Menuju Ushul Fiqh Humanitarian
A. Iftitāh
Masih hangat dalam ingatan umat Islam pada tanah air, bagaimana fatwa MUI yg menyatakan Jemaah Ahmadiyah sebagai grup yg sesat serta menyesatkan sudah berakibat pada tindakan anarkhis dan brutal berupa pendudukan serta penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor yg dilakukan sang umat atas nama Islam, meski kemudian MUI “meralat” dengan menyatakan bahwa MUI tidak menganjurkan cara-cara kekerasan dan anarkhis dalam merampungkan persoalan Ahmadiyah. Tindakan-tindakan serupa jua terjadi pada kasus pro-kontra perumusan RUU APP (Anti Porno), tuduhan murtad yang dialamatkan dalam “malaikat” Lia Aminuddin, pula dalam Roy Saputra karena ‘merilis’ shalat edisi bahasa Indonesia serta aktifitas sweeping terhadap loka-loka maksiat di kota-kota besar yang dilakukan sang sekelompok atau institusi yg mengatasnamakan diri menjadi “jundullah”. Dalam versi yg tidak sama akan tetapi semangat yang sama, bom bunuh diri yang dilakukan sang Amrozi cs pada Bali dan dibeberapa loka syahdan jua atas nama “li`i`lā-i kalimātillāh”.
Selain soal paras Islam Indonesia yg garang serta kaku di atas, masalah lain yg dirasakan sang penulis adalah begitu susahnya tahu ushul fiqh meski telah begitu lama bergelut dengannya. Kesulitan memahami itu menurut su`udzan penulis lebih dalam adanya persoalan epistemologis ushul fiqh yg ada selain faktor-faktor penyokong lainnya.
Kedua faktor pada atas tampaknya nir nyambung. Tapi sebenarnya dari hemat penulis sangat erat berkelindan. Ushul fiqh menjadi sebuah disiplin yang pertama kali digagas asy-Syafi’i sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan Nyazee merupakan ratunya ilmu keislaman (the queen of Islamic sciences). Di samping kedudukannya sebagai salah satu metodologi dalam kajian aturan Islam, ushul fiqh merupakan cabang ilmu yang pada poly hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis serta ilmu kalam. Ushul fiqh menjadi disiplin yg menyelidiki aturan, bukan hanya menilik perkara-perkara aturan serta legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan juga melihat dilema hukum menjadi perkara epistemologi.
Dengan kata lain ushul fiqh nir hanya berisi analisis mengenai argumen serta penalaran aturan belaka, akan namun di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai akal formal, teologi dialektik, teori linguistik serta epistemologi hukum. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fiqh sudah menyentuh epistemologi kontemporer.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menelaah mengenai hakikat serta pelbagai batasan pengetahuan. Epistemologi menguji suatu struktur, dari-usul, serta kriteria pengetahuan. Epistemologi juga berhubungan dengan sejumlah pertarungan yang berkaitan menggunakan antara lain: persepsi inderawi (sense perseption), suatu rekanan antara “yg mengetahui” (the knower) menggunakan “objek yang diketahui” (the object known), suatu jenis kemungkinan mengenai pengetahuan serta tingkatan-strata kepastian bagi setiap jenis pengetahuan, suatu hakikat kebenaran, dan suatu hakikat tentang serta justifikasi bagi pelbagai inferensi atau konklusi.
Kajian mengenai epistemologi, dari pengertiannya, adalah bagian dari filsafat yg menelaah mengenai hakikat, jangkauan, pengandaian, serta pertanggungjawaban pengetahuan. Kendatipun demikian, epistemologi tidak hanya ditemukan secara terang-terangan menjadi posisi atau ajaran mengenai pengetahuan. Sebagaimana setiap pemahaman tentang suatu fenomena eksklusif, sikap dan tindakan yang dilakukan terhadapnya, dan tingkah laku bekerjasama dengannya mengandaikan suatu filsafat atau teori tersembunyi eksklusif, demikian juga setiap pengetahuan atau ilmu mengandaikan sebuah epistemologi tertentu yg mendasarinya. Seperti halnya seorang filsuf berkewajiban mengungkapkan, menilai, membuatkan, mengoreksi, atau membongkar pengandaian-pengandaian di dalam pemahaman mengenai fenomena, demikian juga seseorang epistemolog memiliki kewajiban buat menyelidiki pengetahuan atau ilmu untuk memaparkan, menganalisis pengandaian-pengandaian dasar yang sebagai latar belakangnya.
Berdasar atas 2 masalah serta pemikiran pada atas sine qua non langkah konkrit pada ranah keilmuan guna mencari solusi, dan itu tiada lain merupakan wajib dilakukan rekonstruksi epistemologis ushul fiqh agar paras Islam ke depan sanggup ramah serta humanis.
B. Langkah Metodologis
Sebagai upaya buat melakukan rekonstruksi epistemologis atas bangunan ushul fiqh yg ada perlu dilakukan langkah-langkah metodologis berupa penulusuran serta pengkajian terhadap semua karya ushul fiqh yang pernah terdapat sampai ketika ini. Langkah ‘ideal’ itu sangat nir mungkin (buat nir dikatakan mustahil) dilakukan menggunakan segala perangkat pendukung bersifat terbatas (ketika, energi, dana, dll). Yang bisa dilakukan menjadi langkah awal (stimulus of act) adalah menggunakan memilih jumlah serta representatifitas sebuah karya, serta itu dari ekonomis penulis adalah relatif 3 butir dengan mewakili 3 generasi: generasi kelahiran (formative), generasi kematangan (mature), serta generasi mutakhir. Dengan 3 buku tersebut, penulis akan membuat perbandingan dari aspek takrif, materi, dan sistematika pembahasan ushul fiqh. Tujuannya, menggunakan membandingkan takrif kita mampu membatasi jangkauan pembaharuan ushul fiqh yg akan dilakukan supaya permanen pada kerangka disiplin ini; perbandingan materi akan membantu kita dalam menambahkan materi-materi baru buat ushul fiqh; dan dengan membandingkan sistematika pernbahasan sanggup pada peroleh kelemahan sistematika klasik dan kemungkinan alternatifnya. Selain hal tersebut, perbandingan ini akan membantu menaruh ilustrasi bagi masalah-kasus yang tercatat dan akan diusulkan pada bagian berikutnya.
Tiga kitab ushul fiqh yg dipilih adalah: ar-Risālah yang mewakili termin kelahiran Ushul Fiqh; al-Ihkām fi Ushul al-Ahkām (karya al-Amidi) yang mewakili termin kematangan (pertengahan) serta `Ilm Ushul Fiqh (karya 'Abd al-Wahhab Khallaf) yang mewakili karya mutakhir. Ketiganya dipilih dengan metode acak dan tanpa perkiraan apa pun selain pertimbangan zaman penulisan. Untuk zaman kelahiran, tentu pilihan yg terbaik jatuh dalam ar-Risalah karena kitab inilah yg ditulis oleh orang yg diklaim-sebut menjadi perumus ushul fiqh. Sementara berdasarkan zaman kematangan, sebenarnya terdapat poly pilihan. Kitab al-Ihkam dipilih semata-mata lantaran keterbatasan waktu serta ketersediaan bahan. Kitab ushul fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf dipilih karena buku inilah yang sepertinya paling banyak dipakai pada global akadernis kontemporer.
Dengan hanya membandingkan ta’rif, materi, serta metodologi atas tiga karya saja, menjadi sebuah langkah awal penulis kira sudah memadai. Dengan menggunakan analisa yg biasa-biasa saja, sebenarnya masih poly ruang yg belum terbuka karena itu, terutama aspek historis serta politis yang melipuli karya dan penulisnya. Insyaallah, apabila ada kesempatan, upaya itu akan penulis lakukan.
Penting buat ditegaskan pulang, telaah dan perbandingan atas tiga buku tersebut nir lebih adalah sebagai contoh sederhana dan gambaran, lantaran yg terpenting berdasarkan makalah ini justru dalam bagian berikutnya: ke urah ushul fiqh baru yang ramah serta humanis. Pada bagian inilah penulis menaruh catatan-catatan utama yang kelak akan menjadi panduan proyek perumusan ushul fiqh baru, semoga. Amin.
C. Telaah atas kitab ar-Risalah li asy-Syafi`i
Meski tidak semua sepakat, namun secara umum dikuasai menyatakan bahwa asy-Syafi`i adalah Bapak Ushul Fiqh serta kitab ar-Risalah adalah kitab pertama tentang ushul fiqh. Oleh sebab itu, mengikuti pendapat dominan, buku ini dipilih sebagai bahan jajak atas materi-materi awal yang berkembang dalam Ushul Fiqh. Edisi yg akan dipakai merupakan ar-Risalah terbitan Dar al-Fikr serta output tahqiq menurut Ahmad Muhammad Syakir yg konon merupakan muhaqqiq kitab ar-Risalah terbaik dibandingkan muhaqqiq lain.
Ta’rif serta Materi
Karena kategorisasi ar-Risalah menjadi buku ushul fiqh merupakan kategorisasi ulama pasca asy-Syafi`i dan asy-Syafi`i sendiri tidak menyebut kitabnya sebagal kitab ushul fiqh maka bisa dimaklumi bila nir akan ditemukan definisi ushul fiqh pada buku ini. Oleh karena itu, jika lalu lahir ilmu ushul fiqh dan ar-Risalah dianggap menjadi buku ushul fiqh tentu lantaran materi-materi yg dimuat dalam ar-Risalah merupakan materi-materi yg pada abad ketiga dikenal menjadi materi ushul fiqh. Walaupun dengan cara yg sama, kitab ar-Risalah jua bisa dianggap menjadi kita Ushul Hadits-lantaran materi-materinya yang serupa dengan apa yg lalu dikenal menjadi ilmu hadits.
Dari alenia-alenia pembuka ar-Risalah, cita rasanya memang asy-Syafi`i tidak tengah menulis ushul fiqh, melainkan tengah menghadapi 2 kelompok yang seperti menggunakan 2 grup yang harus dihadapi Nabi waktu pertama kali dia membicarakan selebaran Islam: ahl al-Kitab serta ahl al-Kufr. Kelompok pertama mengingkari kitab Allah; sedangkan grup ke 2 “menganggap baik menggunakan seenaknya” (istahsana) penyembahan berhala, jika dianggap baik disembah jikalau telah bosan dan dianggap nir-baik kemudian ditinggalkan. Asy-Syafi`i sepertinya pula menghadapi grup-kelompok yg semisal: mereka yang menolak as-Sunnah, serta mereka yg mengandalkan istihsan.
Oleh karena itu, saat asy-Syafi`i berbicara mengenai materi-materi yg lalu dlikenal menjadi ushul fiqh, sebenarnya yg dilakukan merupakan untuk memperkuat posisi as-Sunnah sebagai asal hukum sesudah al-Qur'an. Selain materi-materi yg langsung berbicara mengenai as-Sunnah, ketika berbicara tentang hal-hal lain seperti lafazh-lafazh ‘am di pada al-Qur'an, maka asy-Syafi`i melakukannya dalam kerangka ingin menerangkan kiprah as-Sunnah pada menakhshish; saat berbicara tentang an-naskh, ia jua berbicara mengenai kiprah Sunnah dalam memberitahuakn mana yg dimansukh dan mana yg nir; demikian juga saat materi-materi fiqhiyyah (yg tidak termasuk pada materi ushul fiqh) dibahas misalnya waris, haji, zakat, iddah serta lainnya, posisi as-Sunnah lah yang tengah ia diskusikan.
Terkait menggunakan penolakan asy-Syafi`i terhadap istihsan menurut Noel J. Coulson, nir terlepas dari maksud dan tujuan asy-Syafi`i buat meminimalisir perpecahan pada kalangan umat sekaligus melakukan unifikasi dalam bidang aturan meski hal itu sepenuhnya tidak berhasil dilakukan sang asy-Syafi`i. Lebih lanjut Coulson menyatakan:
“Ash-Shafi`i’s legal theory had established a compromise between the dictates of the divine will and the use of human reason in law. But his hopes that such mediation would resolve existing conflicts and introduce uniformity into jurisprudence were frustrated.”
Jadi, hampir sernua page ar-Risalah berisi mengenai pembahasan yang dilakukan pada kerangka penerangan mengenai as-Sunnah. Bab-bab lain yang dalam masa kemudian dianggap sebagai materi ushul fiqh, seperti al-Ijma', al-Qiyas, Istihsan, serta Ijtihad, dibahas secara beredar serta dibahas spesifik secara singkat dalam akhir buku ar-Risalah. Mungkin akan lebih kentara jika kita lihat isi dan sistematika pembahasan ar-Risalah untuk memperoleh gambaran yg lebih kentara tentang upaya ini.
Sistematika Pembahasan
Ar-Risalah terdiri atas tiga juz dan sejumlah bab yg sebagian pada antaranya dibuat sang Ahmad Muhammad Syakir. Lebih lengkapnya menjadi berikut:
Juz I - Khutbah
- al-Bayan I - V (berbicara tentang banyak sekali taraf penerangan al-Qur'an pada hukum-aturan al-Qur'an)
- Am serta spesial
- Kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah
- Naskh
- Masalah-kasus Fiqhiyyah dalam kaitannya menggunakan posisi as-Sunnah menjadi penjelas al-Qur`an.
Juz II - Masalah-perkara Fiqhiyyah
- Persoalan-duduk perkara yg terkait dengan Hadits
- Sifat larangan Allah dan Nabi
- Hadis Ahad (khabar al-wahid)
Juz III - Kehujjahan Hadis Ahad
- al-Ijma’
- al-Qiyas
- al-Ijtihad
- al-Istihsan
- al-Ikhtilaf
D. Telaah atas kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam lil Amidi
Analisis atas buku al-Ihkam ini didasarkan pada buku al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya as-Syaikh al-Imam al-'Allamah Sayf al-Din Abi al-Hasan 'Ali b. Abi 'Ali b.muhammad al-Amidi (dua jilid), terbitan Dar al-Fikr tahun 1996.
Takrif
Takrif ilmu merupakan hal yg menurut al-Ihkam sangat krusial. Dengan tahu takrif orang bisa membayangkan apa yang ada pada ilmu itu dan membedakannya berdasarkan ilmu yang lain. Seperti yg lalu menjadi lazim pada tradisi ushul fiqh, al-Ihkam jua memulai dari pengertian etimologis. Al-Fiqh berarti al-fahm (pemahaman) dan al-‘ilm (pengetahuan). Sementara dari istilah berarti: “ilmu yg membentuk sejumlah hukum-hukum syar'i yg bersifat furu’, berdasarkan permikiran (nazhar) serta penggunaan dalil (istidlal).”
Sedangkan ushul fiqh atau “prinsip-prinsip fiqh” berarti:
“dalil-dalil fiqh, aspek-aspek penunjukan dalil atas aturan-aturan syar’i, serta bagaimana ihwal orang yg memakai dalil, secara garis akbar dan tidak kasuistis (bukan mengenai dalil tertentu yang dipakai buat perkara eksklusif)”.
Obyek materiil (mawdlu’) ushul fiqh, berdasarkan al-Ihkam, merupakan dalil-dalil yang dipakai buat memperoleh - aturan-hukum syar’i, pembagiannya, perbedaan tingkat kekuatannya, serta metode perumusan aturan menurut dalil tersebut, secara garis akbar.
Obyek formilnya (istimdad) ushul fiqh meliputi 3 ilmu: Kalam,Bahasa Arab, serta Hukum Syar’i.
Ushul Fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-.dalil hukum hanya berguna bila orang mengenal Allah Swt dan sifat-sifatNya, bila mengakui kebenaran ajaran Rasulullah, serta hal-hal akidah yang lain yang hanya bisa diketahui menurut Ilmu Kalam. Bahasa Arab berperan penting lantaran dalil-daill lafdziyyah, tekstual (al-Qur'an serta as-Sunnah) serta pendapat para pakar menggunakan bahasa Arab, sehingga masalah-masalah apakah teks itu memakai al-haqiqah dan al-majaz, al-‘umum serta al-spesial , al-mutlaq dan al-muqayyad, serta lain-lainnya hanya sanggup dipahami dengan memakai Bahasa Arab. Hukum Syar'i penting bagi ushul fiqh lantaran materi bahasan ushul fiqh adalah hukum-hukum syar'i, tentu orang wajib tahu terlebih dahulu hakikat aturan, sebagai akibatnya ia tidak keliru membahas.
Sedangkan tujuan ushul fiqh adalah buat bisa memperoleh pengetahuan mengenai aturan-aturan syar'i.
Dari uraian pada atas bisa kita lihat betapa canggihnya Amidi pada memberi takrif ushul fiqh mulai berdasarkan obyek materiil, obyek formilnya, maupun tujuan Ushul Fiqh sudah cukupjelas pada masanya-tidak sinkron sekall menggunakan ar-Risalah.
Sistematika Pembahasan
Membaca al-Ihkam akan membuat kita menyadari betapa buku ini mewakili suatu tahap perkembangan ilmu Ushul Fiqh yang luar biasa, menurut materi-materi yg ditulis seputar kehujjahan Sunnah, Ijma` serta Qiyas pada zaman asy-Syafi`i, dalam masa al-Amidi perkembangan itu sudah menerangkan pembahasan yg canggih mengenai dalil.
al-Amidi membagi kitabnya pada empat kaidah bahasan:
Kaidah 1. Konsep Ushul Fiqh
1. Pengertian Ushul Fiqh
2. Kerangka teoritis yg digunakan:
a - teori-teori Ilmu Kalam
b - teori-teori kebahasaan
c - teori-teori dasar tentang hukum (hukm, hakim, mahkum fih)
Kaidah II Dalil Syar’i
1. Macam-Macam Dalil
a - Dalil syar'i yg benar-benar dalil serta wajib diamalkan
Dalil yang datangnya menurut Nabi 1. Al-Kitab
2. As-Sunnah
Dalil dari selain Nabi 3. Al-ljma'
4. Al-Qiyas
5. Al-Istidlal (Istishab al-Hal)
b. Bukan dalil syar'i namun dipercaya sebagai dalil syar'i
1. Syar’ man qablana
2. Madzhab Sahabi
3. Al-Istihsan
4. Al-Maslahah al-Mursalah
2. Motode-motode Telaah dalil
a. Metode yg terkait sekaligus dengan al-Qur`an , as-Sunnah, dan al-Ijma`
1. Telaah Sanad (tentang khabar mutawatir serta ahad)
2. Telaah Matn
- analisis bentuk bahasa dan kata (al-mandzum)
amr, nahy, al-`am dan al-spesial , al-mutlaq dan al-muqayyad, al-
mujmal, al-bayan dan al-mubayyan, az-Zahir dan ta'wil-nya,
- analisis cara kata (ghayr al-mandzum) dalalah al-iqtida`, tanbih ima`, isyarah serta mafhum
b. Metode Telaah Khusus al-Quran serta as-Sunnah
- analisis naskh serta mansukh
III. Ijtihad
Dalam bagian ini Amidi membaginya pada 2 bahasan: pertama pembahasan hal-hal yang terkait dengan ijtihad dan mujtahid, termasuk duduk perkara apakah Nabi berijtihad ataukah nir; dan ke 2 terkait dengan taqlid, mufti, orang yang meminta fatwa, dan fatwa.
IV. Tarjih
Dalam bagian ini, seperti yang umumnya dibahas pada kitab -kitab Ushul Fiqh sesudahnya, Amidi membahas apa yg sebenarnya dianggap dalil yang saling bertentangan serta mengapa perlu mencari yang lebih bertenaga (tarjih).
E. Telaah atas kitab `Ilm Ushul Fiqh li Abd Wahhab Khallaf
Kitab ‘Ilm Ushul Fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf adalah buku yg paling terkenal pada kalangan pengkaji Islam Indonesia. Kitab ini banyak digunakan di aneka macam perguruan tinggi, pondok pesantren terkini atau Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Sejauh yang penulis ketahui, sudah terdapat 2 versi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia.
Meski bukan satu-satunya, kitab ini dipilih buat mewakili generasi ushul fiqh kontemporer serta yg paling banyak menghipnotis ihwal akademis. Buku yg dipakai di sini merupakan ‘Ilm Ushul Fiqh karya Abd al-Wahhab Khallaf, terbitan Dar al-Ilm Mesir, cetakan ke-12 tahun 1978/1494.
Takrif
Khallaf mengawali pembahasannya tentang takrif menggunakan sebuah postulat: ulama Muslim setuju bahwa setiap perbuatan dan perkatan insan, entah itu berupa ibadah atau muamalah, pidana atau perdata, atau segala macam kontrak dan bisnis, terdapat hukumnya pada pada syariat Islam. Kumpulan aturan yg terkait menggunakan perbuatan dan perkataan insan itu disebut menggunakan fiqh.
Setelah mendefinisikan bahwa fiqh merupakan gugusan aturan-aturan syariah amaliah yg diperoleh berdasarkan dalil-dalil eksklusif, Khallaf lalu menerangkan bahwa ushul fiqh adalah:
“Ilmu tentang kaidah-kaidah serta pembahasan-pembahasan yg dengan itu mampu memperoleh hukum-aturan syar’i praktis menurut dalil-dalil kasuistis atau ushul fiqh merupakan perpaduan kaedah serta pembahasan yang menggunakan itu sanggup memperoleh aturan-hukum syar`i simpel berdasarkan dalil-dalil kasuistis”
Definisi ini terutama buat membedakan ushul fiqh menggunakan fiqh. Sehingga orang bisa tahu bahwa fiqh berbicara tentang perbuatan mukallaf sedang ushul fiqh, berbicara tentang dalil syar'i dalam umumnya. Demikian juga waktu fiqh bertujuan menerapkan hukum syar'i atas perbuatan dan ucapan manusia, maka ushul fiqh bertujuan menerapkan kaedah-kaedahnya atas dalil-dalil eksklusif buat memperoleh aturan syar'i yg dikandungnya.
Jadi titik tekan Khallaf terdapat dalam ushul fiqh sebagal (i) pembahasan mengenai dalil serta (ii) perpaduan kaidah yg menggunakan itu (iii) sanggup diperoleh hukum Syar'i. Dengan kata lain, Khallaf-misalnya terlihat dalam daftar bahasan pada bawah ini-nir terlalu membedakan antara dalil dengan istidlal sebagai akibatnya dari al-Qur'an sampai dengan Madzhab as-Shahabi semuanya ia sebut dalil.
Berbeda menggunakan obyek materiil fiqh yang berupa perbuatan mukallaf, obyek materiil ushul fiqh adalah daill Syar’i secara garis besarnya dari aspek penetapan aturan yang ditimbulkannya.
Sayangnya, Khallaf tidak menyebutkan apa obyek formil ushul fiqh.
Tujuan fiqh merupakan menerapkan aturan Syar’i atas perbuatan serta perkataan insan. Sementara tujuan ushul fiqh merupakan menerapkan kaidah-kaidah serta teori-teori atas dalil-dalil eksklusif untuk mampu menggali aturan-aturan Syar'i yang dikandung dalil itu.
Materi serta Sistematika Pembahasan
Selaras menggunakan takrifnya, Khallaf membagi bukunya ke pada empat bagian utama:
Bagian I: Dalil-dalil syar'i
1. Al-Qur`an
2. As-Sunnah
3. Al-Ijma’
4. Al-Qiyas
5. Al-Istihsan
6. Al-Maslahah al-Mursalah
7. Al-'Urf
8. Al-Istishab
9. Syar' sebelum Islam
10. Madzhab as-Shahabi
Bagian II Hukum Syar'i
1. Al-Hakim
2. Al-Hukm
3. Al-Mahkum Fih
4. Al-Mahkum 'Alaih
Baglan III Kaidah-Kaidah Kebahasaan
Kaidah 1 cara-tunjuk (dalalah) Nash
Kaidah dua Mafhum al-mukhalafah
Kaidah tiga penunjukan yg jelas dan taraf kejelasannya
Kaidah 4 teks yg tak kentara dan taraf ketakjelasannya
Kaidah lima al-Musytarak
Kaidah 6 al-‘Am dan jangkauan maknanya
Kaidah 7 al-Khas serta jangkauan maknanya
Bagian IV Kaidah-kaidah Legislasi ushul fiqh
Kaidah 1 tujuan legislasi (maqashid at-tasyri`)
Kaidah dua tentang hak Allah dan hak hamba
Kaidah 3 Wilayah ijtihad
Kaidah 4 Naskh
Kaidah 5 Tarjih
F. Telaah Banding
Dari ketiga kitab yg mewakili 3 generasi ushul fiqh tadi, ada beberapa hal yg menarik buat dicatat, baik dari aspek takrif, materi maupun sistematika pembahasannya, dari sisi persamaan juga perbedaanya.
Takrif
Seperti telah disebutkan di depan, karena ar-Risalah tidak ditulis oleh asy-Syafi`i sebagai kitab ushul fiqh, maka tidak terdapat takrif yang diberikan sang asy-Syafi`i mengenai ushul fiqh. Kita hanya sanggup membandingkan takrif Amidi (hidup abad VI) dengan takrif Khallaf (hidup abad XIV).
Berbeda menggunakan asy-Syafi`i yg berperan menjadi pioner, yang sebelumnya tidak ada yang mampu diacunya, Amidi menulis al-Ihkam dalam masa saat ushul fiqh sudah mencapai bentuk yang matang sebagai akibatnya definisi yg diberikannya pun pula telah matang sahih. Sudah terdapat puluhan kitab ushul fiqh tersedia pada masanya, mulai dari karya-karya yang ditulis segera setelah ar-Risalah, yaitu Kitab al-Qiyas karya al-Muzanni atau karya-karya yang ditulis pada bentuk.syarah bagi ar-Risalah (misalnya yg ditulis oleh Sayrafi, al-Qaffal, dan al-Juwayni), sampai menggunakan karya-karya brillian al-Ghazzali (al-Mustasfa, al-Mankhul, Syifa al-Ghalil, serta at-Tahsin).
Jadi, telah terdapat poly-bahan buat beliau pertimbangkan pada mendefinsikan ushul fiqh. Hal yang sama tentu dialami oleh Khallaf-bahkan ia lebih banyak bahan lagi buat merumuskannya. Dari definisi keduanya (Amidi dan Khallaf), kita mampu melihat bahwa keduanya sama-sama berupaya mendefinisikan ushul fiqh sebagai sesuatu yang tidak selaras menggunakan fiqh. Ini sepertinya sesuatu yg tak terhindarkan lantaran adanya unsur fiqh dalam nama ushul fiqh serta barangkali karena kelebihpopuleran fiqh daripada ushul fiqh. Sehingga mau tak mau definisi ushul fiqh harus dijelaskan buat tidak merancukannya menggunakan Fiqh.
Keduanya pula nir terlalu berbeda dalam mendifinisikan Ushul Flqh menjadi ilmu yg membahas mengenai dalil Syar'i. Meski keduanya tidak selaras penekanan dalam hal ini Amidi menekankan pada tentang (cara) orang yang menggunakan dalil, ad interim Khallaf menekankannya sebagai formasi kaedah dan pembahasan. Berbeda namun keduanya memaksudkan hal yg sama. Jadi jikalau kita hendak merumuskan Ushul Fiqh baru, kurang lebih batasannya adalah ilmu yg berbicara tentang dalil Syar`i, metode dan orang yang menafsirkan dalil itu, dan hukum yg dihasilkannya.
Materi
Sepertl terlihat dari daftar bahasan pada ar-Risalah, al-Ihkam, serta ‘Ilmu Ushul Fiqh, ketiganya kentara memiliki perbedaan materi. Ar-Risalah masih berisi materi-materi non-Ushul Fiqh dan pembahasannya mengenai ushul fiqh terpusat dalam Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang dibahas pada kerangka menolak istihsan. Sementara Amidi sudah membahas secara lebih sistematis materi-materi usang serta memasukkan materi-materi baru misalnya al-istidlal, al-mashlahah al-mursalah, taqlid, mufti dan fatwa. Pembahasan tentang ta’arud adillah serta tarjih juga sudah sistematis.
Menarik, bahwa materi yg dibahas sang Khallaf tidak terlalu banyak berubah menurut tujuh abad sebelumnya?! Kecuali al-‘Urf semua dalil sudah dibahas Amidi. Demikian juga pada bagian lain, hanya tema mengenai hak Allah dan maqashid al-syari'ah yang belum dibahas oleh Amidi – tetapi menggunakan catatan bahwa tema maqashid as-syri`ah pula bukan tema baru, telah dibahas beberapa abad sebelumnya sang at-Tufi dan as-Syatibi. Hal menarik yg perlu dicatat barangkali merupakan bertambahnya intensitas pembahasan mashlahah mursalah menurut tak terbahas dalam ar-Risalah, sebagai satu page pada al-Ihkam, dan menjadi lima halaman pada “Ilm Ushul Fiqh. Itu sanggup jadi sebagai petanda menguatnya balik kesamaan rasional pasca at-Tufi serta Syatibi.
Sistematika Pembahasan
Dalam bentuk aslinya, ar-Risalah lebih sederhana daripada yang ditahqiq sang Syakir. Seperti umumnya kitab -buku klasik, pemikiran penulis seringkali dituangkan tidak secara tematis, melainkan tersebar di pada tema besar . Dalam kasus ar-Risalah, kita mampu menemukan bahwa asy-Syafi`i sendiri tidak memberi nama kitabnya, tidak memberi judul buat sejumlah tema krusial yg kelak dikenal menjadi ushul fiqh, ia ditulis dalam kerangka tema besar : kehujjahan as-Sunnah. Seperti diinformasikan pada depan bahwa ar-Risalah hanyalah sebuah selebaran yg ditulis asy-Syafi`i atas permintaan dari sobatnya, al-Mahdi. Oleh karenanya mengkaji sistematika dari buku ini nir terlalu penting lantaran masih terlalu mentah serta masih poly ruang kosong buat memperkaya sistematika yg memang belum dijamah oleh asy-Syafi`i.
Pada dua kitab berikutnya, al-Ihkam dan 'Ilm Ushul Fiqh kita mampu melakukan perbandingan sistematika yang digunakan. Yang menarik, meski lahir kemudian serta banyak referensi yg mampu dirujuk dan digunakan, 'Ilm Ushul Fiqh justru lebih sederhana dibanding al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam membagi materi ushul fiqh menjadi empat konsep: ushul fiqh, dalil, ijtihad dan tarjih. Sementara 'Ilm Ushul Fiqh membahasnya menjadi empat bagian: dalil, hukum, kaidah kebahasaan dan kaidah legislasi. Apa yg dibahas dalam bagian hukum sang Khallaf, dibahas oleh Amidi dalam konsep ushul fiqh. Apa yang dibahas dalam kaidah kebahasaan jua dibahas Amidi pada bagian konsep ushul fiqh.
G. Ushul Fiqh Humanitarian: Sebuah Tawaran
Dari hasil jajak diatas, terdapat beberapa dilema fundamental yang perlu segera dibenahi, misalnya sistematika pembahasan, kategorisasi serta perlunya penambahan ilmu-ilmu bantu ‘sekuler’ .
Untuk sistematika dalam bab awal (mukaddimah) perlu diberi penerangan orientasi menurut kajian ushul fiqh (bukan berupa tarjamah muallif) sehingga pembaca telah mengerti peta duduk perkara yang akan dikaji. Penjelasan tentang sejarah lahirnya ushul fiqh, perkembangan serta capaian dan tantangan modernitas yang akan dihadapi juga perlu ditampilkan guna memperjelas wilayah obyek formil dan materiil pula penyadaran akan tuntutan (baca: ekspektasi) dinamika keilmuan yg demikian besar terhadap ushul fiqh.
Bab berikutnya merupakan redifinisi atas term-term yg selama ini mengalami proses pembekuan. Redefinisi ini jua bermakna re-klasifikasi dan re-kategorisasi. Bab ini sangat krusial menjadi solusi atas jumbuh dan ruwetnya tahu ushul fiqh seperti yang penulis rasakan. Mulai menurut bab ini dibahas dan dikaji ulang soal aturan, hakim, dalil serta istidlal.
Dalam literatur ushul fiqh yang terdapat, disebutkan ada dua aturan, wad`i dan taklifi. Yang perlu dipertimbangkan ulang adalah penempatan istishab juga pada pembahasan wad`i bukan pada dalil misalnya yg ada. Alasannya, kalau rukhsah dan ‘azimah termasuk bagian wad`i seharusnya istishab jua masuk. Apabila ‘azimah merupakan hukum dari yg ditinggalkan karena adanya rukhsah maka istishab merupakan hukum asal yang nir berubah lantaran nir adanya ketentuan lain yg mampu merubahnya.
Dalam pembahasan al-Hākim mampu dipastikan jikalau ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah akal kita tampaknya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai menurut teman sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an serta as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan tidak sama (buat tidak dibilang niscaya), dan keduanya absah (mushawwibah) meski tetap harus menanggung resiko (mukhatti`ah) atas output bacaannya. Sejarah telah merekam dengan baik perbedaan itu benar-benar terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibentuk. Walau atas nama “teks” akan tetapi hasilnya nir bisa dipersamakan serta apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh sebab itu, al-Hakim nir lagi semata Allah, tapi jua Shahabat (jika Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (menggunakan perangkatnya), MUI, NU (menggunakan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan merupakan keputusan mereka bukan keputusan Tuhan, not as voice of God anymore.
Bab berikutnya adalah pembahasan mengenai dalil. Menurut keyakinan penulis yang seharusnya masuk pada pembahasan ini hanya ada enam: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Maslahah, Mazhab as-Shahabi, al-‘Urf, serta Syar`u Man Qablana. Qiyas dan Ijma` rancu dimasukkan menjadi dalil (obyek materiil) tapi lebih tepat ke dalam istidlal (obyek formil) karena dia mempergunakan al-Qur`an serta as-Sunnah menjadi dalilnya. Demikian pula dengan istihsan, istislah dan sad al-dzariah yg mengakibatkan al-maslahah menjadi dalilnya.
Bab terakhir yang merupakan sumbangan modern merupakan istinbāth menggunakan membagi dalam empat pembahasan: Ta`shil (mencarai originalitas teks) menggunakan al-jarh wa at-ta`dil; Ta`wil (mencari originalitas makna) menggunakan qiyas, maqashid, qawaid al-lughawiyyah dan ilmu-ilmu ‘sekuler’ hermeneutika, semiotika, filologi,linguistik dan epistemologi; Tathbiq (mewujudkan mashlahah) dengan ijma`, istihsan, istishlah serta sad al-dzari`ah; Tarjih (mencari yg terbaik) menggunakan at-tarjih, al-jam`u, an-naskh serta at-tark.
H. Ikhtitām
Demikian ijtihad yang bisa dilakukan sang penulis hingga ketika ini, meski sebatas talwis nir substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan mampu menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita seluruh buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin poly bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak dan rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.
Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, akan tetapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca buat mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf serta semoga bermanfaat, amin. Wassalam.