Masyarakat madani dimaksudkan sebagai pengindonesiaan istilah Inggris civil society, namun jua dengan beberapa bentuk pengembangan pemaknaannya. Seluruh pengertian mengenai civil society seperti yang terdapat sekarang merupakan relevan dan penting sekali pada bisnis mewujudkan rakyat Indonesia baru, kecuali isyarat negatif pengertiannya sebagai rakyat burjuis masa awal perkembngan kapitalisme Inggris dahulu.

Oleh karenanya kita bisa mengasumsikan kesediaan buat menerima hampir in toto pengertian tentang civil society itu buat dikembangkan di Indonesia. Menonjol sekali kepentingan rakyat Indonesia pada inspirasi mengenai civil society menjadi gerakan pembebasa. Dengan latar belakang pengalaman berpemerintahan tanpa kebebasan memadai selama berpuluh-puluh tahun, gerakan pembebasan warga itu adalah agenda primer gerakan reformasi. Maka dilihat dari sudut ini, perolehan terpenting gerakan reformasi adalah adanya pengakuan serta pengukuhan terhadap kebebasan-kebebasan asasi, yaitu adanya kebebasa menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, serta kebebasan berserikat. Kebebasan adalah hak primordial manuisa, menjadi anugrah Ilahi yg pertama-tama pada manusia primordial (pada cerita buku suci dilambangkan pada kedirian Adam serta Hawa). Tidak ada yg lebih berharga dalam insan, dan yang lebih menentukan bahagia-sengsaranya, daripada kebebasan. Tembok Berlin yg sudah runtuh itu menjadi saksi bisu, bagaimana insan bersedia mengorbankan apasaja demi kebebasan. Dalam cerita buku kudus kepercayaan -kepercayaan Smitik, lambang tindakan merampas kebebasan manusia itu merupakan pemerintahan Fir’aun yang diberi kualifikasi sebagai demagog (Arab: Thaghut). Dan lambag pembebasan manusia dari penindasan tirani itu ialah Eksodus, perpindahan besar -besaran kaum Israel dari Mesir menuju Tanah Suci (al-ardl al-muqaddasah) pada bawah pimpinan nabi Musa. Kaum Israel meperingati hari pembebasan itu dengan berpuasa, yang pada kalender Arab jatuh pada lepas sepuluh (‘asyura) bulan Muharram (bulan pertama tahun hijr). Nabi Muhammadpun, berdasarkan sebuah hadis, pula menjalani puasa itu buat suatu masa tertentu, yg hingga waktu ini masih diteruskanoleh sebagian umat islam.

Selanjutnya krusial sekali direnungkan lebih mendalam bahwa nabi Musa mengukuhkan kebebasan yg dikukuhkan oleh kaumnya itu dengan mentaati perjanjian (mitsaq) mereka dengan Tuhan yang diwujudkan dalam bentuk rumusan perintah dan embargo, suatu ajaran tentang hukum Tuhan (Torat), yg pada dasarnya ialah “Sepuluh Perintah” (Decalogne, The Ten Commandments).

Nabi Musa mendidik kaumnya mentaati Hukum Tuhan (Torat) dengan mengajari mereka sembahyang menghadap Tabut sebagai kiblat, agar mereka selalu ingat butir-buah perintah dan larang yg adalah perjanjian mereka menggunakan Tuhan itu. Dalam jangka ketika empat puluh tahun, menggunakan disiplin yg keras, yg kadang-kadang harus mengorbankan mereka yg nir taat hukum, nabi Musa berhasil mengganti mentalitas budak Israel manjadi warga orang-orang yg merdeka penuh, dengan ciri taat kepada hukum serta anggaran. Agregat masyarakat serupa itu diklaim pada bahasa Ibrani Medinat, yang mengandung pengertian “warga mudun” karena taat kepada aturan dan anggaran. (Dalam perkembangannya, perkataan Ibrani medinat berarti negara, sebagai akibatnya nama resmi negara Israel sekarang ini, dalam bahasa Ibrani, merupakan Medinat Yishrael).

Bahasa Arab dan bahasa Ibrani adalah sama-sama rumpun bahasa Smith, karenanya poly perkataan kognat. Perkataan Ibrani medinat dalam arti (kini ) “negara” adalah kognat perkataan Arab “madinah” pada arti mota. Tetapi kedua-duanya mengacu pada semangat pengertian yg sama misalnya pengertian “negara kota” dalam masyarakat Yunani kuno, menjadi mana pandangan baru tentang kenegaraan dalam konsep republiknya Plato. Dasar-dasar pengertian itu dalam pengembangan serta perluasannya lebih lanjut kontiniu menggunakan dasar pengertian “negara kebangsaan” (nation state), yaitu suatu negara yg terbentuk demi kepentingan seluruh bangsa yg menjadi warganya, bukan untuk penguasa atau raja (maka pada kontek ini, penting sekali diingatkan dan ditegaskan bahwa pengertian “negara kebangsaan’ adalah lawan pengertian “negara kerajaan”, khususnya negara kerajaan antik dengan kekuasaan mutlak sang raja, yg biasa dianggap “monarki mutlak”).

Adalah berdasarkan sudut pengertian mendasar itu kita harus menafsirkan tindakan Nabi Muhammad mengubah nama kota hijrah Yatsrib menjadi Madinah. Dengan tindakan itu, nabi mendeklarasikan terbentuknya suatu rakyat yg bebas dari kedzaliman tirani serta taat hanya kepada aturan serta anggaran, yang aturan dan anggaran itu tidak tergantung atau dibentuk secara sewenang-wenang oleh seseorang penguasa. Salah satu asal hukum itu ialah perjanjian (nustaq), konvensi mengikat, (mu’ahadah), kontrak (contract, aqd) dan janji setia (bay’at). Semua ikatan itu mengandung nilai kesucian, sebagai akibatnya ketaatan kepadanya merupakan sejajar menggunakan ketaatan pada perjanjian kepada Tuhan misalnya yg berbentuk pada Torat-nya Nabi Musa. Dan lantaran jiwa semuanya itu terletak pada pengertian ‘perjanjian’, maka dalam proses pembuatan semua itu mengantarkan adanya semangat saling rela, tanpa paksaan. Oleh karenanya semuanya harus melalui musyawarah, bukan lantaran “dekte” seoarng penguasa pendekte alias “tiran”. Hal ini bisa dipahami lebih jelas menurut ilham mengenai “bay’at” suatu istilah yang berakar sama dengan perkataan yang bermakna “jual-beli” (bay’at), jadi bersifat transaksi. Suatu trsansaksi tidak absah kecuali bila ada sikap saling rela dari pihak-pihak yg bersangkutan, serta tanpa paksaan menurut pihak manapun. Maka pada rakyat madani pola ketaatan yg berkembang wajib berupa pola ketaatan terbuka, rasional, kontraktual, dan transaksioanl, bukan pola ketaatan tertutup, nir rasional, tidak kritis, dan bersifat hanya satu arah. Semuanya wajib berdasarkan sikap suka rela, tanpa paksaan, dan tanpa tirani.

Ketaatan kepa aturan dan anggaran itu dibenarkan hanya bila aturan serta aturan itu mengacu kepada maslahat umum (al-maslahat al-‘ammah, general welfare) rakyat negara, tanpa subordinat atau bentuk-bentuk pengecualian lain yang tidak adil. Oleh karenanya, sesudah kebebasan, sendi rakyat madani, artinya persamaan antar insan (egalitariansime). Persamaan itu wajib diwujudkan dengan nyata secara absolut di depan hukum serta anggaran, betapun tingginya ‘gengsi” serta kedudukan orang tersebut.

Pandangan-konflik ini mengahasilkan pola partisipasi umum dari semua masyarakat negara, tanpa keceulai ataupun pembedaan diskriminatif. Karena itu pada masyarakat madani menggunakan sendirinya wajib berkembang faham kemajemukan (pluralisme), pada pada mana warga bisa bergaul menggunakan lapang dada dalam perebedaan-perbedaan yang tetap dibingkai sang keadaban (pluralism is engagement of diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan adanya pandangan mantap buat menerima disparitas tidak semata-mata sebagai kenyataan belaka, melainkan menjadi kelebihan (asset), bahkan rahamat Tuhan, bukan beban (liability), apa lagi azab. Sebab disparitas bisa memper kaya serta memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang seperti dalam proses biologis cross breeding.

Pengalaman umat manusia dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradabannya menerangkan bahwa semakin banyak terjadi pertukaran silang semakin kuat dan kaya budaya dan peradaban yang terbentuk, serta semakin kurang pertukaran silang itu dampak isolasi atau pengucilan maka semakin miskin juga budaya serta peradabannya. Oleh karena itu, pada masyarakat madani persatuan tidak dipahami sebagai monolitisme yang tidak aktif serta stiril, namun sebagai persatuan dalam keanekaan yg bergerak maju serta produktif. Kiranya inilah yg dengan penuh kearifan dipahami sang para pendiri negara., sebagaimana terungkap pada moto “ Bhinika Tunggal Ika”.

Kebebasan dan ketaatan kepada aturan terdengan seperti pertentangan. Akan tetapi, hakekat rakyat madani justru terdapat dalam kesatuan dan nilai itu pada masyarakat. Kebebasan terwujud dengan baik hanya dalam tertip hukum. Sebab tanpa tertip aturan itu maka yg akan terjadi merupakan hubungan antar eksklusif dan gerombolan yang ditandai sang dominasi yg bertenaga terhadap yg lemah, menggunakan kemungkinan penindasan dan perampasan haknya tanpa tertip aturan, rakyat akan terjerembab ke pada jurang tatanan rakyat aturan rimba, suatu warga tanpa keadaban atau civility, di mana disparitas mudah tumbuh manjadi kontradiksi serta pertentangan gampang mengundang kekerasan serta penyelesaian-penyelesaiaanya. Suatu rakyat madani manyelesaikan perkara yang tibmbul karena padan pertentangan dan disparitas dengan permanen berpegang kepada berukuran-ukuran keadaban. Oleh karena itu perihal umum tukar fikiran dan pendapat sebagai suatu kemestian.

Masyarakat akan selamanya dirundung pertentangan, kecuali bila terdapat interaksi saling menghargai dansaling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, masyarakat madani nir mungkin tanpa perilaku sssikap saling menghargai serta mempercaya itu. Inilah yang dimaksud dengan Ide toleransi kita wajib bersedia belajar serta merogoh pelajaran berdasarkan mana saja, atas dasar pandangan kesucian insan universal pada pengertiannya yg lebih positif. Yatitu pengertian toleransi yg nir semata-mata terbatas pada perilaku membiarkan orang lain seperti orang itu mau dan kehendaki, namun berkembang kepada perilaku kesediaan memandang orang itu sebagai pribadi yg punya potensi kebaikan sesuai menggunakan fitrahnya sebagai manusia. Oleh karena itu, toleransi yg berkembang dalam warga madani merupakan sikap interaksi antar eksklusif dan grup yang disemangati sang berpretensi baik, bebas berdasarkan sikap-sikap curiga tanpa alas an. Secara falsafah keagamaan, toleransi itu adalah korelasi, bahkan konsekuensi dari keyakinan bahwa yg absolut hanyalah Tuhan, sedang segala yang ada selain Tuhan merupakan nisbi belaka.

Sebetulnya pandangan itulah yang menjadi pangkal semua agama ajaran para nabi, suatu kredo yg terjemahan generiknya akan berbunyi, “tiada sesuatu yang mutlak kecuali Yang Mutlak itu sendiri”, yg kita sebut Tuhan. Konsekuensi paling eksklusif dari ungkapan keyakinan itu merupakan kenisbian diri insan sendiri, dan kemustahilan insan yg nisbi itu mengetahui yg absolut (karena akan pertentangan pada peristilahan). Yng Mutlak menggunakan sendirinya tidak mungkin diketahui, karena nir semisal apapun, serta tidak sebanding dengan apapun, sehingga nir bisa diasosiasikan menggunakan suatu apapun pada bentuk manusia. Tehadap Yang Mutlak itu, yg bisa dilakukan seseorang ialah “berjalan” menapak garis lurus sesuai menggunakan bisikan lembut hati nurani yang paling ikhlas serta higienis,buat mendekat, tanpa berarti sampai, kepada yang sahih. Yang dituntut menurut setiap peri badi merupakan berpegang kepada “kebenaran” hasil bisikan lembut nurani yg lapang dada dan higienis itu, tetapi tanpa memutlakan “temuan’ atau”pendapat” eksklusif, yg senantiasa akan kemungkinan bahwa “temuan”, atau “pendapat” itu tidak lain hanyalah “harapan diri sendiri” (hawa al-nafs, hawa nafsu).

Oleh karena itu, dalam rakyat madani setiap orang wajib cukup rendah hati buat melihat dirinya sebagai insan yg berkemungkinan melakukan kesalahan, bak sengaja ataupun nir. Ia tanpil serta berjalan di bumu menggunakan rendah hati, tanpa perilaku-sikap penuh kebanggaan diri. Alternatif menurut kerendahan hati itu, adalah kesombongan Iblis, saat orang memandang segala perbuatannya menjadi pasti baik padahal penuh dengan kejahatan, dan ketika seorang memandang kejahatan dirinya itu seperti estetika lantaran sudah sebagai hiasan kalbunya yang telah . Lantaran kebiasaan tak jarang tumbuh menajdi alamiah kedua, (hibit is second nature), yang selalu mengancam manusia untuk menjadi nir sanggup lagi menyadari kekurangan dirinya, maka masyarakat madi menuntut adanya kesediaan setiap anggotanya buat hayati pada suasana saling mengingatkan serta menegor.

Dalam tegor-menegor itu, setiap anggota harus bersedia meliahat orang lain sebagai makhluk kesucian yg berkecenderungan kebaikan, sehingga setiap orang berhak menyatakan pendapat serta melakukan tegoran, dan berhak buat didengar. Demikian jua kebalikannya, karena setiap orang merupakan eksklusif makhluk yang lemah, yang selalu rawan buat membuat kesalahan (erare humanum est),maka ia wajib relatif rendah hati buat m,endengarkan pendapat, saran dan teguran yang dating menurut sekelilingnya, lalu menentukan secara kritis mana yang terbaik serta melaksanakannya. Kearifan pada pandangan hidup serta keluasan wawasan itu menjadi tonggak bagi kukuhnya bangunan rakyat madani.

Dari uraian pada atas itu, tampak jelas bahwa rakyat madani menuntut adanya hubungan saling cinta antara sesama insan. Yang dimaksud di sini bukan sekedar cinta biologis (erotis, cinta syahwat) yg memang sudah merupakan hakekat alamiah makhluk hayati, namun cinta kearah yg lebih tinggi, yaitu cinta kearifan (mawaddah, philos) lantaran memandang sesama manusia, menggunakan keutuhan harkat serta martabanya. Itu pun masih wajib ditingkatkan kepada cinta Ilahi (marhamah, agape), suatu cinta kepada sesma manusia misalnya cinta kepa diri sendiri, disertai dengan ikatan batin yang nrimo buat berbuat baik pada sesama manusia itu.

Dalam deretan perkembangan agama Semitik, cinta agape itu inti dari ajaran Allah melalui Nabi Isa Almasih, sebagaimana terungkap dalam khutbah menurut atas Bukit Zaitun. Demikian pula segi ketaatan pada aturan serta aturan adalah ajaran Allah melalui Nabi Musa, sebagaimana terungkap melalui pertemuannya menggunakan Tuhan pada atas Gunung Sinai. Semaunya itu membimbing kita pada pengertian rakyat madani yg lengkap serta sempurna, menggunakan perlindungan absolut kepada kesucian hayati, harta, serta kehormatan manusia (al-dima, alamwal, al-a’radl), sebagaimana diungkapkan sang Nabi Muhammad pada Pidato Persiapan di Arafah. Nialai-nilai humanisme universal yang dikukuhkan sejak dari Bukit Sinai, terus ke Bukit Zaitun dan lalu padang Arafah ituu kini sudah sebagai milik insan terbaru nir akan melupan Thomas Jefferson yang menyampaikan kembali nila-nilai kesucian manusia itu pada frasa Inggris, live, liberty, pursuit, of happiness pada bagian awal deklarasi kemerdekaan Amirika, atau frasa lives, fortunes, sacred honor dalam bagian paling ujung dekalrasi itu. Dan sejalan menggunakan prinsip-prinsip sebagaimana dipaparkan secara singkat pada atas, kita harus bersedia belajar serta mengambil pelajarandari mana saja, atas dasar pandangan kesucian kemanusia universal.

Dan, itulah seluruh impian kita menciptakan mnusia Indonesia Baru yang adil, terbuka serta demokratis. Lantaran nir terdapat yg instan dalam usaha akbar misalnya itu, maka kita dituntut buat sabar, konsisten, dan tidak terkena perilaku negatif tergesa-gesa yg nir dalam tempatnya (unduly haste).

Dalam rakyat Indonesia baru nir boleh lagi ada gerombolan warga yang terpinggirkan. Semuanya wajib ikut dan dan diikutsertakan, menggunakan hak serta kewajiban yang sama. Penderitaan harus dipikul bersama, dan keberhasilan harus dibagi homogen. Kita harus bertekad menyelesaikan masalah kita menjadi bangsa sekali ini serta buat selamanya, insya Allah. Hal itu, dapat dicapai apabila kita menjunjung tinggi nilsai-nilai humanisme universal, menghormati kesepakan-konvensi nasional misalnya konstitusi, undang-undang , hukum, dan anggaran, bahkan kesepakatan -konvensi. Kita wajib setia kepada raison d’etre kita rendiri sebagai bangsa, terutama sebagaimana tercantum sebagai nilai-nilai kebangsaan dallam mukadimah UUD 1945, serta jua moto kita Bhinika Tunggal Ika, Insya Allah.

APA SEBENARNYA ARTI KATA MUDIK DAN LEBARAN

Apa sebenarnya arti istilah Mudik serta Lebaran?
Tradisi Mudik atau Pulang Kampung pada hari Lebaran, sudah menjadi Tradisi tahunan di setiap hari raya idul fitri bagi umat islam khususnya pada Indonesia, tetapi pernahkah kita bertanya apa sebenarnya arti kata Mudik serta Lebaran tersebut?
Pulang kampung atau Mudik di hari Lebaran adalah suatu hal yg melengkapi kemeriahan hari raya idul fitri, Lalu kenapa Hari raya Idul fitri sering dianggap dengan Lebaran?
dan apa sebenarnya arti berdasarkan kata Mudik?
Dari mana kata Lebaran dari?
Hari raya Idul fitri sebagai puncak moment yg paling ditunggu-tunggu sang semua Umat islam, sehabis menjalani ibadah puasa sebulan penuh dibulan Ramadhan.
Hari Raya Idul Fitri menjadi hari kemenangan sesudah menjalani ibadah puasa sebulan penuh, dan pada hari kemenangan ini menjadi momen berkumpul dan saling maaf memaafkan beserta famili.
Di Indonesia Tradisi mudik telah sebagai suatu kewajiban, serta tak lengkap cita rasanya jika dihari raya idul fitri nir bisa berkumpul bersama famili.
Kenapa Tradisi pulang kampung ini biasa dianggap menggunakan istilah Mudik?
Lalu apa sebenarnya arti istilah Mudik, dan darimana asal usul kata Mudik tersebut?
Bagi Umat islam khususnya di Indonesia, Tradisi Mudik sudah menjadi tradisi sejak dulu kala.

Arti istilah Mudik dan Lebaran

Arti istilah Mudik
Istilah kata Mudik asal menurut Bahasa Jawa, yg terdiri menurut dua kata, yaitu:
  • Mulih, yang berarti Pulang
  • Dilik, yg berarti sebentar
Mudik = Mulih & Dilik
Mudik dari menurut kata "Mulih Dilik" pada bahasa jawa yang berarti Pulang sebentar.
Mudik digunakan menjadi istilah bagi umat islam dalam melakukan aktivitas Pulang Kampung dalam saat yang sementara waktu sambil merayakan Hari raya idul fitri, berkumpul beserta famili buat bersilahturahmi dan saling maaf memaafkan.
Namun berdasarkan Wikipedia, Mudik sendiri berasal dari kata Udik yang berarti Hulu, atau biasa kita sebut pula dengan balik ke desa/kampung (Udik).
Mudik = Udik

Arti kata Lebaran
Lebaran adalah suatu istilah yang tak jarang digunakan buat menjelaskan hari raya idul fitri.
Belum terdapat yang bisa menyebutkan secara kentara tentang darimana sebenarnya kata Lebaran tadi berasal dan apa hubungannya menggunakan Hari raya idul fitri.
Namun terdapat beberapa versi mengenai berasal usul kata Lebaran serta apa pengertian menurut kata Lebaran tersebut.
Menurut MA.salmun melalui artikelnya dalam bahasa sunda pada tahun 1954, istilah Lebaran berasal dari bahasa Hindu yg berarti Selesai, Habis atau Usai.
Lebaran = Usai, Selesai
Pengertian Kata Lebaran ini dapat dikaitkan dengan hari raya Idul fitri yg ditandai menggunakan sudah terselesaikan atau usainya Bulan ramadhan.
Selain itu, Kata Lebaran pula tak jarang digunakan oleh warga Betawi yg diartikan menjadi suatu Kelapangan (Lebar-An), Kelegaan sesudah berpuasa sebulan penuh dibulan Ramadhan, dan kegembiraan menyambut hari raya idul fitri.
Lebaran = Lebar, Lega
Namun, apapun makna istilah Lebaran tadi, kita tentu dapat menggambarkan maksudnya sebagai suatu hari kemenangan serta hari berbahagia, selesainya berpuasa.
Lebaran serta Mudik seolah menjadi dua hal yg tidak bisa dipisahkan bagi umat islam pada Indonesia.
Karena Lebaran identik dengan tradisi Mudik atau pergi kampung, berkumpul serta saling bermaafan dengan famili.
Semoga berguna!
CARA FLEXI
Dari banyak sekali asal

APA SEBENARNYA ARTI KATA MUDIK DAN LEBARAN

Apa sebenarnya arti kata Mudik dan Lebaran?
Tradisi Mudik atau Pulang Kampung di hari Lebaran, telah menjadi Tradisi tahunan di setiap hari raya idul fitri bagi umat islam khususnya pada Indonesia, namun pernahkah kita bertanya apa sebenarnya arti istilah Mudik serta Lebaran tadi?
Pulang kampung atau Mudik pada hari Lebaran merupakan suatu hal yg melengkapi kemeriahan hari raya idul fitri, Lalu kenapa Hari raya Idul fitri acapkali disebut menggunakan Lebaran?
dan apa sebenarnya arti dari istilah Mudik?
Dari mana istilah Lebaran berasal?
Hari raya Idul fitri sebagai puncak moment yg paling ditunggu-tunggu oleh semua Umat islam, setelah menjalani ibadah puasa sebulan penuh dibulan Ramadhan.
Hari Raya Idul Fitri sebagai hari kemenangan setelah menjalani ibadah puasa sebulan penuh, dan di hari kemenangan ini sebagai momen berkumpul serta saling maaf memaafkan bersama famili.
Di Indonesia Tradisi mudik telah menjadi suatu kewajiban, dan tak lengkap cita rasanya jika dihari raya idul fitri nir bisa berkumpul beserta famili.
Kenapa Tradisi pulang kampung ini biasa diklaim dengan istilah Mudik?
Lalu apa sebenarnya arti istilah Mudik, dan darimana asal usul kata Mudik tadi?
Bagi Umat islam khususnya pada Indonesia, Tradisi Mudik telah sebagai tradisi sejak dulu kala.

Arti kata Mudik dan Lebaran

Arti istilah Mudik
Istilah kata Mudik dari menurut Bahasa Jawa, yang terdiri menurut 2 kata, yaitu:
  • Mulih, yg berarti Pulang
  • Dilik, yg berarti sebentar
Mudik = Mulih & Dilik
Mudik berasal berdasarkan kata "Mulih Dilik" dalam bahasa jawa yg berarti Pulang sebentar.
Mudik digunakan sebagai istilah bagi umat islam pada melakukan aktivitas Pulang Kampung pada saat yg sementara waktu sembari merayakan Hari raya idul fitri, berkumpul bersama keluarga buat bersilahturahmi serta saling maaf memaafkan.
Namun menurut Wikipedia, Mudik sendiri asal berdasarkan istilah Udik yg berarti Hulu, atau biasa kita sebut pula menggunakan balik ke desa/kampung (Udik).
Mudik = Udik

Arti kata Lebaran
Lebaran adalah suatu istilah yg tak jarang digunakan buat mengungkapkan hari raya idul fitri.
Belum ada yang dapat menyebutkan secara kentara mengenai darimana sebenarnya istilah Lebaran tersebut dari dan apa hubungannya menggunakan Hari raya idul fitri.
Namun terdapat beberapa versi tentang dari usul kata Lebaran serta apa pengertian menurut kata Lebaran tadi.
Menurut MA.salmun melalui artikelnya pada bahasa sunda dalam tahun 1954, istilah Lebaran asal berdasarkan bahasa Hindu yang berarti Selesai, Habis atau Usai.
Lebaran = Usai, Selesai
Pengertian Kata Lebaran ini bisa dikaitkan dengan hari raya Idul fitri yang ditandai menggunakan telah terselesaikan atau usainya Bulan ramadhan.
Selain itu, Kata Lebaran pula seringkali dipakai sang masyarakat Betawi yang diartikan sebagai suatu Kelapangan (Lebar-An), Kelegaan sehabis berpuasa sebulan penuh dibulan Ramadhan, serta kegembiraan menyambut hari raya idul fitri.
Lebaran = Lebar, Lega
Namun, apapun makna kata Lebaran tersebut, kita tentu dapat mendeskripsikan maksudnya sebagai suatu hari kemenangan dan hari berbahagia, sesudah berpuasa.
Lebaran dan Mudik seolah sebagai 2 hal yang tidak bisa dipisahkan bagi umat islam pada Indonesia.
Karena Lebaran identik dengan tradisi Mudik atau pergi kampung, berkumpul serta saling bermaafan menggunakan famili.
Semoga berguna!
CARA FLEXI
Dari aneka macam sumber

USHUL FIKIH INTEGRATIFHUMANIS SEBUAH REKONSTRUKSI METODOLOGIS

Ushul Fikih Integratif-Humanis : Sebuah Rekonstruksi Metodologis
A. Iftitah 
Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fikih memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis berdasarkan ajaran Islam sangat dipengaruhi sang bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ aturan Islam, ushul fikih menempati poros serta inti dari ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena buat menelaah batasan, dinamika dan makna interaksi antara Tuhan serta manusia. Melihat manfaatnya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat bergerak maju dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat bergerak maju dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis berdasarkan tugas ushul fikih yg harus selalu berusaha menselaraskan problema humanisme yg terus berkembang menggunakan pesat dan akseleratif dengan 2 sumber rujukan utamanya, al-Qur`an serta as-Sunnah, yg sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman. 

Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan serta baku yg majemuk sinkron dengan jenis persoalan yg dipandang. Ada masalah aturan fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Tetapi karena penerangan nash demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak mampu memasuki wilayah ini. Pemahaman pakar fikih hanya sekadar menghimpun banyak sekali nash itu serta menghubungkan menggunakan nash lain sehingga menciptakan citra utuh tentang ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar dalam duduk perkara interpretasi nash menggunakan mempergunakan konsep-konsep pada prinsip ilmu tafsir misalnya menyelidiki makna umum serta spesifik, pertentangan (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah serta lain sebagainya.

Secara generik, kajian ushul fikih juga tidak terlepas menurut citra pada atas, banyak berkutat dalam wilayah privat serta domestik misalnya perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yg bersifat ritual seperti tata cara ibadah bersama syarat serta rukunnya, hal-hal yg membatalkan, tatakrama beribadah dan lain sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh sang literatur ushul fikih klasik yg terdapat selama ini misalnya bagaimana kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam rakyat multikultur serta multirelijius, pemanfaatan sarana keterangan teknologi dalam ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yg diyakini menjadi jihad fi sabilillah, gosip HAM serta gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler serta lain sebagainya. Semuanya menjadi tidak banyak disentuh serta dibahas dikarenakan memerlukan tenaga serta keberanian yg luar biasa untuk nir sekedar merangkai nash serta nash yang tersedia dengan tanpa mempergunakan aneka macam disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yg selama ini dipercaya berada pada luar daerah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya buat mengetahui atau sekedar mempelajarinya.

Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan menggunakan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan para pendukungnya sudah final serta apapun produk pemikiran mereka wajib diterima menjadi berlaku “sekali buat selamanya”. Akibatnya, tradisi keilmuan yg berlangsung kemudian merupakan tradisi syarh dan hāsyiah atas matn yg dirumuskan sang ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah relatif atas temuan serta rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) dan mengomentari serta memberikan anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.

Aktifitas syarah dan hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama misalnya Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan pada mazhab Hanafi; Ibn Qāsim serta al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī serta al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; serta al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī. 

Maraknya tradisi syarah dan hāsyiah dikalangan umat Islam ketika itu yang sang Nurcholis Madjid disebut menggunakan pseudo-ilmiah ditandai menggunakan semakin menurunnya taraf kreativitas serta orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yg wajib dibayar sang umat Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko galat dalam melakukan penelitian (istiqrā’) yang lalu dirumuskan serta dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh para imam mazhab. Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif pada masyarakat Islam menggunakan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup. 

Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yg melatari seruan tersebut, pertama, hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat dan lain sebagainya sudah lengkap serta dibukukan secara naratif dan rapi, karena itu ijtihad pada bidang-bidang tadi sudah nir diharapkan lagi. Kedua, secara umum dikuasai Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karenanya penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu berdasarkan mazhab yg empat serta tidak boleh pada luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang waktu (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada aturan yg terdiri atas gugusan pendapat 2 mazhab atau lebih, hal semacam ini terkenal menggunakan istilah talfiq di mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir adalah fenomena sejarah menampakan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai kini , tak seseorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya sebagai seseorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini memperlihatkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, buat nir dikatakan mustahil adanya. Argumen ini menurut Ibrahim Hosen ternyata juga diperkuat oleh keputusan hasil sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada bulan Maret 1964.

Berkenaan menggunakan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu sebagai al-turāş (warisan budaya) yang mempunyai 3 ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yang kita warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yg kita fahami) serta al-muwajjih lisulūkinā (sesuatu yg mengarahkan konduite kita). Dari sini perputaran roda budaya serta tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur “mobilitas statis” (harakat sukūn) lantaran mobilitas sejarahnya tidak mengkristal dalam produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal usang dalam bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş. 

Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif menggunakan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak mampu dihindari oleh ushul fikih jika permanen menghendaki bisa survive pada merespon setiap dilema sosial kemasyarakatan yg berkembang demikian bergerak maju serta akseleratif ini agar ushul fikih tetap sinkron dengan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sebagai akibatnya bisa permanen shālih likulli zamān wa makān.

B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam menurut al-Jābiri mencakup tradisi bayani, irfani dan burhani. Tradisi bayani berkembang paling awal serta tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara massif-akulturatif. Tradisi bayani sudah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) serta menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan serta keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dievaluasi menjadi galat satu teoritikus primer formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan krusial al-Syafi’i pada proses formulasi epistemologi bayani adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah dalam posisi ke 2 dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah menggunakan kandungan hadis yang asal menurut Nabi, serta mengikat erat ruang gerak ijtihad menggunakan nash.

Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga kegiatan intelektual senantiasa berada pada haul al-nash (lingkar teks) dan berorientasi dalam reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem ihwal” yg concern terhadap rapikan interaksi perihal mulut (kalam) --bukan “sistem nalar” yg berkaitan dengan tata interaksi fenomena realitas logis—sehingga bahasa Arab menjadi otoritas acum epistemologis nalar Arab Islam. Dengan demikian, validitas pengetahuan yg dihasilkan menurut kegiatan intelektual tersebut dituntut “korespondensial” menggunakan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan jua dituntut buat “analogis” menggunakan teks yg telah dijadikan menjadi al-ashl tersebut. Tata hubungan pada perihal lisan yang memang dibuat secara sosial lebih bersifat arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan dalam prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini selesainya bertemalian menggunakan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap empiris. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tidak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya segala sesuatu tersebut.

Setelah dunia Islam mengalami hubungan massif-akulturatif menggunakan budaya luar serta mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang pada diskursus intelektual Islam serta melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual menggunakan daya-daya rohaniah samawi serta menduga rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa insan dengan Tuhan, bukan rasio yg mampu menerima pengetahuan menurut asal aslinya (Tuhan) melainkan hati (bisikan hati) yang telah mengalami kondisi kasyf. Orang-orang suci yg telah mencapai maqam walāyah serta nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tadi sehingga terjaga menurut kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dipercaya berada pada posisi paling tinggi serta prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan spiritual-sufistik yg menyedot perhatian primer para eksponen epistemologi irfani tidak hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi juga dalam domain kealaman.

Masuknya impak pemikiran Yunani (Hellenistik) ke pada tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan dengan kebijakan al-Makmun buat berbagi diskursus baru menjadi counter terhadap gerakan intelektual-politis yg dievaluasi mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang ditimbulkan sang masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi al-aql al-kauni (akal universal, universal reason) yang sebagai basis utama epistemologi burhani. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera dan daya rasional buat pemerolehan pengetahuan mengenai semesta, bahkan jua bagi solidasi perspektif empiris yang sistematis, valid dan postulatif.

Hal ini sejalan misalnya disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik merupakan tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yg besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan dengan hukum serta struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yg digunakan selalu deduktif bukan induktif. Temuan ini diperkuat sang Arkoun bahwa yg sebagai kesamaan pemikiran Arab klasik merupakan tekstualisme.

George Makdisi menggunakan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik serta rasionalistik. Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang dalam keunggulan faith (kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori ke 2 lantaran berpegang dalam keunggulan nalar. 

Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih jua merupakan cabang ilmu yang dalam poly hal berkaitan menggunakan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam. Ushul fikih menjadi disiplin yang menyelidiki hukum, bukan hanya menilik kasus-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan jua melihat masalah aturan menjadi perkara epistemologi. 

Dengan istilah lain, ushul fikih nir hanya berisi analisis tentang argumen dan penalaran aturan belaka, akan namun pada dalamnya jua terdapat pembicaraan tentang logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi aturan. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer. 

Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yg bhineka. Dalam babak zenit pertumbuhannya keberadaan ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) menjadi disiplin ilmu yg sangat terhormat dan dominan bila dibandingkan menggunakan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, keluarnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait menggunakan back-ground historis pada zamannya. Sementara teori umum berkata bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan syarat zamannya. Teori-teori ushul fikih yg timbul semenjak zaman Sahabat dalam dasarnya merupakan jawaban terhadap duduk perkara-masalah aturan yang ada pada saatnya. Sehingga metode ijtihad yg diterapkan sang generasi pertama umat Islam tadi adalah kenyataan sejarah yang kemunculannya secara “natural” belum merujuk pada asal teori yang standar. Lantaran memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yg mandiri serta memiliki landasan epistemologi yg kokoh.

Demikian juga, istinbat yang berkembang serta “berserakan” serta belum terkodifikasi pada masa generasi pertama hingga keluarnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i dalam tahun 203 H, adalah fenomena sejarah yang sangat kentara variabel dan determinannya. Belum berkembangnya alat bantu tulis---kertas contohnya---juga menentukan format tradisi kajian ushul yg lebih poly bi al-lisān serta bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yang demikian juga menentukan bangunan ilmu menurut output kajian yg belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan bergerak maju. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami banyak sekali ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para ulama mulai generasi salaf sampai abad terkini kini ini.

Menurut George Makdisi, sebagian besar kitab ushul fikih pada kenyataannya membicarakan mengenai perkara-perkara yang tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat aturan. Adapun perkara-perkara yang sebagai kajian ke 2 bidang tersebut adalah, pertama, masalah ketentuan mengenai yang baik dan tidak baik. Kedua, interaksi antara logika serta wahyu, ketiga, kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan serta kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab serta kewajiban pada atas kemampuan seseorang, serta yang keenam, pembebanan kewajiban hukum berdasar hal-hal yang belum ada. 

Sebagai perintis, al-Syafi’i berdasarkan Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yg berkaitan menggunakan filsafat aturan, yaitu adakah setiap perbuatan dalam dasarnya dilihat boleh bila tidak terdapat larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan pada dasarnya tidak boleh, apabila nir ada kebolehan yg mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat bertenaga pada aturan positif.

Sehubungan dengan hal tadi berikut penulis kutip agak panjang tulisan Amin Abdullah waktu memulai pembahasannya tentang islamic studies, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap keilmuan fikih:

Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by terkini life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya kerangka berpikir keilmuan fikih. Fikih serta Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial pada Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yg terkait dengan persoalan-dilema hudud, hak-hak asasi insan, hukum publik, wanita, lingkungan serta pandangan non muslim. Meskipun ijtihad sudah dibuka-- banyak juga yg beropini bahwa sebenarnya pintu ijtihad nir pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yg selalu terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi dalam tatanan pranata sosial pada masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri buat bersentuhan dan berdialog eksklusif dengan ilmu-ilmu baru yg timbul dalam abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan seterusnya.

Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan dengan sinyalemen dari seseorang Guru Besar Hukum Islam pada UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl. Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M sudah timbul pemegang otoritas yg sangat hebat serta luar biasa kuatnya buat sebagai pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yang empat, yaitu Syari`ah (hukum Tuhan) yang dibuat, tersaji, serta dihadirkan sang sekelompok profesional tertentu yg dikenal dengan sebutan fuqaha (para ahli hukum). Lebih lanjut Khaled mengatakan:

It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!

Adalah benar buat dikatakan bahwa sejak masa awal Islam, model-model yg diberikan Nabi dan para Sahabatnya serta juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an sudah menciptakan dasal-dasar yg akhirnya melahirkan budaya aturan Islam yang spesifik. Namun, selesainya berkembangnya buku-buku fikih serta budaya aturan yg bersifat teknis dengan bahasa, simbol, dan struktur yg khusus, hukum Islam menjadi wakil berdasarkan sebuah institusi yg mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas serta kokoh dalam konsep aturan Islam dan para penjaganya, yaitu fuqaha!

C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas aneka macam space kosong yg belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu sanggup masuk kategori yg belum terfikirkan (not yet thought) atau sanggup juga masuk wilayah yg tak terfikirkan (unthinkable) dalam masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika menggunakan dilema kekinian dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi jikalau output kinerja ushul fikih bersifat lokal serta temporal. Yang justru nir mampu dinalar adalah ketika terdapat klaim yang menyatakan kebalikannya. Ushul fikih adalah rumusan yang final serta sempurna. Dua kata (final serta paripurna) yang pada global keilmuan dikenal menjadi penyakit atau virus yg mematikan. Final serta sempurna tidak akan pernah inheren serta menempel pada sesuatu yg nir paripurna. Final dan sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia dengan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yg lahir darinya tidak akan pernah sampai pada taraf final serta sempurna ilā yaūm al-qiyāmah lantaran Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.

Sebelum menuju dalam pembahasan rekonstruksi metodologis menggunakan pendekatan integratif-interkonektif, menarik untuk pulang mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama menjadi pemegang ujung tombak keilmuan di kampus pada menganalisa serta tahu perkiraan-perkiraan dasar serta kerangka teori yg dipakai sang bangunan keilmuan yang diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) serta implikasi dan konsewensinya pada daerah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:

Quite frankly I am personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most fundamental issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum al-Din) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.

Terus terang aku eksklusif agak ragu apakah semua dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau pada lembaga pembelajaran Islam di semua global muslim memahami menggunakan baik masalah yang amat mendasar. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja telah sangat mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami perkiraan-asumsi dasar serta kerangka teori yang dipakai oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsewensinya dalam wilayah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, sampai bisa melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yg biasa diajarkan buat maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan perkiraan dasar, kerangka teori, kerangka berpikir, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain buat memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.

Keraguan Amin pada atas sanggup difahami mengingat pola rekanan keilmuan yang ada selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini menjamin bahwa bangunan keilmuan yg dimiliki diyakini menjadi yg sanggup merampungkan semua dilema kemanusiaan. Self sufficiency ini mengakibatkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (narrowmindedness) yg menjadikan pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yg demikian sebagai cerminan berdasarkan arogansi intelektual serta ini dalam konteks ajaran agama telah masuk pada kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu. 

Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yg bersumber dalam teks (hadlārah al-nash) nir menyadari serta nir mau peduli bahwa pada luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yg bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris sebagai akibatnya bersentuhan secara langsung dengan realitas duduk perkara kemanusiaan (hadlārah al-‘ilm) misalnya social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri lantaran nir terdapat satu disiplin keilmuan yg nir terkait menggunakan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai model, membutuhkan dukungan hayati serta laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haid, begitu juga ketika mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian jua dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu kebalikannya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ jua membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan pada dalamnya.

Jadi telah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yg tunggal (single entity). Tingkat peradaban humanisme waktu ini yang ditandai menggunakan semakin melesatnya kemajuan serta kecanggihan teknologi berita, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu dalam level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud dengan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Apabila nir memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka menggunakan memakai pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya. Hal ini guna menghindari berdasarkan teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic studies) menurut komunitas keilmuan dunia seperti yang disinyalir sang Ebrahim Moosa, waktu menaruh istilah pengantar kitab Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, menjadi berikut: 

Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.

Setelah mengungkap aneka macam persolan interaksi internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan serta pakar-ahli kepercayaan (termasuk di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga sebagai pakar ekonomi atau politik. Namun, demikian studi kepercayaan akan mengalami kesulitan berat-buat tidak menyebutnya menderita bila pandangan-pandangan nir menyadari dan berkembang pada politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu jua kebalikannya.

D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk menurut ushul fikih yg sudah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yang sudah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan dalam dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada daerah mujtahid, penulis setuju menggunakan lima prasyarat yang ditentukan sang Khaled, yaitu: 
  • Kejujuran (honesty) 
  • Kesungguhan (diligence) 
  • Mempertimbangkan aneka macam aspek yg terkait (comprehensiveness) 
  • Mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonablness) 
  • Kontrol dan kendali diri (self restraint). 
Namun kelima persyaratan yg ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih buat konteks saat ini masih rentan buat dilanggar jika tidak didukung oleh situasi atau orientasi politik yg benar berdasarkan mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi kepercayaan serta politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi serta liberasi. Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berfikir dipasung serta anjung dialog terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan serta pemikiran dan pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya buat lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid dalam kebenaran perlu dibubuhi satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid wajib :

6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara dalam ranah metodologis aneka macam bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi, penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi serta interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yg melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) kentara-jelas membutuhkan donasi keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik serta epistemologi. Sementara dalam proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) serta tarjih (mencari pilihan yang terbaik serta rasional) peran serta bantuan menurut sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi serta ilmu-ilmu humanisme lainnya memegang andil yang signifikan. 

Satu hal lagi yang cukup krusial dalam kajian ushul fikih yg perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu mengenai definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim sanggup dipastikan jika ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah akal kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai berdasarkan sahabat sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan tidak sama (buat tidak dibilang niscaya), serta keduanya absah (mushawwibah) meski permanen wajib menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah sudah merekam dengan baik perbedaan itu sahih-sahih terjadi semenjak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak sanggup dipersamakan dan apalagi dipastikan misalnya itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yg sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh karena itu, al-Hakim nir lagi semata Allah, akan tetapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (menggunakan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka tidak sanggup lagi mengatasnamakan Tuhan, dan masyarakat nir mempunyai kewajiban yang mengikat buat percaya dan mematuhi output ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa buat bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yang dihasilkan mereka, lantaran hasil ijtihad mereka nir bersifat mutlak benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yang melakukan ijtihad, tapi nir bagi yg nir meyakininya.

E. Ikhtitam 
Demikian ijtihad yg bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa sebagai lecutan bagi kepekaan intelektual kita seluruh buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak serta rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.

Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf serta semoga berguna, amin. Wassalam.