AGENAGEN SOSIALISASI

Cara flexi-- Warga belajar dan murid sekalian, dalam pembahasan materi Sosiologi kali ini kita akan tahu tentang agen-agen pengenalan, Yang dimaksud dengan agen sosialisasi atau media pengenalan merupakan pihak-pihak yg melaksanakan sosialisasi. Dalam sosiologi terdapat empat agen atau media pengenalan yg primer, yaitu keluarga, kelompok sebaya atau sepermainan, sekolah atau gerombolan belajar, dan media masa.
1. Keluarga
Pada awal kehidupan seseorang, agen atau media sosialisasi yg utama adalah famili. Peran keluarga menjadi agen pengenalan yang pertama terletak pada pentingnya sosialisasi kebiasaan-kebiasaan yg diajarkan pada tahap ini. Pada termin ini seorang anak belajar berkomunikasi lewat indera pendengaran, penglihatan, perasa, dan sentuhan fisik. Sosialisasi dalam tahap awal ini sangat krusial, karena dalam periode inilah kemampuan-kemampuan tertentu diajarkan.
Proses pengenalan akan gagal, jika proses itu terlambat dilakukan. Seperti gambar berikut ini, melalui hubungan dalam famili, anak memeriksa kebiasaan, perilaku, perilaku, serta nilai-nilai budaya yg diyakini dalam keluarga maupun warga .
Nilai-nilai budaya yg tumbuh di masyarakat bermanfaat buat mencari keselarasan atau keharmonisan hayati. Nilai-nilai budaya ini diwariskan secara turun temurun menurut generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan nilai dimungkinkan sesuai dengan tuntutan jaman, asalkan menuju perbaikan.
Oleh karenanya, proses pengenalan pada setiap diri anak sangat penting. Proses sosialisasi ini dimulai menurut lingkungan famili, yaitu bagaimana suatu famili mempunyai pola asuh yg sinkron menggunakan budaya famili itu. Jadi famili memiliki fungsi pengenalan, diantaranya :
a. Sebagai tempat awal perwarisan budaya supaya anak terbiasa menggunakan aturan yg dianut oleh warga setempat.
b. Merupakan wadah pembentukan tabiat, kepribadian, budi pekerti supaya anak bisa berperilaku sinkron dengan nilai-nilai serta norma yang dianut sang rakyat setempat.
Uraian di atas merupakan proses pengenalan pada keluarga yang ideal. Adakalanya proses sosialisasi berlangsung tidak sempurna dikarenakan ada beberapa faktor. Misalnya, ada pergeseran nilai mengenai peran wanita. Dewasa ini, di Indonesia telah berkembang nial budaya bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai ibu tempat tinggal tangga saja, namun pula menjadi perempuan pekerja yg berkarir atau menjadi tenaga tenaga kerja wanita yg bekerja di luar negeri. Perubahan ini bedampak dalam pola asuh anak, pengasuhan anak tidak hanya sang orang tua, tetapi dibantu oleh pengasuh anak atau keluarga berdasarkan orang tua. Hal ini akan berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.
Sosialisasi utama yg berlangsung dikeluarga adalah awal menurut pembentukan kepribadian anak. Bahwa anak merupakan makhluk yg rentan, tergantung, lugu, serta memiliki kebutuhan-kebutuhan spesifik, sehingga anak memerlukan perawatan dan perlindunga yang spesifik jua. Keluarga yang serasi, penuh cinta kasih, dan pengeritian merupakan tempat untuk berkembangnya secara penuh baik fisik juga mental. Namun, ada sejumlah syarat anak-anak Indonesia tergolong dalam kondisi yg kurang beruntung.
Keluarga dengan tekanan ekonomi yg berat merupakan keliru satu faktor yang berdampak dalam pola asuh terhadap anak. Anak yg seharusnya masih berada pada usia sekolah terpaksa membantu orang tua buat bekerja. Keadaan ini menjadi parah, karena 80 % dari pekerja anak terutama di pedesaan, mereka bekerja tanpa dibayar. Akibat berdasarkan itu semua perkembangan diri anak sebagai terganggu. Anak mengalami kekerasan fisik, putus sekolah, keliru pergaulan, yg pada umumnya nir memperbaiki kodrat mereka menjadi anak. Di bawah ini, contoh perkara bepergian bagaimana seseorang anak menjadi anak jalanan.
2. Kelompok Sebaya atau Sepermainan (peer group)
Anak selesainya bisa berjalan dan berbicara, jua membutuhkan kegiatan bermain. Interaksi dengan orang lain atau sahabat sebaya, membuat anak mengenal beragam aturan mengenai peranan setiap individu. Seperti gambar di bawah ini, anak-anak begitu ceria dengan teman sepermainannya.
Dengan bermain anak mengenal nilai-nilai solidaritas, keadilan, toleransi, serta kebenaran. Semakin bertambah usai anak, media pengenalan gerombolan sebaya memberi efek yg begitu akbar pada pembentukan kepribadian seseorang.
Seseorang tidak mampu melepaskan hubungannya menggunakan jaringan grup. Kelompok merupakan tiap formasi orang yg memiliki pencerahan beserta akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Sebagai remaja, kamu dituntut selektif pada saat menentukan keanggotaan pada berkelompok. Sikap-perilaku apa saja yang wajib kita tunjuk dalam berinteraksi sosial dengan sahabat-teman kita?
a. Sikap toleran terhadap keragaman perilaku
Keragaman perilaku akan memilih dalam kelompok mana seseorang remaja akan bergabung. Bentuk gerombolan dibedakan sebagai dua, yaitu grup sendiri serta gerombolan luar. Kelompok sendiri merupakan gerombolan dimana saya menjadi anggota gerombolan itu. Sedangkan grup luar adalah gerombolan yang saya nir menjadi anggota kelompok itu. Kedua bentuk kelompok itu sangat penting lantaran dapat mensugesti perilaku seseorang. Kelompok sendiri mengharapkan anggota grup menerima pengakuan, kesetiaan, serta pertolongan. Dari grup luar kita menerima sikap permusuhan atau persaingan. Untuk itu sikap toleransi diharapkan untuk melihat keragaman konduite antar teman. Lantaran dengan bersikap toleran, pertentangan dapat dihidari serta akan tercipta keselarasan pada hubungan antar gerombolan .
b. Sikap kritis dalam memilih kelompok
Seseorang pada memilih pilihan untuk bergabung menggunakan grup harus bersikap kritis. Dilihat menurut tipe hubungan gerombolan dapat dibedakan sebagai kelompok utama serta kelompok sekunder. Kelompok primer merupakan grup dimana kit bisa mengenal sebagai seseorang langsung yg akrab. Dalam grup primer interaksi bersifat tidak resmi, akrab, dan personal. Contoh, gerombolan yg memiliki kesamaan hobi, kecenderungan loka tinggal, dan sebagainya. Sedangkan grup sekunder merupakan lebih bersifat resmi, dna didasarkan pada tujuan. Contohnya merupakan grup belajar, gerombolan ilmiah remaja, dan sebagainya. Kelompok utama lebih menekankan pada hubungan, sedangkan kelompok sekunder lebih berorientasi pada tujuan. Seorang siswa harus bersikap kritis dalam menentukan pilihan berkelompok. Kelompok sebaiknya mampu membangun kepribadian seorang buat berperilaku lebih baik. Kekeritisan seorang diharapkan terutama pada lingkungan yang keras. Munculnya anak-anak jalanan tidak semata-mata lantaran tekanan ekonomi famili, tetapi terjadinya kekerasan dalam famili juga menjadi pemicu anak-anak terdampar di jalanan. Anak-anak jalanan sangat rentan terhadap perjudian, penyalahgunaan obat-obatan, serta kekerasan pada gerombolan mereka. Anak-anak terjerumus demikian, lantaran mereka tinggal menggunakan orang yang memperkerjakan mereka atau dengan rekan keraja yg lebih dewasa. Sedangkan, kebutuhan dan gaya hidup mereka berbeda. Kondisi ini memengaruhi perkembangan psikologis anak. Contoh, anak-anak yg berkerja menjadi operator jermal serta pemancingan melakukan perjudian serta merokok. Oleh karena itu, seleksi terhadap kelompok berteman menjadi sesuatu yang berharga, supaya nir terjerumus ke hal-hal yg negatif. Pemerintah serta masyarakat diharapkan tahu keberadaan anak-anak jalanan dengan nir bertindak sewenang-wenang, tetapi berpartisipasi buat mengembalikan mereka ketempat yang aman serta layak.
3. Sekolah atau Kelompok Belajar
Sekolah menjadi jalur pendidikan formal atau grup belajar, adalah bagian menurut pendidikan non formal adalah agen sosialisasi yg mengajarkan hal-hal baru yg nir diajarkan dikeluarga juga dalam hubungan menggunakan grup sebaya.
Kelompok belajar mempersiapkan kiprah-peran baru buat masa mendatang ketika seorang nir tergantung lagi dalam orangtuanya. Selain mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang bertujuan mengembangkan intelektual anak, gerombolan belajar atau sekolah jua membekali siswa dengan kemandirian, tanggung jawab, serta tata tertib.
Peran pemerintah maupun rakyat yang aktif serta peka terhadap potensi pada wilayahnya, memberi peluang buat menyejahterakan warga menggunakan menaikkan keterampilan mereka. Contoh, keterampilan yang dibina oleh forum-lembaga pendidikan nonformal, disesuaikan dengan kondisi geografis forum penyelenggara kegiatan keterampilan tersebut.
4. Media Massa
Media Massa meliputi media cetak yaitu surat berita, majalah atau tabloid, dan media elektro, antara lain radio, televisi, internet, film. Media massa, dewasa ini berperan besar sebagai media pengenalan. Sikap kritis berdasarkan setiap individu akan mampu menyaring beragam liputan yg sangat gencar diberikan oleh media massa.
Gencarnya tayangan iklan pada media cetak atau media elektronika mendorong insan buat berperilaku konsumtif. Pedagangan bebas dan pesatnya teknologi informasi membuat arus barang dari negara satu ke negara lain bergerak cepat. Demikian pula gaya hidup yang menunjuk dalam pola konsumtif serta cara perolehannya yag mudah menjadi ancaman bagu budaya lokal. Film atau sinetron yang menayangkan budaya kekerasan sebagai contoh pada kehidupan sehari-hari dalam waktu seseorang terlibat suatu masalah.
Demikian juga beragam hiburan televisi yg mengarah pada budaya pop, gampang dinikmati setiap saat menggunakan majemuk bentuk berdasarkan berbagai stasion televisi yg begitu poly.
Di sisi lain, media massa menaruh manfaat pada berbagi ilmu pengetahuan atau membuka wawasan seseorang dalam menyikapi aneka macam fakta. Misalnya, masalah tenaga kerja Indonesia ilegal di Malaysia. Dari media massa kita menerima keterangan apa pengaruh jika menjadi TKI secara ilegal, apa saja prosedur yang seharusnya dilakukan oleh TKI. Beragam kabar mengelilingi kita, bagaimana kita menyikapi fakta itu ditentukan sang kepribadian masing-masing individu.
3. Bentuk Sosialisasi
Sosialisasi utama serta pengenalan sekunder adalah 2 bentuk sosialisasi. Sosialisasi primer adalah sosialisasi yg berlangsung dalam  tahap awal kehidupan seseorang menjadi insan. Sosialisasi ini terjadi di lingkungan keluarga, yg mengajarkan anak buat belajar sebagai anggota warga .
Sedangkan pengenalan sekunder merupakan proses yang memperkenalkan seseorang pada lingkungan diluar keluarganya. Sosialisasi sekunder berlangsung pada kelompok belajar, lingkungan kerja, grup bermain, maupun media massa.
 
Sumber : Modul Paket C Setara SMA Kelas X tahun 2004
 

SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN

Sosialisasi Dan Pembentukan Kepribadian 
Defenisi
Banyak para ahli yang menaruh perhatian serta mencurahkan penelitiannya buat menggambarkan penelitiannya tentang mengenai pola tingkah laku yang nantinya merunut pula pada pola tingkah laris manusia menjadi bahan perbandingannya.

Pola-pola tingkah laris bagi semua Homo Sapiens hampir tidak terdapat, bahkan bagi seluruh individu yang tergolong satu ras pun, nir ada satu system pola tingkah laris yg seragam. Sebabnya tingkah laku Homo Sapiens nir hanya ditentukan sang system organic biologinya saja, melainkan jua nalar dan pikirannya serta jiwanya, sehingga variasi pola tingkah laku Homo Sapiens sangat besar diversitasnya serta unik bagi setiap insan. 

Dengan pola tingkah laku dalam arti yang sangat khusus yang dipengaruhi oleh nalurinya, dorongan-dorongan serta refleksnya. 

Jadi “Kepribadian” pada konteks yg lebih mendalam adalah “susunan unsur-unsur nalar dan jiwa yang memilih tingkah laku atau tindakan seseorang individu”. 

Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan menurut satu generasi ke generasi lainnya pada sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut pengenalan sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena pada proses pengenalan diajarkan kiprah-kiprah yg wajib dijalankan sang individu.

Unsur-unsur Kepribadian
Ada beberapa unsur-unsur berdasarkan kepribadian. Diantaranya merupakan menjadi berikut :

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu unsur-unsur yang mengisi logika serta alam jiwa orang yang sadar. Dalam alam sekitar manusia masih ada aneka macam hal yang diterimanya melalui panca inderanya yang masuk kedalam mengembangkan sel pada bagian-bagian eksklusif menurut otaknya. Ddan didalam otak tersebutlah semuanya diproses menjadi susunan yg dipancarkan sang individu kealam kurang lebih. Dan pada Antropologi dikenal sebagai “persepsi” yaitu; “seluruh proses akal manusia yang sadar”. 

Ada kalanya suatu persepsi yg diproyeksikan kembali menjadi suatu penggambaran serius mengenai lingkungan yg mengandung bagian-bagian. Penggambaran yg terfokus secara lebih intensif yg terjadi karena pemustan secara lebih intensif pada dalam pandangan psikologi umumnya diklaim menggunakan “Pengamatan”.

Penggambaran tentang lingkungan dengan penekanan pada bagian-bagian yang paling menarik perhatianya acapkali diolah oleh sutu proses pada aklanya yang menghubungkannya menggunakan banyak sekali penggambaran lain yang sejenisnya yg sebelumnya pernah diterima serta diproyeksikan sang akalnya, serta kemudian muncul kembali sebagai kenangan. 

Dan penggambaran yang baru dengan pengertian baru pada kata psikologi diklaim “Apersepsi”.
Penggabungan dan membandingkan-bandingkan bagian-bagian berdasarkan suatu penggambaran dengan bagian-bagian dari banyak sekali penggambaran lain yg homogen secara konsisten berdasarkan asas-asas eksklusif. Dengan proses kemampuan buat menciptakan suatu penggambaran baru yg abstrak, yg dalam kenyataanya nir mirip dengan galat satu berdasarkan sekian macam bahan konkret berdasarkan penggambaran yg baru. 

Dengan demikian manusia dapat menciptakan suatu penggambaran tentang tempat-tempat tertentu pada muka bumi, padahal dia belum pernah melihat atau mempersepsikan tempat-tempat tadi. Penggambaran abstrak tadi dalam ilmu-ilmu sosial dianggap dengan “Konsep”.

Cara pengamatan yang mengakibatkan bahwa penggambaran tentang lingkungan mungkin terdapat yang ditambah-tambah atau dibesar-besarkan, tetapi terdapat pula yang dikurangi atau diperkecil pada bagian-bagian tertentu. Dan ada jua yang digabung menggunakan penggambaran-pengambaran lain sebagai akibatnya sebagai penggambaran yang baru sama sekali, yang sebenarnya tidak konkret. 

Dan penggambaran baru yg sering nir realistic pada Psikologi disebut menggunakan “Fantasi”.
Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, serta fantasi merupakan unsur-unsur pengetahuan yang secara sadar dimiliki seorang Individu.

Perasaan
Selain pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung banyak sekali macam perasaan. Sebaliknya, dapat juga digambarkan seorang individu yang melihat suatu hal yg tidak baik atau mendengar bunyi yg tidak menyenangkan. Persepsi-persepsi misalnya itu dapat menimbulkan dalam kesadaranya perasaan negatif. 

“Perasaan”, disamping segala macam pengetahuan agaknya pula mengisi alam pencerahan insan setiap waktu dalam hidupnya. “Perasaan” merupakan suatu keadaan dalam kesadaran insan yang karena pengetahuannya dievaluasi menjadi keadan yg positif atau negative.

Dorongan Naluri 
Kesadaran insan mengandung membuatkan perasaan membuatkan perasaan lain yg nir disebabkan karena diperanguhi oleh pengeathuannya, namun lantaran memang telah terkandung pada pada organismenya, khususnya pada gennya, sebagai insting. Dan kemauan yg sudah meruapakan insting diklaim “Dorongan”.

Tujuh Macam Dorongan naluri
Ada disparitas paham tentang jenis serta jumlah dorongan naluri yg terkandung dalam naluri manusia yaitu ; 
  • Dorongan buat mempertahankan hidup. Dorongan ini memang merupakan suatu kekutan biologis yg ada dalam setiap makhluk di dunia untuk bisa bertahan hidup. 
  • Dorongan ini sudah banyak menarik perhatian para pakar antropolagi, serta mengenai hal ini telah dikembangkan berbagai teori. Dorongan biologis yang mendorong insan buat membentuk keturunan bagi kelanjutan keberadaanya di dunia ini timbul pada setiap individu yang normal yang nir dipengaruhi sang pengetahuan apapun. 
  • Dorongan buat berupaya mencari makan. Dorongan ini nir perlu dipelajari, dan semenjak baru dilahirkan pun insan telah menampakannya menggunakan mencari puting susu ibunya atau botol susunya tanpa perlu dipelajari. 
  • Dorongan buat bergaul atau berinteraksi menggunakan sesame manusia, yg memang adalah landasan hayati berdasarkan kehidupan warga insan menjadi kolektif. 
  • Dorongan buat meniru tingkah laris sesamanya. Dorongan ini merupakan dari-mula dari adanya beragam kebudayaan insan, yg menyebabkan bahwa manusia menyebarkan adat. Adat, sebaliknya, memaksa perbuatan yang seragam (conform) menggunakan manusia-manusia di sekelilingnya. 
  • Dorongan buat berbakti. Dorongan ini mungkin ada lantaran manusia adalah makhluk kolektif. Agar insan dapat hayati secara beserta manusia lain diperlukan suatu landasan hayati buat mengembangkan Altruisme, Simpati, Cinta, dan sebagainya. Dorongan itu kemudian lebih lanjut menciptakan kekuatan-kekuatan yg sang perasaanya dianggap berada pada luar akalnya sehingga ada religi. 
  • Dorongan buat keindahan. Dorongan ini acapkali saudah tampak dimiliki bayi, yang sudah mulai tertarik dalam bentuk-bentuk, rona-warni, dan suara-bunyi, irama, serta gerak-mobilitas, dan merupakan dasar dari unsur kesenian. 
Materi Dari Unsur-unsur Kepribadian
Dalam sebuah konsep kepribadian umum,makin dipertajam dengan terciptanya konsep basic personality structure, atau “kepribadian dasar”, yaitu seluruh seluruh unsur kepribadian yg dimiliki sebagian besar masyarakat suatu rakyat. 

Kepribadian dasar ada lantaran semua individu warga warga mengalami imbas lingkungan kebudayaan yang sama selama pertumbuhan mereka. Metodologi buat mengumpulkan data tentang kepribadian bangsa dapat dilakukan menggunakan mengumpulkan sample menurut rakyat rakyat yang menjadi objek penelitian, yang lalu diteliti kepribadiannya menggunakan tes Psikologi.

Selain karakteristik watak umum, seseorang Individu memilki karakteristik-karakteristik wataknya sendiri, sementara adaindividu-individu pada sample yang nir meliki unsur-unsur kepribadian generik. Pendekatan pada penelitian kepribadian suatu kebudaya jua dilaksanakan dengan metode lain yg berdasarkan dalam ciri-karakteristik dan unsur tabiat seorang individu dewasa.

Pembentukan watak dan jiwa individu banyak ditentukan sang pengalamannya di masa kanak-kanak dan pola pengasuhan orang tua.

Berdasarkan konsepsi Psikologi tersebut, para ahli Antropologi berpendirian bahwa menggunakan mempelajari norma-norma pengasuhan anak yg khas akan dapat mengetahui adanya aneka macam unsur kepribadian dalam sebagian besar masyarakat yang adalah akibat menurut pengalaman-pengalaman mereka sejak masa kanak-kanak.

Penelitian mengenai etos kebudayaan serta kepribadian bangsa yang pertama-tama dilakukan oleh tokoh Antroplogi R. Benedict, R. Linton, serta M. Mead. Sehingga menjadi bagian khusus pada antropologi yang dinamakan personality and culture. 

Jenis sosialisasi
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi sebagai 2: pengenalan utama (dalam famili) serta pengenalan sekunder (pada rakyat). Menurut Goffman ke 2 proses tadi berlangsung pada institusi total, yaitu loka tinggal serta loka bekerja. Dalam kedua institusi tadi, masih ada sejumlah individu pada situasi yg sama, terpisah berdasarkan warga luas pada jangka ketika kurun tertentu, beserta-sama menjalani hidup yang terkukung, serta diatur secara formal.

Keluarga sebagai mediator pengenalan primer
1. Sosialisasi primer 
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan pengenalan utama menjadi pengenalan pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar sebagai anggota rakyat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung waktu anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai bisa membedakan dirinya menggunakan orang lain pada sekitar keluarganya.

Dalam termin ini, peran orang-orang yang terdekat menggunakan anak sebagai sangat krusial sebab seseorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan sang rona kepribadian serta hubungan yang terjadi antara anak menggunakan anggota famili terdekatnya.

2. Sosialisasi sekunder 
Sosialisasi sekunder merupakan suatu proses sosialisasi lanjutan selesainya sosialisasi primer yg memperkenalkan individu ke pada gerombolan tertentu pada warga . Salah satu bentuknya adalah resosialisasi serta desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu bukti diri diri yang baru. Sedangkan pada proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' bukti diri diri yang usang.

Tipe sosialisasi
Setiap kelompok rakyat mempunyai standar serta nilai yg tidak sinkron. Model, baku 'apakah seorang itu baik atau nir' pada sekolah menggunakan di gerombolan sepermainan tentu tidak sinkron. Di sekolah, contohnya, seseorang disebut baik bila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara pada kelompok sepermainan, seorang dianggap baik apabila solider menggunakan teman atau saling membantu. Perbedaan baku dan nilai pun tidak terlepas berdasarkan tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tadi adalah menjadi berikut.

1. Formal 
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui forum-forum yg berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara.

2. Informal 
Sosialisasi tipe ini terdapat di warga atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, misalnya antara sahabat, teman, sesama anggota klub, dan kelompok-grup sosial yang terdapat pada pada masyarakat.

Baik pengenalan formal juga sosialisasi informal permanen mengarah kepada pertumbuhan eksklusif anak agar sinkron menggunakan nilai serta kebiasaan yg berlaku pada lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seseorang siswa berteman dengan teman sekolahnya serta berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tadi, beliau mengalami proses sosialisasi. Menggunakan adanya proses soialisasi tadi, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan memiliki pencerahan dalam dirinya buat menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah aku ini termasuk anak yg baik serta disukai teman atau nir? Apakah perliaku saya sudah pantas atau nir?

Meskipun proses pengenalan dipisahkan secara formal serta informal, namun hasilnya sangat suluit buat dipisah-pisahkan lantaran individu umumnya menerima pengenalan formal serta informal sekaligus.

Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi sebagai 2 pola: pengenalan represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan dalam penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain berdasarkan sosialisasi represif merupakan fokus dalam penggunaan materi dalam hukuman serta imbalan. Penekanan dalam kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan dalam komunikasi yg bersifat satu arah, nonverbal serta berisi perintah, penekanan pengenalan terletak dalam orang tua serta keinginan orang tua, serta kiprah keluarga menjadi significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola pada mana anak diberi imbalan saat berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat ekspresi yg sebagai sentra sosialisasi merupakan anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.

Proses sosialisasi
Macam-macam Proses Sosialisasi
1. Proses Sosialisasi yang Terjadi Tanpa Disengaja melalui Proses Interaksi Sosial
Proses ini terjadi apabila individu yg disosialisasi maupun yg terisolasi menyaksikan aktivitas yg dilakukan dan diperbuat oleh orang-orang disekitarnya dalam berinteraksi. Misalnya sorang anak memperhatikan kegiatan yang dilakukan sang orang tuanya kemudian ia meniru dan mencontohkan perbuatan tadi pada pergaulan sehari-hari.
2. Proses Sosialaisasi yang Terjadi secara Sengaja melalui Pendidikan dan Pengajaran.
Proses ini terjadi jika seseorang individu mengikuti pedagogi dan pendidikan yang sengaja dilakukan sang pendidik-pendidik yg mewakili warga . Dalam pendidikan anak akan dikenalkan dalam kebiasaan serta nilai yang berlaku pada warga .

Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa pengenalan yg dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui termin-tahap menjadi berikut.

1. Tahap persiapan (Preparatory Stage) 
Tahap ini dialami sejak insan dilahirkan, waktu seseorang anak mempersiapkan diri buat mengenal global sosialnya, termasuk buat memperoleh pemahaman mengenai diri. Pada termin ini pula anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski nir sempurna.

2. Tahap meniru (Play Stage) 
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seseorang anak menirukan peran-kiprah yg dilakukan sang orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri serta siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari mengenai apa yg dilakukan seorang mak serta apa yg diharapkan seseorang ibu berdasarkan anak. Dengan istilah lain, kemampuan buat menempatkan diri dalam posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa global sosial manusia berisikan poly orang sudah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yg dipercaya penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni menurut mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seseorang anak, orang-orang ini diklaim orang-orang yg amat berarti (Significant other)

3. Tahap siap bertindak (Game Stage) 
Peniruan yg dilakukan telah mulai berkurang dan digantikan oleh kiprah yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri dalam posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara beserta-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan buat membela famili dan bekerja sama menggunakan teman-temannya. Pada termin ini versus berinteraksi semakin poly dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-sahabat sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku pada luar keluarganya secara sedikit demi sedikit juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma eksklusif yg berlaku di luar keluarganya.

4. Tahap penerimaan kebiasaan kolektif (Generalized Stage) 
Pada tahap ini seseorang telah dipercaya dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya dalam posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, dia bisa bertenggang rasa nir hanya menggunakan orang-orang yang berinteraksi dengannya akan tetapi pula dengan rakyat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan menggunakan orang lain yg nir dikenalnya-- secara mantap. Manusia menggunakan perkembangan diri dalam tahap ini sudah menjadi masyarakat rakyat dalam arti sepenuhnya.

Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi pada teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yg lalu disebut looking-glass self terbentuk melalui 3 tahapan sebagai berikut.

1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya menjadi anak yg paling hebat dan yg paling pandai lantaran oleh anak mempunyai prestasi di kelas dan selalu menang di aneka macam lomba.

2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, oleh anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji beliau, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini sanggup muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya pada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu sahih. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal apabila dibandingkan dengan orang lain, dia tidak terdapat apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun jika oleh anak memperoleh berita berdasarkan orang lain bahwa terdapat anak yg lebih hebat berdasarkan beliau.

3. Bagaimana perasaan kita sebagai dampak berdasarkan evaluasi tadi.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak merupakan anak yang hebat, ada perasaan bangga serta penuh percaya diri.

Ketiga tahapan pada atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seorang akan berusaha memainkan peran sosial sinkron dengan apa evaluasi orang terhadapnya. Apabila seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan kiprah sebagai "anak nakal" sesuai menggunakan evaluasi orang terhadapnya, walaupun evaluasi itu belum tentu kebenarannya.

Agen/Media sosialisasi
Agen pengenalan merupakan pihak-pihak yg melaksanakan atau melakukan pengenalan. Ada empat agen sosialisasi yang primer, yaitu famili, gerombolan bermain, media massa, serta lembaga pendidikan sekolah.

Pesan-pesan yg disampaikan agen pengenalan berlainan serta tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa ayng diajarkan famili mungkin saja berbeda serta sanggup jadi bertentangan menggunakan apa yang diajarkan oleh agen pengenalan lain. MIsalnya, pada sekolah anak-anak diajarkan buat tidak merokok, meminum minman keras serta menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), namun mereka menggunakan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.

Proses sosialisasi akan berjalan lancar jika pesan-pesan yg disampaikan sang agen-agen sosialisasi itu nir bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, pada masyarakat, pengenalan dijalani sang individu dalam situasi konflik eksklusif karena dikacaukan oleh agen pengenalan yang berlainan.

Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem korelasi diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah bisa saja terdiri atas beberapa keluarga yang mencakup kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada warga perkotaan yg sudah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan sang orang-orabng yg berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yg merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). Berdasarkan Gertrudge Jaeger peranan para agen pengenalan dalam sistem famili dalam termin awal sangat akbar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.

Hubungan Antara Sosialisasi Dengan Pembentukan Kepribadian 
Sosialisasi adalah sebuah proses mengusut dan menghayati norma dan konduite yg selaras dengan kiprah peran sosial yang berlaku pada suatu masyarakat.

Kepribadian adalah keseluruhan konduite dari seorang individu menggunakan system kesamaan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.

Jadi, pada ketika terjadi sosialisasi saat itu jua sejalan menggunakan proses pembentukan kepribadian. 

Sosialisasi adalah suatu proses sosial yang terjadi apabila seorang individu menghayati serta melaksanakan norma-kebiasaan gerombolan tempat ia hidup sehingga akan merasa menjadi bagian menurut kelompoknya tersebut. Kepribadian merupakan abstraksi dari pola perilaku manusia secara individual. Jadi, kepribadian merupakan karakteristik-karakteristik atau watak yang spesial menurut seseorang individu sebagai akibatnya menaruh bukti diri yg khas bagi individu yg bersangkutan.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa kepribadian adalah abstraksi atau pengorganisasian menurut perilaku-sikap seseorang individu buat berprilaku dalam rangka berhubungan dengan orang lain (berinteraksi sosial) atau menanggapi suatu hal yg terjadi dalam lingkungan masyarakatnya. Dengan istilah lain, pola prilaku yang merupakan perwujudan menurut kepribadian seorang individu akan disesuaikan dengan sistem nilai dan norma yang berlaku dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Akan tetapi nilai dan kebiasaan pada kehidupan rakyat akan sulit terwujud bila nir disosialisasikan kepada seluruh anggota warga . Dibutuhkan proses belajar atau sosialisasi buat mencapai kesesuaian antara kepribadian dan nilai atau norma tersebut. Dengan demikian, kepribadian bisa menjadi acuan (blue print) bermasyarakat yg diklaim kebudayaan. Sebaliknya sifat kebudayaan yg bergerak maju akan memerlukan sosialisasi agar sesuai dengan kepribadian masyarakat saling keterkaitan antara kehidupan tersebut berlangsung terus dalam bulat kehidupan (life cycle). 

Pembentukan Kepribadian Sebagai Hasil Sosialisasi
Setiap individu dalam warga adalah eksklusif yg unik, namun karena mereka memperoleh tipe-tipe sosialisasi yang sangat seperti, baik yg berasal dari tempat tinggal juga sekolah, akan banyak ciri kepribadian yang hampir serupa. Seseorang akan mencari pola konduite atau perilaku serta nilai-nilai yg ditekankan sang kebudayaannya sebagai hal yang penting buat mencapai kebiasaan dan prestasi langsung.

Kepribadian merupakan campuran utuh menurut perilaku, sifat, emosi, nilai yg memengaruhi seseorang supaya berbuat sesuai menggunakan rapikan cara yg diperlukan. Kepribadian merupakan adonan keseluruhan sifat-sifat yg tampak serta yang bisa dicermati seseorang. Dari pengertian tadi terlihat bahwa kepribadian nir hanya terlihat dari ciri-karakteristik fisik, seperti rambutnya keriting atau kulitnya yang hitam saja, namun juga karakteristik lainnya, misalnya kebiasaan dan sikapnya.

Kepribadian terbentuk, hidup, serta berubah sejalan menggunakan proses sosialisasi. 

Penerapan Pengetahuan Sosiologi pada Masyarakat
Sosiologi merupakan suatu kajian tentang warga dan hubungannya dengan lingkungan pada mana masyarakat bertempat tinggal. Kajian tersebut menaruh pengetahuan bagi siapa saja yang mengusut. Pengetahuan sosiologi memberikan manfaat serta dapat diaplikasikan (diterapkan) dalam kehidupan sehari-hari buat menunjang keberhasilan seseorang pada kehidupannya di masyarakat. Pengatahuan sosiologi dapat diterapkan pada proses pengenalan yg secara nir langsung ikut berperan serta pada pembentukan kepribadian seseorang individu. Oleh karenanya, peranan pengetahuan sosiologi dalam proses sosialisasi yang secara nir eksklusif ikut membangun kepribadian seorang individu memiliki hubungan yg sangat erat, karena ilmu pengetahuan sosiologilah seorang individu bisa dibuat kepribadiannya sedemikian rupa hingga sebagai seorang individu yang berprilaku sebagaimana di kalangan masyarakat tempat tinggalnya.

Penerapan Pengetahuan Sosiologi Tentang Proses Sosialisasi serta Pembentukan Kepribadian
Pengetahuan sosiologi tentang proses pengenalan dan pembentukan kepribadian membantu seseorang buat memahami bagaimana ia harus bersosialisasi dalam warga agar memiliki kepribadian yang baik.

= contoh : seseorang ibu akan mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya, tidak melakukan kekerasan fisik atau emosional menaruh teladan yang baik, menumbuhkan sikap tolong-menolong, serta perilaku saling menghargai sesama insan.

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yg meberikan pemecahan atas aneka macam perkara menggunakan pendekatan kemasyarakatan. Sosiologi sangat berkaitan erat dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pengetahuan sosiologi dapat diterapkan di dalam masyarakat buat membantu dalam pembentukan kepribadian seorang agar perilakunya sinkron menggunakan norma-kebiasaan yg dianut oleh masyarakat setempat. Pengetahuan sosiologi bisa membantu dalam proses pengenalan, maksudnya adalah apabila pengetahuan sosiologi yang dianut oleh suatu warga itu salah , maka akan mengakibatkan proses sosialisasi itu akan menciptakan kepribadian seorang pun mengikuti rakyat sekitarnya yg memang sudah menganut suatu pengetahuan sosiologi yang salah .

SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN

Sosialisasi Dan Pembentukan Kepribadian 
Defenisi
Banyak para pakar yang menaruh perhatian dan mencurahkan penelitiannya untuk mendeskripsikan penelitiannya tentang tentang pola tingkah laris yang nantinya merunut pula pada pola tingkah laku manusia sebagai bahan perbandingannya.

Pola-pola tingkah laris bagi semua Homo Sapiens hampir nir terdapat, bahkan bagi seluruh individu yg tergolong satu ras pun, tidak ada satu system pola tingkah laris yang seragam. Sebabnya tingkah laris Homo Sapiens tidak hanya ditentukan oleh system organic biologinya saja, melainkan jua akal dan pikirannya dan jiwanya, sehingga variasi pola tingkah laris Homo Sapiens sangat akbar diversitasnya dan unik bagi setiap insan. 

Dengan pola tingkah laku pada arti yang sangat khusus yang ditentukan oleh nalurinya, dorongan-dorongan dan refleksnya. 

Jadi “Kepribadian” dalam konteks yang lebih mendalam merupakan “susunan unsur-unsur logika dan jiwa yg menentukan tingkah laku atau tindakan seseorang individu”. 

Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan anggaran berdasarkan satu generasi ke generasi lainnya pada sebuah kelompok atau rakyat. Sejumlah sosiolog menyebut pengenalan sebagai teori tentang peranan (role theory). Lantaran dalam proses pengenalan diajarkan peran-kiprah yang wajib dijalankan sang individu.

Unsur-unsur Kepribadian
Ada beberapa unsur-unsur dari kepribadian. Diantaranya adalah menjadi berikut :

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan suatu unsur-unsur yg mengisi nalar serta alam jiwa orang yang sadar. Dalam alam lebih kurang manusia masih ada berbagai hal yang diterimanya melalui panca inderanya yg masuk kedalam menyebarkan sel pada bagian-bagian tertentu berdasarkan otaknya. Ddan didalam otak tersebutlah semuanya diproses sebagai susunan yg dipancarkan oleh individu kealam lebih kurang. Dan pada Antropologi dikenal sebagai “persepsi” yaitu; “semua proses nalar insan yg sadar”. 

Ada kalanya suatu persepsi yang diproyeksikan kembali sebagai suatu penggambaran berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian. Penggambaran yang terfokus secara lebih intensif yang terjadi lantaran pemustan secara lebih intensif pada pada pandangan psikologi umumnya diklaim dengan “Pengamatan”.

Penggambaran mengenai lingkungan dengan penekanan pada bagian-bagian yg paling menarik perhatianya tak jarang diolah sang sutu proses dalam aklanya yang menghubungkannya dengan aneka macam penggambaran lain yg sejenisnya yang sebelumnya pernah diterima serta diproyeksikan oleh akalnya, serta lalu muncul balik sebagai kenangan. 

Dan penggambaran yang baru menggunakan pengertian baru pada istilah psikologi diklaim “Apersepsi”.
Penggabungan dan membandingkan-bandingkan bagian-bagian menurut suatu penggambaran menggunakan bagian-bagian dari aneka macam penggambaran lain yg homogen secara konsisten menurut asas-asas eksklusif. Dengan proses kemampuan buat menciptakan suatu penggambaran baru yang tak berbentuk, yg dalam kenyataanya tidak seperti menggunakan galat satu menurut sekian macam bahan nyata dari penggambaran yg baru. 

Dengan demikian insan dapat membuat suatu penggambaran tentang loka-tempat tertentu di muka bumi, padahal ia belum pernah melihat atau mempersepsikan tempat-loka tadi. Penggambaran abstrak tersebut pada ilmu-ilmu sosial dianggap menggunakan “Konsep”.

Cara pengamatan yg mengakibatkan bahwa penggambaran tentang lingkungan mungkin ada yang ditambah-tambah atau dibesar-besarkan, namun ada jua yg dikurangi atau diperkecil dalam bagian-bagian eksklusif. Dan terdapat juga yg digabung menggunakan penggambaran-pengambaran lain sehingga sebagai penggambaran yang baru sama sekali, yg sebenarnya tidak konkret. 

Dan penggambaran baru yg tak jarang tidak realistic dalam Psikologi dianggap menggunakan “Fantasi”.
Seluruh penggambaran, apersepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi adalah unsur-unsur pengetahuan yang secara sadar dimiliki seseorang Individu.

Perasaan
Selain pengetahuan, alam pencerahan manusia jua mengandung banyak sekali macam perasaan. Sebaliknya, dapat pula digambarkan seseorang individu yang melihat suatu hal yang buruk atau mendengar bunyi yg tidak menyenangkan. Persepsi-persepsi seperti itu dapat menimbulkan pada kesadaranya perasaan negatif. 

“Perasaan”, disamping segala macam pengetahuan agaknya juga mengisi alam pencerahan manusia setiap waktu dalam hidupnya. “Perasaan” merupakan suatu keadaan dalam kesadaran insan yang karena pengetahuannya dinilai menjadi keadan yg positif atau negative.

Dorongan Naluri 
Kesadaran manusia mengandung mengembangkan perasaan menyebarkan perasaan lain yang tidak disebabkan karena diperanguhi sang pengeathuannya, tetapi lantaran memang telah terkandung di dalam organismenya, khususnya pada gennya, sebagai naluri. Dan kemauan yang telah meruapakan insting diklaim “Dorongan”.

Tujuh Macam Dorongan naluri
Ada disparitas paham mengenai jenis serta jumlah dorongan naluri yg terkandung pada naluri manusia yaitu ; 
  • Dorongan buat mempertahankan hayati. Dorongan ini memang merupakan suatu kekutan biologis yg ada dalam setiap makhluk di dunia untuk dapat bertahan hidup. 
  • Dorongan ini sudah banyak menarik perhatian para ahli antropolagi, dan mengenai hal ini telah dikembangkan banyak sekali teori. Dorongan biologis yg mendorong manusia buat membentuk keturunan bagi kelanjutan keberadaanya pada dunia ini muncul dalam setiap individu yang normal yg nir ditentukan sang pengetahuan apapun. 
  • Dorongan buat berupaya mencari makan. Dorongan ini nir perlu dipelajari, serta semenjak baru dilahirkan pun manusia telah menampakannya dengan mencari puting susu ibunya atau botol susunya tanpa perlu dipelajari. 
  • Dorongan buat berteman atau berinteraksi dengan sesame manusia, yang memang adalah landasan biologi menurut kehidupan masyarakat manusia menjadi kolektif. 
  • Dorongan buat meniru tingkah laris sesamanya. Dorongan ini adalah dari-mula menurut adanya majemuk kebudayaan insan, yang menyebabkan bahwa manusia berbagi adat. Adat, kebalikannya, memaksa perbuatan yg seragam (conform) dengan insan-insan di sekelilingnya. 
  • Dorongan buat berbakti. Dorongan ini mungkin terdapat lantaran insan adalah makhluk kolektif. Agar insan dapat hayati secara beserta insan lain diharapkan suatu landasan biologi buat berbagi Altruisme, Simpati, Cinta, dan sebagainya. Dorongan itu lalu lebih lanjut menciptakan kekuatan-kekuatan yg sang perasaanya dipercaya berada di luar akalnya sebagai akibatnya ada religi. 
  • Dorongan buat keindahan. Dorongan ini sering saudah tampak dimiliki bayi, yg sudah mulai tertarik pada bentuk-bentuk, rona-warni, serta suara-suara, irama, serta mobilitas-mobilitas, serta adalah dasar dari unsur kesenian. 
Materi Dari Unsur-unsur Kepribadian
Dalam sebuah konsep kepribadian umum,makin dipertajam dengan terciptanya konsep basic personality structure, atau “kepribadian dasar”, yaitu semua seluruh unsur kepribadian yg dimiliki sebagian akbar warga suatu rakyat. 

Kepribadian dasar ada lantaran semua individu warga rakyat mengalami impak lingkungan kebudayaan yg sama selama pertumbuhan mereka. Metodologi untuk mengumpulkan data mengenai kepribadian bangsa dapat dilakukan menggunakan mengumpulkan sample menurut masyarakat warga yang menjadi objek penelitian, yg kemudian diteliti kepribadiannya dengan tes Psikologi.

Selain ciri tabiat umum, seorang Individu memilki ciri-karakteristik wataknya sendiri, sementara adaindividu-individu pada sample yang nir meliki unsur-unsur kepribadian generik. Pendekatan dalam penelitian kepribadian suatu kebudaya pula dilaksanakan dengan metode lain yang berdasarkan pada ciri-karakteristik dan unsur tabiat seorang individu dewasa.

Pembentukan watak serta jiwa individu poly dipengaruhi oleh pengalamannya pada masa kanak-kanak serta pola pengasuhan orang tua.

Berdasarkan konsepsi Psikologi tadi, para pakar Antropologi berpendirian bahwa dengan memeriksa tata cara-norma pengasuhan anak yang spesial akan dapat mengetahui adanya berbagai unsur kepribadian pada sebagian besar rakyat yg adalah dampak berdasarkan pengalaman-pengalaman mereka semenjak masa kanak-kanak.

Penelitian tentang etos kebudayaan serta kepribadian bangsa yang pertama-tama dilakukan sang tokoh Antroplogi R. Benedict, R. Linton, dan M. Mead. Sehingga sebagai bagian spesifik dalam antropologi yang dinamakan personality and culture. 

Jenis sosialisasi
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi sebagai 2: sosialisasi primer (pada famili) serta sosialisasi sekunder (pada rakyat). Menurut Goffman kedua proses tadi berlangsung pada institusi total, yaitu loka tinggal dan loka bekerja. Dalam ke 2 institusi tadi, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari warga luas dalam jangka ketika kurun eksklusif, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, serta diatur secara formal.

Keluarga menjadi mediator pengenalan primer
1. Sosialisasi primer 
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan pengenalan utama menjadi sosialisasi pertama yg dijalani individu semasa kecil menggunakan belajar sebagai anggota rakyat (famili). Sosialisasi primer berlangsung waktu anak berusia 1-5 tahun atau waktu anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota famili serta lingkungan famili. Secara sedikit demi sedikit beliau mulai sanggup membedakan dirinya dengan orang lain pada kurang lebih keluarganya.

Dalam termin ini, kiprah orang-orang yang terdekat menggunakan anak sebagai sangat krusial sebab seseorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas pada dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan sang warna kepribadian serta interaksi yang terjadi antara anak menggunakan anggota famili terdekatnya.

2. Sosialisasi sekunder 
Sosialisasi sekunder merupakan suatu proses pengenalan lanjutan selesainya sosialisasi utama yang memperkenalkan individu ke pada kelompok eksklusif dalam masyarakat. Salah satu bentuknya merupakan resosialisasi serta desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama .

Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai baku serta nilai yang tidak selaras. Contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau nir' pada sekolah dengan di grup sepermainan tentu tidak sama. Di sekolah, misalnya, seseorang diklaim baik bila nilai ulangannya pada atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara pada gerombolan sepermainan, seseorang disebut baik bila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan baku dan nilai pun nir terlepas berdasarkan tipe sosialisasi yg ada. Ada 2 tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tadi merupakan sebagai berikut.

1. Formal 
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yg berwenang menurut ketentuan yg berlaku dalam negara.

2. Informal 
Sosialisasi tipe ini terdapat pada rakyat atau pada pergaulan yang bersifat kekeluargaan, misalnya antara teman, teman, sesama anggota klub, serta gerombolan -kelompok sosial yg ada di pada warga .

Baik pengenalan formal juga pengenalan informal permanen menunjuk kepada pertumbuhan eksklusif anak supaya sinkron dengan nilai serta norma yg berlaku pada lingkungannya. Dalam lingkungan formal misalnya pada sekolah, seseorang siswa berteman menggunakan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam hubungan tersebut, beliau mengalami proses sosialisasi. Menggunakan adanya proses soialisasi tersebut, murid akan disadarkan tentang peranan apa yg harus dia lakukan. Siswa pula diperlukan memiliki pencerahan pada dirinya buat menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yg baik serta disukai teman atau nir? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?

Meskipun proses pengenalan dipisahkan secara formal dan informal, tetapi hasilnya sangat suluit buat dipisah-pisahkan karena individu umumnya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.

Pola sosialisasi
Sosiologi bisa dibagi sebagai 2 pola: sosialisasi represif dan pengenalan partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan dalam penggunaan sanksi terhadap kesalahan. Ciri lain menurut sosialisasi represif merupakan penekanan dalam penggunaan materi dalam hukuman serta imbalan. Penekanan dalam kepatuhan anak serta orang tua. Penekanan dalam komunikasi yg bersifat satu arah, nonverbal serta berisi perintah, fokus pengenalan terletak dalam orang tua dan cita-cita orang tua, serta kiprah famili menjadi significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola pada mana anak diberi imbalan saat berprilaku baik. Selain itu, sanksi serta imbalan bersifat simbolik. Dalam proses pengenalan ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan dalam hubungan dan komunikasi bersifat mulut yang sebagai sentra pengenalan merupakan anak dan keperluan anak. Keluarga sebagai generalized other.

Proses sosialisasi
Macam-macam Proses Sosialisasi
1. Proses Sosialisasi yang Terjadi Tanpa Disengaja melalui Proses Interaksi Sosial
Proses ini terjadi bila individu yg disosialisasi maupun yg terisolasi menyaksikan aktivitas yang dilakukan dan diperbuat sang orang-orang disekitarnya dalam berinteraksi. Misalnya sorang anak memperhatikan aktivitas yg dilakukan sang orang tuanya lalu dia meniru dan mencontohkan perbuatan tadi dalam pergaulan sehari-hari.
2. Proses Sosialaisasi yang Terjadi secara Sengaja melalui Pendidikan dan Pengajaran.
Proses ini terjadi bila seseorang individu mengikuti pedagogi dan pendidikan yang sengaja dilakukan sang pendidik-pendidik yg mewakili masyarakat. Dalam pendidikan anak akan dikenalkan dalam kebiasaan dan nilai yang berlaku dalam rakyat.

Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yg dilewati seorang bisa dibedakan menlalui tahap-tahap menjadi berikut.

1. Tahap persiapan (Preparatory Stage) 
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri buat mengenal global sosialnya, termasuk buat memperoleh pemahaman tentang diri. Pada termin ini pula anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski nir sempurna.

2. Tahap meniru (Play Stage) 
Tahap ini ditandai menggunakan semakin sempurnanya seseorang anak menirukan peran-kiprah yg dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran mengenai anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, serta sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seseorang bunda dan apa yg diperlukan seorang bunda berdasarkan anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain pula mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa global sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian berdasarkan orang tadi merupakan orang-orang yang dipercaya penting bagi pembentukan serta bertahannya diri, yakni berdasarkan mana anak menyerap norma serta nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini dianggap orang-orang yg amat berarti (Significant other)

3. Tahap siap bertindak (Game Stage) 
Peniruan yg dilakukan sudah mulai berkurang serta digantikan sang kiprah yg secara pribadi dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun semakin tinggi sebagai akibatnya memungkinkan adanya kemampuan bermain secara beserta-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan buat membela keluarga serta bekerja sama menggunakan sahabat-temannya. Pada termin ini lawan berinteraksi semakin poly serta hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan sahabat-sahabat sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yg berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa terdapat norma eksklusif yg berlaku di luar keluarganya.

4. Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage) 
Pada termin ini seorang sudah dianggap dewasa. Dia sudah bisa menempatkan dirinya dalam posisi masyarakat secara luas. Dengan istilah lain, dia dapat bertenggang rasa nir hanya dengan orang-orang yg berinteraksi dengannya tapi juga dengan warga luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang nir dikenalnya-- secara mantap. Manusia menggunakan perkembangan diri dalam tahap ini telah menjadi warga warga dalam arti sepenuhnya.

Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan menjadi berikut.

1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat serta yg paling pandai lantaran sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di banyak sekali lomba.

2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak merupakan anak yang hebat, oleh anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji beliau, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini mampu timbul menurut perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya pada banyak sekali lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal jika dibandingkan menggunakan orang lain, ia tidak terdapat apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun bila sang anak memperoleh kabar dari orang lain bahwa terdapat anak yg lebih hebat menurut dia.

3. Bagaimana perasaan kita menjadi akibat berdasarkan penilaian tadi.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak merupakan anak yang hebat, ada perasaan bangga dan penuh percaya diri.

Ketiga tahapan di atas berkaitan erat menggunakan teori labeling, dimana seorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa evaluasi orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka terdapat kemungkinan dia akan memainkan kiprah menjadi "anak nakal" sesuai menggunakan evaluasi orang terhadapnya, walaupun evaluasi itu belum tentu kebenarannya.

Agen/Media sosialisasi
Agen pengenalan adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yg utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan forum pendidikan sekolah.

Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan nir selamanya sejalan satu sama lain. Apa ayng diajarkan famili mungkin saja tidak sinkron dan sanggup jadi bertentangan dengan apa yg diajarkan sang agen pengenalan lain. MIsalnya, pada sekolah anak-anak diajarkan buat tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), namun mereka dengan leluasa mempelajarinya berdasarkan sahabat-sahabat sebaya atau media massa.

Proses sosialisasi akan berjalan lancar bila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen pengenalan itu nir bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan namun, di rakyat, sosialisasi dijalani sang individu dalam situasi konflik eksklusif lantaran dikacaukan sang agen pengenalan yg berlainan.

Sedangkan pada warga yg menganut sistem relasi diperluas (extended family), agen sosialisasinya sebagai lebih luas karena dalam satu tempat tinggal bisa saja terdiri atas beberapa famili yg mencakup kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang sudah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yg berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen pengenalan yg merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). Berdasarkan Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi pada sistem famili pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada pada ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.

Hubungan Antara Sosialisasi Dengan Pembentukan Kepribadian 
Sosialisasi adalah sebuah proses memeriksa serta menghayati kebiasaan serta konduite yg selaras dengan kiprah kiprah sosial yang berlaku pada suatu rakyat.

Kepribadian merupakan holistik perilaku berdasarkan seseorang individu dengan system kesamaan eksklusif yang berinteraksi menggunakan serangkaian situasi.

Jadi, pada waktu terjadi pengenalan waktu itu jua sejalan dengan proses pembentukan kepribadian. 

Sosialisasi merupakan suatu proses sosial yang terjadi apabila seorang individu menghayati serta melaksanakan norma-norma kelompok tempat dia hidup sebagai akibatnya akan merasa menjadi bagian dari kelompoknya tersebut. Kepribadian adalah abstraksi menurut pola perilaku manusia secara individual. Jadi, kepribadian adalah ciri-ciri atau watak yg khas menurut seorang individu sehingga menaruh bukti diri yang khas bagi individu yg bersangkutan.

Seperti yg telah dikemukakan sebelumnya bahwa kepribadian adalah abstraksi atau pengorganisasian berdasarkan perilaku-perilaku seorang individu buat berprilaku dalam rangka herbi orang lain (berinteraksi sosial) atau menanggapi suatu hal yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Dengan istilah lain, pola prilaku yang merupakan perwujudan menurut kepribadian seseorang individu akan diadaptasi dengan sistem nilai serta norma yg berlaku pada kehidupan sosial budaya masyarakatnya.

Akan tetapi nilai serta norma dalam kehidupan warga akan sulit terwujud jika nir disosialisasikan kepada seluruh anggota masyarakat. Dibutuhkan proses belajar atau pengenalan buat mencapai kesesuaian antara kepribadian dan nilai atau kebiasaan tersebut. Dengan demikian, kepribadian dapat sebagai acuan (blue print) bermasyarakat yg diklaim kebudayaan. Sebaliknya sifat kebudayaan yang bergerak maju akan memerlukan sosialisasi supaya sinkron menggunakan kepribadian rakyat saling keterkaitan antara kehidupan tersebut berlangsung terus pada bulat kehidupan (life cycle). 

Pembentukan Kepribadian Sebagai Hasil Sosialisasi
Setiap individu dalam rakyat merupakan langsung yg unik, tetapi lantaran mereka memperoleh tipe-tipe sosialisasi yang sangat seperti, baik yang dari menurut rumah juga sekolah, akan banyak ciri kepribadian yang hampir serupa. Seseorang akan mencari pola konduite atau perilaku serta nilai-nilai yg ditekankan sang kebudayaannya sebagai hal yg krusial buat mencapai kebiasaan dan prestasi pribadi.

Kepribadian merupakan adonan utuh berdasarkan sikap, sifat, emosi, nilai yg memengaruhi seseorang supaya berbuat sinkron dengan tata cara yang dibutuhkan. Kepribadian merupakan adonan holistik sifat-sifat yg tampak serta yang bisa ditinjau seseorang. Dari pengertian tadi terlihat bahwa kepribadian nir hanya terlihat dari ciri-ciri fisik, misalnya rambutnya keriting atau kulitnya yang hitam saja, namun pula karakteristik lainnya, misalnya kebiasaan serta sikapnya.

Kepribadian terbentuk, hayati, dan berubah sejalan dengan proses pengenalan. 

Penerapan Pengetahuan Sosiologi pada Masyarakat
Sosiologi merupakan suatu kajian mengenai masyarakat dan hubungannya menggunakan lingkungan pada mana masyarakat berdomisili. Kajian tadi memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang menilik. Pengetahuan sosiologi memberikan manfaat dan dapat diaplikasikan (diterapkan) pada kehidupan sehari-hari buat menunjang keberhasilan seseorang pada kehidupannya pada masyarakat. Pengatahuan sosiologi bisa diterapkan pada proses pengenalan yg secara nir eksklusif ikut berperan dan dalam pembentukan kepribadian seseorang individu. Oleh karenanya, peranan pengetahuan sosiologi pada proses pengenalan yg secara tidak pribadi ikut menciptakan kepribadian seseorang individu memiliki interaksi yang sangat erat, karena ilmu pengetahuan sosiologilah seorang individu bisa dibentuk kepribadiannya sedemikian rupa sampai menjadi seseorang individu yang berprilaku sebagaimana pada kalangan rakyat tempat tinggalnya.

Penerapan Pengetahuan Sosiologi Tentang Proses Sosialisasi dan Pembentukan Kepribadian
Pengetahuan sosiologi tentang proses pengenalan serta pembentukan kepribadian membantu seorang buat tahu bagaimana ia harus bersosialisasi dalam rakyat agar memiliki kepribadian yg baik.

= contoh : seorang mak akan mendidik anaknya dengan sebaik-baiknya, nir melakukan kekerasan fisik atau emosional memberikan teladan yang baik, menumbuhkan sikap tolong-menolong, dan sikap saling menghargai sesama insan.

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yg meberikan pemecahan atas banyak sekali perkara menggunakan pendekatan kemasyarakatan. Sosiologi sangat berkaitan erat pada pembentukan kepribadian seorang. Pengetahuan sosiologi bisa diterapkan pada dalam rakyat buat membantu dalam pembentukan kepribadian seseorang supaya perilakunya sesuai menggunakan norma-kebiasaan yang dianut sang warga setempat. Pengetahuan sosiologi dapat membantu pada proses sosialisasi, maksudnya merupakan bila pengetahuan sosiologi yang dianut oleh suatu warga itu galat, maka akan menyebabkan proses sosialisasi itu akan membentuk kepribadian seseorang pun mengikuti masyarakat sekitarnya yg memang telah menganut suatu pengetahuan sosiologi yg keliru.

MENERAWANG MASA DEPAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI & SENI

Menerawang Masa Depan Ilmu Pengetahuan, Teknologi & Seni 
Rekonstruksi budaya masyarakat dan renovasi sistem pendidikan Indonesia pasca penjajahan Belanda serta Jepang mengalami banyak hambatan. Tiga faktor yang potensial menghadang kegiatan rekonstruksi tadi adalah (1) lambatnya perjuangan modernisasi sistem politik yang bermuara pada sulitnya memilih kebijakan pendidikan yang cocok bagi Indonesia yang baru mencapai kemerdekaan, (dua) sulitnya mengganti mental pemimpin Indonesia berdasarkan norma ketergantungan, sebagai akibatnya mereka cenderung berorientasi dalam saran dan sugesti para ilmuwan negara-negara barat dan mengunggulkan contoh pendidikan negara-negara barat yg belum tentu cocok menggunakan kebutuhan pendidikan Indonesia, (tiga) sulitnya membangkitkan kreativitas warga pada pendidikan menjadi akibat pengalaman historis yang menyebabkan kemiskinan, keterbelakangan, serta penindasan.

Kelembagaan pendidikan dan praktek pendidikan Indonesia masih berupa pola-pola melanjutkan pendidikan penjajahan serta budaya kolonial berdasarkan masa lampau. Sebagian institusi pendidikan Indonesia adalah pencangkokan forum pendidikan negara-negara yg sudah maju, sebagai akibatnya dalam praktek sehari-hari, output pendidikan kurang mencerminkan aspirasi bangsa sendiri, kurang mengembangkan sifat-sifat kepribumian, kurang berbagi unsur-unsur budaya lokal dan nasional. Anak didik yg mendapat pendidikan semacam ini akhirnya mengalami alienasi terhadap budaya sendiri, yg akhirnya merasa asing pula terhadap hakikat diri sendiri, lingkungan, bahasa ibu serta pengalaman eksistensial.

Kemajuan rakyat industri Eropa adalah output berdasarkan akumulasi empat gugus institusi, yg berdasarkan pandangan Giddens (Dimyati, 2000) menjadi interaksi komplementer menurut (1) kapitalisme, (2) industrialisme, (tiga) pengawasan, serta (4) kekuatan militer. Rembesan contoh institusi ini di Indonesia bermetamorfosis pada praktek-praktek pendidikan yang bersifat otoriter, pendidikan berpusat pada guru, menjejalkan isi kurikulum yg nir sesuai menggunakan kebutuhan murid, nir adanya komunikasi interaktif antara pengajar serta murid, siswa dituntut menghafal secara mekanis, pengajar cenderung bercerita mengenai pelajaran dan murid mendengarkan. Guru menguraikan suatu topik yg sama sekali asing bagi pengalaman eksistensial para anak didik. Yang terjadi bukannya proses komunikasi, namun guru mengungkapkan pernyataan-pernyataan serta mengisi “tabungan” yg diterima, dihafal, diulangi menggunakan patuh oleh para anak didik. Inilah konsep pendidikan “gaya bank” (Freire, 1985; Kartini Kartono, 1997; Suyanto, 2001). Pendidikan gaya bank menghasilkan insan-manusia yg jati dirinya tersimpan dan miskin daya cipta, daya ubah, dan pengetahuan. 

Di samping praktek pendidikan gaya bank, institusi pendidikan Indonesia yang masih berpola ketergantungan dalam pendidikan negara-negara maju menaruh pengaruh kurang menguntungkan masyarakat Indonesian serta masih mewarnai sistem pendidikan Indonesia sampai sekarang. Sistem pendidikan nasional ternyata lebih mengutamakan uniformitas atas dasar kesatuan serta persatuan bangsa, buat menjamin keamanan negara serta stabilitas pemerintahan (Suyanto, 2001). Kelemahan sistem pendidikan semacam itu adalah operasionalisasi konkretnya di lapangan menjadi kurang relevan menggunakan tuntutan dan kebutuhan warga lokal yang majemuk, serta corak sosial ekonomi serta kebudayaan yang bervariasi. Lebih-lebih Ekspansi serta modernisasi pendidikan dengan penekanan dalam pemberian materi pengajaran yang lebih poly bersifat urban serta universal serta kurang memperhatikan situasi syarat lokal, akan menaikkan harapan irit serta ambisi-ambisi material yang sulit terpuaskan. 

Di samping itu, hasrat emosional buat mengejar kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi seperti di negara-negara kaya serta maju, poly mendominasi para penentu kebijakan pendidikan. Mereka hampir selalu berada di pada utopi, dan kurang berpijak dalam realitas bangsa sendiri, khususnya bagi warga lapisan bawah. Ide-wangsit utopis tersebut ternyata merusak pemimpin pendidikan dalam membangun model-model pendidikan yg bernafaskan kepribumian yg justru berfaedah bagi rakyat serta sesuai menggunakan kebudayaan asli Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut, sepantasnyalah untuk disadari bahwa operasionalisasi sistem pendidikan Indonesia belum menunjukkan keberhasilan, baik kualitas, kuantitas, relevansi, maupun efesiensinya. Hasil-output pendidikan yang belum memenuhi harapan rakyat tadi, memberikan dorongan buat sepintas melihat paradigma lama pendidikan Indonesia menjadi bahan refleksi buat memikirkan strategi pendidikan Indonesia ke depan. Upaya ini sangat perlu dilakukan dalam upaya merevisi pendidikan Indonesia yang terpuruk ketika ini. 

1. Paradigma Lama Pendidikan Indonesia
Praksis pendidikan Indonesia menurut paradigma usang, sesungguhnya telah banyak mengalami kemajuan, baik proses, kuantitas, maupun kualitasnya. Perubahan-perubahan fundamental terjadi pada pada pendidikan nasional semenjak 57 tahun yang kemudian. Suatu sistem pendidikan nasional yg elitis yang diwarisi menurut pemerintahan Kolonial serta militerisme Jepang diubah menjadi sistem pendidikan yg populis yg banyak membuka kesempatan untuk semua anak bangsa. Lebih-lebih pendidikan pada awal-awal kemerdekaan, seperti yang digagas sang Ki Hajar Dewantara, banyak menempatkan kepentingan humanisasi dan berusaha mengubur pendidikan yg dehumanis warisan penjajahan. Namun, hal ini belum menampakkan output dan layu sebelum berkembang.

Dalam bepergian pendidikan selama Orde Baru, sedikitnya terdapat empat indikator perkembangan sistem pendidikan nasional (Tilaar, 2000a), yaitu: (1) popularisasi, (dua) sistematisasi, (3) proliferasi, (4) politisasi pendidikan.

Popularisasi pendidikan selama Orde Baru melahirkan konsep pengembangan sumber daya manusia yg menjadi prioritas primer, pada samping asal-sumber alamiah. Paradigma ini dilandasi oleh kenyataan bahwa Indonesia telah unggul pada bidang asal daya alam, namun lemah dalam asal kabar iptek, kelembagaan serta peraturan, sumber kapital, dan asal kebudayaan (Oetama & Widodo, 1990). Di samping itu, dengan didorong oleh gerakan education for all, ada juga kerangka berpikir pemberantasan kemiskinan yang akhirnya melahirkan program-acara harus belajar yang bermula diberlakukannya harus belajar 6 tahun, yang lalu sebagai 9 tahun. Krisis yang dirasakan menjadi dampak paradigma tadi merupakan terpuruknya sumber daya manusia Indonesia yang tercermin dari taraf keterampilan energi kerja Indonesia terendah pada Asia dan semakin bertambahnya pengangguran.

Didorong sang asa buat menaikkan mutu serta standar pendidikan nasional, maka muncullah kerangka berpikir keseragaman pendidikan nasional. Pardigma ini melahirkan undang-undang positif serta banyak sekali peraturan yg menjamin uniformitas suatu sistem, lahirnya kebiasaan-kebiasaan EBTANAS, serta banyak sekali tes baku. Paradigma ini diarahkan buat mencapai tujuan efesiensi perencanaan dan manajemen pendidikan, memudahkan pengawasan, mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, dan keyakinan bahwa etatisme pendidikan akan menjamin mutu pendidikan nasional.

Di satu sisi, kerangka berpikir keseragaman pendidikan sudah menghasilkan percepatan pencapaian target-sasaran kuantitatif pendidikan. Di sisi lain, kerangka berpikir yang kaku tersebut ternyata mematikan inisiatif serta kepandaian kritis anak didik dan rakyat (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a,b, Van Peursan, 1999). 

Perlu disadari bahwa sistem pendidikan elitis dalam zaman penjajahan Kolonial dan pendidikan meliterisme Jepang sangat berpengaruh secara signifikan terhadap terbatasnya jumlah anggota masyarakat yang melek huruf. Atas dasar kenyataan ini, maka selesainya kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pendidikan disempitkan hanya sebagai persekolahan. Pengertian sempit tentang pendidikan tadi tampak pada UU. No. 4 th. 1990 yg terutama diarahkan buat pedagogi. Kemudian, menjadi akibat desakan perkembangan teknologi komunikasi yg semakin canggih yang memperkenalkan pendidikan maya yang bersifat global, maka kerangka berpikir proliferasi pendidikan diperluas dengan memunculkan pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal dengan aktivitas-aktivitas buat pemenuhan tenaga kerja industri. Tetapi, ekspansi ruang lingkup pendidikan tersebut sudah mengubah dimensi pendidikan berdasarkan tanggung jawab famili beralih pada kekuatan-kekuatan pada luar lingkungan keluarga, formalistis, serta sistematis, dan sekadar buat memenuhi tuntutan popularisasi pendidikan.

Munculnya banyak sekali jenis program pendidikan dan training yang lebih berorientasi dalam aspek supply, menyebabkan kebutuhan real akan tenaga kerja terampil cenderung ditelantarkan. Ini terjadi menjadi akibat kurang diperhatikan pentingnya kaitan antara global pendidikan serta global kerja. Praksis pendidikan sesungguhnya berinti dalam sejauh mana global pendidikan serta dunia kerja itu terjembatani (Oetama & Widodo, 1990). Paradigma pendidikan yg tidak berorientasi dalam esensi praksis pendidikan akhirnya membawa global pendidikan semakin mengalami alienasi berdasarkan kebutuhan warga (Kartini Kartono, 1997; Tilaar, 2000a). Anomali-anomali yg terjadi merupakan terabaikannya peranan pendidikan informal; pendidikan dianggap menjadi state business non profit; serta pendidikan lebih berorientasi dalam aspek supply ketimbang demand menurut konsumen.

Pendidikan dan politik memiliki kaitan yg sangat erat. Keduanya diarahkan dalam tujuan hayati manusia dan masyarakat, menginginkan kehidupan yang berbahagia, diarahkan buat menciptakan kehidupan beserta. Indonesia yg tengah berkembang adalah pencerminan menurut kekuatan sosial politik kaum elit yang berkuasa serta refleksi kekuatan penguasa dalam pandangan baru-ilham politiknya. Sekolah merupakan wahana penyuapan anak didik menggunakan doktrin-doktrin politik dan propaganda nilai-nilai budaya yg dianggap paling berguna sang para penguasa. Semua prilaku ini ditujukan demi penguasaan dan pengendalian masyarakat secara lebih efisien. Rakyat dituntut kepastian politik dan ketundukan rohaniah secara total, yakni tunduk secara mutlak kepada penguasa. Semuanya ini yang kemudian melahirkan konsep politisasi pendidikan.

Pendidikan dijadikan menjadi alat penguasa serta sarana indoktrinasi idiologi. Paradigma ini akhirnya melahirkan juga prinsip-prinsip bahwa (1) pendidikan diyakini dengan sendirinya bisa memecahkan masalah sosial budaya, (2) manajemen pendidikan ditangani sang birokrasi supaya tercipta kesatuan persepsi pada menjalankan tugas-tugas pendidikan. Krisis yang dirasakan merupakan (1) sakralisasi ideologi nasional sebagai akibatnya terjadi penjinakan terhadap critical serta creative thinking masyarakat, (dua) terjadi keterpurukan pada profesi praktisi pendidikan.

Berdasarkan empat indikator paradigma lama pendidikan Indonesia tersebut, bisa diduga bahwa anomali-anomali yang ditimbulkannya berpengaruh secara signifikan terhadap terjadinya krisis yg dialami sang pendidikan Indonesia ketika ini. Lebih-lebih pada mengahadapi era global yg melanda semua segi kehidupan, beliau akan menampakkan wujud semakin hebat serta beresiko dalam keterbelakangan peradaban manusia Indonesia pada mata global. Perlu disadari bahwa, secara alamiah upaya buat menyelamatkan diri berdasarkan krisis pendidikan tersebut memerlukan keseriusan seluruh anak bangsa, menyadarinya, dan meyakininya, bahwa krisis tadi niscaya akan bisa dilewati. Atas dasar keyakinan tersebut, semua anak bangsa beserta pemerintah akan segera menginginkan suatu perubahan, evolusi, atau revolusi menuju suatu paradigma baru pendidikan Indonesia yang dapat dijadikan pijakan mengakhiri krisis, menaikkan pendidikan, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat serta peradaban insan ke arah yang lebih baik, serta bisa berkiprah pada percaturan dunia.

Paradigma baru pendidikan Indonesia tadi, pada samping tetap berorientasi dalam empat indikator yang dijadikan pijakan buat mengevaluasi kerangka berpikir usang, pula berorientasi dalam nilai-nilai orisinal yg bersifat lokal, nasional, dan universal bersumber berdasarkan landasan dan wawasan pendidikan Indonesia, nilai-nilai lokal, nasional, dan universal budaya Indonesia. Pertemuan antara nilai-nilai tadi dijadikan dasar untuk memformulasikan paradigma baru pendidikan Indonesia. 

2. Orientasi pada Landasan Pendidikan Indonesia
Pendidikan sebagai bisnis sadar yang sistematik-sistemik selalu bertumpu dalam sejumlah landasan. Landasan tersebut sangat penting, karena pendidikan merupakan pilar utama pengembangan manusia serta masyarakat suatu bangsa. Landasan pendidikan akan memberikan pijakan dan arah terhadap pembentukan manusia Indonesia, mendukung perkembangan masyarakat, bangsa, serta negara. Landasan pendidikan yang sangat memegang peranan penting pada memilih tujuan pendidikan merupakan landasan filosofis, sosiologis, dan kultural. Landasan pendidikan yg mendorong pendidikan dalam rangka menjemput masa depan adalah landasan ilmiah dan teknologi. Di samping itu, terdapat landasan psikologis, yang membekali tenaga kependidikan menggunakan pemahaman psikologis peserta didiknya. Kajian terhadap landasan-landasan pendidikan ini akan dapat menciptakan wawasan pendidikan yg utuh.

Landasan Filosofis. Terdapat kaitan yang sangat erat antara pendidikan serta filsafat. Filsafat mencoba merumuskan gambaran tentang manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan gambaran itu. Di satu sisi, rumusan tentang harkat serta prestise insan dan masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara penyelenggaraan pendidikan, ad interim di sisi lain, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Peranan filsafat pada bidang pendidikan berkaitan menggunakan kajian-kajian: (1) eksistensi dan kedudukan insan menjadi makhluk zon politicon, homo sapiens, animal educandum, animal symbolicum (Dimyati, 2000, 2001 & Tirtarahardja & La Sula, 2000; Van Peursen, 2001), (dua) masyarakat serta kebudayaannya, (3) keterbatasan insan menjadi makhluk hidup, (4) perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan. Peranan utama pendidikan adalah membelajarkan anak agar mengalami growth in learning dan becoming process.

Dengan belajar, anak tumbuh dan berkembang secara utuh. Karena itu, sekolah nir mengajar anak, melainkan melaksanakan pendidikan. Pendidikan merupakan buat bisa hayati sepanjang hayat. Pendidikan bukan persiapan buat hayati. Orang belajar berdasarkan hidupnya, bahkan kehidupan itu merupakan pendidikan bagi setiap orang. Seirama dengan pandangan ini adalah paham konstruktivisme. Paham konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan dikonstruksi sendiri sang individu berdasarkan interaksinya dengan lingkungan alamiah, teman sebaya, dan rakyat (Suparno, 2001). Pebelajar sendiri yg membentuk pengetahuannya, sedangkan pengajar hanya bertindak sebagai fasilitator dan perantara yang dinamis. 

Unsur kebebasan memegang peranan krusial pada proses pendidikan (Brook & Brook, 1993). Fungsi pendidikan merupakan membina eksklusif-langsung yang bebas merumuskan pendapat serta menyatakan pendapatnya sendiri dalam berbagai perspektif. Individu yang diinginkan adalah individu yg kreatif, berpikir bebas termasuk berpikir produktif.

Aliran kulturalisme melihat fungsi pendidikan masa sekarang sebagai suatu upaya buat merekonstruksi warga mengatasi perkara-masalah yg dihadapinya (Tilaar, 2000). Masalah-masalah tersebut misalnya bukti diri bangsa, benturan kebudayan, preservasi dan pengembangan budaya. Fungsi pendidikan adalah menata warga berdasarkan fungsi-fungsi budaya yang universal menurut budaya lokal yg berkembang ke arah kebudayaan nasional dan kebudayan dunia. Nilai-nilai budaya misalnya itu merupakan Trikonsentris, kovergensi, serta kontinuitas menurut Ki Hadjar Dewantara (Dimyati, 2000, 2001; Tilaar, 2000).

Landasan Sosiologis. Kajian sosiologi pendidikan pada prinsipnya meliputi seluruh jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah. Pendidikan keluarga yang termasuk galat satu pendidikan luar sekolah adalah lembaga sosial pertama bagi setiap insan. Proses pengenalan akan dimulai berdasarkan keluarga, pada mana anak mulai berkembang. Pendidikan keluarga dapat memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan (UU.ri.no.dua/1989, pasal 10 ayat 4). Dalam keluarga dapat ditanamkan nilai dan perilaku yang bisa mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Perubahan fungsi famili, pola hubungan orang tua dengan anak dalam famili, komposisi keanggotaan pada famili, keberadaan orang tua, serta disparitas kelas sosial famili berpengaruh terhadap perkembangan anak (Mudyahardjo et.al 1992).

Proses pendidikan juga sangat dipengaruhi sang berbagai grup sosial pada masyarakat, misalnya kelompok keagamaan, organisasi pemuda, serta organisasi pramuka. Terdapat satu kelompok spesifik yang datangnya bukan menurut orang dewasa, namun menurut anak-anak lain yang hampir seusia, yg dianggap grup sebaya. Kelompok sebaya adalah agen sosialisasi yg mempunyai impak bertenaga searah menggunakan bertambahnya usia anak (Tirtarahardja & La Sula, 2000). Sebagai forum sosial, grup sebaya nir memiliki struktur yg jelas dan nir tetap. Namun kelompok sebaya dapat membangun solidaritas yang sangat bertenaga pada antara anggota kelompoknya. Ada beberapa hal yang bisa disumbangkan oleh kelompok sebaya dalam proses sosialisasi anak, antara lain, bahwa kelompok sebaya bisa memberikan model, memberikan identitas, memberikan dukungan, memberikan jalan buat lebih independen, menumbuhkan perilaku kolaborasi, serta membuka horizon anak sebagai lebih luas.

Di sisi lain, yg nir kalah pentingnya, adalah efek pendidikan terhadap rakyat. Penekanan dalam pengenalan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak buat hidup di dalam masyarakatnya, sedangkan fokus pada agen pembaharuan, tujuan pendidikan merupakan mempersiapkan anak merombak atau memperbaharui rakyat. Pendidikan yang dilaksanakan dalam umumnya, hendaknya tidak memilih salah satu kutub fokus tersebut, tetapi diupayakan seimbang antara upaya pelestrarian dan pengembangan.

Pendidikan dalam rangka berbagi ilmu pengetahuan, wajib didukung sang sistem komunikasi sosial yang terbuka, sehingga dia bisa berkembang secara efektif. Komunikasi sosial merupakan implementasi berdasarkan prinsip tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab yg dipikul oleh pengembang dan pengelola pendidikan tersebut harus dikembalikan kepada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri, harus konsisten dengan proses telaah pendidikan terhadap hakikat pengetahuan, dan harus disampaikan secara proporsional pada warga , sebagai akibatnya bisa dimanfaatkan secara obyektif dalam memecahkan pertarungan sosial. 

Pengetahuan yang dimiliki sang seorang ilmuwan merupakan kekuatan yang akan menaruh keberanian dalam membela nilai-nilai kebenaran yang diyakininya. Secara etis, ilmuwan wajib bersikap ilmiah, yaitu bersikap obyektif, terbuka menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh pada memperjuangkan kebenaran, mengakui kekurangan secara terbuka bagi rakyat. Walaupun pemikiran sosial yang dianutnya nir selalu terbaik serta juga tidak terburuk bagi masyarakat, tetapi gagasannya wajib siap memenuhi kebutuhan warga . Ketika gagasan tadi gagal menampakan keunggulannya, pada artian akan terjadi perseteruan antara ilmu pengetahuan dan sosiologi, maka wajib dipertanggungjawabkan secara sosial sebagai pengejawantahan kiprah perilaku ilmiahnnya.

Landasan Kultural. Pendidikan selalu terkait menggunakan insan, sedangkan setiap manusia selalu sebagai anggota rakyat serta pendukung kebudayaan eksklusif. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai interaksi timbal kembali, sebab kebudayaan dapat dikembangkan serta dilestarikan menggunakan jalan mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi penerus melalui pendidikan, baik secara informal juga formal. Sebaliknya, bentuk, ciri-ciri, serta aplikasi pendidikan itu ikut dipengaruhi sang kebudayaan warga pada mana proses pendidikan itu berlangsung. Kebudayaan adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-kebiasaan, nilai-nilai, agama, tingkah laris, serta teknologi yang dipelajari serta dimiliki sang seluruh anggota masyarakat eksklusif. Kebudayaan pada arti luas dapat berwujud (1) inspirasi, gagasan, nilai; (dua) prilaku manusia pada warga ; (tiga) benda hasil karya insan. Kebudayaan baik pada wujud ide, prilaku, dan teknologi tadi bisa dibentuk, dilestarikan, serta dikembangkan melalui proses pendidikan.

Cara buat mewariskan kebudayaan, mengajarkan tingkah laku kepada generasi baru, tidak sama menurut warga ke rakyat. Ada tiga cara umum yg dapat diidentifikasikan, yaitu: informal (terjadi pada keluarga), nonformal (terjadi pada rakyat, dan formal (terjadi dalam lembaga-forum pendidikan formal). Pendidikan formal dirancang buat mengarahkan perkembangan tingkah laku siswa. Masyarakat memegang peranan pada mentrasmisi kebudayaan yang mereka miliki kepada generasi penerus. Masyarakat jua berusaha melakukan perubahan-perubahan yang diadaptasi menggunakan syarat baru, sehingga terbentuklah pola tingkah laku , nilai-nilai, norma-norma baru yg sinkron dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola tingkah laris, nilai-nilai, dan norma-kebiasaan tersebut adalah transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yg lazim digunakan sebagai indera transmisi serta transformasi kebudayaan adalah forum pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga. Sekolah sebagai lembaga sosial memiliki peranan yang sangat krusial, karena pendidikan nir hanya berfungsi mentransmisi kebudayaan pada generasi penerus, tetapi pula mentransformasikannya agar sinkron menggunakan perkembangan zaman.

Landasan Psikologis. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan, sehingga landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang krusial dalam bidang pendidikan. Pada umumnya, landasan psikologis pendidikan tertuju dalam pemahaman insan, khususnya mengenai proses perkembangan serta proses belajar. Terdapat 3 pandangan tentang hakikat insan, yaitu taktik disposisional yg memberikan tekanan pada faktor hereditas, strategi behavioral, serta strategi fenomenologis atau humanistis menekankan pada peranan faktor belajar. Strategi behavioral memandang insan sebagai makhluk pasif yg bergantung pada lingkungan, strategi fenomenologis memandang insan menjadi makhluk aktif yg bisa bereaksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri. Perbedaan pandangan mengenai hakikat insan tadi berdampak pada pandangan mengenai pendidikan.

Pemahaman siswa, utamanya berkaitan dengan aspek kejiwaan individu, merupakan keliru satu kunci keberhasilan pendidikan. Individu mempunyai talenta, kemampuan, minat, kekuatan, dan tempo, dan irama perkembangan yang berbeda satu sama lain. Implikasinya, pendidik nir mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta didik. Perbedaan individual terjadi karena adanya perbedaan banyak sekali aspek kejiwaan antar siswa, bukan hanya berkaitan menggunakan kecerdasan dan bakat, tetapi juga disparitas pengalaman dan taraf perkembangan, perbedaan aspirasi serta impian, bahkan perbedaan kepribadian secara keseluruhan. Kajian psikologi pendidikan yang erat kaitannya menggunakan pendidikan adalah yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar. Kecerdasan umum dan kecerdasan dalam bidang tertentu banyak dipengaruhi sang kemampun potensial. Namun, kemampuan potensial hanya akan berkembang secara aktual apabila dikembangkan pada situasi yang kondusif. Peserta didik selalu berada dalam proses perubahan, baik lantaran pertumbuhan juga lantaran perkembangan. Pertumbuhan terjadi menjadi dampak faktor internal menjadi dampak kematangan serta proses pendewasaan, sedangkan perkembangan terutama terjadi lantaran efek lingkungan. Lingkungan pendidikan dapat berwujud lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, pramuka, serta media masa (Dimyati, 2000, 2001).

Landasan Ilmiah serta Teknologi. Pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi memiliki kaitan yg sangat erat. Iptek sebagai bagian primer isi pengajaran, artinya, pendidikan berperan sangat krusial pada pewarisan dan pengembangan iptek. Di sisi lain, setiap perkembangan iptek wajib segera diakomodasi sang pendidikan, yakni dengan segera memasukkan output pengembangan iptek ke pada isi bahan pelajaran. Sebaliknya, pendidikan sangat ditentukan sang cabang-cabang iptek, utamanya ilmu-ilmu prilaku (psikologi, sosiologi, antroplogi). Seiring menggunakan kemajuan iptek dalam umumnya, ilmu pendidikan juga mengalami kemajuan yg pesat; demikian juga menggunakan cabang-cabang khusus dari ilmu-ilmu prilaku yang menelaah pendidikan. Kemajuan cabang-cabang ilmu tadi menyebabkan tersedianya keterangan realitas yg cepat serta tepat, serta dalam gilirannya, diterjemahkan menjadi program, indera, dan/atau mekanisme kerja yang akan bermuara dalam kemajuan teknologi pendidikan.

Dengan perkembangan iptek dan kebutuhan masyarakat yg makin kompleks, maka pendidikan dalam segala aspeknya harus mengakomodasi perkembangan tersebut. Di sisi lain, pendidikan formal sudah berkembang sedemikian rupa sebagai akibatnya menjadi suatu lingkup aktivitas yg luas dan kompleks. Konsekuensinya, penataan kelembagaan, pemantapan struktur organisasi dan mekanisme kerja, pemantapan pengelolaan, haruslah dilakukan menggunakan pemanfaatan iptek. Oleh lantaran kebutuhan pendidikan yang sangat mendesak, maka teknologi dari berbagai bidang ilmu wajib segera diadopsi ke pada penyelenggaraan pendidikan, serta atau kemajuan ilmu wajib segera dimanfaatkan sang penyelenggara pendidikan tadi.

4. Orientasi dalam Azas-Azas Pendidikan Indonesia
Asas pendidikan adalah sesuatu kebenaran yang sebagai dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perencanaan juga aplikasi pendidikan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah bahwa manusia itu bisa dididik serta mendidik diri sendiri. Manusia dilahirkan hampir tanpa daya serta sangat tergantung dalam orang lain. Tetapi, dia memiliki potensi yang hampir tanpa batas buat dikembangkan melalui pendidikan. Asas-asas pendidikan di Indonesia bersumber baik menurut kesamaan umum pendidikan di dunia maupun yg bersumber menurut pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pengembangannya selama ini. Tiga asas pendidikan pada Indonesia yang sangat relevan menggunakan upaya pendidikan, baik masa kini maupun masa lampau, yaitu: asas Tut Wuri Handayani, asas belajar sepanjang hayat, dan asas kemandirian pada belajar.

Asas Tut Wuri Handayani. Asas tut wuri handayani adalah inti berdasarkan asas pertama menurut tujuh asas (Asas 1922) Perguruan Nasional Taman Siswa (lahir pada lepas tiga Juli 1922 Tirtarahardja & La Sula, 2000). Asas pertama tersebut berbunyi: “bahwa setiap orang berhak buat mengatur dirinya menggunakan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum”. Dari asas ini tampak bahwa tujuan yg hendak dicapai sang Taman Siswa adalah kehidupan yg tertib serta tenang. Kehidupan tertib dan hening hendaknya dicapai dari dasar kodrat alam menjadi sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini mendorong Taman Siswa mengubah sistem pendidikan cara usang yg menggunakan perintah, paksaan, serta hukuman menggunakan sistem spesial Taman Siswa, yg berdasarkan pada sistem kodrati. Dari asas itu pula lahir “sistem among”, pada mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu menjadi pemimpin yang berdiri pada belakang dengan bersemboyan “Tut Wuri Handayani”, yaitu tetap mensugesti dengan memberi kesempatan pada siswa untuk berjalan sendiri, serta nir terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya harus menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak dan hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri nir dapat menghindarkan diri berdasarkan aneka macam rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, sistem “among” adalah cara pendidikan yang digunakan pada sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan pada guru supaya mengingatkan serta mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan nir melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.

Dua semboyan lainnya, menjadi bagian tidak terpisahkan menurut Tut Wuri Handayani, pada hakikatnya bertolak berdasarkan wawasan tentang anak yg sama, yakni nir terdapat unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidak ada campur tangan yg dapat mengurangi kebebasan anak buat berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Di sisi lain, pendidik setiap ketika siap memberi uluran tangan apabila diharapkan oleh anak. “Ing ngarsa sung tulada” adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak juga pertimbangan guru. “Ing madya mangun karsa” diterapkan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu buat merogoh keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan buat memperkuat motivasi. Ketiga slogan tadi sebagai satu kesatuan asas telah menjadi asas krusial pada pendidikan di Indonesia.

Asas Belajar Sepanjang Hayat. Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) adalah sudut pandang menurut sisi lain terhadap pendidikan seumur hayati (life long education). Pendidikan seumur hidup merupakan suatu konsep yg mempunyai makna baru menurut inspirasi usang, tetapi secara universal definisi yang bisa diterima merupakan sulit. Oleh karenanya, UNESCO Institute for Education memutuskan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yg (1) meliputi semua hidup setiap individu, (dua) mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, serta penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan, serta sikap yg dapat meningkatkan syarat hidupnya, (tiga) tujuan akhirnya merupakan membuatkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu, (4) mempertinggi kemampuan dan motivasi buat belajar berdikari, (lima) mengakui kontribusi dari seluruh dampak pendidikan yg mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal, dan informal.

Istilah “pendidikan seumur hidup” erat kaitannya serta mempunyai makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua kata ini nir dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Penekanan kata “belajar” adalah perubahan pengetahuan (kognitif, afektif, psikomotor) pebelajar, sedangkan kata “pendidikan” menekankan dalam usaha sadar serta sitematis buat menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan perubahan pengetahuan tersebut secara efisien dan efektif, atau lingkungan yg membelajarkan subjek didik. Dalam latar pendidikan seumur hayati, proses belajar mengajar pada sekolah seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya 2 misi, yakni membelajarkan siswa dengan efisien serta efektif; dan meningkatkan kemauan serta kemampuan belajar berdikari menjadi basis menurut belajar sepanjang hayat.

Kurikulum yang bisa mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat wajib dirancang dan diimplementasikan dengan memperhatikan 2 dimensi, yaitu dimensi vertikal serta horizontal. Dimensi vertikal kurikulum sekolah mencakup nir saja keterkaitan dan transedental antar strata persekolahan, tetapi pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Berkaitan dengan dimensi kurikulum vertikal ini, dan dalam upaya mengantisipasi siswa untuk dapat bersaing pada era dunia, maka dimensi tadi hendaknya bermuatan kecakapan-kecakapan hayati (life skills). Indikator-indikator life skills adalah integrity, initiative, flexibility, perseverance, organization, sense of humor, effort, common sense, duduk perkara-solving, responsibility, patience, friendship, curiosity, cooperatif, caring, courage, pride (Reigeluth ed., 1999). Dimensi horizontal mengaitkan pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman pada luar sekolah. Rancangan dan implementasi kurikulum yg memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik menggunakan banyak sekali asal belajar yang terdapat pada sekitarnya. Kemampuan serta kemauan memakai sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan memberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Masyarakat yg memiliki masyarakat yg belajar sepanjang hayat akan sebagai suatu masyarakat yang getol belajar (learning society), yang akan bermuara pada terwujudnya pendidikan seumur hayati seperti yang tercermin dalam sistem pendidikan nasional.

Asas Kemandirian dalam Belajar. Asas kemandirian dalam belajar memiliki kaitan yg sangat erat menggunakan asas Tut Wuri Handayani maupun asas belajar sepanjang hayat. Konsep “kemandirian” mengandung makna bahwa belajar adalah kebutuhan yang mucul dari pada diri sendiri sebagai akibatnya cenderung bertahan sepanjang hayat tanpa campur tangan orang lain. Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan pengajar pada peran primer sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, pengajar diharapkan menyediakan dan mengatur aneka macam asal belajar sedemikian rupa sebagai akibatnya memudahkan siswa berinteraksi dengan sumber-sumber tersebut. Sebagai motivator, pengajar mengupayakan timbulnya prakarsa siswa buat memanfaatkan asal belajar tersebut. Beberapa strategi belajar mengajar yang bisa menyediakan peluang pengembangan kemandirian peserta didik, antara lain cara belajar siswa aktif, belajar melalui modul, paket belajar, pedagogi berprogram. Strategi-taktik belajar tersebut bisa terealisasi bila lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh bahan pustaka yg memadai dan pusat sumber belajar (PSB). 

5. Gagasan Paradigma Baru Pendidikan Indonesia
Mengacu pada pelukisan masyarakat Indonesia di masa sekarang dan di masa yg akan datang, bisa diajukan gagasan bahwa buat mencapai warga yg menghormati nilai-nilai demokrasi, tidak pelak lagi, sistem pendidikan Indonesia hendaknya diarahkan menuju kerangka berpikir pendidikan yang berakar dalam pendidikan demokrasi dengan mengadopsi demokrasi pembelajaran memalui pendidikan progresif futuristik. Pendidikan demokrasi dapat dikembangkan melalui konteks yang bersifat lokal serta universal. Nilai-nilai lokal serta universal pendidikan demokrasi tersebut akan dapat memenuhi harapan serta kebutuhan unsur-unsur kebudayaan bangsa Indonesia buat tetap survive pada kehidupan dunia dan buat mempertahankan dan menyebarkan identitas kebudayaan sendiri. Konteks lokal, berarti bahwa terdapat nilai-nilai demokrasi spesial masyarakat Indonesia yang perlu dikembangkan pada kerangka buat tetapkan bukti diri bangsa. Konteks universal, berarti nilai-nilai demokrasi yang terdapat dan diakui oleh sebagian akbar penduduk global dapat diterima sebagai suatu kebenaran melalui proses akulturasi serta trasformasi dengan kebudayaan orisinil di Indonesia.

Dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pendidikan esensialis serta behavioristik, sistem pendidikan hendaknya menerapkan paradigma pendidikan progresif futuristik. Terdapat tiga pilar primer pendidikan progresif. Pertama, pendidikan berpusat dalam anak. Pendidikan ini akan berbagi kemampuan individu kreatif berdikari, dan menyebarkan secara optimal potensi-potensi anak. Kedua, peran pendidikan untuk rekonstruksi dan pembaharuan sosial. Peran ini akan menciptakan rakyat demokrasi, masyarakat ilmiah, dan perkembangan menuju warga industri. Ketiga, konsep eksperimentasi pada pendidikan. Konsep ini akan membuatkan kemapuan anak buat berpikir rasional, kritis, penarikan konklusi dari pembuktian, keterbukaan, dan akuntabilitas. Konsep ini bisa dijembatani melalui penerapan inquiry-based learning, duduk perkara solving, problem based learning, project based learning, cooperative learning, conceptual change instruction.

Penerimaan nilai-nilai asing pada pendidikan Indonesia hendaknya menurut pada prinsip seleksi asimilasi menggunakan muatan lokal atau nilai-nilai lokal. Dalam proses seleksi tadi, terjadi proses dialektika menggunakan nilai-nilai lokal. Pada tahap akhir, proses dialektika tersebut akan membuat buatan berupa konvergensi nilai asing serta nilai kepribadian dasar. Secara praktis, nilai-nilai progresif yg bersifat global bisa disandingkan menggunakan nilai-nilai ke Indonesiaan yg memberitahuakn bukti diri unik bangsa Indonesia. Demikian juga konsep progresif mengenai fungsi pendidikan menjadi agen pembaharuan sosial seharusnya diadaptasi dengan kondisi sosiologis masyarakat Indonesia. Konsep progresif itu bisa dipertemukan menggunakan konsep tri sentra pendidikan Ki hajar Dewantara: famili, sekolah, warga , dan dua pusat pendidikan lainnya: lembaga pramuka serta media massa.

Untuk mengantisipasi nir terjadinya perseteruan global antarbudaya, maka diharapkan kerangka berpikir pendidikan antarbudaya tingkat internasional. Pendidikan ini akan menciptakan generasi-generasi baru yang nir terkungkung oleh perspektif nasional, rasial, etnik, dan teritorial. Lewat pendidikan antarbudaya, perspektif-perspektif tersebut akan direduksi menjadi pandangan-pandangan yang lebih sesuai menggunakan empiris-empiris dan tuntutan internasional sekaligus dunia. Pendidikan antar budaya bisa berwujud formal, nonformal, atau informal. Pelajaran bahasa asing, studi etnik, komunikasi antar budaya, adalah bidang-bidang studi yg relatif penting diajarkan pada sekolah serta pada perguruan tinggi. Di samping itu, acara pertukaran murid, mahasiswa, ilmuwan, seniman, dan olahragawan jua adalah kurikulum pendidikan antar budaya. Media massa juga adalah sarana buat memasyarakatkan nilai-nilai universal ini, melalui fakta, ulasan, feature, pandangan mata, serta sebagainya. Demikian juga, kitab -buku khususnya yg memuat pengetahuan tentang budaya negara-negara bangsa lain, mencakup norma adat, norma-norma, dan prilaku komunikasi mereka sangat krusial dijadikan kurikulum.

Untuk membentuk manusia-insan antarbudaya tingkat nasional, kerangka berpikir pendidikan antarbudaya diimplementasikan melalui usaha menjadi berikut. Pertama, penggunaan bahasa nasional pada forum-forum resmi: lembaga pendidikan, tempat kerja pemerintahan, kantor swasta. Juga di lembaga-lembaga tidak resmi yg melibatkan lebih menurut satu suku bangsa, bisnis yg sama perlu dilakukan. Pemaksaan unsur-unsur bahasa daerah yg berlebihan ke pada bahasa nasional hendaknya dihindari. Pemaksaan semacam itu adalah tanda-tanda etnosentrisme yang tidak akan menyenangkan orang-orang dari daerah lain. Kedua, hidangan kebudayaan ditayangkan secara adil melalui media elektronik, khususnya televisi, dan lembaga-forum internasional. Ketiga, sosialisasi yang merata pada forum-lembaga pendidikan dan tempat kerja-kator pemerintah dan swasta, dengan mendapat siswa atau mahasiswa dan pegawai yg cakap tanpa memperdulikan apa suku mereka. Keempat, hubungan antar suku melalui pertukaran pemuda, pelajar, mahasiswa, pegawai, pengajar, serta dosen antar propinsi paling tidak untuk satu periode eksklusif. Kelima, perkawinan antarsuku sepanjang orang-orang yg tidak sinkron suku tadi memiliki kecocokan dalam segi-segi penting, contohnya dalam kepercayaan . Keenam, pembangunan daerah yg merata sang pemerintah, menggunakan mencegah adanya kemungkinan daerah yg sebagian maju serta sebagian lagi terlantar.

Untuk memajukan popularisasi pendidikan, maka paradigmanya adalah (1) menyesuaikan model pendidikan serta training dengan kebutuhan warga banyak seraya menaikkan mutunya, (2) menaikkan partisipasi keluarga serta masya-rakat pada penyelenggaraan, investasi, serta evaluasi pendidikan, (3) mempertinggi investasi pendidikan melalui sektor pemerintah. Implementasi paradigma ini adalah melalui program-acara (1) menyebarkan serta mewujudkan pendidikan berkualitas, (dua) menyelenggarakan pendidikan pengajar serta energi kependidikan yang bermutu, (tiga) menciptakan SDM pendidikan yang profesional menggunakan penghargaan yang wajar, (4) menanggulangi putus sekolah akibat krisis melalui perbaikan organisasi aplikasi penyaluran bantuan, serta (5) menaikkan kesejahteraan guru serta energi kependidikan lainnya, sebagai akibatnya dapat memotivasi peningkatan kinerja mereka secara optimal. Peningkatan kinerja pengajar serta tenaga kependidikan lainnya tersebut jua wajib diberikan peluang melalui praktek-praktek penyegaran akademik, misalnya penataran, kursus singkat, studi banding, dan kunjungan singkat dalam dan luar negeri.

Pendidikan Indonesia diperlukan pula memusatkan perhatian pada upaya peningkatan sistematisasi pendidikan. Paradigmanya merupakan (1) menitikberatkan pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dalam pemberdayaan lembaga pendidikan dengan memberi swatantra yg luas, (2) menyebarkan sistem pendidikan nasional yg terbuka bagi segenap dipersivitas yg ada di Indonesia, (tiga) pembatasan program-acara pendidikan nasional difokuskan pada pengembangan kesatuan bangsa. Implementasi kerangka berpikir tadi bisa dilakukan melalui program-program (1) menyiapkan lembaga-lembaga pendidikan serta training pada wilayah, (2) mengurangi birokrasi penyelenggaraan pendidikan dan secara berangsur-angsur menaruh otonomi seluas-luasnya pada forum pendidikan, (3) melaksanakan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap seiring dengan persiapan wahana, SDM, serta dana yang memadai, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.

Proliferasi sistem delivery pendidikan sangat memilih kualitas pendidikan dalam global semakin terbuka kini ini. Untuk menaikkan proliferasi pendidikan tadi, paradigmanya adalah (1) meningkatkan keterpaduan dalam pengembangan serta implementasi acara training, media massa, dan media elektro, (dua) menjembatani global pendidikan serta dunia kerja secara optimal dalam rangka membuat tenaga-tenaga kerja yg sesuai menggunakan kebutuhan daerah dan pasar kerja. Impelementasi paradigma tersebut dapat dilakukan melalui acara-program (1) optimalisasi pemanfaatan dan koordinasi forum-lembaga pelatihan pada daerah menggunakan pelibatan pemimpin-pemimpin rakyat, pemerintah wilayah, serta dunia industri, (2) mempertinggi kuantitas serta kualitas lembaga-lembaga pendidkan pada daerah dalam rangka menahan arus urbanisasi sekaligus menaikkan SDM yg berkualitas, (tiga) menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan menggunakan global kerja.

Pendidikan serta politik mempunyai interaksi yg sangat erat. Oleh sebab itu, politisasi pendidikan hendaknya dirumuskan sedemikian rupa, sehingga baik pendidikan maupun politik secara bersinergi bisa mencapai tujuan dalam menaikkan peradaban insan. Paradigmanya merupakan (1) pendidikan nasional ikut dan dalam mendidik insan Indonesia menjadi manusia politik yang demokratis, sadar akan hak-hak dan kewajibannya menjadi masyarakat negara yg bertanggung jawab, (dua) rakyat, termasuk keluarga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. Secara operasional, kerangka berpikir ini bisa diimplementasikan melalui program-acara (1) menerapkan sistem merit serta profesionalisme pada rangka membersihkan birokrasi departemen dari kepentingan-kepentingan politik, (dua) menegakkan disiplin dan tanggung jawab para pelaksana forum-lembaga pendidikan, (3) menyelenggarakan pendidikan budi pekerti.

Pendidikan serta kebudayaan merupakan suatu kebutuhan menurut dan untuk masyarakat lokal. Agar lembaga sosial utamanya lembaga pendidikan, baik sekolah juga program-acara pendidikan non formal, berfungsi secara optimal dalam rangka memenuhi kebutuhan tadi, maka dibutuhkan kerangka berpikir pemberdayaan warga lokal, universitas-universitas di wilayah, forum pemerintah pada daerah, dan lembaga pendidikan. Implementasinya merupakan sebagai berikut. Antara Pemerintah Daerah kabupaten dan warga pada pada penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan diciptakan hubungan akuntabilitas horizontal. Artinya, rakyat serta pemda kedua-duanya bertanggung jawab terhadap stake holder (warga ) yang memiliki pendidikannya. Pemerintah Daerah harus membantu warga supaya penyelenggaraan pendidikannya dilakukan secara efisien dan bermutu. Universitas pada daerah memiliki interaksi konsultatif menggunakan masyarakat lokal dan Pemerintah Daerah kabupaten. Hubungan tadi akan menciptakan peluang bagi universitas pada daerah buat menjadi agen pembaharuan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, baik pada kabupaten, di provinsi, maupun di tingkat pusat.

Dalam memasuki era globalisasi, terdapat dua dimensi mengenai visi dan misi pendidikan tinggi yang berkaitan sangat erat, yaitu dimensi lokal dan dimensi dunia. Paradigma pengembangan kedua dimensi tadi sangat penting pada memasuki milenium ketiga ini. Dimensi lokal visi pendidikan tinggi terdiri berdasarkan unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, kualitas, otonomi kelembagaan, dan jaringan kerja sama. Dimensi global visi pendidikan tinggi mempunyai unsur-unsur kompetitif, kualitas, dan jaringan kerja sama. Ini berarti, membuatkan dimensi lokal berarti pula membuatkan dimensi globalnya lantaran unsur kompetitif pada dimensi global sangat bergantung kepada unsur-unsur akuntabilitas, relevansi, dan kualitas pada dimensi lokal.