SIKLUS KEBIJAKAN BERBASIS EVIDENS EPIDEMIOLOGI

Siklus Kebijakan Berbasis Evidens Epidemiologi 
A. Epidemiologi
Menurut Russel, mesin pendorong kemajuan umat insan yang paling dahsyat adalah impian buat tahu dan harapan buat beraksi memperbaiki global loka mereka bermukim (Doglas, 1996). Pada disiplin epidemiologi, komponen pemahaman bermula menurut pengamatan populasi serta berakhir pada penarikan konklusi tentang etiologi, proses insiden serta riwayat alami berbagai masalah kesehatan warga (kesmas). Komponen aksi bermula berdasarkan penggunaan avidens epidemiologi pada proses pembuatan kebijakan serta berakhir dalam evaluasi dampak kebijakan dalam kesmas (Klainbaum at al., 1982). 

Disamping kedua komponen tersebut, epidemiologi jua mengenal komponen etika karena menyangkut upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang sebagai hak azasi manusia. Komponen etika bermula menurut pengembangan proposal studi di awal tingkat pemahaman dan berakhir sehabis pengaruh evaluasi kebijakan di terminal komponen aksi (Doglas, 1996). 

Dengan demikian, epidemiologi memenuhi kriteria kebenaran, kegunaan, dan nilai. Sebagai ilmu, epidemiologi kaya dengan konsep dan teori. Sebagai terapan, epidemiologi kaya dengan pengalaman realitas. Sebagai nilai, epidemiologi dikawal ketat oleh norma yg universal. Pemahaman epidemiologi secara utuh dapat dicapai melalui proses sintesa yg akan menghasilkan kerangka konsep berpikir baru yg khusus. 

B. Kebijakan Publik
Para pakar mendefinisikan kebijakan publik secara majemuk, mulai dari yg sangat sederhana hingga yg kompleks. Kebijakan merupakan seperangkat panduan yg dibutuhkan buat mengambil keputusan (Spasoff, 1999). Kebijakan adalah seperangkat keputusan tentang alokasi asal daya yang diharapkan untuk mencapai tujuan jangka panjang tertentu (Ibrahim, 1885).secara lebih sempit, kebijakan kesehatan diartikan sebagai keputusan pemegang otoritas sistem pelayanan pelayanan kesehatan yg bertujuan menaikkan derajat kesmas. 

C. Ipidemiologi serta Kebijakan Kesehatan 
Gagasan kebijakan kesehatan publik yang timbul beserta dengan gerakan kenaikan pangkat kesehatan, mengundang pemerintah berbagi kebijakan kesehatan di seluruh sektor. Epidemiologi menempati posisi sangat strategis pada kebijakan kesehatan publik, lantaran terfokus pada populasi, pelayanan kesehatan, upaya pencegahan, dan berita kesehatan. Fokus dalam populasi mendorong kebijakan memandang populasi serta perkara, faktor resiko/program hegemoni serta dampak dalam kesmas serta validitas internal serta validitas eksternal secara sama penting. Dengan demikian, endemi yang mencerminkan peningkatan masalah adalah sama krusial dengan endemisitas yang mencerminkan kerentanan populasi.

D. Siklus Kebijakan
Siklus kebijakan diawali menggunakan penilaian kebijakan sebelumnya serta dilanjutkan dengan persiapan, pengembangan dan implementasi kebijakan (Ruwaard et.,al.,1994). Kerangka kerja kebijakan terpadu merupakan tahapan siklus dan konstribusi berbagai teknik analisis kebijakan (Dunn, 1981). 

E. Penilaian Kesmas
Langkah awal proses pembuatan kebijakan kesmas adalah menilai syarat kesmas, mengungkapkan karakteristik demografi dan tahu kecenderungan populasi. Sumber kabar yg dibutuhkan mencakup sistem berita rutin, survei tempat tinggal tangga, studi ekologi dan penilaian dampak lingkungan. Bencana arsen pada Bangladesh dampak kebijakan pembangunan sumur pompa dalam, buat memberantas penyakit diare (1993) merupakan model konkret mengenai evaluasi kesehatan penduduk yang nir dilakukan secara cermat.

F. Penilaian Intervensi Potensial
Metode hegemoni potensial dievaluasi dan disintesis berdasarkan banyak sekali output studi epidemiologi tingkat individu. Penilaian tadi dapat dilakukan mulai menurut eksplorasi sederhana hingga makro simulasi komputer, atau model mikro simulasi yang kompleks. Dalam masalah arsen, pemerintah Bangladesh terlalu konfiden bahwa penyebab primer kematian pada negara berkembang merupakan penyakit infeksi, kurang gizi serta apriori terhadap bahan berbahaya serta upaya hegemoni cara lain modifikasi lingkungan yang lain. 

G. Penentuan Kebijakan
Penentuan kebijakan dalam dasarnya adalah proses membentuk konvensi dengan memakai eviden epidemiologi buat mengurangi ketidakpastian. Epidemiologi secara khusus menyediakan metode prediksi potensi imbas upaya intervensi terhadap masalah kesehatan. Perbandingan konstribusi aneka macam metoda intervensi terhadap pemugaran perkara kesmas, bisa sebagai dasar penentuan hegemoni yang efektif.

H. Implementasi Kebijakan
Konstribusi utama epidemiologi dalam termin implementasi merupakan menata goal dan obyektif secara sempurna, menyediakan basis rasional alokasi sumber daya serta menyarankan data pendukung buat penilaian. Goal merupakan pernyataan umum yang mendefinisikan situasi yg diinginkan. Dalam perkara program sumur pompa dalam pada Bangladesh adalah akibat nir dilakukannya pemantauan secara cermat imbas kesmas yg terjadi, sehingga gejala serta indikasi keracunan arsen yang sangat kentara nir terdeteksi secara dini. 

I. Evaluasi Kebijakan
Epidemiologi bisa memakai metode surveilens buat memantau derajat kesehatan terbaru serta memprediksi kemungkinan efek dalam masa yg akan datang. Selain itu, epidemiologi dapat memakai rancangan studi kuasi eksperimental, studi ekologi multi level serta analisis kontekstual buat menilai intervensi dalam tingkat ekologi.

J. Potensi Petaka Kesmas pada Indonesia
Selama bertahun-tahun, kebijakan pemberantasan penyakit DBD pada Indonesia mengabaikan siklus kebijakan dan evidens epidemiologi. Program intervensi yang dilakukan secara reaktif serta terfokus dalam nyamuk dewasa terbukti tidak efektif serta tidak bisa menggerakan partisipasi rakyat secara berkesinambungan. Ketika terjadi wabah, masyarakat merasa tidak terbebani dampak porto perawatan yg gratis. Bahkan, mereka cenderung menyalahkan pemerintah yang terlambat melakukan foging. Berhadapan menggunakan penyakit flu burung yg sangat menghebohkan akhir-akhir ini, dengan contoh kinerja pemberantasan DBD pada Indonesia, tentu saja akan sangat memprihatinkan. Penyakit flu burung menggunakan riwayat alami, prosedur penularan dam metode hegemoni efektif yang belum diketahui, berpotensi sangat akbar buat menjadi petaka kesmas nasional. 

PENGERTIAN DALALAH LAFAL NASH

Pengertian Dalalah Lafal Nash
Memahami dalalah lafal nash adalah sesuatu yg sangat krusial saat melakukan istimbat hukum. Sebab, tanpa memahami dalalah lafal nash siapa pun nir akan pernah mencapai apa maksud yg sesungguhnya. Oleh karena itu, pada kajian ushul fiqh pembahasan tantang dalalah lafal nash ini adalah salah satu bagian yang tidak dapat diabaikan pada melakukan istimbat hukum. Berikut ini akan pada kemukakan apa sesungguhnya yang dimaksud dalalah lafal nash tadi.

Secara etimologi istilah dalalah ( الدلالة ) berasal dari kata kerja ( دلّ – يدلّ - دلالة ) yg merupakan memperlihatkan. Menurut Luis Ma’luf pada kitb al-munjid , bahwa yg dimaksud menggunakan dalalah ialah: 
الدلالة : مايقوم به الارشاد لو البرهان 

adalah sesuatu (apa saja) yang bisa dijadikan petunjuk atau alasan. 

Adapun berdasarkan istilah ulama ushul, sebagaimana dijelaskan sang Muhammad al-Jarjani pada buku kitab al-Ta’rifat merupakan sebagai berikut : “dalalah merupakan cara penunjukan atas makna (pengertian) nash.” 

Dari pengertian diatas, baik pengertian secara bahasa juga istilah, dapat dipahami bahwa yang dimaksud denagn dalalah dalam hubungannya dengan upaya memahami nash ialah suatu petunjuk lafal kepada sesuatu pengertian yg sanggup dipahami berdasarkan nash itu sendiri. 

Oleh karenanya, seperti dijelaskan oleh zaky al-Din Sya’ban bahwa pada melakukan istimbat hukum nir mungkin dapat dilakukan kecuali sesudah tahu lafal nash dan dalalahnya. Bagi kalangan ulama ushul pada upaya pemahaman hukum, dalalah nash menjadi perhatian primer buat melihat bagaimana petunjuk suatu lafal nash. 

A. Pembagian Dalalah Nash Dan Macam-Macamnya 
Dilihat berdasarkan segi keberadaannya dalalah lafal nash dapat dibedakan menjadi berapa macam, baik yg kentara serta nir jelasnya maupun dari segi cara penunjukannya. 
Dalalah Nash Yang Jelas Maknanya 

Dalam hal ini, Hanafiyah membagi lafal menurut segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian, yaitu zhahir, nash, mufassar, dan muhkam. Sedangkan dari ketidak jelasannya mereka membagi sebagai empat macam jua, yaitu: khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabih. 

Sebagaimana sudah dijelaskan dimuka, golongan Hanafiyah membagi dalalah lafal dari segi kejelasannya sebagai empat macam. Disini akan dijelaskan secara terang dan disertai model tentang macam-macam dalalah lafal tadi. Secara garis besarnya, pembagian dalalah lafal berdasarkan Hanafiyah ditinjau dari peringkat kejelasan lafal itu. Dimulai berdasarkan jelasnya bersifat sederhana (zhahir), relatif kentara (nash), sangat kentara (mufassar), dan super jelas (muhkam). 

a) Dzahir
Menurut Zaky al-din sya’ban yang pada maksud dzahir sang kalangan hanafiyah adalah suatu lafal nash yg dalalahnya menunjukkan pada pengertian yg kentara dan nir perlu ada unsur menurut luar buat memahaminya, gampang di pahami menggunakan kentara. Sebagi model yang tak jarang pada rujuk oleh ulama ushul merupakan ayat berikut:
... واحلّ الله البيع وحرّم الربى ...

“dan allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba.”(QS. An-nisa’: tiga)

Berdasarkan ayat ini, bisa pada lihat bahwa berdasarkan segi dzahirnya mudah di pahami bahwa jual beli itu halal dan riba itu haram. Jika pada lihat berdasarkan segi susunan kalimatnya bahwa maksud yg sebenarnya merupakan buat menyatakan dimana hukum jual beli itu tidak sama dengan riba. 

Berdsasarkan pendapat ulama ushul bahwa dzahir harus pada amalkan sesuai dengan maknanya yang dhahir tersebut selama tidak masih ada dalil atau alasan lainnya yang memalingkan pada arti lain. Akan tetapi, makna dhahir ini boleh mampu jadi berubah kepada makna lain yaitu harus pada takhshih apabila generik, dibatasi maknanya apabila dia mutlak serta bias jadi pula dialihkan menurut arti hakikat pada majas. 

b) Nash
Yang dimaksud dengan nash adalah suatu lafal nash dimana dalalahnya menerangkan pada pengertian yg tegas dan kentara, meskipun terdapat kemungkinan mampu pada ta’wil dan ditkhsish. Pemahaman seperti ini diperoleh dari sususnan kalimatnya sendiri.

Adapun Implikasinya adalah pada ketetapan aturan sesuatu yg telah diklaim buat sesuatu yg lain yang nir dikomentari, lantaran dipahaminya interaksi antara keduanya hanya menggunakan tahu bahasa (susunan kalimatnya). 

Sebagai contoh merupakan ayat al-quran, seperti yg dijadikan contoh menurut lafal zhahir. 
... واحلّ الله البيع وحرّم الربى ...

“serta allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” 

Dalalah nash menurut ayat diatas merupakan tidak adanya persamaan aturan antara jual beli dan riba. Pengertiannya diambil berdasarkan susunan kalimatnya yang mengungkapkan hukum. Disini nash lebih memberi kejelasan dari dalam zhahir (halalnya jual beli dan haramnya riba)lantaran maknanya itu diambil berdasarkan pembicaraan bukan rumusan bahasanya.

HUKUM NASH 
Hukum lafadz nash sama menggunakan aturan lafadz zhahir, yaitu wajib diamalkan petunjuknya sepanjang nir ada dalil yg menakwilkan, mentakhsish, atau menasakhnya. 

c) Mufassar
Yang dimaksud menggunakan mufassar adalah suatu lafal nash yg menunjukkan kepada suatu ketentuan aturan yg penunjukannya sangat kentara serta nir terdapat kemungkinan buat ditakwil atau ditakhsish. Menurut as-Sarakhsi mufssar merupakan suatu nama buat sesuatu yang terbuka serta bisa diketahui maksudnya dengan jelas serta nir terdapat kemungkinan untuk ditakwil. 

Atas dasar definisi diatas maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi berdasarkan pada zhahir dan nash. Hal ini karena pada petunjuk zhahir dan nash masih terdapat kemungkinan ditakwil dan ditakhsish, sedangkan mufassar kemungkinan tadi nir ada. Sebagai contoh firman allah SWT.: 
وقتلوا المشركين كآفة كما يقاتلونكم كآفةج واعلموا ان االله مع المتقين

Artinya : “dan peangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kaum semuanya; dan ketahuilah baheasannya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” 

Lafadz musyrikin dalam ayat diatas pada mulanya dapat ditakhsish, tetapi dengan adanya lafadz kaafatan kemungkinan itu menjadi nir ada.

HUKUM MUFASSAR 
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath’i, sepanjang tidak ada dalil yang menasakhnya. Lafadz mufassar nir mungkin dipalingkan artinya berdasarkan zhahirnya, karena nir mungkin ditakwil serta ditakhsish, melainkan hanya sanggup dinasakh atau diubah jika ada dalil yg mengubahnya. 

d) Muhkam
Muhkam menurut bahasa merupakan berasal berdasarkan kata ahkama yang berarti atqana, yaitu pasti dan tegas. Sedangkan dari kata yg dimaksud muhkam adalah suatu lafadz yg dalalahnya memberitahuakn arti yg kentara dan terperinci. Sehingga tidak memerlukan satu penafsiran atau takwil, juga tidak mendapat nasakh. 

Dalalah yg dikelompokkan pada tingkatan muhkam ini menaruh petunjuk pada ketentuan yg mendasar berdasarkan pokok-pokok ajaran kepercayaan , seperti mengenai keimanan kepada Allah, Malaikat, para Rasul, dan Hari Akhirat. Dengan istilah lain, ketentuan yang berlaku dalam al-muhkam ini dalalahnya telah niscaya serta lafadz nash yg mengkategorikan dalam tingkatan ini nir boleh dirubah atau dibatalkan, dia harus pada amalkan. Seperti model firman Allah SWT: 
و الله بكلّ شيء عليم

Artinya: Allah atas segala sesuatu Dia maha mengetahuinya.
Dalalah Nash Yang Tidak Jelas Maknanya 

a) Khofi 
Menurut bahasa khofi merupakan tidak jelas atau tersembunyi. Sedangkan menurut istilah, misalnya yang dikemukakan oleh ad-Dausi merupakan suatu lafal yg maknanya nir jelas karena hal baru yang terdapat pada luar lafal itu sendiri, sehingga arti lafal itu perlu diteliti dengan cermat serta mendalam. 

Dalam penerangan Zaky al-Din sya’ban bahwa ketidak jelasan dalalah lafal yg mengkategorikan pada khofi ini, bukan oleh shighat lafalnya, akan namun adanya unsur dari luar yang mengakibatkan ketidak jelasan tersebut. Contoh yg seringkali dikemukakan sang ulama ushul merupakan ayat pencurian. Dalam al-Quran dijelaskan menjadi berikut: 

Dan pencuri laki-laki serta perempuan potonglah tangan mereka masing-masing. (QS. Al-Maidah: 38) 
Pada mulanya lafal as-sariq itu tegas, yaitu orang yg mengambil harta berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, dalam loka yang terpelihara. Akan tetapi, jika pngertian ini diterapkan pasda perkara lain yg sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang pada kuburan, korupsi, maka lafal itu sendiri mewnjadi nir tegas. Pencopet merupakan orang yang mengambil barang milik orang lain tidak secara tersembunyi. Dengan demikian antara pencuri dan pencopet masih ada unsur disparitas. Dalam pencopet adanya unsur keberanian serta kenekatan. Oleh karenanya, pencopet tidak sama menggunakan pencuri, dan inilah yang membuat kekaburan makna pencuri jika diterapkan pada pencopet. Kemudian pada hal eksistensi dalalah nash yang mengkategorikan menggunakan khafi ini, bahwa dia belum dapat diamalkan sebelum dilakukan pembahasan serta penelitian secara akurat.

b) Musykil
Menurut bahasa musykil adalah sulit, atau sesuatu yang tidak kentara perbedaannya, sedangkan menurut istilah misalnya as-Sarakhsi artinya, suatu lafal yang nir jelas adalah serta untuk mengetahuinya dibutuhkan dalil atau qorinah. 

Adapun yg mengakibatkan dalalah nash sebagai musykil adalah lantaran lafal tersebut musytarak, atau karena dipahami antar majas serta hakiki. Sebagai contoh, dikemukakan berikut adalah. 

Dan perempuan -perempuan yang di talak hendaklah menahan diri tiag kali sucian. (QS. Al-Baqorah: 228). Dalam ayat pada atas terdapatlah lafal Quru’ yg mengkategorikan kepada musytarak yg pengertiannya ganda, yaitu boleh jadi berarti bersuci atau haid. Akibatnya, dalalahnya menjadi kabur (tidak kentara), mana yang di kehendaki antara ke 2 arti tersebut. Oleh karenanya pada sini, menurut para ulama ushul wajib diteliti dengan memperhatikan qarinah menurut luar buat memilih galat satu makna yg sempurna sampai sdesuai menggunakan apa yg dikehendaki. Oleh sebab itu, dalam pengamalan klafal nash yang, musykil ini harus di kaji secara menyeluruh dengan memilih serta menentukan salah satu makna buat dijadikan pegangan.

c) Mujmal
Menurut bahasa mujmal merupakan dunia atau tidak terprrinci. Sedangkan berdasarkan kata misalnya yg dikemukakan sang DR. Zukuyuddin Tsa’ban mujmal adalah lafal yang belum kentara maknanya yg tidak bisa memberitahuakn arti yg sebenarnya bila nir ada berita lain yang menentukannya. Jelasnya, lafal yang mujmal artinya lafal yg belum jelas merupakan, belum kentara maksudnya yang masih membutuhkan penerangan dari lainnya, dan penjelasan itu dianggap sebagai bayan. Oleh karenanya, jika ada bayan yang paripurna maka ia menjadi mufassar. Apabila nir masih ada bayan berdasarkan syari’ maka ia sebagai musykil, dan pada keadaan seperti ini hendaklah mujtahid berupaya menghilangkan kemusykilan dalalahnya menggunakan ijtihad. Misalnya lafal shalat, menurut bahasa berarti do’a, namun berdasarkan istilah syara’ adalah ibadah khusus yg segala sesuatunya dijelaskan sang rasulullah.

d) Mutasyabih
Menurut bahasa mutasyabih adalah sesuatu yg mempunyai kemiripan atau simpang siur. Sedangkan menurut istilah, merupakan suatu lafal nash yang mana pengertian yang dikehendakinya sama sekali nir dapat dipahami karena nir ada qorinah yang sanggup menghilangkan ketidak jelasannya. Artinya, lafal itu sulit kita dapatkan merupakan yg pasti. Sebab, memang syari’at nir menjelaskannya secara niscaya pada arti lafal-lafal yg mutasyabih itu. Akan tetapi, kita serahkan saja pada allah sebab Dialah yg lebih mengetahui artinya. Misalnya lafal-lafal awal sebagian surah-surah pada al-Quran, seperti SHAAD, HAAMIM, dan lain sebagainya.

PENGERTIAN TAFSIR FIQIHY

Pengertian Tafsir Fiqihy
Memang pada banyak sekali literatur yang Penulis jumpai, nir atau belum diketemukan warta yg kentara, mengenai pengertian tafsir fiqhy secara definitive, akan namun buat mendapatkan pengertiannya. Penulis berusaha mengaitkan dengan pengertian berdasarkan fiqih itu sendiri, sebagai bagian berdasarkan rangkaian kata Tafsir Fiqhy tersebut.

Menurut para Fuqaha’ (Jumhur mutaakhirrin), menaruh pengertian, fiqih adalah ilmu yang menunjukkan aturan-hukum kondisi atau aturan-hukum fiqih yang berpautan menggunakan perkara-masalah alamiyah yang dikerjakan sang para mukallaf sehari-hari, yg diperoleh dari dalail-dalilnya yg tafshil.4

Sejalan dengan pengertian fiqih pada atas, bila dihadapkan kepada ayat-ayat Al Qur’an yang mengatur perbuatan (amaliyah) manusia, baik yang seharusnya dikerjakan juga yg seharusnya ditinggalkan (ayat-ayat aturan), yg mencakup ibadat, norma, mu’amalah madasiayah da n maliyah, ahwal al syahshiyah, jinayat, uqubat, dusturiyah, dauliyahnya, jihad serta lain sebagainya.lima Maka Tafsir Fiqhy, bisa diartikan menjadi kabar atau penerangan yg diberikan sang Fiqaha’ terhadap ayat-ayat hukum yg ada dalam Al Qur’an. Dan bila ditujukan pada tafsir menjadi kitab , maka tafsir fiqhy merupakan buku tafsir yang menjelaskan ayat-ayat aturan yg terdapat dalam Al Qur’an secara spesifik. Dalam hal ini manna’ Al Qattan, secara implicit juga menejelaskan, bahwa tafsir fiqhy merupakan tafsir yang memakai corak pembahasan ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an.6

I. SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR FIQHY
Tafsir fiqhy tumbuh dan berkembang pada masa yg cukup panjang, sebagai akibatnya keberadaan berdasarkan tafsir fiqhy tadi perlu mendapatkan perhatian yang berarti dalam rangka buat memahami Al Qur’an secara sempurna serta benar, sekaligus sinkron dengan perkembangan zaman dan diterima secara pas oleh insan pada masa berada.

Periodesasi tafsir fiqhy, ada 3 tahap, yaitu :
1. Pada masa Nabi hingga dengan terbentuknya mazhab-mazhab fiqh Islam.
2. Masa permulaan berdirinya mazhab fiqh Islam.
3. Masa tumbuhnya taklid serta fanatisme mazhab. 

1. Pada masa Nabi hingga dengan terbentuknya mazhab-mazhab fiqh Islam.
Sebagai ayat-ayat Al Qur’an terdiri berdasarkan ayat-ayat aturan kasus pemahaman kaum muslimin waktu itu hanyalah sebatas pengetahuan bahasa Arab mereka. Dengan demikian jika mereka menemui kesulitan dalam memahami ayat-ayat tadi, maka menanyakan eksklusif pada Rasulullah SAW. Sehingga penafsiran fiqhiyahnya mereka dapatkan langsung menurut Rasulullah sendiri. Hal ini berarti keragaman penafsiran fiqih belum terjadi.

Setelah masa Rasulullah berakhir, pertarungan yg dihadapi kaum muslimin bertambah kompleks, sinkron menggunakan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam serta keragaman pemeluknya. Hal ini menuntut kiprah hukum syar’i yg lebih besar untuk menjawab semua masalah yg terjadi. Para Sahabat, jika mereka menemukan kasus yang perlu pada cari penyelesaian hukumnya, maka pertama kali mereka mencari hukumnya pada Al Qur’an. Dan apabila tidak ditemukan hukumnya pada Al Qur’an, dicarinya pada hadis Nabi, serta jika tidak ditemukan pada keduanya, baru mereka melakukan ijtihad. Akan namun diantara output ijtihad para Sahabat pun kadangkala terjadi perbedaan pendapat. Sebagai contohnya disparitas pendapat antara Umar b. Khattab dengan Ali b. Abi Thali, kasus iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal mangkat suaminya.

II. MACAM-MACAM TAFSIR FIQHY
Macam-macam tafsir fiqhy, pembagiannya berdasarkan pada macam-macamnya mazhab yg ada. Dan buat mengenalnya Penulis mengambil datanya berdasarkan Al-Tafsi wal mufassirun, dan menjadi pelengkapnya diambil berdasarkan Jurnal Al-Hikmah.10 

Adapun macam-macamnya sebagai berikut :
A. Tafsir fidhy mazhab Syi’ah Imamiyah isna A’syariyah diantaranya :
1. Ayat Al ahkam, sang Muhammad ibn Sa’ib Al Kalbi (wafat 146 H/763 M).
2. Tafsir Al-khamsimi’at, sang Muqatil Ibn Sulaiman Al Khurasani Al Balkhi (wafat 15 H/767 M).
3. Tafsir Ayat Al Ahkam, sang Hisyam Ibn Muhammad Ibn Sa’ib Al-Kalbi Al Kufi (206 H/821 M).
4. Ahkam Al Ahkam, oleh ‘Abbad ibn Abbas Al Thaliqani.
5. Syarh Ayat Al Ahkam, sang Isma’il ibn ‘Abbad.
6. Al Ibanah ‘an Ma’ani Al Qira’at, sang makki ibn Abi Thalib Al Qaysi (437 H/1045 M).
7. Fiqh Al Qur’an fi Ayat Al Ahkam, oleh Quthb Al Din Al Rawandi.
8. Tafsir Al Ayat Al Ahkam, oleh Muhammad ibn Husein Al Bayhaqi Al Hisyaburi ( 576 H/1180 M).
9. Al Nihayah Fi tafsir Al Khamsimi’at Al Ahkam, sang Ahmad ibn ‘Abd Allah Mutawwaj Al Bahrayni (771 H/1369 M).
10. Kanz Al ‘Irfan fi Fiqh Al Qur’an, sang Fadhil Niqbad ibn ‘Abd Allah Al Suyuri Al Asadi Al Hilli (826 H/1423 M). Dan masih poly lagi yg belum tercatat.

B. Tafsir Fiqhy mazhab Syi’ah Zaydiyah, di antaranya :
1. Syarh Ayat Al Ahkam, oleh yahya ibnu Hamzah Al Yamani (749 H/1348 M).
2. Ayat Al Ahkam, oleh Ahmad ibn Yahya Al Yamani, tidak dicetak.
3. Syarh Ayat Al Ahkam, oleh Muhammad ibnu yahya Sha’di Al Yamani.
4. Ayat Al Ahkam, oleh Husayn Al ‘Amri Al Yamani (1380/1960).
5. Syarh Ayat Al Ahkam, oleh yahya ibn Muhammad Al hasani, nir dicetak.
6. Syarah Al khamsimi’at Ayat, sang Husayn ibn Ahmad Al Najry (abad 8 H).
7. Al Tsmarat Al Yani’ah Wa Al Ahkam Al Wadhihah Al Qathi’ah, sang Syamsuddin ibnu Yusuf ibn Ahmad (a bad 9 H).
8. Muntaha Al Maram, sang Muhammad ibnu Husain ibnu Qasim (abad 8H).

C. Tafsir fiqih mazhab Hanafi, di antaranya :
1. Ahkam Al Qur’an, oleh ‘Aliibn Hajar Sa’pada Al Azdi Al Thahawisani (wafat 244 H/858 M).
2. Ayat Al Ahkam, sang ‘Ali ibn Musa (35 H/917 M).
3. Ahkam Al Qur’an, oleh Ahmad ibn Muhammad Al Azdi Al thahawi Al Mishri (370 H/933 M).
4. Syarh Ahkam Al Qur’an, oleh Ahmad ibn ‘Ali Al Razi (Al Jashshash (370 H/980 M).
5. Mukhtashar Ahkam Al Qur’an, sang Makki ibn Abi Thalib Al Qaysi Al Qayrwani (437 H/1045 M).
6. Anwar Al Qur’an fi Ahkam Al Qur’an, sang Muhammad Kafi ibn hasan Al Basandi Al Iqhishari (1025 H/1616 M).
7. Anwar Al Qur’an fi Ahkam Al Qur’an, sang Muhammad Syams Aldin Al Harawi Al bukhari (119 H/1697 M), tidak di cetak.
8. Ahkam Al Qur’an, sang Isma’il Haqqi (1127 H/1715 M).
9. Madarik Al Ahkam dan Anwar Al Qur’an, sang ‘Abd Allah Al Balkhi (1189 H/1775 M), nir dicetak.
10. Ahkam Al Qur’an, sang ‘Abd Allah Al husayni Al Hindi.
11. Nayl Al Murad min tafsir Ayat Al Ahkam, sang Muhammad Shiddiq Al Bukhari (1307 H/1889 M).
12. Al Tafsirat Al Ahmadiyah fi Al Ayat Al Syari’ah, sang Mula Beon pada india (abad 11 H).

D. Tafsir Fiqhy mazhab Maliki, diantaranya :
1. Ahkam Al Qur’an , Oleh Ahmad ibn mudhal (240 H/854 M).
2. Ahkam Al Qur’an, oleh Muhammad ibn ‘abd Allah (Ibn Al hakam) (268 H/881 M).
3. Ayat AL Ahkam, oleh Isma’il ibn Ishaq Al Azdi (282 H / 895 M)
4. Ayat Al Ahkam, oleh Al Qasim ibn Ashbagh Al Qurthubi Al Andalusi (304 H / 916 M)
5. Ahkam Al Qur’an, oleh Muhammad ibn Al Tamimi (305 H / 917 M)
6. Ahkam Al Qur’an, oleh Musa ibn Al ‘Abd Al Rahman (Qattan) 306 H / 918 M)
7. Ahkam Al Qur’an, sang Muhammad ibn Al Qosim (ibn Al Qurtubhi)
8. Ahkam Al Qur’an, sang Ahmad ibn ‘Ali (Al Baghati)
9. Ayat Al Ahkam, oleh Muhammad ibn ‘Adb Allah Al Andalusi (Ibn Al ‘Arabi) wafat th 543 H / 1148 M
10. Ahkam Al Qur’an, oleh ‘Abd Al Mun’im ibn Muhammad Al Andalusi Al Gharnathi (597 H / 1200 M)
11. Ayat Al Ahkam, sang Yahya ibn Sa’dun Al Azdi Al Andalusi
12. Jami’ Ahkam Al Qur’an Al Mubin, oleh Muhammad ibn Ahmad Al Anshari Al Kazrazi (671 H / 1272 M)

E. Tafsir Fiqhy Mazhab Syafi’i , antara lain :
1. Ahkam Al Qur’an, sang Al Kaya Al Haras (Abad 6 H)
2. Al Kaul Al Wajiz fi Ahkam Al Kitab Al Aziz, sang Syihabuddin Al Halabi
3. Ahkam Al Kitab Al Mubin, sang Abdullah Mahmud Al Syanfaki, (abad 9 H)
4. Iklil fi Istinbath Al Tanzil, oleh Jalaluddin Al Suyuthi, (abad 10 H)
5. Ahkam Al Qur’an, sang Muhammad ibn Idris Al Syafi’i (204 H)
6. Ahkam Al Qur’an, oleh Ibrahim ibn Khalid (Abu Tur Al Kalbi)

F. Tafsir Fiqhy Mazhab Hanbali, antara lain :
1. Ayat Al Ahkam, sang Qadhi Abu Ya’la Al Kabir (458 H / 1066 M)
2. Ayat Al Ahkam, oleh Muhammad Abu Bakar Al Dimasyqi Al Razi, (Ibn Al Qayyim Al Jawzi) (751 H / 1350 M)

G. Tafsir Fiqhi Mazhab Zahiri, diantaranya :
1. Ahkam Al Qur’an, oleh Dawud ibn ‘Ali Al Zhahiri Al Isfahani
2. Ahkam Al Qur’an, sang ‘Abd Allah ibn Ahmad (ibn Al Muflis)

Untuk mengenal tafsir fiqhy lebih dalam lagi, perlu diketahui secara detail, beberapa tafsir fiqih yg terkenal diantaranya :

1. Ahkam Al Qur’an (Al Jashshash)
Kitab tafsir ini dikarang oleh Abu Bakr Ahmad ibn ‘Ali Al Razi, yang cukup populer dengan sebutan Al Jashshash. Ia adalah imam fiqh Hanafi dalam abad ke 4 (empat) Hijriyah, kitabnya ditinjau menjadi kitab tafsir fiqh yang terpenting, terutama bagi pengikut mazhab Hanafi.

Al Jassas pada kitabnya ini, sudah memaparkan semua surat-surat Al Qur’an, namun dia banyak menyebutkan panjang lebar mengenai ayat-ayat yg ada relevansinya dengan aturan. Sistimatiska yang digunakan merupakan urutan bab per bab, sebagaimana yg dikenal pada kitab fiqh dan setiap bab diberi judul (nama bab), dimana penulis selanjutnya menjelaskan keterangannya pada dalamnya. Menurut Husein Al Zahabi, kitab Al Jassas ini lebih terkesan sebagai buku fiqh Muqarin, ketimbang tafsir fiqih, karena Al Jassas nir hanya memberitahuakn aturan yang dapat diistinbathkan berdasarkan suatu ayat, akan namun lebih jauh ia mengungkapkan banyak sekali perkara fiqh yg telah diperselisihkan sang para Imam Fiqh. Dan Al Jassas pun banyak menonjolkan sikap fanatiknya terhadap mazhab Hanafi dan menolak pendapat-pendapat Imam yg lainnya.

2. Ahkam Al Qur’an (Oleh Kiya Al Haras)
Tafsir fiqhy Kiya Al Haras ini bercorak mazhab Imam Syafi’i dan ia sendiri merupakan pakar fiqh Syafi’i pada awal abad ke 6 H. Tafsir ini dianggap menjadi buku tafsir fiqh Syafi’i yang terpenting sebagaimana tafsir Al Jassas. Kesamaan antara kedua tafsir ini dengan yg lainnya merupakan fanatisme mazhabnya yang amat menonjol. Fanatisme pengarang nampak jelas pada muqaddimah tafsirnya. Akan tetapi ia tidak hingga mencela Imam-imam yg lain sebagaimana yg dilakukan Al Jassas.

3. Ahkam Al Qur’an (Ibn Al ‘Arabi)
Dalam kitabnya ini Ibn Al ‘Arabi menggunakan sistem pembahasan dengan mengungkapkan satu surat, kemudian menjelaskan beberapa ayat yg di dalamnya masih ada hukum-aturan. Kemudian ia menjelaskan ayat hukum tadi satu pesatu, misalnya pada ayat pertama masih ada 5 perkara, dalam ayat ke 2 7 kasus serta seterusnya.

Corak lain yg sebagai karakteristik tafsir ini merupakan kecenderungannya dalam istinbath aturan tetap merujuk kepada bahasa Arab, sangat menghindari cerita-cerita israiliyyat yang penggunaan hadis-hadis dla’if. Disamping fanatisme Maliki permanen ada, akan tetapi pula banyak terlihat sikap kenetralan Ibn Al ‘Arabi pada banyak hal, sehingga seringkali kali tafsir ini dijadikan tujukan umum, meskipun bermazhab Maliki.

4. Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an (tafsir Al Qurthubi)
Kitab ini dikarang sang Imam Abi ‘Abdillah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Bakar ibn Farih Al Qurthubi, yg hayati pada abad 7 Hijriyah dna adalah seorang Mufassir ternamka pada Spanyol.

Pada Muqaddimah, Al Qurthubi mengungkapkan maksud penulisan tafsir dan cara penulisan yang dipakainyta. Ia tergerak hatinya buat menulis kitab tafsir, menjadi jawaban tantangan yg berkembang berdasarkan kaum rasionalis Mu’tazilah, Al Rawafidah, filosuf serta ekstrim sufi lainnya. Jawaban tersebut dia tuangkan melalui karyanya yg nir hanya membatasi diri pada ayat-ayat aturan, akan tetapi juga menafsirkan ayat-ayat lain secara menyeluruh. Cara yg ditempuh merupakan menjelaskan asbabu al nuzul, menghubungkan pendapat-pendapat yg lain, menyediakan paragraph khusus bagi kisah mufassir dan mengutip ungkapan Ulama’ terdahulu.

Yang terpenting menurut buku ini dibanding dengan kktab tafsir fiqih lainnya merupakan perilaku netral dan tiadanya fanatisme Al Qurthubi terhadap mazhab Mailikinya. Penjelasan-penjealsan di sertai detail detail yang ditinjau benar meskipun dalil tersebut datangnya menurut selain mazhab Maliki.

5. Kanz Al Irfan Fi Fiqh Al Qur’an
Kitab tafsir ini dikarang oleh Miqdad ibn ‘Abd Allah Al Suyuri Al Asadi Al Hilli, beliau wafat dalam tahun 826 H / 1423 M, yg menganut mazhab Syi’ah Imamiyah Isna Asyari’ah. Sistematika pembahasan tafsir ini memakai cara pembagian per bab-bab kemudian berdasarkan topik-topik tersebut dijelaskanlah ayat-ayat yang berkenaan dengannya, misalnya Bab Thaharah, selanjutnya Penulis mengungkapkan satu per satu ayat-ayat yang terdapat hubungannya menggunakan thaharah serta mengeluarkan hukum darinya. Alasan-alasan yang menguatkan mazhabnya, pula disertai dengan penolakannya terhadap mazhab lain. Menurut Al Zahaby, argumen yg dikemukakan oleh Al Suyyuri bersumber kepada 2 hal, yaitu dalil Aqli dan dakwaan bahwa apa yg disampaikannya merupakan hal yg diajarkan sang Ahl Al Bait. Sehingga menciptakan dalil-dalil yang digunakan banyak yg lemah, dan hal ini dilakukan hanya semata buat membela pendapat atau mazhabnya Syi’ah.

IV. KEKURANGAN DAN KELEBIHAN TAFSIR FIQHY
Setiap kali kita dihadapkan pada suatu evaluasi kebaikan serta kebenaran atas segala sesuatu yg menyangkut kebenaran Agama, maka wajib bersikap hati-hati, termasuk penilaian terhadap tafsir fiqhy ini, apalagi tafsir fiqhy ini adalah karya para Ulama sekaligus Fuqaha’ yang sangat commit terhadap agamanya. Tapi hal ini bukan berarti kita harus menerima apa adanya tanpa sikap kritis, karena sepanjang penafsiran itu dilakukan oleh insan menggunakan cara dan metode yang baik sekalipun, tetap tak tanggal berdasarkan kelemahan dan kekurangannya. Memang Al Qur’an sebagai firman Tuhan merupakan sempurna, tidak mengandung kekurangan serta kotradiksi sedikitpun, tapi penafsirannya mampu terjadi nir paripurna lantaran dilakukan sang insan yg nir paripurna seperti Tuhan.

Disamping itu, menurut Al Zahaby, bahwa keahlian seorang pada disiplin ilmu tertentu sangatlah mempengaruhi terhadapa rona atau corak tafsir yg ditulisnya, misalnya pakar nahwu akan menekankan penafsiran pada kasus I’rab, pakar filsafat akan memusatkan perhatiannya pada pemikiran-pemikiran para filosuf, ahli sejarah akan poly mengemukakan tokoh-tokoh serta peristiwa-peristiwa masa lampau, para pakar sufi, juga akan menaruh penafsiran hal-hal yg bersifat bathini, begitu juga para ahli fiqh, juga akan memusatkan perhatiannya pada kasus-perkara aturan, lengkap menggunakan cabang-cabangnya dan dalil-dalilnya, yang jua tak tanggal dari dampak mazhab yg diyakininya. Dan seluruh Penafsir, sangatlah dipengaruhi sang tempat serta zaman mereka hayati.

USHUL FIKIH INTEGRATIFHUMANIS SEBUAH REKONSTRUKSI METODOLOGIS

Ushul Fikih Integratif-Humanis : Sebuah Rekonstruksi Metodologis
A. Iftitah 
Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fikih memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil ‘ālamîn. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan humanis berdasarkan ajaran Islam sangat dipengaruhi sang bangunan ushul fikih itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ aturan Islam, ushul fikih menempati poros serta inti dari ajaran Islam. Ushul fikih menjadi arena buat menelaah batasan, dinamika dan makna interaksi antara Tuhan serta manusia. Melihat manfaatnya yang demikian, rumusan ushul fikih seharusnya bersifat bergerak maju dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat bergerak maju dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis berdasarkan tugas ushul fikih yg harus selalu berusaha menselaraskan problema humanisme yg terus berkembang menggunakan pesat dan akseleratif dengan 2 sumber rujukan utamanya, al-Qur`an serta as-Sunnah, yg sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yadûru ma`a ‘illatihî wujûdan wa `adaman. 

Tidak diragukan lagi bahwa metodologi ushul fikih memiliki keluasaan serta baku yg majemuk sinkron dengan jenis persoalan yg dipandang. Ada masalah aturan fikih yang berhubungan dengan ritual ibadah shalat, puasa, zakat dan haji. Tetapi karena penerangan nash demikian banyak dan detail sehingga ijtihad tidak mampu memasuki wilayah ini. Pemahaman pakar fikih hanya sekadar menghimpun banyak sekali nash itu serta menghubungkan menggunakan nash lain sehingga menciptakan citra utuh tentang ibadah. Dengan demikian, persoalan ushul fikih hanya berkisar dalam duduk perkara interpretasi nash menggunakan mempergunakan konsep-konsep pada prinsip ilmu tafsir misalnya menyelidiki makna umum serta spesifik, pertentangan (ta`ārudl), dalil isyarat, mafhum mukhālafah serta lain sebagainya.

Secara generik, kajian ushul fikih juga tidak terlepas menurut citra pada atas, banyak berkutat dalam wilayah privat serta domestik misalnya perkawinan, waris, hak dan kewajiban suami-isteri, perlakuan terhadap jenazah, selain yg bersifat ritual seperti tata cara ibadah bersama syarat serta rukunnya, hal-hal yg membatalkan, tatakrama beribadah dan lain sebagainya. Untuk wilayah publik konemporer tidak terlalu banyak disentuh sang literatur ushul fikih klasik yg terdapat selama ini misalnya bagaimana kebijakan fiskal dan moneter, ekspor-impor, etika dan ketentuan bergaul dalam rakyat multikultur serta multirelijius, pemanfaatan sarana keterangan teknologi dalam ibadah, menangkal kejahatan berbasis cyber crime, bom bunuh diri ala teroris yg diyakini menjadi jihad fi sabilillah, gosip HAM serta gender, traficking, kapitalisasi ekonomi, bentuk ketaatan terhadap ulil amri dalam konteks sistem pemerintahan modern yang sekuler serta lain sebagainya. Semuanya menjadi tidak banyak disentuh serta dibahas dikarenakan memerlukan tenaga serta keberanian yg luar biasa untuk nir sekedar merangkai nash serta nash yang tersedia dengan tanpa mempergunakan aneka macam disiplin keilmuan yang lain kedalamnya, baik social and natural sciencies ataupun humanities yg selama ini dipercaya berada pada luar daerah ulum al-din dan bersifat mubah hukumnya buat mengetahui atau sekedar mempelajarinya.

Ketidak beranian melakukan penelitian dan kajian kritis itu kemudian dirasionalisasikan menggunakan argumen: Apa yang telah dihasilkan para imam mazhab dan para pendukungnya sudah final serta apapun produk pemikiran mereka wajib diterima menjadi berlaku “sekali buat selamanya”. Akibatnya, tradisi keilmuan yg berlangsung kemudian merupakan tradisi syarh dan hāsyiah atas matn yg dirumuskan sang ulama terdahulunya. Generasi berikutnya merasa sudah relatif atas temuan serta rumusan yang dibuat oleh generasi terdahulu, mereka hanya memoles (talwis) dan mengomentari serta memberikan anotasi secukupnya tanpa daya kritis sedikitpun.

Aktifitas syarah dan hāsyiah ini bermula semenjak meninggalnya para imam mazhab dan para tokoh mazhab generasi pertama misalnya Abu Yusuf dan Muhammad ibn Hasan pada mazhab Hanafi; Ibn Qāsim serta al-Ashāb dalam mazhab Malikī; al-Muzanī serta al-Buwaithi dalam mazhab al-Syafi'ī; serta al-Atsrām dalam mazhab Hanbalī. 

Maraknya tradisi syarah dan hāsyiah dikalangan umat Islam ketika itu yang sang Nurcholis Madjid disebut menggunakan pseudo-ilmiah ditandai menggunakan semakin menurunnya taraf kreativitas serta orisinalitas intelektual umat Islam. Stagnasi keilmuan ini sebagai ongkos sangat mahal yg wajib dibayar sang umat Islam sebagai akibat dari ketidakberanian mereka mengambil resiko galat dalam melakukan penelitian (istiqrā’) yang lalu dirumuskan serta dirasionalisasikan dengan argumen sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh para imam mazhab. Periode taklid dan fanatisme terhadap mazhab semakin massif pada masyarakat Islam menggunakan diproklamirkan seruan pintu ijtihad sudah tertutup. 

Ibrahim Hosen mencatat ada empat alasan utama yg melatari seruan tersebut, pertama, hukum-hukum Islam dalam bidang ibadah, mu’āmalah, munākahat, jināyat dan lain sebagainya sudah lengkap serta dibukukan secara naratif dan rapi, karena itu ijtihad pada bidang-bidang tadi sudah nir diharapkan lagi. Kedua, secara umum dikuasai Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, karenanya penganut mazhab Ahl al-Sunnah hendaknya memilih salah satu berdasarkan mazhab yg empat serta tidak boleh pada luar itu. Ketiga, membuka pintu ijtihad, selain hal itu percuma dan membuang waktu (tahsil al-hāsil), hasilnya akan berkisar pada aturan yg terdiri atas gugusan pendapat 2 mazhab atau lebih, hal semacam ini terkenal menggunakan istilah talfiq di mana kebolehannya masih diperselisihkan di kalangan ulama ushul. Yang terakhir adalah fenomena sejarah menampakan bahwa sejak awal abad ke-4 H sampai kini , tak seseorang ulama pun yang berani memproklamirkan dirinya atau diproklamirkan oleh para pengikutnya sebagai seseorang mujtahid mutlaq mustaqil setingkat ke empat imam mazhab. Hal ini memperlihatkan bahwa syarat-syarat berijtihad itu memang sangat sulit, buat nir dikatakan mustahil adanya. Argumen ini menurut Ibrahim Hosen ternyata juga diperkuat oleh keputusan hasil sidang Lembaga Penelitian Islam al-Azhar di Kairo pada bulan Maret 1964.

Berkenaan menggunakan itu, Hassan Hanafi menyebut produk pemikiran Islam masa lalu itu sebagai al-turāş (warisan budaya) yang mempunyai 3 ciri pokok, yaitu: al-manqul ilainā (sesuatu yang kita warisi), al-mafhum lanā (sesuatu yg kita fahami) serta al-muwajjih lisulūkinā (sesuatu yg mengarahkan konduite kita). Dari sini perputaran roda budaya serta tradisi pemikiran Islam senantiasa menggelinding dalam alur “mobilitas statis” (harakat sukūn) lantaran mobilitas sejarahnya tidak mengkristal dalam produksi hal-hal baru, melainkan pada reproduksi hal-hal usang dalam bingkai pemahaman tradisional atas al-turāş. 

Kebutuhan akan kerangka metodologi baru yang mempergunakan pendekatan integratif-interkonektif menggunakan berbagai entitas disiplin keilmuan ‘sekuler’ menjadi yang tidak mampu dihindari oleh ushul fikih jika permanen menghendaki bisa survive pada merespon setiap dilema sosial kemasyarakatan yg berkembang demikian bergerak maju serta akseleratif ini agar ushul fikih tetap sinkron dengan jargonnya, alhukm yadūru ma`a illatihi wujūdan wa adaman sebagai akibatnya bisa permanen shālih likulli zamān wa makān.

B. Ushul fikih dalam Islamic Studies
Secara epistemologis, perkembangan pemikiran Islam menurut al-Jābiri mencakup tradisi bayani, irfani dan burhani. Tradisi bayani berkembang paling awal serta tipikal dengan kultur kearaban sebelum dunia Islam mengalami kontak budaya secara massif-akulturatif. Tradisi bayani sudah mencirikan al-ma`qul al-dīnī al-‘arabī (rasionalitas keagamaan Arab) serta menelorkan produk intelektual ilmu kebahasaan serta keagamaan. Pada masa tadwin, al-Syafi’i dievaluasi menjadi galat satu teoritikus primer formulasi tradisi bayani. Di antara sumbangan krusial al-Syafi’i pada proses formulasi epistemologi bayani adalah pemikiran ushul fikihnya yang telah memposisikan al-Sunnah dalam posisi ke 2 dan berfungsi tasyri`, memperluas cakupan pengertian al-Sunnah melalui pengidentikan al-Sunnah menggunakan kandungan hadis yang asal menurut Nabi, serta mengikat erat ruang gerak ijtihad menggunakan nash.

Dalam bayani, posisi nash sedemikian sentral sehingga kegiatan intelektual senantiasa berada pada haul al-nash (lingkar teks) dan berorientasi dalam reproduksi teks (istişmār al-nash). Nalar bayani bertumpu pada “sistem ihwal” yg concern terhadap rapikan interaksi perihal mulut (kalam) --bukan “sistem nalar” yg berkaitan dengan tata interaksi fenomena realitas logis—sehingga bahasa Arab menjadi otoritas acum epistemologis nalar Arab Islam. Dengan demikian, validitas pengetahuan yg dihasilkan menurut kegiatan intelektual tersebut dituntut “korespondensial” menggunakan makna linguistikal teks. Selain itu, validitas pengetahuan jua dituntut buat “analogis” menggunakan teks yg telah dijadikan menjadi al-ashl tersebut. Tata hubungan pada perihal lisan yang memang dibuat secara sosial lebih bersifat arbitrer, karena interrelasinya berlandaskan dalam prinsip mabda` al-tajwiz (keserbabolehan). Selanjutnya, prinsip ini selesainya bertemalian menggunakan Kuasa Absolut Tuhan melahirkan cara pandang okasionalistik terhadap empiris. Tindakan Tuhan terhadap segala sesuatu di alam ini digambarkan secara atomistik, sehingga seakan tidak ada prinsip kausalitas yang mendasari terjadinya segala sesuatu tersebut.

Setelah dunia Islam mengalami hubungan massif-akulturatif menggunakan budaya luar serta mengintrodusir khazanah ‘ulūm al-awāil (ilmu-ilmu kuna), khususnya dari tradisi Persia, maka nalar gnostik pun mulai berkembang pada diskursus intelektual Islam serta melahirkan epistemologi irfani. Nalar ini bertumpu pada klaim atas kemungkinan terjadinya penyatuan spiritual menggunakan daya-daya rohaniah samawi serta menduga rasio sebagai ‘tirai’ penghalang antara jiwa insan dengan Tuhan, bukan rasio yg mampu menerima pengetahuan menurut asal aslinya (Tuhan) melainkan hati (bisikan hati) yang telah mengalami kondisi kasyf. Orang-orang suci yg telah mencapai maqam walāyah serta nubuwwah diyakini memiliki pengetahuan tadi sehingga terjaga menurut kesalahan (`ishmah). Secara hierarkhis, jenis pengetahuan semacam ini dipercaya berada pada posisi paling tinggi serta prasyarat pemerolehannya amat bergantung pada mujāhadah dan riyādah. Pengetahuan spiritual-sufistik yg menyedot perhatian primer para eksponen epistemologi irfani tidak hanya dalam domain keagamaan (wahyu) tetapi juga dalam domain kealaman.

Masuknya impak pemikiran Yunani (Hellenistik) ke pada tradisi pemikiran Arab Islam berlangsung lebih belakangan dan disinyalir berkaitan dengan kebijakan al-Makmun buat berbagi diskursus baru menjadi counter terhadap gerakan intelektual-politis yg dievaluasi mengancam kekuasaannya. Pengaruh yang ditimbulkan sang masuknya pemikiran Yunani adalah introduksi al-aql al-kauni (akal universal, universal reason) yang sebagai basis utama epistemologi burhani. Epistemologi ini bertumpu sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual manusia, indera dan daya rasional buat pemerolehan pengetahuan mengenai semesta, bahkan jua bagi solidasi perspektif empiris yang sistematis, valid dan postulatif.

Hal ini sejalan misalnya disampaikan oleh Abu Sulaiman bahwa epistemologi ilmu ushul fikih klasik merupakan tekstualisme dan mengabaikan empirisisme. Penekanan yg besar pada kajian teks mengabaikan pengetahuan rasional sistematis yang berkaitan dengan hukum serta struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan yg digunakan selalu deduktif bukan induktif. Temuan ini diperkuat sang Arkoun bahwa yg sebagai kesamaan pemikiran Arab klasik merupakan tekstualisme.

George Makdisi menggunakan teori tradisionalis-rasionalis menyatakan bahwa ada dua kategori epistemologi ilmu ushul fikih klasik, tradisionalistik serta rasionalistik. Kategori pertama disebut tradisional karena berpegang dalam keunggulan faith (kepercayaan pada wahyu) sedangkan kategori ke 2 lantaran berpegang dalam keunggulan nalar. 

Sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fikih jua merupakan cabang ilmu yang dalam poly hal berkaitan menggunakan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam. Ushul fikih menjadi disiplin yang menyelidiki hukum, bukan hanya menilik kasus-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan jua melihat masalah aturan menjadi perkara epistemologi. 

Dengan istilah lain, ushul fikih nir hanya berisi analisis tentang argumen dan penalaran aturan belaka, akan namun pada dalamnya jua terdapat pembicaraan tentang logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi aturan. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fikih telah menyentuh epistemologi kontemporer. 

Dalam sejarahnya, ushul fikih lahir bersamaan dengan pertumbuhan dan dinamika cabang-cabang ilmu Islam lainnya yang memiliki karakter historis yg bhineka. Dalam babak zenit pertumbuhannya keberadaan ushul fikih ini telah memposisikan hukum Islam (fikih) menjadi disiplin ilmu yg sangat terhormat dan dominan bila dibandingkan menggunakan cabang-cabang ilmu lainnya. Namun demikian, keluarnya ilmu ushul bukanlah sama sekali a-historis atau lahir begitu saja tanpa terkait menggunakan back-ground historis pada zamannya. Sementara teori umum berkata bahwa lahirnya sebuah pemikiran selalu berbanding lurus dengan syarat zamannya. Teori-teori ushul fikih yg timbul semenjak zaman Sahabat dalam dasarnya merupakan jawaban terhadap duduk perkara-masalah aturan yang ada pada saatnya. Sehingga metode ijtihad yg diterapkan sang generasi pertama umat Islam tadi adalah kenyataan sejarah yang kemunculannya secara “natural” belum merujuk pada asal teori yang standar. Lantaran memang pada periode itu ushul fikih belum menjadi disiplin ilmu yg mandiri serta memiliki landasan epistemologi yg kokoh.

Demikian juga, istinbat yang berkembang serta “berserakan” serta belum terkodifikasi pada masa generasi pertama hingga keluarnya al-Risalah karya Muhammad Idris al-Syafi’i dalam tahun 203 H, adalah fenomena sejarah yang sangat kentara variabel dan determinannya. Belum berkembangnya alat bantu tulis---kertas contohnya---juga menentukan format tradisi kajian ushul yg lebih poly bi al-lisān serta bukan bi al-kitābah. Tradisi keilmuan yang demikian juga menentukan bangunan ilmu menurut output kajian yg belum mapan pondasi epistemologinya karena masih terbuka dan bergerak maju. Dalam kenyataannya, ushul fikih telah mengalami banyak sekali ragam pertumbuhan, penyaringan, modifikasi dan penerapannya oleh para ulama mulai generasi salaf sampai abad terkini kini ini.

Menurut George Makdisi, sebagian besar kitab ushul fikih pada kenyataannya membicarakan mengenai perkara-perkara yang tidak termasuk bidang kajian ushul fikih, tetapi lebih merupakan bidang kajian ilmu kalam dan filsafat aturan. Adapun perkara-perkara yang sebagai kajian ke 2 bidang tersebut adalah, pertama, masalah ketentuan mengenai yang baik dan tidak baik. Kedua, interaksi antara logika serta wahyu, ketiga, kualifikasi perbuatan-perbuatan sebelum adanya wahyu. Keempat, larangan serta kebolehan. Kelima, pembebanan tanggungjawab serta kewajiban pada atas kemampuan seseorang, serta yang keenam, pembebanan kewajiban hukum berdasar hal-hal yang belum ada. 

Sebagai perintis, al-Syafi’i berdasarkan Joseph Schacht tidak memperhitungkan pertanyaan-pertanyaan yg berkaitan menggunakan filsafat aturan, yaitu adakah setiap perbuatan dalam dasarnya dilihat boleh bila tidak terdapat larangan yang mengecualikan, atau suatu perbuatan pada dasarnya tidak boleh, apabila nir ada kebolehan yg mengecualikan. Schacht menyatakan bahwa al-Syafi’i memfokuskan kajiannya secara amat bertenaga pada aturan positif.

Sehubungan dengan hal tadi berikut penulis kutip agak panjang tulisan Amin Abdullah waktu memulai pembahasannya tentang islamic studies, utamanya dalam memberikan penilaian terhadap keilmuan fikih:

Several contemporary Muslim thinkers, including the late Fazlur Rahman, Muhammed Arkoun, Hassan Hanafi, Muhammad Shahrur, Abdullahi Ahmed al-Na`im, Riffat Hassan and Fatima Mernisi draw our attention to the academic paradigms of fiqh (Islamic jurisprudence) and kalam (Islamic theology). Fiqh, and Kalam in the same time with its implications for the perspectives and social institutions within Islamic life, is considered too rigid, and accordingly not responsive enough to the challenges and demands posed by terkini life, especially in matters connected to hudud, human rights, public law, women, environment and views about non-Muslims. Although the door to interpretation (ijtihad) has been opened—and many also believe that in fact it was never closed, it still remains `ulum al-din, and especially the sciences of fiqh and kalam still do not dare to approach, let lone enter that door that is always open. Explicitly, the science of fiqh, which influences the perspective and social order of institutions in Muslim societies, holds back from touching on or entering into dialogue with the new sciences that appeared in the 18th and 19th centuries like anthropology, sociology, cultural studies, psychology, philosophy and so on.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, sebut saja antara lain Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Muhammad Shahrur, Abdullah Ahmed Na al-Na’im, Riffat Hasan, Fatima Mernissi menyorot secara tajam paradigma keilmuan Islamic Studies, khususnya kerangka berpikir keilmuan fikih. Fikih serta Kalam secara bersamaan implikasinya pada pranata sosial pada Islam dianggapnya terlalu kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman, khususnya dalam hal-hal yg terkait dengan persoalan-dilema hudud, hak-hak asasi insan, hukum publik, wanita, lingkungan serta pandangan non muslim. Meskipun ijtihad sudah dibuka-- banyak juga yg beropini bahwa sebenarnya pintu ijtihad nir pernah ditutup-- tetapi tetap saja ‘ulum al-din, khususnya ilmu Syari’ah atau ilmu-ilmu fikih tidak dan belum berani mendekati, apalagi memasuki pintu yg selalu terbuka tersebut. Tegasnya, ilmu-ilmu fikih yang berimplikasi dalam tatanan pranata sosial pada masyarakat muslim belum berani dan selalu menahan diri buat bersentuhan dan berdialog eksklusif dengan ilmu-ilmu baru yg timbul dalam abad ke 18-19, seperti antropologi, sosiologi, budaya, psikologi, filsafat dan seterusnya.

Sorotan Amin Abdullah di atas sebenarnya sejalan dengan sinyalemen dari seseorang Guru Besar Hukum Islam pada UCLA School of Law, Khaled Abou El Fadl. Khaled menyatakan bahwa sebenarnya sudah sejak abad ke-2H/8M sudah timbul pemegang otoritas yg sangat hebat serta luar biasa kuatnya buat sebagai pesaing otoritas Nabi Muhammad dan para khalifahnya yang empat, yaitu Syari`ah (hukum Tuhan) yang dibuat, tersaji, serta dihadirkan sang sekelompok profesional tertentu yg dikenal dengan sebutan fuqaha (para ahli hukum). Lebih lanjut Khaled mengatakan:

It is fair to say that from the very beginning of Islam, the precedents of the Prophet and the Companions as well as the Quranic laws formed the nucleus that would eventually give rise to a specialized juristic culture in Islam. But itu is only after the development of juristic corps ad the development of a technical legal culture with its specialized language symbols, and structures that Islamic law acquired consistent institutional representation. By the fourth/tenth century, the authoritativeness of the Prophet had become firmly and undeniably deposited in the idea or concept of Islamic law and in the representatives of Islamic law, the jurists of Islam!

Adalah benar buat dikatakan bahwa sejak masa awal Islam, model-model yg diberikan Nabi dan para Sahabatnya serta juga ketentuan-ketentuan al-Qur`an sudah menciptakan dasal-dasar yg akhirnya melahirkan budaya aturan Islam yang spesifik. Namun, selesainya berkembangnya buku-buku fikih serta budaya aturan yg bersifat teknis dengan bahasa, simbol, dan struktur yg khusus, hukum Islam menjadi wakil berdasarkan sebuah institusi yg mapan. Pada abad keempat/kesepuluh, otoritas Nabi terwujud secara tegas serta kokoh dalam konsep aturan Islam dan para penjaganya, yaitu fuqaha!

C. Rekonstruksi Metodologis: Integrasi-Interkoneksi
Rekonstruksi dimaksud sebagai upaya penyempurnaan atas aneka macam space kosong yg belum dijamah oleh para muallif min a`immat al-mazahib. Meminjam terminologi Arkoun, space kosong itu sanggup masuk kategori yg belum terfikirkan (not yet thought) atau sanggup juga masuk wilayah yg tak terfikirkan (unthinkable) dalam masa itu. Sebagaimana dimaklumi, ushul fikih sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika menggunakan dilema kekinian dan kedisinian. Jadi sangat bisa dimaklumi jikalau output kinerja ushul fikih bersifat lokal serta temporal. Yang justru nir mampu dinalar adalah ketika terdapat klaim yang menyatakan kebalikannya. Ushul fikih adalah rumusan yang final serta sempurna. Dua kata (final serta paripurna) yang pada global keilmuan dikenal menjadi penyakit atau virus yg mematikan. Final serta sempurna tidak akan pernah inheren serta menempel pada sesuatu yg nir paripurna. Final dan sempurna hanya dimiliki oleh Yang Maha Final dan Maha Sempurna. Dus, manusia dengan segala produk dan kreasi (human construct and creation) yg lahir darinya tidak akan pernah sampai pada taraf final serta sempurna ilā yaūm al-qiyāmah lantaran Tuhan tidak akan pernah ridla diserupakan dengan makhlukNya, laisa kamişlihi syai`un fi al-ard wa la fi al-samā.

Sebelum menuju dalam pembahasan rekonstruksi metodologis menggunakan pendekatan integratif-interkonektif, menarik untuk pulang mengutip tulisan Amin Abdullah sehubungan dengan keraguannya akan kemampuan para dosen dilingkungan Departemen Agama menjadi pemegang ujung tombak keilmuan di kampus pada menganalisa serta tahu perkiraan-perkiraan dasar serta kerangka teori yg dipakai sang bangunan keilmuan yang diajarkan (dirāsat islāmiyah, islamic studies) serta implikasi dan konsewensinya pada daerah praksis sosial-keagamaan. Berikut kutipannya:

Quite frankly I am personally doubtful of whether all lecturers teaching Islamic Religious Sciences and Islamic Studies at UIN (the State of Islamic University), IAIN (the State Institute of Islamic Studies) or STAIN (the State College for Islamic Studies) in Indonesia and the Similar Islamic learning or Islamic colleges in all over the Muslim world understand this most fundamental issue very well. They may be teaching branches of Islamic Religious Sciences (Ulum al-Din) that are very detailed, but in isolation without really understanding the basic assumptions and theoretical framework used by that scientific construct or their implications between the epistemological systems of Islamic Religious thought or critique the scientific constructs they teach in order to develop them further. We also must test their ability to connect basic assumptions, theoretical frameworks, paradigms, methods, approaches as well as the epistemology of one scientific discipline with those of another scientific discipline to expand the horizons and scope of scientific analysis.

Terus terang aku eksklusif agak ragu apakah semua dosen yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman pada UIN, IAIN ataupun STAIN di Indonesia atau pada lembaga pembelajaran Islam di semua global muslim memahami menggunakan baik masalah yang amat mendasar. Jangan-jangan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyah), yang mungkin saja telah sangat mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami perkiraan-asumsi dasar serta kerangka teori yang dipakai oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsewensinya dalam wilayah praksis sosial-keagamaan. Apalagi, sampai bisa melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan kritik terhadap bangunan keilmuan yg biasa diajarkan buat maksud pengembangan lebih jauh. Belum lagi kemampuan menghubungkan perkiraan dasar, kerangka teori, kerangka berpikir, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu dispilin ilmu dan disiplin ilmu yang lain buat memperluas horizon dan cakwrawala analisis keilmuan.

Keraguan Amin pada atas sanggup difahami mengingat pola rekanan keilmuan yang ada selama ini masih menganut faham single entity. Faham ini menjamin bahwa bangunan keilmuan yg dimiliki diyakini menjadi yg sanggup merampungkan semua dilema kemanusiaan. Self sufficiency ini mengakibatkan lahirnya cara pandang tunggal dan sempit (narrowmindedness) yg menjadikan pada sikap fanatisme partikularitas keilmuan. Paradigma berfikir yg demikian sebagai cerminan berdasarkan arogansi intelektual serta ini dalam konteks ajaran agama telah masuk pada kategori min al-āfāt al-‘ilmi, virusnya ilmu. 

Para ilmuan pendukung budaya keilmuan yg bersumber dalam teks (hadlārah al-nash) nir menyadari serta nir mau peduli bahwa pada luar entitas keilmuan mereka, ada entitas keilmuan lain yg bersifat praksis aplikatif yang faktual-historis-empiris sebagai akibatnya bersentuhan secara langsung dengan realitas duduk perkara kemanusiaan (hadlārah al-‘ilm) misalnya social sciences, natural sciences dan humanities. Selain entitas hadlārah al-‘ilm, masih ada lagi entitas etik filosofis (hadlārah al-falsafah). Ketiga entitas itu seharusnya saling bertegur sapa, tidak berdiri sendiri lantaran nir terdapat satu disiplin keilmuan yg nir terkait menggunakan disiplin keilmuan lainnya. Ilmu fiqh sebagai model, membutuhkan dukungan hayati serta laboratoriumnya ketika membahas fiqh al-haid, begitu juga ketika mau melakukan ru`yah al-hilal atau menghitung harta waris memerlukan bantuan astronomi dan ilmu hitung semisal matematika atau akuntansi. Demikian jua dengan tafsir, hadis, kalam dan lainnya. Begitu kebalikannya, ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ‘sekuler’ jua membutuhkan muatan nilai-nilai moral keagamaan pada dalamnya.

Jadi telah bukan masanya lagi, keilmuan itu berdiri sendiri secara terpisah (separated entities), apalagi angkuh tegak kokoh sebagai yg tunggal (single entity). Tingkat peradaban humanisme waktu ini yang ditandai menggunakan semakin melesatnya kemajuan serta kecanggihan teknologi berita, tidak memberi alternasi lain bagi entitas keilmuan kecuali saling berangkulan dan bertegur sapa, baik itu dalam level filosofis, materi, strategi atau metodologinya. Itulah yang dimaksud dengan pola pendekatan integrasi-interkoneksi. Apabila nir memungkinkan dilakukan proses integrasi, maka menggunakan memakai pendekatan interkoneksi bisa menjadi pilihannya. Hal ini guna menghindari berdasarkan teralienasinya dirāsat islāmiyah (islamic studies) menurut komunitas keilmuan dunia seperti yang disinyalir sang Ebrahim Moosa, waktu menaruh istilah pengantar kitab Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam: A Study of Fundamentalism, menjadi berikut: 

Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice-versa.

Setelah mengungkap aneka macam persolan interaksi internasional, politik, ekonomi, hal demikian tidak berarti bahwa ilmuan serta pakar-ahli kepercayaan (termasuk di dalamnya ahli-hali ilmu keislaman) harus juga sebagai pakar ekonomi atau politik. Namun, demikian studi kepercayaan akan mengalami kesulitan berat-buat tidak menyebutnya menderita bila pandangan-pandangan nir menyadari dan berkembang pada politik, ekonomi, dan budaya berpengaruh terhadap penampilan dan perilaku keagamaan, begitu jua kebalikannya.

D. Ushul Fikih Integratif-Humanis
Formula ushul fikih integratif-humanis ini dimaksud sebagai produk menurut ushul fikih yg sudah mempergunakan pendekatan integrasi-interkoneksi. Sebuah bangunan ushul fikih yang sudah melakukan sejumlah perubahan dan perbaikan sekaligus pembenahan dalam dua aras sekaligus, mujtahid dan metodologis. Pada daerah mujtahid, penulis setuju menggunakan lima prasyarat yang ditentukan sang Khaled, yaitu: 
  • Kejujuran (honesty) 
  • Kesungguhan (diligence) 
  • Mempertimbangkan aneka macam aspek yg terkait (comprehensiveness) 
  • Mendahulukan tindakan yang masuk akal (reasonablness) 
  • Kontrol dan kendali diri (self restraint). 
Namun kelima persyaratan yg ditawarkan oleh Khaled tersebut, terlebih buat konteks saat ini masih rentan buat dilanggar jika tidak didukung oleh situasi atau orientasi politik yg benar berdasarkan mujtahid. Seperti disinyalir oleh Muhammed Arkoun bahwa adanya intervensi kepercayaan serta politik dalam domain budaya menyebabkan pemikiran kehilangan elan revolusi serta liberasi. Pemikiran menjadi monolitik, kebebasan berfikir dipasung serta anjung dialog terbatas. Politik akan mendominasi dan mengkooptasi kebudayaan serta pemikiran dan pada fase tertentu akan memasung dan menggelapkannya. Oleh karenanya buat lebih menjaga kemurniaan dan keberpihakan mujtahid dalam kebenaran perlu dibubuhi satu persyaratan lagi, yaitu mujtahid wajib :

6. Berada di luar kepentingan politik praktis (independent)
Sementara dalam ranah metodologis aneka macam bentuk yang harus dirombak adalah soal definisi, penempatan dan strategi. Dengan mempergunakan pendekatan integrasi serta interkoneksi, ushul fikih dalam proses istinbāth yg melakukan operasi pada empat wilayah kajian, yaitu ta’shil (mencari originalitas teks) dan ta’wil (mencari originalitas makna) kentara-jelas membutuhkan donasi keilmuan ‘sekuler’ seperti hermeneutika, semiotika, filologi, linguistik serta epistemologi. Sementara dalam proses tatbiq (mewujudkan mashlahah) serta tarjih (mencari pilihan yang terbaik serta rasional) peran serta bantuan menurut sosiologi, antropologi, filsafat, etika, politik, ekonomi serta ilmu-ilmu humanisme lainnya memegang andil yang signifikan. 

Satu hal lagi yang cukup krusial dalam kajian ushul fikih yg perlu segera dilakukan redefinisi, yaitu mengenai definisi al-Hakim. Dalam pembahasan al-Hākim sanggup dipastikan jika ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah akal kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai berdasarkan sahabat sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan tidak sama (buat tidak dibilang niscaya), serta keduanya absah (mushawwibah) meski permanen wajib menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah sudah merekam dengan baik perbedaan itu sahih-sahih terjadi semenjak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak sanggup dipersamakan dan apalagi dipastikan misalnya itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yg sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh karena itu, al-Hakim nir lagi semata Allah, akan tetapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (menggunakan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan. Mereka tidak sanggup lagi mengatasnamakan Tuhan, dan masyarakat nir mempunyai kewajiban yang mengikat buat percaya dan mematuhi output ijtihad mereka. Masyarakat tidak perlu merasa berdosa buat bersikap kritis terhadap segala bentuk fatwa atau ijtihad politik yang dihasilkan mereka, lantaran hasil ijtihad mereka nir bersifat mutlak benar melainkan relatif (zann). Mengikat bagi yang melakukan ijtihad, tapi nir bagi yg nir meyakininya.

E. Ikhtitam 
Demikian ijtihad yg bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa sebagai lecutan bagi kepekaan intelektual kita seluruh buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak serta rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.

Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf serta semoga berguna, amin. Wassalam.

MENUJU USHUL FIQH HUMANITARIAN

Menuju Ushul Fiqh Humanitarian
A. Iftitāh
Masih hangat dalam ingatan umat Islam pada tanah air, bagaimana fatwa MUI yg menyatakan Jemaah Ahmadiyah sebagai grup yg sesat serta menyesatkan sudah berakibat pada tindakan anarkhis dan brutal berupa pendudukan serta penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor yg dilakukan sang umat atas nama Islam, meski kemudian MUI “meralat” dengan menyatakan bahwa MUI tidak menganjurkan cara-cara kekerasan dan anarkhis dalam merampungkan persoalan Ahmadiyah. Tindakan-tindakan serupa jua terjadi pada kasus pro-kontra perumusan RUU APP (Anti Porno), tuduhan murtad yang dialamatkan dalam “malaikat” Lia Aminuddin, pula dalam Roy Saputra karena ‘merilis’ shalat edisi bahasa Indonesia serta aktifitas sweeping terhadap loka-loka maksiat di kota-kota besar yang dilakukan sang sekelompok atau institusi yg mengatasnamakan diri menjadi “jundullah”. Dalam versi yg tidak sama akan tetapi semangat yang sama, bom bunuh diri yang dilakukan sang Amrozi cs pada Bali dan dibeberapa loka syahdan jua atas nama “li`i`lā-i kalimātillāh”.

Selain soal paras Islam Indonesia yg garang serta kaku di atas, masalah lain yg dirasakan sang penulis adalah begitu susahnya tahu ushul fiqh meski telah begitu lama bergelut dengannya. Kesulitan memahami itu menurut su`udzan penulis lebih dalam adanya persoalan epistemologis ushul fiqh yg ada selain faktor-faktor penyokong lainnya.

Kedua faktor pada atas tampaknya nir nyambung. Tapi sebenarnya dari hemat penulis sangat erat berkelindan. Ushul fiqh menjadi sebuah disiplin yang pertama kali digagas asy-Syafi’i sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan Nyazee merupakan ratunya ilmu keislaman (the queen of Islamic sciences). Di samping kedudukannya sebagai salah satu metodologi dalam kajian aturan Islam, ushul fiqh merupakan cabang ilmu yang pada poly hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis serta ilmu kalam. Ushul fiqh menjadi disiplin yg menyelidiki aturan, bukan hanya menilik perkara-perkara aturan serta legitimasi dalam suatu konteks sosial serta institusional, melainkan juga melihat dilema hukum menjadi perkara epistemologi. 

Dengan kata lain ushul fiqh nir hanya berisi analisis mengenai argumen serta penalaran aturan belaka, akan namun di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai akal formal, teologi dialektik, teori linguistik serta epistemologi hukum. Bahkan Arkoun secara tegas beropini bahwa ushul fiqh sudah menyentuh epistemologi kontemporer.

Epistemologi adalah cabang filsafat yang menelaah mengenai hakikat serta pelbagai batasan pengetahuan. Epistemologi menguji suatu struktur, dari-usul, serta kriteria pengetahuan. Epistemologi juga berhubungan dengan sejumlah pertarungan yang berkaitan menggunakan antara lain: persepsi inderawi (sense perseption), suatu rekanan antara “yg mengetahui” (the knower) menggunakan “objek yang diketahui” (the object known), suatu jenis kemungkinan mengenai pengetahuan serta tingkatan-strata kepastian bagi setiap jenis pengetahuan, suatu hakikat kebenaran, dan suatu hakikat tentang serta justifikasi bagi pelbagai inferensi atau konklusi. 

Kajian mengenai epistemologi, dari pengertiannya, adalah bagian dari filsafat yg menelaah mengenai hakikat, jangkauan, pengandaian, serta pertanggungjawaban pengetahuan. Kendatipun demikian, epistemologi tidak hanya ditemukan secara terang-terangan menjadi posisi atau ajaran mengenai pengetahuan. Sebagaimana setiap pemahaman tentang suatu fenomena eksklusif, sikap dan tindakan yang dilakukan terhadapnya, dan tingkah laku bekerjasama dengannya mengandaikan suatu filsafat atau teori tersembunyi eksklusif, demikian juga setiap pengetahuan atau ilmu mengandaikan sebuah epistemologi tertentu yg mendasarinya. Seperti halnya seorang filsuf berkewajiban mengungkapkan, menilai, membuatkan, mengoreksi, atau membongkar pengandaian-pengandaian di dalam pemahaman mengenai fenomena, demikian juga seseorang epistemolog memiliki kewajiban buat menyelidiki pengetahuan atau ilmu untuk memaparkan, menganalisis pengandaian-pengandaian dasar yang sebagai latar belakangnya.

Berdasar atas 2 masalah serta pemikiran pada atas sine qua non langkah konkrit pada ranah keilmuan guna mencari solusi, dan itu tiada lain merupakan wajib dilakukan rekonstruksi epistemologis ushul fiqh agar paras Islam ke depan sanggup ramah serta humanis.

B. Langkah Metodologis
Sebagai upaya buat melakukan rekonstruksi epistemologis atas bangunan ushul fiqh yg ada perlu dilakukan langkah-langkah metodologis berupa penulusuran serta pengkajian terhadap semua karya ushul fiqh yang pernah terdapat sampai ketika ini. Langkah ‘ideal’ itu sangat nir mungkin (buat nir dikatakan mustahil) dilakukan menggunakan segala perangkat pendukung bersifat terbatas (ketika, energi, dana, dll). Yang bisa dilakukan menjadi langkah awal (stimulus of act) adalah menggunakan memilih jumlah serta representatifitas sebuah karya, serta itu dari ekonomis penulis adalah relatif 3 butir dengan mewakili 3 generasi: generasi kelahiran (formative), generasi kematangan (mature), serta generasi mutakhir. Dengan 3 buku tersebut, penulis akan membuat perbandingan dari aspek takrif, materi, dan sistematika pembahasan ushul fiqh. Tujuannya, menggunakan membandingkan takrif kita mampu membatasi jangkauan pembaharuan ushul fiqh yg akan dilakukan supaya permanen pada kerangka disiplin ini; perbandingan materi akan membantu kita dalam menambahkan materi-materi baru buat ushul fiqh; dan dengan membandingkan sistematika pernbahasan sanggup pada peroleh kelemahan sistematika klasik dan kemungkinan alternatifnya. Selain hal tersebut, perbandingan ini akan membantu menaruh ilustrasi bagi masalah-kasus yang tercatat dan akan diusulkan pada bagian berikutnya.

Tiga kitab ushul fiqh yg dipilih adalah: ar-Risālah yang mewakili termin kelahiran Ushul Fiqh; al-Ihkām fi Ushul al-Ahkām (karya al-Amidi) yang mewakili termin kematangan (pertengahan) serta `Ilm Ushul Fiqh (karya 'Abd al-Wahhab Khallaf) yang mewakili karya mutakhir. Ketiganya dipilih dengan metode acak dan tanpa perkiraan apa pun selain pertimbangan zaman penulisan. Untuk zaman kelahiran, tentu pilihan yg terbaik jatuh dalam ar-Risalah karena kitab inilah yg ditulis oleh orang yg diklaim-sebut menjadi perumus ushul fiqh. Sementara berdasarkan zaman kematangan, sebenarnya terdapat poly pilihan. Kitab al-Ihkam dipilih semata-mata lantaran keterbatasan waktu serta ketersediaan bahan. Kitab ushul fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf dipilih karena buku inilah yang sepertinya paling banyak dipakai pada global akadernis kontemporer.

Dengan hanya membandingkan ta’rif, materi, serta metodologi atas tiga karya saja, menjadi sebuah langkah awal penulis kira sudah memadai. Dengan menggunakan analisa yg biasa-biasa saja, sebenarnya masih poly ruang yg belum terbuka karena itu, terutama aspek historis serta politis yang melipuli karya dan penulisnya. Insyaallah, apabila ada kesempatan, upaya itu akan penulis lakukan.

Penting buat ditegaskan pulang, telaah dan perbandingan atas tiga buku tersebut nir lebih adalah sebagai contoh sederhana dan gambaran, lantaran yg terpenting berdasarkan makalah ini justru dalam bagian berikutnya: ke urah ushul fiqh baru yang ramah serta humanis. Pada bagian inilah penulis menaruh catatan-catatan utama yang kelak akan menjadi panduan proyek perumusan ushul fiqh baru, semoga. Amin. 

C. Telaah atas kitab ar-Risalah li asy-Syafi`i 
Meski tidak semua sepakat, namun secara umum dikuasai menyatakan bahwa asy-Syafi`i adalah Bapak Ushul Fiqh serta kitab ar-Risalah adalah kitab pertama tentang ushul fiqh. Oleh sebab itu, mengikuti pendapat dominan, buku ini dipilih sebagai bahan jajak atas materi-materi awal yang berkembang dalam Ushul Fiqh. Edisi yg akan dipakai merupakan ar-Risalah terbitan Dar al-Fikr serta output tahqiq menurut Ahmad Muhammad Syakir yg konon merupakan muhaqqiq kitab ar-Risalah terbaik dibandingkan muhaqqiq lain.

Ta’rif serta Materi 
Karena kategorisasi ar-Risalah menjadi buku ushul fiqh merupakan kategorisasi ulama pasca asy-Syafi`i dan asy-Syafi`i sendiri tidak menyebut kitabnya sebagal kitab ushul fiqh maka bisa dimaklumi bila nir akan ditemukan definisi ushul fiqh pada buku ini. Oleh karena itu, jika lalu lahir ilmu ushul fiqh dan ar-Risalah dianggap menjadi buku ushul fiqh tentu lantaran materi-materi yg dimuat dalam ar-Risalah merupakan materi-materi yg pada abad ketiga dikenal menjadi materi ushul fiqh. Walaupun dengan cara yg sama, kitab ar-Risalah jua bisa dianggap menjadi kita Ushul Hadits-lantaran materi-materinya yang serupa dengan apa yg lalu dikenal menjadi ilmu hadits.

Dari alenia-alenia pembuka ar-Risalah, cita rasanya memang asy-Syafi`i tidak tengah menulis ushul fiqh, melainkan tengah menghadapi 2 kelompok yang seperti menggunakan 2 grup yang harus dihadapi Nabi waktu pertama kali dia membicarakan selebaran Islam: ahl al-Kitab serta ahl al-Kufr. Kelompok pertama mengingkari kitab Allah; sedangkan grup ke 2 “menganggap baik menggunakan seenaknya” (istahsana) penyembahan berhala, jika dianggap baik disembah jikalau telah bosan dan dianggap nir-baik kemudian ditinggalkan. Asy-Syafi`i sepertinya pula menghadapi grup-kelompok yg semisal: mereka yang menolak as-Sunnah, serta mereka yg mengandalkan istihsan.

Oleh karena itu, saat asy-Syafi`i berbicara mengenai materi-materi yg lalu dlikenal menjadi ushul fiqh, sebenarnya yg dilakukan merupakan untuk memperkuat posisi as-Sunnah sebagai asal hukum sesudah al-Qur'an. Selain materi-materi yg langsung berbicara mengenai as-Sunnah, ketika berbicara tentang hal-hal lain seperti lafazh-lafazh ‘am di pada al-Qur'an, maka asy-Syafi`i melakukannya dalam kerangka ingin menerangkan kiprah as-Sunnah pada menakhshish; saat berbicara tentang an-naskh, ia jua berbicara mengenai kiprah Sunnah dalam memberitahuakn mana yg dimansukh dan mana yg nir; demikian juga saat materi-materi fiqhiyyah (yg tidak termasuk pada materi ushul fiqh) dibahas misalnya waris, haji, zakat, iddah serta lainnya, posisi as-Sunnah lah yang tengah ia diskusikan. 

Terkait menggunakan penolakan asy-Syafi`i terhadap istihsan menurut Noel J. Coulson, nir terlepas dari maksud dan tujuan asy-Syafi`i buat meminimalisir perpecahan pada kalangan umat sekaligus melakukan unifikasi dalam bidang aturan meski hal itu sepenuhnya tidak berhasil dilakukan sang asy-Syafi`i. Lebih lanjut Coulson menyatakan:

“Ash-Shafi`i’s legal theory had established a compromise between the dictates of the divine will and the use of human reason in law. But his hopes that such mediation would resolve existing conflicts and introduce uniformity into jurisprudence were frustrated.”

Jadi, hampir sernua page ar-Risalah berisi mengenai pembahasan yang dilakukan pada kerangka penerangan mengenai as-Sunnah. Bab-bab lain yang dalam masa kemudian dianggap sebagai materi ushul fiqh, seperti al-Ijma', al-Qiyas, Istihsan, serta Ijtihad, dibahas secara beredar serta dibahas spesifik secara singkat dalam akhir buku ar-Risalah. Mungkin akan lebih kentara jika kita lihat isi dan sistematika pembahasan ar-Risalah untuk memperoleh gambaran yg lebih kentara tentang upaya ini.

Sistematika Pembahasan
Ar-Risalah terdiri atas tiga juz dan sejumlah bab yg sebagian pada antaranya dibuat sang Ahmad Muhammad Syakir. Lebih lengkapnya menjadi berikut:

Juz I - Khutbah 
- al-Bayan I - V (berbicara tentang banyak sekali taraf penerangan al-Qur'an pada hukum-aturan al-Qur'an) 
- Am serta spesial  
- Kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah 
- Naskh 
- Masalah-kasus Fiqhiyyah dalam kaitannya menggunakan posisi as-Sunnah menjadi penjelas al-Qur`an. 

Juz II - Masalah-perkara Fiqhiyyah 
- Persoalan-duduk perkara yg terkait dengan Hadits 
- Sifat larangan Allah dan Nabi 
- Hadis Ahad (khabar al-wahid) 

Juz III - Kehujjahan Hadis Ahad 
- al-Ijma’
- al-Qiyas
- al-Ijtihad
- al-Istihsan
- al-Ikhtilaf

D. Telaah atas kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam lil Amidi
Analisis atas buku al-Ihkam ini didasarkan pada buku al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya as-Syaikh al-Imam al-'Allamah Sayf al-Din Abi al-Hasan 'Ali b. Abi 'Ali b.muhammad al-Amidi (dua jilid), terbitan Dar al-Fikr tahun 1996.

Takrif 
Takrif ilmu merupakan hal yg menurut al-Ihkam sangat krusial. Dengan tahu takrif orang bisa membayangkan apa yang ada pada ilmu itu dan membedakannya berdasarkan ilmu yang lain. Seperti yg lalu menjadi lazim pada tradisi ushul fiqh, al-Ihkam jua memulai dari pengertian etimologis. Al-Fiqh berarti al-fahm (pemahaman) dan al-‘ilm (pengetahuan). Sementara dari istilah berarti: “ilmu yg membentuk sejumlah hukum-hukum syar'i yg bersifat furu’, berdasarkan permikiran (nazhar) serta penggunaan dalil (istidlal).”

Sedangkan ushul fiqh atau “prinsip-prinsip fiqh” berarti:
“dalil-dalil fiqh, aspek-aspek penunjukan dalil atas aturan-aturan syar’i, serta bagaimana ihwal orang yg memakai dalil, secara garis akbar dan tidak kasuistis (bukan mengenai dalil tertentu yang dipakai buat perkara eksklusif)”.

Obyek materiil (mawdlu’) ushul fiqh, berdasarkan al-Ihkam, merupakan dalil-dalil yang dipakai buat memperoleh - aturan-hukum syar’i, pembagiannya, perbedaan tingkat kekuatannya, serta metode perumusan aturan menurut dalil tersebut, secara garis akbar.

Obyek formilnya (istimdad) ushul fiqh meliputi 3 ilmu: Kalam,Bahasa Arab, serta Hukum Syar’i.
Ushul Fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-.dalil hukum hanya berguna bila orang mengenal Allah Swt dan sifat-sifatNya, bila mengakui kebenaran ajaran Rasulullah, serta hal-hal akidah yang lain yang hanya bisa diketahui menurut Ilmu Kalam. Bahasa Arab berperan penting lantaran dalil-daill lafdziyyah, tekstual (al-Qur'an serta as-Sunnah) serta pendapat para pakar menggunakan bahasa Arab, sehingga masalah-masalah apakah teks itu memakai al-haqiqah dan al-majaz, al-‘umum serta al-spesial , al-mutlaq dan al-muqayyad, serta lain-lainnya hanya sanggup dipahami dengan memakai Bahasa Arab. Hukum Syar'i penting bagi ushul fiqh lantaran materi bahasan ushul fiqh adalah hukum-hukum syar'i, tentu orang wajib tahu terlebih dahulu hakikat aturan, sebagai akibatnya ia tidak keliru membahas.

Sedangkan tujuan ushul fiqh adalah buat bisa memperoleh pengetahuan mengenai aturan-aturan syar'i. 
Dari uraian pada atas bisa kita lihat betapa canggihnya Amidi pada memberi takrif ushul fiqh mulai berdasarkan obyek materiil, obyek formilnya, maupun tujuan Ushul Fiqh sudah cukupjelas pada masanya-tidak sinkron sekall menggunakan ar-Risalah.

Sistematika Pembahasan
Membaca al-Ihkam akan membuat kita menyadari betapa buku ini mewakili suatu tahap perkembangan ilmu Ushul Fiqh yang luar biasa, menurut materi-materi yg ditulis seputar kehujjahan Sunnah, Ijma` serta Qiyas pada zaman asy-Syafi`i, dalam masa al-Amidi perkembangan itu sudah menerangkan pembahasan yg canggih mengenai dalil. 

al-Amidi membagi kitabnya pada empat kaidah bahasan:
Kaidah 1. Konsep Ushul Fiqh 
1. Pengertian Ushul Fiqh
2. Kerangka teoritis yg digunakan:
a - teori-teori Ilmu Kalam 
b - teori-teori kebahasaan 
c - teori-teori dasar tentang hukum (hukm, hakim, mahkum fih) 

Kaidah II Dalil Syar’i
1. Macam-Macam Dalil
a - Dalil syar'i yg benar-benar dalil serta wajib diamalkan
Dalil yang datangnya menurut Nabi 1. Al-Kitab

2. As-Sunnah
Dalil dari selain Nabi 3. Al-ljma'
4. Al-Qiyas
5. Al-Istidlal (Istishab al-Hal)

b. Bukan dalil syar'i namun dipercaya sebagai dalil syar'i
1. Syar’ man qablana
2. Madzhab Sahabi
3. Al-Istihsan
4. Al-Maslahah al-Mursalah

2. Motode-motode Telaah dalil
a. Metode yg terkait sekaligus dengan al-Qur`an , as-Sunnah, dan al-Ijma`
1. Telaah Sanad (tentang khabar mutawatir serta ahad)
2. Telaah Matn
- analisis bentuk bahasa dan kata (al-mandzum)
amr, nahy, al-`am dan al-spesial , al-mutlaq dan al-muqayyad, al-
mujmal, al-bayan dan al-mubayyan, az-Zahir dan ta'wil-nya,
- analisis cara kata (ghayr al-mandzum) dalalah al-iqtida`, tanbih ima`, isyarah serta mafhum

b. Metode Telaah Khusus al-Quran serta as-Sunnah 
- analisis naskh serta mansukh

III. Ijtihad 
Dalam bagian ini Amidi membaginya pada 2 bahasan: pertama pembahasan hal-hal yang terkait dengan ijtihad dan mujtahid, termasuk duduk perkara apakah Nabi berijtihad ataukah nir; dan ke 2 terkait dengan taqlid, mufti, orang yang meminta fatwa, dan fatwa.

IV. Tarjih 
Dalam bagian ini, seperti yang umumnya dibahas pada kitab -kitab Ushul Fiqh sesudahnya, Amidi membahas apa yg sebenarnya dianggap dalil yang saling bertentangan serta mengapa perlu mencari yang lebih bertenaga (tarjih).

E. Telaah atas kitab `Ilm Ushul Fiqh li Abd Wahhab Khallaf
Kitab ‘Ilm Ushul Fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf adalah buku yg paling terkenal pada kalangan pengkaji Islam Indonesia. Kitab ini banyak digunakan di aneka macam perguruan tinggi, pondok pesantren terkini atau Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Sejauh yang penulis ketahui, sudah terdapat 2 versi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia.

Meski bukan satu-satunya, kitab ini dipilih buat mewakili generasi ushul fiqh kontemporer serta yg paling banyak menghipnotis ihwal akademis. Buku yg dipakai di sini merupakan ‘Ilm Ushul Fiqh karya Abd al-Wahhab Khallaf, terbitan Dar al-Ilm Mesir, cetakan ke-12 tahun 1978/1494.

Takrif
Khallaf mengawali pembahasannya tentang takrif menggunakan sebuah postulat: ulama Muslim setuju bahwa setiap perbuatan dan perkatan insan, entah itu berupa ibadah atau muamalah, pidana atau perdata, atau segala macam kontrak dan bisnis, terdapat hukumnya pada pada syariat Islam. Kumpulan aturan yg terkait menggunakan perbuatan dan perkataan insan itu disebut menggunakan fiqh.

Setelah mendefinisikan bahwa fiqh merupakan gugusan aturan-aturan syariah amaliah yg diperoleh berdasarkan dalil-dalil eksklusif, Khallaf lalu menerangkan bahwa ushul fiqh adalah:

“Ilmu tentang kaidah-kaidah serta pembahasan-pembahasan yg dengan itu mampu memperoleh hukum-aturan syar’i praktis menurut dalil-dalil kasuistis atau ushul fiqh merupakan perpaduan kaedah serta pembahasan yang menggunakan itu sanggup memperoleh aturan-hukum syar`i simpel berdasarkan dalil-dalil kasuistis”

Definisi ini terutama buat membedakan ushul fiqh menggunakan fiqh. Sehingga orang bisa tahu bahwa fiqh berbicara tentang perbuatan mukallaf sedang ushul fiqh, berbicara tentang dalil syar'i dalam umumnya. Demikian juga waktu fiqh bertujuan menerapkan hukum syar'i atas perbuatan dan ucapan manusia, maka ushul fiqh bertujuan menerapkan kaedah-kaedahnya atas dalil-dalil eksklusif buat memperoleh aturan syar'i yg dikandungnya.

Jadi titik tekan Khallaf terdapat dalam ushul fiqh sebagal (i) pembahasan mengenai dalil serta (ii) perpaduan kaidah yg menggunakan itu (iii) sanggup diperoleh hukum Syar'i. Dengan kata lain, Khallaf-misalnya terlihat dalam daftar bahasan pada bawah ini-nir terlalu membedakan antara dalil dengan istidlal sebagai akibatnya dari al-Qur'an sampai dengan Madzhab as-Shahabi semuanya ia sebut dalil.

Berbeda menggunakan obyek materiil fiqh yang berupa perbuatan mukallaf, obyek materiil ushul fiqh adalah daill Syar’i secara garis besarnya dari aspek penetapan aturan yang ditimbulkannya. 

Sayangnya, Khallaf tidak menyebutkan apa obyek formil ushul fiqh.

Tujuan fiqh merupakan menerapkan aturan Syar’i atas perbuatan serta perkataan insan. Sementara tujuan ushul fiqh merupakan menerapkan kaidah-kaidah serta teori-teori atas dalil-dalil eksklusif untuk mampu menggali aturan-aturan Syar'i yang dikandung dalil itu.

Materi serta Sistematika Pembahasan
Selaras menggunakan takrifnya, Khallaf membagi bukunya ke pada empat bagian utama:

Bagian I: Dalil-dalil syar'i
1. Al-Qur`an 
2. As-Sunnah 
3. Al-Ijma’
4. Al-Qiyas
5. Al-Istihsan 
6. Al-Maslahah al-Mursalah 
7. Al-'Urf 
8. Al-Istishab 
9. Syar' sebelum Islam 
10. Madzhab as-Shahabi

Bagian II Hukum Syar'i 
1. Al-Hakim 
2. Al-Hukm 
3. Al-Mahkum Fih
4. Al-Mahkum 'Alaih

Baglan III Kaidah-Kaidah Kebahasaan
Kaidah 1 cara-tunjuk (dalalah) Nash
Kaidah dua Mafhum al-mukhalafah
Kaidah tiga penunjukan yg jelas dan taraf kejelasannya
Kaidah 4 teks yg tak kentara dan taraf ketakjelasannya
Kaidah lima al-Musytarak
Kaidah 6 al-‘Am dan jangkauan maknanya
Kaidah 7 al-Khas serta jangkauan maknanya

Bagian IV Kaidah-kaidah Legislasi ushul fiqh 
Kaidah 1 tujuan legislasi (maqashid at-tasyri`)
Kaidah dua tentang hak Allah dan hak hamba
Kaidah 3 Wilayah ijtihad
Kaidah 4 Naskh
Kaidah 5 Tarjih

F. Telaah Banding
Dari ketiga kitab yg mewakili 3 generasi ushul fiqh tadi, ada beberapa hal yg menarik buat dicatat, baik dari aspek takrif, materi maupun sistematika pembahasannya, dari sisi persamaan juga perbedaanya.

Takrif
Seperti telah disebutkan di depan, karena ar-Risalah tidak ditulis oleh asy-Syafi`i sebagai kitab ushul fiqh, maka tidak terdapat takrif yang diberikan sang asy-Syafi`i mengenai ushul fiqh. Kita hanya sanggup membandingkan takrif Amidi (hidup abad VI) dengan takrif Khallaf (hidup abad XIV).

Berbeda menggunakan asy-Syafi`i yg berperan menjadi pioner, yang sebelumnya tidak ada yang mampu diacunya, Amidi menulis al-Ihkam dalam masa saat ushul fiqh sudah mencapai bentuk yang matang sebagai akibatnya definisi yg diberikannya pun pula telah matang sahih. Sudah terdapat puluhan kitab ushul fiqh tersedia pada masanya, mulai dari karya-karya yang ditulis segera setelah ar-Risalah, yaitu Kitab al-Qiyas karya al-Muzanni atau karya-karya yang ditulis pada bentuk.syarah bagi ar-Risalah (misalnya yg ditulis oleh Sayrafi, al-Qaffal, dan al-Juwayni), sampai menggunakan karya-karya brillian al-Ghazzali (al-Mustasfa, al-Mankhul, Syifa al-Ghalil, serta at-Tahsin). 

Jadi, telah terdapat poly-bahan buat beliau pertimbangkan pada mendefinsikan ushul fiqh. Hal yang sama tentu dialami oleh Khallaf-bahkan ia lebih banyak bahan lagi buat merumuskannya. Dari definisi keduanya (Amidi dan Khallaf), kita mampu melihat bahwa keduanya sama-sama berupaya mendefinisikan ushul fiqh sebagai sesuatu yang tidak selaras menggunakan fiqh. Ini sepertinya sesuatu yg tak terhindarkan lantaran adanya unsur fiqh dalam nama ushul fiqh serta barangkali karena kelebihpopuleran fiqh daripada ushul fiqh. Sehingga mau tak mau definisi ushul fiqh harus dijelaskan buat tidak merancukannya menggunakan Fiqh.

Keduanya pula nir terlalu berbeda dalam mendifinisikan Ushul Flqh menjadi ilmu yg membahas mengenai dalil Syar'i. Meski keduanya tidak selaras penekanan dalam hal ini Amidi menekankan pada tentang (cara) orang yang menggunakan dalil, ad interim Khallaf menekankannya sebagai formasi kaedah dan pembahasan. Berbeda namun keduanya memaksudkan hal yg sama. Jadi jikalau kita hendak merumuskan Ushul Fiqh baru, kurang lebih batasannya adalah ilmu yg berbicara tentang dalil Syar`i, metode dan orang yang menafsirkan dalil itu, dan hukum yg dihasilkannya.

Materi
Sepertl terlihat dari daftar bahasan pada ar-Risalah, al-Ihkam, serta ‘Ilmu Ushul Fiqh, ketiganya kentara memiliki perbedaan materi. Ar-Risalah masih berisi materi-materi non-Ushul Fiqh dan pembahasannya mengenai ushul fiqh terpusat dalam Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang dibahas pada kerangka menolak istihsan. Sementara Amidi sudah membahas secara lebih sistematis materi-materi usang serta memasukkan materi-materi baru misalnya al-istidlal, al-mashlahah al-mursalah, taqlid, mufti dan fatwa. Pembahasan tentang ta’arud adillah serta tarjih juga sudah sistematis.

Menarik, bahwa materi yg dibahas sang Khallaf tidak terlalu banyak berubah menurut tujuh abad sebelumnya?! Kecuali al-‘Urf semua dalil sudah dibahas Amidi. Demikian juga pada bagian lain, hanya tema mengenai hak Allah dan maqashid al-syari'ah yang belum dibahas oleh Amidi – tetapi menggunakan catatan bahwa tema maqashid as-syri`ah pula bukan tema baru, telah dibahas beberapa abad sebelumnya sang at-Tufi dan as-Syatibi. Hal menarik yg perlu dicatat barangkali merupakan bertambahnya intensitas pembahasan mashlahah mursalah menurut tak terbahas dalam ar-Risalah, sebagai satu page pada al-Ihkam, dan menjadi lima halaman pada “Ilm Ushul Fiqh. Itu sanggup jadi sebagai petanda menguatnya balik kesamaan rasional pasca at-Tufi serta Syatibi.

Sistematika Pembahasan
Dalam bentuk aslinya, ar-Risalah lebih sederhana daripada yang ditahqiq sang Syakir. Seperti umumnya kitab -buku klasik, pemikiran penulis seringkali dituangkan tidak secara tematis, melainkan tersebar di pada tema besar . Dalam kasus ar-Risalah, kita mampu menemukan bahwa asy-Syafi`i sendiri tidak memberi nama kitabnya, tidak memberi judul buat sejumlah tema krusial yg kelak dikenal menjadi ushul fiqh, ia ditulis dalam kerangka tema besar : kehujjahan as-Sunnah. Seperti diinformasikan pada depan bahwa ar-Risalah hanyalah sebuah selebaran yg ditulis asy-Syafi`i atas permintaan dari sobatnya, al-Mahdi. Oleh karenanya mengkaji sistematika dari buku ini nir terlalu penting lantaran masih terlalu mentah serta masih poly ruang kosong buat memperkaya sistematika yg memang belum dijamah oleh asy-Syafi`i.

Pada dua kitab berikutnya, al-Ihkam dan 'Ilm Ushul Fiqh kita mampu melakukan perbandingan sistematika yang digunakan. Yang menarik, meski lahir kemudian serta banyak referensi yg mampu dirujuk dan digunakan, 'Ilm Ushul Fiqh justru lebih sederhana dibanding al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam membagi materi ushul fiqh menjadi empat konsep: ushul fiqh, dalil, ijtihad dan tarjih. Sementara 'Ilm Ushul Fiqh membahasnya menjadi empat bagian: dalil, hukum, kaidah kebahasaan dan kaidah legislasi. Apa yg dibahas dalam bagian hukum sang Khallaf, dibahas oleh Amidi dalam konsep ushul fiqh. Apa yang dibahas dalam kaidah kebahasaan jua dibahas Amidi pada bagian konsep ushul fiqh.

G. Ushul Fiqh Humanitarian: Sebuah Tawaran 
Dari hasil jajak diatas, terdapat beberapa dilema fundamental yang perlu segera dibenahi, misalnya sistematika pembahasan, kategorisasi serta perlunya penambahan ilmu-ilmu bantu ‘sekuler’ . 

Untuk sistematika dalam bab awal (mukaddimah) perlu diberi penerangan orientasi menurut kajian ushul fiqh (bukan berupa tarjamah muallif) sehingga pembaca telah mengerti peta duduk perkara yang akan dikaji. Penjelasan tentang sejarah lahirnya ushul fiqh, perkembangan serta capaian dan tantangan modernitas yang akan dihadapi juga perlu ditampilkan guna memperjelas wilayah obyek formil dan materiil pula penyadaran akan tuntutan (baca: ekspektasi) dinamika keilmuan yg demikian besar terhadap ushul fiqh. 

Bab berikutnya merupakan redifinisi atas term-term yg selama ini mengalami proses pembekuan. Redefinisi ini jua bermakna re-klasifikasi dan re-kategorisasi. Bab ini sangat krusial menjadi solusi atas jumbuh dan ruwetnya tahu ushul fiqh seperti yang penulis rasakan. Mulai menurut bab ini dibahas dan dikaji ulang soal aturan, hakim, dalil serta istidlal.

Dalam literatur ushul fiqh yang terdapat, disebutkan ada dua aturan, wad`i dan taklifi. Yang perlu dipertimbangkan ulang adalah penempatan istishab juga pada pembahasan wad`i bukan pada dalil misalnya yg ada. Alasannya, kalau rukhsah dan ‘azimah termasuk bagian wad`i seharusnya istishab jua masuk. Apabila ‘azimah merupakan hukum dari yg ditinggalkan karena adanya rukhsah maka istishab merupakan hukum asal yang nir berubah lantaran nir adanya ketentuan lain yg mampu merubahnya. 

Dalam pembahasan al-Hākim mampu dipastikan jikalau ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Tetapi pasca wafatnya Rasulullah akal kita tampaknya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai menurut teman sampai hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an serta as-Sunnah. Keduanya berupa teks. Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan serta pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan tidak sama (buat tidak dibilang niscaya), dan keduanya absah (mushawwibah) meski tetap harus menanggung resiko (mukhatti`ah) atas output bacaannya. Sejarah telah merekam dengan baik perbedaan itu benar-benar terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah sampai makalah ini dibentuk. Walau atas nama “teks” akan tetapi hasilnya nir bisa dipersamakan serta apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh sebab itu, al-Hakim nir lagi semata Allah, tapi jua Shahabat (jika Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (menggunakan perangkatnya), MUI, NU (menggunakan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yg mereka hasilkan merupakan keputusan mereka bukan keputusan Tuhan, not as voice of God anymore.

Bab berikutnya adalah pembahasan mengenai dalil. Menurut keyakinan penulis yang seharusnya masuk pada pembahasan ini hanya ada enam: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Maslahah, Mazhab as-Shahabi, al-‘Urf, serta Syar`u Man Qablana. Qiyas dan Ijma` rancu dimasukkan menjadi dalil (obyek materiil) tapi lebih tepat ke dalam istidlal (obyek formil) karena dia mempergunakan al-Qur`an serta as-Sunnah menjadi dalilnya. Demikian pula dengan istihsan, istislah dan sad al-dzariah yg mengakibatkan al-maslahah menjadi dalilnya.


Bab terakhir yang merupakan sumbangan modern merupakan istinbāth menggunakan membagi dalam empat pembahasan: Ta`shil (mencarai originalitas teks) menggunakan al-jarh wa at-ta`dil; Ta`wil (mencari originalitas makna) menggunakan qiyas, maqashid, qawaid al-lughawiyyah dan ilmu-ilmu ‘sekuler’ hermeneutika, semiotika, filologi,linguistik dan epistemologi; Tathbiq (mewujudkan mashlahah) dengan ijma`, istihsan, istishlah serta sad al-dzari`ah; Tarjih (mencari yg terbaik) menggunakan at-tarjih, al-jam`u, an-naskh serta at-tark.

H. Ikhtitām
Demikian ijtihad yang bisa dilakukan sang penulis hingga ketika ini, meski sebatas talwis nir substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan mampu menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita seluruh buat ikut aktif terlibat pada penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin poly bergentayangan dengan banyak sekali bentuk, corak dan rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.

Selanjutnya meski terdapat rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, akan tetapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca buat mendermakan secuil kritiknya bagi goresan pena ini pada rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf serta semoga bermanfaat, amin. Wassalam.