DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara
Pancasila sebagai dasar serta ideologi negara merupakan kesepakatan politik para founding fathers saat negara Indonesia didirikan. Tetapi dalam perjalanan panjang kehidupan berbangsa serta bernegara, Pancasila tak jarang mengalami banyak sekali deviasi dalam aktualisasi nilai-nilainya. Deviasi pengamalan Pancasila tersebut mampu berupa penambahan, pengurangan, dan defleksi menurut makna yang seharusnya. Walaupun seiring menggunakan itu sering pula terjadi upaya pelurusan pulang.
Pancasila acapkali digolongkan ke pada ideologi tengah di antara 2 ideologi akbar dunia yg paling berpengaruh, sebagai akibatnya seringkali disifatkan bukan ini dan bukan itu. Pancasila bukan berpaham komunisme serta bukan berpaham kapitalisme. Pancasila tidak berpaham individualisme dan tidak berpaham kolektivisme. Bahkan bukan berpaham teokrasi dan bukan perpaham sekuler. Posisi Pancasila inilah yg bikin capek aktualisasi nilai-nilainya ke pada kehidupan praksis berbangsa serta bernegara. Dinamika aktualisasi nilai Pancasila bagaikan pendelum (bandul jam) yg selalu berkiprah ke kanan dan ke arah kiri secara seimbang tanpa pernah berhenti sempurna pada tengah.
Pada ketika berdirinya negara Republik Indonesia, kita putusan bulat mendasarkan diri pada ideologi Pancasila dan UUD 1945 pada mengatur serta menjalankan kehidupan negara.
Namun sejak Nopember 1945 hingga sebelum Dekrit Presiden 5 Juli 1959 pemerintah Indonesia membarui haluan politiknya menggunakan mempraktikan sistem demokrasi liberal.dengan kebijakan ini berarti menggerakan pendelum bergeser ke kanan. Pemerintah Indonesia menjadi pro Liberalisme.deviasi ini dikoreksi dengan munculnya Dekrit Presiden lima Juli 1959.dengan keluarnya Dekrit Presiden ini berartilah haluan politk negara dirubah. Pendelum yang posisinya di samping kanan digeser serta digerakan ke arah kiri.kebijakan ini sangat menguntungkan dan dimanfaatkan sang kekuatan politik pada Indonesia yg berhaluan kiri (baca: PKI) Hal ini tampak pada kebijaksanaan pemerintah yang anti terhadap Barat (kapitalisme) dan pro ke Kiri menggunakan dibuatnya poros Jakarta-Peking serta Jakarta- Pyong Yang. Puncaknya adalah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini menjadi pemicu tumbangnya pemerintahan Orde Lama (Ir.soekarno) serta berkuasanya pemerintahan Orde Baru (Jenderal Suharto). Pemerintah Orde Baru berusaha mengoreksi segala defleksi yang dilakukan oleh regim sebelumnya dalam pengamalan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Pemerintah Orde Baru merubah haluan politik yang tadinya menunjuk ke posisi Kiri dan anti Barat menariknya ke posisi Kanan. Namun regim Orde Barupun akhirnya dianggap penyimpang dari garis politik Pancasila dan UUD 1945, Ia dianggap cenderung ke praktik Liberalisme-kapitalistik pada menggelola negara. Pada tahun 1998 muncullah gerakan reformasi yg dahsyat dan berhasil mengakhiri 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Setelah tumbangnya regim Orde Baru telah muncul 4 regim Pemerintahan Reformasi sampai ketika ini. Pemerintahan-pemerintahan regim Reformasi ini semestinya sanggup memberikan koreksi terhadap penyimpangan dalam mengamalkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 pada praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan oleh Orde Baru.
Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila
Kerangka Teoritik
Alfred North Whitehead (1864 – 1947), tokoh utama filsafat proses, berpandangan bahwa seluruh realitas pada alam mengalami proses atau perubahan, yaitu kemajuan, kreatif dan baru. Realitas itu dinamik serta suatu proses yang terus menerus “sebagai”, walaupun unsur permanensi empiris dan bukti diri diri dalam perubahan nir boleh diabaikan. Sifat alamiah itu dapat pula dikenakan dalam ideologi Pancasila menjadi suatu realitas (pengada). Masalahnya, bagaimanakah nilai-nilai Pancasila itu diaktualisasikan dalam praktik kehidupan berbangsa serta bernegara ? Dan, unsur nilai Pancasila manakah yg mesti wajib kita pertahankan tanpa mengenal perubahan ?
Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai pada ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yg bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas menurut imbas perubahan saat.nilai dasar merupakan prinsip, yg bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh saat dan tempat, dengan kandungan kebenaran yg bagaikan aksioma.dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan menggunakan keberadaan sesuatu, yang mencakup keinginan, tujuan, tatanan dasar dan karakteristik khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara.nilai dasar Pancasila tumbuh baik menurut sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yg sudah menyengsarakan warga , maupun berdasarkan impian yg ditanamkan dalam kepercayaan dan tradisi tentang suatu masyarakat yg adil dan makmur dari kebersamaan, persatuan serta kesatuan semua masyarakat rakyat.
Kedua, nilai fragmental, yaitu suatu nilai yg bersifat kontekstual. Nilai fragmental adalah klasifikasi dari nilai dasar tersebut, yg merupakan arahan kinerjanya buat kurun ketika tertentu serta buat syarat eksklusif. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai fragmental haruslah mengacu pada nilai dasar yg dijabarkannya. Penjabaran itu mampu dilakukan secara kreatif serta dinamik dalam bentuk-bentuk baru buat mewujudkan semangat yg sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan sang nilai dasar itu.dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental adalah kebijaksanaan, taktik, organisasi, sistem, planning, acara, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tadi. Lembaga negara yg berwenang menyusun nilai instrumental ini merupakan MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam fenomena sehari-hari, berupa cara bagaimana masyarakat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis masih ada pada demikian poly wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis juga nir tertulis, baik sang cabang eksekutif, legislatif, juga yudikatif, sang organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis adalah sasana perseteruan antara idealisme serta realitas.
Jika dilihat berdasarkan segi aplikasi nilai yg dianut, maka sesungguhnya pada nilai praksislah ditentukan tegak atau tidaknya nilai dasar dan nilai instrumental itu. Ringkasnya bukan dalam rumusan abstrak, dan bukan juga dalam kebijaksanaan, strategi, rencana, acara atau proyek itu sendiri terletak batu ujian terakhir dari nilai yg dianut, namun dalam kualitas pelaksanaannya di lapangan. Bagi suatu ideologi, yg paling penting adalah bukti pengamalannya atau aktualisasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Suatu ideologi bisa memiliki rumusan yg amat ideal dengan ulasan yang amat logis serta konsisten pada tahap nilai dasar serta nilai instrumentalnya. Akan namun, jika dalam nilai praksisnya rumusan tadi tidak bisa diaktualisasikan, maka ideologi tersebut akan kehilangan kredibilitasnya.bahkan Moerdiono (1995/1996: 15) menegaskan, bahwa bahwa tantangan terbesar bagi suatu ideologi merupakan menjaga konsistensi antara nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksisnya. Sudah barang tentu bila konsistensi ketiga nilai itu dapat ditegakkan, maka terhadap ideologi itu nir akan ada perkara. Masalah baru timbul apabila terdapat inkonsisitensi dalam tiga tataran nilai tersebut.
Untuk menjaga konsistensi dalam mengaktualisasikan nilai Pancasila ke pada praktik hayati berbangsa serta bernegara, maka perlu Pancasila formal yg abstrak-generik-universal itu ditransformasikan menjadi rumusan Pancasila yg generik kolektif, serta bahkan menjadi Pancasila yg khusus individual (Suwarno, 1993: 108). Artinya, Pancasila sebagai sifat-sifat menurut subjek gerombolan serta individual, sehingga menjiwai semua tingkah laku pada lingkungan praksisnya pada bidang kenegaraan, politik, dan eksklusif.
Driyarkara menjelaskan proses pelaksanaan ideologi Pancasila, menggunakan gambaran gerak transformasi Pancasila formal sebagai kategori tematis (berupa konsep, teori) sebagai kategori imperatif (berupa kebiasaan-kebiasaan) serta kategori operatif (berupa praktik hayati). Proses tranformasi berjalan tanpa perkara apabila tidak terjadi deviasi atau defleksi, yang berupa pengurangan, penambahan,serta penggantian (dalam Suwarno, 1993: 110- 111). Operasionalisasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara haruslah diupayakan secara kreatif dan dinamik, sebab Pancasilasebagai ideologi bersifat futuralistik. Artinya, nilai-nilai yg terkandung dalam Pancasila merupakan nilai-nilai yang dicita-citakan serta ingin diwujudkan.
Masalah aktualisasi nilai-nilai dasar ideologi Pancasila ke dalam kehidupan praksis kemasyarakatan dan kenegaraan bukanlah perkara yang sederhana. Soedjati Djiwandono (1995: dua-tiga) mensinyalir, bahwa masih masih ada beberapa kekeliruan yang mendasar dalam cara orang memahami serta menghayati Negara Pancasila pada aneka macam seginya. Kiranya tidak sempurna menciptakan “sakral” serta taboo banyak sekali konsep serta pengertian, seakan-akan sudah jelas betul serta niscaya sahih, tuntas dan paripurna, sebagai akibatnya nir boleh dipersoalkan lagi. Sikap seperti itu menciptakan berbagai konsep serta pengertian sebagai statik, kaku dan nir berkembang, dan mengandung resiko ketinggalan zaman, meskipun mungkin sahih bahwa beberapa prinsip dasar memang mempunyai nilai yang tetap serta abadi. Belum teraktualisasinya nilai dasar Pancasila secara konsisten dalam tataran praksis perlu terus menerus diadakan perubahan, baik dalam arti konseptual juga operasional. Banyak hal wajib ditinjau pulang dan dikaji ulang. Beberapa mungkin perlu dirubah, beberapa lagi mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan dijelaskan atau diperjelas, dan beberapa lagi mungkin perlu ditinggalkan.
Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yg ada. Atau menggunakan istilah lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila menjadi pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) buat dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah berdasarkan pada. Mirip dengan teori A.N.whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan buat berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yg dapat dipindahkan atau pohon yang bisa dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai empiris merupakan sumber daya buat proses ke-sebagai-an yg selanjutnya. Apabila dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum serta perundang-undangan pada segala tingkatan, menjadi aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis sebagai kategori imperatif), wajib terbuka terhadap peninjauan serta penilaian atau pengkajian mengenai keterkaitan menggunakan nilai dasar Pancasila.
Untuk melihat transformasi Pancasila sebagai kebiasaan hidup sehari-hari pada bernegara orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yg berkaitan dengan negara, yg mencakup; daerah, warganegara, serta pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, buat memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang wajib menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan menggunakan bangsa Indonesia, yg meliputi; faktor-faktor integratif serta upaya buat membangun persatuan Indonesia. Sedangkan buat tahu transformasi Pancasila pada kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-dua, dan ke-5 yg berkaitan dengan hayati keagamaan, kemanusiaan dan sosial irit (Suwarno, 1993: 126).
Perubahan dan Kebaharuan
Pembaharuan serta perubahan bukanlah melulu bersumber dari satu sisi saja, yaitu dampak yang timbul berdasarkan dalam, melainkan sanggup terjadi lantaran imbas dari luar. Terjadinya proses perubahan (dinamika) pada aktualisasi nilai Pancasila tidaklah semata-mata ditimbulkan kemampuan berdasarkan pada (potensi) dari Pancasila itu sendiri, melainkan suatu insiden yang terkait atau berrelasi menggunakan empiris yg lain. Dinamika aktualisasi Pancasila bersumber pada kegiatan pada dalam menyerap atau menerima dan menyingkirkan atau menolak nilai-nilai atau unsur-unsur dari luar (asing). Contoh paling kentara dari terjadinya perubahan transformatif pada aktualisasi nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara, adalah empat kali amandemen UUD 1945 yg sudah dilakukan MPR dalam tahun 1999, 2000, 2001, serta tahun 2002.
Dewasa ini, akibat kemajuan ilmu serta teknologi, khususnya teknologi komunikasi, terjadilah perubahan pola hayati masyarakat yg begitu cepat. Tidak satupun bangsa dan negara mampu mengisolir diri dan menutup kedap berdasarkan imbas budaya asing. Demikian juga terhadap perkara ideologi.dalam kaitan imi, M.habib Mustopo (1992: 11 -12) menyatakan, bahwa pergeseran serta perubahan nilai-nilai akan menyebabkan kebimbangan, terutama didukung sang fenomena masuknya arus budaya asing menggunakan berbagai aspeknya. Kemajuan di bidang ilmu serta teknologi komunikasi & transportasi ikut mendorong hubungan antar bangsa semakin erat serta luas. Kondisi ini pada satu pihak akan menyadarkan bahwa kehidupan yg mengikat kepentingan nasional nir luput dari pengaruhnya serta bisa menyinggung kepentingan bangsa lain. Ada semacam kearifan yang harus dipahami, bahwa dalam kehidupan dewasa ini, teknologi sebagai bagian budaya manusia sudah jauh menghipnotis rapikan kehidupan manusia secara menyeluruh. Dalam keadaan semacam ini, nir tidak mungkin tumbuh suatu pandangan kosmopolitan yang tidak selalu sejalan menggunakan tumbuhnya faham kebangsaan.beberapa fakta dalam banyak sekali ragam bentuk serta isinya nir bisa selalu diawasi atau dicegah begitu saja.mengingkari dan nir mau tahu “tawaran” atau impak nilai-nilai asing adalah kesesatan berpikir, yang seolah-olah menduga bahwa ada eksistens yang sanggup berdiri sendiri. Kesalahan berpiklir demikian sang Whitehead disebut menjadi the fallacy of misplace concretness (Damardjati Supadjar, 1990: 68). Jika efek itu tidak sinkron dengan nilai-nilai yg hidup dalam masyarakat, atau nir mendukung bagi terciptanya kondisi yang sesuai dengan Pancasila, maka perlu dikembangkan perilaku yg kritis terutama terhadap gagasan-gagasan, pandangan baru-ide yang datang dari luar.
Dalam konteks budaya, kasus rendezvous kebudayaan bukan perkara memfilter atau menyaring budaya asing, tetapi memasak serta mengkreasi pada hubungan dinamik sehingga tercipta sesuatu yang baru. Jati diri bangsa, budaya politik merupakan sesuatu yg wajib terus menerus dikonstruksikan, karena bukan kenyataan yang mandeg (Sastrapratedja, 1996: 11). Kalau ideologi-ideologi akbar pada global sekarang ini diperhatikan dengan seksama, maka terlihat mereka bergeser secara dinamik. Para penyangga ideologi itu telah melakukan revisi, pembaharuan, dan pemantapan-pemantapan dalam mengaktualisasikan ideologinya. Perkembangan zaman menuntut bahwa ideologi harus memiliki nafas baru, semangat baru menggunakan corak nilai, ajaran serta konsep kunci tentang kehidupan yg mempunyai perspektif baru. Ideologi Pancasilapun dituntut demikian. Pancasila harus mampu menghadapi dampak budaya asing, khususnya ilmu dan teknologi terbaru dan latar belakang filsafatnya yg dari menurut luar.
Prof. Notonagoro sudah menemukan cara buat memanfaatkan imbas dari luar tersebut, yaitu secara eklektif merogoh ilmu pengetahuan serta ajaran kefilsafatan menurut luar tersebut, namun dengan melepaskan diri menurut sistem filsafat yg bersangkutan serta selanjutnya diinkorporasikan dalam struktur filsafat Pancasila. Dengan demikian, terhadap imbas baru menurut luar, maka Pancasila bersifat terbuka menggunakan syarat dilepaskan menurut sistem filsafatnya, kemudian dijadikan unsur yg serangkai dan memperkaya struktur filsafat Pancasila (Sri Soeprapto, 1995: 34). Sepaham dengan Notonagoro, Dibyasuharda (1990: 229) mengkualifikasikan Pancasila menjadi struktur atau sistem yang terbuka dinamik, yang bisa menggarap apa yang tiba menurut luar, dalam arti luas, sebagai miliknya tanpa membarui identitasnya, malah mempunyai daya ke luar, mensugesti dan mengkreasi.
Dinamika Pancasila dimungkinkan bila terdapat daya refleksi yang mendalam serta keterbukaan yg matang buat menyerap, menghargai, dan menentukan nilai-nilai hidup yang sempurna serta baik buat sebagai etos bangsa bagi kelestarian hidupnya pada masa mendatang. Sedangkan penerapan atau penolakan terhadap nilai-nilai budaya luar tadi berdasar dalam relevansinya. Dalam konteks hubungan internasional dan pengembangan ideologi, bukan hanya Pancasila yang menyerap atau ditentukan sang nilai-nilai asing, namun nilai-nilai Pancasila mampu ditawarkan serta berpengaruh, dan menyokong pada kebudayaan atau ideologi lain. Bahkan Soerjanto Poespowardojo (1989: 14) menjelaskan, bahwa dinamika yang ada pada aktualisasi Pancasila memungkinkan bahwa Pancasila pula tampil menjadi alternatif buat melandasi rapikan kehidupan internasional, baik buat memberikan orientasi pada negara-negara berkembang pada khususnya, juga mewarnai pola komunikasi antar negara dalam umumnya.
Ideologi Pancasila bukanlah pseudo religi. Oleh karena itu, Pancasila perlu dijabarkan secara rasional dan kritis agar membuka iklim hidup yg bebas serta rasional pula. Konsekuensinya, bahwa Pancasila wajib bersifat terbuka. Artinya, peka terhadap perubahan yang terjadi pada kehidupan insan serta nir menutup diri terhadap nilai dan pemikiran menurut luar yang memang diakui menerangkan arti dan makna yg positif bagi pembinaan budaya bangsa, sehingga dengan demikian menganggap proses akulturasi menjadi gejala masuk akal. Dengan begitu ideologi Pancasila akan menunjukkan sifatnya yg dinamik, yaitu memiliki kesediaan buat mengadakan pembaharuan yg bermanfaat bagi perkembangan eksklusif insan serta masyarakat. Untuk menghadapi tantangan masa depan perlu didorong pengembangan nilai-nilai Pancasila secara kreatif dan dinamik. Kreativitas dalam konteks ini dapat diartikan menjadi kemampuan buat menyeleksi nilai-nilai baru serta mencari cara lain bagi pemecahan masalah-masalah politik, sosial, budaya, ekonomi, serta pertahanan keamanan. Ideologi Pancasila nir a priori menolak bahan-bahan baru dan kebudayaan asing, melainkan mampu menyerap nilai-nilai yang dipertimbangkan bisa memperkaya serta memperkembangkan kebudayaan sendiri, dan meningkatkan derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Menurut Hardono Hadi (1994: 57), bangsa Indonesia, menjadi pengemban ideeologi Pancasila, tidak defensif serta tertutup sebagai akibatnya sesuatu yg berbau asing wajib ditangkal serta dihindari lantaran dipercaya bersifat negatif. Sebaliknya tidak dibutuhkan bahwa bangsa Indonesia menjadi begitu amorf, sebagai akibatnya segala sesuatu yang menimpa dirinya diterima secara buta tanpa panduan buat memilih mana yg pantas serta mana yg tidak pantas buat diintegrasikan dalam pengembangan dirinya.
Bangsa Indonesia mau nir mau wajib terlibat pada dialog menggunakan bangsa-bangsa lain, tetapi nir tenggelam dan hilang di dalamnya. Proses akulturasi nir dapat dihindari. Bangsa Indonesia pula dituntut berperan aktif dalam pergaulan dunia.bangsa Indonesia harus bisa ikut bermain pada interaksi mondial pada menentukan arah kehidupan insan seluruhnya. Untuk mampu menjalankan kiprah itu, bangsa Indonesia sendiri wajib memiliki kesatuan nilai yang sebagai keunikan bangsa, sehingga bisa memberikan sumbangan yg relatif berarti dalam percaturan internasional. Identitas diri bukan sesuatu yg tertutup tetapi sesuatu yg terus dibuat pada hubungan dengan gerombolan rakyat bangsa, negara, insan, sistem warga global (Sastrapratedja, 1996: tiga).
Semuanya itu mengharuskan adanya taktik kebudayaan yg mampu neneruskan dan membuatkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam segala aspek kehidupan bangsa.
Abdulkadir Besar (1994: 35) menawarkan pelaksanaan “taktik dialogi antar budaya” pada menghadapi gejala penyeragaman atau globalisasi dewasa ini.. Artinya, membiarkan budaya asing yang mengglobal berdampingan menggunakan budaya orisinil. Melalui interaksi yg terus menerus, masing-masing budaya akan mendapatkan pelajaran yg berharga. Hasil akhir yang diharapkan dari interaksi itu merupakan terpeliharanya cukup diferensiasi, sekaligus tercegahnya penyeragaman universal. Ideologi Pancasila menjadi jati diri bangsa Indonesia tidak mandeg, melainkan wajib diperbaharui secara terus menerus, sebagai akibatnya bisa memberikan pedoman, inspirasi, dan dukungan pada setiap anggota bangsa Indonesia pada memperkembangkan dirinya menjadi bangsa Indonesia. Sedangkan pembaharuan yg sehat selalu bertitik tolak pada masa lampau dan sekaligus diarahkan bagi terwujudnya hasrat pada masa depan. Setiap zaman menampakkan corak kepribadiannya sendiri, tetapi kepribadian yang terbentuk dalam zaman yang tidak selaras haruslah memiliki kesinambungan menurut masa lampau sampai masa mendatang sehingga tergambarkan aspek historitasnya (Hardono Hadi, 1994: 76). Kesinambungan tidak berarti hanya penggulangan atau pelestarian secara persis apa yg didapatkan di masa lampau buat diterapkan pada masa kini dan masa mendatang. Unsur yang sama dan permanen maupun unsur yg kreatif serta baru, semuanya harus dirajut pada satu kesatuan yg integral.
Teori hilemorfisme dari Aristoteles sanggup mendukung pandangan tadi. Aristoteles menegaskan, bahwa meskipun materi (hyle) menjadi konkret apabila dibentuk (morfe), tetapi materi tidaklah pasif. Artinya terdapat gerak. Setiap relitas yang telah berbentuk (berdasar materi) bisa juga menjadi materi bagi bentuk yang lain,sebagai akibatnya setiap empiris mengalami perubahan. Perubahan yg terdapat bukan kebaharuan sama sekali tetapi perubahan yg kesinambungan. Artinya, aktualitas yg terdapat kini berdasar dalam realitas yg telah terdapat pada masa lampau dan terbuka bagi adanya perubahan pada masa depan.