Antara Sains Dan Ortodoksi Islam
Seyyed Hossein Nasr merupakan seseorang tokoh pemikir yg unik pada dunia Islam. Keunikan eksklusif dan pemikiran Seyyed Hossein Nasr karena lahir berdasarkan tradisi Sufi-Syi'ah yg dipadu menggunakan pemikiran Barat modern. Nasr lahir dari famili berlatar belakang Sufi populer di Persia yang mempunyai afiliasi-afiliasi dengan tarekat-tarkat sufi pada Persia. Persia, selama ini memang dikenal sebagai gudangnya ilmu, terutama khazanah ilmu-ilmu Islam klasik, semisal filsafat Islam klasik.
Dengan latar belakang misalnya itu, Nasr sanggup mengapresiasi dengan baik khazanah keilmuan tradisional Islam seperti karya Suhrawardi, ibn Arabi dan Mulla Sadra. Tokoh-tokoh tersebut bahkan kemudian menjadi model serta poly menghipnotis pemikirannya. Disamping itu, latar belakang pendidikan Baratnya yg cukup bertenaga membuatnya sanggup mengapresiasi khazanah intelektual Barat.
Kombinasi latar belakang kultural dan intelektual Seyyed Hossein Nasr membuatnya menempati posisi spesifik dalam berbicara dan berkarya, mempunyai otoritas dalam berbicara tentang poly topik, terutama tentang perjumpaan Timur serta Barat, tradisi serta modernisasi. Ditambah lagi pergaulannya yang luas, baik menggunakan muslim juga non-muslim, menjadikan Nasr menjadi figur yg langka serta sporadis terdapat bandingannya.
Tulisan sederhana ini berusaha mendeskripsikan pemikiran Seyyed Hossein Nasr kaitannya dengan sains terkini. Tokoh ini dipilih lantaran diskusi-diskusi acara doktor UIN Sunan Kalijaga angkatan tahun 2005 selama ini, dalam pengamatan saya belum ada yg mengangkat tokoh pemikir dari kalangan ortodoksi Islam, seperti Nasr. Tulisan ini diawali dengan menguraikan latar belakang sosiokultural dan karir inelektual Nasr, diikuti menggunakan uraian tentang pokok-utama pikiran Nasr yang bisa ditangkap berdasarkan dua butir karyanya seperti tertera pada sub judul pada atas, baru lalu dianalisis dengan 2 "senter", yaitu contoh-model inegrasi sains serta kepercayaan serta trilogi rastorasionis, rekonstruksionis dan pragmatis. Kedua "senter' ini dimaksudkan untuk menerima peta pemikirann Nasr pada kaitan menggunakan agama dan sains.
A. SETTING SOSIO-KULTURAL DAN KARIR INTELEKTUAL NASR
Seyyed Hossein Nasr terlahir pada lepas 7 April 1933 serta dididik menjadi seorang Syi'ah Iran. Ia dari berdasarkan famili cendekiawan populer. Ayah serta kakeknya adalah fisikawan pada kerajaan Iran, disamping keduanya jua populer pada kalangan muslim Syi'ah menjadi tokoh sufi.
Seyyed Hossein Nasr saat mini nir poly perbedaannya dengan anak-anak seusianya, ia belajar dalam sekolah menggunakan baku bangsa Persia. Ayahnyalah yang membuat Nasr kecil lebih poly menaruh wangsit serta semangat. Virus semangat yg disuntikkan ayahnya membuat Nasr begitu antusias pergi ke Amerika saat usianya masih 12 tahun. Ia masuk sekolah Peddie pada Haghtown, New Jersey, dan waktu tahun 1950 ia lulus berhasil memenagkan piala Wyclifte yang adalah penghargaan tertinggi bagi murid berprestasi. Pada sekolah inilah Nasr bersemangat menghimpunpengetahuan mengenai sains, searah Amerika, peradaban Barat serta Kristologi.
Berbeda menggunakan saat ia belajar dalam Sekolah Menengah pada Peddie, pada tahun kedua kuliah tingkatan satu-nya pada jurusan fisika, dia merasa stress serta bosan lantaran menurutnya terlalu hiperbola dalam mengagungkan sisi ilmiah dan cenderung positivisme. Ia menganggap poly pertanyaan mengenai perkara-masalah metafisik yg sebagai minatnya, nir menerima tempat pada jurusan ekamatra tadi. Oleh karenanya dia mulai mewaspadai apakah fisika bisa menghantarkan manusia pada hakekat ralitas fisik Satu-satunya orang yang mampu sedikit menaruh jawaban terhadap kegelisahan Nasr adalah Bertnard Russell, filosof Inggris yg senang mengadakan diskusi dengan para mahasiswa pada loka Nasr menuntut ilmu.
Pengalaman getir Seyyed Hossein Nasr waktu studi S-1 membuatnya wajib mengambil keputusan mengambil bidang lain unuk studi lanjutnya. Ia mulai menekuni serta membaca secara intensif kitab -buku dalam rumpun ilmu humaniora. Lebih-lebih saat beliau bertemu dengan professor Giorgio de Santillana, filosof sains dan sejarawan berdasarkan Italia, Nasr poly mempelajari filsafat yunani, filsafat Eropa, Hinduisme dan pemikiran Barat Modern. Nasr lalu menekuni konsentrasi geologi serta geofisik pada Program Pascasarjana pada Universitas Harvard. Setelah mendapatkan gelar magister geologi dan geofisik tahun 1956, meneruskan studi guna memperoleh Ph.D dalam bidang sejarah ilmu serta filsafat pada Universitas Harvard. Selama studi di Harvard yang terakhir ini Nasr poly berhubungan dengan para penulis dan tokoh philosophia perennis misalnya Fritjof Schuon serta Titus Burckhardt, yg poly menaruh sumbangan serta efek bagi perkembangan intelektual dan spiritualnya.
Ketika lulus serta menerima gelar Ph.D Nasr baru berusia 25 tahun. Disertasinya berjudul Conception of Nature in Islamic Thought, diterbitkan sang Universitas Harvard dengan judul Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Masa-masa penulisan disertasi digunakan juga sang Nasr buat menulis sebuah kitab yg lalu diterbitkan dengan judul Science and Civilization in Islam, yang nanti akan kita lihat dalam bab berikutnya.
Seyyed Hossein Nasr setelah purna studi kemudian balik ke Iran, diangkat sebagai pengajar besar madya dalam bidang filsafat serta sejarah sains, hampir berbarengan waktunya dengan berlangsungnya pernikahannya menggunakan seorang perempuan dari keluarga terhormat. Pada usianya ke-30 Nasr menjadi orang termuda yg menyandang gelar profesor penuh dalam Universitas Teheran. Sesuatu yang baru ditawarkan sang Nasr dalam forum ini, yakni bahwa beliau menganggap pentingnya pentingnya pedagogi filsafat Islam yang berbasis sejarah serta perspektif Islam. Nasr berpendapat bahwa orang seyogyanya tidak mengharapkan dapat memahami serta mengapresiasi tradisi intelektualnya sendiri dari sudut pandang orang lain, misalnya juga tidak mungkinnya seorang bisa melihat sesuau menggunakan mata orang lain. Nasr jua menumbuhkan kesadaran serta minat buat mempelajari filsafat Timur dalam program studi filsafat. Nasr jua terlibat pada acara doktor bidang bahasa dan sastera Persia bagi yg bahasa ibunya bukan Persia, poly asuhan Nasr di bidang ini yg menjadi cendekiawan krusial diantaranya menurut Amerika William Chittick, dan cendekiawati menurut Jepang Sachiko Murata.
Seyyed Hossein Nasr menjabat menjadi rektor Universitas Aryamehr, universitas sains dan teknik populer pada Iran, tahun 1972-1975. Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran saat itu, menginginkan agar Nasr membuatkan Universitas Aryamehr menggunakan contoh perguruan tinggi populer di Amerika tetapi memiliki dasar yg bertenaga dalam kebudayaan Iran. Nasr membawa perguruan tinggi ini membuka acara pascasarjana menggunakan bidang filsafat ilmu menggunakan landasan filsafat ilmu Islam, buat pertama kalinya pada global Islam, bahkan di global dalam umumnya.
Seyyed Hossein Nasr di sela-sela kesibukannya masih sempat menimba ilmu nasihat, pada bawah master-master otoritatif pada Iran. Diantara pengajar-pengajar terhormat itu merupakan Sayyid Muhammad Kazim Assar, seorang alim yang memiliki otoritas dalam bidang hokum Islam dan filsafat, yang adalah sahabat ayah Nasr, Allamah Sayyid Muhammad Husain Tabatabai serta Sayyid Abu Hasan Qazwin, pakar aturan Islam yg menguasai juga matematika, astronomi serta filsafat dengan baik. Terlihat bahwa Nasr telah mendapatkan pendidikan Barat Modern dan dikombinasikan dengan pendidikan Timur Tradisional. Kombinasi langka ini mmbuat dirinya berada dalam posisi langka ketika berbicara serta menulis, yang menguasai banyak info yg terkait dengan perjumpaan Barat-Timur, tradisi serta modernitas.
Nasr pula menulis secara aktif waktu berada pada Iran pada bahasa Inggris, Perancis serta Arab. Disertasinya ditulis balik pada bahasa Persia yang kemudian mendapat penghargaan raja Iran. Nasr juga menulis buku-kitab Suhrawardi dan Mulla Sadra dalam bahasa Persia serta karya Ibnu Sina serta al-Biruni pada bahasa Arab.
Kiprah Seyyed Hossein Nasr tidak terbatas dalam Iran saja tetapi merambah global "luar" baik tempat muslim juga bukan. Ia pernah sebagai direkrut Caultural Institute, dimana Iran, Pakistan dan Turki menjadi anggotanya. Di Beirut iamendirikan Aga Khan Chair of Islamic Studies pada Universitas Amerika pada Beirut (1964-1965). Mskipun tinggal pada Amerika, Nasr sering keluar serta berhubungan dengan negara lain. Tahun 1977 beliau menyampaikan Kevorkian Lectures pada seni Islam pada New York, beliau berbicara tentang seni dan Islam. Pada tahun 1979, ketika meletus Revolusi Iran, Nasr pindah ke Amerika, serta mulai aktif lagi menulis di sana.
Tahun 1980 dia aktif menulis serta berdiskusi pada lembaga prestisius yang disebut Gifford Lectures, karena diikuti sang para ilmuwan terkemuka, serta Nasr merupakan orang Timur dan orang Islam pertama yang menerima kesempatan berharga tadi. Karyanya Knowledge and The Sacred adalah judul yg sudah dipresentasikannya di lembaga Gifford Lectures tersebut. Nasr mengungkapkan bahwa Knowledge and The Sacred merupakan hibah berdasarkan langit lantaran penulisannya dapa diselesaikan pada ketika kurang menurut tiga bulan.
Sebenarnya poly sekali karya Seyyed Hossein Nasr selain yang disebutkan di atas, namun karena mengingat berbagai keterbatasan, nir mungkin diampilkan serta diulas seluruh pada sini. Oleh karenanya dicukupkan disini supaya bisa lebih poly mengulas pemikiran Nasr di pada buku yg menjadi pusat perhatian artikel ini.
B. SAINS DAN ISLAM PERSPEKTIF SEYYED HOSSEIN NASR
Kaum modernis Islam umumnya mempunyai kesamaan ingin menerangkan kesesuaian antara Islam menggunakan sains modern. Dianara bukti yang mendukungya merupakan kenyataan bahwa sains pernah berkembang pada bumi Islam serta bisa mempertahankan kecemerlangannya selama hampir 5 abad. Maka acapkali dijumpai konklusi kaum modernis bahwa Islam niscaya mendukung sains terkini. Argumen kaum Islam modernis ini ditanggapi sang para pemikir Islam ortodoks, antara lain merupakan Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh yang paling berpengaruh di kalangan ini.
Seyyed Hossein Nasr nir setuju menggunakan argumen umum kaum modernis tentang kesesuaian Islam dengan sains tersebut. Menurutnya mereka secara sewenang-wenang membarui kepercayaan Islam supaya sesuai dengan tujuan akhir mereka sendiri. Dia menggunakan keras mencela:
tulisan-goresan pena apologetik kaum modernis Islam yg ingin berdamai dengan modernisme serta mau melakukan apa saja untuk menampakan bahwa Islam bagaimanapun jua merupakan kepercayaan 'modern' serta, berbda menggunakan Kristen, sama sekali tidak bertentanagan dengan sains.
Menurut Nasr tulisan-goresan pena kaum Islam modernis yg menjamin Islam sesuai menggunakan sains modern, yaitu sains yang dipercaya dipelopori sang Galileo serta Newton, kentara-kentara mengandung stigma. Kesalahan mereka, menurut Nasr, merupakan bahwa ilm pada bahasa Arab yg berarti menuntut ilmu sesuai menggunakan kewajiban kepercayaan , sengaja diubah agar menjadi sains dan pengetahuan sekuler. Nasr menganggap galat lantaran term ilm, tidak hanya menyangkut masalah duniawi teapi pula menyangkut pengetahuan tentang Tuhan, serta lain-lain hal gaib lainnya. Jika mengikuti pandangan kaum Islam modernis, dari Nasr, berarti menggerogoti tauhid.
Menurut Nasr seseorang ilmuwan yang secara konsisten memakai peralaan dan eknik-teknik sains terkini, bila nir hati-hati akan menghancurkan struktur agama Islam. Masalahnya, sains terbaru hanya mengandalkan nalar dan pengamatan sebagai wasit penentu kebenaran. Bagi ortodoksi Islam, sejenis Nasr, ini sama sekali nir dapat diterima. Hal ini sangat berbeda menggunakan sains zaman dulu. Mengenai sains zaman dulu Nasr mempunayi pendapat yang baik:
tidak pernah menjadi tanangan bagi Islam misalnya halnya sains terbaru. Para pelajar Islam pada madrasah-madrasah tradisional nir berhenti melaksanakan shalat ketika mereka menyelidiki aljabar Khayyam atau risalat al-kimia menurut Jabir ibn Hayyan. Tidak misalnya pelajar-pelajar zaman sekarang yang begitu banyak kehilangan semangat beragama mereka setelah menilik matematika serta kimia terbaru.
Jika kita jangan lupa disparitas mendasar kerangka konseptual sains abad pertengahan dan abad terkini, sesungguhnya pemikiran Syyed Hossein Nasr tadi tidaklah sulit dipahami. Ilmuwan abad pertengahan, baik yg Islam juga Kristen, bekerja dalam batas-batas, paradigma teologis. Sains harus menemukan perintah ketuhanan dari alam semesta yang karakteristik-cirinya sudah ditetapkan sang apa yg diyakini sebagai wahyu. Secara umum., sains secara prinsip ditinjau menjadi cara untuk menggambarkan kebenaran teologis. Maka sains, sebagai kaki tangan teologi, harus pertanda bahwa iman didukung oleh alasan serta faka-warta fisik.
Sains terbaru dalam pandangan Nasr, terutama yang berkembang di Barat, sejak Renaissance sudah membangun bentuk dan paradigma baru yg adalah manifesasi corak pemikiran rasionalistis serta antroposentris serta sekularisasi kosmos. Ilmu dalam konsepsi Barat misalnya inilah yg disebut oleh Nasr sudah menempati mode spesifik, yaitu sama sekali tidak herbi Kesucian.
Sekularisasi ilmu yang terjadi pada Barat, diantaranya dilatarbelakangi sang pecahnya kesatuan gereja Kristen bersamaan menggunakan gelombang Renaissance. Gelombang sekularisasi tersebut menggempur peradaban Barat dalam ketika itu sehingga mistisisme Kristen, yang dimotori diantaranya sang Lutherian, tidak dapat mencegah dahsyatnya gelombang sekularisasi tadi. Pemikiran yg bercorak rasional serta empiris juga ikut menymbangkan peran bagi proses sekularisasi ilmu pada Barat. Empirisme yg berkembang di Barat, terutama di Inggris, menciptakan fungsi kudus intelek nir lagi berguna. Isaac Newton, bapak ekamatra klasik yang menulis Principia, saat mempropagandakan rasionalisme ilmu pula turut berperan dalam proses desakralisasi ilmu.
Menurut analisis Seyyed Hossein Nasr Descartes merupakan orang yang sangat banyak memberikan andil terhadap desakralisasi ilmu pada Barat. Ketika Descartes menciptakan basis baru bagi ilmu, dengan memunculkan pencerahan individu sebagai subjek berpikir, cogito ergo sum, dimaknai secara profan serta sama sekali nir meruuk kepada "Aku" tuhan. Menurut Nasr habitus baru yg dimunculkan Descartes ini tidak sinkron jauh dengan tradisi para Sufi Islam yang menafikan poly hal profan serta muncullah "Aku" yang kuasa. Mengacu pada diri manusia, yang mempunyai makna semu dalam pandangan orang arif. Descartes dalam kondisi ini, demikian Nasr, sudah menempatkan pengalaman serta pencerahan berpikir sebagai landasan onto
Kata "saya" dalam ucapan Descartes logi, epistemologi serta sumber kepastian. Akibat dari dampak pikiran Descartes ini banyak orang yg mengakibatkan pikiran individu sebagai baku dan membarui arah filsafat sebagai bentuk rasionalisme murni. Implikasi berdasarkan bentuk pemikiran misalnya ini tak jarang obyek diketahui lain sama sekali dengan yg dikehendaki obyek tiu sendiri, serta tak jarang pula poly duduk perkara yang direduksi sekedar sebagai "it" atau "thing" pada global yg mekanistik, padahal mungkin saja apabila melihanya berdasarkan sudut pandang lain "it" atau "thing" trsebut sangat sarat dengan nilai-nilai sakral.
Proses desakralisasi sesungguhnya sudah terjadi jauh sebelum masa Renaissance serta masa Descartes, yakni semenjak masa Yunani kuno. Pentingnya jiwa simbolis yang diserukan Plato, pengosongan kosmos berdasarkan unsur kudus pada kepercayaan Olympia yg membawa pada filsafat naturalistik, munculnya rasionalisme dan transformasi lain, adalah beberapa bukti proses desakralisasi ilmu di Barat ini.
Lebih mencolok lagi proses sekularisasi di Barat ketika kita melihat kasus ibnu Sina dan ibn Rusyd. Filsafat ibn Sina di dunia Islam sebagai basis penting bagi penekanan balik sakralitas pengetahuan dan intelek misalnya versi Suhrawardi, tetapi waktu karya-karya ibn Sina sampai di Barat dia berupah hanya sekedar menjadi rabat-rabat pengetahuan yang bercorak rasionalistik. Begitu juga pada perkara ibn Rusyd, ia kelihatan lebih rasional dan sekuler pada Barat ketimbang ibn Rusyd asli yang dibaca pada dunia Arab.
Seyyed Hossein Nasr memandang proses desakralisasi ilmu di Barat diantaranya diandai menggunakan pereduksian intelek sebagai logika (reason) serta intelligence dibatasi dengan sekedar cunning serta cleverness, yg seluruh itu merusak teologi, termasuk teologi natural, baik pada kalangan Islam maupun Kristen. Pencabutan pengathuan berdasarkan karakter sucinya serta menumbuhkan ilmu profan, membuat orang lupa akan keunggulan spiritual dalam aneka macam tradisi, maka ilmu pengetahuan Barat yg profan menjadi sentral sementara bisikan hati serta unsur-unsur yang bercorak ilahi sebagai periferal.
Pemikiran sekuler yg terjadi dalam desakralisasi ilmu tadi merambah uga pada bidang-bidang lain. Bahkan hingga pada bahasa pun terkena imbas desakralisasi ini. Bahasa-bahasa yang berkembang di Barat kehilangan ragam makna mendalam lantaran impak desakralisasi ini.
Pandangan Nasr yg kritis terhadap perkembangan ilmu pada Barat, membawanya dalam penilaian bahwa ilmu di Barat mengalami kritis yang, pada pandangannya, membawa ancaman berfokus menjadi dampak skularisasi. Nasr melihat sisi lemah sains pada Barat menggunakan kacamata perennisnya, lalu buat solusinya beliau memberikan konstruksi ilmu Islam menjadi alternatif, yg dianggapnya mampu mengatasi krisis humanisme yg diderita manusia terbaru.
Ilmu Islam dari Nasr bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja. Munculnya ilmu Islam adalah persinggungan dan hubungan mendalam menggunakan pradaban lain seperti Yunani, Persia, India, Kalde, dan Cina. Ketika berjumpa dengan berbagai peradaban tadi umat Islam terbuka terhadap banyak sekali perkembangan ilmu dan peradaban tetapi pula menyeleksinya dengan akurat sebagai akibatnya adonan dari keterbukaan serta daya selektif yg ketat itu melahirkan corpus baru yg unik.
Secara ontologism ilmu Islam didasarkan dalam metafisika simbolis. Alam yang terbentang luas ini, pada pandangan Nasr, wajib dipahami secara simbolis,sehingga hubungan dengan realitas yg lebih tinggi nir hilang. Alam semesta tidak mampu direduksi sebagai sekedar fakta empiris, namun lebih berdasarkan itu harus membantu intelektual insan untuk sampai pada banyak sekali eksistensi, bukan hanya menjadi fakta meninggal namun beliau juga menjadi simbol, sebagai cermin yang memantulkan paras agung oleh pencipta.
Dalam tataran epistemologi ilmu Islam berlandaskan pada iluminasi akal serta intelek. Intelek adalah indera, akal adalah aspek pasifnya dan refleksinya pada diri manusia. Intelek adalah dasar logika, akal perlu dilatih secara sehat untuk bisa hingga pada intelek. Itulah sebabnya ahli ekamatra muslim menyatakan bahwa ilmu rasional secara alamiah akan mmbimbing insan sampai kepada yang yang kuasa.
Intelek, pada pandangan Nasr, merupakan kapasitas batin,namun tak jarang dikaitkan menggunakan fungsi analitis pikiran sebagai akibatnya dianggap nir terdapat sangkut pautnya dengan sifat kontemplatif. Pereduksian makna ini acapkali menimbulkan semangat insan buat menaklukkan alam semesta. Padahal seharusnya, demikian Nasr, interaksi antara ilmuwan menggunakan alam bersifat intelektif, tidak abstrak, tidak analitis serta nir sentimental.
Terma intelek dalam pemahaman Nasr berkaitan menggunakan terma lain seperti qalb, fu'ad, dan bashirah. Qalb, sebagaimana fu'ad, mempunyai muatan makna yang identik dengan sesuatu alat untul memahami empiris dan nilai-nilai. Sehingga konsep intelek dalam terminology Islam tidak sinkron dengan reason, lantaran intelek pada pengertian Islam tidak semata-mata berkaitan menggunakan rasionalisme tetapi jua berhubungan erat dengan problem wahyu, sehingga bagi seseorang muslim aktivitas ilmiah tidaklah harus menjauhkan dirinya dari ibadah dan Tuhan.
Struktur keilmuan misalnya tadi di atas merupakan pondasi yg paling kuat serta telah terbukti keampuhannya saat berhadapan dengan peradaban-peradaban lain. Sesungguhnya konstruksi contoh ini pula tidak bertentangan menggunakan konstruksi peradaban lain yang berlandaskan wahyu, karena konstruksi keilmuan itu nerupakan "heart of all revelations".
Perbedaan fundamental konstruksi ilmu di Barat dengan Islam, bila pada Barat sains identik menggunakan teknologi dan aplikasinya, sebaliknya sains pada pandangan Islam, disamping bermakna seperti pengertian sains pada perspektif Barat jua bermakna pengetahuan yang berkaitan menggunakan apiritualitas.
C. PETA PEMIKIRAN SEYYED HOSSEIN NASR
Ada banyak model yg diajukan orang buat integrasi sains dan agama. Model-model itu bisa diklasifikasikan menggunakan menghitung jumlah konsep dasar yg menjadi komponen utama contoh itu. Apabila hanya ada satu, model itu disebut contoh monadic.jika terdapat dua, tiga, empat atau 5 kompoonen, contoh itu masing-masingnya bisa disebut sebagai contoh-contoh diadik, triadik, tetradik serta pentadik. Berikut ini akan dibahas secara singkat masing-masing model tersbut.
Model pertama yang popular pada kalangan fundamentalis, religius maupun sekuler. Fundamentalis religius memandang bahwa kepercayaan adalah holistik yg mengandung semua cabang ilmu dan kebudayaan. Sedangkan yang sekuler memandang bahwa kepercayaan sebagai keliru satu cabang kebudayaan. Dalam fundamentalisme religius, agama dianggap menjadi satu-satunya kebenaran, sains hanyalah galat satu cabang kebudayaan, sementara bagi fundamentalisme sekuler kebudayaanlah yg merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang menurut sains menjadi satu-satunya kebenaran.
Dengan contoh monadik totalistik semacam ini nir mungkin terjadi koeksistensi antara sains serta agama, lantaran keduanya menegasikan keberadaan atau kebenaran lainnya. Maka interaksi antara ke 2 sudut pandang ini, nir bisa tidak berupa permasalahan, seperti yg dikonsepsikan Barbour atau Haught tentang hubungan sains dan agama.
Gambar Model Monadik Totalistik
Mengingat kelemahan model monadik tersebut, diajukanlah contoh kedua, yaitu model diadik. Ada beberapa varian model ke 2 ini. Varian pertama mengatakan bahwa sains dan kepercayaan adalah 2 kebenaran yang setara. Sains menyampaikan keterangan alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai-nilai ilahiah. Secara geometris dapat didiagramkan model ini menjadi dua buah lingkaran yang nir berpotongan. Model ini dapat diklaim sebagai contoh diadik kompartementer.
Gambar Model Diadik Independen/kompartementer
Varian ke 2 model diadik ini mungkin dapat dinyatakan sang gambar sebuah bulat yang terbagi sang sebuah garis lengkung sebagai 2 bagian yang bentuk serta luasnya sama, seperti dalam simbol Tao pada tradisi Cina. Berbeda dengan model interpendensi, pada varian ke 2 antara sains dan kepercayaan adalah bagian yang tak terpisahkan. Seorang tokoh yg patut dipertimbangkan dalam kaitan ini adalah Fritjof Capra saat dia mengeluarkan sebuah ungkapan: "sains tidak membutuhkan mistisisme dan mistisisme takmembutuhkan sains. Akan namun,insan membutuhkan keduanya". Varian kedua ini merupakan model diadik komplementer.
Gambar Model Diadik Komplementer
Varian ketiga bisa dilukiskan secara diagram dengan dua buah bulat sama akbar yang saling berpotongan. Apabila kedua bundar itu mendeskripsikan sains serta agama, akan masih ada sebuah kesamaan. Kesamaan itulah yg adalah bahan obrolan antara sains dan kepercayaan . Misalnya Maurice Buccaille mnemukan sejumlah data ilmiah pada dalam buku kudus Al-Qur'an. Atau para ilmuawan yang menemukan sebuah bagian pada otak yang dianggap sebagai "The God Spot" yang ditinjau menjadi pusat pencerahan religius manusia. Model ini bisa disebut sebagai contoh diadik dialogis.
Gambar Model Diadik Dialogis
Model ketiga adalah model triadik sebagai koreksi terhadap contoh diadik independent. Dalam model triadik terdapat unsur ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model ini diajukan sang para kaum teosofis yg bersemboyan "There is no religion higher than Truth". Kebenaran atau "Truth" merupakan kesamaan antara sains, filsafat dan kepercayaan .
Model ketiga ini merupakan perluasan saja menurut contoh diadik komplementer dengan memasukkan filsafat sebagai komponen ketiga yang letaknya diantara sains serta agama.
Sebagai koreksi terhadap contoh diadik dan triadik komplementer, sudah dikembangkan sebuah model tetradik. Salah satu interpretasi menurut contoh diadik komplementer merupakan identifikasi komplementasi "sains/agama" menggunakan komplementasi "luar/dalam". Pemilahan "luar/dalam" identik dengan pemilahan "objek/subjek" dalam perspektif epistemology. Menurut Wilber, pemilahan ini nir mencukupi lagi untuk tahu kenyataan budaya.
Wilber lalu memasukkan komplementasi baru buat melengkapi komplementasi-komplementasi modernis terdahulu. Komplementasi itu merupakan komplementasi "satu/poly", yang oleh Wilber diklaim "individual/sosial". Dengan adanya dua komplementasi, yg lama dan yang baru, maka realitas budaya dibagi menjadi empat kuadran dimana satu lingkaran dipecah sang 2 buah sumbe komplementasi yang saling tegal lurus satu sama lainnya: horizontal dan vertikal. Pada diagram empat kuadran Wilber ini sumbu individual/sosial diletakkan secara horizontal, menggunakan individualitas di sebelah kiri serta sosialitas pada sebelah kanan, serta sumbu interior/eksterior pada arah vertical menggunakan interioritas pada sedelah kiri serta eksterioritas pada sebelah kanan.
Menurut Wilber kuadran kiri atas bwerkaitan dengan subjektivitas, yang menjadi topic bagi psikologi Barat serta mistisisme Timur, dan kuadran kanan atas berkaitan dengan objektivitas yg menjadi topic bagi ilmu-ilmu kealaman atau sains. Sedangkan kiri bawah berkaitan menggunakan intersubjektivitas yg menjadi topic bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadtran kanan bawah menmyangkut interobjektivitas yang mengusut adonan objek-objek yg disebut Wilber sebagai rakyat atau teknologi. Dengan demikian, ada empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah) serta ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).
Jika ditinjau menggunakan ketiga contoh pada atas pemikiran Seyyed Hossein Nasr kelihatannya cenderung masuk dalam kategori contoh perama. Bagi Nasr agama, yg diwakili sang eologi, adalah segala-galanya. Sains dan ilmu-ilmu lain nir boleh keluar berdasarkan kerangka dan dalam rangka membela teologi.
"Senter" kedua hening trilogi Restorasionis, Rekonstruktionis dan Pragmatis perlu dikemukakan pada sini buat melihat formulasi pemikiran Nasr. Konstruksi trilogi yang dipakai merupakan apa yang telah dibangun oleh Pervev Hoodbhoy.
Pertumbuhan pesat sains modern mengundang asumsi menurut poly pihak, termasuk umat Islam. Beberapa diantara tanggapan itu terdapat yg masuk pada kategori restorasionis, rekonstruktionis serta pragmatis. Ketiga kategori gerombolan tanggapan terhadap sains tersebut dipandang secara sepintas pada goresan pena ini buat "menyorot" pemikiran Seyyed Hossein Nasr, sebagai akibatnya peta pemikirannya dalam hal sains terkini gampang dipahami.
Pertama, Kaum Restorasionis. Kaum restorasionis adalah grup yang paling bersemangat mengembalikan kejayaan Islam pada masa lampau. Kelompok ini juga berargumen bahwa kemunduran umat Islam ketika ini karena mereka nir bisa memegang fikrah serta thariqah Islam secara istiqamah. Menjamurnya gerakan fundamenalis pada sekita tahun 1970-1980-an adalah manifestasi yg paling konkret dari gerakan kaum restorasionis ini.
Salah satu model gerakan kaum restorasionis merupakan gerakan Jemaat-e Islami pada Pakistan, suatu grup politik-agama yang menerima dukungan berdasarkan rakyat urban kelas menengah dan para mahasiswa. Walaupun belum pernah menerima kemenangan dalam pemilu di Pakistan namun imbas grup ini sangat bertenaga pada Pakistan. Maryam Jameelah, seorang Yahudi Amerika yg masuk Islam, adalah juru bicara Jemaat-e Islami yang paling cakap tentang perkara-perkara sains dan modernias. Jameelah berpandangan bahwa seluruh ideology modernis dicirikan dengan pemujaan manusia. Pemujaan manusia paling seringkali ada di bawah kedok sains. Kepada modernis ditayangkan bahwa kemajuan pada sains pada akhirnya akan menganugerahkan dalam mereka kekuatan dewa. Bagi Maryam Jameelah umat Islam seyogyanya tidak perlu "mengejar Barat" lantaran sifat sains Barat jahat serta tidak bertuhan. Masa lampau Islam jauh lebih baik, sementara modernitas nir membentuk apapun kecuali kerusakan.
Kedua, Kaum Rekonstruksionis. Posisi kaum rekonstruksionis sangat sangat bertentangan menggunakan posisi ortodoks yang sangat anti-sains dan anti modernisme. Rekonstruksionis secara esensial menafsirkan pulang keimanan buat mendamaikan tuntuan peradaban terbaru dengan ajaran dan tradisi Islam. Kelompok ini berpandangan bahwa Islam pada masa Nabi dan masa khulafa' al-Rasyidin adalah Islam yang progersif, revolusioner, liberal dan rasional. Maka grup yg dogmatis reaksioner dianggap taqlid serta menolak inovasi (ijtihad).
Diantara tokoh kaum rekonstruksionis adalah Syed Ahmad Khan (1817-1898) dan Syed Ameer Ali (1849-1924). Ahmad Khan berpendapat bahwa Al-Qur'an harus ditafsirkan ulang berkaitan menggunakan realitas yang berubah. Sementara Ameer Ali berpendapat bahwa Islam adalah agama revolusioner, rasional dan berorientasi maju.
Ketiga, Kaum Pragmatis. Kaum pragmatis sesungguhnya merupakan juml;ah terbesar dari umat Islam, namun gerombolan ini lebih poly menentukan bungkam terhadap kasus modernitas dan sains. Merekalebih senang memperlakukan persyaratan-persayaratan agama dan keimanan menjadi sesuatu yg secara esensial nir eksklusif berkaitan dengan perkara kehidupan politik ekonomi, atau menggunakan sains serta pengetahuan secular lainnya. Kaum pragmatis merasa puas dengan keyakinan samara bahwa Islam dan modernitas tidak bertentangan, namun mereka enggan menguji masalah-kasus tersebut menggunakan lebih mendalam. Salah satu model tokoh pro modernis dan pro sains adalah Jamaluddin al-Afghani (1838-1897).
Jika dilihat menggunakan snter trilogi ersebut pada atas tampak bahwa pemikiran Seyyed Hossein Nasr berada dalam kategori perama, yaitu gerombolan restorianis. Hal ini lumrah saja mengingat Nasr merupakan tokoh terkemuka ortodoksi Islam, sehingga sangat gampang dipahami jika pola berpikirnya berada pada frame restorianis.