AGENAGEN SOSIALISASI

Cara flexi-- Warga belajar dan murid sekalian, dalam pembahasan materi Sosiologi kali ini kita akan tahu tentang agen-agen pengenalan, Yang dimaksud dengan agen sosialisasi atau media pengenalan merupakan pihak-pihak yg melaksanakan sosialisasi. Dalam sosiologi terdapat empat agen atau media pengenalan yg primer, yaitu keluarga, kelompok sebaya atau sepermainan, sekolah atau gerombolan belajar, dan media masa.
1. Keluarga
Pada awal kehidupan seseorang, agen atau media sosialisasi yg utama adalah famili. Peran keluarga menjadi agen pengenalan yang pertama terletak pada pentingnya sosialisasi kebiasaan-kebiasaan yg diajarkan pada tahap ini. Pada termin ini seorang anak belajar berkomunikasi lewat indera pendengaran, penglihatan, perasa, dan sentuhan fisik. Sosialisasi dalam tahap awal ini sangat krusial, karena dalam periode inilah kemampuan-kemampuan tertentu diajarkan.
Proses pengenalan akan gagal, jika proses itu terlambat dilakukan. Seperti gambar berikut ini, melalui hubungan dalam famili, anak memeriksa kebiasaan, perilaku, perilaku, serta nilai-nilai budaya yg diyakini dalam keluarga maupun warga .
Nilai-nilai budaya yg tumbuh di masyarakat bermanfaat buat mencari keselarasan atau keharmonisan hayati. Nilai-nilai budaya ini diwariskan secara turun temurun menurut generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan nilai dimungkinkan sesuai dengan tuntutan jaman, asalkan menuju perbaikan.
Oleh karenanya, proses pengenalan pada setiap diri anak sangat penting. Proses sosialisasi ini dimulai menurut lingkungan famili, yaitu bagaimana suatu famili mempunyai pola asuh yg sinkron menggunakan budaya famili itu. Jadi famili memiliki fungsi pengenalan, diantaranya :
a. Sebagai tempat awal perwarisan budaya supaya anak terbiasa menggunakan aturan yg dianut oleh warga setempat.
b. Merupakan wadah pembentukan tabiat, kepribadian, budi pekerti supaya anak bisa berperilaku sinkron dengan nilai-nilai serta norma yang dianut sang rakyat setempat.
Uraian di atas merupakan proses pengenalan pada keluarga yang ideal. Adakalanya proses sosialisasi berlangsung tidak sempurna dikarenakan ada beberapa faktor. Misalnya, ada pergeseran nilai mengenai peran wanita. Dewasa ini, di Indonesia telah berkembang nial budaya bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu tempat tinggal tangga saja, namun pula menjadi perempuan pekerja yg berkarir atau menjadi tenaga tenaga kerja wanita yg bekerja di luar negeri. Perubahan ini bedampak dalam pola asuh anak, pengasuhan anak tidak hanya sang orang tua, tetapi dibantu oleh pengasuh anak atau keluarga berdasarkan orang tua. Hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.
Sosialisasi utama yg berlangsung dikeluarga adalah awal menurut pembentukan kepribadian anak. Bahwa anak merupakan makhluk yg rentan, tergantung, lugu, serta memiliki kebutuhan-kebutuhan spesifik, sehingga anak memerlukan perawatan dan perlindunga yang spesifik jua. Keluarga yang serasi, penuh cinta kasih, dan pengeritian merupakan tempat untuk berkembangnya secara penuh baik fisik juga mental. Namun, ada sejumlah syarat anak-anak Indonesia tergolong dalam kondisi yg kurang beruntung.
Keluarga dengan tekanan ekonomi yg berat merupakan keliru satu faktor yang berdampak dalam pola asuh terhadap anak. Anak yg seharusnya masih berada pada usia sekolah terpaksa membantu orang tua buat bekerja. Keadaan ini menjadi parah, karena 80 % dari pekerja anak terutama di pedesaan, mereka bekerja tanpa dibayar. Akibat berdasarkan itu semua perkembangan diri anak sebagai terganggu. Anak mengalami kekerasan fisik, putus sekolah, keliru pergaulan, yg pada umumnya nir memperbaiki kodrat mereka menjadi anak. Di bawah ini, contoh perkara bepergian bagaimana seseorang anak menjadi anak jalanan.
2. Kelompok Sebaya atau Sepermainan (peer group)
Anak selesainya bisa berjalan dan berbicara, jua membutuhkan kegiatan bermain. Interaksi dengan orang lain atau sahabat sebaya, membuat anak mengenal beragam aturan mengenai peranan setiap individu. Seperti gambar di bawah ini, anak-anak begitu ceria dengan teman sepermainannya.
Dengan bermain anak mengenal nilai-nilai solidaritas, keadilan, toleransi, serta kebenaran. Semakin bertambah usai anak, media pengenalan gerombolan sebaya memberi efek yg begitu akbar pada pembentukan kepribadian seseorang.
Seseorang tidak mampu melepaskan hubungannya menggunakan jaringan grup. Kelompok merupakan tiap formasi orang yg memiliki pencerahan beserta akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Sebagai remaja, kamu dituntut selektif pada saat menentukan keanggotaan pada berkelompok. Sikap-perilaku apa saja yang wajib kita tunjuk dalam berinteraksi sosial dengan sahabat-teman kita?
a. Sikap toleran terhadap keragaman perilaku
Keragaman perilaku akan memilih dalam kelompok mana seseorang remaja akan bergabung. Bentuk gerombolan dibedakan sebagai dua, yaitu grup sendiri serta gerombolan luar. Kelompok sendiri merupakan gerombolan dimana saya menjadi anggota gerombolan itu. Sedangkan grup luar adalah gerombolan yang saya nir menjadi anggota kelompok itu. Kedua bentuk kelompok itu sangat penting lantaran dapat mensugesti perilaku seseorang. Kelompok sendiri mengharapkan anggota grup menerima pengakuan, kesetiaan, serta pertolongan. Dari grup luar kita menerima sikap permusuhan atau persaingan. Untuk itu sikap toleransi diharapkan untuk melihat keragaman konduite antar teman. Lantaran dengan bersikap toleran, pertentangan dapat dihidari serta akan tercipta keselarasan pada hubungan antar gerombolan .
b. Sikap kritis dalam memilih kelompok
Seseorang pada memilih pilihan untuk bergabung menggunakan grup harus bersikap kritis. Dilihat menurut tipe hubungan gerombolan dapat dibedakan sebagai kelompok utama serta kelompok sekunder. Kelompok primer merupakan grup dimana kit bisa mengenal sebagai seseorang langsung yg akrab. Dalam grup primer interaksi bersifat tidak resmi, akrab, dan personal. Contoh, gerombolan yg memiliki kesamaan hobi, kecenderungan loka tinggal, dan sebagainya. Sedangkan grup sekunder merupakan lebih bersifat resmi, dna didasarkan pada tujuan. Contohnya merupakan grup belajar, gerombolan ilmiah remaja, dan sebagainya. Kelompok utama lebih menekankan pada hubungan, sedangkan kelompok sekunder lebih berorientasi pada tujuan. Seorang siswa harus bersikap kritis dalam menentukan pilihan berkelompok. Kelompok sebaiknya mampu membangun kepribadian seorang buat berperilaku lebih baik. Kekeritisan seorang diharapkan terutama pada lingkungan yang keras. Munculnya anak-anak jalanan tidak semata-mata lantaran tekanan ekonomi famili, tetapi terjadinya kekerasan dalam famili juga menjadi pemicu anak-anak terdampar di jalanan. Anak-anak jalanan sangat rentan terhadap perjudian, penyalahgunaan obat-obatan, serta kekerasan pada gerombolan mereka. Anak-anak terjerumus demikian, lantaran mereka tinggal menggunakan orang yang memperkerjakan mereka atau dengan rekan keraja yg lebih dewasa. Sedangkan, kebutuhan dan gaya hidup mereka berbeda. Kondisi ini memengaruhi perkembangan psikologis anak. Contoh, anak-anak yg berkerja menjadi operator jermal serta pemancingan melakukan perjudian serta merokok. Oleh karena itu, seleksi terhadap kelompok berteman menjadi sesuatu yang berharga, supaya nir terjerumus ke hal-hal yg negatif. Pemerintah serta masyarakat diharapkan tahu keberadaan anak-anak jalanan dengan nir bertindak sewenang-wenang, tetapi berpartisipasi buat mengembalikan mereka ketempat yang aman serta layak.
3. Sekolah atau Kelompok Belajar
Sekolah menjadi jalur pendidikan formal atau grup belajar, adalah bagian menurut pendidikan non formal adalah agen sosialisasi yg mengajarkan hal-hal baru yg nir diajarkan dikeluarga juga dalam hubungan menggunakan grup sebaya.
Kelompok belajar mempersiapkan kiprah-peran baru buat masa mendatang ketika seorang nir tergantung lagi dalam orangtuanya. Selain mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang bertujuan mengembangkan intelektual anak, gerombolan belajar atau sekolah jua membekali siswa dengan kemandirian, tanggung jawab, serta tata tertib.
Peran pemerintah maupun rakyat yang aktif serta peka terhadap potensi pada wilayahnya, memberi peluang buat menyejahterakan warga menggunakan menaikkan keterampilan mereka. Contoh, keterampilan yang dibina oleh forum-lembaga pendidikan nonformal, disesuaikan dengan kondisi geografis forum penyelenggara kegiatan keterampilan tersebut.
4. Media Massa
Media Massa meliputi media cetak yaitu surat berita, majalah atau tabloid, dan media elektro, antara lain radio, televisi, internet, film. Media massa, dewasa ini berperan besar sebagai media pengenalan. Sikap kritis berdasarkan setiap individu akan mampu menyaring beragam liputan yg sangat gencar diberikan oleh media massa.
Gencarnya tayangan iklan pada media cetak atau media elektronika mendorong insan buat berperilaku konsumtif. Pedagangan bebas dan pesatnya teknologi informasi membuat arus barang dari negara satu ke negara lain bergerak cepat. Demikian pula gaya hidup yang menunjuk dalam pola konsumtif serta cara perolehannya yag mudah menjadi ancaman bagu budaya lokal. Film atau sinetron yang menayangkan budaya kekerasan sebagai contoh pada kehidupan sehari-hari dalam waktu seseorang terlibat suatu masalah.
Demikian juga beragam hiburan televisi yg mengarah pada budaya pop, gampang dinikmati setiap saat menggunakan majemuk bentuk berdasarkan berbagai stasion televisi yg begitu poly.
Di sisi lain, media massa menaruh manfaat pada berbagi ilmu pengetahuan atau membuka wawasan seseorang dalam menyikapi aneka macam fakta. Misalnya, masalah tenaga kerja Indonesia ilegal di Malaysia. Dari media massa kita menerima keterangan apa pengaruh jika menjadi TKI secara ilegal, apa saja prosedur yang seharusnya dilakukan oleh TKI. Beragam kabar mengelilingi kita, bagaimana kita menyikapi fakta itu ditentukan sang kepribadian masing-masing individu.
3. Bentuk Sosialisasi
Sosialisasi utama serta pengenalan sekunder adalah 2 bentuk sosialisasi. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yg berlangsung dalam  tahap awal kehidupan seseorang menjadi insan. Sosialisasi ini terjadi di lingkungan keluarga, yg mengajarkan anak buat belajar sebagai anggota warga .
Sedangkan pengenalan sekunder merupakan proses yang memperkenalkan seseorang pada lingkungan diluar keluarganya. Sosialisasi sekunder berlangsung pada kelompok belajar, lingkungan kerja, grup bermain, maupun media massa.
 
Sumber : Modul Paket C Setara SMA Kelas X tahun 2004
 

GARIS BESAR PERKEMBANGAN ELIT INDONESIA

Garis Besar Perkembangan Elit Indonesia 
Garis besar perkembangan elit Indonesia merupakan menurut yg bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, serta dari keturunan kepada elit terkini yg berorientasi pada negara kemakmuran, menurut pendidikan. Elit terkini ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. 

Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, serta para intelektual, tetapi dalam akhirnya perbedaan primer yang bisa dibuat merupakan antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri buat kelangsungan berfungsinya suatu negara serta warga yang terbaru, sedangkan elit politik merupakan orang-orang (Indonesia) yg terlibat pada aktivitas politik untuk aneka macam tujuan tapi umumnya bertalian menggunakan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yang lebih akbar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke 2 lebih mempunyai arti simbolis daripada mudah. 

Elit politik yg dimaksud adalah individu atau gerombolan elit yg mempunyai efek pada proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang mempelajari elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, pakar yg beranggapan bahwa golongan elite itu merupakan tunggal yg biasa diklaim elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca serta Pareto). Kedua, ahli yg beranggapan bahwa terdapat sejumlah kaum elit yg berkoeksistensi, membuatkan kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, serta Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit merupakan sejumlah kecil individu yg memikul seluruh atau hampir seluruh tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan sang Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa pada setiap masyarakat, suatu minoritas menciptakan keputusan-keputusan akbar. Konsep teoritis yg dikemukakan oleh Plato serta Aristoteles lalu diperluas kajiannya oleh 2 sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca. 

Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok mini orang yg memiliki kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial serta politik. Kelompok kessil itu diklaim dengan elit, yang mampu menjangkau sentra kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan warga . Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit dari dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pintar yg memiliki kelebihan pada matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi warga dalam 2 kelas, yaitu pertama elit yg memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua warga , mulai adri yg paling ulet menyebarkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan bertenaga selalu ada dua kelas, yakni kelas yang memerintah serta kelas yg diperintah. Kelas yang memerintah, umumnya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-laba yang didapatnya menurut kekuasaan. Kelas yg diperintah jumlahnya lebih besar , diatur dan dikontrol oleh kelas yg memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci pada rakyat. Definisi ini kemduain didukung sang Robert Michel yg berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tidak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu terdapat kelompok mini yang bertenaga, secara umum dikuasai dan bisa mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya beredar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti dalam setiap tahapan fungsional pada proses pembuatan keputusan, serta perannya pun mampu naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yg lebih krusial, dalam situasi kiprah elit tidak terlalu menonjol dan status elit sanggup inheren pada siapa saja yang kebetuan punya peran penting. 

Pandangan yg lebih luwes dikemukakan sang Dwaine Marvick. Menurutnya ada 2 tradisi akademik tentang elit. Pertama, pada tradisi yg lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan talenta-bakat unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang menjadi kelompok pencipta tatanan yg lalu dianut oleh seluruh pihak. Ke 2, pada tradisi yang lebih baru, elit ditinjau menjadi grup, baik kelompok yang menghimpun yg menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa pada banyak sekali sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, produsen keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu sebagai figur sentral. 

Lipset serta Solari memberitahuakn bahwa elit merupakan mereka yg menempati posisi pada pada masyarakat di zenit struktur-struktur sosial yg terpenting,, yaitu posisi tinggi pada dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, kepercayaan , pedagogi dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit merupakan mereka yg mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran primer yang fungsional serta terstruktur pada berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi serta sebagainya. 

Field serta Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit merupakan orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awamdipandang menjadi sebuah grup. Merekalah yg menciptakan kebijakan umum, yg satu sama lain melakukan koordinasi buat menonjolkan kiprahnya. Menurut Marvick, meskipun elit sering ditinjau menjadi satu grup yg terpadu, tetapi sesungguhnya pada antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yg lain sering bersaing dan tidak sinkron kepentingan. Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit. 

Berdasarkan pandangan aneka macam pakar, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara umum ilmuwan sosial membagi pada 3 sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yang berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang menyebabkan mereka akan memegang peranan krusial dalam kegiatan warga . Kedudukan tadi dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yg inheren, misalnya keturunan atau kasta. 

Schrool menyatakan bahwa elit sebagai golongan primer dalam warga yg didasarkan pada posisi mereka yg tinggi pada struktur warga . Posisi yang tinggi tadi masih ada dalam zenit struktur warga , yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran serta pekerjaan bebas. 

Ke 2 sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini berdasarkan dalam suatu forum yang dapat sebagai pendukung bagi elit terhadap peranannya pada masyarakat. C. Wright Mills menyatakan bahwa buat sanggup memiliki kemasyhuran, kekayaan, serta kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga akbar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya buat memilki dan menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu. 

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Jika kekuasaan politik didefinisikan dalam arti efek atas aktivitas pemerintah, sanggup diketahui elit mana yang mempunyai kekuasaan dengan memeriksa proses pembuatan keputusan eksklusif, terutama menggunakan memperhatikan siapa yg berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

Pandangan ilmuwan sosial di atas menampakan bahwa elit memiliki dampak dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yang memiliki/bersumber berdasarkan penghargaan warga terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai asal kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu mampu berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan , kepercayaan , relasi, kemampuan berpikir serta keterampilan. Pendapat senda pula diungkapkan oleh Charles F. Andrain yang meneybutnya menjadi asal daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. 

Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal bisa ditinjau dalam tiga kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional, ketiga, elit dari kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas tiga kellompok sosial, pertama, raja dan kerabat raja yang dikenal dengan gerombolan bangsawan atau aristokrat. Ke 2 kelompok insan merdeka serta ketiga, kelompok hamba. 

Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yang penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari gerombolan -kelompok teori di atas terdapat kecocokan, tetapi yag terjadi dalam politik Sulawesi Selatan kini , adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor asal daya kuasa sebagaimana disebutkan di atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih menggunakan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh dari kualifikasi pengakderan partai politik akan namun juga tidak menerangkan perilaku elit yang loyal serta ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi tak jarang menjadi faktor yang diasumsikan menjadi sumber kekuasaan, dalam warga Bugis Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yg bertenaga, dimana sirkulasi elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar adalah berdagang. Namun kondisi ini saling bertumpang tindih dengan patrimonialisme, kekeluargaan, serta bahkan memungkinkan buat terjadinya dinastitokrasi. 

Dalam kenyataan keluarga Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu sebagai konteks fenomenal yang menyulitkan buat memutuskan satu bingkai paradigmatik dan teoritik sebagaimana dijelaskan di atas. Karenanya, perkiraan teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus, kapital, ranah serta praktek mungkin relevan menjadi indera analisis primer disamping kekuatan teoritik berdasarkan menurut teori elit di atas. Perspektif Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab berikutnya di bawah ini.

A. Menganalisis Politik serta Demokratisasi Lokal 
Pendekatan kami terhadap analisis politik dan demokratisasi lokal mengombinasikan analisis keseimbangan kekuasaan dengan cara di mana para pemain mencoba menguasai dan mengubah kondisi tadi dengan mencoba mempekerjakan serta membentuk atau menghindari serta mengurangi instrumen demokrasi dalam ruang politik lokal serta non lokal. Cara ilustratif pertama pada mengkonseptualisasikan hubungan kekuasaan diambil dari karya Pierre Bourdieu. Bourideu mengkonseptualisasikan ekuilibrium struktural antara kekuasaan serta praktek para pemain. Ada 3 konsep yang dikemukakan oleh Bourdieu, pertama ’Habitus’, ke 2 konsepsi khususnya mengenai ’modal’ serta yg ketiga ’lapangan sosial atau ranah’. 

Istilah kunci dalam pemikiran Bourdieu adalah habitus dan ranah (field). Bourdieu memperluas memperluas tentang kapital ke pada beberapa kategori, seperti kapital sosial serta kapital budaya. Bagi Bourdieu, posisi individu terletak di ruang sosial (social space) yg tidak didefinisikan sang kelas, tetapi sang jumlah modal menggunakan aneka macam jenisnya serta oleh jumlah nisbi modal sosial, ekonomi, serta budaya yang dipertanggung jawabkan. 

Sedangkan habitus diadopsi melalui pengasuhan dan pendidikan. Konsep tersebut digunakan dalam tingkatan individu, ’a system of acquired dispositiions functioning on the practical level as categories of perception and assessment...as well as beig the organizing priciples of action’. Bourdieu beropini bahwa usaha demi distingsi sosial adalah dimensi fundamental menurut semua kehidupan sosial. Istilah ini merujuk kepada ruang sosial dan terjalin menggunakan sistem disposisi (habitus). Bagus Takwim menyebutkan dalam pengantarnya , bahwa bordieu mengartikan habitus sebagai ”...suatu sistem disposisi yg berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, trnasponsible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yg terrstruktur dan terpadu secara objektif”. Sedangkan ranah sang Bourdieu diartikan sebagai jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah berdasarkan kesadaran dan kehendak individual

Dengan kata lain, habitus merupakan struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial. Individu memakai habitus pada berurusan menggunakan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yang ada pada ruang sosial. Secara gampang, habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konspetual dari benda-benda pada empiris sosial. Berbagai macam skema tercakup pada habitus misalnya konsep ruang, saat, baik-tidak baik, sakit-sehat, laba -rugi, bermanfaat-nir berguna, benar-salah , atas-bawah, depan-belakang, indah-tidak baik, serta terhormat-terhina.

Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial yg adalah arena bagi usaha sumber daya. Individu, isntitusi, dan agen lainnya mencoba untuk membedakan dirinya dari yg lain dan mendapatkan modal yg berguna atau berharga dia arena tersebut. Dalam rakyat terkini, terdapat dua sistem hierarkisasi yg tidak sinkron. Pertama adalah sistem ekonomi, dimana posisi serta harta ditentukan sang harta modal yag dimiliki sesorang . Sistem ke dua merupakan budaya atau simbolik Dalam sistem ini, status seorang ditentukan oleh seberapa poly ’modal simbolik’ atau modal budaya yg dimiliki. Budaya jua adalah sumber dominasi, dimana para intelektual memegang peranan kunci sebagai seorang ahli produksi budaya serta pencipta kuasa simbolik. 

Habitus mendasari ranah yg merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif pada suatu tatanan sosial yang hadir terpisah berdasarkan pencerahan individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif anatar individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan gerombolan dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara impulsif. Ranah mengisi ruang sosial. Istilah ini megnacu pada keselurahan konsepsi tentang dunia sosial. Konsep ini menganlogikan empiris sosial menjadi sebuah ruang dan pemahamannya memakai pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial dapat dikonsepsi sebagai terdiri menurut beragam ranah yg emiliki sejumlah interaksi terhadap satu sama lainnya dan sejumlah raung hubungan. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah loka orang-orang berebut banyak sekali kapital. Dalam ruang sosial ini, individu menggunakan habitusnya berhubungan dengan individu lain serta aneka macam realitas sosial yg menhasilkan tindakan-tindakan sesuai menggunakan ranah dan kapital yang dimilikinya. 

Praktik adalah suatu produk berdasarkan relasi antara habitus sebagai produk sejarah, dan ranah yg jua merupakan produk sejarah. Pada waktu bersamaan, habitus dan ranah jua merupakan produk berdasarkan medan daya – daya yg terdapat di warga . Dalam suatu ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang mempunyai poly modal. Modal adalah sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan khusus yg beroperasi di pada ranah. Setiap ranah menuntut individu buat mempunyai kapital – kapital spesifik supaya bisa hayati secara baik serta bertahan di dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menampakan praktik sosial tersebut menggunakan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.

Ide Bourdieu mengenai Habitus sanggup dimengerti dalam konsep yang lebih dikenal mengenai ’institusi’ dan ’kultur’. Ketika Bourdieu berbicara mengenai ’disposisi’, misalnya yg telah kami jelaskan, beliau mengacu dalam pola kelakuan yg terstruktur serta kebiasaan-noram serta pengertian yg diasosiasikan dengannya. Dia mengimplikasikan eksistensi ’institusi’, atau peraturan formal dan informal yg menghambat serta memfasilitasi tindakan manusia dan interaksi sosial, serta ’kultur’ atau kebiasaan berfikir serta berkelakuan, dan arti yang menadasarinya yang digolongkan sekelompok orang eksklusif. Dengan cara ini ke dua istilah mempunyai arti saling berafiliasi atau sebagian tumpang tinfih. Formal, khususnya perturan sah, dan kontrak selalu perlu ditanamkan dalam tingkatan sosial yang dalam dan informal, acapkali melibatkan faktor-faktor seperti agama, tugas serta kewajiban (sehingga) suatu kontrak formal selalu merogoh corak spesifik berdasarkan kultur sosial informal yang ditanamkan. 

B. Deliberasi Politik Lokal dalam Pemilu serta Pilkada
Perubahan tatanan politik di Indonesia yang secara legalitas aturan tertuang dalam ketetapan MPR RI No.xi/MPR/ 1998 tentang Pemilihan Umum, yg didalamnya terkandung dua aspek mendasar terhadap perubahan tatanan politik pada Indonesia yaitu adanya kebebasan mendirikan partai politik menggunakan kembalinya menggunakan system multi partai sehabis dan upaya memaksimalkan potensi demokrasi yang mungkin dilakukan menggunakan mengadakan dua putaran pemilu; pemilu pertama buat menentukan anggota DPR/MPR serta pemilu kedua menentukan presiden dan wakil presiden secara eksklusif juga. Kemudian diikuti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, serta Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, serta Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya secara eksplisit Indonesia menganut system pemerintahan negara presidensil, yakni adanya legitimasi terpisah antara presiden sebagai eksekutif serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai legislatif dipilih secara terpisah oleh masyarakat. Perubahan aturan ketatanegaraan lewat reformasi serta amandemen konstistusi (pasal 22E mengatur tentang pemilu legislatif yg kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2003, dan pemilu presiden serta wakil presiden di atur dalam pasal 6A yang selanjutnya dijabarkan pada Undang-Undang No.23 Tahun 2003) mengembalikan kedaulatan rakyat menggunakan memberi peluang kepada masyarakat buat memakai hak pilihnya secara langsung3.

Dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara pribadi pula membatasi fungsi Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam menentukan presiden serta wakil presiden selanjutnya, serta turut menghipnotis sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Dimana sebelumnya melalui prosedur pemilihan sang MPR yg nir jarang melalui lobi politik yang memenangkan kontenstan yg tidak sesuai harapan warga .

Pembaharuan sistem politik Indonesia output reformasi politik serta reformasi hukum ketatanegaraan diantaranya adalah perubahan keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yg terdiri berdasarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sistem pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), serta pemilihan pribadi presiden serta wakil presiden, dan aplikasi pilkada eksklusif.

C. Pilkada Langsung 
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia sudah tiga kali melaksanakan pemilihan umum yaitu 1999, 2004 serta 2009 menggunakan sistem multi partai. Dengan sistem multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan metode pendekatan pada memperoleh suara terbanyak buat memenangkan pemilu. Pemilihan generik presiden serta wakil presiden yg diatur pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 telah membuka ruang kontestasi pada memperebutkan kekuasaan serta legitimasi kekuasaan politik. Telah 3 kali terjadi pergantian presiden sebagai bagian berdasarkan proses demokrasi pada tingkat nasional serta wilayah. Pemilihan Presiden dan wapres Langsung Tahun 2004 adalah pengalaman baru serta telah berlangsung ke dua kalinya bagi Bangsa Indonesia, sebagai keliru satu kajian demokrasi presidensil. UU No. 23 Tahun 2003. Di tingkat wilayah, pada beberapa Provinsi serta Kabupaten telah hampir memasuki kali ke 2 dalam pemilihan Kepala Daeraha secara eksklusif. Tingginya bias pertarungan dalam Pilkada, mengakibatkan ihwal tentang Pilkada Gubernur belakangan akan dikembalikan dalam system pemilihan melalui DPRD Provinsi. 

Adanya jarak antara pemilu dengan sirkulasi elit di masa orde baru disebabkan ketertutupan politik menggunakan adanya pemusatan kekuasaan pada tangan Suharto, yg sehabis reformasi terjadi sirkulasi elit yg terbuka dan kompetitif dimulai Pemilihan Umum 1999 yang disusul aplikasi Pemilihan Presiden serta Wakil Presiden Langsung 2004. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah wilayah sangat bercorak sentralistik, dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan dan penentuan pejabat ketua daerah yg wajib memperoleh persetujuan presiden. Namun sejak runtuhnya otoriter orde baru, bermunculan tuntutan berbagai daerah supaya mereka dapat memilih sendiri kepala daerah masing-masing. Sehingga ada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 sebagai output reformasi politik. Pergeseran tadi bertujuan membentuk pemberdayaan politik rakyat lokal yang dalam pelaksanaannya masih terbatas pada legislative wilayah.

Dalam sejarah Indonesia sampai dalam masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli oleh elite politik pusat serta wilayah dengan tidak memberi kesempatan masyarakat menentukan secara eksklusif ketua wilayah dan wakil kepala wilayahnya. Adanya perbedaan tata cara dan prosedur pemilihan yang selama ini dikonstruksi buat menentukan anggota legislative serta presiden serta wakil presiden yang melibatkan partisipasi warga dalam menggunakan hak pilihnya. Namun kebalikannya pilkada dilakukan menggunakan sistem pemilihan perwakilan sang anggota dewan atau diangkat/ditunjuk sang pejabat pusat. 

Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya serta keliru satu produk era reformasi merupakan UU No.22 tahun 1999 tentang desentralisasi, yg pada praktik pilkada mengakibatkan keprihatinan dan kekecewaan dengan keluarnya gosip maraknya politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik pada taraf lokal maupun sentra. Kemudian direvisi menggunakan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (swatantra daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 serta Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang membuka peluang pada warga buat mewujudkan aspirasi wilayah menggunakan memiliki pemimpin lokal yg dipilih sang rakyat melalui pilkada pribadi. Perubahan ini sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di daerah.

Alasan mengapa wajib diselenggarakan pilkada langsung lantaran: Pertama, meningkatnya partisipasi politik rakyat wilayah; Kedua, legitimasi politik yang dapat menaruh efek legitimasi yg lebih bertenaga terhadap kepemimpinan wilayah terpilih; Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; serta Keempat, akuntabilitas yg merupakan dilema fundamental dalam memillih seorang pemimpin. Dalam artian pilkada pribadi wajib bisa mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif wilayah yang bertenaga. Selain itu, aplikasi pilkada eksklusif harus berkualitas, sederhana, efisien, serta gampang dilakukan. Pilkada pribadi pula wajib membuka ruang selebar-lebarnya terjadinya kompetisi yang adil antara para calon yg bersaing dengan melibatkan partisipasi rakyat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yang berlangsung sampai dengan pemilihan, dan proses-proses politik pasca pemilihan.

Dengan demikian ketua wilayah terpilih akan lebih akuntabel pada warga dan bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan berorientasi pada masyarakat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) serta potensi korupsi, kolusi serta nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) bisa berkurang dalam golongan eksklusif. Perubahan politik nasional dengan mengadakan pemilihan langsung terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan wapres diikuti menggunakan pemilihan langsung gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

Dalam kaitannya menggunakan perubahan sistem pilkada adalah adalah mata rantai reformasi politik buat mewujudkan politik yang demokratis di Indonesia. Dalam suatu rakyat demokratis, rakyat berperan nir buat memerintah atau menjalankan keputusan–keputusan politik. Tetapi terdapat pemilihan umum yg berperan buat membentuk suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yg pada gilirannya membentuk suatu eksekutif nasional dan pemerintah.

D. Teori Klan Politik
Secara garis besar klan adalah sekelompok orang yang manunggal dengan kekerabatan yang nyata atau dirasakan dan keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan sebenarnya tidak diketahui, anggota klan permanen bisa anggota pendiri atau leluhur di puncak . Obligasi korelasi berbasis mungkin hanya simbolis pada alam, di mana saham marga yg pada memutuskan nenek moyang yg adalah simbol persatuan marga. Klan paling mudah di gambarkan menjadi suku atau Sub kelompok suku. Kata marga berasal dari ’clann’ berarti ’anak’ dalam bahasa Gaelic Skotlandia serta Irlandia. Pada tahun 1425 kata itu di bawa ke Inggris sebagai nama untuk sifat suku Gaelic masyarkat skotlandia serta Irlandia. Klan terletak disetiap negara, anggota mampu mengidentifikasi dengan lambang buat pertanda bahwa mereka adalah kaum independen.

Dalam budaya yg tidak sama dan situasi, klan bisa berarti hal yg sama misalnya kelompok kerabat berbasis lainnya, seperti suku dan band. Sering kali, faktor yg membedakan adalah bahwa marga merupakan bagian kecil berdasarkan suatu rakyat yang lebih besar seperti suku, chiefdom, atau negara. Contohnya termasuk Skotlandia, Irlandia, Cina, Jepang serta klan klan Rajput di India serta Pakistan, yg terdapat sebagai grup kerabat pada negara masing-masing. Namun, perlu diketahui bahwa suku-suku dan band pula bisa komponen masyarakat yang lebih besar . Mungkin yg paling populer suku, 12 suku Israel Alkitab, terdiri satu orang. Suku-suku Arab adalah kelompok mini dalam masyarakat Arab, serta Ojibwa band adalah bagian kecil menurut suku Ojibwa di Amerika Utara. Dalam beberapa masalah diakui beberapa suku marga-marga yang sama, misalnya beruang serta klan rubah berdasarkan Chickasaw dan suku Choctaw.

Selain berdasarkan tradisi yang berbeda menurut hubungan, kebingungan konseptual lebih lanjut timbul berdasarkan penggunaan sehari-hari istilah tadi. Di negara-negara pasca-Soviet, contohnya, sangat generik buat berbicara mengenai klan pada surat keterangan ke jaringan informal dalam bidang ekonomi serta politik. Penggunaan ini mencerminkan perkiraan bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain dalam sangat dekat serta saling mendukung dengan cara yg sekitar sama solidaritas antara sanak saudara. Tetapi, marga-marga Norse, yang ätter, tidak dapat diterjemahkan dengan suku atau band, dan akibatnya mereka seringkali diterjemahkan dengan tempat tinggal atau baris.

Sesudah bergulirnya reformasi sejak tahun 1998,dinamika politik diaerah memasuki era baru jua. Aktor, institusi, serta budaya lokal bermunculan dan mulai memainkan kiprah di dalam politik lokal. Aktor aktor lokal yg terorganisir, dan memiliki simbol kultural lokal berada dipanggung politik. Kemunculan aktor aktor lokal tidak terlepas menurut adanya jaringan atau klan yang terjadi antara kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan memperlihatkan adanya integrasi social, kelompok korelasi yang akbar, grup relasi yang menurut asas unilinear. Klan gerombolan korelasi yg terdiri atas seluruh keturunan seseorang nenek moyang yang di perhitungkan berdasarkan garis keturunan pria atau perempuan .

Bangunan klan tidak terlepas dari siapa patron awal yang membentuk pondasi yg kuat yg membawanya sehingga klan tersebut atau jaringan bisa berada dalam level kekuatan kekuatan yg bertenaga untuk lalu dikonsolidasikan dalam tataran elit yg kemudian menjadi kekuatan yang kuat ditingkatan lokal serta nantinya dalam strata skala nasional. Klan atau jaringan pada ranah pangung politik sangat berperan besar dimana membentuk klan atau jaringan itu sendiri yg nantinya bisa menghipnotis proses politik atau sebuah kebijakan serta dampak sosial politik menurut opini politik klan yang dibangun. 

Pola komunkasi yang kuat yang dibangun sebuah kelompok hubungan jaringan keluaraga atau adalah salah satu faktor menguatnya fenomena klan atau jaringan keluarga pada strata elit poltik lokal yang memungkinkan terjadinya dominasi kekuasaan pada arah proses kebijakan nantinya, semua itu nir terlepas menurut bisnis yang dibangun patron awal sebagai akibatnya klan atau jaringan keluaraga tadi menjadi suatu kesatuan yg kuat pada tataran politik lokal bahkan akan memunculkan regenerasi baru berdasarkan klan yg sama, yang kuat, dan yang nantinya akan meneruskan proses politik yg sedang berlangsung.

Klan pada politik ada pada satu famili dimana mereka pada hal ini keluarga bisa menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik, klan dalam politik ini adalah sesuatu yg diturunkan atas faktor keturunan dan ada yang menyebut gejala ini sebagai kebangkitan dinasti dikancah politik. Penulis menyebutnya sebagai klan atau famili politik, fanatisme pada keluarga terinspirasi berdasarkan peribahasa Jerman “Blut ist dicker als wasser” yg secara harfiah berarti interaksi darah (famili) lebih bertenaga dibandingkan ikatan lain ( berdasarkan aspek loyalitasnya ).

E. Konsep Pengaruh
Pada bagian ini akan disajikan konsep efek impak yg dimaksudkan dalam hal ini merupakan bila tekanan yang diberikan kepada pengaurh eksperimental dan pengaruh lingkungan itu ternyata benar,maka lumrah untuk beranggapan bahwa impak tersebut akan terus berkelanjutan sebagai penting selama usia dewasa,dan bahwa proses pengenalan itu berlanjut terus melampaui masa kanak kanak dan remaja. Bagan utama berdasarkan tingkah laris politik dimasa depan dapat ditentukan dimasa masa yang lebih muda,akan tetapi merupakan lebih mungkin membentuk suatu situasi dalam mana terdapat hubungan diantara pengenalan politik dini menggunakan dampak - imbas eksperimental dan lingkungan dari masa kehidupan selanjutnya,daripada menghindarkan pengenalan orang dewasa. 

Satu model terbatas akan menggambarkan maksud kita, ada bukti yang menyatakan bahwa anggota badan legislatif mengalami proses sosialisasi segera sesudah pemilihan mereka: dan bahwa tingkah aku legislatif berikutnya sebagian dipengaruhi sang pengetahuan,nilai nilai, dan sikap perilaku mereka seperti yg terdapat terdapat sebelum pemilihan, dan sebagian lagi oleh pengalaman pengalaman mereka semasa sebagai anggota badan legislatif, ditambah lagi menggunakan reaksi reaksi mereka terhadap lingkungan baru didalam forum legislatif.dalam keadaan misalnya itu suatu strata sosialisasi nir bisa dihindarkan berdasarkan pengalaman sehari hari laki-laki serta wanita pada umumnya.

Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum banyak diteliti orang, sekalipun terdapat beberapa verifikasi yg ada berdasarkan studi studi tentang tingkah laris pemilihan/elektoral, pencerahan kelas, pengaruh dari situasi situasi kerja serta perkembangan ideologi. Wlaupun demikian, setidak tidaknya mungkin buat mengsugestikan, bahwa bidang bidang tentang sosialisasi orang dewasa itu adalah penting. Justru seperti halnya anak yg diantarkan secara bertahap pada kontak menggunakan dunia disekitar dirinya setahap demi setahap, demikian juga halnya para remaja serta perubahan menurut masa remaja sebagai dewasa, menerangkan adanya suatu termin lainnya yang penting dalam sosialisasi politik.

Beberapa kontak yang dijalin selama masa kanak kanak dan masa remaja ada yg berkelanjutan dalam bentuk yang agak seperti melalui persahabatan dan ta’aruf: sedang yang lainnya bisa diteruskan atau diperbaharui lewat medium medium lainnya misalnya pekerjaan, kesenggangan ( kesibukan diwaktu senggang ), agama atau media massa, namun beberapa daripadanya serta pengalaman pengalaman yang mereka yang meraka peroleh adalah baru sifatnya. Bagi beberapa orang, pengalaman pengalaman baru sedemikian ini akan memperkokoh sosialisasi sebelumnya, akan namun bagi orang lain akan menyebabkan kemunculan banyak sekali tingkatan permasalahan yang mungkin mengakibatkan timbulnya perubahan perubahan krusial dalam tingkah laris politik. 

Kepindahan berdasarkan wilayah pedesaan ke kota, pengalaman menganggur, keanggotaan dari organisasi sukarela, perkembangan minat minat diwaktu senggang, ganti agama, penerapan berita serta opini melalui media massa seluruh ini menyebabkan pengaruh yang berarti pada tingkah laku politik kini . 

F. Konsep Jaringan
Menurut pandangan pakar teori jaringan, pendekatan normatif memusatkan perhatian terhadap kultur serta proses sosialisai yg menanamkan (internalization) kebiasaan dan nilai kedalam diri aktor. Menurut pendekatan normatif, yang mempersatukan orang secara bersama dalah sekumpulan gagasan bersama. Pakar teori jaringan menolak pandangan demikian dan menyatakan bahwa orang harus memusatkan perhatian pada pola ikatan objektif yang menghubungkan anggota rakyat. William membicarakan pandangan ini:

“Analisis jaringan lebih ingin mengusut keteraturan individu serta kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu pakar analisis jaringan mencoba menghindarkan penerangan normatif serta perilaku sosial. Mereka menolak setiap penerangan nonstruktural yg memperlakukan proses sosial sama menggunakan penjumlahan ciri langsung aktor individual serta kebiasaan yg tertanam. 

Setelah menjelaskan apa yang sebagai bukan sasaran perhatiannya, teori jaringan lalu mengungkapkan sasaran perhatian utamanya, yakni pola objektif ikatan yg menghubungkan anggota masyarakat (individual serta kolektifitas).wellman mengungkapkan target perhatian utama teori jaringan menjadi brikut:

Analisis jaringan memulai menggunakan gagasan sederhana namun sangat bertenaga, bahwa usaha utama sosiolog merupakan mengusut sturktur sosial…cara paling langsung menilik stuktur sosial adalah menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggotanya. Pakar analisis jaringan menulusuri struktur bagian yang berada dibawah pola jaringan biasa yang seringkali ada kepermukaan sebagai system social yang kompleks…Aktor dan perilakunya dicermati menjadi dipaksa oleh struktur social ini. Jadi, target perhatian analisis jarigan bukan pada aktor sukarela, tetapi pada paksaan structural.

Satu ciri spesial teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya pada struktur mikro hingga makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (Wellman dan Wortley, 1990), namun mungkin pula kelompok, perusahaan(Baker,1990;Clawson, Neustadtl, dan Bearden, 1986; Mizruchi dan Koening, 1986) dan rakyat. Hubungan dapat terjadi ditingkat struktur social skala luas juga ditingkat yg lebih mikroskopik. Granoveter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu misalnya tindakan yang”melekat”pada interaksi langsung nyata dan pada strktur(jaringan) interaksi itu”(1985:490).hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektifitas) mempunyai akses tidak sama terhadap asal daya yg bernilai (kekayaan, kekuasaan, informasi). Akibatnya adalah bahwa sistem yang terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen eksklusif tergantung dalam komponen yang lain.

Satu aspek penting analisis jaringan adalah bahwa analisis ini menjauhkan sosiolog dari studi mengenai gerombolan dan kategori sosial dan mengarahkannya buat memeriksa ikatan dikalangan dan antar aktor yang “tidak terikat secara kuat serta tak sepenuhnya memenuhi persyaratan grup” (Wellman, 1983:169). Contoh yg baik menurut ikatan misalnya ini adalah diungkap pada karya Granoveter(1973:1983) tentang “ikatan yg kuat serta lemah” Granoveter membedakan antara ikatan yg bertenaga, misalnya interaksi antara seseorang dan sahabat karibnya, dan ikatan yg lemah, contohnya interaksi antara seorang serta kenalannya. 

Sosiolog cenderung memusatkan perhatian orang yang memiliki ikatan yang bertenaga atau kelompok sosial. Mereka cenderung menganggap ikatan yang kuat itu penting, sedangkan ikatan yg lemah dianggap tak penting buat dijadikan sasaran studi sosiologi. Granoveter menjelaskan ikatan yang lemah bisa menjadi sangat penting. Contoh, ikatan lemah antara 2 aktor bisa membantu sebagai jembatan antara da gerombolan yg bertenaga ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yg lemah misalnya itu, ke 2 grup mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya dapat menyebabkan system soisial semakin terfragmentasi. Seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah grup yang ikatannya sangat kuat serta akan kekurangan berita mengenai apa yang terjadi di gerombolan lain juga dalam rakyat lebih luas. Karena itu ikatan yang lemah mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengitegrasikan dirinya menggunakan lebih baik ke dalam warga lebih luas. Meski granoveter menekankan pentingnya ikatan yg lemah, dia segera menyebutkan bahwa, “Ikatan yg kuat pun mempunyai nilai” (1983: 209; Lihat Bian, 1997). Misalnya, orang yg memiliki ikatan bertenaga mempunyai motivasi lebih besar buat saling membantu serta lebih cepat buat saling menaruh bantuan.

GARIS BESAR PERKEMBANGAN ELIT INDONESIA

Garis Besar Perkembangan Elit Indonesia 
Garis akbar perkembangan elit Indonesia merupakan menurut yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, serta menurut keturunan pada elit terbaru yg berorientasi pada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit terkini ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. 

Secara struktural terdapat disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, serta para intelektual, namun dalam akhirnya disparitas primer yg dapat dibentuk adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri buat kelangsungan berfungsinya suatu negara serta masyarakat yg terbaru, sedangkan elit politik merupakan orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam kegiatan politik buat aneka macam tujuan tapi umumnya bertalian menggunakan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi sosial yg lebih akbar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. 

Elit politik yang dimaksud adalah individu atau grup elit yg memiliki imbas pada proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan pakar yg mempelajari elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yg beranggapan bahwa golongan elite itu merupakan tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yg beranggapan bahwa terdapat sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, serta hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron).

Menurut Aristoteles, elit merupakan sejumlah kecil individu yang memikul seluruh atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yg dikemukakan sang Aristoteles adalah penegasan lebih lanjut berdasarkan pernyataan Plato mengenai dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap warga , suatu minoritas menciptakan keputusan-keputusan akbar. Konsep teoritis yg dikemukakan oleh Plato serta Aristoteles lalu diperluas kajiannya oleh 2 sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto serta Gaetano Mosca. 

Pareto menyatakan bahwa setiap rakyat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang bisa menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yg sanggup menduduki jabatan tinggi dalam lapisan rakyat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya serta pintar yg mempunyai kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi rakyat pada 2 kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit) . Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian mengenai elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yg berbagi teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua warga , mulai adri yang paling ulet membuatkan diri serta mencapai fajar peradaban, sampai dalam masyarakt yg paling maju serta bertenaga selalu ada dua kelas, yakni kelas yg memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, umumnya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-laba yg didapatnya berdasarkan kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih akbar, diatur dan dikontrol sang kelas yg memerintah.

Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci pada masyarakat. Definisi ini kemduain didukung sang Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”aturan besi oligarki” tidak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada gerombolan mini yg bertenaga, secara umum dikuasai dan bisa mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell beropini bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya beredar (nir berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti dalam setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, serta kiprahnya pun mampu naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih krusial, pada situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit mampu inheren pada siapa saja yg kebetuan punya kiprah penting. 

Pandangan yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick. Menurutnya ada dua tradisi akademik mengenai elit. Pertama, pada tradisi yg lebih tua, elit diharapkan menjadi sosok khusus yg menjalankan misi historis, memenuhi kebuthan mendesak, melahirkan bakat-talenta unggul, atau menampilkan kualitas tersendiri. Elit dilihat menjadi gerombolan pencipta tatanan yg kemudian dianut sang seluruh pihak. Ke 2, dalam tradisi yang lebih baru, elit dicermati sebagai gerombolan , baik kelompok yg menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa pada berbagai sektor serta tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral. 

Lipset dan Solari memberitahuakn bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di pada warga pada puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi pada dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, kepercayaan , pengajaran serta pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan sang Czudnowski bahwa elit merupakan mereka yg mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yg memainkan peran utama yang fungsional serta terstruktur dalam banyak sekali lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi serta sebagainya. 

Field dan Higley menyederhanakan menggunakan mengemukakan bahwa elit adalah orang-orang yang mempunyai posisi kunci, yang secara awamdipandang menjadi sebuah grup. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan koordinasi buat menonjolkan kiprahnya. Menurut Marvick, meskipun elit sering ditinjau menjadi satu grup yang terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi menggunakan elit yg lain acapkali bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan serta perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi pada kudeta atau sirkulasi elit. 

Berdasarkan pandangan banyak sekali pakar, Robert D. Putnam menyatakan bahwa secara generik ilmuwan sosial membagi pada tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang struktur atau posisi. Pandangan ini lebih menekankan bahwa kedudukan elit yg berada pada lapisan atas struktur masyarakatlah yang mengakibatkan mereka akan memegang peranan krusial pada aktivitas rakyat. Kedudukan tadi dapat dicapai melalui usaha yang tinggi atau kedudukan sosial yang melekat, misalnya keturunan atau kasta. 

Schrool menyatakan bahwa elit sebagai golongan utama pada masyarakat yang berdasarkan dalam posisi mereka yang tinggi pada struktur masyarakat. Posisi yg tinggi tadi terdapat dalam zenit struktur masyarakat, yaitu posisi tinggi pada bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas. 

Ke 2 sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini berdasarkan pada suatu forum yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya pada rakyat. C. Wright Mills menyatakan bahwa buat mampu mempunyai kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam forum-lembaga akbar, karena posisi kelembagaan yang didudukinya memilih sebagian besar kesempatan-kesempatannya buat memilki serta menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu. 

Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti efek atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan.

Pandangan ilmuwan sosial pada atas memperlihatkan bahwa elit memiliki dampak dalam proses pengambilan keputusan. Pengaruh yg memiliki/bersumber dari penghargaan warga terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan itu mampu berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan , kepercayaan , korelasi, kepandaian serta keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan sang Charles F. Andrain yg meneybutnya sebagai asal daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. 

Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal dapat dipandang dalam tiga kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit menurut kegiatan fungsional, ketiga, elit menurut kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas tiga kellompok sosial, pertama, raja serta kerabat raja yg dikenal menggunakan kelompok bangsawan atau aristokrat. Ke dua kelompok manusia merdeka serta ketiga, kelompok hamba. 

Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yg penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari gerombolan -gerombolan teori di atas masih ada kecocokan, namun yag terjadi pada politik Sulawesi Selatan kini , adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor asal daya kuasa sebagaimana disebutkan pada atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih menggunakan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh menurut kualifikasi pengakderan partai politik akan tetapi pula tidak menunjukkan perilaku elit yang loyal dan ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi seringkali sebagai faktor yg diasumsikan menjadi asal kekuasaan, dalam rakyat Bugis Makassar tentunya akan menampakkan dinamika yg kuat, dimana peredaran elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar merupakan berdagang. Tetapi kondisi ini saling bertumpang tindih menggunakan patrimonialisme, kekeluargaan, serta bahkan memungkinkan untuk terjadinya dinastitokrasi. 

Dalam fenomena famili Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu sebagai konteks fenomenal yg menyulitkan buat menetapkan satu bingkai paradigmatik serta teoritik sebagaimana dijelaskan pada atas. Karenanya, asumsi teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus, modal, ranah serta praktek mungkin relevan sebagai alat analisis utama disamping kekuatan teoritik berdasarkan berdasarkan teori elit pada atas. Perspektif Bourdieu dijelaskan selanjutnya pada sub Bab berikutnya di bawah ini.

A. Menganalisis Politik dan Demokratisasi Lokal 
Pendekatan kami terhadap analisis politik dan demokratisasi lokal mengombinasikan analisis keseimbangan kekuasaan menggunakan cara di mana para pemain mencoba menguasai serta membarui kondisi tersebut menggunakan mencoba mempekerjakan dan membangun atau menghindari serta mengurangi instrumen demokrasi pada ruang politik lokal serta non lokal. Cara ilustratif pertama pada mengkonseptualisasikan interaksi kekuasaan diambil berdasarkan karya Pierre Bourdieu. Bourideu mengkonseptualisasikan keseimbangan struktural antara kekuasaan dan praktek para pemain. Ada tiga konsep yg dikemukakan oleh Bourdieu, pertama ’Habitus’, ke 2 konsepsi khususnya tentang ’modal’ serta yang ketiga ’lapangan sosial atau ranah’. 

Istilah kunci dalam pemikiran Bourdieu merupakan habitus dan ranah (field). Bourdieu memperluas memperluas mengenai kapital ke pada beberapa kategori, seperti modal sosial serta kapital budaya. Bagi Bourdieu, posisi individu terletak pada ruang sosial (social space) yg nir didefinisikan sang kelas, tetapi sang jumlah kapital menggunakan berbagai jenisnya dan sang jumlah relatif modal sosial, ekonomi, dan budaya yg dipertanggung jawabkan. 

Sedangkan habitus diadopsi melalui pengasuhan serta pendidikan. Konsep tadi dipakai dalam tingkatan individu, ’a system of acquired dispositiions functioning on the practical level as categories of perception and assessment...as well as beig the organizing priciples of action’. Bourdieu berpendapat bahwa perjuangan demi distingsi sosial adalah dimensi fundamental berdasarkan semua kehidupan sosial. Istilah ini merujuk kepada ruang sosial serta terjalin dengan sistem disposisi (habitus). Bagus Takwim menyebutkan pada pengantarnya , bahwa bordieu mengartikan habitus sebagai ”...suatu sistem disposisi yg berlangsung usang dan berubah-ubah (durable, trnasponsible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terrstruktur serta terpadu secara objektif”. Sedangkan ranah oleh Bourdieu diartikan menjadi jaringan rekanan antar posisi-posisi objektif pada suatu tatanan sosial yg hadir terpisah dari kesadaran serta kehendak individual

Dengan kata lain, habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dan empiris sosial. Individu memakai habitus dalam berurusan dengan empiris sosial. Habitus adalah struktur subjektif yg terbentuk menurut pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif yg ada dalam ruang sosial. Secara gampang, habitus diindikasikan oleh skema-skema yang adalah perwakilan konspetual dari benda-benda dalam empiris sosial. Berbagai macam skema tercakup dalam habitus seperti konsep ruang, ketika, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna-nir bermanfaat, sahih-galat, atas-bawah, depan-belakang, indah-jelek, serta terhormat-terhina.

Seluruh tindakan insan terjadi pada ranah sosial yang merupakan arena bagi perjuangan asal daya. Individu, isntitusi, serta agen lainnya mencoba buat membedakan dirinya dari yg lain serta menerima kapital yg bermanfaat atau berharga dia arena tersebut. Dalam masyarakat terbaru, masih ada 2 sistem hierarkisasi yg tidak sinkron. Pertama adalah sistem ekonomi, dimana posisi dan harta ditentukan sang harta modal yag dimiliki sesorang . Sistem ke dua merupakan budaya atau simbolik Dalam sistem ini, status seorang dipengaruhi oleh seberapa poly ’kapital simbolik’ atau modal budaya yg dimiliki. Budaya pula adalah asal dominasi, dimana para intelektual memegang peranan kunci sebagai seorang ahli produksi budaya serta pencipta kuasa simbolik. 

Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yg hadir terpisah menurut pencerahan individual. Ranah bukan ikatan intersubjektif anatar individu, tetapi semacam interaksi yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan grup pada tatanan warga yang terbentuk secara impulsif. Ranah mengisi ruang sosial. Istilah ini megnacu pada keselurahan konsepsi mengenai global sosial. Konsep ini menganlogikan realitas sosial menjadi sebuah ruang dan pemahamannya memakai pendekatan topologi. Dalam hal ini, ruang sosial bisa dikonsepsi menjadi terdiri berdasarkan beragam ranah yg emiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lainnya dan sejumlah raung hubungan. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai modal. Dalam ruang sosial ini, individu dengan habitusnya herbi individu lain serta aneka macam empiris sosial yang menhasilkan tindakan-tindakan sinkron dengan ranah serta modal yang dimilikinya. 

Praktik merupakan suatu produk berdasarkan relasi antara habitus menjadi produk sejarah, dan ranah yang juga adalah produk sejarah. Pada saat bersamaan, habitus serta ranah pula merupakan produk dari medan daya – daya yang terdapat pada masyarakat. Dalam suatu ranah terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan dan orang yang memiliki poly kapital. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan khusus yg beroperasi pada pada ranah. Setiap ranah menuntut individu buat memiliki kapital – kapital khusus agar bisa hayati secara baik dan bertahan pada dalamnya. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang memperlihatkan praktik sosial tadi dengan persamaan : (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik.

Ide Bourdieu tentang Habitus sanggup dimengerti dalam konsep yg lebih dikenal tentang ’institusi’ serta ’kultur’. Ketika Bourdieu berbicara mengenai ’disposisi’, seperti yg sudah kami jelaskan, dia mengacu dalam pola kelakuan yang terstruktur serta kebiasaan-noram dan pengertian yg diasosiasikan dengannya. Dia mengimplikasikan eksistensi ’institusi’, atau peraturan formal serta informal yg merusak serta memfasilitasi tindakan insan serta interaksi sosial, serta ’kultur’ atau kebiasaan berfikir serta berkelakuan, dan arti yg menadasarinya yang digolongkan sekelompok orang tertentu. Dengan cara ini ke 2 istilah mempunyai arti saling berafiliasi atau sebagian tumpang tinfih. Formal, khususnya perturan sah, serta kontrak selalu perlu ditanamkan pada strata sosial yg dalam serta informal, acapkali melibatkan faktor-faktor misalnya kepercayaan , tugas serta kewajiban (sebagai akibatnya) suatu kontrak formal selalu merogoh corak spesifik menurut kultur sosial informal yang ditanamkan. 

B. Deliberasi Politik Lokal pada Pemilu serta Pilkada
Perubahan tatanan politik pada Indonesia yg secara legalitas aturan tertuang pada ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI No.xi/Majelis Permusyawaratan Rakyat/ 1998 mengenai Pemilihan Umum, yang didalamnya terkandung dua aspek fundamental terhadap perubahan tatanan politik di Indonesia yaitu adanya kebebasan mendirikan partai politik menggunakan kembalinya menggunakan system multi partai selesainya dan upaya memaksimalkan potensi demokrasi yang mungkin dilakukan menggunakan mengadakan 2 putaran pemilu; pemilu pertama buat menentukan anggota DPR/Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pemilu ke 2 menentukan presiden dan wakil presiden secara eksklusif juga. Kemudian diikuti menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 mengenai Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya secara eksplisit Indonesia menganut system pemerintahan negara presidensil, yakni adanya legitimasi terpisah antara presiden sebagai eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi legislatif dipilih secara terpisah sang masyarakat. Perubahan hukum ketatanegaraan lewat reformasi dan amandemen konstistusi (pasal 22E mengatur tentang pemilu legislatif yg kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang No.12 Tahun 2003, serta pemilu presiden dan wakil presiden pada atur dalam pasal 6A yg selanjutnya dijabarkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2003) mengembalikan kedaulatan masyarakat menggunakan memberi peluang pada rakyat buat memakai hak pilihnya secara langsung3.

Dengan pemilihan presiden serta wakil presiden secara pribadi pula membatasi fungsi Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) dalam memilih presiden serta wakil presiden selanjutnya, serta turut mensugesti sistem pemerintahan presidensial yang dianut. Dimana sebelumnya melalui mekanisme pemilihan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yg nir jarang melalui lobi politik yg memenangkan kontenstan yang tidak sinkron harapan rakyat.

Pembaharuan sistem politik Indonesia output reformasi politik dan reformasi aturan ketatanegaraan diantaranya adalah perubahan keanggotaan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) yg terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sistem pemilihan legislatif (DPR, DPD, serta DPRD), dan pemilihan langsung presiden serta wakil presiden, dan aplikasi pilkada eksklusif.

C. Pilkada Langsung 
Sejak runtuhnya orde baru tahun 1998, Indonesia telah 3 kali melaksanakan pemilihan generik yaitu 1999, 2004 serta 2009 menggunakan sistem multi partai. Dengan sistem multi partai terjadi persaingan terbuka antara partai politik/ kontestan untuk melakukan metode pendekatan pada memperoleh suara terbanyak buat memenangkan pemilu. Pemilihan umum presiden serta wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 sudah membuka ruang kontestasi dalam memperebutkan kekuasaan serta legitimasi kekuasaan politik. Telah tiga kali terjadi pergantian presiden menjadi bagian berdasarkan proses demokrasi di tingkat nasional serta wilayah. Pemilihan Presiden dan wapres Langsung Tahun 2004 adalah pengalaman baru serta telah berlangsung ke 2 kalinya bagi Bangsa Indonesia, menjadi salah satu kajian demokrasi presidensil. UU No. 23 Tahun 2003. Di tingkat daerah, di beberapa Provinsi serta Kabupaten telah hampir memasuki kali ke dua dalam pemilihan Kepala Daeraha secara eksklusif. Tingginya bias permasalahan dalam Pilkada, menyebabkan perihal tentang Pilkada Gubernur belakangan akan dikembalikan pada system pemilihan melalui DPRD Provinsi. 

Adanya jeda antara pemilu menggunakan aliran elit di masa orde baru ditimbulkan ketertutupan politik dengan adanya pemusatan kekuasaan pada tangan Suharto, yg setelah reformasi terjadi peredaran elit yg terbuka serta kompetitif dimulai Pemilihan Umum 1999 yg disusul aplikasi Pemilihan Presiden serta wapres Langsung 2004. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974, pemerintah wilayah sangat bercorak sentralistik, dekonsentrasi administratif, dimana pemilihan serta penentuan pejabat kepala daerah yg harus memperoleh persetujuan presiden. Tetapi semenjak runtuhnya otoriter orde baru, bermunculan tuntutan aneka macam daerah supaya mereka bisa memilih sendiri kepala wilayah masing-masing. Sehingga muncul Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menjadi output reformasi politik. Pergeseran tadi bertujuan membangun pemberdayaan politik masyarakat lokal yang pada pelaksanaannya masih terbatas dalam legislative wilayah.

Dalam sejarah Indonesia sampai pada masa orde baru, pilkada selalu dimonopoli oleh elite politik pusat dan wilayah menggunakan tidak memberi kesempatan rakyat menentukan secara eksklusif ketua daerah serta wakil ketua wilayahnya. Adanya disparitas rapikan cara dan mekanisme pemilihan yg selama ini dikonstruksi buat menentukan anggota legislative serta presiden dan wakil presiden yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Tetapi sebaliknya pilkada dilakukan menggunakan sistem pemilihan perwakilan sang anggota dewan atau diangkat/ditunjuk oleh pejabat sentra. 

Sebagai koreksi atas sistem pemilihan sebelumnya dan galat satu produk era reformasi adalah UU No.22 tahun 1999 mengenai desentralisasi, yg dalam praktik pilkada menimbulkan keprihatinan serta kekecewaan dengan munculnya gosip maraknya politik uang (money politics) dan campur tangan (intervensi) pengurus partai politik di tingkat lokal maupun pusat. Kemudian direvisi menggunakan Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah (swatantra daerah) Pasal 56 jo Pasal 119 serta Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, serta Pemberhentian Kepala Daerah serta Wakil Kepala Daerah, yg membuka peluang pada warga buat mewujudkan aspirasi daerah dengan memiliki pemimpin lokal yg dipilih oleh rakyat melalui pilkada pribadi. Perubahan ini sangat signifikan terhadap perkembangan demokrasi di wilayah.

Alasan mengapa harus diselenggarakan pilkada pribadi karena: Pertama, meningkatnya partisipasi politik rakyat wilayah; Kedua, legitimasi politik yg bisa memberikan dampak legitimasi yg lebih bertenaga terhadap kepemimpinan daerah terpilih; Ketiga, minimalisasi terjadinya manipulasi dan kecurangan; serta Keempat, akuntabilitas yang adalah duduk perkara mendasar pada memillih seseorang pemimpin. Dalam artian pilkada eksklusif wajib bisa mendorong tumbuhnya kepemimpinan eksekutif wilayah yang kuat. Selain itu, pelaksanaan pilkada eksklusif harus berkualitas, sederhana, efisien, serta gampang dilakukan. Pilkada langsung jua harus membuka ruang selebar-lebarnya terjadinya kompetisi yg adil antara para calon yg bersaing menggunakan melibatkan partisipasi masyarakat secara lebih optimal, baik dalam tahapan-tahapan yg berlangsung sampai dengan pemilihan, dan proses-proses politik pasca pemilihan.

Dengan demikian ketua wilayah terpilih akan lebih akuntabel dalam rakyat serta bukan pada golongan tertentu. Implikasinya adalah pengambilan kebijakan publik akan berorientasi dalam masyarakat, lebih menjamin otonomi politik (legitimasi) dan potensi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan politik uang (Money Politic) sanggup berkurang pada golongan tertentu. Perubahan politik nasional menggunakan mengadakan pemilihan pribadi terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden diikuti menggunakan pemilihan eksklusif gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati serta walikota/wakil walikota.

Dalam kaitannya menggunakan perubahan sistem pilkada adalah merupakan mata rantai reformasi politik buat mewujudkan politik yg demokratis di Indonesia. Dalam suatu masyarakat demokratis, warga berperan nir buat memerintah atau menjalankan keputusan–keputusan politik. Namun terdapat pemilihan generik yang berperan buat membentuk suatu pemerintah atau suatu badan penengah lainnya yang pada gilirannya menghasilkan suatu eksekutif nasional dan pemerintah.

D. Teori Klan Politik
Secara garis besar klan adalah sekelompok orang yang bersatu dengan korelasi yang konkret atau dirasakan serta keturunan. Bahkan jika pola garis keturunan sebenarnya tidak diketahui, anggota klan permanen dapat anggota pendiri atau leluhur di puncak . Obligasi korelasi berbasis mungkin hanya simbolis pada alam, di mana saham marga yang pada menetapkan nenek moyang yg adalah simbol persatuan marga. Klan paling gampang pada gambarkan menjadi suku atau Sub kelompok suku. Kata marga asal dari ’clann’ berarti ’anak’ dalam bahasa Gaelic Skotlandia dan Irlandia. Pada tahun 1425 kata itu pada bawa ke Inggris sebagai nama buat sifat suku Gaelic masyarkat skotlandia dan Irlandia. Klan terletak disetiap negara, anggota bisa mengidentifikasi menggunakan lambang buat menerangkan bahwa mereka merupakan kaum independen.

Dalam budaya yang tidak sama serta situasi, klan bisa berarti hal yg sama misalnya kelompok kerabat berbasis lainnya, seperti suku dan band. Sering kali, faktor yg membedakan adalah bahwa marga adalah bagian mini menurut suatu masyarakat yang lebih akbar seperti suku, chiefdom, atau negara. Contohnya termasuk Skotlandia, Irlandia, Cina, Jepang dan klan klan Rajput di India serta Pakistan, yang terdapat menjadi kelompok kerabat di negara masing-masing. Tetapi, perlu diketahui bahwa suku-suku dan band jua dapat komponen rakyat yang lebih akbar. Mungkin yg paling populer suku, 12 suku Israel Alkitab, terdiri satu orang. Suku-suku Arab merupakan kelompok mini pada rakyat Arab, serta Ojibwa band adalah bagian kecil berdasarkan suku Ojibwa di Amerika Utara. Dalam beberapa kasus diakui beberapa suku marga-marga yg sama, seperti beruang serta klan rubah berdasarkan Chickasaw dan suku Choctaw.

Selain berdasarkan tradisi yg tidak selaras menurut hubungan, kebingungan konseptual lebih lanjut muncul menurut penggunaan sehari-hari kata tersebut. Di negara-negara pasca-Soviet, contohnya, sangat generik buat berbicara mengenai klan di surat keterangan ke jaringan informal pada bidang ekonomi serta politik. Penggunaan ini mencerminkan perkiraan bahwa anggotanya bertindak terhadap satu sama lain pada sangat dekat dan saling mendukung menggunakan cara yg lebih kurang sama solidaritas antara sanak saudara. Tetapi, marga-marga Norse, yg ätter, tidak bisa diterjemahkan dengan suku atau band, dan akibatnya mereka sering diterjemahkan dengan tempat tinggal atau baris.

Sesudah bergulirnya reformasi dari tahun 1998,dinamika politik diaerah memasuki era baru jua. Aktor, institusi, serta budaya lokal bermunculan dan mulai memainkan kiprah di dalam politik lokal. Aktor aktor lokal yg terorganisir, serta mempunyai simbol kultural lokal berada dipanggung politik. Kemunculan aktor aktor lokal tidak terlepas dari adanya jaringan atau klan yg terjadi antara kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan memperlihatkan adanya integrasi social, kelompok kekerabatan yang besar , gerombolan relasi yg dari asas unilinear. Klan gerombolan hubungan yg terdiri atas seluruh keturunan seseorang nenek moyang yg pada perhitungkan dari garis keturunan laki-laki atau perempuan .

Bangunan klan tidak terlepas berdasarkan siapa patron awal yg menciptakan pondasi yang kuat yg membawanya sebagai akibatnya klan tersebut atau jaringan mampu berada dalam level kekuatan kekuatan yang kuat untuk lalu dikonsolidasikan pada tataran elit yang kemudian sebagai kekuatan yang bertenaga ditingkatan lokal serta nantinya dalam strata skala nasional. Klan atau jaringan pada ranah pangung politik sangat berperan besar dimana membangun klan atau jaringan itu sendiri yg nantinya dapat menghipnotis proses politik atau sebuah kebijakan serta impak sosial politik berdasarkan opini politik klan yg dibangun. 

Pola komunkasi yg kuat yg dibangun sebuah gerombolan relasi jaringan keluaraga atau merupakan salah satu faktor menguatnya fenomena klan atau jaringan famili di strata elit poltik lokal yg memungkinkan terjadinya penguasaan kekuasaan dalam arah proses kebijakan nantinya, semua itu tidak terlepas menurut usaha yang dibangun patron awal sehingga klan atau jaringan keluaraga tersebut sebagai suatu kesatuan yg bertenaga pada tataran politik lokal bahkan akan memunculkan regenerasi baru dari klan yang sama, yg bertenaga, dan yg nantinya akan meneruskan proses politik yang sedang berlangsung.

Klan dalam politik terdapat dalam satu famili dimana mereka dalam hal ini famili sanggup menempatkan anggota keluarganya dalam struktur politik, klan dalam politik ini adalah sesuatu yg diturunkan atas faktor keturunan serta ada yg menyebut gejala ini menjadi kebangkitan dinasti dikancah politik. Penulis menyebutnya sebagai klan atau keluarga politik, fanatisme dalam keluarga terinspirasi berdasarkan peribahasa Jerman “Blut ist dicker als wasser” yg secara harfiah berarti hubungan darah (famili) lebih kuat dibandingkan ikatan lain ( berdasarkan aspek loyalitasnya ).

E. Konsep Pengaruh
Pada bagian ini akan disajikan konsep impak dampak yg dimaksudkan dalam hal ini merupakan bila tekanan yg diberikan kepada pengaurh eksperimental serta impak lingkungan itu ternyata benar,maka lumrah buat beranggapan bahwa efek tadi akan terus berkelanjutan sebagai penting selama usia dewasa,dan bahwa proses pengenalan itu berlanjut terus melampaui masa kanak kanak dan remaja. Bagan pokok berdasarkan tingkah laris politik dimasa depan dapat ditentukan dimasa masa yg lebih muda,akan tetapi merupakan lebih mungkin membentuk suatu situasi dalam mana terdapat interaksi diantara pengenalan politik dini menggunakan imbas - imbas eksperimental serta lingkungan berdasarkan masa kehidupan selanjutnya,daripada menghindarkan sosialisasi orang dewasa. 

Satu model terbatas akan menggambarkan maksud kita, ada bukti yang menyatakan bahwa anggota badan legislatif mengalami proses sosialisasi segera selesainya pemilihan mereka: serta bahwa tingkah saya legislatif berikutnya sebagian ditentukan oleh pengetahuan,nilai nilai, dan sikap perilaku mereka seperti yang ada terdapat sebelum pemilihan, dan sebagian lagi sang pengalaman pengalaman mereka semasa menjadi anggota badan legislatif, ditambah lagi dengan reaksi reaksi mereka terhadap lingkungan baru didalam forum legislatif.dalam keadaan misalnya itu suatu tingkatan sosialisasi nir bisa dihindarkan dari pengalaman sehari hari pria serta wanita pada umumnya.

Sosialisasi politik selama kehidupan orang dewasa belum poly diteliti orang, sekalipun masih ada beberapa verifikasi yg muncul menurut studi studi tentang tingkah laku pemilihan/elektoral, kesadaran kelas, dampak berdasarkan situasi situasi kerja serta perkembangan ideologi. Wlaupun demikian, setidak tidaknya mungkin buat mengsugestikan, bahwa bidang bidang mengenai pengenalan orang dewasa itu adalah penting. Justru misalnya halnya anak yg diantarkan secara sedikit demi sedikit kepada kontak menggunakan global disekitar dirinya setahap demi setahap, demikian juga halnya para remaja dan perubahan menurut masa remaja sebagai dewasa, mengambarkan adanya suatu termin lainnya yang penting dalam sosialisasi politik.

Beberapa hubungan yang dijalin selama masa kanak kanak dan masa remaja terdapat yg berkelanjutan dalam bentuk yang agak mirip melalui persahabatan dan perkenalan: sedang yg lainnya bisa diteruskan atau diperbaharui lewat medium medium lainnya seperti pekerjaan, kesenggangan ( kesibukan diwaktu senggang ), agama atau media massa, namun beberapa daripadanya dan pengalaman pengalaman yang mereka yang meraka peroleh adalah baru sifatnya. Bagi beberapa orang, pengalaman pengalaman baru sedemikian ini akan memperkokoh pengenalan sebelumnya, akan namun bagi orang lain akan mengakibatkan kemunculan aneka macam strata permasalahan yg mungkin mengakibatkan timbulnya perubahan perubahan krusial dalam tingkah laris politik. 

Kepindahan dari wilayah pedesaan ke kota, pengalaman menganggur, keanggotaan berdasarkan organisasi sukarela, perkembangan minat minat diwaktu senggang, ganti kepercayaan , penerapan keterangan dan opini melalui media massa seluruh ini mengakibatkan pengaruh yang berarti pada tingkah laku politik kini . 

F. Konsep Jaringan
Menurut pandangan ahli teori jaringan, pendekatan normatif memusatkan perhatian terhadap kultur serta proses sosialisai yg menanamkan (internalization) kebiasaan dan nilai kedalam diri aktor. Menurut pendekatan normatif, yg mempersatukan orang secara bersama dalah sekumpulan gagasan beserta. Pakar teori jaringan menolak pandangan demikian dan menyatakan bahwa orang wajib memusatkan perhatian dalam pola ikatan objektif yg menghubungkan anggota masyarakat. William mengungkapkan pandangan ini:

“Analisis jaringan lebih ingin menyelidiki keteraturan individu dan kolektivitas berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Karena itu ahli analisis jaringan mencoba menghindarkan penerangan normatif dan perilaku sosial. Mereka menolak setiap penjelasan nonstruktural yang memperlakukan proses sosial sama menggunakan penjumlahan ciri eksklusif aktor individual dan kebiasaan yang tertanam. 

Setelah mengungkapkan apa yg sebagai bukan sasaran perhatiannya, teori jaringan kemudian mengungkapkan sasaran perhatian utamanya, yakni pola objektif ikatan yg menghubungkan anggota rakyat (individual dan kolektifitas).wellman mengungkapkan target perhatian primer teori jaringan sebagai brikut:

Analisis jaringan memulai dengan gagasan sederhana namun sangat bertenaga, bahwa usaha utama sosiolog adalah mengusut sturktur sosial…cara paling langsung menilik stuktur sosial merupakan menganalisis pola ikatan yg menghubungkan anggotanya. Pakar analisis jaringan menulusuri struktur bagian yg berada dibawah pola jaringan biasa yang seringkali timbul kepermukaan menjadi system social yang kompleks…Aktor serta perilakunya dipandang sebagai dipaksa sang struktur social ini. Jadi, target perhatian analisis jarigan bukan dalam aktor sukarela, tetapi dalam paksaan structural.

Satu karakteristik spesial teori jaringan adalah pemusatan perhatiannya dalam struktur mikro sampai makro. Artinya, bagi teori jaringan, aktor mungkin saja individu (Wellman dan Wortley, 1990), namun mungkin pula gerombolan , perusahaan(Baker,1990;Clawson, Neustadtl, dan Bearden, 1986; Mizruchi serta Koening, 1986) serta masyarakat. Hubungan bisa terjadi ditingkat struktur social skala luas maupun ditingkat yang lebih mikroskopik. Granoveter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu misalnya tindakan yang”melekat”pada interaksi pribadi konkret serta dalam strktur(jaringan) hubungan itu”(1985:490).hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektifitas) memiliki akses tidak sama terhadap sumber daya yg bernilai (kekayaan, kekuasaan, warta). Akibatnya merupakan bahwa sistem yg terstruktur cenderung terstratifikasi, komponen eksklusif tergantung pada komponen yg lain.

Satu aspek penting analisis jaringan merupakan bahwa analisis ini menjauhkan sosiolog menurut studi mengenai kelompok serta kategori sosial dan mengarahkannya buat memeriksa ikatan dikalangan serta antar aktor yg “tidak terikat secara kuat serta tidak sepenuhnya memenuhi persyaratan grup” (Wellman, 1983:169). Contoh yang baik menurut ikatan seperti ini merupakan diungkap dalam karya Granoveter(1973:1983) mengenai “ikatan yang kuat serta lemah” Granoveter membedakan antara ikatan yang kuat, misalnya hubungan antara seorang dan sahabat karibnya, serta ikatan yg lemah, misalnya hubungan antara seorang dan kenalannya. 

Sosiolog cenderung memusatkan perhatian orang yg memiliki ikatan yg kuat atau kelompok sosial. Mereka cenderung menganggap ikatan yg kuat itu penting, sedangkan ikatan yang lemah dianggap tak krusial buat dijadikan target studi sosiologi. Granoveter menjelaskan ikatan yang lemah bisa sebagai sangat krusial. Contoh, ikatan lemah antara dua aktor bisa membantu menjadi jembatan antara da grup yg kuat ikatan internalnya. Tanpa adanya ikatan yang lemah misalnya itu, ke 2 kelompok mungkin akan terisolasi secara total. Isolasi ini selanjutnya bisa mengakibatkan system soisial semakin terfragmentasi. Seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah kelompok yg ikatannya sangat bertenaga dan akan kekurangan kabar mengenai apa yg terjadi di kelompok lain juga pada rakyat lebih luas. Karena itu ikatan yg lemah mencegah isolasi dan memungkinkan individu mengitegrasikan dirinya menggunakan lebih baik ke pada rakyat lebih luas. Meski granoveter menekankan pentingnya ikatan yg lemah, dia segera menyebutkan bahwa, “Ikatan yang bertenaga pun mempunyai nilai” (1983: 209; Lihat Bian, 1997). Misalnya, orang yang mempunyai ikatan bertenaga mempunyai motivasi lebih besar buat saling membantu dan lebih cepat buat saling menaruh bantuan.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.