TUNTUTAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI

Tuntutan Pembangunan Masyarakat Madani 
Pembicaraan mengenai rakyat madani terkait erat menggunakan ilham besar mengenai bagaimana mewujudkan masyrakat Indonesia Baru. Berkenaan menggunakan hal itu, barangkali benar bahwa pada hari-hari ini tidak terdapat sesuatu yg lebih menyebukkan banyak kalangan warga kita daripada pemikiran tentang bagaimana mendorong terwujudnya rakyat Indonesia baru.

Sudah tentu perkataan “Indonesia baru” sendiri sarat dengan makna, sehingga tidak bisa dihindari adanya banyak disparitas dan pemahaman. Lantaran itu telah sepatutnya kita seluruh secara beserta-sama merembuk masalah itu serta saling mengisi kekurangan masing-masing pada pemahamannya sejalan dengan makna sebenarnya prinsip musyawarah (“saling memberi isyarat”, yakni, isyarat tentang hal yang sekiranya sahih serta baik buat seluruh).

Sebenarnya “baru” ataupun “lama ” sebagai kualifikasi tentang apapun dapat sangat nisbi. Misalnya, tidak selalu kita harus tahu sesuatu menjadi “baru” pada artian sama sekali tidak tanggal dari masa lampau, yakni, dari keadaan “usang”-nya. Sebab, keliru satu fenomena tentang sesuatu yang berkategorikan kedinamisan, yg selalu begerak dan berkembang, adalah kesinambungan. Lebih-lebih mengenai agregat budaya, politik dan kemasyarakatan seperti “Indonesia” kategori kedinamisan itu mengharuskan kita melihatnya pada rangkaian keutuhan kontenuitas yg panjang.

Dalam hal budaya, politik serta kemasyarakatan, pendekatan itu berarti mengharuskan kita melihat suatu persoalan nir berdiri sendiri secara terpisah berdasarkan masa kemudian dan masa depan, seolah-olah merupakan kenyataan dalam batasan waktu sesaat serta tempat tertentu semata. Kita harus melihatnya dalam kaitannya dengan masa-masa sebelumnya, menggunakan dugaan tentang pengaruhnya pada masa depan, semuanya itu pada makna positif maupun negatifnya.(....subjek ... :” Maka demikian juga tentang ide “Indonesia Baru” dan masyarakat madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih sempurna dengan melihat linkage nya menggunakan masa lampau dan membuat perkiraan mengenai implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “. ( subjek, 2010: 24)

Maka demikian pula mengenai ilham “Indonesia Baru” dan warga madaninya, kita akan memperoleh pemahaman lebih tepat menggunakan melihat linkage nya dengan masa lampau dan membuat perkiraan tentang implikasinya bagi masa depan. Pertama-tama frasa “rakyat madani” sendiri merupakan suatu istilah, (Arab: Ishthilah, yaitu “ungkapan kesepakatan ”), suatu ungkapan output kesepakan warga , sebagian atau seluruhnya, dengan makna eksklusif. Lantaran konvensi itu tidak pernah dilakukan secara konkret dan formal, maka suatu ungkapan istilah permanen mengandung kemungkinan perbedaan pengertian dan kontroversi. Jika suatu istilah sudah benar-benar memasyarakat, maka kemantapan pengertiannya terjadi oleh adanya kesepakatan pasif secara generik.

Selanjtunya, berdasarkan hal tadi kita masih memerlukan kejelasan mengenai apa yg dimaksud, mungkin disepakati, menggunakan istilah “warga madani.” Istilah itu dimaksudkan sebagai padanan kata Inggris civil society”, suatu kata yang pula mengalami perkembangan pemaknaan. Istilah dan pengertian khusus civil society mula-mula timbul pada Inggris dalam masa-masa awal perkembangan kapitalisme terbaru, yg konon merupakan inplikasi pertama penerapan teori ekonomi Adam Smith dengan karyanya The Wealth of Nation. Pandangan ekonomi Smith itu mendorong perkembangan kewirausahaan Inggris, yang pada prosesnya terbentur pada pembatasan-pembatasan sang pemerintah lantaran adanya merkantilisme negara. Para wirausahawan lalu menuntut adanya “ruang” di mana mereka dapat berkecimpung dengan bebas dan leluasa membuatkan usaha mereka. Ruang kebebasan itu merupakan tempat terwujudnya civil society yg adalah ruang penegasan antara kekuasaan (pemerintah) serta warga umum. Jadi relatif jelas bahwa civil society senantiasa bercirikan kebesan serta keterlepasan menurut restriksi-restriksi sang kekuasaan. 

TIDAK bisa dibantah lagi bahwa itu seluruh adalah ciri warga kelas menengah, yang memang tak jarang dicermati sebagai unsur paling bergerak maju pada rakyat. Namun, dengan begitu juga sulit terhindarkan kesan bahwa hal itu semua adalah bagaian berdasarkan wawasan burjuasi. Karena itu saat Marxisme dan ede-ide keadilan social ada menggunakan kuat pada Eropa, kata civil society ditinggalkan orang, dampak kesan negatif apasaja yang terkaitkan menggunakan burjuasi.

Istilah dan pengertian civil society menggunakan modifikasi positif tertentu muncul kembali dengan kuat sebagai akibat atau kelanjutan ide-inspirasi Gorbachev mengenai keterbukaan serta restrukturisasi social politik Uni Suviet. Mungkin pada luar dugaan penggagasan glasnost dan peristorik itu sendiri, ide serta gerakan menggunakan lebel civil society segera melanda Eropa Timur dan dunia komunis pada umumnya, buat akhirnya membawa semuanya kepada kehancuran total. Disebabkan oleh semakin menguatnya dimensi global kehidupan insan kini ini, gagasan serta gerakan civil society yang merubuhkan global komunis sebenarnya merupakan suatu gagasan serta gerakan berdimensi dunia. Menyambut inspirasi-ide Gurbachev yg bagi “Dunia Bebas” …== Kebebasan dan ketaatan pada aturan terdengar seperti bertentangan. Akan namun, hakikat rakyat madani justru terdapat di dalam kesatuan serta nilai itu pada warga . Sangat positif itu,suatu konfrensi dengan tema-tema kurang lebih hak asasi dan kebebasan diselenggarakan pada Hesinki. Salah satu hasilnya merupakan ekskavasi pulang pandangan baru awal tentang civil society pada Inggris tadi serta pemadatan makna serta pemusatan arah gerakannya kepada usaha perebutan kembali kebebasan-kebebasan asasi menggunakan menghancurkan tirani pemerintahan komunis. Mungkin belum semua kebebasan asasi itu terwujud di negeri-negeri Eropa Timur, manum komunisme serta totalitarianismenya sahih-sahih telah runtuh sang gelombang gerakan pembebasan dengan label civil society itu.

Melihat keberhasilannya pada Eropa Timur, ilham serta gerakan civil society menjalar ke semua muka bumi. Kedua, paling kuat sehabis Eropa Timur, dalam membuatkan wangsit mengenai civil society dengan gerakan pembebasannya merupakan Amirika latin. Negeri-negeri yang secara budaya didominasi sang budaya Ibiria (Spanyol serta Portugal) itu sejak lama dikenal menjadi keliru satu konsentrasi negara-negara dengan pemerintahan otoriter. Hasil gerakan civil society di Amirika latin tidak sama spektakulernya dengan hasilnya pada Eropa Timur, namun jelas gerakan itu punya kiprah krusial pada pertumbuhan kebebasan dan demokrasi pada sana.

Dari rentetan sejarah penggunaan kata civil society di atas itu, jelas sekali bahwa ia mengandung pengertian yang berkembang. Berbeda dengan pengertian awal civil society pada Inggris yg berkonotasi kuat sebagai masyarakat burjuis (sehingga dihindari oleh kaum Marxis), di Eropa Timur serta Amirikan Latin, begitu juga kecenderungannya pada semua dunia kini ini, pengertian terkini society sangat bertenaga berkonotasi “forum luar pemerintahan”(non-governmental organization-NGO) atau, dalam kata yang lebih sempurna lagi, “lembaga swadaya warga ” (LSM).

Masyarakat madani dimaksudkan sebagai pengindonesiaan kata Inggris civil society, tetapi juga menggunakan beberapa bentuk pengembangan pemaknaannya. Seluruh pengertian mengenai civil society seperti yang terdapat kini merupakan relevan dan penting sekali pada bisnis mewujudkan warga Indonesia baru, kecuali isyarat negatif pengertiannya sebagai masyarakat burjuis masa awal perkembngan kapitalisme Inggris dahulu.

Oleh karenanya kita dapat mengasumsikan kesediaan buat menerima hampir in toto pengertian mengenai civil society itu buat dikembangkan pada Indonesia. Menonjol sekali kepentingan rakyat Indonesia pada ide mengenai civil society sebagai gerakan pembebasa. Dengan latar belakang pengalaman berpemerintahan tanpa kebebasan memadai selama berpuluh-puluh tahun, gerakan pembebasan rakyat itu merupakan agenda primer gerakan reformasi. Maka dipandang menurut sudut ini, perolehan terpenting gerakan reformasi adalah adanya pengakuan serta pengukuhan terhadap kebebasan-kebebasan asasi, yaitu adanya kebebasa menyatakan pendapat, kebebasan berkumpul, serta kebebasan berserikat. Kebebasan merupakan hak primordial manuisa, menjadi anugrah Ilahi yg pertama-tama pada manusia primordial (dalam cerita kitab kudus dilambangkan dalam kedirian Adam serta Hawa). Tidak ada yg lebih berharga dalam manusia, dan yg lebih menentukan senang -sengsaranya, daripada kebebasan. Tembok Berlin yang telah runtuh itu sebagai saksi bisu, bagaimana manusia bersedia mengorbankan apasaja demi kebebasan. Dalam cerita kitab kudus agama-agama Smitik, lambang tindakan merampas kebebasan manusia itu ialah pemerintahan Fir’aun yg diberi kualifikasi sebagai demagog (Arab: Thaghut). Dan lambag pembebasan insan berdasarkan penindasan tirani itu ialah Eksodus, perpindahan besar -besaran kaum Israel dari Mesir menuju Tanah Suci (al-ardl al-muqaddasah) di bawah pimpinan nabi Musa. Kaum Israel meperingati hari pembebasan itu dengan berpuasa, yg dalam kalender Arab jatuh dalam tanggal sepuluh (‘asyura) bulan Muharram (bulan pertama tahun hijr). Nabi Muhammadpun, menurut sebuah hadis, pula menjalani puasa itu buat suatu masa eksklusif, yang hingga saat ini masih diteruskanoleh sebagian umat islam.

Selanjutnya krusial sekali direnungkan lebih mendalam bahwa nabi Musa mengukuhkan kebebasan yg dikukuhkan sang kaumnya itu menggunakan mentaati perjanjian (mitsaq) mereka menggunakan Tuhan yg diwujudkan dalam bentuk rumusan perintah serta embargo, suatu ajaran tentang hukum Tuhan (Torat), yg intinya merupakan “Sepuluh Perintah” (Decalogne, The Ten Commandments).

Nabi Musa mendidik kaumnya mentaati Hukum Tuhan (Torat) dengan mengajari mereka sembahyang menghadap Tabut menjadi kiblat, agar mereka selalu ingat buah-butir perintah serta larang yang adalah perjanjian mereka menggunakan Tuhan itu. Dalam jangka waktu empat puluh tahun, dengan disiplin yang keras, yg kadang-kadang wajib mengorbankan mereka yang tidak taat aturan, nabi Musa berhasil mengubah mentalitas budak Israel manjadi masyarakat orang-orang yg merdeka penuh, dengan karakteristik taat pada hukum serta anggaran. Agregat rakyat serupa itu diklaim dalam bahasa Ibrani Medinat, yg mengandung pengertian “warga beradab” karena taat kepada aturan dan aturan. (Dalam perkembangannya, perkataan Ibrani medinat berarti negara, sehingga nama resmi negara Israel kini ini, dalam bahasa Ibrani, merupakan Medinat Yishrael).

Bahasa Arab serta bahasa Ibrani adalah sama-sama rumpun bahasa Smith, karenanya poly perkataan kognat. Perkataan Ibrani medinat dalam arti (sekarang) “negara” merupakan kognat perkataan Arab “madinah” dalam arti mota. Tetapi kedua-duanya mengacu kepada semangat pengertian yang sama misalnya pengertian “negara kota” pada rakyat Yunani kuno, menjadi mana ide mengenai kenegaraan pada konsep republiknya Plato. Dasar-dasar pengertian itu pada pengembangan dan perluasannya lebih lanjut bersambung dengan dasar pengertian “negara kebangsaan” (nation state), yaitu suatu negara yang terbentuk demi kepentingan seluruh bangsa yg sebagai warganya, bukan buat penguasa atau raja (maka pada kontek ini, krusial sekali diingatkan serta ditegaskan bahwa pengertian “negara kebangsaan’ merupakan lawan pengertian “negara kerajaan”, khususnya negara kerajaan kuno dengan kekuasaan absolut oleh raja, yang biasa dianggap “monarki absolut”).

Adalah berdasarkan sudut pengertian mendasar itu kita wajib menafsirkan tindakan Nabi Muhammad membarui nama kota hijrah Yatsrib sebagai Madinah. Dengan tindakan itu, nabi mendeklarasikan terbentuknya suatu warga yang bebas berdasarkan kedzaliman tirani serta taat hanya kepada aturan serta anggaran, yang aturan dan anggaran itu tidak tergantung atau dibentuk secara sewenang-wenang oleh seorang penguasa. Salah satu sumber aturan itu artinya perjanjian (nustaq), konvensi mengikat, (mu’ahadah), kontrak (contract, aqd) serta janji setia (bay’at). Semua ikatan itu mengandung nilai kesucian, sehingga ketaatan kepadanya adalah sejajar menggunakan ketaatan kepada perjanjian kepada Tuhan seperti yg berbentuk dalam Torat-nya Nabi Musa. Dan karena jiwa semuanya itu terletak pada pengertian ‘perjanjian’, maka pada proses pembuatan seluruh itu mengantarkan adanya semangat saling rela, tanpa paksaan. Oleh karenanya semuanya harus melalui musyawarah, bukan lantaran “dekte” seoarng penguasa pendekte alias “tiran”. Hal ini bisa dipahami lebih kentara dari pandangan baru tentang “bay’at” suatu kata yang berakar sama menggunakan perkataan yg bermakna “jual-beli” (bay’at), jadi bersifat transaksi. Suatu trsansaksi tidak absah kecuali bila terdapat sikap saling rela berdasarkan pihak-pihak yang bersangkutan, dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Maka pada warga madani pola ketaatan yg berkembang wajib berupa pola ketaatan terbuka, rasional, kontraktual, dan transaksioanl, bukan pola ketaatan tertutup, nir rasional, tidak kritis, serta bersifat hanya satu arah. Semuanya wajib berdasarkan sikap suka rela, tanpa paksaan, dan tanpa tirani.

Ketaatan kepa aturan dan anggaran itu dibenarkan hanya bila aturan serta anggaran itu mengacu kepada maslahat generik (al-maslahat al-‘ammah, general welfare) masyarakat negara, tanpa diskriminasi atau bentuk-bentuk dispensasi lain yang nir adil. Oleh karenanya, sesudah kebebasan, sendi masyarakat madani, merupakan persamaan antar manusia (egalitariansime). Persamaan itu wajib diwujudkan dengan nyata secara absolut pada depan aturan dan aturan, betapun tingginya ‘gengsi” dan kedudukan orang tadi.

Pandangan-pertarungan ini mengahasilkan pola partisipasi generik dari seluruh rakyat negara, tanpa keceulai ataupun pembedaan diskriminatif. Lantaran itu pada rakyat madani dengan sendirinya harus berkembang faham kemajemukan (pluralisme), pada di mana warga bisa bergaul dengan nrimo dalam perebedaan-perbedaan yg tetap dibingkai sang keadaban (pluralism is engagement of diversities within the bonds of civility). Faham ini mensyaratkan adanya pandangan mantap buat mendapat disparitas nir semata-mata sebagai fenomena belaka, melainkan menjadi kelebihan (asset), bahkan rahamat Tuhan, bukan beban (liability), apa lagi azab. Sebab perbedaan dapat memper kaya dan memperkuat budaya bangsa, melalui pertukaran silang misalnya dalam proses biologis cross breeding.

Pengalaman umat manusia pada sejarah pertumbuhan dan perkembangan budaya dan peradabannya memberitahuakn bahwa semakin banyak terjadi pertukaran silang semakin bertenaga serta kaya budaya dan peradaban yg terbentuk, serta semakin kurang pertukaran silang itu dampak isolasi atau pengucilan maka semakin miskin jua budaya dan peradabannya. Oleh karenanya, dalam warga madani persatuan tidak dipahami menjadi monolitisme yg tidak aktif serta stiril, namun menjadi persatuan dalam keanekaan yg dinamis serta produktif. Kiranya inilah yg menggunakan penuh kearifan dipahami oleh para pendiri negara., sebagaimana terungkap pada moto “ Bhinika Tunggal Ika”.

Kebebasan serta ketaatan pada aturan terdengan misalnya kontradiksi. Akan namun, hakekat masyarakat madani justru masih ada dalam kesatuan serta nilai itu dalam warga . Kebebasan terwujud dengan baik hanya dalam tertip aturan. Sebab tanpa tertip aturan itu maka yg akan terjadi adalah hubungan antar pribadi serta kelompok yang ditandai sang dominasi yg kuat terhadap yang lemah, dengan kemungkinan penindasan serta perampasan haknya tanpa tertip hukum, rakyat akan terjerembab ke pada jurang tatanan masyarakat hukum rimba, suatu warga tanpa keadaban atau civility, pada mana disparitas gampang tumbuh manjadi kontradiksi serta pertentangan mudah mengundang kekerasan serta penyelesaian-penyelesaiaanya. Suatu rakyat madani manyelesaikan masalah yang tibmbul karena padan pertentangan dan perbedaan dengan tetap berpegang kepada ukuran-ukuran keadaban. Oleh karenanya wacana umum tukar fikiran dan pendapat menjadi suatu kemestian.

Masyarakat akan selamanya dirundung kontradiksi, kecuali bila terdapat interaksi saling menghargai dansaling percaya antara sesama anggotanya. Karena itu, warga madani tidak mungkin tanpa sikap sssikap saling menghargai serta mempercaya itu. Inilah yg dimaksud dengan Ide toleransi kita wajib bersedia belajar dan mengambil pelajaran menurut mana saja, atas dasar pandangan kesucian insan universal pada pengertiannya yang lebih positif. Yatitu pengertian toleransi yg tidak semata-mata terbatas kepada sikap membiarkan orang lain misalnya orang itu mau dan kehendaki, namun berkembang kepada sikap kesediaan memandang orang itu menjadi langsung yg punya potensi kebaikan sesuai dengan fitrahnya menjadi manusia. Oleh karena itu, toleransi yang berkembang pada masyarakat madani adalah perilaku interaksi antar langsung serta grup yg disemangati oleh berpretensi baik, bebas dari sikap-sikap curiga tanpa alas an. Secara falsafah keagamaan, toleransi itu adalah hubungan, bahkan konsekuensi berdasarkan keyakinan bahwa yg mutlak hanyalah Tuhan, sedang segala yang terdapat selain Tuhan adalah relatif belaka.

Sebetulnya pandangan itulah yg menjadi pangkal semua agama ajaran para nabi, suatu kredo yang terjemahan generiknya akan berbunyi, “tiada sesuatu yang absolut kecuali Yang Mutlak itu sendiri”, yg kita sebut Tuhan. Konsekuensi paling pribadi menurut ungkapan keyakinan itu adalah kenisbian diri insan sendiri, serta kemustahilan insan yang nisbi itu mengetahui yg mutlak (lantaran akan pertentangan dalam peristilahan). Yng Mutlak menggunakan sendirinya tidak mungkin diketahui, karena tidak semisal apapun, serta nir sebanding menggunakan apapun, sebagai akibatnya tidak dapat diasosiasikan menggunakan suatu apapun pada bentuk insan. Tehadap Yang Mutlak itu, yg bisa dilakukan seorang ialah “berjalan” menapak garis lurus sesuai menggunakan bisikan lembut hati nurani yang paling lapang dada serta higienis,buat mendekat, tanpa berarti hingga, kepada yang benar. Yang dituntut menurut setiap peri badi merupakan berpegang pada “kebenaran” hasil bisikan lembut nurani yg nrimo serta higienis itu, tetapi tanpa memutlakan “temuan’ atau”pendapat” pribadi, yang senantiasa akan kemungkinan bahwa “temuan”, atau “pendapat” itu nir lain hanyalah “asa diri sendiri” (hawa al-nafs, hawa nafsu).

Oleh karenanya, dalam rakyat madani setiap orang wajib relatif rendah hati buat melihat dirinya sebagai insan yang berkemungkinan melakukan kesalahan, bak sengaja ataupun nir. Ia tanpil dan berjalan pada bumu dengan rendah hati, tanpa perilaku-perilaku penuh pujian diri. Alternatif dari kerendahan hati itu, adalah kesombongan Iblis, saat orang memandang segala perbuatannya sebagai niscaya baik padahal penuh menggunakan kejahatan, serta waktu seorang memandang kejahatan dirinya itu misalnya keindahan lantaran telah sebagai hiasan kalbunya yang telah . Lantaran kebiasaan tak jarang tumbuh menajdi alamiah ke 2, (hibit is second nature), yang selalu mengancam insan untuk sebagai tidak bisa lagi menyadari kekurangan dirinya, maka rakyat madi menuntut adanya kesediaan setiap anggotanya untuk hayati dalam suasana saling mengingatkan serta menegor.

Dalam tegor-menegor itu, setiap anggota harus bersedia meliahat orang lain menjadi makhluk kesucian yg berkecenderungan kebaikan, sebagai akibatnya setiap orang berhak menyatakan pendapat dan melakukan tegoran, dan berhak buat didengar. Demikian juga kebalikannya, lantaran setiap orang adalah langsung makhluk yang lemah, yang selalu rawan untuk menciptakan kesalahan (erare humanum est),maka ia wajib cukup rendah hati buat m,endengarkan pendapat, saran serta teguran yang dating berdasarkan sekelilingnya, kemudian memilih secara kritis mana yg terbaik dan melaksanakannya. Kearifan dalam pandangan hidup serta keluasan wawasan itu menjadi tonggak bagi kukuhnya bangunan masyarakat madani.

Dari uraian pada atas itu, tampak jelas bahwa masyarakat madani menuntut adanya hubungan saling cinta antara sesama manusia. Yang dimaksud pada sini bukan sekedar cinta biologis (erotis, cinta syahwat) yg memang sudah merupakan hakekat alamiah makhluk hayati, tetapi cinta kearah yang lebih tinggi, yaitu cinta kearifan (mawaddah, philos) karena memandang sesama insan, menggunakan keutuhan harkat dan martabanya. Itu pun masih wajib ditingkatkan pada cinta Ilahi (marhamah, agape), suatu cinta pada sesma manusia seperti cinta kepa diri sendiri, disertai menggunakan ikatan batin yang ikhlas buat berbuat baik kepada sesama insan itu.

Dalam formasi perkembangan kepercayaan Semitik, cinta agape itu inti dari ajaran Allah melalui Nabi Isa Almasih, sebagaimana terungkap dalam khutbah menurut atas Bukit Zaitun. Demikian jua segi ketaatan kepada hukum serta anggaran adalah ajaran Allah melalui Nabi Musa, sebagaimana terungkap melalui pertemuannya dengan Tuhan di atas Gunung Sinai. Semaunya itu membimbing kita kepada pengertian warga madani yg lengkap serta sempurna, menggunakan perlindungan absolut kepada kesucian hayati, harta, dan kehormatan insan (al-dima, alamwal, al-a’radl), sebagaimana diungkapkan oleh Nabi Muhammad pada Pidato Persiapan pada Arafah. Nialai-nilai kemanusiaan universal yang dikukuhkan semenjak dari Bukit Sinai, terus ke Bukit Zaitun dan kemudian padang Arafah ituu kini telah sebagai milik manusia terbaru nir akan melupan Thomas Jefferson yg mengungkapkan pulang nila-nilai kesucian insan itu pada frasa Inggris, live, liberty, pursuit, of happiness di bagian awal deklarasi kemerdekaan Amirika, atau frasa lives, fortunes, sacred honor dalam bagian paling ujung dekalrasi itu. Dan sejalan dengan prinsip-prinsip sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas, kita harus bersedia belajar serta mengambil pelajarandari mana saja, atas dasar pandangan kesucian kemanusia universal.

Dan, itulah semua impian kita membangun mnusia Indonesia Baru yang adil, terbuka dan demokratis. Karena nir ada yang instan pada usaha akbar misalnya itu, maka kita dituntut buat sabar, konsisten, serta nir terkena perilaku negatif tergesa-gesa yg nir pada tempatnya (unduly haste).

Dalam masyarakat Indonesia baru nir boleh lagi ada kelompok warga yg terpinggirkan. Semuanya harus ikut dan serta diikutsertakan, dengan hak serta kewajiban yg sama. Penderitaan harus dipikul beserta, dan keberhasilan wajib dibagi homogen. Kita harus bertekad menyelesaikan kasus kita sebagai bangsa sekali ini serta buat selamanya, insya Allah. Hal itu, bisa dicapai apabila kita menjunjung tinggi nilsai-nilai kemanusiaan universal, menghormati kesepakan-kesepakatan nasional misalnya konstitusi, undang-undang , aturan, serta aturan, bahkan kesepakatan -konvensi. Kita harus setia kepada raison d’etre kita rendiri sebagai bangsa, terutama sebagaimana tercantum sebagai nilai-nilai kebangsaan dallam mukadimah UUD 1945, dan pula moto kita Bhinika Tunggal Ika, Insya Allah.

Comments