Ushul Fikih Integratif-Humanis : Sebuah Rekonstruksi Metodologis
A. Iftitah
Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fikih memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis berdasarkan ajaran Islam sangat dipengaruhi sang bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ aturan Islam, ushul fikih menempati poros serta inti dari ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena buat menelaah batasan, dinamika dan makna interaksi antara Tuhan serta manusia. Melihat manfaatnya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat bergerak maju dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat bergerak maju dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis berdasarkan tugas ushul fikih yg harus selalu berusaha menselaraskan problema humanisme yg terus berkembang menggunakan pesat dan akseleratif dengan 2 sumber rujukan utamanya, al-Qur`an serta as-Sunnah, yg sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman.
Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan serta baku yg majemuk sinkron dengan jenis persoalan yg dipandang. Ada masalah aturan fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Tetapi karena penerangan nash demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak mampu memasuki wilayah ini. Pemahaman pakar fikih hanya sekadar menghimpun banyak sekali nash itu serta menghubungkan menggunakan nash lain sehingga menciptakan citra utuh tentang ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar dalam duduk perkara interpretasi nash menggunakan mempergunakan konsep-konsep pada prinsip ilmu tafsir misalnya menyelidiki makna umum serta spesifik, pertentangan (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah serta lain sebagainya.
Secara generik, kajian ushul fikih juga tidak terlepas menurut citra pada atas, banyak berkutat dalam wilayah privat serta domestik misalnya perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yg bersifat ritual seperti tata cara ibadah bersama syarat serta rukunnya, hal-hal yg membatalkan, tatakrama beribadah dan lain sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh sang literatur ushul fikih klasik yg terdapat selama ini misalnya bagaimana kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam rakyat multikultur serta multirelijius, pemanfaatan sarana keterangan teknologi dalam ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yg diyakini menjadi jihad fi sabilillah, gosip HAM serta gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler serta lain sebagainya. Semuanya menjadi tidak banyak disentuh serta dibahas dikarenakan memerlukan tenaga serta keberanian yg luar biasa untuk nir sekedar merangkai nash serta nash yang tersedia dengan tanpa mempergunakan aneka macam disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yg selama ini dipercaya berada pada luar daerah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya buat mengetahui atau sekedar mempelajarinya.
Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan menggunakan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan para pendukungnya sudah final serta apapun produk pemikiran mereka wajib diterima menjadi berlaku “sekali buat selamanya”. Akibatnya, tradisi keilmuan yg berlangsung kemudian merupakan tradisi syarh dan hāsyiah atas matn yg dirumuskan sang ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah relatif atas temuan serta rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) dan mengomentari serta memberikan anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.
Aktifitas syarah dan hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama misalnya Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan pada mazhab Hanafi; Ibn Qāsim serta al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī serta al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; serta al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī.
Maraknya tradisi syarah dan hāsyiah dikalangan umat Islam ketika itu yang sang Nurcholis Madjid disebut menggunakan pseudo-ilmiah ditandai menggunakan semakin menurunnya taraf kreativitas serta orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yg wajib dibayar sang umat Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko galat dalam melakukan penelitian (istiqrā’) yang lalu dirumuskan serta dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh para imam mazhab. Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif pada masyarakat Islam menggunakan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup.
Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yg melatari seruan tersebut, pertama, hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat dan lain sebagainya sudah lengkap serta dibukukan secara naratif dan rapi, karena itu ijtihad pada bidang-bidang tadi sudah nir diharapkan lagi. Kedua, secara umum dikuasai Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karenanya penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu berdasarkan mazhab yg empat serta tidak boleh pada luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang waktu (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada aturan yg terdiri atas gugusan pendapat 2 mazhab atau lebih, hal semacam ini terkenal menggunakan istilah talfiq di mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir adalah fenomena sejarah menampakan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai kini , tak seseorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya sebagai seseorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini memperlihatkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, buat nir dikatakan mustahil adanya. Argumen ini menurut Ibrahim Hosen ternyata juga diperkuat oleh keputusan hasil sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada bulan Maret 1964.
Berkenaan menggunakan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu sebagai al-turāş (warisan budaya) yang mempunyai 3 ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yang kita warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yg kita fahami) serta al-muwajjih lisulūkinā (sesuatu yg mengarahkan konduite kita). Dari sini perputaran roda budaya serta tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur “mobilitas statis” (harakat sukūn) lantaran mobilitas sejarahnya tidak mengkristal dalam produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal usang dalam bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş.
Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif menggunakan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak mampu dihindari oleh ushul fikih jika permanen menghendaki bisa survive pada merespon setiap dilema sosial kemasyarakatan yg berkembang demikian bergerak maju serta akseleratif ini agar ushul fikih tetap sinkron dengan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sebagai akibatnya bisa permanen shālih likulli zamān wa makān.
B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam menurut al-Jābiri mencakup tradisi bayani, irfani dan burhani. Tradisi bayani berkembang paling awal serta tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara massif-akulturatif. Tradisi bayani sudah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) serta menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan serta keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dievaluasi menjadi galat satu teoritikus primer formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan krusial al-Syafi’i pada proses formulasi epistemologi bayani adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah dalam posisi ke 2 dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah menggunakan kandungan hadis yang asal menurut Nabi, serta mengikat erat ruang gerak ijtihad menggunakan nash.
Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga kegiatan intelektual senantiasa berada pada haul al-nash (lingkar teks) dan berorientasi dalam reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem ihwal” yg concern terhadap rapikan interaksi perihal mulut (kalam) --bukan “sistem nalar” yg berkaitan dengan tata interaksi fenomena realitas logis—sehingga bahasa Arab menjadi otoritas acum epistemologis nalar Arab Islam. Dengan demikian, validitas pengetahuan yg dihasilkan menurut kegiatan intelektual tersebut dituntut “korespondensial” menggunakan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan jua dituntut buat “analogis” menggunakan teks yg telah dijadikan menjadi al-ashl tersebut. Tata hubungan pada perihal lisan yang memang dibuat secara sosial lebih bersifat arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan dalam prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini selesainya bertemalian menggunakan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap empiris. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tidak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya segala sesuatu tersebut.
Setelah dunia Islam mengalami hubungan massif-akulturatif menggunakan budaya luar serta mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang pada diskursus intelektual Islam serta melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual menggunakan daya-daya rohaniah samawi serta menduga rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa insan dengan Tuhan, bukan rasio yg mampu menerima pengetahuan menurut asal aslinya (Tuhan) melainkan hati (bisikan hati) yang telah mengalami kondisi kasyf. Orang-orang suci yg telah mencapai maqam walāyah serta nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tadi sehingga terjaga menurut kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dipercaya berada pada posisi paling tinggi serta prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan spiritual-sufistik yg menyedot perhatian primer para eksponen epistemologi irfani tidak hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi juga dalam domain kealaman.
Masuknya impak pemikiran Yunani (Hellenistik) ke pada tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan dengan kebijakan al-Makmun buat berbagi diskursus baru menjadi counter terhadap gerakan intelektual-politis yg dievaluasi mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang ditimbulkan sang masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi al-aql al-kauni (akal universal, universal reason) yang sebagai basis utama epistemologi burhani. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera dan daya rasional buat pemerolehan pengetahuan mengenai semesta, bahkan jua bagi solidasi perspektif empiris yang sistematis, valid dan postulatif.
Hal ini sejalan misalnya disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik merupakan tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yg besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan dengan hukum serta struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yg digunakan selalu deduktif bukan induktif. Temuan ini diperkuat sang Arkoun bahwa yg sebagai kesamaan pemikiran Arab klasik merupakan tekstualisme.
George Makdisi menggunakan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik serta rasionalistik. Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang dalam keunggulan faith (kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori ke 2 lantaran berpegang dalam keunggulan nalar.
Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih jua merupakan cabang ilmu yang dalam poly hal berkaitan menggunakan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam. Ushul fikih menjadi disiplin yang menyelidiki hukum, bukan hanya menilik kasus-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan jua melihat masalah aturan menjadi perkara epistemologi.
Dengan istilah lain, ushul fikih nir hanya berisi analisis tentang argumen dan penalaran aturan belaka, akan namun pada dalamnya jua terdapat pembicaraan tentang logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi aturan. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer.
Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yg bhineka. Dalam babak zenit pertumbuhannya keberadaan ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) menjadi disiplin ilmu yg sangat terhormat dan dominan bila dibandingkan menggunakan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, keluarnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait menggunakan back-ground historis pada zamannya. Sementara teori umum berkata bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan syarat zamannya. Teori-teori ushul fikih yg timbul semenjak zaman Sahabat dalam dasarnya merupakan jawaban terhadap duduk perkara-masalah aturan yang ada pada saatnya. Sehingga metode ijtihad yg diterapkan sang generasi pertama umat Islam tadi adalah kenyataan sejarah yang kemunculannya secara “natural” belum merujuk pada asal teori yang standar. Lantaran memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yg mandiri serta memiliki landasan epistemologi yg kokoh.
Demikian juga, istinbat yang berkembang serta “berserakan” serta belum terkodifikasi pada masa generasi pertama hingga keluarnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i dalam tahun 203 H, adalah fenomena sejarah yang sangat kentara variabel dan determinannya. Belum berkembangnya alat bantu tulis---kertas contohnya---juga menentukan format tradisi kajian ushul yg lebih poly bi al-lisān serta bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yang demikian juga menentukan bangunan ilmu menurut output kajian yg belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan bergerak maju. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami banyak sekali ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para ulama mulai generasi salaf sampai abad terkini kini ini.
Menurut George Makdisi, sebagian besar kitab ushul fikih pada kenyataannya membicarakan mengenai perkara-perkara yang tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat aturan. Adapun perkara-perkara yang sebagai kajian ke 2 bidang tersebut adalah, pertama, masalah ketentuan mengenai yang baik dan tidak baik. Kedua, interaksi antara logika serta wahyu, ketiga, kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan serta kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab serta kewajiban pada atas kemampuan seseorang, serta yang keenam, pembebanan kewajiban hukum berdasar hal-hal yang belum ada.
Sebagai perintis, al-Syafi’i berdasarkan Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yg berkaitan menggunakan filsafat aturan, yaitu adakah setiap perbuatan dalam dasarnya dilihat boleh bila tidak terdapat larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan pada dasarnya tidak boleh, apabila nir ada kebolehan yg mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat bertenaga pada aturan positif.
Sehubungan dengan hal tadi berikut penulis kutip agak panjang tulisan Amin Abdullah waktu memulai pembahasannya tentang islamic studies, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap keilmuan fikih:
Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by terkini life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.
Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya kerangka berpikir keilmuan fikih. Fikih serta Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial pada Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yg terkait dengan persoalan-dilema hudud, hak-hak asasi insan, hukum publik, wanita, lingkungan serta pandangan non muslim. Meskipun ijtihad sudah dibuka-- banyak juga yg beropini bahwa sebenarnya pintu ijtihad nir pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yg selalu terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi dalam tatanan pranata sosial pada masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri buat bersentuhan dan berdialog eksklusif dengan ilmu-ilmu baru yg timbul dalam abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan seterusnya.
Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan dengan sinyalemen dari seseorang Guru Besar Hukum Islam pada UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl. Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M sudah timbul pemegang otoritas yg sangat hebat serta luar biasa kuatnya buat sebagai pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yang empat, yaitu Syari`ah (hukum Tuhan) yang dibuat, tersaji, serta dihadirkan sang sekelompok profesional tertentu yg dikenal dengan sebutan fuqaha (para ahli hukum). Lebih lanjut Khaled mengatakan:
It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!
Adalah benar buat dikatakan bahwa sejak masa awal Islam, model-model yg diberikan Nabi dan para Sahabatnya serta juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an sudah menciptakan dasal-dasar yg akhirnya melahirkan budaya aturan Islam yang spesifik. Namun, selesainya berkembangnya buku-buku fikih serta budaya aturan yg bersifat teknis dengan bahasa, simbol, dan struktur yg khusus, hukum Islam menjadi wakil berdasarkan sebuah institusi yg mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas serta kokoh dalam konsep aturan Islam dan para penjaganya, yaitu fuqaha!
C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas aneka macam space kosong yg belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu sanggup masuk kategori yg belum terfikirkan (not yet thought) atau sanggup juga masuk wilayah yg tak terfikirkan (unthinkable) dalam masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika menggunakan dilema kekinian dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi jikalau output kinerja ushul fikih bersifat lokal serta temporal. Yang justru nir mampu dinalar adalah ketika terdapat klaim yang menyatakan kebalikannya. Ushul fikih adalah rumusan yang final serta sempurna. Dua kata (final serta paripurna) yang pada global keilmuan dikenal menjadi penyakit atau virus yg mematikan. Final serta sempurna tidak akan pernah inheren serta menempel pada sesuatu yg nir paripurna. Final dan sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia dengan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yg lahir darinya tidak akan pernah sampai pada taraf final serta sempurna ilā yaūm al-qiyāmah lantaran Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.
Sebelum menuju dalam pembahasan rekonstruksi metodologis menggunakan pendekatan integratif-interkonektif, menarik untuk pulang mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama menjadi pemegang ujung tombak keilmuan di kampus pada menganalisa serta tahu perkiraan-perkiraan dasar serta kerangka teori yg dipakai sang bangunan keilmuan yang diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) serta implikasi dan konsewensinya pada daerah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:
Quite frankly I am personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most fundamental issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum al-Din) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.
Terus terang aku eksklusif agak ragu apakah semua dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau pada lembaga pembelajaran Islam di semua global muslim memahami menggunakan baik masalah yang amat mendasar. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja telah sangat mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami perkiraan-asumsi dasar serta kerangka teori yang dipakai oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsewensinya dalam wilayah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, sampai bisa melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yg biasa diajarkan buat maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan perkiraan dasar, kerangka teori, kerangka berpikir, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain buat memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.
Keraguan Amin pada atas sanggup difahami mengingat pola rekanan keilmuan yang ada selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini menjamin bahwa bangunan keilmuan yg dimiliki diyakini menjadi yg sanggup merampungkan semua dilema kemanusiaan. Self sufficiency ini mengakibatkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (narrowmindedness) yg menjadikan pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yg demikian sebagai cerminan berdasarkan arogansi intelektual serta ini dalam konteks ajaran agama telah masuk pada kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu.
Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yg bersumber dalam teks (hadlārah al-nash) nir menyadari serta nir mau peduli bahwa pada luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yg bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris sebagai akibatnya bersentuhan secara langsung dengan realitas duduk perkara kemanusiaan (hadlārah al-‘ilm) misalnya social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri lantaran nir terdapat satu disiplin keilmuan yg nir terkait menggunakan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai model, membutuhkan dukungan hayati serta laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haid, begitu juga ketika mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian jua dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu kebalikannya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ jua membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan pada dalamnya.
Jadi telah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yg tunggal (single entity). Tingkat peradaban humanisme waktu ini yang ditandai menggunakan semakin melesatnya kemajuan serta kecanggihan teknologi berita, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu dalam level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud dengan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Apabila nir memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka menggunakan memakai pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya. Hal ini guna menghindari berdasarkan teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic studies) menurut komunitas keilmuan dunia seperti yang disinyalir sang Ebrahim Moosa, waktu menaruh istilah pengantar kitab Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, menjadi berikut:
Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.
Setelah mengungkap aneka macam persolan interaksi internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan serta pakar-ahli kepercayaan (termasuk di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga sebagai pakar ekonomi atau politik. Namun, demikian studi kepercayaan akan mengalami kesulitan berat-buat tidak menyebutnya menderita bila pandangan-pandangan nir menyadari dan berkembang pada politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu jua kebalikannya.
D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk menurut ushul fikih yg sudah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yang sudah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan dalam dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada daerah mujtahid, penulis setuju menggunakan lima prasyarat yang ditentukan sang Khaled, yaitu:
- Kejujuran (honesty)
- Kesungguhan (diligence)
- Mempertimbangkan aneka macam aspek yg terkait (comprehensiveness)
- Mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonablness)
- Kontrol dan kendali diri (self restraint).
Namun kelima persyaratan yg ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih buat konteks saat ini masih rentan buat dilanggar jika tidak didukung oleh situasi atau orientasi politik yg benar berdasarkan mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi kepercayaan serta politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi serta liberasi. Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berfikir dipasung serta anjung dialog terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan serta pemikiran dan pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya buat lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid dalam kebenaran perlu dibubuhi satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid wajib :
6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara dalam ranah metodologis aneka macam bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi, penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi serta interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yg melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) kentara-jelas membutuhkan donasi keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik serta epistemologi. Sementara dalam proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) serta tarjih (mencari pilihan yang terbaik serta rasional) peran serta bantuan menurut sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi serta ilmu-ilmu humanisme lainnya memegang andil yang signifikan.
Satu hal lagi yang cukup krusial dalam kajian ushul fikih yg perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu mengenai definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim sanggup dipastikan jika ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah akal kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai berdasarkan sahabat sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan tidak sama (buat tidak dibilang niscaya), serta keduanya absah (mushawwibah) meski permanen wajib menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah sudah merekam dengan baik perbedaan itu sahih-sahih terjadi semenjak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak sanggup dipersamakan dan apalagi dipastikan misalnya itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yg sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh karena itu, al-Hakim nir lagi semata Allah, akan tetapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (menggunakan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka tidak sanggup lagi mengatasnamakan Tuhan, dan masyarakat nir mempunyai kewajiban yang mengikat buat percaya dan mematuhi output ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa buat bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yang dihasilkan mereka, lantaran hasil ijtihad mereka nir bersifat mutlak benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yang melakukan ijtihad, tapi nir bagi yg nir meyakininya.
E. Ikhtitam
Demikian ijtihad yg bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa sebagai lecutan bagi kepekaan intelektual kita seluruh buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak serta rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.
Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf serta semoga berguna, amin. Wassalam.